Anda di halaman 1dari 677

HURTS

Blurb :

Allan Willard, penokohan pria kejam yang mengabaikan


perasaan Emili. Istrinya yang ia curigai. Terpaksa
menikah, membuat Allan semakin Kasar. Berusaha
menghangcurkan kehidupan Emily. Sampai dimana
kebenaran itu muncul, setelah berhasil bercerai. Allan
menyesal dan menerima karmanya.

PROLOGUE

"Allan!"pekik suara seorang gadis terdengar lantang.


Pria itu tidak menoleh, ia malas berhadapan dengan
siapapun sekarang.

"Allan!"panggilnya lagi sambil melingkarkan tangan


di lengan pria tersebut.
"Lepas!!!"sergahnya dengan tepisan kuat, hingga
gadis itu jatuh ke lantai sebelum ia sampai di
undakan tangga mansion.

"Dengar Emily, apapun alasannya aku— tidak akan


pernah mencintai mu, jadi bersikaplah
sewajarnya!"peringat Allan sambil
menanggalkan suit pernikahannya dan melempar
pakaian itu ke arah Emily yang menunduk tanpa
menjawab.

"Allan..."bisiknya lirih sambil memungut Suit pria itu


dan meremasnya kuat. Mereka baru saja menikah,
tanpa pesta, tanpa ciuman dan tanpa kasih sayang.

Semuanya terasa begitu sulit, Emily mendengus


melihat Allan sudah melangkah masuk ke dalam
ruangan. Ia berdiri, mengikuti langkah pria tersebut.
Rumah barunya, tempat dimana nanti ia akan
berusaha menjadi istri yang baik.

Tap!!
Namun langkah kaki Emily berhenti mendadak. Ia
menelan Saliva dan langsung memalingkan
pandangan ke arah lain. "Kenapa kau masih berdiri di
sana? Ambilkan aku minuman!"celetuk pria itu
dengan nada suara melengking.

Ia bersama wanita lain, berciuman santai di


rumahnya. Di hadapan Emily tanpa peduli. "Allan...
Aku—"

"Kau tuli?"potong pria itu dengan nada suara yang


begitu kasar.

"Sudahlah, bukannya ia harus terbiasa dengan kita di


sini?"ucap wanita yang setia melingkarkan tangannya
di leher pria itu sangat erat. Ia memicingkan
pandangan penuh kemenangan, membuat Emily
langsung menunduk kaku. Ia begitu lemah. Polos dan
takut.

"Kemari lah, kau harus berkenalan dengan kekasih


ku."Allan memerintah membuat mata gadis itu
terangkat naik ke arahnya.
"Clarissa. Clarissa Amber!"ulangnya dua kali sambil
menyodorkan tangan.

"Kau tidak perlu tahu namanya!"sergah Allan


menarik tangan wanita itu sebelum Emily ingin
menyambutnya.

"Ayo kita ke kamar,"Allan berbisik, mengecup puncak


bahu wanita itu lembut.

"Aku pergi dulu!"

"Kau mau kemana?"bentak Allan saat mendengar


Emily seakan malas ingin melihat aksinya bersama
Clarissa.

"Aku... Aku..."

"Ambilkan aku minuman dan antar ke kamar


ku!"ucap Allan dengan nada suara yang masih
lantang. Emily diam lalu menggigit bibirnya begitu
kuat.
"Allan hari ini kita baru saja menikah dan kau—"

"Hebat! Kau mau menantang ku, Emily?"tanya pria itu


dengan nada suara yang sedikit lambat. Ia melepas
pelukan dari Clarissa dan mendekati Emily yang kini
menatap matanya dalam.

"Allan.. Hormatilah pernikahan kita. Kau—"

"Kau ingin aku meniduri mu?"Allan berbisik rendah


tepat di telinga gadis itu. Emily diam sambil
menautkan kedua tangannya. Napas gadis itu
mendadak cepat setelah merasakan sentuhan yang
sedikit panah di sudut pinggulnya.

"Ayo!!!"Clarissa menarik jemari pria itu,


menjauhkannya dari Emily dan segera melangkah
menuju kamar.

"Aku tidak suka kau sangat dekat dengan gadis itu,


Allan!"
"Kau cemburu?"ungkapnya sambil menatap tegas ke
arah Clarissa. Ia menyelami wajah wanita itu dan
mencumbunya pelan.

"Tentu, dia sekarang istri mu. Bagaimana aku tidak


—"

"Aku akan menceraikannya dalam waktu 3 bulan. Kau


tahu kenapa aku harus menikahi gadis polos
itu,"ucapan Allan terdengar seperti rayuan. Ia
melepas kancing pakaian kekasihnya itu pelan tanpa
memalingkan pandangan sedikitpun.

"Kau bisa di percaya?"tanya Clarissa dengan suara


parau. Sementara Allan sudah mulai mencium
lehernya.

"Sure! Aku akan menikahi mu. Aku mencintai


mu!"Allan berbisik. Ia mencium bahu yang kini sudah
begitu polos mencoba memancing lebih agar wanita
itu segera melayaninya. Gairah pria itu sudah di
ujung.
______________

Prankkk!!!

Suara pecahan gelas terdengar nyaring tepat di depan


kamar Allan yang masih sibuk dengan Clarissa.
Mereka bercinta sejak tadi, tanpa henti.

"Brengsek! Kau mengganggu—"

"Allan apa yang kau lakukan!"bentak Emily nyaring.


Ia menelan Saliva begitu kuat lalu melihat pria itu
meraih sesuatu untuk menutupi bawahannya.
Sementara Clarissa tampak diam dan bersembunyi di
bawah selimut.

"Bukan urusan mu! Keluar dan ambilkan minuman


lain!"pria itu mendorong kuat tubuh Emily hingga
gadis itu langsung terpental ke arah tembok.

"Ahh!!!"
"Sialan! Kau terlalu banyak acting. Cepat!"suara pria
itu kembali melengking kuat membuat gadis itu
bangkit dan mengepal tangannya kencang.

"Tidak akan!"

"Jangan coba-coba melawan ku, atau aku akan


membuat mu benar-benar menderita Emily."

"Aku akan mengatakan semua perlakuan mu—"Emily


langsung menggantung kalimatnya saat Allan
menarik rambut nya dan membuat kepalanya
terdongak ke atas.

"Apa kau bilang?"tanyanya sambil mengeratkan bibir.

"Allan!!"

"Kau boleh mengatakan pada siapapun. Tapi jika


sesuatu terjadi pada ibuku, maka bersiaplah. Aku
pastikan bukan hanya kau yang menderita,
Emily!"ucap pria itu dengan pelan, ia melihat mata
Emily yang sayu perlahan berair. Ia bergetar dan
dingin.

Brakk!!

Akhirnya Allan melepaskan pautan tersebut dengan


mendorong kembali tubuh Emily yang terasa ringan.
Ia menajamkan mata lalu memutar tubuhnya segera
dan kembali ke kamarnya.

Emily menelan Saliva, ia menunduk dan mengusap air


matanya dengan ujung pakaian. Gadis itu menggigit
tangannya sendiri, berharap tangisannya tidak pecah.
"Kenapa, kau begitu membenciku!" pikir Emily sambil
beranjak dari tempatnya. Ia mengambil langkah besar
untuk mencari tempatnya sendiri.

"Nona, kamar mu di sana. Semua pakaian mu juga


sudah beres!"tegur seorang maid tampak
menatapnya kasihan. Ia mengangguk lalu melirik ke
arah pintu yang di tunjukkan wanita paruh baya itu.
"Terimakasih."ucapnya sambil menarik napas dan
melangkah begitu cepat.

Chapter 1 : Honeymoon

"Kalian kenapa masih di sini?"tanya seorang wanita


paruh baya dengan wajah penuh selidik. Wanita itu
mengedarkan pandangan, menunggu salah satu
orang yang ada di depannya menjawab.

"Kami—"

"Aku sibuk, mom!"celetuk Allan datar sambil melirik


sedikit ke arah Emily yang langsung mengulum bibir.

"Harusnya kau meninggalkan pekerjaan mu beberapa


minggu, kapan aku bisa punya cucu jika kalian—"

"Jangan memikirkan itu, akan datang waktunya jika


kami siap!"lagi, suara Allan kembali melengking. Ia
tersenyum tipis seakan semuanya begitu baik.
"Kalian tidak ada masalah kan?"tegur wanita itu lagi
dengan suara pelan, ia menatap Emily yang menarik
ujung pakaiannya lalu menyelipkan rambut di telinga
yang tampak tipis. Ia menggeleng ragu, seketika
wanita berstatus orang tua kandung Allan itu
langsung menangkap sesuatu darinya.

"Kau bisa ceritakan padaku, jika—"

"Kami hanya sedang menyesuaikan diri, mom."Emily


mencoba menerangkan. Ayolah, ia tidak ingin melihat
Anne Willard pingsan seperti terakhir kali ia
menolak perjodohan ini.

"Ah kau benar, aku sampai lupa. Padahal kalian


berteman dari kecil, tapi kenapa semua masih terlihat
canggung,"Anne tersenyum tipis. Ia mengeluh pelan
lalu meraih tas berlogo Channel yang ada di
sampingnya. Mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

"Ini tiket untuk kalian! Pergilah honeymoon!"celetuk


wanita itu sambil memberikan helai ticket dan paspor
milik Emily. Ia sudah mengurusnya dari jauh hari,
untuk gadis itu.

"Kau terlalu berlebihan, mom. Aku paham, Allan


sibuk."

"Aku akan sangat kecewa jika kau menolaknya Emily,


kalian harus bersenang-senang!"sambung wanita itu
melirik tegas ke arah Allan yang hanya diam
membisu. Ia hanya merasakan ponselnya bergetar
sejak tadi, ia yakin itu Clarissa.

"Mom tapi—"

"Ambil saja. Kita akan berangkat sesuai kemauan


mommy ku,"balas Allan ingin semuanya segera
selesai. Ia tidak memikirkan konsekuensi setelahnya.

"Kau yakin?"tanya Emily pelan. Manik mata sayu nya


begitu indah, di tambah lagi iris mata amber nya
begitu terang. Sesungguhnya, gadis itu menggoda,
matang di usianya yang begitu muda.
Allan menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia
hanya ingin terlihat begitu mengesankan di hadapan
Anne. "Aku akan mengawasi kalian, jangan
membohongi ku,"tukas Anne seakan mampu
membaca pikiran putra tunggalnya itu.

"Apa?"Allan bereaksi. Ia mengerutkan kening


mencoba mencari tahu.

"Mommy mengawasi kalian. Gunakan ticket itu


dengan baik,"celetuk Anne sambil meraih jemari
Emily yang kini tengah memegang pemberiannya.
Gadis itu tersenyum tipis, begitu polos dan lugu.

"Baiklah, mom! Bagaimana kabar ibu ku?"tanya Emily


mencoba mencari tahu keadaan orang tuanya yang
kini sudah kembali ke negara asal mereka di Inggris
Raya.

"Mereka baik, hanya saja mereka ingin kau menelpon


nya seminggu sekali,"Anne melepas pegangannya, ia
menatap penuh harap pada gadis itu sekarang.
"Catherine?"tukas Emily lagi, mengingat satu-satu
nya saudari yang ia punya.

"Dia masih belum tahu soal pernikahan ini,


rahasiakan sementara hingga ia kembali."pinta Anne
sambil mengedarkan pandangan ke arah Allan yang
begitu tidak peduli, ia seperti menyimpan sesuatu.

"Bagaimana jika ia tahu, Catherine pasti akan kecewa.


Apalagi— ia begitu mencintai...."

"Emily sudahlah, itu tidak penting! Kau yang


sekarang menjadi keluarga Willard."

"Itu keinginan nya, harusnya aku tidak menikah


dengan anak kecil!"

"Allan apa yang kau katakan! Emily istri mu, kau


masih menolak perjodohan ini?"celetuk Anne dengan
pandangan yang begitu tegas.

"Aku rasa, pertanyaan itu tidak ada jawabannya. Kau


tahu mom, sejak kecil aku memang tidak menyukai
nya!"balas pria itu sambil beranjak dari kursi nya dan
segera memutar tubuh.

"Allan!!!"

"Mom, sudahlah! Aku tidak ingin kau sakit, Allan


hanya perlu waktu,"ucap Emily mencoba
menenangkan mertua nya itu.

"Kau benar, harusnya aku tidak perlu memaksa Allan


begitu keras."Anne menarik napas dangkal, ia
mengedarkan pandangan lalu diam sejenak.

"Aku pulang dulu, manfaatkan liburan kalian,"ucap


Anne berdiri bersamaan dengan Emily yang pasti
mengantarnya ke depan pintu utama.

__________________

"Ya! Tenang saja. Aku akan kembali secepatnya,


jangan khawatir. Tidak akan ada yang terjadi antara
aku dan gadis idiot itu,"suara Allan sedikit
melengking. Ia membicarakan Emily lewat saluran
telpon, mencoba meyakinkan Clarissa yang begitu
khawatir setelah mendengar rencana honeymoon nya.
Ayolah, mereka sudah menjalin hubungan ini susah
payah sejak satu tahun lalu, mereka di tentang keras
oleh Anne Willard.

"Aku mencintai mu,"ucap Clarissa lembut membuat


pria itu sedikit terkesima.

"Yah! Aku juga. Aku akan mencari cara untuk


menceraikan Emily. Setidaknya, mencari jalan agar
keluarga ku yakin bahwa gadis itu tidak lebih baik
darimu,"tukas Allan sambil menangkap satu sosok
yang melangkah pelan ke arahnya. Emily langsung
menunduk mencoba menghindari pandangan dari
pria itu. Jujur, Meskipun Allan begitu dingin, hati
Emily sudah milik pria tersebut sejak lama.

"Nanti aku akan menelpon mu lagi,"ucap Allan sambil


menutup panggilan itu segera. Ia menyisipkan ponsel
tersebut ke sakunya dan menunggu Emily lewat di
depannya.
Tappp!!!

Dengan langkah cepat, pria itu mendorong Emily ke


tembok, menahan dan menguncinya dengan satu
gerakan.

"Allan.. Sakit.."keluh Emily saat pria itu menekan


tubuhnya lebih jauh ke dasar tembok dan
menatapnya dekat.

"Sepertinya kau santai sekali, sebagai istri harusnya


kau melayani ku kan?"tegur Allan menatap licik.

"Allan... Aku—"

"Bukannya kau juga sudah biasa melakukannya? Kau


pelacur murahan,"bisik pria itu datar membuat mata
gadis itu membulat.

Plakkkk !!
Emily langsung menelan Saliva, ia baru saja
menampar pria tersebut sangat keras hingga
wajahnya berpaling ke kiri.

"Aku tidak pernah melakukannya dengan


siapapun,"celetuk Emily dengan suara bergetar.

"Berani nya kau menamparku!"Allan mengulum bibir.


Ia menaikkan pandangan nyalang lalu mengepal
tangan begitu kuat.

"Ahhh!! Allan!!"mendadak pria itu kembali menarik


rambutnya kencang, meremas begitu kuat tanpa
peduli.

"Kau pria pengecut! Apa yang kau dapatkan dengan


menyakiti ku?"tukas Emily mencoba melawan.

"Apapun! Ingat Emily, aku akan melakukan apapun


untuk membuat mu menderita. Jangan berharap aku
bisa mencintai mu dan menyelamatkan pernikahan
ini, itu tidak akan pernah terjadi!"tegas Allan dengan
suara nyaring, ia begitu serius sambil menggerakkan
kepala gadis itu dengan kuat tanpa melepaskan
cengkeramannya.

"Kalau begitu, kenapa tidak kau katakan pada—"

"Diam lah pelacur. Kau pikir aku tidak tahu kau


pernah tidur dengan mantan kekasih mu itu? Aku
melihat mu keluar dari hotel bersamanya!"

"Allan itu tidak seperti apa yang kau pikirkan! Aku


tidak pernah—"

"Jangan banyak bicara!!"

Tiba-tiba Allan melempar tubuh gadis itu kembali,


suara Emily melengking keras lalu mendadak hilang
saat tubuhnya jatuh ke lantai. Allan membulatkan
mata saat melihat darah kental keluar dari kepala
gadis yang kini tampak tidak sadarkan diri itu.
Chapter 2 : Penthouse

Anne menaikkan pandangannya, ia menatap nyalang


ke arah Allan hanya sibuk dengan ponsenya sejak
tadi. Ia langsung meminta sopirnya kembali, saat
mendengar kabar tidak enak tentang Emily.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"Anne mengedarkan


pandangan ke tiap ruangan, memerhatikan seksama
secara keseluruhan. Rasa penasarannya begitu
meningkat sejak dokter yang menangani Emily baru
saja keluar dari ruangan tersebut.

"Kenapa kalian semua diam? Apa ada sesuatu yang di


sembunyikan?"suara Anne semakin tegas. Wanita itu
kini menatap ke arah Emily yang meletakkan jari nya
di ujung perban. Ia pusing setengah mati.

"Emily! Jawab aku!"seketika gadis tersebut diam lalu


melirik ke arah Allan yang melempar senyuman
tipisnya. Ia seakan memberi ancaman sambil
merendahkan tubuhnya sedikit, agar bahu dan
lututnya sejajar.

"Aku jatuh."

"Apa, jatuh?"cela Anne menatap tegas seakan tidak


percaya.

"Ya mom, aku jatuh dari tangga dan tanpa sengaja


menghantam sudut meja!"balas Emily kembali
melirik ke arah Allan yang masih diam di tempatnya.
Ia mengeluh kasar, lalu berdiri tegak menuju ke arah
gadis tersebut.

"Istirahatlah! Kau tidak perlu menjelaskan


apapun!"Allan menarik selimut tebal yang ada di
sudut Anne. Ia mencoba memprovokasi
agar mommy nya itu pulang. Clarissa sudah
menunggu nya di kamar sejak tiga puluh menit lalu.

"Mom! Istriku perlu istirahat."celetuknya membuat


Anne diam. Ah- ia terlalu curiga. Ia berpikir, Allan
tidak akan bersikap kasar pada Emily. Apalagi hingga
gadis itu harus mendapatkan luka jahit sepanjang
empat centi.

"Baiklah, katakan jika kau butuh sesuatu Emily. Jaga


dirimu!"Anne melirik ke arah gadis tersebut, ia
mengangguk sekaligus meremas kuat selimut yang
kini menyelimuti tubuhnya hingga dada.

"Terimakasih, mom,"ucapnya sambil melempar


senyuman tipis hingga gantian, Anne yang kini
mengangguk pelan dan segera beranjak dari
tempatnya.

"Jaga Emily, jangan keluar dari kamar ini!"titah


wanita itu pada Allan sebelum ia keluar dari kamar
besar tersebut.

"Aku akan mengantarmu mom."

"Tidak perlu, aku bisa sendiri!"balas Anne datar


sambil menepuk pelan lengan pria tersebut dan
langsung melangkah keluar dari kamar tersebut.

"Kenapa, kau ingin aku tidur di sini?"tuding pria itu


sarkas sambil menajamkan pandangannya tegas. Ia
mengitari tubuh gadis itu dalam, sayangnya sekarang
hal indah itu di tutupi kain tebal berwarna dark grey.

"Aku butuh bantuan mu,"ucap Emily memandang


penuh permintaan.

"Aku benar-benar haus!"sambung nya lagi tanpa


melepaskan pandangan yang begitu terarah sejak
tadi. Allan terkekeh pelan seakan semua terdengar
lucu untuknya.

"Ambil sendiri!"pria itu langsung memutar tubuh


sambil melepaskan kaos yang melekat di tubuh
kekarnya saat itu juga. Dentingan kalung silver yang
ada di lehernya terbentur keras, menimbulkan suara
seakan mengejek ke arah Emily.

Gadis itu diam, lalu mengedarkan pandangannya ke


tiap tempat. Ia mengulum bibir lalu segera beranjak
dari tempatnya dan berusaha sekuat mungkin untuk
turun dari tempat tidur.

"Aku tidak bisa manja, Ia tidak akan peduli,"gumam


gadis itu sambil memasukkan kakinya ke dalam
sendal bermotif teddy bear. Ia masih begitu
kekanakan, maklum saja, Emily masih begitu muda
untuk menikah. Harusnya gadis itu bisa meraih
sesuatu yang ia impikan selama ini.

________________________
Allan tampak berciuman di kamarnya bersama
Clarissa. Pria itu merasakan sentuhan lembut di
sudut pinggulnya yang hangat, hingga wanita yang
ada di depannya itu melepas ciuman dan
memeluknya hangat.

"Harusnya kau bisa membohongi keluarga mu, agar


kau tidak pergi kemanapun dengan pelacur
itu!"tuding Clarissa dengan wajah kesal. Ia merasakan
balasan pelukan yang sama eratnya, bahkan ciuman
berkali-kali di puncak kepalanya.

"Tenanglah, ini tidak akan lama!"

"Apanya yang tidak lama? Tiket hotel mu di pesan


dua bulan. Kau bahkan sekamar dengannya!"

"Kau cemburu?"

"Harusnya kau menghamili ku saja, semua mudah jika


kau ingin melakukannya tanpa pengaman!"celetuk
Clarissa sambil mendongakkan kepala untuk melihat
reaksi pria tersebut.
"Kau tahu, aku sama sekali tidak menyukai anak kecil.
Mereka merepotkan!"Allan mendorong tubuh wanita
itu menjauh dan melirik ke arah pintu yang sengaja ia
buka lalu tanpa sengaja ia menemukan sepasang
mata yang menatapnya tajam dari luar. Emily berdiri
dengan pikiran yang begitu kosong. Ia langsung
memutar pandangan ke arah lain saat kedua bola
mata mereka bertemu.

Drrrttt!!

Clarissa mendadak mendelik, ia menatap tas kecil


yang ada di sudut ranjang. Ponselnya bersuara.
"Sialan! Aku lupa mematikannya!"pikir wanita itu
sambil melangkah cepat untuk memastikan.

"Siapa?"tanya Allan sambil mendekati wanita itu dan


mencoba melirik ke layar ponsel yang masih
berdering.

"Ini tidak penting!"Clarissa menggelapkan layarnya,


ia berusaha menjauhkan benda itu dari Allan.
"Harusnya kau mengangkat—"

"Allan, aku tidak ingin membahas ini. Semua tidak


penting, aku ingin bersamamu sebelum kau
berangkat,"celetuk wanita itu sambil menekan
tombol power pada ponselnya sekuat mungkin
hingga benda itu mati total.

"Hm! Aku akan mengirim uang ke rekening mu agar


kau bisa pergi ke suatu tempat selama menungguku!"

"Aha.. Dapat!"batin Clarissa seakan menangkap


hasilnya.

"Tidak! Aku tidak ingin kau terlalu—"

"Jangan menolak!"potong pria tersebut saat


mendengar wanita itu mencoba menolak
pemberiannya untuk kesekian kali.

"Ah sialan! Aku lupa. Hari ini Klaus akan datang


ke Penthouse ku. Ia menelpon pasti karena
ini,"Clarissa membatin, mengingat seorang pria yang
menjadi rekan kerja Allan. Ia berselingkuh, bahkan
tidur berkali-kali dengan pria tersebut.

"Kenapa kau begitu khawatir?"tukas Allan


menatapnya tajam.

"Sepertinya aku harus pulang, tubuhku mendadak


tidak enak!"

"Kau sakit!"

"Tidak! Hanya perlu istirahat sebentar,"balas wanita


itu dengan lembutnya. Ia tersenyum tipis lalu melihat
Allan akhirnya mengangguk dan mengalah untuk nya.

"Baiklah!"

"Kabari aku jika kau sudah sampai ke Italia!"Clarissa


mengecup pelan sudut pipinya dan melempar
senyuman santai hingga Allan membalasnya hanya
dengan anggukan pelan. Seketika, wanita itu langsung
mengambil langkah besar untuk meninggalkan
mansion megah tersebut.
____________________

Sementara Emily memegang erat gelas yang ada di


tangannya lalu mengusap mata nya yang berair. Ia
tidak pernah mengharapkan pernikahan seperti ini,
gadis itu memiliki mimpi besar walaupun entah sejak
kapan Allan begitu penuh di dalam hatinya.

Gadis itu melirik ke arah pintu kamar, ia tidak ingin


menguncinya, berharap mungkin Allan akan masuk
ke kamar nya dan meminta maaf. Ia masih percaya
akan hal itu sekarang, setidaknya hingga ia merasa
begitu letih.

Tiba-tiba ia tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang


ada di tangannya hingga sisa air yang ada di dalam
wadah tersebut mengenai pakaiannya.

"Ahhh bagaimana....."Emily menelan ludah,


pakaiannya basah karena hal itu. Seketika, ia bangkit
dan mewajibkan dirinya untuk berganti pakaian. Ia
tidak mungkin tidur dalam keadaan demikian.

"Allan tidak akan masuk kan?"batinnya sambil


melepaskan kancing gaun tidur berwarna soft. Begitu
melekat di tubuh indahnya.

Gadis itu melenggang begitu saja, ia


menuju walk in closet untuk memilih pakaian tidur
lainnya. Parahnya underwear yang melingkar di
pinggul kecil nya saat ini, ikut basah akibat rembesan
air. Emily harus mengganti semua kain yang
membalut tubuhnya.

Gadis itu naked, ia tidak peduli dengan hal lainnya.


Lagipula Emily cukup yakin bahwa tidak akan ada
satu orang pun yang masuk ke sana. Allan pasti masih
sibuk bersama Clarissa; pikir Emily.

Tap!!

Namun, aksi Emily mendadak berhenti. Ia merasakan


dua tangan menyentuh pinggulnya berjalan menuju
perut datar yang ia miliki lalu memeluknya begitu
erat. "Kau bisa memuaskan ku, Emily?"suara parau
terdengar jelas dan tepat di telinganya. Gadis itu
membulatkan mata, takut untuk mencari tahu sosok
yang tengah begitu lancang menyentuh tubuh
telanjang nya.

"Kau mau bercinta dengan suami mu?"lagi, suara itu


terdengar seperti ajakan. Sungguh, ia belum siap
untuk melakukan hal di luar batas bersama Allan .

"Ahhh!!!"namun gadis itu malah mendadak


meloloskan desahan. Kedua tangan Allan menangkup
payudaranya yang cukup padat. Ia mendongak dan
meletakan puncak kepala di bahu pria itu seakan
menikmati sentuhan yang harusnya tidak begitu
dalam.
Chapter 3 : Please, Don’t!

Allan berdiri tegap, tepat di belakang Emily yang


tengah memilih pakaiannya. Gadis itu mencari
sesuatu yang nyaman seperti pakaian sebelumnya.
Sudut mata Allan langsung tegas memerhatikan
seluruh guratan tubuh yang naked di depannya.
Mulus dan langsung membuatnya tergoda. Ia
melangkah pelan, mendekati gadis itu tanpa
melepaskan sedikitpun pandangannya. Hingga satu
keharusan yang mendadak muncul dalam benak pria
itu untuk menyentuh sudut pinggul polos yang tersaji
di depannya.

Emily langsung terdiam, ia menelan saliva yang


begitu menumpuk, takut untuk mencari tahu sosok
yang begitu berani menyentuhnya. "Kau ingin
bercinta, dengan suami mu?"

Deg!!
Jantung Emily langsung memompa cepat, matanya
penuh dan bulat menatap isi walk in closet yang ada
di depannya. Tangan Allan semakin berani, pria itu
menyentuh kedua puncak dadanya dan meremas
begitu kuat.

Emily langsung mendesah, takjub dengan rasa nikmat


yang baru pertama kali ia rasakan. Kepalanya
terdongak tinggi hingga mengenai Allan yang tidak
mengenakan atasan.

"Allan!"Emily berbisik, membuat pria itu bangga


karena begitu mudahnya ia membawa Emily dalam
permainan yang masih begitu santai. Ia menyentuh
kedua pinggul gadis itu kembali dan mendadak
memutar tubuh Emily agar mereka bisa saling
berhadapan. Lantas, Allan langsung menyambutnya
dengan ciuman kasar hingga tanpa di sadari Emily
melangkah, mengikuti gerakan pria itu hingga ia
terlempar ke atas ranjang.

Tap!! Emily menelan saliva, ia memerhatikan pria itu


mulai rakus mendekatinya. Namun, saat itu juga
kewarasannya muncul. Emily beringsut mencoba
menjauhkan diri sebelum pria tersebut menindihnya.

"Mau kemana kau!"Allan bicara sarkas. Ia menangkap


kedua tangan gadis itu dan menekannya kuat ke
dasar ranjang.

"Allan... Sakit! Tolong, jangan!"Emily bergetar,


tubuhnya mendadak dingin dalam hitungan detik
bersamaan kepalanya yang semakin pusing.

"Kau akan menikmatinya, Emily. Anggap saja, ini hal


terbaik yang bisa aku lakukan untukmu!"Allan
mengedarkan pandangan di tubuh polos gadis itu lalu
menelan ludah. Sungguh, gairah yang ia miliki saat ini
memuncak tinggi. Jauh berbeda saat ia tidur dengan
Clarissa atau gadis-gadis sebelumnya.

"Tidak! Aku tidak—"Emily menggantung kalimatnya


saat sebuah ciuman mendarat di bibirnya. Allan
mengasari nya, tanpa memikirkan luka jahitan yang
bahkan masih begitu perih. Rasa sakit itu lebih
mendominasi di kepalanya.
"Allan... Jaaa....ngann!"wanita itu menolak, ia
menaikkan tangannya ke atas berharap cengkeraman
pria itu lepas. Namun, usahanya sama sekali tidak
mendapatkan hasil. Pria itu malah semakin bergairah,
ia seperti mendapatkan perlawanan. Gairah yang
tidak pernah bisa ia rasakan bersama gadis atau
wanita manapun.

"Allan.. Aku mohon!!! Berhentilah!"suara Emily


semakin parau, air matanya mulai menggenang. Pria
itu semakin turun ke lehernya bahkan meninggalkan
beberapa gigitan kecil di sana.

"Emily!!!!!" suara Allan melengking keras, ia melepas


cengkeramannya saat merasakan penolakan yang
sangat total dari gadis tersebut.

"Aku takut!"tukas Emily sambil menutup dadanya


yang terekspose. Ia merasa begitu tidak berarti,
walaupun status mereka sah suami-istri.

"Kau tinggal buka lebar paha mu di hadapan ku


seperti kau membukanya pada orang lain!"
PLaakkk!!!

Emily kembali memberikan tamparan yang sangat


keras di wajah Allan. Ia merasa terhina, sudut
matanya yang basah berubah tegas. "Jangan
menghina atas apa yang tidak pernah aku
lakukan!"Emily mencoba membela diri. "Aku bukan
seperti yang kau katakan!"sambungnya saat sorot
mata pria itu beralih kembali padanya.

"Kau berani melawan ku?"tanya Allan sambil


mengeratkan kedua tangannya. Ia mendengus tanpa
melepaskan sedikitpun pandangannya.

"Aku hanya ingin membela harga diri—


Ahgggg!!"suara Emily mendadak berubah, ia
membulatkan mata saat merasakan napasnya
langsung menipis. Allan mencekiknya kuat, ia
menjelma menjadi pria yang sama sekali tidak
memiliki hati.

"Berapa uang yang kau butuhkan agar aku bisa


memasukkan p****s ku ke dalam milikmu!"tanyanya
sarkas sambil menekan leher gadis itu semakin
dalam, hingga Emily harus berusaha melepaskan diri.
Gadis itu berusaha menggerakkan seluruh tubuhnya,
bisa apa Emily saat ini? Ia hanya gadis 19 tahun,
bahkan sekolahnya terputus hanya sampai di sekolah
menengah. Nasibnya tidak seberuntung Catherine
Kate, saudari perempuannya yang selalu ingin lebih
dan lebih itu berhasil menyelesaikan kuliahnya.

"Jawabbb!!! Suara Allan menadadak melengking


kembali, ia sedikit melonggarkan cengkeraman.
Menunggu jawaban dari gadis tersebut.

"Tidak! Aku tidak butuh sepeserpun uang mu,"jawab


Emily lemah.

Tok tok tok!!!!!

Seseorang mengetuk pintu kamar Emily membuat


kedua mata mereka bertemu. Entah, siapa yang ada di
luar sana, sudah pasti ia berhasil menyelamatkan
nyawa Emily.
Allan menatapnya sinis lalu menyentak kasar leher
gadis itu di kasur hingga Emily merasakan kembali
luka jahitnya seakan terbentur benda keras.

Allan menuruni ranjang, ia membiarkan tubuh naked


itu mencari selimut untuk menutupi bagian
tubuhnya. "Kemas barang mu untuk keberangkatan
ke Italia,"ucapnya tegas sambil membenarkan
bawahan yang tampak kacau. Allan merasa sesak,
ingin di puaskan sekarang juga. Sialnya, semua kacau
sekarang.

Emily menangis lirih, ia mengintip punggung Allan


mulai menjauhinya hingga pintu kamar terbuka.

"Sir, maaf aku mengganggu.. Akuu.."

"Minggir!"Allan membalas malas, ia merasa sangat


marah sekarang. Jika bisa, kepala maid yang ada di
depannya saat ini ia pecahkan.
Seketika maid tersebut mundur, membiarkan Allan
lebih dulu melewatinya. Ia melangkah pelan menuju
kamar yang ada di mansion tersebut.

"Sial! Gadis itu membuat ku frustasi!"Allan mengeluh


kasar, ia menempatkan dirinya di kasur king size yang
ada di kamarnya lalu merebahkan diri begitu saja.

Allan mengulum bibir, mengingat sentuhannya di


tubuh Emily. Ini tantangan besar untuknya, hanya
gadis itu yang menolaknya begitu keras. Rasa
penasaran yang ada di benaknya mendadak
meningkat.

"Apa Emily benar-benar masih—"Allan menatap


datar langit-langit kamarnya, memikirkan banyak hal
sekarang. Perlahan ia mengangkat tangan lalu
menyentuh lembut bibir tebalnya.

"Ciuman gadis itu menggoda,"pikirnya semakin lama.


"Sial, aku tidak harus memikirkannya hingga sejauh
ini, ayolah Clarissa lebih baik, aku mencintai wanita
itu,"pikir Allan kembali sambil melepaskan napas
pelan dari mulut. Ia memiringkan tubuh lalu menutup
mata untuk menuju ke alam mimpi.

Sementara Clarissa tengah menyelingkuhi nya,


membiarkan dirinya naked di bawah kuasa pria lain
berjam-jam. Ia bahkan melakukan itu di Penthouse
yang di berikan Allan untuknya.

"Kapan kau meninggalkan Allan?"tanya Klaus sambil


merebahkan tubuh di samping wanita itu. Ia
menatapnya tegas mencari jawaban.

"Sabarlah. Aku masih perlu uang nya, kita bisa


menikmatinya bersama, Klaus."

"Aku cemburu, kau lebih mementingkan pria


itu,"tukas pria tersebut seakan tidak ingin tersaingi.

"Dia akan pergi ke Italia selama dua bulan, kita bebas


melakukan apapun di sini, jika aku lebih
mementingkan nya, maka sekarang aku lebih memilih
tinggal di mansion nya,"balas Clarissa renyah. Ia
mengeluh lalu menaikkan tubuh untuk mencari
sesuatu yang ada di dalam nakas.

"Kau masih merokok?"

"Hanya saat aku bosan!"

"Jadi kau sedang bosan?"tanya Klaus dengan wajah


penuh tanya.

"Aku hanya berpikir, bagaimana jika kita ketahuan.


Aku selingkuh dengan temannya sendiri, rekan
kerjanya."

"Jangan di pikirkan, itu tidak penting. Kemari lah,


buang rokok mu!"perintah Klaus membuat wanita itu
mengangguk lalu menekan sisanya di asbak kaca
yang tersedia di sampingnya.

"Aku mencintai mu, Klaus."Clarissa mendekat, ia


memeluk pria itu erat lalu mendaratkan ciuman di
bibir yang tampak begitu merekah. Mata pria itu biru
terang, menajam ke arahnya.
Chapter 4 : Kiss You

"Jadi, apa kau benar-benar akan berangkat


besok?"tanya Clarissa menatap wajah pria yang kini
ada di hadapannya. Ia merasakan usapan lembut dari
jemari pria tersebut di rambutnya.

"Ya, aku di awasi."

"Kau di perlakukan seperti anak kecil oleh mommy


mu itu, harusnya kau bisa memilih jalan hidupmu
sendiri,"balas Clarissa sambil mengeluh kasar.

"Ini hanya sampai keadaan mommy membaik. Akan


ku pastikan menceraikan gadis itu dan
menyingkirkan nya!"balas Allan tegas. Ia mengulum
bibir mencoba meraih sudut wajah kekasihnya. Allan
menciumnya pelan hingga Clarissa membalas cepat.
Tap!!

"Kenapa?"tanya wanita itu saat Allan mendadak


melepas ciumannya dan menjauh.

"Tidak, aku harusnya menyelesaikan pekerjaan


sebelum berangkat,"Seketika pria itu turun dari
ranjang nya, meninggalkan Clarissa begitu cepat
menuju ruang kantor yang ada di mansion nya.

Pria itu sengaja, melewati kamar Emily yang saat ini


tertutup begitu rapat. Allan berhenti sejenak,
mencoba menoleh ke belakang dan memastikan
bahwa Clarissa tidak mengikutinya hingga saat ini,
lalu membuka pintu kamar itu sesukanya.

"Emily!"panggilnya dengan nada sarkas sambil


memerhatikan ruangan yang tampak kosong, tidak
ada satu tanda pun kehadiran wanita tersebut di
sana.
"Sir, maaf. Nona Emily sudah keluar sejak tadi
pagi,"seseorang maid terdengar mengusiknya, ia
mengerutkan kening dan mencoba mencari tahu.

"Apa? Keluar?"tanya Allan sambil menyilang kan


kedua tangannya di dada. Menatap tanpa berpaling
dari maid tersebut.

"I-iya sir, nona Emily ingin aku menyampaikan pesan


ini padamu!"balas maid itu terbata.

"Sialan! Dia pikir mansion ini—"umpatan Allan


terhenti saat mendengar suara supercars memasuki
halaman nya sayup. Pria itu segera masuk ke kamar
Emily dan mendekati kaca. Ia bisa memerhatikan
jelas halamannya dari tempat itu.

"Terimakasih karena kau sudah menemaniku, Emily.


Akhir-akhir ini cukup sulit."ucap seorang pria
menatap jelas wajah lembut yang di miliki gadis itu.
"Tidak masalah Louis, aku senang bisa membantumu.
Lagipula aku bosan berada di mansion ini,"balas
Emily tampak santai.

"Apa suamimu tidak keberatan? Bagaimanapun kita


pernah menjalin hubungan yang serius,"balas Louis
ekspresif membuat gadis itu tersenyum.

"Aku harap tidak, lagipula kita sekarang menjadi


teman. Ah- bukan sahabat. Lebih baik begitu,"ucap
Emily sambil melempar senyuman berkali-kali. Ia
menarik syal yang membungkus lehernya sedikit
tanpa sadar hingga pria tersebut menyadari sesuatu
hal lainnya setelah luka yang ada di kepala gadis itu.

"Kenapa lehermu?"tanya Louis sambil menarik syal


itu dan mendekat untuk memeriksa Emily.

"Ah tidak ini hanya—"

"Emily.. Apa Allan melakukan sesuatu padamu?"tanya


Louis membuat gadis itu terdiam sejenak.
"Emily!"panggilnya lagi dengan tidak sabar saat mata
gadis tersebut berpindah arah.

"Tidak. Allan tidak melakukan apapun, ini hanya—"

"Emily, jangan membohongiku!"potong Louis dengan


nada cepat. Ia semakin mendekati gadis itu hingga
kedua pandang mata mereka beradu dekat.

"Louis... Aku..."mendadak pria tersebut menciumnya,


merenggut lembut bibirnya yang basah
akibat lip balm. Kejadian itu terlihat jelas di mata
Allan, ia mengepal tangan begitu kuat lalu memutar
tubuhnya sangat cepat. Ia harus segera turun.

"Louis, apa yang kau lakukan!"Emily tersentak, ia


menatap tajam wajah pria tersebut lalu memalingkan
pandangan ke arah lain. Seketika, ia menekan kunci
mobil dan keluar dari tempatnya.

"Emily!!"suara Louis melengking, ia mencoba


memberi penjelasan atas aksinya yang keluar tanpa
sengaja. Emily diam, tidak menghiraukan sedikitpun
panggilan dari pria itu. Ia hanya terus melangkah
menaiki tangga hingga masuk ke dalam mansion
sambil menutup mulutnya.

Saat kakinya melangkah di area living room, Emily


menaikkan mata dan mendadak menghentikan
langkahnya yang terasa begitu berat. Allan berjalan
mendekatinya dengan tangan terkepal.

"A-alan..."

"Dari mana saja kau, pelacur!"bentaknya sarkas


sambil menarik syal yang menggantung di leher gadis
itu.

"Allan aku—"

Brakk!!

Pria itu kembali mendorong nya kebelakang sangat


cepat membuat Emily tidak mampu menahan
tubuhnya sedikitpun. Ia terjatuh ke lantai sangat
cepat dan berguling di atasnya, rasa sakit yang
menghujam di tubuh gadis itu bertambah. Emily
bahkan tidak sanggup mengeluarkan sepatah
katapun untuk mengekpresikan rasa sakit nya.

"Sialan! Kau membuatku muak!"pria itu mengapit


tubuh gadis itu dengan kakinya lalu menarik kembali
tubuh lemah Emily dan melemparkan kembali ke sofa
hingga tubuh gadis itu terpantul di atasnya.

"Allan. Tolong.. Jangan lakukan ini padaku!"pinta


Emily sambil memundurkan tubuhnya. Ia melihat
tubuh kuat Allan pria tersebut mendekat dan
mencoba menarik kedua kakinya.

"Allan sakit!!"Emily merintih saat pria itu menggigit


kuat sudut pahanya hingga berbekas. Ia berteriak
kencang mencoba melepaskan diri.

"Aku tidak akan mengampuni mu kali ini, agar kau


tahu apa status mu sekarang!"tukas Allan lantang.
Seketika ia lupa bahwa Clarissa ada di mansion nya.
Perhatian pria itu bertumpu pada Emily yang kini ia
ciumi dengan kasar. Allan melumat bibir lembut gadis
itu, mengaitkan lidahnya sangat lincah di dalam
mulut Emily tanpa henti.

Seketika gadis itu meremas-remas tiap helai rambut


Allan dengan kedua tangannya. Ciuman Allan terlalu
dalam, sulit untuknya meloloskan diri. Emily
berontak, namun aksi itu semakin membuat Allan
terbakar. Ia gerah!

Emily mendorong kuat tubuh pria itu dan akhirnya ia


melepas tangannya dari kepala Allan. Ia mencari-cari
sesuatu yang ada di dekatnya.

Tap!!

Emily, meraih sesuatu. Hanya sebuah pena dan ia


yakin benda itu cukup untuknya. Emily menelan
saliva, menarik napasnya sekali lalu menancapkan
pena itu di bahu Allan sekuat nya hingga pria itu
langsung mengerang hebat.

"Argghh!!! Bitch!"pekik nya sambil menaikkan tubuh


dan memegang pena yang menancap di tubuh nya.
Emily menendang perut pria tersebut hingga seketika
Allan terjungkal ke belakang. Ia bergerak, berlari dari
tempat itu agar bisa lolos. Emily masuk ke kamarnya
dan mengunci diri di dalam sana, ia ketakutan.
Tubuhnya bergetar hebat akibat hal ini.

_______________________

"Kenapa kau bisa seperti ini?"tanya Clarissa mencoba


menyentuh bahu polos pria itu dengan ujung jarinya.

"Kau harusnya pulang, aku ingin istirahat!"balas Allan


dengan nada mengusir. Ia mengeluh pelan, di otaknya
saat ini hanya ada Emily. Satu-satunya wanita yang
memperlakukan dirinya begitu buruk.

"Hm.. Baiklah.. Aku mencintai mu Allan,"Clarissa


menelan ludah menyadari apa yang ia katakan adalah
suatu kebohongan besar. Ia mengusap rambut lebat
pria itu dan mengecupnya pelan lalu melangkah ke
arah pintu untuk menjauhi pria tersebut.
"Clarissa!"panggil Allan dengan suara lantang saat
wanita itu nyaris menutup pintu kamarnya, ia
berhenti lalu memutar kepalanya kembali.

"Aku benar-benar tidak menyukai Emily, gadis itu


memuakkan. Ia hanya menginginkan harta benda
keluarga ku dan kau adalah wanita yang aku
cintai,"celetuk Allan dengan suaranya yang nyaring.
Clarissa langsung tersenyum simpul, ia mengeratkan
tangannya di pintu lalu melihat Allan melangkah ke
arahnya pelan-pelan.

"Aku tahu, kau tidak pernah memperlakukan ku


begitu buruk."

"Tapi aku suka hal-hal kasar, aku lebih


bergairah,"balas pria itu sambil melekatkan
tatapannya pada wanita itu.

"Allan apa maksud mu?"


"Aku penasaran dengan sesuatu yang sulit aku
dapatkan. Aku ketagihan dengan bibirnya,"pria itu
berbisik kembali membuat kening Clarissa mengerut.

"Allan apa kau—"pria itu menciumnya, mencoba


memastikan.

"Kau tidak ada rasanya,"tukas Allan saat melepas


ciumannya barusan. Singkat dan begitu kosong.

"Aku harus pulang!"Clarissa mendorong tubuh


tersebut. Ia mengepal tangan tanpa tahu apa yang
sedang di bicarakan Allan lalu melangkah sesegera
mungkin untuk menjauh.

Chapter 5 : Amber Eyes


Emily beranjak bangun dari tempat tidurnya,
seseorang mengetuk pelan kamar yang sejak tadi
malam ia kunci rapat. Gadis itu mengeluh pelan,
beranjak menuju pintu sambil memasang pakaian
tipis di tubuhnya.

Ceklek!

Suara pintu kamar terdengar pelan, mata amber gadis


itu menangkap satu pemandangan yang santai. Tidak
ada Allan di sana, hanya seorang maid yang berdiri
tegap menatapnya bulat.

"Nona, seseorang ingin menemui mu. Aku meminta


nya masuk tapi—"

"Siapa?"tanya Emily cepat, ia mengikat kedua simpul


tali yang menggantung di kedua sudut pinggulnya
erat tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun.

"Aku tidak tahu, katanya, ia harus menemui mu


nona!"celetuk wanita itu lagi sambil mengeluh pelan.
Ia takut, bagaimana jika Allan tahu, bahwa seseorang
yang ingin menemui istrinya itu seorang pria. Seluruh
maid tahu, bagaimana kondisi rumah tangga Allan
dan Emily yang tidak sehat. Namun, mereka memilih
bungkam dari pada harus keluar daru mansion
tersebut.

"Baiklah, aku akan menemuinya,"Emily memajukan


tubuhnya, berputar sejenak untuk menutup pintu
kamar lalu melangkah segera. Ia nekat.

Emily melangkah pelan, menuruni 11 anak tangga


untuk sampai ke living room. Sejenak, Emily berhenti
melangkah dan memerhatikan pintu kamar Allan
masih tertutup rapat. Ia penasaran, berharap bisa
kembali ke kamarnya sebelum keberangkatannya ke
Italia hari ini.

"Ah aku harus cepat!"seketika gadis itu kembali


melangkah menuju entrance hall
di mana tamunya menunggu.
"L-Louis. Kenapa kau ke- sini?"tanya Emily dengan
suara terbatas. Ia mengerutkan kening mendorong
pria tersebut lebih jauh sambil menoleh ke dalam
ruangan.

"Emily aku—"pria itu menggantung kalimatnya, ia


mengerutkan kening melihat wajah Emily tampak
memar, sementara leher yang semalam ia tutupi syal
tercetak jelas warna kemerahan yang perlahan
membiru.

"Emily apa yang terjadi dengan mu!"tukas Louis


mencoba menyentuh wajah gadis itu dengan ujung
jarinya.

Tap!!

"Jangan menyentuhku, ini tidak benar!"balasnya


dengan nada kecewa sambil menepis tangan pria
tersebut.

"Emily kau terluka. Kepalamu bocor, wajah mu lebam


dan—"
"Aku hanya jatuh, sudah aku katakan padamu
semalam,"celetuk gadis itu cepat.

"Emily aku bukan orang bodoh, ini luka bekas


pukulan. Lehermu merah! Apa Allan yang
melakukannya?"tudingnya curiga membuat mata
amber Emily berhadapan padanya.

"Louis ini bukan urusanmu."

"Jadi benar! Pria itu memukuli mu?"celetuknya


langsung dengan perasaan kecewa.

"Louis tolong, pergilah! Jangan menambah masalah


ku, aku—"gadis itu menggantung kalimatnya kembali
saat Louis menangkap tangannya dan meremas
begitu kuat.

"Emily. Kau tidak seharusnya hidup seperti ini, aku


bahkan terpaksa melepas mu. Allan tidak bisa
memperlakukan mu seburuk ini."Louis menatap
wajah gadis itu lekat. Sungguh kulit mulus Emily
rusak, tercetak jelas luka dan memar yang di berikan
Allan sejak pertama kali mereka menikah.

"Louis aku—"

"Emily... Dengarkan aku! Jangan jadikan dirimu


tumbal dari amarah seseorang. Pria itu sama sekali
tidak mencintai mu, Allan—"

Brakk!!!!

Tiba-tiba sosok yang tengah mereka bicarakan itu


muncul, ia mengirim satu tinju yang sangat kuat di
wajah Louis begitu keras hingga tubuh kuat pria itu
terpental ke belakang mengenai kursi yang ada
di entrance hall.

"Allan!"pekik Emily saat melihat pria tersebut


menangkap kerah pakaian Louis dan meninju wajah
pria tersebut brutal.

"Brengsek! Beraninya kau datang ke mansion


ku!"Allan menerima perlawanan, Louis mencoba
mendorong nya dan menaikkan lutut ke atas hingga
mengenai punggung pria itu, ia memutar posisi
mereka hingga kini Allan yang berada di bawahnya.

"Kau pengecut! Bisa-bisa kau melukai Emily,"Louis


membalas pukulan Allan tepat mengenai sudut
pelipisnya hingga darah langsung keluar tanpa
kompromi.

"Lepas brengsek!"pria itu menghantam perut Louis,


meninjunya keras hingga pria itu langsung terjatuh
dari tubuhnya. Kesempatan!

Allan bangkit, ia berdiri dan menangkap kerah


pakaian pria tersebut lalu meremasnya begitu kuat.
"Jika kalian ingin selingkuh, jangan lakukan di
mansion ku! Sialan!"

Allan melempar pria itu ke tembok sangat keras, lalu


membenturkan kepala Louis di sana hingga berdarah.
Louis lemah, kepalanya mendadak pusing seketika
akibat benturan kuat itu.
"Allan, berhenti!"Emily mendekat, ia menarik kuat
tubuh Allan, mencoba melerai pertengkaran yang
semakin brutal.

"Minggir kau pelacur!"bentak Allan sambil


mendorong gadis itu begitu kuat hingga Emily
langsung terjatuh.

"Ahhh!!! Sakit!"Emily mendesis hebat saat merasakan


perutnya membentur keras sudut kursi besar yang
terbuat dari rotan.

"Allan!!"panggilnya pelan merasa napasnya


mendadak sesak. Ia memegang perutnya dengan
kedua tangan dan mencoba mengambil napas
sebanyak mungkin.

"Brengsek!"Allan membentur kepala Louis di tembok


sekali lagi hingga pria itu langsung jatuh pingsan. Ia
melepas pautannya dan memutar tubuh untuk
melakukan sesuatu pada Emily.
"Allan... Sakit!"Emily berbisik pelan, ia menatap
penuh harapan tanpa melepas pandangannya
sedikitpun. Emily begitu menderita, ia berguling di
lantai untuk mengurangi rasa sakit yang semakin
terasa begitu menyakitkan.

"Emily...."Allan menelan ludah, ia mendekati gadis itu


dengan suara parau.

"Allan.. Sakit! Tolong!"suara Emily semakin parau, air


matanya jatuh semakin deras. Pria itu langsung
mengangkat tubuhnya, menggendong kuat lalu
membawanya masuk kembali ke dalam mansion.
Sungguh, kali ini Allan tidak bisa mengabaikan
permintaan Emily begitu saja.

"Gina!"Panggilkan dokter sekarang!"suara Allan


melengking tinggi, memanggil salah satu maid
kepercayaan nya sambil merebahkan tubuh Emily di
atas sofa.
"B-baik sir!"wanita itu memutar langkahnya,
menangkap telpon IP yang ada di sudut ruangan dan
segera melakukan perintah.

Allan tidak biasanya, ia khawatir bukan main saat


melihat wajah Emily yang tampak begitu lemas. Gadis
itu meremas perut nya, menutup mata dan masih
berharap rasa sakitnya akan menghilang.

____________________

"Bagaimana?"Allan melipat kedua tangannya,


menatap angkuh dengan rasa khawatir yang tinggi.

"Aku sudah memberinya obat analgetik, jika keluhan


semakin memberat selama beberapa hari, lakukan
pemeriksaan lebih untuk memeriksa organ dalam.
Aku harap ini hanya nyeri yang di timbulkan otot
perut!"jelas dokter wanita yang memiliki rambut
hitam pekat itu sambil mengulum bibirnya, menatap
wajah Emily yang pucat dan luka yang ada di tubuh
gadis itu.
"Baiklah, terimakasih!"jawabnya lembut sambil
berusaha menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku.

"Kapan terakhir kali kau menstruasi?"tanya dokter


itu dengan wajah penasaran.

"Aku baru selesai empat hari lalu,"jawab Emily


dengan suara pelan dan melirik ke arah Allan.

"Apa kau mengkonsumsi pil pencegah


kehamilan?"tanyanya lagi membuat wajah Allan
berubah.

"Ah tidak! Aku tidak pernah melakukan hubungan


intim,"balas Emily membuat dokter tersebut
langsung diam dan sedikit memahami sesuatu yang
tidak beres terjadi di dalam rumah tangga gadis yang
ada di depannya saat ini.

"Maaf, aku hanya ingin memastikan sesuatu. Semoga


semuanya baik-baik saja, ingat! Langsung periksakan
dirimu jika rasa sakitnya tidak berkurang!"dokter itu
tersenyum, ia melihat Allan mendekat dan duduk di
susut sofa di mana Emily masih berbaring tenang.

"Baiklah, aku permisi dulu kalau begitu!"ucapnya


sambil meletakkan beberapa alatnya kembali di
dalam tas kerja yang ia miliki.

"Ya! Aku akan mentransfer uang mu,"balas Allan


datar sambil melihat wanita itu mengangguk paham.

"Makan obat mu dengan benar. Habiskan!"sambung


wanita itu dengan nada penuh perintah, ia berdiri
dan langsung melangkah keluar mansion.

"Aku akan menelpon mommy untuk menunda


keberangkatannya kita ke Italia."

"Tidak! Kau tidak perlu melakukannya!"

"Emily kau sakit,"ucap Allan tanpa ekspresi. Sejak


kapan ia peduli pada gadis itu, terlebih apa yang
sedang di alami Emily itu adalah ulah nya.
"Jika kau melakukan itu, mommy akan curiga. Aku
tidak punya alasan untuk menjelaskan luka-luka ini
padanya."sindir Emily membuat Allan diam. Ia
mengedarkan pandangan, baru menyadari bahwa
perlakuannya sangat tidak bisa di toleransi. Ia
melukai Emily tanpa alasan, tanpa peduli.

"Baiklah,"ucapnya pelan sambil melihat gadis itu


mulai berusaha bangkit dari tempatnya.

"Ahhh!!"Emily mendadak memegang perutnya


kembali, ia nyaris terjatuh dan Allan yang berada
tidak jauh darinya, langsung menangkap kuat tubuh
Emily yang ringan.

"Emily.."Bisik Allan keluar secara spontan. Ia


memeluk gadis itu erat lalu menaikkan pandangan ke
atas hingga pandangan mereka bertemu.

Tap!!

Keduanya sangat dekat, Allan bahkan bisa melihat


berapa indahnya warna mata Amber yang di miliki
gadis itu, berpadu cantik dengan bulu halus yang
menggantung di kelopak mata sayu dan cekungan
bulat. Sempurna!

Allan menurunkan pandangan, mengintip dekat ke


hidung lancip milik Emily dan terhenti di bibir yang
sedikit terbuka. Bibir yang selalu terlihat basah dan
merekah.

"Kita harus berangkat kan?"tanya Emily pelan dengan


nada takut lalu menggigit bibirnya begitu sensual.
Tingkah nya mampu membuat Allan begitu ingin
melumatnya.

"Allan.. Aku belum mandi!"sambung gadis itu polos,


sungguh kalimatnya barusan begitu mengganggu.
Allan melepas pelukannya, sadar dari apa yang baru
saja ia lakukan.

"Cepat! Persiapkan dirimu dalam empat puluh menit.


Kita akan segera berangkat denga private jet
milikku!"ucap Allan dengan suara parau lalu beranjak
menjauh dari gadis itu.
"Allan bagaimana Louis. Sungguh aku tidak—"

"Akan ku bereskan!"potong nya sambil melirik ke


salah satu pengawalnya dan melangkah menjauhi
Emily.

Chapter 6 : Positano

Positano, Italy.
Emily mengedarkan pandangan nya ke tiap tempat.
Meneliti suasana sore, yang baru saja ia injak untuk
pertama kalinya. Anne, tampaknya benar-benar ingin
mereka begitu nyaman. Sungguh, walaupun tempat
ini begitu memukau, Positano merupakan kota kecil
yang hanya di huni 4.000 jiwa.
Emily menoleh keluar jendela kamar hotelnya,
menatap pantai bertebing dan bangunan tinggi khas
Italia.
"Mi scusi per il disturbo, sir!"Emily menoleh ke arah
pintu, memperhatikan Allan tengah bicara serius
bersama salah satu staf hotel, cukup bersitegang
selang beberapa waktu hingga akhirnya Allan
memilih menutup pintu kamar dengan keras.
"Sialan, mereka tidak punya kamar lain untuk
ku,"celetuknya sarkas sambil mengedarkan
pandangan di area kamar luas hotel bintang lima
bernuansa putih dan menyuguhkan pemandangan
penuh Laut Mediterania, Le Sirenuse.
"Lalu bagaimana?"tanya Emily polos.
"Menurutmu? Apa kau ingin aku tidur di luar?"balas
pria itu datar sambil melangkah ke arah balkon
kamar pribadi mereka. Anne,
merencanakan honeymoon mereka sangat hati-hati.
Allan bahkan tidak berpikir serumit ini, sungguh, jika
Anne tidak mengalami masalah dengan jantung nya
seperti ia menolak pernikahan ini pertama kalinya.
Allan dan Emily tidak akan pernah menjalin
hubungan yang begitu serius seperti ini.
Allan melangkah pelan, menuju kursi kayu yang ada
di sudut balkon dan mendudukinya cepat. Emily
memutar tubuh dan menatapnya jelas.
"Aku saja yang tidur di luar, tidak masalah jika kau
keberatan dengan ku!"ucap Emily membuat pria itu
langsung mengangkat kepalanya dan mengarahkan
pandangan begitu tepat pada gadis itu.

"Tidak perlu, Kau bisa tidur di sofa itu!"balasnya


sambil menunjuk ke salah satu kursi aksen yang
bahkan tidak akan bisa menampung seluruh tubuh
Emily. Pria itu menatap tegas, memerhatikan tingkah
Emily sejenak lalu mengulum bibirnya lambat.
Tampaknya ia menyesal karena mengatakan hal itu.
"Ya!"jawab Emily begitu singkat sambil memutar
tubuhnya menuju balkon. Hanya tempat itu yang
membuatnya merasa tenang, begitu menyatu
bersama alam.
"Ini sangat indah!"batin Emily sambil tersenyum
kecil, ia menghela napasnya pelan dan meneliti tiap
daerah yang ada di depan matanya saat ini. Jauh
berbeda dengan New York yang padat akan bangunan
tinggi.
Tiba-tiba Emily menoleh ke belakang saat terdengar
suara pintu terhempas. Allan keluar dari ruangan itu,
mungkin ia mulai gerah saat harus sekamar dengan
gadis tersebut. "Sial, bagaimana bisa aku bertahan
dengannya selama dua bulan!"batin pria itu sambil
mengeluh kasar. Ia menelan ludah lalu mengedarkan
pandangan ke seluruh lorong hotel dan segera
meraih ponsel yang ada di dalam sakunya. Ia
mencoba menelpon seseorang.
"Kau baru bangun?"tanya Allan dengan suaranya
yang datar sambil melirik arloji yang menunjukkan
sekitar pukul 16.05
"Baiklah, kabari aku jika kau sudah
selesai,"sambungnya sambil mengeluh pelan dan
menurunkan panggilan telpon tersebut seketika.
"Clarissa!"pria itu mendadak mengembalikan ponsel
itu ke telinganya, ia mendengar suara serah wanita
tersebut membalasnya begitu cepat.
"Aku...."Allan menelan ludah sejenak, ia meletakkan
tangannya di tembok untuk memberi sandaran untuk
keningnya.
Tap!
Pria tersebut malah mematikan ponselnya dan
mengurungkan niat untuk mengatakan apa yang
sedang ia rasakan saat ini. Semua seakan hilang
begitu saja, terlalu sulit untuk di jabarkan, ia bahkan
tidak memahami apa yang sedang terjadi saat ini.
______________________

Allan menyandarkan tubuhnya di meja bartender,


menatap gelas kecil yang ada di tangannya sambil
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang club
malam. Pandangan sedikit nanar, pelan-pelan
berubah sedikit kabur.
"Gadis itu mungkin sudah tidur, ini sudah lewat tengah
malam,"pikirnya sambil menarik dompet yang ada di
saku belakang dan membayar tagihan minumannya,
lalu melangkah melewati padatnya manusia yang
sesekali mencoba menghantam tubuhnya.
Allan membiarkan tubuhnya terhempas sesekali,
mengabaikan sentuhan lembut dari para wanita-
wanita yang mencoba menggodanya. Sungguh, ia
tidak berselera sama sekali saat ini. Dalam benaknya
hanya satu hal, pulang ke hotel untuk memeriksa
Emily.
Dua puluh menit kemudian, Allan menghentikan
mobil yang ia bawa dari New York dengan private jet
miliknya, tentunya semua sudah mengikuti prosedur
negara yang berlaku.
Pria itu diam sejenak, memukul-mukul setir mobilnya
dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali masuk
ke kamarnya.
"Clarissa tidak akan mengetahuinya,"Allan membatin
sejenak, ia khawatir dengan sesuatu hal. Namun,
tetap saja, pada akhirnya ia melangkah
meninggalkan parking area dan segera melangkah
cepat menuju kamar nya dengan Lift hotel.
Ceklek!!!
Suasana kamar tersebut cukup terang dengan lampu
berwarna orange, Allan lega melihat Emily tertidur
pulas di sofa-nya. Ia melingkarkan tubuh sebisa
mungkin tanpa selimut ataupun bantal. Gadis itu
khawatir, jika mungkin Allan membutuhkannya. Ia
terbiasa tidur dalam kondisi sulit sebelumnya.
"Sial, dia membuatku semakin buruk!"celetuk pria itu
datar sambil melangkah masuk setelah pintu terkunci
rapat dan melepas atasannya begitu saja. Ia
bertelanjang dada.
"Ia benar-benar pulas,"ucapnya sambil berdiri di
depan gadis tersebut. Allan menatapnya tanpa henti
hingga akhirnya satu keluhan keluar dari mulutnya.
Pria itu sadar seutuhnya, walaupun alkohol sudah
cukup berkuasa. Sulit untuknya tumbang hanya
karena Alkohol. "Harusnya, ia tidur di ranjang!"Allan
berpikir, ia melirik ke sudut lain dan kembali ke arah
Emily. Pria tersebut tidak bisa menghiraukan gadis
itu sedikitpun sekarang. Apalagi, soal kondisi Emily
yang tampak tidak terlalu baik.
"Dia tidak akan bangun, aku akan melakukannya
pelan-pelan,"Allan menarik napas lalu
mencondongkan tubuhnya ke bawah hingga kalung
yanf ada di lehernya jatuh nyaris mengenai gadis
tersebut. Beruntung, ia lebih dulu menangkap benda
tersebut.
Emily bergerak pelan, membuat pria itu sedikit
terusik. Namun posisi Emily saat ini tampaknya lebih
memudahkannya. Ia kembali berusaha, menurunkan
tubuh dan menyentuh Emily.
Tap!!
"Ayolah, jangan bangun!"batinnya penuh harap
setelah ia mulai berhasil mengangkat tubuh Emily
yang terasa berat. Ia menelan ludah saat gadis itu
malah melingkarkan kedua tangan di lehernya,
hingga pria tersebut bisa meneliti jelas wajah gadis
itu sangat dekat. Emily begitu tenang dalam
pelukannya.
Allan mulai melangkah, menuju ranjang king size
yang ada di tengah ruangan kamar tersebut, lalu
meletakkan tubuh Emily perlahan.
Namun, sesuatu yang tidak di inginkan terjadi. Allan
tanpa sengaja tersandung karpet tebal yang ada di
sekitar ranjang hingga ia tidak mampu menahan
tubuhnya.
Brakk!!
Emily terpental bersamaan ke atas ranjang hingga
gadis itu langsung membuka kedua bola matanya, ia
membulatkan mata saat memerhatikan wajah Allan
begitu dekat dan nyata.
"A-alan. Apa yang kau—"Emily terdiam, mulutnya
mendadak terbungkam oleh satu ciuman yang cukup
dalam. Gadis itu bernapas lambat, mual saat mencium
aroma alkohol yang semakin penuh di dalam
mulutnya.
"Al—"racau Emily tidak jelas membuat pria tersebut
semakin mudah mengakses bibir dalamnya. Ia
mengerutkan kening saat Allan memegang sudut
wajahnya sambil menaiki tubuh yang bahkan belum
begitu siap.
"Layani aku!"suara Allan terdengar penuh paksaan, ia
menatap penuh klimaks bersama napas yang tampak
begitu memburu.
"Allan aku takut!"
"Layani aku! Perintah sebagai suami mu!"ucapnya
lagi, tidak ingin kalah sedikitpun. Emily diam,
menelan ludahnya yang penuh di dalam
kerongkongan. Namun, belum seutuhnya ia
menjawab, Pria tersebut kembali mencumbunya
lebih dalam.
Gadis itu menekuk kedua kakinya ke atas,
memudahkan Allan untuk menyisipkan tubuhnya di
antara kedua paha Emily yang begitu terekspose
akibat pakaian tidurnya yang tersingkap tinggi.
"Al... Allan.."Emily menggigit bibir saat pria tersebut
menurunkan ciuman di puncak dadanya sambil
melepaskan satu persatu kancing pakaian yang
menggantung di helai gaun tidur tipisnya.

Chapter 7 : Impossible

"Klaus.. Kau mengenal Emily kan?"tanya Clarissa


sambil menatap lugas wajah pria tersebut.

"Tidak terlalu, hanya sekadar tahu.


Kenapa?"balasnya, Klaus mengedarkan pandangan
mendadak menjauhi Clarissa secepat kilat.
"Aku dengar dari Allan, kalau Emily tampak takut
saat melihat mu."

"Hah! Mungkin dia berpikir kalau aku


monsters."Klaus terkekeh tampak ingin mengakhiri
pembicaraan mereka barusan.

"Ayolah Klaus. Aku sedang tidak bercanda! Lagipula


kalau di pikir, alasan Allan membenci Emily cukup
tidak masuk akal,"Clarissa butuh penjelasan. Ia
mencoba memancing pria tersebut sejauh mungkin.

"Memang, apa alasan Allan membenci gadis


itu?"tanyanya sambil menuangkan minuman
beralkohol ke dalam gelas kecil yang ada di
sebelahnya.

"Entahlah, ia hanya mengatakan kalau gadis itu


pelacur. Ia pernah melihat Emily keluar dari hotel
bersama kekasihnya, Louis."

"Kau kenal Louis?"


"Tidak! Aku bahkan tidak penasaran sama sekali
dengan wujud nya."Clarissa mengeluh, ia menggigit
bibir bawahnya mencoba berpikir.

"Apa Allan cemburu terhadap Emily dan—"

"Diam! Allan mencintai ku!"potong Clarissa dengan


suara tegas.

"Jadi, apa kau mencintai Allan?"tanya Klaus membuat


mata kecil itu memicing tegas ke arahnya. Hatinya
berantakan, tidak bisa mengatakan hal yang bahkan
tidak ia pahami.

"Clarissa! Aku sedang bertanya padamu!"Klaus


memandang tegas, membuat wanita itu akhirnya
menoleh ke arah lain.

"Kau tahu jawabannya, Allan membosankan."Clarissa


menelan saliva, ia mengusap lengan polosnya dan
sedikit berbikir.
"Kalau di pikir, Allan dan Emily tumbuh bersama.
Mereka saling kenal dari kecil, tapi, kenapa hanya
Emily yang menjadi sasaran kebencian pria itu,
Catherine bahkan tampak berhubungan baik dengan
Allan."pikir Clarissa mulai merasakan kecurigaan
yang sedikit membuatnya terketuk.

"Tidak mungkin, Allan tidak mungkin menyukai gadis


polos itu— Emily, hanya gadis bodoh yang bahkan
tidak memiliki pendidikan. Gadis itu tidak
berkelas,"batinnya terlihat lama, Clarissa
mengerutkan kening tampak berpikir keras.

"Bagaimana jika Allan diam-diam meniduri Emily dan


gadis itu hamil?"tukas Klaus membuat wanita
tersebut langsung menoleh dan membuyarkan
lamunan panjang nya.

"Apa maksud mu, Klaus?"

"Semua, bisa saja terjadi. Ayolah! Allan pria normal.


Emily tidak buruk. Siapapun bisa tergoda dengan
gadis lugu itu,"tekan Klaus membuat Clarissa
semakin berpikir panjang.

"Tidak, Allan tidak mungkin melakukannya. Aku


sudah memperingati—"

"Apa dia perlu izinmu untuk meniduri gadis itu?


Ingat! Emily istri sah-nya dan posisi mu sekarang
hanya sebagai selingkuhan!"

"Klaus! Aku lebih dulu menjadi bagian hidup Allan,


hubungan ini sudah terjadi sejak tiga tahun."

"Nyatanya ia lebih memilih Emily, jika ia mau, Allan


punya ribuan cara untuk menolak perjodohan ini.
Tapi nyatanya? Dia menikahi Emily."

"Diamlah Klaus. Kau mempengaruhi ku hanya agar


aku dan Allan putus. Jangan terlalu berharap, kau
tahu aku—"

"Kau mencintai Allan. Bukan hanya hartanya!"


"Cih! Itu hanya pikiran mu, Klaus."cebik wanita itu
mencoba untuk menghindar. Ia beranjak dari
tempatnya, melewati pria itu sebisa mungkin.

"Kau mau kemana?"tanya Klaus menangkap lengan


wanita itu tepat.

"Mandi!"Clarissa melepas pegangannya, melanjutkan


langkah yang sempat tertunda dan segera masuk ke
dalam kamar mandi.

Clarissa menekan shower, merasakan guyuran air


hangat menyentuh kulit gelapnya cepat. Ia menelan
saliva, berusaha menutup matanya rapat.

"Aku tidak pernah memikirkan itu selama ini, Klaus


benar! Bagaimana jika Allan meninggalkan ku karena
Emily. Ayolah Clarissa, kau bahkan tidak tahu apa
yang sedang di lakukan kekasih mu bersama istri sah
nya, aku menjadi selingkuhan nya, aku di posisi
salah!"batin Clarissa semakin merasakan dadanya
sesak.
"Tidak bisa! Aku harus bergerak sebelum semuanya
terjadi. Aku harus menyusul Allan. Harusnya aku lebih
memilih ikut dari pada harus sibuk dengan pria bodoh
itu."Clarissa berterkat. Ia mengepal tangannya kuat,
merasakan tubuhnya semakin hangat lalu sambil
memikirkan begitu banyak pertanyaan yang ada di
benak nya saat ini.

___________________

Sementara Allan malah mencumbu Emily semakin


dalam. Ia melepaskan satu persatu kancing pakaian
gadis itu pelan hingga Emily merasa begitu terdesak.
Ia menekan ujung kakinya ke ranjang begitu kuat,
merasakan sentuhan yang tidak pernah ia rasakan
selama ini, begitu menuntut.

"Ahhhh,"leguhan dari mulut Emily terdengar serak


ketika Allan menciumi lehernya, menggigit kecil
bagian yang masih merah akibat perlakuan pria itu
sendiri.
Allan menarik kaitan bra gadis itu, menekannya kuat
hingga terlepas dan langsung menyerang dada Emily
yang tampak begitu membusung, sambil menekan
kuat area perut gadis itu.

"Ahhh! Allan... Sakit!"Emily memekik. Ia mendorong


tubuh pria itu saat serangannya cukup
intens. Nipple nya yang mengacung tinggi merah
akibat gigitan pria itu.

"Tenanglah Emily, belum seberapa"bisik pria itu


terdengar penuh ancaman, ia mengusap sudut wajah
cantik Emily dan menyusuri luka yang ada di sana,
lalu menurunkan pelan-pelan gaun tidur itu hingga
terlepas dari sarangnya, termasuk bra yang
membuatnya begitu terganggu.

Emily memasang wajah merah, ia menutupi tubuhnya


dengan kedua tangan dan mencoba merapatkan
kedua kaki di mana Allan ada di antara pahanya.

"Emily... Apa kau benar-benar tidak pernah


melakukannya?"tanya Allan mencoba mencari tahu,
membuat wajah Emily semakin merah padam.
Ia mengangguk lemah, lalu memalingkan pandangan
ke arah lain.

Allan tersenyum tipis, ia kembali mengusap lembut


wajah Emily dan mengedarkan pandangan nya
lambat. "Aku ingin melihatnya!"

"Allan.. Aku—"suara Emily langsung hilang saat pria


itu menekan ibu jarinya di bibir yang tampak
menganga.

"Kau... Milikku!"tukasnya membuat dada Emily


langsung naik turun begitu cepat. Ya Tuhan, sungguh
Allan sangat tampan, lekukan wajah gaharnya begitu
tegas beradu dengan alis tebal dan warna mata
terang nya yang indah.

Seketika, tatapan pria itu membuat perut Emily ingin


meledak. Pikirannya melayang-layang entah kemana,
andai, pria itu bisa memperlakukannya begitu baik.
Begitu lembut, maka Emily akan mencintainya
sepenuh hati.
Beberapa detik selanjutnya pria itu menekan kembali
ciumannya di area bibir, turun ke leher yang sengaja
Emily dongakkan untuknya. Membiarkan pria itu
menikmati setiap celah anggota tubuh sensitifnya
hingga sampai ke bagian inti.

"Allan.."panggilnya ringkih saat pria itu mulai


menuruni helai terakhir yang ada di tubuhnya.
"Lepaskan Emily,"pintanya lagi membuat gadis itu
begitu menurut. Ia kembali merenggangkan kakinya
dan merasakan Allan mengusap pahanya sambil
melepaskan underwear tersebut.

Ia sungguh malu, gadis itu menutup mulutnya dengan


satu tangan sambil memalingkan pandangan nya ke
kanan. Sungguh semua perlakuan Allan spesial. Ia
tidak pernah merasa begitu bebas seperti ini
sebelumnya.

"Ahh!"Emily mendesah berat, ingin sekali ia


menenggelamkan diri di dasar ranjang yang tengah
membuat tubuhnya terasa begitu nyaman, Allan
mencium bagian intinya. Memainkan dirinya semakin
tegas.

Tanpa di sadari, Allan ikut mencoba menuruni


bawahannya. Ia semakin rakus, ingin meracuni tubuh
gadis itu dengan anggota tubuhnya. Tanpa
penghalang apapun seperti biasa.

"Hmm. Fuck! Aku ingin memasuki mu Emily!! Suara


pria itu tegas, membuat gadis itu menegang
mendadak. Ia mendapatkan serangan cepat, Allan
kembali menindihnya, menciumnya dengan buas
hingga Emily berani memegang bahu pria itu untuk
bertahan.

Tap!

Allan menurunkan tangannya. Mensejajarkan kedua


anggota tubuh itu di ranjang hingga pria itu bisa
melihat tegas, bagaimana khawatirnya Emily di
tengah klimaksnya.
Allan bersiap, ia menangkap wajah gadis itu tanpa
lepas sambil memegang miliknya dan menuntun
masuk.

"Uuh Allan.. Allan.. Sakit!"Emily sesak. Ia mengangkat


tubuhnya untuk menghindar saat sadar sesuatu yang
sangat kuat mendesak-desak tubuhnya. Namun, pria
itu menekan pinggulnya dan langsung mendorong
masuk dirinya dalam sekali sentak.

Emily menutup mata begitu rapat, milik pria itu


seakan merobek-robek tubuhnya yang begitu haus.
Rasanya cukup perih, namun ia ingin bertahan
sejenak. Percuma baginya menghindar, Allan
mendapatkannya, Allan memilikinya jauh.

Emily semakin frustasi saat pria itu mulai bergerak


bebas, merebut hartanya dengan mudah tanpa
penolakan. Ayolah, apa yang bisa di pikirkan Emily
saat ini? Menolak hanya satu jalan menyesatkan.
Sungguh rasanya mulai berubah, ia menggigit bibir
saat Allan memujinya dengan suara parau. Emily
tidak ingin berbohong, ini sangat nikmat.
Gadis itu mulai mengerang, merasakan gerakan Allan
semakin cepat. Mereka bertatapan sejenak, begitu
sadar dengan aktifitas yang tengah mereka lakukan.
Sialan! Gadis ini begitu berbahaya untuk Allan. Pria
itu bahkan tidak ingin berpaling sedikitpun ke arah
lain barang sedetikpun.

Tingkah Emily yang polos membuatnya gemas


setengah mati, ia ingin lebih lama, lebih banyak dari
hal ini. "Fuck!"Allan memaki kenikmatan yang tengah
ia raih. Milik gadis itu membungkus dirinya sangat
ketat dan berhasil membuatnya lupa diri.

Empat puluh menit kemudian, Allan merasa begitu


ingin meledak. Ia menajamkan pandangan,
memegang kedua payudara gadis itu dan
meremasnya kuat hingga Emily menjerit kesakitan
akibat hal itu.

"Damn it!"gadis itu terlihat sexy, hingga ia


menurunkan pegangan di pinggul gadis itu dan
mendesaknya sangat cepat. Ia mendongak tinggi saat
mendengar suara Emily yang begitu parau.
"Arggg shit!"Allan mendorong dalam miliknya,
menekan jauh ke ruang gadis itu tanpa
melepaskannya sedikitpun hingga habis.

_______________

Pagi-pagi sekali, Allan mendengar ponselnya


berbunyi. Ia membuka mata dengan perasaan ragu
dan terpaksa beranjak dari ranjang tersebut. Ia
mengusap wajah, memerhatikan tiap ruangan kosong
tanpa Emily. Entah, di mana gadis itu sekarang.

Allan mengedarkan pandangan, mencari ponselnya


yang tanpak tercecer di lantai. Ia melihat nama
Clarissa terpampang di layar ponselnya jelas. Untuk
pertama kali nya ia begitu malas untuk mengangkat
panggilan itu.

"Allan... Kau baru bangun? Aku menelpon mu puluhan


kali!"

"Hm! Aku letih!"jawabnya santai sambil memijat


keningnya. Bagaimana tidak, Semalaman Ia
menggempur Emily beberapa kali hingga gadis itu
benar-benar kewalahan menghadapinya.

"Letih? Apa yang kau lakukan?"tanya Clarissa sarkas.

"Ayolah Clarissa. Aku ngantuk! Katakan apa yang


ingin kau—"

"Aku sedang di jalan, menuju Positano, kau menginap


di mana?"

"Apa?"tanya Allan mendadak tegang. Ia berdiri lalu


mengedarkan seluruh pandangan ke tiap tempat yang
berantakan. Emily tampaknya tidak berani
menyentuh apapun miliknya.

"Kenapa kau kaget? Aku mau ke Positano, mungkin


enam jam lagi sampai, kau bisa jemput aku?"tanya
Clarissa membuat pria itu menelan ludah.

"Hm.. Baiklah!"
"Bantu aku untuk memesan kamar, Klaus juga ikut
untuk menemaniku."

"Klaus?"tanya Allan sambil mengerutkan kening.

"Ya, ia ingin ikut saat mendengarku ingin


menyusulmu, lagi pula aku jadi punya teman
sepanjang perjalanan,"tukas Clarissa mencoba untuk
tidak menimbulkan kecurigaan.

"Hm.."balas Allan datar.

"Aku mencintai mu, Allan...."

Tap!!

Pria itu mematikan sambungan telponnya. Ia


menelan ludah, memikirkan masalah yang mungkin
muncul di permukaan. Allan harus bergerak,
berharap hotel ini punya kamar untuknya. Ia tidak
mungkin mengatakan pada Clarissa jika malam tadi ia
dan Emily sekamar. Wanita itu akan curiga.
Allan kembali mengusap rambutnya yang panjang,
beranjak dari tempatnya dan menuju wastafel untuk
membasuh wajahnya yang tampak begitu
berantakan.

Chapter 8 : Resistance

Emily mengusap lengannya lembut, mengeratkan


kain panjang yang menutupi tubuhnya. Ia menatap
nanar, memikirkan banyak hal. Gadis itu berdiri tegas
di pembatas restauran hotel yang menampilkan
pemandangan menakjubkan, dari tebing tinggi.

"Kau milikku, Emily,"gadis itu mengingat jelas


beberapa kalimat yang di ungkit Allan saat
mengambil seluruh hidupnya. Pria itu berhasil
memorak-porandakan hatinya sangat dalam.

Hembusan napas kasar dari mulut Emily terdengar


lirih, ia takut berharap. Takut jika pria itu hanya
memanfaatkannya, Allan bukan tipe pria yang mudah
luluh.

"Ah.. Aku harus kembali ke kamar,"gumamnya sambil


memutar haluan tubuh begitu cepat dan tanpa
sengaja menabrak seseorang yang berpapasan lewat
di belakangnya.

Pranggg!!!

Seluruh makanan dan minuman yang ada di dalam


tray jatuh, tumpah berserakan di lantai.

"Ahh.. Ma... Maaf.. Aku.... Aku tidak sengaja,"Emily


panik, ia mengambil sebuah sapu tangan yang ada di
tanah dan membatu pria asing tersebut
membersihkan pakaiannya yang terkena tumpahan.

"Maaf.. Aku benar-benar tidak sengaja


melakukannya,"tukas Emily mencoba mengelap
bagian lengan pakaian yang tampak basah.

Tap!
Pria tersebut menoleh, menatapnya dengan
pandangan datar sambil mengelap lengannya cepat.
"Ya. Tidak masalah. Aku bisa atasi ini!"

Emily merutuk dirinya yang ceroboh, menatap penuh


kekhawatiran ke arah pria itu. Tatapan nya santai,
namun tampaknya ia tidak suka akan hal tersebut.

"Aku akan membersihkan pakaian mu,"celetuk Emily


spontan. Namun, reaksi pria tersebut berubah. Ia
tersenyum ramah lalu melirik ke arah pelayan untuk
membantunya membersihkan kekacauan yang
sedang terjadi.

"Tidak perlu, aku bisa memasukkan nya ke


loundri,"balas pria itu sambil melepas kemeja yang
menggantung di tubuhnya, menyisakan kaos tipis
berwarna dark grey. Ia tersenyum, menggulung
pakaian kotornya lalu melihat jelas Emily yang salah
tingkah.
"Kau menginap di sini?"tanya pria asing itu ramah, ia
melirik ke salah satu pegawai restaurant yang
mendekat lalu memberikan kemeja kotornya.

"Ya! Aku keluar untuk mengambil makanan ku,"balas


Emily singkat. Ia menelan ludah, takut jika masalah
akan terjadi. Tuhan! Apa yang akan ia katakan pada
Allan. Pria itu pasti tidak suka dengan masalah yang
ia timbulkan.

"Sudah ambil?"tanyanya lagi.

"Sudah. Sejak tadi. Hm— sekali lagi maaf. Aku tidak


tahu kau—"

"Sudah ku katakan, tidak masalah. Itu hanya perkara


kecil."potong pria itu sambil melirik arloji mahal yang
ada di pergelangan tangan kanannya.

"Syukurlah,"batin Emily sambil mengangguk pelan.


Takut untuk banyak bicara dengan pria yang tidak ia
kenal. Allan sempat memperingati nya, untuk tidak
mendekati atau berkomunikasi intents dengan pria
yang ada di sekitar sini.

"Hm. Baik lah. Kalau begitu aku harus kembali ke


kamar,"tukas Emily membuat pria tersebut kembali
mengarahkan pandangannya.

"Tidak minum dulu? Aku butuh teman. Hm— maksud


ku kau tampaknya kesepian!"balas pria itu santai.

"Hm... Sepertinya tidak bisa, aku bersama—"

"Sepuluh menit, kita minum bersama. Anggap saja ini


sebagai tebusan karena kau mengacaukan
sarapanku,"potong pria itu dengan suara tegas. Emily
ragu, ia menggigit bibirnya kuat. Takut jika Allan
mengetahuinya.

"Hanya sepuluh menit kan?"tanya Emily tampak


keberatan.

"Ya! Bisa lebih jika kau mau!"balas pria itu sambil


tersenyum membuat Emily mengikuti tingkahnya.
Jujur saja, pria tersebut terdengar ramah, ia tampak
bisa di andalkan menjadi teman.

"Baiklah."

Pria asing tersebut tersenyum mendengarnya, ia


melangkah dan menuju meja khusus yang ada di
pinggir tebing.

"Siapa namamu?"tanya pria itu datar sambil menarik


kursi kayu pernis untuk Emily.

"Emily.... Emily kate!"balasnya dengan suara pelan.

"Nama yang bagus. Aku Gabriel Schlatter, pemilik


hotel ini!"

Deg!!!
Gadis itu langsung mnegerutkan kening, ia menatap
dengan wajah tegas ke arah pria santai dan muda itu.
"Apa?"

"Kau terkejut? Aku sudah biasa menerima respon


itu,"balasnya santai lalu melihat seorang pelayan
datang dengan begitu hormat.

"Bawakan aku makanan terbaik yang ada di


restauran kita."

"Aku sudah makan,"celetuk Emily datar.

"Aku belum!"balas pria itu membuat Emily mati kutu


seketika. Pelayan itu meliriknya, mengecam dengan
pandangan tajam sambil memberikan menu.

"Aku tidak ingin pesan apapun!"tolak Emily, ia sadar


diri. Sungguh, gadis itu tidak punya uang sepeserpun
sekarang. Ia makan di restauran dengan kupon hotel.

"Maraschino satu!"celetuk Gabriel tegas sambil


menatap ke arah Emily yang langsung diam.
"Gratis untukmu!"sambung pria tersebut membuat
pelayan itu langsung mengangguk dan beranjak
pergi.

"Hm.. Aku tidak—"

"Setidaknya minumlah, free!"pinta Gabriel membuat


gadis itu terdiam dan menelan ludahnya.

"Gadis itu terlihat sedang memiliki banyak masalah,


wajahnya membiru dan beberapa luka tampak
membekas di kulitnya, apa yang terjadi?"pikir Gabriel
begitu tajam memerhatikan Emily.

"Kau sudah mengelilingi Positano?"tanya Gabriel


mencoba basa-basi. Emily menggeleng, lantas pria itu
langsung tersenyum tipis.

"Positano, kota paling terkenal di Amalfi Coast.


Banyak bangunan dan menara bersejarah kuno yang
akan membuat mu takjub, ya walaupun kau akan
keletihan karena melewati ribuan tangga."
"Ya! Aku bahkan lelah menaiki hotel ini,"celetuk
Emily tampak mulai bersahabat. Ia meletakkan
ponsel di sudut kanannya dan kembali fokus pada
Gabriel.

"Itu ciri khas kota Positano, setiap bangunan seperti


menempel di bukit curam dengan cat pastel yang
serasi. Kau suka kan?"tanya pria itu dan melihat
Emily tersenyum.

Beberapa menit mereka mulai dekat, hingga pelayan


datang mengantarkan pesanan dan masih saja
keduanya terus berbincang. Emily mulai membuka
diri, ia bahkan sesekali tertawa lebar. Gabriel begitu
paham, tidak ada satupun pertanyaan yang menjurus
soal kehidupan pribadi hingga Emily merasa begitu
nyaman dalam tiap menit yang terus berlalu.

"Ya Tuhan, ini sudah lebih dari sepuluh menit. Gab,


maaf aku harus pergi."Emily tampak khawatir, ia
menaikkan tubuhnya dengan cepat dan langsung
menjauhi pria itu tanpa menunggu sepatah katapun.
"Emily!!"sentak pria itu dengan suara lantang,
ponselnya tertinggal. Gabriel harus mengembalikan
benda itu pada pemiliknya.

Namun sayang, Emily tidak menghiraukan dan tetap


fokus pada langkahnya yang kian jauh dari pria
tersebut.

Emily membuka pintu kamarnya dan langsung


menghentikan langkah. Ia menelan ludah saat melihat
seorang pria berdiri menatapnya dengan tegas lalu
memiringkan senyuman.

"Luar biasa. Apa yang kau dapatkan dengan


menggoda pria asing yang ada di kota ini Emily? Sial
— kau bahkan mengabaikan kehadiran ku,"ucap pria
itu dengan suara serak.

"Allan bukan begitu, aku—"

"Clarissa akan datang siang ini, Jangan coba-coba


mengatakan apapun padanya atas apa yang terjadi
tadi malam! Karena bagaimanapun, itu tidak ada
artinya untukku!"potong Allan parau membuat hati
Emily terluka. Sungguh, ia tahu akan begini jadinya.

"Kau dengar?"bentak pria itu garang saat tidak


mendapatkan respon sedikitpun dari Emily.

Gadis itu tetap diam, ia mengepal tangan lalu


melangkah perlahan hingga menyisakan jarak kurang
dari satu meter. Sangat dekat.

Plakkk!!

Emily menampar wajah Allan dengan sangat keras,


hingga wajah nya langsung berpaling ke sisi kiri
sangat cepat. Seketika pria tersebut mengeratkan
tangan dan menatap kembali wajah Emily yang
penuh amarah.

"Jangan pikir, kau adalah segalanya hingga bisa


merendahkan ku tanpa alasan? Aku tidak pernah
meminta pernikahan ini, dan kau adalah pria munafik
yang baru saja meniduri ku berulang-ulang! Kenapa?
Kau suka tubuh ku? Hah?"tanya Emily lantang tanpa
memikirkan apa yang bisa di lakukan pria tersebut.

"Kau—"

"Jika iya, kau bisa melakukannya berulang-ulang. Aku


pelacurmu kan? Kalau begitu bayar aku! Aku akan
melayani mu!"sebuah kalimat tegas yang keluar dari
mulut Emily membuat Allan terdiam. Ia menatap tipis
ke arah gadis itu.

Emily bergerak, ia melepaskan resleting belakang


yang ada di punggungnya. Seketika kain yang
membungkus tubuhnya jatuh dan terlepas ke lantai.
Ia menahan tangis sambil melepas kaitan bra putih
yang membungkus dadanya.

"Emily.."tukas Allan, ia mengepal tinju begitu kuat


menyaksikan Emily menelanjangi dirinya sendiri.

"Ayo. Masuki aku! Bersenang-senanglah sebelum


kekasih mu datang!"Emily merebahkan tubuhnya
yang naked di atas ranjang, ia bertingkah layaknya
wanita murahan sambil membuka lebah kedua
pahanya.

"Ayolah! Aku tahu kau menginginkan ini Allan."Emily


menutup mata, menunggu pria itu mendekat.

Allan memijat kepalanya kuat-kuat lalu menahan


napasnya dalam. "Brengsek!"
Seketika, pria itu menurunkan bawahannya dan
mendekati Emily yang berhasil menggodanya.

Tap!!

Emily menaikkan kepalanya tinggi-tinggi. Tubuhnya


mendadak melengkung saat merasakan pria itu
memasukinya, mendorong miliknya tangguh lebih
dari yang ia pikirkan. Gadis itu menggigit bibirnya
sambil mengerang hebat seperti penilaian yang di
sematkan Allan padanya. Emily meringis, ia menyeka
air mata sesekali tanpa menoleh sedikitpun ke arah
pria tersebut. Hingga pada batas waktu yang cukup
lama, Allan menenggelamkan semuanya di dalam
tubuh Emily.
Chapter 9 : Bar Outdor

"Bagaimana? Di angkat?"tanya Klaus saat melihat


Clarissa sibuk dengan ponselnya sejak mereka
sampai.

Wanita itu menggeleng membuat Klaus langsung


tersenyum tipis. "Kau sudah di buang."

"Diam Klaus, sebelum ku robek mulutmu!"celetuknya


kesal lalu mengedarkan pandangan matanya ke tiap
tempat. Wanita itu menarik handphone nya kembali,
dan tampak mengetik pesan panjang.

Tap!!

Jarinya terhenti, Allan mengirim pesan membuat


wanita itu langsung membukanya.

"Aku sudah memesan taksi hotel untuk mu, ikuti saja


dia. Aku sibuk!"
"Brengsek! Apa....."Clarissa meremas ponselnya kuat,
ia menatap sekitar dan menerima hinaan kembali
dari Klaus yang selalu menjadi pemanas ruangan nya.

"Kenapa? Apa yang aku katakan terbukti


kan?"sambung Klaus sesuai dugaan.

"Diam!"balas Clarissa dengan nada kasar, lalu


melipat kedua tangannya lekat.

"Baiklah. Sepertinya Klaus benar, jika aku tidak hati-


hati. Emily pasti akan merebut Allan dariku, tidak! Aku
harus merusak citra gadis sialan itu. Allan
milikku!"Clarissa membatin, ia mendongak tinggi
sambil mengedarkan pandangan tegas memerhatikan
tiap orang yang ada di depannya. Menunggu kapan
taksi pesanan itu datang.

Klaus menggodanya, membuat suasana semakin


panas di tiap detik. Clarissa selalu punya cara, ia tidak
akan melepaskan Allan begitu saja. Pria itu mesin
pencetak uang nya, harus menjadi prioritas.
Sementara Gabriel, mengusap pelan layar ponsel
Emily yang tidak di proteksi. Ia lancang memeriksa
ponsel gadis itu bahkan mengirim beberapa foto ke
ponsel miliknya. Ia tahu, ini tindakan salah. Tapi
Emily, berhasil membuatnya begitu berpikir.

"Di sini, dia terlihat cantik, polos dan begitu bahagia


berbeda dengan apa yang aku lihat tadi. Aku
penasaran"tukas Gabriel tidak berhenti menatap tiap
foto Emily.

Gabriel mengeluh, pria tersebut mencoba mencari


info lebih banyak. Namun, sepertinya Emily lebih
tertutup dari apa yang ia pikirkan. Gadis itu tidak
memiliki satupun media social, bahkan Emily hanya
menyimpan tiga nomor kontak, Louis, Ibunya dan
Anne.

"Siapa Louis?"pikir Gabriel melayang-layang dan


kembali mencari sosok itu dalam galeri ponsel,
hingga akhirnya ia putus asa karena tidak berhasil
menemukan satu fotopun yang menuju pada pria
tersebut. Emily hanya menyimpan beberapa fotonya
dan binatang seperti kucing dan anjing.

"Nanti malam, aku harus mengembalikan ponsel ini,


Emily pasti mencarinya!" Gabriel mematikan ponsel
itu, meletakkan di saku dan kembali fokus terhadap
berkas-berkas menumpuk yang ada di depannya.

Mudah saja, untuknya menemukan Emily kembali


selama ia masih di hotel tersebut. Receptionist pasti
akan membantunya. Ya— setidaknya ini bisa menjadi
alasan agar ia bisa bertemu dengan Emily kembali.

"Ah! Harusnya aku juga menyimpan nomor


Emily,"seketika pria itu mengambil kembali ponsel
milik gadis itu dan menekan nomornya di layar
dengan cepat.

Tringgg!!

Gabriel tersenyum saat melihat sebuah panggilan


masuk di layar ponselnya. Ia menyimpan nomor
Emily dan tampak menunjukkan sikap begitu tenang.
_______________________

Beberapa jam berlalu cepat, saat ini waktu


menunjukkan hampir pukul delapan malam dan Allan
berada di kamar Clarissa. Memeluk wanita itu erat.

"Kau tidur di sini kan?"tanyanya parau sambil


mengusap helai rambut pria itu.

"Hm!"balas Allan datar sambil membenarkan


tubuhnya dan mencari posisi se-nyaman mungkin.

"Allan.. Kau mencintai ku kan?"tanya Clarissa


membuat mata terang pria tersebut bergerak. Mereka
bertatapan sejenak sepersekian detik.

"Yah! Aku mencintai mu, Cla."Allan mengeluh dan


kembali mengeratkan pelukan yang semakin erat. Ia
tampak begitu meyakinkan, mantap dengan
jawabannya.
"Aku merindukan mu,"wanita tersebut mendadak
menciumnya, menggoda semampunya seperti biasa
yang bisa ia lakukan.

Allan meremas kuat pinggul wanita tersebut dan


menurunkan nya sedikit hingga tubuh mereka sejajar.
Ia membalas ciuman Clarissa yang semakin liar.

Tap!!

"Allan kenapa?"Clarissa mengusap bibirnya saat Allan


melepas ciumannya yang begitu bergairah.

"Aku gerah!"balasnya sambil melepaskan satu


kancing pakaiannya dan beranjak dari ranjang. Ia
mengambil sebuah kotak rokok dan meneliti isi di
dalamnya.

"Berhenti lah merokok, aku tidak suka!"tegur Allan


sambil mengambil satu di antaranya lalu membakar
benda tersebut.
"Aku belum bisa!"Clarissa ikut berdiri dan mendekati
Allan yang melangkah pelan menuju balkon kamar
tersebut.

"Berubahlah, Emily tidak pernah—"

"Kau membandingkan ku dengan pelacur itu?"potong


wanita tersebut sarkas.

"Clarissa, aku tidak membandingkan mu tapi kau


harusnya berubah, sampai kapan—"

"Apa kau tidur dengan istri mu itu, Allan?"lagi,


Clarissa memotong ucapannya membuat Allan
langsung diam dan memalingkan pandangan.

"Jawab aku!"

"Tidak! Aku sudah katakan! Aku tidak menidurinya


dan tidak akan pernah melakukan hal itu!"Allan
menjawab tegas, ia penuh kepalsuan dan langsung
menghisap ujung rokoknya.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mau melakukannya
denganku?"tanya wanita itu lagi penasaran.

"Aku letih, Clarissa sudahlah. Aku bosan


membicarakan sesuatu yang tidak penting.
Istirahatlah, aku akan membeli minuman!"terang
Allan sambil memutar tubuhnya dan meraih kaos
yang tergeletak di atas sofa dan segera memakaikan
benda tersebut ke tubuhnya.

Clarissa menatapnya kesal, ia menoleh ke arah balkon


kembali sambil memegang kuat besi-besi pembatas
hingga mendengar suara pintu kamar tersebut
tertutup.

_______________

Emily baru saja keluar dari kamarnya, perutnya


terasa perih. Ia terpaksa menggunakan uang yang di
berikan Allan. Terhina memang rasanya, namun,
Emily tidak ingin mati kelaparan hari ini.
"Ambil uang mu dan ingat hanya aku yang bisa
memasuki mu!"

Emily meletakkan kedua tangannya di dada,


mengingat bagaimana pria itu memperlakukannya. Ia
benar-benar di gunakan layaknya wanita murahan,
tidak berkelas. Gadis itu hancur.

"Emily..."mendadak, suara yang begitu tegas


terdengar tepat di sampingnya. Ia menoleh segera.

"Gabriel kenapa kau—"

"Aku baru saja ingin ke kamarmu!"celetuk pria itu


membuat kening gadis itu mengerut.

"Ke.. Kamarku?"balas Emily terbata-bata.

"Bukan begitu, maksud ku ini— aku ingin


mengembalikan ponselmu!"Gabriel mengeluarkan
sesuatu dari dalam saku celana denim nya dan segera
mengarahkan benda tersebut pada Emily.
"Ah! Beruntunglah benda ini ketemu. Aku mencarinya
seharian!"

"Aku memanggilmu tadi, tapi kau mengabaikan ku!"

"Maaf. Aku benar-benar tidak tahu. Syukurlah, kau


yang menyimpan ini."Emily mengusap lembut
ponselnya lalu memeriksa sejenak.

"Kau mau kemana?"tanya Gabriel sambil melempar


senyuman.

"Aku lapar, apa restaurant hotel buka?"tanya Emily


dengan suara sedikit lemah.

"Ah ini sudah melewati batas, bagaimana kalau kita


makan di bar luar?"tawar Gabriel membuat wajah
gadis itu berubah. Ia benar-benar ragu, namun rasa
lapar menyerangnya semakin dalam.

"Ayolah, kau juga bisa melihat hiburan


malam,"Gabriel menarik jemarinya, memegang
lembut namun penuh paksaan. Baiklah, Emily tidak
akan menolaknya. Ini masih dalam batas wajar.
Keduanya melangkah pelan, menuju bar outdor yang
menjadi sasaran utama untuk tamu malam.

Setibanya, Emily langsung mengambil tempat di


pinggir kolam besar di mana seorang bartender
meracik minuman mereka untuk para tamu.

"Kau mau makan apa?"tanya Gabriel sangat dekat,


mencoba mengalahkan suara alunan music.

"Terserah saja!"balas Emily dengan suara lantang


sambil tertawa cukup lebar.

"Tunggu di sini!"balas pria itu sambil memutar


haluan tubuhnya. Gabriel ingin memperlakukan gadis
itu spesial, tidak peduli apa pangkatnya saat ini, yang
jelas muncul ketertarikan besar untuk gadis tersebut.

Brakk!!!
Allan mendadak mengebrak meja Emily, membuat
mata gadis itu langsung bulat menatapnya. "Rupanya,
kau tuli Emily!"tegur Allan sarkas.

"Aku hanya ingin makan!"balasnya dengan suara


yang cukup tegas.

"Apa kau tidak bisa minta bantuan ku hanya untuk


makan?"tanya pria itu sambil mendekatkan diri
hingga tubuh keduanya begitu lengket.

"Allan aku—"

"Masuk ke kamar mu!"

"Aku lapar!"

"Masuk ke kamar mu atau aku akan melakukan


sesuatu yang memalukan!"ancam Allan tidak ingin
kalah. Ia memegang lengan Emily dan menarik nya
paksa hingga tubuh kecil gadis itu hampir terjatuh ke
lantai.
"Allan lepaskan aku!"Emily menarik-narik tangannya
yang semakin di cengkeram kuat. Tubuh gadis itu
terseret mengikuti langkah Allan yang tampak
semakin besar.

"Allan!"suara Emily begitu tinggi saat mereka sampai


di suasana yang cukup sepi dan redup. Ia berhasil
melepaskan kaitan pria tersebut dan langsung
mundur beberapa langkah ke belakang.

"Jangan membuatku marah Emily, aku cukup sabar


dengan tingkah mu!"

"Aku tidak akan kalah darimu Allan. Ingat! Hubungan


kita tidak lebih hanya sebagai pemuas nafsu. Aku
hanya pemuas nafsu mu, jadi kau tidak berhak
mengatur ku!"sentak Emily membuat pria tersebut
meremas tangannya begitu kuat. Ia mengeratkan gigi
lalu melangkah mendekat ke arah Emily dan
mencekiknya dengan dua tangan.
"Ahhh.. A-allan lepas!"Emily memegang tangan pria
tersebut, mencoba menariknya. Emily butuh pasokan
napas.

"Walaupun kau hanya pemuas nafsu, kau harus ingat


juga Emily, bahwa kau punya kaitan dengan hidup ku!
Kau punya—"

"Jangan hanya menilai ku! Sementara kau sibuk tidur


dengan wanita lain!"balas Emily berusaha sekuat
mungkin mengeluarkan suara dari kerongkongannya.

"Brengsek! Kau mulai mengomentari ku Emily?"Allan


semakin menekan lehernya hingga gadis itu
melemah, sungguh rasanya tulang-tulang Emily
seakan remuk tanpa pasokan udara yang ia butuhkan.

Brakk!!!

Mendadak, seseorang memukul Allan. Menghantam


pelipisnya begitu kuat hingga cengkeraman pria itu
lepas. Ia terjatuh, terpental beberapa langkah ke
samping.
"Gabriel!"pekik Emily terdengar lantang membuat
pria itu tidak peduli sedikitpun.

Ia mendekati Allan dan menangkap kerah pakaian


pria itu sangat kuat dan menariknya ke atas, lalu
merapatkan sedikit tubuh mereka. "Jadi ini penolong
mu, Emily?"

Allan menyipitkan mata, ia membalas tajam tatapan


Gabriel dan menunggu serangan selanjutnya. Ia tidak
akan diam, Allan akan melakukan perlawanan.

Chapter 10 : Decision

Gabriel menyicip segelas Pincer Shanghai Strength di


ujung gelasnya hingga rasa panas menyambar begitu
cepat dalam mulutnya. Ia meletakkan benda itu
kembali dan mengedarkan pandangan di deretan
minuman yang tertata rapi.
"Berikan aku juice, jangan minuman
beralkohol."tegasnya sambil melirik kembali ke arah
Emily yang masih tampak santai pada meja tinggi
sudut kolam.

Ia menatap lama, begitu memperhatikan gadis itu


dari kejauhan sambil tersenyum tipis, hingga
akhirnya raut wajahnya berubah seketika. Ia
mengerutkan kening dan mulai melangkah cepat
mendekati Emily yang beranjak dari tempatnya, ia di
tarik paksa oleh seorang pria asing bagi Gabriel.
Emily bahkan menunjukkan sikap penolakan, ini
tidak benar menurutnya.

Gabriel mengikuti langkah Emily, gadis itu bicara


sarkas pada lawannya hingga sebuah pertengkaran
tercipta semakin lebar. Gabriel diam sejenak untuk
mengamati, ia tidak ingin gegabah.

"Brengsek!"makinya dalam hati sambil mengepal


tangan saat Emily di kasari. Ia tidak terima.
Seketika, Gabriel langsung melebarkan langkah dan
mengirim sebuah tinju yang sangat keras.
Menghantam pelipis pria yang tidak ia kenal tersebut
hingga ia terlepas dan terlempar ke tanah.

"Gabriel!"suara Emily yang melengking tidak ia


hiraukan. Ia malah asik menangkap leher pria yang
masih membutulkan posisinya.

"Ah! Jadi dia menjadi penolongmu, Emily?"

"Allan... Hentikan—"

Brakk!!

Seketika Allan membalasnya, ia menaikkan kedua


tangannya ke atas dan menekan sikutnya di bahu
Gabriel lalu menendangnya cepat.

Pria itu oleng, ia langsung menggelengkan kepala


merasa pusing dengan pandangannya yang gelap
seketika. "Harusnya kau tidak mencampuri
urusanku!"tukas Allan sarkas.
Namun, Gabriel tampak gigih. Ia tidak mempedulikan
peringatan Allan. Ia mendekat kembali dengan
tendangan cepat yang masih bisa di tangkis.

"Gabriel hentikan!"Emily kembali berteriak, ia


mencoba mendekat di tengah pergulatan yang
tampak seimbang. Gadis itu mengedarkan
pandangan, ia melangkah ke arah lain untuk mencari
bantuan.

Saat ini Allan memegang dua sisi kerah pakaian


Gabriel lalu menaikkan lututnya untuk menghantam
wajah pria tersebut hingga ia mengaitkan kaki Allan
sedemikian rupa dan langsung menemukan celah
untuk menghantam kembali lawannya.

Brakk!

Brakk!

Dua kali, Gabriel berhasil memukul punggung pria


yang tengah mengait tubuhnya sangat cekatan sambil
merasakan pukulan tegas di perutnya yang terasa
senak. Mereka saling mengeratkan, tidak ingin
menunjukkan kelemahan sedikitpun. Benar-benar
seimbang.

"Allan!!! Apa yang kau lakukan!"seketika, suara


lengkungan seorang wanita dari arah lain terdengar
lantang.

Beberapa orang datang, mencoba memisahkan


keduanya. "Sir,"ucap salah satu bawahan Gabriel yang
di panggil Emily mencoba menarik pria itu mundur,
sama yang di lakukan Klaus dan pegawai hotel
terhadap Allan, hingga akhirnya mereka langsung
terpisah hingga beberapa meter.

"Allan. Hentikan!"suara Clarissa melengking, ia


mengedarkan pandangan dan menangkap wajah
Emily yang menunjukkan wajah super panik.

"Bitch!"maki Allan sambil membuang ludahnya. Ia


mengepal tangan begitu kuat membuat Gabriel
mencoba kembali mendekat, beruntung pegawai nya
segera menahan. Ayolah, banyak orang yang
menonton.

"Allan, Ayo!"Clarissa menarik lengan pria itu dan


membuatnya menjauh. Sama hal nya dengan Gabriel
yang menarik diri lalu mendekati Emily dan
membawa gadis itu bersamanya.

"Ikut aku!"sergah Gabriel saat gadis itu mencoba


mengabaikannya. Emily menoleh cepat ke arah Allan
yang bahkan tidak menghiraukannya sedikitpun. Ia
hanya fokus pada luka-luka yang tengah di
khawatirkan Clarissa sambil menaiki tangga hotel.

"Emily!"panggil Gabriel lagi membuat lamunan gadis


itu buyar seketika. Ia menggigit bibirnya kuat, lalu
mengangguk dan mengikuti langkah pria tersebut.

____________________

"Allan diamlah, kau terluka!"celetuk Clarissa sambil


mengobati wajah pria tersebut sebisanya.
"Ah! Minggir!"Allan mendorong nya, sialan pikiran
pria tersebut melayang-layang pada Emily. Terakhir
kali, Gabriel yang membawanya. Ia sempat menoleh
saat sampai di tangga teratas.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan mu? Kenapa


kau harus bertengakar dengan pria asing itu,
hah?"tanya Clarissa sambil mengikuti langkah Allan
yang tengah menuju balkon utama.

"Beraninya kau Emily,"batin Allan sambil


mengeratkan tangan di pembatas balkon sambil
menatap pemandangan luar, menghiraukan semua
ocehan Clarissa.

"Allan! Aku sedang bicara denganmu!"

"Diam kau sialan!"pekik pria itu mendadak begitu


lantang sambil melempar sebuah vas bunga yang ada
di sudut balkon ke arah Clarissa, wanita tersebut
menghindar dan langsung membulatkan matanya ke
arah Allan.
"Apa yang kau lakukan!"tegasnya sambil
mengepalkan tangan yang begitu ketat. Mata wanita
itu, mendadak berair. Ia terluka.

"Clarissa!"Allan memanggilnya saat wanita tersebut


memutar haluan tubuhnya dan keluar dari kamar
tersebut. Meninggalkan nya sendiri.

"Sial! Semua kacau!"Allan meremas rambut lebatnya,


memijat kening yang terasa sakit. Pikirannya kacau,
mendadak begitu penuh oleh Emily.

___________________

"Minumlah!"ucap Gabriel setelah melihat pelayannya


meletakkan kopi Maraschino hangat di hadapan
Emily.

"Gab aku—"

"Minum dan tenangkan dirimu!"potong pria itu datar


sambil melipat kedua tangannya di dada. Gabriel
membawa Emily ke mansion yang hanya berjarak
beberapa kilo dari hotel.

"Wajahmu terluka,"tukas Emily sambil menatap


wajah Gabriel yang tampak kacau.

"Jangan memikirkan ku, beberapa minggu lagi luka


ini akan hilang!"balasnya sambil melipat kedua
tangan di dada.

"Dia suamiku!"gadis itu memegang kuat ujung


pakaiannya, menunduk kecewa bersama tubuhnya
yang mendadak terasa dingin.

"Kami di jodohkan dan menikah beberapa hari yang


lalu."

"Apa? Beberapa hari yang lalu dan dia


memperlakukan mu seperti ini?"tanya Gabriel
spontan. Ia memegang keningnya, sedikit heran
dengan tingkah Allan yang brutal. Seketika,ia
mendapatkan jawaban atas beberapa memar yang
masih tercetak di tubuh gadis tersebut.
"Jadi, dia memukuli mu? Apa wanita yang
bersamanya ......"

"Wanita itu kekasihnya. Mereka sudah menjalin


hubungan jauh sebelum pernikahan terjadi!"potong
Emily tanpa mengangkat kepalanya sedikitpun.

"Emily. Jujur saja ini gila! Terlepas dari apapun itu,


sungguh aku mendukung mu untuk bercerai! Tunggu,
ini bukan perintah atau saran! Ini bentuk
kepedulian!"tegas Gabriel dengan suaranya yang
cukup tegas. Ia memahami Emily, tidak seharusnya
gadis tersebut di perlakukan buruk, apapun
alasannya.

"Ya! Mungkin kau benar. Aku terlalu memaksakan


diri, terlalu takut atas apa yang akan terjadi pada
orang lain,"jawabnya dengan suara parau. Ia menelan
ludah dan merasakan air mata yang tersimpan sejak
tadi akhirnya jatuh, mengenai pipinya.

"Emily..."
"Aku ingin kembali ke negaraku, Gab."ucap Emily
sambil mengangkat kepalanya tinggi dan menatap
lugas ke arah pria tersebut cukup lama. Sungguh,
Gabriel tidak kuasa, ia melihat ribuan pecahan di
mata gadis itu. Emily benar-benar terluka.

"Aku akan membantumu,"balasnya tegas hingga


Emily berpaling darinya.

"Tapi, aku tidak punya apapun untuk membalasmu!"

"Aku tidak butuh apapun Emily, aku tulus!


Sungguh!"batin pria itu tanpa ingin menjawabnya
sedikitpun.

"Kapan kau mau pulang?"tanya pria itu dengan suara


rendah. Ia mendekat dan ikut duduk di sudut sofa di
mana Emily berada.

"Secepatnya! Aku ingin semuanya berakhir!"Emily


merapatkan tangan, tanpa melepaskan harapan dari
pria itu sedetikpun. Gabriel mengangguk pelan, ia
menelan ludah dan mengangguk paham.
"Besok, aku akan mengantar mu!"ucap Gabriel
dengan suara yang begitu pasti. Emily mengulum
bibirnya dan membalas pria itu dengan sebuah
anggukan pelan.

"Malam ini, istirahatlah di sini. Aku punya banyak


kamar. Jeane akan membantumu,"ucap Gabriel
menyebutkan nama salah satu pelayan nya.

"Maaf aku begitu merepotkan mu."

"Itu, gunanya teman Emily. Sekarang tidurlah, aku


akan memanggil Jeane!"pria tersebut bangkit
kembali setelah Emily mengangguk paham terhadap
pernyataannya.

"Aku rasa, ini keputusan yang terbaik. Mommy Anne


akan paham. Aku ingin mengambil kembali
kebebasanku, Aku ingin berpisah .. Aku ingin
pernikahan ini berakhir,"Emily membatin, ia
meneguhkan diri terhadap keputusannya kali ini.
Sungguh, Emily ingin berhenti untuk mencintai Allan.
Chapter 11 : Secret

Emily mengusap cincin pernikahannya pelan,


meneliti kilau terang dari berlian itu. Keluhnya,
terdengar pilu menembus rasa dingin yang semakin
menjadi pada ruangan kamar besar tersebut.

Ia berpikir, apakah keputusan yang akan di ambil ini


tepat? Atau malah akan menjadi Boomerang dalam
hidupnya. Pikiran gadis itu melayang-layang entah
kemana dalam sekian jam.

"Hm.. Aku harus tidur!"Emily merebahkan tubuhnya,


meraih sebuah bantal tebal yang ada di sisi kanan dan
memeluknya erat-erat.

Tok tok tok!!


Seseorang terdengar mengetuk pintunya mendadak.
Ya Tuhan, ia baru saja ingin berkhayal ke dunia
mimpi dan sekarang harapannya buyar. Gadis itu
mengeluh pelan, ia beranjak dari tempat tidur dan
segera turun kembali.

Suara ketukan itu terdengar semakin keras, begitu


penuh tuntutan hingga ia membuka pintu tersebut
lebar.

Srakk!!

Lengannya langsung di tarik keluar hingga melewati


pintu. Gadis itu meringis, merasakan rasa sakit bekas
luka jahitnya yang mendadak berdenyut saat
membentur dada bidang seseorang.

Ia menoleh cepat menangkap satu sosok tinggi


tengah merendahkan pandangan padanya.
"Allan..!!"suara gadis itu mendadak parau, ia
menaikkan tubuh dan mengedarkan pandangan ke
tiap tempat. Allan datang bersama beberapa polisi
hingga Gabriel tampak tidak bisa berkutik.
Mereka sempat bersitegang sebelumnya, namun,
bagaimanapun posisi Gabriel tetap salah. Ia di anggap
menawan Emily, yang di yakini istri sah dari Allan
Willard. Ia bisa terancam pidana.

"Emily maaf aku—"suara Gabriel terputus seketika


saat Allan menarik cepat lengan Emily untuk
menjauh.

"Allan lepas!"sentak Emily sambil menarik lengannya


dan menghentikan langkah itu tiba-tiba.

"Aku bersumpah akan menarik pria itu dalam


masalah, jika kau tidak mau ikut denganku!"ancam
Allan terdengar begitu nyata. Pria itu selalu serius,
tampaknya ia sengaja menggunakan polisi untuk
membantunya.

"Ikuti saja dia dulu,"tukas Gabriel sambil menekan


tangannya kuat. Sungguh, ia bisa saja melawan.
Namun, itu tidak akan baik untuk semuanya saat ini.
Gabriel akan menyusun rencana lain untuk
membantu Emily.
____________________

"Allan! Lepas!"dorong Emily saat pria itu berhasil


memaksanya masuk kembali ke salah satu kamar
hotel.

"Diam! Kau mau mencoba melawan ku? Hah?"pria itu


menekan pipi Emily dengan satu tangan,
mendekatkan tubuh mereka dan menatapnya fanatik.

"Kau mencoba terang-terang berhubungan dengan


pria lain di depan ku?"tanyanya lagi sambil menekan
semakin kuat hingga gadis itu meringis kesakitan.

"Allan.."seketika suara gadis itu terhenti saat pria


tersebut menciumnya kasar membuat Emily
berusaha keras mendorong mundur pria tersebut.

Ia menekan dada Allan dan merasakan brutalnya


ciuman yang semakin tidak bisa berhenti di rongga
mulutnya. Pria itu memegang kuat pinggul Emily dan
meremas sesukanya.
"Ingat Emily! Hanya aku yang bisa memasuki mu! Aku
akan membayar mahal untuk itu!"kecam Allan saat
menatap dalam wajah wanita tersebut selepas
menghentikan ciumannya.

Brakk!!

Seketika tubuh Emily mendadak terpental jauh, Allan


melemparnya begitu saja ke atas ranjang hingga
tubuhnya sedikit terpantul oleh gerakan dari ranjang
tersebut.

"Aku ingin kita berpisah!"suara Emily melengking, ia


mengepal tangan dan kembali berdiri dari tempatnya.

"Apa?"

"Aku ingin kita bercerai Allan!"terang nya kembali


bersama suara yang semakin bergetar. Mata gadis itu
berair, ia menunjukkan ribuan keberanian untuk
menghadapi pria tersebut.
"Cerai?"tanya Allan sambil memiringkan
senyumannya, lalu melangkah perlahan hingga tubuh
mereka hanya berjarak sekita setengah meter.

"Cerai katamu?"pertegasnya kembali sambil


mengepal tangan begitu kuat, tanpa melepas
sedikitpun pandangannya.

"Ya! Dengan begitu aku bisa meraih kembali


kebebasanku, kau, bisa menjalin hubungan mu
bersama Clarissa tanpa menyakiti ku, kau bisa
melakukan apapun tanpa harus memukuli ku! Kau
bisa melakukan apapun tanpaku!"

"Emily kau—"suara Allan mendadak berhenti saat


Emily melepas kancing pakaiannya dan menurunkan
uluran kain tersebut hingga dada.

"Apa kau masih belum puas dengan semua ini? Kau


harus ingat, bukan hanya bekas kissmark yang kau
tinggalkan di tubuhku. Lihat saja sepuasnya dan
ingat, ini semua karena mu!"tukas Emily sambil
mengangkat kepalanya sedikit lebih tinggi.
Allan terdiam, ia menelan ludah yang terasa cukup
penuh di tenggorokannya saat ini. "Fuck!"tukasnya
sambil menurunkan pandangan lalu memutar haluan
tubuhnya segera.

"Kau bahkan tidak ingin melihatnya!"sindir Emily


sambil mengancing kembali pakaiannya dan menatap
punggung tegap pria tersebut.

"Tunggu beberapa hari lagi, aku akan siap dengan


surat cerai yang kau minta."balasnya tanpa ingin
menoleh kembali sedikitpun.

"Hm! Aku akan menunggu mu, Allan. Walaupun, aku


tidak akan pernah tahu alasan mu memperlakukan ku
seperti ini. Kau harus tahu, sebelum hal ini terjadi,
sebelum kau berubah, aku, begitu mencintaimu,
Allan."

Deg!!

Pria itu sedikit menahan napas. Ia mencondongkan


tubuhnya sedikit lalu mengepal tangannya kuat-kuat.
"Tahu apa gadis 19 tahun soal cinta!"celetuknya
sarkas sambil melangkah segera untuk meninggalkan
Emily di kamar tersebut.

____________________

"Allan Willard!"Tegur seseorang saat melihat pria itu


tampak memandang jauh dari batas antara laut
Mediteran dan tebing hotel. Seketika sorot mata
terang pria itu menoleh, mencoba mencari tahu sosok
yang menyebut-nyebut namanya. Klaus Vierr
Morino.

"Akhirnya, kau menikahi gadis itu,"celetuk Klaus


membuat Allan diam sambil membuang napasnya
kasar.

"Bukan urusan mu, kau tahu bagaimana aku bisa—"

"Aku tahu! Kau masih mencintai gadis itu. Hanya saja,


kau terlalu malu mengakuinya karena kejadian—''
"Diam! Aku tidak butuh penjelasan mu!"potong Allan
lantang.

"Aku hanya kasihan terhadap Clarissa. Wanita itu,


mengharapkan mu selama tiga tahun, tapi sekarang
kau malah menikahi gadis lain. Parahnya, kau juga
menyakitinya karena—"

"Brengsek!"

Brakk!!

Allan meninju wajah Klaus sebelum pria itu


mengatakan hal yang tidak ingin ia dengar. Sungguh,
hubungan mereka dulu sangat dekat bersama dengan
beberapa orang lainnya, namun karena sesuatu hal
persahabatan semuanya merenggang.

"Kau malu karena Emily berada di hotel itu bersama


kekasihnya!"

Brakk!
"Diam kau brengsek!"lagi, Allan memukulnya begitu
keras, hingga akhirnya Klaus melawan dengan
membalas pukulan lalu mendorong nya jauh. Hal
tersebut, berhasil menambah luka memar yang ada di
wajah Allan akibat pukulan Gabriel sebelumnya.

"Harusnya kau malu karena takut mengakuinya, Ahh


— harusnya kau meninggalkan Clarissa. Ck, kau
rakus!"celoteh Klaus lagi dengan suara yang penuh
hinaan, sambil mengusap darah yang mengalir di
sudut bibirnya yang perih.

"Dengar! Apapun alasannya itu bukan urusan mu dan


aku tidak mencintai Emily, aku mencintai
Clarissa."tuding Allan tegas.

"Benarkah? Aku pikir kau hanya ingin menjadikan


Clarissa objek agar orang lain percaya bahwa kau
tidak mencintai istri mu itu, ayolah, akui saja. Emily
cantik, hanya saja—"

"Klaus, Allan. Apa yang kalian lakukan di sini?"tanya


Clarissa mendadak datang dengan mata sembab. Ia
mengedarkan pandangan dan menangkap sesuatu
yang mencurigakan.

"Kalian bertengkar?"tanyanya kembali. Allan diam, ia


melirik ke arah Klaus dan mendekati Clarissa.

"Ikut aku, cepat!"seketika tubuh wanita itu seakan


terseret saat Allan menariknya hingga menjauh dari
Klaus, hingga mereka sampai di kamar hotel kembali.

Allan mencium wanita itu dalam, mencoba


membangkitkan gairahnya sendiri. Ia menutup mata,
membayangkan seseorang dan menekan kuat leher
wanita itu lebih dalam.

"Allan kau kasar!"tukas Clarissa sambil mendorong


pria itu sedikit mundur. Namun, Allan malah semakin
mendorong nya hingga sampai ke ranjang.

Tap!!

Pria tersebut berhenti, ia memegang keningnya kuat.


Aksinya membuat Clarissa heran, hingga wanita
tersebut mencoba menyentuh lengannya.
"Kenapa?"tanya Clarissa sambil mengeratkan
pelukan di tubuh pria itu.

"Minggirlah!"Allan mendorong wanita tersebut lalu


mengulum bibirnya yang terasa manis.

"Sial. Kenapa Emily kembali ada di otakku!"batin Allan


sambil melangkah menjauh. Sulit untuknya bisa
memulai seperti biasa bersama Clarissa. Wanita
tersebut sama sekali tidak berhasil membuatnya
bangun. Perasaannya hilang seketika.

Chapter 12 : Breakfast

Sorot mata Allan tampak terang, ia menatap kilat


seorang gadis yang berdiri di depannya dengan
pakaian tipis. Membentuk kulitnya yang begitu
mulus. Mendadak, gadis tersebut menaiki sebuah
meja panjang yang ada di sudut ruangan dan
melengkungkan tubuhnya sambil menarik ujung
pakaian hingga pangkal paha.

"Sialan!"maki nya simple sambil melangkah


mendekat bersama botol minumannya.

Gadis itu tersenyum, menurunkan kaitan yang ada di


bahu sambil menaikkan kedua kakinya ke atas meja
lalu tersenyum sensual, rambut coklatnya berantakan
di susul mata amber yang mulai menajam.

"Allan, do you want me?"

Brakk!!

Mendadak, tubuh Allan terjatuh dari atas ranjang di


mana ia melemaskan ototnya semalaman. Ia
mengerang, merasakan kepalanya terbentur kaki
meja yang ada di pinggir ranjang.

Ia menggelengkan kepala lalu menaikkan pandangan


kembali ke ranjang. Memerhatikan gadis yang masih
begitu lelap tidur di tempatnya."Emily?"
Pria itu berpikir keras, berusaha mengingat sesuatu.
Ah— ia mabuk berat semalam dan tanpa sadar
kembali ke kamar gadis tersebut, menggedornya
begitu lantang hingga Emily membukakan pintu
untuknya.

"Shit!"Allan meremas rambutnya kuat-kuat saat


mengingat bagaimana ia merayu Emily untuk
mendapatkan kebutuhannya sebagai seorang pria,
hingga akhirnya mereka melakukannya beberapa
kali.

Seketika tubuh sempoyongan itu beranjak bangkit, ia


menatap Emily beberapa detik lalu mengeluh panjang
sambil memalingkan pandangannya.

"Aku harus pergi dari kamar ini, sebelum Emily


bangun!"seketika langkahnya segera bergerak meraih
pakaian dan memasang kan ke tubuh tegapnya,
Lantas, ia meninggalkan gadis itu begitu saja.

Pria itu melangkah cepat, ia memeiksa ponselnya dan


melihat ada sekitar 32x panggilan tidak terjawab dari
Clarissa dan beberapa pesan masuk. Ia mengeluh
malas lalu mematikan kembali ponselnya tanpa
kompromi.

"Ah! Kau—"panggil Allan saat melihat salah satu


pegawai hotel melintas ke arahnya, hingga pelayan
pria tersebut berhenti.

"Hm aku ingin pesan makanan dan antarkan ke


kamar 3209. Punya menu nya?"tanya pria tersebut
mencoba bicara sesantai mungkin.

"Sebentar, sir!"pegawai tersebut mengalihkannya ke


meja receptionist untuk mempermudahnya. Seketika,
pria tersebut melangkah mengikuti pegawai itu.
Sekalian ia harus mencari kamar lainnya untuk
membersihkan diri.

"Ada apa?"tegur Gabriel saat melihat Allan baru saja


beranjak dari meja receptionist.

"Dia memesan makanan untuk di antar ke kamarnya


dan—"
"Kamar nomor berapa?"selidik Gabriel membuat
mata gadis yang ada di depannya langsung bulat ke
arahnya. Pria itu, tidak biasanya bertingkah ingin
tahu. Apalagi ini masalah privasi tamu.

"3209 sir, atas nama Emily Willard."balas pegawai itu


sambil mengulum bibir.

Gabriel memutar tubuhnya, ia menuju ke restaurant


untuk mencari tahu lebih banyak. Fatal, Emily begitu
mencuri perhatiannya. Apalagi dengan keadaan gadis
tersebut. Jika bisa, ingin sekali ia menculik gadis
tersebut.

"Ini pesanan nya?"tanya Gabriel menatap susunan


sarapan yang terlihat lezat. Sesungguhnya, itu adalah
makanan favorite Emily.
"Yes sir,"jawab pegawainya sambil menatap sekilas
ke arah pria tersebut.

"Biar aku yang mengantarnya."

"Sir!"tegur pegawainya membuat pria itu langsung


menatap datar. Seketika Gabriel langsung
mengangkat tray itu dan membawanya ke kamar
Emily. Ia nekat menemui gadis tersebut sebisa
mungkin.

________________________

Emily menggerakkan tubuhnya pelan, ia tampak


terusik akibat suara ketukan pintu tersebut.
Keluhnya melambung, namun yang ia cari saat itu
adalah Allan yang nyatanya menghilang dari kamar
tanpa sepatah katapun.

Ia mulai bergerak, meraih selembar gaun tidur


pendek untuk menutupi tubuh naked nya lalu
bergerak ke arah pintu.
"Gab—"pandangan Emily langsung bulat. Ia
mengedarkan pandangan ke tiap lorong lalu menarik
lengan pria tersebut untuk masuk ke kamarnya.

"Kenapa kau di sini?"tanga Emily sambil


mengeratkan pakaian ke tubuhnya.

"Aku hanya ingin memastikan keadaan mu!"balas


pria tersebut sambil meletakkan tray di meja yang
ada di balkon kamar tersebut.

"Kau bisa terkena masalah, aku tidak ingin


menyulitkan mu."

"Sudah periksa ponselmu? Itu nomor ku, jika kau


perlu bantuan kau bisa telpon aku kapanpun."

"Gab apa yang kau katakan?"

"Emily, aku ingin membantumu, aku berharap kau


bisa bebas dari perlakuan—"
"Allan sudah menyetujui perceraian. Ia akan
mengurusnya hari ini, jadi kau tidak perlu repot. Aku
tidak ingin masalah ini menjadi masalah mu,
Gab!"Emily menelan Saliva. Ia menggigit ujung
kukunya keras lalu merasa jantungnya mendadak
semakin berdetak cepat.

"Aku menyukai mu, Emily!"

"Sebentar, aku tahu ini sangat cepat. Jauh dari


perkiraan tapi sungguh .. Aku benar-benar menyukai
mu!"sambung Gabriel membuat gadis itu diam di
tempatnya tanpa sepatah katapun.

"Maaf Gabriel aku tidak bisa."

"Emily. Aku tidak minta jawaban mu. Setidaknya kau


mengetahui sesuatu jika mungkin nanti kita tidak
bisa saling menemukan kembali,"Gabriel bicara
parau. Ia tahu, perasaannya salah. Namun tidak akan
ada salahnya mencoba, setidaknya Emily paham
bagaimana perasaan yang tengah berkecamuk di
hatinya saat ini.
"Terimakasih, Gab."Emily menelan ludah. Ia menatap
pria itu. Masih begitu banyak luka memar di
wajahnya, bukti keseriusan pria tersebut.

Gabriel mendekat, ia memeluk Emily erat mencoba


merasakan kehangatan yang mungkin tidak akan
menjadi kesempatan selanjutnya. "Makan sarapan
mu, sejujurnya suami mu yang memesan itu,"akui
Gabriel tidak ingin curang.

"Allan?"tanya Emily, lalu melihat pria tersebut


mengangguk lambat.

"Ya sudah aku keluar dulu, habiskan semuanya. Kau


harus ingat bagaimana rasa makanan hotel ini,"ucap
Gabriel sambil mengusap puncak kepala gadis itu.

"Rambut ku berantakan,"Ucap Emily kesal sambil


menarik tangan Gabriel menjauh.

"Aku akan mengantarmu,"Emily bergerak, mengikuti


pria tersebut hingga ke pintu bahkan membantu
membukanya.
"Jaga dirimu, jika kau pulang hubungi aku!"ucap
Gabriel sambil memasukkan tangannya ke dalam
saku celana.

"Hm. Pasti!"balas Emily dengan anggukan santai.


Perlahan Gabriel mendekat dan mencoba mengecup
pelan kening gadis tersebut.

"Jangan melupakan ku!"ucapnya dengan suara yang


cukup pelan membuat Emily terdiam sejenak. Ia
menunduk lalu melihat gerakan kaki pria tersebut
berputar dan melangkah menjauh tanpa sepatah
katapun lagi.

Emily mengeluh, memerhatikan punggung tegap pria


itu hingga menghilang. "Gambar yang bagus!"tegur
seseorang yang mendadak keluar dari sudut tembok
tinggi yang sedikit tertutup.

"Clarissa!"

"Ternyata benar, Kau memang murahan. Kau bahkan


membawa pria ke kamar mu saat—"
"Clarissa apa yang kau lihat tidak—"

"Foto ini buktinya, wah! Ciuman yang manis Emily.


Apa pria itu mengatakan bahwa ia puas dengan
pelayanan mu?"tanya wanita tersebut sambil
menunjukkan foto kedekatannya bersama Gabriel
barusan.

"Clarissa jaga ucapanmu! Aku tidak melakukan


apapun dengannya!"

"Benarkah? Lantas, bagaimana jika Allan yang


melihat foto-foto ini? Apa dia akan percaya
padamu?"Clarissa tersenyum, ia menatap penuh
ancaman membuat gadis tersebut merasa begitu
ketakutan.

"Ah aku akan mengirim ini pada Allan. Siapa tahu ia


ingin mengabadikannya,"Clarissa tersenyum simpul,
ia menekan ponselnya membuat Emily langsung
mendekat padanya.
"Lepas brengsek!"tukasnya dengan suara tegas saat
kaitan tangan Emily semakin lancang.

"Clarissa jangan!"Emily semakin mencekal


pautannya, Mencoba meraih ponsel tersebut hingga
wanita itu nekat mendorong nya paksa membuat
tubuh Emily terpental kedepan beberapa langkah.

"Lihat apa yang akan di lakukan Allan, saat melihat


tingkah istri nya ini,"wanita tersebut tersenyum. Ia
menekan ponselnya cepat dan melihat proses
pengiriman foto itu lancar pada Allan yang tanpa
sengaja langsung menekannya.

Tap!

Pria tersebut mengerutkan kening, ia menatap jelas


tiga buah kiriman Clarissa tersebut.
"Brengsek!"seketika Allan langsung mengepal
tangannya kuat. Memasang kaos di tubuhnya dan
segera keluar dari kamar menuju dimana Emily
berada saat ini.
Chapter 13 : Sorry

Allan meneliti isi cigarette-nya, meraih satu dan


menyulut dengan lighter yang sudah ia pegang sejak
tadi. Seketika, asap mengepul keluar dari mulutnya.
Pria tersebut baru saja selesai membersihkan diri,
merasakan pening yang masih melanda di otaknya. Ia
meraih ponselnya dan memeriksa benda tersebut
sejenak.

"Emily virgin, lantas, kenapa Clyde mengatakan


bahwa gadis itu—"
Drrrtt!!

Lamunan Allan terhenti, tanpa sengaja ia menekan


langsung pesan masuk yang di kirim Clarissa sambil
menarik satu hisapan dari ujung cigarette. Mendadak,
ia mengerutkan kening, memastikan tiga buah foto
yang membuat hati nya langsung panas. "Brengsek,"

Seketika pria tersebut menekan rokoknya ke


sembarang tempat lalu meraih kaos dark
brown untuk menutupi tubuhnya yang masih terasa
begitu letih. Ia tidak ingin berkompromi, bukti foto
tersebut membuatnya muak setengah mati.

Allan beranjak keluar menuju kamar Emily yang


hanya berjarak sekita enam meter dari nya. "Sialan!
Tampaknya dia benar-benar ingin mempermainkan
ku!"kepalan tangan Allan keras. Ia tidak sabar,
melangkah maju hingga akhirnya menangkap wajah
Clarissa yang penuh kemenangan.

Tap!!
"Allan,"runtih Emily saat pria tersebut menekan
lehernya kuat.

"Apa yang kau lakukan dengan pria itu?"tanya Allan


tegas. Ia menatap penuh ancaman hingga suara Emily
mendadak hilang.

"Aku rasa dia tidur dengan pria itu, kau lihat saja
bagaimana interaksi keduanya,"Clarissa terdengar
memprovokasi, suaranya cukup lantang hingga mata
Amber Emily bergerak ke arahnya. Ia ikut menekan
tangan Allan, berharap pria itu melonggarkan
cekalannya.

"Sialan! Harusnya aku percaya pada Klaus dan Clyde


yang membicarakan tentang mu,"suara Allan sedikit
parau, ia menekan gadis itu lebih dalam hingga tubuh
Emily terdorong menggapai tembok.

"Aaa Allan..."tukasnya sebisa mungkin. Ia


menggelengkan kepala dan mencoba mengambil
napas lewat mulut.
"Harusnya aku tidak pernah peduli padamu,
walaupun aku nendapatkanmu dalam
keadaan virgin!"sentak Allan dengan suaranya yang
semakin kuat. Seketika, mata Clarissa membulat
besar mendengar pernyataan yang sedikit sulit ia
cerna. Wanita tersebut mendekat mencoba
menangkap lengan Allan begitu kuat.

"Allan! Apa kau meniduri—"

"Diam kau, Clarissa!"pekiknya lantang sambil


mendorong wanita tersebut menjauh.

Brakk!!

Wanita tersebut jatuh ke lantai, namun Allan masih


menekan leher Emily yang kali ini ia arahkan menuju
ke dalam kamar. Memasuki ruangan tersebut secepat
kilat, sungguh ia bisa memancing ratusan penghuni
hotel jika tetap berada di tempat tersebut.

"Allan.. Please!"pinta Emily menatapnya dengan


pandangan berkaca-kaca. Ia mencoba menarik kedua
tangan Allan dan mendadak menginjak kaki pria
tersebut sekuat nya.

"Arrgg! Shit!"Allan memaki. Ia mengerang hebat saat


mendapatkan serangan tersebut hingga
cengkeramannya lepas. Emily berlari, menuju pintu
yang tertutup rapat.

"Aku harus kabur!"pikir Emily menarik kunci yang


ada di pintu tersebut dan memutar gagang nya sebisa
mungkin.

Tap!!

Usaha Emily gagal saat Allan ikut menggapai pintu


untuk merapatkan kembali benda tersebut. "Sialan!"

Allan mendorong Emily sekuat nya hingga gadis


tersebut langsung oleng dan jatuh ke lantai. "Berapa
pria itu membayarmu, Emily?"tanya Allan dengan
suaranya yang parau. Ia mendekati Emily hingga
terpaksa gadis itu beringsut mundur dengan tubuh
bergetar.
"Allan... Aku tidak melakukan apapun!"terang Emily
parau. Ia masih beringsut mundur, menatap wajah
Allan yang di hiasi dengan kemarahan.

"Allan aku mohon, percayalah—"

"Apa dengan pakaian itu kau menggodanya Emily?"

"Allan please!"

"Buka pakaian mu!"

"Allan aku mohon, percayalah."

"Buka pakaian mu Emily!"sentak pria tersebut


lantang sambil menarik pinggul Emily. Allan
menaikkan tubuh gadis tersebut di sebuah lemari
panjang yang ada di sudut ruangan dan mencium
leher Emily kasar, hingga kedua kaki Emily
menempel tegas di lemari tersebut.

Gadis itu mengerang lalu melirik ke tiap ruang kamar


yang tampak besar, sementara suara Clarissa
terdengar cukup lantang di luar sana. Wanita
tersebut ingin Allan membukakan pintu untuknya,
hingga akhirnya menghilang seketika.

Tap!!

Pandangan Emily berhenti pada sebuah botol kaca


yang tidak terlalu jauh dengannya. Ia menelan ludah
merasakan Allan menciumi leher hingga dadanya
yang membusung.

"Diam!"perintah Allan menarik gadis itu kembali saat


Emily berusaha menyentuh botol tersebut.

"Allan hentikan!"pintanya sambil mendorong paksa


tubuh kuat pria tersebut.

"Allan sakit!!!"teriak Emily merasakan gigi tajam pria


tersebut menacap di puncak dadanya. Seketika pria
itu menariknya kembali, menurunkan dari tinggi
lemari tersebut lantas mendorong ke arah balkon.
"Allan... Jangan!"Emily merintih, pria itu
mengancamnya dengan meletakkan setengah
tubuhnya melewati pagar pembatas. Ia menoleh ke
bawah memerhatikan dasar jalan curam yang siap
menyambut tubuhnya.

"Katakan apa pria itu menidurimu?"

"Aku sudah katakan, tidak terjadi apapun antara aku


ataupun Gabriel. Sungguh! Aku sama sekali tidak
membohongi mu!"celetuk Emily sambil menahan
tubuhnya yang berat, ini menakutkan. Di jamin, Emily
pasti akan tewas jika Allan melepaskan tubuhnya dari
atas sana.

"Kau membohongi ku!"

"Allan demi Tuhan, aku tidak melakukan apa yang


kau tuduhkan padaku. Aku bersumpah kalau aku
tidak melakukan apapun bersama
Gabriel."pengakuan Emily terdengar begitu tegas.
Membuat Allan diam sejenak untuk mencerna
kalimatnya yang berantakan.
Seketika pria tersebut menariknya kembali dan
memeluknya sangat erat lebih dari biasanya. Ia
menekan tengkuk Emily begitu rapat, mencium
aroma tubuh gadis itu dan menurunkan hidung nya
pada bahu bergetar Emily.

Ia berbisik pelan, "I'm sorry!"Allan mengeluh, ia


menutup mata mencoba meredakan seluruh amarah
yang berkumpul di dadanya yang sesak. Ayolah! Ia
berusaha keras untuk meyakinkan diri bahwa Emily
tidak ada artinya sama sekali. Tapi lihat, yang ia
lakukan saat ini malah menambah rasa penasaran
gadis tersebut. Ia begitu takut untuk melepaskan
tubuh Emily.

"Sorry!"bisiknya lagi seakan tidak puas. Allan


merintih, menciumi bahu gadis itu dan menekannya
dalam. Ia seperti seseorang yang begitu takut di
tinggalkan.

"Kau milikku, Emily!"bisiknya rendah sambil


merasakan tubuh gadis itu perlahahan lemah. Ia
paham bagaimana ketakutan Emily barusan akibat
ulah nya.

"Kita pulang hari ini, aku akan mengurus perceraian


sesuai keinginan mu,"Allan melepas pelukannya dan
langsung mundur dari cekalan Emily yang sama
eratnya.

"Allan."panggilnya datar sambil menelan saliva, gadis


itu tampak mengalami ketakutan mendalam.

"Aku akan langsung mengurusnya, secepatnya kita


akan berpisah!"sambung nya parau lalu
melangkahkan kaki secepat kilat, meninggalkan
Emily yang masih diam membisu.

Gadis itu mengangguk setuju, namun, ada tetesan


kecil dari sudut matanya. Entahlah, Emily tidak
konsisten. Bagaimanapun perasaannya masih sama,
ia mencintai Allan dan berharap pria itu berubah.
Emily masih ingin mengetahui pemicu pria tersebut
begitu membencinya.
Beberapa saat kemudian, Emily mendadak
memegang perutnya yang terasa sakit. Ia mengulum
bibir sambil menurunkan tubuhnya sedikit. "Ahh..
Allan—"sentaknya pelan sambil menautkan diri pada
pinggir pintu yang menjadi penghalang ruangan
antara kamar dan balkon. Ia menelan saliva begitu
keras dan meringis kesakitan.

Brakk!!

Seketika tubuh Emily melemas dan jatuh ke lantai,


kesadaran gadis itu hilang seketika. "Emily!"suara
Allan melantang tegas, memecah ruangan berantakan
tersebut. Ia mendekat kembali, memeriksanya
dengan penuh rasa khawatir.

Chapter 14 : I Lost You


Allan menundukkan pandangan sambil menahan
napasnya dalam. Sesekali pria tersebut mengulum
bibir, menatap lugas pada gadis yang ada di
hadapanya saat ini, tampak begitu terluka.

"Apa istri mu pernah mengalami benturan hebat di


bagian perutnya, sir?"

Sungguh, pernyataan dari dokter ahli yang ada di


salah satu rumah sakit tersebut, terus, melayang di
otaknya. Ia menelan saliva sesudahnya, mengingat
bagaimana perlakuan terhadap Emily, begitu buruk.
Mungkin akan sulit di maafkan.

"Istri anda mengalami trauma abdomen, namun hasil


akhirnya berakibat fatal. Benturan yang nona Emily
alami membuat rahimnya terluka. Kemungkinan
besar, istri anda sulit untuk hamil."

Seketika, tidak ada lagi satu katapun keluar dari


mulutnya. Semua terdengar hampa. Ia yang
melakukannya, dirinya yang melukai Emily hingga
sejauh ini. Sungguh, pria tersebut seakan tidak
mampu lagi menggerakkan tubuhnya.

Pria itu mengeluh kasar, mencoba meraih jemari


Emily yang lembut. Ada bekas luka di sana, ya Tuhan!
Allan benar-benar merasa begitu terhempas.
Tangannya bergetar mendekat pelan, namun,
gerakan tersebut terhenti. Ia mengurungkan semua
rasa inginnya untuk menyentuh Emily. Kapan? Ia
bersikap baik pada gadis itu? Sejak pertama mereka
menikah, yang mampu Allan berikan hanya rasa sakit.

"Jika kau membenciku, itu wajar, Emily,"batinnya


merasa ingin bertindak, mencoba merasakan
seutuhnya apa yang tengah berkecamuk di dalam
otaknya, pikirannya, hatinya dan hidupnya.

Allan menunduk, ia memegang keningnya kuat.


Memikirkan ribuan hal yang menumpuk di benaknya.
Ribuan pertanyaan berkumpul di dalam dirinya.
"Allan..."panggilan Emily terdengar lambat. Gadis
tersebut mengedarkan pandangan dan merasakan
tubuhnya sedikit bergetar.

"Emily."seketika pria itu bangkit, menyentuh kulit


halus gadis tersebut dan mencoba meremas lembut
tangannya.

"Apa kita masih di Italia?"tanya Emily sedikit tidak


yakin, ia menarik diri, melepaskan pautan dari pria
tersebut. Sungguh, Emily tidak ingin berharap sama
sekali.

"Kita tidak bisa pulang sampai kau sembuh,"balasnya


sambil menelan ludah, menyaksikan bagaimana
Emily melepasnya.

"Lantas, bagaimana perceraian kita? Aku ingin itu di


urus secepatnya!"

"Emily jangan pikirkan—"


"Allan aku ingin kita berpisah, tolong!"sanggah Emily
dengan suara parau. Ia mengulum bibir, menatap
lekat warna terang mata pria tersebut beredar ke
arahnya. Entah, apa yang tengah di rasakan Allan saat
ini.

"Ya! Aku akan mengabulkan


permintaanmu,"tukasnya dengan suara yang begitu
pelan. Ayolah, ia tidak pernah merasa seburuk ini
sebelumnya. Sekarang, Allan harus berhadapan
dengan keluarganya, keluarga Emily. Apa yang akan
ia katakan pada mereka setelah semua ini.

"Pada akhirnya, aku kehilanganmu,"Allan membatin.


Ia menatap haus ke wajah gadis tersebut lama. Saat
ini, pria tersebut tidak yakin akan melepaskan Emily
begitu mudah.

"Emily maaf!"ucapnya datar sambil meraih kembali


jemari kecil gadis tersebut.

"Allan,"
"Karena ku, kau harus menanggung semuanya. Kau
mungkin akan kesulitan untuk mendapatkan anak,
aku—"suara pria tersebut menggantung ketika Emily
meremas tangannya kuat.

"Allan apa maksud mu?"tegas Emily sambil


mengangkat tubuhnya, ia memautkan diri bertahan
pada rasa lemah yang menguasai dirinya. Lagi, gadis
tersebut melepaskan tangan Allan darinya.

"Rahim mu mengalami gangguan, akibat benturan


yang kau alami sebelumnya."jelas Allan membuat
mata gadis tersebut membulat.

"Gangguan?"

"Maaf karena ku, kau—"

"Keluar!"sentak gadis tersebut dengan suaranya yang


masih pada porsi datar.

"Emily!"
"Keluar Allan, apa kau tidak dengar?"tandasnya
kembali, semakin lantang hingga suara hembusan
napas keluar dari mulutnya.

"Baiklah, aku akan keluar. Harusnya aku sudah


menolak pernikahan ini dari awal, tidak peduli
apapun risikonya. Karena akhirnya, aku kehilangan
mu, Emily!"

Suara Allan begitu terluka, ia masih setiap menatap


Emily yang memilih untuk memejamkan mata. Gadis
itu hanya diam lalu menarik napasnya yang terasa
berat, hingga akhirnya Allan keluar dari ruangan
besar tersebut.

Emily menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, mengusap


air matanya pekat. Kenapa ia harus menanggung
semuanya? Apa salahnya hingga Tuhan
menghukumnya. Gadis tersebut banyak mengalah,
tapi pada akhirnya ia tetap kalah.

________________________
Keesokan harinya...

Emily mengangkat kepalanya tinggi, ia melipat kedua


tangan kuat-kuat, malas untuk mengedarkan
pandangan matanya saat Clarissa tampak aktif
berada di dekat Allan. Sementara Klaus mencoba
menatapnya dengan pandangan penuh ancaman.
Emily muak, berada di satu pesawat bersama orang-
orang tersebut.

"Emily, bisa aku tanya sesuatu hal padamu?"tanya


Clarissa sambil menatap dengan kemenangan. Ia
meletakkan kepalanya di dada Allan seakan ingin
menyakiti gadis tersebut.

"Kenapa kau begit takut saat berhadapan bersama


Klaus? Kau punya masalah dengannya?"tanya
Clarissa saat Emily lambat menjawab.

Deg!

Klaus langsung menurunkan tubuh, menatap Emily


begitu lekat hingga kedua mata mereka bertemu
beberapa detik. Seketika, apa yang terlintas di dalam
benak Emily membuatnya mendadak bergetar.

"Ayolah Emily, jawab aku!"balas Clarissa membuat


sorot mata gadis tersebut berpindah pada Allan yang
ikut menatapnya penasaran.

"Bukan urusanmu!"balas Emily sambil memindahkan


pandangan ke arah Klaus lalu beranjak berdiri dari
untuk segera menjauh. Kapan private jet itu akan
sampai? Rasanya sudah semakin sesak.

"Kau mau kemana Klaus?"tanya Clarissa saat pria


tersebut ikut bangkit dari tempatnya.

"Toilet, kau mau ikut?"tawar pria tersebut sambil


melirik ke arah Allan yang tidak peduli sedikitpun.
Clarissa tampak nya mulai tergeser semakin menjauh.

Klaus tersenyum tipis, lalu melangkahkan kakinya


untuk menjauh dari keduanya. Clarissa langsung
memeluk Allan kembali, menyandarkan tubuhnya di
bahu pria tersebut semakin erat.
"Aku sudah katakan, kau milikku, Allan!"batin wanita
tersebut sambil merasakan hangat tubuh pria
tersebut.

___________________

"Klaus apa yang kau lakukan!"Emily terkejut bukan


main saat tubuh kuat pria itu mendorongnya dan
mengunci rapat.

"Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu lagi,"ucap


pria itu sambil melempar senyuman yang tajam,
mengedar di tiap lekuk tubuh Emily yang sedikit
terbuka.

"Semakin dewasa, kau semakin cantik Emily."

"Klaus tolong lepaskan aku!"tukas gadis tersebut


mencoba meloloskan diri.

"Sayang sekali, kau menolakku Emily."

"Klaus aku akan berteriak jika kau—"


"Teriak saja! Aku yakin, Allan lebih percaya jika kau
yang menggodaku lebih dulu. Suami mu itu bodoh,
mudah di provokasi!"celetuknya penuh hinaan.

"Kalian semua gila,"tegas Emily sambil mendorong


kuat tubuh Klaus sebisa mungkin hingga akhirnya ia
terdorong jauh. Emily segera mengambil kesempatan
untuk meloloskan tubuhnya yang terasa dingin akibat
ketakutan.

_______________________

Plakk!!!

Anne menampar wajah Allan begitu keras saat


mendengar semua pengakuan putra kebanggaannya
tersebut.
"Aku tidak menyangka, kau bersikap seperti ini
Allan!"tandas Anne sambil memalingkan pandangan
ke arah Emily hanya hanya diam di sudut sofa.

"Mom—"

"Aku tidak mau tahu! Kalian tidak boleh


bercerai!"potong Anne lantang hingga mata amber
Emily bergerak menuju ke arahnya.

Mendadak, gadis tersebut berdiri dari tempatnya. Ia


mendekati Anne perlahan dan berdiri di tengah-
tengah sambil mengedarkan pandangannya yang
begitu lemah.

"Emily apa yang kau lakukan!"sentak Anne saat


melihat gadis tersebut melepas kancing pakaianya
satu persatu dan menurunkan nya bebas hingga
setengah tubuhnya tereskpose.

"Aku ingin berpisah! Jika keluarga Willard tidak bisa


mengabulkannya. Mohon maaf dengan segala hormat,
aku akan membuka mulut atas perlakuan ini,"celetuk
Emily berani.

"Emily!"suara Anne parau, terdengar memperingati.

"Maaf mom, aku benar-benar tidak bisa


mempertahankan hubungan ini. Tolong, kabulkan
permintaan ini, dengan begitu nama keluarga Willard
tidak akan tercoreng."

"Aku akan mengabulkan permintaan mu, Emily.


Suratmu akan siap besok!"

"Allan apa yang kau katakan!"bentak Anne


menatapnya tegas, ia mendekati pria tersebut hingga
Emily kembali mengancing pakaiannya.

"Mom, Emily tidak akan pernah bahagia. Aku


mencintai Clarissa, kau tahu itu, mom!"balasnya
sambil menatap begitu tegas ke arah Anne yang
merasa sangat kecewa. Mata wanita tersebut
berkaca-kaca, tidak kuasa menahan tangis.
Plaakk!!

Satu tamparan kembali mendarat ke wajah Allan,


hingga akhirnya Anne memilih meninggalkan
ruangan tersebut tanpa meninggalkan sepatah
katapun.

"Aku akan ada di penthouse lamaku, datanglah jika


kau sudah membawa suratnya!"Emily ikut memutar
tubuhnya, ia menunduk, menahan dadanya yang
sesak. Gadis itu bergerak cepat, memegang mulutnya
yang hampir mengeluarkan suara tangisan, lalu
meninggalkan kediaman keluarga Willard sesegera
mungkin.

Chapter 15 : One More Night


Emily menutup mata, menangkap warna yang ada di
dalam bayangannya saat ini. Entah, berapa kali air
matanya jatuh, membasahi tiap sudut wajah kecilnya.
Ternyata, pernikahan tidak semudah yang ia
bayangkan. Ratusan kali, wajah Allan bergerak di
otaknya, semua hal tersebut semakin
memerangkapnya dalam kamar gelap miliknya.

"Aku mencintaimu, Allan."bisiknya pelan sambil


memiringkan tubuh dan meremas seprai polos yang
membungkus rapi ranjangnya.

Gadis itu menurunkan jemarinya, menangkap perut


yang mungkin tidak akan pernah menghasilkan
keturunan. "Kenapa, harus sesulit ini? Kenapa semua
harus berakhir seperti ini?"rintihnya semakin pelan,
Emily mengulum bibir hingga di detik kemudian,
gadis tersebut menangis sejadi nya. Suaranya
melengking tinggi menyusuri tiap ruang
kosong penthouse pemberian keluarga Willard
tersebut.
"Emily."seseorang memanggilnya pelan, seketika
gadis tersebut bergerak. Menoleh ke arah sebaliknya.
Ia beranjak berdiri dan mencoba menangkap dinding
yang menjadi sumber kontak lampu di ruangan luas
tersebut. Namun, sebuah pelukan hangat
menangkapnya bersama bau alkohol yang begitu
menyengat hidung. "Allan."

"Sebentar saja! aku ingin memeluk mu."

Gadis itu diam, menunduk sedikit hingga hidung nya


menyentuh sudut leher pria tersebut. Allan
sepertinya masih hapal kode
akses penthouse tersebut, wajar, Emily atau siapapun
tidak pernah mengganti kodenya sejak ia tinggal di
sana, satu tahun lalu.

"Aku sudah bicara pada pengacara untuk


mempercepat perceraian kita, mungkin, ini adalah
malam terakhir aku bisa menatapmu, Emily!"bisiknya
pelan sambil mengusap sudut wajah gadis tersebut
pelan.
"Allan. Aku berharap, kita bisa menjadi teman
setelahnya,"balas Emily dengan suara parau. Ya
Tuhan, gadis itu ingin menangis. Ia menahannya
begitu baik sambil menggigit bibir.

"Emily, apa kau mencintai ku?"tanya pria tersebut


sambil mengangkat pandangan Emily ke arahnya.
Walau gelap, wajah gadis itu masih cukup jelas di
matanya.

"Kau tenang saja, setelah ini aku akan menjauhi mu,


aku akan pergi dari New York,"balasnya tanpa
menjawab apapun pertanyaan yang di ajukan Allan.
Tampaknya semua kalimat tersebut begitu mewakili
Emily saat ini.

"Emily, aku mencintai mu,"suara Allan mendadak


parau, ia merapatkan tubuh gadis tersebut semakin
kuat. Hingga sulit bagi Emily untuk mendorongnya.

"Allan kau mabuk."


"Hanya untuk malam ini, Emily, aku ingin menyentuh
mu untuk terakhir kalinya, aku tidak akan
menghalangimu setelahnya!"Allan berbisik,
menangkap jelas manik mata indah gadis tersebut
dalam gelap.

"Allan... Aku—"seketika mulut gadis tersebut


terbungkam penuh, Allan menekan kedua bibir
mereka, menyatukannya serapat mungkin.

Gadis tersebut berusaha mendorong, namun dua


tangan Allan lebih cepat menangkapnya, mengangkat
tubuhnya ke atas lebih tinggi lalu melepaskan
tubuhnya di atas ranjang.

"Pakai cincin ini selama kau masih mencintaiku,


Emily. Aku ingin, Kau selalu mengingat ku. Sejauh
apapun itu,"peringat Allan dengan suaranya yang
semakin keras. Ia memasang kan sebuah white ring di
salah satu jemari Emily. Mengusapnya lembut dan
mengecup pelan punggung tangan gadis tersebut.
"Allan tolong—"kembali, suaranya di tahan. Pria
tersebut mencium kembali, meremas tangannya kuat
dan mencoba menyelami Emily semakin serius.

Beberapa menit kemudian, Allan berhasil


menelanjangi gadis tersebut. Membakarnya dalam
gairah besar untuk saling melengkapi.

"Ahh.. Allan.."Emily mengerang kecil, memungut


ciuman kasar pria tersebut dan merasakan tekanan
ke dalam dirinya kuat saat Allan melakukan
penyatuan.

Emily memegang sudut pinggul Allan dan mereka


mencoba untuk saling memuaskan, berusaha untuk
tidak saling melupakan sampai kapanpun.

"I Love you, Emily."Allan membatin, ia menekan


tubuhnya sangat jauh hingga melepaskan dirinya di
dalam tubuh gadis tersebut.

Pada kemudian jam, Allan menatap dekat wajah


Emily yang begitu lelap dalam tidurnya. Pelan, ia
menyentuh sudut wajah cantik itu. Mencekalnya
dengan ingatan yang ia punya.

"Aku tidak akan pernah melupakan mu, Emily. Kau


menghukum ku!"tukas Allan parau, bibirnya bergetar
bukan main, berharap malam akan segera berakhir
seperti mimpi.

Sejenak, sebuah keluhan keluar dari mulutnya hingga


akhirnya ia mulai beranjak bangkit. Sudahlah, Allan
tidak ingin lagi menyakiti Emily. Gadis tersebut sudah
cukup menderita karenanya. Menderita karena
keluarga yang menjadikan tumbal atas ini semua.
Lihatlah, bahkan tidak ada satupun yang menanyakan
kabar Emily. Mereka tidak peduli.

Berbeda dengan Anne, wanita paruh baya itu benar-


benar menyukai Emily. Ia berharap gadis tersebut
mampu untuk menjadi bagian dari keluarga Willard,
namun nyatanya tidak. Allan malah menambah luka
tersebut. Anne menyesal.

____________________
Tiga hari kemudian,

Allan bersandar di sudut ruangan kamarnya, meneliti


tiap tempat yang menjadi obsessinya setiap waktu.
Napas pria itu tersengal, bersama penyesalan yang
datang sangat terlambat.

Tiba-tiba ia meraup sebuah berkas yang ada di


tangannya sangat keras lalu membuang nya
sembarangan.

"Sial, Sial, Sialll!"sentaknya begitu sarkas, lalu


memegang kepalanya yang terasa sakit dengan kedua
tangan.

Perceraian tidak bisa di elakkan, Emily tetap memilih


mundur dan menjauh sebisanya. Sungguh, tidak ada
lagi jalan untuk Allan bisa kembali. Mereka benar-
benar berpisah hari ini, tanpa satupun hambatan
yang menyulitkan keduanya.

Pria itu kembali merapatkan tangan di kepalanya


keras. Ia memukul dirinya sendiri hingga puas,
tampak seperti pria bodoh. Lantas, ia bergerak naik
untuk mencari sesuatu yang bisa menghiburnya saat
ini. Mungkin menjadikan Clarissa sebagai pelariannya
akan membuat ia bisa bertahan dalam kondisi saat
ini.

____________________

Suara desahan terdengar lantang di sebuah


penthouse yang dominan dengan olahan Rustik.
Seperti biasa, Clarissa tampaknya sedang
mengadakan pesta kecil bersama Klaus yang
menyentuhnya dalam. Wanita itu merasa menang,
saat mendengar berita bahwa Allan dan Emily resmi
bercerai.

"Kau tampak bersemangat,"tegur Klaus mendorong


miliknya keras.
"Ya! Kau tahu, apa alasannya!"Clarissa malas banyak
bicara, ia begitu menikmati tiap sentuhan yang
semakin dalam itu. Klaus seakan tahu apa yang ia
butuhkan saat ini.

"Apa kau tahu Emily pindah kemana?"tanya Klaus


sambil menghentikan gerakannya, sejenak.

"Ayolah Klaus, aku tidak ingin membicarakan gadis


sialan itu. Sangat tidak penting untukku!"Clarissa
memutar tubuhnya, menjadikan pria tersebut di
bawah. Ia ingin menguasai permainan.

"Dasar jalang tidak bisa di harapkan!"batin Klaus


sambil menggigit bibirnya kuat. Ia memegang tubuh
Clarissa dan menahan gerakannya agar wanita
tersebut kagum dengannya.

"CLARISSA!"

Mendadak, suara Allan terdengar lantang. Ia


mengeoal tangan sangat kuat saat mendapati
kekasihnya tidur bersama pria lain, terlebih pria
tersebut adalah Klaus.

"A-allan!"Clarissa sigap, ia menurunkan tubuhnya


dan segera memasang pakaiannya lengkap, tanpa
melepaskan pandangannya sedikitpun dari Allan.

"Jadi, ini yang kau lakukan di belakang ku?"

"Allan... Aku bisa jelaskan.. Kau salah paham... Aku—"

"Ayolah honey, sudah saatnya kita mengatakan


kebenaran pada Allan. Dia harus tahu, bahwa
hubungan kita sudah sangat jauh!"celetuk Klaus
memotong perkataan Clarissa begitu santai.

"Klaus hentikan!"tentang wanita tersebut sambil


mendekati Allan secepat kilat.

"Allan.. Tunggu... Aku bisa jelaskan.. Aku dan Klaus...."

"Diam kau jalang! Sialan! Aku mempercayai mu


selama ini Clarissa. Aku bahkan membohongi diriku
untuk melepaskan Emily dan kau—"suara Allan yang
melengking mendadak berhenti, ia menatap wajah
Clarissa dan Klaus bergantian.

"Allan... Tolong.. Aku."

Plaakkk?!

Allan menampar wajah Clarissa sangat keras hingga


tubuh wanita tersebut langsung terjatuh ke lantai.
Sungguh, Klaus hanya berdiam diri, tanpa ingin
membantunya. Ia sama sekali tidak peduli.

"Keluar dari tempat ini dan jangan pernah muncul di


hadapan ku lagi!"

"Allan aku mohon, jangan lakukan ini


padaku!"Clarissa merangkak, ia menangkap salah
satu kaki pria tersebut dan memeluknya sangat erat.
Suaranya yang parau terdengar ribut. Ia memohon
berkali-kali agar Allan bisa memaafkannya.

Brakk!!
Lagi, Allan menendangnya kuat lalu menangkap pipi
wanita tersebut dengan satu tangan dan menekannya
sangat kuat. "Aku tidak sudi melihat wajah mu,
jalang!"balasnya dengan tegas lalu membuang wajah
Clarissa hingga ia kembali terdorong hampir
mengenai lantai.

Allan menatap Klaus sekilas, lalu membuang


wajahnya dan segera melangkah menjauh dengan
amarah yang begitu berkuasa. Ia tidak peduli
bagaimana Clarissa memohon padanya. Allan fokus
untuk segera berjalan menjauh.

"Klaus kau mau kemana?"tanya wanita tersebut saat


Klaus tampak melangkah pelan menuju pintu.

Tap!!

Pria itu mendadak berhenti, ia memutar tubuhnya


dan melangkah kembali ke arah Clarissa dengan
senyuman sinis.

"Klaus!"
"Clarissa, Harusnya, kau itu sadar diri. Aku tidak
mungkin mencintai wanita murahan sepertimu, ah-
untuk gadis kelas rendah sepertimu, aku akui rasa
percaya dirimu terlalu tinggi!"balas Klaus sesuakanya
membuat mata wanita tersebut membulat besar.

"Klaus apa maksud mu?"sentak Clarissa dengan suara


parau.

"Hm.. Baiklah, aku perjelas. Sejujurnya aku hanya


memanfaatkan mu untuk menyakiti Allan. Ayolah,
pria tersebut terlalu beruntung, aku ingin
membuktikan bahwa aku mampu merebut apapun
yang ia miliki, termasuk Emily!"Klaus tersenyum
lebar, ia mengedarkan pandangan ke wajah Clarissa
lalu melempar senyuman penuh ambisi.

"Brengsek jadi kau memanfaatkan ku?"

"Yah tepat! Kau hanya alat Clarissa dan wow! Kau


bahkan memberiku bonus kenikmatan,
terimakasih."Klaus memalingkan pandangan, lalu
melempar senyuman kembali ke arah wanita
tersebut hingga Clarissa merasa begitu tidak berarti
sama sekali.

"Klaus!!! Klaus!! Klaus... Brengsek kau!"suara Clarissa


terdengar nyaring saat Klaus juga meninggalkannya
begitu saja, tanpa ingin mendengarkan lagi sepatah
katapun darinya.

Chapter 16 : Going Away

Emily mengedarkan pandangannya lemah, mencari


tempat yang sesuai dengan nomor kursinya. Gadis
tersebut mengeluh sekali, merasa begitu berat.
Namun, pagi ini Gabriel kembali menjadi penyelamat
nya. Pria tersebut menjanjikan kehidupan layak di
Italia. Sebuah pekerjaan santai yang menjanjikan,
setidaknya Emily memiliki harapan baru. Ia ingin
melepas semua kehidupannya di masa lalu,
meninggalkan lingkaran orang-orang yang
memuakkan. Sudah cukup, Emily tinggal di tempat
yang tidak pernah mengadilinya. Ini adalah akhir,
Perpisahan yang sangat adil untuknya ataupun Allan,
dengan mundur, Emily bisa merebut semua
kebebasannya kembali. Kehidupan yang seharusnya
ia impikan sejak lama.

Gadis tersebut duduk, menemukan tempatnya


dengan mudah lalu menatap luar jendela. Ia ragu,
bagaimanapun perasaannya masih tertinggal di
tempat ini, bersama Allan Willard. Pria yang baru saja
berpisah dengannya.

Emily meraih ponsel yang ada di dalam saku jeans


denim nya. Mematikan benda tersebut secepat kilat
saat suara lantang berupa peringatan terdengar di
tiap ruangan. Ia akan segera terbang, meninggalkan
jauh-jauh kehidupan di New York.

"Pakai cincin ini selama kau mencintaiku,"Emily


membayangkan kalimat terakhir Allan. Ia mengusap
kilat berlian yang melingkar terang pada jari
manisnya.

"Cincin yang bagus,"tegur seorang wanita paruh baya


yang duduk di sebelahnya. Emily menoleh, melempar
senyum tipis sambil mengangguk pelan.

"Ya! Seseorang yang membelikan ini, selera nya


sangat cocok dengan ku."

"Kekasihmu?"celetuk wanita tersebut membuatnya


langsung mengeluh kasar.

"Bukan, sekarang ia hanya teman ku,"balas Emily


sambil melirik kembali ke arah jendela.

"Sangat manis, aku berharap kau bisa menjalin


hubungan lebih dengannya, nanti."

Emily diam, tidak ingin menimpali sedikitpun. Ia


menggigit ujung kukunya dan mengeluh lambat,
merasakan betapa sesaknya ia sekarang. "Aku akan
merindukan mu, Allan,"batin Emily lantas merasakan
pesawat tersebut mulai bergerak. Beranjak menjauh
dan menanjak tinggi, baiklah, ia harus rela
meninggalkan seluruh masa lalunya.

Sementara Allan baru saja sampai di bibir


pintu penthouse Emily, pria tersebut
menekan lock nya dengan tangkas lalu melihat pintu
ruangan terbuka lebar.

"Emily!"sentaknya dengan suara yang begitu tegas.


Setiap gerakannya mencari ke seluruh ruangan yang
tampak hampa, sepi tanpa penghuni.

"Emily...."panggilnya sekali lagi sekaligus memeriksa


tiap ruangan, menaiki lantai atas untuk memeriksa
kamar dan semua barang-barang Emily.

Allan bergetar, ia meraih ponsel yang ada di sakunya


sambil menekan nomor Emily, sungguh, dalam
hidupnya hari ini adalah pertama kalinya pria
tersebut menelpon gadis itu.

"Sorry....."

Tap!

Allan langsung mematikan panggilannya, saat


menyadari bahwa tidak ada celah untuknya bisa
bicara lewat benda tersebut. Ponsel Emily tidak bisa
di hubungi sama sekali.

Allan menahan napas dan bergegas keluar,


memikirkan bandara adalah tempat terakhir yang
mungkin bisa meninggalkan jejak gadis tersebut.
Sungguh, ia tidak pernah menyangka bahwa Emily
serius akan meninggalkan New York begitu saja.
Lantas, langkah kaki Allan semakin lebar menuju ke
tempat tujuan yang berputar-putar di otaknya begitu
lama.

"Aku tidak ingin kehilanganmu, Emily. Sungguh, jika


kau meninggalkan ku maka ini akan menjadi hukuman
yang paling berat,"batinnya sambil menyandarkan
tubuh di kursi supercars Porsche-nya.

"Emily, Please!"Allan bergerak cepat. Menyusuri jalan


kota yang padat total. Sialan, ia tidak punya jalan lain,
pria tersebut benar-benar terjebak di tengahnya.

"Sialan!"Pria itu menekan klakson mobil dengan


lantang, begitu tegas seperti seseorang kerasukan
hingga beberapa orang di sekitarnya mengumpat
terhadap tingkahnya.

Lebih dari satu jam kemudian, Allan akhirnya sampai


dan memarkirkan mobilnya sembarang tempat.
Sungguh, ia sudah tidak peduli pada apapun lagi
sekarang. Hanya satu yang ada di pikiran Allan saat
ini, menjejal luasnya bandar udara John F Kennedy
secepat mungkin.

Sialanya, pria tersebut tidak mungkin akan


menemukan Emily kembali di tengah ratusan orang
yang ada di dalamnya. Allan gagal, ia bahkan tidak
mengetahui tujuan Emily sesungguhnya. Entah
berapa kali pesawat terbang sepanjang perjalanan
hingga ia sampai di airport.

___________________

"Bagaimana keadaanmu, Emily?"tanya Gabriel sambil


merebahkan diri di sofa berwarna red burgundy yang
tidak jauh dari gadis tersebut.

"Lebih baik, maaf, karena akhirnya aku merepotkan


mu,"tukas Emily dengan suara parau. Ia
menempelkan gelas hangat di bibirnya, mengecap
aroma moccacino berulang-ulang.

"Tidak masalah, aku sudah katakan padamu berulang


soal ini, Kita bisa menjadi teman yang baik,"tukas
Gabriel sambil melempar senyuman ke arah gadis
tersebut.

"Terimakasih atas segala bantuan mu,"Emily


tersenyum kecil, menyentuh ujung jarinya lembut.
Sungguh, ia masih berusaha menyakinkan hatinya
yang hanya untuk Allan. Pria brengsek yang
memecahkan hatinya berkeping-keping.

"Sudahlah, sejak kau sampai hanya itu yang kau ucap


berulang kali. Jangan terlalu fokus dengan hal
tersebut, harusnya kau istirahat, perjalanan mu
sangat jauh,"sambung Gabriel dengan pandangannya
yang datar. Ada rasa bahagia di hatinya, setidaknya
Emily tidak akan tersakiti kembali oleh Allan.

"Aku sedikit keberatan, kau terlalu memanjakan ku.


Bahkan memberikan ku tempat untuk tinggal, ini
terlalu bagus."gumam Emily dengan pandangannya
menunduk lalu mengulum ujung bibirnya yang terasa
manis.

"Akutidak mungkin membawamu ke mansion ku,


Emily,"tukas Gabriel santai membuat mata gadis
tersebut terangkat karenanya.

"Hmm.. Maksud ku, pria dan wanita yang belum


menikah, tidak bisa tinggal seatap. Sedikit kurang
sopan menurutku,"jelas Gabriel takut jika kalimatnya
menjadi satu Boomerang untuk Emily. Ia pria yang
sangat hati-hati dalam masalah apapun.

"Aku paham maksudmu, hanya saja, ini terlalu


berlebihan,"balas Emily dengan suaranya yang
sedikit pelan.

"Ayolah Emily, aku juga paham kesulitan mu.


Istirahatlah, jika kau butuh sesuatu telpon saja, aku
akan membantu mu!"tegas Gabriel lebih detail sambil
meneliti gadis itu mengangguk ke arahnya. Seketika,
Gabriel beranjak dari tempatnya. Bergerak menjauh
hingga bibir pintu untuk meninggalkan Emily.

__________________

Emily menekan saklar lampu kamar, meneliti tempat


di mana ia akan berada lebih nyaman dari seluruh
ruangan yang ada di rumah tersebut. Ia
menghembuskan napas kasar, meneliti ruang yang
cukup luas, semua perabotan terisi penuh. Ayolah,
apakah Gabriel akan menuntut sesuatu darinya?
Emily merasa ini malah menjadi beban untuknya di
kemudian hari. Apalagi, Emily tahu betul bahwa
Gabriel memiliki hati untuknya.

"Hmm!"Lagi, suara hembusan napas terdengar berat,


lalu melirik ke arah barang-barang nya dan
merebahkan diri di atas ranjang.

"Sangat nyaman,"gumam Emily sambil mengangkat


tangannya ke atas, ia meneliti cincin pemberian Allan.
Bahkan, cincin pernikahannya ikut melekat di
sebelahnya. Sungguh, gadis tersebut merasa akan
sulit untuk melupakan pria tersebut.

"Aku yakin, saat ini kau pasti sedang merayakan


semuanya bersama Clarissa. Selamat Allan, aku harap
kau bisa lebih bahagia bersama wanita itu,"Emily
memiringkan tubuhnya, meremas seprai hingga
berantakan. Gadis tersebut memejamkan matanya,
melepas rasa penat yang begitu terasa hingga terlelap
tidur.

Chapter 17 : Accident

Allan mengeluh kasar, meneliti Townhouse yang ada


di pinggir jalan kota besar tersebut. Ia mengedarkan
pandangan tampak asing dengan kawasan tersebut.

Langkahnya mendadak terhenti saat seseorang yang


berputar di kepalanya, muncul, dari salah satu
pintu."Mau apa kau kesini, hah?"tangkas sosok
familiar tersebut langsung mencengkeram kerah
pakaian Allan sekuat nya.

"Louis, aku perlu bicara!"

"Kau hampir membunuhku, kau tidak lihat?"balas


pria tersebut sambil menunjuk perban yang bahkan
masih tergulung rapi di kepalanya.

"Louis aku—"
Brakk!!

Satu tinju melayang di wajah Allan sangat cepat


hingga pria tersebut jatuh ke tanah dengan
pandangan yang berpaling ke sisi lain. Ia mengulum
bibir, merasakan darah keluar dari dinding mulutnya.

"Aku melepaskan Emily, berharap ia bisa bahagia


dengan seseorang yang ia cintai, nyatanya kau
—"Louis meremas rambutnya kuat. Ia emosional,
menahan napas yang terasa tidak beraturan. Allan
masih tampak normal, tanpa perlawanan. Ia salah.

"Brengsek!"ketus pria itu lambat sambil menatap


Allan yang mengusap sudut bibirnya dengan ujung
pakaian.

"Emily menghilang,"balas pria tersebut mulai


menaikkan pandangannya ke atas. Menatap serius
pada Louis yang langsung mengerutkan keningnya.

"Apa, katamu?"tanya nya memastikan.


"Sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan Emily di
dalam hotel itu?"tandas Allan dengan suara nya yang
parau. Ia menekan tangannya kuat, merasakan emosi
segera berpuncak di kepala sesegera mungkin.

"Louis jawab aku!"sentak Allan sarkas sambil


menangkap kerah pakaian pria tersebut sangat kuat.

"Lepas!"Louis mengguncang tubuhnya, bergerak


cepat hingga pautan Allan sedikit longgar.

"Jawab aku!"suara Allan kembali melengking hebat,


menatap begitu tegas hingga tidak sekalipun ia
berkedip, bersaing bersama napasnya yang cepat.

"Tanyakan langsung pada teman-temanmu, terutama


Klaus dan Clyde!"tegas Louis sambil mendorong kuat
tubuh Allan hingga akhirnya pautan tersebut lepas.

"Brengsek! Aku bertanya padamu!"tukas Allan


kembali menahan Louis hingga pria itu terdiam
sejenak.
"Aku tidak bisa mengatakan nya di sini,"celetuk Louis
sambil mengedarkan pandangannya di tiap sudut,
tampak meneliti.

Lantas, pria tersebut melangkah masuk townhouse di


ikuti langkah Allan yang begitu sigap.

Sejenak, sorot mata terang Allan beredar di setiap


sudut ruangan, lalu berhenti pada tumpukan buku
tebal yang terlihat menarik perhatian. Pria tersebut
melangkah mendekat, meneliti dan memeriksa rak
dan tumbukan buku tersebut dengan pandangannya.

"Emily, yang membeli buku-buku itu,"celetuk Louis


sambil menaruh segelas minuman panas di sudut
ruangan bergaya mediteran tersebut. Allan menoleh,
mulai melangkah mendekat.
"Emily memiliki selera yang aneh,"tudingnya sambil
mengeluh pelan.

"Hm! Semua karena Emily tidak seberuntung kau,


gadis tersebut hanya bisa mengenal dunia lewat
buku-buku bekas itu."

Deg!

Allan terdiam, ia mengulum bibir mengingat


bagaimana Emily di perlakukan tidak adil, gadis
tersebut di bedakan dari Catherine, saudari
perempuannya.

"Jadi, katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi


hari itu!"Allan menangkap moment tersebut, ia tidak
ingin berlama-lama untuk mengetahui sesuatu yang
tampaknya hilang dari pengetahuannya.

"Aku tidak tahu, bisa atau tidak mengatakannya


padamu Allan. Masalahnya, kasus ini, sudah di tutup.
Aku dan Emily pernah menandangani surat
perjanjian untuk menyimpan semua rahasia ini."
"Siapa yang melakukannya?"tanya Allan penasaran.

"Sudah aku katakan tadi—"

"Siapa yang melakukannya!"sentak Allan sarkas


membuat Louis terdiam menatap begitu tajam.

"Klaus, lebih tepatnya keluarga Klaus."

"Apa? Apa yang kalian tandatangani?"tukas Allan


seksama membuat bebas untuk Louis sendiri.

"Sial, aku bisa di penjara karena ini."

"Aku menjaminmu!"balas Allan tegas, ia menyatukan


kedua tangan, tampak sangat ekspresif. Louis
menelan ludah, ia menelisik ke arah sudut ruangan
dan beranjak ke satu nakas terkunci yang ia letakkan
pada sisi kiri tumpukan buku pelajaran Emily.

"Teman-teman mu hampir memerkosa Emily."


"Apa katamu?"tanya Allan dengan suaranya yang
parau.

"Ayolah Allan, kau yang mengundang Emily ke hotel


itu, kau menghubungi Emily lewat Klaus."

"Apa? Ah aku?"Allan beranjak bangkit, ia tidak paham


apapun. Sungguh, pria tersebut tidak menunjukkan
sikap bahwa ia pernah menghubungi Emily.

"Clyde, temanmu, saksinya. Kau mengirim pesan teks,


jika aku tidak mengikuti Emily malam itu, aku yakin
Klaus pasti berhasil—"

"Tunggu, aku tidak pernah mengirim pesan apapun


pada Emily. Ponsel ku hilang dua hari sebelum
kejadian tersebut dan aku baru menyimpan nomor
Emily, sejak kami menikah,"tegas Allan tampak masih
begitu tinggal dalam kebingungan.

"Lantas kenapa kau begitu membenci Emily? Apa kau


pikir Aku—"
"Aku mencintai Emily."sentak Allan tegas, menambah
kebingungan yang semakin terasa di ruangan itu.

"Klaus dan Clyde mengatakan padaku, bahwa Emily,


gadis bayaran yang bisa di panggil siapapun. Hingga
aku melihat mu keluar dari hotel tersebut bersama
Emily, aku percaya itu, aku begitu malu, saat mereka
menghina Emily. Aku mencoba berontak saat Mommy
ku menjodohkan ku pada Emily, rasanya ingin
runtuh, saat kau harus menikah bersama gadis yang
di anggap pelacur oleh teman-teman mu!"

"Allan. Klaus dan keluarga nya membayar pengacara


untuk menutup kasus ini, jika tidak, mereka akan
menyebarkan beberapa bukti foto naked Emily."

"Apa?"tandas Allan cepat, hingga Louis menekan


amplop yang ia letakkan di hadapan pria tersebut.

"Foto ini, di ambil malam itu, Klaus membuat Emily


mabuk,"seketika Allan meraih amplop tersebut dan
segera memeriksanya cepat.
"Klaus pernah memberikan foto-foto ini padaku, ia
membuktikan bahwa Emily bukan gadis baik untuk
—"

"Dan kau percaya lalu membuatnya terluka!"sanggah


Louis membuat Allan merasa begitu tertampar keras.
Pria tersebut meremas foto Emily, mencoba
menghancurkan benda tersebut dengan tangannya
sendiri. Sungguh, ia menyesali setiap kebodohan yang
begitu ia percayai. Klaus berhasil membuat sesuatu
lelucon hebat, akibat dari semua ini, Emily yang
menjadi korbannya.

"Aku harus menemui Klaus!"

"Allan! Jangan gegabah, kau tahu bagaimana


keluarganya, mereka akan membayar berapapun
untuk membuat nama baik keluarga Morone
bersih,"peringat Louis sambil menahan lengan Allam
sekuat mungkin.

"Aku tidak peduli."


"Allan! Tolong, setidaknya jangan menambah
masalah sampai kau menemukan Emily,"tahan Louis
mencoba meredakan pria tersebut.

"Brengsek, Aku harus menemukan Emily, aku harus


—"Allan meremas rambutnya kuat, ia tidak bisa
bicara lagi. Sungguh, selama ia belum bisa
menemukan Emily, maka rasa penasaran yang tinggal
di hatinya akan sangat dalam.

_____________________

"Bagaimana tidur mu?"tandas Gabriel menatap wajah


Emily cukup lama.

"Sangat baik,"gadis tersebut tersenyum pelan. Ia


meraih kotak ice cream vanilla yang ada di depannya,
melahap rakus tanpa peduli tanggapan Gabriel.

"Pelan-pelanlah, aku tidak akan mencuri milikmu."


"Allan juga suka ice cream vanilla,"balas Emily secara
spontan, membuat wajah Gabriel berubah. Ia
mengulum bibir, langsung menundukkan pandangan.

Tap!!

Emily meletakkan kotak tersebut ke atas meja dan


mendorong nya sedikit menjauh. "Aku harus
pulang,"ucapnya begitu mendadak, ia berdebar-
debar.

"Emily ada apa?"Gabriel menyusul, ia menahan


lengan gadis itu sangat kuat lalu meneliti wajah yang
sedikit memucat.

"Aku hanya letih, sepertinya aku harus


istirahat,"balas Emily tanpa melirik sedikitpun ke
arah Gabriel yang tampak tidak mudah percaya.

"Tenanglah, aku akan mengantarmu,"


"Tidak perlu, aku bisa sendiri!"Emily mendadak
bersikap aneh. Ia mendorong Gabriel dan segera
melangkah menjauh sebisa mungkin.

"Emily!"sentak Gabriel tampak sigap mengikuti


langkah gadis itu. Emily bertingkah lain, tidak seperti
biasanya. Sungguh, sikapnya membuat gabriel
khawatir. Ia tidak ingin, Emily terluka sedikitpun.

Gadis tersebut melangkah lebar, menyusuri tapak


jalan sebisa mungkin.

"Ya Tuhan, aku mohon, aku benar-benar ingin


melupakan Allan. Bagaimana bisa aku terus
mengingatnya seperti ini,"batin Emily tampak begitu
tidak fokus dengan langkahnya yang semakin jauh. Ia
memijat kening yang mendadak berdenyut seakan
seseorang mengikatnya begitu kuat.

"Tolonglah, aku harus melupakan Allan!"lagi, gadis


tersebut membatin bersamaan dengan langkahnya
yang mulai menginjak jalanan beraspal.
"Aku tidak bisa terus—"

"Emily!!!!!"

Braaaakkk!!!

Mendadak, suara hentaman benda berat terdengar


sangat lantang, bersambut bersama teriakan yang
keluar dari mulut Gabriel. Seseorang menabrak Emily
tanpa sengaja dengan kecepatan yang tidak bisa di
tahan, mobil tersebut menghempas, menyeret dan
mendorong tubuh kecil gadis tersebut hingga
terlempar empat meter ke depan.

Suasana berubah kacau, darah segera keluar dari


beberapa bagian tubuh Emily yang langsung
melemah. "Emily, bangunlah!"Gabriel menyambut
tubuh gadis tersebut, memegang kepala yang tampak
mengeluarkan darah segar. Gadis tersebut sudah
tidak sadarkan diri lagi. Mata Emily tertutup begitu
rapat. Ia tidak bisa mendengarkan panggilan Gabriel
yang penuh dengan kekhawatiran.
Chapter 18 : Traumatik

"Emily, sudahlah. Kau harus menerima pernikahan ini!


Keluarga Willard sudah begitu banyak membantu,
mulai dari biaya pendidikan Catherine, pengobatan
daddy-mu dan kehidupan sehari-hari. Keluarga
mereka tidak buruk, hidupmu bisa di jamin!"

"Mom.. Tapi.. Aku dan Allan bahkan tidak pernah


saling bicara sejak—"

"Aku tidak mau tahu Emily, mereka bahkan


memberikan kita tempat tinggal layak. Apa yang
kurang di matamu? Jika kau menikah, mommy tidak
akan mengusik mu lagi, kau bebas!"

"Mom aku mohon, Allan tidak mencintai ku sama


sekali."
"Itu tugas mu, Emily. Lagipula, cinta nomor kesekian,
yang penting keluarga mu nyaman, Catherine bisa
menyelesaikan kuliahnya."

"Mom!"

"Kami akan meninggalkan negara ini, menikahlah


bersama Allan. Keluarga Kate mengharapkan mu, jika
kau menolak keluar dari sini!"


"Emily...."gadis tersebut merasakan kepalanya begitu


berat, ia begitu lama terenyuh dalam bayang masa
lalu. Namun, seseorang memanggilnya keras. Seakan
mencoba menyadarkan ia dari koma, ini sudah empat
hari. Emily hanyut dalam kegelapan yang bahkan
tidak bisa ia kendalikan.

"Emily, bangunlah!"suara tersebut kembali


memerintah, terdengar nyaris setiap hari. Namun,
entah kenapa, Emily tidak ingin bangun sama sekali.
Ia nyaman terbaring lemah di tempat tersebut,
menenggelamkan seluruh masa lalunya yang mulai
terkubur sangat dalam.

Ia memimpikan seseorang, pria yang tengah mencoba


meraihnya begitu kuat. Menarik-narik bangkit agar ia
kembali meraih mimpi nya. Percuma! Bagi Emily, ia
kehilangan harapan.

"Emily, please, bangunlah!"lagi, suara tersebut


menggema di otaknya, hingga dada Emily serasa
sesak bukan main.

Mendadak, sosok tersebut tercetak tegas di matanya,


berwarna, menatapnya lembut dan meremas
tangannya kuat-kuat. Ia mengerutkan kening,
meneliti sosok tersebut. Menerjemahkan seluruh
tingkahnya.

Tap!!!
Seketika mata Emily terbuka lebar, ia mengedarkan
mata di seluruh penjuru ruangan yang perlahan-
lahan terang.

"Emily..."panggil seseorang begitu dekat, namun,


suaranya berbeda dari sosok yang ia impikan. Lebih
ringan.

"Aku akan memanggil dokter,"tukas pria yang masih


di pandang kabur oleh gadis tersebut. Ia tidak bicara
sedikitpun, masih berusaha untuk mengenali sekitar
ruangan.

Beberapa detik kemudian, Emily mulai


menggerakkan tangannya yang sangat berat, ia ingin
merasakan dada yang begitu berdetak cepat. Ia
merasakan sesuatu, namun, semua begitu sulit ia
cerna saat ini.

"Emily..."kembali, namanya di sebut-sebut setelah


sekian menit. Matanya bergerak, teralihkan pada
sosok tampan bersama dokter pria yang langsung
memeriksa keadaannya tanpa melepas alat yang
membantunya untuk bernapas selama ia terbaring di
sana.

"Apa yang terjadi?"pikir Emily mulai merasakan


napasnya cepat. Tuhan, ia tidak paham kondisi ini,
tubuhnya mati rasa. Ia kesulitan mengenal,
memahami, mencari atau apapun itu. Otaknya tidak
berfungsi sedikitpun.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan, nona Emily


mengalami Traumatic Brain Injury atau cedera otak
traumatik, hingga mengganggu beberapa jaringan
otak nya. Nona Emily, harus mendapatkan perawatan
ekstra dalam jangka panjang."

"Apa?"tanya Gabriel lantang, ia melirik tegas ke arah


Emily lalu berpindah cepat ke arah dokter kembali.

"Hal ini akan mengganggu pasien mulai dari keadaan


tubuhnya yang semakin rentan, bahkan merubah
perilaku. Saat ini, pasien harus menjalani beberapa
pemeriksaan neurologos dan diagnostik untuk
memastikan tingkat keparahan cedera."
"Berapa lama Emily akan seperti ini?"tanya Gabriel
dengan suara parau. Ia benar-benar khawatir.

"Tergantung kondisi dan tingkat trauma yang di


alami pasien. Seseorang harus membantunya!"tegas
dokter tesebut sambil melirik ke arah Emily yang
hanya diam tanpa mengetahui apapun. Ia begitu sulit
untuk mencerna kalimat-kalimat yang di lontarkan
kedua orang tersebut.

Emily, meremas tangannya pelan. Rasa sakit akibat


luka yang ada di tubuhnya begitu menyiksa. Ia sulit
bergerak, sepertinya ada yang patah di bagian
kakinya saat ini. Emily diam, memerhatikan kedua
orang asing yang masih berdiri begitu dekat,
membicarakan kondisinya spesifik.

Ini hukuman terberat bagi seorang Allan Willard. Ia di


lupakan dengan mudah hanya dalam beberapa detik,
Tuhan mengabulkan doa Emily atau mungkin ia
menyiapkan sesuatu hal yang lebih baik untuk Emily.
Gadis tersebut sudah seharusnya beranjak dari masa
lalu, mengubur semua masa sulitnya begitu saja.
____________________

Sementara Allan memasuki sebuah klub malam


ternama di kota tersebut. Mata terangnya begitu liar,
meneliti tiap sudut ruangan yang ramai. Hentakan
musik yang begitu keras membuatnya semakin
semangat.

Seketika mata terangnya menangkap seseorang yang


tengah bersenang-senang bersama kerumunan
wanita malam. Ia begitu berbahagia, menyerukan
sumpah serapah sarkas dari mulutnya— Clyde
Darker Bowers.

Allan bergerak cepat, mengarahkan seluruh


emosionalnya di kedua tangan yang semakin
mengeras.

"Allan... Tumben sekali kau datang—"

Tap!! Suara pria brengsek tersebut terputus saat


kerah pakaiannya di tangkap paksa, Allan memutar
tubuh Clyde begitu tangkas hingga para wanita
malam tersebut berteriak dan melarikan diri.

"Allan apa yang kau—"

Brakk!!

Pria tersebut meninju wajah Clyde sangat kuat


sebanyak dua kali hingga darah langsung keluar dari
hidungnya yang di pastikan patah. Clyde mencoba
melawan, ia menahan tangan Allan sebisa mungkin,
namun pria kesetanan tersebut sangat tidak bisa di
hentikan. Ia melepaskan beberapa serangan tajam
kembali lalu menekan keras kepala Clyde di meja
rendah, tempat dimana gelas-gelas berisi minuman
berkumpul.

"Katakan, apa benar bahwa Kau dan Klaus pernah


mencoba memerkosa Emily?"tanya Allan membuat
mata pria tersebut membulat besar.

"Jawab!"
Brakk!

Sekarang, Allan menghantam mata pria tersebut


hingga Clyde langsung mengerang kesakitan dalam
sekian detik.

"Brengsek, beraninya kau membohongi ku,"tandas


pria tersebut sambil menarik kerah pakaian pria
tersebut kembali.

"Allan tunggu! Aku bisa jelaskan!"erang Clyde dengan


suaranya parau, ia bicara begitu kuat hingga pria
tersebut mendadak menghentikan pukulannya.

Allan mengedarkan pandangan, melihat beberapa


petugas pengaman klub datang mendekati mereka.
"Aku sudah bicara pada bos kalian untuk ini,"sentak
Allan sarkas lalu menarik kerah pakaian Clyde sangat
keras dan melemparnya ke lantai.

Seketika, suasana hening mendadak. Musik berhenti


dan semua orang menatap fokus ke arah Allan.
"Cepat, ikut aku!"gumam pria tersebut tegas, ia
mengedarkan pandangan, menatap penjaga
keamanan mematung meneliti sikapnya.

Clyde berusaha bangkit, ia pusing setengah mati,


sementara tubuhnya berlumur darah. Sialan, Allan
sepertinya tidak main-main.

"Cepat!"tandas Allan sambil menarik kerah nya. Ia


tidak ingin menunggu terlalu lama.

_________________

"Aku di ancam, Klaus sudah lama mengincar Emily.


Hanya saja ia terabaikan dan ingin mencoba
menggunakan cara licik!"

"Untuk apa Klaus mengincar Emily!"

"Ayolah Allan, kau tahu alasannya. Kita semua tahu


kau sudah lama menyukai Emily, sama dengan Klaus.
Bedanya ia tidak pernah mengutarakan secara
langsung."tukas Clyde sambil mengusap wajahnya
dengan kain basah. Pria tersebut membersihkan
lukanya sendiri.

"Lantas, kenapa kau menuruti—"

"Aku sudah katakan. Klaus mengancam ku, ia tahu


kalau aku menyukai sesama jenis dan beberapa video
yang tidak bisa di konsumsi publik. Klaus dan
keluarganya mengancam ku dengan hal
tersebut,"terang Clyde dengan napasnya yang terasa
sesak.

"Karena itulah, ia mencoba mempengaruhi mu untuk


membenci Emily, dengan foto naked Emily sebagai
bukti kau pasti percaya, itu terbukti, kau langsung
memiliki Clarissa sesudahnya dan tidak pernah
terlihat membicarakan Emily. Aku pikir, kau sudah
melupakan gadis tersebut karena Clarissa."

"Harusnya kau mengatakan semua ini padaku!"

"Ayolah Allan, aku terancam. Rahasia besar ku ada


pada Klaus. Jujur saja, ia ingin menyebarkan
beberapa foto Emily ke publik saat mendengar berita
perjodohan mu bersama Emily."

"Lantas, kenapa dia tidak melakukannya?"

"Karena Clarissa berpikir, kau tidak akan pernah bisa


mencintai Emily."

"Jadi, Clarissa tahu akan hal ini?"

"Tidak, Klaus mendekati Clarissa hanya untuk


memanfaatkannya. Agar tetap bisa menyakiti Emily
hingga kalian bercerai. Klaus berpikir kalau Clarissa
bisa menyetir mu,"tandas Clyde sambil melepaskan
napasnya pelan.

"Sial. Kau mengetahui semuanya, namun, kau


memilih aku hancur,"sindir Allan sambil mengusap
wajahnya.

"Aku tahu, Emily di mana!"


Seketika, mata Allan langsung bergerak naik, ia
mengerutkan kening dan mencoba untuk percaya.

"Maksudmu?"

"Aku bertemu Emily tanpa sengaja di bandara. Aku


tidak yakin ia kemana, yang jelas tujuannya Italia."

"Kau yakin?"

"Mungkin!"balas Clyde membuat Allan sedikit


membuka pandangannya. Ia mengerutkan kening
mencoba berpikir. Emily, ke Italia dan satu-satunya
orang yang terlintas saat ini adalah Gabriel.

"Tidak mungkin, Emily tidak memiliki kontak tentang


Gabriel kan. Lagipula, Emily—"Allan berpikir, ia
mengeluh kasar mencoba membuat semua
pemikirannya menjadi satu kesatuan yang bisa ia
cerna dengan mudah. Ia harus memastikannya.
Chapter 19 : Pregnant

"Emily, bagaimana keadaan mu?"tanya Gabriel


dengan wajah datar. Ia meneliti tiap raut wajah Emily
yang sama sekali tidak bisa melontarkan sepatah
katapun.

"Tenanglah, aku akan menjagamu dengan


baik,"sambung Gabriel perlahan mencoba menyentuh
jemari gadis tersebut dan meremasnya lembut.

"Kau akan di pindahkan ke rumah sakit yang lebih


baik, sementara waktu kau harus berada di Rome.
Aku akan mengunjungi mu seminggu dua kali,"tukas
Gabriel memandang lembut tanpa cela hingga
akhirnya Emily menggerakkan tangannya sedikit. Ia
ingin bertanya, namun rasanya begitu sulit. Otaknya
seakan tidak bisa bekerja sedikitpun.
"Satu hal lagi, jangan khawatirkan apapun. Aku akan
melakukan yang terbaik untuk mu, karena itu,
segeralah sembuh."Gabriel mengecup pelan
punggung tangan gadis itu lembut. Menatapnya lebih
dekat hingga satu kedipan lembut tersirat dari mata
Emily.

"Kalau begitu istirahatlah, besok pagi kau sudah


harus di berangkatkan,"terang Gabriel dengan
suaranya yang parau. Ia mengusap kening Emily,
menatapnya penuh perhatian tanpa jeda sedikitpun.
Sungguh, melihat Emily dalam kondisi seperti itu,
membuat Gabriel ikut terpuruk.

"Maaf, karena aku tidak bisa menjagamu dengan


benar."batinnya dalam tanpa melepas sedikitpun
pandangannya dari Emily.

Beberapa menit kemudian, mata Emily kembali


tertutup. Ia mencoba menenangkan diri, berharap
besok akan ada sesuatu yang bisa ia pahami.
Melihat itu, Gabriel memundurkan tubuhnya.
Menatap Emily dari sekian jarak, ia memikirkan
banyak hal.

"Apa aku harus menghubungi Allan, Emily?"pikir


Gabriel sambil mengusap sudut bibirnya yang terasa
pahit. Ia mengeluh kasar, mempertimbangkan apa
yang ada di benaknya saat ini.

"Tidak bisa, Emily datang ke sini untuk menghindari


masa lalunya. Jika aku memberitahu Allan, hasilnya
mungkin akan lebih buruk,"celetuk Gabriel dengan
pandangan beredar ke arah lain.

"Baiklah, aku akan merahasiakan semua ini. Lagipula,


ini bisa menjadi kesempatan untukku. Mungkin
dengan seperti ini, aku bisa mendapatkan Emily."

Gabriel bangkit dari tempatnya, ia menelan saliva


memikirkan betapa rakus dirinya sekarang. Ayolah,
Ia belum sebegitu mencintai Emily. Namun, sejak
gadis tersebut memilih kembali datang ke Italia,
perasaannya perlahan semakin bertambah. Ia ingin
memiliki Emily sebisa mungkin dan mulai berpikir
untuk mengambil peran seseorang yang ada di hati
Emily saat ini.

Emily mengedarkan matanya kembali, ia bangun dan


merasa begitu sesak. Bertanya-tanya tentang keadaan
yang sedang terjadi padanya sekarang. Tuhan ingin ia
beristirahat sejenak, melupakan semua masa lalu
yang mencoba menyingkirkannya jauh.

Tap!!

Gadis tersebut meremas sudut seprai, ia


mengerutkan kening. Menatap seseorang
mendekatkan diri padanya, sebuah bayangan pekat,
kabur dan tidak berwarna kini berdiri di hadapannya,
mencium lembut dirinya begitu hangat.

"Aku mencintai mu, Emily. Pakai cincin ini selama kau


mencintai ku."
Seketika, Emily mengangkat tangannya, mencoba
meneliti sebuah benda melingkar di jarinya. Mengilap
dan tampak indah.

"Sangat indah,"pikirnya sambil mengulas senyuman


tipis lalu bernapas pelan.

"Apa pria itu yang memberiku cincin ini?"pikir Emily


memikirkan Gabriel dalam segala hal. Hanya pria
tersebut yang ia tahu, walaupun sedikitpun tidak ada
ingatan yang membekas di pikirannya.

____________________

Allan memeriksa beberapa berkas-berkas di ruang


kerjanya, menerima beberapa laporan yang tidak ia
tanggapi mingu ini. Semua urusannya di atur Anne
sejak ia menikah, itu memuakkan. Hasilnya tidak
sesuai yang ia harapkan sama sekali.

Besok, ia akan berangkat ke Italia. Sejujurnya, ia tidak


begitu yakin jika Emily berada di sana. Namun, ia
harus memastikannya sendiri. Sungguh, ia benar-
benar merindukan Emily. Rasa penyesalan yang ada
di dalam dirinya membuat begitu sesak, seperti
seseorang mengikatnya kuat-kuat.

Allan, menjadi komisaris, presiden sekaligus CEO di


salah satu perusahan perangkat lunak yang berpusat
di Amerika serikat, sekaligus founder serta broker
perusahaan valuta asing atau lebih di kenal dengan
Valas yang tersebar pada 14 negara dunia, AXA trade
internasional. Berkat, keahliannya di bidang ini, Allan
Willard menembus kekayaan sebesar 202 milyar
dollar di posisi 4 menurut majalah forbes.

Namun, Allan memiliki beberapa masalah dalam


dirinya, ia seorang introvert, overthingking dan di
nyatakan mengalami gangguan kepribadian
obsessive-compulsive disorder. Hingga tidak mudah
untuknya berdampingan dengan seseorang yang
tidak ia butuhkan. Hal itu terbukti, tidak ada satu
orang pun maid yang tinggal di mansion nya. Mereka
memiliki jam khusus kapan harus berada di mansion
untuk membersihkan isinya, termasuk pengawal atau
apapun itu, Allan hanya mempekerjakan mereka
seperlunya.

Tok tok tok!!

Seketika, pria tersebut melirik, ia membuyarkan


lamunan nya. Ya Tuhan, sejak tadi ia tidak fokus.
Hanya Emily yang ada di otaknya.

"Sir, seseorang ingin menemui mu di luar,"tegas maid


kepercayaannya di mansion tersebut.

"Siapa?"

"Aku! Kita harus bicara Allan!"sentak seseorang


dengan suara nyaring hingga pria itu langsung
menangkap sosok yang begitu menggebu saat berada
di dekatnya.

"Pergi sana!"perintah wanita itu sambil mengusir


maid yang langsung menunduk dan melangkah pergi.
"Mau apa lagi kau ke sini, Clarissa?"tegasnya dengan
suara parau, berjalan mendekati wanita tersebut.

"Allan..aku ingin menjelaskan sesuatu. Apa yang kau


lihat kemarin adalah salah paham!"

"Apa? Salah paham? Aku rasa kau masih sadar saat


mengatakan hal tersebut,"balasnya penuh hinaan.

"Klaus yang memaksaku, ia ingin—"

"Aku tidak peduli, siapa yang memaksa siapa.


Hubungan kita berakhir!"

"Allan aku mencintai mu, tolong beri aku kesempatan


untuk—"

"Keluar dari mansion ku!"tandas nya cepat dengan


suara datar sebelum Clarissa menyelesaikan
ucapannya.

"Allan.. Aku mohon..."


"Keluar dari rumahku jalang!"

Brakk!!

Seketika tubuh Clarissa terpental jauh, Allan


mendorong nya begitu saja layaknya sampah. "Allan
aku hamil!"

Suara Clarissa terdengar lantang, ia memegang


perutnya yang terasa sesak lantas mengelilingi wajah
Allan dengan pandangannya yang berkaca-kaca.

"Lalu, apa mau mu?"tanya Allan datar.

"Harusnya kau bertanggung jawab!"

"Apa? Tanggung jawab?"Allan terkekeh pelan,


mencoba mencerna dengan detail kalimat Clarissa
yang begitu menjijikkan untuknya.

"Jangan membodohi ku, Clarissa. Kau tahu aku tidak


pernah melewatkan satu pengaman pun dengan mu,
kau bekas."hina Allan dengan suaranya yang cukup
menggema.

"Allan, aku tahu, kau mencintai ku, jadi aku mohon—"

"Apa? Cinta?"Allan kembali melempar senyumannya,


ia melangkah mendekat lalu menyentuh wajah
Clarissa lembut tanpa melepaskan pandangannya
sedikitpun.

"Biar aku jelaskan sesuatu hal padamu, kau, hanya


alat untuk ku, agar semua orang percaya bahwa aku
sudah tidak lagi mencintai Emily. Namun, pada
dasarnya kau tetap jalang murahan yang bisa di
sentuh semua orang!"

"Apa katamu? Lalu kenapa kau meniduri ku,


brengsek!"

"Bukankah siapapun bisa meniduri mu,


Hah??"tentang Allan sambil menekan kuat pipi
Clarissa hingga wanita tersebut langsung
membulatkan mata. Sungguh, ini menyakitkan,
sebuah kenyataan pahit yang harus di terima Clarissa.

"Kau menipu ku Allan!"

"Lalu, apa kau berpikir bahwa hanya aku yang


tertipu, Clarissa?"tanya Allan semakin kuat
mencengkeram wanita tersebut.

"Allan—"

"Keluar dari mansion ku sekarang juga, sialan!"

Brakk!!!

Lagi, pria tersebut mendorong Clarissa hingga ia


beringsut beberapa langkah ke depan sambil
mengeluarkan suaranya yang begitu lantang.

"Keluar!"kecam Allan sekali lagi dengan tangannya


yang terkepal kuat, hingga akhirnya Clarissa segera
beranjak bangkit dan segera melangkah keluar dari
mansion tersebut.
Allan melangkah kembali ke meja kerjanya, meraih
sebuah gelas dan melemparnya ke sembarang
tempat.

"Arggh! Sialll!"tukas Allan sambil mengusap


rambutnya yang tebal, merasakan seluruh tubuhnya
menggigil penuh emosi.

Chapter 20 : Ambulance

"Emily, tenanglah. Kau akan lebih baik di Rome.


Rumah sakit di sana akan benar-benar memerhatikan
mu,"Gabriel meremas kembali jemari gadis tersebut
erat, hingga sorot mata Amber Emily bergerak pelan
ke arahnya.

"Maaf, hari ini aku tidak bisa ikut dengan mu. Ada
sesuatu yang harus aku kerjakan, jika semua selesai,
aku langsung berangkat ke Rome,"sambungnya
kembali melirik tajam ke arah Emily yang hanya diam
tanpa jawaban.

"Aku... Takut..."jawab Emily lambat, menatap cukup


nyalang ke arah pria tersebut. Ini kalimat pertama
yang ia ucapkan sejak sadar dari koma.

"Kau tidak perlu takut, pikirkan kesehatanmu. Jika


kau sembuh kita akan pergi ke satu tempat,"janji
Gabriel memberi harapan pada Emily, bahkan untuk
dirinya sendiri.

"Aku akan menyusul mu, segera."sambungnya sambil


menepuk pelan punggung tangan gadis tersebut dan
mengecupnya pelan. Emily diam, ia merasa begitu
kosong, namun, perilaku Gabriel seakan-akan
membuatnya merasa begitu spesial.

"Aku janji,"kembali, Gabriel melempar senyumannya.


Menatap mata amber Emily yang sayu, hingga sebuah
anggukan perlahan mencuat dari gerik tubuhnya.
Pagi ini, Emily mengalami peningkatan kesehatan
yang drastis. Ia mulai menunjukkan hasil, walaupun
tidak ada sedikit ingatan pun yang tersisa. Gabriel,
menghela napas, sungguh ia ragu saat menerima
kabar tersebut. Entah ia harus senang ataupun malah
takut karena berita tersebut.

"Aku menunggumu,"balas Emily lirih, sungguh, Emily


sama sekali tidak mengenal Gabriel sekarang. Namun,
menurutnya saat ini pria yang tengah berada di
hadapannya sekarang bisa di percaya.

"Aku..... Mencintai mu, Emily."

Deg!!

Jantung gadis tersebut berpacu cepat. Ia mengingat


kalimat yang sedang membayangi pikirannya dalam.
Namun, sungguh suara Gabriel jelas berbeda dengan
sosok gelap yang ia lihat di mimpinya.

Emily mengangguk pelan, ia tidak berani menjawab.


Gadis tersebut melepas tangannya dari pautan
Gabriel, tersenyum sedikit lepas dan melirik seorang
perawat mendekatinya pelan.

"Sir, nona Emily harus berangkat sekarang."

Seketika, sorot mata Gabriel melekat kembali pada


Emily yang memilih menutup matanya. Ia tengah
mencari seseorang, mencoba membangkitkan suara
yang ia dengar terakhir kali. Suara serak dari Allan
yang terlupakan sangat jauh.

"Jaga dirimu,"celetuk Gabriel mengusap sudut rambut


gadis tersebut. Silahkan, katakan bahwa ia rakus. Itu
memang benar, sekarang Gabriel benar-benar ingin
memiliki Emily seutuhnya, biarpun gadis tersebut
hanya diam terbaring di tempat tersebut.

Gabriel terdiam, melihat gadis tersebut mulai


menjauh. Berjalan cepat di sekitar lorong rumah sakit
besar yang ada di kota tersebut. "Aku berharap, kau
tidak akan ingat apapun tentang masa lalu mu,
Emily."
Gabriel mengeluh kasar, ia menelan Saliva hingga
Emily dan team dokter yang membawa Emily ke
Rome menghilang dari pandangannya secepat kilat.

"Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi. Aku merindukan


seseorang, tapi siapa?"pikir Emily tanpa membuka
sedikitpun matanya. Merasakan tempat di mana ia
berbaring terus bergerak, membawanya kemanapun.
Ia tidak peduli, sungguh.

____________________

Sementara Allan baru saja bergerak, menuju mansion


Gabriel. Hingga saat ini, ia masih belum mengetahui
bahwa pria tersebut pemilik hotel Le sirenuse. Ah-
menurutnya, hal seperti itu bukan hal penting. Ia
tidak butuh data saingan nya.

Pria tersebut berkutat penuh dengan MacBook nya.


Mencoba melihat beberapa foto Emily yang ia simpan
sangat lama tanpa sepengetahuan satu orang pun.
Allan memasang password khusus pada benda
tersebut, hanya ia yang bisa membukanya. Hingga
rahasia tersebut tersimpan begitu lama.

"Emily... Aku merindukan mu, aku mohon, kembalilah,


aku akan menebus semuanya Emily,"batin Allan
sambil merasakan napasnya naik turun di tiap
detiknya.

"Ada apa?"tanya Allan saat meneliti mobilnya


mendadak bergerak lambat.

"Maaf sir, ada Ambulance di belakang kita. Aku hanya


ingin mereka berjalan lebih dulu,"tukas sopir
tersebut membuat Allan segera memelankan
volume earphone nya, lalu menoleh sedikit ke arah
spion.

Deg!!

sesuatu berdetak di dadanya lambat. Ia menelan


ludah sambil memerhatikan ambulance tersebut
mulai melewatinya begitu cepat. Mendahului tanpa
permisi.
"Emily."pikir Allan spontan. Sialan, bagaimana bisa ia
berfikir demikian, ia mungkin sudah begitu gila
sekarang. Allan memijat kening, berpikir jauh dan
berharap jika Emily dalam keadaan baik. Jauh dari
apa yang ia pikirkan.

Sama halnya dengan Emily sekarang, mata gadis


tersebut bergerak pelan sekarang. Ia merasakan
jantungnya mendadak hidup seperti biasa, namun,
terasa begitu menyakitkan. Seperti seseorang seakan
menekannya begitu keras hingga air mata yang sejak
tadi ia tampung mendadak menetes pelan.

"Tenang saja nona, kami akan menjagamu dengan


baik seperti tuan Gabriel,"ucap seorang perawat yang
duduk di sudut mobil tersebut, menatapnya dengan
senyuman yang cukup lembut.

____________________

"Lepas! Aku harus menemui pria tersebut,"celetuk


Allan dengan suaranya yang lantang saat berada di
halaman mansion Gabriel.
"Sir, tuan Gabriel tidak ada di dalam. Dia ada
di-"suara penjaga tersebut terputus, saat melihat
sebuah mobil cukup mewah berwarna hijau gelap
masuk di pekarangan. Ia tahu persis, siapa pemilik
mobil tersebut.

"Ada apa?"tandas Gabriel sambil menatap Allan


bersama pandangannya yang begitu menantang.

"Di mana, Emily!"sontak, Allan langsung


mengutarakan maksudnya. Ia menatap penuh arti
dan berharap gadis yang ia sebut-sebut memang
berada bersama Gabriel.

"Emily? Kau kembali ke sini untuk menanyakan hal


itu? Padaku? Tidak salah?"tukas Gabriel sambil
melangkah mendekat, ia memicingkan mata.
Mencoba membuat Allan percaya dengan caranya.

"Aku sedang tidak ingin bermain-main. Katakan di


mana-"
"Aku sedang tidak bermain-main. Kau suaminya, tapi
kau bertanya padaku, apa itu tidak salah?"celetuk
Gabriel mencoba berbohong, seakan-akan ia sama
sekali tidak pernah bertemu Emily sejak mereka
keluar dari hotel.

"Emily di Italia, jika ia pergi ke sini. Aku yakin, tujuan


utamanya adalah dirimu."

"Waw, apa dia kabur dari mu?"tukas Gabriel sambil


menggaruk pelipisnya pelan. Ia tersenyum tipis, tidak
ingin kalah.

"Brengsek,"pikir Allan sambil mengepal tangannya


kuat.

"Sepertinya benar, melihat dari caramu yang begitu


buas. Aku yakin, Emily mungkin sedang ketakutan
saat melihat mu. Ayolah, menyerah saja."

"Sialan. Beraninya kau-"

Brakkkk!!!
Seketika pria tersebut melayangkan tinju kembali ke
wajah Gabriel sangat cepat. Hingga akhirnya pria
tersebut terjatuh kembali ke tanah.

"Sir,"suara pengawal menggema, mencoba


menangkap Allan dengan sergahan yang tepat.

Namun, Gabriel menahannya, ia memberi perintah


agar tidak ada satupun orang yang bisa menahannya.
Ia menyeka bibir yang tampak mengeluarkan darah.

"Bangun, dimana kau menyembunyikan


Emily?"sentak Allan parau sambil menarik kerah
pakaian Gabriel hingga pria tersebut berdiri.

"Jawab aku, dimana Emily kau-"

"Emily sakit, brengsek!"sentak Gabriel dengan suara


yang lebih serius. Ia menatap tegas, merasakan
cengkeraman Allan melemah di kerah pakaiannya.

"Apa?"
"Emily kecelakaan dan mengalami cedera otak.
Semua karena kau!"sambung Gabriel lebih keras
seakan ingin menyadarkan Allan dengan suaranya
yang tidak bisa di kontrol. Brengsek, sungguh, Gabriel
bukan pria jahat. Lihatlah, ia bahkan tidak sanggup
menjadi dirinya yang lain. Semakin ia rakus ingin
memiliki Emily, Gabriel malah semakin takut jika
harus menyakiti Emily.

"Jika bukan karena kau, semua ini tidak akan terjadi.


Emily pasti akan baik-baik saja,"sontak tangan Allan
melemah, ia mengerutkan kening, mendorong pelan
tubuh Gabriel sedikit menjauh.

"Fuck,"sungguh ia begitu seperti di hantam,


pikirannya mendadak kacau mendengar semua
penuturan Gabriel barusan. Dunianya seakan
berantakan, hancur secara bersamaan.

😂
Chapter 21 : 3 Million Dollar

Allan memerangkap pautan di kerah pakaian Gabriel,


mencoba mencerna kalimat pria tersebut sebisa
mungkin. Hingga akhirnya, cengkeraman tersebut
terlepas seketika.

"Emily mengalami cedera otak, dan, semua yang ia


alami saat ini karena kau!"tuding Gabriel sambil
menunjuk tegas mengenai dada pria tersebut.

"Harusnya kau sadar, setidaknya, jangan tampakkan


lagi diri mu di hadapan Emily!"tukas Gabriel
menantang tegas hingga tangan Allan kembali
menegas, menggenggam begitu kuat.

"Katakan di mana Emily, brengsek!"tangkap Allan


kembali, mencoba menarik kerah pakaian Gabriel
begitu kuat. Pandangan mereka bertemu, seakan
saling menantang dari setiap sisi.

Gabriel mengedarkan pandangan, lalu tersenyum


tipis ke arah Allan."Cari sendiri!"
Tappp!!

Seketika, kedua tangan Allan di tangkap. Gabriel


mendorong nya sangat kuat hingga tubuh pria
tersebut langsung mundur beberapa langkah.

"Brengsek.. Kauu.. Lepas!"suara Allan mendadak


berubah lebih sarkas, tiga orang pengawal Gabriel
menahan tubuhnya hingga tidak bergerak.

"Kau harus ingat. Sekarang hubungan mu dengan


Emily, sudah berakhir. Jadi, kau tidak punya otoritas
apapun terhadapnya,"terang Gabriel sambil
memicingkan pandangan ke tiap tempat.

"Katakan di mana Emily! Aku harus menemuinya!"

"Emily tidak! Ia bahkan ingin melupakan mu,


membuang mu dan menjauhi mu. Jadi, bersikaplah
seperti keinginannya!"

"Kau penipu!"
"Benarkah? Jika aku menipu mu, untuk apa Emily
datang jauh-jauh ke Italia dan menemui ku?"tuding
Gabriel membuat Allan menguatkan langkahnya. Ia
masih berusaha melepaskan kaitan beberapa
pengawal Gabriel sebisa mungkin.

"Ah... Atau kau pura-pura lupa, bagaimana caramu


memperlakukan Emily. Aku dengar, gadis itu bahkan
tidak bisa hamil."

Seketika, mata Allan langsung membulat besar. Ia


mengerutkan kening, berpikir bagaimana Gabriel
tahu sejauh itu. Apa mungkin, Emily menceritakan
semuanya secara gamblang, hingga pria yang berada
di depannya saat ini tahu persis.

"Karena itulah, ia benar-benar membenci mu Allan.


Emily mengatakan padaku. Apapun yang terjadi, ia
tidak ingin melihat mu lagi. Jadi, saran ku menjauh
lah!"tukas Gabriel dengan suara yang cukup tegas. Ia
menahan napasnya dalam, tampak berhasil
memprovokasi Allan dengan beberapa kebohongan
nya. Sejujurnya, sejak kembalinya Emily ke Italia,
Gabriel meminta seseorang untuk mencari tahu
semua info tentang Emily. Ia ingin mengetahui seluk-
beluk gadis tersebut lebih banyak dari sebelumnya.

"Aku harus memastikan langsung dari mulut Emily."

"Percuma! Ia bahkan tidak mengingat mu sama


sekali."Gabriel memalingkan pandangannya sejenak,
membiarkan bagaimana usaha Allan untuk
meloloskan diri sebisa mungkin.

"Aku akan melaporkan mu ke polisi jika kau mencoba


mendatangi ku lagi seperti ini,"tukas Gabriel dengan
suaranya yang begitu tegas.

"Brengsek! Kau—"

"Satu sama. Aku tidak akan membiarkan Emily


terluka karena kau!"celetuk Gabriel tangkas. Ia
mengulum bibir, merasa keputusan yang ia ambil
saat ini benar. Gabriel merasa beruntung, karena ia
sudah membayar rumah sakit untuk merahasiakan
seluruh aktivitas Emily, sekaligus keberangkatannya
ke Rome. Allan tidak akan mudah menemukan gadis
tersebut.

"Mau kemana kau! Lepasss!"sentak Allan kembali


mencoba menggerakkan tubuhnya lalu menginjak
salah satu kaki pengawal Gabriel. Ia menarik
tangannya kuat dan melayangkan pukulan keras ke
rahang pengawal satu nya lagi.

Brakk!!

Namun, saat Allan hampir lolos seorang pengawal


lainnya memukul tepat punggung Allan sekuat nya.
Seketika, tubuh pria tersebut langsung terjatuh ke
tanah tanpa sadarkan diri.

"Jauhkan dia dari mansion ku,"perintah Gabriel


sambil menatap Allan yang tidak berdaya karena ulah
pengawalnya. Ia sedikit mendongak lalu memasuki
mobilnya kembali.
"Aku harus melakukan sesuatu, agar Allan tidak bisa
menemukan Emily,"pikir Gabriel segera memutar
kendali mobilnya dan menjauh seketika.

"Aku tidak salah, jika Allan menemukan Emily. Rasio


penderitaan yang di alami gadis tersebut akan lebih
besar. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada Emily.
Hanya itu,"batinnya penuh dengan hal-hal yang
membuatnya sangat khawatir terhadap tindakan
Allan yang mungkin akan mengambil Emily dari
sisinya.

__________

Sedangkan Emily tengah merasakan hatinya semakin


kosong setelah menjalani terapi selama tiga jam di
Rome. Sebuah ingatan mendadak muncul, tentang
seorang pria yang memintanya untuk terakhir kali.

"Aku ingin menyentuh mu, untuk terakhir kalinya.


Emily."
"Siapa pria itu?"pikir Emily sambil melepas cincin
yang tidak henti ia pegang sejak tadi tanpa henti.

"Sebagian tubuh yang tidak bergerak


bukan karena patah, tapi pikiran bawah sadar mu
yang memerintahkan semuanya. Apa sebenarnya yang
terjadi dengan masa lalu, tampaknya sangat tidak
baik."

Lagi, Emily mengingat pesan dokter yang


menanganinya. Terapi akan berlanjut hingga ia
benar-benar siap. Setidaknya, Emily bisa bicara lebih
banyak, otot-ototnya yang kaku perlahan bergerak.
Ada sesuatu hal yang seakan menariknya bangkit.

"Apa cincin ini ada kaitannya dengan Gabriel?"guna


Emily sambil meremas benda tersebut sebisanya dan
mendekatkan pada dada yang terasa berdetak cepat.
Ia tidak berhasil menemukan kunci dari
pertanyaannya. Sungguh, semua begitu sulit untuk ia
terima.

"Aku mencintai mu, Emily!"


Emily menelan ludah, ia tidak merasakan apapun
pada Gabriel. Begitu hampa hingga ia takut jika
terlalu banyak menerima perlakuan pria tersebut.

"Suaranya berbeda!"tegas Emily membandingkan


suara pekat yang ia mimpi kan terakhir kali, bersama
Gabriel yang lebih ringan.

"Emily...."

Tap!!

Seketika, gadis tersebut menoleh ke arah pintu.


Memeriksa sosok yang kini hadir di hadapannya
dengan senyuman ramah.

"Bagaimana terapi mu?"tanya pria tersebut sambil


meletakkan buket bunga yang begitu harum dan
meletakkannya di sudut ruangan.

"Baik,"balas Emily datar memerhatikan langkah


Gabriel yang perlahan mendekat ke arahnya.
"Aku dengar kau mendapatkan kemajuan pesat.
Syukurlah,"Gabriel menghela napas menatap
keseluruhan wajah Emily.

"Kau sudah makan?"sambung Gabriel penasaran.

"Sudah, kenapa kau lama sekali datang?"tanya Emily


membuat Gabriel merasa begitu di butuhkan.

"Sesuatu terjadi. Tapi kau tenang saja, aku sudah


mengatasi semuanya. Kau aman sekarang,"ucap
Gabriel menangkap salah satu jemari Emily dan
menciumnya lembut.

"Maaf Emily, ini untuk kepentingan mu. Aku harap,


ingatan mu tidak akan pernah kembali."batin pria
tersebut tanpa melepas pandangannya dari Emily
yang hanya berdiam diri.

"Apa aku bisa tanya sesuatu hal padamu?"

"Tentu, apa itu?"Gabriel mengusap sudut wajah


Emily. Menonjolkan seluruh perhatian untuk gadis
tersebut. Ia ingin menjadi orang nomor satu yang ada
di ingatan baru Emily.

"Apa kau yang memberikan cincin ini padaku,


Gabe?"tanya Emily sambil memberikan benda
tersebut hingga Gabriel segera menangkap cincin
berlian tersebut.

"Ini hanya cincin mainan, kau yang membelinya


sendiri di toko pernik,"jawabnya cepat tanpa
menimbulkan kecurigaan sedikitpun di hati Emily.

"Ini... Apa ini?"tanya Emily tidak memahami ukiran


huruf yang berada di pengikat cincin tersebut. Gabriel
mendelik, ikut meneliti benda itu.

"Allan Emily,"batinnya membaca rangkaian huruf


tersebut.

"Ini hanya nama toko dimana cincin ini di


buat,"balasnya sambil menelan Saliva hingga Emily
langsung terdiam seketika.
"Biar aku menyimpan cincin ini, aku akan
membelikan mu yang baru."

"Gabriel tapi aku—"

"Sudahlah, cincin ini tidak ada arti apapun. Kau hanya


membelinya begitu saja waktu itu,"potong Gabriel
sambil menaruh benda itu di dalam saku celananya.

"Sekarang, pikirkan kesehatan mu. Makan dan ikut


kelas terapi mu dengan baik. Paham?"tegas Gabriel
dengan suaranya yang cukup berat, hingga akhirnya
Emily mengangguk setuju.

"Aku akan menemui dokter terapi mu,


istirahatlah!"Gabriel meraih selimut, menutupi tubuh
gadis tersebut dengan cepat, lalu mengecup kening
Emily tanpa beban.

"Aku tidak akan lama,"Gabriel segera memutar tubuh,


bergerak menuju pintu dan meninggalkan Emily.

__________________
"Jadi, kau ingin nona Emily melupakan masa
lalunya?"tanya seorang pria dengan pandangan yang
begitu berpusat.

"Sepertinya itu lebih baik."

"Ini lebih baik untuk mu, bukan untuk Emily."balas


pria paruh baya tersebut sambil melepas
kacamatanya.

"Emily akan lebih menderita jika ia harus kembali


dengan pria tersebut."timpal Gabriel sambil
meletakkan tangannya di sudut sofa, membalas
tatapan pria tidak asing tersebut.

"Baiklah, berapa kau bisa membayar ku?"

"Berapapun. Asal semuanya lancar. Lakukan yang


terbaik!"pintanya begitu penuh harapan. Pria
tersebut mulai buta, ia begitu tidak yakin Allan bisa
membuat Emily bahagia. Tidak akan, apalagi melihat
bagaimana deretan kasus yang pernah menerpa pria
tersebut.

"Tiga juta dollar?"tawar pria paruh baya tersebut.

"Dua juta dollar di muka, Dr. Robert,"balas Gabriel


cepat membuat pria di depannya tersebut langsung
tersenyum puas. Ia mendapatkan uang dengan cara
mudah, sungguh, tidak peduli dengan hal apapun
nantinya.

Chapter 22 : White Ring

"Tiga juta dollar mu!"sentak Gabriel sambil menaruh


sebuah tas cukup besar di hadapan Dr. Robert.

"Lunas?"
"Aku menambahnya, uang ini lebih!"timpal Gabriel
sambil menelan ludahnya kuat. Ia meraih kursi
ringan yang ada di sudut ruangan dan duduk dengan
pandangan kaku, memerhatikan Dokter tersebut
memeriksa uangnya.

"Ternyata kau begitu serius, aku tidak menyangka


seorang dari keluarga Donivic melakukan hal seperti
ini,"ucap pria paruh baya tersebut sambil meletakkan
tas berisi uang tersebut ke lantai.

"Lakukan saja tugasmu seharga uang-uang


itu,"tandas Gabriel dengan suaranya yang sedikit
parau.

"Aku tidak tahu persis alasan mu terhadap gadis 19


tahun itu. Kau benar-benar ingin melindungi atau kau
ingin memilikinya,"tuding Dr. Robert melempar
senyuman simpul.
"Jika aku ingin memilikinya, apa bisa?"sekali lagi,
Gabriel menunjukkan sikap berlebihan. Sebuah
perasaan yang semakin dalam terhadap Emily.

"Ternyata benar, kau bukan hanya ingin melindungi.


Aku punya saran khusus untuk mu—"

"Aku sudah cukup jauh, jadi aku tidak akan


melakukannya setengah-setengah. Jika kau ingin aku
mundur, jawabannya tidak!"tegas Gabriel sambil
menaikkan dagunya congkak.

"Aku paham, sebelumnya kau pernah kehilangan


seseorang yang kau cintai. Kau datang ke sini dalam
keadaan terluka parah, sekarang kau kembali
mendapatkan perasaan itu. Aku maklumi, hanya saja
kau harus ingat. Ini trik kotor!"

"Lantas apa rencana mau?"tanya Gabriel cukup


penasaran.
Dr. Robert memiringkan bibir, ia menyatukan kedua
tangan di atas meja. Menatap cukup lugas ke arah
Gabriel.

"Saat ini, Emily bagaikan gelas kosong. Memorinya


rusak, jadi, aku akan menanam memori baru untuk
Emily ingat. Aku akan menghilangkan masa lalu
Emily dengan rangkaian hidup yang baru dengan
Hipnoterapi berbasis sugesti. Ah- lebih tepatnya
memodifikasi pikirannya."

"Apa kau yakin itu akan berhasil?"

"Sedikit sulit, namun, cara ini paling tepat dengan


kondisi Emily sekarang. Saat memori traumatik
berhasil “dibekukan”, memori ini dapat secara
permanen dimodifikasi, ini menurut buku Loftus dan
aku sudah membuktikannya pada salah satu pasien
ku."

Gabriel terdiam, ia menyentuh keningnya sejenak


untuk berpikir rasional. "Bagaimana? Kau bisa
membuat Emily percaya bahwa dunianya hanya diisi
olehmu!"terang Dr. Robert dengan penuh ambisi.
Menurutnya, itu harga setimpal dengan 3juta dollar
yang kini menjadi miliknya.

"Baiklah, aku pikir itu tidak buruk. Aku hanya tidak


ingin Emily mengingat masa lalunya bersama Allan
Willard. Dia bukan pria baik."

"Sama dengan mu, kau juga bukan pria baik


sekarang,"sindir Dr. Robert dengan wajah datar.
Gabriel menghela napas, ia sedikit ragu. Namun,
mengingat bagaimana tingkah Allan, membuatnya
benar-benar nekat atau mungkin Dr. Robert benar,
bahwa ia hanya takut jika harus kehilangan Emily.
Buktinya, Gabriel sangat lihai menyembunyikan
Emily dari Allan. Tidak ada jejak sedikitpun yang
tersisa untuk pria tersebut.

Gabriel meraih sesuatu dalam sakunya, menatap


tegas ikatan berlian putih yang mengilap saat
terpantul oleh kilat cahaya matahari.

"Untuk Emily?"tanya Dr. Robert.


"Ya, dulunya. Sekarang tidak lagi. Dia tidak layak
mendapatkan Emily,"balas Gabriel dengan suaranya
yang cukup tegas.

"Baiklah, aku akan melakukan hal yang paling pantas


untuk tiga juta dollar mu!"Dr. Robert tersenyum kecil,
melepas kacamata yang sejak tadi tertanam di
wajahnya lalu meletakkan benda tersebut ke atas
meja.

"Yah! Hanya aku yang layak di sisi Emily. Aku akan


membahagiakannya!"batin Gabriel sekaligus
melempar napas yang cukup kuat dan kembali
menyimpan white ring tersebut ke tempatnya.

"Aku ingin menemui Emily,"Gabriel beranjak bangkit,


memutar haluan tubuhnya segera sebelum Dr. Robert
mengatakan apapun terhadapnya lagi.

______________________

"Gabriel."
Emily tersenyum, ia menutup buku yang ia pegang
sejak tadi dan meletakkan benda tersebut di sudut
ranjang.

"Kau bisa membaca itu?"

"Ah! Tidak, hanya mempelajari ulang agar aku bisa


mengenalnya kembali lebih cepat."

"Hm! Mau aku bantu?"tawar Gabriel tanpa melepas


pandangannya sedikitpun, hingga sebuah anggukan
kecil keluar dari gerakan yang menonjol dari Emily.

"Jangan terlalu memaksakan, itu tidak akan baik


untuk kesehatan mu."tukas Gabriel melihat Emily
memberikan buku tersebut padanya.

"Tidak juga, sepertinya membaca buku ini cukup


menarik walaupun aku tidak paham."terang Emily
membuat Gabriel mengusap lembut sudut
rambutnya.
"Baiklah, kau bisa melakukan apapun yang kau mau.
Asalkan segeralah sembuh, aku akan mengajak mu ke
satu tempat."

Seketika, mata Emily kilat menatapnya. Mencoba


mencerna sosok Gabriel walaupun hatinya terlalu
kosong untuk pria tersebut.

"Apa aku bisa bertanya sesuatu hal padamu, Gab?"

"Sudah ku bilang. Kau bisa menanyakan apapun


padaku!"celetuknya dan kembali meletakkan jemari
di wajah Emily, mengusap nya pelan dan melirik ke
arah bibir yang tidak pernah ia jamah sedikitpun.

"Aku dengar dari perawat, bahwa kau kekasih ku.


Hm.. Apa itu kekasih?"tanya Emily polos membuat
Gabriel terdiam sejenak. Ia tersenyum dan bergerak
lebih dekat.

"Kekasih? Kau ingin tahu definisi kekasih?"tanya


Gabriel sambil menelan ludah.
"Definisi?"

"Ya! Definisi, semacam penjelasan. Kekasih adalah


dua orang yang saling mencintai, menjalin hubungan
yang sangat jauh hingga mereka memutuskan untuk
bersama."

"Seperti aku dan kau? Apa kita benar-benar pernah


melakukan itu?"tanya Emily begitu cepat saat ia
menangkap penjelasan Gabriel, hingga pria tersebut
terdiam sejenak untuk mengambil napas.

"Yah! Kita melakukanya. Kita bersama!"Gabriel


mengulum bibir, menatap Emily yang masih diam.
Mencoba meminimalisir semua rasa penasaran yang
terunggah di hatinya. Ia tidak cukup yakin.

Tap!!

Emily mendadak membulatkan mata, Gabriel


menciumnya, menyentuhnya cukup serakah. Ia
mengerutkan kening mencoba merasakan ciuman
pria itu bergerak dan berputar di bibirnya. Gadis
tersebut tidak bisa bicara sedikitpun, tubuhnya
mendadak kaku seketika.

"Aku mencintai mu Emily,"

Brakk!!

Seketika, Emily langsung mendorong tubuh Gabriel


menjauh. Ia mengingat sesuatu, sosok yang sangat
berbeda dari pria yang ada di hadapannya saat ini.
Emily mengedarkan pandangan, mengingat-ingat
sosok sekaligus suara yang sangat terekam jelas di
otaknya.

"Emily.. Ada apa—"

"Bukan kau!"terang Emily sembari menuding sarkas


ke arah Gabriel yang mengerutkan keningnya.

"Emily.... Kau..."

"Tidak! Bukan kau yang—"


"Emily!"Gabriel berteriak tegas saat tubuh Emily
mendadak jatuh di pelukannya. Gadis tersebut
pingsan, mendadak tidak sadarkan diri begitu saja.

_______________________

Sementara Allan mencoba melakukan upayanya,


mencari jejak Emily di tiap rumah sakit yang ada di
kawasan Positano, bahkan seluruh Amalfi Coast.
Berharap, menemukan gadis tersebut. Namun, sekuat
apapun usaha yang ia lakukan saat ini tidak akan ada
artinya.

"Brengsek!"tukas Allan sambil meremas rambutnya


dengan kuat. Ia merasa begitu gagal. Baiklah,
tampaknya Tuhan memang menghukumnya, ia
merasa begitu bersalah, merasa begitu lemah
sekaligus bodoh.

"Kemana aku harus mencari Emily,"erang Allan dalam


batinnya. Ia mengedarkan pandangan di tiap ruang.
Mencoba menjajah kembali rumah sakit terakhir
yang ada di kota tersebut.

"Aku tidak akan menyerah, bagaimanapun, aku harus


menemukan Emily. Harus!"Allan menggenggam
tangannya penuh ambisi. Ia tidak ingin hidup dalam
bayang penyesalan. Ia tahu, caranya dulu benar-
benar salah, dan kesalahan terbesarnya adalah
melepaskan Emily. Ia terlalu mudah dan tidak pernah
memperjuangkan gadis yang ia cintai sedikitpun. Kali
ini, Tuhan akan memaksanya untuk lebih giat, lebih
berusaha hingga Emily mungkin akan siap. Hingga
mungkin, Emily bisa memilih hidupnya nanti.

1 tahun kemudian..........
Chapter 23 : Zurich

Emily tertidur pulas, menempati dirinya dalam


pelukan seorang pria yang tidak pernah
meninggalkannya sedetikpun. Banyak hal yang
berubah sepanjang tahun terakhir ini dan Emily
meyakini bahwa Gabriel adalah satu-satunya pria
yang ada di hatinya.

"Ah.. Allan!"Emily mendadak tersentak, ia menaikkan


tubuh yang penuh keringat dan langsung
mengedarkan pandangannya ke tiap tempat.

"Emily ada apa?"tanya Gabriel ikut terkejut dengan


kata yang keluar dari mulut gadis itu pagi ini.

"Aku....."Emily menelan saliva, merasakan dadanya


berdetak begitu cepat dan melirik ke arah Gabriel.

"Mimpi buruk lagi?"tukas Gabriel menangkap lembut


tubuh Emily dan memeluknya erat. Gadis itu
mengangguk dan merasakan kecupan lembut di
lehernya yang polos.
"Mau menemui Dr. Robert?"tawar Gabriel sambil
menaikkan dagu gadis itu dan mengedarkan
pandangan ke tiap area wajah Emily.

"Itu tidak berhasil,"celetuknya dengan nada parau


sambil menaikkan selimut ke tubuhnya.

"Apa aku bisa libur kerja hari ini? Sepertinya aku


butuh refreshing,"tandas Emily merasakan hawa
dingin menyusup masuk ke dalam tubuhnya tanpa
sebab.

"Tentu, aku akan minta seseorang untuk mengatasi


pekerjaan mu,"Gabriel tersenyum, ia mengusap
lembut rambut Emily dan menerima sebuah tatapan
tajam yang tidak biasa.

"Maaf karena aku selalu menyusahkan mu,"Emily


memiringkan tubuhnya, menyandarkan kepala di
dada pria tersebut dan memeluknya cukup erat.

"Aku tidak pernah merasa demikian, sewajarnya, aku


membantu mu."tandasnya lirih
"Aku lapar, bisakah kita makan di luar hari ini?"tanya
Emily kembali menaikkan pandangan ke arah Gabriel
yang langsung melempar senyuman hangatnya.

"Apapun untuk mu, Emily,"balasnya dengan suara


yang penuh keyakinan membuat gadis tersebut
menatapnya kembali cukup lama.

"Aku akan mandi!"Emily memutar pandangannya


segera, turun dari ranjang dan segera menjauhi pria
tersebut.

Gabriel terdiam, menatap gadis tersebut terus


menjauh. Sejak Emily sembuh, Gabriel membawa
gadis tersebut ke Swiss, lebih tepatnya kota Zurich. Ia
memperkerjakan seseorang untuk mengurus
hotelnya di Positano dan mengirim laporannya
via online. Gabriel menutup semua akses dari
siapapun, tidak mudah untuk seseorang bisa
menemuinya. Sungguh, pria tersebut sangat hati-hati.

Lantas, ia mengeluh pelan dan menggerakkan


tubuhnya perlahan. Gabriel meraih kaos yang ada di
sudut ranjang dan melempar nya ke lantai lalu
beranjak mengikuti Emily.

Sementara Emily mengguyur tubuh naked nya di


bawah shower. Membiarkan rasa hangat menerpa
lebih jauh di seluruh bagian yang kini tampak lebih
baik.

"Kenapa aku tidak bisa mengingat masa kecil ku,


hanya Gabriel yang ada di sana dan siapa pria yang
muncul di mimpiku akhir-akhir ini," Emily mulai
berpikir, ia merasa sesuatu yang sangat jauh
tersembunyi rapi. Meski, hubungannya bersama
Gabriel cukup jauh, sungguh gadis tersebut merasa
hatinya kosong.

"Sepertinya ada sesuatu yang hilang dari diriku!"batin


Emily sambil menutup matanya lekat.

Tap!!

Mendadak tubuh Emily berputar dan seseorang


memeluknya sangat erat.
"Gabriel.. Aku..."

"Sebentar saja!"

Deg!! Emily merasakan jantungnya mendadak


berdetak hebat. Kalimat tersebut muncul beberapa
kali dalam mimpinya, dengan suara dan pria yang
jauh berbeda dari Gabriel. Ya Tuhan, bagaimana
Emily bisa di hantui oleh sosok tersebut. Sosok yang
ia rasa begitu asing.

"Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan


ku. Aku akan melakukan apapun untuk mu,
Emily."tukas Gabriel datar sambil memegang sudut
pinggul Emily yang mulus.

"Gabriel aku di—"mulut Emily terkunci saat pria itu


menciumnya kembali. Mendorong nya ke dinding dan
sedikit menaikkan tubuhnya. Sungguh, ini
memalukan bagi Emily. Ia sedang tidak mengenakan
sehelai benangpun di tubuhnya.
"Izinkan aku ... Memasuki mu, Emily,"bisik Gabriel
sambil menciumi leher gadis tersebut hingga Emily
terpaksa merapatkan kedua kakinya.

"Gabriel aku belum siap!"sesal Emily sambil


mendorong kuat tubuh pria tersebut hingga
pautannya terlepas.

Emily berlari kecil, meraih handuk dan segera


memberi perlindungan pada tubuhnya. "Aku... Aku
minta maaf Gabriel.. Aku tidak bisa... Aku... Takut...
Aku..."

"Hm. Tidak masalah, yang aku inginkan kau bukan


tubuhmu,"potong Gabriel sambil menundukkan
pandangan dan melangkah melewati gadis tersebut.

"Cepatlah, aku akan menunggumu di


bawah,"sambung Gabriel dan segera memalingkan
wajah ke sisi lain.
Emily mengangguk, melirik pria tersebut sudah
menghilang dari pandangannya. Ia mengusap wajah
dan mengacak rambutnya dengan frustasi.

_____________________

"Allan bangunlah, kau tidak bisa menghukum dirimu


seperti terus menerus,"tukas Anne memegang sudut
lengan pria itu. Ia mendadak menghilang dari
peredaran, mengurung dirinya berbulan-bulan di
mansion.

"Mom aku ngantuk,"celetuknya dengan suara yang


parau. Anne mengeluh, meneliti puluhan botol
minuman yang bertengger di sudut ruangan.

"Allan, aku tidak bisa mengawasi perusahaan terus


menerus, tolong bantu—"

"Keluarlah!"balas Allan sambil meletakkan bantal di


kepalanya. Ia muak mendengar kalimat tersebut
setiap hari.
"Allan. Nilai saham mu turun, kau bisa hancur."terang
Anne kembali mencoba memberi perhatian, namun,
tidak ada sedikitpun jawaban dari pria tersebut. Anne
mengulum bibir, memikirkan banyak hal sekarang.
Sedikit beruntung karena ia berhasil menemukan
seseorang yang bisa di andalkan agar perusahaan
Allan tetap berjalan lancar, meskipun tidak sebaik
putranya tersebut.

"Allan.. Aku dengar kau membayar seseorang untuk


mencari Emily. Harusnya kau—"

Drrrttttt!!

Mendadak, suara ponsel pria tersebut berbunyi


cukup kuat berada di bawah bantal nya. Ia
membulatkan mata saat melihat nama yang tertera di
layar ponselnya saat ini.

"Siapa?"tanya Anne mencari tahu. Namun, tidak ada


reaksi, pria itu hanya diam dan segera mengangkat
panggilan tersebut.
"Sir, aku menemukan di mana nona Emily. Seseorang
merubah alamatnya di Zurich dengan identitas baru."

"Kau yakin?"tanya Allan tegas sambil mengangkat


tubuhnya.

"Aku sedang di Zurich, sir. Nona Emily bersama pria


itu, Gabriel Donivic. Aku juga sudah mengirim foto ke
email mu untuk memastikan,"celetuknya dengan
tegas. Seketika Allan langsung meraih ponsel satunya
lagi. Memeriksa email masuk tanpa menghiraukan
pertanyaan Anne yang sejak tadi terus terarah
padanya.

Tap!!

"Emily...."tukas Anne ikut memandang foto yang


sangat jelas tersebut.

"Hmm. Aku harus ke Zurich."


"Allan, periksakan dulu statusnya. Mungkin Emily
sudah menikah dengan pria tersebut,"tandas Anne
mencoba memberi peringatan.

"Aku tidak peduli,"Allan segera bangkit, ia menuju


pintu mansion dan mendekatkan diri pada pembatas.

"Gina!!!"teriaknya sangat kuat, ia mengulang nya


beberapa kali hingga maid tersebut akhirnya
menampakkan batang hidungnya.

"Kemasi barang-barang ku, dan katakan pada Noah


untuk segera menyiapkan private jet! Aku akan
berangkat ke Zurich sekarang!"tandasnya dengan
suara yang semakin tegas.

"Allan..."

"Mom tolong jangan menghalangiku!"potong Allan


kembali masuk ke dalam kamarnya dan menutup
rapat-rapat dirinya di dalam. Ia menelan Saliva,
menangkap ponselnya kembali dan menatap jelas
bagaimana Emily. Gadis itu banyak berubah dari segi
penampilan dan fisik. Lebih membius dari biasanya.

______________________

"Emily, kau baik-baik saja?"tanya Gabriel saat melihat


gadis tersebut menyentuh keningnya yang terasa
sakit.

"Sebentar,"Emily memijat kening, sungguh saat ini


ada ribuan suara di kepalanya. Paling dominan
sebuah suara serak yang begitu khas, tegas dengan
ucapan cintanya.

"Emily..."

"Gabriel kepala ku sakit!"tukas Emily sambil


meletakkan garpu yang masih ada di tangan nya.
Seketika, Gabriel mendekat dan memegang kepala
Emily.

"Ahhh!! Emily meringis, merasakan dentuman begitu


kuat di kepalanya bersama dengung yang terpantul
pada telinganya saat ini, hingga beberapa detik
kemudian gadis tersebut pingsan dan tidak sadarkan
diri.

Chapter 24 : I Miss You

"Gabriel, aku di Italia. Apa kita bisa bertemu?"tanya


Clair dengan suara lembutnya, terdengar cukup jelas
dari ponsel pria tersebut sekarang.

"Clair, kita sudah tidak memiliki hubungan apapun


selama beberapa tahun dan sekarang kau-"

"Gab, dengarkan aku dulu. Ini soal kepergian ku yang


mendadak. Kau pasti ingin tahu alasannya."

"Tidak Clair. Aku sudah melepaskan mu, maaf!"

"Apa karena gadis yang di katakan Dr.


Robert?"tandas Clair parau. Terdengar isakan pelan
dari mulutnya seketika.
"Clair dengar! Apapun alasan mu, aku tidak ingin
dengar. Aku-"

"Gabriel aku masih mencintai mu!"potong wanita


tersebut dengan suaranya yang sedikit tegas, hingga
Gabriel terdiam sejenak untuk menarik napas.

"Aku juga. Aku juga sangat mencintai mu clair. Tapi,


itu dulu."Gabriel tampak mematung, merasakan
hatinya dalam. Apa yang ia lakukan terhadap Emily
sudah sangat jauh, ia benar-benar berkorban untuk
gadis tersebut sejauh ini.

"Gabriel."

"Sorry Clair, aku benar-benar sudah tidak memiliki


harapan apapun dengan mu. Aku mencintai gadis
lain, aku sudah bersamanya lebih dari satu tahun."

"Gabriel kita bisa mulai dari awal,"tukas Clair sedikit


memaksa.
"Tidak ada lagi tempat untuk memulai dari awal, dan
jika nanti aku hancur bersamanya itu tidak masalah,
aku mencintainya."Gabriel segera mematikan
sambungan telponnya, meremas rambut dengan kuat
lalu bersandar sejenak di tembok yang ada di
hadapannya saat ini. Sungguh, pikiran Gabriel kacau
balau sekarang.

Lantas, beberapa detik kemudian Gabriel kembali


memutar tubuhnya. Ia melangkah masuk ke dalam
ruangan Bar dan langsung menangkap meja terakhir
yang ia duduki. Mendadak, kening pria tersebut
mengerut, ia tidak menemukan Emily di tempatnya.

"Emily,"sebut Gabriel sambil mengambil langkah


yang lebih besar.

"Apa kau melihat gadis yang tadinya duduk di sini,


bersamaku?"tanya Gabriel pada bartender yang
langsung memutar tubuhnya sangat cepat.

"Dia bersama dua orang pria, aku tidak tahu siapa-"


"Apa Bar ini ada CCTV?"potong Gabriel cepat sambil
memegang kuat meja di mana ia menopang tubuhnya.

"Ada, tapi CCTV kami sedang dalam perbaikan, sir,


sudah dua hari."

"SIAL, BAGAIMANA BISA RESTAURAN SEBESAR INI


TIDAK MEMERHATIKAN-"

"Hey man, pelan kan suaramu! Bukan hanya kau yang


ada di ruangan ini."tegur seorang pria yang berada di
deretan meja bartender tersebut.

"Shit!!"balas Gabriel sambil memutar tubuhnya


sarkas, ia mengepal tangan mulai melangkah cepat
untuk meninggalkan ruangan tersebut. Ia harus
mencari Emily.

"Good!"ucap pria yang menegur Gabriel tadi parau


sambil menyesap minumannya kembali.

"Ini bayaran mu, jangan pernah membuka mulut atas


apa yang kau lihat tadi!"sambungnya sambil
menumpuk dua ikat euro di hadapan bartender
tersebut.

"Tentu tuan Frank. Senang bisa


membantumu!"balasnya dengan suara pelan, ia
mengambil ikatan euro tersebut dan menciumnya
sejenak. Hari yang sangat baik bagi pria tersebut, ia
akan berpesta.

_____________________

"Jadi, Gabriel membayar dokter tersebut hanya 3juta


dollar?"tukas Allan sambil memainkan gelas kecil
yang ada di tangan nya. Tidak ada apa-apanya bagi
Allan, selama ia vakum dari dunia bisnis, nyatanya
harta yang ia miliki tidak pernah anjlok sampai
menyentuh angka satu juta dollar sekalipun.

"Yes sir, aku rasa ia sengaja melakukan transaksi di


luar Italia dan cash agar jejak digitalnya tidak
tercatat."
"Baiklah, aku akui, Gabriel cukup cerdas dalam
masalah ini."keluh Allan sambil melirik ke arah Emily
yang tengah tertidur pulas di ranjang nya.

"Lantas, apa yang akan kau lakukan selanjutnya,sir?"

"Tunggu perintahku!"balas Allan cepat lalu melihat


Frank langsung mengangguk ke arahnya.

"Kalau begitu, aku keluar dulu,"Izin Frank langsung


memutar haluan tubuhnya dan keluar dari
kamar penthouse tersebut.

Allan mengeluh kasar, mendekati ranjang dan


menatap keseluruhan dari Emily. Sungguh, ia benar-
benar merindukan gadis tersebut. Ia sampai tidak
tahu bagaimana cara mengapresiasikan rasa
bahagianya saat ini.

"Sepertinya kau banyak berubah Emily. Namun, tetap


saja, kau tidak pernah bisa menyentuh Alkohol."batin
Allan berpikir penuh sambil melangkah mendekati
sudut wajah gadis tersebut dan mengusapnya lembut.
"Aku benar-benar mencintai mu, Emily."ucapnya
sambil menelan ludah. Allan mengulum bibir,
menaruh gelas kecilnya di pinggir nakas lantas naik
ke atas ranjang.

"Aku merindukanmu,"ucap Allan saat ia berhasil


memeluk gadis tersebut dan mengecup pelan
punggung polos Emily.

"Tidurlah yang nyenyak, aku akan memelukmu."bisik


nya lagi sambil menghirup aroma cinnamon yang
begitu khas di otak Allan selama ini.

_________________________

Emily menarik napas, merasakan sebuah pelukan


lebih erat di tubuhnya. Ia mengeluh sesak dan
mencoba bergerak sebisa mungkin.

"Gab...."panggilnya pelan tanpa sadar siapa yang


tengah berada di dekatnya.
"Gabriel... Aku sesak-"suara Emily terputus saat ia
berhasil memutar haluan tubuh ke arah pria asing
baginya.

"Kau sudah bangun, cinnamon?"tegur Allan dengan


nada mengantuk. Ia menguap lebar sambil melirik
sikap Emily yang tampak syok.

"Siapa.... Siapa... Kau.. Kenapa aku bisa....."Emily


tergagap, ia menelan ludah dan segera mengangkat
tubuhnya seketika untuk menjauh.

Tap!!!

Allan menangkapnya cepat, memeluknya kembali dan


mencium leher Emily rakus. "Apa yang kau lakukan,
lepaass!"Emily berontak, berusaha melepaskan
cekalan pria tersebut sebisa mungkin.

"Emily diam lah, milikku sedang bangun!"ucap Allan


begitu tersirat membuat gadis itu terdiam untuk
mencerna.
"Apaa.. Apaa katamu?"tanya Emily sambil menelan
ludah.

"Perlu ku pertegas?Milikku...bangun!"ulang Allan


begitu pelan sambil merapatkan kedua tubuh
mereka. Seketika, Emily membulatkan mata
merasakan sesuatu yang mengganjal di pinggulnya.

"Lepaskan aku, sialan!"sentak Emily sambil bergerak


lebih kuat hingga pelukan Allan terlepas seketika.
Emily meraih lampu tidur yang ada di sudut ranjang
lalu melempar benda tersebut ke arah Allan.

Brakk!!

"Argghh!!"Allan mengerang seketika, saat lemparan


Emily mengenai tepat di sudut kepalanya. Benda
keras tersebut bahkan melukai pelipisnya. Ia
berdarah.

"Rasakan, dasar mesum!"hina Emily dengan suara


yang cukup tegas. Ia menelan ludah dengan angkuh
lalu berlari kecil ke arah pintu dan membukanya
segera. Ia berlari kecil mengitari ruang tamu yang
cukup luas hingga sampai ke bibir pintu utama.

"Tidak bisa di buka? Access card nya padaku. Mau


keluar?"tawar Allan sambil melempar senyuman saat
Emily berbalik ke arahnya.

"Cepat! Buka pintunya atau aku akan-"

"Atau apa, Emily Kate?"potong Allan sambil


melangkah mendekati gadis tersebut.

"Jangan mendekat!"tandas Emily sambil menelan


ludah. Ia memicingkan mata menatap tubuh Allan
yang tanpa atasan, Ia semakin dekat.

"Kau sudah membuat kepalaku terluka!"

"Itu belum seberapa! Apa kau ingin aku


membenturkan batu di kepala mu?"ancamnya sarkas
sambil mengepal tangan begitu kuat.
"Mana cincin yang aku berikan?"tanya Allan malah
menangkap tangan gadis tersebut. Ia menelitinya
sedemikian rupa lantas mengedarkan pandangan di
wajah Emily.

"Cincin? Kau gila ya?"tukas Emily dengan suaranya


yang semakin menegaskan.

"Kau banyak berubah, namun, sepertinya sekarang


lebih menantang!"terang Allan menyatukan kedua
kening mereka. Sungguh, interaksi yang sedang di
lancarkan Allan membuat Emily merasakan
jantungnya tidak berhenti berdetak.

"Aku tidak mengenalimu, minggir-"

"Aku mencintai mu, Emily!"ucap Allan sambil


memegang kedua sudut wajah gadis tersebut dan
mencium bibirnya dengan cepat. Emily terdiam,
membulatkan mata dengan ribuan pertanyaan di
kepalanya.
Allan memperdalam cengkeraman, mengunci dirinya
masih pada tempat yang sama hingga pasokan napas
Emily semakin menipis. Ia tidak suka sentuhan asing
tersebut, namun, sedikitpun tidak ada perlawanan
yang di lakukan nya. Baiklah, Emily malah menutup
mata, menikmati ciuman yang membuat dirinya
sedikit terbakar.

Tap!!

Kaitan bra-nya lepas seketika saat jemari Allan


bermain di dalam pakaiannya. Emily masih terdiam
merasakan pungutan nakal yang terus menjalar di
kulitnya semakin jauh.

"Hentikan!"

PLAKK!!

Emily mengirim satu tamparan yang begitu keras di


wajah Allan, hingga pria tersebut memalingkan
pandangan ke arah lain. "Cepat, buka pintu ini!"
"Emily!"

"Tolong, Gabriel pasti menunggu ku!"sambung Emily


membuat Allan langsung melempar pandangan lebih
tajam.

"Gabriel penipu. Aku dan kau saling-"

"Diam! Kau tidak berhak menilainya. Kau hanya pria


asing dan aku tidak mengenalimu sama sekali."

"Semua karena Gabriel. Sepertinya, ia juga merebut


cincin ku darimu!"

"Tidak pernah ada cincin di jariku selain pemberian


Gabriel,"ucap Emily sambil menunjukkan jari kirinya
pada Allan membuat sebuah senyuman picik terukir
di wajahnya.

"Seberapa jauh dia mencuci otak mu untuk-"

"Diam! Cepat! Buka pintunya, aku harus


pulang,"sekali lagi, suara Emily melengking keras.
Mata gadis tersebut berkaca-kaca seketika. Ia
ketakutan sekarang.

Allan mengulum bibir, menaikan pandangannya dan


memutar tubuh Emily untuk membelakanginya.

"Aku hanya akan membenarkan ini!"ucap Allan


melihat Emily begitu berontak saat ia mencoba
membenarkan kaitan bra yang ia lepaskan tadi.

"Rahasiakan pertemuan ini dari Gabriel dan hindari


Dr. Robert, mereka mencuci otakmu. Paling penting,
kau harus tahu bahwa sebelumnya kita memiliki
hubungan yang kuat. Aku punya buktinya!"

"Aku tidak peduli, lepas!"balas Emily sambil menepis


tangan Allan yang begitu kokoh di pinggulnya.

"Aku akan melepaskan mu sekarang, agar kau bisa


membuktikan semua ucapan ku. Sadarlah!"timpal
Allan membuat sorot mata Emily semakin tajam.

"Aku tidak percaya orang asing!"


"Buktikan sendiri,"balas Allan kembali melempar
senyuman tipis lalu memutar haluan tubuhnya untuk
mengambil access card, lantas membuka pintu kamar
tersebut untuk Emily.

Allan tersenyum kecut, menunggu Emily hilang dari


pandangannya begitu saja. Seketika, ia kembali
masuk ke dalam kamar dan mencari ponselnya dan
menekan benda tersebut sesegera mungkin.

"Frank! Atur jadwal pertemuan ku dengan Dr.


Robert."ucap Allan sambil menatap pantulan
tubuhnya lewat cermin besar yang tidak jauh darinya
tersebut.
Chapter 26 : My Name, Allan
Willard

"Kau dari mana saja?"tandas Gabriel parau, wajah


pria tersebut tampak kacau. Ia belum tidur
semalaman hanya untuk mencari Emily di tiap sudut
kota.

"Gabriel, maaf, aku hanya lupa waktu!"

"Siapa pria-pria itu?"tanya Gabriel sambil menatap


sarkas ke wajah Emily lekat.

"P-pria?"Emily mendadak gagap. Ayolah, ia sudah


memikirkan ribuan alasan sepanjang perjalanan dan
sekarang ia belum mempersiapkan jawaban atas
pertanyaan Gabriel barusan.

"Sepertinya kau—"

Tap!!
Emily tidak melanjutkan ucapannya saat Gabriel
menarik dan memeluk begitu erat. Seketika, gadis
tersebut ikut melingkarkan pelukannya,
menyandarkan kepala di dada Gabriel nyaman.

"Lain kali, jangan lakukan ini padaku. Aku tidak ingin


kehilanganmu,"bisik Gabriel parau, semua yang di
dengar nya membuat Emily merasa bersalah.

"Maaf Gabriel,"balas Emily dan merasakan tangan


pria itu menarik dagunya terangkat lebih ke atas. Ia
melempar senyuman dan mengecup begitu lembut
bibir Emily.

Gabriel menggerakkan bibirnya, menekan dalam


sedikit memaksa dan merasakan Emily membalasnya
cukup memuaskan, hingga beberapa detik, ciuman itu
terlepas akibat dering ponsel Gabriel yang begitu
mengusik.

"Terima dulu telpon mu,"tukas Emily sambil melalui


pria tersebut secepat kilat.
"Nanti sore, aku akan datang. Kita jalan-jalan,"tawar
Gabriel membuat gadis tersebut langsung
mengangguk setuju, ia mengulum bibir
memerhatikan pria tersebut hingga hilang dari
pandangannya seketika.

Emily memutar tubuhnya, menyentuh bibir yang


terasa manis lalu turun ke sisi dada. Jantungnya tidak
berdetak sama sekali akibat ciuman Gabriel.

"Aku tidak merasakan apapun, tapi kenapa saat


bersama pria asing itu, aku—"Emily menelan ludah,
merasakan sesuatu bahkan hanya saat mengingat
Allan sepintas.

"Mungkin karena dia pria asing, aku hanya


terkejut,"batin Emily sembari melangkah menjauhi
pintu penthouse yang di beli Gabriel untuknya.
Mereka tinggal terpisah, namun, sesekali pria
tersebut menginap di tempat Emily.

"Di mana cincin yang aku berikan, pria itu menipumu,


kau dan aku—"
"Ah! Harusnya aku tidak mengingat itu, Ayolah Emily,
Gabriel sudah lebih baik."tukas Emily mengabaikan
semua ingatannya tentang interaksi terakhirnya
bersama Allan.

"Tapi, aku penasaran. Jika dia berbohong, kenapa pria


itu tahu namaku?"pikir Emily kembali sambil
melangkah pelan menuju kamarnya dan berdiri di
sebuah cermin besar yang terletak begitu besar pada
sudut ruangan.

"Apa ada orang lain di dalam diriku?"pikiran Emily


semakin berat. Ia semakin mendekati cermin hingga
pantulan tubuhnya terlihat lebih jelas.

"Apa mungkin, dia bagian dari hidupku yang hilang?"

"Ah tidak. Apa yang aku katakan. Dengan begini, aku


sama saja menyakiti Gabriel. Sudah jelas, dia ada
sejak dulu,"keluh Emily berat dan beranjak memutar
tubuhnya menuju ranjang lantas merebahkan tubuh
yang terasa letih.

______________________

"Jadi kau yang menelpon ku pagi tadi?"tanya Dr.


Robert sambil meletakkan bingkai kacamatanya di
atas meja restauran mewah yang di pesan Allan
khusus.

"Ya! Tapi bukan aku yang ingin menemui mu,"balas


Frank tersenyum kecil sembari mengedarkan
pandangan.

"Lantas?"

"Sebentar,"balas Frank sembari meletakkan ponsel


seri terbaru nya di atas meja. Tampaknya, ia begitu
lihai dan aksinya membuat Dr. Robert sulit
memahami tingkah pria tersebut.
"Good Day Mr. Robert!"celetuk seorang pria yang
masih tampak berpenampilan santai seperti
biasanya. Allan hanya mengenakan kemeja lengan
pendek berwarna coklat dengan kancing yang bahkan
tidak ia pasang hingga atas, bersama celana selutut
sementara kalung panjang menggantung di lehernya.
Ia selalu berpenampilan berandalan.

"Aku yakin, kau tahu siapa aku."tukas Allan sambil


menarik kursi untuk ia duduki.

"Hm.. Aku lupa... Kau—"

"Allan Willard."sambungnya sambil melempar


senyuman cukup tenang. Dr. Robert terdiam sejenak,
memikirkan nama yang berputar di kepalanya saat
ini.

"Willard. Sepertinya aku pernah mendengar nama


marga itu,"balas Dr. Robert sedikit mengingat
beberapa orang yang pernah singgah di otaknya.
Beruntungnya, Gabriel tidak pernah mengatakan
apapun soal Allan. Ia hanya menceritakan bagaimana
penderitaan yang dihadapi gadis tersebut. Lagipula,
dulu pernikahan Allan dan Emily cukup tertutup,
maklum, ia benci keramaian dan semuanya di
lakukan serba sederhana.

"Aku ingin berkonsultasi denganmu."

"Satu kehormatan bagiku sir, tampaknya kau cukup


berpengaruh."

"Namun, apa semua bisa di rahasiakan? Hm— aku


tidak suka identitas ku tersebar."

"Tenang saja, aku selalu menjaga keamanan data


pasien. Bagaimana kalau kita bicara di hotel ku
saja?"tawar Dr. Robert membuat Allan langsung
menaikkan pandangannya lebih tinggi.

"Kamar hotel? Kau tidak tinggal di sini?"tanya Allan


seakan tidak mengetahui apapun. Semuanya, harus
terlihat natural.
"Aku sedang melakukan sesi terapi pada seorang
gadis untuk menghapus beberapa memori
ingatannya,"tukas Dr. Robert sedikit terpancing.

"Apa itu bisa?"tanya Allan menunjukkan aksi yang


sedikit berlebihan.

"Ada beberapa metode yang harus di terapkan. Tidak


semua orang bisa mengalami kondisi ini, kebetulan
gadis ini cukup sugestif!"terang Dr. Robert membuat
Allan mengangguk pelan.

"Aku kagum. Pantas temanku langsung


memprioritaskan mu sebagai dokter paling handal
baginya!"celetuk Allan berusaha menaikkan rasa
percaya dokter tersebut untuk menembus mental
block nya. Ayolah- Allan pengidap DID dan ia sudah
terbiasa menghadapi para dokter dan terapis seperti
Dr. Robert.

"Teman?"
"Yah! Dia mengatakan kau memiliki banyak pasien.
Dokter terbaik di Italia."

"Dia terlalu berlebihan, lantas, apa yang ingin ku


bantu? Aku akan melakukan apapun agar kau
merasakan efek yang sama seperti teman mu
tersebut."

"Dapat!"tegas Allah membatin.

"Katamu, kita bisa bicara di kamar hotel mu kan?


Bagaimana kalau nanti malam? Hm— aku harus
menemui seseorang sekarang."

"Tentu saja! Aku bisa menerimamu kapanpun! Kau


langsung telpon saja!"celetuk Dr. Robert tampak
begitu inisiatif.

"Ya kau harus memprioritaskan ku dari pada gadis


itu."sindir Allan membuat pria paruh baya tersebut
diam sejenak untuk berpikir.
"Aku akan membayar sepuluh kali lipat dari uang
yang kau dapatkan dari gadis tersebut!"seketika mata
dokter tersebut langsung terangkat tinggi, ayolah,
tiga juta dollar saja sudah berhasil membuatnya bisa
membeli satu mobil sport mewah. Ia bisa
membeli superyacht atau mansion jika Allan benar-
benar memberikan uang tersebut.

"Baiklah, aku akan lebih memprioritaskan mu,


sir!"terang Dr. Robert cepat, membuat Allan langsung
menyunggingkan senyuman tipis.

"Frank bayar dia!"tandas Allan sambil berdiri tegap


dan melihat pandangan tidak percaya dari Allan.

"Ikut aku dokter!"tukas Frank membuat Dokter


tersebut segera melangkah mengikuti perintah pria
asing tersebut, hingga mereka sampai ke sebuah
mobil Ferrari berwarna hitam kabut.

"Silahkan ambil uang mu, totalnya 5juta


poundsterling."tukas Frank membuat mata biru Dr.
Rober langsung membulat. Ia memegang jantung nya
yang serasa sakit memerhatikan tumpukan tas yang
berisi uang. Allan melakukan transaksi Poundsterling,
bukan hanya ranah Euro ataupun Dollar.

"Silahkan!"tukas Frank kembali membuat pria paruh


baya tersebut mendekat dan mulai meraih tas-tas
berat tersebut lalu mengangkut ke mobilnya sendiri.

"Aku akan mengembalikan uang Gabriel dan fokus


pada Allan Willard."pikir Dr. Robert sembari
menekan ludah saat memindahkan uang nya.

_____________________

Emily bersandar di sudut ruangan, membalur


wajahnya dengan masker sembari mendengar
lantunan lagu favorite nya, She will Be loved, Maroon
five.
Sesekali ia bernyanyi girang, melepaskan rasa gundah
yang ada di otaknya yang letih.

Tap!!
Ia mendadak menoleh cepat, mendengar seseorang
menekan bel pintu penthouse nya tanpa henti.
Sungguh, gadis tersebut terusik.

"Sebentar!"teriak Emily begitu lantang, walaupun ia


tahu sosok yang berada di depan sana tidak akan
mendengarnya. Langkah kaki Emily semakin besar
saat ia menuruni undakan tangga hingga sampai ke
sumber suara.

"Kenapa dia tidak membukanya saja!"pikir Emily


mengingat Gabriel, lantas menekan lock dorr hingga
pintu tersebut langsung terbuka lebar.

Seketika keduanya langsung menaikkan alis, Emily


terkejut karena kedatangan pria asing yang tidur
dengannya tadi malam, ulangi, hanya tidur, benar-
benar tidur. sementara Allan memandang aneh pada
wajah Emily yang terbalut masker.

"Kau— kenapa— kau— Hey!!!"Emily berteriak


lantang, Allan menembus masuk sekaligus
mendorongnya mundur beberapa langkah.
"Apa yang kau lakukan! Lepas!"tukas Emily
merasakan Allan memeluk pinggulnya sangat erat.

"Kau tidak merindukan ku?"tanya pria tersebut


sembari menahan rasa sakit akibat pukulan yang di
kirim Emily pada dadanya berkali-kali.

"Rindu? Apanya yang Rindu... Leepasss!"Emily


semakin berontak, ia melihat kening Allan yang
tampak tidak di obati dengan benar.

"Aku sudah yakin, kau pasti memikirkan ku


seharian!"balas Allan semakin merapatkan kedua
tubuh mereka.

"Dasar sinting!"

Plakkk!!!

Emily menekan luka yang ada di kening Allan dengan


punggung tangannya dengan kuat hingga pautan pria
tersebut lepas seketika. "Arrghhh. Shit!"maki Allan
sarkas.
"Rasakan itu! Cepat keluar dari sini!"usir Emily
sambil melangkah ke arah pintu dan membukanya
lebar.

"Tidak mau!"Allan menahan rasa sakitnya, ia


mengedarkan pandangan dan melangkah menaiki
lantai atas di mana Emily mengistirahatkan tubuhnya
selama ini.

"Kau mau kemana! Hey!! Brengsek!"Emily kembali


menutup pintu, melangkah mengikuti Allan dan
berhenti sejenak saat ingat wajahnya penuh masker.
Ia memutar haluan tubuh dan mendekati wastafel
untuk membersihkan wajah terlebih dulu.

Allan tersenyum tipis, mendengar musik yang masih


melantang di ruangan tersebut. Emily mengulang nya
puluhan kali setiap hari. "Selera nya masih
sama,"keluh Allan sembari mengedarkan pandangan
ke tiap tempat.
"Aku harap kau keluar, ini wilayah privasi ku!"tegur
Emily melangkah mendekat dengan wajah penuh
kemarahan.

"Wilayah privasi mu, milikku!"balas Allan menatap


tajam sorot mata Emily yang begitu cantik.

"Aku tidak mengenal mu, tolong keluarlah!"pinta


Emily sambil mengeratkan giginya rapat.

"Tapi, aku mengenalmu, luar dan dalam!"celetuk pria


itu sambil mengusap lembut pipi Emily yang bulat.

"Tolong jangan ganggu aku, sungguh, aku tidak


—"Emily mengerutkan kening saat Allan menyentuh
bibirnya dengan ujung jari, hingga mata mereka
mendadak bertemu kilat. Ya Tuhan,Emily berdebar-
debar akibat usapan tersebut.

"Aku akan menunggu hingga kau ingat, setelan itu,


aku bersumpah akan memperbaiki semuanya,"ucap
Allan penuh ekspresi tanpa melepaskan sedetikpun
pandangannya.
"Aku tidak mengenalmu."

"Aku Allan Willard, aku memiliki kesalahan yang


sangat besar padamu di masa lalu, Sekarang, aku
akan menganggap ini sebagai hukuman, tapi, asal kau
tahu— aku mencintai mu, Emily."

Gadis itu diam, ia mencoba mengingat, memaksa


otaknya bekerja dan bergerak semakin jauh. Namun,
hasilnya nihil hingga sebuah ciuman mendarat di
bibirnya, begitu teratur.

Allan menekan kedua bibir mereka, memutarnya


lembut dan menyusup masuk ke dalam mulut Emily
yang menerima begitu saja. Sungguh, ini sulit untuk
di lepaskan. Emily hanyut bahkan membalasnya
semakin jauh.

Tap!! Emily menggigit bibir saat ciuman panas itu kini


menjalar di lehernya, menyisakan kissmark begitu
jelas di sana. Ia langsung menekan lengan Allan
begitu kuat dan merasa begitu di kuasai. Mendadak,
sebuah aliran yang begitu aneh menjalar di tubuhnya,
membuat gadis tersebut langsung berjinjit untuk
menangkap bibir Allan kembali.

Ck, Emily berdecak kesal tidak sanggup berontak


bahkan saat pria yang menurutnya asing itu meremas
dada semakin sensitif. Ia langsung melingkarkan
tangan di leher Allan tampak begitu menderita, haus
akan kenikmatan yang sudah begitu lama tidak ia
jamah.

"Aku ingin kau!"tajuk Allan sambil mempertemukan


kedua mata mereka kembali. Emily menelan
ludahnya berkali-kali sekaligus merasakan napasnya
yang begitu memburu.

"Aku—"

Allan kembali menciumnya, mengangkat tubuh Emily


dengan kuat lalu menjatuhkan tubuh gadis tersebut
di atas ranjang. Sial, pria tersebut merasa begitu tidak
sabar. Ia begitu lama merindukan Emily, tidak
satupun gadis yang ia sentuh sejak Emily pernah
memanjakan miliknya. Ia lupa bagaimana caranya
bercinta dengan wanita selain Emily kala itu.

Allan menyerang cepat, menindih dan terus


memprovokasi gadis tersebut semakin jauh hingga
berhasil melepaskan bawahan gadis tersebut dari
balik gaun pendek yang semakin tersingkap tinggi.

"Ahmm!"suara Emily yang kecil terdengar sangat


menggoda. Ia sama sekali tidak menolak dan
membalas setiap ciuman panas di bibirnya. Allan
mengambil kesempatan sebaik mungkin, diam-diam
melepaskan bawahannya dan meloloskan tanpa sisa.

"Se-sebentar aku—"

"Allan... Aku Allan, Emily,"bisik nya lembut seakan


tidak menerima penolakan apapun, sambil menahan
tubuh Emily untuk memasuki gadis tersebut.

Seketika Emily membulatkan mata, merasa tubuhnya


mendadak penuh. Ia menekan lengan Allan dengan
kukunya yang tajam dan merasakan gesekan
‘manuver’. Kedua nya langsung melupakan dunia,
merasa begitu terbang entah kemana dalam
kenikmatan hingga Allan melepaskan diri di dalam
tubuh Emily tanpa menyisakan sedikitpun.

Chapter 27 : Document

Emily menarik napasnya begitu panjang, merasakan


tubuhnya remuk. Ia penuh keringat dan langsung
memegang kuat kepala yang berangsur ringan. Ia
berpikir panjang, merasakan sisa kenikmatan yang
terselubung di tubuhnya.

"Apa yang aku lakukan, bagaimana jika Gabriel


tahu,"batin nya sembari memegang rambut basahnya
begitu kuat.

"Bagaimana sekarang, aku begitu mudahnya


menerima orang lain,"Emily mengusap-usap
tubuhnya, ia menggigit lidah cukup kuat terus
membayangkan apa yang baru saja terjadi. Dengan
liarnya Emily bergerak bebas, memberikan Allan
akses memasukinya berkali-kali bahkan mengambil
tempat di atas pria itu.

"Emily..."

"Tolong jangan sentuh aku!"sentak Emily seketika


membelakangi pria yang sudah memasang
bawahannya kembali.

"Emily, aku—"

"Keluarlah!"pinta gadis tersebut sarkas, tanpa


menoleh sedikitpun. Sungguh, ia memikirkan Gabriel
sepanjang waktu.

"Aku akan—"

"Tolong! Aku tidak ingin Gabriel tahu apa yang baru


saja terjadi,"seketika hati pria tersebut memanas,
bagaimana bisa, Emily lebih mementingkan perasaan
pria lain bahkan setelah semuanya.

"Please!"bisik nya pelan sembari menutup mata


begitu rapat, suaranya bergetar bukan main, hingga
ia merasakan ranjang nya mulai bergerak.

"Istirahatlah!"ucap Allan terakhir kalinya sembari


meraih pakaian yang tergeletak di lantai. Sejujurnya,
ia tidak ingin meninggalkan Emily sedetikpun.
Namun, gadis tersebut tampak membutuhkan
ketenangan, ia harus memahaminya.

Allan mengeluh kasar, memasang satu persatu


pakaian dan mulai melangkah keluar kamar. Ia
berhenti sejenak di bibir pintu, merasa keraguan
begitu memaksanya untuk tepat tinggal di sisi gadis
tersebut.

"Sorry, Emily!"seketika pria tersebut memutar haluan


tubuhnya, melangkah keluar ruangan dengan langkah
pelan hingga meninggalkan penthouse mewah
tersebut.
Selepasnya, Emily langsung beranjak bangun. Ia
mengusap sudut mata, masih menyalahkan diri
sendiri karena sudah mengkhianati Gabriel, ia merasa
layak di cap menjadi wanita murahan.

Lantas, ia merapikan kamarnya segera, membuang


semua jejak dari Allan di tiap sudut dan terakhir
menguyur dirinya cukup lama di bawah shower.
Sebentar lagi, ia harus mempersiapkan diri,
menunggu dan berakting di hadapan Gabriel seperti
biasanya.

Sungguh, sebelum Allan hadir, Emily nyaris membuka


diri untuk pria tersebut. Ia ingin menerima Gabriel
menjadi pendamping terakhirnya, ia pantas
mendapatkan itu, Gabriel banyak berkorban. Tidak
sebanding dengan apa yang sudah di lakukan nya
barusan.

"Sekarang aku bagaimana!"pekik Emily lantang


sembari menutup matanya serapat mungkin. Ia
menelan Saliva, merasa begitu sesak.
"Aku mencintai mu, Emily!"

Seketika gadis tersebut mengerutkan kening, ia


mundur beberapa langkah dan mengingat sesuatu.

"Pakai cincin ini, jika kau masih mencintaiku."

Tap!!

Emily memegang rambutnya, merasa sesuatu yang


terasa berputar di tempat tersebut. Ia menahan
napas, saat menyadari suara yang ada di benaknya
sama dengan Allan. Sangat tidak bisa di bedakan
sama sekali.

"Apa... Apaa Allan benar-benar!"

"Aku harus memastikan sesuatu, ya! Harus,"seketika


tubuh basah itu berputar, Emily menarik handuk,
mengeringkannya diri dengan langkah cepat. Ia tidak
ingin membuang waktunya lebih banyak.
"Aku harus ke penthouse Gabriel,"pikir Emily segera
menyiapkan dirinya secepat mungkin.

___________________

"Emily kau mau kemana?"tegur Gabriel saat melihat


gadis terebut keluar dari penthouse nya. Mereka
berpapasan.

"Gabriel, aku baru saja mau ke tempatmu."

"Ada apa? Kita bicara di dalam,"tawar Gabriel


sembari melihat gadis tersebut mengangguk pelan ke
arahnya. Seketika, tubuh keduanya berputar dan pria
tersebut langsung menempatkan jari pada lock
door hingga benda tersebut terbuka cepat.

"Ada apa? Sepertinya kau panik,"tukas Gabriel saat


mereka kembali ke dalam ruangan.

"Aku perlu menanyakan sesuatu hal, soal masa lalu


ku."
"Emily, kita sudah sepakat untuk tidak membahas itu.
Kau ingat?"

"Aku tahu, tapi ini masalahnya aku baru saja—"Emily


menggigit bibirnya, ia hampir saja membongkar
kedoknya sendiri di hadapan Gabriel.

"Baru saja?"tanya pria tersebut sembari mengusap


sudut pipi Emily begitu lembut.

"Tolong, jangan memperlakukanku seperti ini, aku


semakin bersalah Gabriel,"pikir Emily sembari
memalingkan pandangannya ke arah lain.

"Apa yang kau pikirkan, Emily? Apa kau mengingat


sesuatu?"giliran Gabriel yang membatin lirih,
merasakan jantungnya berpacu begitu cepat. Ia lelah
berada dalam ketakutan.

"Gabriel... Aku lapar,"tukas Emily mendadak


mengalihkan pembicaraan nya membuat pria
tersebut langsung mengerutkan kening.
"Tidak jadi?"pikir pria tersebut tanpa ingin
mengungkapkan isi hatinya.

"Kau mau makan di mana?"seketika sebuah pelukan


hangat di dapatkan Emily. Ia mendadak terdiam,
merasa begitu buruk di dekat pria tersebut.

"Terserah saja,"balas Emily sembari melepas pelukan


pria tersebut dan melangkah lebih dulu.

Tap!!

Seketika, Gabriel menangkap tangan Emily begitu


tepat membuatnya kembali berdekatan. Gabriel
mengulum bibir dan menarik kerah pakaian Emily
sedikit turun. "Kenapa lehermu merah?"

Deg!!

Seketika, tubuh Emily kaku. Ia menahan napas


mencoba mencari alasan yang paling tepat. "Kenapa
banyak—"
"Aku alergi, sepertinya karena alkohol!"potong Emily
sembari membasahi bibirnya cepat. Ia gugup
setengah mati, sialan! Allan seperti nya sengaja
meninggalkan puluhan kissmark di lehernya, Emily
terpaksa menutupinya sebisa mungkin dengan make
up dan pakaian kerah tinggi.

"Alergi?"

"Yah! Aku tidak tahu kenapa ini bisa terjadi, pagi ini
baru terasa gatal."tukas gadis tersebut sambil
mengusap lehernya. Gabriel terdiam, ia mengeluh
pelan dan menyadari sesuatu yang tampak mulai
tidak beres pada Emily.

"Mau ku antar ke dokter?"

"Tidak, sekarang sudah sedikit mereda. Kau tidak


perlu memikirkan ini,"terang Emily bergetar,
mendadak wajahnya berubah memucat.

"Baiklah, ayo."Gabriel menaikkan alis, merasa benar-


benar di bohongi. Namun, ia tidak ingin menunjukkan
sikap berlebihan. Ia sama sekali tidak ingin menyakiti
gadis tersebut.

Emily mendadak memeluknya erat. Membuat langkah


Gabriel berhenti mendadak saat mereka nyaris
sampai di elevator. "Bagaimanapun, aku hanya ingin
bersamamu, Gabriel"ucap Emily dengan suaranya
yang parau. Ia menahan diri, memejamkan mata
berharap perasaannya kembali muncul untuk pria
tersebut.

"Aku juga, karena itu, jangan pernah meninggalkan


ku,"tukas Gabriel sembari mengecup pelan puncak
kepala Emily sembari merapatkan pelukan mereka.

"Aku akan mencintaimu Gabriel, sedikit lagi. Ya— beri


aku waktu sedikit lagi,"batin Emily sembari
mengangkat kepalanya tinggi, berharap sebuah
ciuman mendarat di keningnya.

"Mungkin, sudah waktu nya aku memberitahu Emily.


Tapi, bagaimana jika akhirnya akan buruk?"pikir
Gabriel sembari merasakan Emily mulai
membawanya melangkah, untuk meninggalkan
tempat tersebut.

"Tidak! Aku tidak bisa. Jika Emily tahu, maka usahaku


selama ini sia-sia. Bagaimana jika ia mencari Allan.
Ah- aku tidak mau."

_______________________

Malam harinya di kota Zurich, Allan tengah menarik


rokoknya, menatap Dr. Robert dengan pandangan
santai. Pria yang baru saja mendapatkan lima juta
poundsterling darinya.

"Aku sudah mengecek semua uang mu, sir,"ucap Dr.


Robert dengan senyuman yang begitu khas.

"Lantas, bagaimana gadis itu?"


"Aku akan lebih memprioritaskan mu sir, tenang saja.
Gadis tersebut hanya sampingan."tandas pria paruh
baya tersebut sangat jelas.

"Lantas bagaimana pasien mu yang lain?"tanya Allan,


mulai menghidupkan sebatang rokoknya.

"Hm— aku menutupnya sementara. Sepertinya aku


butuh liburan!"Dr. Robert langsung mengusap
tengkuk, merasa begitu tidak layak.

"Kau benar, dokter juga seorang manusia. Mereka


butuh liburan dan bersenang-senang."

"Ah! Semua karena mu, aku jadi bisa menikmati masa


tua ku sebaik mungkin."tandasnya sembari meraih
minuman beralkohol dan menenggaknya begitu
cepat.

Allan tersenyum tipis, sungguh ia benar-benar


berhasil membangun Building Rapport yang harusnya
di miliki Dr. Robert. Ia membuktikan bahwa manusia
itu realistis. Apapun bisa di lakukan dengan mata
uang. Mereka akan masuk ke dalam perangkap
dengan mudahnya, saat uang menjadi raja
sesungguhnya.

"Apa uang itu cukup?"tanya Allan sembari


memicingkan matanya tajam.

"Sangat cukup, sir. Aku—"

"Kalau begitu katakan padaku bagaimana caranya


agar ingatan Emily kembali?"tanya Allan membuat
jantung Dr. Robert langsung berpacu cepat hingga
sepersekian detik.

"E-emily?"tanya Dr. Robert lalu melihat Allan melirik


ke arah Frank. Pria tersebut langsung mengangguk
dan berdiri tepat di belakangnya.

"Apa yang kalian lakukan?"tanya Dr. Robert dalam


kebingungannya. Ia menahan napas dan melihat Allan
mulai bangkit dari tempatnya dan menuju ke berkas-
berkas Nya.
"Sir, berkas tersebut rahasia. Kau tidak—"

Tap!!

Frank menahan tubuhnya, memegang bahu dokter


tersebut sangat kuat agar ia tidak bisa bergerak
sedikitpun. Tatapan tajam dari pria tersebut seakan
mematikan.

"Tolong itu berkas ku, semuanya—"

"Jadi, kau melakukan penelitian terhadap


Emily?"tukas Allan melempar senyuman tipis ke
salah satu berkas yang paling menarik di antara yang
lainnya. Sungguh, dokument tersebut lengkap, mulai
dari hari pertama Emily menjalani perawatan, studi
kasus, berita acara, berita kecelakaan bahkan
keterangan atas keadaan Emily sepanjang tahun ini,
lengkap bersama tanda tangan Gabriel sebagai
penyetujuan program penelitian Dr. Robert.
"Sir, aku akan melakukan apapun. Tapi, aku mohon
jangan bocorkan apapun mengenai hal yang ada di
berkas tersebut."

"Kau melakukan Malapraktik!"balas Allan dengan


suaranya yang parau.

"Aku mohon, tolonglah!"lagi, pria paruh baya


tersebut tampak begitu kecut ketakutan. Ia bisa di
penjara seumur hidup atas tindakannya.

"Kau tenang saja, aku tidak akan melibatkan mu


selama kau merahasiakan semua ini dari Gabriel
sampai aku selesai bertindak!"

"Pasti sir, aku akan merahasiakan dan membantu mu.


Apapun akan ku lakukan untukmu!"seketika Allan
mengangkat kepalanya, melempar senyuman penuh
kemenangan. Sekarang semua bukti di tangannya, ia
tinggal meyakinkan Emily bahwa Gabriel lah yang
berusaha memanipulasi otaknya, merenggut
hidupnya tanpa sisa.
Chapter 28 : Sorry Emily!

"Aku dengar, Allan di Zurich. Apa yang dia


lakukan?"tanya Klaus sembari mengusap pinggir
gelas berisi minumannya.

"Aku tidak tahu, aku dan Allan sudah lama tidak


saling berhubungan,"jelas Clyde sembari menahan
napas.

"Apa ada hubungannya dengan Emily? Clarissa masih


mengusikku, padahal aku sudah menggugurkan
anaknya."

"Apa? Jadi Clarissa tidak?"

"Jika aku tidak memaksanya, mungkin dia akan


memintaku melakukan test DNA sekarang, cih, dia
pikir aku mau dengan pelacur sepertinya? Bodoh!"
"Sepertinya aku cukup banyak ketinggalan berita,
benar juga, jika Clarissa mempertahankan anaknya,
mungkin sekarang anaknya sudah sekitar 4 atau 5
bulan, entahlah!"balas Clyde menyesap rokok elektrik
yang siap akan menimbulkan asap tebal.

"Hm- jadi, kau tidak tahu tentang Allan?"tanya Klaus


sekali lagi, nadanya seperti mengancam.

"Jika tahu, aku akan memberikan mu info."balas


Clyde sembari menelan ludahnya.

"Ah ya, Louis menikah dan pindah dari New


York?"tanya Klaus kembali membuat lawan
bicaranya itu menaikkan pandangan.

"Ya, dia menikahi seseorang, aku tidak tahu siapa,


yang jelas, ia ingin melupakan seluruh masa
lalunya,"balas Clyde tersenyum simpul.

"Sayang sekali, pada akhirnya dia tidak mendapatkan


Emily."
"Allan juga,"tukas Clyde sekadar mengingatkan
tentang perceraiannya.

"Harusnya, malam itu aku mendapatkan Emily. Sial,


pahlawan kesiangan itu datang, nyaris saja,"tegas
Klaus sambil mengirim senyuman kecil.

"Lantas, jika kau menemukan Emily, apa yang akan


kau lakukan?"seketika mata Klaus begitu kilat, ia
menghela napas dangkal lalu mengulum lidah
sejenak.

"Mungkin mendapatkan nya, kembali, hm atau


apapun, yang jelas dia tidak bersama Allan."

"Aku sedikit heran, kenapa kau selalu marah dengan


sesuatu hal yang berkaitan dengan Allan. Kita semua
berteman, bukan-"

"Dia terlalu mudah mendapatkan apapun, sementara


aku tidak."
"Klaus, keluarga mu terpandang. Kau bisa memilih
gadis manapun-"

"Aku ingin Emily, aku ingin milik Allan!"potongnya


dengan suara yang tegas, tanda bahwa Klaus tidak
ingin di bantah sedikitpun. Clyde terdiam, ia
menahan napas yang mendadak tersendat, lantas,
mencoba meminimalisir perasaan takutnya. Ayolah,
hati Clyde lembut, perasaannya mudah terluka.

"Aku harap kau segera menghubungi ku jika


menemukan, Allan. Jangan menyembunyikan apapun
Clyde!"Klaus berdiri, ia menepuk tengkuk pria
tersebut kuat-kuat lalu mengangguk paham.

"Aku pulang dulu kalau begitu,"Klaus mencoba


bersikap baik, lantas, segera memutar haluan
tubuhnya secepat mungkin.

Seketika, Clyde meraih ponselnya, menghubungi


Allan dengan cepat untuk memberitahukan seluruh
isi percakapan mereka siang ini. Clyde ingin
membantu Allan, ia berharap bersama pria tersebut
rahasia nya lebih aman. Clyde tidak ingin berada di
bawah ancaman Klaus, pria tersebut sangat
mengerikan..

"Berharap lah, Emily bisa ingat semuanya, agar ia


bisa menjadi saksi atas kejahatan keluarga
Klaus,"jawab Allan dengan suaranya yang parau. Ia
menelan Saliva, menatap sebuah sudut dari kejauhan.
Allan mulai terang-terangan mengawasi Emily. Ia
ingin memastikan gadis tersebut dalam keadaan baik.

"Aku mengharapkan mu, Allan."ucap Clyde terakhir


kali sebelum ia menutup panggilannya.

Allan kembali menaikkan pandangan dan seketika


tatapan tersebut bertemu dengan Emily, akhirnya,
gadis tersebut menyadari kehadirannya.

"Makanlah,"perintah Gabriel saat melihat tingkah


Emily yang sedikit gelisah.

"Hm.. Aku ingin menikmati ini pelan-pelan,"ucap


Emily sembari mengusap sudut lehernya, sambil
melirik ke arah Allan yang melempar
senyuman smirk ke arahnya. Sialan, hal itu membuat
Emily takut. Bagaimana jika Gabriel tahu bahwa ia
memiliki pria lain, bahkan mengkhianati nya. Ayolah,
tidak ada pria yang akan memaafkan ke salah nya. Ini
keji; pikir Emily.

"Emily, aku ingin membicarakan sesuatu hal yang


serius dengan mu,"ucap Gabriel membuat mata
amber gadis tersebut bergerak cepat ke arahnya.

"Apa?"tukas Emily terus melirik ke arah Allan. Ya


Tuhan, ia tidak bisa fokus sama sekali.

"Ini soal pernikahan-"

Drrrtt!!

Ucapan Gabriel terputus, saat ponselnya bergetar di


atas meja. Sepintas, ia menoleh cepat, lalu meraih
benda tersebut. "Aku harus menerima telpon ini
dulu,"ucapnya sambil berdiri dan menjauhi Emily
sebisanya. Gabriel tidak ingin gadis tersebut dengar
apapun yang akan ia bicarakan bersama Clair.

"Ada apa? Sudah aku katakan! Jangan ganggu aku


Clair!"tukas Gabriel sambil menahan napas. Ia
mengulum bibir, mendengar tiap barusan kalimat
yang terlintas dari mulut mantan kekasihnya tersebut
beberapa saat.

Seketika, waktu tersebut di manfaatkan Allan. Ia


bergerak dan duduk tepat di hadapan Emily yang
langsung menelan ludah. "Apa yang kau lakukan di
sini! Pergilah, aku tidak ingin-"

"Jangan khawatir, kekasih mu itu sedang bicara


banyak hal bersama masa lalunya."balas Allan
sembari melempar tatapan penuh ancaman.

"Maksud mu?"Emily sedikit tertarik, ia menaikkan


tubuh lebih tinggi, lebih tegap tepatnya.

"Naikkan pakaian mu, dada kecil itu cukup


menggoda,"balas Allan membuat Emily langsung
mengepal kedua tangannya dan segera melakukan
perintah pria tersebut.

"Jadi, apa maksudmu soal-"

"Sayangnya, aku tidak ingin membicarakan kekasih


mu atau siapapun itu Emily. Aku ingin membicarakan
soal kita, kapan aku bisa datang ke penthouse mu
lagi?"tanya Allan langsung pada topik utamanya.

"Tidak akan! Menjauh dari ku dan-"

"Ah! Aku pikir jika kekasih mu pergi dari Zurich, aku


bisa menginap bermalam-malam di tempatmu."

"Apa kau tidak bisa mendengarkan ku dulu, tanpa


memotong ucapan ku Mr. Allan Willard?"tanya Emily.

"Wah! Sepertinya karena hubungan kita semalam,


kau langsung hapal namaku, bagaimana? Kau suka?"
"Sialan, apa maksud mu!"tukas Emily sedikit lantang.
Ia memegang gelas berisi air, bersiap untuk
menyiram wajah Allan dengan benda tersebut.

"Jika aku lihat dari gaya mu melakukan seks,


sepertinya kau sudah sangat lama tidak
melakukannya. Ya- aku harap maklum, sebelumnya
aku adalah orang yang pertama kali melakukannya
padamu, apa kau tidur dengan kekasih mu itu,
Emily?"

Seketika gadis tersebut mengepal tangan, ia


memegang gelas lebih kuat dan melempar benda
tersebut ke arah Allan. Bukan hanya airnya, sekaligus
gelasnya. Namun, pria tersebut menghindar dan
suara gelas pecah tersebut mengundang orang-orang
melihat ke arah mereka.

"Aku suka kau yang sekarang!"puji Allan sembari


menaikkan tubuhnya dan melangkah menjauh
secepat mungkin, tampa menunggu sebuah kata
keluar dari mulut gadis tersebut.
"Emily ada apa?"tanya Gabriel mendadak kembali
saat mendengar suara berisik.

"Tidak. Aku mau pulang!"

"Emily sebentar, aku harus mengatakan sesuatu hal


padamu. Ini penting dan mendadak!"ucap Gabriel
serius sembari menahan tubuh gadis tersebut.

"Ada apa?"

"Aku harus berangkat ke Positano, hari ini dengan


penerbangan terakhir!"

"Apa?" seketika, Emily mengerutkan kening, ia


menekan meja begitu kuat lalu menahan napas
mengingat kalimat yang di lontarkan Allan.

"Emily maaf, aku tahu ini mendadak tapi sungguh-"

"Aku ikut!"Gabriel menelan Saliva. Ia mengalihkan


pandangan ke arah lain sejenak.
"Emily maaf, aku tidak bisa membawamu, sesuatu hal
terjadi pada hotel dan aku harus menyelesaikannya.
Aku akan kembali minggu depan. Aku janji!"

"Gabriel tapi-"

"Emily, please, sorry!" potong Gabriel sambil meremas


jemari gadis tersebut, hingga akhirnya ia terpaksa
mengangguk setuju. Dasarnya, Emily tampaknya
harus siap dengan apa yang sedang di lakukan Allan.
Pria itu licik.

Chapter 29 : Get Out of Me!

"Tenanglah, aku akan mengabari mu!"ucap Gabriel


memegang kedua sudut wajah Emily lembut.
"Bukan itu masalahnya Gabriel, tapi— ckk!"Emily
berdecak kesal, ia memutar bola matanya ke semua
arah lantas mengepal tangan begitu kuat.

"Apa yang kau khawatirkan Emily?"tanya Gabriel


sedikit menyempatkan waktu, ia menelan ludah kasar
tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun.

Emily mengeluh, ia tidak mungkin memberitahu


Gabriel yang sesungguhnya. Ya Tuhan, kepala Emily
sekarang penuh dengan ribuan penyesalan. Secara
tidak langsung, ia sendiri yang memberi akses masuk
untuk Allan.

"Pergilah!"tukas Emily sedikit mendorong tubuh kuat


pria tersebut.

"Emily, aku mohon—"

"Ya! Aku mengerti, pergilah!"jawab Emily sedikit


sarkas, tingkahnya malah membuat Gabriel ragu.

"Kau marah?"
"Gabriel yang benar saja, aku tidak ingin menghalangi
mu, aku paham kau tidak bisa bersamaku setiap
saat."Emily sedikit melebarkan senyuman, mencoba
menghilangkan kekhawatiran Gabriel yang langsung
mendekatkan wajah mereka.

"Aku mencintai mu, Emily."ucapnya parau tanpa


memalingkan pandangan ke arah lain sedikitpun.
Gadis tersebut menyentuh tangan pria tersebut,
mengangguk paham dan merasakan sebuah ciuman
tipis mengenai bibirnya.

"Aku pergi dulu,"sambung Gabriel sembari


melepaskan sebuah napas yang terdengar berat.

"Hm hati-hatilah."

Seketika Gabriel langsung memutar tubuhnya,


melangkah menuju mobil yang ia parkir tidak jauh.
Emily mengulum bibir, menyatukan kedua tangan
memerhatikan mobil Gabriel hingga hilang dari
pandangannya begitu saja.
"Hmmm!!"gadis tersebut mengeluh pelan lantas
memutar tubuhnya, ia harus segera kembali ke
penthouse.

Gadis tersebut memegang kepalanya,


menaiki elevator dengan langkah cepat. Ia mengulum
bibir, menunggu kapan benda tersebut sampai ke
tujuannya, hingga ia berdiri tegap di depan pintu
penthouse, Emily berdiam sejenak, meneliti penutup
code pintunya terbuka.

"Hm mungkin aku lupa menutupnya,"tukasnya


sembari menekan code accsess hingga pintu tersebut
otomatis terbuka.

"Ah aku harus hati-hati menerima tamu,"pikir Emily


sembari menuangkan segelas air lalu membawa
benda tersebut ke lantai dua. Ia akan berbaring
seharian di kamar, setelah memperpanjang cuti
hingga Gabriel kembali.

Langkah Emily mulai cepat, menuju sisi tempat


tidurnya yang luas. Ia berbaring setelah meletakkan
gelas minuman di sudut nakas.

"Seperti nya kau sangat nyaman, honey!"

Tap!!

Seketika, mata amber Emily kilat mencari sebuah


suara yang mendadak hadir di ruangan tersebut. Ia
bangkit, segera mengerahkan matanya untuk
menangkap sumber suara yang terdengar seperti
ancaman.

"Ah maaf, toilet di hotel ku rusak!"

"Bagaimana kau bisa masuk ke sini!"tanya Emily


sembari menelan Saliva nya kuat. Allan baru saja
keluar dari kamar mandi nya, ia hanya mengenakan
handuk yang melingkar kuat di pinggang. Sepertinya
ia baru saja selesai membersihkan diri.

"Kau tidak penasaran sejak kapan aku berada di


sini?"tanya Allan melangkah mendekat perlahan
hingga ia sampai tepat di hadapan gadis tersebut.

"Allan, jawab aku! Bagaimana kau bisa masuk ke


penthouse ku!"tegas Emily dengan suaranya yang
parau.

"Itu mudah, aku hanya menebak. Tapi, sepertinya


Gabriel memasang tanggal lahir mu di sana!"tandas
Allan sembari melebarkan senyuman.

"Keluar!"

"Emily ayolah, kita bisa bersenang-senang satu


minggu ini kan? Aku yakin, kau suka!"

"Keluar dari penthouse ku Allan!"sentak Emily lebih


tinggi. Ia mengepal tangannya begitu kuat, menatap
lekat seluruh wajah yang terlihat manipulatif di
hadapannya.

"Emily aku—"

PLAKK!!

Seketika wajah Allan berpaling saat mendapatkan


serangan dadakan dari gadis tersebut. Emily tidak
tahan lagi, ia ingin mengakhiri semuanya secepat
mungkin sebelum Gabriel tahu.

"Baiklah, aku pantas mendapatkannya!"

"Keluar dari sini dan tolong jangan mengganggu ku


lagi!"tegas Emily saat mendengar sebuah kalimat
keluar dari mulut pria tersebut.

"Emily...."

"Keluar!"gadis tersebut berteriak lantang, membuat


Allan langsung terdiam. Tatapan Emily berkaca-kaca.
"Perlu kau ketahui, sebelum semua ini terjadi, kita
pernah menikah, Emily!"

Deg!!

Jantung Emily berdetak, ia mengerutkan kening dan


sekarang mulutnya seakan terkunci rapat.

"Ada banyak hal yang hilang di ingatan mu Emily, beri


aku kesempatan untuk membuat mu mengingatnya!"

"Allan ....."

"Aku punya buktinya Emily, Gabriel dan Dr. Robert


memanfaatkan mu!"

"Jangan mengatakan apapun soal Gabriel. Jika yang


kau bilang benar, aku yakin kau juga tidak lebih baik
darinya!"

"Kau benar! Aku memang tidak lebih baik dari


Gabriel. Aku lebih buruk darinya, sangat buruk. tapi
ingat, kau mencintai ku Emily dan aku juga sama, aku
mencintai mu. Aku membutuhkan mu!"balas Allan
dengan suaranya yang lebih tinggi. Ia menatap Emily
begitu tajam tanpa berpaling sedikitpun.

"Sekarang aku tahu, kenapa aku selalu merasa ada


sesuatu yang hilang dari hidupku Allan. Jika kau lebih
buruk dari Gabriel itu artinya, aku, pernah ingin
melupakan mu, hm— sepertinya Tuhan
mengabulkannya."

"Emily...."

"Aku mohon, menjauh lah, apapun yang terjadi


dengan masa lalu ku, sungguh, aku tidak peduli.
Sekarang aku mencintai Gabriel, aku akan
menerimanya!"potong Emily begitu cepat, ia
mengepal tangan tanpa di sadari Allan begitu kuat.
Sakit, saat mengatakan kalimat barusan. Terdengar
bukan seperti dirinya.

"Aku mencintai mu Emily, sungguh!"


"Sorry Allan. Aku bukan Emily yang kau maksud. Aku
tidak ingin ingat apapun sekarang!"balasnya parau,
Emily menggigit bibirnya kuat, menatap wajah penuh
kekecewaan dari pria tersebut sekian detik.

"Kalau begitu, aku akan merebut mu Emily. Aku akan


memastikan bahwa tidak ada satu pria pun yang bisa
mendapatkan mu selain aku."

"Allan jangan memaksaku, aku tidak—"mendadak


Allan membungkam bibirnya dengan sebuah ciuman
kasar. Melumatnya dengan manuver lalu mendorong
hingga tubuh Emily yang terkunci jatuh ke ranjang
kembali.

"Allan.. Lepass!!"Emily berontak sebisa mungkin. Ia


menahan diri untuk tidak kalah.

"Ahhhh.. Allan..."Emily mengerang, merasakan gigitan


kecil di sudut lehernya cukup kuat dan turun menuju
dada yang langsung membusung tinggi.
"Aku tidak akan melepaskan mu, Emily. Kau hanya
milikku, aku mencintai mu!"bisik Allan terdengar
sangat jelas. Ia memaksa Emily hingga gadis tersebut
cukup kewalahan bersama tubuhnya yang mulai
tergoda.

"Allan aku mohon!"teriak Emily dengan suaranya


yang bergetar, namun, apa yang ia lakukan membuat
Allan sadar dan langsung menghentikan aktivitasnya.

"Please! Kau bisa melakukan apapun selain—"bisik


Emily lirih, lantas, menerima sebuah ciuman lembut
di keningnya.

"Aku tidak akan menyakitimu lagi, Emily."Allan


menelan ludah, berbisik ringan lalu membenarkan
posisi mereka lebih baik.

"Aku ingin kita hanya saling berpelukan,"bisik Allan


parau sembari mengangkat dagu runcing gadis
tersebut, menatap lekat mata amber Emily yang ia
kagumi setengah mati.
Emily terdiam, ia mengangguk pelan dan menelan
saliva. Mendadak, rasa takut yang ia rasakan dari
Allan berubah total saat mengetahui betapa
nyamannya ia di dekat pria tersebut. Jantungnya
seakan benar-benar hidup. Jauh berbeda saat ia
berada di sisi Gabriel. Yah— sangat jauh. Ucapannya
bertolak belakang, tingkah penolakan Emily seakan
penuh kepalsuan. Gadis tersebut di ambang
kebingungan.

Chapter 30 : Time For You

Emily merasakan seseorang mengecup bibirnya


lembut, menahannya tetap di dalam tempat yang
begitu dalam. Ia mengerutkan kening, merasakan
ciuman yang semakin dalam. Gadis tersebut masih
sangat mengantuk, sulit untuknya membuka mata.
"Emily..."bisik Allan sedikit pelan tepat di sudut
telinganya, ia merinding setengah mati saat pria
tersebut mengecup sudut lehernya.

"Hmmm... Aku ngantuk-"

"Kalau begitu tidur saja,"balas Allan kembali, namun


tetap pada cumbuan nya. Allan memungut kembali
ciumannya di bibir gadis tersebut. Merasakan
manisnya lincah.

"Allan!"sentak Emily mendadak tegas saat merasakan


jemari pria tersebut bermain di dalam underwear
nya.

"Diam!"balasnya parau tanpa menghentikan aktivitas


yang semakin panas di setiap area sensitif gadis
tersebut.

"Allan tapi-"gadis tersebut terdiam, mulutnya


bungkam saat Allan berpindah di atasnya sangat
cepat. Serangan pria tersebut bertubi-tubi hingga
membuat tubuhnya panas dingin.
Pria tersebut meremas dada Emily kuat, menjangkau
tubuhnya semakin jauh hingga secepat kilat membuat
gadis tersebut setengah naked. Emily menggigit
bibirnya kuat, merasakan sesuatu yang berbeda
keluar dari tubuhnya. Sungguh, sulit baginya untuk
menolak. Ia mendongak tinggi, semakin beradaptasi
dengan sentuhan pria tersebut.

"Allan I want it!"tukas Emily spontan saat merasakan


tubuhnya bergetar hebat. Ia memandang Allan lemas,
menggoda pria yang langsung tersenyum penuh
kemenangan tersebut. Ia sangat tahu kelemahan
Emily.

"No! Aku tidak akan melakukanya,"ucapnya penuh


permainan. Sembari menarik diri dari tubuh gadis
tersebut.

Tap!

Emily menangkap lengan pria tersebut, menahannya


cepat dan menaikkan dirinya tanpa melepaskan
cengkeraman pada pria tersebut.
"Aku tidak akan melakukanya sampai kau ingat siapa
aku,"tukas Allan dengan suaranya yang parau.

"Kenapa?"tanya Emily merasakan pria tersebut


menyatukan kening mereka rapat.

"Aku tidak ingin kau kecewa,"balas Allan sembari


mengecup lembut bibir gadis tersebut.

"Kau melakukannya kemarin!"Emily menggigit


bibirnya kuat. Ayolah, ia tidak pernah seperti ini
sebelumnya. Pesona Allan sulit membuatnya mundur.

"Karena aku merindukan mu!"

"Lantas, kau tidak merindukan ku lagi?"tanya Emily


sembari mengeratkan pelukan di leher Allan. Ia
menggoda cukup sensual.

"Kau menantang Emily, berbeda dari gadis yang aku


kenal dulu."
"Memangnya seperti apa aku dulu?"tanya nya tanpa
melepaskan pandangan sedikitpun.

"Kau mulai tertarik? Bukannya kau tidak peduli


dengan masa lalu mu, Emily?"tandas Allan membuat
Emily langsung menaikkan pandangan dan menelan
ludah. Ia ketahuan sekarang. Pria tersebut tahu cara
mengatasinya.

"Minggir!"sentak Emily mendadak sembari


mendorong tubuh Allan, hingga pautan mereka
terlepas. Lantas, gadis tersebut turun dari ranjang
dan mencoba melangkah menjauh.

"Ah aku harap, kau segera keluar dari sini. Jika tidak,
mungkin aku akan memanggil pihak pengaman untuk
mengeluarkan mu,"tukas Emily sembari memutar
tubuhnya sembari menatap Allan dengan menaikkan
alisnya.

"Panggil saja! Siapa tahu, mereka akan menelpon


Gabriel untuk membahas mu, honey!"balas Allan
sembari melempar senyumannya yang tipis.
Deg!!

Emily terdiam, ia mengepal tangan kuat-kuat lantas


memalingkan pandangannya ke arah lain. "Jangan
panggil aku honey. Aku bukan beruang mu,"balasnya
sembari melangkah cepat menuju kamar mandi.
Baiklah, saatnya merefresh kan otak.

Allan mengulum senyuman, segera melangkah


mengikuti Emily untuk mengusik gadis tersebut di
dalam sana.

_________________

"Sialan ini kusut!"tegas Emily menarik-narik kuat


rambutnya dengan jemari yang tampak lentik. Ia
berpakaian lengkap, lebih rapi dari pakaian santai
yang ada si rumah.

"Biar ku bantu!"ucap Allan sembari menahan tangan


Emily dengan cepat. Ia mengecup puncak kepala
gadis tersebut dan meraih hair oil yang ada di antara
alat rias gadis tersebut.
"Hilang ingatan membuatmu semakin bodoh, Emily."

"Apa kau bilang?"tanya gadis tersebut sembari


memutar tubuhnya untuk menatap tegas ke arah
Allan.

"Kau bodoh!"

"Hm.. Luar biasa. Itu sangat bagus, tapi aku belum


mendengarnya."Emily tersenyum kecut, ia mengepal
tangan kuat-kuat sembari merapatkan gigi.

"Baiklah, aku ulangi. Kau.... Bodoh!stupido!" tegas


Allan menggunakan bahasa Italia, membuat Emily
langsung menggeram.

"Sialan kau!! Bastard!"

Brakk!!

Seketika Allan mengerang, ia memutar tubuhnya,


menjatuhkan oil hair dan memegang miliknya. Emily
meninju asetnya begitu spontan. Sungguh, ia bahkan
sulit bernapas sangking sakitnya.

"Emily..."ucap Allan parau. Ia melangkah menuju


sudut ranjang sebisanya dan menjatuhkan diri di
lantai. Sialan, ini benar-benar menyakitkan.

"Mau ku hangatkan milik mu, sayang?"tanya Emily


kembali memegang hairdryer. Ia tersenyum simpul
memerhatikan Allan yang masih berusaha untuk
menghilangkan rasa sakitnya.

"Lihat apa yang akan aku lakukan nanti, Emily,"keluh


Allan tidak jelas. Ia mengerang sembari menaikkan
kepalanya.

"Lain kali, biasakan saja mengatai ku seperti itu.


Hitung-hitung aku bisa membelai milikmu dengan
romantis,"tukas Emily melempar senyuman dan
melambaikan tangannya.

"Yah! Lihat saja nanti,"balas Allan mencoba


memiringkan tubuhnya sedikit.
"Baiklah, aku menantikan aksimu Allan. Kalau begitu
selamat bersenang-senang. Aku ingin
keluar, byeee!!!"ucap Emily sembari memutar
tubuhnya secepat kilat. Ia meninggalkan Allan tankas,
sembari mengikat rambutnya yang kusut.

_______________

"Thanks,"ucap Emily sembari meraih


cup mocacinno dari bar coffee shop. Ia menghirupnya
cepat, merasakan hawa panas mengalir di dalam
tubuhnya. Nikmat.

"Hm! Akhirnya aku tidak bisa menikmati cuti


ku,"pikir Emily mengambil tempat yang ada di luar
ruangan sembari mengedarkan matanya.

"Kenapa si brengsek itu ada di penthouse ku. Ah- aku


harus menanyakan pada Gabriel."ucap Emily sembari
meraih ponselnya dan memeriksa benda tersebut
sesaat.

"Kenapa Gabriel tidak menghubungi ku sama


sekali,"pikir Emily sembari mengulum bibirnya. Ia
khawatir dan mencoba untuk menghubungi pria
tersebut lebih dulu.

"Tidak di angkat. Apa dia sibuk? Ah- aku akan


mencoba untuk mengirim pesan."Emily mengetik
layar ponselnya, mencoba mencari kata yang bagus
agar Gabriel juga tidak perlu khawatir dengannya.

Tap!!

"Tidak perlu menghubunginya. Dia sedang


bersenang- senang bersama mantan
kekasihnya."Allan mendadak hadir, ia menarik ponsel
Emily dan menyimpan benda tersebut ke dalam saku
jaketnya.

"Allan apa yang kau lakukan?"tanya Emily sembari


bangkit dan mencoba menarik ponselnya kembali. Ia
tidak peduli berapa banyak pasang mata menoleh ke
arahnya.

"Aku tidak akan memberikannya, kau akan sakit hati


jika melihat akun media sosial Gabriel Emily."

"Masa bodoh, aku tidak punya akun media sosial


apapun. Jadi aku tidak akan lihat!"tegas Emily
membuat Allan menariknya hingga tubuh gadis
tersebut berada di atas pangkuannya.

"Akan ku tunjukkan sesuatu,"ucap Allan sembari


meraih ponselnya dan membuka salah satu akun nya.
Ia mengetik nama seorang wanita di pencarian.

"Clair Dominic,"eja Allan sembari melingkarkan


pelukannya di pinggul Emily. Ia bahkan mengecup
pelan pipi gadis tersebut berkali-kali, seakan dunia
milik berdua. Sementara Emily hanya diam dan fokus
pada ponselnya.

Tap!
Emily menarik ponsel Allan, ia melihat sebuah foto
yang menampilkan Gabriel bersama seorang wanita
yang tidak ia kenal di dalam sebuah Club. Mereka
berciuman. Foto tersebut muncul di beranda media
sosial nya, bahkan di beri tanda langsung ke akun
Gabriel yang mulai aktif satu hari.

"Sudah ku bilang kau akan sakit hati, Ah maaf kalau


aku lupa jika kau-"

"Aku mau pulang,"Emily mengulum bibirnya, ia


mengepal tangan dan meletakkan ponsel tersebut di
atas meja.

"Emily!!"teriak Allan saat melihat gadis tersebut


mengambil langkah besar untuk menghindarinya.

__________________

"Allan pergi! Aku ingin-"


"Emily! Akulah pelakunya!"aku pria tersebut
membuat gadis tersebut langsung mengangkat
pandangan matanya.

"Maksudmu?"

"Aku menjebak Gabriel!"

PLAKKK!!

Seketika, Emily langsung menampar wajah Allan


dengan begitu keras hingga ia memalingkan muka.

"Pergi dan jangan muncul di hadapanku! Aku sudah


memilki firasat tidak baik terhadap mu Allan!"

"Itulah aku. Aku ingin menunjukkan padamu siapa


diriku, Gabriel tidak ada bedanya! Dia memperalat
mu dan membayar Dr. Robert untuk memanipulasi
pikiran mu, Emily."
"Diam! Sudah ku bilang jangan coba-coba
menjelekkannya! Gabriel bukan orang seperti mu. Dia
bukan-"

"Aku punya buktinya, Emily! Aku mohon ingatlah!


Apapun itu! Aku membutuhkan mu Emily!"tegas
Allan dengan suaranya yang lantang, ia memegang
kedua lengan gadis tersebut dan menatapnya tegas.

"Aku meletakkan dokument nya di atas ranjang


kamar mu, kau bisa lihat semuanya, termasuk
hubungan kita Emily. Semua tentangmu."sambung
Allan terdengar lebih pelan membuat mata gadis
tersebut beredar sejenak.

"Pergilah!"

"Okay, aku akan pergi. Aku akan memberi mu waktu


hingga Gabriel kembali. Selama itu pikirkan
semuanya, kau bisa memilih apapun yang kau
inginkan,"Allan melepas pautannya, mengedarkan
pandangan ke arah gadis tersebut penuh harap,
hingga akhirnya Emily lekas memutar tubuh dan
masuk ke dalam penthouse.

Allan mengeluh kasar, ia mengusap wajahnya sejenak


lalu mendengar ponselnya bergetar di balik sakunya.
Lantas, ia segera meraih benda tersebut dan melihat
Clyde menelponnya.

"Clyde!"ucap Allan saat tidak mendengar suara pria


tersebut sedikitpun.

"Clyde!"bentaknya sarkas hingga pria tersebut


mematikan panggilannya sepihak tanpa sepatah
katapun.

Chapter 31 : Old Frieds

"Aku yang melakukannya Emily, aku yang menjebak


Gabriel!"

Emily memegang rambutnya kuat, memikirkan


ribuan hal yang hilang di otaknya. Ia ragu, untuk
mengingat semua hal— apapun yang berkaitan
dengan masa lalu. Emily takut.

Hari ini, Gabriel kembali, pria tersebut hanya


menghubungi nya sekali selama berada di Positano,
selama itu juga, Allan tidak muncul di hadapan Emily.
Pria tersebut benar-benar memberikan waktu, agar
Emily bisa menentukan pilihan nya.

"Apa yang harus aku lakukan?"pikir Emily sembari


menelan ludahnya begitu kuat. Ia melirik ke arah map
tebal yang ada di sudut ranjang. Menatapnya sekilas.
Benda tersebut tidak tersentuh, Emily terlalu takut
untuk mengetahui semua kenyataannya.

"Mungkin aku harus tahu sesuatu hal,"gumam Emily,


ia mulai beranjak dan meraih map pemberian Allan
dan menahan napas sejenak, ia kembali
mendudukkan dirinya di ranjang, tanpa melepaskan
pandangan dari map tersebut.
"Baiklah, aku harus tenang!"Emily menarik napasnya,
membuang nya kasar lewat mulut lalu membuka map
perlahan, lalu memeriksa nya satu persatu.

Emily menelan ludah, memerhatikan sebuah foto


pernikahan antaranya bersama Allan. Ia mengusap
benda tersebut pelan, mencoba merasakan hati yang
mendadak berdegup cepat.

"Jadi, aku dan Allan memang pernah menikah..."pikir


Emily saat melihat salinan surat pernikahan dan
perceraian mereka. Emily mulai ragu, kenapa harus
ada sebuah perceraian jika mereka saling mencintai.

Tap!!

Tangan Emily bergerak memeriksa semua berkas


dengan rasa penasaran, membongkarnya satu
persatu dan mendadak merasakan hatinya sakit.
Seperti seseorang menikamnya dengan pisau tajam.
Ia menitikkan air mata, seakan tidak percaya dengan
apa yang ia lihat. "Gabriel, kenapa kau melakukan ini,
padaku!"pikir Emily memeriksa semua surat
keterangan dari Dr. Robert.

"Oh my god!"bisik Emily sembari menutup mulutnya


rapat. Takut untuk bersuara, rasanya seperti di
khianati saat mengetahui apa yang sudah di lakukan
pria tersebut.

"Emily.."mendadak suara pria yang tengah ia pikirkan


muncul, berada tepat dan tidak jauh dari hadapannya.

"Aku menelpon mu seharian,"ucap Gabriel


memerhatikan gadis tersebut bangkit, melangkah ke
arahnya dengan pandangan berbeda.

"Emily kau menangis—"

PLAKK!!!

Seketika, Emily melempar satu tamparan ke wajah


Gabriel hingga wajahnya terhempas ke kiri. "Kenapa
gab? Kenapa kau dan Dr. Robert melakukan
ini?"tanya Emily parau, membuat pria tersebut
langsung mengangkat kepalanya kembali pada gadis
tersebut.

"Emily dengarkan aku!"

"Kau melukai ku Gabriel, bagaimana bisa kau


—"Emily terisak, ia bergetar hebat merasakan sesak
yang sangat dalam di hatinya. Ia merasakan sebuah
luka masih berada di dalam hatinya sekarang. Itu
menyakitkan.

"Emily aku tahu ini salah tapi—"

"Aku tidak ingin dengar apapun!"balasnya sembari


memutar tubuh dan melangkah menuju ke ranjang
untuk mengambil berkas pemberian Allan dan
melempar benda tersebut ke arah Gabriel.

"Kau merahasiakan semuanya. Statusku, hidupku,


masa lalu ku dan semuanya tentang ku Gabriel, kau
membuat ku kecewa,"lirih Emily masih dengan
suaranya yang terisak. Ia menatap Gabriel memungut
berkas yang berserakan, dan mendapati foto
pernikahan Emily. Ia meraihnya dan menelan ludah
begitu kuat.

"Ini, hal ini yang membuatku begitu nekat Emily. Kau


tidak tahu bagaimana hidup mu dulu, kau tidak—"

"Lantas, apa kau punya hak untuk mengambil seluruh


hidupku, Gabriel? Aku tersiksa sepanjang hari, hatiku
kosong!"potong Emily dengan suaranya yang berang.

"Emily please, tidak ada jalan lain untuk ini. Aku


hanya ingin kau merasa lebih baik, aku berusaha
untuk mu, apapun akan aku lakukan Emily."

"Nyatanya kau membohongiku Gabriel. Entah berapa


lama semua ini mulai terjadi, yang jelas saat aku
bangun ku seperti tercekik oleh sesuatu yang tidak
aku pahami,"tukas Emily sembari mengulum bibirnya
tanpa melepas pandangannya dari Gabriel sedikit
pun.

"Sebelumnya, aku tidak pernah ingin merebut mu


dari siapapun Emily. Aku sadar, kau memilikinya,
suami mu, tapi yang aku lihat dia hanya membuatmu
tersiksa, kau pikir aku bisa diam saja saat melihat mu
di dorong, di hina dan—"gabriel menghentikan
ucapannya saat seseorang muncul dari sudut kamar
Emily, dengan pandangan yang tidak kalah merasa
begitu kecewa.

"Allan..."tukas Emily parau.

"Apa yang kau katakan pada Emily,"Gabriel


mendadak menangkap kerah pakaian Allan dan
menariknya kuat hingga kedua pandangan mata
mereka bertemu sejenak.

"Lepas!"tukas Allan sembari memegang kedua tangan


Gabriel yang begitu kuat mencengkeram.

"Kau mengacaukan semuanya. Kau tidak layak untuk


Emily!"

Brakk!!
Gabriel melepaskan satu cengkeramannya dan
meninju sudut bibir Allan hingga pria tersebut jatuh
ke lantai. "Gabriel!"teriak Emily lantang, hingga pria
tersebut menatapnya cepat.

"Kau membelanya? Asal kau tahu saja, dia membuat


mu di vonis bahwa kau tidak akan bisa hamil, dia
memukuli mu, merendahkan mu dan dia yang
membuat mu dalam posisi seperti ini, Emily. Jika
bukan karenanya aku tidak akan pernah melakukan
hal segila ini, aku tidak akan mendatangi Dr. Robert
untuk membuat mu lupa dengan apapun yang ada di
masa lalu mu Emily, aku hanya ingin melindungi mu!"

"Apa yang kau katakan—"sentak Allan sembari


beranjak bangkit.

"Jangan mengelak Allan. Kau dan aku tahu, apa yang


sebenarnya terjadi. Mengaku lah!"tukas Gabriel
sembari mengeratkan tangannya, ia tampak awas,
takut untuk memalingkan wajah ke arah lain.
Seketika, Emily melangkah cepat. Melewati kedua
orang tersebut untuk meninggalkan keduanya tanpa
memikirkan apapun.

"Emily!!!"teriak Allan mencoba menangkap lengan


gadis tersebut tangkas.

"Lepaasss!"Emily menarik diri, menginjak kuat kaki


Allan sebisanya lantas mendorong pria itu menjauh.

"Emily...."Gabriel ikut melangkah, mereka menuruni


undakan tangga dengan langkah yang tidak
terkontrol hingga sampai ke lantai dasar.

"Please tinggalkan aku sendiri jika kau peduli padaku


Gabriel,"balas Emily sejenak berhenti melangkah saat
berada di bibir pintu.

"Emily!"

Gadis tersebut memutar tubuhnya cepat, melangkah


secepat kilat lalu membuka pintu penthouse dan
meninggalkan keduanya.
"Apa yang kau lakukan?"teriak Allan sembari
menekan pintu penthouse. Namun, Gabriel
menahannya, ia menarik kerah pakaian pria tersebut
dengan kuat lalu menatapnya tajam.

"Apa kau yang membawa Clair kembali ke


Positano?"tanyanya lantang, membuat Allan langsung
tersenyum tipis. Mencoba membuat Gabriel lengah.

Brakk!!

Mendadak, Allan memukul wajah Gabriel dengan


tinjunya, ia menendang kuat perut pria tersebut,
hingga cengkeraman Gabriel lepas dan langsung
tersungkur ke lantai.

"Itu balasan untuk yang tadi."ucap Allan datar


memerhatikan darah keluar dari mulut Gabriel cukup
kental.

"Jika kau menanyakan soal Clair. Ya itu benar, bahkan


membuat Emily melihat kau berciuman dengan
mantan kekasih mu itu. Berapa lama kau ada di
kamar hotel bersama wanita itu?"tanya Allan dengan
santainya.

"Brengsek kau!"maki Gabriel parau, masih mengusap


bibirnya yang tampak terluka.

"Itu balasan karena kau mencoba mencaritahu


tentang hidup ku,"terang Allan sembari memutar
tubuhnya dan membuka pintu tersebut.

"Ah— aku lupa memberitahu mu sesuatu hal. Emily


milikku, tidak akan ada satu orang pun yang bisa
merebutnya dari ku."ucap Allan menaikkan kepala
cukup congkak lalu menutup pintu tersebut dengan
kuat hingga dentuman tercipta keras.

"Sial... Kenapa dia ada di sini, kenapa aku bisa


ketahuan,"pikir Gabriel memegang perutnya yang
terasa sesak.

Sementara Emily melangkah ke sembarang tempat,


mencari objek yang membuatnya merasa nyaman. Ia
tidak peduli apapun lagi sekarang. Memikirkan
Gabriel, Allan atau hidupnya bisa membuatnya hidup
dalam rasa gusar.

"Aku tidak harus memilih keduanya!"pikir Emily


dengan gusar. Ia mengusap kepala begitu kuat,
berharap sebuah keajaiban datang, agar semua yang
hilang dari memorinya hidup kembali.

Beberapa detik kemudian, Emily segera memutar


tubuhnya. Mencoba memastikan sesuatu yang
terdengar berisik tepat di belakangnya.

Tap!!

Seketika, mata amber Emily menangkap seseorang


yang sangat asing di dalam otaknya. Ia mengerutkan
kening, menoleh ke semua tempat saat pria asing
tersebut tersenyum ke arahnya.

"Siapa kau!"tandas Emily mencoba memastikan.

"Wow. Kau melupakan aku Emily Kate? Aku turut


prihatin dengan hal tersebut,"balasnya dengan suara
serak sembari melangkah mendekat hingga sampai di
hadapan gadis tersebut.

"Please. Siapa kau?"tanya Emily kembali dengan raut


wajah penasaran.

"Kau bisa panggil aku Klaus. Klaus Vierr Morrone,


teman lama mu, Honey."ucapnya sembari tersenyum
tipis, lantas memasang wajah datar yang
menakutkan.

Plakk!

Mendadak Klaus mengepal tangannya dan


menghantam leher Emily yang tengah lengah.
Seketika, tubuh lemah tersebut jatuh ke lantai tanpa
sadarkan diri. Emily pingsan.
Chapter 32 : Carotid Artery

Klaus mengedarkan pandangan dengan wajah santai.


Merekam setiap tempat yang tampak luas, ia sampai
di Zurich beberapa hari lalu. Mencari jejak Allan
melewati Clyde, memanfaatkan ponsel pria tersebut
untuk mendapatkan letak posisi paling tepat. Ia
langsung terbang setelah membunuh Clyde dan
membuang tubuh pria tersebut di dasar jurang.

"Jadi, Emily tinggal di sini?"pikir Klaus sembari


tersenyum tipis, lantas menelan ludah tanpa
mengalihkan pandangannya.

"Baiklah, aku harus mengawasi semuanya lebih dulu


hingga aman."tukasnya santai sembari memegang
kuat kemudi mobil. Ia ingin bergerak menjauhi
kawasan penthouse Emily dan mendadak, menekan
rem mobilnya saat gadis yang baru saja ia pikirkan
melintas tepat di depannya.

Tap!
"Emily..."Klaus langsung mengerutkan kening,
memutar haluan mobilnya dan mengikuti gadis
tersebut sembari memerhatikan keadaan sekitar
yang tampak aman.

"Kemana dia?"pikir Klaus saat gadis itu melangkah


sedikit terburu-buru hingga memasuki satu lorong
yang tidak mungkin sebuah mobil bisa melewatinya.

"Baiklah, aku akan meninggalkannya di sini."Klaus


meraih kacamata dan menaikkan hoodie nya ke
kepala, lantas, melangkah keluar dari mobil untuk
mengikuti arus langkah Emily.

Klaus tersenyum miring, memerhatikan sosok yang


sudah begitu lama ia inginkan berdiri tegas,
menghadap hamparan lautan luas, tempat tersebut
sepi. Sepertinya memang di sediakan untuk
seseorang yang ingin lari dari masalah.
Ia melangkah pelan, mencoba mendekati Emily yang
tengah mengusap sudut matanya berkali-kali.
"Sepertinya, kau begitu sedih,"tegur Klaus membuat
gadis itu langsung memutar tubuhnya yang terasa
berat.

"Siapa kau?"tanya Emily mencoba mengenali sosok


asing yang kini berada tepat di hadapannya. Ia
mengerutkan kening, merasa jantungnya berdegup
kencang. Ia ketakutan.

"Old friends, Emily."

"Please, siapa kau?"tanya Emily dengan suaranya


yang semakin parau.

"Kau bisa panggil aku Klaus. Klaus Vierr


Morrone,"balasnya santai sembari mengepal satu
tangganya begitu kuat dan mendadak menyerang
Emily hingga gadis tersebut langsung pingsan hanya
dalam satu pukulan.

Brakk!!!
Namun, mendadak seseorang menendang punggung
Klaus membuat pria tersebut langsung terseok dan
menghantam pagar pembatas.

"Brengsek! Apa yang kau lakukan pada Emily,"sebuah


suara geram terdengar lantang, mendekati pria
tersebut kembali dan menangkap kerah pakaian
Klaus, mengangkatnya tinggi hingga kedua mata
mereka bertemu.

"Allan....."ucap Klaus sembari merasakan darah yang


penuh di dalam mulutnya.

"Kenapa kau bisa berada di sini, Hah?"sentak nya


dengan suara yang lantang, memenuhi tempat sunyi
tersebut.

"Teman mu, Clyde!"balas Klaus sembari melebarkan


senyuman yang tampak tidak peduli.

"Brengsek, harusnya aku tidak mempercayai salah


satu dari kalian!"
Brakk!!

Allan melemparkan tubuh Klaus kembali ke pagar


pembatas, hingga suara erangan yang begitu tersiksa
terdengar lantang. Tidak puas, Allan kembali
menangkapnya, menarik sedikit tubuh Klaus dan
membenturkan kepala pria tersebut beberapa kali
hingga sosok tersebut pingsan di tangannya.

"Ahhh.. Shit!"maki Allan sembari meremas rambutnya


dan melirik ke arah Emily yang masih tergeletak
tidak sadarkan diri.

"Emily.. Bangunlah..."ucapnya sembari mengusap


sudut wajah gadis tersebut dengan punggung
tangannya. Sial- ia tidak ingin melihat Emily dalam
kondisi seperti ini.

"Emily."bisik nya kembali sembari mengangkat tubuh


gadis tersebut secepatnya. Ia harus memastikan
keadaannya.

__________________________
"Nona Emily pingsan karena pukulan di lehernya,
secara garis besar, leher adalah bagian yang memiliki
banyak pembuluh darah, Carotid Artery. Tapi, untuk
saat ini kondisinya tidak fatal, ia akan sadar sebentar
lagi."

"Kau yakin itu tidak fatal?"tanya Allan sembari


melipat kedua tangannya di dada. Mengedarkan
pandangan tanpa kedip dari Emily sejak tadi.

"Yah! Aku bisa memastikannya."balas dokter yang


melempar senyuman tipis pada Allan. Menunjukkan
sikap yang cukup ramah.

"Baiklah, aku akan menelpon mu kembali jika sesuatu


terjadi,"terang Allan sembari mengulum bibirnya.

"Yah! Aku pergi dulu, jangan lupa obatnya harus


rutin, itu akan mengurangi nyerinya."
"Ah ya- tinggalkan nomor rekening mu, aku akan
mentransfer uang nya dok,"ucap Allan membuat
senyuman kecil terbentuk dari paras wanita berumur
sekitar 34 tahun itu.

"Aku hampir lupa, aku akan mengirim nomornya ke


ponsel mu,"ucap dokter tersebut sembari melirik ke
arah Allan yang mengangguk pelan tanpa menoleh ke
arahnya sedikitpun.

"Semoga istrimu lekas sembuh,"ucap dokter wanita


tersebut sembari memutar tubuhnya lekas, tanpa
menerima ucapan apapun dari Allan. Pria tersebut
terlalu fokus pada Emily yang kembali terbaring
lemah di ranjang nya.

"Karena ku, kau harus mengalami ini, Emily."pikir


Allan sembari menarik napasnya yang terasa sesak. Ia
mengusap wajah, menaruh tubuhnya di sisi tubuh
Emily untuk meraih tangan dingin gadis tersebut.

"Kau terlalu banyak menderita Emily. Please, beri aku


kesempatan untuk memperbaiki semuanya."Allan
mendekatkan diri, menyilang kan tangannya di
antara tubuh Emily sembari membuang napas yang
terasa begitu berat.

Beberapa detik kemudian, Emily mulai


menggerakkan tubuhnya. Menelan ludah yang seakan
berkumpul di tenggorokannya. Ia mengerutkan
kening, merasakan sebuah tangan lembut mengusap
sudut pipinya. Lantas, langsung membuka mata saat
mengingat apa yang terjadi.

"Emily.."

"Apa yang kau lakukan! Kenapa aku bisa-"

"Klaus menyerang mu,"potong Allan tegas.

"Kau mengenali nya?"tanya Emily sembari


menaikkan tubuhnya perlahan, saat Allan
memalingkan pandangannya sembari mengangguk
perlahan.

"Dia pernah mencoba memerkosa mu."


"Memerkosa ku?"tanya Emily menatap tidak percaya
pada Allan yang kembali menatapnya.

"Hm!"

Tap!!

Mendadak Emily memeluk pria tersebut, meletakkan


sudut wajahnya di bahu Allan begitu lekat,
gerakannya begitu spontan. Sungguh rasanya sangat
nyaman. "Kau aman, Emily,"bisik Allan tanpa
menyiakan kesempatan. Ia membalas pelukan Emily,
mengecup puncak kepalanya sangat lekat.

_____________________

"Makanlah, aku tidak ingin kau sakit."perintah Allan


sembari meletakkan makanan di sisi sofa yang tengah
terisi penuh dengan tubuh Emily.

"Aku tidak lapar."


"Jangan membohongi ku, kau perlu
tenaga!"celetuknya sembari mengeluh kasar sembari
menerima tatapan intens dari Emily.

"Jangan pikir aku bisa menerima mu begitu saja,


bagaimanapun, ingatanku belum pulih!"balas Emily
sembari memalingkan pandangannya ke arah lain.

"Ayolah Emily, aku tidak meminta mu menerima ku


sekarang, aku hanya ingin kau makan!"seketika, gadis
itu diam. Ia menelan ludah dan mengangkat
tubuhnya, menyilang kan kaki dan menarik plastik
makanan yang di berikan Allan.

"Dari mana kau tahu aku suka ayam goreng


tepung?"tanya Emily ketus, membuat Allan
tersenyum tipis dan mendekat di sudut telinganya.

"Sudah ku katakan, aku mengenal mu, luar dan


dalam,"ucapnya intim, hingga Emily mengepal tangan
begitu kuat.
"Bisa minggir sedikit?"tanya Emily sembari
menegakkan kepalanya. Sialan- Allan membuat nya
merinding setengah mati. Ia tidak ingin jatuh ke
dalam pesona pria itu lagi, cukup sekali selama ia
hilang ingatan.

"Kau gugup Emily?"tandas Allan mengulum


senyumannya sembari menyentuh rambut gadis
tersebut lembut, mengikuti alurnya dan meletakkan
di belakang agar ia memiliki alasan untuk menyentuh
leher Emily.

"Jika kau tidak pergi, aku tidak ingin makan!"

Kriyukkk!

Emily menelan ludah, perutnya berbunyi kuat,


membuat wajah gadis itu merah seketika. "Sialan,
kenapa perut ini tidak bisa di ajak
kompromi."batinnya sembari menelan ludah.
"Hmm! Jangan mengumpat perut mu, dia butuh
asupan,"tukas Allan seakan paham apa yang sedang
di umpat Emily sama tadi.

"Minggir!"Emily mendorongnya jauh. Membuat tubuh


Allan sedikit terhempas. Ia bangkit, mencoba
menjauhi Emily dan memberi waktu untuk gadis itu
untuk melahap habis makanan favorite nya itu.

Emily mengulum bibir sejenak, memerhatikan


potongan ayam yang cukup banyak lantas mengingat
Gabriel. Ia malah merasa begitu bersalah,
bagaimanapun, pria itu cukup merawatnya,
membuatnya tersenyum sepanjang tahun terakhir ini.

"Sepertinya, aku harus mengingat banyak hal tentang


Allan, masa lalu ku dan semua yang hilang dari pikiran
ku. Aku harus mencari semuanya,"batin Emily, ia
mengeluh pelan, mengulum bibir dan mulai melahap
makanannya. Rasa laparnya, mengalahkan semua hal
sekarang.

____________________
"Kenapa kau menelpon ku?"tanya Gabriel sembari
mengepal tangannya kuat. Ia baru saja menerima
sebuah panggilan dari Allan dan itu membuatnya
sangat muak.

"Aku tahu apa yang kau lakukan bersama mantan


kekasihmu di Positano, apa aku perlu memberitahu
Emily?"

"Brengsek, Saat itu aku mabuk!"

"Kau pikir Emily akan peduli kau mabuk atau


tidak?"tanya Allan membuat Gabriel lantas mengepal
sudut pembatas balkon begitu kuat.

"Apa yang kau inginkan, brengsek!"balasnya kembali


dengan gigi yang begitu rapat.

"Aku tidak ingin apapun. Hanya sekadar


memberitahu mu bahwa Emily bersamaku dan dia
tampak-"Allan menggantung kalimatnya, memutar
tubuh ke arah Emily yang baru saja keluar dari kamar
mandi dengan bathrobe.
"Dia tampak, membuatku panas."terang Allan
sembari mengedarkan pandangannya ke arah gadis
tersebut.

"Allan kau-"

Tap!!

Pria tersebut mematikan panggilan telponnya,


menonaktifkan benda itu sembari melangkah masuk
kembali ke dalam ruangan kamar hotel yang cukup
luas. Lantas mendekati Emily begitu cepat.

"Emily...."gadis itu membulatkan mata, merasakan


Allan mencium bibirnya cukup kasar, melumatnya
dalam dan kembali memaksanya untuk jatuh.

"Allan!"suara Emily terdengar berat, ia mendorong


tubuh pria itu cukup kuat. Mencoba menahan diri
untuk tidak terpancing. Ia lupa, bahwa Allan punya
seribu jurus untuk membuatnya menyerah.
Allan menaikkan tubuhnya di atas meja yang cukup
tinggi. Meremas tiap bidang sensitif Emily yang mulai
panas. "Ayolah, aku tidak bisa- Tuhan, please,"Emily
mengerang, membatin untuk melawan hasratnya
yang terpancing.

"Allan-"

Tap... Kaitan bathrobe Emily lepas, ia tidak


memakai underware. Ayolah, ia tidak mungkin
menggunakan benda itu dua kali dalam sehari.
Kurang nyaman.

"Emily tenanglah,"bisik Allan mulai mencoba


merayunya dengan kalimat yang membuat gadis itu
semakin panas. Allan meremas dadanya begitu kuat,
mengusap kulitnya langsung semakin jauh.

"Brengsek,"maki Emily pelan sembari mencengkeram


bahu Allan kuat, pria itu tersenyum tipis lantas
melepas kaos yang melapisi tubuhnya.
Emily mengangkat kakinya, mengapit kedua paha
Allan begitu kuat dan menerima sebuah ciuman
kembali di bibirnya yang merah. Pria itu
menggigitnya pelan, mengecup leher, bahu hingga
dada yang kini membusung.

"Allan please!"tukasnya sembari mengecup dada pria


itu. Membalas gairah Allan semakin jauh.

"Shit, kau membuat ku sangat gila Emily."bisik Allan


melepas seluruh kain yang masih tersisa di tubuh
Emily.

Emily menelan ludah, menaikkan kepalanya tinggi


dan begitu pasrah saat tubuh naked nya begitu di
nikmati. Hingga di menit kemudian, Emily
melingkarkan tangannya di leher Allan. Pria itu
mengangkatnya, membawa tubuh pasrah itu ke
ranjang, lantas langsung mencumbu nya semakin
dalam. Ia tidak akan memberikan Emily sedikitpun
kesempatan berpikir. Tidak akan.
"Ah! Allan!"gadis itu meringis, tubuhnya mendadak di
balik menghadap ranjang. Ia menelan ludah dan
begitu hanyut dalam rasa yang tidak mengenal logika
lagi.

Emily membiarkan ranjang tersebut bergerak, seakan


tubuhnya begitu di kuasai penuh. Mendadak, gadis itu
meremas seprai begitu kuat merasakan sesuatu
mendesaknya sangat pasti. Allan ikut mengerang,
berhasil memenuhi semua ruang gadis itu dalam.

Allan menarik bahu gadis itu, menenggak kan tinggi


tubuh Emily dan mulai meraih seluruh kehidupan
yang kini tengah berada dalam kuasa penuhnya.
Mereka kembali lupa, membiarkan kenikmatan
mengambil alih seluruh fungsi tubuh mereka sedalam
nya. Allan tidak akan puas, ia akan melakukannya lagi
dan lagi hingga benar-benar menjadikan Emily
ratunya. Pria itu melepaskan semuanya di dalam
tubuh gadis itu hingga lelah mengikatnya.
Chapter 33 : I Need You

Emily menggerakkan tubuhnya, membuka mata


amber yang begitu indah perlahan. Ia terdiam
sejenak, menatap dimana Allan berada di depannya,
Mereka saling berhadapan bahkan jemari pria itu
menggenggam erat tangannya.

"Bagaimana caranya aku bisa mencintai mu, Allan.


Bagaimana caranya aku bisa mengenal mu,"pikir
Emily sembari mengulum bibir. Ia merasakan hati
nya berdebar tidak menentu, lantas, mengingat
Gabriel secara bersamaan. Ia begitu bersalah.
Sudahlah, ia bosan membicarakan itu, sekarang
bagaimana- Emily baru saja sadar apa yang mereka
lakukan semalaman. Ia ingat jelas, Allan sangat
dominan.

Emily mendadak menutup mata, saat pria yang


tengah di pikirkan nya itu bergerak. Ah- Emily belum
siap menghadapi Allan yang tampak mulai sadar. Pria
itu melepaskan jemari mereka, lalu mengusap lembut
wajah Emily. Gadis itu berpura-pura tidur hingga
merasakan kecupan lembut di keningnya, lalu di
bibirnya.

Ranjang bergerak, menandakan Allan mulai beranjak


bangkit. Pria itu melangkah santai dalam
kondisi naked menuju kamar mandi. Hal itu kembali
membuat Emily membuka mata lantas membuang
napasnya lega. "Aku harap pria itu akan pergi dari
kamar ini, paling tidak sementara waktu."pikir Emily
dan menarik kembali selimut tebal yang menutupi
tubuhnya.

Empat puluh lima menit kemudian, Allan keluar dari


kamar mandi. Melangkah menuju ranjang untuk
memeriksa Emily. "Bangunlah, jangan pura-pura
tidur, atau aku akan membawamu langsung ke kamar
mandi!"ucap Allan parau.

"Emily,"panggilnya kembali sembari


menyunggingkan senyuman tipis.
"Sepertinya kau benar-benar lelah, baiklah."Allan
melangkah menjauh, mendekati pakaian dan memilih
salah satu di antaranya. Dalam usia yang masih
berkisar sekitar 25 tahun, Allan masih begitu cool,
trendy.

Allan mengikat sebuah arloji berkelas Lange & Sö hne


berwarna white gold di pergelangan tangannya,
melirik sedikit untuk mengetahui waktu setempat
lalu kembali melirik ke arah Emily dan mendekatinya.

"Aku akan membawakan mu makanan, pakaian mu


akan datang setengah jam lagi,"bisik Allan cukup
sadar dengan tingkah Emily saat ini. Ia mengecup
puncak kepala gadis itu, mengusapnya lembut dan
segera memutar tubuhnya.

"Hah- syukurlah, aku punya waktu untuk


membersikan diri,"batinnya sembari memegang dada
yang terasa lapang. Tidak membuang waktu, Emily
langsung bangkit, ia harus segera selesai sebelum
Allan kembali.

___________________

Emily mengusap-usap rambutnya dengan cepat,


membiarkan nya berantakan dan terpaksa
memakai bathrobe kembali. Ayolah, Emily bahkan
tidak memiliki sehelai benang pun sekarang.

Tok tok tok!!

Gadis itu menoleh cepat, mendekati pintu dan


melekatkan matanya di door viewer. Tampak aman, ia
membuka pintu dan mengerutkan kening.

"Siang nona kami mengantarkan pakaian untuk


mu,"ucap pegawai hotel tersebut ramah sambil
melempar senyuman tipisnya.

"Hm! Letakkan saja di sana,"ucapnya lembut sembari


menggeser sedikit tubuhnya.
"Ini berlebihan,"pikir Emily melihat para pegawai itu
mendorong pakaian yang menggantung di stand
hanger. Cukup banyak. "Ini underwear mu,
nona."ucapnya lagi sembari menunjukkan beberapa
kotak yang tersusun eksklusif bertuliskan Victoria
secret.

Emily mengangguk, melihat pegawai itu kembali


meletakkan beberapa paper box lainnya, mungkin
berisi tas dan sepatu; pikirnya. "Kau bisa mengatakan
padaku, jika ada semua barang-barang ini tidak
sesuai selera mu. Kami akan menukarnya dengan
yang lebih baik,"ucap pegawai tersebut sembari
tersenyum lebar.

"Terimakasih,"balas Emily sembari mengangguk dan


membalas senyuman wanita tersebut.
"Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu nona."Emily
mengangguk, mengulum bibirnya lantas melangkah
bersama pegawai lain untuk menutup pintu.

Tap!!

Ia menelan saliva, batal merapatkan pintu saat Allan


berpapasan menampakkan diri. Ia bersama salah satu
pria yang tampak berdiri tegap di belakangnya,
menatap begitu rendah. Ia menjaga pandangannya
sebaik mungkin.

"Kau bisa pergi, Frank!"ucap Allan sembari meraih


bungkusan makanan yang tampaknya sama dengan
menu nya tadi malam. Ah- Emily tidak masalah, ia
sangat menyukai ayam goreng tepung. Tidak ada kata
bosan untuk makanan itu.

"Sudah bangun, honey,"tegur Allan menarik ujung


rambut gadis itu dan mendorong nya masuk, lalu
menutup akses pintu serapat mungkin.

"Allan, aku tidak minta semua ini. Kau tidak perlu-"


"Pakai saja, semua untuk mu!"kembali, pria itu
memotong ucapan Emily, ia meletakkan makanan
tersebut di meja balkon lantas bergerak cepat ke atas
ranjang di mana kotak underwear Emily tersusun.

"Allan jangan buka itu!"

Tap!! Pria tersebut menangkapnya, memeluk erat


lalu memiringkan tubuh Emily sembari menarik salah
satu kotak tersebut hingga benda itu terbuka.

"Wow! Ini bagus,"puji Allan


mengusap bondage lingerie berwarna merah
menyala.

"Aku tidak akan memakai itu!"balas Emily parau


sembari menaikan tubuhnya untuk terlepas dari
cengkeraman Allan yang kuat.
"Mau ku pakaikan kan?"tawarnya sarkas.

"Kau saja yang pakai!"balasnya tidak ingin kalah


masih berusaha untuk bangkit.

"Baiklah, akan lebih mudah jika kau tidak memakai


dalaman,"bisik Allan membuat kening Emily
mengerut.

"Sialan! Dasar pria mesum laknat!"teriaknya sembari


menarik rambut Allan sekuatnya hingga
cengkeraman pria itu langsung lepas.

"Minggir!"Emily mendorong nya,


menarik lingerie tersebut dan membawa benda itu
bersamanya, Ia menuju toilet kembali.

"Sialan, aku harusnya tidak terjebak di sini,"pikir


Emily terpaksa mengenakan benda tersebut di
tubuhnya. Ia berdiri di cermin besar memerhatikan
pantulan diri sendiri.
"Tapi, ini sangat bagus. Sesuai
warna favorite ku,"gumam Emily kembali sembari
mengeluh pelan dan membenarkan semua ikatan
yang ada di tubuhnya hingga elekat sempurna.

"Tidak buruk,"pikirnya, Emily tersenyum, merasa


begitu dewasa dengan benda itu.

Ceklek!!

Suara pintu di buka, seketika Emily langsung


memutar pandangannya untuk memerhatikan Allan
yang tengah menatapnya kagum.

"Allan please, aku belum-"

"Kau cantik, aku menyukainya. Ini pakaian mu,"ucap


pria itu sembari melangkah pelan untuk bergabung
dalam kamar mandi luas tersebut.

"Terimakasih,"Emily merasakan dadanya panas, oh


ayolah- ia ingin berteriak kencang saat ujung jarinya
tanpa sengaja bersentuhan dengan Allan, ketika
meraih pakaian yang di bawakan pria tersebut.

"Hm- cepatlah, kau harus makan."Allan kembali


melirik ke arah tubuh Emily, lalu memutar tubuhnya
untuk segera keluar.

"Hah!!"Emily memegang sudut westafel, merasakan


dadanya yang sesak kini kembali lapang.

"Sepertinya aku harus mengkonsumsi obat sesak


napas saat di dekatnya,"gumam Emily dengan
tangkas memasang pakaian di tubuhnya. Allan benar,
ia harus makan, perutnya perih dan terasa begitu
kosong.

______________________

"Emily, apa aku bisa bicara dengan mu?"tanya pria itu


saat melihat gadis itu tampak selesai dengan
makanannya.
"Yah! Aku pikir kita memang harus bicara,"jelasnya
sembari menyatukan kedua tangan rapat tanpa
mengalihkan pandangan dari pria tersebut.

"Kita tidak bisa terus seperti ini,"ucap Allan datar


membuat gadis itu penasaran.

"Aku tahu, harusnya aku sadar diri dan segera keluar


dari-"

"Bukan itu maksud ku, tapi.... Aku ingin


mengembalikan ingatan mu!"potong Allan sembari
menangkap tangan Emily dan menyatukan dengan
jemarinya. Sangat rapat, erat tanpa satu penghalang
pun.

"Apa itu mungkin?"

"Yah! Aku sudah bicara pada seorang dokter terapi


lainnya. Ia mungkin bisa membantu jika kau ingin,
Emily."Allan mencoba meyakinkan, membuat gadis
itu sedikit merasa ragu hingga kedua pandangannya
mereka bertemu lekat.
"Hm masalahnya aku tidak percaya pada-"

"Trust me! Aku bukan ingin menipumu, jujur,


hubungan kita sangat buruk Emily, sangat! Kau
mungkin akan sangat membenci ku tapi....."

"Tapi?"

"Aku akan mengambil risikonya, aku ingin kau ingat


semuanya, terutama perasaan mu terhadap
ku,"sambung Allan semakin meremas tangan Emily.

"Bagaimana jika aku membenci mu?"

"Bukan kah sekarang kau juga membenci ku?"balas


Allan terhadap pernyataan Emily.

"Tidak. Aku hanya tidak mengenal mu, namun-"Emily


menggigit bibir, melepaskan tangannya dari pautan
Allan dan mengalihkan pandangan.

"Aku takut. Bagaimana jika masa lalu ku tidak lebih


baik,"Emily mengembalikan pandangannya pada
Allan. Menangkap manik mata terang pria tersebut.
Rasanya, ia memang memiliki banyak pengalaman
bersama.

"Kenyataan mu seperti itu, Emily. Kau tidak bisa


melarikan diri. Jika kau mau percaya, maka aku
bersumpah akan menebus semua kekecewaan
mu,"tukas Allan begitu pasti.

"Bagaimana Gabriel?"tanya Emily mencoba menilai.

"Kau bebas memilih, sudah ku katakan, ini risiko dan


aku akan menebus semuanya,"Allan mengusap
lembut rambut gadis itu, menatapnya intens tanpa
lepas sedikitpun.

"Bagaimana jika nyatanya aku memilih Gabriel?

"Apa sekarang kau memilih ku Emily?"balas Allan


membuat jantung gadis itu berpacu cepat. Baiklah, ia
salah bicara.

"Tidak!"
"Baiklah, jika kau memilih Gabriel maka aku akan
merebut mu, aku akan memaksamu,"balas Allan
membuat Emily menjadi begitu ragu.

"Aku mencintai mu, Emily. Perasaan itu sejak lama,


hanya saja aku terlalu malu untuk mengakuinya, aku
pengecut!"akuinya begitu berani membuat gadis itu
menunduk pasrah.

"Dan, satu hal lagi Emily. Ini masalah Klaus. Aku tidak
ingin membuat mu berada di dalam bahaya tapi-
Clyde menghilang,"ucap Allan terbata.

"Clyde?"

"Ya! Clyde, kau akan tahu siapa dia jika kau ingat, aku
butuh kau, Clyde juga demikian."

Emily terdiam, ia berpikir lugas. Kembali memaksa


otaknya untuk berpikir, ia menatap Allan kembali lalu
mengangguk pelan. "Baiklah, aku bersedia."
Allan langsung melempar sebuah senyuman, lantas,
menarik tubuh gadis itu lebih dekat dan langsung
memeluknya erat. Emily membuang napasnya kasar,
ikut melingkarkan tangannya pada Allan.

Chapter 34 : Ball Swing

Empat minggu kemudian....

Apa kau takut, Emily?"tanya Allan sembari meremas


erat jemari gadis itu, mengusap wajahnya lembut.

"Hm! Aku takut jika masa lalu ku begitu buruk,"balas


Emily sembari melirik ke seorang dokter yang sudah
duduk dengan santai di sampingnya. Menatap
prihatin.
"Semua orang memiliki masa lalu yang buruk, namun,
bukan berarti kita memiliki masa depan yang buruk
juga,"tegur dokter tersebut dengan suaranya yang
seakan memenuhi ruangan.

"Kau benar dok, aku hanya takut, yah- hanya


takut,"keluh Emily sembari mengulum bibirnya.

"Kau ingin waktu lagi?"tawar Allan dengan suara


parau, Emily menatapnya sejenak, ia membalas
remasan tangan pria itu cukup kuat lantas
menggelengkan kepala.

"Baiklah, aku akan siap. Aku akan mencobanya."

"Nona Emily, ini bukan ajang coba-coba. 80% tingkat


keberhasilan hipnosis di pengaruhi pikiran bawah
sadar mu!"balas dokter tersebut tampak begitu
serius.

"Dr. Scott benar. Kau tidak akan berhasil jika-"


"Aku mau!"potong Emily sembari menatap wajah
kedua pria yang ada di depannya tersebut tajam. Dr.
Scott mengangguk, lantas melirik ke arah Allan
sejenak.

"Baiklah!" Dr. Scott meraih stand display bola besi


swing. Meletakkan benda tersebut di sisi kanan Emily
dan mendorong bola tersebut hingga suara detak kan
terdengar penuh di dalam ruangan.

"Emily dengar, aku akan melakukan semuanya sesuai


prosedur. Jika di dalamnya terdapat sesuatu yang
membuat mu tidak nyaman, kau bisa bangun,"terang
Dr. Scott sembari melihat Emily mengangguk paham,
ia melirik ke arah Allan sejenak tampak memberi
harapan.
"Aku tidak akan meninggalkan mu!"ucapnya
memberi pernyataan yang memang di butuhkan
Emily.

Kembali, Dr. Scott mendorong ball swing tersebut


hingga suaranya kembali menggema, ia
membenarkan pakaiannya sejenak, mulai
menyatukan ujung tangan agar lebih berkonsentrasi.

"Tutup matamu, Emily. Buat dirimu senyaman


mungkin, fokus pada suara detak yang ada di ruangan
ini. Semakin kau mendengarkannya, maka kau akan
semakin rileks........"Dr. Scott mencoba
memecahkan mental block Emily, menyusup masuk
ke dalam bawah sadarnya sebisa mungkin. Allan
hanya diam, tetap menggenggam tangan gadis itu
rapat.

Tap!!

Dr. Scott menahan ball swing tersebut,


menghentikannya dengan sekali tangkap. Ia melirik
ke arah Allan kembali, seakan memberi pesan.
"Lakukan yang terbaik!"pinta Allan dengan suara
penuh harapan, hingga dokter tersebut mengangguk.

"Emily, mulai sekarang hingga beberapa menit ke


depan. Kau di bawah kendali ku, kau bisa menolak,
sadar atau memberi tanda jika sesuatu membuatmu
tidak nyaman. Kau paham?"tanya Dr. Scott sembari
mengerutkan kening, hingga perlahan Emily
mengangguk pasrah. Ia sangat rileks.

"Baik, sekarang ciptakan sebuah pintu dalam pikiran


mu, bayangkan dengan jelas dan kau perlahan
melangkah ke pintu tersebut. Yah- kau bisa
membukanya, di dalam sana tersimpan masa lalu mu,
Emily kate. Semua kehidupan yang di ambil, kau bisa
masuk dan melihat semuanya!"

"Emily..."panggil Dr. Scott saat tidak terjadi reaksi


apapun dari gadis tersebut, ia mengerutkan kening
dan mencoba menarik napas cukup dalam. Allan
mulai gusar, takut jika apa yang ia harapkan tidak
terjadi.
"Sebentar!"ucap Dr. Scott saat Allan mencoba
membangunkan Emily. Ia cukup penasaran. Gadis itu
tidak bereaksi.

"Emily kate... Jika kau sudah masuk, berikan tanda di


tangan kiri mu,"ucap Dr. Scoot melirik tangan Emily
yang masih dalam genggaman Allan. Mereka fokus.

"Emily kate.. Aku ulangi jika kau......"

Tap!!!

Gadis itu mendadak meremas tangan Allan sangat


kuat, ia mulai bereaksi dan menunjukkan sebuah
perubahan yang signifikan. Tampaknya gadis itu
menyetujui semua prosedur, hingga cukup mudah
masuk ke alam bawah sadarnya.

"Emily... Dengarkan aku.... Kau masih di dalam sana?


Katakan! Apa yang kau lihat!"ucap dokter tersebut
kembali, mencoba berinteraksi. Namun, sama saja,
Emily hanya diam sembari meremas tangan Allan
begitu kuat. Ia mengerutkan kening, merasa panas
begitu mendadak hingga keringat terasa bercucuran
di tubuhnya. Ini tidak baik, ia tidak tahu harus
percaya atau tidak, yang jelas saat ini, semua
hidupnya tergambar jelas satu persatu, ingatan itu
muncul bagaikan mesin waktu yang super cepat. Ia
melihatnya, merasakan betapa sakitnya. Dada Emily
sesak, ia mulai kehabisan napas seperti sesuatu
mendorong nya semakin jauh.

"Allan...."panggil Emily parau dengan napasnya yang


memburu. Gadis itu bahkan menitikkan air mata,
seakan tidak sanggup untuk melanjutkan apa yang
sedang ia lihat sekarang.

"Emily........!!!"

Tapp

Mendadak, mata gadis itu terbuka lebar, ia langsung


menangkap seseorang dengan pandangannya lantas
menelan ludah sangat kuat.

PLAKKK!!
Emily menampar Allan begitu kuat hingga wajah pria
tersebut langsung berpaling. Rasanya perih,
membuat pria tersebut sedikit lambat mengangkat
wajahnya kembali.

"Emily."

"Aku membenci mu Allan!"ucap nya dengan sarkas


lantas menurunkan dirinya dari sofa tanpa peduli
terhadap Dr. Scott yang hanya mampu diam tanpa
sepatah katapun.

"Emily tunggu!"Allan bangkit, menangkap lengan


gadis itu sangat cepat.

"Lepas dan jangan tunjukkan wajah mu lagi di depan


ku. Cukup Allan-"

"Emily aku akan menebus semuanya!"teriak Allan


tetap menahan gadis tersebut sebisa mungkin.

"Lihat! Cincin mu! Aku sudah lama melepasnya, itu


berarti sudah tidak ada apapun lagi di hati ku tentang
mu Allan!"terang Emily sembari menunjukkan
jarinya dengan begitu tegas membuat Allan terdiam.

"Aku mencintai mu,"Allan menatap gadis itu lekat,


hingga Emily mengangkat kepalanya tinggi, lantas,
mengusap air mata yang sempat tumpah di sudut
pipinya.

"Sorry Allan. Aku ingat semuanya, caramu


memperlakukan ku, caramu menghina ku dan caramu
membuatku hancur. Cukup! Aku tidak ingin
mengulang semua itu, bagaimanapun, sudah tidak
ada lagi hubungan apapun di antara kita. Aku
membenci mu, aku...."Emily menggantung kalimatnya
sejenak. Ia melirik ke arah Dr. Scott lalu
mengembalikan pandangannya pada Allan yang
begitu khawatir.

"Aku akan kembali pada Gabriel. Dia benar, memang


harusnya aku melupakan mu, melupakan semua rasa
sakit ini, melupakan mu, melupakan apa yang pernah
di lakukan teman-teman mu, jadi aku mohon Allan,
jika kau mencintai ku, maka kau harus melepas
ku!"ucap Emily dengan bibirnya yang bergetar. Ia
mengepal tangan begitu kuat menatap betapa
terangnya mata biru Allan.

"Emily."Allan mengulum lidahnya, rasanya sesakit ini


saat menyadari Emily tidak memilihnya, gadis itu
menunduk dan mulai menjauhi pria tersebut. Ia
melangkah menuju pintu mencoba menjauh
sebagaimana hatinya.

"Emily please!"ucap Allan parau, ia merasa begitu


sesak, marah, tersisihkan dan apapun itu benar-benar
menjadi satu.

Tap!!

Allan terdiam di tempatnya, saat Emily tetap memilih


pergi. Meninggalkan nya di ruangan tersebut bahkan
tidak sedikitpun gadis tersebut menoleh nya kembali.
Allan terluka, ia tidak tahu apa yang harus di lakukan,
semua di luar perkiraan. Ia berharap Emily bisa
menerimanya, tapi, nyatanya tidak.
"Biarkan dia tenang, kau harus paham,"ucap Dr. Scott
mencoba mengingatkan. Allan memutar tubuhnya
sedikit lantas mengangguk pasrah. Ia mengepal
tangan seakan tidak mampu berdiri lebih tegak.

"Aku akan meminta pegawai ku mengantar uang


mu,"ucap Allan tanpa melihat ke arah Dr. Scott dan
segera keluar dari tempat tersebut.

Emily mengusap sudut mata, menahan semua beban


yang kembali menumpuk di bahunya. Ia menyesal,
karena berakhir kecewa. Semua di luar dugaan,
lubang besar yang ada di hatinya ternyata harus
sesakit ini.

"Diam kau, pelacur!"

Emily mengusap mulutnya, kalimat tersebut


berputar-putar di kepalanya. Allan
memperlakukannya sangat buruk, bahkan di luar
bayangan nya.
"Aku lebih buruk Emily, lebih buruk dari Gabriel. Aku
mencintai mu."

Lagi, suara Allan mengalir di pikirannya jelas. Ia


menahan dada yang terasa sakit, kenapa hidupnya
harus serumit ini, kenapa ia harus berada di tengah
orang-orang yang bahkan tidak menghiraukannya, di
mana keluarga nya? Di mana semua teman atau
apapun itu. Tidak bisa kan ia hidup tenang sekali saja.

"Ini hanya mainan, kau sendiri yang membelinya. Aku


akan menukar dengan yang lebih baik."

"Pakai cincin ini, selama kau masih mencintai ku."

Emily berhenti melangkah, mengingat sebuah white


ring yang di berikan Allan. Ia harus mengambil alih
kembali benda tersebut. "Aku harus menemui
Gabriel!"

Emily memutar tubuhnya, mengambil arus jalan


besar untuk mencari taksi online. Baiklah, ia akan
meminta bantuan Gabriel kembali, pada dasarnya,
pria tersebut adalah penolongnya, atau mungkin
pelariannya.

____________________

"Emily...."Gabriel membulatkan mata, memerhatikan


seorang gadis yang sangat ia kenal berdiri di
hadapannya.

"Aku meninggalkan taksi di bawah,"ucap Emily datar.

"Hm! Aku akan membayarnya, sebentar,"seketika


pria tersebut langsung memutar tubuh kembali ke
dalam, meraih dompet dan membiarkan Emily masuk
ke dalam penthouse nya. Ia turun, untuk membayar
taksi online Emily.

Gadis itu mengedarkan pandangan, memerhatikan


ruangan yang cukup memberinya pengalaman.
Bersama Gabriel, hubungan nya lebih indah,
walaupun tidak sedikitpun jantung nya berdetak.
Mungkin, karena lubang kosong yang tersemat di
hatinya sangat melekat. Sekarang, ia tahu semuanya,
kebenarannya. Tidak masalah jika ia mencobanya
kembali.

"Gabriel, yang benar saja! Ayam mu benar-benar enak.


Kau koki handal,"Emily tersenyum tipis, mengingat
bagaimana mereka membentuk satu hubungan.
Begitu manis walaupun tersimpan kebohongan di
dalamnya.

Emily mendadak mengerutkan kening, Melirik ke


arah pintu pembatas antara dapur, seketika, ia
melangkah cepat dan membuka pintu tersebut untuk
mencari wastafel. Ia menutup mulut lalu
mencengkeram sudut benda itu erat.

"Ueeekk!!"Emily memegang perutnya yang terasa


mual, mencoba memuntahkan sesuatu dari tubuh
yang terasa dingin.

"Ah!! Mual ini menyiksaku,"pikir Emily sembari


membasuh wajah dengan air yang masih mengalir.
Lalu melirik kembali ke arah pintu saat mendengar
sebuah suara. Ia melangkah keluar dari ruang dapur,
mencari tahu pria yang baru saja memasuki ruangan
tersebut.

"Aku sudah membayar taksi mu,"ucap Gabriel seakan


lupa dengan kalimat yang ingin ia ucapkan saat
berada di hadapan Emily.

"Terimakasih,"Emily menelan Saliva, lalu melangkah


cepat ke arah Gabriel dan memeluk pria tersebut
sangat erat.

"Emily... Aku merindukan mu,"ucap Gabriel pelan,


membalas pelukan yang terasa begitu hangat.

"Aku ingat, aku ingat semuanya, Gabriel,"isak Emily


membuat Gabriel mengerutkan kening.

"Aku ingin bersamamu!"sambung Emily seraya


memeluk pria tersebut semakin erat. Ia melawan hati,
wajah Allan berputar di otaknya jelas, hal itu
membuat Emily semakin merapatkan diri.
"Emily... Apa yang terjadi? Hah?"Gabriel melepaskan
pelukan mereka, memegang kedua lengan gadis itu
dan menatapnya penuh arti. Ia penasaran.

"Aku sudah mengingat semuanya, aku mengingat


semua masa lalu ku dan aku ingin bersamamu,
Gabriel!"ucap Emily cukup tegas membuat mata biru
pria tersebut langsung beredar begitu liar.

"Kau yakin?"tanya Gabriel sembari menahan


napasnya dalam. Emily mengulum bibirnya kembali,
ia sedikit ragu, namun, ini mungkin hal terbaik
untuknya. Gabriel lah satu-satunya orang yang ada di
sisi Emily.

"Ya.... Aku yakin. Aku sudah memutuskannya,"ucap


Emily begitu tegas tanpa bisa di elak sedikitpun.
Keduanya saling menatap lama, seakan mencari
sesuatu yang tertinggal begitu jauh hingga Emily
memilih kembali untuk memeluk pria tersebut.
Chapter 35 : Planning

"Bagaimana kau bisa seperti ini Klaus?"tanya seorang


wanita tua yang tampak mengkhawatirkan putra
satu-satunya itu.

"Hanya perkelahian anak kecil,"balas Klaus sembari


menarik napas. Ia mengulum lidah, mengingat
bagaimana Allan membuatnya terluka hingga harus
menginap berminggu-minggu di rumah sakit.

"Kenapa kau tidak memberitahu daddy?"balas pria


tua yang tengah menatap luas kota Zurich.

"Ayolah dad. Aku sudah dewasa, biarkan aku


mengatasi masalah ku sendiri!"balas Klaus sembari
melirik beberapa luka nya.

"Nyatanya kau tidak melakukan apapun untuk


membalas,"jawab pria paruh baya tersebut sembari
memutar tubuh, menatap tajam mata biru Klaus
sembari melangkah mendekat.

"Dad aku punya jalan ku, aku—"

PLAAK!!

Suara tamparan menggema lantang di tengah


ruangan, menghempas wajah Klaus yang langsung
berpaling.

"Ronald!"pekik Ariana, mommy Klaus.

"Aku tidak pernah mengajarkan anakku lemah!


Mereka harus melawan dengan cara apapun untuk
menang!"balas Ronald menarik kerah pakaian Klaus
begitu kuat membuat putranya tersebut mengepal
tangan begitu tegang.

"Jangan menatap ku seperti itu,"ucap Ronald sembari


mengangkat kepalanya sembari menelan ludah
begitu pekat, lantas, melirik ke arah istrinya yang
tampak terisak. Ini bukan pertama kalinya, sejak kecil
Klaus terlalu sering mendapatkan perlakuan seperti
ini. Sangat sering.

"Ayo Ariana, kita pulang ke New York! Aku ingin lihat


bajingan ini membalas seseorang yang melukainya
hingga seperti ini,"ucap Ronald sembari memegang
bahu istrinya tersebut.

"Aku tidak mau!"balas Ariana membuat mata biru


Ronald bergerak cepat.

"Aku akan membalasnya!"celetuk Klaus seakan


mampu menahan Ronald untuk melakukan sesuatu
hal pada Ariana tersendiri.

"Good, aku menunggu kabar mu, soal Clarissa,


mantan kekasih mu itu. Sudah daddy bereskan!"

"Apa yang daddy lakukan?"tanya Klaus dengan


pandangannya sedikit mengancam. Ronald
tersenyum tipis, melirik ke arah Ariana yang tampak
menutup mulut sangat rapat.
"Menyingkirkannya, dia hampir membuka mulut soal
aborsi itu,"terang Ronald membuat kaki Klaus serasa
melemas. Sejujurnya, ia di merasa di hantui, Clyde
membuatnya benar-benar ketakutan. Ia menunduk
sejenak lantas menaikkan kepalanya kembali.

"Aku tanpa sengaja membunuh seseorang!"akunya


membuat Ariana langsung membulatkan mata.

"Aku ... Aku tidak sengaja, dia menyembunyikan


sesuatu dari ku dan—"

"Tidak masalah Klaus. Daddy harap kau sudah


menyingkirkan mayatnya dengan benar,"ucap Ronald
datar.

"Apa yang kau katakan? Kau mengajari anak mu—"

"Sssttt! Diam lah Ariana. Seseorang memang harus


mati jika mereka mengganggu."

"Ronald!"
"Ariana, jangan membuat ku marah. Aku juga bisa
membunuh mu!"ancam Ronald membuat istrinya
tersebut diam. Ia bergetar ketakutan, apa yang di
lalukan suaminya penuh risiko.

"Ayolah honey, kita pulang!"ajak Ronald kembali


sembari mengusap lembut sudut wajah Ariana dan
menggenggam tangannya kuat.

"Daddy akan mengirimkan uang untuk mu,"ucap


Ronald terakhir kalinya, sembari melangkah pelan
untuk keluar dari ruangan kamar hotel tersebut.

Klaus melangkah menuju nakas, meraih sebuah vas


bunga dan melemparnya dengan sangat keras ke arah
pintu, hingga benda tersebut langsung pecah dan
berantakan. "Sial! Kenapa aku harus mengalami ini,
kenapa dia tidak mati saja
seperti daddy Allan!"sentak nya keras sembari
mengepal tangan begitu kuat, lantas memegang sudut
mata yang mendadak berair.

"Apa aku harus menyebarkan foto-foto jalang itu?"


"Tidak, ini bukan salah Emily. Baiklah, aku akan mulai
dari Allan,"pikir Klaus mencoba mengambil
keuntungan yang ingin ia raih untuk membalas pria
tersebut.

_______________________

Beberapa hari berlalu cukup cepat, Allan berusaha


mendekati Emily, namun, sungguh tidak sedikitpun
gadis tersebut memberikan kesempatan untuknya.
Emily mengganti password penthouse dan memilih
untuk berhenti bekerja dari Gabriel.

"Jadi, Emily semakin membatasi dunia luar?"tanya


Allan datar sembari memerhatikan ponselnya.

"Ya sir, akan sangat sulit untuk mu bisa menemui


nya,"balas Frank sembari menarik napas.

"Foto yang aku kirim padamu, terakhir kali saat nona


Emily mundur dari perusahaan. Sepertinya, Gabriel
menyewa beberapa bodyguard."
"Wah! Luar biasa. Dia benar-benar ingin merebut
milikku!"balas Allan mengepal kuat ponsel yang ada
di genggamannya kuat.

"Sepertinya, mereka akan segera menikah dan—"

"Apa?"sentak Allan parau, ia beranjak berdiri begitu


tegang.

Frank mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya,


meletakkan benda tersebut ke atas meja membuat
Allan langsung menangkap benda tersebut lebih
cepat.

"Tadinya, aku tidak terlalu percaya, namun, setelah


mengeceknya dengan benar ternyata Gabriel dan
nona Emily sah menjadi penduduk Swiss. Emily
menumpang asuransi di bawah Gabriel dan aku
menemukan dokumen pernikahan mereka yang
lengkap dengan status baru mantan istri mu, sir."

"Bukankah Emily harus mendapatkan persetujuan


orang tuanya?"
"Mereka setuju, Gabriel sudah merencanakan nya
cukup matang!"balas Frank begitu jelas, membuat
Allan langsung mengepal tangan begitu kuat.

"Sial, aku harus melakukan sesuatu hal,"balas Allan


tegas.

"Clair di sini, sir."

"Clair?"

"Yah! Dia menghubungi ku pagi ini, Clair mengetakan


pukul enam sore ini akan sampai di Zurich,"terang
Frank membuat Allan langsung menaikkan salah satu
alisnya. Ribuan kelicikan tertanam di otak Allan saat
ini dan pria tersebut pasti akan memanfaatkan
kesempatan besar ini.

"Good, jangan lakukan apapun. Biarkan Clair yang


bekerja untukku!"tegas Allan sembari mengusap
bibirnya lembut.
"Maksud mu, sir?"Frank mengerutkan kening,
menatap lugas ke arah boss besar nya tersebut.

"Antar kan Clair dengan baik


ke penthouse Gabriel,"terang Allan dengan napasnya
yang terasa begitu cepat.

____________________

"Emily.. Apa kau baik-baik saja dengan semua


ini?"tanya Gabriel parau. Ia meraih jemari gadis itu,
menatapnya tajam dan lekat.

"Tentu saja, memang nya aku terlihat sakit?"tangkis


Emily sembari tersenyum simpul.

"Beberapa hari ini, kau pucat. Maksud ku— kau


sangat tidak terlihat bersemangat dengan pernikahan
ini,"ucap Gabriel sembari menahan napasnya dalam.

"Aku bahagia. Tenang saja Allan—"

Deg!!
Keduanya mendadak terdiam sejenak, Emily
langsung menahan bibirnya, respon cepat mulutnya
begitu sinkron dengan apa yang tengah ia pikirkan
saat ini. Nyata dan jelas.

"Maaf aku mau ke—"

"Emily...."Pria tersebut menangkap lengan gadis


tersebut dan menahannya sejenak.

"Gabriel maaf, aku akan berusaha melupakannya. Aku


hanya butuh waktu sedikit lagi untuk melepaskan
semua ini,"terang Emily menjelaskan apa yang tengah
berada di pikirannya sekarang. Sungguh, hati gadis
itu masih milik Allan, bagaimanapun pria tersebut
pernah memperlakukannya.

"Bagaimana caranya aku bisa membantu mu?"tanya


Gabriel dengan suara yang sedikit serak. Ia meremas
jemari Emily, menatap tanpa jeda saat merasakan
betapa sakitnya ia harus mencintai Emily.
"Cukup hanya berada di dekat ku hingga kita benar-
benar menikah,"balas Emily menatapnya kosong.

"Emily aku tahu ini berat untuk mu,"Gabriel


mengeluh pelan, menatap tajam mata Emily yang
begitu lembut.

"Yah! Aku ingin melewatinya dengan cepat,"balas


Emily sembari melepas jemari Gabriel dan segera
memutar tubuh ke arah lain, melangkah menuju
undakan tangga untuk menuju ruang tidurnya.

"Aku ingin istirahat, jika kau pulang tolong matikan


semua lampunya,"ucapnya kembali berhenti sejenak
saat ia baru saja menaiki beberapa undakan tangga.
Gabriel mengulum bibir, mengangguk pasti lalu
melihat gadis itu kembali melanjutkan langkah
hingga hilang dari pandangannya.

"Apa yang harus aku lakukan?"pikir Gabriel sembari


mengusap rambutnya dan menariknya kuat. Ia
berpikir keras, walaupun Emily dalam
genggamannya, tidak sedetikpun gadis itu melupakan
Allan. Setiap percakapan mereka selalu di akhiri
dengan Allan, Emily selalu spontan menyebut nama
pria itu. Entah karena luka yang terlalu dalam, atau
benar-benar sebuah perasaan yang terlalu melekat di
dalam diri Emily.

"Aku sebaiknya pulang,"seketika pria tersebut


bangkit dari tempatnya, mematikan kontak lampu
yang ada di ruangan tersebut lalu segera
meninggalkan penthouse Emily secepat kilat.

__________________

Tiga puluh menit kemudian, Gabriel tiba


di penthouse miliknya sendiri,
menekan lockdoor penthouse lantas menekan kontak
lampu yang ada di sisi kiri ruangan.

Tap!!

"Surprise!!!"teriak seseorang dengan wajah manis


sembari merentangkan tangan begitu lebar. Ia
memutar tubuhnya, mendekati Gabriel yang langsung
mengerutkan kening.

"C-Clair!! Apa yang kau lakukan di sini?"tanyanya


sembari merasakan jantungnya berdegup begitu
cepat.

"Wah— tampaknya kau syok dan ehmm— sejak dulu


kau selalu sama, memasang tanggal lahir pada
semua lockdoor,"balas Clair mengabaikan pertanyaan
pria tersebut sembari mendekat sangat cepat hingga
menyisakan jarak kurang dari satu meter.

"Aku tanya, apa yang kau lakukan di sini!"sentak


Gabriel dengan suaranya yang sangat tinggi, hingga
Clair langsung terkejut bukan main.

"Aku serius, Clair. Kita sudah mengakhiri semuanya


kemarin!"sambung Gabriel menatap kaku mata gadis
itu, ia bahkan menangkap lengan Clair dan
mencengkeramnya kuat.

"Gabriel aku—"
"Keluar dari penthouse ku!"

"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak ingin hubungan


kita berakhir, aku mencintai mu Gab. Kita
melakukannya kemarin dan kau—"

"Itu karena aku mabuk, jadi keluar dari sini


dan please menjauhlah!"balas Gabriel cukup tegas
sembari menarik lengan wanita tersebut,
menyeretnya hingga ke bibir pintu.

"Gabriel dengarkan aku dulu, Gab.. Gabe!"teriak Clair


berulang-ulang saat pintu terbuka dan seketika tubuh
Clair terlempar keluar nyaris terjatuh ke lantai.

"Gabriel!!! Shit!!"maki Clair saat melihat pintu


penthouse tersebut kembali tertutup sangat rapat.

"Sialan! Aku harus menelpon Allan, dia pasti bisa


membantuku,"keluh Clair sembari mencari ponsel
yang ada di dalam tasnya, ia memutar tubuh,
beranjak pergi sembari menunggu kapan pria
tersebut mengangkat panggilannya.
"Frank aku perlu bicara dengan boss mu, Gabriel
mengusir ku!"tegas Clair mencoba berkomunikasi
pada Allan yang kembali di sibukkan dengan botol-
botol minumannya.

"Baiklah, aku akan ke sana dengan taksi!"ucap Clair


kembali, sembari memutuskan panggilan telponnya.

Chapter 36 : Hallo Emily

"Morning Gabe,"ucap Emily saat pintu penthouse pria


tersebut di buka. Ia melempar senyuman tipis, lantas
menyusup masuk dengan cepat.

"Kenapa kau diam saja?"tanya Emily membuat


Gabriel langsung menutup pintu dan melangkah
mendekat.

"Aku hanya heran, masih terlalu pagi dan kau—"


"Tidak senang? Ayolah, aku harus membiasakan ini,
pernikahan kita tinggal beberapa minggu
lagi,"celetuk Emily melangkah menuju dapur.

"Aku senang jika kau di sini,"balas Gabriel sembari


tersenyum tipis. Ia mendekati Emily dan memeluknya
erat dari belakang.

"Aku datang sepagi ini, agar bisa membuatkan mu


sarapan,"cuma Emily sembari mengeluh kasar. Ia
berbohong, faktanya hanya satu, menghindari Allan.
Ia yakin, pria tersebut masih berada di Zurich.

"I love you,"bisik Gabriel sembari melebarkan


senyuman, mengecup pelan sudut kening gadis
tersebut.

"Hm—"Emily hanya bergumam, takut, jika Gabriel


akan sadar dengan kebohongannya.

"Tapi, aku sepertinya tidak bisa makan apapun. Hari


ini, aku ada meeting, ini penting dan—"
"Tidak masalah, kau bisa pulang setelah
meeting,"potong Emily sembari menjauhkan diri, ia
menuju freezer mengambil sesuatu yang mungkin ia
butuhkan untuk memasak.

"Baiklah, aku akan segera pulang. I promise."ucap


Gabriel tanpa melepaskan tatapan matanya yang
lekat.

"Ah ya, apa kau bisa bawakan aku sesuatu?"tanya


Emily sembari mengulum bibir. Ia tampak penuh
harap.

"Sure. Apa yang kau inginkan?"tanya Gabriel kembali


mendekati gadis tersebut.

"Apa kau bisa membelikan ku Cheese fondue? Ah—


aku sedang ingin makanan yang asin,"ucap Emily
ragu. Ia menelan Saliva, menunggu respon Gabriel
yang tampak lambat.
"Emily, kau baik-baik saja kan?"tanya Gabriel
menangkap tangan gadis tersebut dan meremasnya
kuat.

"Memangnya kenapa? Aku hanya ingin makan, itu


saja, jika kau tidak bisa—"

"Baiklah, kau tidak perlu meninggikan suaramu, aku


hanya khawatir."sanggah Gabriel membuat Emily
diam. Ayolah, akhir-akhir ini, ia lebih emosional.
Lihatlah, hanya karena pertanyaan Gabriel suara
gadis itu melengking penuh di seluruh ruangan.

"Maaf, aku hanya merasa kurang baik, tapi tidak


masalah. Aku bisa mengatasinya,"balas Emily datar.

"Hm— jika kau sakit, kita bisa ke dokter,"tawar


Gabriel menatap gadis itu lekat.

"Tidak! Aku sudah katakan, aku tidak—"


"Emily..."tegur Gabriel kembali, Emily langsung
memegang keningnya. Sial, ia tidak bisa
mengendalikan diri. Rasanya, tumpah begitu saja.

"Aku pergi dulu, Ah ya, semalam aku mengganti


kode lockdoor menjadi tanggal lahir mu,"peringat
Gabriel sembari mengecup kening Emily, ia
mengangguk tidak ingin menanyakan alasannya.
Malas. Hingga Gabriel segera memutar tubuh dan
melangkah menjauh.

Emily mengulum lidah, ia memegang mulutnya


dengan kedua tangan lantas melangkah kembali ke
arah wastafel. Ia menepuk dadanya kuat sembari
menurunkan wajahnya lebih dekat dengan benda
tersebut.

"Uuekk!!"Emily kembali mengeluarkan isi perutnya,


sulit, namun rasanya ingin dan ingin. Mata gadis itu
merah, menahan rasa mual yang sulit ia tahan.

Sementara Gabriel yang masih mampu mendengar


hal tersebut, mendadak berhenti melangkah. Ia
berpikir sejenak, lalu memikirkan satu hal yang
sangat kotor di pikirannya.

"Ah— sangat tidak mungkin!"Gabriel membuyarkan


seluruh pikirannya. Melangkah kembali ke ruang
kamar dan mengambil barang-barang yang ia
perlukan untuk pekerjaannya. Jujur, Gabriel tidak
terlalu tertarik dengan tema meeting nya hari ini,
namun, hotel-hotelnya butuh pengembangan. Ia juga
tidak ingin mengalami kolaps. Pembaharuan harus
tetap di lakukan, agar keuangannya stabil.

_________________________

Satu jam kemudian. Emily melangkah cepat menuju


pintu utama, seseorang mendatangi penthouse
Gabriel. Tidak seperti biasanya.

Emily mematikan bel yang terlalu berisik, jika bisa, ia


ingin menghancurkan benda tersebut agar selamanya
tidak berbunyi kembali. "Sialan, dia tidak
sabar,"gumam Emily menekan sebuah lock pada
pintu nya, hingga benda tersebut otomatis terbuka.
Tap!

Emily terdiam, mengerutkan keningnya begitu kuat


saat menatap seseorang yang cukup tidak asing
muncul di hadapannya.

"Hay! Di mana Gabriel?"tanya wanita itu santai. Ia


tersenyum tipis, cukup licik saat kedatangannya
tampak sesuai harapan.

"Ah maaf, aku memang terbiasa tidak sopan. Namaku


Clair. Clair Dominic,"ucap wanita tersebut sembari
menyodorkan tangan nya pada gadis tersebut.

"Emily Kate."

"Hah! Jadi kau orang nya? Ya Tuhan, aku tidak


menyangka, Allan benar, kau sangat cantik,"puji nya
cukup tenang.

"Allan?"tukas Emily penasaran. Ia mengepal


pegangan pintu, merasa cukup malas terhadap reaksi
Clair.
"Yah! Jangan pura-pura tidak tahu, Allan sudah
menceritakan semuanya padaku, ah ya— di mana
Gabriel?"

"Dia meeting, sudah pergi sejak—"

Tap!!

Emily mendadak terdiam saat Clair langsung


menyusup masuk, melangkah ke arah sofa dan duduk
begitu manis di tempatnya. "Duduklah,"tawar Clair
membuat Emily harus menahan emosionalnya yang
tengah meledak.

"Kalau begitu kita punya banyak kesempatan


bicara,"tegas Clair sembari menghela napas. Ia
tersenyum kecil, tampak cukup bersahabat. Ayolah,
sikap Clair memang seperti itu, dia agresif.

"Aku sibuk, sejujurnya aku masih memasak sesuatu


di dapur."Emily mencoba mencari alasan. Ia ingin
bebas, memikirkan hubungannya kedepannya nanti.
"Biar ku bantu,"Clair bangkit, menangkap jemari
Emily dan menariknya.

"Tidak perlu aku bisa sendiri!"

"No problem, aku senang membantu mu—"

"Aku bilang tidak! Apa tujuan mu datang ke


sini?"tanya Emily dengan suaranya yang tegas,
sembari memundurkan diri.

"Santai lah, aku tidak akan mengusik mu, kenapa kau


begitu marah?"tukas Clair menelan ludahnya.

"Ahm.. Maaf aku sedang tidak enak badan, akhir-akhir


ini aku cukup tertekan,"balas Emily merasa bersalah,
lagipula, apa pedulinya terhadap Clair. Wanita
tersebut hanya mantan kekasih Gabriel.

"Ah- aku tidak tahu, aku juga minta maaf karena


membuat mu semakin tertekan. Sejujurnya aku ingin
memberitahu Gabriel sesuatu hal,"tukas Clair tampak
menatap Emily dengan pandangan licik. Ia sudah
memikirkan semua ini semalaman, setelah
pertemuannya bersama Allan.

"Kalau begitu datang saja lagi nanti siang, aku akan


pulang setelah—"

"Ah tidak perlu, aku akan mengatakan padamu saja.


Kau bisa menyampaikan semuanya pada Gabriel."

"Tapi aku tidak bisa—"

"Tolonglah, keadaan ku sedang terjepit


sekarang,"ucap Clair sembari menarik napasnya
dalam. Menunggu respon dari Emily yang akhirnya
mengangguk setelah beberapa detik.

"Aku tidak tahu dari mana memulainya, karena


semua terasa begitu mendadak. Mungkin, kau juga
harus tahu, karena bagaimanapun ini berkaitan erat
dengan mantan suami mu."

"Aku tidak tahu kalian saling kenal,"celetuk Emily


spontan. Ia penasaran setengah mati.
"Ayolah, Allan senior ku di Cambridge university.
Namun, semua perkenalan ku bukan dari sana, tapi
dari Frank. Ah— aku tidak tahu bagaimana mereka
melacak ku dan malah membuat ku merasa untuk
mengejar Gabriel kembali, Frank benar, ada banyak
hal yang harus aku jelaskan pada Gabriel. Orang tua
ku tidak setuju jika aku bersamanya,"Clair menahan
napas, ia malah bicara tidak jelas. Namun, Emily suka
akan hal itu. Sesuatu membuatnya menarik.

"Mau ku ambilkan minum?"tawar Emily membuat


Clair menyipitkan mata.

"Aku penasaran. Kau tertarik pada Allan atau


Gabriel,"celetuk Clair paham, ia mengulum bibir.
Menangkap wajah Emily yang mendadak merah.

"Baiklah, soda saja cukup untukku."Clair melangkah


sendiri, menuju freezer dan meraih satu minuman
kaleng.

"Duduklah!"lagi, Clair menunjukkan sikap ramahnya.


Ia menepuk sofa dua kali setelah menenggak
setengah minumannya. Emily mengulum bibir,
mengikuti perintah gadis tersebut.

"Aku menipu Gabriel, memintanya datang ke


Positano. Aku meminta salah satu sahabatku untuk
menghubungi pria bodoh itu. Ia datang, saat
mendengar aku kecelakaan,"Clair menghentikan
kalimatnya, ia mencari cara untuk menyusupi pikiran
Emily tentang Allan.

"Lantas, apa yang di lakukan Gabriel?"tanya Emily


mencoba mencari tahu. Sejujurnya, ia tidak terlalu
peduli. Hanya saja Emily ingin tahu, apa yang ia
lakukan bersama Allan berimbang atau tidak.

"Kau ingin kebohongan atau—"

"Kejujuran!"potong Emily menelan ludahnya sejenak,


hingga Clair menatap wajah gadis itu lugas.

"Aku membuat Gabriel mabuk, ah— bukan hanya aku


tapi kami bersama mabuk, dan— hal itu terjadi.
Sesuatu yang begitu lama tidak kami lakukan,"jelas
Clair sedikit lambat.

"Aku melihat foto mu berciuman bersama nya dari


Allan."

"Ayolah, bukan aku yang mengirim foto itu ke


sosmed. Teman-teman ku saat kami—"

"Kami?"

"Aku dan Gabriel tidur bersama."aku Clair mencoba


bersikap jujur, Emily langsung menunduk. Ia
memikirkan hal lain, walaupun demikian rasanya
tetap saja tidak berimbang.

"Kau juga kan? Allan menceritakan nya padaku,


kalian bahkan melakukannya hampir setiap hari
selama empat minggu!"

Deg!!
Emily menahan napas, sialan itu membongkar
rahasianya bersama Clair. Bagaimana jika wanita ini
mengatakan semuanya pada Gabriel. Ia akan
menyakiti pria tersebut.

"Kau tenang saja, aku tidak akan memberitahu


apapun pada Gabriel. Aku datang ke sini bukan untuk
tujuan itu,"ucapnya membuat Emily lega.

"Lantas, kenapa kau datang?"Emily menatap tegas,


membuat Clair tersenyum tipis. Sepertinya, ia
berhasil dan mungkin rencananya akan berhasil.

"Aku tahu, kau dan Allan masih saling mencintai.


Sejujurnya, Aku dan Gabe juga demikian. Tapi—"

"Ah tidak. Aku dan Allan tidak—"

"Jangan membohongi ku dan jangan memotong


ku!"pinta Clair sebelum mendengar Emily
melanjutkan kalimatnya.
"Aku dengar, kau dan Gabriel akan menikah. Jadi, aku
dan Allan juga sepakat. Kami akan menikah minggu
depan! Hm— setidaknya kami bisa saling mengobati
satu sama lain,"ucap Clair sangat serius hingga wajah
Emily mendadak berubah. Ia memasang wajah datar.
Mata amber miliknya langsung berpaling, bahkan
sekaligus tengkuknya yang seakan jatuh.

"Emily kau tidak—"

"Semoga kalian bisa bahagia,"gumam Emily bergetar.


Ia menahan napas, mendadak emosinya semakin
turun.

"Ya! Aku harap kalian juga begitu, sebenarnya aku


ingin bertemu Gabriel, mungkin untuk terakhir
kalinya. Kau juga bisa bertemu Allan untuk—"

"Apa kau tidak masalah?"kembali, Emily memotong


ucapan Clair. Namun, ia cukup suka, tampaknya
memiliki satu peluang.

"Yah! Kau bisa melakukannya Emily."


"Aku ingin mengembalikan sesuatu padanya, jika kau
keberatan, aku akan menitipkan benda itu
padamu,"terang Emily membuat Clair terdiam
sejenak.

"Aku harap, kau bisa mengembalikannya langsung.


Aku mempercayai mu, Emily. Kau bukan tipe gadis
pengkhianat,"Emily tersenyum kecil, mendengar
pernyataan Clair barusan. Wanita itu tampak
bersahabat.

"Baiklah, aku akan mencobanya,"celetuk Emily


dengan pasti.

"Kemari kan nomor ponsel mu, aku akan mengatur


pertemuan mu bersama Allan. Aku harap Gabriel
tidak tahu, dia pencemburu."

"Tidak, pria itu tidak begitu,"puji Emily sembari


terkekeh membalas Clair.

"Kau saja yang belum tahu siapa dia. Jujur, Gabriel


pria baik. Mungkin kau benar karena lebih
memilihnya,"tukas Clair tampak yakin dengan
ucapannya. Emily hanya diam tidak merespon lalu
melihat Clair menyodorkan ponsel.

"Masukkan nomormu!"pinta Clair hingga akhirnya


gadis itu menangkap ponsel tersebut dan mengisi
nomornya. Ia tidak terlalu berharap, namun,
setidaknya white ring yang pernah di berikan Allan
untuknya bisa kembali pada pemilih sebenarnya.

"Baiklah, aku pulang dulu. Allan pasti menunggu


ku,"ucap Clair sengaja. Ia menekan nomor ponsel
Frank, menunggu panggilan itu masuk dan seseorang
mengangkatnya.

"Di mana Allan? Aku perlu bicara padanya."

"Mandi? Baiklah, aku akan ke sana. Katakan padanya,


aku sedikit terlambat."

Clair menutup panggilan, ia melirik ke arah Emily


yang hanya mendiamkan dirinya. Lantas, melempar
senyuman penuh kepalsuan.
"Bye Emily. Lanjutkan masakan mu,"ucap Clair
sembari menghela napas yang penuh kemenangan.

"Ya! Semoga hari mu menyenangkan bersama


Allan."balas Emily cukup datar. Ia melangkah
bersama, mengikuti Clair hingga sampai ke bibir
pintu.

"Thanks Emily,"tukas Clair saat pintu di buka cukup


luas. Ia keluar, melangkah segera menjauh dari
penthouse tersebut.

___________________________

"Fix, mantan istri mu itu masih sangat mencintai


mu,"ucap Clair menatap wajah Allan dan Frank
bergantian. Mereka duduk di restauran hotel yang
cukup sepi, hingga Clair merasa bebas untuk bicara
apapun.

"Dia bisa menganggap ku buruk!"


"Bukankah dia sudah mengecap mu demikian.
Ayolah, rebut Emily dari Gabriel agar aku bisa—"

"Itu pasti. Aku pasti akan merebutnya, tapi aku harus


memastikan mereka benar-benar berpisah dan Emily
kembali padaku!"

"Apa yang sedang kau pikirkan Allan?"tanya Clair


membuat pria itu sedikit tersenyum tipis.

"Sesuatu yang sangat kotor. Yah— sangat


kotor,"gumam Allan sembari tersenyum tipis ke arah
lain.

"Sepertinya, aku tahu kemana arah pikiran mu,"balas


Clair terkekeh pelan. Ia sangat paham pada ambisi
pria tersebut, sama dengan apa yang tengah ia
pikirkan. Bagaimanapun, Clair lebih tahu siapa pria
tersebut. Ia tahu persis kelemahan Gabriel dan
memanfaatkannya.

"Kalau begitu atur waktunya dengan baik,"balas Allan


menatapnya tegas.
"Tentu tuan Allan Willard. Dengan senang hati,"Clair
meraih ponsel yang ada di dalam tas nya kembali,
menekan benda tersebut dan mengirim pesan teks
untuk Emily.

Drrrttt!!

Gabriel yang tanpa sengaja melewati ponsel Emily


yang bergetar, langsung berhenti melangkah. Ia baru
saja pulang dan sekarang tertarik pada pesan masuk
yang tampak misterius.

Ia melirik ke arah Emily sejenak, mencoba meraih


ponsel itu dan lancang untuk memeriksanya. Entah
kenapa, Gabriel seperti mendapatkan dorongan
untuk melakukan hal tersebut.

Tap!!

Gabriel mengerutkan kening, menatap begitu tegas


sebuah pesan yang baru saja masuk tersebut.
"Aku Clair, seperti janji ku tadi siang. Kau bisa bertemu
Allan malam ini pukul 8 di restauran Chettau. Tidak
jauh dari hotel Allan. Good luck!"

Gabriel mengerutkan tangan, merapatkan semua


giginya dan mengedarkan pandangan ke tiap tempat.

"Brengsek! Mereka sepertinya ingin main-main dengan


ku, baiklah. Lihat apa yang aku lakukan!"gumam
Gabriel sembari menghapus pesan tersebut dan
mematikan ponsel Emily dengan cepat. Ia
mengedarkan pandangannya kembali dan melempar
benda tersebut ke sudut ruangan, hingga terselip di
sudut lemari yang cukup sulit di jangkau.

Chapter 37 : Take Me, Please!


Gabriel mengedarkan pandangan matanya,
melangkah pelan menyusuri lorong yang tampak
sepi. Ia mencari Emily, hingga fokus nya teralih pada
ponsel yang tampak bergetar di sisi nakas. "Siapa
yang mengirimkan pesan padanya?"pikir pria
tersebut dan kembali meliarkan seluruh pandangan
ke seluruh tempat.

Tap!!

Ia menelan ludah sejenak, menangkap ponsel gadis


itu dan langsung memeriksanya lancang. Secepat
kilat, tangan Gabriel terkepal kuat, membaca susunan
kalimat yang tampak membuatnya kalap.

"Sial, beraninya mereka,"Gabriel menghapus pesan


tersebut, menekan lama sudut ponsel Emily untuk
memastikannya mati total, lantas, melempar
sembarang benda itu hingga terselip di sudut celah
yang cukup tersembunyi.

"Gabriel, kau baru pulang?"tegur Emily yang keluar


dari salah satu ruangan yang ada
di penthouse tersebut. Ia tampak berantakan, pucat
pasi.

"Yah, ini pesanan mu, makanlah!"ucap Gabriel


sembari meletakkan cheese fondue di atas meja,
lantas, melangkah pelan ke arah Emily.

"Kenapa wajahmu?"

"Hm aku hanya letih, mual dan— aku harus pulang


sekarang, aku butuh istirahat,"tukas Emily sembari
menepis tangan Gabriel yang tengah mengusap-usap
sudut bibirnya.

"Kau sakit? Ayolah, kita ke dokter atau aku akan


memanggil—"

"Tidak perlu, aku bisa mengatasinya,"sanggah Emily


kembali sembari mengeluh pelan.

"Emily tapi kau tampak tidak sehat, kau bisa


menginap jika—"
"Aku tidak butuh apapun Gabriel! Aku hanya ingin
istirahat, bukan hal lainnya, apa kau tidak paham
maksud ku?"tandas Emily lantang, ia mengepal
tangan hingga otot lehernya tercetak jelas. Gabriel
mengerutkan kening, menatap nya tegas.

"Ada apa dengan mu, Emily? Aku hanya khawatir, kau


tidak perlu—"

"Terserah! Aku tidak peduli!"kembali, gadis itu


mengeluarkan seluruh emosinya, menatap tanda
empati dan melangkah melewati pria tersebut.

"Emily!"

"Dimana ponsel ku!"Ia mengedarkan pandangan,


mencoba menjejalkan pandangan ke seluruh tempat.

"Ponsel mu?"balas Gabriel datar.

"Ya! tadi aku meletakkan nya di sini!"gumam Emily


sembari menggeser benda-benda yang tersusun di
atas nakas tersebut dan mulai memerhatikan Gabriel
ikut membantunya.

"Gabriel, coba lakukan panggilan ke ponsel ku!"pinta


Emily sembari menarik beberapa bantalan yang ada
di tiap sudut sofa.

"Hm!"celetuk Gabriel singkat, sembari menuruti


permintaan gadis itu cepat.

"Tidak aktif!"

"Ya Tuhan! Dimana aku meletakkannya!"Emily


menarik karet rambutnya, menggulung kembali
dengan tatanan yang tidak terlalu baik.

"Aku akan mencarinya, tenanglah—"

"Bagaimana aku bisa tenang Gabriel, aku


memerlukan— god!"Emily mengeluh, menggantung
kalimatnya seketika. Ya Tuhan, ia tidak ingin
menyalahkan Gabriel. Tapi sungguh, saat ini
emosionalnya semakin meledak-ledak.
"I know. Pulang dan istirahatlah, aku akan
mencarikannya untuk mu!"tukas Gabriel membuat
Emily merasa bersalah. Ia tidak ingin, hubungan
mereka menjadi serumit ini.

"Hm! Sorry!"bisiknya dengan napas terengah. Ia


mengeluh pelan lalu melihat Gabriel mulai melangkah
mendekat.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun, aku


paham dan aku mengerti."

Emily mengangguk pelan, menatap pria itu lekat


lantas memeluk Gabriel erat mencoba mengurangi
rasa bersalahnya. Ia sadari, bahwa yang ia lakukan
saat ini sangat berlebihan. "Aku akan mengantar mu
pulang, bawa cheese fondue mu!"ucap Gabriel
kembali, melepas pelukan keduanya.

"Yah! Jika kau menemukan ponselku, segera


beritahu!"peringat Emily membuat Gabriel langsung
mengangguk pelan, lantas, menggiringnya untuk
segera keluar setelah meraih makanan pesanan
Emily.

________________________

Beberapa jam berlalu begitu saja, Emily melirik ke


arah jam dinding yang bergantung di sudut ruangan.
Hampir tengah malam dan Gabriel tidak datang untuk
menghantarkan ponselnya. "Hm— mungkin, ia belum
menemukannya,"pikir Emily kosong.

Ia beranjak bangkit, mengunjungi salah satu lemari


kaca dan perlahan membukanya. Emily mengeluh
sesak, meraih sebuah kotak berwarna hijau di
susunan paling atas.

"Aku akan menikah bersama Allan, kami akan


mencobanya!"

Deg!

Jantung gadis itu berdetak, baiklah, ia tidak berhak


cemburu. Emily yang akhirnya mencampakkan Allan,
memilih meninggalkan pria itu dan menyetujui
pernikahan bersama Gabriel. "Apa aku harus
mengembalikan cincin ini, Allan?"tanyanya membatin
sembari menyematkan kembali benda itu di jarinya.

"Bagaimana bisa, aku begitu mencintai mu?"Emily


terisak, ia mengulum bibir dan melangkah kembali ke
sudut ranjang mencoba menahan diri.

"Hah! Sepertinya aku butuh udara segar."Emily


bangkit kembali, mengusap sudut matanya yang
berair. Lantas memasang sebuah jaket tebal di
tubuhnya, sejenak, Emily meraih kotak tabungannya
mengisi ratusan ribu franc-Swiss ke dalam
dompetnya, mungkin, ia akan membeli makan untuk
mengisi perutnya yang terasa lapar.

Lima menit kemudian, Emily sudah melangkah


menuju bibir pintu, berjalan keluar untuk meloloskan
diri dari rasa muak nya. Entah berapa lama ia
mengurung diri setelah mengakhiri hubungannya
bersama Allan terakhir kali.
____________________

Emily menggigit sandwich ke duanya, melahap habis


tanpa peduli sembari menatap luas kota yang masih
tampak ramai. Wajar saja, Zurich merupakan Kota
terbesar Swiss, dikenal sebagai pusat perbankan
dunia, dan salah satu kota metropolis yang berperan
penting pada perkembangan industri dunia.

Srrukkk!!

Gadis itu menyesap habis minumannya, meremas sisa


makanan dan menyatukan semua dalam wadah, agar
ia lebih mudah membuang nya.

Tap!!

Emily mendadak bangkit, menutup mulutnya dengan


dua tangan dan berlari kecil ke arah bak sampah,
membuang makanan nya lantas bergeser sedikit.
"Ueeekkk!!"lagi, ia memuntahkan isi perutnya, sial,
baru saja ia kenyang dan sekarang Emily harus
membuang nya.

"Ahh! Shit! Kapan aku bisa makan dengan tenang


lagi!"pikir Emily sembari memegang dadanya yang
panas. Ia mengusapnya pelan, menunggu kapan rasa
mual nya kembali muncul.

"Minumlah!"ucap seseorang yang berdiri tegap di sisi


gadis itu sembari menyodorkan sebotol minuman
mineral.

Emily langsung merampas benda tersebut, memutar


pembuka botol dan langsung menenggaknya tanpa
kompromi.

"

Ahh terimaka—"suara Emily menggantung, seketika


ia merubah ekspresi wajahnya. Menatap tegas ke
arah pria yang berdiri tegas di sisi kanan.
"Kau sakit, Emily?"tanya Allan menangkap lebih dulu
raut wajah pucat gadis itu.

"Bukan urusan mu!"celetuk Emily ketus sembari


memutar tutup botol minumannya kuat. Anggap saja,
ia hanya mencari kegiatan untuk menghilangkan rasa
gugupnya.

"Aku dengar dari Clair, bahwa kau ingin menemui ku


langsung."Allan mengerutkan kening, fokus pada
jemari Emily. Ia tersenyum tipis memerhatikan white
ring yang tersemat di tempatnya kembali.

"Ah ya! Calon istri mu itu datang ke penthouse


Gabriel siang ini, selamat untuk pernikahan
mu!"celetuk Emily sarkas.

"Kau cemburu?"tanya Allan mengulum sebuah


senyuman simpul dari bibirnya.

"Apa? Cemburu katamu?Ahh— satu-satunya kegiatan


tidak penting dalam hidupku adalah cemburu pada
pria brengsek seperti mu!"
Tap!!

Allan menarik lengan gadis itu, membuatnya lebih


dekat hingga tidak ada lagi jarak yang tersisa di
antara mereka. Emily terdiam, menatap mata biru
Allan yang terang. "Jangan membohongi perasaan
mu, Emily,"bisik Allan begitu lekat dengan bibirnya.
Nyaris bersentuhan.

"Aku tidak—"Emily kembali diam, saat jemari pria itu


langsung menyentuh bibirnya, ia mengedarkan mata,
mendadak terbius oleh perlakuan yang berhasil
membuat jantung nya ingin meledak.

"Bernapas Lah, kau butuh itu!"sindir Allan begitu


jelas hingga Emily langsung membuang napas dari
mulutnya.

"Okay! Aku hanya ingin mengembalikan ini


padamu!"ucap Emily sembari mendorong tubuh Allan
menjauh. Ia melepas white ring yang melingkar di
jarinya, lantas melepaskan benda itu dan
mengulurkannya cepat.
Allan terdiam, menatap bergantian ke Arah Emily dan
cincin tersebut. Ia tersenyum smirk hingga napasnya
terbuang kasar. "Emily apa kau pernah dengar
kisah The Lord of the rings?"tanya Allan dengan
suaranya yang cukup parau.

"Yah! Semua orang ingin menguasai cincin tersebut,


kematian, kesetiaan, kekuatan dan kesedihan ada di
dalam nya. Tapi— apa kau pikir mereka menyerah?
Tidak! Sama seperti ku, aku tidak akan menyerah
sedikitpun. Percayalah, aku bisa membawamu
kemanapun sekarang, menyekap mu di kamar ku dan
hanya meniduri mu siang dan malam. Tapi tidak ku
lakukan! Kau tahu kenapa? Karena aku ingin
mencintai mu dengan cara yang lebih baik, Emily.
"ucap Allan sembari membasahi bibirnya,
memerhatikan Emily terdiam dengan semua kalimat
panjang yang baru saja keluar dari mulutnya.

"Kau tidak bisa memaksaku Allan!"

"Memaksamu? Aku tidak salah dengar Emily? Kau


bahkan mendesah hebat di bawah ku saat ingatan itu
masih begitu jauh, sekarang, kau bilang aku
memaksamu?"tukas Allan tidak sabar, ia mengepal
tangan geram saat presepsi Emily terdengar seperti
alasan tidak sejalan untuknya.

"Kau bisa menolak ku, Emily. Kau bisa menendang ku,


kau bisa memukulku tapi nyatanya tidak— kita
bercumbu, menghabiskan waktu bersama, lantas, kau
kembali pada Gabriel setelah apa yang kita lakukan?
Kau serius?"

Emily menunduk, mengepal tangannya kembali


begitu kuat. "Emily!"Allan kembali mendekat,
menangkap pinggul gadis itu dan merapatkan tubuh
mereka kembali.

"Aku benar-benar mencintai mu! Kau bisa lakukan


apapun, jika—"

"Take me!"potong Emily cepat, ia menutup mata,


mengepal tangan semakin kuat tanpa ingin menatap
bagaimana ekspresi Allan.
"Take me, please!"bisik nya sekali lagi, sembari
membuka mata perlahan. Memberanikan diri untuk
mengatakannya langsung dan, seketika itu juga Allan
merapatkan bibir mereka. Menciumnya lembut dan
menerima balasan yang sama hingga beberapa detik.

"C'mon!"bisik Allan sembari mengusap pipi gadis itu


lembut, lalu segera menarik lengan Emily untuk
meninggalkan kawasan tersebut.

_______________________

"Ahh!! Allan...."Emily mengerang lembut, merasakan


dirinya sudah begitu penuh. Ia membuka mulut
lebar, menatap Allan yang kokoh di atasnya.

"Emh. Aku mencintai mu, Emily! Kau milikku,


milikku!"bisik nya lambat sembari memeluk gadis itu
sangat erat. Kembali, mereka menghabiskan malam
bersama untuk saling mendapatkan.

Emily hanya mengangguk, bergerak sepantasnya


untuk meyakinkan diri, bahwa ia mampu untuk
kembali pada Allan. Yah— bagaimanapun, Emily
tidak akan pernah bisa membohongi nya.

Sementara Gabriel, tengah menutup matanya rapat,


lalu menenggak sebotol minuman beralkohol yang
sudah membakar dadanya berkali-kali. Nyatanya,
semua begitu sia-sia. Cintanya tidak terbalas
sedikitpun. Gabriel melihat semuanya, mendengar
segalanya. Bagaimana Emily meminta Allan untuk
membawanya, yah— Gabriel mendengarnya
langsung.

"Gabriel,"panggil seorang wanita sembari mendekati


pria tersebut dan memeluknya cepat.

"Clair..."seketika, suara pria itu berubah semakin


parau, ia menunduk dan mengusap sedikit matanya
yang terasa panas.

"I'm sorry, tapi aku yakin, ini yang terbaik untuk


semuanya. Allan dan Emily saling mencintai. Aku juga
tidak ingin kau terluka semakin jauh, aku mencintai
mu Gab,"tukas Clair dengan suaranya yang cukup
bergetar. Ia menyatukan kedua tangan mereka dan
menggenggamnya erat. Sungguh, ia tidak menyesal
karena membiarkan Gabriel mendengarkan semua
nya.

Gabriel hanya diam, membalas pelukan Clair hangat.


Ia menutup mata, mencoba untuk bersikap lebih
dewasa. Yah— sepertinya, ia memang harus
melepaskan Emily selamanya.

Chapter 38 : Love Locked


Bridge

"Gabriel, aku minta maaf."Emily menelan ludah,


pandangannya berkaca-kaca. Ia cukup bergetar
merasakan suatu emosional yang ada di dalam
dirinya. Begitu bergejolak kuat.
Seketika, sorot mata biru Gabriel terangkat dan
membalas tatapan kecut itu. Ia tersenyum miring,
melirik ke arah Clair dan Allan yang berada sekitar
satu setengah meter darinya. "Aku yang seharusnya
minta maaf, Emily. Jika aku tidak membohongi mu,
mungkin semua ini tidak akan terjadi!"

"Gabriel, bukan, ini bukan salah mu, seharusnya aku


tidak perlu datang ke Positano hanya untuk lari dari
hidupku sendiri, I'm sorry Gab,"tukas Emily sembari
menyentuh jemari kasar pria itu, menatapnya lembut
dan mencoba memberi sedikit ketenangan.

"Aku jatuh cinta padamu saat pertama kali melihat


mu di hotel, luka yang ada di bagian tubuhmu
membuat ku penasaran, apa yang sebenarnya terjadi?
Hingga aku akhirnya tahu, bahwa segalanya karena—
hah— sulit ku ungkapkan, hingga kau memutuskan
untuk pergi, lantas, kembali dengan status baru, aku
rakus, ingin memiliki mu seutuhnya, berharap bisa
menjadi pria satu-satunya yang ada di hidupmu, aku
pikir, dengan melenyapkan seluruh ingatan mu bisa
membuat mu lebih baik, tapi nyatanya tidak, kau
tetap pergi dariku. Nyatanya, apa yang aku lakukan
adalah hal bodoh, menunggu ketidakpastian."

"Gab....."Emily terdiam, menatap Gabriel dalam lantas,


mengusap tipis air mata yang mendadak jatuh. Ia
merasa bersalah.

"Tapi, apapun itu, aku tidak menyesalinya Emily.


Setidaknya aku bisa memberikan yang terbaik
walaupun semua dalam bentuk kebohongan, aku
terlalu percaya diri. Aku salah. Hm— sekarang, aku
tidak akan memaksamu, aku akan benar-benar
melepas mu, Emily. Aku siap untuk kehilangan mu
sekali lagi karena aku tulus mencintai mu, tapi
—"Gabriel menarik napas sejenak, merasakan air
mata nya ikut mengalir. Sungguh, ia tidak peduli
dengan hal tersebut.

"Tapi dengan satu catatan, kau harus bahagia


Emily. Please, aku akan hidup dengan baik jika kau
juga melakukan hal yang sama,"pinta Gabriel sembari
memegang kuat kedua lengan gadis itu, menatap
penuh permintaan hingga Emily akhirnya
mengangguk pelan.

"I promise!"balasnya sembari merasakan tangan


Gabriel berpindah pada pipinya, mengusap air mata
yang tidak berhenti mengalir.

"Good, aku bisa tidur dengan tenang mulai sekarang. I


miss you, Emily."

Tap!!

Keduanya saling berpelukan erat, merasakan suatu


perasaan yang sangat melegakan. Yah— sebentar
lagi, babak baru akan di mulai, baik untuk Emily
ataupun Gabriel. "Terimakasih, karena sudah
merawat ku, melakukan hal terbaik untukku,
Gabriel."batin Emily sembari mengulum bibirnya
rapat.

"Apa kalian sudah selesai?"potong Allan sudah


berada begitu dekat, hingga keduanya langsung
melepaskan pelukan.
"Ayolah Allan, kita sudah sepakat,"tandas Emily
sembari merasakan tangannya di tarik paksa. Gabriel
tersenyum sembari membuang napasnya panjang.

"Aku tahu tapi—"ucapan Allan berhenti mendadak,


Emily melepaskan pautan nya dan berlari kecil ke
pinggir jalan. Ia memuntahkan kembali isi perutnya.

"Emily. Kau baik-baik saja?"Clair mendekat,


membantu gadis itu dengan mengusap punggung nya
pelan.

"Apa yang terjadi dengannya?"tanya Allan membuat


Gabriel menaikkan alis tegas. Merasa di salahkan.

"Ayolah, aku tidak paham! Dia sudah seperti itu sejak


pulang dari tempat mu!"

"Kau ingin menyalahkan ku?"balas Allan tegas.

"Faktanya, memang seperti itu!"Gabriel melempar


jawaban yang tidak kalah tegas. Menatap pria itu
garang, seakan mengirim tudingan.
Allan mengeluh pelan, memutar tubuhnya untuk
mendekati Emily yang berusaha keras mengimbangi
tubuhnya. "Emily,"pria tersebut menangkap kedua
pipi gadis itu, menatap wajah pucat yang cukup jelas.

"Allan aku pusing!"keluhnya lambat.

"Kita kembali ke hotel!"tawar Allan sembari melihat


Emily mengangguk pelan.

"Sebentar,"Emily menelan ludah, mengangkat


kembali pandangannya dan meraih tangan Clair
lembut.

"Terimakasih Clair. Aku harap kau bersama Gabriel


bisa bersama dan—"

"Pasti Emily!"potong Gabriel membuat semua mata


beralih cepat ke arahnya.

"Aku tidak tahu pasti, yang jelas, aku masih sangat


mempedulikan wanita manja ini,"sambung Gabriel
membuat Emily tersenyum kecil, melirik kembali ke
arah Clair yang langsung menunduk malu.

"Aku dengar, kau sulit untuk hamil Emily. Tapi— aku


sangat berharap Tuhan memberikan yang terbaik
untuk mu,"ucap Clair membuat Emily mengangguk
pelan, ia tersenyum kecut dan menghela napasnya
lambat. Salah satu alasannya kembali pada Allan
adalah karena hal tersebut, ia tidak ingin Gabriel
menanggung kesalahan pria tersebut di masa lalu. Ia
ingin, Gabriel bisa mendapatkan yang lebih baik
darinya.

"Hm— aku akan kembali ke Positano. Jika kalian ke


Italia, jangan lupa untuk mengabari ku,"ucap Gabriel
sembari melirik tegas hanya ke arah Allan yang
mengulum bibir sembari mengangguk pelan.

Sekali lagi, Gabriel menatap Emily, ia mengeluh pelan,


merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia lega,
seperti merasakan sesuatu terlepas dari dirinya.
Mungkin, karena mulai sekarang ia tidak akan takut
jika semua kebohongan akan terbongkar, ya— ia
tidak perlu takut, jika Emily meninggalkannya begitu
saja. Ia tersenyum.

"Aku harus pergi sekarang dan—"Allan menggantung


kalimatnya sejenak. Ia mengedarkan pandangan ke
arah Gabriel dan Clair sejenak, lantas, mengulum
bibirnya."Aku harus benar-benar berterimakasih
pada kalian."

Gabriel mengangguk, ia meraih jemari Clair dan


menariknya pelan. "Aku akan benar-benar bahagian
karena pengalaman ini, aku tidak akan mengulang
kesalahan yang sama pada Clair."

"Yah! Aku juga, aku akan membahagiakan Emily,


bagaimanapun caranya."

Seketika, senyuman langsung mengembang di wajah


mereka masing-masing. Allan dan Gabriel melangkah
maju dan saling berpelukan layaknya sahabat.
Baiklah, tidak ada apapun lagi sekarang yang akan
tertinggal kecuali harapan terhadap hubungan
mereka masing-masing. Kehidupan baru akan di
mulai, lebih baik. Sempurna.

Gabriel memegang lengan Clair rapat, mengecup


puncak kepala wanita itu saat melihat Allan dan
Emily melangkah menjauh dari mereka. "Kau pria
baik, aku tahu itu, Gabriel."puji Clair sembari
meremas tangan pria tersebut yang masih berada di
lengannya erat.

"Semua karena kau, Clair. Thanks, karena sudah


kembali ke hidup ku,"ungkapnya pelan, menatap jauh
hingga mobil Allan menghilang dari pandangannya.

______________________

"Aku pernah lari sejauh ini untuk melepaskan masa


lalu ku, menikah muda di usia yang harusnya aku
nikmati untuk bersenang-senang. Tapi, sekarang aku
tidak kecewa. Aku memilikinya kembali, memiliki
hidup yang mungkin akan lebih baik. Dokter Scott
benar, jika aku memiliki kehidupan yang buruk, bukan
berarti masa depan ku akan sama. Yah— aku akan
bahagia, bersamanya. Aku akan hidup dengan baik. I
promise!"Emily membatin, tersenyum simpul,lantas,
mengusap inisial nama yang ia tulis pada gembok
yang terapasang pada sisi Jembatan, Love
Locked brigde, salah satu tempat romantis yang ada di
Zurich, lebih tepatnya sungai Limmat.

Gadis itu melepas kuncinya, meremas kuat benda


tersebur dan melemparnya ke dasar sungai, tidak
sedikitpun ia berkedip, Emily ingin memerhatikan
kunci tersebut tenggelam hingga ke dasar sungai.

"Seperti kunci itu, cintaku akan abadi untuknya.


Begitu dalam dan tidak akan ada satu orang pun yang
bisa menggantikan posisi itu," Emily memutar
tubuhnya, menatap Allan yang hanya
memperhatikannya dari jarak tidak jauh.
"Kemari lah,"Allan mendekat, membuka sedikit
tangannya dan merasakan Emily bersandar dalam
pelukan hangatnya.

"Allan angsanya!"sentak Emily sembari melepas


pelukan dari pria tersebut, menyandarkan tubuh
sangat dekat pada pagar pembatas untuk
memerhatikan puluhan angsa yang mendadak
bergerombol.

"Kau mengabaikan ku karena angsa itu, hah?"Ucap


Allan sembari memeluk gadis itu kembali dari
belakang, ia menggigit sedikit bahu Emily hingga
gadis tersebut langsung bergetar.

"Allan! Ayolah, kau tidak harus cemburu pada


angsa!"balasnya sembari terkekeh pelan. Hingga
akhirnya pria tersebut memutar tubuhnya kembali
dan menatap tajam wajah Emily.
"Aku mencintai mu, Emily. Aku tidak bisa berhenti
mengatakan itu, padamu! Aku mencintai mu,"Emily
tersenyum kecil, membuang napasnya lega dan
merasakan jemari pria itu menyentuh tiap sudut
wajahnya hingga akhirnya mereka berciuman mesra.

"Aku juga sama, aku mencintai mu Allan. Sangat


mencintai mu!"bisik Emily begitu rendah dan,
kembali menyandarkan kepalanya di dada pria
tersebut. Memeluknya erat seperti tidak ada jarak
tersisa di antara mereka.

Chapter 39 : I Promise

"Aku mungkin akan kembali ke New York beberapa


hari lagi mom, aku bersama Emily."celetuk Allan
sembari melekatkan ponsel di telinganya rapat.
"Benarkah? Apa kau baik-baik saja nak?"balas Anne
sembari memegang kuat ponselnya.

"Yah! Tapi, Emily sepertinya tidak. Ia tampak tidak


terlalu sehat!"tukas pria itu menatap tegas ke arah
Emily yang masih tertidur pulas di ranjang nya.

"Kenapa? Sudah periksa ke dokter?"tanya Anne


penasaran.

"Entahlah, dia mual, pusing dan begitu agresif. Belum,


Emily menolak!"Allan mengulum lidah, mengeluh
kasar sembari menggigit kulit bibir dalamnya. Anne
diam sejenak, memikirkan banyak hal yang sekarang
berputar di otaknya.

"Allan, apa Emily dengan pria itu tinggal bersama


sebelumnya?"tanya Anne cukup tahu soal Emily,
sesekali, ia mendapatkan telpon dari Allan dan putra
nya tersebut sempat menceritakan soal gadis
tersebut.

"Tidak. Kenapa mom?"


"Hm- lebih baik, kau tanyakan padanya, aku takut,
jika Emily hamil."

Deg!

Seketika jantung Allan langsung berdetak, ia


memutar tubuhnya dan berjalan menuju balkon
kamar sembari menatap cuaca yang tampak buruk.
Hujan lebat.

"Hamil? Itu tidak mungkin, mom. Emily di diagnosa-"

"Allan, itu hanya diagnosa, bukan keputusan


Tuhan,"potong Anne tegas membuat Allan langsung
terdiam sejenak.

"Mom, jika Emily hamil, aku cukup yakin, itu


anakku,"balasnya sembari terkekeh pelan.

"Jangan becanda Allan, mommy serius. Jika kau yakin,


harusnya kau memeriksanya!"tandas Anne geram. Ia
merapatkan tangan dan, sungguh saat ini wanita
paruh baya itu yang penasaran.
"Yah! Mungkin besok atau lusa."

"Allan!"sentak Anne cukup keras hingga pria itu


langsung terdiam sejenak.

"Mom, aku hanya tidak ingin kecewa, jadi tolong,


mengertilah,"balasnya dengan suara parau.

"Bukan hanya aku mom, jika itu tidak seperti pikiran


mu, sama saja aku akan melukainya, melukai Emily.
Aku tidak ingin melakukan itu!"balas Allan cukup
sadar dengan apa yang sedang di pikirkan Anne. Ia
tidak siap, jika semuanya ternyata sangat jauh dari
ekspektasi.

"Baiklah, mommy tidak akan memaksamu, hanya


sekadar saran. Namun, apapun itu, aku berharap agar
kau dan Emily bisa menikah kembali, lebih terbuka."

"Pasti, aku akan mulai mengurus surat pernikahan ku


kembali, aku tidak akan melepaskannya lagi,
mom!"Allan mengeluh pelan, mengulum bibirnya
kembali.
"Ya! Aku akan meminta surat persetujuan dari orang
tua Emily."

"Thanks mom."

"Ah ya- ada yang perlu aku katakan padamu soal


Emily dengan keluarga Kate,"ucap Anne datar
membuat Allan langsung mengerutkan kening.

"Emily dan keluarganya?"

"Yah! Aku mungkin harus memberitahu mu,


Allan."Anne terdiam sejenak, ia mengedarkan
pandangan matanya lalu memijat keningnya cukup
kuat.

"Ada apa mom?"

"Aku akan menjelaskan padamu, jika kau nanti


kembali ke New York,"tukas Anne sembari
menurunkan ponselnya dan langsung mematikan
sambungan telpon Allan saat melihat seorang wanita
berdiri di sudut pintu ruangannya. Catherine Kate,
kakak Emily yang baru saja tiba di New York hari ini.

Allan mengerutkan kening, lantas memutar tubuhnya


ke arah Emily kembali dan langsung menerim tatapan
penuh selidik. "Siapa?"tanya gadis tersebut sinis.
Sembari menahan selimut yang menutupi
tubuh naked nya.

"Menurut mu?"Allan tersenyum, berjalan mendekat


ke arah Emily sembari mengedarkan pandangan
matanya liar.

"Kau mau main-main denganku?"Emily meremas


selimut lebih kuat, mencoba menenangkan diri.

"Ah- kau tidak harusnya tahu, aku yakin kau akan


cemburu!"balas Allah membuat Emily geram. Ia
mengambil majalah yang ada di sisi ranjang lalu
melempar benda itu sangat cepat ke arah Allan.

Takk!!
Benda itu mengenai wajah pria tersebut sangat tepat,
hingga Allan langsung mundur dan memegang
wajahnya yang sakit. Ia mengerang rendah, lantas,
mengumpat panjang di dalam hatinya.

"Sudah ku katakan, jangan main-main dengan ku


Allan, siapa yang menelpon mu, Huh? Clair? Apa dia
mengajak mu untuk menikah lagi? Atau
Clarissa?"tanya Emily sembari mengepal tangannya
kuat. Ia cemburu setengah mati dan, sekarang
rasanya semakin menjadi-jadi.

"Mommy! Puas?"balas Allan tegas sembari mengusap


kening nya yang merah. Seketika itu juga, Emily
langsung terdiam dan merebahkan tubuhnya
kembali.

"Emily!"Allan mendekat, ia cukup mengalah dengan


beberapa perubahan sikap Emily yang tidak ia
pahami.

"I'm sorry. Aku hanya ingin becanda dengan mu,


ayolah, mommy yang menelpon ku, tidak ada Clair,
Clarissa atau wanita lain."Allan mengecup bibir gadis
itu, membuat mata Emily akhirnya terbuka lebar dan
langsung mengarah padanya.

"Jika kau berani macam-macam, aku akan memotong


milik mu, lalu menghidangkan soup agar kau
memakannya!"ancam Emily membuat Allan langsung
tersenyum kecil.

"Okay! Kau bisa melakukannya jika itu


terjadi,"balasnya terdengar pasrah, membuat
senyuman langsung mengembang di wajah gadis itu.

"Kenapa wajah mu sangat pucat Emily?"tanya Allan


sembari merasakan tangan gadis itu mengusap-usap
rambut panjangnya. Emily hanya diam, ia tersenyum
kecil tanpa memalingkan pandangannya sedikitpun.
Allan menciumnya,menekan bibir mereka cukup
sensual.
"Hmmm... Aku mau lagi!"pinta Emily begitu spontan
membuat Allan langsung melebarkan senyumannya
yang cukup bersuara, lantas, mendapatkan semua
yang ia inginkan.

________________

Tiga jam kemudian...

Emily tengah bersandar pada sudut sofa yang ada di


ruangan hotel, sorot matanya tajam, tidak bergerak
sedikitpun dari Allan yang mengulum bibirnya serius.
Entah, berapa ratus kali gadis itu mengumpat, yang
jelas saat ini ada seorang dokter wanita tengah
memeriksanya.

"Nona Emily, bisa bantu aku untuk menekan


ini?"tanya dokter tersebut, namun, tidak berhasil
membuat gadis itu bergeming.

"Aku akan membantu mu,"Allan mendekat, menatap


Emily lebih dekat sembari menahan Tensimeter yang
melekat di lengan gadis tersebut. Sungguh, Emily
tampak murka. Ia tidak peduli, ucapan Anne berhasil
membuat Allan penasaran setengah mati. Setidaknya,
ia tahu masalah yang sedang di alami Emily.

"Normal, nona Emily, berapa kali kau muntah dalam


sehari?"tanya dokter tersebut sembari melepas
alatnya.

"Tidak teratur, bisa lebih dari lima kali,"balas Allan


mencoba menjawab.

"Ah, apa kau mual nona?"

"Tentu saja, jika tidak aku tidak mungkin


muntah!"balas Emily sarkas, sungguh, sikap tidak
biasanya sedikit mengusik Allan.

"Kapan kau terakhir kali menstruasi?"tanya dokter


tersebut membuat Emily langsung menoleh cepat. Ia
memutar bola matanya, mencoba mengingat.

"Bulan lalu, yah, tentu saja bulan lalu,"balas Emily


sembari menelan ludahnya.
"Tepatnya, tanggal-"

"Ya Tuhan, aku tidak bisa sedetail itu,"balasnya


sangat serius membuat Allan mengeluh kasar.

"Emily, dengar! Aku ingin mengetahui keadaan mu,


aku khawatir, please,"pinta Allan sembari mengusap
kedua belah pipi gadis tersebut begitu lembut.
Rasanya, tidak ada lagi daya Allan untuk menyakiti
Emily. Tidak sedikitpun yang tersisa.

"Nona, aku hanya ingin mengetahui gambaran


keadaan mu, agar aku bisa mendiagnosa sesuai gejala
yang aku pahami."tandas dokter tersebut pelan,
hingga Emily langsung melirik ke arahnya.

"Emily, please."pinta Allan kembali sembari


mengecup puncak kepala gadis tersebut. Ia
mengangguk, membuat dokter wanita itu langsung
tersenyum lebar.

"Aku punya tespack, tolong gunakan ini, aku akan


menunggu mu dan, apapun itu, jangan pikirkan
hasilnya."Emily mengerutkan kening, melihat dokter
bernama Barbara itu menyodorkan benda tersebut
padanya.

"Hanya untuk memastikan,"ucap Allan kembali


mengusap rambut gadis itu lembut.

"Okay!"satu kata, namun, sungguh hal tersebut


membuat kedua orang yang ada di dalamnya
langsung lega.

"Bagaimana caranya aku menggunakan ini?"tanya


Emily sembari meraih tespack tersebut.

"Mudah saja, kau tinggal buka plastiknya dan, ini


wadah untuk menampung urin mu, letakkan ujung
strip ke dalam wadah sekitar 10 detik, lalu berikan
padaku tespack nya!"pinta Dr. Barbara membuat
Emily langsung bangkit dengan tegap. Ia melangkah
cepat, tidak menoleh sedikitpun hingga sampai ke
toilet.
"Hanya membuang waktu, baiklah, jika kau ingin aku
melakukan ini Allan."pikir Emily melakukan semua
perintah dokter wanita tersebut begitu santai.
Sungguh, ia tidak yakin pada hasilnya, Emily fokus
pada diagnosa awal, Ia tidak akan bisa hamil.

"Sebenarnya, lebih akurat jika Emily melakukan test


di pagi hari, namun, tidak salahnya kita mencoba
untuk mendeteksi keberadaan
hormon human chorionic gonadotropin di
urinnya,"terang Dr. Barbara pada Allan yang menanti
dengan dada berdebar. Sial, ia tidak bisa berhenti
menatap pintu yang terasa begitu lama di buka.

"Emily cepatlah!"pikir Allan mengabaikan apapun


yang di ucapkan dokter tersebut.

Ceklek!

Allan langsung melangkah mendekat, menatap Emily


dengan tatapan tajam. Sungguh, jantungnya berdetak
dua kali lipat.
"Emily, tespack mu!"ucap Dr. Barbara sembari
mengulurkan tangan, gadis itu menggenggam kuat
benda itu, takut dan ikut merasakan emosional yang
semakin meningkat di dalamnya. Ia tidak melihat
apapun, sungguh.

"Emily,"ucap Barbara kembali, membuat gadis itu


akhirnya menaikkan tangan dan meletakkan tespack
nya pelan.

"Allan."Emily mendekati pria itu, memeluknya cukup


erat, sembari meremas setiap sudut kaos pria
tersebut.

Wajah Dr. Barbara mendadak berubah datar, ia


mengeluh kasar lalu mengedarkan pandangan pada
Allan maupun Emily yang tegang.

"Ayolah, aku ingin-"

"Positif, selamat, nona Emily hamil,"potong Dr.


Barbara sebelum suara lengkingan Allan terdengar
begitu kuat.
Deg!

Emily terdiam, ia melepaskan pelukannya,


meraih tespack tersebut dengan cepat dan
memeriksanya sendiri. Ia mengusap sudut mata yang
mendadak berair dan menatap lama benda tersebut.

"Emily,"Allan menariknya, memerangkap tubuh gadis


itu dalam pelukannya erat. Ia meletakkan bibirnya di
sudut kening Emily, mengecupnya berkali-kali tanpa
henti.

"God!"suara Allan mendadak parau, ia menggigit bibir


begitu kuat dan rasanya seperti blank. Entahlah, Allan
tidak tahu bagaimana caranya berekspresi sembari
memeluk Emily yang tersisa akibat rasa harunya.
Sungguh, ini keajaiban, bagaimana bisa ia hamil
dalam kondisi yang cukup sulit. Bahkan, mereka tidak
menunggu waktu yang begitu lama untuk
mewujudkannya. Sepertinya, Tuhan memberikan
mereka hadiah kecil, terutama untuk Emily, ia ingin
menghentikan seluruh penderitaan yang pernah di
rasakan gadis itu.

"Allan, aku hamil,"bisik Emily sembari meremas kuat


pakaian pria itu, lantas, merasakan usapan lembut di
pipinya.

"Hm, aku akan menjaga kalian, I promise, Emily. Oh


god, thanks."ucap Allan kembali menenggelamkan
seluruh tubuh Emily begitu eratnya.

Chapter 40 : Lavender

Emily mengedarkan pandangan matanya, menatap


luas kebun lavender yang begitu memesona di
wilayah Provence, Perancis. Sesekali ia menghirup
wangi bunga tersebut, harum dan khas. Ah— dua hari
yang lalu, mereka sudah sampai di sini, menyembangi
Eropa Barat sebelum kembali ke New York. Anggap
saja, ini hadiah kecil dari Allan untuknya, lagipula,
mereka belum pernah menikmati hal seperti ini
sebelumnya. Hah— rasanya terlalu sakit jika
ingat honeymoon pertama mereka di Positano.

"Kau suka, Emily?"tanya Allan memeluk erat tubuh


kecil gadis tersebut.

"Hm! Aku sangat menyukainya,"Emily mengeluh


pelan, merasakan kelegaan yang begitu luar biasa. Ia
mengandung anak Allan hampir enam minggu dan,
berita hebatnya, rahim Emily membaik lebih cepat
dari perkiraan.

"Emily,"Allan memutar tubuh gadis itu, membuat


mata mereka saling menatap sejenak.

"Aku ingin, kita menikah!"

Deg!!
Mendadak, jantung Emily berdetak kencang. Ia
menelan ludah, lantas, memalingkan pandangannya
sejenak. "Menikah?"tanya gadis itu ragu.

"Yah! Tidak akan ada pernikahan yang buruk, tidak


ada wanita lain dan tidak ada salah paham atau
apapun di dalamnya, aku bersumpah, akan mencintai
mu dengan benar, aku akan menjagamu dan, anakku,
bagaimanapun caranya!"tandas Allan parau. Ia
meremas kedua tangan gadis itu, masih menerima
tatapan penuh kebingungan.

"Please, aku tidak ingin kehilangan mu untuk kedua


kalinya,"sambung Allan membuat Emily langsung
memalingkan pandangannya.

"Allan aku—"

"Kau tidak punya jawaban lain Emily, semua berkas


kita sudah siap,"potong Allan sarkas tanpa
mengalihkan pandangannya sedikitpun.

"Secepat itu?"tukas Emily penasaran.


"Aku tidak ingin menundanya, Besok kita kembali ke
New York dan lusa adalah hari pernikahan kita."

"Apa? Aku tidak salah dengar kan?"Emily


membulatkan mata, menatap sinis ke arah Allan yang
hanya melempar senyuman khas.

"Ayolah, kau mengandung anakku, memangnya kau


mau lari kemana?"tanya Allan datar, sembari
mengusap lembut perut datar gadis tersebut. Ia
menaikkan satu alisnya, tampak menang.

"Baiklah, terserah kau saja!"balas Emily ketus


sembari mengulum bibirnya malas.

"Aku tidak suka ekspresi itu Emily,"sindir Allan


membuat gadis tersebut menatapnya tajam.

"Lantas, apa yang kau inginkan?"balas Emily sembari


melingkarkan tangannya di leher Allan.

"Ayolah, jangan menggodaku di sini, aku akan tidak


ragu memakan mu, ada banyak tempat!"sindir pria
itu sembari menatap Emily menggigit bibirnya.
Sialan, gadis itu membuatnya panas dingin dan,
tingkat keagresifan Emily meningkat pesat.

"Kalau begitu kita cari tempatnya,"tukas Emily


sengaja menggoda pria itu sembari menyentuh sudut
pinggul Allan. Ah— jika mereka di kamar, Emily tidak
ragu melucuti pakaian nya dan terang-terangan agar
pria itu melakukan hal intim lagi dan lagi.

"Tidak! Kau tidak dengar apa yang di katakan dokter


semalam? Kau masih hamil muda Emily, cukup riskan
jika—"

Tap!

Allan menggantung kalimatnya, saat Emily memutar


tubuh dan langsung melangkah menjauh. Seketika itu
juga, Allan langsung mengulum bibir, kembali
menatap hamparan bunga lavender dan memijat
kening nya yang frustasi.
"Emily!"pekik Allan melantang, membuat beberapa
orang yang ada di sekitarnya melirik penasaran.

"Emily!"Allan kembali mengeluarkan suaranya,


melangkah cepat untuk menangkap lengan gadis itu,
hingga dapat.

"Aku mau pulang, minggir!"

"Emily, kau tidak harus marah hanya karena—"

"Allan aku lapar!"tukas Emily mendadak memikirkan


hal lain, ia berhenti melangkah dan kembali
mendekati pria itu. Suasana hatimu benar-benar
mudah berubah.

"Okay, kau mau makan apa?"

"Terserah!"

"Kau mau coba Escargot?"tawar Allan sembari


menatap gadis itu tegas.
"Itu aneh, aku tidak suka,"tandas Emily mencoba
berpikir.

"Pizza atau pastrami?"tawar Allan kembali membuat


gadis itu langsung menggeleng cepat.

"Lantas apa yang kau inginkan?"tanyanya mulai


frustasi.

"Terserah!"Emily mengulum bibir, memutar kembali


tubuhnya menuju parking area.

"Shackburger? Kau suka itu kan?"tanya Allan masih


mencari tempat sembari melangkah bersama hingga
mereka masuk ke dalam mobil.

"Tidak, aku bosan."

"Falafel, hot dog, Sandwich—"

"Arrghhh!! Aku mual mendengarnya,"tukas Emily


sembari memutar bola matanya.
"Batu, meja, kursi atau—"

"Kau gila Allan? Wah, sekarang kau perhitungan


dengan ku?"potong Emily kasar, ia menatap tajam
wajah pria itu dan memerhatikan mobil mereka
keluar dari kawasan lavender.

"Lantas, apa yang kau ingin makan Emily?"tanya


Allan membuat gadis itu langsung memutar tubuhnya
cepat.

"Aku bilang terserah,ya terserah! Apa kau tidak


mendengar ku, Allan?"tandasnya begitu sarkas
hingga pria tersebut langsung meremas rambutnya
kuat. Ayolah, tahan, ia harus sabar. Emily
membuatnya stress setengah mati.

"Okay! Kita berhenti di restauran, kau bisa pilih


apapun yang kau mau, jika perlu kau bawa pulang
kokinya!"tukas Allan terus mengedarkan mata ke tiap
sisi jalan. Mencari lokasi makanan yang tampak
nyaman, sesekali, mata biru terang itu melirik ke arah
mobilnya, meneliti penunjuk arah yang cukup akurat.
__________________

Sementara di New York, tepatnya di sebuah rumah


tua yang sepi penghuni, tampak seorang wanita yang
tengah mengedarkan matanya liar. Tubuhnya terluka
parah, akibat pukulan yang bertubi-tubi, bahkan dua
jari kelingking nya patah.

"Help me,"bisik wanita itu pelan, sembari menelan


ludahnya keras. Sungguh, ia kelaparan. Sudah hampir
satu bulan wanita tersebut berada di dalam sana dan,
tidak ada satu orangpun yang mendengar jeritan
lemahnya.

Ctak!

Mendadak, suara pintu di buka, menampilkan sosok


yang sangat familiar tertawa dengan renyah.
Seketika, wanita tersebut membulatkan mata,
mencoba bergerak dengan tangan yang terikat kuat
pada sisi ranjang. "Klaus, please."rintihannya
terdengar berat, sungguh, pria itu hanya datang
untuk memperkosanya berkali-kali. Bukan hanya
Klaus, bahkan daddy-nya yang diam-diam
menyelinap dan datang dengan ancaman. Sungguh,
Clarissa tidak pernah berpikir hidupnya akan
berakhir seburuk ini.

"Makanlah! Kau tidak bisa mati sebelum aku berhasil


membunuh Allan,"tukas Klaus sembari melempar
bungkusan makanan tersebut di hadapan wanita
tidak berdaya itu.

"Kau bajingan brengsek, pengecut!"maki nya sembari


bergerak kuat dan berharap tali pengikat yang
membuatnya mati harapan tersebut lepas.

"Kau bebas memaki ku, tapi— makanlah yang


banyak, lalu kita berpesta, kau ingat kan bagaimana
dulu kita melakukannya di belakang Allan?"tanya
Klaus sembari melangkah mendekat hingga sampai di
sisi ranjang.

"Sialan!" Cuih!"wanita itu melepaskan Saliva nya


hingga mengenai tepat wajah Klaus. Seketika, pria itu
mengepal tangannya begitu kuat lantas merapatkan
gigi.

"Bitch! Harusnya kau berterimakasih padaku karena


daddy tidak membunuh mu!"seketika, Klaus menarik
rambut wanita itu dan, membenturkan kuat ke
tembok hingga darah segar keluar dari pelipisnya.

"Makan!"Klaus membuka bungkusan makanan


tersebut, lalu menekan benda itu ke dalam mulut
Clarissa secara paksa hingga napasnya tersendat-
sendat. Sungguh, jika bisa, Clarissa lebih memilih
mati. Ia tidak tahan lagi, menerima perlakuan yang
sangat tidak manusiawi.

"Makan!!!!!"sentak Klaus lebih keras hingga terpaksa


wanita tersebut mengunyahnya cepat.

"Habiskan!"paksa pria itu semakin brutal sembari


menekan semakin dalam ke dalam mulut Clarissa
hingga ia nyaris muntah.

Tap!
Klaus menarik kedua paha wanita tersebut, membuka
lebar kedua pahanya sangat manuver, lantas,
memasukinya kembali hingga wanita tersebut
pingsan.

"Bitch!"erang Klaus terus memaksakan kehendaknya


hingga puas. Parahnya, kadang-kadang ia
membayangkan Emily. Perasaan yang semakin
berubah karena obsessi yang mendadak semakin
tinggi pada gadis tersebut.

Drrttttt!!!

Klaus menghentikan aksinya, ia meraih ponsel yang


terselip di dalam saku bawahannya, melihat seorang
yang cukup penting di bagian keluarganya menelpon.

"Polisi menemukan jasad Clyde, kenapa kau begitu


ceroboh hah?"geram pria paruh baya tersebut saat
mendengar berita yang tengah tersiar jelas di seluruh
media.

"Dad, aku— bagaimana .... Aku—"


"Daddy akan membereskannya, bersikaplah tenang
jika kau di panggil polisi, okay!"pinta pria tersebut
membuat Klaus langsung mengangguk, ia bergetar
ketakutan dan melirik kembali ke arah Clarissa lantas
mengepal tangannya begitu kuat.

"Dad, aku sedang di tempat Clarissa, apa yang bisa


aku lakukan padanya?"tanyanya dengan suara parau.

"Kau bebas melakukan apapun, selama itu


membuatmu puas."

Klaus tersenyum puas, ia mematikan sambungan


telpon dan mengusap lembut wajah wanita tersebut.
"Hey, sweetheart, kau mau jalan-jalan keluar?
Tenanglah, Allan tidak akan tahu, kita bebas
melakukan apapun. Okay,"ucapnya kembali santai
sembari menitikkan air mata. Sungguh, apa yang
tengah di lakukan Klaus sangat aneh, ia terlihat
memiliki kecacatan mental. Pria itu sakit.
Chapter 41 : Stupid Klaus

Allan menyesap rasa manis yang ada di bibirnya,


menatap luar balkon tajam sembari menurunkan
ponsel dari telinganya. Mendadak, ia merasa begitu
sesak.

"Siapa yang menelpon mu?"tegur Emily saat ia baru


saja keluar dari kamar mandi, sembari mengusap
rambut basahnya kasar.

Allan mengeluh, memutar tubuhnya segera lalu


menatap begitu serius ke arah Emily, hingga
beberapa detik kemudian, pria tersebut memalingkan
pandangannya ke arah lain. "Clyde, di temukan
tewas,"tukas Allan parau membuat gadis itu langsung
membulatkan mata.

"Bagaimana—"
"Aku tidak tahu apa yang terjadi, yang jelas sekarang,
polisi sedang memburu Clarissa. Mereka menemukan
beberapa bukti kuat atas kejadian ini,"potong Allan
sembari mengeratkan kedua tangannya. Ia memutar
haluan tubuh, menunduk sejenak lantas memijat
keningnya. Ia merasa begitu kehilangan kehilangan.

"Allan...."

"Emily, kenapa harus Clyde... Maksud ku, kenapa


—"suara Allan mendadak bergetar. Ia menutup
mulutnya, lalu mengembalikan pandangannya ke
arah Emily dan memeluk gadis itu erat. Ia gagal,
melindungi Clyde.

"Tenanglah,"bisik Emily terdengar begitu hampa.

"Emily, apa aku bisa menanyakan sesuatu hal


denganmu?"tanya Allan sembari memisahkan diri. Ia
memantapkan pandangan, fokus pada warna amber
yang tengah bergerak liar.
"Ada apa?"balas gadis itu dan merasakan sebuah
usapan lembut di kedua belah pipinya yang tampak
membulat.

Allan terdiam sejenak, menatap turun ke arah perut


Emily lalu membuang napasnya kasar, masih
menerima tatapan yang terlanjur lekat. "Allan."tegur
Emily kembali.

"Istirahatlah, lain kali saja!"balasnya sembari


menarik tubuh Emily kembali dan, memeluknya
hangat.

"Allan katakan saja, tidak masalah!"tandas Emily


sembari mendongakkan kepalanya ke atas.

"Kau tidak lapar?"

"Allan, ayolah, aku tahu bukan itu yang ingin kau


tanyakan!"Emily mendorong tubuh pria tersebut,
hingga jarak langsung tercipta di antara keduanya.
"Emily please, sorry!"Allan mengeluh pelan, menelan
ludahnya untuk kesekian kali tanpa melepaskan
sedikitpun pandangannya. Ia hanya tidak ingin
membebani Emily.

Seketika gadis itu mengangguk. Mendekat kembali


dan memeluk erat tubuh Allan sekadar memberikan
ketenangan. Baiklah, ini bukan saatnya untuk
memaksa Allan, ia tampak terpukul atas kematian
salah satu sahabatnya. Apalagi, Clyde harusnya
menjadi saksi utama terkait kasus penyuapan
keluarga Morrone, Klaus dan Ronald.

"Besok kita akan kembali ke New York, sesampainya


di sana, aku ingin melihat Clyde. Kau tetap tinggal
pada mommy, Frank akan mengawasi mu,"tukas
Allan berbisik pelan.

"Maksudmu, Frank?"

"Aku harus mengawasi mu, Emily. Kondisi sedang


rumit—"
"Allan tapi, kau terlalu berlebihan,"sanggah Emily
tegas.

"Terserah apa pendapatmu, aku hanya ingin kau


menurut hingga semuanya jelas. Aku harus
memastikan sesuatu,"balas Allan tidak kalah tegas. Ia
menatap tajam wajah Emily, hingga akhirnya gadis
itupun mengangguk setuju.

________________________

Allan menatap jelas sebuah kotak peti yang ada di


hadapannya. Melangkah mendekat tanpa menoleh ke
arah lain sedikitpun. Ia mengusap pinggir peti,
menatap tubuh kaku yang tidak akan mungkin
bergerak sedikitpun. Clyde hilang harapan.

"Allan please, bagaimanapun, kau harus membongkar


semua kebusukan keluarga Morrone. Aku berharap
banyak padamu!"
Seketika, terlintas ucapan terakhir Clyde. Sungguh, ia
tidak pernah menyangka bahwa kejadian ini akan
terjadi, semua begitu cepat.

"Apa kau puas Allan?"tegur seorang pria yang kini


berdiri tegas di sampingnya, hingga pria tersebut
langsung memutar pandangan, mencari sumber suara
yang tampak mencoba menyalahkan, Klaus Vierr
Morrone.

"Puas?"tandas Allan datar, lantas, memicingkan mata.

"Karena kau, Clarissa nekat melakukan ini, apa kau


tidak penasaran bagaimana dia melakukannya?
Mantan kekasih mu itu, terus mencari mu,
Allan,"ucap Klaus penuh tudingan. Ia sedikit
menaikkan suara, berharap orang-orang yang ada di
dalam ruangan mendengar dan ikut menyalahkan
Allan.

Tap!!!
Seketika, Allan menangkap leher Klaus, mencekik nya
kuat sembari melangkah lebih dekat. "Jangan pikir
aku tidak tahu apapun, Klaus. Aku akan mencari bukti
bahwa kau adalah pelaku sesungguhnya,"ucap Allan
tegas tanpa mengalihkan matanya sedikitpun.

"Coba saja kalau kau bisa!"Klaus mengerang rendah,


membalas tatapan Allan yang penuh ancaman.

"Aku sudah memeriksa bukti di kepolisian, semuanya


tidak cocok, namun sepertinya, daddy mu sedang
mencari kambing hitam atas kejadian ini,"balas Allan
membuat Klaus langsung menelan ludahnya susah
payah, ia sedikit bergetar.

"Kau cemas Klaus?"tandas Allan cukup paham.

"Tunggu saja masanya, kau tidak akan terus lolos.


Bom meledak pada masanya dan, kau tahu
bagaimana dia meledak? Ah— sebaiknya kau cari
tahu sendiri!"tukas Allan sembari mengedarkan mata,
memerhatikan orang-orang mulai mendekatinya.
Brakk!!!

Allan mendorong tubuh Klaus hingga pria itu


langsung jatuh ke lantai di antara kerumunan orang-
orang yang ada di ruangan tersebut. "Maaf karena
aku harus membuat keributan di sini, tapi, aku ingin
memastikan, aku akan mengawasi semua investigasi
terkait masalah Clyde hingga tuntas,"ucap Allan di
tengah kerumunan membuat salah satu keluarga
yang tampak mengangguk penuh harapan.

"Aku akan memastikan, pembunuh sebenarnya akan


di ungkap,"terang Allan sembari menatap Klaus yang
kini berdiri di sudut ruangan, tanpa sepatah katapun.

Allan memutar tubuhnya, menangkap seseorang yang


begitu tegas berdiri sekitar satu meter dari arahnya,
Ronald Morrone. Ia tersenyum tipis, melangkah pelan
menuju orang tersebut dan berhenti sejenak tepat di
sisi kiri. "Kerusakan tubuh Clyde tidak cocok dengan
bukti yang di temukan, kau harus berhati-
hati sir,"ucap Allan tanpa melirik sedikitpun ke arah
pria paruh baya tersebut.
Seketika, Ronald menatap anaknya Klaus, ia
merapatkan tangan, menaikkan kepalanya tinggi
untuk menguasai emosi yang mendadak bergelut di
tubuhnya. Allan tampak mengetahui sesuatu dan,
sungguh hal tersebut membuat posisi keluarganya
tersudutkan. "Aku harus membunuh anak itu,"pikir
Ronald sembari menatap Allan mulai melangkah
menjauh meninggalkan kawasan perumahan
sederhana milik keluarga Clyde.

"Ayo kita pulang Klaus,"ajak Ronald hanya menoleh


sedikit ke arah putranya tersebut dan ikut
meninggalkan tempat secepat mungkin.

"Dasar bodoh!"

Braaakkk!!!!

Ronald meninju wajah Klaus berkali-kali saat mereka


berada di dalam mobil, ia begitu brutal, membabi
buta hingga kehilangan kontrol saat melakukan hal
tersebut. "Dad... Please..."bisik Klaus parau, mencoba
melindungi dirinya, hingga pukulan tersebut
akhirnya berhenti.

"Baiklah, daddy akan membereskan masalah ini,


tenanglah, tidak akan terjadi apapun padamu,"ucap
Ronald sembari membenarkan dasi panjang yang ada
di lehernya dan memberi kode agar sopir segera
menjalankan mobil mereka.

Sementara Allan dengan mobilnya yang lain, menatap


tajam mobil Ronald keluar. Ia menunggu, mencoba
mencari tahu tabiat Ronald yang tidak pernah
berubah.

"Melihat catatan medis, Klaus mengalami gangguan


kecemasan tingkat tinggi dan psikosis yang
membuatnya sulit membedakan dunia nyata dan
imajinasi, tidak hanya itu, Ia juga mengalami
gangguan mental PTSD, penyebab utamanya adalah,
karena daddy Klaus juga mengalami kelainan ini dan
pria itu pernah mengalami kekerasan seksual
bertahun-tahun di usia dini,"terang Frank sembari
memberikan lembar dokument yang terkemas rapi.
"Berbeda dengan mu sir, Klaus tidak pernah
mendapatkan pengobatan atau terapi khusus hingga
penyakitnya semakin memburuk."

"Aku hanya pernah mengalami kekerasan rumah


tangga, beruntungnya pria brengsek itu sekarang
sudah tiada,"balas Allan mencoba menjelaskan masa
lalu buruk yang pernah dia alami di masa kecil, oleh
daddy nya sendiri. Cukup buruk, hingga sulit bagi
Allan untuk mengingatnya. Istilahnya, tiada hari
tanpa merasakan luka di tubuhnya.

Frank mengangguk, ia mengalihkan pandangan dan


menatap orang-orang yang ada di dalam ruangan
rumah duka itu mulai keluar. Ia mengeluh kasar,
lantas, memerhatikan semua keadaan sekitar.

"Kita harus mencari Clarissa, aku yakin, Klaus dan


keluarga nya yang menyembunyikan wanita
tersebut,"ucap Allan sembari merapikan dokumen.
"Baik sir,"Frank mengangguk, lantas, mulai
menggerakkan mobilnya dan segera berlalu begitu
saja.

____________________

"Emily,"panggil seseorang membuat gadis itu


langsung memutar pandangannya cepat. Ia
mengerutkan kening, lantas, mengangkat bibirnya
yang terasa cukup kaku.

"Cath, Catherine....."ucapnya pelan sembari menelan


ludah.

"Yah! Kau tidak merindukan ku, Emily?"tandas


wanita itu sembari beranjak mendekat hingga berdiri
di antara wanita tersebut dan Anne.

"Aku sudah dengar berita pernikahan mu dengan


Allan, sayangnya, kalian harus bercerai dan—"
"Aku dan Allan akan menikah kembali,"potong Emily
sarkas. Ia merapatkan kedua tangan di perutnya kuat
membuat Catherine diam sejenak.

"Hm! Tenang saja, aku tidak akan merebut Allan mu,


hubungan ku bersama nya hanya sebatas cinta anak-
anak, tidak lebih,"ucap Catherine sembari
melebarkan senyuman.

"Yah! Aku harap begitu, karena aku mengandung


anak Allan sekarang,"terang Emily cukup tegas.

"Kalau begitu kau menang sekarang, ayolah, aku tidak


akan menyakiti adikku, sebaliknya, aku akan
mendukung mu."

"Kau tidak pernah mendukungku Catherine!"tandas


Emily membuat wanita itu kembali diam. Ia melirik
ke arah Anne yang beranjak dari tempatnya dan
mendekat ke arah Emily.
"Kau harus istirahat, sudahlah, Allan tidak ingin kau
memikirkan apapun, besok, pernikahan mu akan di
gelar kembali, jadi—"

"Besok?"tanya Catherine membuat keduanya


menoleh cepat.

"Yah!! Hanya peresmian, tidak ada undangan atau


apapun!"balas Emily membuat Catherine
menatapnya tegas.

"Kenapa?"

"Bukan urusan mu, aku hanya ingin mengikuti


keputusan Allan,"balas Emily kembali dan,
merasakan tarikan kuat dari Anne hingga ia berdiri.

"Kau sensi sekali denganku Emily, apa kau masih


takut jika aku merebut Allan darimu?"tanya
Catherine sembari melempar senyuman kecil.

"Tidak! Allan mencintai ku, seperti katamu, hubungan


mu dengan Allan hanya sebatas cinta anak
kecil,"tuding Emily sembari memutar tubuhnya dan
mengikuti Anne yang semakin memaksa untuk pergi
menjauhi kakaknya sendiri.

"Aneh, kenapa dia begitu marah padaku,"batin


Catherine sembari mengeluh kasar, lantas, ikut
memutar tubuhnya untuk keluar dari kawasan
mansion besar tersebut.

Chapter 42 : Emerald Cut


Moissenite

"Kenapa kau pulang lama sekali?"rungut Emily


sembari menatap keseluruhan wajah Allan bersama
pandangan tegasnya. Ia mendekat, meraih bingkisan
yang ada di tangan pria tersebut.
"Kau sudah makan?"balas Allan tanpa menjawab
pertanyaan gadis itu, ia mengusap sudut kening
Emily dan mengecupnya pelan.

"Belum, aku ingin makan bersamamu!"balasnya


singkat sembari membuka bungkus kotak mewah
berwarna coklat, cheesecake.

"Kemari lah sebentar,"Allan meraih lengan Emily,


mendekapnya sejenak dan mengecup lembut sudut
bibir Emily, lantas, menaikkan pandangannya
kembali.

"Jangan menungguku hanya untuk makan, aku tidak


ingin sesuatu hal terjadi,"tukasnya datar, membuat
Emily menatapnya serius sejenak.

"Hm! Kau seperti orang lain sekarang,"Emily


memeluk erat pria tersebut, merasakan hangat tubuh
Allan dan menghirup wangi green notes yang khas.

Allan tersindir, kalimat barusan membuatnya


langsung menelan ludah, pria tersebut mendadak
mengingat seluruh perlakuannya di masa lalu, begitu
buruk. "I'm sorry, Emily,"bisiknya pelan, sembari
merapatkan pelukan.

"Kau tidak perlu meminta maaf, bukan salahmu!"

"Jangan menghiburku!"ucap Allan sembari


menurunkan ciumannya ke area leher, menggigitnya
pelan hingga gadis itu mengerang rendah.

"Allan!"protes Emily sembari mendorong pelan tubuh


kuat pria itu.

"Aku sudah beli banyak pengamanan,"bisik nya


kembali sembari meletakkan kedua tangan di pinggul
Emily, tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun.

"Kalau perlu kau beli pabriknya sekalian!"Emily


terkekeh, melingkarkan kedua tangan di leher pria
itu, menatapnya lekat.

"Ayolah, aku tidak suka menggunakan pengaman,


terpaksa!"Allan menyesap kembali bibir Emily,
menaikkan tubuh gadis itu ke atas meja tinggi yang
ada di dekatnya, lantas, mengusap lembut sudut
wajah gadis itu.

"Besok, peneguhan pernikahan kita di gereja pukul


sembilan pagi, dengan begitu perceraian kita di
batalkan. Kau milikku!"ucap Allan datar tanpa
mengalihkan pandangan sedikitpun.

"Perlu kau ingat, aku tidak ingin ada resepsi atau


apapun itu,"tukas Emily membuat pria itu
mengerutkan kening.

"Tapi—"

"Please, aku hanya butuh kau, tidak yang


lainnya,"sanggah Emily tegas, sama sekali tidak ingin
terbantahkan.

"Baiklah,"balas Allan singkat, ia mengeluh pelan, lalu


memutar tubuhnya untuk meraih cheesecake yang
mereka abaikan sejak tadi.
"Padahal kau dulunya tidak suka makanan asin,
apalagi berbau keju."Allan tersenyum tipis, membuka
kotak makanan tersebut dan mengedarkan matanya
sejenak ke arah Emily.

"Seleraku berubah!"balas Emily, mulai beringsut


turun dari tempatnya. Mereka memotong beberapa
bagian cake, menyajikannya di atas piring kecil yang
tidak jauh dari meja tersebut dan, memakannya
bersama.

Tap!!

Allan menangkap lengan Emily, melihat sisa


manisan strawberry yang menempel di sudut bibir
gadis tersebut. Ia mengusapnya pelan, sungguh,
Emily mendadak berdebar. Hingga tanpa sadar,
malah menggigit bibirnya kuat.
"Jangan merayuku, Emily,"Allan menelan ludah,
lantas, merapatkan kedua bibir mereka begitu lembut
seakan menyesap seluruh rasa manis yang ada di
bibir gadis itu.

"Allan!"erang Emily sembari menarik kuat sudut


pakaian pria itu, merasakan ciuman mereka semakin
dalam hingga mulutnya terasa begitu penuh.

Ceklek!!

"Oh my god, sorry!"tukas seseorang terdengar begitu


kuat, hingga Emily langsung mendorong kuat tubuh
Allan untuk menjauh.

"Catherine!"Allan mendegus kesal, gagal


mendapatkan apa yang tengah berada di puncaknya.

"Kunci pintunya jika kalian melakukan sesuatu, aku


pikir kau belum pulang, jadi aku—"
"Aku mau mandi!"potong Emily malas, ia memutar
tubuhnya, beranjak cepat menuju kamar mandi dan
meninggalkan Allan dan Catherine di luar sana.

"Kenapa kau disini?"tanya Allan datar, melangkah


mendekat perlahan.

"Hanya menumpang beberapa hari, aku mendapatkan


pekerjaan di New York,"balas Catherine menatap
tegas wajah Allan penuh selidik.

"Lain kali ketuk pintunya sebelum kau—"

"Aku sudah mengetuknya hampir sepuluh kali,


Allan."Catherine memutar bola matanya,
menyunggingkan bibir dan melipat kedua tangannya
di dada.

"Jadi, apa aku di undang untuk hadir pada acara


kalian besok?"

"Tidak!"celetuk Emily dengan cepat. Ia khawatir dan,


memutuskan kembali keluar dari kamar mandi
sembari melempar handuk ke atas ranjang. Dari sana,
ia mengawasi keduanya.

"Ayolah Emily, kau tidak harus cemburu hanya


karena—"

"Catherine please keluarlah, aku yakin kau tidak ingin


melihat ku dan Allan bercinta. Aku sedang ingin
melakukannya, sekarang!"potong Emily lantang
membuat Allan sedikit tersenyum simpul, ia melirik
sedikit ke arah Catherine sembari menaikkan salah
satu alisnya.

"Okay, aku akan pergi,"ucap Catherine cukup santai


sembari memutar tubuhnya.

"Catherine wait!"tukas Allan sengaja, hingga wanita


itu kembali menatapnya.

"Kau memanggilku?"tanya Catherine sedikit melirik


Emily yang langsung mengepal tangannya kuat. Ia
benar-benar cemburu. Panas, butuh kipas angin
Cosmos Wadesta sekarang!
"Yah! Hanya sekadar ingin memberitahu, kau
semakin luar biasa dengan penampilan baru!"

"Sial!"umpat Emily sembari meraih buku tebal yang


memiliki hard cover di sisi nakas, lantas, melempar
benda tersebut tanpa basa-basi sedikitpun ke arah
Allan.

"Awas!"teriak Catherine sembari mengelak beberapa


langkah.

Brakk!!

"Aaarrgghh!"pria itu mengerang kuat, bukan karena


bukunya, ia terbentur sudut pintu saat berusaha
menghindar. Kepalanya langsung berdenyut tidak
karuan.

"Rasakan itu!"ucap Emily sembari memutar tubuhnya


kembali ke dalam kamar mandi dan membanting
pintu sekuat mungkin.
"Kenapa dia harus semarah itu, hah?"tanya Catherine
cukup penasaran, ia mengerutkan kening, menatap
tidak biasa pada sikap Emily yang dulunya sama
sekali tidak bergeming.

"Entahlah, aku rasa dia—"suara Allan terhenti


mendadak, Emily kembali keluar dari kamar
mandinya, ia menunduk melangkah mendekat,
tampaknya ia ingin keluar dari ruangan tersebut.

Tap!!

Allan menangkap lengan gadis itu saat Emily


melewatinya. "Allan lepas!"tegas Emily sembari
mengepal tinjunya kuat.

"Okay, Emily tenang, aku jelaskan sesuatu hal


padamu, aku tahu, kau cemburu. Tapi— antara aku
ataupun Allan, tidak ada urusan apapun lagi
sekarang. Aku paham, kau marah karena dia mantan
pacarku, tapi itu dulu, hanya sekadar cinta-cinta yang
tidak jelas, jadi, kau hanya buang tenaga jika
melakukan itu,"terang Catherine cukup tegas hingga
Emily terdiam segera mengangkat pandangannya
tinggi.

"Aku tidak cemburu!"balasnya sarkas sembari


mengedarkan pandangan.

"Benarkah? Kau yakin tidak cemburu?"tanya


Catherine sedikit menggoda.

"TIDAK SAMA SEKALI!"pertegas Emily cukup lantang


seakan urat lehernya nyaris keluar.

"Baiklah, kalau begitu, Allan selamat untuk anak dan


pernikahanmu besok,"Catherine mendadak memeluk
pria tersebut. Membuat nya cukup dekat hingga
wajah Emily kembali berubah.

"Emily, kau harus tahu sesuatu hal, aku bukan tidak


pernah mendukungmu, tapi aku hanya tidak bisa
melakukan itu,"ucap Catherine pelan, ia menelan
ludah, menyisipkan sedikit rambutnya di balik daun
telinga.
"Maaf, karena membuatmu begitu buruk di keluarga
Kate, aku sudah berusaha, aku pikir dengan kuliah di
luar negeri, bisa membuatmu merasakan kasih
sayang dari mommy, namun, aku salah. Aku malah
semakin memberatkan mu, karena itulah aku sering
mengirim buku-buku padamu lewat Louis."

"Maksud mu?"tanya Emily sembari melirik ke arah


Allan sejenak.

"Aku banyak membeli buku, membacanya agar benda


itu sedikit rusak lalu meminta Louis agar kau bisa
membelinya dengan harga murah, aku terpaksa
melakukan hal tersebut agar kau tidak curiga,"terang
wanita itu sembari menatap Emily lekat.

"Catherine!"Emily menunduk sejenak, mengangkat


pandangannya dan melirik Allan yang tampak
menjauhkan diri dari keduanya.

"Sorry Emily, aku tidak bisa melakukannya terang-


terangan, mommy bisa menyalahkan mu jika itu
terjadi, aku ingin melindungi mu, walaupun, aku tidak
tahu kenapa mommy memperlakukan kita secara
tidak adil,"tandas Catherine membuat Emily
menggigit lidahnya cukup kuat. Ya Tuhan, ia salah
sangka selama ini, pikirnya, Catherine adalah saingan
terberat, kakak terburuk yang pernah ia punya.
Namun, di sisi lain, Catherine sangat peduli.

"Cath..."Emily mendekat, memeluk wanita itu erat


hingga merasakan balasan pelukan yang begitu
hangat.

"Aku tidak menyalahkan mu, Emily. Jadi jangan


merasa bersalah,"tukas Catherine seakan tahu, apa
yang tengah berkecamuk di dalam hati gadis tersebut.

"I'm sorry!"bisik Emily pelan sembari menahan napas.


Ia terisak, lantas, merasakan kedua ujung jari wanita
itu mengusap di sudut wajahnya.

"Tidak lagi, tolong, jangan menangis di hadapanku.


Jika Allan membuatmu seperti ini lagi, aku siap
membantu mu untuk memutilasi nya."
Seketika Emily terkekeh, ia menutup mulut dengan
lengannya, menunduk dan mengusap mata yang
terasa basah. "Thanks, Cath!"ucap Emily kembali
memeluk erat wanita tersebut tanpa menyisakan
jarak sedikitpun.

___________________

"Jadi, Emily bukan anak kandung dari ibunya?"tanya


Allan memasang wajah penasaran.

"Yah! Gadis itu di buang. Ditinggalkan begitu saja


dekat halaman rumah keluarga Kate, awalnya, ia di
rawat dengan baik, hingga satu hari kebenaran
terungkap, Emily hasil hubungan gelap
antara daddy nya bersama wanita lain,"terang Anne
pelan, sembari mengedarkan pandangannya ke tiap
arah.

"Apa Catherine tahu?"

"Yah! Hanya saja, ia tidak ingin Emily tahu, Catherine


tidak ingin melukai perasaan Emily dengan semua
kebenaran yang ada dan, karena hal tersebut juga,
mommy ingin kau menikahi Emily. Mommy menyukai
nya Allan, Emily gadis baik-baik, jauh dari pada
Clarissa. Tapi kau—"

"Mom, I'm so sorry!"potong Allan sembari menangkap


lembut tangan wanita tersebut. Menatapnya tegas
tanpa berpaling sedikitpun.

"Yah! Entah kenapa, mommy sangat menyayangi


Emily, gadis itu tangguh,"puji Anne kembali
merasakan dadanya sedikit sesak.

"Emily mengandung anakku, besok peneguhan


pernikahan itu akan di lakukan, aku bersumpah,
untuk menjaga dan membahagiakannya, Mom,"terang
Allan sembari menelan ludah, ia menatap begitu
serius hingga Anne tersenyum tenang.

"Kau putra terbaik ku, Allan,"ucap Anne sembari


memeluk erat pria tersebut erat-erat.

_________________________
Keesokan harinya....

Allan menatap wajah Emily sejenak, ia melempar


sebuah senyuman kecil yang berhasil membuat
jantung gadis itu berdetak kencang.

"I'm sorry, atas segala masa lalu ku, Emily. Aku


bersumpah, tidak akan ada hari seperti kemarin. Aku
bersumpah untuk membahagiakanmu, berada di
dekatmu, membimbing mu dan menjagamu hingga
maut memisahkan, aku mencintaimu, Emily,"suara
Allan terdengar parau, tidak sedikitpun
pandangannya teralihkan dari wajah cantik Emily
yang perlahan mengangguk pelan. Melempar
senyuman tiada henti sejak tadi.

Allan meraih jemari Emily, mengusapnya sejenak


dengan rasa gugup yang begitu berlebihan. Ia
membuang napas kasar, sembari menarik cincin
berlian emerald cut moissanite yang ada di sisi kirinya
dan, memasang kan benda tersebut perlahan pada
jari lentik Emily.

Seketika, dunia mereka terasa seakan berubah, Allan


dan Emily saling menatap, tidak mempedulikan
apapun lagi. Mereka begitu fokus dengan
kebahagiaan masing-masing yang terasa begitu
berbeda dengan masa lalu. Kali ini terasa luar biasa,
seperti ada sesuatu ikatan kuat di antara mereka.

"Aku mencintai mu."

"Aku juga, aku mencintaimu, Allan Willard."

Keduanya saling merapatkan diri, mendekat pasrah


hingga bibir mereka kembali menyatu, hanya dalam
hitungan detik. Anne meremas jemari Catherine,
menatap penuh rasa lega. Ia mengusap sudut mata,
lantas, memeluk wanita tersebut cukup erat.
Membiarkan suara tepuk tangan terdengar nyaring di
seluruh ruangan tersebut.

Chapter 43 : The Threat

"Allan,"tegur Emily yang baru saja keluar dari


ruang walk in closet. Seketika, mata biru terang pria
itu bergerak, mencari sumber suara yang tidak terlalu
jauh. Sial— ia langsung menelan ludah begitu kuat,
hingga Emily bisa melihatnya jelas.

"Dari mana kau dapatkan pakaian itu?"Allan


beranjak, berjalan mendekati Emily yang hanya
mengenakan black lingerie dress tipis. Ia berdandan,
mencoba membalut tubuh berisi nya.
"Kau suka?"tanyanya sembari meraih tubuh Allan
yang langsung memeluknya erat, mengecup lembut
dada yang tampak terekspose.
"Terlalu munafik, jika aku mengatakan tidak!"Allan
mengusap kedua sudut pipi gadis itu, menatapnya
dekat hingga kening mereka menyatu.

"Kau terlalu sering menggodaku, bagaimana aku bisa


tahan? Hm?"

Seketika, Emily menelan ludah, lantas, merasakan


ciuman yang sangat lembut pada bibir merahnya.
Bukan hanya itu, sentuhan Allan mulai jauh, hingga
wajib hukumnya untuk menutup mata, merasakan
sensasi luar biasa yang mulai menjalar.

Tap!!!

Emily terkejut, Allan menekan pinggulnya, membuat


jarak mereka semakin rapat seakan tidak ada celah
sedikitpun. Mata mereka beradu dekat, hingga
jantung keduanya terdengar jelas.

Pada detik selanjutnya, Allan merekatkan bibirnya di


sudut dada Emily, memberi sedikit tanda sembari
menurunkan tali kecil yang bergantung di bahu gadis
tersebut. Emily menelan ludah, mulai mengerang
pelan, frustasi dalam sekejap.

Emily menyentuh pinggul Allan, menarik kaos yang


masih lekat di tubuh pria itu ke atas, mencoba
melepaskannya segera. Ia menahan napas,
menyentuh dada polos Allan dan mengecupnya
sedikit. Sangat menggoda.

"Fuck!"umpat pria itu sembari menurunkan tubuh,


lantas, mengangkat tubuh Emily ke dalam
pelukannya. Menggiring ke ranjang. Ia tidak ingin
berlama-lama, kepalanya sudah begitu sakit.

Emily melebarkan senyuman, merasakan betapa


bahagianya ia sekarang, Allan memperlakukannya
lembut, jauh berbeda dari apa yang pernah ia rasakan
dulu. "I miss you,"ucapnya serak.

"Hm! I miss you too, cinnamon!"balas Allan sembari


tersenyum lebar. Ia memeluk erat gadis itu,
merapatkan kedua tubuh mereka semakin panas,
melepaskan seluruh pakaian hingga nude, lantas,
menyatu dalam hitungan menit.

Emily merapatkan cengkeramannya, memegang


lengan pria itu kuat-kuat sembari merasakan desakan
lembut yang berkuasa atas tubuhnya. Sejak tadi, ia
tidak berhenti menelan ludah, tidak kuasa menerima
tatapan tajam dari Allan, pria itu menikmati
kegiatannya, menggigit bibir begitu kuat dan
mendesak sesukanya hingga puas.

________________

"Sir, sepertinya kau benar, Klaus dan keluarganya


menyekap Clarissa!"ujar Frank sembari melebarkan
mata, menekan ponsel lekat pada telinganya.

"Kau menemukan persembunyiannya?"tanya Allan


melirik ke arah Emily yang sudah tertidur begitu
pulas di bawah selimut tebal mereka.

"Sepertinya begitu, aku mengikuti mereka dan


menemukan sebuah rumah kosong yang tidak
terawat, aku sudah mengeceknya, properti ini milik
keluarga Morrone sejak tahun 1981,"terang Frank
jelas.

"Jangan mengundang kecurigaan. Mereka bisa saja—"

Braaaaakkk!!!

Mendadak, suara benda bertabrakan terdengar


lantang. Membuat suara Frank mendadak hilang
seketika.

"Frank!"sentak Allan sembari berjalan keluar dari


kamarnya, ia tidak ingin membangunkan Emily.

"Frank, apa yang terjadi, Frank!"suara Allan


terdengar sarkas, hingga panggilan tersebut
mendadak putus begitu saja.

"Shit!"Allan mengumpat, ia meremas rambut begitu


kuat lantas berjalan kembali ke kamarnya.

"Allan apa yang terjadi?"


"Aku punya urusan mendadak, tetap di
mansion!"tukas pria itu begitu merasakan napasnya
tidak teratur. Untungnya, Emily mengangguk, tidak
membantah sedikitpun.

"Jangan pergi keluar mansion selama aku di luar, kau


paham?"Allan menelan ludah, memegang kedua pipi
gadis itu dan kembali melihat Emily hanya
mengangguk bingung.

Ia mengecup Emily sejenak dan, meraih key salah


satu Supercar nya asal, lantas, segera menghilang dari
dalam kamar tersebut. Meninggalkan Emily dalam
rasa penasaran, gadis itu hanya diam. Ia akan
menuruti semua permintaan Allan, tidak ingin
menjadi sumber masalah pria tersebut. Emily cukup
paham.

Allan memutar kendali mobilnya, mengedarkan


pandangan sejenak, ia menghidupkan GPS,
memasang kabel ponsel pada layar Supercar.

Drrrtttt!!
Mendadak, pria tersebut mengerutkan kening,
menatap tajam layar besar yang ada di mobilnya.
Seseorang menelpon, nomor tidak di kenal. Okay,
sepertinya ini cukup penting. Seseorang yang
mungkin memiliki hubungan terhadap Frank yang
mendadak menghilang.

Tap!!

"Lama sekali kau mengangkatnya, aku sudah


penasaran."

Suara yang terdengar serak, menggema di seluruh


ruangan mobil. Membuat pria itu langsung menerka-
nerka sosok di baliknya. "Dimana Frank!"tandas pria
itu berat, penuh ancaman.

"Jadi, nama informan bodoh mu ini Frank? Ah— bukan


itu pertanyaan nya, apa kau lebih peduli pada pria
ini?"

"Brengsek! Lepaskan—"
"Kau terlalu banyak tahu Allan, itu tidak baik untuk
mu dan istrimu Emily."

"Jangan coba-coba mendekati Emily, sedikitpun. Aku


akan membunuhmu dengan tangan ku sendiri,
Ronald Morrone!"kecam Allan sembari mendengar
suara kekehan yang cukup berat.

"Benarkah? Aku jadi ingin membuktikannya, anakku


Klaus, memimpikan gadis muda itu, memikirkan
istrimu bergoyang di bawahnya. Arh! Sepertinya, aku
juga suka itu—"

"Brengsek! Aku akan merobek-robek mulutmu


Ronald, aku bersumpah!"

"Santai lah Allan, kita buat semuanya mudah. Aku


mengirim GPS ku ke ponselmu, jangan hubungi polisi.
Datang ke tempatku atau ku ledakkan dua puluh
peluru di kepala istrimu yang cantik itu."

"Sialan! Kau!"
Tap!!

Seketika, sambungan telpon tersebut terputus.


Membuat Allan semakin frustasi, ia melirik ke dalam
mansion kembali lantas menekan ponselnya sejenak,
tampak menghubungi seseorang dari sana.

"Aku butuh bodyguard untuk istriku, sebanyak-


banyaknya!"ucap Allan dengan napas terengah, ia
membasahi bibir, tampak begitu frustasi.

"Okay! Aku akan mengirim alamatnya, pastikan!


Orang-orang terlatih, aku tidak menerima
kesalahan!"tukasnya kembali sembari menggerakkan
mobil mengikuti GPS yang di kirim Ronald Morrone.

___________________

atu jam kemudian, Allan sampai di sebuah


pekarangan rumah yang tampak kuno, ia
mengedarkan pandangan dan meraih senjata api
yang ada di bawah kursinya. Menatap benda tersebut
sejenak, mencobanya dan memerhatikan seksama. Ia
tidak terlalu terlatih, namun, setidaknya benda
tersebut mampu melindungi dirinya. Maklum,
seumur hidup, Allan tidak pernah berurusan dengan
hal-hal berbau kriminal.

Ia menyelipkan senjata api tersebut ke punggungnya,


segera keluar dari mobil dan melangkah pelan ke
tengah halaman. Tetap awas pada gerakan yang
tengah ia ambil.

"Allan Willard,"sambut seseorang sembari membuka


pintu yang nyaris roboh itu.

"Masuklah, santai saja!"ucap Ronald sembari


melebarkan tangan, cukup ramah, ia tersenyum licik
sembari mengedarkan pandangan ke arah pria
tersebut.

"Kau datang ke neraka mu sendiri, Allan."pikir Ronald


sembari menaikkan kepala cukup congkak.
"Dimana kau menyembunyikan Frank dan
Clarissa!"tandas Allan waspada.

"Mereka? Makan bersama di dalam. Kau mau


bergabung?"tanya Ronald mencoba bersikap
bersahabat.

Allan mengerutkan kening, mendadak melihat sebuah


bayangan yang mendekat tepat di punggungnya.
Seketika, pria itu berputar, menangkap sosok
misterius tersebut tanpa kompromi.

Braakkk!!

Mendadak seseorang memukul Allan begitu keras, ia


langsung terpental cukup jauh, membuat pria
tersebut mengerang pelan dan merasakan darah
keluar dari sudut bibirnya.

"Bereskan dia!"ucap Ronald terdengar sangat jelas,


sembari memutar tubuhnya kembali ke dalam rumah
kosong tersebut.
Kembali, pria asing itu mendekat, menangkap kerah
pakaian Allan dan meninju nya dua kali, seketika,
suasana mendadak gelap, kacau dan rasanya dunia
seperti berakhir.

"Jangan membuat ku sulit, mati saja dengan


mudah!'kecam pria itu sembari menarik kuat kerah
pakaian Allan kembali dan menyeretnya paksa hingga
sampai ke mobil yang berada cukup jauh dari rumah
tersebut.

Tap!!

Allan mendadak menangkap tangan pria itu,


memutar nya sangat kuat hingga suara tulang patah
terdengar lantang. Allan bangkit dengan cepat.
Menarik senjata apinya dan menekan benda itu ke
dada pria asing yang kini dalam posisi terancam.
"Dimana Frank dan Clarissa!"tanya Allan sembari
menekan kuat senjata api tersebut.

"Aku tidak tahu!"


"Aku tidak main-main! Aku akan menarik pelatuknya
dalam hitungan ke tiga jika kau tidak menjawabnya,
Satu!"Allan melihat tangan pria itu terkulai. Ia
merapatkan gigi, kembali menarik tangan pria itu
hingga umpatan keluar begitu lantang.

"Dua!"

"Di dalam, bersama Klaus. Please, aku hanya


diperintah!"sanggah pria itu membuat Allan langsung
memicingkan matanya tajam. Ia mendorong pria
asing itu masuk ke dalam mobil dan mencari sesuatu
untuk mengikatnya kuat.

"Jangan melawan atau aku akan mematahkan tangan


mu yang satunya lagi!"ancamnya membuat pria asing
itu ketakutan, sekaligus merintih berat. Ia pasrah saat
tubuhnya terikat kuat, kecuali tangan patahnya itu.
Allan membebaskannya begitu saja, yakin, bagian
tubuh tersebut tidak memiliki fungsi lagi.

Allan mendelik sejenak, memutar tubuhnya sangat


cepat dan masuk ke dalam mobil. Meninggalkan
lokasi tersebut secepat kilat, ia harus menyusun
rencana, tidak akan berhasil jika gegabah.

Chapter 44 : Nighmare

Emily berlari cepat, menoleh ke arah belakang


sesekali dalam pekatnya hutan yang tampak penuh
dengan pepohonan. Ratusan kerikil mencoba
menancap di kakinya, membuatnya terluka semakin
dalam. Namun, ia abaikan begitu saja. Fokus pada
seseorang yabg tengah mengejarnya semakin jauh.
"Help!"teriaknya dengan napas terengah. Rasanya
tidak sanggup lagi, namun, Emily tetap berusaha
untuk menjauh.

Brakk!!

Ia terjatuh, berguling di tanah seketika hingga


terperosok ke sisi jurang. "Aku akan membunuhmu
jika kau buka mulut, Emily."ancam seseorang
membuat gadis itu menyatukan kedua tangan dengan
tubuh bergetar. Ia ketakutan setengah mati.

"Please!"Emily mengerang, mencoba beringsut untuk


melangkah jauh. Ia mundur di tengah pekatnya
malam.

"Kau tidak akan bisa lolos, Aku akan menyebarkan


semua fotomu, hingga seluruh pelosok negeri tahu
siapa kau,"ancam pria itu kembali berjalan mendekat
membuat gadis itu semakin melesat menjauh.

Tap!!

Ia mendadak berhenti, saat merasakan sesuatu


mengganjal tubuhnya. Emily menurunkan pandangan
dan langsung membulatkan mata.

"Allan!!"sentak Emily sarkas sembari mengangkat


tubuhnya cepat. Ia mengedarkan mata dan, langsung
menangkap sosok yang baru saja berada di dalam
mimpinya dalam keadaan tewas.
"Kau mimpi buruk?"tanya Allan merasakan Emily
memeluknya erat, ia berkeringat dan bergetar hebat.

"Aku mohon, jangan berurusan dengan Klaus,"erang


Emily tanpa sadar. Ia merasakan pria itu mengusap
lembut punggungnya dan mengecup pelan sudut
pipinya.

"Emily, harusnya aku bicara padamu,"Allan menarik


tubuh gadis itu, sedikit menjauhkannya. Seketika,
tangan Emily terangkat, menyentuh beberapa luka
yang berhasil membuatnya penasaran.

"Kau kenapa, apa yang terjadi—"

"Seseorang menyerang ku, tapi, kau tidak perlu


khawatir."

"Bagaimana bisa aku tidak khawatir. Kau terluka


Allan, kau—"

"Tenanglah, aku punya cara untuk menyingkirkan


Klaus dan keluarganya. Mereka tidak akan
lolos."Allan menangkap kedua tangan gadis itu,
menyatukannya dan meremas kuat-kuat. Ya Tuhan,
Emily serasa sesak, diam dalam ketakutannya.

"Mereka berbahaya Allan. Aku mohon, lupakan saja


dan biarkan—"

"Klaus membunuh Clyde. Jika aku tidak


menghentikannya, maka Clarissa dan Frank juga bisa
—"

"Kau peduli pada Clarissa?"tanya Emily cemburu. Ia


tidak bisa mengendalikannya. Emosionalnya begitu
bertahap.

"Ini masalah nyawa. Clarissa bisa menjadi saksi kunci


atas kasus Klaus dan keluarganya, aku butuh bukti
yang lebih banyak!"terang Allan sembari merasakan
tangan Emily yang dingin dan berkeringat.

"Aku sudah menahan salah satu suruhan Ronald


Morrone, mereka akan terus melakukan ini walaupun
aku diam, Emily."sambung Allan membuat gadis itu
langsung mengerutkan kening.

"Aku takut, Klaus—"

"Aku bersumpah untuk menjagamu, Emily. Please,


mengertilah,"terang Allan parau, Emily diam sejenak,
tampak berpikir lantas mengangguk pelan.

"Klaus tidak akan membunuh Frank dan Clarissa.


Mereka akan memanfaatkan keduanya untuk
melakukan apapun untuk mendekati ku, termasuk
kau, jadi, jangan pernah keluar dari mansion,
menurut lah, hanya itu kuncinya. Kau paham?"tanya
Allan sembari mengusap lembut rambut Emily yang
tampak mengangguk. Ah— setidaknya Allan cukup
beruntung, Emily penurut.

"Aku akan mengambil ponselmu, kemungkinan besar,


Klaus akan memancing mu keluar. Jadi, pakai ponsel
lain untuk sementara!"kembali Allan memperingati,
hingga Emily langsung memeluknya erat. Mencari
tempat aman di dalam tubuh pria itu.
"Mereka menyimpan foto-foto ku Allan, bagaimana
jika—"

"Bukti itu sudah tidak ada, mereka kehilangan nya!"

"Bagaimana bisa?"tanya Emily cepat kembali


memisahkan diri.

"Aku tidak tahu bagaimana, yang jelas, penyakit yang


di alami Klaus membuat keuntungan sepihak atas hal
tersebut,"terang Allan membuat Emily mengerutkan
kening.

"Lantas, kau dari mana soal—"

"Aku membencimu karena itu, Klaus memprovokasi


ku setiap saat. Mereka menghina ku atas pernikahan
kita dan, sialnya aku mengetahui semuanya setelah
kita bercerai,"Allan mengulum bibir, menarik kembali
tubuh berisi Emily dan mengecup puncak kepalanya
sekali.
"Karena itu, sekarang aku ingin menebus semuanya.
Aku akan benar-benar melindungi mu, aku
mencintaimu, Emily."sudut tubuh Allan bergerak, ia
memeluknya lebih erat. Menyatukan tanpa
menyisakan sedikitpun celah.

"Aku juga mencintai mu, Allan."

"Jadi, kau harusnya tenang, karena foto-foto tersebut


tidak akan pernah muncul ke permukaan. Jika bukti
itu masih ada, Klaus sudah pasti mengambil
kesempatan sejak lama, tapi tidak, aku sudah
memastikannya lewat suruhan Ronald Morrone. Aku
akan memanfaatkannya."Allan berusaha
menjelaskan. Membuat semuanya lebih mudah di
terima gadis tersebut. Benar saja, tujuan utamanya
adalah, tidak membuat Emily stres, Allan ingin
semuanya tampak baik di mata gadis tersebut.

"Hm! Aku mempercayaimu,"erang Emily pelan


sembari merasakan aroma yang begitu membuatnya
tenang dan aman.
___________________

"Kau sudah pastikan semuanya?"tanya seseorang


yang tengah berdiri di sudut ruangan sembari
menatap Allan.

"Yah! Klaus menghilangkan buktinya sendiri, jadi


bagaimana pendapat istri mu soal keberangkatan mu
yang mendadak ini, Louis?"tanya pria tersebut
sembari memeriksa ponsel Emily.

"Aku langsung terbang ke sini, saat mendengar kabar


gila ini, aku sama sekali tidak tahu bahwa Clyde
—"Hah, pria itu menghela napas, ia melipat kedua
tangannya dan mengulum bibir.

"Klaus lebih gila dariku."

"Kau mengakui bahwa kau gila Allan?"sindir Louis,


paham betul apa yang di lakukan pria tersebut. Allan
diam, hanya berdehem sekali dan melirik ke arah
puluhan bodyguard nya. Entah sejak kapan mansion
nya di isi orang-orang yang cukup ramai seperti ini.
Baiklah, demi Emily ia akan mengalah.

"Lantas, apa rencana mu?"tanya Louis sembari


melangkah mendekat.

"Memancing untuk menunjukkan diri mereka sendiri,


hanya itu yang bisa aku lakukan untuk sementara
waktu,"tandas Allan menatap Louis lekat.

"Aku tahu kau cukup licik Allan, tapi mungkin, lebih


baik kau menyewa seorang pembunuh bayaran dan
—"

"Itu bukan ide baik. Aku tidak ingin, Emily


melahirkan anak tanpa ku!"sanggah Allan cepat
sembari menelan ludahnya kuat.

"Good, aku senang dengan perubahan mu."kembali


Louis menyindir, ia terkekeh saat mata Allan yang
terang terarah tajam padanya.
"Jangan sampai, aku membuat mu gegar otak
Louis,"ancamnya sarkas.

"Kau sensitif, seperti ibu hamil!"

"Diam!"Allan memutar tubuhnya menatap pintu


kamar Emily yang tertutup rapat. Gadis itu memilih
mengurung diri di dalamnya. Mencoba menuruti
semua hal, ia hanya turun untuk makan. Sejujurnya,
Emily cukup senang. Ia memang sedang malas untuk
melakukan apapun. Jika bisa, Emily ingin
menghabiskan waktu seharian utuk berbaring di atas
ranjang bersama MacBook pemberian Allan.

______________________

Sementara Klaus memandang rendah Clarissa, ia


mengusap sudut wajah wanita itu dan tersenyum
tipis. "Kau lapar, honey?"tanyanya pelan lantas
melirik ke arah Frank yang terikat kuat dengan luka
di sudut kepalanya. Ia memandang jijik, mual
terhadap bau menyengat yang ada di sekitar ruangan.
Clarissa telanjang bulat, ia menonton semalaman
bagaimana Klaus dan Ronald bergantian meniduri
wanita tersebut.

"Kau tidak tertarik dengannya?"tanya Klaus membuat


Frank mencebik.

"Munafik sekali kau, tapi— kau benar, dia tidak


terlalu nikmat. Aku masih membayangkan Emily yang
bergoyang untukku, Ah— wajar Allan begitu
menggilainya,"tukas Klaus sembari memperagakan
hal mengelukan. Ia benar-benar terlihat sakit.

"Percuma kau mengikat ku di sini, kau tidak akan


dapatkan apapun. Aky hanya di bayar, jadi tuan Allan
tidak akan peduli padaku,"tukas Frank sedikit
memprovokasi. Ia mencoba memanfaatkan Klaus.

"Diam berengsek! Aku tidak minta


pendapatmu!"seketika Klaus mendekat menarik
kerah pakaian pria itu kuat.

"Percuma, walaupun aku mati, kau tidak akan


mendapatkan nona Emily!"ucap Frank sarkas.
"Tidak! Dengar, aku akan mendapatkan Emily, aku
akan merebut apapun dari Allan. Meniduri Emily di
hadapan Allan dan membunuhnya di
hadapanmu, I promise!"

"Kau terlalu banyak bermimpi,"sanggah Frank


hingga Klaus merasa begitu murka.

"Kau bisa memukulku, membunuhku hingga mati.


Namun ingat, semua akan sangat sia-sia!"

"Arrghh! Sial, diam!"

Braakkk!

Klaus memukul wajah Frank begitu kuat hingga sudut


bibirnya langsung menyemburkan darah. Ia terbatuk,
diam sejenak untuk merasakan penderitaan sesaat
nya saat ini. Frank tidak menyesal, bagaimanapun ia
akan berusaha untuk mengambil setia bekerja pada
Allan, tidak peduli bagaimanapun risikonya.
Chapter 45 : Death

"Apa kau yakin semua sudah beres?"tanya Ronald


sembari menaikkan kepalanya cukup congkak.

"Yah, sesuai perintah, aku sudah merekayasa


kematian Allan Willard,"balas pria yang ada di
panggilan ponsel itu tegas.

"Okay, sekarang, datang ke kantor polisi, katakan


bahwa kau menemukan mayatnya, seperti yang
sudah aku katakan kemarin!"balas Ronald cukup
yakin dengan pria yang tengah bicara dengannya
tersebut di sebuah saluran telpon.

"Baik sir, tapi, bagaimana uangku? Kau masih


kurang-"
"Jangan khawatir, kau akan mendapatkan sisanya
setelah semua pekerjaan selesai!"balas Ronald
sembari menajamkan pandangan ke tiap tempat.

"Senang bekerja untuk anda sir,"ucapnya lagi, lihai


sebagaimana biasanya pada Ronald.

"Aku akan memberikan mu bonus jika kau juga bisa


menyingkirkan istrinya Allan, buat seakan-akan
suaminya sendiri yang melakukan itu, Ah- aku tidak
ingin jalang tersebut hidup, dia mempermainkan
perasaan putraku, Klaus,"terang Ronald membuat
pria di balik panggilan itu langsung menelan ludah,
menatap sosok tegap yang menatapnya lekat sejak
tadi. Suara tersebut di loundspeaker, hingga terdengar
cukup kuat di tengah ruangan.

"Baik, sir, tapi aku butuh dua kali lipat upah,


pekerjaan ini berisiko!"ucapnya ragu, namun, ia pikir
ini adalah cara agar Ronald percaya.

"Perkara mudah,"tandas pria itu cepat sembari


memiringkan senyuman ke arah kanan. Jahat.
"Kalau begitu, aku akan memeriksa keadaan istri tuan
Allan Willard dulu, setelahnya ke kantor polisi agar
tidak mengundang kecurigaan."

"Kau benar, buat sebaik mungkin, anggap saja Allan


Willard bunuh diri setelah menghabisi nyawa
istrinya!"tandas Ronald gusar lantas menerima
jawaban yang penuh penekanan, hingga panggilan
tersebut di tutup.

Pria suruhan Ronald tersebut langsung menaikkan


pandangan, menatap ringkas ke arah Allan dan
bergantian pada Louis yang tidak terlalu jauh. "Aku
pikir, keluarga Morrone memiliki kegilaan yang super
totalitas, mengerikan,"ucap Louis.

"Yah! Sayangnya aku baru menyadari semua hal


setelah bertahun-tahun. Namun, Klaus hidup di
bawah tekanan, dia di manfaatkan kegilaan daddy-
nya sendiri,"jelas Allan mengeluh kasar.

"Kau sudah menelpon polisi?"tanya Louis penasaran


sembari menatap suruhan Ronald yang tampak
berdiam diri. Meratapi nasib yang super sial bersama
lengan patah nya.

"Sudah, lengkap dengan stasiun berita,"tandas Allan


melempar senyuman tipis.

"Sialan, kau ingin keluarga Morrone terkenal?"tandas


Louis sarkas.

"Yah! Dengan begitu semua kebusukan mereka akan


terbongkar. Aku hanya berpikir, kemana mereka
akan lari setelah ini."Allan mengeluh kasar, menyesap
bibirnya pelan dan memalingkan pandangan ke arah
orang suruhan Ronald kembali.

"Aku akan memberimu uang 20juta dollar, anggap


ganti tangan yang aku patahkan itu,"tukasnya santai.

"Dua puluh juta dollar?"tanyanya seakan tidak


percaya. Ya Tuhan, itu sangat banyak untuk level pria
suruhan yang tampak tidak terlalu bisa di andalkan.
Allan mengangguk, memastikan semuanya. "Aku akan
menghilang setelah ini,"terang pria itu membuat
Louis langsung mengangkat pandangan pada Allan,
memperhatikannya seksama.

"Bukan urusan ku lagi setelah ini berakhir, Ah-


harusnya ruangan ini memiliki televisi. Menunggu
berita lewat ponsel rasanya tidak puas,"Allan
memutar tubuhnya, melangkah ke bibir pintu begitu
cepat untuk meninggalkan ruangan.

"Sir,"teriak pria asing tersebut membuat Allan


memutar pandangannya.

"Sampai kapan aku terikat di sini?"tanyanya serak.

"Sampai semuanya terungkap dan, tidak ada celah


untuk Ronald menghindar kali ini!"Allan menelan
ludah, melirik ke arah Louis sejenak lantas menghela
napas.

"Aku ingin menemui Emily, dia sedang sensitif, aku


tidak ingin ada buku terbang lagi mengenai kepalaku
hari ini!"tukas Allan seakan ingin pamer pada Louis.
Bagaimanapun, ia cukup tahu, pria tersebut mantan
kekasih istrinya Emily.

"Selamat bersenang-senang dengan buku-buku


itu!"balas Louis sembari terkekeh pelan,
memerhatikan hingga Allan menghilang dari
pandangannya.

____________________

Beberapa jam kemudian.

"Daddy,"teriak Klaus lantang, memenuhi seluruh


ruangan yang tampak luas. Ia melangkah pelan,
memerhatikan sebuah berita besar yang tengah di
tayangkan.

"Polisi akhirnya berhasil menemukan Clarissa Amber,


bersama satu orang pria yang di sekap khusus pada
satu rumah kosong keluarga Morrone, yang di kenal
sangat bersahaja. Keadaan ini, membuat kecaman
hebat dari berbagai pihak terhadap kondisi keluarga
tersebut bahkan kasus kematian Clyde yang
mengguncang akhir-akhir ini. Dengan bukti baru ini,
polisi berjanji akan menelusuri semua bukti baru dan,
akan di selidiki khusus oleh Allan Willard......"

"Dad!"panggil Klaus pelan, melangkah hingga sampai


di sisi pria tersebut dan memandangnya dengan
tatapan kosong. Ronald terdiam, mengusap sudut
kepalanya yang terasa nyeri.

"I'm sorry, Klaus."tukasnya pelan sembari


menundukkan pandangan dan sedikit terisak.

"Ronald,"seorang wanita yang berada tidak jauh


darinya ikut mendekat, menyentuh sudut bahunya
lembut.

"Aku gagal melindungi keluarga ini dengan


benar,"ucap Ronald kembali begitu bergetar. Ia
menelan ludah kasar, lantas, menaikkan pandangan
ke arah Klaus dan Ariana- istrinya, bergantian.
"I'm sorry!"bisik nya kembali sembari menahan
napas. Hingga ia mendengar suara derap langkah
yang kuat perlahan mendekat.

"Mr. Ronald Morrone, anda harus ikut bersama kami


ke kantor polisi,"ucap seseorang begitu tegas,
membuat Klaus langsung mengepal tangannya begitu
kuat. Ia ketakutan, seakan dunia lainnya runtuh
seketika.

"Bersama anakmu, Klaus Vierr Morrone!"decak


seorang lainnya menambah daftar yang terdengar
begitu menuntut.

"Please, jangan bawa suami dan anakku, mereka-"

"Mrs, jangan menghalangi tugas kami, begitu banyak


bukti dan saksi yang mengarah pada suami dan
anakmu."

Tap!
Seketika, Ronald Morrone mengangkat tubuhnya,
memutar pandangan dan langsung menatap Allan
yang tidak bicara sedikitpun. "Kau puas?"tanyanya
datar, masih bersama suara yang terdengar bergetar.

"Harusnya aku yang menanyakan hal itu padamu, Mr.


Ronald."Allan mengulum lidahnya. Melirik ke arah
Klaus yang tampak bertingkah aneh. Ia merengkuh
tubuh Ariana layaknya anak kecil yang berusia empat
tahun.

"Baiklah, aku ingin melindungi keluargaku, I'm


sorry!"bisik Ronald pelan, ia menitikkan air mata,
melirik ke arah Ariana dan Klaus bergantian. Entah
berapa banyak luka yang ia berikan pada keduanya.
Tidak terhitung jumlahnya.

Ronald menghembuskan napas, lantas, menarik


sebuah senjata api dari dalam suit tebal yang
terpasang di tubuhnya.

Dorrr !!
Dorrr !!

Doorr!!

"Klaus!!!"

Mendadak, suara tembakan menggema di seluruh


ruangan, bersambut dengan teriakan kuat dari mulut
Allan. Ronald menembak tepat kepala istri dan
anaknya, seketika itu juga, polisi terpaksa
melepaskan amunisi pada Ronald hingga pria
tersebut tewas.

Brakk!!

Ketiganya ambruk bersamaan di lantai, darah


dimana-mana dan keadaan berubah mencekam. Allan
terdiam, memerhatikan para polisi berjalan
mendekat untuk memastikan semua tubuh yang
tampak kaku tersebut.

"Die,"tukas salah satu polisi tersebut setelah


memastikan semua keadaan ketiganya.
Allan menelan ludah, menekan telinganya mendadak
begitu kuat dan semua dunia seakan berputar gelap.

"Pakai ini, bunuh kucing itu, mereka tidak berguna.


Bunuh!"

Allan semakin merapatkan pegangannya, ia


mengingat sesuatu yang berhubungan dengan masa
lalu nya yang suram. "Baiklah, kalau kau tidak mau,
daddy akan memaksamu! Ambil ini, cepat!"

"Allan!!!!"

Mendadak, ia mendengar seseorang memanggil


namanya begitu emosional. Ia membuka mata,
mengedarkan pandangan ke seluruh tempat yang
kacau. Tangannya bergetar, berkeringat.

"Apa yang terjadi dengan mu?"tanya Louis heran.

"Urus mereka, aku mual!"Allan memutar tubuhnya


cepat, melangkah keluar dari dalam rumah tersebut,
lantas, memuntahkan isi perutnya hingga tuntas.
"Sial!"umpatnya kasar, memikirkan bagaimana
kondisi Klaus bersama ibunya yang tewas dalam
keadaan mengenaskan. Keadaan tubuh keduanya,
membuat ia benar-benar mual.

"Sir,"tegur seorang polisi membuat Allan langsung


mengalihkan perhatian.

"Kami akan mengadakan konferensi pers, untuk


kasus ini, di mulai dari kematian sahabat mu, Clyde."

Allan terdiam sejenak, menatap polisi berpangkat


tinggi itu datar lalu melirik ke dalam ruangan. Mereka
mulai memindahkan tubuh kaku keluarga Morrone.
Ia mengangguk, menghela napasnya sedikit lega,
walaupun semua berakhir sangat tidak baik.

"Aku menyesal dengan kejadian ini dan, aku berjanji


untuk menelusuri semuanya lebih dalam lagi."

"Yah! Aku harap, kalian bisa melaporkan semua


perkembangannya hingga tuntas,"ucap Allan sembari
membasahi bibirnya yang terasa dingin.
"Baik, sir."

Allan mengangguk pelan, memalingkan pandangan ke


arah lain hingga polisi tersebut melangkah menjauh
darinya.

"Aku tidak menyangka, Ronald mengambil jalan


ini,"tegur Louis sembari menyandarkan tubuh di sisi
tembok, menatap Allan tegas.

"Ini salahku, harusnya aku bisa lebih hati-hati,"keluh


Allan pelan.

"Jangan menyalahkan diri sendiri karena kejahatan


yang di lakukan orang lain. Kau juga harus
melindungi Emily,"sanggah Louis cepat membuat pria
tersebut mengangkat kepalanya cepat.

"Emily dan anakku,"gumam Allan pelan. Ia


mengedarkan pandangan di tengah kesibukan, lantas,
bergerak menjauh. Ia ingin pulang, menemui Emily
yang bisa membuatnya tenang dalam keadaan saat
ini. Semua tentang Klaus berakhir begitu saja.
___________________

"Apa yang sedang kau lakukan?"tegur Allan saat


memasuki ruang kamar.

"Owh! Aku sepertinya harus pergi,"ucap Catherine


sembari beranjak bangkit dari tempat tidur dan
langsung keluar dari ruangan tersebut.

"Kau sudah pulang?"Emily melempar senyuman,


mendengar suara pintu di tutup rapat dan, berjalan
mendekati pria itu.

"Emily, Klaus tewas!"ucap Allan mencoba


menyampaikan sesuatu yang langsung membuat
wanita tersebut membulatkan mata.

"Bagaimana bisa?"

"Daddy-nya sendiri yang melakukan hal tersebut. Ia


di tembak mati di depanku dan puluhan anggota
polisi,"Emily terdiam, memikirkan kengerian yang
baru saja ia dengar.
"Kau tidak apa-apa kan?"tanyanya pelan, menatap
sorot mata terang Allan.

"Kemari lah, aku belum tenang sebelum


memelukmu,"bisik Allan sembari meraih kuat tubuh
wanita tersebut, hingga dengan cepat Emily
mendekat. Membalas pelukan Allan begitu hangat.

"Mungkin, ini adalah hal paling terbaik yang di


berikan tuhan untuk kita,"Allan bergumam pelan,
mengusap helai rambut halus wanita tersebut
sembari merapatkan pelukannya. Emily mengangguk
paham, menaikkan pandangan ke atas untuk
mendapatkan sebuah kecupan yang ia nanti.

Chapter 46 : Good Afternoon

"Keluarga Morrone, terbukti melakukan penyekapan


terhadap wanita berumur 25tahun, Clarissa Amber,
bersama salah satu pria yang di duga informan dari
pengusaha besar Amerika serikat yang tidak ingin di
ungkap identitasnya, tidak hanya itu,
Ronald Morrone terlibat melakukan pemerkosaan
dengan total korban sekitar 80 orang wanita muda, ia
juga melakukan pegancaman, penyuapan dan
human trafficking hampir enam tahun lamanya—"

Emily menekan remote televisinya, mematikan benda


tersebut dan membuangnya asal. Ia mengeluh pelan,
bernapas begitu lega. Seandainya, Ronald Morrone
tidak melakukan hal senekat ini, maka di pastikan ia
bersama Klaus akan mendekam di penjara hingga
mati.

"Dimana Allan?"pikir Emily sembari merebahkan


tubuhnya di atas ranjang, menarik sebuah ponsel
yang ia letakkan di bawah bantal. Seketika itu juga,
jari lentik wanita tersebut bergerak, melakukan
panggilan cepat pada suaminya tersebut.

"Tidak di angkat!"Emily memajukan bibir,


mengedarkan pandangan ke tiap tempat lalu
menekan kembali ponselnya. Melakukan hal yang
sama berulang-ulang.

"Ah, sial!"umpatnya sarkas, lantas, melempar ponsel


tersebut ke arah pintu, namun, hal tersebut
berpapasan pada Allan yang baru saja memasuki
ruangan.

Brakk!!!

Headshot! Allan langsung mundur, merasa pusing


sesaat karena benturan ponsel yang begitu tepat.
"Allan!"sentak Emily sembari melangkah mendekati
pria tersebut.

"Apa yang kau lakukan,"erang pria tersebut pelan, ia


memegang keningnya, sungguh, rasanya berhasil
membuat Allan sesak akibat kesakitan.

"Aku tidak sengaja."Emily menarik tubuh pria itu


untuk segera masuk ke dalam kamar luas mereka.
"Kau melempar ponsel mu, Emily, bagaimana bisa
kau mengatakan tidak sengaja!"ucap Allan membuat
Emily menatapnya sejenak.

"Sekarang, aku tanya, kemana saja kau seharian hah?


Hingga tidak sempat mengangkat panggilan
teleponku?"balas Emily sarkas, nada suaranya naik
empat oktaf.

"Emily aku—"

"Jangan banyak alasan, sana! Tidur di luar saja


kau!"usir Emily mendorong nya mundur hingga
sampai ke bibir pintu.

Tap!!

Allan menahannya, menarik pinggul wanita itu sangat


kuat hingga jarak keduanya begitu dekat. "Allan,"usik
Emily malas. Ia mencoba memalingkan pandangan.

"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, keluar negeri."


"Kemana?"balas Emily langsung melebarkan
senyuman, menatapnya sekali lagi, lupa dengan apa
yang baru saja terjadi. Astaga! Emosionalnya, sangat
tidak terkontrol sejak hamil. Emily mendadak
menjadi wanita pencemburu.

"Kita ke Indonesia dulu, lantas, berputar ke Italia dan


terakhir resort sky puncak tertinggi di Pyrenees, lebih
tepatnya Cerler."

Seketika mata wanita itu membulat, ayolah, Cerler


impian nya sejak berusia empat tahun. Saat musim
semi, kota tersebut menjadi ajak bermain Sky yang
sangat indah. "Benarkah? Kau ingin mengajakku ke
sana?"

Allan tersenyum simpul, mengangguk pelan dan


merasakan lengan gadis itu memeluk lehernya erat.
"Lantas kenapa kita harus ke Indonesia dan Italia
dahulu?"

"Menunggu musim semi, honey. Lagipula, aku harus


memenuhi undangan Forbes tahun ini, tidak terlalu
penting, hanya saja aku harus memperluas
bisnis,"balas Allan singkat sembari mengusap sudut
wajah wanita tersebut.

"Okay, aku akan stalker habis-habisan Indonesia.


Bagaimana bentuknya? Kau pernah kesana?"tanya
Emily penasaran.

"Sudah beberapa kali dan, menurutku negara itu


sangat natural, kau akan suka,"seketika Emily
mengepal tangannya kuat. Tampak begitu penasaran.

"Aku akan berkemas, berapa banyak pakaian yang di


perlukan? Sabun, odol, sikat gigi dan handuk, akan ku
siapkan semua."

"Tidak perlu, Emily. Seperti kau pergi ke Positani


kemarin, Aku sudah membeli mansion di dua negara
tersebut. Maid akan menyiapkan semuanya
untukmu,"balas Allan membuat Emily ternganga.
Ayolah, ia lupa bahwa sekarang statusnya adalah
bagian dari keluarga Willard. Pria itu tidak akan
kehabisan uang hanya karena membeli mansion;
pikir Emily sejenak.

"Okay! Aku tidak sabar,"ucapnya semakin


bersemangat, semakin tersenyum lebar.

Allan menaikkan kedua tangannya, memegang kuat


kedua belah pipi gadis tersebut erat, lantas
menautkan ciuman yang begitu lembut.

Ceklek!

Suara pintu terbuka mendadak, membuat keduanya


langsung menoleh cepat dan langsung membulatkan
mata, walaupun status mereka resmi, tetap saja,
Emily malu jika seseorang memergokinya tengah
bermesraan bersama pria tersebut.

"Mom!"

"Allan, sorry, mommy... Ahh! Aku akan keluar!"Anne


memutar tubuhnya kembali, tampak salah tingkah
atas apa yang ia lihat barusan.
"Mom!"panggil Allan kuat, sedikit menjauhkan diri
dari Emily.

"Bersenang-senanglah, mommy menunggu kalian di


bawah!"pekik Anne cukup lantang, membuat
keduanya kembali bertatapan dan, terkekeh
bersamaan.

"Kau istirahat saja, aku akan


menemui mommy sendirian,"Allan mengecup bibir
merah wanita itu kembali, memeluknya beberapa
detik dan mendengar suara napas Emily yang
mengeluh pelan.

________________________

"Mommy senang, akhirnya rumah tangga mu tampak


membaik,"ucap Anne parau. Ia menelan ludah melirik
ke tiap ruangan.

"Yah! Aku pikir begitu,"balasnya asal.


"Mommy Emily datang ke New York hari ini, mereka
mengunjungi Catherine. Wanita itu tinggal di
penthouse Emily yang lama."

"Untuk apa dia datang?"tanya Allan malas.

"Entahlah, mungkin hanya untuk menemui Catherine


dan—"

"Good afternoon!"timpal seseorang dengan suara


yang sedikit kental, membuat ucapan Anne terhenti
mendadak. Mereka menoleh bersamaan, namun,
Allan tampak melempar tatapan tidak bersahabat.

"Aku datang kesini hanya untuk menemui Emily."

"Dia istirahat, istriku hamil!"balas Allan sarkas.

"Tapi aku—"

"Please, jangan mengusiknya, aku tidak ingin ia


mengalami komplikasi akibat pikiran yang
membuatnya stress!"terang Allan tanpa basa-basi. Ia
hanya tidak suka, mengingat bagaimana keluarga
Kate memperlakukan Emily buruk.

"Allan,"tegur Anne sembari melirik ke arah pintu


kamar, ingin memastikan menantu nya tersebut.

"Sorry mom, aku tidak bisa memberi izin. Emily


membutuhkan istirahat yang banyak."

"Baiklah, aku tidak akan memaksa, aku hanya ingin


meminta maaf padanya atas perlakuan buruk yang
pernah ia dapatkan."

"Diskriminasi!"jelas Allan tegas hingga Anne


memegang lengan pria itu kuat-kuat. Wanita tersebut
menunduk, Kate terdiam dan mengulum bibirnya
kuat-kuat.

"I'm sorry,"bisik nya pelan sembari menarik napas


sejenak, "Catherine benar, aku tidak akan pernah
mendapatkan kepuasan jika melakukan hal tersebut
pada Emily. Aku sama sekali tidak pernah
membelanya, apalagi menganggapnya. Aku adalah
ibu terburuk di dunia ini. I'm sorry!"

Allan diam, sama sekali tidak menunjukkan


kemurahan hatinya. Ia tegas! Emily harganya dan,
tidak boleh ada satu manusia pun lagi yang bisa
membuatnya terluka, menyentuhnya walau seujung
kuku. Tidak lagi!

"Terimakasih karena sudah menerima putriku untuk


yang kedua kalinya, aku harap, kau dan Emily akan
mendapatkan kebahagiaan masing-masing."sambung
wanita paruh baya tersebut pelan. Ia menelan ludah,
mengedarkan pandangannya bergantian lantas,
segera memutar tubuhnya untuk meninggalkan
mansion besar tersebut.

"Allan,"tegur Anne pelan, namun, pria itu hanya


menoleh sesaat dan malah melangkah kembali untuk
menuju kamar. Mungkin, Emily harusnya tahu, siapa
dirinya, ia tidak ingin menutupinya lebih jauh.
Lagipula, saat ini wanita itu masuk pada garis
keluarganya. Bukan dalam daftar Kate lagi. Hubungan
mereka berakhir.

Drrrtttt!!!

Allan berhenti melangkah saat merasakan ponselnya


mendadak bergetar di balik sakunya. Ia
memerhatikan benda itu sejenak dan lekas
menerimanya.

"Sir, berkas pembangunan real estate mu selesai,


izinnya di terima. Aku sudah mengirim salinan nya ke
email mu."

"Okay, aku akan meninjaunya kembali!"balas Allan


singkat, sembari menutup panggilan telpon tersebut
seketika. Baiklah, pria itu mulai ingin mengejar uang-
uangnya, mencoba memikirkan masa depan dengan
membangun peluang usaha lebih banyak dan
meyakinkan. Selama ini, bagi Allan itu tidak penting,
uang bekerja untuknya dan ia tidak ingin menguras
otak begitu kuat atas hal tersebut. Namun, anaknya
nanti perlu segalanya, Allan tidak ingin masa depan
anaknya rusak hanya karena
sikap overthingking yang sering menguasainya.

Chapter 47 : Indonesia

Emily bersandar pada sudut tubuh Allan, memegang


lengan pria itu cukup kuat lantas bernapas lega. Ia
bahkan membuang napas nya lewat mulut 'berkali-
kali'. Beberapa detik kemudian, keduanya mulai
melangkah, menuruni tangga sebuah private jets dan
langsung di sambut cepat sebuah mobil berkelas,
'Rolls-Royce Sweptail' berwarna putih, senada
dengan private jets milik Allan. Emily, menjejakkan
kaki untuk pertama kalinya di Bali, Indonesia.

"Please, sir,"ucap seseorang sembari membukakan


pintu mobil sembari tersenyum ramah. Sementara
Frank, empat bodyguard, serta team medis berada di
mobil lainnya. Tampaknya, Allan mulai serius dengan
kondisi Emily yang tengah hamil muda. Ia
memikirkan hal riskan yang mungkin bisa saja
terjadi.

"Kau senang, honey?"tanya Allan meremas lembut


jemari Emily yang hanya membalas dengan anggukan
kecil.

"Kita ke Uluwatu kan?"tanyanya sembari melebarkan


senyuman.

"Yah! Sesuai yang kau inginkan!"Allan mengeluh


pelan, mengusap sedikit rambut wanita itu pelan.
Harusnya, mereka mengambil penginapan di area
Jimbran, karena lokasi meeting Allan berada di salah
satu resort berbintang di kota tersebut. Namun, Emily
hanya ingin BVLGARI resort adalah satu-satunya
tempat untuk ia menginap. Akhirnya, Allan terpaksa
memindahkan lokasi meeting mereka
ke resort tersebut.
"Kita masih jauh, kemari lah,"Allan meraih tubuh
wanita tersebut, merapatkannya dekat hingga
berhasil bersandar kembali.

___________________

"God! Beautiful!" Emily tersenyum puas, melangkah


hingga sudut ruangan seluas 3229.17 feet, Allan
memilih tipe kamar Vila Cliff seharga 20juta rupiah
permalam.

"Kita menginap di sini satu minggu kan?"tanya Emily


kembali, melebarkan senyumannya. Ia melingkarkan
kedua tangan di leher Allan begitu kuat. Menatap
lekat hingga pria itu mengangguk dan mengecup
sudut bibirnya.

"Aku harus rapat, kau bisa tinggal di sini sementara


kan? Frank dan yang lainnya di luar, katakan apapun
yang kau inginkan pada mereka!"ucap Allan
terdengar tergesa-gesa.

"Hm— baiklah, aku akan menunggumu di sini,"balas


Emily santai. Ia masih terpana, tempat itu luar biasa
indah dengan balutan gaya rustic kontemporer.
Nyaman.

"Okay, persiapkan diri, aku ingin memakan mu


setelah ini,"ucap Allan penuh ancaman hingga Emily
langsung tersenyum kecil dengan wajah merah.

"Aku ingin di atas,"celetuknya pelan.

"Aku jadi tidak sabar karena mu, aku harus rapat.


Mereka sudah menungguku tiga puluh menit,"Allan
melepas pelukannya terpaksa, menatap Emily yang
melempar senyuman. Wajah wanita itu cantik,
natural tanpa polesan sedikitpun.

"Emily berbalik lah, jangan buat aku terpaksa


meninggalkan mu!"tandasnya kembali, sembari
memasukkan kedua tangan ke dalam saku jeans.
Menahan diri.

"Kenapa aku harus berbalik. Sana cepat pergi!"Emily


mendorong Allan hingga sampai ke bibir pintu,
membukanya dan meloloskan tubuh pria itu hingga
keluar dari ruangan.

"Kiss me!"Allan menahan pinggul Emily, mendekatkan


kembali tanpa melepaskan pandangannya.

"Pergi sana cepat! Kau terlambat, Allan,"tolak Emily,


hingga kedua nya tertawa lepas.

"Okay,"Allan memeluknya sekali lagi, tetap


mengambil sebuah cuma sebelum benar-benar
meninggalkan Emily.

___________________

"Sorry, I'm late!"tukas Allan saat sampai di


ruangan meeting yang sudah di siapkan pihak hotel.
Ia mengulum bibir, menatap satu-persatu
wajah oriental yang ada di depannya saat ini. Mereka
tampak memaklumi, Allan selalu senang datang ke
Indonesia. Mereka memiliki sikap khas,
menyenangkan, ramah dan unik.

"Kita mulai saja rapatnya, istri tuan Allan tidak bisa di


tinggal lama,"

"Ah— dia sedang sensitif, sorry!"celetuk Allan


kembali tampak tidak sabar, sungguh sikapnya
berhasil membuat orang-orang yang ada di depannya
tertawa, penuh godaan.

"Yah! Kami tahu, wanita hamil sensitif,"balas seorang


pria tampan cukup ekspresif.

"Banyak permintaan!"celetuk pria lainnya, hingga


suasana meja begitu bernuansa. Allan tertawa, tidak
ingin melewatkan semua bahan tersebut.

"Aku terlalu sering di lempar, ponsel, buku, lampu, ah


— tidak terhitung!"balas Allan santai.
"Wajar, kening mu terlihat terluka, sir."

"Ini tadi malam. Baiklah, kita harus segera


menyelesaikan ini,"Allan membuka lembar
proyeknya, benda itu terkait pembangunan resort
bersama pengusaha sukses Italia. Akhir-akhir ini,
mereka kerap berhubungan singkat, dan
memutuskan untuk membangun usaha yang lebih
luas lagi.

Sebenarnya, Allan tidak harus datang ke Indonesia, ia


bisa mengirim siapapun untuk datang. Namun,
tujuannya bisa di kaitkan dengan Emily. Ia ingin
memperbaiki hubungan lebih erat dan intens.
Menciptakan satu pengalaman baru untuk di ingat
wanita itu. Jauh lebih baik dari Positano yang
menyebabkan perpisahan. Ah— berhenti membahas
hal tersebut.

__________________

Emily meletakan ujung kakinya ke dalam kolam,


menuruni anak tangga hingga merasakan dingin
mulai menerpa kulitnya. Ia bosan, hampir dua jam
menunggu Allan dan mungkin dengan berendam di
dasar kolam akan membuatnya nyaman.

"Aku akan memberinya hukuman jika dia


kembali,"pikir Emily mengerang marah. Sementara,
dirinya semakin aktif bergerak, merasa cukup
nyaman membenamkan diri di dalam air hingga
sampai ke lehernya.

Namun, mendadak kaki nya kram. Ia mengeluh sakit,


tidak kuasa menopang tubuh. "Help,"Emily berteriak
mencoba mencari seseorang yang mungkin bisa
membantunya keluar dari kolam yang cukup dalam.
Emily memegang kakinya, sementara napas yang ia
punya mulai tipis. Wanita tersebut terpeleset, jatuh
hingga masuk ke area yang lebih dalam. Jamin, ia
tidak akan bisa menaikkan tubuhnya ke atas.

"Emily!"mendadak suara teriakan terdengar kuat,


menggema di ruangan besar tersebut. Allan
menemukan wanita itu tenggelam di dalamnya
karena suara air yang cukup sibuk
Byurrrr!!!

Pria tersebut melempar dirinya ke dalam air,


memasuki private pool tersebut tanpa berpikir. Ia
mengedarkan pandangan dan berenang cepat untuk
menangkap tubuh wanita itu dan menariknya
seketika.

"Emily, please!"Allan kesulitan, tubuh gadis itu


melemah di dalam air, hingga dengan kuat pria itu
memeluknya erat, mengangkat dan menahannya kuat
hingga berhasil bergerak ke pinggir kolam.

"Emily!"panggilnya tegas sembari menekan dada


wanita itu dengan kedua tangan. Memegang pipinya
kuat, ia pingsan, mungkin kelelahan bergerak di
dalam kolam sialan tersebut.

"Shit!"pria itu mengumpat takut, mencoba


menyadarkan Emily. Sungguh, semua yang ada di
pikirannya seakan sirna, penuh dengan
kekhawatiran.
Hingga pada detik kemudian, pria itu menekan
hidung Emily, membuka mulutnya dan memberikan
napas agar ia bertahan. Allan melakukan itu tiga kali,
hingga akhirnya Emily terbatuk-batuk dan membuka
matanya lemah, air dalam perutnya keluar seketika.

"Emily,"lagi, pria itu mencoba menyadarkan. Ia


mengangkat tubuh wanita tersebut ke sisi ranjang
dan meletakkannya cepat, lalu memanggil dokter
yang sengaja ia bayar untuk mengurangi risiko
seperti ini.

__________________________

"Bagaimana?"tanya Allan datar saat dokter wanita


tersebut baru saja selesai memeriksanya.

"Tidak perlu khawatir, tidak terjadi apapun pada


istrimu, nona Emily hanya syok!"jelas dokter bernama
Rivena Benzon tersebut sembari melirik ke arah
Emily yang tengah mengulum bibirnya yang pucat.

"Kau yakin?"
"Allan aku—"

"Diam, aku tidak tanya kau!"celetuk pria itu tegas,


tanpa ingin mendengar sepatah katapun dari Emily.
Wanita itu menutup mulutnya, memutar tubuhnya ke
samping. Dokter Rivena sudah membantu Emily
mengganti pakaian basahnya sejak tadi.

"Aku yakin sir,"terang dokter tersebut pelan.


Menyentuh selimut tebal Emily dan menariknya lebih
atas.

Allan mengangguk, membuang napasnya lega. "Aku


keluar dulu,"ucap Rivena datar sembari melewati
pria itu cepat, setelah membereskan beberapa
alatnya.

"Emily, bagaimana bisa kau melakukan ini


padaku?"tanya Allan dengan napasnya yang terengah.
Ia memikirkan kemungkinan lainnya.

"Kau pikir aku sengaja melakukan ini?"balas Emily


parau, ia memalingkan wajah, menatap pria itu tegas.
"Kolam itu memiliki batas, kau tidak seharusnya
berada—"

"Harusnya kau tidak menyalahkan ku, okay, terserah


kau saja!"Emily kembali memutar tubuhnya, malas
bertengkar karena kekhawatiran pria tersebut.

Allan mengusap wajahnya, memutar haluan tubuh


untuk mengganti pakaian yang nyaris kering di
tubuhnya. Emily melirik, lantas menarik sebuah
bantal untuk menutupi wajahnya.

"Harusnya dia membujuk ku,"pikir Emily sembari


mengepal tangan begitu kuat dan, menutup rapat
mata amber nya.

Chapter 48 : Front Floor Villa


Emily baru saja keluar dari kamar mandi, ia tidak
bicara sepatah katapun sejak kejadian semalam. Allan
di abaikan. Wanita itu melangkah, melewati suami
nya santai, tidak menoleh sedikitpun.

"Emily!"tegur Allan datar. Namun, wanita tersebut


diam, melebarkan kaki nya hingga menuju front pool
villa. Melipat kedua tangan sembari mengedarkan
pandangan. Ia mengumpat, menatap kolam sialan
yang membuatnya nyaris tenggelam tampak tenang.

"Kenapa kau tidak bicara denganku


semalaman?"tanya Allan, ia memeluk Emily dari
belakang dan meletakkan dagu nya di bahu kanan
wanita tersebut.

Tap!!

Emily menepis, ia memutar tubuh, melangkah


menjauhi pria tersebut lantas berdiri di sisi pembatas
'rustic' dan kembali melipat tangan.
"Baiklah,"Allan memutar pandangan, mengeluh
sejenak dan melangkah menjauh.

"Sialan, kau tidak memujuk ku sama sekali,


Hah?"teriak Emily sembari melengking, ia
menghentakkan satu kakinya, menatap begitu tegas
ke arah Allan yang langsung menaikkan satu alisnya.

"Ah kau akhirnya bicara?"balas Allan membuat


wanita itu mengulum bibir. Pria itu melempar
senyuman, berjalan mendekat.

"Kemari lah!"

Kedua nya saling mendekat, Emily membuka kedua


tangannya sedikit hingga mendapatkan tubuh pria
itu. Ia memeluknya erat, meletakkan kepala di dada
bidang Allan.

"Kau lucu sekali, hm!"tukas pria itu membalas


pelukan Emily, lebih erat.
"Aku lapar!"sergah Emily membuat Allan sedikit
menariknya, melonggarkan pelukan mereka dan
menatap wanita itu.

"Ayo, kita cari makan di luar, sekalian melihat-lihat


kota,"tawar Allan membuat Emily langsung
mengangguk setuju. Ia melepaskan diri, melangkah
masuk ke dalam ruang tidur dan mengganti
pakaiannya, lebih santai.

____________________

"Allan, bagaimana kalau kita pindah ke Indonesia


saja?"tanya Emily sembari mengunyah desert nya
pelan.

"Tidak semudah itu, honey!"jelas Allan ikut


memasukkan potongan buah segar ke dalam
mulutnya. Ia mengedarkan pandangan, menatap
restauran mewah pinggir pantai yang ada di daerah
Jimbaran.

"Ah— aku akan sangat senang jika bisa tinggal di sini,


jauh berbeda dengan New York yang padat, jauh dari
pantai dan membosankan,"keluh Emily sembari
meletakkan kepalanya di sisi meja.

"Kita bisa sering datang ke sini jika kau mau, tapi


untuk menetap itu sulit, kantor pusat perusahaan ku
di New York dan, memakan waktu untuk
memindahkannya,"jelas Allan mengusap lembut
rambut wanita itu.

"Yah— aku hanya berharap demikian. Sebenarnya


apa yang kau bangun di sini? Aku melihat berita mu
di beberapa majalah harian New York."

"Hotel skala internasional, 'Bosco Verticale' akan di


perluas setelah mendapatkan keuntungan dari
banyak negara,"Allan tersenyum tipis, melihat Emily
mengangguk. Baiklah, ia cukup mengerti dengan
penjelasan Allan, walaupun tidak penting untuknya
tahu lebih banyak.

"Habiskan makanan mu, kita harus kembali ke hotel,


ini sudah sangat sore!"

"Hm— aku kenyang, mual!"Emily memegang


perutnya, ia mengeluh dan memijat kening yang
terasa sedikit pusing. Wajahnya tampak berisi, akhir-
akhir ini, selera makannya bertambah dan mual nya
berkurang, berkat bantuan obat khusus dari dokter
ahli.

"Okay,"Allan mengangkat tangan, meminta seseorang


pelayan datang untuk meminta bill. Seketika itu juga,
bodyguard nya berdiri dari masing-masing tempat,
mereka semua lebih dulu selesai makan dan
mendekati Allan. Cukup tahu tugas utama mereka.

____________________

Emily berdiri di sisi shower, merasakan


tubuh nude nya terpapar derasnya air. Ia menghirup
aroma 'lavender' di ruangan tersebut, menambah
rasa nyaman yang menusuk hidung mancung nya.

Cup!!

Wanita itu mendongak, merasakan Allan mengecup


lehernya, memeluk erat tubuh telanjang nya dari
belakang. Tuhan, ia merindukan sentuhan pria itu,
sebegitu kah ia mendambakan sentuhan Allan di
tubuhnya.

"Emily,"tegur Allan lembut, tanpa melepaskan diri,


terus menjelajahi wanita itu dengan sentuhannya.

Emily menganga, merasa begitu nikmat. Sesekali, ia


mengulum bibir, mengerang lembut seakan
menggoda dan berharap sentuhan itu bisa lebih
dalam lagi.

Allan memutar tubuh wanita itu, menghadapnya dan


mematikan air shower yang terasa hangat, ia tidak
melepaskan sedetikpun pandangannya dari istri nya
tersebut. Anggap saja, sekarang, ia sangat jatuh, jauh
kedalam pelukan Emily. Ia ingin melindunginya,
menguasai, menjamah dan membuat wanita itu
hanya miliknya. Tidak ada hal lain yang bisa ia
harapkan dari pada hal itu. Tidak lainnya.

Allan meletakkan bibirnya di puncak dada wanita itu,


menjamahnya dengan bagian kasar yang ada di dalam
mulutnya hingga Emily meremas kuat rambutnya. Ia
menggigit bibir begitu kuat, tidak sanggup menahan
diri yang begitu terbuai. Rasanya dingin, namun
memuncak.

Emily mengerang lambat hingga merasakan Allan


mengangkat tubuhnya, memeluknya tanpa
melepaskan pautan sedikitpun. Keduanya keluar
dari bathroom, Emily membiarkan pria itu
membawanya ke atas ranjang. Membuat tempat itu
kembali basah.

"Allan, please!"bisik wanita itu pelan. Ia melebarkan


diri, mempersilahkan agar pria tersebut segera
menjamahnya.
Allan menelan ludah, ia meremas kedua puncak dada
wanita itu, menciumnya dengan lumatan yang
semakin dalam, hingga merasakan bibir Emily
mendingin seketika.

Tap!!

Allan menekan kedua tangan Emily ke ranjang,


menatap wanita itu bernapas dengan terengah-
engah. Ia memohon dengan pandangan lemah nya
tersebut. Pria itu tidak ingin buru-buru, ia menyentuh
seluruh tubuh wanita itu dengan punggung
tangannya, mengibaskan rasa hangat seakan
membelenggu nya.

"Allan...."pinta Emily kembali, hingga merasakan bibir


nya kembali di lumat pelan. Pria itu diam-diam
bersiap, merasakan dirinya menguat. Sial— ia mulai
tidak sabar.

Mendadak, Allan menurunkan diri, menarik tubuh


Emily ke ujung ranjang nyaris jatuh dan segera
menyatukan diri. Emily mengangkat kepala,
merasakan penuh. Ia meremas apapun, tidak kuat
menahan diri saat pria itu bergerak.

Ck. Emily berdecak sebal, merasa tidak cukup oksigen


saat tatapan mata Allan begitu tajam di sekitarnya.
Tuhan, please, sorot pria itu mengantikan kekuasaan
penuh. Emily memilih menutup mata, melemaskan
diri pasrah.

Allan begitu hati-hati, meski 'manuver' gerakannya


tidak menyakiti Emily sedikitpun. Lembut dengan
sosok devil yang terkekang di tubuhnya, rambut
basah nya bergelantungan sexy, erangan pria itu
menegas, bersambut bersama Emily yang mendadak
menaikkan diri, ia mendapatkan kebutuhannya lebih
dulu, bergetar hebat. Syukurlah, Allan tidak sampai di
situ, Emily masih ingin, mendapatkan perasaan
nikmatnya berkali-kali dan, tentu saja. Allan akan
memberikannya sebanyak mungkin, bersedia hingga
benar-benar puas.

_____________________
Emily terkekeh pelan, merasakan Allan masih
memeluknya erat. Mereka berpindah, masuk ke
dalam kolam bersamaan. Ia tidak takut, pria yang
membuatnya aman ada di dekatnya, memegang erat.

Sejak tadi, mereka bersenda gurau, sesekali saling


mengecup dan terus melepaskan diri. Entah apa yang
tengah di bahas keduanya.

"Bagaimana jika anakku jelek sepeti mu?"tanya Allan


membuat wajah wanita itu tegang.

"Aku cantik,"balasnya malu. Ia tersenyum dan


mengulum bibirnya sejenak.

"Cantik? Kau cantik?"tanya Allan seakan tidak setuju.


Emily memeluknya, tidak ingin di bandingkan dengan
siapapun wanita yang ada di dunia ini.

"Okay, baiklah, kau cantik, istri ku memang harus


cantik kan?"Allan mengecup puncak kepala Emily,
merasa mulai dingin di dalam air tersebut.
"Hm— kau harus ingat, aku tidak segan mematahkan
milikmu jika kau melirik wanita lain."

"Melirik tidak ada salahnya Emily, ayolah!"

"Allan!!!"

Kedua nya kembali melanjutkan perbincangan, Allan


mendominasi, membuat Emily cemburu. Ia bersedia
menerima cacian, ancaman bahkan pukulan yang di
arahkan Emily. It's okay, semua milik wanita tersebut.
Hanya untuk Emily.

Chapter 49 : I hate You, Fucker!

Dua minggu berlalu begitu cepat, dan sekarang


mereka sudah berpindah tempat ke Aramon Cerler,
Spanyol, setelah melakukan perjamuan singkat di
Rome untuk memenuhi undangan 'Forbes' sekaligus
membahas pembangunan terkait hotel bernuansa
hutan 'vertikal' yang ramah lingkungan dengan
pengusaha ternama, sungguh, ini merupakan proyek
besar dan terobosan baru, melibatkan beberapa
negara dan artis Internasional sebagai bahan
promosi.

Allan tidak ingin berlama-lama di Rome, jika bukan


karena sahabat lamanya itu, yakin, ia tidak akan
menginjakkan kakinya lagi ke Italia bagian manapun.

Seperti biasa, saat ini keduanya tengah saling


menguasai. Kehamilan Emily sedikit menguntungkan
Allan di sisi kepuasan, hasrat dan gairah Emily tengah
memuncak kuat. Hingga keduanya cukup sering
melakukan hubungan intim. Jangan khawatir, mereka
sudah berkonsultasi khusus dengan dokter ahli dan
Emily aman untuk melakukan hubungan tersebut.

Emily mendiamkan diri, mengulum bibirnya kuat,


menikmati desakan pelan yang ada di dalamnya.
Entah berapa kali ia menggapai puncak, yang jelas ia
ingin lebih hingga letih. Allan menciumnya, menatap
tajam mata amber milik istrinya itu, indah dan
menjadi candu tersendiri untuk dirinya.

"Aku akan selesaikan,"Allan berbisik, menaikkan diri


nya sedikit, lantas memegang kedua belah pinggul
Emily keras, hingga beberapa detik kemudian, ia
terpaksa melepaskan diri, menarik tubuhnya sedikit
menjauh dari Emily yang langsung meremas sudut
seprai, ia memiringkan tubuh merasa bergetar
hebat. Godness, inikah yang nama nya ketagihan?
Entahlah.

"Ah!"Allan merebahkan diri di sisi ranjang, menatap


langit-langit kamar dan mengatur napasnya sebaik
mungkin.

Emily bergerak, meletakkan kepalanya di atas dada


Allan. Pria itu langsung memeluk dan mengecup
puncak kepalanya lembut, penuh kasih sayang. "I love
you, honey,"bisik nya pelan tidak henti melepaskan
ciuman.
"I love you too, daddy!"celetuk Emily membuat Allan
langsung terkekeh pelan.

"Syukurlah,"ucap Allan tidak jelas, hingga Emily


langsung mendongak dan menatapnya tegas.

"Syukurlah?"

"Ya! Aku tidak sabar menunggu waktu itu tiba,


seseorang akan memanggilku daddy dan—"Allan
menelan ludah, merasa begitu bahagia hingga tidak
sanggup untuk mengungkapkan perasaannya saat ini.

"Aku tidak pernah menyangka, waktu berlalu begitu


cepat dan, jika nanti aku memiliki anak, maka aku
tidak akan mengulangi kesalahan daddy ku,"jelas
Allan pelan, membuat Emily memilih diam dan
memeluknya erat.

"Aku akan memberikan banyak kebaikan untuknya,


menjadi seorang daddy yang benar-benar di
harapkan nya, sedikitpun, tidak ada yang bisa
menyentuhnya."
"Hm! Aku juga, aku akan menjaga nya baik dalam
keadaan apapun."

"Yes! Kita bersama-sama, I promise,"Allan memutar


tubuhnya sedikit, menyentuh dagu wanita itu dan
menaikkan ke atas, lantas, mencium bibir Emily
lembut.

"Aku menyukai ciuman mu, Allan!"puji Emily sembari


melebarkan senyuman.

"Akan ku berikan sebanyak mungkin,"Allan


mengedarkan pandangan sejenak, menatap lekat
wajah Emily dan kembali mencium nya rapat-rapat.

________________________

Resort Ski, Cerler— Spanyol.


"Allan, foto aku dan ubah semua profil media sosial
mu dengan fotoku!"pinta Emily membuat Allan
sedikit bergenyit, menaikkan satu alis.

"Fotomu?"perjelas pria tersebut. Emily mengangguk,


melipat kedua tangan yang terbalut jaket tebal
berwarna kuning.

"Kenapa? Kau tidak suka? Malu denganku?"cela Emily


bertubi-tubi hingga Allan langsung terkekeh pelan.

"Ayolah, okay, bergayalah!"ucap pria itu sembari


meraih ponsel dari sakunya dan
menghidupkan camera. Allan mengulum bibir
menahan senyuman kecilnya.

"Aku ingin foto bersama denganmu!"ucap Emily


mendekat dan memeluk pria itu erat. Allan hanya
mengangguk, menuruti semua permintaan wanita itu
sebisanya.

"Aku mau lihat, hasilnya!"Emily merampas ponsel


Allan dan melihat semua foto-foto tersebut.
"Ah! Kenapa wajahku seperti ini? Ulang!"

"Emily aku ingin—"

"Ulang hingga dapat foto yang bagus, mataku tertutup


di foto ini, Allan. Kau pasti malu jika menggunakan
foto ini!"rengek nya manja, membuat pria itu luluh
seketika. Ia mengulang semua moment, mengambil
puluhan foto hingga orang-orang yang ada di
sekitarnya sedikit berbisik.

"Lihat!"Emily kembali meraih ponsel pria itu dan


meneliti semua foto-fotonya. Namun, mendadak
benda itu bergetar dan menampilkan satu pesan
masuk yang membuat Emily penasaran.

Ia melirik ke arah pria tersebut, Allan mulai


mempersiapkan alat, ingin meluncur di atas salju.

Tap!!

Emily mencoba bersikap lancang, ia menekan pesan


tanpa nama tersebut dan melihat isinya seksama.
'Ini nomor baruku, simpan! Kabari aku jika kita bisa
bertemu. Clarissa'

Emily menelan ludah, merasa sesak secara


mendadak. Clarissa, mantan kekasih pria itu mencoba
mendekati Allan kembali. Bagaimana bisa dan kenapa
dia harus menemui suami nya.

"Emily,"tegur Allan saat gadis itu 'tercengung' dengan


ekspresi datar. Wanita itu mengangkat pandangan,
lantas, membuang ponsel pria itu begitu saja.

"Emily!"teriaknya sembari memungut kembali ponsel


tersebut untuk mencari tahu, sementara wanita itu
beranjak menjauh, ia mengusap air mata, merasa
takut dan seakan kisah lamanya terulang.

"Fuck!"maki Allan saat melihat pesan masuk yang di


buka Emily tersebut. Pria itu berlari cepat, mencoba
menjelaskan semuanya.

"Emily, kau salah paham! Kau—"


"Diam! Aku tidak ingin dengar penjelasan mu!"balas
Emily sarkas, sembari merasakan tangan Allan
menggapai lengannya kuat.

"Emily dengarkan aku, Clarissa—"

"Dia mantan kekasih mu, Allan. Kau tahu rasanya


bagaimana aku dulu, karena nya. Sungguh, aku tidak
peduli sedikitpun dengan kisahnya, anggap itu
balasan atau karma yang di kirim Tuhan
untuknya!"Emily mengepal tangan, menatap Allan
geram.

"Apapun yang kau baca, itu tidak terlihat seperti yang


kau pikirkan. Aku sudah mengakhiri hubungan ku
sangat lama, dia menghubungi ku untuk—"

"Minta maaf? Cerita lama! Hanya ada di sinetron


Indonesia yang aku tonton kemarin!"balas Emily
sembari menelan ludah. Ia menitikkan air mata,
sungguh kepalanya penuh dengan nama Clarissa dan
semua terdengar memuakkan.
"Tapi jangan libatkan aku, selama ini aku sudah
berusaha mengabaikannya!"jelas Allan.

"Mengabaikan nya? Isi pesan tersebut tidak seperti


yang kau katakan, Allan. Kenapa kau tidak
mengatakan padaku jika jalang itu menghubungi mu?
Hah?"

"Emily kau keterlaluan, aku tidak suka cara


bicaramu!"

"Cara bicara ku atau kau masih tidak rela jika aku


membenci wanita itu?"

Allan diam, memicingkan mata begitu tajam. Entah


apa yang ada di pikiran Emily saat ini, sungguh, ia
baru dua kali mendapatkan pesan dari wanita
tersebut setelah ia keluar dari rumah sakit, faktanya,
Allan mem-block semua nomor wanita itu. Ia hanya
tidak ingin membuat Emily berpikir yang bukan-
bukan seperti ini.
"Emily, believe me!Aku tidak berniat
menyembunyikan apapun di belakangmu, I swear!"

"No, I hate you. Fucker!"umpat Emily sembari


menarik lengannya dan memutar tubuh untuk
menjauhi pria tersebut secepat kilat.

"Frank aku mau pulang ke mansion!"ucap Emily datar


saat melewati pria tersebut. Ia melirik ke arah Allan,
menunggu persetujuan.

"Frank! Jika kau tidak mau mengantar, maka aku dan


anakku akan jalan kaki,"ancam Emily sembari melirik
ke arah Allan. Pria itu mengepal tangan, memalingkan
pandangannya sejenak dan terpaksa mengangguk,
memberi perintah pada bodyguard kepercayaan nya
tersebut.

"Sialan,"gumam Allan sarkas sembari meremas


ponselnya begitu kuat, menatap Emily melangkah
jauh hingga hilang dari pandangannya perlahan.

Chapter 50 : Trust me!


Emily berbaring di sisi ranjang, satu sudut ruangan
yang tampak jauh. Ia tidak menangis sedikitpun,
merasa benar atas tindakannya terhadap Allan
barusan. "Apa aku terlalu bodoh, karena akhirnya
kembali bersama, Allan?"pikir Emily datar, ia
menutup mata. Membayangkan semua kisah masa
lalu, Tuhan, sungguh sangat menyakitkan, begitu
membekas untuk di ingat.

"Harusnya, aku bisa lari sejauh-jauhnya! Apakah


akhirnya akan sad ending?"Emily menelan ludah,
merasa begitu takut. Ia seakan mengulang kesalahan
yang sama.

"Harusnya, semua lebih baik, Kan?"wanita itu


menggigit bibir cukup keras, merasa dadanya cukup
sesak. Kecewa dalam satu perasaan yang sangat jauh.
Kenapa, harus Clarissa? Itu salahnya. Emily takut,
mengingkari janji suci untuk kedua kalinya di
hadapan Tuhan. Please Jangan.
"Emily!"panggil Allan membuat lamunan wanita itu
buyar seketika. Ia mengeluh, lantas, merapatkan
matanya lebih kuat.

"Aku tahu, kau belum tidur. Aku ingin bicara. Please,


semua bukan seperti yang kau pikirkan."

Emily diam, tidak bergerak sedikitpun. Ia terlalu


malas untuk mendengar semuanya. Letih dan merasa
di bohongi.

"Emily, kau menyakitiku,"ucap Allan parau, membuat


Emily membuka matanya. Ia memutar haluan tubuh
dan membalas tatapan Allan.

"Aku?"tanyanya.

"Emily aku menc—"

"Apa kau lupa apa yang pernah kita lewati, Allan.


Belum puas atas apa yang pernah kita lewati?"Emily
beranjak bangkit. Mencoba berdiri lebih tegap
dengan tangan terkepal.
"Bukan itu maksudku, tapi—"

"Kau pernah melukai ku karenanya. Apa kau pikir ini


hanya aku hamil? Jadi aku sensitif, tolol, bodoh dan
terlalu mudah marah, Allan? Bukan, bukan seperti
itu."Emily mengusap sudut mata yang mulai berair. Ia
menahan napas lebih kuat. Berharap pria itu paham.

"Semua bisa kita bicarakan, Clarissa mungkin sudah


berubah!"

"Oh ya? Kau percaya? Setelah apa yang aku alami,


sungguh, tidak ada satupun orang yang bisa ku
percaya, termasuk kau!"tegasnya lantang.

"Emily, aku tidak berharap kau bisa memaafkan


Clarissa. Tapi, aku tidak ingin—"

"Tidak ingin memberitahu ku, dengan alasan 'takut


menyakitiku', lantas, kau bisa sesukanya
menghubungi mantan pacarmu itu dan akhirnya, kau
kembali melakukan hal yang sama? Mau sampai—"
"Emily, aku mencintai mu, aku tidak berpikir untuk
kembali bersama Clarissa atau apapun itu—"

"Lalu, kenapa kau merahasiakan semua—"

"Karena aku mencintai mu, Emily. Aku tidak ingin kau


terluka, aku tidak ingin kau mengingat apa yang
pernah aku lakukan. Please, biarkan aku yang
merasakan penyesalan itu, sebagai gantinya, aku
ingin membahagiakan mu dengan caraku."

"Allan aku—"

"Okay, aku akan mengganti nomorku."Allan meraih


ponselnya, melempar benda itu ke tembok hingga
hancur seketika.

"Sekarang, tidak ada siapapun lagi. Baik Clarissa atau


wanita manapun. Hanya kau, Emily. Aku
mencintaimu."

Emily terdiam, ia mengulum bibirnya kuat setelah


mendengar semua perkataan Allan yang terdengar
cukup cepat dan jelas. "Emily please, aku benar-benar
minta maaf padamu,"sambung Allan, ia melangkah
mendekati wanita itu dan menangkup kedua pipinya.
Menatap sangat lekat.

"Aku paham, kesalahanku fatal. Namun, selama satu


tahun, aku mempelajari banyak hal, Emily. Semuanya,
membuat ku paham, kehilangan mu adalah hal
tersulit yang pernah aku jalani. Jadi, tolong, jangan
lakukan itu lagi padaku,"suara Allan semakin parau,
ia menahan napasnya begitu kuat dan penuh
harapan.

"Aku takut, Allan. Aku takut."

"No! Kau tidak perlu takut. Percayalah, aku akan


menggenggam mu, kita akan memperbaiki
semuanya. Trust me!"

Emily diam, ia menunduk sejenak dan memeluk Allan


erat. Seketika itu juga, pria tersebut langsung
menghela napas. Ia lega bukan main. Bukan hanya
Emily, Allan juga sama. Ia ketakutan, jika tidak bisa
meyakinkan Emily dan wanita itu akan
meninggalkannya seperti dulu. Tidak! Allan, tidak
akan sanggup. Ia mulai menemukan kehidupan yang
lebih layak saat menemukan Emily.

___________________

Dua tahun kemudian....

Allan mengusap sudut lengan Emily, keduanya tengah


menatap dua anak kembar mereka yang sudah
tertidur lelap. 'Jasmin dan lucas' namanya, dan kedua
anak itu sama aktifnya. Tiap hari, berhasil menonton
kan sikap yang menggemaskan. Membuat Allan lupa
bagaimana dulu, ia tidak menyukai anak kecil.
Berbeda sekarang, kedua buah hati nya tersebut,
menjadi obat saat ia merasa begitu kacau hanya
karena pekerjaan.

"Bagaimana lukamu? Apa masih terasa?"tanya Allan


melirik ke arah Emily sejenak.
"Hm— sesekali jika aku mengangkat sesuatu yang
berat atau lelah karena mengurus mereka."

"Sudah aku katakan, jangan—"

"Tidak masalah Allan. Aku suka, mereka segalanya


bagiku, akan sangat rugi jika aku tidak bisa melihat
bagaimana perkembangan mereka setiap hari,"tukas
Emily sembari mengulum bibir. Ia tersenyum kecil
dan hal tersebut malah membuat Allan khawatir. Ia
tidak pernah menyangka, operasi 'caesar' yang di
jalani Emily akan berefek cukup lama. Sulit untuk di
jelaskan.

"Jangan memaksakan diri, aku tidak suka jika kau


sakit?"tegas Allan.

"Kenapa? Apa karena aku punya banyak permintaan


saat sedang sakit?"sindir Emily, memicingkan
matanya cukup tajam.

"Itu salah satu alasannya, tapi aku lebih tidak suka


kau sakit. Intinya, jangan sakit."
Emily terkekeh pelan, mencoba menahan diri agar
tidak memancing keributan. Ia tidak ingin mengusik
dua anaknya sedikitpun. "Dasar suami posessif!"ucap
Emily sembari mencubit pinggul Allan lembut.

"Biarkan, kau bisa cari yang lain jika tidak suka


dengan caraku!"

"Benarkah? Kau setuju jika aku mencari pria lain?


Banyak yang mengantri di belakang ku,"Emily
mengulum bibir, membuat Allan segera memutar
pandangan ke arahnya cukup kuat. Ia tampak tidak
senang sama sekali dengan ucapan Emily.

"Aku hanya becanda, kau menanggapinya serius, Kau


—"

Cupp!!

Emily mengecup bibir pria itu, Ia menaikkan satu


alisnya dan menatap pria itu sejenak. "Aku tidak
luluh,"ucap Allan.
"Kalau begitu, aku akan meluluhkan mu di
kamar,"tawar Emily sedikit tersirat. Allan tersenyum
dan melirik kembali ke arah kedua anaknya tersebut.

"Kau lama, tidak jadi!"Emily memutar tubuh,


mencoba menjauhi Allan yang langsung kelabakan
untuk menutup pintu kamar anaknya tersebut.

"Emily tunggu!"Allan berlari kecil, mencoba meraih


lengan wanita tersebut dan menghentikan
langkahnya.

"Allan!"

"Aku tidak mau tahu, aku menginginkan mu. Kau


yang menawariku, jadi, luluh kan aku!"ucap Allan
sembari menarik lengan wanita itu hingga menuju
kamar.

"Kau tidak berubah, kenapa selalu agresif.


Hah?"tanya Emily parau, di sela cuma dari Allan yang
terasa sangat menuntut.
"Karena aku mencintai mu, tidak ada alasan
lainnya."Allan menyatukan kedua kening mereka,
merasakan kini hatinya sudah begitu porak-poranda
oleh Emily, tidak ada satupun wanita lain yang bisa
membuatnya gila. Meski sudah begitu lama, tidak
pernah rasa cintanya berkurang sedikitpun. Ia
sanggup memohon pada Emily untuk mendapatkan
cintanya lebih banyak. Allan di hukum, untuk
menempatkan hatinya hanya untuk satu nama, 'Emily
Willard'.

Emily menatap Allan begitu lekat, memahami berapa


banyak hidupnya berubah. Meskipun, ia tidak punya
alasan kenapa keluarga Kate memperlakukannya
buruk. Emily paham, semua hanya masalah waktu.
Sudahlah, ia hanya ingin kehidupannya sekarang.
Bersama Allan dan kedua anaknya. Ia merasa cukup
lebih baik.

"Kau tahu, bagaimana aku bisa mencintai mu,


Allan?"tanya Emily sembari mengalungkan tangan di
leher pria tersebut.
"Karena kau tampan, setiap hari aku ingin melihat
mu, mencari perhatian mu, dan sejujurnya, aku
menjalin hubungan dengan Louis hanya untuk
membuat mu cemburu. Namun, nyatanya kau tidak
punya reaksi. Terlalu kaku. Akhirnya, aku mengakui
semuanya pada Louis, Ah— aku tidak harus
menyakitinya,"gumam Emily sembari mengulum
bibir.

"Aku juga, aku menyukai mu karena kau cantik, polos


dan tidak banyak bicara. Namun, terkutuk lah aku
karena mengabaikan mu hanya karena kebohongan
yang cukup besar. Aku salah, menjadikan mu
pelampiasan, namun, di sisi lain, aku menginginkan
mu, aku ingin mendapatkan mu seutuhnya. Memasuki
mu hingga kau letih dan— sejak saat itu, aku
melampiaskan semuanya dengan wanita lain,
konsekuensinya, aku akan menggunakan pengaman.
Aku tidak ingin terjebak oleh siapapun,"jelas Allan
membuat Emily menelan ludah.

"Jadi, apa rasanya setelah mendapatkan ku seperti


sekarang?"tanya Emily datar.
"Penyesalan. Aku menyesal karena membangun
semuanya dengan rasa sakit, namun, kau terlalu
nikmat untuk di lewatkan. Aku kecanduan oleh mu,
Emily. Ayolah, kita mulai,"ucap Allan sembari
mencium bibir wanita itu lebih bergairah. Namun,
aksinya di tahan sejenak, wanita itu memegang wajah
Allan dengan kedua tangannya.

"Aku mencintai mu lebih dari apapun Allan. Aku


selalu berharap kau menjadi yang terbaik, aku sudah
melupakan semua rasa sakit itu. Kau sudah
memberikan yang terbaik,"ucap Emily dengan mata
berkaca-kaca. Ia merasakan pria tersebut mengecup
punggung tangannya dan menatapnya tanpa henti.

"Masih belum Emily, semua hanyalah awal. Aku


belum bisa menjadi pria yang baik dan aku akan terus
memberikan mu banyak kebahagiaan. Bukan hanya
kau, tapi untuk Jasmin dan Lucas. Kalian sangat
berhak."
Emily terdiam, ia tersenyum kecil dan menghela
napasnya dalam, sementara Allan mengusap sudut
matanya. "I love you more, honey."

"I love you to, my cinnamon! I miss you."

Allan meletakkan salah satu tangannya di tengkuk


Emily, mengangkatnya sedikit dan menciumnya lama.
Memungutnya sebanyak mungkin dan memiliki
wanita itu kembali lebih jauh. Pria itu menyadari
banyak hal, bahwa semua manusia memiliki
kekurangan, ia memiliki kesalahan besar. Namun, di
sana ia belajar, menemukan sesuatu yang lebih
pantas. Memperoleh hasil layak atas usaha jerih
payahnya. Ia berjuang, mencoba menghapus seluruh
sisa rasa sakit yang sempat menganga. Kini, ia
mencoba memperbaiki, menjadi seseorang yang jauh
lebih baik. Melakukan terapi khusus untuk masalah
yang pernah ia hadapi di saat kecil, hingga semuanya
menjadi satu kekuatan baru. Ia mencintai anak-
anaknya. Naluri manusia bukan? Jika seseorang tidak
menyukai anak kecil, bukan berarti ia akan membenci
anaknya. Itu hanya masalah sikap, semua manusia
memiliki sisi yang berbeda.

Extra Part!

"Mommy! Daddy!"teriak Jasmin lantang, ia berdiri di


tengah 'Playground Indoor' berbentuk Castle,
mengejar Lucas yang lebih dulu meluncur turun
bersama anak lainnya.

"Yah! Hati-hati, Nak!"peringat Emily tanpa


melepaskan pengawasannya sedikitpun.

"Aku akan ke supermarket sebentar,"ucap Allan


membuat Emily sedikit menoleh dan mengangguk
sekali, lantas melihat pria itu bergeser menjauh.
"Jasmin, Lucas!"pekik Emily sembari menepuk kedua
tangannya, memberikan semangat extra pada kedua
anak itu. Ia ingin mengenalkan dunia, menjadikan
Jasmin dan Lucas sebagai manusia yang peka dengan
keadaan sekitar. Karena itulah, seminggu sekali,
keluarga Willard mengajak mereka bermain di luar
mansion, berbaur dengan banyak anak kecil lainnya
dari semua kalangan.

Emily melangkah, mengambil kursi yang ada di sisi


Playground, ia letih berdiri sejak tadi untuk
memerhatikan dua belahan jiwanya tersebut.
"Mommy tidak sabar, ingin melihat bagaimana kalian
besar nanti,"pikir Emily sembari mengeluh pelan. Ia
tersenyum tipis, lantas, mengedarkan pandangan
matanya ke seluruh tempat.

Tap!!

Emily mendadak bangkit dari tempatnya, ia


mendadak menuju Playground dengan perasaan
khawatir. "Jangan sentuh anakku, Clarissa!"tentang
Emily sarkas.
"Emily aku hanya—"

"Ayo kita pulang! Gina tolong aku!"pinta Emily pada


salah satu maid yang biasa ikut dengan keluarga
mereka kemanapun.

"Emily!"wanita itu berhenti melangkah, saat


merasakan Clarissa mencoba menyentuh tangannya
kuat. Ia menaikkan pandangan menatap wanita itu
tegas.

"Gina, bawa mereka ke mobil duluan!"tegas Emily


sembari menarik tangannya, tanpa melepaskan
sedikitpun pandangannya.

"Mom!"tegur Lucas sedikit tidak nyaman.

"Hanya sebentar sayang, tunggulah di


mobil, okay!"ucap Emily begitu lembut hingga kedua
anaknya itu mengangguk pelan. Ia memberi isyarat,
membuat Gina lebih kuat menarik Jasmin dan Lucas
untuk menjauh.
"Ada apa? Apa kau belum puas mengusik rumah
tanggaku, Clarissa?"tanya Emily tegas.

"Emily, aku tidak bermaksud—"

"Jika tidak bermaksud tolong menghilang lah! Aku


benar-benar membencimu!"tandas Emily sarkas. Ia
menatap jelas wajah Clarissa dengan perasaan muak.

"Aku hanya ingin mengembalikan benda ini,"ucap


Clarissa sembari mengeluarkan sebuah kalung yang
memiliki berlian biru dan permata putih pada ujung
lapisan bandul nya.

"Ini bukan milikku, kau—"

"Ini milikmu, Emily. Allan yang membelikan benda ini


untuk mu, dia menyimpan benda ini sangat lama,
hingga akhirnya memberikan benda ini padaku!"
"Jangan mengada-ada. Kau ingin aku memakai—"

"Ada namamu di balam bandul biru itu jika di


teliti,"sanggah Clarissa membuat wanita itu diam
sejenak, ia meraih kalung tersebut mencoba
memastikan.

"Hanya terpantul jika mengenai cahaya!"jelas Clarissa


membuat Emily meliriknya sejenak. Ia
mengembuskan napas, tatap fokus pada benda itu
sesaat.

"Emily, aku benar-benar minta maaf dengan mu!"usik


Clarissa membuat wanita tersebut mengangkat
pandangannya.

"Aku tahu, itu sulit, tapi setidaknya kau bisa berpura-


pura. Aku akan meninggalkan negara ini, aku ingin
hidup dengan tenang, Emily,"jelas Clarissa terdengar
bergetar. Ia menahan napas, merasa begitu sulit
untuk mengatakan semua isi hati yang sejujurnya
pada wanita tersebut.
"Sorry, sulit untukku tidak bisa percaya
denganmu,"jelas Emily pelan.

"No! Kau tidak perlu percaya. Sudah cukup untukku


bisa mengembalikan benda itu. Sejujurnya, aku belum
bisa melupakan Allan sedikitpun. Tapi kau tenang
saja, aku tidak akan mengusik mu, aku tidak akan
melakukan hal di luar batas lagi. Aku akan memahami
bahwa perasaaan ku tidak bisa di paksakan,"Clarissa
mengusap air matanya, menatap penuh keyakinan.

"Sorry aku—"

"Semoga hidup kalian akan lebih


baik, bye Emily,"ucap Clarissa terdengar buru-buru. Ia
memutar tubuhnya segera berlari ke arah jalan
sangat cepat.

"Emily!"panggil Allan membuat wanita itu menoleh.


Pria itu melangkah cepat, sembari mengepal kedua
tangannya. Matanya membulat besar, takut saat
melihat interaksi Emily bersama Clarissa dari
kejauhan.
Braaakkkk!!

Mendadak, Allan berhenti bergerak. Emily menoleh


ke arah jalan dan langsung mengerutkan kening.
Jantungnya berdegup hebat, melihat sebuah mobil
yang baru saja menabrak seorang wanita.
"Clarissa!"pekik Emily lantang merasakan tubuhnya
mendadak kaku. Ia menatap dengan seluruh
ketidakpercayaan nya hingga kalung yang ia pegang
jatuh ke tanah, Clarissa tergeletak lemas di aspal
dengan pendarahan hebat. Sama sekali tidak
bergerak sedikitpun.

Ia mulai melangkah begitu hati-hati, lantas tertahan


oleh sebuah pelukan dari Allan. Pria itu, tidak ingin
Emily melihat semua kejadian barusan. Membiarkan
orang lain mulai sibuk dan berkerumunan di area
kecelakaan.

___________________

Beberapa hari kemudian...


"Bagaimana pemakaman nya?"tanya Emily, saat
melihat Allan memasuki ruangan kamar. Pria itu
mengeluh tanpa menjawab lantas mendekati Emily.

"Sudah selesai!"ucap Allan datar sembari mengecup


puncak kepala wanita tersebut lembut.

"Aku merasa begitu bersalah. Semua karena


ku,"keluh Emily dengan parau. Seandainya, ia lebih
berbesar hati untuk memaafkan Clarissa maka wanita
itu tidak akan nekat melakukan semua ini.

"Semua bukan kesalahan mu Emily. Itu


pilihannya,"tegur Allan merasakan wanita itu mulai
memeluknya erat.

"Aku memintanya untuk menghilang,"isak Emily


terdengar semakin berat. Ia menenggelamkan diri,
merasa tidak berguna karena lontaran kalimatnya
yang tajam.

"Emily hentikan! Sekali lagi aku peringati, ini bukan


salahmu, okay, lihat aku!"pinta Allan memegang
kedua lengan wanita itu kuat. Menatapnya begitu
tajam.

"Allan tapi—"

"Fokuslah, kita ke sana untuk mengajak Lucas dan


Jasmin bermain. Tidak ada yang tahu kejadian ini
akan terjadi, kau tidak melakukan apapun pada
Clarissa!"tegas Allan membuat wanita itu diam
sejenak, memikirkan semua alur percakapan pria
tersebut. Hingga akhirnya, ia mengangguk pelan dan
kembali memeluk pria itu erat.

"Ah yah! Aku lupa, aku harus mengatakan sesuatu


padamu!"ucap Emily tegang membuat Allan langsung
menatapnya serius.

"Ada apa?"tanya Allan begitu penasaran.

"Aku—"

"Emily cepat katakan!"


"Aku hamil!"tegas wanita itu sembari membasahi
bibirnya. Allan mengerutkan kening, ia terdiam
sejenak mencoba menyaring perkataan singkat dari
mulut wanita itu.

"Apa?"

"Aku hamil Allan. Aku hamil, sudah tiga


bulan!"kembali, Emily menegaskan semuanya
membuat pria itu tercengang.

"Tiga bulan? Kenapa kau tidak—"

"Aku tidak tahu, aku tidak merasakan apapun, aku


pikir hanya telat 'menstruasi' dan aku pergi
bersama mommy ke rumah sakit untuk mengeceknya
dan hasilnya, aku positif hamil!"terang Emily singkat
dengan suara yang sangat cepat.

"Oh my god, Jasmin dan Lucas akan punya adik."Allan


tersenyum lebar, menarik tubuh wanita itu lebih erat
dan memeluknya hangat.
"Kau tidak masalah?"tanya Emily ragu.

"Ayolah Emily, ini anakku!"jelas Allan mempertegas.


Ia mengecup kening Emily sesekali dan
mengekspresikan rasa bahagia nya pada wanita itu
lebih banyak. Mereka tertawa lepas, lantas
mendengar pintu kamar mereka mendadak di buka.

"Mommy, Daddy!"teriak Jasmin dan Lucas


bersamaan.

"Sir, maaf mereka—"

"Biarkan saja Gina. Kemari lah, Nak!"ucap Allan


tampak menurunkan tubuhnya, memeluk kedua
malaikat kecil itu dan mengecup kedua sudut pipi
mereka begitu lembut.

"Dengar! Kalian akan punya adik, jadi jaga mommy


mu, okay!"
"Adik?"tanya Lucas menaikkan satu alisnya, ia melirik
ke arah Emily yang melempar senyuman lalu
mengangguk pelan.

"Horeeeee!!"mendadak, kedua anak itu berteriak,


mereka berlari di tengah ruangan mengucapkan kata
sambutan yang sangat hangat. Emily merapatkan
kembali di sisi Allan, memeluk pria itu dan
memerhatikan kedua anaknya.

"Kau hamil lagi, Emily?"tanya Catherine menangkap


suara jeritan kuat dari kedua anak tersebut. Seketika,
Gina yang diam-diam ikut merasakan kebahagiaan,
tampak mundur memberikan tempat untuk Catherine
yang baru saja tiba dengan Anne Willard.

"Ya Tuhan! Aku bahkan belum memiliki pendamping


dan kau hamil untuk kedua kalinya? Luar biasa, aku
iri!"usik Catherine.

"Kalau begitu segeralah menikah,"sindir Anne


membuat wanita itu terkekeh.
"Aku tidak punya kekasih, lantas, siapa yang akan
menikahi ku?"kekeh Catherine pelan.

"Pilih siapapun, atau kau akan menjadi perawan tua!"

"Jangan mengajari ku—"

"Ah ya Frank, masuklah!"ucap Allan membuat


Catherine langsung memutar tubuhnya.

Tappp!!

"Catherine!"sentak Emily saat melihat tubuh gadis


tersebut oleng, ia mencoba beranjak, namun,
mendadak berhenti saat Frank berhasil menangkap
tubuh Catherine. Wanita itu terdiam, menatap wajah
Frank yang teramat sangat dekat.

"Sialan, kenapa pria ini sangat tampan!"batin


Catherine tanpa sadar bahwa orang-orang yang ada
di sekitar ruangan mengirim signal untuk
mengusiknya.
"Frank anak-anakku melihat kalian!"tegur Allan
membuat pria itu tersadar dan langsung melepaskan
tubuh Catherine.

Brakk!!

"Akhhh!"Catherine mengerang kesakitan. Ia langsung


jatuh ke lantai saat pria itu melepaskan pautannya.

"Nona aku—"

"Minggir! Dasar berengsek! Harusnya kau tidak


melepas ku!"umpat Catherine sembari mendorong
pria itu menjauh darinya. Seketika itu juga, semua
orang tertawa, mengejeknya dengan candaan yang
sangat khas.

"Aku pikir mereka cocok!"bisik Emily pelan pada


Allan.

"Yah! Aku pikir juga begitu!"balas Allan sembari


mengecup sudut pipi Emily.
"Kalian juga berengsek, kenapa malah
bermesraan!"teriak Catherine membuat Emily
memeluk Allan, hingga pria itu mengecupnya terus
menerus secara sengaja.

"Dasar anak-anak muda!"pikir Anne sembari


melebarkan senyuman dan menggelengkan
kepalanya pelan.

"C'mon Catherine, kami mau adik!"ucap Lucas dan


Jasmin kompak membuat semua mata membulat ke
arahnya.

"Apa katamu? Kau memanggil ku dengan


nama?"tanya wanita itu membuat Lucas
mengeluarkan lidahnya.

"Kemari kau!"Catherine bangkit, ia berusaha meraih


kedua bocah tersebut, mengejarnya di tengah
ruangan kamar hingga suara tawa semakin terdengar
hebat di tempat itu.
Extra Part

Emily menatap kalung yang ada di genggaman


tangannya, mengusap berlian biru tersebut dan
mencoba mencaritahu. Benar kata Clarissa, ada
namanya di dalam sana. Sungguh, kalung tersebut
indah. "Apa yang sedang kau lakukan?"mendadak
Allan memeluknya erat dari belakang, membuat
wanita itu langsung melempar sebuah senyuman,
Pria tersebut menghadiahkan sebuah ciuman singkat
di sisi wajahnya.

"Clarissa memberikan ku kalung ini, boleh aku tanya


sesuatu hal denganmu, Allan?"tanya Emily seraya
menunjukkan benda tersebut.

Seketika Allan langsung melepas pelukannya, ia


meraih kalung itu dan menghela napasnya yang
terasa berat. "Aku sudah sangat lama membeli
ini,"jelasnya singkat, membuat Emily melipat kedua
tangan di dadanya.
"Kenapa kau memberikan benda itu pada orang
lain?"tanya Emily tegas.

"Karena aku kecewa padamu, Hm- lebih tepatnya aku


cemburu!"

Deg!!

Jantung Emily berdebar, ya Tuhan, kenapa Allan


selalu bisa membuat pipi nya merona hanya dengan
sebuah kalimat super pendek itu. "Cemburu?"pancing
Emily.

"Kau berpacaran dengan Louis waktu itu, jadi


wajar!"terang Allan tanpa melepaskan pandangannya
dari Emily.

"Selain posesif kau adalah suami yang gemar


cemburu!"kekeh Emily santai.

"Hanya padamu,"Allan menaikkan kalung itu ke atas,


mempertemukan nya dengan cahaya matahari agar ia
bisa melihat pantulan nama Emily di dalam sana.
"Aku akan menyimpan nya,"Emily menarik kalung
tersebut membuat sorot mata Allan langsung
menajam penuh tanya.

"Tidak perlu, kau bisa membuang nya!"

"Tenanglah, aku sudah tidak memiliki rasa marah lagi


pada Clarissa!"jelas Emily dengan wajah yang tampak
santai.

"Emily."

"Aku menyesal karena sudah membuatnya begitu


terpuruk, Allan."

"Bukan kau. Tapi aku, semua karena—"

"Hentikan! Kita sudah sepakat untuk tidak membahas


apapun tentang masa lalu,"potong Emily, melekatkan
pandangan ke wajah pria tersebut. Allan mengulum
bibirnya, hingga merapatkan diri ke tubuh Emily
yang tengah berbadan dua tersebut lebih rapat.
"I miss you,"bisik Allan mengambil kesempatan untuk
mengusap perut wanita itu perlahan.

"Tampaknya kehamilan kali ini lebih mudah,"tukas


Emily membalas pelukan Allan, menghirup aroma
wangi yang khas dari tubuhnya.

"Syukurlah,"balas pria tersebut pelan.

"Ah ya— kau ingat dulu kita pernah ke Indonesia,


'Kan?"tanya Allan membuat Emily mengerutkan
kening dan mengangguk.

"Kenapa?"

"Kita akan berlibur ke sana lagi, bersama Jasmin dan


Lucas."

"Liburan?"

"Yah! Aku harus memeriksa proyek—"


"Oh tidak! Aku tidak ingin tenggelam di dalam kolam
lagi karena kau meninggalkan ku,"tegas Emily
sembari memutar bola matanya.

"Tidak! Di sana kita juga akan menemui seseorang,


teman lama ku. Dia memiliki seorang istri dan anak,
aku pikir kalian bisa bicara lebih banyak!"

"Teman?"tanya Emily sedikit tidak paham.

"Yah! Kami berbagi saham membangun resort besar


yang cukup menguntungkan,"jelas Allan.

"Siapa namanya? Aku kenal?"tanya Emily.

"Entahlah, Athes O'neil de Luca,"ucap Allan


menyebutkan salah satu pengusaha Italia yang cukup
sukses di bidangnya. Emily hanya mengangguk,
lantas merapatkan diri pada Allan kembali.

"Tapi ingat, jangan meninggalkan ku. Sekarang aku


membawa dua anak kembar yang sedang aktif. Lihat,
aku juga sedang hamil lagi karena ulah mu!"tuding
Emily seraya menunjuk ke arahnya.

"Ayolah honey, Kita melakukannya bersama!"

"Kau yang menggodaku, Allan!"

"Tidak! Kau yang menggodaku dengan pakaian tipis


itu setiap malam."tegas Allan tidak ingin kalah.

"Ayolah, mengalah saja!"ucap Emily tidak terima


hingga keduanya saling tertawa dengan suara yang
cukup menggema di seluruh ruangan.

"Emily.... Allan... Aku mengembalikan kedua anak


kalian,"teriak Catherine lantang membuat keduanya
menoleh ke arah sumber suara.

"Mommy..... Daddy!!"teriak Jasmin dan Lucas kompak,


sembari mengedarkan mata ke seluruh tempat.

"Honey!"sapa Emily, perlahan mendekat ke arah


kedua malaikat kecilnya.
"Bagaimana? Kalian senang?"tanya Emily sambil
mengusap rambut kedua anaknya tersebut lembut.

"Hm! Frank membelikan mommy Catherine—"

"Lucas!"tegur Catherine sembari menutup mulut


anak itu rapat dengan telapak tangannya.

"Frank membelikan cincin!"tegas Jasmin membuat


mata Emily langsung menajam ke arahnya. Sialan!
Bocah zaman sekarang tidak bisa menyimpan
rahasia.

"Frank! Kau serius dengan saudariku?"tanya Emily


menegur pria tersebut. Frank merapatkan kedua
tangan, ia melirik ke arah Allan sejenak dan
mendapatkan kode dari bibir Catherine.

"Ini cincinnya?"tanya Allan menunjuk ke arah jari


wanita tersebut.

"Berengsek. Aku sudah dewasa dan ingin


menikah!"tegas Catherine.
"Jaga bicaramu di depan anak-anak Cath!"tutur Emily
membuat wanita itu melirik ke arah kedua bocah
kembar yang tampak sedang tertawa berdua. Mereka
menang, seakan sudah merencanakan semua ini.

"Lain kali, mommy tidak mau mengajak kalian keluar


lagi!"

"Jangan mengalihkan pembicaraan. Sebentar, kau


serius bersama Frank?"tanya Allan membuat
keduanya terdiam bersamaan.

"Allan aku tidak—"

"Yes sir, masih sangat baru, namun aku ingin


menikahi nona Catherine dan berharap ia menerima
lamaran ku!"balas Frank tegas, sungguh, sorot mata
Catherine langsung tegas. Ia mengepal tangan dan
menahan rasa malu. Wajahnya memerah, bersama
jantung yang tengah berdetak bersamaan.

"Oh my god, ini berita baik,"ucap Emily sembari


menutup mulutnya rapat dengan kedua tangan.
"Jangan menghina ku, Emily!"

"Catherine, bagaimana kau bisa mengatakan ini


hinaan?"tanya Emily seraya mengerutkan kening.

"Momm.. Mommy Catherine akan menikah?"tanya


Jasmin membuat semua mata tertuju padanya. Ia
tampak penasaran, walaupun belum terlalu tahu apa
itu pernikahan.

"Jasm—!"

"Yessss! Dia akan menikah, kalian senang kan?"balas


Emily sebelum Catherine menyanggahnya. Seketika,
kedua bocah kembar itu menepuk kedua tangan dan
menari bersama.

"Emily...."Catherine mengulum bibir, ia tidak bisa


berkata-kata lagi. Sungguh, ia akui bahwa cintanya
berlabuh pada Frank. Entah bagaimana mereka
memulai, yang pasti kehidupan cintanya yang dulu
rumit kini jelas bersama pria tersebut.
"Selamat Frank, Catherine!"ucap Allan basa-basi.

"Sialan, kalian benar-benar kompak!"kekeh Catherine


sembari melirik ke arah Frank yang melempar
senyuman kecil ke arahnya.

"Kau mau ikut kami ke Indonesia?"tawar Emily


sembari melirik ke arah Allan. Pria itu mengerutkan
kening tampak tidak setuju.

"Ayolah, aku butuh teman lebih banyak honey!"pinta


Emily.

"Indonesia?"tanya Catherine.

"Yah! Kita bisa bersenang-senang!"balas Emily


kembali.

"Tentu, aku akan sangat senang jika suami mu yang


membayar seluruh biaya operasional."

"Okay, setuju!"tegas Emily, sembari mengedipkan


mata pada Allan.
"Kenapa harus aku?"protes pria itu sembari melirik
ke arah Lucas dan Jasmin. Kedua anak itu menjauh,
masuk ke area playgroud yang ada di dalam mansion.

"Catherine bisa membantu ku mengurus si kembar.


Aku butuh bantuan, Allan,"ucap Emily. Allan melirik
ke arah Catherine, wanita itu mengangkat kedua
alisnya tampak setuju dengan semua usul Emily.

"Oke baiklah!"

"Yeashh!! Aku bisa sekamar bersama Frank!"

"No! Kalian harus menikah lebih dulu!"ucap Allan


membuat wajah Catherine berubah. Emily tertawa
lepas, mencoba meraih pinggul suaminya.

"Allan benar, menikahlah lebih dulu dan kalian bebas


melakukan apapun!"tegas Emily mendukung pria
tersebut.
"Kalian payah!"celetuk Catherine mulai terang-
terangan mengakui perasaannya pada Frank yang
hanya mengulum bibir.

_________________

Extra Part

Hari ini cuaca terlihat bagus, Seakan ikut


menggiring private jets Allan Willard hingga sampai
ke Indonesia. Suara berisik dari Jasmin dan Lucas
terdengar lantang, keduanya terlihat begitu berani.
Mereka melangkah bersama menuruni tangga jets
tanpa ingin seorangpun membantunya. Allan resah,
melihat kedua anaknya seakan tidak membutuhkan
bantuan, namun, sisi lain nya juga cukup merasa
bangga, mereka mandiri.

"Jasmin, Lucas!"panggil Allan membuat kedua nya


menoleh cepat.
"Kemari lah, daddy akan menggendong kalian!"

"No!"dengus Lucas tegas.

"Kalau begitu, daddy akan meninggalkan kalian di


sini, byee!!"

"Daddy!"celetuk Jasmin kesal. Ia melirik ke arah


Emily yang melempar senyuman tipis. Tampak tidak
ingin membelanya.

"Okay! Hanya sampai ke mobil!"ucap Lucas lantas


melangkah mendekati Allan yang tersenyum lebar.

"Kemari lah my superpower,"ucap pria itu seraya


menggendong keduanya cukup kuat.

"Honey!" oh so sweet, Allan tidak melupakan Emily


sedetikpun. Setidaknya, pria itu ingin Emily tetap di
sampingnya dan melangkah bersama-sama hingga
sampai ke pintu mobil mewah jenis SUV.
Sementara Catherine tersenyum simpul melihat
kebahagiaan Emily, ia berharap banyak pada Frank,
sungguh.

Tap!!

Catherine mendadak terdiam, sebuah sentuhan


lembut dari pria itu membuatnya terenyuh. Lagi,
jantung wanita itu berdebar.

"Kita akan bersenang-senang di sini, 'Kan?"tanya


Frank serasa merapatkan kedua jari mereka, saling
melangkah bersama.

Catherine mengulum senyuman lalu mengangguk


dengan tatapan penuh persetujuan. "Cwit cwitt!"ucap
salah satu bocah kembar yang melihat ke arah
keduanya.

"Sialan, kenapa mereka melihat semua ini,"ucap


Catherine mencoba melepaskan pegangannya dari
Frank. Sungguh, bukan hanya dua bocah kembar itu
yang mengejeknya, Allan, Emily, bodyguard lainnya
dan Gina, pelayan terpercaya Allan, menatap jelas
dengan pandangan yang membuat wajahnya merah.

"Aku tidak akan melepaskan tanganmu!"ucap Frank


membuat Catherine mendadak diam. Ya Tuhan, jika
bisa ia ingin berlari sekuat nya lalu terjun ke dalam
air. Ini panas, sungguh, Frank rupanya begitu manis.

"Mereka memberikan contoh buruk pada anak-


anakku!"tegas Allan membuat Emily terkekeh.

"Kau salah Allan, sebaliknya, mereka mengajarkan hal


baik. Cinta memang harus di perjuangkan
bukan?"tandas Emily membuat mata terang pria itu
beralih padanya.

"Aku juga berjuang untuk mu."

"Katakan lebih keras, agar anak-anak mu tahu,


bagaimana kau berjuang untukku!"tegas Emily
membuat pria itu langsung menatap kedua wajah
Lucas dan Jasmin. Mereka seakan menunggu,
menatapnya tajam.
"Daddy berjuang untuk mendapatkan kalian!"ucap
Allan seraya mendengar Emily terkekeh kembali.

"Bukan, daddy kalian berjuang untuk


mendapatkan Mommy, akui Allan!"ucap Emily
membuat kedua bocah itu tertawa pelan.

__________________

"Emily, kau tidak membawa Lucas dan Jasmin?"tegur


seorang wanita cantik yang ada di sebelahnya.
Mereka sedang berada di pusat perbelanjaan.
Meninggalkan semua pria di resort, biasa, semua pria
pasti memilih duduk di satu tempat, menikmati
perbincangan yang lebih ke arah politik ataupun
bisnis. Membosankan!

"Aku menitipkan nya pada Allan, rasanya aku


butuh refreshing, "jawab Emily, seraya melirik benda-
benda unik yang ada di hadapannya. Ia pergi bersama
Catherine dan Lea, istri Athes de Luca. Mereka
sempat bercengkerama sejenak di restauran tadinya
dan memutuskan pergi bersama.

"Kau benar, anak kembar pastinya lebih menguras


tenaga."

"Yah! Karena itulah kita di sini!"balas Emily sembari


terkekeh lantas merasakan Catherine mencubitnya
pelan.

"Kau bukan wanita muda lagi, Emily. Jadi berhentilah


bersikap nakal!"protes Catherine pelan, membuat Lea
ikut tertawa.

"Hanya sesekali, ini tidak salah!"

"Dasar ibu hamil yang tidak tahu tempat!"ucap


Catherine lagi terdengar lantang.

"Kau sedang hamil, Emily?"tanya Lea penasaran.


Seketika, wajah wanita itu merah dan membalas
ucapan Leanore dengan anggukan kecil.
"Yah! Sepertinya bayi laki-laki!"ucap Emily mencoba
menebak asal. Lantas melempar senyumannya yang
tipis.

_______________

"Allan!"tegur Emily dengan suara tertahan.

"Tenanglah, aku hanya ingin menyentuhnya!"bisik


pria itu melirik ke arah Jasmin dan Lucas yang
terlelap tidur di bed lain-nya.

"Tapi kau—"

"Diam lah Emily,"tegur Allan mencoba menyentuh


perut wanita itu dari dalam selimut, ia mencoba
menggoda. Hingga Emily merasa cukup risih, takut
jika kedua anak mereka bangun. Sungguh, ia tidak
ingin menjadi orang tua yang memberi contoh buruk.

"Aku paham, aku hanya ingin mengusap anakku!


Tenanglah!"bisik Allan seraya mencium punggung
wanita itu dan menaikkan kembali tangannya ke
perut wanita tersebut. Emily lega, ia menelan ludah
dan mengangguk pelan.

"Tidurlah, I love you, Cinnamon!"bisik Allan lebih


lembut seraya mengusap rambut hitam wanita itu.
Emily mengangguk dan menatap kedua bocah
kembar tersebut.

"Night superpower!"batin Emily melekatkan matanya


sejenak. Meneliti keadaan anaknya yang perlahan
meninggi begitu cepat. Ya Tuhan, mereka adalah
hidupnya.

_________________________

New York, Amerika Serikat.


Enam bulan kemudian di sebuah rumah sakit
besar.

Emily menggendong seorang bayi laki-laki, ia


mengecup sudut bibirnya dan melirik ke arah Allan.
"Kenapa wajahnya harus mirip dengan mu, kalian
semua mirip!"ucap Emily menatap ke arah Jasmin
dan Lucas yang ada di dalam gendongan Allan.

"Aku tampan! Jadi wajar jika mereka ingin mirip


denganku!"balas Allan penuh rasa percaya diri.

"Apa yang kau katakan?"tanya Emily kesal. Sungguh,


ketiga anaknya tidak memiliki kemiripan khusus
darinya, hanya Jasmin yang mendapatkan warna
rambut dark grey nya, sisanya benar-benar Allan
Willard. Hanya pria itu.

"Kenyataan!"kekeh Allan seraya mengecup kening


Emily.

"Mommy, apa kami bisa mengajaknya bermain?"tanya


Lukas seraya mengusap pelan kening bayi kecil yang
baru saja di lahir kan secara normal oleh Emily
tersebut. Ia pikir, Emily tidak akan bisa melalui
proses kelahiran normal, namun, syukurlah, kali ini ia
tidak akan merasakan lagi sakitnya operasi caesar.
Sungguh, melahirkan normal jauh lebih santai.
"Sure. Kalian harus mengajak adik kalian bermain.
Namun, tunggu dia besar nanti, kalian harus saling
menjaga satu sama lain,"ucap Allan membuat kedua
nya paham dengan cepat.

"Emily siapa namanya tadi?"tanya Catherine yang


sejak tadi berada tidak jauh dari posisi mereka,
bersama Anne yang sibuk dengan ponselnya. Ia
mengambil puluhan gambar keluarga kecil itu sejak
tadi.

"Zach Vander Willard,"balas Emily sembari


melemparkan senyuman yang begitu khas, lantas,
mengarahkan kembali pandangannya pada putranya
tersebut. Ia mengecup kening Zach, membaginya
pada Lucas dan Jasmin dan mendapatkan hadiah dari
Allan juga.

"Kemari lah aku ingin menggendongnya!"ucap


Catherine seraya melirik ke arah Frank. Sejujurnya, ia
tengah hamil, namun, belum memiliki waktu yang pas
untuk mengatakannya pada Frank. Yah— mereka
menikah setelah kembali dari Indonesia. Sejak saat
itu, lengkap sudah kehidupan Catherine. Ia
mendapatkan kebahagiaan mutlak, Frank
memperlakukannya dengan baik.

"Aku duluan! Kau nanti saja!"celetuk Anne merebut


Zach hingga semua orang tertawa melihat tingkah
wanita paruh baya tersebut. Sungguh, semua orang
berbahagia, saling melengkapi satu sama lain tanpa
terkecuali.

_____________________ END _______________

Anda mungkin juga menyukai