Anda di halaman 1dari 60

Seri Dewi Ular

Karya Tara Sagita

LORONG TEMBUS KUBUR

Uploader Jisoka m di Indozone


Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita-silat.co.cc/
1
CAHAYA petir menyambar salah satu pucuk pohon hutàn
tembaga. Warna cahaya itu bukan biru atau putih menyilaukan
seperti petir-petir yang sering berkerilap di awan bumi. Warna
cahaya petir itu merah saga. Terang sekali. Bentuknya bukan
berkelok-kelok seperti petir yang sering terlihat di permukaan burni.
Bentuk cahaya merah itu menyerupai pedang raksasa. Panjang dan
berukuran besar.
Sekali me lesat menimbulkan dentuman dahsyat. Menghentak
kuat, bagaikan ingin me mbelah a la m dimensi mist ik. Suara
dentuman itu bergelombang panjang, seolah-olah berjalan dari satu
tempat ke te mpat yang lainnya. Ketika lidah petir ala m mistik itu
menya mbar salah satu pucuk pohon hutan tè mbaga, maka dala m
sekejap. saja puluhan pohón lainnya ikut menjadi hangus. Terbakar
dan hancur menjadi debu serbuk te mbaga.
“Aku belum pernah me lewati hutan ini, Paman. Apakah pohon-
pohonnya benar-benar terdiri dan lapisan loga m tembaga?”
“Kurasa benar. Petiklah daun pohon yang pendék itu, Kumala.
Coba, petiklah sehelai saja.”
Kumala Dewi menuruti saran tersebut. Anak pohon yang rnasih
tergolong muda dengan tinggi hanya sebatas lutut itu memiliki daun
selebar telapak tangan orang dewasa. Warnanya coklat bening.
Sepertinya tampak rentan dan mudah dipetik.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Kumala Dewi mengerahkan
tenaganya untuk me metik sehela i, ternyata tidak bérhasil. Daun
anak pohon itu selain keras juga kenyal. Dipulir ke kanan, ke mbali
ke kiri, dipulir ke kiri ke mba li ke kanan. Ketika daun itu beradu
dengan daun yang timbul ada lah suara gesekan dan benturan loga m
tembaga. Traang, .zzssrreeng, traaang, trrreeeng, zzssreeeng...!
“Heeh, heeeh heeeh, heeeh... Biar jarimu sampai geripis habis
nggak bakalan ka mu bisa me metik daun pohon itu, Kuma la,” ujar
sang paman yang mengenakan baju biru bergari-garis putih dengan
hiasan benang perak. Sejak dalam perjalanan sang paman sering
tertawa terkekeh-kekeh, menbuät mimik mukanya semakiñ tampa k
tua dan ke mpot.
Kali ini perjalanan Dewi Ular dala m melintasi dimensi ala m gaib
tidak sendirian. Ia ditemani oleh sosok tua berambut panjang warna
putih uban merata. Si muka tua itu juga mengeñakan kain pemba lut
pinggang warna merah. Kain pinggang menyerupai selendang itu
berfungsi sebagai tempat menyelipkan sebuah kipas, manaka là
kipas tersébut sedang tidak digunakan.
Saat ini kipas lipat berwarna biru beludru deñgan hiasan bulu
héwan halus ditepiannya itu sedang berada dala m gengga man:
Sesekali ditebarkan buat kipasan, sesekali dikatupkan buat mainan
tangan isengnya.
Pada saat mene mui Kuma la dibumi, kipas itu tak pernah
digunakan. Hanya térselip di pinggang. Agaknya kipas itu sebagai
senjata juga baginya. Jika sekarang kipas itu sering berada dala m
genggamannya hal itu dikarenakan ia merasa perlu waspada dala m
me lintasi ala m dimensi gaib ini.
“Mengapa Pa mañ dewa me mbawaku me lewati tempat ini ?
Bahkan rnengajakku berhenti sejenak di sini?”
“Aku curna mau pa mer. Hee, hee, hee ...”
“Pa mer apa?” Dewi Ular menatap dengan sedikit kerutan dahi.
“Pa mer tentang hutan ini. Apakah orang tua mu be lüm pernah
bercerita tentang hutan tembaga. ini, Déwi Ular ?”
“Be lum. Ada apa dengán hutan pohon te mbaga mi?”
“Aku yang menciptakan hutan ini! Hiieeh, hehe, hehe:..”
Kümala ta mpak terperangah kagum.
“ O, ya? Jadi, hutan tembaga ciptaan Pa man sendiri?!”
Dewa Bahakara menyeringa i bangga, mengipas-ngipaskan
kipasnya di depan dada. Padahal udara tidak panas. Terang, namun
tanpa matahari. Tapi gerakan mengipas itu agaknya merupa kan
kebiasaan sang dewa senior jika sedang waspada dalarn santainya.
“Hutan te mbaga ini kuciptakan dala m waktu satu mala m,
menurut hitungan bumi. Dan, kukerjakan sendirian, tanpa bantuan
ayahmu atau yang lain.”
“Untuk apa Pa man rnenciptakan hutan tembaga yang luasnya
sekitar.. . .lirna hektar ini?”
“Yeeeehhe, hehehehe. . hehehé... kamu pasti kepengen tahu,
kan ? Sudah kuduga sebelumnya, kamu pasti tanya begitu.”
“Apakah Pa man Bahakara keberatan rnenjawabnya.”
“Ooo, tidak. Justru aku ingin pa merkan pada mu nostalgia masa
muda ku dulu.”
“Ma ksud, Pa man?”
‘Hutan te mbaga ini kuciptakan dengan mengerahkan
kesaktianku, lalu kuprse mbahkan kepada bidadari teman karib
nenekmu, sebagai tanda cinta dan sekaligus maskawinnya.”
‘O, yaaa...??!” wajah Kumala ceria mendengar kisah romantis
yang ternyata dimiliki oleh si Dewa Bahakara, alias Dewa Jenaka,
atau dewa penabur tawa itu.
“Siapa bidadari yang kau suntingitu Pa man?”
“Dewi Lajangsuri. Woooww, hohohoho... keren kan na manya?”
Ia kegirangan sendiri me mbuat Kumala jadi tertawa geli.
“Apakah Bibi Lajangsuri senang menerima hadiah hutan
tembaga ini, Pa man?”
“Ooh, yaaa... senang sekali, sebab dia adalah satu-satunya
bidadari yang hobinya makan te mbaga.”
“Apa.?! Makan te mbaga?.!”
“He, he, he, he.... sudah kuduga ka mu pasti ba kalan kaget,
mata me lotot, mulut menganga dan hidung megar tanpa sadar.
Hehe, hehe, hehe, hehe..!”
Ia menari-nari dengan lompatan-lompatan kecil mengelilingi
Kumala. Tingkahnya sungguh kocak dan sangat menghibur hati.
“Ka mu tahu, Kuma la... pohon-pohon tembaga itu meskipun
hancur berkali-ka li dirusak oleh Abadho dengan petirnya, tapi
serpihannya akân tumbuh sebagai biji ternbaga, dan hutan ini a kan
semakin lebih rimbun lagi.”
“Abadho...?! Siapa itu Abadho, Pa man?”
Dengan dada sedikit dibusungkan, si Dewa Jenaka menjawab,
“Biasaaa... kalau bahasa buminya: rivalku, saingan asmaraku.
Tápi sampai sekarang Abadho nggak dapat apa-apa, cuma bisa
dongkol kesela k jengkol ngeliatin ke mesraanku. dengan Lajangsuri.
Makanya, dari dulu dia selalu berusaha merusak prasasti cintaku ini
dengan segala maca m cara.”
“Pa man tidak mencegahnya?”
“Ngga k perluuuu.... Ngapain dicegah, bikin capek aja. Kan enak,
semakin dirusak se makin rimbun hutanku.. “
“Dan, Bibi Lajangsuri sema kin kenyang menikmati makanan
tembaganya, ya?”
“Otomatiiiiiss...!!” bibirnya sambil menyong seperti terong Lucu
sekali. Entah berapakali sudah Kumala dibuatnya tertawa kegelian,
sampai perutnya mulai merasa kaku dan rahangnya sedikit ngilu.
“Ke lak,kalau kau benar-benar sudah mau dipinang,, kusarankan
mintalah sesuatu dari calon sua mimu yang bisa dijadikan prasasti
cinta kalian berdua. Ka mu percaya nggak, orang yang mempunyai
prasasti cinta dalam hidupnya, dia akan selalu bergairah dala m
cinta, dan keromantisan jiwanya tak akan padam.”
“Wwoow.. luar biasa tutur katamu, Paman. Ba k penyair tak
berpena,” senyum Kumala masih me mancarkan pesona kecantikan
alami, yang nyaris tanpa pulasan kosmetik sedikit pun.
“Apakah nanti di Kahyangan aku bisa bertemu Bibi Lajangsuri,
Paman? Boleh aku kenalan dengan be liau?”
Raut wajah tua si Dewa Jenaka mula i kusut. Tawanya surut,
senyumannya pun susut Bias rona keceriaan seolah padam sama
sekali dari permukaan wajah tuanya. Kuma la Dewi mulai berkerut
dahi pelan-pe lan sa mbil me ma ndangi sang Dewa Jenaka.
“Kenapa, Pa man?” tanya Kumala hati-hati sekali.
Dewa Bahakara yang menjadi comblang cintanya kedua orang
tua Kumala itu kini melangkah dan melangkah pelan. Kumala Dewi
mengikut inya dengan perasaan sesal, karena agaknya apa yang ia
katakan tadi justru me nghadirkan duka di hati sang dewa.
“Pa man, hmmm... maafkan aku kalau kata-kataku tadi tidak
berkenan di hati Pa man. Aku... aku nggak tahu kalau ucapanku tadi
me mbuat Pa man jádi bersedih. Maafin a ku, ya Parnan. Aku...”
“Aku nggák sedih,” potongnya cepat. Mulai berpaling menatap
Kumala dan rnenyeringai dala m senyuman tuanya. Kipasnya dibuka
lagi dan dibuat kipasan di depan dadanya.
“Aku hanya. teringat sesuatu. Bukan sedih.”
“Tapi wajah Pa man kehilangan senyum, dan..”
“Bukan hilang, tapi sengajà kutelan,” sangkalnya. “Aku teringat
sesuatu yang sangat serius. Dan, kalau lagi serius itu boleh ngga k
pake senyurn kan!. Nggak pàke tawa juga bolehkan?”
“Maaf, Paman,” desis suara Kumala pe lan.
“Kenapa aku terbungka m sërius waktu kau bilang kepingin
kenalan dengan istriku? Karena... “
Ia menghentikan langkahnya. Merapatkan kipasnya menjadi
seperti tongkat. Lalu, bicara berhadapan langsung dengan Kuma la
dalam jarak hanya tiga jengkal.
“Karena. . .dia termakan oleh sumpahnya sendiri.”
“Sumpah? Ma ksudnya sumpah baga imana, Paman?”
“Dia pernah bersumpah untuk tidak mencintai siapa pun lebih
besar selain cintanya padaku. Dia berjanji, bahwa cintanya padaku
adalah cinta yang paling agung, paling besár, dan, paling mulia,
dibandingkan cintanya kepada keluarga, teman, atau bahkan dirinya
sendiri. “
‘Luar biasa keagungan cintanya,” guma m Kuma la lirih.
“Tapi pada suatu ketika, ia lupa a kan sumpahnya. Ia lebih
mencintai hutan te mbaga ini dibandingkan mencintai diriku. Maka,
seketika itu juga ia termakan sumpahñya, dan berubah menjadi
sebatang pohon tembaga yang tumbuh di antara pohon-pohon di
sekitar sini.”
“Ooh. ..?!“ Kumala tercengang kaget dan sedih..
“Sekian la ma aku mencari yang mana pohon jelmaan dirinya,.
namun tida k pernah berhasil, Kumala. Seluruh kesaktianku
kukerahkan untuk me ngenali yang mana pohon perwujudan istriku,
tapi tetap saja siâ-sia. Bantuan dari para dewa seniórku pun tak
dapat me mulihkan dan mènunjukkan mana pohon jelmaan’istriku
itu. Akhirnya, aku hanya bisa menjalani nasib hidupku, menjadi
jomblo begini sekian ratus tahun la manya, sambil sesekali kutengok
prasasti cinta ini sebagai tanda bahwa aku masih tetap
mencintainya.”
“Duuh, Pa man... tragis sekali nasib percintaanmu...”
“ Tragis ya? Ah, cuekin ajalah! Nggak perlu sedih. Tertawa itu
lebih baik daripada menangis. Iya, khan? Heeh, heeh, heeh....!”
Dewa Jenaka itu kembali bertingkah lucu dala m gerakan, lucu
dalam tawanya, dan lucu dala m ucapannya. keseriusannya tadi
hilang lenyap tak berbékas di raut wajahnya. Tapi di lubuk hatinya
yang paling dalarn?Hanya dia yang tahu. Hanya dia yang bisa
merasakan, adakah duka di lubuk sana, atau hanya tawa yang ada.
“Kuma la, kunjungan ke prasasti cinta sudah selesai. Mari kita
lanjutkan perjalanan kita dengan potong kompas.”
“Potong kompas, Paman?”
“Punya kompas nggak?”
“Aku ngga k punya kompas, Paman.”
“Ya sudah, jangan potong kompas. Potong bébek angsa saja,
hehe, hehe, hehe... weeek, weeek, week ..... ! “ ia berputar-putar
menirukan suara bebek. Kuma la Dewi geleng-ge leng kepala sambil
berkata dalam hatinya.
“Dewa Jenaka..., si Penabur Tawa..., pantaslah kalau,,dia tak
mau sedih sedikit pun, selain riang, jenaka, dan tertawa..”
Dewa lucu yang oleh ayah-ibunya Kumala sering dipanggil: Bokis
itu., segera mengunakan kesaktian geràknya untuk melanjut kan
perjalanan menuju Kahyangan. Ia berkelebat sangat cepat, melebihi
kecepatan badai mana pun.
Sementara itu, Dewi Ular ták. mau kehilangan jejak sang pa man
dewa, sehingga ia gunakan pula kesaktiannya yang mampu
bergerak dengan kecepatan melebihi gerakan cahaya.
Mereka menerabas hutän tembaga sebagai jalur ‘potong kompás’
yang tadi disebutsebut si dewa Bokis itu. Bukan ha l aneh lagi ka lau
Bokis mengetahui jalur cepàt menuju Kahyangan, karena tentunya
sudah ribuan kali ia mondar-mandir dari hutan te mbaga ke
Kahyangan. Terutama saat ia kehilangan istrinya dan sibuk
menentukan pohon tembaga yang mana yang merupakan je lmaan
dan sang istri. Kuma la yakin, perjalanannya tak akan tersesat
selama Dewa Jenaka sebagai pe mandu jalannya.
Tapi belum1agi’ mereka kelüar dari melintasi hutan tembaga,
tahu-tahu si muka tua ilu rnerentangkan kedua tangannya sambil
berhenti seketika. Seeet...! Kurnala Dewi nyaris tak bisa ‘menginja k
rem’ kesakt iannya, sehingga hampir saja menerjang Dewa Bahakara
dari belakang.
Untung saja ia segera mela mbung melewati atas kepala si Dewa
Jenaka itu, sehingga benturan dari belakang tak se mpat terjadi.
“Ada apa, Pamar?! Kenapa berhenti?”
“Lihatlah seke liling kita, Kümala. !”
Dewi Ular me mandangi se ke1i1ingnya Tak ada sesuatu yang
mencurigakan, pikirnya. Ia coba menggunakan aji Mata Dewanya,.
ternyata tak ada sesuatu yang menarik untuk dibicarakan.
Tapi kenapa Dewa Jenaka itu cengar-cengir sendiri sambil melirik
ke sana-sini?
“Ada apa sih,Pa man?”
“Aji Mata Dewa-mu tidak cukup untuk mene mbus lapisan kabut
iblis. Gunakan aji Sukma Netra.”
Dewi Ular ma kin heran wa lau bungka m.
“Guna kan rohmu untuk me mandang. Rohmu!”
“Aku belum punya Aji Sukma Netra,” bisik Kuma la.
“Ooo, pantas...! Kalau begitu, pandangIah ini, hiiieeehh...!!”
Kipas yang sudah dibukä itu segera dikibaskan da la m satu
lompatan me mutar cepat.
Wuuuusss . .! Angin yang keluar dari kibasan kipas tadi
bercampur asap merah dan butiran lembut yang menyerupai serbuk
emas.
Dala m sekejap lapisan udara di sekeliling mereka hancur seperti
dinding kaca yang diterjang badai besar.
Jeggaaaaarrrrrrr....!!
Alam yang se mula redup kini menjadi terang benderang, walau
tetap tanpa sengatan rasa panas matahari. Terangnya alam
sekeliling hutan te mbaga me mbuat Kumala Dewi tercengang dan
segera pasang kuda-kuda, karena tèrnyata mereka berdua telah
dikelilingi oleh puluhan tengkora k bertulang hita m.
Ukuran mereka sama seperti manusia bumi, namun tak me miliki
daging, kulit, dan sebagainya, selaiñ hanya tulang belulang
berwarna hitam..Namun, pada bagian rongga mata mereka terisi
gumpalan bara merah yang dapat bergerak seperti bola mata
manusia.
“Siapa mereka ini, Pa man?” bisik Kuma la sarnbil beradu
punggung dengan Dewa Jenaka.
“Laskar Tengkorak Hita m, prajurit setianya Abadho.”
“Ooo. . .saingan cinta yang pa man ceritakan tadi?”
“Ya. Hati-hati, jangan sampai tersentuh sèdikit pun olehnya.
Sekujur tulang mereka mengandung racun me matikan! Biar aku
yang bereskan mere ka!”
“Tapi, Paman...”
Täk sa mpai tuntas Kumala bicara, tengkorak-tengkorak hitam
yang mengepung mereka berdua maju serempak dengan
beterbangan tak beraturan. Benturan tulang tulang mereka
menimbulkan suara gaduh tersendiri, yang terasa asing bagi
pertärungannya Kumala sela ma mi.
Untuk menghindari sentuhan lawannya, Dewi Ular terpaksa
menggunakan kesaktian naganya. Ia berubah menjadi sinar hijau
bening berbentuk naga kécil yang segera melesat naik ke atas.
Claaap, wuiiissst...! Meluncur terus na ik tinggi dan t inggi sekali.
Sementara itu Dewa Bahakara melesat ke atas pula.melebihi
ketiñggian .para tengkorak hitam itu, lalu ia bergerak seperti lari
cepat menge1i1ingi lawannya dengan kipas diayunkan dala m
gerakan bersilang-silang.
Wiist, wiiist, wiist, wiist...!
Dala m sekejap para tengkorak hita m itu terkurung oleh kabut
biru yang bergerak makin se mpit. Mata merah para tengkorak hitam
mulai me mancarkan sinar. seperti laser ke berbagai penjuru,
termasuk ke atas mereka.
Claap, claap, claap, claap, claap, claap...!
Dentuman beruñtun terjadi akibat sinar sinar merah mere ka
menghañta m pohon pohon tembaga. Pohon itu hancur, tumbang,
remuk, namun si Dewa Jenaka selamat dari kilatan cahaya merah
lawannya.
Ia sudah beradá di ujung sana. Duduk di atas gugusan batu
tembàga, sambil bertumpang satu kaki dan berkipas-kipas déngan
santaiñya.
“Heeehh, hehehe, hehehe, hehehe...!”
suara tawanya terdengar terkkeh-kekeh, sambil menyaksikan
lawan-lawannya saling tabrak; berusaha keluar dari kabut biru yang
makin menyempit.
Ternyata tak satu pun ma mpu keluar dari kabut biru itu. Bahkan
dalam beberapa detik berikutnya, terdengar suara berderak keras
seperti batu-batu besar dihancurkan bersamaan.
Grrreeprrrraaaaaaaak...!!
“Hee, hee, heee, hee, hee.. !”
Ia tertawa terkekeh-kekeh, girang sekali me lihat tengkorak-
tengkorak hita m itu hancur re muk secara bersa maan, bagaikan
digencet baja penghancur tulang. Kabut birunya tadi merniliki daya
jerat yang amat kuat dan me mpunyai daya hancur’yang sulit
dihindari siapa pun.
Dala m sekejap saja mereka sudah menjadi serpihan tulang hitam
yang bertumpuk-tumpuk setinggi punda k orang dewasa. Tak satu
pun lawan tersisa.
Kumala Dewi menyaksikan penghancuran tulang-belulang itu dari
ketinggian sana dalam keadaan masih berwujud cahaya hijau
seperti naga kecil, yang diam me nga mbang di udara namun tetap
penuh waspada.
Maka, ketika seberkas sinar rnerah menyerupai pedang besar
tampak rnelesàt dari langit gaib sebagai kilatan cahaya petir, Dewi
Ular berkelebat cepat sebagai sinar hijaü yang menyongsong lidah
petir itu.
Sebab, jika ia tidak bergerak cepat, maka Dewa Jenaka akan
menjadi sasaran empuk bagi Iidah petir yang bergerak lebih cepat
dari suara dentumannya.
Zlaabb, wuiissst..!
J1eggaaaaaarrr.. ..! Bleguuummmm...!
Dentuman dahsyat yang pertama akibat benturan:sinar hijaunya
Kumala Dewi dengan lidah petir merah, dentuman yang kedua
adalah ge ma maut dari petir itu sendiri.
Dewa Jenaka terbelalak melihat sinar hijaunya Kuma la nekat
diadu dengan lidah petirnya Abadho. Ia mencemaskan nasib Kuma la
yang terpental entah ke mana.
Dengan gerakan aji Badai Purba sang paman dewa berkelebat
mencari keberadaan Dewi Ular.
“Terlalu berani anak itu! Dia belum tahu. kekuatan Abadho
dengan Aji Jagal Guntur-nya itu! Waaah, waaah, waaah.... Bisa mati
hangus anaknya Permana itu! Celakà!. Aku bisa disalahkan oleh
semua penghuni Kahyangan kalau sa mpai terjadi apà-apa páda diri
bocah itu?! Gawat, gawat, gawat...!”
Sambil menggerutu ce mas sendirian,
Dewa Jenaka melayang kian ke mari mencari keberadaan Dewi
Ular. Namun ia se mpat tercengang heran melihat langit koyak dan
berongga hita m.
Dari rongga yang tampak itu menetes butiran meräh yang tak
lain adalah hujan darah. Bersa maan itu terdengar pula suara
meraung besar me menuhi ala m hutan te mbaga.
“Hah...?! Abadho terluka parah rupa‘nyà?! Waah, hebat juga
kesaktian anakmu, Permana. Dia bisa me lukai Abadho, si penguasa
langit gaib itu?! Ya, ya. ..top abis deh Dewi Ular!”
Dewa Jenaka geleng-geleng kepala. Kagum. Setelah itu baru
garuk-garuk kepala. Bingung.
“Tapi, sekarang dia mental ke mana?! Ya, ampuuün... Getaran
dewaniku tak menangkap gelombang hawa sakt inya sama se kali?!”
Dewa jenaka pun berseru sa mbil melayang mengeliling hutan
tembaga ciptaannya sendiri itu.
“Kuma laaaaa...!! Dimana kaaauuuu...!!”
-ooo0dw0ooo-

2
ADA suara tangis di keheningán mala m. Pelan tapi terdengar
dengan jeIas. Tangis itu adalah tangis seorang pere mpuan yang
merintih pilu tak berkesudahan. Tak jelas berapa usianya, tapi
sudah pasti dia seorang pere mpuan. Setiap orang yang mendengar
suara tangis itu akan terharu hatinya, tapi setelah itu akan bergidik
merinding sekujur tubuhnya.
“Kayaknya bukan suara tangis biasâ nih, Dung.”
“Maksud lu?”
“Bukan tangisan manusia.”
“Ah, lu kalo becanda jangan kayak gitu dong. Sekarang mala m
Jumat nih, Cing. Nggak usah pake ngomong begituan, kenapa sih?”
“Yaah, lu takut ya? Payah lu. penakut, jangan jadi Satpam
komple k dong. Biar nggak dapat tugas ronda tengah mala m begini,
bego! He, he, he...!”
Dudung me ngakui dirinva bukan orang yang berani pada hal-hal
bersifat gaib. Ia hanya berani berhadapan dengan kejahatan nyata;
pencuri, rampok, pre man dan sebagainya. Ia pernah berkelahi
me lawan tiga orang pencuri yang bermaksud me mbobol sebuah
ruko di wilayahnya. Ia berani hadapi mereka. Tapi sejujurnya Ia
akui sangat ngeri berhadapan dengan roh halus, atau hantu dalarn
bentuk apapun.
Meski pun Dudung merasa dirinya pengecut terhadap hal-hal
gaib, tapi Ia yakin be lum tentu Ocing lebih berani dari dirinya. Bisa
saja Ocing berpura-pura berani, berlagak menertawakan dirinya,
namun se mua itu se mata-mata untuk menutupi rasa takutnya
sendiri. Atau, bisa saja Ocing tiba-tiba menjadi pe mberani setelah ia
tahu temannya jauh lebih pengecut dari dirinya.
PesoaIannya bukan itu. Masalah yang dihadapi oleh para
penghuni komple k perumaha m Jatiwangi Estate adalah mnculnya
suara tangis seorang wanita yang memilukan, Juga menyeramkan.
Suara itu didengar di mana-mana. Hampir tiap penghuni rumah
mendengar suara tangis yang sepertinya ada di depan rumah, di
belakang, atau di sa mping ruma h mereka.
Beberapa penghuni rumah keluar mencari suara tangis itu.
Namun tidak seorang, pun mene mukan sumber tangisan. Se makin
didekati, suara tangis itu sepertinya semakin menjauh. Akibatnya,
banyak orang yang keluar dari rumahnya hanya. untuk mencari di
mana sumber suara tangisan berasal.
“Saya nggak bisa tidur dengar suara tangisan itu,” ujar seorang
lelaki yang mene mpati rumah di Blok D.
“Saya juga risi mendengarnya, makanya saya keluar mencari
siapa yang menangis dari tadi ngga k berhenti-berhenti,” kata pria
gemuk yang tinggal di Blok K.
“Kedengarannya sih dari samping rumah saya,” timpal seorang
pemuda yang mengaku mene mpati rumah di Blok N, paling
belakang dari urutan Blok di komple k tersebut.
Katanya lagi, “Tapi saya dekati suara itu ternyata bukan dari
samping rumah. Saya ikuti terus, eeeh tahu-tahu saya sampai sini?”
“lih, gue jadi merinding lagi, Cing!” ujar Satparn bernarna
Dudung setelah mereka bergabung dengan orang-orang itu.
”Gue juga,” bisik Ocing. “Kita pulang aja, yuk?”
“Pale lu, pulang: mendingan kita ngete m di pos ajalah.”
Kedua Satpam itu sebenarnya sama-sama bingung. Mestinya
mereka jagá bere mpat, tapi teman mereka yang satu sudah izin
pulang ka mpung dua hari, yang satunya lagi sakit karena habis
kecelakaan ke marin lusa.
Petugas penggantinya belum bisa dipastikan bisa datang atau
tidak, karena tak ada kabar. Mau tak mau ma la m inii hanya mèreka
berdua yang bertanggung jawab atas keamanan komple k
perumahan kelas me nengah itu.
Jarum ja m di pos kea manan menunjukkan pukul satu lewat
beberapa menit. Ocing dan Dudung ternyata tak berani
menimggalkan pos tersebut. Mereka takut kena sangsi berat,
sementara mereka mengaku penghasilannya menjadi Satparn
komple k cukup lumayan. Alangkah sayangnya jika harus kehilangan
pekerjaan tersebut hanya karená terganggu suara tangis misterius.
Untuk mengatasi rasa takut, mereka menyumpal lubang telingä
dengan kapas.
“Gue heran, Cing. ..udah disumpa l pake kapas tapi kenapa suara
tangis itu masih kedengaran jelas, ya?”
“He,eh .! Eeh, stel radio aja! Wayang golek, atau dangdut,
biarlàh. Yang penting ada suara lain, ,biar suara tangis itu ngga k
terlalu mengganggu kita.”
Dudung me nyeringai girang.
Gagasan tersebut sangat tepat menurutnya. Maka, mereka pun
menghidupkan radio dan mene mukan siaran lagu-lagu dangdut.
Mereka me mbunyikan radio cukup keras. Memenuhi ruangan pos
penjagaan yang tak seberapa lebar itu. Tapi belum ada 5 menit,
ternyata radio itu tiba-tiba mati sendiri. Tida k ada aliran listrik yang
bisa masuk ke radio minicompo tersebut Mereka mencoba
mengutak-atik tapi tak berhasil menghidupkan ke mbali minicompo
tersebut .
Suara tangis wanita terdengar lagi. Sesekali hilang, sesekali
muncul dala m te mpo la ma, lalu hilang beberapa menit, muncul lagi
dengan lebih jelas. kedua security itu benar-benar mengala mi
tekanan batin mendapat teror suara tangisan yang selalu me mbuat
bulu kuduk merinding. Karena se makin larut mala m sé makin jelas
suara tersebut seakan berjarak hanya beberapa meter dan mereka.
“Dung, suaranya seperti ada di... di seberang selokan depan itu,
Dung. Coba.. coba lu periksa deh.”
“Ogah. Lu aja sana!”
“Yaaah, eluuu... Atau, kita periksa berdua deh, biar...”
Kata-kata Ocing terhenti. Ada mobil yang mendekati pintu
gerbang dari arah dalam. Mobil itu jelas mau ke luar komple k. Tapi
Ia harus berhenti di pos karena jalan keluarnya terhalang portal
besi.
Dudung segera keluar dari pos, karena ía lebih dulu mengenal
siapa pengeniudi mobil Grand Cherokee warna hitam itu. Tapi
sebelum Dudung menyapa, ternyata si pengemudi mobil lebih dulu
menyapanya dengan kera mahan yang agak tegang.
“Male m, Bang Dudung...’
“Eeh, male m Juga, Tuan Sam...,” Dudung bergegas melepaskan
rantai dan mendorong besi penghalang ja lan. Ocing berseru dari
dalam pos, karena ia pun mengena! eksekutif muda yang sangat
ramah, supel dan mau bergaul dengan siapa saja itu. “Maleeem,
Boss...!”
“Male m, Bang Ocing.” “Mau beli ma kanan ya?”
“Nggak. Mau ke rumah te men.” Dudung sudah me mbukakan
pintu portal, la lu mende kati Sa mon sa mbil bertanya pelan.
“Tuan Sa m, ngomong-ngomong Tuan merasa terganggu nggak
dengan suara tangisan aneh itu?”
“0, sangat terganggu. Nggak bisa tidur. Iya tuh, kenapa sampai
ada suara kayak gitu ya? Padahal kemarin-ke marin nggak ada suara
aneh begitu kan?”
“Kita berdua di sini juga heran. Kayaknya ada sesuatu yang mesti
ditangani oleh ‘orang pinter’ nih.”
“Makanya saya paksain ke luar ja m segini. Mau je mput teman
yang bisa ngatasin suara aneh itu.”
“Wah, itu ide bagus, Boss. Bagus se kali itu!” Ocing ta mpak
senang, dan berapi-api me mnjinya. Dudung pun menyatakan hal
yang sarna. Ia berharap orang yang diandalkan Sa mon itu benar-
benar ma mpu me mbuat tenang ke mbali suasana komple k tersebut.
Mobil Jenis Jeep warna hitam itu me luncur di kesunyian niala m.
Jalanan yang lengang membuat Sa mon tak khawatir menge mudikan
mObil dala m kecepatan tinggi.
Ia sengaja ngebut biar lekas sa mpai dan bisa cepat me mbawa
temannya itu pulang. Suara tangis misterius yang rnengganggu
semua penghuni komple k Jatiwangi Estate harus segera dihentikan
Sam menyadari bahwa suara itu makin la ma se makin mengganggu
kejiwaan se mua orang yang mendengarnya. Larna-la ma banyak
orang menjadi gila karena tertekan jiwanya. Ia sendiri hampir stress
menghadapi gangguan itu.
Sayangnya, upaya mencari solusi itu mene mui ha mbatan. Di luar
dugaan tiba-tiba mobilnya kehilangan tenága. Mesin màti. Sam baru
ingat bahwa tadi ia lupa belum isi bensin. Sedangkan bensin
cadangan tak ada. Pom bensin cukup jauh.
Mobil itu akhirnya berhenti di pinggir jalan. Dekat dengan warung
tenda yang masih buka.
Jaraknya sekitar 20 meter dari tempat berhentinya mobil Sa mon.
Warung tenda itu menjual roti bakar, mie rebus, dan beberapa
minuman mala m. Sepertinya kurang begitu laku. Tak ada orang
yang makan di situ, atau sekedar nongkrong untuk minum kopi.
“Cari bensin ke mana, ya? Seingatku pom bensin masih jauh dari
sini. Sia l!” Sa m menggerutu sendiri.
“Mobil angkot nggak ada yang lewat Kalau toh ada, siapa yang
disuruh beli? Masa’ mobil kutingga l di sini, sementara aku cari
bensin? Apa a man? Ah, nggak. Te mpat ini nggak a man. Sebaiknya...
o,ya. . . sebaiknya aku cari tahu dulu sa ma orang di warung itu.
Siapa tahu dia mengetihui pom bensin terdekat, atau bisa kusuruh
beli ke sana. Daripada aku yang berangkat dan meninggalkan mobil
ini, mendingan aku suruh orang. Kasih upah agak gede dikit ngga k
masalah...”
Di dala m warung tenda itu ada seorang anak remaja berkaus
lusuh, mengenakan topi dibalik. Dan, seorang wanita berusia sekitar
35 tahuñ kurang. Mengenakan sweater merah. Rambutnya ika l
selewat pundak. Dijepit dengan bando warna pink. Badannya sekal.
Tidak ge muk, tapi padat berisi. Tingginya sekitar 170 cm. Berkulit
kuning langsat.
Samon se mpat tercengang beberapa detik begitu wanita itu
berbalik menghadapnya. Ternyata ada kecantikan yang sangat
menarik di wajah berhidung mancung itu. Kecantikan yang terkesan
matang itu merniliki sepasang alis yang tebal namun tersusun indah
di atas sepasang bola mata yang agak lebar. Bola mata itu sendiri
me mancarkan ke indahan yang sulit diurai dengan kata-kata.
“Cantik juga dia?” guma m hati Sa mon. “Mungkin kecantikan itu
diandalkan bisa menjadi daya tarik bagi pe mbeli agar séla lu datang
ke warung ini. Tapi, kenapa sepi? Apakah karena sudah larut malarn
sehingga sudah tak ada pe mbeli yang datang?”
Samon yang tertegun segera menggeragap ketika mendapat
sapaan ramah dari pere mpuan cant ik itu.
“Silakan duduk, Mas. Mau roti bakar apa mie rebus?”
“Hmm, eeh... nggak, saya cuma mau numpang tanya, apakah
Mbak tahu te mpat orang jual bensin yang pa ling dekat dari sini?”
“Waah, setahu saya sih ya cuma pom bensin yang di dekat
pertigaan sana yang paling dekat. Kenapa? Mobilnya kehabisan
bensin?”
“Hmmm, iyy, iya... kehabisan bensin. Duuh, gimana ya?”
Sam duduk di bangku itu, tapi menghadap ke jalanan, sambil
mengawasi mobilnya.
Ia benar-benar bingung. Apa yang harus dilakukan dan apa yang
harus dikatakan lagi. Kecantikan tanpa make up itu se mpat
menggoda hatinya, sehingga ketenangan berpikirnya jadi
terganggu.
“Sebentar lagi ada angkot lewat kok. Pasti lewat depan pom
bensin. Mas bisa ke sana, dan mobil biar karni jagain deh.”
“Hmm, iya... tapi... tapi...”
“Atau, biar pelayan saya yang beli bensin ke sana? Mas bisa
tunggu sini sa mbil ngopi atau...”
“0, ya... bisa minta tolong, ya? Maksud saya, bisa suruh Mas itu
untuk beli bensin di pom sana? Hmrnm, nanti saya kasih uang
lelahnya deh.”
“Bisa aja,” ke mudian pere mpuan berbibir sensua l itu bicara pada
anak re maja yang ternyata pelayannya.
“Bar, tolongin Mas itu be li bensin, ya?”
“Ya, Mbak.”
“Kasihan, mobilnya mogok kehabisan bensin. Ntar ngga k bisa
pulang,” seraya la tertawa kecil.
Tawanya renyah dan indah.
“Aduuh, terirna kasih sebelumnya. Terirna kasih...”
“Tapi, ternpatnya ada nggak?”
“Hmmrn, wah... jerigen kecil saya juga ketinggaln tuh. Tapi saya
ada bekas botol air mineral. Cukuplah bensin sebotol buat
sementara. Asal jalan saja. Sebentar saya ambil.”
Sambil menga mbil botol be kas air mineral, hati Sa mon berdecak
heran dan kägum.
“Nggak sangka di warung sederhana kayak gitu ada daya tarik
istimewa yang bisa bikin setiap pe mbeli maunya jadi pelanggan di
situ. Cántik sekali dia. Bodynya juga okey banget. Pantasnya dia
nggak jadi pe milik warung tenda kayak gitu. Jadi pe milik café
bergengsi lebih pantas. Duuh, jantungku jadi berdetak-detak.
Waaah, gawát nih, hehehehe...” Sam tertawa dalam hati. Merasa
ma lu pada diri sendiri setelah menyadari hatinya tertarik pada
kecantikan di bã lik warung tenda.
Barno, pelayan yang masih berusia sekitar 16 tahun itu, akhirnya
pergi juga setelah me nunggu angkot sekitar 10 menit. Sela ma
menunggu ke mbalinya Barno, Sam terpaksa me mesan minurnan
hangat Ovaltine. Paling tidak hal itu sebagai balas Jasa atas bantuan
yang diberikan oleh perempuan cantik itu.
“Emang mala m-ma la m begini mau ke mana, Mas? Mau pulang ke
rumah apa mau pergi ke suatu tempat?” tanyanya sambil
menyiapkan pesanan Sa mon.
“Mau ke rumah te man, Mbak. Ada keperluan penting. 0, ya... jam
segini kok belum tutup, apa nunggu sua minya datang.., Ya ? "
“Ka mi biasa tutup menjelang pukul tiga, Mas.”
“Ooo, kirain nunggu dije mput sua minya.”
Sambil menghidangkan segelas ovaltine panas perempuan itu
tersenyuni malu dan berkata dengan nada ringan.
“Udah la ma nggak punya sua mi kok, Mas.”
“0, ya...?!”
“Udah kabur, nggak tahu ke ma na dia. Dengar kabarnya aja
nggak pernah,” ujarnya dengan aksen Jawa cukup kental. Ia tidak
ke mbali ke balik meja dagangan, me lainkan duduk da la m satu
bangku dengan Sa m, walau jaraknya lebih dari satu jangkauan.
“Ooooo... jadi, usaha begini cuma dibantu pelayan satu, si Barno
tadi?” Sa mon menge luarkan sebungkus rokoknya, lalu menyalakan
sebatang.
“Biasanya ada dua pelayan, tapi yang satu lagi sedang pulang
kampung. Jadi, ya cuma satu orang yang bantuin saya.”
Sam mengguma m dan manggut-manggut Berusaha untuk tetap
tenang, walau pun setiap kali beradu pandang dadanya selalu
bergemuruh. Seolah-olah detak jantungnya menjadi sangat cepat
“Sudah berapa tahun usaha begini, Mbak? O,ya... Mbak siapa sih
panggilannya?”
“Mbak Ajeng. Dari anak kecil sarnpai orang tua manggil saya
rata-rata Mbak Ajeng semua. Padahal narna saya bukan cuma Ajeng
saja. Ada terusannya.” Ia tertawa malu, tapi justru makin cantik,
makin menawan, dan makin me mbuat Samon seperti dibakar api
ke mesraan.
Ketika pere mpuan itu ganti menanyakan na ma ta munya, Sam
pun menyebutkan na manya dengan je las.
Hampir lima belas menit sudah sejak kepergian Barno, ternyata
anak itu beum juga ke mbali. Me mang tak ada kendaraan umum
yang lewat dari arai pom bensin sejak tadi. Ke mungkinan besar
Barno sendiri jengkel me nunggu angkutan umum belum ada yang
lewat. Dan, waktu menunggu itu telah me mberikan pe luang banyak
bagi Sa m dan Mbak Ajeng untuk ngobrol apa saja yang ingin
mereka obrolkan. Termasuk tujuan Sa m yang sebenarnya.
“Lho, me mangnya kenapa kok mala m mala m begini harus carl
‘orang pintar’? Apa ada ke luarga yang sakit?”
“Bukan sakit, tapi ada gangguan dari ala m gaib...,” Sam
rnenjelaskan secara singkat tentang suara tangis misterius itu.
“Oooo, kalau cuma begituan sih, kenapa mesti jauh-jauh panggil
‘orang pintar’, Mas. Buang waktu dan buang tenaga.”
“Maksud Mbak Ajeng... di sekitar sini ada ‘orang pintar’ yang bisa
mengatasi gangguan maca m itu?”
Mbak Ajeng me nyunggingkan senyum ma lu-malu.
“Mas tingga lnya...”
“Panggil aja saya; Samon atau Sa m,” potongnya cepat.
“Tinggalnya jauh dari sini?”
“Di komplek perumahan Jatiwangi. Tahu kan?”
“Hmm, ya, ya... saya tahu. Kalau begitu, nanti kalau Barno sudah
datang, biar dia kemasi se mua dagangan di sini. Kita segera menuju
ke rumah situ deh.”
“Terus, je mput si ‘orang pintar’ itu di mana?”
“Nggak usah dije mput. Kan sudah ada di depan situ.”
Sam terhenyak bungka m. Matanya menatap dalam keraguan.
Ajeng bergegas bangkit mengha mpiri kompor yang tadi lupa
dipadarnkan apinya. Sambil pergi ke sana ia berkata agak pe lan.
“Yaaah, itu sih kalau situ percaya dengan ke ma mpuan-saya.
Kalau ngga k percaya, ya jangán dipaksain. Ntar ma lah kecewa.”
“Mbak Ajeng serius nih?”
Perempuan itu me mbalikkan badan, menatap Sanion.
“Apa perlu bukti?”
Tatapan matanya begitu tajam, na mun punya getaran indah
yang terasa menembus Sa mpai ke ulu hati. Bikin hati bedesir-desir.
“Ka mu sudah tiga kali pacaran, kan? Tapi selalu saja pacarmu
menikah duluan karena dijodohkan oleh orang tuanya?”
Samon tertegun kaget. “Dari mana dia tahu, ya?” pikirnya sambil
tersenyum-senyum kecil menutupi rasa ma lunya.
“Pacarmu yang kedua berdarah ca mpuran, kan? Dia mirip orang
bule. Rarnbutnya pirang, matanya biru. Sering disangka orang bule
beneran. Betul?”
Kali ini wajah Sam tercengang jelas-jelas. Luar biasa kagetnya
hati Sam mendengar Mbak Ajeng bisa menyebutkan ciri-ciri
Francisca, pacar keduanya itu. Hati semakin berdeba-rdebar stelah
menyadari bahwa ternyata di warung tenda itu Ia justru bertemu
dengan ‘orang pintar’ yang ma mpu meneropong kehidupan masa
lalunya. Bahkan, rnasalah pribadinya di kantor pun bisa dibeberkan
oleh Ajeng dengan sangat lancar.
“Ada perempuan separoh baya yang sedang jatuh cinta pada mu
di kantor. Ia ingin sekali bisa tidur bersarnamu. Ia selalu
me manja kan dirimu, mengistimewa kan dirimu, tapi kamu selalu
menghindar karena dia adalah atasanmu sendiri. Dan, kamu merasa
bahwa kehangatan asmararnu tidak bisa dibeli dengan
kekuasaannya. Betul begitu?”
“Cukup, cukup... !“ potong Samon secepatnya. “Okey, okey...
saya percaya Mbak ‘orang iintar’. Tapi tolong jangan kupas rahasia
pribadi saya lagi. Saya malu sa mbil tertawa cànggung dan salah
tingkah-sendiri.
“Bayangan kehidupanmu bisa kulihat dengan jélas lewat
pandangan mata mu, Sam. Bahkan tanpa menatap mata mu pun aku
bisa mela kukannya.”
“Iya, iya... saya percaya, Mbak... saya percaya.... Cukup deh,
jangan diteropong lagi pribadi saya,” pinta Sam sambil mengangkat-
angkat kedua tangannya tanda menyerah. Táwanya tetap tawa
yang sumbang karna bingung menye mbunyikan rasa malu.
Kini tatapan mata Ajeng tak setajam tadi. Ekspresi wajahnya
ke mbali ceria, senyüm manisnya mulai ta mpak menggoda lagi.
“Jadi, bagaimana?”
“Iya, deh... Saya setuju dengan rencana tadi tolong singkirkan
suara tangis yang menyiksa batin ka mi itu. ya Mbak.”
“Boleh. Tapi.... kalau ada syaratnya, keberatan nggak?”
“Ada syaratnya? Hmmm, boleh tahu apa syaratnya?”
Mbak Ajeng menatap dengan pandangan yang makin
rnembangkitkan hasrat asmara. Mata indahnya itu menjadi sedikit
sayu. Sementara senyumannya menjadi se maca m magnit yang
nie miliki daya tarik sangat kuat, sukar untuk dihindari atau pun
dilawan.
Samon menelan ludah sendiri sambil berkata dala m hatinya,
‘Jangañ-jangan aku salah mengartikan syarat yang dià maksud?
Waaah, bakalan ma lu lagi kalau aku sa lah paha m nih...”
-ooo0dw0ooo-

3
JARUM jam bergerak tepat di angka 12. Maka, ja m dinding itu
berdentang dua kali. Bukan dua belas kalL Karena yang bergerak ke
angka 12 tadi, jarum yang panjang, sedangkan jarum yang pende k
menanti dengan setia di angka dua.
Dentang jam dinding itu mengge ma me menuhi rumah indah
sang putri dewa. Suasana sepi me mbuat suara tersebut menjadi
cukup keras, me mbangunkan Sandhi yang tertidur di sofa panjang
ruang tengah. Dilihatnya Buron masih me ma inkan re mote control
mencari tayangan TV yang cocok dengan seleranya. Beda-beda dikit
tak apalah, pikirnya.
Sandhi pindah tidurnya ke ka mar. Saat menuju ka mar Ia se mpat
me le mpar kepala Buron dengan bantal yang tadi dipakainya tidur di
sofa. Buuk...!
“Nggak tidur lu?!”
“Ntar...,” jawab Buron pendek. Ia tak marah kepalanya dile mpar
pakai bantal karena pelan, dan sudah hal biasa bagi mereka berdua
untuk bercanda kurangajar seperti itu.
“Udah ja m dua nih, Ron. Lihat tuh... !"
“Iya, gue tau. Cerewèt Lu, ah!”
“Emang ntar ada pertandingan bola ..?!’
“Nggak.”
“Ya, udah. Matiin aja tevenya. Hemat listrik tau!”
“Gue lagi nungguin Sa mon, bego!” sentak Buron.
Ia merasa kesal digurui terus seperti anak kecil. Sandhi tak jadi
masuk ka mar. Berhenti di depan pintu dan menatap Buron dengan
mata masih sayu karena belum tuntas masa kantuknya.
“Sa mon? Ema ng dia mau ke sini .. ?"
“Dia mau je mput gue.Tadi dia telepon, katanya di daerah tempat
tinggalnya dari tadi ada suara orang menangis. Dicari orang
sekomplek ngga k ketemu, tapi suara itu masih tetap ada
mengganggu ketenangan para penghuni komplek tersebut. Tadinya
dia mau minta Kuma la supaya datang ke sana. Tapi karena gue
bilang Kumala nggak ada di rumah, maka dia paksa gue supaya
menangani misteri itu, gantiin Kuma la. Dia mau je mput gue ... "
Kata-katanya berhenti karena merasa tak ada respon dari Sandhi.
Ketika ia menatap ke arah pintu ka mar, ternyata Sandhi tertidur
sambil berdiri dan bersandar di kusen pintu. Buron kesal. Dia a mbil
bungkus rokok kosong dan dile mparkan tepat mengenai kening
Sandhi.
“Ka mpret luh, dijelasin ma lah molor!! Huh... !
Ptetaak...!
“Aaauh...!!” pekik Sandhi langsung menyeringai. Me megangi
jidatnya yang terasa seperti dile mpar dengan sepatong kayu keras.
Padahal hanya gumpalan kertas pembungkus rokok yang
sebelunmya sudah dire mat-remat Buron. Kertas bungkus rokok itu
tidak akan sekeras kayu mahoni kalau tidá k diisi tenaga gaib saat
dire mat-remat oleh jelmaan Jin Layon itu.
“Candaan lu kasar,Sapi!” sambil mele mparkan bantalnya, tepat
mengenai muka Baron.
Buron tertawa pelan melihat Sandhi bersungut-sungut sa mbil
mengusap-usap jidatnya. Ternyata lemparan tadi telah membuat
rasa kantuk hilang seketika.
Bahkan selera untuk berbaring pun tak ada lagi. Sandhi bergegas
ke ruang makan Me mbuka kulkas, minurn air es dari botol. Lalu,
menya mbar sepotong kue bikinan Ma k Bariah tadi sore dan
me ma kannya sambil ke ruang tengah lagi.
“Jam berapa lu ma u dije mput Sa mon?”
“Dia bilang sih paling la ma setengah jam. ini udah lebih dari
setengah jam be lum muncul juga. "
“Telepon ke HP-nya.”
“Udah gue coba. HP-nya nggak a ktif.”
“Hmm, kalau gitu..., lu dikerjain a ma dia.”
“Gue yakin nggak dikerjain. Gue malah mence maskan dia.
Jangan-jangan ada sesuatu yang menghalangi perjalanannya
ke mari. Dari tadi gue kebayang terus mukanya tuh.”
“Lu homo kali, pengen ciuma n a ma dia,” ujar Sandhi seenaknya.
Me mberi kesan tak serius menanggapi kece masan Baron. Karena
selama ini Buron dikenal sebagai jelmaan sesosok jin yang suka usil,
konyol dan slebor, maka firasatnya jarang dipercaya Sandhi sebagal
firasat yang serius. Berbeda dengan, Kumala Dewi. Firasatnya selalu
serius dan terbukti dala m kenyataan yang ada.
Sayang sekali mala m itu Kuma la Dewi tida k ada di rumah.
Kumala telah dije mput oleh utusan dari Kahyangan. ia dipanggil
pentolan dewa-dewa Kahyangan untuk me mbahas sesuatu yang
sangat pemting.
Semula Kuma la ingin menolak panggilan itu, mengingat dulu
ketika ia lahir ia dibuang ke bumi hingga sekarang. Tetapi sang
utusan yang diwakili oleh Dewa Bahakara alias Dewa Jenaka itu
telah menggunakan siasat paksaan halus, yaitu dengan me nana m
benih janin ke dala m perut cowok kesayangan Kumala, yaitu Rayo
Pasca.
Jika undangan itu tetap ditola k oleh Kumala, maka da la m waktu
dekat Rayo akan hamil dan melahirkan. Tentunya hal itu a kan
me ma lukan pribadi Rayo sebagai pria sejati, Karena itu lah Kuma la
terpaksa bersedia dijemput dan dibawa ke Kahyangan, (Baca serial
Dewi Ular da larn episode: “Misteri Santet Iblis”).
Perjalanan mereka diawali tadi pagi, setelah Kuma la
menyelesaikan kasus Santet iblis.
Tentunya Sandhi maupun Buron menyangka perjalanan Kuma la
ke Kahyangan lancar-lancar saja.
Apalagi mereka tahu Kumala tida k sendirian, ada Dewa Jenaka
yang menda mpinginya sebagai utusan terhormat dari Kahyangan.
Dewa senior itu tentunya akan melindungi Kuniala jika terjadi
sesuatu.
Tetapi dalam pra kteknya si dewa senior justru terkagum-kagum
me lihat keberanian Kuma la beradu kesaktian dengan senjata
mautnya Penguasa Langit Gab Abadho. Setelah terkagum-kagum si
dewa senior terbingung-bingung karena kehilangan Kumala.
Dewa Jenaka kali ini bersungut-sungut sa mbil menggerutu
bergaya ABG bumi.
“Gue aja sela lu hindari Aji Jagal Gunturnya si Abadho, eeh... dia
ma in slonong boy aja. Akibathya ya beginilah. mental ke mana tuh
anak ya? Wah, jangan-jangan mokat, alias mati?! Aduuhh, jangan
sampai deh, jangan sampai mati . Gue bisa bunuh diri ka lau dia
sampai mati. Eh, tapi katanya bunuh diri kan dosa, ya? Nggak jadi
deh. Kapan-kapan aja ka lau lagi mood ... "
Sambil mencari dengan getaran radar gaibnya si dewa Bokis
berceloteh terus tiàda hentinya. Kadang dengan suara kadang
hanya dibatin saja. Dewa Bokis bertambah ce mas karena radar
gaibnya tidak dapat menangkap sinyal gelombang gaibnya Dewi
Ular. Akibatnya Ia tak dapat memperkirakan dimana titik koordinat
Dewi Ular berada.
Ada beberapa faktor yang me mbuat sinyal ge lombang gaib tidak
dapat terdeteksi pihak lain. Satu di antaranya, apabila orang
tersebut berada dalam ruang ha mpa gaib. Kesaktian setinggi
apapun apabila berada dalam wilayah ruang hampa gaib, ma ka
pihak la in tidak alsan bisa menangkap sinyal gaibnya, demikian juga
yang berada di situ tidak dapat menangkap sinyal gaib dari luar.
Tetapi energi gaib yang dimiliki tetap ada. Hanya tidak berfungsi
untuk me lakukan komunikasi ga ib dengan piha k luar.
Apakah Dewi Ular saat ini berada di wilayah ruang ha mpa gaib ?
Jawabnya, ya! Akibat adu kesaktian dengan Aji Jagal Guntur
andalannya si Penguasa Langit Ga ib, sinar hijau berbentuk seperti
naga kecil itu bagaikan kapas tertiup badai. Melesat cepat dalam
keadan hilang keseimbangan.
Sebenarnya seberkas sinar apapun tak dapat terpental. Tapi
karena di dalamnya terdapat energi padat dari kesaktian Dwi Ular,
maka sinar hijau itu dapat terpental hingga masuk sumur kecil tanpa
air.
Sumur itu hanya berisi gumpalan kabut berwarna kuning, seperti
uap belerang.
Garis tengah sumur itu tidak lebar, sekitar dua kali ukuran
tombak. Permukaannya tertutup kabut putih, sehingga tidak mudah
terlihat oleh siapa pun. Mirip lubang ja lanan yang digenangi air. Tak
ada yang menyangka kalau di situ terdapat sumur tanpa a ir. Meski
pun Iebarnya tak seberapa, tapi kedalamannya sungguh tak dapat
diduga.
Ketika sinar hijaunya Kumala masuk ke situ, Ia merasakan
gerakan meluncur ke bawah cukup la ma. Saat meluncur di
kedala man sumur itu Kuma la Dewi tak dapat melihat apa-apa selain
warna kuning, yaitu kuningnya kabut yang baunya mirip daun
ke mangi.
Semakin turun se makin jelas warna kuning itu, seperli cahaya
pagi. Makin la ma makin jelas, dan akhirnya Ia temükan suasana
terang tapi tak benderang. Seperti suasana senjadi bumi.
Zlaaab. .! Sinar hijau mirip naga kecil ilu berubah menjadi sosok
gadis cantik berambut panjang dengan pa kaian ketat berwarna
hijau, bercelana lentur sebatas betis.
Kedua kakinya mengenakan se maca m sandal yang terbuat dari
bahan Lentur dengan tali melilit silang - menyilang sampai ha mpir
menutupi betis indahnya.
Kedua kaki itu kini menapakdi atas tanah bertimput le mbut, mirip
lurnut warna orange.
Sebelum Ia bergerak Ieblh lanjut, ía terpaksa menarik napas
panjang. Ada rasa sakit di tulang rusuknya. Mungkin akibat adu
kekuatân déngan Aji Jagal Guntur, sehingga ia terluka di bagian
rusuk kanan. Dengan me narik napas panjang dan menyalurkan
hawa saktinya, maka rasa sa kit itu berangsur-angsur hilang.
Kini mata beningnya yang berbulu lentik lebat itu menatap ala m
sekeliling. Alisnya. sedkit mengeriñyit, menandakan Ia merasa asing
dengan tempat tersebut.
“Di mana aku ini?!”
Tempat yang aneh namun punya keindahan itu me miliki langit
juga. Tapi langit di situ tida k setinggi jarak pandang langit di bumi.
Langit itu me mpunyai gumpa lan mega yang berwarna merah
tembaga, namun sebenarnya langit itu sendiri me mliki warna dasar
kuning keperak-perakan.
Anehnya, udara di bawah langit itu mempunyai lorong-lorong
yang ditandai dengan warna kabut hita m. Ada yang lorong me miliki
warna kabut merah, biru dan ungu. Ketebalan kabut yang bergerak-
gerak me mbuat Kuma la tak bisa me lihat ada apa di da la m lorong
berkabut itu.
Di depan matanya terdapat hamparan rumput orange yang
sangat luas. Menyerupai padang golf. Pohon-pohonnya tertata rapi.
Tumbuh teratur. Tidak liar. Daun dan batang pohon rata-rata
me miliki unsur warna kuning. Ada yang kuning gading, kuning
kunyit, ada yang kecoklat-coklatan.
Tanah berumput yang mengha mpar di depan mata Kuma la Dewi
itu tidak datar seperti lapangan bola, melainkan me miliki gundukan-
gundukan berge lombang, seperti susunan tanah di padang golf.
Pada salah satu sisi terdapat serumpun bambu yang tumbuh
bergerombol dan berderet membentuk huruf U. Warnanya kuning
gading dengan daun coklat agak tua. Ba mbu-ba mbu itu tumbuh
me lingkari sebuah danau yang berbentuk bundar. Cukup besar.
Airnya berwarna hijau giok. Bening me nyegarkan.
“Aaih, bagus sekali air danau itu. ? ! “
Kumala Dewi tersenyum kegirangan, lalu segera menghampiri
danau tersebut.
Namun belum sa mpai kaki Kumala mendekati pinggiran danau,
tiba-tiba ia merasakan datangnya hawa panas dari arah belakang.
Dengan cepat Ia berbalik ke belakang, dan dilihatnya sebongkah
batu berkobaran lidah api sebesar kepala bayi sedang meluncur
cepat ke arahnya.
Seketika itu tangan Kumala berkelebat sambil tubuhnya
me layang ke atas.
Wuuusst...!
Tangan itu mengeluarkan se mburan asap putih berbintik-bintik
hijau, lalu rnenghanta m batu terbungkus api.
Jegaaaarrr...!
Ledakan itu me mbiaskan sinar orange. Menyebar cepat,
menghanta m tubuh Dewi Ular. Maka, tubuh itu pun terhempas ke
belakang, lalu jatuh ke tanah berumput dengan cukup kuat.
Bluuugh...! , Dewi Ular langsung menyeringai. “Aauulthkk...!!”
Tulang punggungnya terasa seperti patah. Sementara itu pakaian
hijaunya me mbe kas warna hitam hangus. Me mbentuk garis
me lintang dari dada kiri ke perut kanan. Ia juga merasakan luka
bakar yang cukup serius di bagian perut dan dadanya.
"Uuuhhkk...! Sakit -sekali ... ! Dada dan. perutku pasti robek dan,
oohhhkk...! Urat-uratku seperti putus semua! Celaka. Aku sulit
bergerak, aahk,..aahk, aaahhk..!"
Ia berhasil, duduk. Terengah-engah. Mata tetap waspada.
Dilihat dari luka pada bagian dada sa mpai perut, Kumala Dewi
yakin lawannya pasti punya kesaktian cukup tinggi. Sinar yang
me mbias tadi me mang me luka i tubuhnya, tapi tidak me mbuat rusak
pakaiannya, kecuali hanya bergaris hitam. pakaiannya tetap utuh,
Dan, itu berarti jenis kesaktian yang diguna kan bukan kesakt ian
tingkat sedang. Pasti tingkat tinggi.
"Haaagghh ... !" Dewi Ular mengerahkan hawa salju dari dala m
tubuhnya. Hawa salju itu dialirkan ke sekujur tubuh, sehingga
lukanya tidak terasa, sakit. Ia dapat bangkit kembali.Hawa murni
menga lir deras, sehingga me mbuat luka koyak di dada dan perut itu
segera bergerak menutup dan akhirnya lenyap tanpa bekas.
Sayang, tak seorang pun, boleh melihat bagian bekas luka itu.
Kena sensor.
"Ke mana dia?" bisik hati Kuma la. "Atau mungkin dia me mang
hanya sekedar ingin berkenalan dan mengujiku?"
Aji Mata Dewa segera digunakan. Setiap sudut te mpat
diperhatikan. Akhirnya ia mene mukan sesuatu yang mencuriga kan
di antara dua pohon berdahan rimbun baga ikan sepasang payung.
Kekuatan aji Mata Dewa membuatnya mampu melihat pada
lapisan udara. di antara kedua pohon. Ada energi panas yang
sedang aktif. Maka dengan cepat jari tangannya dikibaskan seperti
me le mpar pisau belati, dan ujung jari itu mengeluarkan sinar hijau
berbentuk runcing, mirip mata tombak.
Claaap... !
Sinar itu luar biasa cepatnya, sehingga dalam sekejap sudah
menerjang lapisan udara di antara dua pohon.
Bleeegaarr...!
"Aahkk ...............!!!!"
Ada suara pekikan pendek. Suara itu bersamaan dengan
pecahnya lapisan udara dan terle mparnya sesosok tubuh dari sana.
Wuuut, bruuuss ... !
Srossssoooooott ....... !!!
Tubuh.yang terlempar.dari perse mbunyiannya itu meluncur
seperti kereta salju di atas rerumputan. Kuma la Dewi segera
mengejarnya. Bukan untuk menghajarnya kemba li. Na mun hanya
mengikut i sa mpai tubuh itu berhenti dari me luncurnya.
"Hahh... ??!" tersentak suara kaget Kumala setelah mengetahui
bahwa musuh yang dihanta mnya tadi ternyata gadis kecil berusia
sekitar 6 tahun. Tubuhnya agak kurus, tapi berkulit kuning bersih.
Wajahnya mungil, matanya bundar indah, rambutnya panjang
berponi di bagian depan.
"Ya,. ampuuun...! Ooh, maafkan aku:, maafkan a ku, Dik... !"
Kumala Dewi sangat menyesali tindakannya tadi. la segera
berlutut menolong lawannya, karena anak tersebut menye ringai
kesakitan dan me ngala mi sukar bernapas.
Dewi Ular segera menyalurkan hawa suci untuk pengobatan.
Dala m waktu singkat anak itu pun mula i bisa bernapas longgar dan
tidak menyeringai kesakitan lagi.
"Maafkan -aku, ya Dik? Kalau tahu kau masih ana k-anak, aku
tidak akan menyerangmu! Maaf, ya?"
"He,eh ... Nggak apa-apa kok, Kak. Tadi aku juga na kal, coba-
coba gangguin Kaka k."
"Oo., jadi benar, tadi yang menyerangku ka mu?"
Gadis cantik nan mungil itu menganggukkan kepala dengan
sangat lugu. Polos seka li sikapnya.
"Tadi a ku coba-coba mainkan tanganku maju-mundur, eeh tahu-
tahu keluar apinya. Api itu nyerang Kakak... terus... terus, mele-
dak,keras sekali. Aku.takut. Maka, aku se mbunyi. Maapin aku juga,
ya Kak."
"Iya, iya... Kakak nggak marah kok,"' Kumala Dewi me mberikan
senyum kera mahannya , supaya anak itu yakin betul ka lau sang
kakak benar-benar tidak marah.
Sebab, saat menuturkan penga kuannya tadi, wajah mungil
secantik boneka itu tampak ketakutan. Rona penyesalannya
kelihatan jelas. Maka, Kuma la harus segera menetralkan perasaan
bersalah anak tersebut.
"Ka mu bisa panggil aku Kak Mala, ya? Nama kakak Kuma la Dewi.
Nama ka mu siapa?"
"Hmmm, hmmm... nggak tahu, Kak."
"Lho, kok sa ma na manya sendiri nggak tahu?"
"Habis, aku lupa, Kak. Waktu a ku jatuh kejeblos lubang,
kepalaku, terbentur-bentur. Sakiiiit, sekali. Terus, aku nggak tahu
bagaimana, eeh... tahu-tahu,,.aku udah di sini."
"Sendirian ...!”
"He,eh. Sendirian. Aku takut. Terus aku nangis. Lamaaaa... sekali
aku nangis. Habis, aku lapar, hauuus banget.. Mau minum a ir
danau., tapi takut mati. Habisnya, aku lempar kayu di danau, eeh...
kayunya langsung terbakar. Jadi, aku nangis .terus. Sampai ada
bayangan orang kasih minuman, ada teh, ada kopi, ada air putih...,
terus, aku minum bayangan itu. Uuh, lega deh. Hausku jadi ilang..."
Kumala dewi mengguma m haru. "Ka sihan anak ini..."
Lalu, ia bertanya, "Jadi ka mu bukan tingga l di sini?"
"Bukan," ia menggeleng dengan lugu. "Ka mu tingga l di mana?"
"Ngggg... nggak tahu. Aku lupa."
"Orang tuamu siapa?"
"Naah, itu juga aku lupa, Kak. Aku udah berusaha ingetin.
la maaa... sekali, eeh nggak inget-inget juga. Kalau aku paksain
inget-inget terus, kepalaku jadi sakit. Eeh, tapi sekarang rasa ngilu
di kepalaku kok udah nggak ada? ,Udah se mbuh, ya Kak?".
"'Mudah-mudahan," jawab Kumala sa mbil tersenyum le mbut.
Sebenarnya ia ingin katakan, bahwa hawa suci yang disalurkan
darinya tadi dapat untuk menyembuhkan se mua penyakit yang
diderita anak itu.
Tapi agaknya keterangan tersebut belum diberikan, mengingat si
gadis kecil tidak me mbutuhkan penjelasan seperti itu.
Kumala hanya berkata dala m, hatinya, "Anak ini jatuh, terperosok
lubang, mungkin sama dengan keadaanku tadi. Bedanya, kepala dia
terbentur-bentur, sedangkan aku nggak sampai begitu. Mungkin
benturan di kepa la itulah yang me mbuatnya lupa jati diri. Ka lau
bahasa ilmiahnya... amnesia."
Gadis mungil secantik boneka Barbie itu me mang ta mpak lugu
dan polos. Tapi se benarnya ia me miliki kesaktian yang cukup
lumayan. Barangkali kesaktian itu adalah kesakt ian turun temurun,
yang didapatkan, tanpa melalui berlatih dan bertapa. Namun dari
mana ia berasal sebenarnya, sulit dipastikan. Mungkin anak manusia
bumi hasil perkawinan silang dengan dewa, atau mungkin anak dari
penghuni planet la in-yang jauh dari bumi.
"Dilihat dari pakaiannya yang serba ketat, warna merah, kainnya
halus dan bagus, berhias manik-manik intan, aah... aku yakin dia
bukan anak biasa. Setidaknya anak raja atau penguasa yang punya
status terhormat. Hmm, tapi badannya berbau wangi? Apakah dia
anak dewa juga? Cuma... aroma. wanginya kok nggak kayak aroma
dari badanku, ya?"
Anak itu berkata, "Kakak, kamu jangan mandi di danau itu. Nanti
bisa kebakar lho."
"Apa iya?"
"Danau itu ada racunnya."
"Dari mana ka mu tahu?"
"Kan aku pernah. le mparkarr kayu, terus kayunya kebakar. Kalau
kakak kebakar, nanti kakak item Iho. Nggak cantik lagi kayak aku..."
sambil ia tersenyum malu.
Lucu dan me mbuat Kumala tertawa geli. la cubit pipi si bocah
dengan ge mas, lalu Kumala pun berkata padanya.
"Ka mu kuberi na ma Barbie aja,,ya? Buat sementara aja."
"Barbie itu apa binatang yang katanya suka dipotong dan
dimakan ma nusia bumi .”
"Itu... babi!",Kumala tertawa. "Kecil kecil kok udah ma in plesetan
kata kamu ini. Barbie itu Hanya boneka. Lucu, cantik, dan mungil
kayak ka mu. Bagaima na, mau kan kuberi na ma Barbie?"
"Nanti a ku jadi boneka?"
"Ya, nggak. Cuma pinje m na ma aja. Daripada ,ingat-ingat
nama mu .susah. Biarkalau ada apa-apa kakak bisa ma nggil ka mu."
"O000... jadi kaka k mau manggil a ku? . Manggil aja sekarang."
Kumala.semakin ge li me ndengar kepolosan Barbie. Kepala anak
itu dipe luk di perutnya sa mbil tertawa gembira. Anak itu pun ikut
tertawa walau pun mungkin tak tahu apa yang harus ditertawakan.
"Kak Mala mau bobo? Yuk, aku kasih tahu tempat yang fenak
buat bobo..."
"'Kok bobo? Kita harus cari jalan ke luar dari tempat ini, Barbie.
Ngapain buang-buang waktu buat bobo?"
"cari ja lan ke luar? Aaah, percuma-lah. Nggak akan ne mu."
"Maksudmu?"
"Aku udah coba ke sana-sini cari jalan keluar, tapi nggak pernah
bisa, Kak. Nggak ada jalan keluar dari te mpat ini."
"Nggak ada?"
"Iya. Aku udah lompat masuk ke lorong-lorong di langit itu, tapi
ternyata itu bukan, jalan keluar. Itu cuma lorong buntu. Isinya cuma
kabut."
"Ka mu .bisa lompat masuk ke lorong udara itu?! Setinggi itu
kamu bisa jangkau dengan, lompatan?!"
"Bisa," sa mbil me ngangguk polos lagi. "Kak Mala bisa nggak?
Mau aku ajarin supaya bisa?!"
Tertegun bengong Kumala mendengarnya. Masih sekecil itu,
Barbie sudah bisa melompat ke te mpat yang cukup t inggi dan
berjarak cukup jauh. Luar biasa sekali anak ini, pikir Kuma la.
Dan, dia bilang... dia sudah menjelajahi tempat ini untuk mencari
jalan keluar? Hmm, tentu saja,,ia menjelajahi bukan dengan ja lan
kaki biasa. Pasti dengan kesaktiannya yang me mbuatnya bisa
bergerak sangat cepat.
Tapi... tapi apa benar nggak ada jalan keluar dari sini? Gawat
dong kalau benar begitu. Duuh... gimana caranya, ya? Masa sisa
umurku harus ku habiskan' di sini hanya bersama si mungil Barbie
ini?"
Kumala Dewi tertegun lama me mikirkan sebuah cars untuk bisa
keluar dari.ala m sunyi tak berpenghuni itu .
oooOdOwOooo
4
Wanita Penghilang Tangis misterius ...
SIANG mulai merayap meninggalkan pagi. Samon sengaja
singgah dulu ke rumah Kuma la sebelum sa mpai kantor.
Selain ingin minta maaf kepada Buron, karena tak bisa menepati
janjinya semala m, Sam juga ingin me mbicarakan masalah Ajeng
kepada Buron.
Me mang lebih tepatnya kepada Kumala, na mun aga knya hari itu
ia belum bisa bertemu dengan bidadari penguasa ular itu.
"Buron masih tidur tuh, Sam," ujar Sandhi. "Mungkin karena dia
tidur pukul e mpat, nungguin ka mu ngga k datang-datang, jadi ya
begitulah... kebluk! Dibangunin susah."
"Aku cuma. mau klarifikasi tentang janjiku se mala m dan minta
maaf sebesarbesarnya pada dia. Tapi aku juga punya kabar aneh
yang perlu kusa mpaikan. pada Kuma la, atau dia. Karena kabar ini
berkaitan dengan masalah gaib..."
Dering telepon rumah terdengar nyaring. "Bentar, Sam... siapa
tahu itu telepon dari si dongo Buron,' Sandhi bergegas masuk untuk
nienyambut telepon. Semeatara.tamu ganteng itu tertegun sendirian
di teras. Hanyut dalam la munan. Larut dala m keca muk batinnya
sendiri.
"Gila! Badanku seperti habis dige bukin orang seka mpung? Sakit
semua, terutama di persendian," Sa m bicara sendiri ,dala m hatinya.
"Kasihan Buron nungguin aku. Seandainya aku nggak kehabisan
bensin, seandainya nggak ketemu Ajeng, mungkin badanku ngga k
kayak gini rasanya.. Dan, aku nggak ngecewain Buron. Kalau dia
ngadu sama Kumala, aku jadi nggak enak hati. Makanya, perlu di-
klarifikasi se karang juga.Eeh,ternyata dia belum pulang .. "
Sam paling tidak bisa.mengecewa kan orang dengan sengaja., la
selalu berusaha menepati janji pada siapapun.Kalau toh terlanjur tak
bisa menepati, karena suatu halangan, maka. ia akan segera
mene mui orang itu, mengklarifikasi, dan me minta maaf. Sebelum
hal itu ia lakukan, maka sepanjang hari ia akan gelisah. Kegelisahan
seperti itu jelas akan mengganggu konsentrasi kerjanya. Sam tida k
mau berla ma-lama me nanggung kegelisahan.
Sandhi agak la ma menerima.telepon. Rupanya telepon itu dari
Pramuda, kakak angkatnya Kumala, orang pertama yang
mene mukan Kuma la ketika bidadari itu turun ke bumi, dan yang
sekarang menjadi pe milik perusahaan te mpat di mana, Kuma la
duduk sebagai konsultannya, (Baca serial Dewi Ular dala m episode :
"Roh Pe mburu Cinta").
Karena Sandhi cukup la ma melayani teleponnya Pramuda, maka
semakin banyak kese mpatan bagi, Sa mon untuk. merenungi kejadian
tadi mala m. Sejak dala m perjalanan tadi Sa m sela lu bertanya dalam
hatinya. dengan pertanyaan yang sama.
"Kenapa aka bisa jadi begini, ya?"
Masih kental dala m ingatannya ketika ia pulang dengan
me mbawa Mbak Ajeng, sebagai orang yang dipercaya mampu
menghentikan suara tangis misterius di komple knya.
Pada dasarnya me mang upaya tersebut tidak sia-sia.,Mbak Ajeng
me mang punya ke ma mpuan di bidang gaib.
Kema mpuan itu sungguh sesuatu yang sangat mengejutkan bagi
Sam, karna sama sekali tak menyangka kalau penjual roti bakar di
waung tenda itu ternyata me miliki kekuatan supranatural .... Bukan
ke ma mpuan yang pas-pasan..
Tapi cukup profesiona l. Padahal pena mpilan Mbak Ajeng biasa-
biasa saja. Tidak selayaknya penampilan seorang dukun atau
paranormal yang sering me mpromosikan diri dala m iklan-iklan
media cetak.
Tanpa harus bertukar pakaian lebih dulu, Mbak Ajeng langsung
saja dibawa Sa mon dari warungnya yang sedang dike masi Barno,
pelayannya.
Ketika me masuki komplek perumahan tempat tingga l Sa m,
perempuan itu menurunkan kaca pintu mobil. Dan, suara tangis
wanita yang misterius itu masih ada.
"Berhenti sebentar, Sam," pintanya.
Samon pun menuruti, menghentikan mobilnya dala m posisi masih
tetap di tengah jalan. Mbak Ajeng menelengkan kepala, menyima k
suara tangis itu.
Kemudian ia menyuruh Sa mon me njalankan mobilnya ke mba li.
".Aku butuh tempat untuk melakukan upacara ritual kecil-kecilan.
Apa ada tempat untuk itu ?”
“Hmm, te mpat untuk itu Yaaah... paling bisa di rumahku, Mbak.
Kalau di rumah ketua Rwmalah ntar diprotes atau ada kesalah
pahaman."
"Di rumahmu, boleh juga.. Tapi, apa nggak mengganggu
anggota keluarga la innya yang mungkin.sedang..."
"Aku cuma tinggal sa ma Bi Inun, pelayan.",
"Nggak ada yang lain?"
“Nggak ada. Biasanya sama,adikku; Johan. Tapi dia lagi ada
tugas dari kantornya ke Medan. Sudah tiga hari ini aku cuma tingga l
sendirian."
Mbak Ajeng.dia m sebentar. Menyimak suara tangis yang masih
saja terdengar, padahal mereka sudah jauh dari tempat mobil
berhenti tadi.
"Suara tangis ini bukan berasal dari sekitar sini.”
"0, ya? Jadi, dari mana?"
"Dari ala m lain."
"Dari... dari ala m gaib, maksudnya?"
Ajeng mengangguk kale m. Setelah dia m sesaat, ia bicara lagi
dengan sesekati me mperhatikan tempat-tempat tertentu yang
dianggap rawan.
Akhirnya ketika hendak me lintasi je mbatan sungai kecil berair
sangat dangkal, Ajeng meminta Samon menghentikan mobilnya lagi.
Samon pun me nuruti permintaan itu.,
Lalu, perempuan itu melongokkan kepalanya sampai keluar
mobil.
"Naah, itu sumbernya," seraya menunjuk ke suatu arah, di mana
terdapat serumpun bambu hias pelengkap ta man. Bambu hias yang
kecil-kecil dengan daunnya yang indah itu tumbuh merimbun di
sepanjang sungai, hingga tikungan jalan.
"Di de kat tanaman bambu itu terdapat lorong tembus kubur. Tak
kelihatan oleh mata awam sih, tapi yang jelas di situ ada se maca m
rongga panjang yang menghubungkan dimensi kita dengan dimensi
alam sana. Suara tangis itu adanya di alam kubur. Kenapa suaranya
bisa sampai, sini? Karena suara itu keluar melatui lorong tembus
kubur yang di ba mbu-ba mbu itu."
"Tapi kenapa terdengar seluruh komplek? Padahal komplek ini
luas sekali."
"Suara gaib dengan suara biasa jangan disa makan dong. Suara
gaib bisa me me nuhi. sebuah kota, tergantung kekuatan gelombang
suara tersebut. Kalau kekuatan suara gaib itu me mpunyai frekuensi
tinggi, maka satu kota pun bisa mendengar suara itu. Tapi kalau
frekuensinya rendah, yaah... hanya radius tertentu yang dapat
mendengarnya."
"Tapi, dulunya nggak begini kok. Baru mala m ini aja ada suara
aneh kayak gitu."
"Lorong te mbus kubur dapat terbuka apabila mengala mi getaran
hebat, semacam ge mpa ala m gaib.yang membuat tanah kubur
merekah. Begitu Pula kalau di sana terjadi lagi guncangan se maca m
gempat cukup hebat, maka lorong tembus kubur akan. tertutup
dengan sendirinya.”
Sam mengguma m sa mbil manggutmanggut.Mobil berjalan pelan
diarahkan ke rumahnva.
"Jadi bagaimana me ngatasinya? Menyumbat lorong itu?"'
"Kalau sumbatannya eggak kuat bisa jebol dan se makin lebar
ruang pantulnya. Ntar semua suara kubur bisa terdengar di seluruh
perumahan ini. Termasuk jeritan roh yang tersiksa di ala m
kuburnya, bisa kedengaran lho."'
"lih, menyeramkan sekali ka lau sa mpai terjadi begitu."
"Nah., jadi lebih baik me mbujuk yang bersangkutan agar
berhenti menangis. Atau menjauh dari lorong tembus kubur itu
kalau dia masih ingin menangis. Caranya, dengan melakukan ritua l
kecil. Maksudnya ritual yang tidak me mbutuhkan tumbal, darah,
bayi,atau sejenisnya."
"Jadi, apa yang harus kita persiapkan da la m ritual nanti?"
"Air putih, kopi pahit, dan teh pahit. Ada kan?'
„Ada. Biar nanti pelayanku yang siapkan."'
"0, oh... nggak Usah. Biar aku sendiri yang membuatnya, karna
aku tahu ukuran pahitnya kopi yang disukai roh-roh penasaran
maca m itu."
"O, jadi... Mbak Ajeng sendiri yang mau bikin minumannya?
Boleh., Nanti saya bantu menyiapkan segala sesuatunva.",
"Satu lagi... aku butuh, ka mar khusus."
"'Ka mar khusus? Hmmm, paling ada j uga ka mar tidurku."
"Ya, nggak apa. Asal tidak buat mondar mandir orang. Terkunci
rapat. Jangan sampai ada yang me lihat ritualku, kecuali... kamu
nggak apa-apa. Karena, kamu kan pe milik ka marnya."
"Aku di luar saja nanti supaya..."
"Oo, nggak, nggak, nggak....!" sergah Ajeng. "Kamu harus ada
dalam ka mar itu. Sebab, aku takut kalau ada barang yang hilang,
lalu hati kecilmu mencurigaiku. De mi, keamanan bersama, ka mu
harus ada di kamar itu. Mau tiduran kek., mau duduk, atau mau apa
saja terserah."
Nada bicaranya sudah mulai tegas-tegas, sulit disangkal atau
dibantah oleh Sam. Yang bisa dilakukan Sa m adalah menuruti apa
yang menjadi perintah Ajeng.
Sam sendiri punya rasa heran dalam hatinya, mengapa.ia
menjadi sangat patuh pada perempuan itu? Bahkan ia sadar dirinya
jadi seperti robot yang tida k pernah bisa menolak perintah apapun.
Wajah cantik itu me mang sudah mula i tampa k berwibawa,sejak
menje laskan tentang lorong kubur tadi.
Setibanya di rumah Sa m, persiapan tadi segera dilakukan.
Mereka juga masih mendengar suara tangis tersebut seperti berasal
dari belakang rumah. Jelas sekali.
Tapi Ajeng sarankan agar Sam jangan menghiraukan suara itu
lagi, karena suara tersebut mengandung gelombang mistik yang
dapat merusak sistem kerja otak, emosi dan khususnya kejiwaan
orang yang mendengarnya.
"Perempuan ini benar-benar pintar,': ujar Sam me mbatin. "Dia
bukan dukun ka mpungan. Dia me miliki pola pikir a kademis,bisa
menghubungkan hal gaib dengan logika..Hebat betul dia. Sudah
hebat pengetahuannya hebat pula daya pikatnya. Dari tadi belum
reda jantung berdebar-debar me mbayangkan berada dala m
pelukannya. Biasanya aku nggak se mudah ini me mbayangkan ha l-
hal seperti itu. Aku jadi benar-benar tertarik padanya.”
Setelah minuman selesai dibuat, Sa m disuruh me mbawanya ke
kamar. Sa m menurut saja tanpa ke luh kesah atau gerutuan batin.
Mbak Ajeng pergi ke ka mar. Mandi sebentar, ke mudian keluar-
dari ka mar ma ndi. sa mbil me nyuruh Sa m me nutup dan me ngunci
pintu ka mar. Sam me matuhi perintah itu. Jantungnya, makin
berdetak-detak, karna sadar. dirinya sekarang berada dala m ka mar
hanya berdua dengan Ajeng.
"Matikan la mpunya, buka sedikit pintu ka mar mandi, biar ada
penerangan samar-samar," katanya sambil ia me lepaskan sweater.
Suasana kamar jadi remang-re mang, karena hanya mendapat
penyinaran dari bias cahaya la mpu ka mar mandi. Suasananya
cenderung romantis. bagi Simon. Ajeng meletakkan minuman tadi di
lantai bersa ma na mpannya.
"Nah, sekarang kamu mau tiduran di ranjang, mau menghadap
ke arah mana saja, ya, terserah.'.. tapi, yang jelas aku harus
me lepas pakaianku."
"Hahh ?! "
"Ya, aku harus telanjang bulat supaya auraku sampai ke alam
sana. Okey?"
"Tap... tapi kalau... hmm..."
"Ka mu mau ngintip?. Nggak usah ngintip. Lihat langsung juga
boleh kok," seraya dia me lirik penuh ma kna.
Ajeng benar-benar melepas se mua pa kaiannya. Samon berusaha
untuk buang muka. Namun has-rat yang semakin. mengge lora
me ma ksa matanya untuk sesekali melirik sebentar, lalu me mandang
ke arah lain lagi. Hal itu ia lakukan berulang-ulang sa mbil duduk
dikursi komputer.
Namun karna tak boleh menyalakan la mpu, tentunya, juga
komputer, ma ka yang dia la mi Sa m ada lah siksaan dari keresahan
bertubi-tubi. Keringat dingin pun mula i me mbasah di sekitar leher
dan pelipisnya.
Sekitar 5 menit la manya. Ajeng duduk bersila di lantai seperti
orang sedang meditasi., Kursi komputer berada menyamping dari
posisi duduknya Ajeng, sehingga mata Samon berkali-kali tertuju
pada gumpalan dada yang tampak besar, kencang dan menjorok ke
depan. Meski ia sudah buang muka, namun tanpa disadari mukanya
ke mbali berpaling dan menatap keindahan tubuh Ajeng dala m
keremangan cahaya sensual itu.
Tiba-tiba, terdengar suara seperti. benda, jatuh di permukaan air,
cpluung ... ! Samon me mperhatikan 3 minuman di depan Ajeng. la
mulai terperangah, karena melihat dengan mata kepalanya sendiri,
minuman teh pahit menyusut dengan sendirinya. Seperti ada yang
menghisapnya me makai pipet sedotan.
Suuuuutt...! Minuman teh itu pun akhirnya tinggal bagian a mpas.
"Gila..?!Bisa begitu, ya?! Siapa yang minum tuh? Eeh, eeh...
kopinya juga?!"
Samon me lebarkan matanya, maka tampak jelas olehnya air kopi
yang masih panas itu menyusut dengan cepat, sampai tingga l
bagian a mpasnya saja.
Minuman a ir putih juga de mikian. Kurang dari setengah menit
setelah penyusutan minuman itu, suara tangis, perempuan itu
berhenti. Hilang.
Sekarang yang ada hanya keheningan mala m. Sam mencoba
me mpertaja m pendengarannya, namun hasilnya tetap sama. Suara
tangis misterius itu telah berhenti total. Ajeng berhasil me mbuat
tangis itu berhenti.
"Hebat ... Hebat sekali dia ! " sanjung Sa mon dala m hatinya.
Ajeng mengusap, wajahnya dengan telapak tangan, pertanda
acaranya sudah selesai. Samon buru-buru buang.muka, biar tak
ketahuan habis me lakukan kena kalan dengan mata.
Namun, ternyata perempuan itu justru me manggilnya dengan
suara lirih.
"Sa m...! Hey, Sam...!”
"Ya, Mbak ... ?" Sam tak menengok.
"Sa m sebentar, kuberitahu hasilnya...”
Lagi-lagi Sa m patuh dengan perintah itu. la menghampiri dan,
jongkok di da mping Ajeng.
Perempuan itu sedikit me mutar badan agar berhadapan. Dan,
Samon menjadi salah tingkah dala m me le mparkan pandangan
matanya.
"Kau tadi lihat minuman itu, susut sendiri?"
""Ya, lihat, Mbak."
"Suara tangis itu juga sudah berhenti, bukan?"
"Ya, sudah berhenti."
"Sekarang tinggal kau me menuhi syarat-nya, seperti yang
kubilang di warung tadi.".
"Sya.... syaratnya apa...”
"Mendekatlah... dekat lagi..."
Sam mendekatkan telinganya, menyangka akan dapat bisikan.
Tapi tangan Ajeng meraih dagu Sa m dan me malingkan wajah
Sam pelan-pe lan hingga beradu wajah dengannya. Bibir Ajeng
merekah dengan mata sayu dan suara mendesah.
"Saamm, eehhmm.,."
"Mmmm:.. mmbak..."
(jisoka m : hala man ini gure m gak jelas , hanya saja ianya tidak
keluar dari pake m )
Paginya , ketika ia harus berangkat ke te mpat kerja, ma ka
sekujur tubuh Sam merasakan pegal dan sakit-sakit semua,
terutama pada setiap persendian tulang dan urat-urat tertentu. la
juga merasakan le mah, tak bertenaga, dan pandangan matanya
sering kabur.
Kondisi seperti itu berusaha dise mbunyikan. Sam yang harus
mengantar pulang Ajeng sebelum ia menuju kantornya,masih bisa
tampak tenang dan sehat-sehat saja. Bahkan se mpat bercanda
dengan Ajeng dala m mobil yang sedang berjalan.
"Ka mu nggak jera kan, Sa m?"
"Jera kalau cuma sekali ini," jawabnya berseloroh.
"Maunya tiap hari, ya? Hmmm,. itu berarti kamu harus me miliki
aku. Dan untuk me miliki aku ada, syaratnya."
"Syarat melulu," Sa m tertawa. "Okey, apa syaratnya? Coba
sebutkan, siapa tahu aku bisa me menuhi Syarat itu."
"Aah, kayaknya nggak mungkin ka mu bisa me menuhi syarat itu,
karena... syarat itu jauh dari jangkauanmu. Bukan bidangmu."
"Sebutkan saja, siapa tahu aku bisa."
Ajeng berpaling menatap ke arah kanannya. Pria handsome itu
dipandangi beberapa saat, setelah itu baru bicara lagi.
"Syaratnya, kau harus bisa mencari kele mahan seseorang yang
menjadi saingan profesiku. Kalau kau bisa mene mukan ke lema han
orang tersebut, maka kau bisa me miliki seluruh tubuhku, dan kau
bisa menikmatinya kapan saja kau ma u."
"Saingan? Siapa orang yang menjadi sainganmu itu, Mba k?"
"Kau pasti mengenalnya."
Samon berpaling menatapnya, Ajeng bersuara tegas dan jelas.
"Kuma la Dewi!"
Jantung Samon seperti tersundut api.
Andai saja saat itu ia tidak sedang me megang stir mobil, ma ka
tubuhnya pasti akan tersentak kaget mendengar nama itu
disebutkan Mba k Ajeng-nya. Samon buru-buru berlagak bingung,
seolah-olah merasa asing dengan na ma tersebut.
"Kuma la Dewi...? Orang mana . itu?"
Ajeng tersenyum tipis bernada sinis. Me mandang lurus ke depan
dengan rona keangkuhan mulai me mbayang di wa jahnya.
"Aku tahu kau sudah, mengenalnya. Semala m pun kau ingin
pergi ke rumahnya, bukan? Aku. me mbaca pikiranmu dan
mendengar suara hatimu, Sa m."
"Gawat...!" gumam hati Sa m mulai kikuk. Ia seperti berada di
lorong yang se mpit. Tak ada ja lan untuk mengela k lagi.
"Kalau kau bisa mendapatkan kele mahan Kumala Dewi, ma ka
kau akan me miliki kehangatanku se la manya."
Kerongkongan terasa kering. Napas menjadi sesak. Sam merasa
sulit melontarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Bahkan nenelan
ludahnya sendiri saja sulit sekali. Yang bisa bicara, hanya hatinya."
Siapa pere mpuan ini sebenarnya?
oooOdwOooo

5
SEBENARNYA hanya Kuma la Dewi yang tahu bahwa suara tangis
misterius yang didengar di komplek perumahan Jatiwangi itu
ternyata adalah suara tangisnya si Barbie.
Bukan tangis dari a la m kubur seperti yang dikatakan Mba k Ajeng
kepada Sa mon.
Hanya saja, agaknya Ajeng me mang punya ke ma mpuan
supranatural yang tinggi, sehingga ia ma mpu me mberikan minuma n
kepada Barbie me lalui lapisan ala m ga ib.
"Masih jauh lagi perjalanan kita, ya Kak?" tanya Barbie yang
tampaknya sudah mulai le lah mengikut i langkah kaki Kumala.
"Kakak ngga k tahu, apa masih jauh atau sudah dekat, Barbie.
Yang jelas kita harus terus berusaha mencari jalan ke luar. Jangan
menyerah. Setiap usaha yang gigih pasti ada hasilnya, Sayang !"
Rambut anak itu diusap-usap , seperti diacak-acak.
Kumala suka me mperla kukan de mikian. Barbie pun tida k merasa
jengkel. Yang me mbuat ia jengkel adalah perjalanan itu sendiri.
Kumala me mbawanya berjalan melintasi padang rumput orange,
tanpa bekal makanan dan minuman.
Barbie merasa lelah, dan ingin istirahat. Tapi Kumala tak
me maha mi ha l itu, sehingga Barbie pun terpaksa bicara dengan
cemberut.
"Kalau jalan terus begini, nanti kakiku jadi buntung, Kak."
"Kenapa buntung?."
"Kan capek jalan terus...! "
Dewi Ular tertawa kecil. "Ooo, ya, ya... kalau begitu, kita
istirahat, di bawah pohon sana, ya? disana rindang, dan kalau
terjadi apa-apa kita bisa berlindung. okey?"
Dari tadi Kuma la mencoba me lakukan komunikasi ga ib, tapi tidak
berhasil Hubungan gaib di situ tida k mendapat sinyal.
Ia baru mengetahuinya, dan semakin merasa harus lebih
tangguh lagi dala m upaya mene mukan jalan ke luar. Sebab kini ia
yakin betul dirinya sudah terasing dari ala m mana pun.
"Kak, lihat ke atas deh... Pohon ini ada buahnya, Kak."
"Hmm, ooh... iya, ada buahnya. Buah apa ini, ya? Mangga
blukan, jeruk bukan...?"
"Aku lapar, Kak,". rengek si kecil Barbie..
"Tapi buah pohon ini belum tentu bisa dima kan, Sayang. siapa
tahu mengandung racun me matikan."
Barbie mengeraskan jari telunjuknya. jari itu dijulurkan ke batang
pohon yang menyerupai,pohon beringin.
Jruub....!
Dengan mudahnya jari itu bisa masuk ke batang pohon yang
keras itu. Kumala Dewi terperanjat melihat apa yang dilakukan
Barbie.
Benar-benar hebat anak ini. Jarinya bisa berubah menjadi seperti
mata pisau dengan mudahnya dia mencolokkan jarinya pada batang
pohon sekeras ini .
Sebenarnya Kumala sendiri bisa mela kukan hal itu. Tapi yang
me mbuatnya kagum adalah kondisi Barbie yang masih kecil. Sangat
muda sekali. Tapi sudah ma mpu me lakukan hal seperti itu.
Dibandingkan yang sudah dewasa, maka Barbie Akan mendapat
nilai plus, karena kecil-kecil sudah me miliki kesaktian seperti itu.
"Kayaknya nggak mengandung racun, Kak," kata Barbie.
"Darimana kau bisa tahu?"
"Lihat aja...," is menunjukkan jari tangannya yang basah, "getah
pohon ini tidak langsung kering di jariku. Berarti tida k mengandung
racun, Kak."
"Oo, begitu ya caramu mendeteksi, racun?" pikir Kumala.
"Aku mau makan buah ini, ya Kak,"
"Baik kalau kau yakin tidak beracun , Ka kak a kan a mbilkan."
Dewi Ular tidak me manjat pohon itu. Cukup dengan
menghentakkan telapak tangannya ke batang pohon satu kali..
maka buah-buah berwarna merah itu pun berjatuhan.
Duug ... ! Duuur ... !
Pohon bergetar dan buahnya berjatuhan. Barbie bersorak girang
sambil me munguti. buah yang bentuknya mirip mangga, tapi
kulithya mirip kulit jeruk. Warnanya ungu seperti terong.
"Ini sejenis apel barangkali" guma m Kuma la sambil me meriksa
salah satu dari buah tersebut. Mengandung air dan mudah digigit.
Tanga dikupas. lebih dulu,. Barbie langsung menggeragotnya seperti
ia makan buah apel .
"Bawalah beberapa sebagai bekal perjalanan kita, Barbie."
"Kakak nggak mau? Nggak lapar, ya Kak?"
"Belum. Tapi mungkin nanti kakak akan me ma kannya kalau
sudah benar-benar lapar."
Mereka mulai melangkah lagi. Sambil berjalan ke arah mana saja,
Dewi Ular sebentar-sebentar melepaskan sentilan dari jari
tangannya ke udara, sekeliling mereka. Sentilan itu mengandung
tenaga inti yang dapat untuk menengarai adanya ruang kosong,
rongga, sekat dan sebagainya, yang diharapkan dapat menjadi jalan
keluar dari ala m aneh itu.
Ketika mereka berada di tanah sedikit tinggi, salah satu buah
yang dibawa Barbie jatuh menggelinding. “ Yaah ,jatuuuh .....!”
Barbie tak mau kehilangan salah satu bekalnya. Ia buru-buru
mengejar-buah itu dan me mungutnya.
Pada saat itulah Kumala Dewi melihat sekelebat bayangan hitam
yang segera menyambar Barbie.
Wuuust..!
"Kakaaaaak ..... "
"Heyyy...! Lepaskan dia!" seruan itu diiringi gerakan melayang
cepat, seperti terbang.
Zlaaap...!
Bayangan hitam itu menenteng Berbie dengan satu tangan, Anak
mungil bak boneka itu berteriak-teriak sa mbil meronta. Agaknya ia
tak berhasil melepaskan tangan yang menentengnya karena tangan
bayangan itu tak dapat dipegangnya.
"Kakak..,. kakaaak... kakak .. !!! "
Zwwwubs...!
Dewi Ular menerjang bayang hitam tanpa raga. Usahanya itu sia-
sia. Seperti menerobos gugusan asap hitam. Ia terpaksa kembali
mengejar dengan gerakan melayang terbang. Berkali-kali ia berhasil
menerjang lawannya, namun lawannya selalu. lolos karena tak
dapat dipegang.
"Celaka! Dia nggak bisa disentuh?! ,Hmmm, kalau begitu aku
harus gunakan Aji Tapak Serap...”
Dewi Ular sengaja hinggap di salah satu gugusan batu kuning.
Kedua telapak tangannya segera saling gosok, ke mudian dijulurkan
ke depan dala m satu sentakan.
Huup ... ! Energi penghisap dikerahkan.
Maka, bayangan hitam yang sudah lari menjauh itu dapat tertarik
mundur. Terhisap oleh kedua telapak tangan Kumala. Bahkan
rambut panjang Barbie pun ikut meriap-riap terhisap, tangan
tersebut
Bruuussb...!
"Aaaaaaa !!"
Barbie menjerit karena tubuhnya me layang tersedot tangan
Kumala. la sudah berhasil lepas dari tangan si bayangan hita m.
Dala m sekejap. sudah tubuh anak itu sudah tertangkap dala m
pelukan Dewi Ular.
Zzuuub...!
"Ooh, Kaaak...! “
"Tenang, tenang... Kau sudah dala m pelukanku, Barbie!"
Kumala Dewi me me luk Barbie dalam gendongannya. Tapi si
bayangan hitam tak mau t inggal dia m begitu saja. Ia masih
penasaran ingin mera mpas Barbie dari tangan Kuma la.
Seberkas sinar perak melesat dari tangan bayangan .itu- Dewi
Ular menyentakkan,kakinya dan, tubuh pun melesat ke atas dengan
cepat sambil menggendong Barbie.
Wuuuut ... !
Sinar perak itu berhasil dihindari,dan menghanta m salah satu
pohon.di kejauhan sana
Blegaaarrrr...!.
Dentuman itu besar dan keras sekali. Ala m aneh itu seperti akan
tenggelam ke dasarnya. Terguncang hebat. Hal itu me mbuat
Kumala dapat mengukur kekuatan lawannya yang tidak bisa
dianggap enteng.. Kini ia bergerak menuju salah satu pohon yang
tumbuh di, dataran tinggi.
"Kak, bayangan itu mengejar kita!" seru Barbie.
"Turunlah dulu. Dia m di ba lik pohon, ya?!"
Melihat bayangan itu, melayang cepat, Dewi Ular segera
menya mbutnya dengan gerakan me luncur, cepat pula.
Zlaaaap ... !
Sebelum saling bertabrakan di udara, Kuma la Dewi berubah
menjadi sinar hijau berbentuk seperti naga kecil. Sinar itu
menerjang bayangan hitam yang tampak kehilangan konsentrasi
sekejap.
Woouuwwb...! Blegaaaaarrr...!
Benturan sinar hijau dengan bayangan hitam menghasilkan
ledakan dahsyaf dengan semburan cahaya api berukuran besar.
Ketika cahaya api itu padam, asapnya bergumpal-gumpa l
me mbentuk seperti sebongkah batu raksasa berwarna hitam pekat
dan mela mbung ke atas dengan cepat.
Wooouuww bbbss....!
Di atas sana gumpalan asap hitam pekat itu berangsur-angsur
pudar. Dewi Ular kembali mengha mpiri Barbie setelah yakin bahwa
lawannya telah musnah bersa ma gumpalan asap hita m pe kat tadi.
"Ka mu nggak apa-apa kan?"
Barbie menggeleng ,tiga buah tadi masih dipeluknya dengan dua
tangan, seakan takut, terjatuh lagi.
"Syukurlah ka lau ka mu nggak apa-apa. Udah, tenang aja. Jangan
takut, Kakak akan selalu melindungimu, Barbie."
"Aku ngga k takut kok," kata anak itu. "Aku cuma jijik dijepit
tangan yang nggak bisa kuraba. Baunya a mis, Ka k."
"Kenapa tadi ka mu nggak gunakan kesaktianmu ? “
"Aku lupa cara menggunakannya."
Dewi Ular tarik napas panjang. Me maklumi keadaan Barbie.
"Itu tadi bayangannya siapa, Kak?"
"Entahlah. Tapi mungkin itu tadi bangsa siluman penghuni ala m
ini. Atau sejenisnya."..
"Siluman itu apa?"
"Kakak jelaskan sa mbil ja lan, yuk."
"Aku capek. Ka kak gendong. aku kayak tadi, ya?"
"Barbie, ka mu...."
"Nanti gantian, aku gendong Kaka k."
Kumala tersenyum geli. "Cerdik juga ana k ini. Pinter merayu."
Karena bujukan itu lucu, menyenangkan, maka Kumala Dewi tak
keberatan menuruti ke inginan Barbie. Pikirnya, dengan meng-
gendong Barbie gerakannya bisa lebih cepat lagi, sehingga seluruh
alam ini bisa dijelajahi dala m waktu lebih cepat dibandingkan harus
jalan kaki seperti tadi.
Namun rencana, tetaplah rencana. Langkah sang dewi jelita
terhalang lima sosok bayangan hitam tanpa raga. Tak jelas bentuk
rupanya. Tak jelas bentuk pakaiannya. Atau mungkin ma lah tida k
berpakaian. Lelaki atau pere mpuan juga, tak je las. Sulit dibedakan.
Lima bayangan itu berukuran lebih tinggi dari yang tadi.
"Woow... kereeen ... !"
"'Husy! Dia m kau,Barbie. Keren, keren... apanya, yang keren?"
"Mereka lebih besar dari yang tadi, Kak. Mereka juga termasuk si
Lukman kan?"
“si Lukman. Siluma n!" bisik Kuma la sa mbil tetap menggendong
Barbie.
Lalu, tiba-tiba ia mendengar suara serak sedikit mengge ma.
"Ka mi bukan siluman!"
Barbie yang berada di gendongan bela kang Kuma la berbisik,
"Ayo, tebak... yang mana yang bicara, Kak?"
Kumala tak menghiraukan bisikan itu, karena me mang sulit
me mbedakan yang mana yang, bicara mulut mereka tak jelas ada di
sebelah mana, begitu pula mata dan telinga nya. Bentuk kepala
mereka hanya oval polos hita m.
Dewi Ular bersikap tenang dengan gerakan. mata lincah penuh
waspada. Kelima bayangan itu mendekat. Kakinya tidak me langkah,
me lainkan melayang di atas permukaan tanah. Mereka berhenti,
dalam jarak se kitar sepuluh langkah dari te mpat Kuma la, berdiri.
"Mau apa kalian menghadangku?"
"Anak itu milik ka mi."
Sekarang siapa, yang bicara ketahuan.yang paling tengah. Sebab
ada gerakan dari tangannya saat me minta anak itu.
"Lupakan ke inginan ka lian. Anak ini tidak-akan kulepaskan
apapun yang kalian la kukan terhadap ka mi."
"Kau boleh pergi, tapi tingga lkan ana k itu "
"Kenapa ka lian menginginkan anak ini?"
"Dia telah me makan buah kejantanan ka mi.,”
"Apa ...?!” Dewi Ular terkejut, bahkan merasa ragu. Dengan
pengertiannya sendiri tentang maksud mereka.
"Ka mi tidak akan me ngganggu. siapa pun, yang datang ke ala m
ini, sela ma mereka tida k mengusik kehidupan ka mi. Tetapi anak itu
telah me ma kan buah kejantanan ka mi, sehingga ia harus ka mi
makan untuk menge mbalikan buah kejantanan ka mi itu "
"Buah kejantanan bagaimana ma ksud kalian?"
"Di ala m ini, kaum jantan meletakkan buah kejantanannya di
pohom-pohon, supaya tetap segar dan subur. Kami menga mbilnya
apabila sudah waktunya bagi kaum jantan me mbuahi ladang
kenikmatan kaum betina ka mi."
Yang paling ujung kiri menimpa li.
"Jika salah satu dari ka mi kehilangan buah kejantanan, ma ka
yang bersangkutan akan dikucilkan oleh kaum betina, karna
dianggap masih anak-anak. Dikucilkan oleh kaum betina merupa kan
siksaan paling berat dan sangat me ma lukan bagi harga diri kaum
jantan."
"Wah, wah, wah...," Kumala mendesis pelan setelah mengerti
betul maksud mereka.
Ia segera berbisik kepada Babrie.
"Hey, buang buah-buah itu."
"Katanya buat bekal perjalanan kita Kak."
"Sudahlah, turuti saja. perintah. kakak. Buang buah-buah itu.
Kau belum pantas me makannya, Barbie. Itu untuk wanita dewasa."
"Maksudnya bagaimana sih, Ka k?"
"Aaduuuh, ini anak cari penyakit aja. Udah, buruan lemparkan
semua.buah itu ke mereka."
Barbie yang masih belum paha m itu terpaksa menurut i perintah
sang kakak. Tiga buah yang sedianya untuk bekal di perjalanan
terpaksa dile mparkan ke arah lima bayangan. tersebut .
"Ambillah itu. Dan, maafkan anak ini. Anak ini tidak tahu apa-apa
tentang yang kalian bicarakan tadi."
Tiga bayangan me mungut buah yang dile mparkan Barbie. Tapi
yang paling tengah masih menuntut diserahkannya Barbie kepada
mereka.
"'Ka mi harus me ma kan anak itu! Karena dia sudah mema kan dua
buah kejantanan ka mi .. !"
"Kalau begitu kalian harus berhadapan denganku.;,"
"Apa boleh buat...!"
Wuuut... !
Tiba-tiba bayangan yang tengah melepaskan pukulan tanpa maju
sedikit pun. Gelombang pukulan itu berupa gumpalan asap biru
yang meluncur.deras ke arah Dewi Ular.
Namun hal itu sudah diwaspadai oleh Dewi Ular. Maka, dengan
cepat is pun mele paskan sinar hijau dari kedua matanya. Sinar hijau
lurus itu menghanta m gumpalan kabur biru.
Jgaaarrr...!
Ledakan itu menimbulkan gelombang hawa panas yang
menyentak kuat. Kelima bayangan terpental, Dewi Ular sendiri. juga
terpental. Barbie hampir saja jatuh dari gendongannya ka lau saja
anak itu tidak berpegangan rambut Kumala kuat-kuat. Kuma la
menyeringai bukan karena hentakan gelombang panas tadi,
me lainkan karena ra mbutnya ditarik Barbie kuat-kuat.
"Auuh, lepaskan ra mbutku, Barbie...!"
Barbie me lepaskan pegangan pada rambut Kuma la. Kini dewi
jelita itu berdiri dengan tegak-ke mba li, dan tetap menggendong
Barbie di punggungnya. Namun kini ia sadar bahwa ternyata dirinya
sudah dikepung oleh beberapa bayangan hitam yang berukuran
tinggi-besar, seperti yang lima tadi. Mereka mengurung Kuma la
dalam jarak se kitar 30 meter.
Salah satu dari kelima bayangan yang tadi terpental berkelebat
masuk dala m ke pungan, berhadapan dengan Kuma la.
"Kau telah terkepung! Serahkan anak itu, dan ka mi akan
tunjukkan padamu jalan ke luar dari ala m ini. "
"Kalian boleh a mbil anak ini kalau sudah bisa lumpuhkan
kekuatan Dewi Ular!"'
"Hahh ?!"
Bayangan yang berhadapan dengan Kumala tersentak kaget.
Diiringi gerakan mundur antara dua meter. Ternyata yang
tercengang kaget bukan hanya dia, tapi hampir se mua bayangan
hitam yang mengepungnya.
Bahkan suara mereka mula i terdengar ge muruh dengan masing-
masing menyebut na ma Dewi Ular.
"Dewi Ular... ooh, celaka... Ya, Dewi Ular... Dia rupanya... ?!”

Dala m hati.Kumala. bertanya, "Ada apa mereka? Kenapa ada


yang mundur sa mpai jauh ? “
Lalu, bayangan yang di depan Kumala itu bersuara lagi. Kali ini
suaranya lemah dan terkesan ge metar.
"Benarkah... benarkah kau adalah Dewi Ular...? ! “
"Ya. Kenapa?"
"Putri sang Nagadini?"
"Betul."
Lalu, bayangan itu berseru kepada yang lain dala m-bahasa
mereka.
"Mahazoka, boozunnaaaa...!!" Wuuuuuuuuuuuuuuuuurrkkk
Sebegitu banyaknya bayangan hitam yang- mengurung Kuma la
Dewi, tiba-tiba berlutut , dengan kepala tertunduk, me mbungkuk,
nyaris menyentuh tanah.
Beberapa saat kemudian mere ka tegak ke mbali, na mun tetap
berlutut.
Tak ada yang berani berdiri. Termasuk bayangan hitam yang
berhadapan dengan Kuma la.
"Atas nama rakyatku, aku mohon a mpun pada mu, karena ka mi
tak tahu kalau ka mu adalah. putri Hyang Dewi Nagadini yang
kesohor itu."
"Kalian kenal sa ma ibuku? “
"Ka mi adalah se kelompok roh tanpa raga yang pernah
disela matkan oleh ibunda mu dari anca man kepunahan Dewa
Perang. Jika tidak ada pe mbe laan dari Hyang Dewi Nagadini, ma ka
alam ini sudah dihan-curkan oleh Dewa Nathalaga, karena dianggap
sebagai tempat persembunyian para jin. Karena pembelaan. dari
Hyang Dewi Nagadini, maka ka mi bersumpah akan mengabdi pada
beliau dan anak cucunya kela k."
"O0000...", Kumala nianggut-manggut. Selama ini ia belum
pernah mendengar ibunya bercerita tentang alam roh tanpa raga.
"Dewi Nagadini itu siapa; Kak?" bisik Barbie.
"'Ma maku..."
"Ma ma itu apa?"
"Ntar aja penjelasannya, ah!"
Kumala Dewi menurunkan Barbie, karena ia yakin, tempat itu
sudah aman. baginya. Dan, pimpinan roh tanpa raga itu
menyatakan. mencabut tuntutannya, Yang berarti Barbie sudah
tidak lagi menjadi incaran mereka.
Setelah menceritakan dirinya jatuh dan tersesat di alam itu, maka
pimpinan roh tanpa raga me mbawa Kumala ke salah satu bukit yang
tidak terlalu t inggi dan mudah didatangi. Di atas bukit itu Kuma la
me lihat lubang besar di udara. Lubang, besar itu memiliki tepian
bercahaya biru uranium.
"Itu tempatnyai Nyai Dewi!”
"Te mpat apa itu?"
"Itu yang dina ma kan Lorong Te mbus Kubur."
"Ooo, menyeramkan juga na manya."
'Masuklah ke lorong itu. Karna hanya itulah satu-satunya jalan
keluar dari ala m ini, Hyang Dewi Ular."
"Baiklah. Terima kasih atas bantuann itu. Boleh aku tahu
nama mu?"
"Janggapala, Nyai Dewi..."
"Janggapala,, hmmm... baik. Damai sejahtera bersama rakyatmu,
Janggapala..."
"Sela mat jalan, Nyai Dewi, Ular...!" Janggapala membungkuk,
me mberi hormat penuh khit mad.
Dia belum bergerak dari posisi bungkuknya,,sebelum Dewi Ular
dan Barbie me lompat masuk kelorong bercahaya.
Wuuussst... ! Kemudian hilang dari pandangan Janggapala.
Dewi Ular me luncur deras bagaikan terhisap kuat oleh energi
yang ada dalam Lorong Te mbus Kubur itu. Tak lupa sikecil boneka
Barbie itu, dipeluknya kuat-kuat agar jangan sampai terpisah
darinya.
Perjalanan me layang cepat itu.melewati lautan mayat berbau
busuk. Tapi tak satu pun mayat yang hidup secara gaib di sana ada
yang berani mengganggu perjalanan Dewi Ular.
Sebab, mereka tahu, siapa pun yang muncul dari Lorong Te mbus
Kubur berarti berasal dari ala m Roh Tanpa Raga. Para mayat hidup
di situ tak ada yang berani me lawan kesakt ian para penghuni ala m
Roh Tanpa Raga.
Zlaaap, zlaaap, Zzuuuuuunuzzb... Brruuk...!
Dewi Ular dan Barbie jatuh terhe mpas dite mpat yang berudara
hangat.
Ada cahaya sinar matahari., namun sudah redup. Ternyata
mereka berdua sudah berada di ala m kehidupan ma nusia.
Dewi Ular segera me mbawa pergi Barbie keluar dari rumpun
bambu yang ada di pinggir sungai kecil.
"Kita di mana ini, Kak?"
"Di ala m manusia. Tapi entah di mana ini?"
Kumala dan Barbie sudah berada di tepi ja lan beraspal. la masih
bingung ke mana arah, yang harus dituju.
Pada saat itu sebuah mobil hitam me lintas di depannya.Tiba-tiba
mobil itu berhenti me ndadak sa mpai suara remnya seperti perawan
menjerit. Ciiit...!! Lalu, dari dalam mobil itu nongol kepala seorang
pemuda tampan yang segera berseru keras-keras.
"Kuma laaa !!"
"Hah ! Sa mon " guma m Kumala yang belum sadar bahwa ia
sebenarnya berada: di komple k perumahan Jatiwangi Estate,
Tempat itu adalah te mpat yang pernah ditunjukkan Ajeng kepada
Samon tentang adanya sebuah lorong gaib yang disebut Lorong
Tembus Kubur.
Ajeng benar. Tapi siapa Ajeng sebe narnya ? Mengapa ia merasa
bersaing berat dengan Kumala Dewi ? Hal itu akan dibahas oleh
Samon dan Kumala dala m kisah berikutnya ........
PARIT KEMATIA N
SELESAI ..

Anda mungkin juga menyukai