Anda di halaman 1dari 146

GEGER BATU BINTANG

Hak cipta dan Copy Right Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Serial Rajawali Emas Dalam Episode 001 : Geger Batu Bintang

http://duniaabukeisel.blogspot.com

1
Angin barat bertiup kencang, memapas Lembah Permata yang penuh rerumputan segar. Di pagi muda ini, terdengar alunan suara seruling bambu yang mengisi kehampaan lembah. Suaranya mendayu-dayu, sepertinya ditiup oleh seorang yang sangat ahli. Tetapi dugaan itu keliru, karena yang meniup justru adalah seorang bocah bertelanjang dada di sebuah gubuk reyot. Jemari kecilnya lincah menari-nari di atas lobang-lobang seruling. Mulutnya melancip, saat meniup. Dari cara duduknya, nampak si bocah yang kira-kira berusia dua belas tahun itu begitu santai. Tubuhnya merebah dengan menumpangkan kaki kanan pada kaki kirinya yang tertekuk. Tak jauh dari gubuk tempat si bocah berambut gondrong itu berada, sepuluh ekor kambing sedang merumput. Begitu asyiknya, apalagi diiringi alunan seruling. Namun, tiba-tiba saja alunan seruling yang ditiup si bocah terhenti. Bersamaan dengan itu, terdengar suara mengembik dari mulut kambing-kambing yang sedang digembalakan saling sahut dan tumpang tindih. Si bocah yang sejak delapan bulan terakhir ini sudah menggembalakan kambing, tentu saja sudah sangat hafal. Dia yakin kalau

suara itu bukanlah embikan biasa, melainkan penuh ketakutan. Dan berarti pasti ada penyebabnya. Seketika si bocah melompat dari gubuk reyot yang tadi diduduki. Mata kecilnya yang bundar menatap tak berkedip pada kambing-kambingnya yang kini berlari liar. "Aneh! Ada apa ini? Mengapa kambing-kambing konyol itu kabur ketakutan. Sudah enak bersantai, jadi ada urusan!" maki si bocah panjang pendek. Sebelum si bocah berwajah tampan itu bergerak untuk menggiring kambingkambingnya kembali, mendadak.... "Kraaakh...!" Terdengar suara keras yang membedah angkasa. Bahkan sampai menggetarkan lembah tempat si bocah berada. Dan ini membuat kepalanya mendongak. Matanya menangkap satu bayangan raksasa di angkasa. Begitu cepatnya, sehingga yang tertangkap hanyalah bayangan penuh warna keemasan. Si bocah garuk-garuk kepalanya, lalu membuang ketombe yang menempel di tangannya. Keningnya berkerut. Dan kejap berikutnya mulutnya terlihat menyang-menyong. "Masa di pagi yang cerah ini aku melihat setan? Hiii.... Setan apa yang melayang seperti warna emas di

angkasa?" Si bocah bergidik. Untuk beberapa lama dia masih tegak dalam jarak lima langkah dari gubuk tempatnya bersantai tadi. Ekor matanya melirik lagi ke atas, berkeliling bagai mencari bayangan keemasan tadi. Tetapi, bayangan itu telah sirna secepat datangnya. Bagai disadarkan kalau kambingkambingnya kocar-kacir, si bocah mendengus. Lalu dia berlari untuk mengumpulkan kambing-kambing itu. Memang, alam telah menempa dirinya menjadi kuat. Meskipun tersengat lelah tak menentu, akhirnya kambing-kambing itu berhasil dikumpulkannya lagi. "Awas! Kalau kalian lari lagi, aku potong!" rutuk si bocah, mengomel. Tetapi sejurus kemudian kepalanya menoleh seolah khawatir ada yang mendengar kata-katanya. "Hiii.... Kalau Juragan Lanang mendengar, bisa leherku yang dipotong." Kembali si bocah menatap angkasa luas, seolah masih berusaha menemukan bayangan keemasan yang tadi sempat tertangkap matanya. Namun setelah beberapa saat menunggu, bayangan keemasan itu tak lagi nampak. "Apakah ada setan gentayangan yang menimbulkan suara seperti lengkingan seekor burung? Ah.... Kalau

memang tadi seekor burung, mana ada yang begitu besar?" Lalu tanpa peduli lagi, dan seolah melupakan bayangan keemasan yang dilihatnya tadi, si bocah kembali menaiki gubuk tempatnya bersantai tadi. Baru saja pantatnya dihenyakkan, mendadak saja ekor mata si bocah melihat kelebatan hitam dari arah kiri. Begitu cepatnya, sehingga ketika kepalanya menoleh satu sosok hitam sudah berdiri di hadapannya. Kepala sosok yang ditutupi rambut hitam panjang sampai pinggul itu mendongak ke angkasa. Kening si bocah berkerut, menatap sosok aneh di hadapannya yang ternyata seorang perempuan berbaju panjang warna hitam. "Busyet! Kok banyak sekali setan gentayangan pagi ini? Kalau tadi setan warna emas yang ada di angkasa, sekarang setan keriput baju hitam yang berdiri di depanku? Hiii.... Lebih baik aku pulang saja mengembalikan kambing-kambing ini. Masa bodoh kambing-kambing itu masih lapar! Masa bodph dimarahi Juragan Lanang, daripada dicekik setan hitam ini!" Sehabis berpikir demikian, si bocah mengendap-endap menyelinap dari arah kanan perempuan tua berbaju hitam panjang. Tetapi....

Tap! Mendadak, leher si bocah telah dicengkeram nenek baju hitam yang baru datang tadi. "Mau ke mana kau, Bocah Jelek?" desis si nenek dingin, penuh lengkingan. Si bocah mengkeret dengan leher terasa sakit. Lehernya berusaha digerakkan, tetapi justru membuatnya makin kesakitan dengan napas tercekik. "Nek! Lepaskan tanganmu ini! Aku bisa mampus!" pinta si bocah dengan suara tersendat sengau. Si nenek melepaskan cengkeramannya, membuat tubuh si bocah langsung ambruk. Tangan kecil si bocah segera mengusap-usap lehernya yang sakit dengan tatapan penuh kemarahan pada si nenek. Sesaat si bocah terdiam. Dia tak jadi melontarkan umpatannya, begitu melihat wajah si nenek yang matanya bersinar kelabu dan masuk ke dalam itu. Dari sini, si bocah bagai melihat ada ancaman mengerikan. Wajah penuh keriput dengan bibir warna merah karena susur yang masih dikunyah, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa ngeri. Tetapi dasar bersifat pemberani, kengerian si bocah hanya melingkar sesat saja. Dia lantas bangkit perlahan-lahan, seraya bertolak ping-

gang di hadapan si nenek. "Siapa kau ini, Nek? Enak-enaknya mencekik leherku? Memangnya aku kambing!" maki si bocah, mengkelap. Kalau bukan seorang bocah yang membentak seperti itu, dalam satu kedipan mata, nyawa si pembentak akan melayang. Tetapi si nenek tidak berbuat apa-apa, meskipun suaranya penuh ancaman. "Bocah kurang ajar! Apakah kau belum pernah mendengar namaku, hah?!" bentak si nenek. "Kalau kau sudah dengar, aku tidak tanya!" balas si bocah. Kontan memerah kelam wajah si nenek mendengar bentakan ketus si bocah barusan. "Kurang ajar! Fruhhh...!" Bentakan si nenek disertai semburan merah dari mulutnya, langsung menerpa wajah si bocah yang buru-buru menghapusnya. "Bau!" "Bocah sialan! Namaku Mara Hitam Ritrik! Orang-orang menjulukiku Ratu Tengkorak Hitam! Cepat berlutut, sebelum nyawamu melayang!" Bukannya ciut nyalinya mendengar ancaman nenek baju hitam, si bocah yang yakin kalau prang di hadapannya bukan setan gentayangan makin melotot garang. "Namaku Tirta! Orang-orang menju-

lukiku si Penggembala Kambing! Nah! Apakah kau takut denganku?!" kata si bocah sambil mendongakkan kepala dan tetap bertolak pinggang. Makin mengelam paras si nenek yang berjuluk Ratu Tengkorak Hitam. Darahnya benar-benar mendidih. "Bocah kurang ajar! Anak siapa kau ini, hah?!" bentak si Ratu Tengkorak Hitam. "Aku datang dari langit! Aku utusan para Dewata! Nah! Kalau kau takut, ayo minggat!"seru si bocah bernama Tirta makin keterlaluan. Tangan kanan Mara Hitam Ritrik alias Ratu Tengkorak Hitam terangkat, siap menempeleng Tirta. Sebenarnya, dia hanya ingin menakut-nakuti saja. Tetapi di luar dugaan, Tirta justru membuka kedua matanya lebih lebar. "Kurang ajar! Nama besarku akan pupus bila orang-orang mendengar aku membunuh seorang bocah seperti kau ini! Bocah! Sejak kapan kau berada di sini?" si nenek mencak-mencak tak karuan. "Mau apa tanya-tanya?" sahut Tirta, seenaknya. "Jawaaabbb!" suara keras itu mcnggelegar, membuat Tirta mengkeret. "Tadi pagi!" sahut Tirta acuh tak acuh. Diam-diam, dia ketakutan setengah mati sebenarnya. "Apakah kau melihat burung ber-

bulu keemasan lewat di lembah ini?" "Tidak! Yang ada nenek jelek hitam!" "Kurang ajar!" Kali ini Ratu Tengkorak Hitam tak mau hanya menakut-nakuti, tetapi siap untuk menempelang. Bukan main ketakutannya Tirta. Dia bersiap-siap untuk kabur. Namun.... "Heran... rupanya Ratu Tengkorak Hitam hanya berani menghadapi anak kecil! Apakah sudah tak punya nyali lagi menghadapi yang lebih?" Sekonyong konyong lerdengar satu suara yang langsung menghentikan keinginan Ratu Tengkorak Hitam untuk menghajar Tirta. Ratu Tengkorak Hitam cepat menurunkan tangan seraya betbalik ke belakang. Matanya menyipit dengan mulut masih mengunyah susur. "Rupanya Kaki Gledek yang datang ke sini? Apakah Goa Setan sudah terlalu busuk untuk kau diami?" kata si nenek. Orang yang baru datang ternyata bertubuh tinggi besar. Rambutnya panjang tak beraturan. Wajahnya yang kasar dihiasi codet di pipi kanan. Hidung dan bibirnya besar. Pakaiannya merah-merah dengan ikat pinggang warna kuning. Dan lelaki bernama Kaki Gledek ini terbahak-bahak mendengar sambutan si nenek. Tawanya yang keras meng-

getarkan, seolah hendak memamerkan tenaga dalamnya. Si nenek raenggeram sambil mengalirkan tenaga dalam pada telinganya. Sementara Tirta, si bocah pemberani yang bersiap kabur tadi, langsung jatuh pingsan begitu serangan tenaga dalam itu menghantam gendang telinganya. Kambing-kambing yang tadi dikumpulkannya kembali dengan susah payah kini sudah berlarian entah ke mana. "Ratu Tengkorak Hitam.... berita munculnya Rajawali Emas burung kesayangan Sepuh Mahisa Agni atau yang berjuluk si Malaikat Dewa, telah singgah pula ke Goa Setan. Batu Bintang yang ada di ekor burung itulah yang tentu memaksamu keluar dari Sungai Terkutuk itu bukan?" tanya si Kaki Gledek. Wajah si nenek kelam. Jelas, dia tak bisa memandang remeh pada lelaki tinggi besar itu. Nama besar Kaki Gledek telah membedah rimba persilatan sejak lima belas tahun lalu. Kesaktian sepasang kakinya tak bisa disangsikan lagi. Selama ini, Ratu Tengkorak Hitam memang belum pernah bertarung. Dan agaknya, pertarungan mereka akan segera berlangsung. Diam-diam Ratu Tengkorak Hitam bukan hanya mengalirkan tenaga dalam pada dua telinga lebarnya, tetapi pada

seluruh tubuh. Terutama sepasang tangannya yang kurus. "Bukan hanya aku yang mendengar tentang Batu Bintang, sebuah bahan yang bisa dibuat sebuah senjata tangguh dan sakti. Karena ada dua orang yang hendak mendapatkannya, maka tak ada jalan lain kecuali menentukan siapa yang berhak mendapatkannya." Kaki Gledek mengumbar tawanya hingga makin keras, membuat lembah itu bagai bergetar hebat. Rerumputan dalam jarak lima puluh tombak pun sampai terpapas. Sementara yang di sekitar mereka justru ternyata masih tumbuh utuh. Dari sini bisa ditebak kalau Kaki Gledek bukan hanya memiliki tenaga dalam tinggi, melainkan juga mampu memindah-mindahkan tenaga dalam jarak puluhan tombak. "Usui yang menarik! Apakah...." "Bacot busuk tak berguna!" sentak Ratu Tengkorak Hitam. Begitu habis membentak, si nenek melakukan gempuran. Kedua kepalan tangannya mendadak berubah menjadi hitam berkilatan. Tubuhnya yang meluruk hebat, seolah bagai bayangan hitam mengerikan dinamakan Jalan Hitam Kematian'. Sebuah kesaktian yang didapat dari gurunya yang berjuluk Maharaja Tengkorak Hitam. Puluhan tahun lalu, jurus 'Jalan Hitam Kematian' yang mematikan memang

menjadi momok dalam rimba persilatan. Tak seorang pun yang mampu mengatasi keampuhan jurus mengerikan itu. Dan Ratu Tengkorak Hitam rupanya beruntung. Karena sebelum gurunya menemui ajal akibat sakit, dia masih sempat diwarisi jurus mematikan itu. Kaki Gledek bukannya tidak tahu kalau si nenek mempergunakan jurus mematikan. Maka bisa ditebak kalau Ratu Tengkorak Hitam menghendaki pertarungan singkat. Begitu tubuh si nenek menggebah, lelaki tinggi besar itu mencelat ke depan seraya menggelar jurus 'Kaki Gledek Kirim Nyawa'. Seketika sinar merah melingkupi kedua kakinya yang penuh bulu. Begitu dahsyatnya jurus yang diperlihatkan, sehingga menciptakan suara berdentum tak ubahnya gledek menyalak disertai angin besar bergemuruh. Dan benturan hebat pun tak terelakkan. Blarrr! Tanah yang dipijak kedua orang itu kontan bergetar. Perbukitan yang mengelilingi lembah bagai bergoyang hebat. Kilatan sinar hitam dan merah mencelat tinggi. Rerumputan terbang terpapas dan luruh kembali. Di tempat lain, tubuh Tirta yang masih pingsan terlempar sepuluh tombak ke belakang. Bahkan gubuk tempat Tirta biasa

bersantai terbang terbawa angin yang terjadi. Dari kepulan debu tebal, mencelat dua sosok tubuh ke belakang. Tubuh tinggi besar milik Kaki Gledek terhuyung tiga tombak. Kedua kakinya bagai patah, akibat benturan tadi. Segera dia berdiri tegak seraya mengalirkan tenaga dalam pada kakinya. Dari mulutnya mengalir darah segar. Sementara, Ratu Tengkorak Hitam hanya terjajar mundur satu tombak. Keadaannya masih terlihat segar bugar dengan tangan tetap menyala hitam. "Kembali ke tempat asalmu, Orang Tak Berguna! Aku tak segan-segan menurunkan tangan telengas!" ancam si nenek dengan suara dingin. "Jurus 'Jalan Hitam Kematian' benar-benar bukan omong kosong. Tenaga dalam orang tua keriput ini juga tidak main-main," kata batin Kaki Gledek dengan wajah setengah pias. "Hhh! Manusia hina ini tak akan kulepaskan, meski aku harus mati. Batu Bintang harus kumiliki!" Lalu si Kaki Gledek menatap tangan Ratu Tengkorak Hitam. "Setan gentayangan! Kita baru bertarung satu gebrakan. Dan apakah itu takberarti aku akan mundur? Selangkah pun tak terlintas niat dalam otakku!" desis si Kaki Gledek. "Kalau begitu, terimalah

kematian!" Kembali Ratu Tengkorak Hitam membuka jurus 'Jalan Hitam Kematian'. Tubuhnya kembali meluruk dengan tangan hitam berkilatan. Kaki Gledek yang baru merasakan kehebatan jurus itu, cepat melipat gandakan tenaga dalamnya. Tak ingin menderita kerugian, segera jurus 'Kaki Gledek Lingkar Bumi' dilepaskan. Blarrr...! Kembali benturan dahsyat terjadi. Bahkan lebih dahsyat dari yang pertama. Namun kali ini akibatnya kebalikan dari yang pertama. Tubuh Ratu Tengkorak Hitam tampak mertcelat tiga tombak ke belakang dengan kedua tangan terasa remuk. Sementara Kaki Gledek masih berdiam tegak dengan langit. "Apakah hanya begitu saja kehebatan 'Jalan Hitam Kematian'?" ejek lelaki tinggi besar itu penuh seringaian. Si nenek cepat mengalirkan hawa murni ke kedua tangannya, lalu menyilangkannya di dada. Mata kelabunya bagai mencelat keluar. "Huh! Kali ini nyawamu akan putus dari badan!" Mendadak saja si nenek memutar kedua tangannya di depan dada. Semula perlahan, namun semakin lama semakin bertambah cepat. Tangannya bagai

berubah menjadi ribuan jumlahnya. Dan seketika, angin yang ditimbulkan akibat putaran tangannya melesat kedada Kaki Gledek. Begitu cepat, hingga.... Desss...! Lelaki tinggi besar itu mundur dua langkah. "Sinting!" maki si Kaki Gledek dengan dada terasa bergetar. "Jurus apa yang kau perlihatkan, hah?!" "Jurus 'Angin Dendam Punah Nyawa'! Putuslah nyawamu, Setaaannn!" Diiringi angin gemuruh, tubuh Ratu Tengkorak Hitam menerjang. Begitu cepat, hingga sukar ditangkap mata. Di tempatnya, Kaki Gledek tercekat dengan dada berdebar lebih cepat. Rasanya untuk menghindar sudah tak mungkin lagi. Jalan satu-satunya, memang harus memapaki. Saat itu juga, Kaki Gledek mengerahkan jurus 'Kaki Gledek Lingkar Bumi'. Tubuhnya langsung mencelat dengan kaki kanan dan kiri menggebah ke depan. Lalu.... Blarrr! Blaarrr! Dua suara seperti gunung batuk terdengar hebat. Asap tebal tampak mengepul saat terjadi benturan barusan. Satu sosok tubuh yang ternyata tubuh Kaki Gledek mencelat lima tombak ke belakang. Begitu sampai di tanah, dia ambruk, tak mampu kuasai

keseimbangan. Tetapi begitu Ratu Tengkorak Hitam menderu kembali siap habisi nyawanya, tanpa membuang tempo lagi Kaki Gledek bangkit. Dan dengan mengerahkan tenaganya, dia berlari lintang pukang ke arah timur! Melihat lawannya kabur, si nenek cepat menahan gerakannya seraya membuat putaran di udara. Dan begitu mendarat di tanah, pipi peotnya menggembung mengerikan, penuh jalurjalur kerut menakutkan. Dan seketika kedua tangannya menghentak, melepas pukulan jarak jauh., Wusss...! "Uts...!" Blarrr...! Bila saja Kaki Gledek tak mencelat cepat, tak mustahil nyawanya akan putus. Tanah yang terhantam pukulan 'Angin Dendam Punah Nyawa' kontan berlobang sedalam satu tombak. Dan dari tempatnya, Ratu Tengkorak Hitam melihat tubuh lawannya lenyap perlahan-lahan. "Manusia hina keparat! Bila bertemu lagi, tak akan kuampuni nyawa busukmu!" Tiba-tiba Ratu Tengkorak Hitam terdiam. Bagai teringat akan niatnya semula untuk mencari Rajawali Emas. "Hhh! Aku tak boleh membuang waktu. Rajawali Emas yang membawa

bongkahan batu keemasan yang disebut Batu Bintang, harus kudapatkan sebelum banyak yang mencari. Rimba persilatan saat ini sedang kacau. Siapa yang lebih kuat, dialah yang akan berjaya. SekaliguS, menjadi orang kuat dalam rimba persilatan!" Lalu tanpa buang waktu, Ratu Tengkorak Hitam berkelebat meninggalkan lembah yang kini telah porak poranda. Kenyamanan dan kepermaian lembah telah terusik akibat pertarungan yang sebenarnya berjalan singkat. * * *

2
Kaki Gledek menghentikan larinya di perbatasan sebuah hutan lebat yang masih perawan. Kini matanya baru terbuka, setelah membuktikan kesaktian Ratu Tengkorak Hitam. Maka melarikan diri adalah jalan yang paling tepat. Baginya, mendapatkan Batu Bintang adalah yang lebih utama. Begitu sepasang kaki lelaki tinggi besar terbungkus baju merah ini menginjak perbatasan hutan, matahari telah merangkak ke ufuk barat. Kepalanya langsung menoleh ke belakang. Kini bayangan Ratu Tengkorak Hitam tak terlihat lagi. Tetapi Kaki Gledek

yakin kalau si nenek tak akan melepaskannya. Maka, lelaki ini memutuskan untuk meneruskan larinya. Kembali ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan sampai pada puncaknya. Setelah tiga kali penanakan nasi terlewatkan, Kaki Gledek telah tiba di ujung hutan belantara itu. Kaki Gledek mengatur napas dalamdalam. Meskipun kelelahan masih membias di wajahnya, namun kegeramannya masih tampak akibat kekalahannya dari Ratu Tengkorak Hitam. "Peduli setan dengan wanita peot itu! Aku harus mencari Batu Bintang. Entah, di mana burung raksasa keparat itu berada sekarang. Tetapi jelas, sebelum aku bertemu si nenek peot itu, burung raksasa sialan tadi menuju ke arah timur! Sebaiknya, kutinggalkan hutan ini sebelum malam menjelang!" Tetapi baru saja Kaki Gledek melangkah satu lindak, tiba-tiba.... "Ha ha ha...!" Sebuah tawa menghentak yang demikian keras, membuat Kaki Gledek tercekat. Suara tawa itu bukan hanya menggugurkan dedaunan, tetapi juga mematahkan ranting-ranting pohon! Jelas, betapa tingginya tenaga dalam si pemilik tawa! Belum sempat lelaki tinggi besar itu menenangkan batinnya, sesosok

bayangan telah berkelebat turun dari sebuah pohon. Dan tahu-tahu, bayangan itu telah berdiri tiga tombak di hadapannya. Sepasang mata Kaki Gledek membuka lebih lebar, menatap wajah dingin di hadapannya yang berdiri agak membongkok. Untuk beberapa lama, lelaki berbaju merah yang baru saja menderita kekalahan dari Ratu Tengkorak Hitam ini tak berbuat apa-apa. Kecuali, tegak berdiri dengan pandangan lebih membesar tak percaya pada sosok di hadapannya. "Manusia Mayat Muka Kuning...," desisnya dengan suara, bergetar. Tanpa disadari bukan hanya suaranya bergetar, tubuhnya pun mendadak gemetar. Orang yang baru turun dari pohon itu berwujud aneh. Tubuhnya kurus mencangkung tanpa baju, menonjolkan tulang-tulang di sekitar dada dan perut. Celananya pangsi berwarna hitam kusam. Rambut panjangnya tergerai sampai punggung. Yang mengerikan dari wujud anehnya, wajahnya berwarna kuning. Namun sekujur tubuhnya berwarna hitam. Wajah kuning nan dingin itu seperti mayat saja. Orang itulah yang akhir-akhir ini menjadi momok dalam rimba persilatan, baik golongan lurus maupun sesat. Dialah yang dikenal sebagai Manusia Mayat Muka Kuning.

"Kaki Gledek... cecunguk dari Goa Setan yang berani berlagak di hadapanku!" ejek Manusia Mayat Muka Kuning. Suaranya terdengar dingin, namun mampu membuat merah telinga Kaki Gledek yang tengah berusaha menindih rasa takut dan gemetar tubuhnya. Namun usahanya sia-sia saja. "Aku.... Maafkan aku.... Aku tak sengaja berada di sini...," ucap Kaki Gledek terpatah-patah dengan wajah pias. "Tak seorang pun yang kubiarkan hidup setelah pamer wajah di hadapanku! Kaki Gledek! Ajal sudah membentang di depanku. Dan nyawamu siap lepas dari badan!" ancam Manusia Mayat Muka Kuning sambil maju satu tindak. Sikapnya benar-benar mengancam. Tanpa sadar Kaki Gledek mundur tiga tindak. "Tunggu! Jangan turunkan tangan telengas dulu, sebelum mendengarkan kata-kataku!" cegah Kaki Gledek, setelah berusaha membangkitkan keberaniannya. "Otak licik dalam benak busukmu mau coba mempengaruhiku?!" desis Manusia Mayat Muka Kuning, dingin. "Aku... aku punya keterangan bagus. Dan tentunya, kau sangat ingin mendengarnya," bujuk Kaki Gledek berusaha tenang. Otak liciknya bekerja

keras, untuk menutupi kepengecutannya. Ketika Manusia Mayat Muka Kuning menghentikan langkah dan berdiri mencangkung menatapnya, Kaki Gledek tersenyum. "Pernahkah kau mendengar tentang seekor rajawali raksasa berwarna keemasan?" susulnya. "Iihh! Siapa pun tahu, burung raksasa itu peliharaan Sepuh Mahisa Agni yang berjuluk Malaikat Dewa!" dengus lelaki berwajah kuning berusia tujuh puluh tahun itu, "Tentunya kau tahu tentang Batu Bintang yang ada di ekor burung itu, bukan?" Sepasang mata lelaki berwajah kuning itu menyipit. Matanya tak berkedip menatap Kaki Gledek yang berusaha menenangkan diri. "Apa maksudmu?" tanyanya, tetap bernada dingin. "Aku punya kabar bagus untukmu," kata Kaki Gledek. "Katakan!" "Janji untuk melepaskan aku dari sini?" "Setan hina! Kau coba-coba mempengaruhiku, hah?!" bentak Manusia Mayat Muka Kuning seraya menjentikkan jari telunjuknya. Dan.... Sraattt! Seketika sinar kuning bagai jarum melesat ke arah Kaki Gledek. Lelaki

tinggi besar berbaju merah itu tercekat dan langsung melompat. Namun, lesatan sinar kuning itu lebih cepat daripada gerakannya. Bukan disebabkan karena luka dalam akibat pertarungan dengan Ratu Tengkorak Hitam, melainkan karena sinar kuning itu memang melesat lebih cepat! Satu kehebatan kecil yang diperlihatkan Manusia Mayat Muka Kuning. Crasss! "Aaah...!" Tak urung tangan kanan Kaki Gledek terserempet sinar kuning. Perihnya tak terkira. Bahkan sekujur tubuhnya terasa seperti terbakar. Dia mengeluh panjang pendek, namun tak berani membentangkan tatapan marah pada lelaki berwajah kuning yang menggiriskan itu. Manusia Mayat Muka Kuning menyeringai buas. "Kau akan mampus bila ocehan mulutmu hanya bualan belaka!" Kaki Gledek mendekap tangan kanannya dengan tangan kiri. Dialirkannya hawa murni untuk mengusir panas menyengat yang menyerangnya. "Mana berani aku bertindak bodoh di hadapanmu? Siapa pun tak akan berani unjuk gigi melihat kesaktianmu. Namun perlu kutegasi, berita yang akan kusampaikan bukan hanya ocehan belaka," tandas Kaki Gledek, merendah.

Manusia Mayat Muka Kuning tersenyum mendengar kata-kata Kaki Gledek. "Bagus! Berarti kau sayang nyawa! Katakan! Di mana burung rajawali raksasa itu berada?" Menyadari kalau lelaki tua berwajah kuning itu akan menjanjikan kebebasan baginya, Kaki Gledek sengaja mengulur waktu untuk membuktikan lebih jelas. "Kukatakan berita ini, tetapi lepaskan nyawaku." "Tak pernah ludah yang terbuang kujilat lagi. Tetapi, ingat! Bila hanya ocehan busuk, ke ujung neraka pun kau harus mati di tanganku." Diam-diam Kaki Gledek tersenyum puas dalam hati. Maka dengan terputusputus, diceritakannya tentang perkelahiannya dengan Ratu Tengkorak Hitam. "Aku terluka dalam sebenarnya. Bila aku tidak cepat melarikan diri, tak mustahil nyawaku akan putus di tangan Ratu Tengkorak Hitam," tutur Kaki Gledek di ujung ceritanya. "Apa hubungannya cerita busukmu ini dengan bualanmu tentang Batu Bintang?" tanya Manusia Mayat Muka Kuning, merasa tak puas dengan cerita Kaki Gledek. "Nenek poet dari Sungai Terkutuk itu memiliki Batu Bintang!" sahut Kaki Gledek penuh keyakinan kalau omong

kosongnya akan dimakan bulat-bulat oleh lelaki berwajah kuning dan berbentuk tirus. "Bualan usang!" Di luar dugaan Kaki Gledek, Manusia Mayat Muka Kuning menggebah keras. Tangan kanannya siap diayunkan lagi. Buru-buru Kaki Gledek mengangkat tangannya. "Tunggu!" cegah Kaki Gledek. "Aku mengatakan apa adanya! Batu Bintang telah dijatuhkan oleh burung Rajawali Emas milik Sepuh Mahisa Agni dan Ratu Tengkorak Hitam yang telah mendapatkannya. Dan aku pun bertarung untuk merebut Batu Bintang yang menggegerkan itu." Melihat ketakutan dan ketakberdayaan orang tinggi besar di hadapannya, Manusia Mayat Muka Kuning menurunkan tangan kanannya perlahanlahan. "Untuk saat ini, aku bisa mempercayai kata-kata berbisamu itu. Tetapi, ingat! Nyawamu ada di tanganku bila ini hanya ocehan busuk!" "Kupertaruhkan kebebasanku untukmu!" tandas Kaki Gledek meyakinkan. Saat ini jalan yang terbaik adalah lepas dari Manusia Mayat Muka Kuning. Apa yang dialami lelaki baju merah itu tak ubahnya lepas dari mulut buaya, dan tiba di mulut harimau. "Bagus! Di mana Ratu Tengkorak

Hitam berada?"tuntut Manusia Mayat Muka Kuning. "Ketika aku melarikan diri, dia berada di Lembah Permata!" "Aku akan mencari wanita peot itu!" kata Manusia Mayat Muka Kuning. Kaki Gledekyang merasa terbebas dari ancaman maut di hadapannya, tersenyum lagi dalam hati. Namun di wajahnya masih memperlihatkan kengerian. "Dan tentunya, kau tak lupa akan janjimu, bukan?" usik Kaki Gledek tersenyum. "Sama sekali tidak! Kebebasan kuberikan padamu. Nyawa kubiarkan menempel di tubuh hina itu. Tetapi...." Di ujung kalimatnya, Manusia Mayat Muka Kuning menjentikan jarinya. Tik! "Aaakkhhh...!" Kaki Gledek kontan menjerit setinggi langit ketika dua buah sinar kuning melesat masuk ke dalam kedua tangannya. Tubuhnya langsung ambruk terguling. Panasyang membakar segera merajah sekujur tubuhnya. "Seperti janjiku, nyawamu tak kuambil!" Sehabis berkata dingin, Manusia Mayat Muka Kuning melesat cepat bagai kilat. Ditinggalkannya Kaki Gledek yang masih meraung kesakitan, berusaha menahan serangan

panas pada sekujur tubuhnya. Matahari bertambah redup di kaki barat. Udara dingin mulai menaungi Lembah Permata yang permai dan sekarang porak-poranda akibat pertempuran Ratu Tengkorak Hitam melawan si Kaki Gledek. Burung-burung di kejauhan beterbangan, dari Lembah Permata yang nampak hanya bayang-bayang hitam belaka, Tirta, bocah dua belas tahun yang gagah berani itu, perlahan-lahan siuman dari pingsannya. Tubuhnya menggeliat dan terasa sakit sekali. Ketika berusaha duduk, terdengar keluhan kecil dari mulut merahnya..disertai mata yang tertutup kembali karena menahan sakit. "Aaakhhhh." Perlahan-lahan Tirta membuka mata seraya menahan sakit. Pandangannya yang pertama redup, lama kelamaan membuka. Kini, didapatinya lembah yang telah berantakan. "Oh! Apa yang terjadi?" desisnya bingung dengan kepala masih terasa pusing. "Seingatku, tadi kan ada si nenek peot galak yang mengaku berjuluk Ratu Tengkorak Hitam. O, iya. Lalu, datang lelaki jelek berbaju merah yang dipanggil Kaki Gledek. Ke mana mereka?" Sejenak bocah cerdik yang berani itu terdiam.

"Aku ingat sekarang," desisnya lagi. "Orang berbaju merah itu tertawa keras. Kurasakan telingaku sakit dan aku tak ingat apa-apa lagi. Ih! Mengapa ada suara tawa yang bisa membuat telinga sakit begitu, ya? Untungnya cuma pingsan. Kalau sampai mati, siapa yang akan menggembalakan kambing-kambing Juragan Lanang. Kalau tak ada yang menggembala... oh!" Mendadak saja sepasang mata bundar milik Tirta terbuka lebih melebat. Kepalanya menoleh ke sana kemari Namun tak seekor kambing pun berada di sana. Maka tanpa menghiraukan keadaan tubuhnya yang masih terasa sakit dan pegal, bocah itu berdiri. Rasa takut kini menjalari perasaannya, hingga membuatnya tidak tenang. "Apa yang harus kukatakan pada Juragan Lanang mengenai kambingkambingnya yang lenyap? Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku harus mencari kambing-kambing itu. Kalau aku pulang tanpa kambing-kambing itu, Ayah pasti akan dimarahi Juragan Lanang lagi. Buktinya, ketika seekor kambing Juragan Lanang lecet kakinya akibat terperosok di lobang, ayahlah yang dimarahi dan disuruh bekerja di sawahnya, tanpa dibayar selama dua minggu. Padahal aku tahu, saat itu Ayah sedang berusaha membayar

hutangnya. Oh.... Aku harus mencarinya! Peduli aku akan pulang malam atau tidak. Aku tidak ingin melihat Ayah kembali bekerja pada Juragan Lanang tanpa dibayar sepeser pun! Apalagi, mengingat hutang Ayah yang belum juga lunas...." Setelah menguatkan hatinya, perlahan-lahan Tirta mulai berlari. Tetapi karena rasa sakit akibat tubuhnya terpental jauh setelah terjadinya benturan dua tenaga dalam tinggi antara Ratu Tengkorak Hitam dengan Kaki Gledek, membuat tubuhnya tersuruk. Namun kekerasan hati Tirta benarbenar besar. Biasanya, saat hari menjelang malam seperti ini? dia tak berani berada di Lembah Permata seorang diri. Namun karena tak enak membayangkan apa yang akan dialami ayahnya nanti, terpaksa dia bangkit dan mencari kambing-kambing itu. Tirta bertekad, harus menemukan kambing-kambing itu. Sesuai ajaran ayahnya, segala beban di pundak harus dijaga penuh. Segala kewajiban telah dipikul, harus dipertanggungjawabkan secara utuh. Malam mulai datang. Dusun Bojong Pupuk yang tak jauh dari Lembah Permata, seolah mati setelah seharian para penduduknya bekerja keras di sawah dan ladang. Lampu sentir yang

ada di setiap rumah mulai dihidupkan, memberikan penerangan yang tak seberapa terang. Di depan salah sebuah rumah yang terletak di tepi perbatasan Dusun Bojong Pupuk bagian selatan, nampak seorang lelaki berusia kira-kira tiga puluh tahun tengah mondar-mandir saja. Sesekali lelaki berwajah cukup tampan itu berhenti melangkah, lalu melongok ke arah jalan tempat orang biasa datang dari sana. Berkali-kali terdengar desahan bernada gelisah dari hidung si lelaki, berbaur suara jangkrik dan kodok yang mulai unjuk gigi sejak mahatari masuk ke peraduannya. "Ke mana bocah itu? Mengapa sampai saat begini belum juga datang? Apakah dia tertidur seperti waktu lalu?" desis lelaki itu gelisah. Kepalanya melongok lagi ke arah jalan, namun yang ditunggunya belum muncul juga. Pintu rumah sederhana itu berderit dan terbuka. Tampak seorang perempuan berwajah cantik muncul tergesa, langsung menghampiri lelaki itu. Si lelaki menghentikan langkahnya. Pandangannya cepat beralih pada perempuan itu. "Bagaimana, Kakang Layung Seta? Apakah Tirta sudah datang?" tanya si

perempuan begitu sarat kegelisahan. Seperti yang dilakukan lelaki tadi, perempuan ini pun melongok ke arah jalan, arah kedatangan Tirta biasanya. Lelaki yang ternyata ayah Tirta itu menggeleng. Ditatapnya wajah pucat penuh gelisah milik perempuan yang tak lain istrinya. "Belum, Mentari! Mungkin dia tertidur di gubuk," sahut lelaki bernama Layung Seta. "Susul saja, Kang. Aku khawatir terjadi sesuatu pada anak kita," pinta perempuan bernama Mentari itu. Layung Seta menarik napas pendek. Lalu ditatapnya wajah istrinya seraya anggukkan kepala. "Aku akan menyusulnya, Bu," kata Layung Seta. Segera lelaki ini masuk ke dalam rumah. Sebentar saja, dia sudah muncul kembali. Namun kini, di pinggangnya telah terselip sebilah golok. "Mentari... tunggulah di rumah. Barangkali saja aku selisih jalan dengan Tirta." Mentari mengangguk. "Hati-hati, Kakang." Layung Seta mengangguk, lalu bergegas menuju ke arah timur, ke arah Lembah Permata. Jalan setapak penuh rumput dan cukup gelap, tak terlalu sulit dilalui Layung Seta. Sebagai putra Dusun

Bojong Pupuk, jalan-jalan itu sudah sangat dihafalnya, Bahkan, sewaktu seusia putranya, Lembah Permata merupakan salah satu tempat yang sering didatangi, selain sungai di sebelah selatan. Sepenanak nasi telah berlalu, saat lelaki yang tengah gelisah memikirkan anak semata wayangnya itu tiba di Lembah Permata. Pahdangannya langsung beredar ke seantero lembah. Namun tak nampak seorang pun di tempat ini. Pikirnya, Tirta tentu berada di gubuk. Akan tetapi, kening Layung Seta jadi berkerut heran. Sepanjang ingatannya, sejak gubuk itu dibuatnya lima bulan lalu, dia sangat hafal letak gubuk itu. Namun pada Kenyataannya, tak ada gubuk yang dicarinya. Dan dia makin heran melihat rerumputan di sekitar tempat itu terpapas. "Apakah tadi ada angin topan di sini?" tanyanya tak mengerti. Namun sejurus kemudian, Layung Seta yang sedikit banyak mengerti ilmu silat, bisa melihat jejak-jejak kaki yang seperti terseret di beberapa tempat. Dia berjongkok, langsung mengamati tanah di sekitarnya dengan bantuan sinar rembulan yang membulat penuh. Perasaan lelaki ini makin cemas memikirkan nasib Tirta. Dia tegak

lagi, dan segera menjelajahi lembah itu dengan mata lebih terbuka. Dan di sela-sela pencariannya, Layung Seta meneriakkan nama putranya. Waktu terus bergulir. Suasana cemas dan mencekam makin menyiksa hati Layung Seta. Setelah lelah mencari, langkahnya berhenti di tengah-tengah Lembah Permata. "Di mana Tirta berada? Apakah dia saat ini dalam keadaan sehat? Ataukah celaka karena pertarungan hebat yang sepertinya baru terjadi?" gumamnya, berkata pada diri sendiri. Lelaki yang tengah mencemaskan anaknya itu menarik napas berkalikali. Kepalanya mendongak, menatap rembulan yang sudah berada tepat di tengah kepala. Diputuskan untuk segera kembali ke rumah, setelah teringat akan istrinya yang tentunya tengah cemas menunggu. Layung Seta membayangkan, betapa sedihnya Mentari mendapati dirinya pulang tanpa Tirta. * * *

3
Matahari mengintip malu-malu dari balik Gunung Slamet yang tinggi menjulang. Udara nampak cerah dalam bentangan langit biru di angkasa.

Angin membelai lembut tubuh Gunung Slamet. Dalam jarak ribuan tombak dari gunung yang berdiri angkuh itu terdapat sebuah sungai yang mengalir deras bergemuruh. Di dekatnya berdiri pepohonan yang tak begitu tinggi, namun dedaunan yang melingkupinya sangat rimbun. Burung-burung beterbangan seolah menyambut pagi yang cerah ini. Di sisi sungai, satu sosok tubuh kecil bertelanjang dada tampak terbaring lemah tak berdaya. Selang beberapa saat, satu bayangan berkelebat dan berhenti di tepi sungai, Ternyata yang baru datang adalah seorang perempuan tua dengan rambut dikonde. Tubuhnya agak membungkuk. Dia terkekeh-kekeh melihat air sungai yang menawarkan kesegaran. Di tangan kanannya tampak sebuah pengebut bergagang baja. "Hik hik hik.... Pasti nyaman tubuhku bila mandi di sini. Hmmm.... Tak ada manusia di sini. Berarti, tak akan ada yang mengintipku," oceh nenek berkonde itu cukup nyaring. Si nenek menoleh ke kanan dan kiri, lalu buruburu membuka baju batik kusamnya. Di balik baju batik kusam itu, nampak sebuah kutang putih. Sepertinya dada itu memang tak ada yang perlu ditutupi, karena memang terlihat rata. Namun ketika akan melepaskan kain

batik kusam yang melilit bagian bawah, mendadak saja mata celongnya menyipit. "Kunyuk! Ada bocah tidur di sana! Keparat! Meskipun cuma bocah, tetapi memiliki mata!" rutuk si nenek. Buru-buru si nenek mengenakan lagi baju batik kusamnya. Lalu pengebutnya diselipkan ke balik pinggangnya, Dan hanya sekali lompat, tubuh bungkuknya sudah tiba di sisi tubuh bocah yang dilihatnya. "Bocah! Bangun! Aku ingin mandi!" bentaknya garing. Tetapi, bocah yang terlungkup itu tak bergeming sama sekali. Kening nenek berkonde ini jadi berkerut. Lalu, tubuhnya membungkuk. Dan dalam sekali lihat saja, dia tahu kalau tubuh bocah itu pingsan. Perlahanlahan dibalikannya tubuh bocah yang ternyata Tirta. "Hmm... bocah bagus. Wajahnya tampan. Dan, ya... ampun... tulang belulangnya sangat kokoh! Hik hik hik.... Tak perlu kuurusi segala persoalan busuk hari ini. Keinginanku untuk dapatkah seorang murid tampaknya sudah di depan mata," gumam si nenek. Jemari tangan kanan nenek berkonde yang kurus itu menekan beberapa urat di bagian dada dan kepala Tirta. "Luar biasa! Denyutan nadi dan aliran darah bocah ini sangat kuat.

Tak seperti orang pingsan. Anak siapa dia? Peduli setan sekalipun dia anak dedemit sungai ini!" Lalu dengan ringan nenek berkonde itu mengangkat tubuh Tirta yang pingsan. Segera dibawanya bocah itu ke sebuah gubuk yang Di dalam gubuk, si nenek yang masih penuh pesona itu menatap wajah dan tubuh Tirta yang masih pingsan. Rupanya, kelelahan tak bisa ditahan lebih lama lagi oleh bocah pemberani ini, untuk teruskan langkah mencari kambing-kambing Juragan Lanang yang hilang. "Hebat!. Hebat! Nasibmu sangat beruntung, Kunti Pelangi! Kau akan dapat murid pandai yang bisa mewarisi seluruh ilmumu!" oceh si nenek berkonde. Seolah si nenek berkata pada orang lain. Padahal, yang di sebutkan tadi adalah namanya sendiri. Dan kali ini ditekannya dua buah urat yang ada di bawah lengan kanan dan kiri Tirta. Sesaat, dialirkannya tenaga dalam melalui jari-jemari tangan si bocah. Bibir keriput nenek bernama Kunti Pelangi itu melepas senyum. "Luar biasa! Tak percuma aku membuang waktu. Bocah ini akan kujadikan muridku. Nah! Dia mulai bergerak sekarang." Nenek Kunti Pelangi menatap tajam

Tirta yang mulai bergerak. Mata bocah nekat berhati kuat itu perlahan-lahan terbuka. Dan yang tertangkap matanya pertama kali adalah seringai nenek. "Setaaannn! Setaaannn!" teriak Tirta, kalap. Si bocah hendak melompat. Tetapi tangan nenek berkonde itu cepat menangkap tangan Tirta. Wajahnya yang tadi selalu tertawa karena merasa mendapat murid yang selama ini dicarinya, lenyap bagai ditarik setan mendengar jeritan Tirta, "Bocah keparat! Sembarangan kau berani menghina Bidadari Hati Kejam!" Tirta mengerjapkan matanya berulangkali. Tubuhnya segar sekarang, setelah mendapat penyembuhan aneh yang dilakukan nenek yang ternyata berjuiuk Bidadari Hati Kejam. "Tetapi... wajahmu, Nek.... Mengerikan sekali.... Aku mau pulang! Aku mau pulang! Oh! Tidak, tidak aku tidak mau pulang! Aku harus mencari kambing-kambingku!" Kening Bidadari Hati Kejam berkernyit hingga wajah keriputnya makin menggetarkan nyali Tirta. "Apa maksudmu dengan kambingkambing? Apakah kau pikir wajahku seperti kambing?!" sengat si nenek berkonde keras, membuat Tirta sampai menekap telinga dengan kedua tangannya.

Tetapi hati bocah pemberani itu mulai yakin sekarang, kalau nenek bergigi jarang itu bukan setan gentayangan. Otaknya yang cerdik tahu kalau perempuan tua itu sedang marah. Maka buru-buru bibirhya mengulas senyum. '"' "Mana berani aku bilang kalau kau seperti kambing, Nek? Kalaupun mirip kambing, kau kan berjenggot?" cetus Tirta. "Setan kebluk! Kutampar sobek mulutmu!" sentak Bidadari Hati Kejam, dengan tangan terangkat. "Ampouuun! Jangan, Nek! Jangan tampar. Aku harus cari kambing-kambing Juragan Lanang yang hilang." "Sekali lagi bicara ngaco, kukirim nyawamu ke akhirat!" "Jangan, nanti aku tidak tahu pulang!" Jawaban Tirta sepertinya asal saja. Padahal ja-waban itu muncul dari kepolosannya. Dan ini membuat si nenek terkikik-kikik. Tangan kanannya dilepaskan dari lengan Tirta. Si bocah segera usap-usap lengannya yang rada memerah. "Siapa namamu, Bocah?" tanya Bidadari Hati Kejam. "Tirta," sahut si bocah. "Siapa nama orangtuamu?" "Ayahku bernama Layung Seta. Ibuku bernama Mentari."

"Bocah pemberani," kata batin nenek berkonde itu dengan seringainya. "Nek, tadi kau menyebut dirimu Bidadari Hati Kejam. Apakah kau memang kejam, Nek?" tanya Tirta, membuat si nenek terkejut. "Bocah sok tahu! Tahu apa kau soal kejam, hah?!" bentak Bidadari Hati Kejam. "Ayahku mengatakan, kalau kita sebagai manusia, hidup harus rukun. Berada dalam jalur lurus dan putih yang menggelombang. Jangan sampai salah jalan. Bila semua berhasil dilakukan, berarti kita memiliki hati bersih dan mulia. Sehingga, seluruh sifat kejam akan sirna." Untuk yang kesekian kali, kening Bidadari Hati Kejam berkernyit. Ditatapnya dalam-dalam Tirta yang masih menyang-menyong mulutnya. Seolah si bocah tak menyadari kalau perempuan tua itu masih terheran-heran mendengar kata-katanya. "Nek... jangan menatapku seperti itu," ujar Tirta, merasa jengah ditatap begitu. Nenek berkonde itu merubah raut wajahnya. "Aku ingin kau menjadi muridku, Bocah." "Murid? Maksudmu... kau jadi guruku? Belajar apa kita nanti, Nek?" "Pertanyaan bodoh," dengus batin

Bidadari Hati Kejam. Namun di kejap lain si nenek menyadari kalau pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan wajar yang muncul dari seorang bocah berhati bersih. "Mungkin kau terlalu kecil untuk mengetahui siapa aku ini, Bocah. Tetapi, aku telah menjatuhkan pilihan padamu. Kaulah yang akan mewarisi seluruh ilmu yang kumiliki. Sekaligus menunaikan segala urusan yang membentang di depanku," kata Bidadari Hati Kejam. "Ilmu apa, Nek?" tanya si bocah. "Kesaktian." "Wah! Rasanya tak mungkin. Kau saja berhati kejam. Jangan-jahgan setelah aku belajar padamu, hatiku jadi kejam juga. Tidak ah! O ya. Nek, Apakah kau melihat kambing-kambingku?" Lagi-lagi kening nenek berkonde itu berkernyit mendengar ocehan Tirta. Ratusan anak manusia yang ingin berusaha mempelajari seluruh kesaktian yang dimilikinya. Namun, tak satu pun yang berkenan di hati Bidadari Hati Kejam. Sekarang, bocah bertelanjang dada yang duduk di balai-balai kusam dan reyot di hadapannya itu justru menolak? "Gila! Pertanda apa ini? Apakah kesaktianku tak berarti apa-apa di hadapan bocah ini?" rutuk si nenek dalam hati sambil membuang pandangan

ke arah lain dengan tangan menggarukgaruk kepala. "Mendadak, si nenek menatap Tirta dengan penuh harap. "Bocah bagus! Kau pasti akan memintaku menjadi gurumu bila sudah kuperlihatkan kesaktian yang kumiliki." Lalu tanpa menunggu jawaban lagi, Bidadari Hati Kejam sudah menarik tangan kanan Tirta yang masih terbengong. Dan tahu-tahu dia mencelat keluar gubuk, membawa si bocah. "Hoooiii!" jerit Tirta ngeri sambil memejamkan kedua matanya. "Di mana kita berada sekarang, Nek?" tanya Tirta, ketika telah membuka matanya. Dan kini mereka berada di sebuah tanah lapang yang sangat luas, penuh bebatuan di sanasini. "Banyak omong! Kau lihat batu itu?!" tunjuk Bidadari Hati Kejam. "Sejak tadi juga sudah kulihat! Apanya yang aneh dengan batu itu. Di sungai juga banyak batu seperti itu!" "Bukan batunya yang harus kau lihat, Kebluk! Tetapi..." Begitu kata-kata Bidadari Hati Kejam habis, tangannya mengibas-ngibas di depan wajah keriputnya. Tak ada angin yang menderu. Tak ada suara yang terdengar. "Apa yang kau lihat?" tanya

Bidadari Hati Kejam. "Masih batu itu! Sudahlah, Nek.... Aku harus mencari kambing-kambing itu bila tak ingin kena marah Juragan Lanang!" "Bocah kebluk! Kau lihat sekarang! Fuhhh...!" Bidadari Hati Kejam menghembuskan napas panjang dari mulut, mengarah pada batu besar yang berjarak sepuluh tombak dari hadapannya dan Tirta. Dan mendadak saja, batu besar itu menjadi seperti serpihan debu yang kontan beterbangan. Setelah nenek berkonde itu menghentikan tiupannya dan debu pada batu itu menghilang, justru Tirta yang terjingkat. "Kambingku!" sentak si bocah. Tak! "Awww" Nenek berkonde ini menjitak kepala Tirta. Kontan bocah itu mengusap-usap kepalanya. sambil meringis kesakitan. "Bodoh! Dari jarak sepuluh tombak, batu itu telah kuukir menjadi bentuk kambing! Bagaimana menurutmu, Bocah Kebluk?" "Hebat!" sahut Tirta, mendumal. Suarariya menyentak, karena jengkel dijitak Bidadari Hati Kejam. Si nenek melototkan matanya lebih lebar. "Hanya hebat katamu?" katanya,

bernada jengkel. "Habis, apa dong?" tukas si bocah. "Langsung menyembah di hadapanku! Dan kau memintaku untuk mengangkatmu sebagai murid!" ujar Bidadari Hati Kejam, tegas. "Siapa bilang aku mau menjadi muridmu?" "Mau kujitak lagi?" "Ampun, ampun!" Tirta sudah melipat kedua tangannya di kepala. "Jangan jitak lagi, Nek! Sakit! Soal jadi murid, soal gampang, Nek. Tetapi aku tidak mau dimarahi Juragan Lanang gara-gara jadi muridmu. Lagi pula, aku harus bertanggung jawab terhadap kambing-kambing yang hilang! Sudah ya, Nek?" Perlahan-lahan Tirta menurunkan kedua tangannya dari kepala. Ketika melihat nenek berkonde tak melakukan apa-apa, dia melangkah perlahan. "Aku mau cari kambingku, ah!" katanya, dengan suara terayun. Ditinggalkan begitu, si nenek hanya melongo saja. Sementara, Tirta sudah melenggang santai sambil bersiul-siul. "Aneh! Kenapa jadi begini?" desis Bidadari Hati Kejam, seolah baru sadar kalau bocah yang keras kepala dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi itu sudah berlalu. Padahal hanya

sekali kelebat, dengan mudah dia sudah akan tiba melebihi jarak yang telah ditempuh Tirta. Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Hatinya masih kagum atas sifat Tirta yang tak bisa disembunyikannya. "Bocah itu harus kudapatkan! Dialah satu-satunya anak manusia yang cocok untuk menerima seluruh ilmu yang kumiliki! Urusan dengan Manusia Mayat Muka Kuning, biar kutunda dulu untuk membujuk bocah kebluk itu. Tetapi aku juga penasaran dengan berita munculnya Rajawali Emas, hewan peliharaan Sepuh Mahisa Agni yang membawa Batu Bintang di ekornya. Baiknya, kukejar bocah sialan itu." Baru saja si nenek hendak melangkah, mata tajamnya sudah menangkap bayangan yang melesat dari arah samping berjarak lima tombak dari tempat- berdiri. "Tak permisi sangat menyakitkan hati bagi yang melihat!" serunya. "Ingin kulihat, siapa kau adanya?!" Tangan kanan Bidadari Hati Kejam langsung mengembang, lalu mengibas ke arah bayangan hitam yang berkelebat. Wussss! Merasakan angin deras menderu ke arahnya, bayangan hitam itu menghentikan larinya. Dan seketika tubuhnya dibuang ke belakang. Blarrr! Angin yang dilepaskan dari

pukulan jarak jauh Bidadari Hati Kejam kontan menghantam tanah, hingga bolong dua tombak. Sementara bayangan hitam tadi sudah berdiri tegak kembali. Kepalanya langsung menoleh, dengan tatapan penuh kemarahan. "Hup!" Bidadari Hati Kejam seketika mengempos tubuhnya. Dan kini, dia telah berdiri dalam jarak tiga tombak di hadapan bayangan hitam tadi. * * * "Ratu Tengkorak Hitam!" dengus Bidadari Hati Kejam sambil menatap tak berkedip pada sosok di hadapannya. "Pantas bersikap tanpa sopan santun. Ada urusan apa hingga kau nampaknya tergesa-gesa?" Sosok bayangan yang baru muncul itu memang Ratu Tengkorak Hitam. Setelah mengalahkan Kaki Gledek, Ratu Tengkorak Hitam mencoba menyusulnya. Namun dia tak berhasil mendapatkan Kaki Gledek. Ratu Tengkorak Hitam menatap tajam Bidadari Hati Kejam. Dia tahu, siapa yang berada di hadapannya. "Hmmm... Bidadari Hati Kejam.... Kudengar kau sudah lama mengundurkan diri dari rimba persilatan. Kini, tiba-tiba muncul dan membuat urusan. Apa yang memancingmu muncul kembali ke

alam yang penuh keangkara murkaan ini?" tanya Ratu Tengkorak Hitam, dingin. Sementara, mulutnya tak hentihentinya mengunyah susur. "Pertanyaan bagus. Tapi, sekaligus menunjukkan kebodohan orang yang berbicara. Apa urusanmu tanya-tanya begitu, hah?!" "Bicara boleh, asal jangan menikam hati. Kau telah menebarkan satu bibit yang akan muncul dan berkembang dalam!" balas Ratu Tengkorak Hitam lebih dingin. Gerakan mengunyah susurnya semakin cepat, pertanda tak suka dihina. "Dan aku yakin, kemunculanmu kembali ke rimba persilatan, karena kau menghendaki Batu Bintang pada ekor rajawali raksasa keemasan peliharaan Sepuh Mahisa Agni!" Nenek berkonde yang bicaranya terkadang keras bernada kejam, lebih lebar membuka matanya. Dan tiba-tiba saja, raut wajahnya yang penuh kerutmerut berubah kelam. Bola matanya seperti hendak lompat keluar. Entah, apa yang terjadi. Karena tiba-tiba saja, Ratu Tengkorak Hitam, jadi keder hatinya. Namun, perempuan berbaju panjang warna hitam yang telah lama malang melintang itu tak menampakkan rasa keder yang datang mendadak. "Hmm.... Berita Rajawali Emas yang membawa Batu Bintang rupanya

sudah cepat menyebar. Perempuan bengis dari golongan sesat ini sudah turun tangan," kata batin Bidadari Hati Kejam. Nenek berkonde itu berusaha menekan gejolak amarahnya. Namun begitu, napasnya terlihat turun naik amat cepat. "Sekian tahun lamanya tak kujajaki dunia kotor ini. Selagi muncul harus merampungkan urusan, justru mendapat urusan lain. Ratu Tengkorak Hitam ada di depan mata. Maka, ajal sudah terbentang!" kata Bidadari Hati Kejam, penuh tekanan. Ratu Tengkorak Hitam hanya umbar tawa. Sehingga, cairan merah campuran ludah busuknya dan perahan susur yang selalu digigit melompat keluar. Meskipun sikapnya tenang, namun diamdiam kedua tangannya telah merangkum jurus 'Angin Dendam Punah Nyawa'. "Kalau dulu banyak orang membicarakan hilangnya Bidadari Hati Kejam dikarenakan tak punya lawan yang mampu menandingi, tetapi hari ini semuanya hanya bual kosong belaka. Ternyata, mundurnya Bidadari Hati Kejam tak lebih karena takut mengumbar kesaktian yang sudah menurun," ejek Ratu Tengkorak Hitam. Suara penuh ejekan bagai satu sengatan lebah singgah di telinga Bidadari Hati Kejam. Dan ini membuat

dadanya kian menghentak-hentak. "Hanya ada dua pilihan. Minggat dari depan mataku, atau rela kehilangan nyawa!" ancam Bidadari Hati Kejam, makin sarat kemarahan. Perlahan-lahan Ratu Tengkorak Hitam membuka kedua kakinya, agak melebar. Kali ini tangan kanannya diangkat menyatu dada. Sementara, tangan kirinya berada lurus di samping pinggul. "Kupilih yang kedua. Karena, aku ingin mencoba menjajaki kesaktianmu yang konon tak pernah terkalahkan sejak tiga puluh tahun belakangan ini," sahut Ratu Tengkorak Hitam, mantap. "Kau sudah membuat keputusan," desis Bidadari Hati Kejam seraya membuka kedua tangan di dada. "Jangan salahkan bila nyawamu putus!" Tanpa membuang tempo, tubuh Bidadari Hati Kejam sudah meluruk disertai angin bergemuruh yang seolah menyambar dahsyat. * * *

4
Tubuh Bidadari Hati Kejam yang sudah mencelat siap melepaskan satu serangan, disambut Ratu Tengkorak Hitam dengan jurus 'Angin Dendam Punah

Nyawa'. Buukkk! "Aaakh...!" Dua tangan yang sama-sama telah berisi tenaga dalam tinggi bertemu dalam satu benturan keras. Kedua perempuan tua itu sudah sama-sama berseru tertahan. Bidadari Hati Kejam hanya mundur tiga tindak. Segera dikerahkannya hawa murni untuk mengobati lengannya yang terasa agak ngilu. Sedangkan Ratu Tengkorak Hitam mencelat tiga tombak ke belakang. Bukan hanya lengannya saja yang terasa seperti patah, tapi juga tulang pangkal lengannya pun agak masuk ke dalam, menabrak dadanya. Dari benturan yang baru saja terjadi, Ratu Tengkorak Hitam sebenarnya maklum kalau nama besar Bidadari Hati Kejam bukan omong kosong belaka. Apalagi ketika menahan serangan dengan salah satu jurus andalannya, yang membuat Kaki Gledek lintang pukang. Ternyata, jurus andalannya tak banyak membawa arti pada Bidadari Hati Kejam. "Peduli setan! Setinggi apa pun ilmu nenek berkonde itu, aku tak akan mundur!" rutuk Ratu Tengkorak Hitam dalam hati. Bet! Bet! Kembali Ratu Tengkorak Hitam mempersiapkan jurus andalan lainnya,

'Undang Maut Sedot Darah'. Sebuah jurus yang sangat dahsyat, karena dari jarak dua puluh tombak telah mampu menyedot darah lawan hingga habis. Perubahan wajahnya nampak jelas. Butiran keringat mendadak muncul. Tubuhnya bergetar. Bukan karena menahan sakit, melainkan karena tenaga yang dialirkan pada kedua lengannya yang kini berubah makin hitam. Namun belum lagi nenek berbaju panjang warna hitam itu melepaskan pukulannya.... "Undang Maut Sedot Darah!" Bidadari Hati Kejam yang berdiri empat tombak mendesis keras agak tertahan. "Tak mungkin sahabatku si Raja Lihai Langit Bumi mau menurunkan ilmu andalannya itu padamu! Kau pasti telah mencurinya, Perempuan Hina!" lanjut Bidadari Hati Kejam, mengkelap. Ratu Tengkorak Hitam sebenarnya cukup terkejut mendengar seruan Bidadari Hati Kejam yang bisa menebak jurusnya. Namun rasa terkejutnya segera ditindih dengan mengumbar tawanya kembali. "Peduli setan setiap ucapanmu, Bidadari Hati Kejam!" seru Ratu Tengkorak Hitam disertai muncratan cairan warna merah. "Yang perlu kau ketahui sekarang, jurus 'Undang Maut Sedot Darah' telah aku kuasai! Lebih baik, akui kekalahanmu sebelum darah

yang mengalir tak seberapa dalam tubuh rentamu itu akan sirna sekali tekan!" Wajah si nenek berkonde itu membesi. "Raja Lihai Langit Bumi. Ada hubungan apa dia dengan wanita tua hina ini? Tak mungkin dia akan menurunkan ilmu itu pada Ratu Tengkorak Hitam yang terkenal senang membual. Apakah sekarang dia sudah menjadi sahabatnya, Rasanya sangat tipis kemungkinannya seandainya Ratu Tengkorak Hitam mampu mengalahkan dan memaksa Raja Lihai Langit Bumi untuk mengajarkan jurus 'Undang Maut Sedot Darah'. Dalam dua gebrakan saja Ratu Tengkorak Hitam pasti akan terkapar. Hhh! Jurus 'Undang Maut Sedot Darah' adalah jurus yang mengerikan. Meskipun dua kali pernah kulihat Raja Lihai Langit Bumi memamerkannya padaku, tetapi aku tidak tahu kelemahannya. Peduli dedemit gunung karang sekalipun! Akan kubuat melek mata Ratu Tengkorak Hitam! Tetapi, hubungan apa yang telah terjadi antara Raja Lihai Langit Bumi, hingga jurus mautnya berhasil dipelajari Ratu Tengkorak Hitam?" "Apakah kau belum membuat keputusan?" sentak Ratu Tengkorak Hitam malan mengunibar seringai lebar. Sehingga, membuat kerut di wajahnya makin nampak. "Kini kau yang tentukan pilihan! Akui kekalahanmu dan menjadi

pengikutku atau kau akan mampus dengan tubuh kering?!" "Sesumbarmu terlalu tinggi. Ratu Tengkorak Hitam!" desis Bidadari Hati Kejam dengan wajah garang. "Meskipun aku tak tahu, apa hubunganmu dengan Raja Lihai Langit Bumi, tak akan kulepaskan manusia busuk seperti kau ini!" "Kita membuktikan ucapanmu itu, Bidadari Hati Kejam!" Habis berkata begitu, Ratu Tengkorak Hitam menepuk kedua tangannya. Maka seketika kedua tangannya telah memancarkan sinar hitam yang menyilaukan mata. Bersamaan dengan itu, lima belas larik sinar hitam melesat ke arah Bidadari Hati Kejam. Set! Set...! "Uts...!" . Bidadari Hati Kejam cepat berjumpalitan, mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Seketika lima belas larik sinar hitam yang mencelat dari tepukan tangan Ratu Tengkorak Hitam, menghantam beberapa batu besar yang berjarak sepuluh tombak hingga berantakan dan berpentalan jauh. Dan ketika jatuh ke tanah, luruh jadi debu! Saat itu juga wajah Bidadari Hati Kejam jadi pias melihat kesaktian

lawannya. Kemarahannya pun bertambah naik. Sesungguhnya, dia memang berhati kejam. Terutama, terhadap orang-orang golongan sesat. Makanya dia dijuluki Bidadari Hati Kejam. Nenek berkonde itu tak mau bertindak ayal lagi. Begitu tepukan.tangan dari Ratu Tengkorak Hitam terdengar, segera pengebut di balik bajunya dicabut. Wuuuttt! Wuuuttt! Beberapa kali kibasan, maka angin laksana topan marah kontan menderu dahsyat. Kedahsyatan angin itu benarbenar terbukti. Saat itu juga, lima belas larik sinar hitam Ratu Tengkorak Hitam mencelat balik ke pemiliknya. "Heh...?!" Seketika terdengar seruan tertahan dari mulut Ratu Tengkorak Hitam. Saat itu juga, tubuhnya berkelebat cepat. "Untungnya kugunakan jurus 'Rangkai Bunga Habisi Kumbang' melalui senjataku ini. Hasilnya, bukan hanya membuat Ratu Tengkorak Hitam tungganglanggang, tetapi membuat kuyakin kalau dia tak menguasai secara benar jurus tadi. Kalau yang mempergunakan Raja Lihai Langit Bumi, sinar hitam yang telah dilepaskan tak akan berbalik ke pemiliknya. Malah mungkin bisa menyusup masuk ke dalam lawan, kendati berada di lobang semut sekalipun. Hhh! Raja Lihai Langit Bumilah yang kupikit

mampu menandingi ilmuku puluhan tahun lalu. Tetapi aku dan dia berada dalam jalan lurus, hingga tak pernah terjadi bentrokan." Sementara itu, Ratu Tengkorak Hitam telah berdiri tegak kembali dengan wajah pias. Tangannya tak lagi berada di depan dada. "Aku mengaku kalah padamu, Bidadari Hati Kejam! Tetapi urusan ini tak akan kulupakan!" desis Ratu Tengkorak Hitam, dingin. . 1 "Ratu Tengkorak Hitam! Kau boleh tinggalkan tempat ini. Tetapi, nyawa busukmu harus kau tanggalkan Usai berkata begitu, pengebut di tangan Bidadari Hati Kejam bergerak. Namun, orang yang diserang telah lebih dulu berkelebat cepat. Akibatnya, hantaman pengebut yang dilepaskannya menghantam batu besar hingga hancur menjadi debu. "Kurang ajar! Hhh! Nyawamu sudah ada di tanganku, Ratu Tengkorak Hitam!" maki Bidadari Hati Kejam. Nenek berkonde itu berdiri dengan tubuh agak mencangkung. Diselipkannya lagi pengebut ke balik pakaiannya. "Urusan ini telah jadi kapiran. Manusia Mayat Muka Kuning belum kutemukan. Manusia itu harus kucabut nyawanya, karena memaksaku keluar dari kediamanku. Belum lagi selesai urusan itu, muncul Ratu Tengkorak Hitam. Hhh!

Mengapa sahabatku mengajarkan jurus andalannya pada Ratu Tengkorak Hitam? Apakah dia sudah membelot dari jalur lurus yang telah dijalani berpuluh tahun? Kalau Raja Lihai Langit Bumi telah mencoreng arang di mukanya sendiri, tak segan-segan aku turun tangan meskipun nyawa taruhanhya! Tentang burung Rajawali Emas yang muncul membawa bongkahan batu sakti yang disebut Batu Bintang, rupanya telah memancing keluar para tokoh rimba persilatan. Hhh.... Urusanku bisa berubah kacau! Lalu aku... sialan! Bocah itu pasti sudah jauh! Aku sudah jatuh hati pada bocah nakal itu! Sialan lagi! Mengapa dulu orangorang rimba persilatan menjulukiku Bidadari Hati Kejam? Padahal, julukan itu hanya pas untuk golongan sesat yang akan mampus di tanganku! Sialan, dasar sialan! Padahal aku berhati lembut!" Dengan wajah tak karuan dan mulut menyang-menyong, nenek berkonde itu mendumal. Sesekali kaki kanannya diangkat dan dihentakkan di tanah. Tanah yang dihentak itu tidak amblas. Bahkan batu besar yang berjarak tiga tombak dengan dirinya bergeser sejauh sepuluh tombak. Sesaat kemudian, si nenek berkelebat ke arah perginya Tirta.

* * * Akibat kambing-kambing yang digembalakan hilang entah ke mana, Tirta merasa harus bertanggung jawab. Bocah ini terus melangkah, tanpa mempedulikan kelelahan dan kepenatan tubuhnya. Tak dipedulikannya sinar mentari yang mencorong garang. Masih untung perutnya sudah diisi dengan memakan buah-buahan yang disediakan Bidadari Hati Kejam tadi. Kini Tirta menghentikan langkahnya di bawah sebatang pohon. Rasa haus mulai mencekik tenggorokannya. Sambil menghenyakkan pantatnya, kepalanya menengadah. Dicarinya buah-buahan pohon yang akan dijadikan tempat berteduh. Tetapi, nihil. Begitu pula dengan beberapa pohon lain yang dilalui tadi. Sementara rasa haus makin mencekiknya. Sedangkan keringat semakin banyak,tumpah, seperti kesiasiaan belaka. "Waduh! Ke mana lagi aku harus mencari kambing-kambing itu? Berabe kalau begini!" keluh bocah berusia sekitar dua belas tahun itu seraya menghembuskan napas panjang. "Pokoknya, aku tidak akan pulang sebelum membawa kambing-kambing itu! Tetapi... aku rindu pada Ibu. Aku ingin jumpa Ibu. Sedang apa Ibu sekarang, ya? Tentunya Ibu sangat

mencemaskan aku, sama seperti Ayah. Ah, Ibu.... Sebentar lagi kita akan bertemu, setelah kutemukan kambingkambing itu." Di benak bocah ini segera membayangkan seandainya bertemu ibunya. Akan dirangkulnya ibunya penuh kasih sayang yang tentunya sangat cemas memikirkannya. Lalu akan diceritakan pada ayahnya kalau dia tidak pulang, karena harus bertanggung jawab atas hilangnya kambing-kambing milik Juragan Lanang. Bibir Tirta tersenyum memikirkannya. "Kata Ibu... aku diberi nama Tirta. Karena Ibu mengharapkan kehidupanku akan melaju terus. Tirta itu berarti air. Setiap air sungai, gunung, dan lainnya, semuanya mengalir ke laut. Ibu ingin hidupku kelak seperti itu. Hanya mendapatkan hambatan kecil yang tak seberapa, dan akhirnya menuju cita-cita yang kuinginkan. Kata Ibu, air mengalir itu terus bergerak tanpa menghiraukan rintangan. Air selalu menjadi teman manusia. Tetapi air bisa jadi musuh manusia. Ibu berharap aku menjadi teman manusia sesama, dan menjadi lawan bagi orang-orang durjana. Hmm... Hebat sekali Ibu memberi nama buatku. Kata Ayah aku diberi nama Tirta karena saat aku hendak dilahirkan, Ibu sedang

pergi mandi. Dan hampir saja aku mbrojol di sungai bila saja Ibu tidak cekatan dan Ayah tak segera datang. Karena saat pertama aku dilahirkan sudah berteman dengan sungai. Akhirnya, aku dinamakan Tirta. Ah.... Kedua cerita itu ciikup membuatku senang." Selagi Tirta tersenyum sendirian. Werrrr...! "Koaaakkk!" Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagai membedah langit, disusul suara sangat dahsyat, seperti mengalahkan kerasnya suara guntur. Tirta tersentak dan langsung berdiri. Seketika kepalanya menengadah ke langit. Dari tempatnya berdiri, yang terhalang rimbunnya dedaunan, mata kecilnya melihat kelebatan bayangan keemasan. Sangat indah, dan membuatnya terpana beberapa saat. Apalagi, bayangan raksasa keemasan itu tidak segera berlalu seperti yang pertama kali dilihatnya. Justru terbang berputaran tetap dengan suara menggebah. "Aku yakin, bayangan keemasan yang kulihat itu adalah seekor burung. Tetapi... burung apa yang besarnya empat kali seekor gajah dewasa?" Kalau bocah lain yang melihat burung raksasa itu, tentu akan langsung berlari ketakutan. Tetapi

Tirta yang memang penasaran, justru jadi tertarik. "Hoooiii! Burung raksasa! Ayo, turun! Ajak aku terbang untuk mencari kambing-kambing yang hilang!" teriak si bocah, tanpa sadar. Burung rajawali keemasan itu berkaok-kaok keras. Suaranya mengguntur, sekaligusi mengerikan. "Wah.... Kalau tidak mau, ya sudah! Pergi sana! Jangan ganggu aku! Kedatanganmu "tak bisa menghilangkan rasa hausku, tahu?!" seru Tirta seraya menurunkan kepalanya kembali. Dan tanpa sengaja, mata bocah ini melihat sebatang rumput yang tumbuh tak jauh dari tempatnya berdiri. Cepat kakinya melangkah menghampiri. Dan niatnya untuk mencabut rumput diurungkan, karena di tempat itu tak ada rumput lain, kecuali rumput yang mendatangkan rasa heran di hatinya. Rumput itu tak berwarna hijau, tapi berwarna kuning seperti rumput kering. Di ujung rumput, tampak putih bunga kuning yang indah. Lebih banyak didorong rasa herannya, Tirta mencabut rumput itu. Diamat-amatinya sejenak. Karena kebiasaannya yang suka menghisap-hisap rumput, mulailah rumput aneh itu dimasukkan ke mulutnya. Lalu dihisaphisapnya. "Manis.... Lumayan buat penghi-

lang hausku meskipun hanya sedikit." Masih menghisap-hisap sari rumput yang terasa manis, bocah itu kembali menengadahkan kepalanya ke atas. Burung rajawali raksasa keemasan itu masih berputar di angkasa. Sayapnya mengepak berulang-kali, menimbulkan suara mengguntur. "Sudah sana pergi! Aku mau tidur dulu sebelum melanjutkan mencari kambing-kambing itu!" Lalu dengan santai dan masih menghisap-hisap sari manis dari rumput yang dicabutnya, Tirta kembali ke pohon tadi. Tubuhnya segera disandarkan di bawahnya. Namun yang tak disangka Tirta, burung raksasa itu bukannya terbang menjauh, tapi justru menukik. Angin besar kontan menerbangkan dedaunan saat burung raksasa itu hinggap di atas tanah. Bukan main tercengangnya Tirta melihat betapa besarnya burung yang berjarak dua puluh tombak dari hadapannya. Tak sadar kedua matanya melebar dengan mulut terbuka. Rumput yang bersari manis tadi terlepas dari gigitannya. Dan lagi-lagi bukannya ketakutan, si bocah justru bangkit dan berjalan mendekati rajawali raksasa itu. Mukanya kesal sekali. "Ayo terbang lagi sana! Aku mau

tidur!" usir Tirta dari jarak tiga tombak. Tetapi kemudian, si bocah melongo ketika burung raksasa itu menegakkan kepala. Bola matanya yang kemerahan menatap langsung ke arah Tirta. Dari melongonya, pandangan Tirta berubah menjadi kagum. Diamatinya burung rajawali raksasa itu dari kepala sampai kaki. Paruh burung itu besar dan kokoh, melengkung kuat dengan ujung runcing tajam. Lehernya penuh bulu tebal berwarna keemasan bercampur kemerahan. Di atas kepalanya, terdapat jambul berwarna keemasan yang sangat terang. Bagian badannya berwarna keemasan, bercampur kemerahan dan kebiruan. Sayapnya berwarna keemasan, bercampur abu-abu. Yang paling menarik adalah ekornya. Lebar panjang, berwarna keemasan. Kedua kakinya yang sebesar kaki manusia dewasa itu tampak kering, sekeras baja dan agak bersisik. Jarijarinya mekar, dengan kuku-kuku runcing tajam dan melengkung. Bola matanya yang besar berwarna kemerahan. "Hei, Rajawali.... Peliharaan siapakah kau ini? Apakah ada manusia raksasa di zaman ini?" ucap Tirta, perlahan-lahan. Rajawali itu seperti mengerti kata-kata Tirta. Kepalanya digerakgerakkan seperti menggeleng sambil

mengeluarkan suara berkoak-koak. Kening Tirta berkerut. "Hei? Kau pintar sekali rupanya! Pemilikmu pasti sudah mengajarkanmu untuk bercakap-cakap, bukan? Kalau begitu, ayo cepat tinggalkan tempat ini. Kau harus kembali pada pemilikmu. Kasihan dia kalau mencari-carimu." Tetapi rajawali itu kembali menggerak-gerakkan kepalanya seperti menggeleng. Lalu kepalanya bergerakgerak ke arah belakang. Tirta mengerutkan keningnya kembali. "Apa maksudmu?" tanyanya bingung. Si bocah memperhatikan sekali lagi tanpa kedip pada rajawali yang menggerak-gerakkan kepalanya lagi ke arah belakang. Tirta berjalan menyamping sepuluh tombak, karena terhalang tubuh besar itu untuk melihat ke belakang. Dia celingakcelinguk beberapa saat. "Hoooii! Tidak ada siapa-siapa di belakang? Apa maksudmu barusan tadi?" Kembali rajawali itu menggerakgerakkan kepalanya. Tirta menggarukgaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maksudmu, aku ikut denganmu, ya?" Kali ini Tirta melihat rajawali itu mengangguk-angguk. "Wah! Nanti saja! Aku harus mencari kambing-kambingku dulu. Sebenarnya sih, aku mau menunggangimu, Karena dari atas tentunya lebih mudah

mencari kambing-kambing yang hilang, bukan? Tetapi, tidak ah...! Nanti aku malah jatuh." Tirta melihat sepasang mata rajawali itu meredup. Hatinya jadi tidak enak. "Wah.... Jangan begitu dong. Nanti saja aku ikut denganmu setelah kutemukan kambing-kambingku, ya? Kalau begitu sampai ketemu lagi...." Lalu dengan santainya, Tirta melangkah kesamping dan menuju ke arah timur. Ditinggalkannya rajawali raksasa yang nampak sedih diperlakukan seperti itu. Tak lama kemudian, burung itu pun mengepakkan lagi kedua sayap besarnya. Tubuhnya langsung mengangkasa dengan suara gemuruh keras. Tirta sampai menoleh dan mengusap usapdadanya. "Copot! Copot! Ya sudah terbang saja sana!" Tetapi rajawali keemasan itu justru terbang berputaran di atas kepalanya. Tirta yang melangkah di bawahnya segera menghentikan langkah dan mendongak. "Hei! Sana dong! Suaramu justru akan membuat kambing-kambing yang sedang kucari makin kabur!" Tetapi burung itu terus terbang di atas kepalanya. Akibatnya, kepakan sayapnya menimbulkan angin besar. Tirta mendumal panjang pendek.

Lalu tanpa menghiraukan rajawali raksasa itu lagi bocah itu kembali melangkah. Tetapi, lamakelamaan bertambah jengkel. "Hooiii! Sana dong! Suaramu itu bikin takut kambing-kambingku! Aku harus bertanggung jawab atas hilangnya kambing-kambing itu!" teriak Tirta. Dan seperti menuruti kata-kata Tirta, rajawali raksasa itu terbang dan lenyap dari pandahgan. Bocah itu lantas tersenyum dengan sikapjumawa. "Nah, begitu dong. Kan urusanku jadi beres." Namun sebelum si bocah mulai melangkah, mendadak.... "Berhentiii...!" * * * Tirta kontan menghentikan langkahnya dan menoleh ketika terdengar bentakan menggelegar. Di samping kanannya berjarak dua tombak, berdiri seorang lelaki tinggi besar berbaju merah. Matanya menatap dingin penuh kesengitan. "Dikira siapa? Tidak tahunya tukang sampah," gumam Tirta seraya melangkah kembali dengan anehnya. Tapi.... Tap! Mendadak, sebuah tangan penuh bulu tahu-tahu telah menyambar tangan

Tirta. Ketika tangannya ditarik, Tirta tersuruk ke belakang. "Apa-apaan ini? Lepaskan!" umpat si bocah. Lelaki tinggi besar yang baru datang itu tak lain adalah Kaki Gledek. Setelah berhasil mengelabui Manusia Mayat Muka Kuning, dia yang bersikeras untuk mendapatkan Batu Bintang terus melanjutkan langkah. Dan tak disangka, lelaki ini melihat rajawali itu berada di atas kepala bocah itu. "Kemana rajawali itu pergi?" tanya Kaki Gledek dingin, penuh ancaman. Tatapan matanya melebar pada Tirta yang merasa kesakitan akibat lengannya dicekal keras. "Mana aku tahu? Justru dia kusuruh pergi!" sahut Tirta, kesal. "Bodoh! Panggil burung itu ke sini!" "Wah.... Bagaimana caranya? Aku tidak tahu dia datang lagi! Kambingkambingku yang hilang bisa makin jauh kalau mendengar suara burung itu datang." "Bocah keparat! Kutampar mulutmu yang lancang hingga kau mau bicara!" Kaki Gledek mengangkat tangan kirinya. Segera dilayangkannya tamparan pada pipi Tirta. Bocah itu langsung memejamkan matanya. Tetapi bukan tamparan keras yang

dirasakan Tirta. Justru lengannya dicengkeram orang tinggi besar itu tiba-tiba terasa terlepas. Dan.... Wuuut! Tamparan Kaki Gledek meleset. "Hei!" Orang tinggi besar itu menarik wajah tegang dengan mulut terbuka lebar. Sungguh heran Kaki Gledek, karena tamparan yang sangat dekat luput begitu saja. "Bocah sialan! Kuhajar kau!" maki Kaki Gledek. Dengan garangnya, Kaki Gledek menyerbu ke arah Tirta yang lagi-lagi memejamkan mata sambil menekap kepalanya dengan kedua tangan. Namun lagi-lagi bocah itu .merasakan tubuhnya bagai ada yang menarik dari hajaran Kaki Gledek. Dua kali hajaran tak kena sasaran, kaki Gledek menghentikan tindakannya. Dia tegak berdiri. Kepalanya langsung menoleh ke sana kemari. "Tak mungkin bocah ini bisa menghindar begitu saja. Pasti ada orang iseng yang menolongnya," gu-mam Kaki Gledek. "Orang iseng yang mau cari mampus! Lekas keluar sebelum kupatah-patahkan seluruh tulang dalam tubuhmu!" bentaknya. Tak ada sahutan yang terdengar. Tak ada sosok tubuh yang mencelat

keluar. Yang ada, justru Tirta yang tengah mengintip dari balik lengannya yang tertekuk ke atas. Dilihatnya orang tinggi besar berbaju merah itu sedang celingukan mengumbar bentakan keras ke sana-sini. Tirta yang berotak cerdik buruburu mundur mempergunakan kesempatan. Lalu tubuhnya berbalik dan berlari. Dari ekor matanya, Kaki Gledek bisa melihat kalau bocah itu berniat melarikan diri. Segera tangan kanannya diangkat, siap melancarkan satu pukulan jarak jauh. "Hei...?!" Namun lagi-lagi lelaki itu melongo. Karena dalam sekali kerjapan mata, bocah itu sudah tak nampak di hadapannya. Rasanya mustahil bila bocah itu memiliki ilmu meringankan tubuh. "Keparat!" makinya sambil menurunkan tangannya kembali. Mata belo Tirta seakan tak percaya melihat apa yang terjadi di hadapannya. Semakin kuat keyakinannya kalau ada orang yang menolong bocah itu. Dan akhirnya, diyakini kalau orang yang menolong bocah itu memiliki ilmu sangat tinggi. Terbukti dia tak mampu menemukan Tirta yang dibawa sosok yang masih belum jelas siapa. "Sialan! Siapa orang itu sebenarnya?" maki Kaki Gledek dengan

wajah membesi. Apa yang terjadi itu dirasakan lelaki tinggi besar itu seolah menjadi tantangan baginya. Dia tak akan membiarkan ada orang lain menghina seperti itu. Tetapi tiba-tiba dia menjadi kecut ketika tiba pada satu pikiran. "Apakah Martusia Mayat Muka Kuning yang melakukannya karena sudah tahu aku mengelabuinya? Atau, Ratu Tengkorak Hitam yang secara tidak langsung ingin menculik bocah itu? Ini bisa jadi, karena dia juga melihat bocah itu seperti bercakap-cakap dengan Rajawali Emas! Sialan! lebih baik kutinggalkan tempat ini dan meneruskan mencari Rajawali Emas. Sambil lalu, aku harus menemukan bocah sialan itu. Karena, dialah sekarang kunci dari semua rahasia yang terpendam ini. Bila melihat si bocah yang seperti bercakap-cakap dengan Rajawali Emas itu, aku yakin dia mampu memanggilnya. Berarti, memang dialah kunci dari semua ini. Dan dia harus kumiliki dan kupaksa untuk memanggil turun rajawali itu. Tetapi dasar sialan! Siapa yang menggangguku tadi, hingga aku gagal menangkapnya?" Sambil mcmaki tak karuan dengan pikiran tak menentu, Kaki Gledek mencelat ke arah Tirta pergi tadi.

* * *

5
Sudah empat hari Tirta tak kembali ke rumah, sejak mencari kambingkambing yang hilang. Di rumahnya, keadaan ibunya jauh dari sifat keriangan sehari-harinya. Wanita yang tengah dirundung kerinduan pada putranya itu jadi enggan makan. Perasaannya benar-benar tak enak. Yang diingat hanya putranya semata. Layung Seta menarik napas panjang sambil menatap wajah pucat istrinya. "Mentari... makanlah...," bujuk lelaki ini, mendesah. Mentari tersenyum tipis. "Apa anak kita sudah kembali, Kakang?" tanya wanita itu bagai hafalan belaka. Tak ada nada pertanyaan. Layung Seta menggeleng. Hatinya kian pedih. Apalagi mengingat bahwa dia telah menghajar anak buah Juragan Lanang yang mendesaknya agar menyerahkan sepuluh ekor kambing yang belum kembali. Tiba-tiba salah seorang lelaki masuk terburu-buru ke dalam ruangan. "Ada apa, Mardi?" sambut Layung Seta, dengan sebuah pertanyaan. "Layung.... Orang-orang Juragan Lanang si lintah darat itu datang

kembali," lapor lelaki bernama Mardi. Layung Seta menarik napas pendek. "Hm.... Urusan bisa jadi makin panjang. Siapa saja yang berada di depan?" "Aku. Sumirat, Gondo, dan Wajak," jelas Wardi. "Katakan pada mereka, jangan ada yang ikut campur." "Layung.... Kau sahabat kami sejak kecil. Dan lagi, Juragan Lanang telah memeras kita. Mana bisa kami membiarkan kau...." "Kuhargai bantuanmu, Mardi," potong Layung Seta. "Tetapi perlu kau tahu, Juragan Lanang memiliki banyak anak buah berkepandaian tinggi. Lebih baik kalian tetap berdiam tanpa berbuat apa-apa. O, ya Mardi.... Kalau terjadi sesuatu... tolong selamatkan istriku." Mardi menganggukkan kepala saja. Hatinya penasaran ingin membantu Layung Seta yang merupakan sahabatnya sejak kecil. Namun kemudian dia keluar lagi. Di luar, dia melihat tiga temarinya tengah berdiri di depan pintu masuk tengah menghaiangi langkah lima orang lelaki berwajah bengis. Salah seorang dari mereka adalah lelaki yang sebelumnya dipecundangi Layung Seta. Namanya, Barok. Merasa paling punya urusan, Barok melangkah satu tindak.

"Minggir kalian semua, bila masih ingat anak dan istri!" bentaknya, garang. Lelaki yang bernama Sumirat menggeram. Tangannya segera meraba hulu golok. "Barok! Ternyata kau hanya jadi anjing peliharaan Juragan Lanang. Bukankah kau tahu, siapa manusia keparat yang berkedok sebagai juragan itu?!"desis Sumirat. Barok memicingkan kedua matanya. Hatinya mengkelap oleh kata-kata Sumirat. "Jangan ikut campur, Sumirat!" "Setan! Apakah pikirmu setelah menjadi anjing suruhan Juragan Lanang kau merasa lebih jago dariku? Jangan jual lagak di hadapanku, Barok!" sahut Sumirat, tak gentar. Bahkan mundur sejengkal pun tidak. "Keparat! Kau ingin merasakan pukulanku rupanya?!" bentak Barok, Lelaki suruhan Juragan Lanang itu sudah siap menurunkan tangan telengas. Namun Sumirat sudah langsung menarik kaki kanannya ke belakang. Kini tubuhnya agak condong ke depan dengan kedua tangan siap menangkis serangan. Tetapi belum lagi bentrokan itu terjadi, Layung Seta telah berdiri di depan pintu rumahnya. "Minggir, Sumirat! Ini urusanku dengan orang-orang tak punya otak

itu!" teriaknya, lantang. Sumirat kembali pada sikap semula. Dan dia langsung menoleh ke arah Layung Seta yang sudah melangkah ke arahnya. Sebentar saja ayah dari Tirta itu sudah berdiri di sisinya sambil menatap Barok. Tanpa sadar lelaki suruhan Juragan Lanang itu mundur dua tindak, langsung bersembunyi di belakang lelaki berbaju hitam. "Layung,... Lebih baik kau masuk ke dalam. Urusan ini sudah kepalang basah. Biar kami menghadapinya. Terutama, anjing itu!" seru Sumirat seraya menunjuk ke arah Barok. Layung Seta menghembuskan napas perlahan. Tangan kanannya memberi isyarat pada Sumirat agar diam. "Ini jadi urusanku. Lebih baik kalian minggir," tandas Layung Seta. Sumirat hendak membantah, tetapi Layung Seta sudah memotong kembali. "Ingat! Sebagai sahabat, aku sangat menghargai pengorbanan kalian. Tetapi aku tak ingin kalian menjadi sasaran manusia-manusia ini!" Lalu dengan gagah Layung Seta maju dua tindak. Dia berhenti pada jarak dua Jombak dari orang-orang yang memandang bengis padanya. "Barok...! Apakah kau tak puas juga setelah kuhajar tadi pagi?!" Merasa bersama teman-temannya, sikap Barok jadi lebih hebat dari

semula. Lelaki yang tak tahu malu itu maju dua tindak dengan kedua tangannya melipat. Sementara, Layung Seta masih bersikap tenang. Tapi sahabatsahabatnya yang berada di belakang sudah tak sabar untuk menghajar rontok gigi Barok yang terlihat pongah kini. "Juragan Lanang menitip pesan padamu, Layung! Bila sampai besok sepuluh ekor kambingnya yang dilarikan anakmu belum kembali, rumah ini akan disita! Dan kau yang belum melunasi hutang padanya, harus bekerja disawahnya. Begitu pula istrimu. Dia harus bekerja sebagai babu!" kata Barok. "Omonganmu membuat darahku mendidih, Barok! Anakku tidak membawa kabur kambing-kambing itu!" desis Layung Seta. "Kalau begitu, di mana anakmu sekarang, ha?!" bentak Barok, sok galak. "Sudah empat hari ini anakku tak tahu di mana rimbanya. Bersama sahabat-sahabatku ini, aku sudah mencarinya ke mana-mana. Namun dia tak kutemukan." "Anakmu tentunya sudah menjual kambing-kambing itu. Dan sekarang, dia bersembunyi karena takut kuhajar." Mendengar tuduhan Barok. hati Layung Seta jadi mengkelap. Napasnya jadi sesak dengan bahu turun naik. "Jaga mulutmu, Barok. Sekali lagi

kau menuduh begitu, aku tak akan bertindak segan lagi!" "Urusan Juragan Lanang telah kusampaikan padamu, Layung. Sekarang kita teruskan urusan tadi pagi. Nah! Kuajak teman-temanku ini untuk menghajarmu, Layung!" Belum lagi Layung Seta berkata, tiga orang teman Barok sudah menerjang. Sementara, Barok tersenyumsenyum.senang. Di benaknya sudah terbayang, kalau Layung Seta akan babak belur. Belum lagi ketika matanya melirik lelaki tinggi besar berbaju hitam terbuka yang masih tenang-tenang saja. Akan disaksikannya satu pembalasan mengasyikkan. Sementara Layung Seta menghadapi tiga lawan ganas, sahabat-sahabatnya hanya saling berpandangan. Tangan mereka sudah gatal hendak membungkam mulut Barok. Menghadapi tiga serangan ganas itu, Layung Seta nampak masih berada di atas angin. Bahkan dalam jurus keempat.... Duk! Des...! Dua lawan kontan jatuh terduduk sambil mendekap perut akibat tendangan keras Layung Seta. Kemudian.... Des! "Aaakh...!" Tendangan memutar yang dilakukan

Layung Seta sambil melompat, kontan menghantam penyerang terakhir yang masih bertahan. Terdengar suara keluhan tertahan saat tubuhnya ambruk, menyusul dua temannya yang tengah kesakitan. Sambil menahan sakit ketiga lelaki itu buru-buru beringsut ke belakang, mehjauhi Layung Seta yang sedang mengatur napas perlahan dengan tatapan ke arah Barok dan lelaki berbaju hitam terbuka, memperlihatkan bulu-bulu di dada. Bersamaan dengan itu.... "Hebat kau, Layung Seta! Sayangnya, kau telah mempermalukan sahabatku ini! Perkenalkan! Orangorang menjulukiku Cakar Harimau," dengus lelaki berbaju hitam. Suaranya berat,'bagai gerengan harimau." Layung Seta hanya tersenyum tipis. "Kita tak saling kenal. Tapi kau telah membuat urusan. Bila kau pergunakan otak, maka kau akan tahu. Sahabat macam Barok itu tak patut kau bela," sahut Layung Seta, tenang. "Peduli setan ucapanmu, Layung Seta! Kau telah mempermalukan sahabatku. Dan itu berarti, kau telah membuatku malu pula! Ingin kurasakan kehebatanmu itu, Layung!" Begitu habis kata-katanya, lelaki yang mengaku berjuiuk Cakar Harimau

menerjang cepat. Kedua tangannya yang membentuk cakar mengibas-ngibas, siap mencabik-cabik tubuh lawan. Layung Seta sejak semula yakin kalau lawan bukanlah orang sambarangan. Maka dia coba menjajaki dengan mengandalkan kecepatan menghindar. Di samping itu, dia juga mencoba menguras tenaga lawan sambil sesekali mengirim serangan mendadak. Namun agaknya, Cakar Harimau memang jelas harus diperhitungkan. Pada jurus kesembilan Layung Seta sudah terkesiap ketika bajunya tercabik-cabik oleh cakaran Cakar Harimau. Bahkan paha kanannya telah berdarah, tergores oleh kuku-kuku tajam lawan. Layung Seta mundur lima langkah ke belakang. Matanya tak berkedip menatap lawan yang sedang menerjang. "Kau akan mendapat tanda peringatan dariku, Layung!" . Namun sebejum dua cakar lawan mencabik, empat bayangan telah berkelebat ke arah Cakar Harimau yang sama sekali tak menduga. Plak! Plak! Des! Des! Dua bayangan memapaki serangan, dan dua lagi menghantam tubuh Cakar Harimau. Akibatnya lelaki tinggi besar penuh bulu itu terjajar mundur dengan kegeraman meradang.

Di tempat lain, empat sahabat Layung Seta yang tadi berkelebat sudah berdiri gagah. Mereka langsung melingkari Layung Seta yang tengah menahan sakit. Seolah, mereka hendak melindungi lelaki itu. "Ah.... Apa jadinya bila urusan ini menjalar pada sahabat-sahabatku itu?" kata batin Layung Seta resah. Tetapi dia juga bersyukur. Karena bila keempat sahabatnya tidak menghalangi serangan lawan, tak urung tubuhnya akan penuh luka-luka. "Bukan kau yang kuinginkan! Tetapi, Barok yang membuat onar!" kata Sumirat, dingin. "Setan alas!" maki Barok keras, tetapi tak berani unjuk gigi. Lelaki ini tahu, kalau keempat orang itu bukanlah lawannya. Jalan satu-satunya yang paling baik adalah memanas-manasi Cakar Harimau, yang tengah melotot dengan pipi menggembung. "Hajar dia, Cakar Harimau. Masa kau keder hanya karena hantaman macam itu? Ayo, bunuh dia! Bukankah kau ingin mengabdi pada Juragan Lanang? Akan kubantu omong agar kau diterima olehnya!" Kata-kata Barok mengena tepat pada sasaran. Seketika kedua tangan Cakar Harimau mengepal keras, hingga menampakkan otot-otot kekarnya. Begitu kedua tangan yang membentuk kepalan

itu membuka, seketika terbentuk cakarcakar kokoh. "Jangan salahkan aku bila nyawa kalian putus!" Habis membentak begitu tubuh Cakar Harimau menerjang dahsyat. Kedua tangannya yang membentuk cakar siap mencabik-cabik sasaran. Wuuttt! Wuuuttt! Bila Sumirat menghadapi sendiri sudah tentu akan mati konyol. Tetapi dibantu ketiga temannya, gebrakan Cakar Harimau justru hanya bagai permainan anak kecil belaka. Diserang dari empat penjuru, membuat lelaki penuh bulu itu kewalahan juga. Dess! Setelah lima belas gebrakan bcrlalu, Mardi berhasil menyarangkan tendangan ke punggung Cakar Harimau. Menyusul, dua jotosan sekaligus dari Gondo dan Wajak bersarang di dada lawan. Terakhir, tendangan keras Sumirat menghantam telak kepala, membuat Cakar Harimau terhuyung pusing. Bila saja keempatnya menginginkan kematian Cakar Harimau saat ini juga, hanya dalam satu gebrak saja lelaki penuh bulu itu pasti akan bergelimang tanah. Tetapi mereka adalah orangorang yang tak menginginkan pertumpahan darah lebih panjang. "Barok...! Bawa manusia-manusia

itu pergi dari sini sebelum kemarahan kami naik!" ujar Sumirat keras dengan pancaran mata dingin, penuh bahaya. Barok tak ubahnya telah menjelma menjadi anak ayam kehilangan induk. Wajah garangnya lenyap seketika. Terburu-buru dibangunkannya Cakar Harimau yang juga berusaha bangkit dengan tubuh sakit akibat pukulan empat lawannya. Kendati demikian, tatapannya justru makin nyalang menyiratkan dendam berkepanjangan. "Ingat...! Aku tak akan melupakan semua ini...," ancamnya. "Jangan katakan telengas, bila akhirnya kami akan turun tangan lebih keras!" sahut Sumirat. Terburu-buru, kelima orang yang menderita ke-kalahan itu meninggalkan tempat ini. Dendam bukan hanya ada di hati Cakar Harimau, namun juga di hati Barok. Bahkan kekalahannya sekarang ini lebih menyakitkan. Padahal, dia sudah membawa kawan yang berkepandaian lebih tinggi. Namun, ternyata dia mampu membalas kekalahan pagi tadi. Sementara itu, Sumirat tengah membantu Layung Seta berdiri. Hati ayahnya Tirta itu makin tak tenang sekarang. Pandangannya beredar pada empat sahabatnya yang berdiri di hadapannya. "Kalian hanya membuat susah diri sendiri," desahnya.

"Jangan berkata begitu," ujar Sumirat "Sejak kecil kita berlima bersahabat. Maka, sampai hari ini pun kita tetap bersahabat. Susah senang selalu ditanggung bersama, meskipun kini kita lebih banyak mengurus keluarga masing-masing. Layung... ada satu pertanyaan yang mengganjal hatiku...." Layung Seta yang sudah agak pulih dari sakitnya mendesah pendek. Lalu ditatapnya Sumirat. "Katakan...." "Mengapa kau berhutang pada Juragan Lanang?" Kali ini Layung Seta terdiam sesaat. Kembali pandangannya menghujam pada keempat sahabatnya yang masih menunggu jawabannya. "Aku waktu itu sakit, dan tak punya uang berobat," jelas Layung Seta. "Mengapa kau tidak datang pada kami?" tanya Sumirat. "Aku tak ingin merepotkan kalian." "Jangan berkata begitu, Layung!" sela Gondo. "Kau tetap tak berubah sejak kita sama-sama belum menikah yang selalu menganggap kalau bantuan kami hanya akan merepotkan. Padahal sebagai sahabat, kami selalu siap membantu bila diperlukan. Meskipun tak jauh beda dengan keadaanmu, tetapi

akan kami usahakan untuk membantumu." Layung Seta tersenyum. "Sudahlah.... Itu jadi urusanku." "Berapa uang yang kau pinjam dari Juragan Lanang?" tanya Wajak. "Tidak banyak." "Layung... katakan! Sebisanya kami akan membantumu agar kau lepas dari rongrongan orang-orang Juragan Lanang" Lagi Layung Seta memandang satu persatu sahabatnya. "Bisakah kita bicarakan urusan ini nanti?" Keempat sahabat Layung Seta saling tatap dan menganggukkan kepala. Mereka sangat hafal akan sifat Layung Seta yang selalu tak mau merepotkan orang lain. "Terima kasih atas bantuan kalian tadi. Dan... kita semua harus berhatihati. Karena aku yakin, orang-orang celaka itu pasti akan datang kembali." "Bagaimana dengan Tirta?" "Besok pagi, aku akan mencarinya lagi. Mungkin aku harus menembus hutan perbatasan Lembah Permata sampai ke daratan di sebelah timur sana. Bahkan kalau perlu, aku tak akan kembali sebelum menemukannya. Sekarang, kembalilah kalian ke rumah masing-masing. Kuucapkan terima kasih atas bantuan kalian." Tanpa menunggu jawaban keempat

sahabatnya, dengan agak terpincang Layung Seta masuk kembali kerumahnya. Rasa tak tenang makin membiasi seluruh perasaannya. Pikirannya makin kacau tak menentu. Pikiran tentang. perginya Tirta yang sampai saat ini belum ada kabar, sudah benar-benar mengganggu pikiran Layung Seta lagi tentang istrinya yang semakin lama bertambah parah sakitnya. Dan sekarang, urusan dengan Juragan Lanang bukan lagi urusan biasa. Juga,.pada Barok yang telah membawa dendam pribadi. Kepergian Barok membawa kekalahan bersama lelaki berbulu lebat yang berjuluk Cakar Harimau, juga bukan masalah enteng. "Masalah ini makin berkembang. Dan tak sengaja, aku telah melibatkan empat sahabatku," gumam batin Layung Seta. * * *

6
Manusia Mayat Muka Kuning menghentakkan kakinya sekali lagi ke tanah yang dipijaknya dengan kegeraman membludak. Seketika tanah itu melesak sedalam batas dengkul. Lalu kakinya ditarik kembali dengan wajah mengkelap marah, makin memancarkan sinar kuning yang makin kuat. Butiran tanah dan

debu yang menempel pada kakinya, luruh begitu saja seperti menempel pada sebuah benda licin. "Setan keparat kau, Kaki Gledek! Aku yakin manusia keparat itu telah mengelabuiku tentang Batu Bintang yang telah didapatkan Ratu Tengkorak Hitam. Tetapi, manusia itu tidak ada di Lembah Permata. Bahkan sudah kucari di luar lembah keparat itu pun tidak ada Kutu busuk! Nyawa Kaki Gledek harus benar-benar tanggal saat ini!!" Pandangan Manusia Mayat Muka Kuning beredar ke seluruh penjuru tempat. Tapi yang nampak hanyalah julangan Gunung Slamet di kejauhan dan hutan-hutan hijau yang menyimpan beribu-ribu teka-teki. "Di mana aku harus menemukan Ratu Tengkorak Hitam yang menurut Si Kaki Gledek telah mendapatkan Batu Bintang? Bila ucapan orang busuk berbaju merah itu hanya bualan, aku bersumpah akan kucabik-cabik tubuhnya menjadi sayalan daging!" geram Manusia Mayat Muka Kuning. "Hmm.... Apakah saat ini Bidadari Hati Kejam sudah muncul? Aku sengaja memancingnya keluar dari kediamannya agar urusan yang kurencanakan dengan mudah bisa kuselesaikan. Sasaranku tetap Batu Bintang dan melihat Bidadari Hati Kejam terkapar. Puluhan tahun lalu, wanita keparat itu pernah

mempermalukan aku di depan para tokoh rimba persilatan saat pertandingan akbar di Lembah Maut. Dan dendam itu kini makin membara di hatiku. Kurencanakan satu permainan menarik untuknya. Dan dia akan terkapar mampus di tangan para tokoh lainnya. Mengenai sahabatnya Raja Lihai Langit Bumi, aku juga telah merencanakan satu permainan untuknya. Akan kubuat kalang kabut seluruh rimba persilatan. Hhh! Batu Bintang! Batu kesaktian itu harus kumiliki. Di mana Ratu Tengkorak Hitam kalau memang benar telah mendapatkan Batu Bintang?" Selagi lelaki tua berwajah kuning itu mengumbar kemarahannya sendiri, tiba-tiba terdengar kesiur angin pelan. Perubahan angin itu membuat Manusia Mayat Muka Kuning menyiapkan tenaga dalamnya di kedua tangan. Hanya manusia semacam dirinyalah yang tahu kalau angin yang mendadak berubah pelan itu justru merupakan sebuah serangan tak nampak. Karena begitu angin tadi terasa menghembus wajahnya, cepat tangannya disilangkan sambil menghembuskan napas. Blap! Bersamaan dengan itu, meluncurlah asap tebal semacam kabut berwarna kuning, langsung menghantam angin pelan yang datang tadi. Bukan main apa yang terjadi kemudian. Karena begitu

kabut kuning menghantam angin pelan itu.... Blaarrr! Seketika terdengar suara bagai ledakan disertai percikan api ke segala arah. Manusia Mayat Muka Kuning menyurutkan satu langkah dengan paras wajah berubah. Wajahnya makin bertambah kuning tanda kemarahan telah mengusik perasaannya. "Gila! Baru kali ini kulihat ada sebuah serangan aneh yang cukup mengerikan. Siapa orang di balik angin pelan yang berhembus tadi?" Habis membatin begitu, Manusia Mayat Muka Kuning sedikit mengangkat kepalanya. Kedua telapak tangannya diletakkan di sisi kanan dan kiri mulutnya. "Orang yang ingin mampus! Cepat tampakkan muka sebelum seluruh tempat ini kuobrak-abrik!" teriaknya, setinggi langit. Manusia Mayat Muka Kuning menunggu dengan hati tegang bercampur kemarahan berlipat ganda. Akan tetapi, tak ada yang muncul. "Cepat tampakkan wajah hinamu, sebelum kuputuskan untuk mencabikcabik tubuhmu!" teriaknya lagi. Lagi tak ada suara yang terdengar. Tak ada orang yang datang dan bisa tertangkap oleh matanya.

"Setan keparat! Sudah tentu dia bukan manusia sembarangan. Apakah Bidadari Hati Kejam yang sudah muncul di hadapanku? Bukankah senjata pengebut di tangannya yang pernah mempermalukan aku? Kesaktian pengebut itu sangat tinggi, sehingga mampu menerbangkan lima belas pohon sekali kebut. Apakah nenek hina itu yang tengah pamer kekuatan barusan? Hmm.... Aku mulai bisa menduga kalau nenek itu yang memang melakukan serangan. Setan keparat! Akan kucari dia!" Setelah membuat keputusan, lelaki berwajah kuning itu berkelebat ke seantero tempat. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya dalam lima tarikan napas, tempat yang luas itu telah dijelajahi. Namun, tak ada seorang pun yang dilihatnya. Kembali Manusia Mayat Muka Kuning berdiri tegak dengan tatapan menyipit penuh kemarahan. "Apakah dia takut karena ancamanku tadi, dan sekarang sudah lenyap dari hadapanku?" kata batinnya dingin. "Bisa jadi dia hanya mencoba mengusikku saja. Dan ternyata, serangannya tak mampu menerobos pertahananku! Kalau begitu, aku harus cepat menjalankan rencana, di samping mencari Ratu Tengkorak Hitam untuk mendapatkan penjelasan tentang keberadaan Batu Bintang."

Lelaki berwajah kuning itu tak mau buang waktu lebih lama. Cepat tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu. Beberapa saat setelah kepergian Manusia Mayat Muka Kuning, entah dari mana datangnya muncul satu sosok bertubuh tinggi kurus terbungkiis pakaian putih dengan selempang kain putih dari bahu kanan ke pinggang kiri. Seluruh bulu yang ada di kepalanya sudah memutih. "Manusia Mayat Muka Kuning, orang yang berada di belakang serangkaian pernbunuhan. Hmm... Geger Batu Bintang agaknya telah memancing kemunculan para tokoh persilatan. Kini aku tahu, siapa saja yang sudah muncul. Manusia Mayat Muka Kuning, Ratu Tengkorak Hitam, Kaki Gledek, dan Bidadari Hati Kejam. Sebuah kemunculan mcnyolok dari orang-orang tak bersahabat. Bila mereka bergabung, bisa kutaksir Bidadari Hati Kejam tak akan berkutik menghadapi. Tetapi dasar nenek anginanginan yang kadang-kadang ganjen, memang sukar sebenarnya untuk menjajaki seberapa tinggi kesaktiannya. Baiknya, kucoba untuk menyelidiki persoalan Batu Bintang. Barangkali Batu Bintang bisa diselamatkan dari tangan-tangan nakal." Lelaki tua ini menganggukanggukkan kepalanya. Seolah dia tengah

memecahkan satu persoalan yang teramat sulit. "Hmm.... Di luar masalah Batu Bintang, sebenarnya masih ada sesuatu yang kucari selama ini. Rumput Selaksa Surya. Puluhan tahun aku mencari rumput itu Sampai ke tanah seberang. Namun, belum juga kudapatkan. Hanya ada sebuah Rumput Selaksa Surya di dunia ini. Warnanya kuning, seperti rumput kering. Dan, ada putik bunga di ujungnya. Tak akan pupus sebutir pun bongkahan putih bunga kecil di ujungnya, meskipun badai besar melanda. Bahkan meski terinjak ribuan gajah, rumput itu akan tetap tegar. Tak seorang pun yang tahu tentang rumput itu selain aku. Karena, Sepuh Mahisa Agni mengatakan tentang rumput itu ketika usiaku baru berusia empat puluh tahun. Kini, tiga puluh dua tahun berlalu sudah, namun belum juga kutemukan Rumput Selaksa Surya." Benak lelaki ini terus menerawang, membayang-kan kisah tiga puluh dua tahun yang lalu. Seolah, bayangan itu tak akan hilang dari ingatannya. "Hmm.... Barang siapa yang menghisap sari manis dari rumput itu, dia akan memiliki tenaga dalam tinggi. Dan ilmu meringankan tubuhnya pasti tak akan ada duanya. Dan sayangnya, bila tidak tahu bagaimana caranya

mengendalikan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang didapati, maka dia akan tewas akibat tekanan tenaga dalamnya sendiri. Bahkan, bisa memecahkan seluruh jalan darahnya. Hmm.... Sambil menyelamatkan Batu Bintang, akan kucari pula Rumput Selaksa Racun." Lelaki tua berambut dan berkumis putih lebat itu mengusap jenggotnya yang putih pula. Setelah terdiam beberapa saat, seperti munculnya yang seperti setan, tubuhnya pun lenyap begitu saja. Senja telah tiba ketika Tirta turun dari pohon manggis hutan. Di tangannya, kini terdapat sepuluh buah manggis yang masak, Sambil bersandar duduk di bawah pohon manggis hutan yang dinaikinya tadi, perutnya yang terasa lapar diisi dengan buah-buahan itu.? Bocah yang sedang kebingungan akibat hilangnya kambing-kambing yang digembalanya itu memang tak berani pulang. Itu wajar saja, karena dia khawatir pada ayahnya yang kemungkinan akan menjadi buruh tanpa upah di sawah Juragan Lanang. Di sisi lain, bocah ini merasa bertanggung jawab atas hilangnya kambing-kambing itu. Setelah kenyang perutnya, si bocah mengusap-usap rambut panjangnya yang dipermainkan angin dingin.

"Huh! Ke mana lagi harus kucari kambing-kambing itu? Benar-benar brengsek! Ini pasti karena nenek jelek bernama Ratu Tengkorak Hitam dan lelaki jelek si Kaki Gledek. Huh! Kupukul nanti kepala kedua orang itu kalau bertemu!" Pandangan si bocah menyapu ke sekitar tempat yang benar-benar asing baginya. Namun, tak ada rasa takut sedikit pun yang muncul. Kecuali, tentunya takut bila teringat cerita temah-teman sebayanya yang sering mengatakan ada kuntilanak yang suka melarikan anak kecil. "Uh! Aku ada di tempat terbuka. Luas lagi. Banyak pohon. Bisa ngumpet nanti bila ada kuntilanak yang datang!" "Koaaakkk!" Tiba-tiba terdengar suara mengguntur. Begitu keras, hingga si bocah langsung berdiri. Kalau saja Tirta tak mengenali teriakan yang mengguntur itu, tentunya sudah lari terbirit-birit. Tetapi wajahnya hanya nampak pias sesaat. Selebihnya, kepalanya mendongak menatap ke angkasa. Dalam remang cuaca yang meredup, dilihatnya lagi rajawali raksasa keemasan yang terbang berputaran di atas kepalanya. "Lagi-lagi burung itu! Hoooii, Burung Besar! Mau apa sih kau

mengikutiku terus? Apa kau ingin membuat telingaku jadi hudek karena mendengar kerasnya suaramu, ya?!" sentaknya. Rajawali keemasan itu terus terbang dengan suara keras disertai koakan kerasnya. Dia berputaran bagaikan merencanakan sesuatu di atas kepala Tirta yang masih mendongak. "Bisa budek kalau begini terus menerus!" maki si bocah, sebal. "Hayo, sana pergi! Aku kan mau istirahat! Ayo, sana! Jangan ganggu aku!" "Koaaakkk!" "Ampuuunnn!" seru Tirta jengkel. "Kau ini...." Seruan Tirta terputus ketika tiba-tiba bola matanya yang kecil cerah menangkap benda jatuh dari ekor tubuh rajawali raksasa. Meluncurnya benda nampak bagai cahaya keemasan yang jatuh tegak lurus ke bumi. Plukkk! Seharusnya, benda yang jatuh dari tempat yang tinggi akan melesak masuk ke tanah, Tetapi, benda itu justru bergulingan tepat di kaki Tirta. Kalau tadi Tirta terus menatap ke atas, kali ini mata bulatnya dialihkan pada benda yang baru jatuh di dekatnya. Sebuah benda sebesar kepala yang memancarkan warna keemasan. Begitu indahnya, hingga membuat si bocah terpana beberapa saat. Tirta tak

tahu harus melakukan apa, kecuali menatap bulat-bulat pada batu keemasan itu. Sementara itu, burung rajawali keemasan di angkasa masih berputar tepat di atas dengan kepakan sayap yang menimbulkan angin keras dan suara dahsyat. Dari keterpanaan menatap benda mirip batu itu, Tirta menengadah. "Hoooiii! Burung Emas! Apakah batu emas itu milikmu? Ayo, turun! Aku akan mengembalikannya padamu!" teriak si bocah. Tetapi Rajawali Emas itu tetap terbang di angkasa. Buru-buru Tirta mengambil batu keemasan itu. Yang mengherankannya, batu keemasan sebesar kepala itu sangat ringan! Sebelum bocah ini berteriak kembali, matanya menangkap tiga buah bayangan dalam batu keemasan itu. Dua bayangan kepala rajawali berwarna emas, dan sebuah bintang dengan warna sama. Kening bocah itu berkernyit. "Batu apakah ini? Apakah batu ini memang milik burung itu dan meluncur ke bawah? Atau:.. batu dari langit?" gumam si bocah tak mengerti, lalu kembali menengadah. "Hoooiii, Burung! Ayo turun! Kalau memang batu ini milikmu, aku akan mengembalikannya!" Burung rajawali itu terus berputaran saja di atas angkasa sambil

berkaok-kaok. Seolah tak dipedulikannya seruan Tirta. Berulangkali Tirta meneriakkan agar burung itu turun agar mengambil batu keemasan yang kini dipegangnya. Tetapi, burung itu terus saja berputaran di angkasa. Tirta jadi mendumal dengan tenggorokan terasa sakit karena terlalu banyak berteriak. Dilemparnya batu itu ke tanah dekat kakinya. Lalu tanpa peduli lagi, kakinya melangkah ke pohon manggis hutan. Cepat tubuhnya dihenyakkan, duduk bersandar. "Kalau tidak mau turun juga, ya sudah. Toh, aku juga tidak rugi," ocehnya. Tetapi ketika rajawali itu justru terbang menjauh darinya, Tirta buruburu berdiri. "Hoooiii! Kau mau ke mana?! Bagaimana dengan batu ini?!" serunya kembali. "Mengapa harus repot-repot, Bocah? Aku bersedia menerima batu itu." * * *

7
Suara tawa mengikik terdengar di belakang Tirta. Cepat bocah berwajah tampan yang berani itu menoleh. Kini,

tampak seorang perempuan tua berbaju hitam yang selalu mengunyah susur berada di belakangnya. Si nenek menatap penuh hasrat pada batu di sisi Tirta. "Batu Bintang. Sungguh beruntung nasibku ini. Jauh sudah melangkah, yang dicari berada di depan mata," gumam si nenek yang tak lain Ratu Tengkorak Hitam. Lalu dengan seringaian lebar kakinya melangkah, hendak mengambil batu keemasan yang disebutnya Batu Bintang. Tetapi Tirta buru-buru mengambilnya. Didekapnya batu itu begitu erat, seolah takut akan diambil si nenek yang masih dikenalinya. "Hei?!" tersirat darah Ratu Tengkorak Hitam melihat tindakan si bocah. "Bocah keparat! Berikan batu itu kepadaku!" "Tidak! Batu ini milik burung rajawali raksasa tadi! Aku tidak boleh mengambilnya, Nek! Dan mana berani aku memberikannya padamu, karena batu ini bukan milikmu?" tolak Tirta, tegas. Perempuan tua berbaju hitam itu menggeram. "Kurang ajar! Kalau sebelumnya gagal menempelengmu, kali ini akan kuhajar kau habis-habisan!" "Jangan pemarah begitu, Nek. Batu ini bukan milikku. Juga, bukan milikmu. Berarti, kita harus

mengembalikannya, bukan? Dan pemiliknya adalah burung rajawali raksasa tadi." "Setan keparat! Cepat berikan Batu Bintang kepadaku!" bentak Ratu Tengkorak Hitam dengan mata melotot. Seolah tak tahu kalau orang sedang berada dalam kemarahan tinggi, Tirta mertdesis, "Namanya Batu Bintang, ya? Ya sudah kalau begitu. Aku akan mengejar burung rajawali itu dulu, Nek. Batu yang kau sebut Batu Bintang ini harus kukembalikan." Sebelum Tirta berbalik, tangan kanan Ratu Tengkorak Hitam sudah bergerak. Tap! Cengkeraman tangan kanan si nenek telah mencengkeram lengan Tirta dengan ketat. "Hei!" seru bocah itu tertahan. Dan tanpa banyak kata lagi tangannya bergerak. Dan.... Plas! Cengkeraman Ratu Tengkorak Hitam yang sangat keras lolos begitu saja. Bagi Tirta, halitu bukanlah sebuah keanehan. Bahkan tak menimbulkan keheranan sedikit pun. Sementara, si nenek tertegun dengan mulut terbuka. Tak percaya dia mendapati apa yang dialaminya barusan. Dan rupanya, bukan hanya si nenek yang keheranan melihat apa yang

terjadi barusan. Satu sosok tubuh yang mengintip dari sebuah batu besar yang ada di tempat itu jadi melotot lebih lebar. "Gila! Rupanya bukan aku saja yang gagal menangkap bocah itu. Ratu Tengkorak Hitam pun tak mampu sepertinya. Siapa si bocah sebenarnya yang dalam usia sekecil itu memiliki tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh hebat? Hmmm.... Seharusnya aku bisa lebih dulu merebut Batu Bintang yang ada pada bocah itu. Tetapi, urusanku bisa berantakan bila harus bertarung dengan Ratu Tengkorak Hitam. Biar kulihat dulu, apa yang terjadi." Di tempatnya, Ratu Tengkorak Hitam baru sadar dari ketersimaannya ketika Tirta sudah menjauh. Bukan dalam arti hanya lima atau sepuluh tombak, melainkan hampir mencapai lima puluh tombak! "Gila!" desis si nenek dengan wajah masih berkerut tak mengerti. "Mengapa begitu mudah dia lepas dari cengkeraman tanganku ini? Dan sekarang... bocah itu sudah menjauh. Gila! Kenapa jadi begini?" Lalu dengan sekali kempos, tubuh si nenek melesat cepat dengan ilmu meringankan tubuh sangat tinggi. pan tahu-tahu, dia telah berdiri di hadapan Tirta. Kontan si bocah menghentikan langkahnya. Bocah pembe-

rani itu mendumal melihat si nenek menghalangi jalannya. "Nek! Cepat minggir! Kalau malam sudah datang, aku sulit mencari burung rajawali itu dan mengembalikan Batu Bintang ini? Ayo sana! Kau suka sekali mengganggu orang, ya? Huh! Kau membuat urusanku menemukan kambing-kambing yang hilang itu jadi makin panjang saja. Eh! Kau kan, sebelumnya berada bersamaku di Lembah Permata? Apakah kau melihat kambing-kambingku, Nek? Ayolah... jangan-jangan kambingkambing itu kau sembelih dan kau panggang. Soalnya bukan punyaku. Kalau kau...." "Bocah keparat!" potong si nenek. "Berikan Batu Bintang itu!" Selain memiliki sitat pemberani, Tirta juga memiliki sifat keras kepala. Dan rasa takutnya yang sempat muncul, mendadak lenyap melihat sikap si nenek yang akan memaksakan kehendaknya. "Tidak! Kau sudah kubilang, batu ini bukan punyaku. Dan juga, bukan punyamu! Kau ini senang mengambil benda milik orang lain ya, Nek?" Kontan mengkelap hati si nenek. Kali ini tangannya mendadak bergerak dengan kekuatan dahsyat. Tetapi lagilagi cengkeramannya berhasil dihindari Tirta dengan sebuah liukan amat cepat. Merasa penasaran, si nenek mencoba

menangkap lagi. Tetapi, kembali dia hanya menangkap angin. Mereka dipermainkan, si nenek mengubah siasat. Kali ini dia bukan hanya bermaksud menangkap, tetapi juga menghajar si bocah habis-habisan. Begitu tangan kanannya mencoba kembali menangkap, langsung disusulinya dengan satu tendangan kemuka. Des! Karena Ratu Tengkorak Hitam mempergunakan ilmunya, maka tak ayal lagi tendangannya menghajar telak dada Tirta. Dan meskipun tendangannya mempergunakan sepersepuluh dari tenaga dalam yang seharusnya sudah bisa mematahkan sebuah pohon cukup besar, ternyata bocah sekecil Tirta hanya terjajar beberapa langkah. Sungguh merfgherankan. Dan mata si nenek pun terbuka lebih lebar. Mestinya, bocah itu akan tewas dengan dada remuk. Tapi sekarang? "Enak saja main tendang begitu! Apa mau kau kutendang?" Ratu Tengkorak Hitam masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya hingga masih berada dalam keterpanaan. Begitu pula sosok di balik batu yang tak lain si Kaki Gledek. Lelaki ini memang telah berhasil memulihkan luka-luka akibat serangan tak terduga dari Manusia Mayat Muka Kuning. Dia sendiri sedikit bersyukur

karena yang terkena hanyalah kedua tangannya yang tak terlalu berarti baginya. Dia lebih sayang kedua kakinya, yang merupakan senjata terdahsyatnya. "Benar-benar luar biasa!" desis Kaki Gledek terkagum-kagum melihat kejadian di depan matanya. "Tetapi, aku harus tetap mendapatkan Batu Bintang.", Sedangkan si nenek yang tengah keheranan sekaligus kemarahan, masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Sesaat kemudian, dia telah lepas kendali. Tanpa banyak cakap lagi, si nenek menendang Tirta tak ubahnya seperti menghadapi musuh. "Aku pantang membunuh bocah. Tetapi, urusan sudah terjadi. Batu Bintang harus kudapatkan sebelum diketahui banyak orang!" dengus batin si nenek sambil terus mencecar. Tetapi, lagi-lagi Tirta yang jadi bulan-bulanan segera kembali bangkit tanpa kurang suatu apa. Hanya di tempat yang terkena hajarannya menimbulkan warna merah. Dalam keheranan tak berkesudahan, Ratu Tengkorak Hitam terus mencecar. Kali ini seperlima tenaga dalamnya sudah dipergunakan. Dan anehnya ketika bocah itu melangkah mundur, dalam pandangannya berganti dengan lompatan

sejauh tiga tombak ke belakang. Akibatnya sergapan si nenek luput. Namun dia segera meneruskan dengan serangan berikutnya. Tirta yang wajahnya pias sekarang hanya bisa memperhatikan saja. Tetapi bagai ada sesuatu yang menariknya, tubuhnya dibuang ke kiri, lalu melompat ke depan. Sebuah gerakan yang sangat luar biasa ringannya! "Wiii!" Bocah itu berteriak keras ketika tubuhnya seperti terbang belaka, menjauh dari Ratu Tengkorak Hitam. Lalu buru-buru dia berlari. Tirta merasa larinya biasa saja, dengan hati ketakutan setengah mati. Namun dalam penglihatannya Ratu Tengkorak Hitam, larinya Tirta benarbenar menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi. "Gila! Anak siapa dia? Dalam waktu empat hari saja, dia hebat sejak aku pertama kali bertemu dengannya," puji batin Ratu Tengkorak Hitam, "Hhh! Sebelum Batu Bintang jatuh pada orang lain, secepatnya aku harus mendapatkannya." Tiba-tiba ekor mata si nenek menangkap kelebatan tubuh dari balik sebuah batu besar. Sejenak dia tersentak, tetapi segera tahu siapa bayangan merah yang berkelebat cepat barusan.

"Setan alas! Si Kaki Gledek! Rupanya manusia itu masih mau cari penyakit. Dan rasanya, sejak tadi dia memperhatikan aku dipermainkan bocah sialan itu. Hmm.... Bukan urusan itu yang menjadi pikiranku! Karena, Kaki Gledek tahu juga tentang Batu Bintang yang telah dijatuhkan rajawali peliharaan Sepuh Mahisa Agni, dan berada di tangan bocah bernama Tirta. Aku harus memburu bocah itu sebelum jatuh ke tangan Kaki Gledek." Berpikir sampai di situ, si nenek siap mengemposkan tubuh. Namun mendadak saja dia merasakan . hawa panas meluruk dahsyat ke arahnya. Cepat tubuhnya dibuang ke samping. Dan.... Blarrr! Hawa panas yang ditimbulkan dari tiga sinar kuning itu melesat, langsung menghantam pohon manggis hutan hingga hangus mengering. Cepat si nenek bangkit, seraya menatap ke arah datangnya serangan. "Setan keparat yang cari mati! Kugebah penjuru tempat ini hingga tubuhmu rencah!" Begitu habis kata-katanya, Ratu Tengkorak Hitam mengibaskan tangannya berkali-kali keempat penjuru angin. Saat ini pula terdengar ledakan dahsyat bersamaan muncratnya tanah di beberapa tempat.

"Ha ha ha...!" Justru dari tempat yang berbeda, satu tawa keras telah membedah angkasa, disusul berkelebatnya satu sosok bayangan. Dan tahu-tahu di hadapan si nenek telah mendarat ringan hingga tak ubahnya bagai sebuah kapas satu sosok tubuh yang sudah sangat dikenalnya. "Entah berapa puluh kali penanakan nasi kulewatkan percuma untuk mencarimu, Ratu Tengkorak Hitam! Kini ada di hadapan! Serahkan Batu Bintang padaku!" kata sosok itu, dingin penuh ancaman. Sungguh, Ratu Tengkorak Hitam tak menyangka akan bertemu sosok berwajah kuning yang beku seperti mayat. Sesaat perasaannya tak tenang. Namun segera ditindihnya dengan menampakkan wajah gusar. "Manusia Mayat Muka Kuning... Kudengar kau ada urusan dengan Bidadari Hati Kejam. Mengapa hanya buang waktu dengan berada disini?!" seru Ratu Tengkorak Hitam. Wajah mayat di hadapan si nenek makin membeku. "Dari mana kau tahu tentang urusan itu, hah?!" kata sosok yang ternyata Manusia Mayat Muka Kuning. Ratu Tengkorak Hitam menyeringai tak sedap. Matanya dipicingkan tanda kegusaran makiri melanda.?

"Dunia sangat sempit. Jatuhnya jarum pun akan terdengar. Apalagi, berita yang berkaitan dengan dirimu. Bila kau hendak mendapatkan Bidadari Hati Kejam, dia sudah muncul dari tempat kediamannya." "Dia pasti sudah muncul. Berarti pancinganku telah mengena. Tetapi, nenek peot ini akan jadi duri dalam daging bila tidak diselesaikan sekarang," kata batin Manusia Mayat Muka Kuning. Lalu dengan wajah tak berubah, Manusia Mayat Muka Kuning menatap tajam Ratu Tengkorak Hitam. "Ratu Tengkorak Hitam.... Kita satu golongan, namun tak pernah sejalan dan bersahabat. Hingga peduli setan bila nyawa busukmu kucabut! Serahkan Batu Bintang kepadaku, hingga aku bisa memaafkan nyawa busukmu!" Sejenak Ratu Tengkorak Hitam terdiam. Otaknya berpikir keras. "Apakah manusia yang satu ini juga mengintip seperti si Kaki Gledek? Tetapi kalau mengintip, tentunya dia tahu kalau aku belum mendapatkan Batu Bintang. Dan batu yang bisa ditempa menjadi senjata ampuh itu masih berada di tangan bocah bernama Tirta. Ingin kutahu, apa yang ada di benak manusia mayat ini sebenarnya," gumam Ratu Tengkorak Hitam dalam hati. Lalu dengan tatapan tak kalah tajam, Ratu Tengkorak Hitam memandang

Manusia Mayat Muka Kuning. "Bicara boleh saja. Tetapi, bicara kosong melompong tidak tahu rimba, hanya menebar bibit penyakit. Manusia,Mayat Muka Kuning.... Apa maksud kalimat berbisamu itu?" "Orang .yang mau mampus memang suka berbicara ngawur! Aku tak ulangi lagi pertanyaanku! Serahkan Batu Bintang kepadaku!" makin dingin suara Manusia Mayat Muka Kuning. Ratu Tengkorak Hitam mulai menangkap satu keyakinan, kalau lelaki berwajah kuning itu menyangka Batu Bintang ada padanya. Dengan demikian jelaslah kalau orang yang berjarak tiga tombak di hadapannya tidak tahu menahu soal pertemuannya barusan dengan Tirta. "Hhh! Siapa yang menyebarkan fitnah busuk itu?" tanya Ratu Tengkorak Hitam. "Tak perlu kau ketahui siapa orangnya! Yang pasti, dia berjasa bila memang benar Batu Bitang itu ada padamu!" "Kau salah menilai orang! Tak ada Batu Bintang padaku! Orang yang menyebar fitnah busuk itu harus mampus karena telah buat badan celaka!" "Bila kau menolak, aku tak segansegan untuk menurunkan tangan," desis Manusia Mayat Muka Kuning. Mata yang bersinar kuning menyipit.

Mendengar ancaman orang, Ratu Tengkorak Hitam diam-diam segera menyiapkan jurus 'Jalan Hitam Kematian'. "Hanya satu dugaan terlintas, siapa orang yang berani mempertaruhkan nyawa untuk fitnah busuk ini," dengus Ratu Tengkorak Hitam. "Tentunya dia adalah orang yang berjuiuk Kaki Gledek. Dan sekarang dia sudah melesat ke arah timur mengejar rajawali keemasan." "Bosan rasanya mendengar pembicaraan tak guna! Keputusan telah kau ucapkan! Dengan kata lain, kau menolak memberikan Batu Bintang! Agaknya, garis kematianmu ada di tanganku, Ratu Tengkorak Hitam." Meskipun telah mengukur. kesaktian orang di hadapannya, namun Ratu Tengkorak Hitam tak memasang wajah tegang. Justru hatinya mengkelap mendengarnya. "Kalau tak bisa diselesaikan, mengapa tidak mencoba?" "Kita lihat kebenaran ucapanmu itu, Ratu Tengkorak Hitam!" Habis membentak begitu, masih berdiri agak mencangkung dari tempatnya, lelaki tua berjuluk Manusia Mayat Muka Kuning menggerakkan tangan kanannya ke depan. Wusss! Seketika asap tebal berwarna

kuning menderu ke depan, menutupi pandangan lawan sejenak. Ratu Tengkorak Hitam tak mau mengalah. Jurus 'Jalan Hitam Kematian' ditebarkan pula. Lima larik sinar hitam menderu, menggebah dan menerobos asap tebal kuning yang memancar dari tangan kanan lawan. Begitu melihat lima larik sinar hitam yang dilepaskan mampu menerobos serangan, Ratu Tengkorak Hitam sudah merasa berada di alas angin. Namun pada kenyataannya.... "Aaahhh...!" Justru Ratu Tengkorak Hitam yang memekik tertahan, karena lima larik sinar hitam itu berbalik arah padanya. Bahkan kemudian asap kuning telah menggulung tubuhnya. Sebelum semuanya terjadi, Ratu Tengkorak Hitam sudah mencelat ke samping. Wajahnya sekarang tak bisa lagi menyembunyikan ketegangan yang berlipat ganda. Salah satu jurus andalannya dengan mudah dapat dipatahkan lawan. Penuh kegeraman Ratu Tengkorak Hitam mengendalikan diri agar bisa tenang. Jurus 'Undang Maut Sedot Darah' kini siap dilepaskan pula. "Rupanya kau telah menjadi sekutu Raja Lihai Langit Bumi. Bagus! Orang tua keparat itu pun akan kumusnahkan. Siapa yang berhubungan dengannya,

harus menemui ajal di tanganku!" desis Manusia Mayat Muka Kuning. Mendengar kata-kata itu barusan, Ratu Tengkorak Hitam yang merasa yakin tak akan mampu menandingi manusia Mayat Muka Kuning, makin sengaja mempergunakan jurus milik Raja Lihai Langit Bumi. Karena pada Raja Lihai Langit Bumi. Satu siasat licik telah terpatri di hatinya. "Heaaah...!" Maka dengan gerengan keras, jurus 'Undang Maut Sedot Darah' dilepaskan Ratu Tengkorak Hitam. Begitu gempuran aneh sekaligus dahsyat terjadi, Manusia Mayat Muka Kuning menghembuskan angin dari mulutnya. Angin pelan yang tak terasa menggebah cepat, mengusir serangan si nenek. Dan.... Blarrr...! Satu ledakan terjadi, akibat benturan barusan. Ratu Tengkorak Hitam tersungkur dengan napas turun naik. "Rupanya kau belum menguasai penuh. jurus 'Undang Maut Sedot Darah' milik Raja Lihai Langit Bumi. Berarti, kau tak berguna mempergunakan ilmu itu. Sekarang, katakan! Di mana Batu Bintang berada?!" "Manusia bodoh!" maki Ratu Tengkorak Hitam sambil bangkit menahan sakit. "Kaki Gledek telah membuat fitnah padaku. Manusia bangsat itulah

yang harus diburu. Aku yakin, Batu Bintang sudah berada di tangannya." "Aku tak punya urusan berarti denganmu, Ratu Tengkorak Hitam. Karena, masih ada anak manusia yang kutunggu untuk kuhabisi nyawanya! Bisa kuterima kata-katamu itu, karena aku belum mendapatkan penjelasan berarti. Kulepas nyawamu sekarang, dan kucari Kaki Gledek. Bila kalian berdua berdusta, tak ada jalan lain kecuali kukirim keneraka!" Habis berkata begitu, tubuh Manusia Mayat Muka Kuning mencelat meninggalkan Ratu Tengkorak Hitam. "Bisa putus nyawaku percuma tadi. Manusia aneh itu memang memiliki ilmu tinggi dan sulit untuk dijajaki. Keparat! Satu saat, akan kubuat dia tunduk di hadapanku! Satu saat... setelah Batu Bintang kudapatkan. Baiknya, kukejar bocah yang membawa Batu Bintang sebelum didahului Kaki Gledek." * * *

108
Tirta terus berlari, berusaha mengejar Rajawali raksasa sambil mendekap erat-erat batu keemasan di tangan kirinya yang ditempelkan di dada. Dihantui penasaran ingin

mengembalikan Batu Bintang pada burung Rajawali Emas itu, sehingga sama sekali tak disadari ada sesuatu yang sebenarnya berubah dalam dirinya. Kalau biasanya bocah ini berlari seperti orang kebanyakan, kini setiap kali melangkab, iibuhnya bagai terbang saja. Bahkan anehnya, hingga tengah malam tiba Tirta tak merasakan kelelahan sama sekali. Tekadnya Batu Bintang harus dikembalikannya pada Rajawali Emas itu. Tetapi biar bagaimanapun juga, burung yang terbang di angkasa tetap lebih cepat. Dan tepat rembulan agak menyingkir dari ubun-ubun kepala, bayangan raksasa di angkasa sudah tak terlihat lagi. "Uh! Kenapa sih, burung itu tidak mau mendengar teriakanku tadi? Padahal, aku harus mencari kambingkambing Juragan Lanang," keluh Tirta. Suaranya enteng saja, tak menyiratkan kelelahan. Bahkan tak mengeluarkan keringat sedikit pun. Bocah ini mendongak kembali pada jutaan bintang yang menghampar di permadani langit. Rembulan cukup terang, meskipun merupakan potongan cahaya belaka. Karena tak menemukan apa yang dicarinya, Tirta memperhatikan benda yang dipegangnya. "Batu Bintang! Nenek jelek yang galak itu menyebutnya demikian. Sepertinya, dia ingin sekah memiliki batu

ini. Bila saja aku tidak tahu asalnya batu ini, sudah tentu akan kuberikan padanya. Barangkali saja memang kepunyaannya. Tetapi kan jelas Batu Bintang itu kepunyaan burung rajawali tadi. Uhh...! Mana burung itu sekarang?" Kembali Tirta memandang ke atas. Namun, lagi-lagi bayangan raksasa itu tak tampak di matanya. Akhirnya bocah ini memutuskan untuk tidur saja. Karena pikirnya, toh tak akan menemukan burung itu lagi. Maka dengan langkah perlahan, bocah yang masih membawa batu sebesar kepala itu mulai meninggalkan tempat ini. Dilihatnya pepohonan yang berjarak tiga puluh tombak dari hadapannya. Tirtapun mengarahkan langkahnya ke sana sambil sesekali masih mendongak ke atas. Berada dalam rimbunnya pepohonan yang berjarak satu tombak dari pohon yang lain, bocah ini tak mampu lagi melihat ke atas. Tetapi kekeraskepalaannya benar-benar tampak. Masih melangkah demikian, dia berusaha mendongak, menembus rimbunnya pepohonan hingga tak memperhatikan apa yang ada di hadapannya. Buk! "Aduhh...!" Tubuh si bocah langsung terguling, dan meluncur ke bawah. Mengiring luncuran tubuhnya, gumpalan

tanah ikut runtuh ke bawah pula akibat sen-takan kakinya yang terpeleset. . "Wuaaa!" Tirta menjerit ketakutan, keras dan membahana menghantam dindingdinding tanah. Saat tubuhnya meluncur deras. Jelas sekali kalau dia terjatuh ke dalam sebuah jurang yang tersamar oleh tingginya rumput-rumput di sekitar tempat itu Dalam keadaan ngeri yang membias dan membuatnya menggigil, dia hanya mendekap erat-erat Batu Bintang di tangannya. Sementara, tubuhnya terus meluncur deras ke bawah. Pada saat yang sama, mendadak sebuah bayangan raksasa menukik dari angkasa. Diterobosnya jurang besar yang siap menelan tubuh Tirta.... Bidadari Hati Kejam melongo ketika?di hadapannya membentang sebuah jurang sangat lebar. Sejenak kening nenek berkonde itu berkerut hingga menampakkan kengerian bagi yang melihatnya. "Edan! Sejauh aku melangkah, yang kudapati hanya jurang sialan ini! Dan pepohonan yang seperti pasukan siap tempur ini benar-benar membuat suasana agak menjengkelkan. Ke mana lagi harus kutemukan bocah itu? Seharusnya si bocah sudah berhasil kulampaui. Tetapi, larinya membuatku sulit," omel nenek yang menginginkan Tirta menjadi

muridnya. Mulutnya yang keriput menyang-menyong. "Bocah kebluk! Ratusan orang susah payah ingin menjadi muridku, eee... dia malah menolak ketika kutawari. Aku benarbenar telah jatuh hati padanya. Hmm.... Bocah itu sedang mencari kambing-kambing gembalanya yang hilang. Apakah bila aku menemukan kambing-kambing itu dia mau menjadi muridku? Tetapi, di mana aku harus menemukannya? Si bocah memang sangat luar biasa. Dia memiliki keberanian dan kekerasan hati mengagumkan." Tiba-tiba bibir berkerut si nenek tersenyum. "Hmm...ya, ya.... Siapa tahu semuanya bisa kuda-patkan dengan sempurna. Lebih baik kucari segera saja dia lagi, daripada berada dalam kesunyian dan sikap dungu macam ini...." Nenek berkonde ini siap mengempos tubuhnya ketika sayup-sayup terdengar suara melolong dari dasar jurang yang sangat dalam dan gelap. Bahkan penuh pepohonan tumbuh di dinding-dindingnya dan batu-batu besar tajam di bawahnya. Orang biasa tentu tak akan mampu menangkap suara itu bila tidak memiliki kepandaian seperti Bidadari Hati Kejam. "Gila! Apakah setan gentayangan sudah mulai berkeliaran menjelang

malam begini?! Kutu setan! Bikin aku jadi tegang tadi," maki Bidadari Hati Kejam panjang pendek. Namun si nenek tak segera mengempos tubuhnya, seperti yang hendakdirencanakan. Justru pendengarannya dipertajam. Dan mendadak matanya terbelalak, mendengar suara yang mulai dikenalinya. "Gila! Itu suara bocah yang bernama Tirta! Apa-apaan ini? Mengapa dia bisa masuk ke dalam jurang laknat ini? Gila! Gila!" Nenek berkonde cepat melongok ke dalam jurang. Tak ada sesuatu yang nampak, kecuali gelap yang menghiasi dua bola mata kelabunya. "Sinting!" makinya tiba-tiba, ketika sampai pada satu pikiran yang membuatnya mendengus. "Kalau memang bocah itu terjatuh ke dalam jurang laknat ini, sudah tentu tubuhnya akan hancur berantakan. Huh! Kepala atau badannya tentu akan terpisah!" "Tolooong...!" Baru saja Bidadari Hati Kejam hehdak meninggalkan tempat itu, sebuah jeritan minta tolong membuatnya mengurungkan niat dengan wajah tertegun. "Sinting! Benar-benar sinting urusan ini! Apakah telingaku sudah kemasukan kecoa?" makinya lagi tak menentu. "Suara itu jelas suara bocah

bernama Tirta. Tetapi...." Si nenek tertegun sejenak. Pikirannya dipenuhi hal-hal yang tak masuk akal dan tak bisa terjawab. Tetapi sejenak kemudian diputuskannya untuk melihat keadaan di dalam jurang. Seketika tubuhnya melangkah menyusuri atas jurang, mencari sela yang bisa dipergunakan untuk turun. Karena tak menemukan tempat yang cocok, nenek berkonde ini memutuskan uhtuk melompat turun mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. "Urusan jadi benar-benar sinting! Kalau aku tak menginginkannya untuk menjadikan murid, sudah tentu aku tak akan nekat masuk ke dalam jurang sialan ini!" Namun sebelum rencana itu berjalan, mendadak saja terdengar suara yang luar biasa kerasnya yang disusul suara gemuruh dahsyat. Kontan nenek berkonde itu tanpa sadar mencelat ke belakang dua tombak. Belum lagi keheranannya tuntas, mendadak saja muncul bayangan raksasa bersama angin menderu kencang. "Koooaaakkk!" "Rajawali Emas!" sentak Bidadari Hati Kejam tak berkedip memandang bayangan raksasa yang muncul dari dalam jurang. Samar-samar sepasang mata kelabu si nenek melihat satu sosok tubuh

terkulai di cengkeraman kedua kaki burung rajawali raksasa itu. "Tirta?! Gila! Mengapa jadi begini? Mengapa tahu-tahu muncul Rajawali Emas itu?!" seru si nenek, keheranan. Kalau,bukan nenek berkonde yang berdiri di sana, sudah tentu akan terpental oleh angin dahsyat ditimbulkan kepakansayap rajawali itu. Namun Bidadari Hati Kejam sendiri tak urung mengerahkan tenaga dalam untuk menahan sambaran angin dahsyat itu. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi, burung rajawali raksasa itu telah membubung tinggi membawa tubuh Tirta. Tersentak nenek berkonde ini dalam kekagumannya. Matanya menangkap sesuatu yang bersinar keemasan yang dicengkeram kaki kiri burung rajawali raksasa itu. "Batu Bintang! Gila! Ternyata berita itu benar! Lalu, apa hubungan bocah yang kuinginkan menjadi muridku itu dengan burung peliharaan Sepuh Mahisa Agni? Apakah Batu Bintang yang tengah dicari para tokoh kini sudah menjadi milik si bocah? Luar biasa! Baiknya kuikuti saja burung rajawali itu!" Setelah mengambil keputusan, Bidadari Hati Kejam berkelebat cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi.

Sampai malam berubah siang dan siap memasuki malam kembali, Bidadari Hati Kejam terus berlari mengikuti bayangan raksasa yang mengangkasa. Melewati sungai-sungai, melewati pematang sawah, ladang, mendaki bukit, dan menuruni gunung. Semua dilakukannya, karena tetap berkeinginan mendapatkan Tirta sebagai muridnya. Tetapi lama kelamaan, bayangan rajawali raksasa itu tak lagi nampak di matanya. Kini nenek berkonde itu menghentikan langkahnya. "Setan keparat! Dibawa ke mana calon muridku itu, hah?" omelnya jengkel. Kakinya menghentak berkalikali. "Benar-benar sinting! Mengapa burung rajawali itu membawanya? Apakah dikarenakan si bocah mencuri Batu Bintang miliknya? Sepuh Mahisa Agni... ada apa ini? Aku tak percaya kau telah mati seperti dikatakan banyak orang. Aku yakin, kau masih hidup dan entah berada di mana sekarang. Hanya saja, aku tak mengerti tentang semua ini. Mengapa kau lepaskan Bwana yang... ah! Entahlah, Aku tak bisa menduga, ada apa di balik semua ini? Tetapi sekarang, di mana rajawali itu berada." Bidadari Hati Kejam sekarang melangkah menuju ke sebatang pohon. Lalu pantatnya dihenyakkan, dan bersandar di batang pohon. Sejuta

pikiran mengganggu benaknya, dan sangat sulit ditemukan jawabannya. Tak tahu harus berbuat apa, Bidadari Hati Kejam akhirnya terielap. Kini baru dirasakan kepenatan yang sangat mendera. Dengan jalan tidur, tenaga akan terhimpun kembali. * * *

9
Tirta yang berada dalam cengkeraman kaki rajawali raksasa masih dalam keadaan pingsan. Meskipun memiliki keberanian cukup, namun tak urung begitu meluncur deras ke dasar jurang dia pingsan. Entah, apa jadinya bila bayangan raksasa yang ternyata Rajawali Emas itu tidak menolongnya. Entah mengapa rajawali raksasa itu tiba-tiba muncul dan menolongnya. Malam berganti pagi ketika burung rajawali raksasa itu meluncur turun ke sebuah lereng gunung yang cukup aneh bentuknya. Julangannya sangat tinggi. Dan dari kejauhan, jelas sekali gunung itu berbentuk kepala rajawali menghadap ke kanan! Tak heran bila gunung yang terpencil itu disebut Gunung Rajawali, tempat Sepuh Mahisa Agni pernah berdiam. Entah, berada dimana manusia yang juga berjuluk Malaikat Dewa itu kini berada.

Sebelum mendaratkan kakinya di lereng Gunung Rajawali, burung raksasa itu melemparkan tubuh Tirta dalam jarak satu tombak dari tanah. Bruk! Tubuh kecil yang masih pingsan itu tergolek tak berdaya. Berarti, hampir satu setengah hari Tirta pingsan. Dan dia tak tahu perjalananyang telah dilakukan. Sementara itu, rajawali raksasa mendekam tak jauh dari Tirta. Batu Bintang yang dicengkeramnya telah diletakkan di sisi bocah itu. Mata bulat besar kemerahan rajawali keemasan memperhatikan Tirta. Mata itu nampak memperlihatkan sinar gembira yang luar biasa. Entah, apa maksudnya. Ketika matahari sepenggalah, tubuh pingsan Tirta mulai bergerak. Mata kecilnya mengerjap-ngerjap, karena silau oleh sinar matahari. Tetapi sesaat kemudian, dia sudah berdiri tegak dengan mata terbuka. "Wah! Di mana ini?" desisnya sambil celingukan. Diingat-ingatnya di mana sebelumnya berada. Tetapi ingatannya lepas begitu saja ketika melihat rajawali keemasan berada di hadapannya. "Nah! Bagus itu! Hei, Burung Besar! Aku hendak mengembalikan... oh! Kenapa batu itu jatuh? Bukankah berada di dekapan

tanganku?" Tirta memungut batu keemasan itu. Dijulurkannya Batu Bintang pada burung raksasa yang mengkirik lirih, namun cukup keras di telinga Tirta. "Hei, Burung Besar. Nih, kukembalikan batu ini padamu." . Tetapi Rajawali Emas itu menggeleng-geleng seperti menolak. Tirta membutuhkan waktu beberapa kejap untuk mengerti maksudnya. "Kenapa? Inikan punyamu? Ayo, terima. Aku harus mencari kambingkambing Juragan Lanang kembali." Tetapi burung itu tetap menggeleng. "Kalau kau tidak mau, ya sudah. Untukku saja, ya?" Kali ini burung raksasa itu mengangguk-anggukkan kepala sambil mengkirik lirih. "Jadi... kau setuju batu keemasan ini untukku? Baguslah kalau begitu. Terima kasih banyak. Aku harus mencari kambing-kambingku lagi." Tirta segera berbalik, namun jadi melongo. "Lho? Bagaimana aku bisa keluar dari sini kalau di hadapanku hanya hutan belantara?" Si bocah berbalik lagi ke arah rajawali raksasa keemasan itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang? O, ya. Aku ingat sekarang,

Kalau tidak salah, tiba-tiba aku terjatuh pada sebuah tempat yang sangat dalam. Dan kau muncul mencengkeram tubuhku. Sehingga, aku bukan hanya ketakutan tapi juga kesakitan. Dan tahu-tahu aku berada di sini. Tentunya kau yang membawaku ke sini, ya? Ayo, kembalikan aku ke tempat semula. Aku harus mencari kambing-kambing Juragan Lanang, tahu?" oceh Tirta. Rajawali itu tak bergerak sekarang. Hanya sepasang mata merahnya yang memperhatikan Tirta. "Hei...? Jangan diam saja! Ayo, antar aku lagi! Biar kau cengkeram tubuh atau leherku sekarang, aku tidak akan marah. Ayo...." Belum lagi Tirta mendapatkan jawaban dari keinginannya, mendadak saja meluncur angin yang luar biasa deras ke arahnya. Seketika si bocah tertegun dengan kedua mala membuka lebih lebar. Lalu.... Buk! Tubuh Tirta terpental ke belakang. Akan tetapi keanehan terjadi. Karena tubuh yang terhantam angin besar itu telah berdiri tegak, tanpa kurang suatu apa sambil tetap menggenggam erat batu keemasan. Tirta mendumal, ketika mengetahui deras angin besar itu ditimbulkan oleh kepakan sayap kalian Rajawali Emas.

"Kenapa kau menyerang aku, sin?!" bentaknya jengkel. "Apa kau pikir angin yang kau timbulkan dari kepakan sayapmu itu hanya seperti kentut saja?!" Tetapi burung raksasa itu kembali mengepakkan sayapnya ke arah Tirta. Bahkan kali ini sayap kanan dan kiri, menciptakan angin deras lebih dahsyat dari semula. Bergulung-gulung, siap melontarkan tubuh Tirta. Tetapi.... Werrr...! Tubuh si bocah tetap berdiri tegar tanpa terhuyung sedikit pun. Hanya wajahnya saja yang bagai ditampar keras dengan rambut bertebaran. Padahal, pohon besar di belakang Tirta langsung tumbang sampai terlempar jauh. "Kooaaakkk!" Begitu angin dahsyat berhenti, mendadak burung raksasa itu berteriak keras. Lalu seketika meluruk deras ke arah Tirta: Paruh tajamnya siap mematuk kedua kakihya melehgkung dengan kuku-kuku tajam mengarah pada Tirta. Tirta melompat, namun lebih banyak disebabkan oleh satu pikiran untuk menyelamatkan diri. Lompatannya itu sungguh luar biasa. Tubuh kecilnya bagai melayang saat menghindari serbuan burung raksasa itu.

Keanehan yang terjadi itu lagilagi tak dirasakan Tirta, kecuali mendumal dan bcrharap serangan burung raksasa itu tidak mengenai dirinya. "Hei! Berhenti, dong! Kenapa kau menyerangku begini? Tadi kan aku sudah mengembalikan batu ini padamu, tetapi kau menolak? Dan sekarang ketika berada di tanganku, kau malah marah!" seru Tirta, menyangka burung raksasa itu menyerangnya karena marah Batu Bintang berada di tangannya, Tetapi burung itu terus mengejar si bocah berkali-kali. Dan berkalikali pula Tirta menghindari. Sehingga setelah sekian lamanya, tak satu pun serbuan burung raksasa itu mengenai dirinya. Kini justru burung raksasa itu yang menghentikan serangannya. Kini dia terdiam, menatap Tirta yang mengoceh tak karuan. Mata besar memerah itu seperti bangga, ketika serangannya justru tak mengenai sasaran. "Menjengkelkan!" maki Tirta. "Jangan main serang begitu dong! Apa kau pikir aku tidak takut? Sebentar lagi kau lakukan itu, aku bisa terkencing-kencing!" Burung besar itu mengeluarkan suara pelan. Kali ini bernada menyesal. "Uh! Kau menyesal sekarang, nanti

malah menyerangku lagi! Aku kan,.. oohhh!" Tiba-tiba Tirta mengeluh tertahan. Dan tubuhnya mendadak ambruk. Dirasakan hawa panas yang sangat luar biasa menderanya hingga tak sanggup bertahan. Si bocah melolong kesakitan ketika ada sesuatu yang menyentaknyentak dari dalam tubuhnya, bagai hendak memutus seluruh anggota tubuhnya. Penderitaan yang mendadak dialami bocah itu benar-benar mengerikan. Dalam waktu singkat tubuhnya memerah seperti udang dibakar dengan keringat menganak sungai. Rajawali raksasa yang sejak tadi memperhatikan, nampak menjadi kalap dan kebingungan. Sayapnya dikepakkan berkali-kali. Sementara Tirta terus bergulingan kelojotan. "Koaaak! Koaaak! Koaaak!" Tiba-tiba terdengar pekikan burung raksasa ilu tiga kali berturutturut. Panjang, menggema keseantero Gunung Rajawali. Bertalu-talu bagai satu hentakan kuat berkepanjangan. Entah dari mana datangnya, tibatiba meluncur angin bergulung-gulung. Dan ketika angin itu lenyap, satu sosok tubuh kurus berwajah bijaksana telah berdiri begitu saja bagai datang bersama hembusan angin tadi. Begitu melihat seorang lelaki tua

bertubuh kurus terbungkus baju putih bergambar bunga-bunga api, burung rajawali raksasa mengeluarkan pekikan gem-bira, seperti anak kecil. "Mengapa kau memanggilku, Bwana?" sapa lelaki tua yang baru muncul. Kepalanya mengenakan sorban putih. Usianya kira-kira seratus dua puluh tahun. Wajahnya begitu tenang dengan pancaran mata teduh penuh kearifan. Ketika burung raksasa yang dipanggil Bwana tadi bergerak-gerak, si lelaki tua mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian lelaki tua bersorban putih itu melangkah mendekati Tirta yang masih kelojotan. Sikapnya tetap tenang. Langkahnya begitu ringan, bagai tak memijak bumi. Masih tegak berdiri, sepasang mata teduh lelaki tua menatap Tirta yang masih bergulingan dengan sekujur tubuh makin memerah. Sementara, Bwana memekik keras, bernada gelisah. "Tenanglah, Bwana. Aku akan menolong bocah ini." Si lelaki tua cukup lama menatap Tirta. Dan perlahan-lahan, dia berlutut. Lalu tangannya menepuk. Seketika, gulingan dan kelojotan tubuh Tirta terhenti. Namun, tubuhnya yang Sudah bertambah merah justru mengeluarkan asap. Si lelaki tua menggelenggelengkan kepala. Terkejut bercampur

kagum. "Tenaga yang keluar dari dalam tubuh bocah ini rupanya akibat ribuan tenaga surya yang masuk ke dalamnya. Berarti... bocah ini secara tak sengaja telah menghisap sari Rumput Selaksa Surya. Beruntung sekali dia. Tetapi sayangnya, aku tak bisa mengendalikan tenaga dalam itu. Hanya seorang yang bisa, Bwana," desah lelaki tua itu perlahan. Rajawali itu mengeluarkan suara lagi. Seperti mengerti kata-kata Bwana, si lelaki tua tersenyum tenang. "Bwana... jangan menganggapku orang yang maha sakti di muka bumi ini. Entahlah.... Mengapa orang-orang menjulukiku Malaikat Dewa. Padahal, menghadapi keadaan seperti ini, aku tidak tahu. Aku hanya bisa membantu si bocah. Tetapi, tak akan bisa mengajarkan cara mengendalikan tenaga surya yang bisa-bisa akan membuat seluruh urat darah di tubuhnya pecah berantakan. Hanya seorang yang bisa melakukannya, Bwana. Ya, ya.... Orang itu berjuluk Raja Lihai Langit Bumi. Dialah yang tahu tentang rahasia Rumput Selaksa Surya. Puluhan tahun lalu, memang pernah kukatakan tentang berita adanya Rumput Selaksa Surya. Dan aku berharap, dia bisa menemukan sekaligus memecahkan rahasianya. Mungkin dia sudah menemukan rahasia

itu. Tetapi, bisa pula belum. Dan untuk sementara, biarlah kucoba untuk menenangkannya. Lelaki tua bersorban yang menyebul dirinya Malaikat Dewa tadi mengusap kedua tangannya. Dan mendadak, hawa dingin di lereng Gunung Rajawali semakin dingin. Kedua tangan kurus yang telah beku sedingin es itu ditempelkan pada kening dan perut Tirta. Cukup lama lelaki tua itu melakukannya. Sehingga, lama kelamaan warna merah di tubuh si bocah mulai menghilang. Malaikat Dewa mendesah. "Hanya ini yang bisa kulakukan, Bwana." Rajawali raksasa mengeluarkan suara gembira. Malaikat Dewa tersenyum. "Aku tahu, kau telah menjatuhkan pilihan pada bocah ini, Bwana. Itu terserahmu. Yang penting, aku telah memberikan Batu Bintang kepadamu. Batu yang memancarkan sinar keemasan ini, kudapatkan ketika sedang bertapa menyempurnakan ilmu penyerahan diri pada Sang Maha Pencipta di Gunung Rajawali puluhan tahun yang lalu. Batu itu tiba-tiba meluncur dari langit, dan jatuh beberapa tombak di hadapanku saat tapaku selesai. Penuh keheranan, kupungut batu yang kemudian kusebut sebagai Batu Bintang. Dan kurasakan, betapa ringan batu itu. Lebih

mengherankan lagi, ketika kulihat ada gambar kepala Rajawali Emas. Dan dua puluh tahun kemudian, kau muncul. Lalu, kita menjadi sahabat. Maka sesuai usulku, kau bisa mencari majikan barumu dengan menjatuhkan pilihan pada orang yang kau inginkan. Tentunya, dengan menjatuhkan Batu Bintang pada pilihanmu. Aku merestui ini dengan baik. Ingatkan pada bocah ini, kalau Batu Bintang perlu dijaga. Karena, banyak tokoh persilatan yang kini muncul untuk memperebutkannya." Malaikat Dewa menatap penuh pengharapan pada rajawali raksasa agar wejangannya dilaksanakan. Lalu perlahan-lahan kepalanya menganggukangguk. "Perlu kau ketahui, bocah itu sebenarnya sangat beruntung. Dengan menghisap sari Rumput Selaksa Surya, dia telah memiliki sebuah tenaga dalam tinggi. Bahkan tubuhnya bisa memancarkan hawa pahas luar biasa. Dan secara tidak langsung, hawa panas dalam tubuhnya yang bila digabung dengan tenaga dalam, bisa membuatnya bergerak selincah kau Bwana. Rajawali mengeluarkan suara kembali. "Maaf.... Bukan aku tidak ingin menurunkan ilmu kepadanya, Bwana. Ada dua orang muridku yang memiliki sifat berlainan satu Sama lain, kupikir

cocok untuk menjadi guru bocah ini. Yang perempuan rada-rada sinting. Hatinya kejam, meskipun ditujukan hanya untuk orang-orang golongan hitam. Yang lelaki justru memiliki sifat sebaliknya. Mereka adalah Bidadari Hati Kejam dan Raja Lihai Langit Bumi yang sudah dua puluhan tahun tak pernah kujumpai lagi. Bahkan tak pernah kupantau lagi, karena keduanya sudah menempuh jalan masingmasing." Rajawali keemasan itu berkoakkoak lagi. "Tidak..,. Aku sama sekali tidak pernah membedakan kedua muridku yang berlainan Sifat itu," kata si Malaikat Dewa sambil tersenyum. "Keduanya kuturunkan ilmu berbeda. Namun, masing masing ilmu yang didapat tak akan mampu mengalahkan satu sama lain. Meskipun keduanya saudara seperguruan, namun hanya bersikap laksana sahabat belaka. Bahkan kadang-kadang tak jarang bertengkar. Ini mungkin disebabkan berlainannya sifat yang dimiliki. Raja Lihai Langit Bumi selalu sering mengalah. Dan kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan agaknya mewarisiku, Bwana. Itulah sebabnya kukatakan tentang Rumput Selaksa Surya kepadanya. Ketika dia bertanya bagaimana cara mengendalikan tenaga yang terjadi akibat sari rumput

itu, aku tidak tahu sama sekali. Dan kuharap, dia bisa memecahkan rahasia itu sekaligus menemukan Rumput Selaksa Surya." Rajawali raksasa itu berkoak-koak lagi. "Boleh. Kau kuizinkan untuk mengajarkan beberapa ilmu yang pernah kuajarkan kepadamu. Dan kuharap, kau bisa mendidiknya lebih baik, Bwana. Aku akan pergi lagi dari hadapanmu ini. Dan, perlu kau ketahui. Setelah kuberikan sedikit hawa murni, kemungkinan besar bocah itu akan mengalami kejadian yang dialaminya tadi, setiap tiga bulan. Dan selama kau masih mendidiknya, aku akan selalu datang menjenguk. Perlu kau jaga satu hal, Bwana. Aku tak ingin kehadiranku di sini diketahui olehnya. Ya, ya.... Belum saatnya kukatakan sebabnya. Baik-baiklah kau menjaga, melatih,dan membimbingnya, Bwana. Rajawali Emas itu menganggukangguk pada lelaki baju putih bergambar percikan api. Malaikat Dewa tersenyum. Dan tiba-tiba, sosoknya lenyap begitu saja. Sepeninggal Malaikat Dewa, Bwana menunggu sampai Tirta siuman. Burung itu benar-benar gembira sekarang. Sungguh luar biasa sebenarnya, kalau burung rajawali itu bisa mengetahui

kata-kata orang. Sejak saat itu, tinggallah Tirta di Gunung Rajawali. Bukannya bocah itu menjadi betah dan melupakan soal tanggung jawabnya untuk mencari kambing-kambing milik Juragan Lanang, melainkan karena tak tahu jalan keluar. Apalagi burung Rajawali Emas itu tak mau menunjukkan jalan keluar. * * *

10
Kabut menutupi puncak dan lereng Gunung Rajawali. Udara dingin menusUk, membuat aliran darah bagai terhenti. Namun satu sentakan terdengar membahana, memecah kabut dan mengusir dingin. "Heaaa...!" Sungguh sebuah pemandangan menakjubkan. Karena dalam kabut tebal dan dingin seperti ini, seorang pemuda bertelanjang dada justru sedang melakukan gerakan-gerakan luar biasa cepat dan dahsyat. Dari mulutnya berkali-kali terdengar bentakanbentakan kuat penambah semangat. Sungguh luar biasa. Karena, ratusan gerakan telah dilakukan pemuda gondrong berwajah tampan. Otot-otot dadanya nampak menonjol keluar, menandakan susunan tulang dan bentuk

tubuhnya amat bagus. Sampai pada puncaknya, si pemuda mengatupkan kedua tangan di dada. Saat kedua tangannya mengatup, nampak di bagian lengan kanan dan kirinya rajahan berbentuk burung rajawali. Sesaat tubuhnya bergetar. Bukan karena menahan hawa dingin, melainkan tertanda siap melepaskan satu pukulan. "Heaaa...!" Dikawal satu teriakan keras, si pemuda berjumpalitan laksana seekor rajawali menyambar. Bersamaan dengan itu kedua tangannya menggedor kedepan, disusul lima kali gerakan tangan kanan dan kiri. Wusss...! Dalam kabut tebal yang tak pengaruhi pandangan, si pemuda telah lancarkan satu gerakan dahsyat. Angin meluruk keras membuat kabut terpecah. Dan dari sentakan kedua tangannya, menderu asap putih yang bergulung dalam kabut. Brakkk...! Akibatnya sungguh menakjubkan. Pepohonan yang berjarak lima belas tombak dari si pemuda mendadak saja berpentalan disertai suara bergemuruh. Untuk sejenak si pemuda tertegun. Dan tahu-tahu, dia berloncatan seperti anak kecil yang mendapatkan sesuatu yang lama diinginkannya. "Bwana! Aku telah berhasil

memecahkan jurus 'Lima Kepakan Pemusnah Jiwa'!" seru si pemuda keras sambil terus berloncatan. Werrr...! Entah dari mana datangnya, mendadak terdengar gemuruh angin luar biasa yang mengusir gumpalan kabut. Sesekali terdengar suara berkoakan memekakkan telinga. Lalu tahu-tahu, seekor burung rajawali raksasa telah menukik turun, dan hinggap di sisi si pemuda yang tengah gembira itu. Rajawali raksasa itu berkoak-koak keras. Si pemuda agaknya sangat paham dengan maksud si rajawali. "Ya! Kau sangat baik, Bwana. Kau telah banyak mengajarkan ilmu-ilmu aneh padaku," kata si pemuda seraya berlari. Langsung dirangkulnya leher rajawali raksasa bernama Bwana ini. Si pemuda yang tak lain Tirta tertawa-tawa. Waktu memang telah mengalir bagai derasnya air. Tak pernah berhenti melibas setiap makhluk hidup di alam semesta ini. Bahkan tak pernah man menunggu siapa pun, terus melangkah entah sampai kapan. Tak terasa, lima tahun telah berlalu sejak Tirta diselamatkan Bwana ke Gunung Rajawali. Tak sengaja memang Tirta bisa mengetahui nama burung itu. Waktu itu dia sedang berlatih di sisi sebelah kanan Gunung Rajawali. Di sana, dia melihat sebuah pahatan pada

dinding gunung. Pahatan seekor burung rajawali yang cukup besar. Dan tentunya, dibuat oleh orang yang sangat ahli. Di bawah pahatan pada dinding itulah ditemukannya sebaris nama, BWANA. Otak cerdik Tirta langsung menduga, kalau Bwana adalah nama burung Rajawali Emas yang kini menjadi sahabat, sekaligus gurunya. Kendati demikian, bocah yang telah menjelma menjadi pemuda perkasa itu tetap merasa heran. Tak mungkin Bwana bisa memahat bentuknya sendiri pada dinding gunung. Kalaupun bisa, tak mungkin bisa menuliskan namanya di sana. Yang mengherankan lagi, setelah dua tahun Tirta bersama Bwana. Di saat terbangun dari pingsan karena sebuah sentakan tenaga panas dalam tubuhnya, tahu-tahu di lengan kanan kirinya terdapat rajahan berbentuk burung rajawali berwarna emas. Meskipun coba bertanya, namun Bwana, tak memberikan jawaban apa-apa. Padahal selama lima tahun bersama Bwana, Tirta banyak paham dengan setiap suara yang dikeluarkan Bwana. Bahkan dari gerakan burung itu, dia bisa mengerti apa yang dimaksudkan. Dan Tirta tidak pernah tahu sebenarnya, kalau setiap tiga bulan sekali selalu diobati oleh seorang lelaki tua bersorban putih. Lama

kelamaan, pemuda ini memang tahu kalau ada sesuatu yang aneh telah bergejolak di tubuhnya. Bahkan menyentaknyentaknya, seolah hendak menghancurkan seluruh jalan darah dalam tubuhnya. Hanya saja, setiap kali hal itu terjadi, dia selalu pingsan. Dan ketika siuman, tubuhnya sudah segar kembali. Tirta yang telah tumbuh menjadi pemuda tampan berusia tujuh belas tahun, selalu diajarkan oleh Bwana gerakan-gerakan aneh yang sangat sulit dilakukan. Namun otaknya yang cerdik bisa menangkap kalau Bwana memang bersungguh-sungguh agar setiap gerakannya bisa diikuti. Puluhan jurus telah dipelajari Tirta secara tidak langsung. Setiap jurus diberi nama oleh pemuda itu sendiri. Bahkan terakhir, dia baru saja berhasil memecahkan jurus yang diberi nama 'Lima Kepakan Pemusnah Jiwa'. Sebuah jurus dahsyat, yang sebenarnya tercipta begitu saja. Tirta melepaskan rahgkulannya pada burung Rajawali Emas itu. "Bwana.... Dari mana saja kau? Sudah tiga hari ini aku tidak bertemu denganmu?" tanyanya sambil menatap penuh kasih sayang pada Bwana. Bwana mengeluarkan suara pelan. Terlihat kening si pemuda berkerut. "Kau sedang membuat sesuatu?

Apakah itu, Bwana?" tanya Tirta. Bwana mengepakkan kedua sayapnya. Mendadak saja, sesuatu terjatuh dari sayap kanannya. Tirta menatap tak berkedip sejenak. Segera dihampiri dan dipungutnya benda yang memancarkan sinar keemasan itu. "Hei! Sebilah pedang! Bagus sekali sinar keemasan yang memancar dari pedang mi, Bwana. Tetapi nampaknya belum sempurna. Milik siapakah pedang ini, Bwana? Oh, milikku? Bagaimana mungkin? Selama ini, aku tak punya sebilah pedang apa pun. Dan, hei...?" Tirta tertegun ketika melihat dengan seksama pada bagian atas dan bawah hulu pedang. "Di kiri kanan hulu pedang ini ada dua kepala rajawali menghadap arah yang berlawanan. Dan di hulu bagian bawah terdapat sebuah bintang keemasan. Apakah... aku ingat! Aku ingat sekarang. Bwana... kau telah menempa Batu Bintang menjadi sebilah pedang, bukan? Di dalam Batu Bintang, aku pernah melihat ada sebuah bayangan bintang dan dua kepala rajawali. Luar biasa kau bisa melakukannya, Bwana." Bwana berkoak-koak lagi. "Ya, ya.... Tentunya aku akan menempa pedang ini menjadi lebih sempurna lagi. Oh! Ini akan menjadi

sebuah senjata tangguh? Terima kasih, Bwana." * * *

Ya,

ya....

Tirta mulai menempa pedang pemberian Bwana yang berasal dari tempaan Batu Bintang. Namun setiap kali batu gunung yang cukup besar dikeprukkan pada pedang belum jadi yang diletakkan di atas sebuah batu, batu pengepruk itu selalu pecah. Hal itu terjadi berkali-kali, hingga Tirta selalu terheran-heran. "Gila?! Pedang ini kuat sekali? Dengan apa aku bisa menempanya lagi?" Selagi Tirta kebingungan, terdengar suara Bwana pelan. Tirta menoleh dengan kening berkernyit. "Maksudmu... harus kutempa dengan tanganku? Gila! Batu saja pecah, apakah kau ingin tanganku pecah pula?" Kepala Bwana menggeleng-geleng, membuat Tirta tertegun. "Baiklah.... Aku akan melakukannya. Meskipun masih heran, mengapa aku seperti memiliki satu kekuatan aneh yang sangat panas dan terkadang sukar dikendalikan." Perlahan-lahan Tirta memusatkan pikiran pada pedang yang belum sempurna. Lalu ditariknya napas. Sekali menarik napas, mendadak gelora panas luar biasa terasa memenuhi

dadanya. Hal ini cukup membuatnya tersentak. Maka segera dicobanya untuk mengendalikan tenaga panas itu. Lalu.... Plak! Tangan Tirta menghantam pedang yang masih berada di atas batu. Apa yang dikatakan Bwana tadi memang benar, Tangannya tak kurang suatu apa. Sementara, lekukan pedang di bagian atas yang belum sempurna mulai melurus. Dengan penuh semangat, akhirnya Tirta melakukan apa yang hendak diinginkan. Setelah lima hari berlalu, barulah Tula melihat hasil yang dicapainya. Sebilah pedang memancar kan sinar keemasan. Ditatapnya pedang itu berkali-kali dengan decak penuh kekaguman. Selagi Tirta menatap hasil kerjanya, tiba-tiba Bwana menukik turun, tetap dengan kepakan sayap yang menimbulkan angin kencang dan suara memekakkan telinga. Cepat kepala Tirta menoleh pada Bwana yang telah hinggap di bumi. Si pemuda yang hendak menunjukkan hasil tempaannya jadi urung, ketika melihat sesuatu di paruh Bwana dan telah dijatuhkan ke bumi. "Apa itu, Bwana?" tanya Tirta. Bwana berkoak-koak lagi. "Kau menyuruhku untuk membukanya?

Baik... aku akan membukanya," sahut Tirta. Dihampirinya bungkusan itu, lalu. mulai dibukanya. "Hei...? Dari mana kau curi pakaian ini, hah?!" Bukannya menjawab, Bwana justru mengibaskan sayapnya, Bukan buatan sapuan kepakan sayap itu. Bila saja Tirta tidak melompat, tentunya akan terpental ke belakang. "Maaf.... Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu," ucap si pemuda dengan wajah menyesal. "Tetapi aku masih heran. Pakaian siapakah yang kau bawa ini." Bwana keluarkan suara keras, bagai bentakan. "Baik, baik.... Aku akan memakainya." Lalu perlahan-lahan, Tirta mulai memakai baju lengan pendek berwarna keemasan. Sungguh pas dengan tubuhnya. Diperhatikannya pakaian warna keemasan dengan celana kebiruan. Tampak sebuah ikat kepala keemasan yang kini telah dikenakannya. Lalu, diambilnya sebuah kain panjang warna merah mirip selendang, yang diikatkan pada pinggangnya. Bwana bersuara menunjukkan kepuasan. "Cocok, ya? Wah.... Gagah juga aku sekarang. Dan aku... hei...?! Kau mau ke mana?" Tahu-tahu Bwana sudah terbang

meninggalkan Tirta. "Benar-benar suatu kejadian aneh. Sudah lima tahun aku hidup bersama seekor rajawali raksasa, tanpa tahu harus melewati jalan mana bila ingin kembali ke dusunku," desah Tirta. Mendadak di benak pemuda itu terpampang keadaan dusunnya yang telah lima tahun ditinggalkannya. Kerinduan pada kedua orangtuanya kini mulai mendesaknya. "Ah.... Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah Ayah dan Ibu dalam keadaan baik-baik? Hm... mereka pasti menyatakan aku telah hilang? Entahlah.... Yang pasti, aku akan mcmbujuk Bwana untuk meninggalkan tempat ini dari kembali ke desaku...." "Koaaakkk...!" Dari balik julangan Gunung Rajawali terdengar suara Bwana yang keras. Lalu, tubuh besar itu meluruk kembali dan berdiarri di hadapan Tirta. Dari paruhnya, dijatuhkan sebuah benda. Segera Tirta memungutnya. "Luar biasa! Kau memang burung aneh yang pintar, Bwana. Tidak! Aku tidak akan bertanya, dari mana kau mendapatkan warangka yang bagus beruntai benang emas." Tirta memungut pedang yang baru saja disempurnakannya. Lalu dimasukkannya ke dalam warangka yang

diberikan Bwana. "Cocok sekali. Ukurannya pun sangat tepat Oh.... Terima kasih, Bwana.... Terima kasih..." Dirangkulnya leher Bwana yang nampak senang itu. Tetapi sejenak kemudian Tirta yang telah hafal perangainya, terkejut ketika mendengar suara Bwana. "Hei...?!" Si pemuda melepaskan rangkulannya pada leher Bwana. Langsung di tatapnya kepala burung raksasa yang sebesar tubuhnya. "Mengapa kau bersedih, Bwana? Adakah sesuatu yang menggelisahkanmu?" tanya Tirta. Bwana mengeluarkan suara pelan. "Apa maksud dengan saat perpisahan kita sudah di ambang pintu? Apakah aku harus meninggalkan tempat ini? Apa ada yang memerintahkanmu untuk mengatakan semua ini kepadaku? Siapa dia, Bwana? Selama ini, aku tidak melihat ada orang lain di sini selain diriku dari kau. Aku juga merasa heran, bagaimana tahu-tahu dilengan kanan dan kiriku ada rajahan burung rajawali warna keemasan ini, Bwana. Katakan, Bwana? Siapakah orang yang telah melakukan semua ini?" Belum lagi Bwana menyahut, mendadak.... "Tirta.... Lima tahun sudah cukup

rasanya kau tinggal bersama Bwana...." Mendadak terdengar suara lembut penuh bijaksana. Tirta memutar kepala ke penjuru tempat, mencari orang yang bersuara itu. Tetapi dia tak menemukan, dari mana asal suara yang berpindah-pindah. Menyadari orang yang bersuara itu memiliki kesaktian tinggi, terburuburu Tirta berlutut. "Siapa kau adanya orang dalam gelap?" tanya Tirta. "Belum saatnya kau mengetahui siapa aku, Tirta. Kau boleh memanggilku dengan sebutan Eyang...." "Eyang... terimalah salamku ini." "Dengar baik-baik apa yang hendak kukatakan ini, Tirta. Bwana adalah burung peliharaanku yang sangat kusayang. Sekian puluh tahun dia kupelihara dan hidup bersamaku. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk mencari majikan yang baru dengan menyelipkan Batu Bintang pada ekornya. Bwana akan menentukan pilihan pada orang yang dijatuhkahnya Batu Bintang itu. Ternyata, pilihannya jatuh kepadamu, Tirta. Siapa pun pilihannya, aku tak bisa membantah. Tetapi terus terang, aku senang Bwana menjatuhkan pilihan kepadamu. Perlu kau ketahui, Tirta.... Baju dan warangka yang kini kau kenakan telah sangat lama kusimpan. Dan benda-benda,itu akan kuberikan

pada orang yang dijatuhkan pilihan oleh Bwana. Perlu kau ketahui pula. Akulah yang membuat rajahan burung Rajawali Emas pada lengan kanan dan kiri, selagi kau pingsan akibat dorongan tenaga panas dalam Iubiihmu, Tirta." "Ya, Eyang...." "Lima tahun kau telah hidup di Gunung Rajawali. Lima tahun kau telah ditempa Bwana dengan ilmu-ilmu rajawali yang dahsyat. Maka, cukup kira sudahnya kau berada di sini, Tirta." "Aku mengerti, Eyang." "Perlu kau ketahui... hidup di dalam dunia ini selalu memiliki bentuk yang rancu meskipun selalu berpasangan. Saat ini, dunia di luar sana sedang dalam keadaan menggemparkan. Beberapa tokoh rimba persilatan tengah mengamuk, dikarenakan men cari Batu Bintang yang kini telah menjadi senjatamu. Berhatihatilah menjaga Pedang Batu Bintang, Tirta," ingat suara itu. "Aku mengerti, Eyang" sahut Tirta, mantap. "Hal lain yang perlu kau perhatikan, adalah tenaga ribuan surya yang ada pada tubuhmu. Kau secara tak sengaja telah menghisap sari tumbuhan langka yang bernama Rumput Selaksa Surya. Dan akibatnya, kau secara tak

sengaja pula telah memiliki tenaga dalam tinggi dan ilmu peringan tubuh yang dahsyat." Tirta teringat akan rumput aneh yang pernah dihisapnya lima tahun yang lalu. "Tirta... Setiap tiga bulan sekali... kau akan mengalami suatu kejadian yang bisa menghancurkan darah dan akan meledakkan tubuhmu menjadi serpihan. Dan setiap tiga bulan pula, sampai saat ini aku selalu mengobatimu agar akibatnya tidak sampai parah. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana cara mengajarkanmu untuk mengendalikan tenaga surya dalam tubuhmu. Hanya seorang yang kemungkinan besar tahu semua itu. Dia adalah muridku yang kini berjuiuk Raja Lihai Langit Bumi. Carilah dia. Dan mintalah petunjuk darinya." "Akan kulakukan pesan Eyang." "Bagus! Di samping beberapa hal yang harus diingat itu, kau juga harus mencari muridku yang seorang lagi. Dia berjuluk Bidadari Hati Kejam." Saat itu pula, Tirta teringat pada nenek berkonde berpakaian batik kusam. Nenek itu menginginkan Tirta menjadi muridnya. "Apa yang harus kulakukan padanya, Eyang?" "Dia memiliki sebuah senjata pengebut yang sukar dicari tandingannya.

Mintalah petunjuk darinya, untuk mempelajari ilmu pedang. Meskipun jurus-jurus yang kau pelajari dari Bwana bisa dirangkai, tetapi jurus pengebut yang dimiliki muridku itu akan membuatmu memiliki ilmu pedang yang sangat luar biasa." "Baik, Eyang." "Dan yang terakhir... beradalah di golongan lurus. Karena di dunia ini rambut sama hitamnya. Namun, hati tak sama putihnya. Apalagi, saat ini terjadi bentrokan dahsyat dari beberapa rimba persilatan tentang sebuah fitnah yang mengerikan. Kau harus membantu menenteramkan isi dunia ini, Tirta...." "Baik, Eyang. Semua pesan Eyang akan kulakukan...." Kini, tak ada lagi suara yang terdengar. Angin pun seperti mati begitu saja. Ketika Tirta berucap memanggil, tak ada sahutan apa-apa. Tirta menarik napas panjang, kini berdiri tegak. Ditatapnya Bwana yang juga sedang menatapnya. "Bwana.... Kau ternyata peliharaan dari Eyang sebelumnya. Tentunya kau mengenalnya, bukan? Tolong ceritakan tentang Eyang padaku?" Bwana menegakkan lehernya. Tatapannya tajam pada Tirta. Maka sekali lihat saja, dapat ditebak kalau

Bwana tak menghendaki Tirta bertanya seperti itu. Dan berarti, permintaannya tadi tak memerlukan jawabannya. "Baiklah, Bwana. Maafkan aku. Mungkin suatu saat, aku bisa mendapatkan keterangan tentang Eyang." Ketika kepala Bwana mengangguk-angguk, Tirta mengangguk pula. "Ya, aku mengerti apa maksudmu. Baiklah.,.. Sekarang, tunjukkan padaku jalan keluar dari Gunung Rajawali ini. Beberapa kali aku pernah mencoba keluar dari sini. Tapi yang kudapatkan hanya jalan buntu, sehingga aku kembali lagi ke sini." Sebagai jawaban, Bwana merunduk. Tirta tersenyum. "Luar biasa! Entah bagaimana Eyang mengajarkannya pada Bwana hingga bisa mengerti maksud orang. Beruntungnya, selama lima tahun bersama Bwana aku juga bisa mengerti apa maksudnya." Dan sekali loncat, Tirta sudah berada di punggung Bwana. Kedua tangannya memegang leher burung raksasa itu. "Perpisahan itu hanya sementara bukan?" desis si pemuda pelan. Bwana mengangguk-angguk, lalu mengkirik pelan. "Terima kasih atas petunjukmu padaku, untuk memanggilmu dengan cara yang kau tunjukkan tadi. Sekarang

terbanglah, Bwana. Aku ingin mengunjungi kedua orangtuaku dulu." Semakin lama semakin kencang, angin pun berhembus. Tubuh rajawali raksasa itu pun terangkat naik semakin membubung tinggi. Dari angkasa, sepasang mata Tirta dapat membedah seisi alam. Bibirnya mcnyunggingkan senyum ketika tempatnya selama lima tahun mulai tak nampak di mata lagi. Kelak, rimba persilatan akan dikejutkan oleh munculnya seorang pemuda berjuluk Rajawali Emas.

SELESAI
Segera terbit!!! Serial RAJAWALI EMAS "WASIAT MALAIKAT DEWA"

Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: mybenomybeyes

http://duniaabukeisel.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai