NAMAKU Cassie.
Aku tak bisa memberitahumu nama belakangku. Sayang sekali.
Soalnya namaku sebetulnya cukup bagus lho.
Dan aku juga tak bisa bilang di mana aku tinggal atau nama
lengkap teman-temanku. Kenapa? Karena musuh tak pernah berhenti
memata-matai kami.
Musuh. Bangsa Yeerk. Mereka ada di mana-mana.
Bangsa Yeerk: spesies parasit dari planet yang jauh. Tampilan
mereka sih cuma seperti keong abu-abu tanpa rumah. Kau bisa
menggilasnya hancur dengan kakimu dan ia tak akan berdaya
mencegahmu.
Tapi kaum Yeerk tidak hidup seperti keong. Seperti telah
kubilang tadi, mereka parasit. Mereka menyusup ke dalam kepala
spesies lain, melebarkan diri seperti kulit martabak, dan membungkus
otak spesies yang ditempelinya. Dan kemudian mereka menguasai
spesies itu.
Itulah yang kami sebut Pengendali. Manusia yang sebetulnya
sudah bukan manusia lagi. Atau anggota spesies lain yang sudah
dikontrol oleh Yeerk di dalam kepalanya.
Mungkin bagimu ceritaku ini kedengarannya sinting. Kayaknya
jika aku jadi kau, aku juga akan menganggapnya cerita gila. Tapi
kadang-kadang hal yang paling gila sekalipun ternyata benar.
Bangsa Yeerk sudah ada di sini. Di mana-mana. Kalau
menurutmu kau tidak kenal seorang pun Pengendali, mungkin kau
keliru.
"Bisa sih," kataku pelan. "Tapi kalau Jake sampai tahu... Kau
kan tahu peraturannya: Dilarang bermetamorfosis kecuali kalau perlu
sekali."
Rachel mengangkat bahu. "Aku perlu sekali pulang sekarang.
Kau perlu sekali mendapat nilai baik. Jadi... ada dua hal yang perlu
sekali, kan?"
Seharusnya tidak kubiarkan diriku terbujuk rayuan seperti itu.
Tapi aku sendiri juga sudah punya pikiran begitu sih. Begitulah
asyiknya Rachel, ia selalu siap membujukmu melakukan perbuatan
yang dilarang.
"Kau juga harus jadi tikus," kataku.
"Kenapa? Kenapa aku harus jadi tikus?"
"Ingat tidak, waktu kau mau menakut-nakuti pawang gajah?
Saat itu aku kan membantumu. Lagi pula, kita tak bisa pulang
sebelum aku berhasil memecahkan masalah ini."
Rachel memutar-mutar bola matanya. "Oookei. Tidak masuk
akal sebetulnya, tapi apa boleh buat. Ayo berubah, supaya cepat
beres."
Menyerap DNA binatang tidak rumit. Kau tinggal
menyentuhnya dan konsentrasi pada si binatang. Binatang itu akan
merasa mengantuk, teler. Dalam semenit segalanya sudah beres, dan
pola DNA baru sudah berenang-renang dalam darahmu.
"Kayaknya ini ide tolol deh," komentar Rachel.
Aku sedang menumpuk buku, membuat tangga, agar kami bisa
memanjat masuk ke dalam jaringan jalan jika sudah jadi tikus nanti.
"Yah, ini kan idemu, Rachel."
"Oh, yeah. Ideku. Memangnya aku peduli bagaimana tikus
menemukan ujung jalan yang ruwet itu. Ayo, segera kita bereskan,
sebelum ada orang yang mencari-cari kita," katanya. Ia sudah mulai
berubah.
Chapter 2
MATA tikus tidak lebih tajam dari mataku. Lebih jelek malah.
Seperti mata banyak binatang lain yang pernah kutiru, mata tikus juga
lebih baik untuk melihat gerakan daripada membedakan warna dan
bentuk. Tak ada yang bergerak, jadi penglihatanku seperti... entahlah,
yang jelas membosankan.
Tapi aku bisa melihat Rachel dengan cukup jelas. Kami berasal
dari DNA tikus yang sama, jadi pada dasarnya kami tikus yang sama.
Aku bisa melihat ekornya yang pelontos, panjang, dan merah jambu.
Ekor itulah yang membuat orang benci tikus, dan menganggap tupai
lebih manis.
Ekor itu, ditambah fakta bahwa tikus kadang-kadang suka
menggerigiti manusia.
Pendengaran tikus amat tajam, tetapi penciumannyalah yang
luar biasa. Kukedutkan hidung tikusku yang kecil dan seluruh dunia
seakan mengirim pesan padaku.
Aku mencium bau zat-zat kimia dalam lemari. Aku mencium
sisa bau keringat ratusan anak yang pernah melintasi ruangan ini hari
ini. Aku bahkan mencium bau kacang-kacangan yang gurih di dalam
jaringan jalanku, di atas meja.
Kurasakan otak tikus dalam diriku sudah lebih menonjol
daripada otak manusiaku. Naluri tikusku mulai menguasai. Aku
merasa takut. Bukan takut yang mendadak seperti yang dirasakan
manusia. Melainkan ketakutan abadi binatang kecil dalam dunia yang
penuh pemangsa besar-besar.
kakinya yang buntek, pasti kau tidak mengira tikus bisa memanjat
selincah itu. Tapi aku yakin tikus bisa pergi ke mana saja ia mau.
Aku melihat tumpukan buku yang sudah kuatur menyerupai
tangga untuk naik ke dinding luar jaringan jalanku. Sekarang setelah
aku jadi tikus, dinding itu jadi dinding sungguhan. Tingginya serasa
tiga meter. <Coba selidiki jaringan jalanmu,> kata Rachel. <Aku akan
menunggu di sini.>
Cepat-cepat aku merayap naik tumpukan buku. Gambar di
sampul buku ilmu alamku kelihatan seperti mosaik raksasa yang
terbuat dari ubin berwarna.
Aku tiba di atas dan memandang jaringan jalanku. Aku tahu aku
bisa meloncat ke bawah, ke selasar panjang itu, tapi saat itu aku takut.
Aneh memang, tapi aku cemas kalau-kalau ketemu Courtney yang
asli. Aku selalu merasa aneh saat menggunakan tubuh binatang. Aku
merasa sedikit bersalah.
Tapi aku punya tugas. Aku harus mencari jawaban kenapa
Courtney tidak bisa menemukan kacang-kacang itu. Seharusnya ia kan
bisa membauinya...
<Hei! Astaga! Aku juga tak bisa membauinya. Sama sekali
tidak.>
<Membaui apa?> tanya Rachel.
<Kacang-kacang itu. Aku tak bisa membauinya.>
<Masa bodoh ah.>
<Justru itu masalahnya,> kataku.
Aku memandang berkeliling, bingung. Kemudian baru kusadari
ada tiupan angin. Kuarahkan mata tikusku ke atas. Di atas sana, serasa
berkilo-kilo meter jauhnya, sejauh bulan, ada kipas angin.
Jika aku punya bibir, pasti aku sudah tersenyum. <Kipas angin
itulah penyebabnya. Anginnya menerbangkan bau kacang-kacang
itu.>
<Bagus. Bisakah kita pulang sekarang?>
Saat aku sedang berpuas diri dengan penemuanku itu, dua hal
terjadi bersamaan. Yang pertama, CourtneyCourtney yang asli
melesat dari sudut jaringan jalan.
Yang kedua, aku mendengar gubrakan keras, raungan tawa, dan
dentuman kaki-kaki yang mendekat.
Courtney membeku dan menatapku. Aku balas menatapnya.
Kemudian aku menatap Rachel. Rachel juga membeku, sama seperti
aku.
"HEI, LIHAT! ADA TIKUS!" terdengar teriakan keras sekali.
Suara cowok, aku yakin. Aku tidak mengenali suara siapa, tapi aku
mengenali nadanya. Ia sedang cari gara-gara.
"IDIH, JIJIK!" terdengar teriakan lain. "MESTINYA TIKUS
DIBASMI. AKU BENCI TIKUS!"
Dua cowok iseng. Dua cowok yang sedang mencari-cari sesuatu
yang bisa dirusak atau dihancurkan.
Mereka tentu saja merupakan dua makhluk yang amat sangat
besar dibandingkan dengan kami, tikus-tikus kecil.
Tiba-tiba muncul bayangan! Disusul getaran. Gerakan besar!
DUK!
Meja bergetar seperti kena gempa besar!
PLAK! DUK!
Ada bayangan yang bergerak cepat, mengarah tubuhku. Aku
meloncat!
PLAK!
Daun meja melompat akibat kena pukulan tangan si cowok
yang jatuh di dekatku.
Kurasakan jaringan jalanku diangkat, sehingga berubah miring.
Kulihat bagian jaringan jalanku yang semula lantai kini jadi dinding.
Courtney terjatuh dari dalam jaringan itu ke atas meja.
"INI DIA! CEPAT, AMBIL SAPU!"
<Kabur!> jerit Rachel.
<Lari!> teriakku.
BLUK!
Benda sebesar batang cemara menggebuk permukaan meja.
Gagang sapu. Gagang kayu itu menyapu meja, menghampiri kami.
Aku meloncat. Tikus tidak suka meloncat, tapi kalau terpaksa
mereka bisa juga.
Hup! Aku meloncati gagang sapu, dengan Rachel tepat di
sebelahku. Aku melihat Courtney meluncur ke jurusan lain.
Lari! Lari! Lari! Rachel dan aku bergerak dengan kecepatan
paling top yang bisa dicapai tikus.
Menuju tepi meja!
Rasanya seperti berdiri di lantai atas gedung bertingkat empat.
Lantai di bawah kelihatan jauuuh sekali.
Kemudian muncul bayangan lagi! Sirkulasi udara terhambat!
Tak ada waktu untuk menoleh! Tak ada waktu untuk berpikir!
<Aaaaahhhh!>
<Aaaaahhhh!>
Kami berdua meloncat dari tepi meja tepat ketika gagang sapu
itu menggebuk tempat kami berada tadi.
Kami serasa mengawang-awang, lama sekali. Seperti terjun
payung. Lantai linoleum seperti sawah-sawah aneh yang terhampar di
bawah kami.
Aku terbanting keras di lantai. Kakiku tidak merasakan
akibatnya, karena terlalu pendek. Perutkulah yang menyangga seluruh
beban. Akibatnya aku pingsan.
Saat aku mulai sadar kembali, aku menyadari kedua cowok itu
tidak mengejar aku dan Rachel. Mereka mengurung Courtney di
sudut. Menyodok-nyodoknya dengan gagang sapu.
<Astaga,> kataku. <Kalau kita selamat, Jake akan membunuhku
gara-gara ini.>
Chapter 3
rakun, kami juga merawat seekor rubah, dua ekor serigala, berbagai
jenis kelelawar, landak yang cakep, sepasang kelinci besar, seekor
rusa yang diterkam beruang, beberapa merpati, seekor angsa, angsa
berleher panjang, serombongan walet, seekor burung hitam yang
cantik, dan seekor burung hantu.
<Apa yang terjadi dengan si rajawali emas?> tanya Tobias.
"Dia sudah sehat, jadi kami lepaskan dia." Soalnya rajawali
emas kadang-kadang membunuh dan memakan elang. "Kami
melepasnya jauh di perbukitan. Jauh dari daerahmu, Tobias."
Tobias tidak kelihatan senang. Tapi wajah Tobias kan wajah
elang, jadi tampilannya ya kayak begitu, galak terus. Dulunya ia
cowok manis yang lembut. Ia berkenalan dengan Jake ketika Jake
membebaskannya dari cowok-cowok sangar yang akan
membenamkan kepalanya di wastafel.
<Ada yang ingin kulaporkan. Tampaknya ada orang yang siap
menebang hutan.>
"No way!"
Yang lain sih tidak sepanik aku.
"Jadi, kenapa?" tanya Marco.
"Jadi habitat akan dihancurkan! Jadi binatang-binatang tak akan
punya tempat tinggal lagi! Jadi pohon-pohon tua yang berharga akan
ditebang dan dijadikan tripleks!" seruku. "Jadi begitu."
Marco mengernyitkan dahi. "Dan aku harus peduli... kenapa?"
Aku sudah hendak menjawab, tapi Tobias memotongku. <Kau
tak peduli, Marco. Tapi kau akan peduli kalau tahu siapa yang
melakukan penebangan ini.>
"Yah, mestinya perusahaan kayu," Marco mengusulkan.
<Yeah. Kau benar,> kata Tobias. <Hanya saja perusahaan kayu
ini sudah membangun pusat komando jauh di tengah hutan. Bangunan
kayu, sebetulnya, seperti bisa kauduga. Hanya saja yang ini ada
istimewanya.>
Chapter 4
"JADI para Yeerk ada di dalam hutan kita. Bagus," kata Rachel
yang selalu antusias jika menghadapi bahaya. "Ayo, kita tengok."
"Kalau ini operasi bangsa Yeerk, sebaiknya kita hati-hati," kata
Marco. "Mereka kan sudah menunggu-nunggu kita."
<Menunggu kita? > tanya Tobias.
Marco mengangguk. "Begini. Para Yeerk mengira kita ini
makhluk Andalite. Iya, kan? Mereka pikir hanya Andalite yang bisa
bermetamorfosis. Mereka mengira hutanlah satu-satunya tempat yang
dapat dipakai untuk bersembunyi serombongan Andalite. Kita jujur
sajajika kita benar-benar Andalite, mana mungkin kita mampu
mengontrak rumah."
"Jadi kita tinggal di dalam hutan. Persis seperti yang dilakukan
Ax sekarang." Jake mengangguk. "Mereka ingin menggunakan
penebangan hutan ini sebagai kedok untuk berburu Andalite."
"Betul. Itu berarti mereka mengira kita ada di dalam hutan. Jadi
mereka harus bersiap-siap jika sewaktu-waktu diserang. Mereka sudah
siap menerima serombongan binatang aneh yang akan muncul."
Aku sependapat dengan Marco. Tapi ada satu pertanyaan yang
menggangguku. "Bagaimana mungkin mereka bisa mendapat izin
menebang pohon di hutan nasional?"
Marco membelalakkan mata, seakan aku ini tolol banget. "Siapa
peduli? Kenyataannya mereka punya izin."
"Kalau kita mau melihat tempat itu, kita tak bisa muncul dalam
satu grup," kata Jake. "Kita bagi dalam dua rombongan. Dalam morph
yang berbeda. Kita lihat saja apa yang bisa kita lihat, tapi kita tak akan
berbuat apa-apa. Setuju?"
Semua mengangguk.
"Jadi, kalau semua setuju, aku akan jalan dengan Rachel. Aku
akan berubah jadi burung peregrine falcon. Rachel, kau bisa berubah
jadi elang bondol. Tobias akan mengantar kita. Jadi kita akan punya
tiga pasang mata supertajam untuk mengintai. Cassie, kau jalan
dengan Marco. Cari bentuk metamorfosis lain."
"Kenapa aku tak boleh jalan dengan Rachel?" tanyaku.
Bukannya aku tak suka pada Marco. Tapi kadang-kadang ia
membuatku senewen.
"Karena kau dan Rachel akan saling membujuk untuk
melakukan hal-hal yang bisa membahayakan," jawab Jake.
Ia tahu soal tikus itu. Ia pasti tahu. Tapi aku tetap merasa
kurang sreg. "Oh, maksudmu seperti kau dan Marco yang saling
membujuk untuk melakukan hal-hal aneh?"
Jake mengangguk dan mengedip padaku. "Bisa dibilang begitu.
Yap. Tepat sekali."
Sepuluh menit kemudian, Marco dan aku berjalan
menyeberangi lapangan di tanah pertanianku, menembus rumputrumput tinggi, menuju ke tepi hutan.
Hutan ini luas. Terhampar sampai ke pegunungan. Beribu-ribu,
mungkin bahkan berjuta-juta kilometer persegi pohon cemara, ek, dan
birch terhampar dari atas pegunungan sampai ke pinggir kota. Tanah
pertanian kami persis di tepinya. Seperti juga banyak tanah pertanian
lain. Juga beberapa kompleks perumahan baru.
Sore ini cerah, jadi pegunungan tampak merah jambu keunguan
diterpa cahaya matahari terbenam. Angin sejuk berembus, membawa
aroma bunga-bunga liar. Dua ekor kuda kami sedang merumput dekat
pagar. Di sini aman, maka kami membiarkan kuda-kuda berlari lepas
jika cuaca sedang baik.
Tentu saja, sekarang setelah serigala kembali dilepas ke dalam
hutan, kami mungkin harus mengubah kebiasaan itu. Segerombolan
serigala bisa merobohkan kuda sehat yang paling kuat sekalipun. Aku
tahu. Aku kan sudah pernah jadi serigala.
Dan sebentar lagi aku akan jadi serigala lagi.
Tahu-tahu kami sudah tiba di tepi hutan. Sesaat tadi kami masih
menginjak rumput, langkah berikutnya kami sudah menginjak cemara
dan daun-daun yang berguguran.
Di bawah pohon-pohon suasana lebih gelap. Dan semakin kami
masuk ke dalam hutan, semakin gelap. Aku menengadah. Masih
kulihat langit yang biru. Tapi matahari sudah mulai turun dan malam
kian menjelang. Makhluk-makhluk siang sudah mulai menghentikan
kegiatan mereka, dan makhluk-makhluk malam mulai membuka mata.
"Sebaiknya kita berubah wujud sekarang," usul Marco.
"Ya. Sebagai serigala kita akan bisa bergerak lebih cepat," aku
menyetujui.
Marco menyeringai padaku. "Pernahkah kau merasa ngeri? Soal
metamorfosis ini, maksudku? Aku masih ingat yang pertama kali.
Rasanya aneh sekali."
"Sekarang pun masih aneh," kataku.
"Bahkan bagimu?"
"Kenapa bagiku tidak?" tanyaku.
Marco mengangkat bahu. "Kau kan ratu metamorfosis."
Aku tertawa. "Jangan begitu dong. Kan kita semua masih
belajar."
"Yeah, tapi bahkan Ax pun bilang kau punya bakat khusus.
Kayaknya kau bisa lebih mengendalikan, atau entah apa. Dia bilang
kau bahkan lebih pandai bermetamorfosis daripada dia sendiri."
"Bukan berarti kengeriannya jadi berkurang," kataku.
"Maksudku, kita berdua di dalam hutan, matahari mulai terbenam, dan
aku siap-siap berubah jadi serigala. Ini kan seperti film horor."
"Film Manusia Serigala."
"Sepasang Manusia Serigala."
lokasi yang berbeda dan tahu sungai mana yang airnya paling segar
dan manis.
Serigala mencium bau seekor bajing tanah, selusin tupai, tikus,
celurut, rusa, burung gereja yang sudah mati, seekor rakun... tidak,
dua ekor rakun.
Dan ia juga mencium bauku. Maksudku, ia mencium bauku
yang ada di pakaian yang kulepas sebelum berubah wujud tadi. Ia
mencium bau semua burung dan binatang yang ada di gudangku yang
pernah kusentuh, atau bahkan yang kandangnya cuma kulewati saja.
Ia bisa mencium jejak bebauan yang sudah berusia tiga hari.
Bau orang yang pernah berjalan di hutan ini berhari-hari sebelumnya.
Juga bau serigala lain, serigala jantan tua, yang pernah lewat. Bau
anjing, kucing, dan sampah.
Dan bau sangat aneh yang kusadari pastilah bau AndaliteAx.
Kalau semua itu kausatukan dalam kepalamuindra penciuman
dan pendengaranrasanya seakan seluruh dunia di sekitarmu
menggeliat, menggelegak, dan meledak dengan kehidupan.
<Asyik,> kata Marco.
<Asyik banget,> aku sepakat. <Yuk, berangkat. Kita lari saja.>
Serigala senang berlari.
Chapter 5
bangunan, dan tanah yang kosong itu terang benderang seakan disinari
cahaya matahari di hari cerah.
Sekitar selusin peralatan berat berjajar rapi. Pengeruk tanah,
derek yang berbentuk aneh, truk, dan beberapa alat mengerikan yang
kelihatan seperti mainan anak-anak berukuran raksasa. Kurasa alat itu
digunakan untuk memotong pohon-pohon.
Indra serigalaku yang tajam menangkap beberapa orang
berjalan mengelilingi tanah kosong itu. Jarak mereka masing-masing
sekitar lima puluh meter dan mereka tampaknya sangat waspada.
Yang paling dekat lewat di depan kami. Marco dan aku
merunduk rendah di balik batang-batang pohon, tak bergerak.
Orang itu memakai seragam kecokelatan. Pipa celananya
dimasukkan ke sepatu bot tinggi. Ia menyandang senapan otomatis.
<Oke, ini memang berlebihan untuk pusat penebangan hutan.
Orang itu jelas bukan tukang kayu, > kataku.
Kuarahkan telingaku ke bangunan itu, tapi tak terdengar suara
apa pun dari dalam. Ada dua kemungkinan. Di dalam memang tak ada
orang atau bangunan itu kedap suara.
<Kau berhasil mendapat sesuatu?> tanya Marco.
<Tidak dari dalam bangunan. Tapi aku mencium bau sesuatu
yang tak dapat kudeteksi. Bau yang aneh.>
<Yeah. Aku juga. Bau binatang, tapi aneh, ya?>
<Hork-Bajir?>
<Mungkin juga,> kata Marco.
<Penjaganya semua manus ia,> kataku. <Marco, mungkin saja
ini tak ada kaitannya dengan kaum Yeerk. Mungkin, entah siapa pun
orang-orang ini, mereka ingin melakukan sesuatu yang berbeda.
Maksudku, manusia normal pun kadang-kadang bertingkah aneh.
Tidak semua orang aneh itu Pengendali.>
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
KAMI bertemu di mall. Saat itu hari Sabtu, jadi wajar kalau
kami, para ABG, berjalan-jalan di mall.
Jika kau tinggal di tempat berbahaya, di mana siapa saja bisa
jadi musuhmu, jangan sampai deh berbuat macam-macam. Jangan
sampai tingkah kita menarik perhatian.
Termasuk perhatian keluarga atau teman sekolahmu sendiri.
Kau takkan pernah tahu, siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang
tidak.
Kaum Yeerk mengira kami ini Andalite. Kami ingin mereka
terus berpendapat begitu. Jika mereka sampai tahu kami ini manusia
biasa, apalagi masih anak-anak, tamatlah riwayat kami.
Jadi kami tidak meninggalkan jejak. Kami berusaha bersikap
seakan kami ini tidak satu geng. Kami tak ingin ada Pengendali yang
berpikir, "Hei, tahu tidak? Anak-anak itu selalu ngumpul bareng,
kayaknya mereka mencurigakan."
Kami harus tampak dan bersikap normal. Rachel masih ikut
kursus senam dan sering berbelanja. Jake dan Marco masih berlatih
melempar bola basket ke keranjang di halaman rumah Jake atau main
video game.
Aku merawat binatang-binatang di Klinik Perawatan Satwa
Liar.
Tak ada yang bisa kami lakukan untuk membuat Tobias
kelihatan normal. Ia jauh dari normal. Tapi Tobias berasal dari
keluarga kacau. Ia dulunya tinggal berpindah-pindah dari satu bibi
atau paman yang tak peduli ke paman atau bibi tak peduli yang lain. Ia
tak pernah menjadi bagian dari satu keluarga utuh, dan sedihnya, tak
ada yang menyadari ketika ia tiba-tiba saja lenyap.
Satu jam penuh aku mengikuti Rachel, sementara ia berjalan
seperti tukang belanja profesional menyusuri rak-rak di The Limited,
Banana Republic, The Gap, dan berbagai department store.
Rachel punya naluri aneh untuk mendeteksi kapan dan di mana
akan ada obral. Ia tak perlu iklan. Pokoknya ia "tahu".
Kami sedang menyusuri meja-meja penuh tumpukan sweter di
Express. Rachel mencari warna hijau tertentu, yang mungkin malah
tidak ada di dunia ini.
"Menurutmu kita mau apa?" aku bertanya padanya.
Rachel, yang sedang menimang-nimang sweter, mendongak.
"Apa? Oh, kurasa kita mau masuk. Kalau kita tahu caranya."
"Itu yang kupertanyakan. Cara apa? Bagaimana kita bisa masuk
ke tempat itu? Maksudku, aku tahu kita mau berubah wujud jadi
serangga. Tapi kalau ada yang mau jadi semut lagi, aku bilang saja
dari sekarang, aku ogah ikutan."
Rachel bergidik. "Kurasa tak ada yang mau jadi semut lagi."
Kami memang mendapat pengalaman-pengalaman buruk ketika
bermetamorfosis. Tapi menjadi semut adalah pengalaman terburuk.
Wah, susah deh membayangkan kejadian mengerikan saat itu.
Lorong-lorong yang menyesakkan, lalu beratus-ratus tentara semut
ganas bermunculan di sekeliling kami, semua menyerang, menyerang
tanpa ampun....
"Tidak jadi semut, ya," kataku. Kupandang Rachel, kucoba
menatap matanya. "Betul?"
Rachel mengangkat bahu. Kemudian ia melirik arlojinya.
"Sudah waktunya. Ax ikut mereka, jadi jangan sampai mereka
menunggu."
"Ax? Uh-oh."
"Rasanya campuran lemak dan garam. Plus ada rasa lain yang
mengingatkanku pada rasa oli mesin lezat yang pernah kucicipi. Oli.
0-1i-o."
"Oli mesin?" tanya Jake. "Ax... maksudku, Phillip... Ingat tidak,
aku pernah bilang kau tak boleh makan puntung rokok ataupun serbet?
Nah, tambahkan oli mesin pada daftar itu."
Ax mengangguk. "Baik. Wah, banyak peraturan ya, dalam soal
makan."
Marco menarik kursi untukku. "Oke, kalau kita sudah selesai
basa-basi, ayo kita ke pokok persoalan."
"Tobias datang tadi pagi," kata Jake pelan. "Dia mengawasi
tempat itu dari atas. Dia pikir para Pengendali di tempat itu punya
transponder kecil di pinggang mereka yang membuat mereka bisa
melewati force field."
"Jadi kita harus merampas transponder," Rachel menyimpulkan.
"Tidak," kata Ax. "Transponder itu akan diatur sesuai tanda
biokimia pemakainya. Kaum Yeerk tidak se..."
"Jangan sebut-sebut kata itu," desis Jake.
Kulihat mata Marco jelalatan, melihat apakah ada orang berada
cukup dekat sehingga bisa mencuri dengar obrolan kami.
"Sori. Ri. Sou-ri," kata Ax. "Rencana Rachel takkan bisa
dijalankan."
Jake menghela napas. "Tobias juga melihat sesuatu. Ada
lubang-lubang kecil di fondasi kayu bangunan itu. Menurut
pendapatnya itu kerjaan rayap."
"Rayap?" tanyaku.
Jake mengangguk. "Yap."
Aku menelan ludah. "Jake, rayap kan hampir sama dengan
semut."
"Yah, semut lebih galak sih," kata Jake. "Aku sudah cari info di
Internet. Lagi pula kalau kita bermetamorfosis menjadi rayap di koloni
itu, kan tak ada masalah."
Aku jadi sesak napas. Kulihat wajah Marco sudah pucat.
Bahkan tampang Ax pun suram.
"Kau tidak serius, kan?" tanyaku pada Jake. "Maksudku, rayap?
Masa rayap sih?"
Mungkin aku kedengaran agak histeris. Soalnya aku memang
merasa sedikit histeris.
"Aku tak punya rencana lain," kata Jake. Ia menunduk menatap
meja, menggigit-gigit bibir bawahnya. "Cassie, kau benar ketika
bertanya bagaimana mereka mendapat izin membabat hutan. Itu titik
lemah mereka. Kita harus tahu dari mana izin itu. Untuk mengetahui
itu kita harus masuk ke dalam bangunan itu."
"Lewat terowongan rayap?" tanya Marco. "Lagi pula,
bagaimana kita bisa menangkap rayapnya? Mereka semua kan ada
dalam force field?"
Alangkah leganya jika kata-kata Marco itu benar, bahwa kami
tak bisa menangkap rayapnya. Tapi ketika aku memandang Jake, ia
cuma menggeleng sedikit. "Tobias bilang, hari ini mereka mengubah
sedikit bentuk bangunan. Mereka menambah sinar Dracon. Untuk itu
mereka harus membuang beberapa tiang kayu."
Jake merogoh saku jaketnya. Ia menarik keluar tabung gelas
kecil. Tutupnya berlubang-lubang agar udara bisa masuk.
Di dalam tabung itu ada serangga kecil mungil, cokelat-putih.
Ukurannya sama dengan semut. Kepalanya yang besar berwarna
cokelat.
"Ini dari koloni yang sama," kata Jake. "Dari bangunan yang
sama."
Aku menatap rayap itu. Ia sedang mencoba merayapi sisi
tabung, tapi tergelincir turun lagi.
Chapter 9
membuatku berjengit, walaupun aku sudah pernah melihat beratusratus binatang yang terluka.
"Hmm. Ffinm. Pah. Pah. Pah. Hmmm."
Itu suara yang biasa diucapkan Dad jika ia sedang memeriksa
sesuatu yang menarik. "Pah." Aku tak tahu kenapa, tapi Dad selalu
begitu.
"Aneh. Sangat luar biasa. Aku sama sekali tak bisa menebak
apa yang menyebabkan lukanya ini. Terlalu rapi. Terlalu bersih. Apa
pun penyebabnya, pastilah panas sekali, sehingga membakar
jaringan."
"Ototnya terluka atau cuma luka luar?" tanyaku.
Dad mengerling padaku dan tersenyum. "Sebagian besar cuma
mengenai bulu dan kulit. Tapi ada luka yang cukup parah di bahu sini.
Jauh lebih dalam. Untung tulang punggungnya utuh dan dia akan
hidup. Mudah-mudahan saja anak-anaknya juga begitu."
"Apanya? Dia punya anak?"
"Yeah. Kira-kira enam atau tujuh minggu usianya."
"Dia punya anak? Di hutan sana?"
Dad mulai membalutnya lagi dengan kain kasa baru. "Cassie,
kau tahu, alam memang kadang-kadang kejam."
"Tapi anak-anaknya masih terlalu kecil untuk bisa hidup
sendiri, kan?"
"Aku tidak tahu pasti," katanya, tanpa berani menatapku.
Kupikir kadang-kadang Dad juga berbohong kepadaku. Untuk
kebaikanku sendiri, tentu. Paling tidak ia pikir itu untuk kebaikanku.
"Mereka menunggu di sarangnya, bingung karena induknya
tidak pulang-pulang," kataku. "Mereka akan mati kelaparan. Atau
dimakan binatang pemangsa."
"Ulurkan gunting," kata ayahku.
"Yeah. Ini. Ehm, Dad, boleh tidak aku menginap di rumah
Rachel malam ini?"
"Tentu, Sayang. Kau tahu, kan, asal Mom bilang oke. Hei, kau
tidak tanya bagaimana hasil rapatku dengan produsen makanan kucing
pagi ini. Kita mendapat dana tambahan lho!"
Kami ngobrol sambil memeriksa berkeliling. Tapi hatiku resah.
Aku mencemaskan beberapa anak sigung di suatu tempat di hutan,
sedang menangis menantikan induk mereka,
Dan aku juga menyesal kenapa Dad begitu gampang
memberiku izin menginap di rumah Rachel. Karena, tentu saja, aku
tidak menginap di sana. Rachel akan bilang pada ibunya bahwa ia
menginap di rumahku. Dan Jake akan berbohong pada orangtuanya,
dan Marco akan berbohong pada ayahnya, dan kami semua akan
terperangkap dalam situasi yang tidak kami inginkan.
Aku akan menghadapi maut, malam ini juga. Dan aku
sebetulnya sama sekali tak ingin bohong pada ayahku.
Aku teringat terowongan semut. Yang kuingat persis seperti
yang kulihat dalam mimpiku. Aku belum pernah benar-benar
melihatnya dalam kenyataan. Semut tidak bisa melihat dengan jelas,
dan di bawah tanah tak ada cahaya.
Tapi dalam mimpi aku melihat semuanya. Aku melihat kepala
besar semut-semut musuh yang berkilau bagai logam ketika mereka
menembus dinding pasir dan menjepitkan jepit besar mereka ke
tubuhku, mencoba membuatku remuk.
Tahukah kau bagaimana rasanya kalau kau mau mati, tanpa
punya kesempatan berubah jadi manusia lagi? Bagaimana rasanya
mati sebagai semut, terperangkap di neraka yang belum pernah
dikunjungi manusia?
Dan sekarang terbayang juga olehku anak-anak sigung.
Kelaparan. Menangis memelas, dan tangisan mereka justru jadi
semacam panggilan bagi binatang pemangsa.
"Sayang, kau baik-baik saja?"
Chapter 10
Chapter 11
Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa cari gampangnya saja. "Oke,
kita undi saja. Ax tak usah diundi, karena dia harus ikut masuk."
Jake menarik empat helai rumput panjang. Semuanya dipotong
sepanjang kira-kira lima belas senti. Kemudian satu di antaranya
dipotong lebih pendek lagi. "Yang dapat rumput pendek main petak
umpet dengan Yeerk."
Bagian bawah potongan rumput itu disembunyikannya dalam
genggamannya.
"Lain kali kita main yang lain ah," kata Marco sambil menarik
sehelai rumput. "Gundu, misalnya. Aku tidak suka permainan yang
taruhannya hidup atau mati."
Bergantian kami menarik rumput. Panjang. Kutatap lagi rumput
di tanganku. Ya, panjang.
Jake kelihatan kaget. Ternyata ia yang memegang rumput
pendek.
Kami semua kaget. Bagaimanapun, rasanya sudah otomatis
bahwa Jake akan selalu bersama kami.
Marco menyeringai. "Cepat atau lambat kita harus mencoba
melaksanakan misi tanpa kau, oh pemimpin besar yang tak kenal
takut."
Marco masih bisa bergurau. Tapi tak seorang pun dari kami
merasa tenang menyusup masuk tanpa Jake. Sekarang sudah terlambat
mengubah semuanya.
"Oke," kata Jake tegas. "Kalian sudah tahu apa yang harus
dilakukan. Aku akan berubah menjadi serigala. Para Yeerk akan
mengejar-ngejar serigala."
Jake berjalan pergi. Kemudian ia berhenti dan menoleh. "Hatihati, ya?"
"Pergilah, Mom," kata Rachel. "Kami bisa menanganinya.
"Paling tidak itulah harapan kami," gumamku.
Jake pergi dan sebentar saja sudah tak kelihatan.
Chapter 12
AKU tak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan sungutku yang
mencuat dari keningku.
Aku tak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan sepasang kaki
ekstra yang muncul dari samping kiri-kanan tubuhku.
Aku bisa merasakan, walau tak bisa melihat, bahwa kepalaku
sangat besar dibanding sisa tubuhku yang lain. Aku bisa merasakan
bahwa perutku menggelembung. Aku bisa merasakan capit besar yang
menggantikan mulutku.
Aku ingin menjerit. Aku ingin sekali menjerit, tapi aku tak lagi
punya suara. Aku tak lagi punya lidah.
Panjangku kurang dari setengah senti. Aku cuma sepanjang dua
atau tiga huruf di halaman ini. Butir-butir pasir kelihatan seukuran
bola boling bagiku. Dengan alat perabaku yang bergerak liar aku b isa
merasakan adanya sesuatu yang panjang, seperti batang pohon yang
roboh. Di atas kepalaku. Lambat laun aku menyadari itu hanyalah
sehelai daun pinus.
Aku menunggu naluri dan pikiran rayap menyatu dengan naluri
dan pikiranku. Tapi otak rayap tak mengirim sinyal apa-apa. Otak
rayap diam tak berfungsi.
Indra perabaku tak mengatakan apa-apa. Aku buta. Aku bisa
merasakan getaran suara, tapi samar sekali. Pendengaran rayap tidak
sebagus pendengaran saudaranya, si kecoak. Aku tahu. Aku kan
pernah jadi kecoak.
Satu-satunya yang kupunya hanyalah indra penciuman. Atau
sesuatu seperti bau yang datangnya dari sungutku yang melambai di
udara.
Chapter 13
RATU!
Aku bisa merasakan kekuasaannya. Ini dunianya. Semua rayap
ini budak-budaknya. Bukan hanya budakmereka tak punya
keinginan sendiri.
Sekali lagi aku menyadari siapa diriku. Tapi aku merasa lemah
dan putus asa. Aku tak sanggup menguasai tubuh rayapku. Tubuh ini
milik sang ratu.
Ia punya perintah-perintah untukkulindungi para rayap
pekerja pengangkut telur. Perintah itu datangnya dalam bentuk bau
dan perasaan yang samar-samar, tapi tak mungkin ditolak.
<Rachel,> panggilku. <Marco. Ax. >
<Aku...,> Rachel-lah yang menjawab dengan bahasa pikiran.
<Aku... aku... Oh, tidak. Tidak! Tidak!>
<Rachel! Ini gara-gara ratu. Ia menguasai kita,> kataku.
<Aku tak bisa... tubuhku... rasanya...>
<Marco! Marco, kau bisa mendengarku? Marco!>
<Dia sudah menguasaiku. Aku tak bisa menolak. Aku tak bisa
berhenti!> Marco menjerit putus asa.
Tubuhku sendiri menjauh dengan keenam kakiku.
Aku melangkah di belakang dua rayap pekerja. Masing-masing
menyangga satu telur lembek yang sangat berharga itu. Aku harus
melindungi mereka. Siapa tahu ada musuh. Kami berjalan melewati
tubuh ratu yang gendut. Menuju kepalanya.
Semut-semut. Mereka adalah musuh rayap. Kadang-kadang
mereka datang. Kadang-kadang mereka memenuhi terowongan,
mencari telur, membawanya pergi sebagai makanan mereka.
menyertai kami. Kami berhasil lolos melewati jalan kecil yang dijaga
dua Pengendali.
Tak seorang pun berteriak. Tak seorang pun menembak. Kami
berlari ke dalam hutan. Di situ Jake menggabungkan diri.
Tak ada yang banyak bicara dalam perjalanan pulang.
Chapter 14
Aku mau muntah rasanya. Tapi untuk itu aku harus turun dari
tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Padahal aku tak ingin
meninggalkan tempat tidurku lagi.
Aku suka binatang. Sepanjang hidupku aku dibesarkan bersama
mereka. Aku suka alam. Tapi apa yang sebetulnya kuketahui tentang
itu semua?
Aku sudah pernah menjadi lebih banyak binatang daripada yang
pernah dilihat oleh kebanyakan orang. Aku pernah melayang sebagai
burung osprey alias elang laut. Aku sudah meluncur di samudra
sebagai lumba-lumba. Aku sudah menyaksikan dunia lewat mata
burung hantu di malam hari, dan membaui angin dengan indra
penciuman serigala yang tajam. Aku sudah terbang jungkir-balik
dalam tubuh lalat. Kadang-kadang aku keluar malam hari, menuju ke
padang dan menjelma menjadi kuda yang berlari di antara rerumputan.
Dan binatang apa pun yang pernah kucoba, kalau tidak
pembunuh ya korban pembunuhan.
Dalam jutaan pertempuran di seluruh dunia, di semua benua, di
tiap jengkal tanah, ada pembunuhan. Dari harimau besar di Afrika
yang dengan darah dingin menerkam gazelle muda yang lemah,
sampai ke pertempuran yang terjadi di koloni rayap dan semut.
Dalam alam ini selalu ada pertempuran.
Dan di atas semua penghancuran itu, manusia saling bunuh,
sama seperti spesies lainnya, dan sekarang orang-orang yang sama
telah diperbudak dan dihancurkan oleh kaum Yeerk.
Alam dalam keadaannya yang paling indah. Binatang-binatang
lucu, menggemaskan, yang membunuh agar bisa hidup. Warna alam
bukan hijau. Tapi merah. Merah darah.
Kusadari air mataku bercucuran membasahi bantalku. Ingin
rasanya aku menangis keras-keras, tapi aku tak ingin membuat Rachel
bangun. Ingin rasanya aku menjerit, tapi orangtuaku pasti datang
tergopoh-gopoh. Dan apa yang bisa kukatakan pada mereka?
Chapter 15
Ibuku ke kantor. Ayahku pergi, entah ke mana, karena pickupnya tak ada. Aku membuat roti panggang dan minum air jeruk.
Kemudian aku juga menghabiskan sepotong piza yang tersisa.
Aku merasa resah dan aneh. Gelisah sekali. Seolah aku
kehilangan keseimbangan setelah kejadian kemarin.
"Rachel benar," kataku keras-keras, hanya supaya aku
mendengar suara. "Mereka cuma serangga. Rayap. Lagi pula, aku toh
berhasil lolos akhirnya."
Aku keluar dan merasakan sengatan matahari di kulitku. Kulit
manusiaku.
Tanpa berpikir aku masuk ke gudang jerami dan membuka
lemari es tempat kami menyimpan makanan yang gampang busuk
untuk binatang-binatang. Aku mengambil belalang beku dan
memasukkannya ke dalam saku. Kemudian aku menuju ke tepi hutan.
<Hei, Casssie,> ada yang menyapaku dengan bahasa pikiran
ketika aku melangkah bising dalam hutan. <Apa yang terjadi?>
Aku mendongak dan melihat Tobias melayang di atas. Ia
meluncur turun dan mendarat di dahan pohon. Cakarnya yang kuat
mencengkeram kulit dahan yang lembut.
"Tidak banyak," kataku.
<Kudengar semalam menegangkan.>
"Yeah? Siapa yang cerita?"
<Ax. Siapa lagi? Dia ngeri sekali kalau ingat kejadian
semalam.>
Aku berhenti berjalan. Caranya mengatakan "ngeri sekali"
mencurigakan. "Tobias, kau sudah ngomong dengan siapa lagi?"
<Mungkin Marco,> katanya.
"Dan Marco cerita aku jadi gila, begitu?"
<Sebetulnya, istilah yang dipakainya 'sableng.' Juga 'edan.' Dan
'sinting.' Tapi dia memaksudkannya dalam pengertian yang baik,
kok.>
"Ya."
<Aku bisa menunjukkan tempatnya.>
Aku kaget. Sesaat aku menolak memahami apa yang diucapkan
Tobias. Aku tak ingin berpikir kenapa Tobias... yah, elang ekor merah
pasti tahu di mana persisnya lokasi segerombolan bayi sigung..
Beberapa kali kutarik napas dalam-dalam. Kuusahakan agar
suaraku terdengar biasa-biasa saja. "Apa mereka masih hidup?"
<Tinggal empat yang masih hidup,> kata Tobias.
Aku merasakan luapan emosi yang jarang kurasakan. Darahku
mendidih. Aku memandang marah pada Tobias. Memandang
cakarnya yang tajam. Memandang paruh bengkoknya yang jelek.
Bisa kubayangkan apa yang terjadi. Caranya menukik turun,
mengulurkan cakarnya ke depan, menyambar si bayi sigung tak
berdaya dari tanah dan...
Tubuhku gemetar. Kukepalkan kedua tanganku, agar tidak
gemetaran.
"Aku akan menyelamatkan yang tersisa," kataku. Suaraku
terdengar seperti suara orang lain.
<Aku akan membantumu,> kata Tobias.
Chapter 16
Aku tahu aku cuma bisa menjadi sigung selama dua jam. Tapi
meskipun aku baru bangun beberapa jam sebelumnya, kini aku merasa
mengantuk. Acara pemberian makan sudah selesai. Bayi-bayi sigung
ini tidak akan kelaparan. Dan aku merasa mengantuk dan sangat,
sangat damai.
Bahkan dalam tidurku aku tahu apa yang sedang terjadi padaku.
Tahu kan, aku sangat cinta binatang. Dari dulu. Tapi sekarang, kurasa
aku kehilangan rasa cintaku.
Alam tidak selalu lucu dan berbulu lembut. Yang kuat makan
yang lemah. Yang lemah makan yang lebih lemah lagi. Itulah yang
dilakukan para Yeerk: mencoba memangsa makhluk paling unggul di
Bumi, yakni manusia atau Homo sapiens.
WHUMP!
"Hei! Hei! Kau di dalam situ? Cassie!"
Aku terbangun. Gelap. Di manakah aku? Di dalam
kamarkukah? Apakah aku... oh, astaga, apakah aku dalam koloni
rayap?!
Keempat bayi sigung masih tidur, menempel di tubuhku. Aku
berada dalam sarang sigung. <Apa?> kataku.
"Ini aku, Jake. Cassie, keluar dari situ. Sekarang juga! Kau
sudah hampir dua jam jadi sigung!"
Aku langsung bangun seratus persen. Aku melesat keluar dari
lubang dan segera memulai proses metamorfosis ke wujud asalku.
Jake berdiri di depan lubang bersama Marco. Tobias bertengger
di dahan pohon di atas mereka.
Aku sudah pernah melihat Jake marah. Tapi belum pernah aku
melihatnya semarah ini. "Kau pikir apa yang kaulakukan?!" teriaknya,
tanpa menunggu aku jadi manusia. "Sepuluh menit saja terlambat, kau
akan menghabiskan sisa hidupmu sebagai sigung!"
<Aku ketiduran,> kataku. Mulutku belum sepenuhnya
terbentuk.
"Kau sudah sinting ya? Kenapa sih kau ini?" Aku tak pernah
tahu bahwa ada urat di dahi Jake yang langsung menonjol kalau ia
marah.
"Aku minta maaf," gumamku setelah selesai bermetamorfosis.
Ia masih belum mau memaafkanku. "Kita punya kemampuan
ini bukan untuk hal-hal seperti itu. Kita tidak akan mencoba
menyelamatkan sigung-sigung merana di dunia," Jake mengomel.
"Kita ini pasukan. Pasukan kecil yang lemah dan menyedihkan.
Anggota kita cuma enam. Tobias sudah terperangkap jadi elang. Tapi
dia terperangkap ketika sedang melawan Yeerk. Aku tak percaya kau
nyaris terperangkap hanya gara-gara sigung!"
Marco melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahu
Jake, setengah menariknya ke belakang. "Sudahlah, Jake. Dia sudah
selamat."
"Berkat Tobias," tukas Jake. "Bukan karena dia sendiri."
Aku tak tahu harus bilang apa. Aku terlalu kaget. Dan terus
terang saja, aku sebetulnya ngeri juga memikirkan apa yang nyaris
saja terjadi.
"Marco, Tobias, kalian jalan-jalan dulu. Oke?" kata Jake.
Kemudian ia berbalik menghadapiku. Wajahnya cuma beberapa senti
dari wajahku. "Aku tahu pengalamanmu semalam benar-benar
mengerikan. Aku ada di sana. Aku sendiri sampai mimpi buruk. Aku
tahu apa yang ada dalam pikiranmu sekarang."
"Aku tidak apa-apa," gumamku.
"Diam dulu dan dengarkan aku," katanya. Tapi kemarahannya
sudah reda. "Aku sayang padamu, Cassie. Kami semua
menyayangimu. Dan kami semua membutuhkanmu."
"Supaya bisa menang?" tanyaku. "Kalian membutuhkanku
untuk ikut bertempur? Bagaimana kalau aku tak mau lagi bertempur?
Bagaimana kalau aku menganggap semua ini sudah cukup untukku?
Yang kulakukan memang sudah cukup."
Chapter 17
"WAH, ini sih bukan cuma sekadar sinting," kata Marco. Masih
hari yang sama, Minggu malam. Kami semua berkumpul di depan
sarang sigung. "Kita akan membesarkan bayi sigung kecil yang bau
ini?"
"Apanya yang sinting?" tanya Rachel tajam. Rachel yang baik.
Ia pasti berpendapat ini ide sinting juga. Tapi ia sahabatku, dan selalu
membelaku.
"Mereka kan sigung," kata Marco, sambil memandang
bergantian dari Rachel ke Jake, lalu ke Ax, seakan ia satu-satunya
orang normal di bangsal rumah sakit jiwa.
"Mereka kan lucu," kata Rachel, mendelik pada Marco dan
kelihatan seperti cewek yang belum pernah menggunakan kata "lucu".
"Ah, begitu. 'Lucu.' Sekarang jelas jadinya."
Jake menyela, "Cassie tidak bisa membawanya ke klinik. Nanti
mereka jadi terbiasa dengan manusia. Mereka masih kecil.
Pengalaman ini akan membekas bagi mereka. Jadi kita memelihara...
sigung-sigung inisampai mama sigung pulang dari rumah sakit."
<Apakah sigung binatang keramat bagi manusia?> tanya Ax.
"Semua binatang keramat bagi Cassie," kata Marco. "Dia kan
gabungan Dokter Doolittleitu tuh dokter yang ngerti bahasa
binatang dan bisa bicara dengan merekadan tokoh penyayang
binatang yang muncul dalam acara Flora dan Fauna."
<Tapi kalian makan beberapa binatang,> kata Ax. <Sapi,
kambing, ayam, anjing.>
"Kami tidak makan anjing!" protesku.
Chapter 18
Chapter 19
<Dan kita punya waktu satu jam untuk membantu orang ini,>"
kata Ax. Kemudian ia memusatkan pandangan kedua mata tanduknya
ke sarang sigung. <Anak-anak sigung ini tepat berada di jalur yang
akan dibabat mereka, kalau ucapan Tobias benar.>
Aku mengira Marco akan menyindir bahwa siapa yang peduli
pada sigung pada saat seperti ini. Maka betapa herannya aku ketika ia
berkata, "Hei, tak ada yang boleh mengganggu sigung. Mereka di
bawah perlindungan resmi Animorphs." Ia mengedip padaku sambil
memberi hormat dengan tangan terkepal. "Selamatkan Sigung,Earth
Sisteri"
Marco memang kelewatan. Tapi, saat kau mengira ia akan
membuatmu marah, ia malah membelamu.
"Yeah, mereka sigung kita," kata Rachel. "Tak ada yang boleh
mengganggu sigung kita."
"Hei-hei-hei!? Halo?" Jake memotong. "Apa rencana kita?!
Apa, nih?"
"Begini...," aku mulai berkata.
"Apa?" tanya Jake.
Aku mengangkat bahu. "Kalau Mr. Farrand kuncinya, kita perlu
merebut kunci itu. Betul, kan? Kemungkinan mereka akan mematikan
force field agar Mr. Farrand bisa masuk kompleks. Saat itulah kita
menjauhkannya dari para Yeerk. Apa pun risikonya."
"Pegang Mr. Farrand," kata Marco. "Sederhana. Bagus. Tapi,
kalau kita perhitungkan kekuatan Yeerk di kompleks itu, ini berarti
bunuh diri. Aku heran padamu, Cassie. Biasanya kan Rachel yang
mengajukan usul-usul bunuh diri."
"Kau punya ide yang lebih baik?" tanya Jake pada Marco.
"Kita bisa pulang dan nonton TV."
"Dengan jawaban itu kuandaikan tak ada rencana lain yang
lebih baik." Jake menggosok-gosok kedua tangannya. "Baik. Kalau
begitu kita tangkap Mr. Farand begitu dia muncul. Sementara itu, kita
harus memperlambat acara tebang pohon ini."
Rachel menyeringai. "Asyik," ujarnya.
Aku pusing.
Chapter 20
lebih baik kalau aku makan tikus beku yang kalian beli dari toko
makanan hewan, yang mendapatkan tikus itu dari para manusia
pemburu tikus?>
<Begini, Tobias, aku tahu apa yang berlangsung di alam ini.
Aku tahu tentang hewan-hewan pemangsa yang membunuh
mangsanya. Hanya saja semua itu... semua itu sungguh
membingungkan. Maksudku, bagaimana kita bisa bilang mana yang
benar atau mana yang salah dalam hal ini?>
Bulu lembut seputih salju tumbuh memenuhi bagian depan
tubuhku, menggantikan baju seragam metamorfosisku. Kakiku
berubah menjadi cakar abu-abu pucat.
<Aku tak tahu. Mungkin jika aku berkeliling membunuhi
binatang-binatang, padahal nantinya tidak kumakan, nah, itu salah.
Tapi elang punya hak untuk hidup, sama dengan tikus atau sigung.>
Mata manusiaku mulai berubah menjadi mata elang yang
penglihatannya sangat tajam. Tapi aku mengalami gangguan dalam
mengenali warna karena mata elang laut didesain untuk melihat
menembus air. Elang laut makan ikan. Alam mendesain matanya
untuk melihat ikan, bahkan ikan yang berada di balik permukaan air
danau atau sungai yang berkilauan.
<Siap terbang?> tanya Tobias.
Kukepakkan sayapku beberapa kali. <Ayo, berangkat,> ajakku,
berusaha kedengaran gagah seperti Rachel.
Tobias mengepakkan sayapnya, berhasil menembus angin sakal
yang berlawanan arah, dan tiba-tiba saja langsung melesat hampir
lurus ke atas. Kukembangkan sayapku dan kugerakkan otot-otot
terbangnya yang tak kenal lelah. Plak, plak, plak, dan aku pun berhasil
melawan angin sakal itu. Aku terbang ke atas pepohonan. Kemudian
angin yang lebih kencang bertiup dan aku melesat tinggi.
Chapter 21
VISSER THREE.
Pemimpin penyerbuan kaum Yeerk ke Bumi. Satu-satunya
Yeerk di seluruh jagat yang bisa menguasai tubuh Andalite. Satusatunya Yeerk di jagat raya yang punya kemampuan untuk
bermetamorfosis.
Seharusnya aku tidak terkejut ia menjelma menjadi manusia.
Pilihan yang logis, kan.
Tapi aku toh marah besar. Tidak masuk akal memang, tapi aku
tetap marah. Ia manusia palsu. Ia menggunakan DNA manusia dan
bentuk manusia sebagai bagian dari rencananya untuk memperbudak
umat manusia.
<Visser Three,> kataku pada Tobias.
<Yeah,> ia menimpali. <Dia kelihatan normal. Hanya saja dia
membuat kita ngeri.>
<Perasaanku tidak enak,> kataku. <Kukira mereka tidak akan
menunggu lama-lama. Kukira mereka akan langsung menguasai Mr.
Farrand.>
Mr. Farrand berjalan menghampiri Visser Three, tangannya
masih melambai serabutan ke arah mesin-mesin berat yang sedang
menebang pepohonan. Visser Three tersenyum. Bukan senyum yang
ramah. <Di mana Jake dan yang lain?> tanya Tobias.
<Oh, ya ampun,> kataku. <Pasti sebentar lagi...>
Tiba-tiba saja Visser Three menyerang. Ditamparnya pipi Mr.
Farrand. Laki-laki itu terhuyung ke belakang. Tangannya memegang
pipinya.
Duniaku jadi sempit dan gelap. Aku tak lagi bisa melihat
sesuatu yang jauh. Aku hanya bisa memfokuskan pandangan ke tanah
di depanku.
Seekor semut merayap di depanku, membawa serangga mati.
Mungkin aku membayangkan yang tidak-tidak, selagi aku nyaris
pingsan begini. Mungkin otakku merekayasa hal-hal yang sebetulnya
tidak ada. Tapi aku hampir pasti bahwa serangga mati yang diseret
semut tadi adalah bangkai kering si ratu rayap.
Dan kemudian semua menjadi gelap.
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24