Anda di halaman 1dari 125

Chapter 1

NAMAKU Cassie.
Aku tak bisa memberitahumu nama belakangku. Sayang sekali.
Soalnya namaku sebetulnya cukup bagus lho.
Dan aku juga tak bisa bilang di mana aku tinggal atau nama
lengkap teman-temanku. Kenapa? Karena musuh tak pernah berhenti
memata-matai kami.
Musuh. Bangsa Yeerk. Mereka ada di mana-mana.
Bangsa Yeerk: spesies parasit dari planet yang jauh. Tampilan
mereka sih cuma seperti keong abu-abu tanpa rumah. Kau bisa
menggilasnya hancur dengan kakimu dan ia tak akan berdaya
mencegahmu.
Tapi kaum Yeerk tidak hidup seperti keong. Seperti telah
kubilang tadi, mereka parasit. Mereka menyusup ke dalam kepala
spesies lain, melebarkan diri seperti kulit martabak, dan membungkus
otak spesies yang ditempelinya. Dan kemudian mereka menguasai
spesies itu.
Itulah yang kami sebut Pengendali. Manusia yang sebetulnya
sudah bukan manusia lagi. Atau anggota spesies lain yang sudah
dikontrol oleh Yeerk di dalam kepalanya.
Mungkin bagimu ceritaku ini kedengarannya sinting. Kayaknya
jika aku jadi kau, aku juga akan menganggapnya cerita gila. Tapi
kadang-kadang hal yang paling gila sekalipun ternyata benar.
Bangsa Yeerk sudah ada di sini. Di mana-mana. Kalau
menurutmu kau tidak kenal seorang pun Pengendali, mungkin kau
keliru.

Sopir mobil jemputan sekolah, polisi dalam mobil patrolinya,


penyiar TV, penyanyi rock favoritmu, orang yang tersenyum padamu
saat kau bersepeda melewatinyasalah satu dari mereka bisa saja
Pengendali. Gurumu, temanmu, adikmu, ayahmu, ibumu. Siapa saja
deh. Semua bisa. Dan kau takkan pernah tahu. Sampai sudah
terlambat.
Sampai sudah terlambat bagi planet Bumi.
Kami melawan mereka. Tapi kami cuma segelintir anak ABG
Jake, Rachel, Marco, Tobias, Ax, dan aku. Kami punya kekuatan
ajaib, tapi kami tahu, kami sendiri tak mungkin memenangkan
pertempuran ini. Kami terus bertempur dengan harapan bahwa suatu
harisesegera mungkinkaum Andalite akan datang lagi dan
membantu kami.
Seorang pangeran Andalite bernama Elfangor-lah yang
memberi kami kekuatan ajaib. Saat itu ia hampir mati. Ia ingin
melakukan sesuatu untuk menyelamatkan umat manusia yang sudah di
ambang malapetaka.
Ia memberi kami kekuatan untuk morphbermetamorfosis.
Kemampuan untuk menyerap DNA binatang apa saja yang kami
sentuh. Kemampuan untuk berubah wujud menjadi binatang itu.
Maka kami melawan para Yeerk dan Pengendali mereka. Para
Pengendali-Manusia yang mungkin dulunya teman-teman dan saudara
kami. Para Pengendali-Taxxon yang jahat dan kanibal, ulat raksasa
dengan mulut menganga dan bau. Dan makhluk berbahaya,
mematikan, tapi dulunya baik, yang disebut Hork-Bajirprajuritprajurit budak kerajaan Yeerk.
Dan kami bertempur melawan Visser Three. Pemimpin kaum
Yeerk yang menyerbu Bumi. Satu-satunya Pengendali-Andalite yang
ada. Satu-satunya Yeerk yangseperti kamibisa berubah wujud.

Visser Three-lah yang menewaskan Elfangor. Ia pembunuh.


Penghancur. Makhluk yang akan menjadikan semua manusia
budaknya dan membinasakan planet kita.
Kecuali kalau ada yang bisa mencegahnya. Kecuali kalau kami
bisa mencegahnya.
Kami, lima anak biasa dan seorang anak Andalite bernama Ax,
melawan kekuatan super kerajaan Yeerk. Kami menamakan diri kami
Animorphs.
Sebetulnya kami hanya boleh menggunakan kekuatan kami
untuk melawan Yeerk. Tapi ada saatnya kekuatan itu berguna untuk
hal-hal lain.
Aku sedang di sekolah bersama sahabatku, Rachel. Kami
berada di ruang lab yang suram dan gelap. Bel pulang sudah berbunyi
dan anak-anak berhamburan dengan kecepatan tinggi, menuju mobil
jemputan atau mobil orangtua mereka.
Kau tahu kan, bagaimana keadaannya jika pas pulang sekolah
dan kau sudah ingin pulang. Tapi belakangan ini tugas sekolahku
kacau-balau. Soalnya aku sibuk sekali sih. Ayahku punya Klinik
Perawatan Satwa Liar di gudang jerami kami. Aku membantu di sana,
merawat binatang-binatang yang sakit atau terluka. Masih ditambah
lagi dengan urusan Animorphs yang menyita banyak waktu.
Singkat cerita, sekarang aku harus menyelesaikan proyek ilmu
alam. Aku membuat mazejaringan jalan yang ruwetuntuk tikus
yang kuberi nama Courtney. Kupikir proyek menyelidiki binatang ini
akan mudah bagiku. Aku kan sudah pernah jadi berbagai binatang,
lebih banyak jenisnya daripada yang pernah dilihat anak-anak lain.
Si Courtney diharapkan bisa mencari jalan dan tiba di ujung
jaringan jalan. Di ujung itu sudah kuletakkan kacang-kacangan yang
gurih dan harum. Kemudian aku akan menuliskan laporanku.
Seberapa susahnya sih proyek kayak begitu?

Rachel menatapku. Ia mengentak-entakkan kaki dengan tak


sabar. Dipandangnya arlojinya. Kemudian dipandangnya jam dinding.
"Eh, kau tahu tidak, sudah lewat sepuluh menit dari jam pulang, dan
aku masih di sekolah. Wah, tidak benar nih. Tidak wajar."
"Kenapa sih dia tidak bisa mencari jalan?" tanyaku keras. "Apa
sih masalahnya?"
"Tikusnya bloon? Ehm, maksudku, mungkin tikusmu ini tidak
terlalu cerdik. Itu bisa jadi judul kertas kerjamu'Tikusku yang
Bodoh'."
"Apa sih kesulitanmu?" tanyaku pada si tikus, sama sekali tidak
mengacuhkan Rachel. Kuangkat Courtney dari kandangnya dan
kuletakkan di jaringan ruwet berdinding karton tinggi. "Endus
kacangnya. Endus kacangnya, lalu ikuti bau itu sampai ke ujung
jalan."
Courtney menatapku dan menggerak-gerakkan cuping
hidungnya.
"Bukan itu jawabannya," kataku. "Aku perlu nilai ini.
Bagaimana aku harus menjelaskan pada orangtuaku bahwa aku dapat
D karena kau tidak berhasil mencari jalan?"
"D!" seru Rachel menirukan. "Kaupikir kau akan dapat D? No
way."
"Rachel, kaupikir kenapa aku di sini? Karena aku mau cari
tambahan nilai dari A jadi A+? Ya. Aku bisa dapat nilai D gara-gara
tikus ini. Orangtuaku pasti akan ngomel berminggu-minggu. 'Di mana
salah kita? Kita gagal sebagai orangtua. Kita harus menghabiskan
lebih banyak waktu bersama Cassie, membantunya mengerjakan PR
setiap malam.'"
Rachel bergidik membayangkan masa depan yang
menyeramkan itu.
"Hei," kata Rachel. "Gimana kalau kau morph jadi tikus saja?
Mungkin kau bisa tahu apa kesulitannya."

"Bisa sih," kataku pelan. "Tapi kalau Jake sampai tahu... Kau
kan tahu peraturannya: Dilarang bermetamorfosis kecuali kalau perlu
sekali."
Rachel mengangkat bahu. "Aku perlu sekali pulang sekarang.
Kau perlu sekali mendapat nilai baik. Jadi... ada dua hal yang perlu
sekali, kan?"
Seharusnya tidak kubiarkan diriku terbujuk rayuan seperti itu.
Tapi aku sendiri juga sudah punya pikiran begitu sih. Begitulah
asyiknya Rachel, ia selalu siap membujukmu melakukan perbuatan
yang dilarang.
"Kau juga harus jadi tikus," kataku.
"Kenapa? Kenapa aku harus jadi tikus?"
"Ingat tidak, waktu kau mau menakut-nakuti pawang gajah?
Saat itu aku kan membantumu. Lagi pula, kita tak bisa pulang
sebelum aku berhasil memecahkan masalah ini."
Rachel memutar-mutar bola matanya. "Oookei. Tidak masuk
akal sebetulnya, tapi apa boleh buat. Ayo berubah, supaya cepat
beres."
Menyerap DNA binatang tidak rumit. Kau tinggal
menyentuhnya dan konsentrasi pada si binatang. Binatang itu akan
merasa mengantuk, teler. Dalam semenit segalanya sudah beres, dan
pola DNA baru sudah berenang-renang dalam darahmu.
"Kayaknya ini ide tolol deh," komentar Rachel.
Aku sedang menumpuk buku, membuat tangga, agar kami bisa
memanjat masuk ke dalam jaringan jalan jika sudah jadi tikus nanti.
"Yah, ini kan idemu, Rachel."
"Oh, yeah. Ideku. Memangnya aku peduli bagaimana tikus
menemukan ujung jalan yang ruwet itu. Ayo, segera kita bereskan,
sebelum ada orang yang mencari-cari kita," katanya. Ia sudah mulai
berubah.

Aku memusatkan pikiran, membayangkan tikus. Dan


kemudian... aku merasa mulai berubah.
Aku mengecil. Menyusut dengan sangat cepat. Sebagai
manusia, aku tidak terlalu besar. Malah aku bisa dibilang pendek. Tapi
jelas aku jauh lebih besar daripada tikus, jadi lumayan juga perubahan
ukuranku.
T-shirt dan jeans-ku tiba-tiba kedodoran.
Aku memandang Rachel. Misai panjang bermunculan di
sekeliling mulutnya yang masih berbentuk mulut manusia.
Sisi lemari di sebelahku makin lama makin tinggi. Sebetulnya
ukurannya cuma kira-kira semeter. Tapi segera saja lemari itu seolah
sama tinggi dengan gedung bertingkat tiga. Serat kayunya seperti pola
pusaran besar, seperti lukisan dinding yang aneh. Kotak-kotak lantai
ukuran tiga puluh sentimeter persegi yang berwarna hijau kecokelatan
serasa dua kali lebih besar, tiga kali, lalu empat kali, sampai akhirnya
masing-masing kotak serasa seluas tempat parkir.
Sementara aku mengecil, pakaianku menggelepar menutupiku
seperti tenda sirkus yang ambruk.
Kulitku jadi abu-abu bersemu merah jambu, kemudian tiba-tiba
dipenuhi bulu-bulu putih. Kakiku mengerut. Wajahku
menggelembung seperti jerawat yang nyaris meletus. Hidungku
mencuat ke depan, makin lama makin panjang. Mukaku jadi runcing.
Dan kemudian, naluri tikus menggantikan naluriku.
Pendengaranku mendadak jadi tajam, begitu juga penciumanku.
Dan naluri tikus menutupi naluri manusiaku, membawa pesan
ketakutan dan lapar dan ketakutan yang lebih besar.
<Iiih!> komentar Rachel. <Binatang kecil ini gugupan banget,
ya.>

Chapter 2

MATA tikus tidak lebih tajam dari mataku. Lebih jelek malah.
Seperti mata banyak binatang lain yang pernah kutiru, mata tikus juga
lebih baik untuk melihat gerakan daripada membedakan warna dan
bentuk. Tak ada yang bergerak, jadi penglihatanku seperti... entahlah,
yang jelas membosankan.
Tapi aku bisa melihat Rachel dengan cukup jelas. Kami berasal
dari DNA tikus yang sama, jadi pada dasarnya kami tikus yang sama.
Aku bisa melihat ekornya yang pelontos, panjang, dan merah jambu.
Ekor itulah yang membuat orang benci tikus, dan menganggap tupai
lebih manis.
Ekor itu, ditambah fakta bahwa tikus kadang-kadang suka
menggerigiti manusia.
Pendengaran tikus amat tajam, tetapi penciumannyalah yang
luar biasa. Kukedutkan hidung tikusku yang kecil dan seluruh dunia
seakan mengirim pesan padaku.
Aku mencium bau zat-zat kimia dalam lemari. Aku mencium
sisa bau keringat ratusan anak yang pernah melintasi ruangan ini hari
ini. Aku bahkan mencium bau kacang-kacangan yang gurih di dalam
jaringan jalanku, di atas meja.
Kurasakan otak tikus dalam diriku sudah lebih menonjol
daripada otak manusiaku. Naluri tikusku mulai menguasai. Aku
merasa takut. Bukan takut yang mendadak seperti yang dirasakan
manusia. Melainkan ketakutan abadi binatang kecil dalam dunia yang
penuh pemangsa besar-besar.

Aku juga merasa lapar. Kelaparan seekor binatang kecil yang


akan menghabiskan seluruh hidupnya, setiap menit, untuk mencari
makanan.
Aku juga merasakan kecerdasannya.
Kalau kau berubah wujud menjadi binatang, biasanya kau tidak
mendapatkan ingatannya, tapi kau memperoleh nalurinya.
Kemampuan dasarnya.
Tikus yang ini sangat gugup. Ia takut berada di tempat terbuka.
Ia ingin berada di dekat dinding sehingga musuh akan lebih sulit
menyerangnya. Kuanggap itu bukan naluri yang jelek.
<Mungkin sebaiknya kita cari tempat yang lebih aman?> aku
bertanya pada Rachel dengan bahasa pikiran.
< Oh, ya, tentu saja,> ia setuju.
Kaki-kaki tikus kami yang kecil segera beraksi dan bergerak
pergi. Sebetulnya sih tidak cepat, tapi terasa cepat sebab kami berada
begitu dekat dengan lantai. Hidungku cuma kurang sesenti dari lantai
linoleum. Sementara aku berjalan kulihat dinding tinggi menjulang di
depankuternyata itu sisi-sisi meja lab. Dan aku melihat hutan
dengan batang-batang pohon yang jarang-jarangsebenarnya sih itu
kaki-kaki meja.
Aku meluncur ke sudut tembok, dengan Rachel menguntit di
belakangku.
<Ekormu jelek banget,> kata Rachel. <Maksudku, aku kan juga
tikus, tapi tetap saja menganggap ekormu itu jelek.>
Kemudian kulihat meja yang di atasnya terletak jaringan
jalanku. Courtney yang asli ada di atas sana. Aku mempelajari situasi.
<Kurasa kita bisa memanjat ranselku untuk naik ke kursi.
Kemudian ke atas sweterku, lalu meloncat ke atas meja.>
<Aku sih ikut saja,> ujar Rachel. <Ayo maju, Cewek Tikus.>
Tubuh tikus ternyata lincah sekali untuk memanjat dan merayap
naik ke atas meja. Kalau melihat tubuhnya yang gemuk pendek dan

kakinya yang buntek, pasti kau tidak mengira tikus bisa memanjat
selincah itu. Tapi aku yakin tikus bisa pergi ke mana saja ia mau.
Aku melihat tumpukan buku yang sudah kuatur menyerupai
tangga untuk naik ke dinding luar jaringan jalanku. Sekarang setelah
aku jadi tikus, dinding itu jadi dinding sungguhan. Tingginya serasa
tiga meter. <Coba selidiki jaringan jalanmu,> kata Rachel. <Aku akan
menunggu di sini.>
Cepat-cepat aku merayap naik tumpukan buku. Gambar di
sampul buku ilmu alamku kelihatan seperti mosaik raksasa yang
terbuat dari ubin berwarna.
Aku tiba di atas dan memandang jaringan jalanku. Aku tahu aku
bisa meloncat ke bawah, ke selasar panjang itu, tapi saat itu aku takut.
Aneh memang, tapi aku cemas kalau-kalau ketemu Courtney yang
asli. Aku selalu merasa aneh saat menggunakan tubuh binatang. Aku
merasa sedikit bersalah.
Tapi aku punya tugas. Aku harus mencari jawaban kenapa
Courtney tidak bisa menemukan kacang-kacang itu. Seharusnya ia kan
bisa membauinya...
<Hei! Astaga! Aku juga tak bisa membauinya. Sama sekali
tidak.>
<Membaui apa?> tanya Rachel.
<Kacang-kacang itu. Aku tak bisa membauinya.>
<Masa bodoh ah.>
<Justru itu masalahnya,> kataku.
Aku memandang berkeliling, bingung. Kemudian baru kusadari
ada tiupan angin. Kuarahkan mata tikusku ke atas. Di atas sana, serasa
berkilo-kilo meter jauhnya, sejauh bulan, ada kipas angin.
Jika aku punya bibir, pasti aku sudah tersenyum. <Kipas angin
itulah penyebabnya. Anginnya menerbangkan bau kacang-kacang
itu.>
<Bagus. Bisakah kita pulang sekarang?>

Saat aku sedang berpuas diri dengan penemuanku itu, dua hal
terjadi bersamaan. Yang pertama, CourtneyCourtney yang asli
melesat dari sudut jaringan jalan.
Yang kedua, aku mendengar gubrakan keras, raungan tawa, dan
dentuman kaki-kaki yang mendekat.
Courtney membeku dan menatapku. Aku balas menatapnya.
Kemudian aku menatap Rachel. Rachel juga membeku, sama seperti
aku.
"HEI, LIHAT! ADA TIKUS!" terdengar teriakan keras sekali.
Suara cowok, aku yakin. Aku tidak mengenali suara siapa, tapi aku
mengenali nadanya. Ia sedang cari gara-gara.
"IDIH, JIJIK!" terdengar teriakan lain. "MESTINYA TIKUS
DIBASMI. AKU BENCI TIKUS!"
Dua cowok iseng. Dua cowok yang sedang mencari-cari sesuatu
yang bisa dirusak atau dihancurkan.
Mereka tentu saja merupakan dua makhluk yang amat sangat
besar dibandingkan dengan kami, tikus-tikus kecil.
Tiba-tiba muncul bayangan! Disusul getaran. Gerakan besar!
DUK!
Meja bergetar seperti kena gempa besar!
PLAK! DUK!
Ada bayangan yang bergerak cepat, mengarah tubuhku. Aku
meloncat!
PLAK!
Daun meja melompat akibat kena pukulan tangan si cowok
yang jatuh di dekatku.
Kurasakan jaringan jalanku diangkat, sehingga berubah miring.
Kulihat bagian jaringan jalanku yang semula lantai kini jadi dinding.
Courtney terjatuh dari dalam jaringan itu ke atas meja.
"INI DIA! CEPAT, AMBIL SAPU!"
<Kabur!> jerit Rachel.

<Lari!> teriakku.
BLUK!
Benda sebesar batang cemara menggebuk permukaan meja.
Gagang sapu. Gagang kayu itu menyapu meja, menghampiri kami.
Aku meloncat. Tikus tidak suka meloncat, tapi kalau terpaksa
mereka bisa juga.
Hup! Aku meloncati gagang sapu, dengan Rachel tepat di
sebelahku. Aku melihat Courtney meluncur ke jurusan lain.
Lari! Lari! Lari! Rachel dan aku bergerak dengan kecepatan
paling top yang bisa dicapai tikus.
Menuju tepi meja!
Rasanya seperti berdiri di lantai atas gedung bertingkat empat.
Lantai di bawah kelihatan jauuuh sekali.
Kemudian muncul bayangan lagi! Sirkulasi udara terhambat!
Tak ada waktu untuk menoleh! Tak ada waktu untuk berpikir!
<Aaaaahhhh!>
<Aaaaahhhh!>
Kami berdua meloncat dari tepi meja tepat ketika gagang sapu
itu menggebuk tempat kami berada tadi.
Kami serasa mengawang-awang, lama sekali. Seperti terjun
payung. Lantai linoleum seperti sawah-sawah aneh yang terhampar di
bawah kami.
Aku terbanting keras di lantai. Kakiku tidak merasakan
akibatnya, karena terlalu pendek. Perutkulah yang menyangga seluruh
beban. Akibatnya aku pingsan.
Saat aku mulai sadar kembali, aku menyadari kedua cowok itu
tidak mengejar aku dan Rachel. Mereka mengurung Courtney di
sudut. Menyodok-nyodoknya dengan gagang sapu.
<Astaga,> kataku. <Kalau kita selamat, Jake akan membunuhku
gara-gara ini.>

<Aku sudah capek lari-lari,> keluh Rachel. <Yuk, kita tendang


pantat mereka.>
Rachel memang begitu. Kami berdua paling-paling panjangnya
cuma tiga puluh senti, itu pun kalau panjang ekor dihitung juga. Dan
bisanya ia hendak menyerang cowok-cowok yang seukuran Godzilla.
Tapi tahukah kau? Aku juga sudah capek lari. Dan aku tak
mungkin membiarkan Courtney yang malang dibunuh. Ia bukan
sekadar tikus percobaan. Bagiku, sekarang ia sudah jadi semacam
saudara tikus.
Aku mengincar kaki cowok yang paling dekat. Ukurannya
sebesar batang pohon redwood, cuma saja warna batangnya tidak
merah melainkan biru. Biru celana jeans.
<Apa kau punya pikiran sama denganku?> tanyaku pada
Rachel.
<Aku sepaham denganmu,> sahutnya.
Kami menyetir kaki-kaki tikus kami dan meluncur ke depan.
Makin lama makin cepat, secepat kami bisa. Dan ternyata cukup
cepat.
Naik ke kaki celana! Sekilas kulihat kulit di atas kaus kaki.
Nah, itu sasaranku. Cakar kecilku mencengkeram kaus kaki olahraga,
lalu aku meluncur naik.
Rasanya seperti memasuki terowongan. Kain jeans yang kasar
menggores kepala dan punggungku. Daging merah jambu terasa lunak
di bawah tubuhku. Kubenamkan cakarku, baik yang depan maupun
yang belakang, ke kaki besar berbulu itu, lalu aku meluncur ke bagian
belakang kakinya.
"AAAAAAHHHHHH!"
Tiba-tiba saja cowok itu tak tertarik lagi pada Courtney.
"AAAAAAHHHHHH! TIKUSNYA MERAYAP DI KAKIKU!
LEPASKAN! LEPASKAAAAN!"

"TIDAAAAK! OH! OH! OH!" cowok satunya menjerit-jerit


ketika Rachel menyerang.
<Yaaahhhh!> teriakku, ketika kaki itu dengan serabutan
diayun-ayunkan. Aku terbanting ke d inding celana jeans. Sekuat
tenaga aku berusaha bertahan ketika cowok itu menjerit-jerit sambil
berlari dan menggoyang-goyangkan kakinya seperti orang gila.
"AAAAAHHH! AAAAAHHH! AAAAAHHH!"
Kami keluar dari lab ilmu alam, menuju koridor. Kedua cowok
itu masih terus menjerit-jerit.
Aku berbalik, dengan susah payah, dan meluncur turun. Lalu
meloncat keluar. Meninggalkan pipa celana, menuju kebebasan.
Yang terakhir kulihat, kedua cowok itu masih berlari dengan
panik.
Aku tak pernah melihat Courtney lagi. Kurasa ia sudah
menemukan tempat tinggal di balik dinding sekolah. Tapi paling tidak
aku sudah tahu kenapa ia tidak berhasil menemukan ujung jaringan
jalan itu.
Rachel dan aku menemukan tempat yang aman untuk berubah
wujud. Kemudian kami ke rumahnya dan mengeriting rambut adik
perempuannya. Kesibukan rutin yang biasa.

Chapter 3

MALAM itu semua datang. Kami biasa berkumpul di Klinik


Perawatan Satwa Liar, yang juga merupakan gudang jeramiku.
Kami berkumpul sekali atau dua kali seminggu. Bisa lebih
sering lagi jika sedang ada "misi" khusus. Aku kaget ketika Jake
menelepon dan memberitahu kami harus berkumpul, karena
pertemuan kami yang terakhir baru dua hari lalu. Dan setahuku kami
belum punya rencana serius.
Aku berharap ini cuma pertemuan biasa dan tidak ada hal serius
lain. Aku sudah tak punya waktu luang sama sekali. Sekolah. Hidup.
Yang kayak begitu perlu waktu, kan? Aku sedang membersihkan
kandang rakun ketika teman-temanku mulai berdatangan. Rakun ini
tertabrak mobil di jalan raya. Banyak polisi lalu lintas yang
menelepon kami jika mereka melihat ada binatang terluka di jalan.
Rakun ini akan selamat, berkat ayahku. Tapi sementara ini ia
harus diberi makan dan minum, diobati, dan kandangnya harus dijaga
agar tetap bersih. Dan semua itu tugasku.
Aku memakai overall kotor dan sepatu bot tinggi dari karet.
Tanganku masih diselubungi sarung tangan karet ketika Rachel
muncul.
"Hai, Cassie."
"Hai, Rachel." Aku sedang membungkuk, berkonsentrasi
membersihkan kadang rakun itu. Bisa kulihat si rakun sedang
berpikir-pikir untuk meloncat ke mukaku dan mengunyah hidungku.
"Jadi, Cassie, kau membeli celanamu itu di Banana Republic?
Atau apakah itu mode terbaru keluaran Express?"

Rachel dan aku bersahabat, tapi kami berdua sangat berbeda.


Kalau kau melihat Rachel lewat, mungkin kau akan berpikir ia tipe
cewek ABG yang biasa berkeliaran di mall. Jika kau mengamatinya
lebih teliti lagi, kau akan berpikir, Tidak. Dia ternyata sangat cantik,
sama sekali bukan tipe ABG yang biasa-biasa saja.
Dan jika kau sekali lagi menatapnya, ia mungkin akan
mendatangimu, dan menantangmu, "Mau apa lihat-lihat? Halo? Ada
masalah?"
Rachel bertubuh jangkung, berambut pirang, cantik, dan tak
kenal takut. Ia adalah Xena: Warrior Princesscuma saja tanpa baju
kulit.
Kami pastilah pasangan sahabat yang paling tidak klop
sepanjang sejarah. Kalau habis kehujanan dan basah kuyup sekalipun,
Rachel bisa kelihatan seperti para gadis model di majalah Glamour.
Aku, sebaliknya, akan muncul di hari perkawinanku suatu hari nanti
dengan celana jeans dan sepatu bot serta kaus kaki yang warnawarnanya tidak cocok.
Aku menjauhi kandang rakun. Lalu tersenyum dan berputar
agar Rachel bisa mengagumi seragamku.
"Kau suka? Ini seri Kotoran Binatang kreasi Ralph Lauren."
"Suatu hari nanti aku akan menggetok kepalamu,
memasukkanmu dalam kantong besar, menyeretmu ke mall, dan
memaksamu membeli gaun. Boleh saja kau tetap menyimpan sepatu
bot karet itu, kalau kau memaksa, tapi kita akan membeli gaun
untukmu."
"Kau bercanda, kan?" tanyaku pada Rachel. Dengan Rachel kau
tak pernah bisa yakin.
Ia cuma tersenyum, memamerkan giginya yang putih
cemerlang.
Aku mendengar suara sepeda disandarkan di dinding gudang.
Kemudian kudengar suara cowok.

"Batman bisa mengalahkan Spiderman? Mana mungkin aku


percaya? Sinting kau. Kukira aku mengenalmu, Jake, tapi ternyata kau
idiot. Jangan tersinggung lho. Pokoknya Spiderman akan
memusnahkan Batman."
Itu Marco. Begitulah kalau Marcoyang biasa kocaksedang
serius.
"Dua kata: baju baja. Jaring Spiderman tidak akan bisa
menempel di baju baja Batman. Homer, minggir, Homer. Kau tak
boleh masuk."
Itu pasti Jake. Dan Homer, anjingnya. Homer tidak boleh masuk
gudang. Sebagai anjing, Homer mengira semua binatang kecil di
dunia diciptakan untuk dikejar-kejar.
Jake dan Marco masuk melalui pintu kecil di samping gudang.
Jake memimpin di depan, seperti biasa.
Jika kami, Animorphs, punya pemimpin, Jake-lah orangnya. Ia
kuat, luar-dalam. Dan kece. Juga luar-dalam. Maksudku, ia cowok
yang oke banget.
Jake terpaksa jadi dewasa dalam waktu sangat singkat. Aneh
memang sebagai anak harus bersikap seperti jenderal atau pemimpin
besar. Hal-hal besar memang kami putuskan bersama. Tapi jika kami
sedang bertempur, sering kali Jake-lah yang harus mengambil
keputusan-keputusan kecil. Keputusan-keputusan kecil yang bisa
menentukan salah satu temannya hidup atau mati.
Aku tersenyum sendiri menyadari bahwa Jake masih bisa
menikmati debat konyol seperti itu dengan Marco. Aku mencemaskan
beban yang harus dipikul Jake.
Jake dan aku adalah... kau tahu sendirilah. Kami saling
menyukai. Maksudku ada rasa, begitu.
Marco menyusul di belakang Jake. Ia lebih kecil daripada Jake,
dengan rambut lebih panjang dan lebih hitam, mata gelap yang penuh
tawa, dan sikap periang.

Marco berpendapat dunia ini tempat untuk melucu. Marco tetap


akan melawak bahkan pada saat ia sedang luka parah, ketakutan, dan
kesakitan. Tapi ada saatnya ekspresi keraguan menghilang dari
matanya dan mata itu menjadi berkilat berbahaya.
"Cassie," sapa Marco, "kau kelihatan cantik seperti biasa.
Penggunaan kotoran binatang sebagai nama koleksi mode
menunjukkan kau ini orang yang berselera tinggi." Kemudian ia ganti
menatap Rachel dan mengernyit. "Astaga! Setiap kali melihatmu, kau
ini tambah tinggi. Berhenti deh. Berhenti tambah tinggi."
Rachel membelai kepala Marco. "Jangan kuatir. Aku tidak
memandang rendah kau karena kau pendek, Marco. Aku memandang
rendah kau hanya karena kau adalah kau."
Marco mencengkeram dadanya, pura-pura sakit. "Aduuuh! Dan
Xena kembali menusukku dengan tombaknya."
"Hai, Jake," sapaku, tanpa mengacuhkan gurauan Marco-Rachel
yang biasa.
"Hai, Cassie," katanya. Ia menghadiahiku senyumnya yang
jarang muncul. "Eh, aku dengar cerita aneh nih. Ada dua cowok yang
ngotot bilang mereka diserang sepasang tikus laboratorium."
"Masa? Aku kok tidak dengar," kataku, berusaha agar suaraku
tidak berubah nyaring dan aneh, seperti yang biasa terjadi kalau aku
sedang berbohong.
Jake menaikkan sebelah alisnya dan aku cepat-cepat kembali
membersihkan kandang.
"Kenapa kita berkumpul?" tanya Rachel langsung ke sasaran.
Jake mengangkat bahu. "Tobias yang memintaku
mengumpulkan kalian. Dia dan Ax mau menyampaikan sesuatu."
Saat itu juga kami mendengar kepakan sayap. Seekor elang
melesat masuk lewat lubang di atap. Ia membelok tajam, mengurangi
kecepatan, memajukan cakarnya, lalu dengan mulus hinggap di palang
langit-langit.

Seekor elang ekor merah. Sebagian besar punggungnya berbulu


cokelat tua, dan di bagian perutnya lebih muda. Namanya didapatnya
dari bulu-bulu ekornya, yang berwarna kemerahan.
Elang itu menatap kami dengan matanya yang tajam dan
berwarna cokelat keemasan.
<Hai,> sapa si elang, sapaan tanpa suara yang hanya kami
dengar dalam kepala kami.
"Hai, Tobias," balasku.
Tobias adalah anggota kelima dalam grup kami, meskipun ia
sudah tidak sepenuhnya lagi manusia. Soalnya begini, kalau kau
berada dalam bentuk metamorfosis selama lebih dari dua jam, kau
akan terperangkap, tak bisa berubah menjadi manusia lagi.
Dalam pikiran dan hatinya, Tobias masih manusiasering kali.
Tapi tubuhnya tubuh elang. Ia juga hidup sebagai elang.
"Hai, Tobias," kata Rachel. "Kukira kau akan mampir
semalam."
Tobias kadang-kadang mengunjungi Rachel. Ia terbang masuk
ke kamar Rachel di loteng, lalu nonton TV atau membaca. Melakukan
hal-hal yang tak bisa dilakukannya di alam terbuka. Hal-hal yang
biasa dilakukan manusia.
<Ehm, tadinya aku memang mau datang,> katanya dengan
bahasa pikiran. <Tapi lalu aku dan Ax...>
Ax punya nama lengkap Aximili-Esgarrouth-Isthill. Ia anggota
keenam grup kami. Dibandingkan Ax, Tobias masih lebih manusia.
Ax ini Andalite.
"Ngomong-ngomong tentang Ax, apakah dia akan datang?"
tanya Jake.
<Tidak. Dia masih mengawasi.>
"Mengawasi apa?" tanya Marco, mulai kedengaran tak sabar.
Tobias melayang, turun mendekat. Ia mendarat di atas pintu
salah satu kandang. Diperiksanya kandan-kandang. Saat itu, selain

rakun, kami juga merawat seekor rubah, dua ekor serigala, berbagai
jenis kelelawar, landak yang cakep, sepasang kelinci besar, seekor
rusa yang diterkam beruang, beberapa merpati, seekor angsa, angsa
berleher panjang, serombongan walet, seekor burung hitam yang
cantik, dan seekor burung hantu.
<Apa yang terjadi dengan si rajawali emas?> tanya Tobias.
"Dia sudah sehat, jadi kami lepaskan dia." Soalnya rajawali
emas kadang-kadang membunuh dan memakan elang. "Kami
melepasnya jauh di perbukitan. Jauh dari daerahmu, Tobias."
Tobias tidak kelihatan senang. Tapi wajah Tobias kan wajah
elang, jadi tampilannya ya kayak begitu, galak terus. Dulunya ia
cowok manis yang lembut. Ia berkenalan dengan Jake ketika Jake
membebaskannya dari cowok-cowok sangar yang akan
membenamkan kepalanya di wastafel.
<Ada yang ingin kulaporkan. Tampaknya ada orang yang siap
menebang hutan.>
"No way!"
Yang lain sih tidak sepanik aku.
"Jadi, kenapa?" tanya Marco.
"Jadi habitat akan dihancurkan! Jadi binatang-binatang tak akan
punya tempat tinggal lagi! Jadi pohon-pohon tua yang berharga akan
ditebang dan dijadikan tripleks!" seruku. "Jadi begitu."
Marco mengernyitkan dahi. "Dan aku harus peduli... kenapa?"
Aku sudah hendak menjawab, tapi Tobias memotongku. <Kau
tak peduli, Marco. Tapi kau akan peduli kalau tahu siapa yang
melakukan penebangan ini.>
"Yah, mestinya perusahaan kayu," Marco mengusulkan.
<Yeah. Kau benar,> kata Tobias. <Hanya saja perusahaan kayu
ini sudah membangun pusat komando jauh di tengah hutan. Bangunan
kayu, sebetulnya, seperti bisa kauduga. Hanya saja yang ini ada
istimewanya.>

"Apa istimewanya?" tanya Jake.


<Bangunan ini dikelilingi oleh force field, pagar khusus yang
tak kelihatan. Pagar yang mencegah apa saja yang hendak mendekat.
Aku sudah mencoba terbang mendekat, rasanya seperti menabrak
tembok. Lagi pula ada pasukan bersenjata yang berjaga pada jarak
tertentu di sekeliling bangunan, dan berpatroli di jalan yang menuju ke
sana.>
"Oh," komentar Jake.
<Pasukan bersenjata dengan senapan otomatis.>
"Yeerk?" tanya Rachel. "Tapi ngapain kaum Yeerk menebang
hutan segala?"
Aku tahu jawaban pertanyaan Rachel itu. Rencana para Yeerk
itu amat jelas. "Mereka ingin menghancurkan habitat," kataku.
"Apa? Sekarang Yeerk berkeliaran untuk membasmi rusa dan
burung hantu?" tanya Marco sambil tertawa melecehkan.
"Tidak," kataku. "Bukan habitat burung hantu yang ingin
mereka hancurkan. Mereka mengincar spesies lain."
<Yeah,> Tobias membenarkan. <Mereka mau melenyapkan
habitat makhluk langka yang sudah sangat, sangat terancam punah,
Animorph!>

Chapter 4

"JADI para Yeerk ada di dalam hutan kita. Bagus," kata Rachel
yang selalu antusias jika menghadapi bahaya. "Ayo, kita tengok."
"Kalau ini operasi bangsa Yeerk, sebaiknya kita hati-hati," kata
Marco. "Mereka kan sudah menunggu-nunggu kita."
<Menunggu kita? > tanya Tobias.
Marco mengangguk. "Begini. Para Yeerk mengira kita ini
makhluk Andalite. Iya, kan? Mereka pikir hanya Andalite yang bisa
bermetamorfosis. Mereka mengira hutanlah satu-satunya tempat yang
dapat dipakai untuk bersembunyi serombongan Andalite. Kita jujur
sajajika kita benar-benar Andalite, mana mungkin kita mampu
mengontrak rumah."
"Jadi kita tinggal di dalam hutan. Persis seperti yang dilakukan
Ax sekarang." Jake mengangguk. "Mereka ingin menggunakan
penebangan hutan ini sebagai kedok untuk berburu Andalite."
"Betul. Itu berarti mereka mengira kita ada di dalam hutan. Jadi
mereka harus bersiap-siap jika sewaktu-waktu diserang. Mereka sudah
siap menerima serombongan binatang aneh yang akan muncul."
Aku sependapat dengan Marco. Tapi ada satu pertanyaan yang
menggangguku. "Bagaimana mungkin mereka bisa mendapat izin
menebang pohon di hutan nasional?"
Marco membelalakkan mata, seakan aku ini tolol banget. "Siapa
peduli? Kenyataannya mereka punya izin."
"Kalau kita mau melihat tempat itu, kita tak bisa muncul dalam
satu grup," kata Jake. "Kita bagi dalam dua rombongan. Dalam morph
yang berbeda. Kita lihat saja apa yang bisa kita lihat, tapi kita tak akan
berbuat apa-apa. Setuju?"

Semua mengangguk.
"Jadi, kalau semua setuju, aku akan jalan dengan Rachel. Aku
akan berubah jadi burung peregrine falcon. Rachel, kau bisa berubah
jadi elang bondol. Tobias akan mengantar kita. Jadi kita akan punya
tiga pasang mata supertajam untuk mengintai. Cassie, kau jalan
dengan Marco. Cari bentuk metamorfosis lain."
"Kenapa aku tak boleh jalan dengan Rachel?" tanyaku.
Bukannya aku tak suka pada Marco. Tapi kadang-kadang ia
membuatku senewen.
"Karena kau dan Rachel akan saling membujuk untuk
melakukan hal-hal yang bisa membahayakan," jawab Jake.
Ia tahu soal tikus itu. Ia pasti tahu. Tapi aku tetap merasa
kurang sreg. "Oh, maksudmu seperti kau dan Marco yang saling
membujuk untuk melakukan hal-hal aneh?"
Jake mengangguk dan mengedip padaku. "Bisa dibilang begitu.
Yap. Tepat sekali."
Sepuluh menit kemudian, Marco dan aku berjalan
menyeberangi lapangan di tanah pertanianku, menembus rumputrumput tinggi, menuju ke tepi hutan.
Hutan ini luas. Terhampar sampai ke pegunungan. Beribu-ribu,
mungkin bahkan berjuta-juta kilometer persegi pohon cemara, ek, dan
birch terhampar dari atas pegunungan sampai ke pinggir kota. Tanah
pertanian kami persis di tepinya. Seperti juga banyak tanah pertanian
lain. Juga beberapa kompleks perumahan baru.
Sore ini cerah, jadi pegunungan tampak merah jambu keunguan
diterpa cahaya matahari terbenam. Angin sejuk berembus, membawa
aroma bunga-bunga liar. Dua ekor kuda kami sedang merumput dekat
pagar. Di sini aman, maka kami membiarkan kuda-kuda berlari lepas
jika cuaca sedang baik.
Tentu saja, sekarang setelah serigala kembali dilepas ke dalam
hutan, kami mungkin harus mengubah kebiasaan itu. Segerombolan

serigala bisa merobohkan kuda sehat yang paling kuat sekalipun. Aku
tahu. Aku kan sudah pernah jadi serigala.
Dan sebentar lagi aku akan jadi serigala lagi.
Tahu-tahu kami sudah tiba di tepi hutan. Sesaat tadi kami masih
menginjak rumput, langkah berikutnya kami sudah menginjak cemara
dan daun-daun yang berguguran.
Di bawah pohon-pohon suasana lebih gelap. Dan semakin kami
masuk ke dalam hutan, semakin gelap. Aku menengadah. Masih
kulihat langit yang biru. Tapi matahari sudah mulai turun dan malam
kian menjelang. Makhluk-makhluk siang sudah mulai menghentikan
kegiatan mereka, dan makhluk-makhluk malam mulai membuka mata.
"Sebaiknya kita berubah wujud sekarang," usul Marco.
"Ya. Sebagai serigala kita akan bisa bergerak lebih cepat," aku
menyetujui.
Marco menyeringai padaku. "Pernahkah kau merasa ngeri? Soal
metamorfosis ini, maksudku? Aku masih ingat yang pertama kali.
Rasanya aneh sekali."
"Sekarang pun masih aneh," kataku.
"Bahkan bagimu?"
"Kenapa bagiku tidak?" tanyaku.
Marco mengangkat bahu. "Kau kan ratu metamorfosis."
Aku tertawa. "Jangan begitu dong. Kan kita semua masih
belajar."
"Yeah, tapi bahkan Ax pun bilang kau punya bakat khusus.
Kayaknya kau bisa lebih mengendalikan, atau entah apa. Dia bilang
kau bahkan lebih pandai bermetamorfosis daripada dia sendiri."
"Bukan berarti kengeriannya jadi berkurang," kataku.
"Maksudku, kita berdua di dalam hutan, matahari mulai terbenam, dan
aku siap-siap berubah jadi serigala. Ini kan seperti film horor."
"Film Manusia Serigala."
"Sepasang Manusia Serigala."

Kami menyembunyikan pakaian luar kami di bawah semak, lalu


mulai bermetamorfosis. Kupusatkan pikiran pada serigala yang DNAnya sudah menjadi bagian tubuhku. Marco dan aku sebetulnya serigala
kembar. Kami berdua menyadap DNA serigala betina yang sama.
Kurasakan mulutku makin memanjang. Tulang-tulang
berkeretak ketika mulut manusiaku yang kecil dan lemah berubah
menjadi moncong serigala yang kuat dan bergigi tajam. Mulut dan
gigi manusiaku nyaris tak bisa dipakai menggigit daging panggang
yang alot. Namun moncong serigala bisa merobek leher rusa yang
meronta-ronta.
Gusiku gatal ketika gigi-gigiku bertambah panjang.
"Lihat? Ihu makhudku," kata Marco. Ia berusaha bicara padahal
lidah dan bibir manusianya mulai hilang. Beberapa detik kemudian ia
sudah bisa beralih ke bahasa pikiran.
<Lihat? Itu maksudku. Kau jauh lebih ahli berubah bentuk
dibanding aku. Tapi tampangmu mengerikan lho.>
Aku sudah berhasil mengatur proses metamorfosisku sehingga
kepala serigala sudah muncul sempurna sebelum bagian tubuhku yang
lain berubah. Tubuhku cewek seutuhnya, dengan kepala serigala yang
berbulu menempel di atas bahuku.
<Sebetulnya aku tidak banyak memikirkannya,> kataku.
<Kadang-kadang otakku seperti punya ide sendiri tentang
metamorfosis.>
Proses metamorfosis kami berlanjut. Kakiku bertambah kecil.
Tapak kasar menggantikan kakiku. Bulu di tubuhku bertambah
panjang dan kasar, berwarna keabu-abuan.
Aku ambruk ke depan, berdiri di atas empat kakiku. Aku tak
sanggup lagi berdiri tegak hanya dengan dua kaki.
Naluri serigala mulai muncul, tapi aku sudah pernah menjadi
serigala sebelumnya, jadi dengan mudah bisa kukendalikan.

Kemudian indra serigala juga muncul, menggantikan indra


manusiaku.
Hutan menjadi tempat yang sama sekali lain bagi serigala.
Seakan dalam sekejap aku dipindahkan ke tempat yang sungguh
berbeda.
Telinga manusiaku hampir tak menangkap apa-apa, hanya
tiupan angin, cicit serangga, dan gesekan dedaunan. Tapi telinga
serigala menangkap segalanya. Mereka mendengar langkah binatang
besar berkaki empat kira-kira seratus meter di sebelah kanan. Mereka
mendengar bajing yang sedang menggerigiti biji pohon ek dalam
sarang mereka, tinggi di atas pohon. Mereka mendengar serangga
merangkak di bawah tumpukan daun cemara yang gugur. Mereka
mendengar deru mobil di jalan raya yang jauh.
Dan kemampuan telinga itu belum apa-apa jika dibandingkan
dengan indra penciumannya.
Begini kira-kira. Dalam soal penciuman, semua manusia boleh
dikatakan buta. Kita tidak mencium bau apa-apa. Yah, mungkin kita
mencium harum bunga jika bunga itu didekatkan ke hidung kita, atau
aroma kue cokelat yang sedang dipanggang. Tapi kita sebetulnya
bodoh dalam soal penciuman.
Serigala-lah makhluk jenius dalam hal penciuman. Wah, susah
dibayangkan deh. Susah banget membayangkan bagaimana rasanya
punya hidung serigala. Ibarat orang yang tadinya buta, tapi kemudian
mendadak saja bisa melihat.
<Ahhh!> aku sampai menjerit saking kagetnya.
<Yeah,> sahut Marco. <Aku juga kaget. Wow! >
Serigala bisa mencium bau kuda di ladang kami. Ia tidak hanya
mencium bahwa itu bau kuda, tapi ia juga bisa mengenali bahwa kuda
itu dewasa dan sehat. Serigala bisa mencium aroma semua bunga,
semua pohon, semua daun, semua jamur. Ia bisa membaui air di tiga

lokasi yang berbeda dan tahu sungai mana yang airnya paling segar
dan manis.
Serigala mencium bau seekor bajing tanah, selusin tupai, tikus,
celurut, rusa, burung gereja yang sudah mati, seekor rakun... tidak,
dua ekor rakun.
Dan ia juga mencium bauku. Maksudku, ia mencium bauku
yang ada di pakaian yang kulepas sebelum berubah wujud tadi. Ia
mencium bau semua burung dan binatang yang ada di gudangku yang
pernah kusentuh, atau bahkan yang kandangnya cuma kulewati saja.
Ia bisa mencium jejak bebauan yang sudah berusia tiga hari.
Bau orang yang pernah berjalan di hutan ini berhari-hari sebelumnya.
Juga bau serigala lain, serigala jantan tua, yang pernah lewat. Bau
anjing, kucing, dan sampah.
Dan bau sangat aneh yang kusadari pastilah bau AndaliteAx.
Kalau semua itu kausatukan dalam kepalamuindra penciuman
dan pendengaranrasanya seakan seluruh dunia di sekitarmu
menggeliat, menggelegak, dan meledak dengan kehidupan.
<Asyik,> kata Marco.
<Asyik banget,> aku sepakat. <Yuk, berangkat. Kita lari saja.>
Serigala senang berlari.

Chapter 5

SERIGALA jago lari. Serigala sanggup lari sepanjang malam,


tanpa berhenti atau mengurangi kecepatan atau istirahat.
KamiMarco dan akuberlari, meloncati batang-batang
pohon tumbang, menghindari pepohonan dan onak duri.
Menyeberangi padang rumput yang masih tersiram cahaya matahari,
dan dalam naungan kegelapan pohon-pohon pinus yang tinggi. Kami
berkecipak riang menyeberangi anak sungai dan merayap mendaki
bukit karang.
Sementara kami berlari, semua indra kami bekerja. Kepala kami
dipenuhi bebauan, suara-suara, dan pemandangan. Tak ada sesuatu
pun dalam jarak seribu meter yang tak kami ketahui. Kami seakan
dihubungkan dengan sumber data alam itu sendiri.
Kami sudah mencium bau pusat penebangan kayu itu jauh
sebelum kami tiba di tempat itu. Kemudian kami mendengar bunyi
mesin. Dan gumam percakapan. Suara manusia.
Kemudian kami diingatkan bahwa kami bukan satu-satunya
pemangsa berindra supertajam di hutan ini.
<Kaliankah itu?> ada yang bertanya dengan bahasa pikiran.
Suara Jake.
<Ya. Di mana kau?> tanyaku.
<Di atas kalian,> jawab Jake tertawa. Aku berhenti berlari dan
mendongak seakan siap melolongi bulan purnama. Di antara
rimbunnya dedaunan aku melihat sepotong langit. Dan jauh di atas
langit itu kulihat tiga titik hitam.

Tobias, Jake, dan Rachel, melayang kira-kira lima ratus meter


di atas. Bahkan dalam cahaya yang mulai memudar mereka masih bisa
melihat kami dari dalam perut awan.
<Tempatnya di depan itu. Banyak peralatan berat. Dan penjaga.
Kalian lihat saja sendiri. Tapi hati-hati.>
<Kami sebetulnya masih ingin menemani lebih lama lagi, tapi
matahari sudah hampir terbenam. Lagi pula sudah tak banyak yang
bisa kami lihat,> komentar Tobias.
<Kalian kan bisa melihat kami,> kataku, agak menggerutu.
Tobias tertawa. <Yeah, tapi kalian sepasang serigala besar. Itu
sih bukan tantangan. Nah, kalau kutu yang sedang merayap di dekat
telingamu itu...>
<Mana mungkin kau bisa melihat kutu,> bantahku.
<Heh, heh, heh,> jawab Tobias. <Kaupikir tak bisa, ya?>
Marco dan aku berlari lagi, tapi lebih pelan daripada
sebelumnya. Lebih- hati-hati.
Dari antara pepohonan kami mulai melihat cahaya. Cahaya
buatan manusia.
Pelan-pelan kami mengendap maju, bahu direndahkan, kepala
ditundukkan, telinga ditegakkan, mengendus-endus udara, mencari
pertanda.
Bangunan pusat komando itu lebih besar daripada yang
kelihatan semula. Terbuat dari kayu, seperti pos komando penjaga
hutan. Bertingkat dua, dengan beranda di depan.
Di tingkat bawah, tak ada jendela di bagian samping dan
belakang bangunan. Sama sekali tak ada. Di tingkat atas ada jendela,
tapi semua gelap. Terlalu gelap bagi kami untuk bisa melihat ke
dalam.
Lampu-lampu sorot sangat menyilaukan dipasang di atas
bangunan. Hutan telah dibabat sekitar tiga kilometer di sekeliling

bangunan, dan tanah yang kosong itu terang benderang seakan disinari
cahaya matahari di hari cerah.
Sekitar selusin peralatan berat berjajar rapi. Pengeruk tanah,
derek yang berbentuk aneh, truk, dan beberapa alat mengerikan yang
kelihatan seperti mainan anak-anak berukuran raksasa. Kurasa alat itu
digunakan untuk memotong pohon-pohon.
Indra serigalaku yang tajam menangkap beberapa orang
berjalan mengelilingi tanah kosong itu. Jarak mereka masing-masing
sekitar lima puluh meter dan mereka tampaknya sangat waspada.
Yang paling dekat lewat di depan kami. Marco dan aku
merunduk rendah di balik batang-batang pohon, tak bergerak.
Orang itu memakai seragam kecokelatan. Pipa celananya
dimasukkan ke sepatu bot tinggi. Ia menyandang senapan otomatis.
<Oke, ini memang berlebihan untuk pusat penebangan hutan.
Orang itu jelas bukan tukang kayu, > kataku.
Kuarahkan telingaku ke bangunan itu, tapi tak terdengar suara
apa pun dari dalam. Ada dua kemungkinan. Di dalam memang tak ada
orang atau bangunan itu kedap suara.
<Kau berhasil mendapat sesuatu?> tanya Marco.
<Tidak dari dalam bangunan. Tapi aku mencium bau sesuatu
yang tak dapat kudeteksi. Bau yang aneh.>
<Yeah. Aku juga. Bau binatang, tapi aneh, ya?>
<Hork-Bajir?>
<Mungkin juga,> kata Marco.
<Penjaganya semua manus ia,> kataku. <Marco, mungkin saja
ini tak ada kaitannya dengan kaum Yeerk. Mungkin, entah siapa pun
orang-orang ini, mereka ingin melakukan sesuatu yang berbeda.
Maksudku, manusia normal pun kadang-kadang bertingkah aneh.
Tidak semua orang aneh itu Pengendali.>

<Tidak memang. Tapi jangan lupa... force field. Kalaupun


orang-orang ini pengedar obat terlarang atau entah apa, kurasa mereka
takkan punya pagar yang tak kelihatan.>
<Pendapat bagus.> Aku terdiam. Aku mendengar bunyi
sesuatu. Gerakan. Gerakan yang hati-hati dan mencuri-curi.
Aku mengerling Marco. Kulihat telinganya juga tegak. <Yeah,
aku juga dengar,> kata Marco. <Di belakang kita. Ada orang yang
sedang berkeliling.>
Kurasakan datangnya ketakutan. Bagian manusiaku takut.
Bagian serigalaku tidak. Tapi dalam hal ini aku lebih mempercayai
naluri manusiaku.
<Di mana para penjaga?> tanyaku.
< Uh-oh, > kata Marco.
Cahaya menyilaukan!
Cahaya di mana-mana. Di mana-mana! Mendadak seluruh
dunia terang benderang.
Aku merasa seakan seluruh dunia bisa melihatku. BLAM!
BLAM! BLAM!
Terdengar bunyi tajam ledakan dari arah atas pepohonan di
sekeliling kami. Aku mendongak. Ada yang jatuh. Jaring!
Jaring baja lebar meletup dari atas pepohonan, jatuh ke arah
kami. Di ujung-ujungnya tampak alat pemberat.
<LARI!>
Kami melesat. Jaring di atasku jatuh. Aku berpacu menghindari
tepi jaring, lari, lari....
Bebas!
Jaring itu menggores punggungku. Tapi aku berhasil lolos!
TSEWWW! TSEWWW!
Sinar merah terang meluncur dari jendela gelap di lantai atas
bangunan kayu. Sinar itu menghantam dasar pohon yang berjarak lima

belas senti dari tempatku. Kayunya langsung menguap. Lubang


bergaris tengah lima belas senti menembus batang pohon itu.
Sinar Dracon!
Aku mulai berlari. Tapi ada yang tak beres. Marco! Di mana
dia?
Aku berbalik dan mencari-cari. Ya ampun! Marco ada di bawah
jaring! Ia keberatan dan merangkak dengan perutnya, mencoba keluar.
Aku berlari mendekatinya.
TSEWWW! TSEWWW!
Sinar Dracon, hampir tampak pucat di tengah terang
benderangnya hutan, berkali-kali menembak.
Kucengkeram tepi jaring dengan moncongku dan kuangkat.
Berat sekali. Pantas saja Marco harus merangkak.
<Pergi dari sini! > teriak Marco. <Jangan sampai kau terbunuh
gara-gara aku.>
<Diam, dan ayo keluar!> teriakku.
TSEWWW! TSEWWW!
Aku tak kuat lagi mengangkat tepi jaring. Rahangku sakit
semua. Leherku pegal. Marco merangkak, tapi majunya sedikit sekali.
Sinar Dracon makin lama makin mendekati sasaran.
Dan sekarang aku bisa melihat ke mana perginya para penjaga.
Mereka berlari-lari dari arah hutan ke arah kami. Setengah lusin lakilaki yang menyandang senjata otomatis. Sungguh pemandangan yang
amat mengerikan, melihat bayang-bayang mereka bagai raksasa yang
tingginya mencapai puncak pohon.
Kemudian muncul sesuatu yang cepat. Lebih cepat daripada
serigala. Lebih cepat daripada manusia.
Tubuhnya seperti rusa. Seperti kuda. Wajah tanpa mulut, mata
di ujung tanduk, ekor seperti ekor kalajengking. Makhluk yang tak ada
duanya di Bumi ini. Makhluk itu melesat ke arah kami.
<Ax! > seruku.

Ekornya menyabet, lebih cepat dari yang bisa diikuti mata


manusia.
Bunga api memercik ketika ujung ekor yang tajam itu menyabet
jaring, membuat robekan lebar tepat di depan moncong Marco.
<Wuih! Nyaris saja! > kata Marco. Tapi ia segera meloloskan
diri melalui lubang itu dan langsung lari. Aku mengikuti di
belakangnya. Serigala memang larinya cepat. Tapi serigala yang
ketakutan dan punya otak manusia yang ketakutan di kepalanya, bisa
berlari luar biasa cepatnya.
Kami berlari secepat kilat, dengan Ax di samping kami.
DORDORDORDORDORDORDORDOR!
Itu bukan sinar dracon, melainkan tembakan senapan. Bunyinya
lebih bising daripada kalau di film.
Dan jauh lebih mengerikan daripada di film kalau sasaran
tembakan itu adalah kau. Yang jelas, ditembaki sama sekali lain
daripada nonton film.
<Aaaaahhh!> aku menjerit.
<Aaaaahhh!> Marco menjerit.
<Aaaaahhh!> Ax ikut menjerit.
Dua ekor serigala dan satu Andalite memecahkan rekor
kecepatan berlari dengan kabur dari tempat itu.
Ebukulawas.blogspot.com

Chapter 6

"OKE, kurasa pertanyaan apakah itu tempat penebangan hutan


biasa sudah terjawab," kata Marco. Kami telah tiba di tepi hutan, dekat
tanah pertanianku. Marco dan aku sudah berubah menjadi manusia
lagi. Rachel dan Jake terbang turun dan bergabung bersama kami.
Tobias hinggap di cabang rendah.
Ax berdiri di dekat kami. Kedua mata tanduknya bergerak ke
kanan dan ke kiri, memandang ke dalam hutan gelap di sekeliling
kami. Kedua mata utamanya bertemu pandang dengan mataku.
"Eh, Ax, terima kasih, ya," kataku.
"Yeah, trims," Marco menambahkan. "Kalau tak ada kau, aku
sudah disandera mereka deh. Ekormu yang tajam itu sungguh luar
biasa."
<Seharusnya aku melihat jaring di puncak pepohonan itu,> Ax
menyesali diri. <Aku sudah mendeteksi force field dan aku juga sudah
curiga ada sinar Dracon di jendela atas. Tapi jaring kan primitif
banget, makanya lolos dari pengamatanku.>
Ax, seperti semua Andalite, tak bisa bicara. Mungkin karena
mereka tak punya mulut. Bahasa pikiran adalah bahasa nasional
mereka.
Dari dekat ia kelihatan seperti campuran rusa dan kuda, serta
manusia dan kalajengking. Seperti makhluk centaurus dalam dongeng.
Tubuh bagian atasnya seperti tubuh cowok. Ia punya dua tangan yang
kelihatannya lemah dan kepala yang punya dua tanduk yang bisa
bergerak. Masing-masing tanduk ada matanya. Mata itu waspada
terus, memandang ke kanan, ke kiri, dan ke belakang.
Susah sekali kalau kita mau menyerang Andalite dari belakang.

Tubuhnya diselubungi bulu berwarna cokelat keunguan.


Bulunya pendek di bagian atas tubuhnya yang seperti tubuh manusia,
dan lebih panjang di bagian tubuh rusanya. Bagian bawah keempat
kakinya hitam dan tajam.
Tapi ekornyalah yang menarik perhatian. Ekor itu cukup
panjang, sehingga ia bisa mengayunkannya melewati atas kepalanya
dan menyabet orang yang berdiri di depannya. Ujung ekor itu tajam
melengkung.
"Tak seorang pun dari kita melihat jaring itu," kata Jake. "Jadi,
pasti jaring itu sangat tersembunyi."
"Rupanya mereka sudah menunggu kita," kata Marco. "Jadi
jelas ini operasi Yeerk. Kurasa mereka sebetulnya cuma pura-pura
saja melakukan penebangan hutan ini. Tujuan utamanya adalah
menjaring kita."
"Setuju," kata Rachel tegang. "Mereka mengira kita Andalite.
Mereka tahu kita selama ini melakukan perlawanan dari sekitar sini.
Mereka menyimpulkan kita pasti bersembunyi di hutan ini."
"Mereka hampir benar," kata Jake. "Ax dan Tobias memang
tinggal di hutan. Dan kita memang memanfaatkan hutan ini. Untuk
tempat berubah wujud, misalnya."
"Kalian tahu tidak, kita bukan satu-satunya yang kena
dampaknya kalau hutan ditebang."
Mereka semua kelihatan bingung.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Maksudku, seandainya
Tobias dan Ax tidak tinggal di sini pun, hutan ini tetap penting. Muak
aku memikirkan orang-orang itu menebang pohon-pohon ini."
"Aduh, tolong deh. Jangan jadi Earth Mother dulu, oke?" kata
Marco, yang memang sering meledekku Ibu Bumi. "Aku nyaris saja
kena panggang sinar Dracon. Itu kan bukan untuk menyelamatkan si
kijang Bambi?"

"Begini, Marco, kita bukan satu-satunya binatang yang ada di


sini. Kita, lebih dari orang-orang lain, harus memahami hal itu."
"Cassie, siapa sih yang peduli soal-soal begitu? Kita berjuang
untuk menyelamatkan bumi kita dari bangsa Yeerk. Siapa peduli pada
lingkungan, cinta tanaman, atau program daur ulang?"
"Aku peduli," sahutku.
"Yah, itu urusanmu," kata Marco. "Aku sendiri cuma peduli
pada sekelompok Yeerk yang membangun benteng di dalam hutan
dan mereka akan membabat hutan ini untuk mencari kita."
Aku sudah hendak menjawab, ketika Jake mengangkat tangan.
"Kalau Cassie mengkhawatirkan soal penebangan hutan, boleh saja.
Kalau Marco mencemaskan keselamatan dirinya, juga boleh saja.
Semua itu tidak penting. Maksudku, apa pun alasannya, kita semua
mau mencegah tindakan mereka. Betul, kan?"
Ia memandang Marco, kemudian menatapku. Saat itu aku sakit
hati pada Jake. Maksudku, aku mengerti ia harus mempertimbangkan
ide semua orang secara adil. Tapi tetap saja kelihatannya ia
menyetujui pendapat Marco bahwa tidak apa-apa jika hutan dibabat,
asal saja kami selamat.
Aku menoleh pada Rachel untuk minta dukungan, tapi ia malah
memandang ke tanah.
Oh, bagus, pikirku. Bahkan Rachel pun berpendapat aku salah.
<Yang paling penting kita harus mencegah mereka,> kata
Tobias.
"Dan tepatnya, bagaimana kita melakukannya?" tanya Marco.
"Tempat mereka itu betul-betul Benteng Malapetaka."
"Kita robohkan? Atau kita ledakkan?" Rachel bertanya-tanya.
"Kita rampas beberapa peralatan berat mereka dan kita
tabrakkan ke bangunannya?" Marco mengusulkan.

"Kita sudah kalah duluan karena tak bisa mengejutkan mereka.


Mereka tahu kita akan datang. Mereka tahu cepat atau lambat kita
akan menyerang mereka."
<Alat-alat berat itu tak ada gunanya,> kata Ax. <Bangunan itu
kan dikelilingi force field. Alat-alat itu takkan bisa menembusnya.
Kita pun tak bisa. Kita akan terhalang oleh pagar tak kelihatan itu dan
kemudian dicabik-cabik oleh sinar Dracon.>
Rachel mengatupkan bibirnya sampai jadi garis lurus. "Jadi kita
menyerah begitu saja? Begitu rencananya? Kita biarkan mereka
menebangi pohon-pohon sampai akhirnya mereka menemukanmu,
Ax, atau Tobias?"
Ax tak bisa menjawab.
"Kalian tahu, aku tak bermaksud pidato seperti pencinta
lingkungan yang bloon atau semacamnya," kataku sinis. "Tapi
pertanyaannya adalah, bagaimana kaum Yeerk itu berhasil
mendapatkan izin menebang pohon di hutan nasional?"
"Memangnya informasi itu bisa membantu?" tanya Marco, lebih
sinis dari sebelumnya.
"Karena kadang-kadang, Marco, ada cara-cara lebih halus untuk
melakukan sesuatu. Kaum Yeerk tidak menguasai seluruh jajaran
pemerintahan. Setidaknya, belum. Jadi mereka harus punya izin resmi.
Kalau mereka tak punya izin, mereka akan dikerubuti polisi, agen
federal, dan reporter-reporter TV. Mereka kan tidak mau itu terjadi."
Marco sudah hendak berkomentar lagi. Tapi kemudian ia cuma
bilang, "Oh."
Jake mengangkat sebelah alis, memandang sahabatnya. "Jadi,
Marco, itulah sebabnya Cassie lebih menyenangkan daripada kau. Dia
bisa saja bilang, 'Mereka kan tidak mau itu terjadi, tolol!'"
Di luar keinginannya, Marco tersenyum.

Jake mengedip padaku, dan aku memaafkan sikapnya tadi yang


seakan membenarkan Marco. "Menurutmu, apa yang harus kita
lakukan?"
Aku mengangkat bahu. Aku tak suka memikirkan hal-hal yang
bisa berakhir dengan orang-orang terluka atau bahkan terbunuh.
"Kurasa... maksudku, oke, ehm... Oke, begini, kaum Yeerk pasti
punya koneksi. Pasti salah satu Pengendali mereka menduduki jabatan
penting. Kita harus mencari tahu siapa dia."
<Dan bagaimana kita melakukannya?> tanya Tobias.
"Kurasa..." Aku menatap Jake, minta bantuan. Aku tahu
jawabnya. Cuma aku tak mau bilang. Soalnya, kalau kami membuat
rencana, biasanya belakangan buntutnya berbahaya.
"Kita harus masuk ke dalam bangunan itu," kata Jake
menyuarakan pendapatku.
Aku mengangguk. Yang bisa kulakukan hanya menyetujuinya.
Rachel menggeleng. "Aku tak tahu binatang apa yang cukup
besar untuk bisa memaksa masuk bangunan itu."
"Tidak besar," kataku. "Justru kecil. Sangat kecil."

Chapter 7

"DARI mana kau?" tanya Dad ketika aku akhirnya tiba di


rumah malam itu. Ia sedang di dapur, memeriksa lemari es.
Aku kaget juga. Orangtuaku biasanya tidak menanyaiku
macam-macam. Mereka percaya padaku. Dan dulunya aku memang
bisa dipercaya. Kurasa aku belum pernah berbohong kepada
orangtuaku sebelum aku jadi Animorphs. Sekarang rasanya aku jadi
bohong terus. Sungguh aku merasa tak enak.
"Oh... ehm, aku cuma jalan-jalan," kataku. "Kenapa? Apa Dad
memerlukan aku?"
"Oh, ya," kata ayahku. Ia kedengaran serius banget, jadi aku
tahu ia sebetulnya tidak serius. Begitulah ayahku. Selera humornya
kering. Itu yang dibilang Jake. Jake menganggap ayahku orang paling
lucu di planet ini.
"Apa, Dad?"
"Tadi ada telepon dari polisi patroli jalan raya. Mereka bilang
ada... binatang... binatang tertentu... di pinggir jalan, lari keluar dari
dalam hutan. Mereka bilang binatang tertentu ini tampaknya kena luka
bakar yang parah."
Aku tak suka caranya berkali-kali mengucapkan "binatang
tertentu."
"Kita harus keluar dan mengambilnya," kata ayahku. Kemudian
ia nyengir. "Yah, aku yang nyetir mobil, kau yang harus
mengambilnya."
Aku mengeluh. Hanya ada satu binatang di seluruh dunia yang
ditakuti ayahku. Ia sudah menangani rubah, serigala, bahkan beruang.
Tapi ia tak mau berurusan dengan "binatang tertentu" ini.

"Maksud Dad, binatang ini sigung?" tanyaku.


Ia mengangguk. "Kau ahli benar menangani sigung," jawabnya.
"Mereka menyukaimu. Lagi pula, besok aku ada rapat dengan pabrik
makanan kucing Dudette. Mana mungkin aku muncul berbau sigung."
Ibuku muncul dari ruang bawah tanah. Ia membawa enam kotak
jus tomat. "Cuma ini yang bisa kutemukan di gudang," katanya.
Kalian perlu tahu, jus tomat adalah salah satu dari sedikit bahan
yang bisa membantu menghilangkan bau sigung.
"Mom, bagaimana kalau Mom saja yang membantu Dad?
Aku... aku belum bikin PR nih."
"Aduh, jangan deh," kata ibuku.
"Ah, payah semuanya. Mom dan Dad kan dokter hewan
terkenal," aku protes. "Bagaimana mungkin kalian takut sigung?"
"Dulunya sih tidak," kata ayahku muram. "Dulu sebelum...
sebelum kejadian itu."
"Hanya karena seekor sigung menyemprot Dad..."
"Di mukaku," sambungnya.
"Hanya karena Dad mengalami pengalaman buruk sekali saja..."
"Dia menyemprotku enam kali dalam waktu kira-kira tiga
detik," katanya. "Aku bau selama seminggu. Mom sampai
menyuruhku tidur di gudang jerami. Tapi binatang-binatang lain di
gudang itu jadi gelisah, sampai aku terpaksa pasang tenda di
halaman."
"Dan kemudian kita harus membakar tenda itu," Mom
menambahkan. Ia terkikik geli.
"Kau tahu cara menangani sigung," bujuk ayahku. "Sebetulnya
kau tahu cara menangani semua binatang. Ayolah, sigung kan senang
padamu."
"Sigung yang terbakar di sisi jalan raya tidak menyukai siapa
pun," kataku.

Sepuluh menit kemudian, kami sudah ada di jalan raya. Kami


naik pickup baru kami. Pickup butut kesayangan ayahku dicuri orang
dan dirusak.
Setidaknya itulah anggapan Dad. Sebetulnya pickup itu kami
pinjam sewaktu bertempur melawan Yeerk dulu. Waktu itu Marco
yang nyetir, dan Marco tidak bisa nyetir. Mobil itu akhirnya ringsek
masuk selokan.
Sepanjang jalan kami mendengarkan CD. Itulah satu-satunya
yang disukai Dad dari mobil barunya ini: ada CD player-nya. Ia
memutar lagu-lagu jazz nostalgia.
Kami tiba di tempat yang disebutkan polisi patroli lalu lintas.
Dad menepikan mobil dan menyalakan lampu sein.
"Hati-hati. Orang-orang nyetir seperti orang gila di jalan ini,"
Dad memperingatkan saat aku turun.
Mobil-mobil meluncur dengan kecepatan seratus kilometer
lebih dan lampu di atas dinyalakan. Hutan yang gelap mengapit rapat
kedua sisi jalan. Kuarahkan sorot senterku ke deretan pohon-pohon.
Biasanya hutan bukan tempat menakutkan bagiku. Tapi aku
tahu bahwa kami berada kira-kira setengah kilometer dari pusat
penebangan hutan bangsa Yeerk. Rasanya aneh banget kembali ke
tempat di mana, baru satu jam sebelumnya, aku nyaris terbunuh.
Setidaknya selama dua puluh menit aku berjalan mondarmandir di jalur hijau di bahu jalan, ketika sinar senterku menyoroti
gumpalan hitam dan putih.
"Dad! Di sini!"
Dad mendekat dan ikut mengarahkan sinar senternya ke sigung
itu. "Yep," komentarnya. "Aku ambil kandang dulu. Jangan lupa
sarung tanganmu. Kau tahu sigung pembawa utama rabies."
"Dad, aku kan sudah disuntik."
"Vaksin kan tidak seratus persen menjamin," katanya.

Aku berjalan mendekati si sigung. Ia menatapku dan matanya


yang kecil hitam berkilauan memandangku.
"Jangan takut," kataku, meninggikan suaraku. "Tidak apa-apa.
Kami datang untuk membantumu. Semua akan beres."
Sebetulnya sigung adalah binatang paling manis di dunia. Tak
ada niat jahat sedikit pun dalam diri mereka. Tapi itu karena mereka
memang tak perlu jahat. Mereka punya senjata hebat.
Meskipun demikian, mereka selalu memberi peringatan dulu.
Jika mereka membelakangimu, itu peringatan. Jika mereka
mengangkat ekor, tapi ujung ekor masih merunduk, itu peringatan
serius. Jika mereka sudah mengangkat ujung ekor... nah, celakalah
kau.
Jika kau menghadapi sigung yang sudah membelakangimu dan
mengangkat ekornya tinggi-tinggi, habislah kau. Percayalah. Semua
satwa liar tahu ini. Sayangnya anjing tidak tahu apa-apa tentang
sigung. Tetapi beruang, rakun, serigala, dan sebagian besar burung
pemangsa tahu bahwa kita tak bisa main-main dengan ekor sigung.
Mungkin kaupikir kau tahu betapa busuknya bau sigung, karena
kau pernah melewati jalan yang pernah dilalui sigung. Itu sih belum
apa-apa. Dari dekat, bau busuknya berlipat ganda. Bayangkan saja bau
paling busuk di dunia, kemudian kalikan seribu kali, masih kalah dari
bau sigung.
"Tak apa-apa, Manis," bujukku. "Jangan semprot aku. Aku
temanmu, jadi jangan semprot aku."
Aku bergerak mendekat dan merunduk lebih rendah,
menciutkan tubuhku. Supaya tidak kelihatan mengancam. Aku
bergerak pelan sekali, selangkah demi selangkah, sambil terusmenerus membujuk dan berkata manis, seakan ingin menangkap anak
yang membawa senapan.
Sigung itu bergerak! Aku membeku.
Si sigung duduk lagi. Aku bernapas lagi.

"Tolong jangan semprot aku," kataku. Kurogoh kantongku dan


kuambil sepotong daging tikus. Kami menyimpan daging tikus beku
untuk binatang-binatang yang sedang kami rawat. Sigung suka daging
tikus atau belalang.
"Ini makan malammu."
Kusodorkan daging itu kepadanya. Sigung itu kelihatannya
tidak lapar, tapi rupanya ia menganggap aku oke kalau aku
menawarkan makanan kepadanya.
Aku berjongkok di sebelah si sigung dan kuletakkan senterku di
tanah. Hati-hati kuulurkan tanganku yang bersarung tangan dan
kusentuh binatang itu.
Ia gemetar. Seperti kedinginan atau ketakutan. Dan, pada saat
itu aku tahu kenapa.
Ada luka bakar di punggungnya. Berbentuk setengah lingkaran
yang sempurna, seakan ada orang yang mengeduk punggungnya.
"Sinar Dracon," bisikku. "Kau tadi di sana, ya? Kasihan."
Saat mengincar aku dan Marco, para Yeerk malah mengenai si
sigung. Binatang yang sama sekali tak bersalah dan terperangkap
dalam perang antara Yeerk dan manusia.
Para Yeerk akan menghancurkan seluruh hutan dan
penghuninya untuk menangkap kami.
"Sori," bisikku pada si sigung.
Kuangkat ia pelan-pelan, hati-hati, dan kupeluk.

Chapter 8

KAMI bertemu di mall. Saat itu hari Sabtu, jadi wajar kalau
kami, para ABG, berjalan-jalan di mall.
Jika kau tinggal di tempat berbahaya, di mana siapa saja bisa
jadi musuhmu, jangan sampai deh berbuat macam-macam. Jangan
sampai tingkah kita menarik perhatian.
Termasuk perhatian keluarga atau teman sekolahmu sendiri.
Kau takkan pernah tahu, siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang
tidak.
Kaum Yeerk mengira kami ini Andalite. Kami ingin mereka
terus berpendapat begitu. Jika mereka sampai tahu kami ini manusia
biasa, apalagi masih anak-anak, tamatlah riwayat kami.
Jadi kami tidak meninggalkan jejak. Kami berusaha bersikap
seakan kami ini tidak satu geng. Kami tak ingin ada Pengendali yang
berpikir, "Hei, tahu tidak? Anak-anak itu selalu ngumpul bareng,
kayaknya mereka mencurigakan."
Kami harus tampak dan bersikap normal. Rachel masih ikut
kursus senam dan sering berbelanja. Jake dan Marco masih berlatih
melempar bola basket ke keranjang di halaman rumah Jake atau main
video game.
Aku merawat binatang-binatang di Klinik Perawatan Satwa
Liar.
Tak ada yang bisa kami lakukan untuk membuat Tobias
kelihatan normal. Ia jauh dari normal. Tapi Tobias berasal dari
keluarga kacau. Ia dulunya tinggal berpindah-pindah dari satu bibi
atau paman yang tak peduli ke paman atau bibi tak peduli yang lain. Ia

tak pernah menjadi bagian dari satu keluarga utuh, dan sedihnya, tak
ada yang menyadari ketika ia tiba-tiba saja lenyap.
Satu jam penuh aku mengikuti Rachel, sementara ia berjalan
seperti tukang belanja profesional menyusuri rak-rak di The Limited,
Banana Republic, The Gap, dan berbagai department store.
Rachel punya naluri aneh untuk mendeteksi kapan dan di mana
akan ada obral. Ia tak perlu iklan. Pokoknya ia "tahu".
Kami sedang menyusuri meja-meja penuh tumpukan sweter di
Express. Rachel mencari warna hijau tertentu, yang mungkin malah
tidak ada di dunia ini.
"Menurutmu kita mau apa?" aku bertanya padanya.
Rachel, yang sedang menimang-nimang sweter, mendongak.
"Apa? Oh, kurasa kita mau masuk. Kalau kita tahu caranya."
"Itu yang kupertanyakan. Cara apa? Bagaimana kita bisa masuk
ke tempat itu? Maksudku, aku tahu kita mau berubah wujud jadi
serangga. Tapi kalau ada yang mau jadi semut lagi, aku bilang saja
dari sekarang, aku ogah ikutan."
Rachel bergidik. "Kurasa tak ada yang mau jadi semut lagi."
Kami memang mendapat pengalaman-pengalaman buruk ketika
bermetamorfosis. Tapi menjadi semut adalah pengalaman terburuk.
Wah, susah deh membayangkan kejadian mengerikan saat itu.
Lorong-lorong yang menyesakkan, lalu beratus-ratus tentara semut
ganas bermunculan di sekeliling kami, semua menyerang, menyerang
tanpa ampun....
"Tidak jadi semut, ya," kataku. Kupandang Rachel, kucoba
menatap matanya. "Betul?"
Rachel mengangkat bahu. Kemudian ia melirik arlojinya.
"Sudah waktunya. Ax ikut mereka, jadi jangan sampai mereka
menunggu."
"Ax? Uh-oh."

Jake, Marco, dan seorang cowok yang ganteng banget sedang


duduk di pusat jajan. Kedengarannya mereka sedang berdebat tentang
siapa yang tadi memenangkan video game di atrium.
"Hei! Rachel!" Marco berteriak memanggil saat kami lewat.
"Ngapain kalian di sini?"
Aku sebal deh harus berpura-pura begini. Goblok banget
kayaknya. Tapi memang kami harus kelihatan bertemu tanpa sengaja.
"Kami shopping," gumamku. "Kalian kan tahu aku senang
shopping."
"Gabung dengan kami, yuk. Kalian mau nacho?" tanya Jake
sambil tersenyum cerah.
Aku memandang piring kertas berisi nacho. Semuanya sudah
kosong. Cuma ada sisa noda keju berwarna jingga kekuningan. Ada
noda jingga yang sama di dagu cowok keren yang duduk di antara
Marco dan Jake.
Jake mengikuti pandanganku dan ia memutar bola matanya.
"Paling tidak kali ini ia tidak memakan piringnya."
"Halo," sapa Ax padaku. "Aku sepupu Jake, Phillip. Sepupu
Jake. Pesusu. Pusepu. Aku dari luar kota."
Aku tak dapat menahan tawa. Sudah lama Ax menciptakan
morph manusia dari DNA yang disadapnya dari kami berempat.
Jadinya ia campuran aneh kami berempat. Ia cowok, tapi manis-manis
aneh.
Ia kelihatannya seperti manusia. Memang sih ia dasarnya
manusia. Tapi ia masih punya banyak masalah beradaptasi sebagai
manusia. Yang paling utama, karena Andalite tidak punya mulut,
baginya mulut manusia sangat memesona dan luar biasa. Makanya ia
senang banget main-main dengan bunyi kata-kata.
Dan cowok ini bahaya sekali kalau menghadapi makanan.
"Enak tidak nacho-nya?" tanyaku.

"Rasanya campuran lemak dan garam. Plus ada rasa lain yang
mengingatkanku pada rasa oli mesin lezat yang pernah kucicipi. Oli.
0-1i-o."
"Oli mesin?" tanya Jake. "Ax... maksudku, Phillip... Ingat tidak,
aku pernah bilang kau tak boleh makan puntung rokok ataupun serbet?
Nah, tambahkan oli mesin pada daftar itu."
Ax mengangguk. "Baik. Wah, banyak peraturan ya, dalam soal
makan."
Marco menarik kursi untukku. "Oke, kalau kita sudah selesai
basa-basi, ayo kita ke pokok persoalan."
"Tobias datang tadi pagi," kata Jake pelan. "Dia mengawasi
tempat itu dari atas. Dia pikir para Pengendali di tempat itu punya
transponder kecil di pinggang mereka yang membuat mereka bisa
melewati force field."
"Jadi kita harus merampas transponder," Rachel menyimpulkan.
"Tidak," kata Ax. "Transponder itu akan diatur sesuai tanda
biokimia pemakainya. Kaum Yeerk tidak se..."
"Jangan sebut-sebut kata itu," desis Jake.
Kulihat mata Marco jelalatan, melihat apakah ada orang berada
cukup dekat sehingga bisa mencuri dengar obrolan kami.
"Sori. Ri. Sou-ri," kata Ax. "Rencana Rachel takkan bisa
dijalankan."
Jake menghela napas. "Tobias juga melihat sesuatu. Ada
lubang-lubang kecil di fondasi kayu bangunan itu. Menurut
pendapatnya itu kerjaan rayap."
"Rayap?" tanyaku.
Jake mengangguk. "Yap."
Aku menelan ludah. "Jake, rayap kan hampir sama dengan
semut."

"Yah, semut lebih galak sih," kata Jake. "Aku sudah cari info di
Internet. Lagi pula kalau kita bermetamorfosis menjadi rayap di koloni
itu, kan tak ada masalah."
Aku jadi sesak napas. Kulihat wajah Marco sudah pucat.
Bahkan tampang Ax pun suram.
"Kau tidak serius, kan?" tanyaku pada Jake. "Maksudku, rayap?
Masa rayap sih?"
Mungkin aku kedengaran agak histeris. Soalnya aku memang
merasa sedikit histeris.
"Aku tak punya rencana lain," kata Jake. Ia menunduk menatap
meja, menggigit-gigit bibir bawahnya. "Cassie, kau benar ketika
bertanya bagaimana mereka mendapat izin membabat hutan. Itu titik
lemah mereka. Kita harus tahu dari mana izin itu. Untuk mengetahui
itu kita harus masuk ke dalam bangunan itu."
"Lewat terowongan rayap?" tanya Marco. "Lagi pula,
bagaimana kita bisa menangkap rayapnya? Mereka semua kan ada
dalam force field?"
Alangkah leganya jika kata-kata Marco itu benar, bahwa kami
tak bisa menangkap rayapnya. Tapi ketika aku memandang Jake, ia
cuma menggeleng sedikit. "Tobias bilang, hari ini mereka mengubah
sedikit bentuk bangunan. Mereka menambah sinar Dracon. Untuk itu
mereka harus membuang beberapa tiang kayu."
Jake merogoh saku jaketnya. Ia menarik keluar tabung gelas
kecil. Tutupnya berlubang-lubang agar udara bisa masuk.
Di dalam tabung itu ada serangga kecil mungil, cokelat-putih.
Ukurannya sama dengan semut. Kepalanya yang besar berwarna
cokelat.
"Ini dari koloni yang sama," kata Jake. "Dari bangunan yang
sama."
Aku menatap rayap itu. Ia sedang mencoba merayapi sisi
tabung, tapi tergelincir turun lagi.

Rayap itu tak berdaya. Ia terperangkap dalam penjara gelas


yang baginya tentu berukuran besar sekalidipegangi oleh raksasa
yang begitu besar sehingga tak bisa dibayangkan oleh si rayap.
Jake membuka tutup tabung.
"Kita tidak jadi rayap kalau ada yang tidak setuju," katanya.
"Tapi kita tak bisa membiarkan bangsa... mereka... membabat hutan."
Rachel mengulurkan tangannya. Jake menunggingkan tabung,
sampai rayap itu mendarat di telapak tangan Rachel.
Aku melihatnya merayapi garis-garis tangan Rachel. Dan aku
melihat rayap itu diam, sementara Rachel menyerap pola DNA-nya.
Kubayangkan diriku menjadi rayap itu. Merayap di atas tangan
raksasa. Menganggap semua lekukan di tangan Rachel sedalam parit.
Setelah Rachel selesai, kuulurkan tanganku. Tanganku gemetar.
Aku tak bisa menghentikannya.
Pusat jajan yang terang benderang itu tiba-tiba terasa suram.
Astaga, serangga kecil ini bikin aku takut.
Jauh di dalam hatiku, aku benar-benar ketakutan.

Chapter 9

KAMI akan pergi malam ini. Malam ini juga.


Sorenya kami diharapkan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan
rutin di rumah dan bikin PR.
Coba saja sendiri. Cobalah mengerjakan PR sambil berpikir
bahwa dalam beberapa jam mendatang hidupmu mungkin akan tamat.
Cobalah berkonsentrasi mengerjakan soal-soal matematika, sementara
kau tahu persis tak lama lagi kau harus berubah jadi rayap dan
menyelinap masuk bangunan maut yang dijaga ketat.
Selamat deh.
Aku pergi ke gudang jerami. Ayahku sedang di sana, mengecek
pasien-pasiennya. Ia tidak memerlukan bantuanku, tapi ia juga tidak
melarangku.
"PR-mu sudah selesai?"
"Hampir," aku menambah satu kebohongan lagi pada tumpukan
kebohongan yang sudah kubuat.
"Aku tadi hendak memeriksa sigungmu yang kita ambil
semalam. Dia gelisah sekali, jadi kuberi sedikit obat tidur."
"Jantan atau betina, Dad?"
"Betina."
Ayahku membawa sangkar ke ruangan kecil di sebelah yang
biasa digunakannya untuk memeriksa pasien. Kukeluarkan sigung itu
dari kandang dan kugendong ke meja periksa. Ia kelihatan tenang
sekali, tapi itu tenang buatan, tenang gara-gara obat.
Semalam Dad sudah membalut lukanya, dan sekarang dengan
hati-hati ia melepas kain kasa pembalutnya. Luka bakar itu

membuatku berjengit, walaupun aku sudah pernah melihat beratusratus binatang yang terluka.
"Hmm. Ffinm. Pah. Pah. Pah. Hmmm."
Itu suara yang biasa diucapkan Dad jika ia sedang memeriksa
sesuatu yang menarik. "Pah." Aku tak tahu kenapa, tapi Dad selalu
begitu.
"Aneh. Sangat luar biasa. Aku sama sekali tak bisa menebak
apa yang menyebabkan lukanya ini. Terlalu rapi. Terlalu bersih. Apa
pun penyebabnya, pastilah panas sekali, sehingga membakar
jaringan."
"Ototnya terluka atau cuma luka luar?" tanyaku.
Dad mengerling padaku dan tersenyum. "Sebagian besar cuma
mengenai bulu dan kulit. Tapi ada luka yang cukup parah di bahu sini.
Jauh lebih dalam. Untung tulang punggungnya utuh dan dia akan
hidup. Mudah-mudahan saja anak-anaknya juga begitu."
"Apanya? Dia punya anak?"
"Yeah. Kira-kira enam atau tujuh minggu usianya."
"Dia punya anak? Di hutan sana?"
Dad mulai membalutnya lagi dengan kain kasa baru. "Cassie,
kau tahu, alam memang kadang-kadang kejam."
"Tapi anak-anaknya masih terlalu kecil untuk bisa hidup
sendiri, kan?"
"Aku tidak tahu pasti," katanya, tanpa berani menatapku.
Kupikir kadang-kadang Dad juga berbohong kepadaku. Untuk
kebaikanku sendiri, tentu. Paling tidak ia pikir itu untuk kebaikanku.
"Mereka menunggu di sarangnya, bingung karena induknya
tidak pulang-pulang," kataku. "Mereka akan mati kelaparan. Atau
dimakan binatang pemangsa."
"Ulurkan gunting," kata ayahku.
"Yeah. Ini. Ehm, Dad, boleh tidak aku menginap di rumah
Rachel malam ini?"

"Tentu, Sayang. Kau tahu, kan, asal Mom bilang oke. Hei, kau
tidak tanya bagaimana hasil rapatku dengan produsen makanan kucing
pagi ini. Kita mendapat dana tambahan lho!"
Kami ngobrol sambil memeriksa berkeliling. Tapi hatiku resah.
Aku mencemaskan beberapa anak sigung di suatu tempat di hutan,
sedang menangis menantikan induk mereka,
Dan aku juga menyesal kenapa Dad begitu gampang
memberiku izin menginap di rumah Rachel. Karena, tentu saja, aku
tidak menginap di sana. Rachel akan bilang pada ibunya bahwa ia
menginap di rumahku. Dan Jake akan berbohong pada orangtuanya,
dan Marco akan berbohong pada ayahnya, dan kami semua akan
terperangkap dalam situasi yang tidak kami inginkan.
Aku akan menghadapi maut, malam ini juga. Dan aku
sebetulnya sama sekali tak ingin bohong pada ayahku.
Aku teringat terowongan semut. Yang kuingat persis seperti
yang kulihat dalam mimpiku. Aku belum pernah benar-benar
melihatnya dalam kenyataan. Semut tidak bisa melihat dengan jelas,
dan di bawah tanah tak ada cahaya.
Tapi dalam mimpi aku melihat semuanya. Aku melihat kepala
besar semut-semut musuh yang berkilau bagai logam ketika mereka
menembus dinding pasir dan menjepitkan jepit besar mereka ke
tubuhku, mencoba membuatku remuk.
Tahukah kau bagaimana rasanya kalau kau mau mati, tanpa
punya kesempatan berubah jadi manusia lagi? Bagaimana rasanya
mati sebagai semut, terperangkap di neraka yang belum pernah
dikunjungi manusia?
Dan sekarang terbayang juga olehku anak-anak sigung.
Kelaparan. Menangis memelas, dan tangisan mereka justru jadi
semacam panggilan bagi binatang pemangsa.
"Sayang, kau baik-baik saja?"

Ternyata ayahku sedang menatapku. Tanpa kusadari tadi


napasku jadi berat, seakan aku mau menangis. Butir-butir keringat
menghiasi dahiku.
"Yeah. Aku baik-baik saja," kataku lesu.
Dad menyelesaikan pekerjaannya dan pergi.
Aku tetap tinggal. Aku kembali ke kandang sigung. Kubuka
pintu kandang dan kumasukkan tanganku. Aku tidak memakai sarung
tangan.
Kau tahu kan, kau tidak bisa menyerap pola DNA kalau kau
memakai sarung tangan.

Chapter 10

"WAH, kejutan nih, kalian semua kumpul di sini," bisik Marco.


"Semua belum berubah pikiran?" tanya Jake.
"Jelas," jawab Marco. "Kami sudah tak sabar malah. Siapa yang
mikir tidur kalau bisa ikut misi bunuh diri?"
Gelap gulita. Saat itu pukul tiga dini hari. Kami berada di tepi
hutan. Jake, Rachel, Marco, dan aku. Tobias bertengger di dahan
pohon di atas kami.
Ax juga ada di sana. Ia berada dalam wujud aslinya, mata di
ujung tanduknya memandang tajam ke segala arah.
"Kupikir kita morph menjadi burung hantu saja," usul Jake.
"Gerakan mereka gesit dan mereka bisa terbang cepat di malam hari.
Sampai kita tiba di dekat tempat mereka."
Aku lega. Burung hantu pilihan yang baik untuk apa yang
kurencanakan. Burung hantu satu-satunya pemangsa sigung dewasa.
Soalnya beberapa spesies burung hantu tidak punya indra penciuman.
Itu hal yang bagus kalau kita mau makan sigung.
Tentu saja aku bukan mau makan sigung dewasa. Aku cuma
mau mencoba mencari beberapa bayi sigung.
<Sayang sekali aku tidak bisa pergi bersama kalian,> kata
Tobias. <Tapi di malam hari aku tak banyak berguna. >
"Kau kan sudah menemukan jalan menuju tempat itu," kata
Jake. "Dan kau juga telah menangkap rayap supaya kami bisa
menyerap DNA-nya."
"Dan kami sungguh berterima kasih padamu," celetuk Marco
dengan nada konyol.

Kami semua tertawa, tawa cemas. Lega rasanya mengetahui


bahwa yang lain sama takutnya seperti aku.
Kami semua mulai membuka pakaian luar kami. Di baliknya
kami sudah siap dengan pakaian morph kamigabungan celana
sepeda, baju senam, dan T-shirt. Kami bisa morph jika memakai
pakaian ketat, tapi kalau pakai sweter, sepatu atau arloji, jangan harap
deh.
Jake memakai celana sepeda dan kaus spandex. Marco
mencibir.
"Apa?" tuntut Jake.
Marco pura-pura tolol. "Tidak. Tidak apa-apa. Aku cuma bilang
kalau kita mau jadi superhero, kita perlu mengubah pakaian kita yang
konyol ini. Kita kelihatan seperti atlet senam Bulgaria yang
membelot."
"Kecuali Rachel, tentunya," kataku. Rachel telah berhasil
memadankan dengan tepat pakaiannya. Ia kelihatan oke banget.
"Begini rencananya," kata Jake. "Kita berubah jadi burung
hantu untuk mendekati tempat itu. Kira-kira dua ratus meter dari
kompleks, kita kembali jadi manusia. Kemudian kita merangkak
mendekat, berubah menjadi rayap, menyusup masuk lewat bawah
force field, dan memasuki bangunan lewat lubang rayap di depannya."
"Yah, yang penting asyik dan simpel deh," kata Rachel muram.
Ia menatapku, dan kusadari bahwa Rachel yang tak kenal takut itu pun
kini takut.
Aku jadi tambah takut.
Kucoba berkonsentrasi untuk menjadi burung hantu. Tapi
pikiranku merayap ke mana-mana. Memang kadang-kadang kita tak
bisa menyetop pikiran kita yang berkelana? Seperti komputer yang
sekaligus memainkan berbagai program.

Aku mencemaskan banyak halproyek ilmu alamku,


berbohong pada orangtuaku, apakah Ax benar-benar mencoba minum
oli mesin, apakah bayi-bayi sigung sudah keburu mati...
Aku tak ingin mulai mencemaskan hal-hal yang sebetulnya
memang bikin aku cemas.
Entah bagaimana hidupku jadi ruwet dan aneh begini.
Kulihat Ax berubah wujud dengan cepat. Ekornya jadi lemas,
seperti kaus kaki kosong. Bulu-bulu burung sudah menggantikan bulu
aslinya.
Aku menunduk, memandang lenganku sendiri dan melihat pola
sayap sudah terpeta di kulitku. Pola sayap itu sebetulnya indah, jika
kau tidak menyadari bahwa sayap itu menempel di tubuhmu. Kau bisa
melihat helai sayap burung itu, kerangkanya yang melengkung
lembut. Dari kerangka itu ribuan helai bulu muncul.
Kemudian, dengan tiba-tiba pola sayap itu berubah menjadi tiga
dimensi. Tiba-tiba saja menyembul dari kulitku. Rasanya sedikit gatal
ketika bulu-bulu tumbuh di sekujur tubuhku.
Sementara itu tubuhku mengecil. Makin lama makin kecil.
Tanah dan rontokan daun-daun pinus dan dedaunan dan rantingranting, semuanya seperti menyongsongku.
Kakiku jadi kasar seperti kapalan. Jari-jari kakiku menyatu,
kemudian membentuk cakar. Kuku-kuku tajam melengkung muncul.
Cakar tajam itu senjata utama bagi burung hantu besar
bertanduk. Seekor burung hantu akan terbang tanpa suara di malam
hari. Kemudian ia akan menyerang, mencengkeram kepala
mangsanyakelinci, marmut, tikus, sigung.
Tulang-tulang dalam tubuhku mengatur perubahannya sendiri.
Banyak yang hilang begitu saja. Yang lain jadi bengkok dan
melengkung. Tulang dadaku jadi lebih ke dalam. Tulang jari-jariku
mula-mula memanjang, kemudian memendek. Proses ini
menimbulkan bunyi berkeretak yang menyeluruh dalam tubuhku.

Organ-organ tubuhku juga berubah. Dan mataku membesar


terus, sampai rasanya memenuhi seluruh kepalaku. Mataku besar
sekali jika dibanding ukuran tubuhku, sehingga kedua mata itu nyaris
bergesekan dalam tulang kepalaku.
Tiba-tiba saja malam sudah berubah jadi terang benderang.
Seperti siang hari.
Sinar yang bagi mata manusiaku hanya setemaram sinar lilin
yang berkedip, bagi mata burung hantuku terang benderang seperti
lampu sorot.
<Whoa!> kudengar Rachel berteriak.
<Aku suka mata ini,> komentar Ax. <Luar biasa.>
Kubentangkan lenganku untuk mengepakkan sayapku.
Perubahanku sudah sempurna. Kurasakan naluri burung hantu. Naluri
pemangsa.
Aku sudah pernah berubah jadi burung hantu, jadi aku tahu apa
yang akan terjadi. Aku sudah pernah menggunakan mata dan
sayapnya dan merasakan otaknya. Yah, memang tidak otomatis begitu
saja sih, tapi paling tidak itu semua tidak bikin kaget lagi.
<Siap?> tanya Jake.
Kukepakkan sayap dan kutarik kakiku. Dengan mudah aku
meluncur melewati dahan-dahan pohon, yang dalam kegelapan itu tak
terlihat oleh mata manusia, tapi jelas seperti neon bersinar bagiku.
Kulihat Tobias bertengger di salah satu dahan. Kurasakan naluri
elangnya yang menyuruhnya hati-hati saat serombongan burung hantu
terbang melewatinya.
Siang hari elang merajai, tapi malam hari milik burung hantu.
<Selamat berjuang,> kata Tobias. <Jangan makan sesuatu yang
aku tak suka.>
<Hohoho,> Marco tertawa. Ia senang banget jadi burung hantu.
Kayaknya aku juga. Ada kekuatan istimewa yang muncul ketika kita
jadi binatang. Terutama kalau jadi binatang pemangsa.

Di angkasa di malam hari, tak ada yang bisa mengalahkan kami.


Kami jadi raja di hutan.
Kami terbang dalam formasi santai, tidak melayang di atas
pepohonan, tapi melewati dahan-dahannya. Sayap kami tak
mengeluarkan bunyi. Sayap burung hantu bisa dibandingkan dengan
sayap pesawat tempur canggih yang didesain dengan rumit. Malah
lebih dari itu. Bulu-bulunya didesain agar tak bersuara maupun
bergerak sementara si burung hantu melayang di angkasa malam yang
sunyi.
Tikus-tikus yang ketakutan, yang memasang telinga bersiap
menghadapi kemungkinan bahaya yang ada, sama sekali tak
mendengar apa-apa ketika burung hantu menukik untuk
menyambarnya.
Pendengaranku sama tajamnya dengan penglihatanku. Aku bisa
mendengar apa saja, sama seperti serigala.
Saat kami terbang menuju kompleks penebangan hutan, kucoba
memikirkan tujuanku yang lainkucoba mendengarkan tangis bayibayi sigung. Mataku tajam mencari-cari langkah terseret-seret bayi
sigung yang tersesat.
<Rasanya aneh sekali,> kata Marco. <Aku suka bagian ini.
Bagian berikutnyalah yang aku sama sekali tak suka.>
<Semuanya akan beres,> kata Jake.
<Yeah. Maksudku, mana mungkin sih tidak beres?> komentar
Rachel kering.
Aku meluncur dan melayang di antara pepohonan.
Pandanganku tajam mencari-cari di tanah di bawahku dan
pendengaranku kupusatkan. Dengan begitu aku berhasil tiba di
kompleks Yeerk tanpa harus mencemaskan apa yang akan terjadi.

Chapter 11

< KITA hampir sampai,> kata Jake. <Beberapa menit lagi.>


Bahkan dengan bahasa pikiran begitu, aku bisa mendengar
ketegangan dalam suaranya. Kurasakan seperti ada tangan dingin
meremas hatiku.
Kemudian...
Terdengar bunyi. Bunyi yang dilatarbelakangi bunyi-bunyi lain.
Tapi bunyi yang ini adalah bunyi yang ingin didengar otak burung
hantu. Bunyi makhluk lemah. Bayi kecil yang lemah dan tak berdaya.
Itu dia! Datangnya dari dalam lubang yang pasti tak bisa dilihat
binatang lain dalam malam yang gelap gulita begini. Lubang yang
digali di bawah akar semak berduri.
Empat... bukan, malah lima bunyi yang berlainan. Apakah
mereka bayi-bayi sigung? Mungkin. Aku tak yakin. Tapi saat ini
malam hari, dan kedengarannya mereka kesepian. Mungkin saja
mereka bayi sigung.
Aku memandang berkeliling, kutolehkan kepala burung
hantuku. Kucoba mengingat tempat itu. Pohon-pohonnya. Bukit
karang yang berjarak kira-kira setengah meter dari lubang. Aku ingin
bisa menemukan tempat ini kembali.
Kalau aku masih hidup nanti.
Tangisan bayi-bayi itu menyentuh sesuatu dalam hatiku. Dalam
hati Cassie yang manusia. Tapi bagi burung hantu, itu panggilan
bersantap.
Aneh rasanya, ada dua perasaan yang begitu berbeda dalam
kepalamu pada saat yang bersamaanbelas kasihan manusia dan
kekejaman pemangsa. Aneh.

<Oke,> kata Jake beberapa detik kemudian. <Di sini. >


Kami meluncur turun dan mendarat. Cepat-cepat aku berubah
wujud menjadi manusia lagi. Aku tak ingin lebih lama lagi merasakan
naluri pemangsa dalam pikiranku. Tidak saat itu.
Dunia menjadi gelap pekat saat mata manusiaku kembali. Hutan
menjadi tempat yang lebih gelap dan lebih sunyi bagi kami.
Aku memandang berkeliling dan tak bisa melihat satu pun
tanda-tanda yang kucoba kukenali. Tak mungkin aku bisa menemukan
bayi-bayi sigung itu dalam gelap. Paling tidak, kalau memakai mata
manusiaku pasti tak bisa. Mungkin di siang hari. Aku bisa kembali
besok pagi.
Seandainya...
"Oke, kita harus berusaha mendekati kompleks," bisik Jake.
"Jangan sampai kita terlihat dalam bentuk manusia. Tapi kita pun tak
bisa berubah jadi rayap dalam jarak yang terlalu jauh dari bangunan.
Rayap tidak bisa bergerak cepat."
<Aku punya usul, Pangeran Jake,> kata Ax.
Ax memang mengira Jake sederajat dengan pangeran Andalite.
<Kita harus mengalihkan perhatian,> lanjut Ax. <Kita beri para
Yeerk itu sesuatu yang bisa mereka kejar.>
Aku langsung tahu apa yang ada dalam pikirannya. "Andalite?"
tanyaku.
<Para Yeerk pasti tak bisa tinggal diam,> katanya.
"Kau bisa mati kalau begitu caranya," kata Marco.
"Tidak, Ax," kata Jake. "Kau harus masuk ke dalam. Siapa tahu
ada komputer Yeerk di sana. Kami memerlukanmu. Tapi mengalihkan
perhatian bukan ide jelek." Jake menatapku. "Ada yang mau jadi
relawan? Mungkin ini malah lebih aman daripada masuk ke dalam."
Ia menawarkan jalan keluar padaku. Jalan untuk menghindar
menjadi rayap. Seharusnya aku bilang ya. Aku ingin bilang ya.

Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa cari gampangnya saja. "Oke,
kita undi saja. Ax tak usah diundi, karena dia harus ikut masuk."
Jake menarik empat helai rumput panjang. Semuanya dipotong
sepanjang kira-kira lima belas senti. Kemudian satu di antaranya
dipotong lebih pendek lagi. "Yang dapat rumput pendek main petak
umpet dengan Yeerk."
Bagian bawah potongan rumput itu disembunyikannya dalam
genggamannya.
"Lain kali kita main yang lain ah," kata Marco sambil menarik
sehelai rumput. "Gundu, misalnya. Aku tidak suka permainan yang
taruhannya hidup atau mati."
Bergantian kami menarik rumput. Panjang. Kutatap lagi rumput
di tanganku. Ya, panjang.
Jake kelihatan kaget. Ternyata ia yang memegang rumput
pendek.
Kami semua kaget. Bagaimanapun, rasanya sudah otomatis
bahwa Jake akan selalu bersama kami.
Marco menyeringai. "Cepat atau lambat kita harus mencoba
melaksanakan misi tanpa kau, oh pemimpin besar yang tak kenal
takut."
Marco masih bisa bergurau. Tapi tak seorang pun dari kami
merasa tenang menyusup masuk tanpa Jake. Sekarang sudah terlambat
mengubah semuanya.
"Oke," kata Jake tegas. "Kalian sudah tahu apa yang harus
dilakukan. Aku akan berubah menjadi serigala. Para Yeerk akan
mengejar-ngejar serigala."
Jake berjalan pergi. Kemudian ia berhenti dan menoleh. "Hatihati, ya?"
"Pergilah, Mom," kata Rachel. "Kami bisa menanganinya.
"Paling tidak itulah harapan kami," gumamku.
Jake pergi dan sebentar saja sudah tak kelihatan.

"Oke, kita harus siap begitu Jake mulai membuat kerusuhan,"


kata Rachel. "Kalau kita mendengar ada keributan, kita berlari
mendekati kompleks, bersembunyi di balik pepohonan, morph, dan
berharap bisa menemukan jalan ke dalam bangunan.."
<Apa yang kauketahui tentang rayap?> tanya Ax.
"Mereka seperti semut," jawab Marco.
"Sebetulnya mereka bersaudara dengan kecoak," kataku. "Aku
pernah membaca dalam buku milik ibuku. Mereka hidup berkelompok
seperti semut, tapi mereka saudara kecoak. Mereka makan selulosa
zat yang ada dalam kayu. Bakteri dalam perut mereka mencernakan
kayu itu. Rayap pekerja menyisihkan kotoran mereka. Dan rayap
tentara memakannya. Kurasa, kalau melihat rayap yang dibawakan
Tobias waktu itu, kita akan menjelma menjadi rayap tentara."
Ketiganya terbelalak menatapku, kelihatan agak mual. "Yah,
Ax kan ingin tahu," kataku.
Sorot lampu!
"Lihat!" desisku. "Itu, menembus hutan. Pasti dari sisi lain
bangunan. Lampu sorot baru saja menyala."
Kami mendengar suara orang-orang berteriak. Dan kemudian
terdengar geraman liar serigala.
"Itu dia. Ayo beraksi," kata Rachel.
Kami berlari menuju kompleks. Kami berlari sambil menunduk,
berganti-ganti bersembunyi di balik semak atau pohon. Kemudian,
ketika kami telah semakin dekat, kami merangkak.
Kami mendengar teriakan-teriakan dan suara tembakan sinar
Dracon yang mengerikan.
"Kuharap dia selamat," bisikku. Kupikir tak ada yang dengar.
Tapi Ax berkata, <Pangeran Jake cerdas sekali. Dia pasti
selamat.>
"Bagaimana menurut kalian, apakah kita sudah cukup dekat
sekarang?" tanya Marco.

Kami sudah lebih dekat daripada hari sebelumnya. Hanya


tinggal kira-kira semeter dari padang terbuka. Kami semua
berkerumun, membungkuk di balik sebatang pohon besar. Termasuk
Ax, walaupun dalam keadaan normal, susah baginya untuk
membungkuk.
Kami berkerumun rapat, seperti sedang berpelukan. Kalau
berubah wujud nanti, kami akan menjadi sangat kecil. Dan jarak
sejengkal pun akan serasa bermeter-meter.
"Waktunya merayap," kata Rachel. Sebelah tangannya
memeluk punggungku.
Aku sudah sangat ketakutan. Takut memikirkan nasib Jake.
Takut memikirkan nasib teman-temanku. Takut jadi rayap.
"Mudah-mudahan kita semua selamat," gumamku.
"Amin," kata Marco. Bahu kami berdempetan. Kepalaku
menyentuh kepalanya.
Dan kemudian, saat tulang-tulangku berkeretak dan gigiku
gemeretuk karena ketakutan, aku memulai proses yang akan
melenyapkan tulangku dan melelehkan gigi-gigiku.
Turun, turun, turun.
Jatuh... jatuh terus-menerus. Seakan aku meloncat dari Empire
State Building, gedung paling tinggi di New York, dan terjatuh. Tapi,
walaupun terjatuh, aku tidak terempas di tanah.
Aku menjelma dari gadis yang tingginya kurang dari satu
setengah meter menjadi serangga yang panjangnya kurang dari
setengah senti. Aku menjadi sesuatu yang bisa merayap ke dalam
lubang telingaku sendiri.
Teman-temanku yang semula begitu rapat di dekatku, kini
sudah terasa jauh. Dengan mataku yang sebagian masih mata manusia,
kulihat wajah Rachel mulai berubah, menjadi menggelembung.
Kulihat rahang bawahnya yang besar mencuat, seperti gading hitam
yang mencuat ke samping.

Dan kemudian pandanganku menjadi gelap.


Aku buta.
Dan aku senang karenanya.

Chapter 12

AKU tak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan sungutku yang
mencuat dari keningku.
Aku tak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan sepasang kaki
ekstra yang muncul dari samping kiri-kanan tubuhku.
Aku bisa merasakan, walau tak bisa melihat, bahwa kepalaku
sangat besar dibanding sisa tubuhku yang lain. Aku bisa merasakan
bahwa perutku menggelembung. Aku bisa merasakan capit besar yang
menggantikan mulutku.
Aku ingin menjerit. Aku ingin sekali menjerit, tapi aku tak lagi
punya suara. Aku tak lagi punya lidah.
Panjangku kurang dari setengah senti. Aku cuma sepanjang dua
atau tiga huruf di halaman ini. Butir-butir pasir kelihatan seukuran
bola boling bagiku. Dengan alat perabaku yang bergerak liar aku b isa
merasakan adanya sesuatu yang panjang, seperti batang pohon yang
roboh. Di atas kepalaku. Lambat laun aku menyadari itu hanyalah
sehelai daun pinus.
Aku menunggu naluri dan pikiran rayap menyatu dengan naluri
dan pikiranku. Tapi otak rayap tak mengirim sinyal apa-apa. Otak
rayap diam tak berfungsi.
Indra perabaku tak mengatakan apa-apa. Aku buta. Aku bisa
merasakan getaran suara, tapi samar sekali. Pendengaran rayap tidak
sebagus pendengaran saudaranya, si kecoak. Aku tahu. Aku kan
pernah jadi kecoak.
Satu-satunya yang kupunya hanyalah indra penciuman. Atau
sesuatu seperti bau yang datangnya dari sungutku yang melambai di
udara.

<Semua oke?> tanyaku gemetar. Aku ingin sekali ngomong.


Dengan siapa saja. Aku perlu tahu bahwa yang lain masih hidup.
<Yeah,> Rachel menjawab. <Kurasa aku baik-baik saja. Cuma
aku tidak bisa lihat apa-apa nih.>
<Rayap buta, kecuali raja dan ratunya,> kataku. Suaraku
kedengaran lebih tenang daripada yang kurasakan.
<Rayap ini binatang yang aneh sekali,> komentar Ax. <Aku
tidak merasakan apa-apa. Seakan mereka cuma tubuh saja. Cuma
mesin.>
<Kalau begitu, ayo kita bawa tubuh ini keluar dari sini,> kata
Marco. <Cepat atau lambat para Yeerk akan bosan mengejar-ngejar
Jake keliling hutan.>
<Ke arah mana?> tanya Rachel. <Jadi masalah nihsoalnya
kita buta total.>
<Aku... mungkin aku gila, tapi aku merasa... rasanya ada yang
memanggilku,> aku menjelaskan.
<Mungkin,> kata Marco. <Aku juga merasa begitu. Seperti ada
yang berteriak dari kejauhan.>
<Ayo, kita ikuti saja. Apa pun itu,> kata Rachel. <Itu lebih baik
daripada tidak jelas mau ke mana.>
Aku merayap menuju suara di kejauhan itu. Aku tak tahu
apakah yang lain juga bergerak ke arah yang sama. Kurasa mereka
semua ada di sekitarku, berjarak beberapa senti dariku, tapi aku tak
tahu pasti.
Kaki rayap tidak begitu kuat dan tidak bisa berlari cepat. Tidak
secepat semut. Aku bisa merasakan karang yang kudaki. Atau butiran
kerikil, kurasa ini sebetulnya cuma kerikil. Tapi rasanya seperti
mendaki bukit karang. Seperti potongan-potongan kristal tajam
sebesar kepala manusia.
Kukerahkan segenap tenaga ke keenam kakiku. Kucoba sebisa
mungkin untuk tidak memikirkan apa pun kecuali maju. Terus maju,

kataku menyemangati diri sendiri. Jangan pikirkan betapa kecil dan


tak berdayanya dirimu.
<Hei. Aku merasakan sesuatu,> kata Rachel. <Ini... kurasa ini
tempat mulainya force field.> LWS.OGOT.M
Pada saat yang bersamaan aku sendiri mencapai force field.
Aku merasakan dengung yang menggetarkan seluruh tubuh kecilku.
Kurasakan karang-karang di sekitarku bergetar. Kurasakan bahkan
udara di sekitarku pun menari-nari.
<Paling tidak kita menuju jurusan yang benar,> kata Marco.
Aku bergerak, mendekat ke dinding getaran yang tak kelihatan
itu. Tiba-tiba kusadari kakiku bergerak, tapi aku tidak bergeser.
<Kita harus menggali di bawahnya,> kata Ax. <Pengaruh
tembok ini akan berakhir di lapisan tanah yang paling atas.>
<Apa ada yangtahu bagaimana tubuh kecil begini bisa
menggali?> tanya Rachel sinis.
Kurapatkan diriku ke tanah dan kucoba menerobos di antara
dua butir debu. Percuma. Kemudian kurasakan sehelai daun pinus
tergantung di udara, tak jauh di atasku.
Aku bergerak mendekatinya. Daun pinus itu dekat ke tanah, tapi
masih cukup jauh jaraknya dariku.
<Hei!> aku berteriak, tegang. <Cari daun pinus atau apa pun
yang menyeberangi garis batas. Kurasa tak ada force field di balik
daun itu.>
< Ya,> kata Ax. <Daun pinus mungkin menimbulkan bayangan
pada force field.>
Kuraih daun pinus itu dengan sungutku dan aku merayap di
baliknya. Aku bisa merasakan getaran force field di kanan-kiriku.
Tapi daun pinus itu memang membentuk bayangan. Dan di dalam
bayangan itu aku berhasil menembus masuk.

<Aku sudah masuk!> kataku. Pada saat bersamaan, aku


menyadari bahwa suara sayup yang kudengar memanggilku kini
terdengar makin jelas.
Aneh, sejenak aku malah menganggap itu suara ibuku. Dan aku
ingin menghampirinya.
Kugerakkan keenam kakiku dan aku berjalan menuju tumpukan
batu besar. Aku sekarang yakin arah mana yang harus kutuju. Aku
bisa mendengar suara dalam kepalaku. Aku bisa mendengar panggilan
itu.
Tubuh rayapku seakan bergerak sendiri sekarang. Seakan aku
ini cuma penumpang dalam mobil yang dikendarai orang lain.
<Semua sudah berhasil masuk?> tanyaku.
<Sudah,> jawab Rachel.
Kayaknya ia menjawab asal-asalan. Seolah ia sedang
mendengarkan orang lain dan tak ingin aku mengganggunya. Tapi biar
saja, sebab sebetulnya aku pun tidak ingin bicara dengannya.
Dengan cepat aku berhasil tiba di bangunan. Aku sih tidak
melihat bahwa itu bangunannya, tapi pokoknya aku tahu. Yang lebih
parah lagi, aku bahkan tak sempat merenungkan bagaimana aku bisa
tahu.
<Apa yang kita...> suara Marco. Ia tidak menyelesaikan
ucapannya. Aku tidak peduli.
<Kawan-kawan? > Rachel bertanya. <Ehm...>
Aku tahu lubang itu ada di depan. Aku juga tahu bahwa para
rayap tentara lainnya akan menjaga lubang masuk itu.
Aku tak merasa takut.
Aku melangkah masuk ke lubang terowongan. Kucium bau
yang biasa. Bau yang kukenal. Rumah. Rumah. Tempatku. Dari mana
aku berasal. Di sinilah tempatku.

Aku membaui para tentara lainnya dengan sungutku. Mereka


menyentuhku dengan sungut mereka, sama seperti yang kulakukan.
Kami dari koloni yang sama.
Aku bergegas ke ujung terowongan. Terowongan itu menuju ke
atas setelah berbelok tajam, tapi belokan itu tak berarti bagiku.
Tubuhku nyaris tak ada beratnya. Di depanku ada rayap pekerja. Ia
mengeluarkan sebutir selulosa yang sudah dicerna. Itulah bubur kayu.
Cepat-cepat kulahap.
Bubur kayu itu mengandung pesan-pesan. Hormon yang
diedarkan ke seluruh koloni, mengandung informasi. Perintah yang
samar-samar. Instruksi yang tidak jelas, tapi sangat kuat pengaruhnya.
Aku sekarang berbaur dengan serombongan rayap pekerja yang
sedang sibuk, mematuhi perintah tak bersuara dalam kepala mereka.
Beberapa menggali terowongan baru. Yang lain bergegas ke kamar
telur untuk merotasi telur-telur.
Dan aku juga mendapat perintah.
Aku bergegas sepanjang terowongan yang dindingnya berlumur
bubur kayu yang sudah dikunyah dan dicerna. Terowongan ini
menembus kayu kering yang menyangga bangunan.
Kurasakan cabang-cabang terowongan yang membelok ke
terowongan berikut. Terowongan di atas. Udara berembus masuk,
pelantapi segarbahkan seperti tiupan angin lembut.
Tak ada cahaya. Sama sekali tak ada. Tapi tak apa, sebab aku
buta. Aku buta, tapi aku tidak tersesat.
Apa yang kulakukan? suara asing bertanya. Kuabaikan.
JANGAN! teriak suara itu.
Aku pernah mendengar suara itu sebelumnya. Tapi datangnya
dari tempat yang jauh dan bahasa yang digunakannya tidak
kumengerti.
JANGAN! JANGAN! JANGAN! Lepaskan aku!
Aku merasa mual.

Tapi aku terus menyusuri lorong terowongan, belok sini, belok


sana. Selalu bergerak ke arah sasaran tertentu. Ada bau menyengat.
Makin lama makin jelas.
Aku menuju bau itu. Aku harus sampai ke bau itu. JANGAN!
Lepaskan aku! Lepaskan aku!
Menuju ke ujung lorong. Melewati dan menembus rombongan
para pekerja yang sedang sibuk-sibuknya. Menuju ke tengah. Ke
pusat. Ke inti.
Tolong! Tolong aku! teriak suara itu. Suara itu... suaraku.
Suara samar manusia bernama Cassie. Diriku sendiri.
Ahhhhhhhhhh!
Tiba-tiba, aku jadi Cassie lagi. Aku tahu namaku. Aku tahu
siapa aku.
Tapi percuma. Tubuh rayap ini sudah di luar kendaliku.
Keinginan yang lebih kuat dari keinginanku menguasainya.
Rayap yang tak lain adalah diriku itu tiba-tiba muncul di
ruangan terbuka yang luas. Ruangan yang sebetulnya cuma selebar
lima senti. Tapi rasanya aku berada di auditorium.
Tiba-tiba aku tahu siapa yang telah menguasai otak rayapku.
Aku tahu siapa yang telah menyingkirkan otak manusiaku.
Ia gemuk. Besar sekali. Di ujungnya kurasakan ada kepala
rayap dan tangan-tangan rayap yang melambai tak berguna. Di
belakang kepala kecil dan tubuh itu ada kantong superbesar yang
berdenyut.
Di ujungnya ada dua deret telur lengket berlendir, untuk diambil
dan diangkut oleh para rayap pekerja. Ratu.
Aku berada dalam kamar ratu rayap.

Chapter 13

RATU!
Aku bisa merasakan kekuasaannya. Ini dunianya. Semua rayap
ini budak-budaknya. Bukan hanya budakmereka tak punya
keinginan sendiri.
Sekali lagi aku menyadari siapa diriku. Tapi aku merasa lemah
dan putus asa. Aku tak sanggup menguasai tubuh rayapku. Tubuh ini
milik sang ratu.
Ia punya perintah-perintah untukkulindungi para rayap
pekerja pengangkut telur. Perintah itu datangnya dalam bentuk bau
dan perasaan yang samar-samar, tapi tak mungkin ditolak.
<Rachel,> panggilku. <Marco. Ax. >
<Aku...,> Rachel-lah yang menjawab dengan bahasa pikiran.
<Aku... aku... Oh, tidak. Tidak! Tidak!>
<Rachel! Ini gara-gara ratu. Ia menguasai kita,> kataku.
<Aku tak bisa... tubuhku... rasanya...>
<Marco! Marco, kau bisa mendengarku? Marco!>
<Dia sudah menguasaiku. Aku tak bisa menolak. Aku tak bisa
berhenti!> Marco menjerit putus asa.
Tubuhku sendiri menjauh dengan keenam kakiku.
Aku melangkah di belakang dua rayap pekerja. Masing-masing
menyangga satu telur lembek yang sangat berharga itu. Aku harus
melindungi mereka. Siapa tahu ada musuh. Kami berjalan melewati
tubuh ratu yang gendut. Menuju kepalanya.
Semut-semut. Mereka adalah musuh rayap. Kadang-kadang
mereka datang. Kadang-kadang mereka memenuhi terowongan,
mencari telur, membawanya pergi sebagai makanan mereka.

Kadang-kadang mereka bahkan menyerang si ratu. Dan para


rayap tentara menyerang mereka. Rayap-rayap tentara kadang-kadang
tewas dalam pertempuran melawan semut.
<Ratu!> kata suara Rachel. <Jalan satu-satunya... binasakan
ratu.>
Aku serasa tersengat listrik! Singkirkan ratu! Ya. Satu-satunya
jalan. Mereka tak akan menyangka. Tak akan ada yang mencegahku.
Tapi tubuhku bukan milikku. Aku tak bisa melakukannya.
Kedua pekerja itu terus berjalan di depanku. Aku bisa
merasakan bagian belakang tubuh mereka dengan sungutku. Dan aku
tahu kepala ratu ada di sebelah kananku. Paling cuma berjarak satu
senti. Kurang malah.
Kepala ratu... alat perabanya... matanya... seperti semut!
Cuma ada satu kesempatan. Konsentrasi... konsentrasi... aku
harus menipu pikiran si rayap. Aku harus mengerahkan seluruh
kekuatanku.
Kalau aku gagal, aku akan menghabiskan sisa hidupku sebagai
budak si ratu rayap. Budak yang sama sekali tak punya keinginan apaapa.
Sekarang! Lakukan sekarang!
Mendadak aku berbelok ke kanan. Rasanya seperti bergerak di
atas sirop yang lengket. Si ratu telah memerintahkan aku untuk
mengawal rayap pekerja, dan aku tidak mematuhinya.
Semut! Semut! kuteriakkan kata itu dalam kepalaku sendiri.
Semut! Binasakan! Binasakan! Binasakan semut!
Aku memanjat setengah lusin rayap yang sedang melayani ratu.
Kurasakan keinginanku melemah. Aku tak bisa melenyapkan si
ratu. Aku harus membunuh semut. Itu tujuankumenjauhkan semut
dari ratu.
Aku merayap menuju kepala ratu. Kurasakan sungutku
menyentuhnya. Kubuka capit yang merupakan mulut penjepitku...

Rayap-rayap lari serabutan seperti gila. Mereka kacau, di luar


kendali, tersesat, dan bingung. Untuk sesaat aku pun begitu. Sang ratu
telah binasa.
Kurasa, entah bagaimana, aku pun ingin melupakan siapa
diriku. Dan apa yang telah kulakukan. Aku ingin menjadi salah satu
dari rayap-rayap yang panik dan bingung itu.
<Kita bebas! Kita merdeka! Cassie, di mana kau? Keluar dari
situ!> kudengar sayup-sayup ada yang berteriak. Ax? Atau Marco?
Rachel?
<Demorph! Berubah lagi!> aku berteriak dengan kekuatanku
yang terakhir.
<Jangan! Cassie, jangan!> ada suara berteriak dalam kepalaku.
<Kau ada dalam sepotong kayu!>
<Berubah!> sekali lagi aku berteriak. Manusia. Aku ingin jadi
manusia lagi. Biarkan aku jadi manusia!
Biarkan aku keluar dari tempat ini. Keluar dari tubuh ini.
Tubuhku membesar. Dinding-dinding menjepitku. Tubuhku
memenuhi lorong. Aku tak bisa bertambah besar lagi!
Aku terperangkap! Sakit. Hanya sakit yang kurasakan! Aku
rayap yang membengkak. Lebih besar dari ratu mana pun. Besar
sekali.
Tubuhku tak bisa bertambah besar lagi. Dan aku tak bisa
berhenti. Aku sedang mencoba menjadi manusia lagi, memaksakan
tubuh manusia ke dalam ruangan yang besarnya tak lebih dari biji
kenari.
Kemudian... terjadi ledakan!
Dinding-dinding membuka. Pecahan-pecahan kayu terlontar!
Udara segar membelai kulit rayapku yang keras. Kepalaku sudah
bebas dari impitan kayu dan mulai membesar. Tapi tubuhku masih
terperangkap. Terjepit sakit sekali.

Sekarang aku punya mata. Mataku bisa melihat, tapi cuma


samar-samar. Tubuhku masih tetap kecil, dan di udara di atasku, sabit
sebesar pesawat jet menyabet ke bawah. Pecahan kayu di sekitarku
berserakan lagi dan tubuhku bebas.
Tubuhku membesar dan tumbuh. Lengan... kaki... kepalaku
sendiri.
Aku berlutut di lantai papan. Marco dan Rachel berdiri di
depanku. Rupanya Ax telah menggunakan ekornya untuk menoreh
kayu. Mereka semua telah berhasil meninggalkan ko loni rayap lebih
dulu. Mereka telah kembali ke wujud semula.
Ruangan itu gelap, tapi ada lampu-lampu indikator merah dan
hijau yang berkelip. Dan ada layar monitor komputer yang
menampilkan screen-saver segitiga yang melayang-layang dan
berubah bentuk.
"Kau tak apa-apa?" tanya Rachel. Ia membungkuk dan
meletakkan tangannya di bahuku.
Aku memeluknya. Kemudian, tiba-tiba saja, aku
mendorongnya. "Lepaskan aku! Jangan sentuh aku! Jangan sentuh
aku! JANGAN SENTUH AKU!"
Secepat kilat Rachel menubrukku. Tangannya membekap
mulutku. Marco meraih pergelangan kakiku dan memeganginya kuatkuat.
"Cassie!" desis Rachel. "Diam. Kita ada dalam bangunan
Yeerk. Kita memang ada di bangunan samping, tapi kita bisa
mendengar suara orang-orang di sebelah!"
Aku sudah tak peduli. Aku meronta dan melawan dan mencoba
menjerit.
"Ax, apa pun yang bisa kaulakukan dengan komputer itu,
lakukan sekarang!" bisik Marco tegang.
Rachel dan Marco memitingku ke lantai. Dan pelan-pelan...
sangat pelan... otot-ototku mengendur. Aku berhenti meronta.

"Kau baik-baik saja sekarang?" tanya Rachel.


Baik? Aku tak akan pernah baik lagi. Tapi aku toh
menganggukkan kepala. Rachel melepaskan tangannya dari mulutku.
"Sudah lewat, Cassie," kata Marco. "Kau menyelamatkan kami.
Bahaya sudah lewat. Dan sekarang kita menghadapi masalah lain."
"Aku tak apa-apa," kataku. "Aku baik-baik saja." Tapi aku
merinding. Teringat pengalaman mengerikan tadi.
<Aku berhasil mengakses,> kata Ax. <Akses... um... Marco,
Rachel, aku perlu bantuan manusia untuk bisa mengerti apa yang
kulihat ini.>
Marco bangkit dari lantai. Rachel tinggal menemaniku. Ia
membelai-belai rambutku, seperti apa yang dilakukan ibuku kalau aku
habis mimpi buruk.
Susah memang membayangkan Rachel bersikap keibuan. Tapi
ia melakukan hal yang benar. Aku mendengar suara-suara dari ruang
sebelah. Suara manusia. Dan Hork-Bajir, bicara dengan bahasa gadogado, campuran bahasa asli mereka dan bahasa manusia yang telah
berhasil dipelajari mereka selama bertugas di Bumi.
"Dokumen ini tentang semacam komite," kata Marco, seraya
menatap layar komputer. "Ada tiga anggota. Mereka yang
memberikan suara untuk memutuskan apa yang terjadi dengan hutan
ini. Mereka yang menentukan apakah penebangan hutan ini boleh
diteruskan."
<Dapsen Lumber Company,> kata Ax. <Begitulah para Yeerk
menamakan perusahaan penebangan hutan ini. Lucu sekali.>
"Apanya yang lucu?" tanya Marco.
<Dapsen. Ini bahasa Yeerk yang berarti... yah lebih baik tak
usah kukatakan deh. Pokoknya tidak sopan banget.>
"Lihat dokumen ini," bisik Marco. "'Izin awal untuk menjajaki
kemungkinan...' Hei! Para Yeerk belum mendapat izin final untuk
memulai menebang hutan. Komite inilah yang harus memutuskan.

Anggotanya tiga orang. Satu sudah bilang ya. Mungkin dia


Pengendali. Satu sudah jelas-jelas memilih tidak. Tinggal satu lagi.
Namanya Mr. Farrand. Uiih!"
"Kenapa uiih?" tanya Rachel.
"Uiih, karena dia akan datang ke tempat ini untuk memeriksa
lokasi," kata Marco. "Pada akhir pekan ini. Setelah itu baru dia akan
memberikan suaranya. Kalau dia setuju, barulah rencana para Yeerk
bisa dijalankan dan kita celaka."
"Dia akan setuju," kata Rachel muram.
<Kurasa begitu,> Ax menimpali. <Para Yeerk akan
menjadikannya Pengendali.>
"Tidak, kalau bisa kita cegah," kata Marco.
"Satu-satu dulu. Sekarang kita perlu keluar dari sini," kata
Rachel. "Dan kita tidak akan lewat jalan masuk tadi."
Tak seorang pun membantahnya.
<Aku mengubah sedikit program komputer ini supaya aku bisa
mengaksesnya dari komputer di rumah Marco. Dan dengan komputer
ini aku juga bisa membuka force field, setidaknya untuk sementara,>
kata Ax. <Tapi di luar masih ada penjaga. Dan di ruang sebelah ada
Hork-Bajir.>
"Yeah. Kita harus bergerak cepat," kata Rachel. "Cassie,
bisakah kau berubah? Jadi serigala? Aku akan terus menemanimu."
Bisakah aku berubah? Mendengar kata itu saja aku langsung
muak. Tapi bahkan dalam ketakutan pun aku menyadari bahwa
menjadi apa pun lebih baik daripada kembali ke koloni rayap.
Lima menit kemudian, Ax membuka pagar, kami berubah
wujud, dan berlari meninggalkan bangunan.
Kurasa para Yeerk terlalu percaya pada pertahanan mereka
yang teknologinya canggih. Mereka begitu kaget, sehingga tak ada
seorang pun yang meneriakkan tanda bahaya. Keberuntungan masih

menyertai kami. Kami berhasil lolos melewati jalan kecil yang dijaga
dua Pengendali.
Tak seorang pun berteriak. Tak seorang pun menembak. Kami
berlari ke dalam hutan. Di situ Jake menggabungkan diri.
Tak ada yang banyak bicara dalam perjalanan pulang.

Chapter 14

ORANGTUAKU mengira aku menginap di rumah Rachel.


Orangtua Rachel mengira ia menginap di rumahku. Lebih gampang
menyelinap ke rumahku, maka kami pergi ke rumahku.
Sudah hampir subuh ketika kami kembali ke wujud manusia.
Kami berjingkat melewati ruang tamu, kemudian naik ke kamarku,
berusaha agar anak tangga tidak bersuara.
Kupinjamkan kemeja flanel besar pada Rachel. Ia menjambret
selimut dan bantal dan langsung ambruk ke lantai di sebelah tempat
tidurku. Kurasa ia sudah tertidur sebelum tubuhnya mendarat.
Aku merangkak naik ke tempat tidurku, yang sudah sangat
kukenal. Seprainya dingin. Selimutnya milikku sendiri. Aku memang
seharusnya berada di sini. Di sinilah tempatku.
Tapi semua rasanya asing. Bayang-bayang di dinding... bentuk
kemeja dan overall yang tergantung di dinding... deretan buku-buku
yang telah kubaca, dalam ruangan ini malah semuanya seolah tidak
nyata.
Kupejamkan mataku, kemudian kubuka lagi cepat-cepat.
Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin aku ingat seperti
apa ruangan itu, seperti apa si ratu rayap, padahal aku tadi tak punya
mata? Tapi, tetap saja aku ingat semuanya. Aku melihat ruangan yang
digali dalam kayu membusuk oleh ratusan rayap pekerja. Dan aku
melihat ratu yang gendut itu.
Aku merasa masih punya mulut capit.
Aku tidak hanya membinasakannya. Aku telah menghancurkan
seluruh koloni. Kulakukan itu untuk menyelamatkan diriku sendiri
dan teman-temanku.

Aku mau muntah rasanya. Tapi untuk itu aku harus turun dari
tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Padahal aku tak ingin
meninggalkan tempat tidurku lagi.
Aku suka binatang. Sepanjang hidupku aku dibesarkan bersama
mereka. Aku suka alam. Tapi apa yang sebetulnya kuketahui tentang
itu semua?
Aku sudah pernah menjadi lebih banyak binatang daripada yang
pernah dilihat oleh kebanyakan orang. Aku pernah melayang sebagai
burung osprey alias elang laut. Aku sudah meluncur di samudra
sebagai lumba-lumba. Aku sudah menyaksikan dunia lewat mata
burung hantu di malam hari, dan membaui angin dengan indra
penciuman serigala yang tajam. Aku sudah terbang jungkir-balik
dalam tubuh lalat. Kadang-kadang aku keluar malam hari, menuju ke
padang dan menjelma menjadi kuda yang berlari di antara rerumputan.
Dan binatang apa pun yang pernah kucoba, kalau tidak
pembunuh ya korban pembunuhan.
Dalam jutaan pertempuran di seluruh dunia, di semua benua, di
tiap jengkal tanah, ada pembunuhan. Dari harimau besar di Afrika
yang dengan darah dingin menerkam gazelle muda yang lemah,
sampai ke pertempuran yang terjadi di koloni rayap dan semut.
Dalam alam ini selalu ada pertempuran.
Dan di atas semua penghancuran itu, manusia saling bunuh,
sama seperti spesies lainnya, dan sekarang orang-orang yang sama
telah diperbudak dan dihancurkan oleh kaum Yeerk.
Alam dalam keadaannya yang paling indah. Binatang-binatang
lucu, menggemaskan, yang membunuh agar bisa hidup. Warna alam
bukan hijau. Tapi merah. Merah darah.
Kusadari air mataku bercucuran membasahi bantalku. Ingin
rasanya aku menangis keras-keras, tapi aku tak ingin membuat Rachel
bangun. Ingin rasanya aku menjerit, tapi orangtuaku pasti datang
tergopoh-gopoh. Dan apa yang bisa kukatakan pada mereka?

Kebohongan. Lebih banyak lagi kebohongan. Karena dalam duniaku,


aku juga mangsa. Para Yeerk memburuku.
Aku ketakutan. Aku sendirian. Aku tak tahu apa yang akan
terjadi padaku.
Dan kemudian aku teringat bayi-bayi sigung yang kesepian.
Makhluk kecil yang tidak menyenangkan, bagi banyak orang. Tapi
mereka juga merasa takut dan kesepian. Kalau mereka masih hidup.

Chapter 15

RUPANYA aku tertidur juga akhirnya, karena aku bermimpi.


Bukan mimpi buruk. Bahkan bukan tentang dunia rayap.
Aku jadi ibu. Dalam mimpiku aku ibu yang sedang mencari
anak-anaknya. Aku mencari di mana-mana, walaupun aku terluka dan
kesakitan.
Akhirnya kutemukan mereka. Dan, dalam mimpiku, mereka
memelukku erat-erat.
Ketika terbangun, mimpiku segera terlupakan. Tapi mimpi itu
meninggalkan perasaan damai.
Matahari telah tinggi. Sudah pukul sepuluh lewat seperempat.
Wah, Sudah siang banget. Rachel sudah mandi dan berganti pakaian.
"Ya ampun! Nyenyak benar tidurmu," gerutu Rachel. "Aku
mimpi buruk. Sekarang aku harus segera pulang. Tidak apa-apa kalau
kutinggal?"
"Beres deh," kataku sambil mengucak-ucak mata. "Maksudku...
kau tahu, kan, semalam dan semua yang terjadi... bukannya aku kena
serangan gangguan saraf atau apa. Cuma saja, yah, aku ngeri."
"Memang," kata Rachel sepakat. "Tapi kalau dipikir-pikir ya
tidak ngeri-ngeri amat, Cassie. Rayap kan memang dibunuh sepanjang
waktu. Mereka kan cuma rayap. Serangga."
"Yeah."
Rachel pulang. Aku tak tahu apakah ia memang harus pulang
atau mungkin aku membuatnya merasa tak enak. Rachel bukan cewek
yang suka pelak-peluk. Setelah terpaksa membuatku tenang seperti
menghibur anak kecil, mungkin ia jadi risi sendiri.

Ibuku ke kantor. Ayahku pergi, entah ke mana, karena pickupnya tak ada. Aku membuat roti panggang dan minum air jeruk.
Kemudian aku juga menghabiskan sepotong piza yang tersisa.
Aku merasa resah dan aneh. Gelisah sekali. Seolah aku
kehilangan keseimbangan setelah kejadian kemarin.
"Rachel benar," kataku keras-keras, hanya supaya aku
mendengar suara. "Mereka cuma serangga. Rayap. Lagi pula, aku toh
berhasil lolos akhirnya."
Aku keluar dan merasakan sengatan matahari di kulitku. Kulit
manusiaku.
Tanpa berpikir aku masuk ke gudang jerami dan membuka
lemari es tempat kami menyimpan makanan yang gampang busuk
untuk binatang-binatang. Aku mengambil belalang beku dan
memasukkannya ke dalam saku. Kemudian aku menuju ke tepi hutan.
<Hei, Casssie,> ada yang menyapaku dengan bahasa pikiran
ketika aku melangkah bising dalam hutan. <Apa yang terjadi?>
Aku mendongak dan melihat Tobias melayang di atas. Ia
meluncur turun dan mendarat di dahan pohon. Cakarnya yang kuat
mencengkeram kulit dahan yang lembut.
"Tidak banyak," kataku.
<Kudengar semalam menegangkan.>
"Yeah? Siapa yang cerita?"
<Ax. Siapa lagi? Dia ngeri sekali kalau ingat kejadian
semalam.>
Aku berhenti berjalan. Caranya mengatakan "ngeri sekali"
mencurigakan. "Tobias, kau sudah ngomong dengan siapa lagi?"
<Mungkin Marco,> katanya.
"Dan Marco cerita aku jadi gila, begitu?"
<Sebetulnya, istilah yang dipakainya 'sableng.' Juga 'edan.' Dan
'sinting.' Tapi dia memaksudkannya dalam pengertian yang baik,
kok.>

Aku tertawa getir. "Yah, kurasa aku memang sedikit sinting,"


kataku.
<Selamat bergabung,> kata Tobias. <Tak seorang pun dari kita,
setelah mengalami apa yang kita alami, bisa tetap normal. Kau tahu
itu. Kita mengalami terlalu banyak ketakutan.>
"Yah, aku muak sekali," kataku. "Aku harus membinasakan ratu
rayap. Aku tahu ,dia cuma serangga. Tapi kau tahu, kan, siapa sih aku
ini sehingga memutuskan bahwa boleh-boleh saja kita membunuh
binatang tertentu, tapi binatang lain jangan? Padahal aku dikenal
sebagai aktivis lingkungan, pencinta tanaman dan binatang, Ibu
Bumiseperti istilah Marco. Tapi kalau sudah terpaksa, aku sama
seperti..."
<Seperti aku?> tanya Tobias.
"Seperti pemangsa yang lain," kataku lesu.
<Kau merasa bersalah karena terpaksa membunuh si ratu agar
bisa selamat.>
"Seharusnya aku tidak berada di sana. Itu dunia mereka, bukan
duniaku. Lorong-lorong kecil di dalam kayu keropos ituitu dunia
mereka. Aku memasukinya. Dan ketika mereka menghalangiku, aku
bereaksi. Kau jadi ingat siapa, coba?"
<Cassie, kau bukan Yeerk, dan rayap bukan manusia,> kata
Tobias. <Tak bisa dibandingkan.>
Aku tak mau berdebat. "Tobias, aku harus berubah. Ada yang
harus kulakukan."
<Apa?>
Aku menghela napas.
"Sesuatu yang akan kauanggap bodoh, memang. Ada induk
sigung yang terluka. Dia punya beberapa bayi yang akan mati kalau
tidak ditolong. Kurasa aku tahu di mana mereka. Tapi aku tak bisa
datang ke sana sebagai manusia."
Sesaat Tobias terdiam. <Bayi sigung? Dekat kompleks Yeerk?>

"Ya."
<Aku bisa menunjukkan tempatnya.>
Aku kaget. Sesaat aku menolak memahami apa yang diucapkan
Tobias. Aku tak ingin berpikir kenapa Tobias... yah, elang ekor merah
pasti tahu di mana persisnya lokasi segerombolan bayi sigung..
Beberapa kali kutarik napas dalam-dalam. Kuusahakan agar
suaraku terdengar biasa-biasa saja. "Apa mereka masih hidup?"
<Tinggal empat yang masih hidup,> kata Tobias.
Aku merasakan luapan emosi yang jarang kurasakan. Darahku
mendidih. Aku memandang marah pada Tobias. Memandang
cakarnya yang tajam. Memandang paruh bengkoknya yang jelek.
Bisa kubayangkan apa yang terjadi. Caranya menukik turun,
mengulurkan cakarnya ke depan, menyambar si bayi sigung tak
berdaya dari tanah dan...
Tubuhku gemetar. Kukepalkan kedua tanganku, agar tidak
gemetaran.
"Aku akan menyelamatkan yang tersisa," kataku. Suaraku
terdengar seperti suara orang lain.
<Aku akan membantumu,> kata Tobias.

Chapter 16

AKU menjelma menjadi elang laut dan terbang mengikuti


Tobias, menuju tempat yang telah kulihat semalam. Belalang beku
kubawa dalam paruhku. Aku tidak bertanya apa-apa pada Tobias, dan
ia juga tidak bilang apa-apa.
Ia menunjukkan lubang masuk sarang sigung yang hampir tak
kelihatan. Kemudian ia terbang pergi. Aku tahu ia akan menemui Jake
dan melaporkan apa yang kulakukan. Dan aku juga tahu aku telah
melukai perasaan Tobias dengan memperlakukannya begitu dingin.
Tetapi, terus terang saja, saat itu aku tidak peduli. Aku cuma
ingin menemukan bayi-bayi sigung itu. Aku tak tahu kenapa, tapi
dalam benakku bayi-bayi sigung itu telah menjadi sangat penting.
Setelah Tobias tak tampak, aku mulai bermetamorfosis.
Berubah jadi sigung tidak susah. Aku masih tetap punya mata,
telinga, dan mulut sementara proses perubahan berlangsung. Tidak
seperti ketika menjadi serangga.
Kurasakan sensasi yang kini telah amat kukenal saat tubuhku
mengecil. Dan rasa terkejut saat ekor berbulu muncul dari dasar tulang
punggungku. Tapi aku pernah berubah jadi bajing sebelumnya. Ini
mirip dengan proses menjadi bajing.
Tapi bulu-bulu ini sungguh pengalaman baru. Oh, aku pernah
bermetamorfosis jadi binatang berbulu, tapi belum pernah yang
bulunya sepanjang, sebanyak, dan sebagus ini. Aku seperti memakai
mantel bulu mahal. Sebagian besar berwarna hitam, dengan sapuan
putih mengesankan di sepanjang punggung, terus ke ekor.

Indra sigung juga tidak dramatis. Mungkin pendengarannya


sedikit lebih tajam daripada pendengaran manusia. Penciumannya
tajam. Penglihatannya tidak setajam penglihatan manusia.
Dan tubuh sigung tidak kuat, gerakannya pun tidak sigap.
Gerakannya seperti melenggok ketika aku mencoba berjalan. Saat
kucoba berlari malah lenggokannya makin kencang.
Kaki depanku bisa menangkap dan memegang benda-benda,
tapi kemampuannya jauh di bawah tangan manusia.
Yang paling aneh adalah jalan pikiran dan naluri sigung. Aku
sudah pernah berada dalam pikiran yang melulu dipenuhi ketakutan,
atau rasa lapar. Pikiran yang tegang, seperti dipenuhi adrenalin.
Tapi pikiran ini, naluri ini, sangat... lembut. Tidak ada rasa
takut. Tidak sombong dan sok seperti harimau.
Aku seekor binatang yang tak lebih besar daripada kucing
rumahan. Tak punya gigi tajam atau cakar tajam. Tapi nyaris tak ada
binatang hutan lain berani menggangguku. Kurasakan nyamannya rasa
percaya diri yang penuh.
Kudengar nguikan bayi-bayi sigung di dalam lubang.
Aku melenggak-lenggok ke arah lubang dan kumasukkan
kepalaku ke dalamnya. Gelap, tapi aku bisa melihat keempat bayi itu.
Bayi yang mungil, tak berdaya. Sebetulnya sudah tidak bayi lagi, tapi
mereka masih belum mampu melindungi diri ataupun berburu mangsa
seperti sigung dewasa.
Aku tahu ada orang-orang yang mengira binatang tidak punya
emosi. Tapi keempat bayi sigung itu gembira melihatku. Dan sesuatu
dalam pikiran sigungku merasa lega dan bahagia melihat mereka.
Kukeluarkan belalang yang kini sudah tak lagi beku. Aku
merangkak masuk ke dalam lubang. Aku berbaring melingkar dan
keempat bayi sigung itu menempel ke tubuhku. Kusuapi mereka
belalang.

Aku tahu aku cuma bisa menjadi sigung selama dua jam. Tapi
meskipun aku baru bangun beberapa jam sebelumnya, kini aku merasa
mengantuk. Acara pemberian makan sudah selesai. Bayi-bayi sigung
ini tidak akan kelaparan. Dan aku merasa mengantuk dan sangat,
sangat damai.
Bahkan dalam tidurku aku tahu apa yang sedang terjadi padaku.
Tahu kan, aku sangat cinta binatang. Dari dulu. Tapi sekarang, kurasa
aku kehilangan rasa cintaku.
Alam tidak selalu lucu dan berbulu lembut. Yang kuat makan
yang lemah. Yang lemah makan yang lebih lemah lagi. Itulah yang
dilakukan para Yeerk: mencoba memangsa makhluk paling unggul di
Bumi, yakni manusia atau Homo sapiens.
WHUMP!
"Hei! Hei! Kau di dalam situ? Cassie!"
Aku terbangun. Gelap. Di manakah aku? Di dalam
kamarkukah? Apakah aku... oh, astaga, apakah aku dalam koloni
rayap?!
Keempat bayi sigung masih tidur, menempel di tubuhku. Aku
berada dalam sarang sigung. <Apa?> kataku.
"Ini aku, Jake. Cassie, keluar dari situ. Sekarang juga! Kau
sudah hampir dua jam jadi sigung!"
Aku langsung bangun seratus persen. Aku melesat keluar dari
lubang dan segera memulai proses metamorfosis ke wujud asalku.
Jake berdiri di depan lubang bersama Marco. Tobias bertengger
di dahan pohon di atas mereka.
Aku sudah pernah melihat Jake marah. Tapi belum pernah aku
melihatnya semarah ini. "Kau pikir apa yang kaulakukan?!" teriaknya,
tanpa menunggu aku jadi manusia. "Sepuluh menit saja terlambat, kau
akan menghabiskan sisa hidupmu sebagai sigung!"
<Aku ketiduran,> kataku. Mulutku belum sepenuhnya
terbentuk.

"Kau sudah sinting ya? Kenapa sih kau ini?" Aku tak pernah
tahu bahwa ada urat di dahi Jake yang langsung menonjol kalau ia
marah.
"Aku minta maaf," gumamku setelah selesai bermetamorfosis.
Ia masih belum mau memaafkanku. "Kita punya kemampuan
ini bukan untuk hal-hal seperti itu. Kita tidak akan mencoba
menyelamatkan sigung-sigung merana di dunia," Jake mengomel.
"Kita ini pasukan. Pasukan kecil yang lemah dan menyedihkan.
Anggota kita cuma enam. Tobias sudah terperangkap jadi elang. Tapi
dia terperangkap ketika sedang melawan Yeerk. Aku tak percaya kau
nyaris terperangkap hanya gara-gara sigung!"
Marco melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahu
Jake, setengah menariknya ke belakang. "Sudahlah, Jake. Dia sudah
selamat."
"Berkat Tobias," tukas Jake. "Bukan karena dia sendiri."
Aku tak tahu harus bilang apa. Aku terlalu kaget. Dan terus
terang saja, aku sebetulnya ngeri juga memikirkan apa yang nyaris
saja terjadi.
"Marco, Tobias, kalian jalan-jalan dulu. Oke?" kata Jake.
Kemudian ia berbalik menghadapiku. Wajahnya cuma beberapa senti
dari wajahku. "Aku tahu pengalamanmu semalam benar-benar
mengerikan. Aku ada di sana. Aku sendiri sampai mimpi buruk. Aku
tahu apa yang ada dalam pikiranmu sekarang."
"Aku tidak apa-apa," gumamku.
"Diam dulu dan dengarkan aku," katanya. Tapi kemarahannya
sudah reda. "Aku sayang padamu, Cassie. Kami semua
menyayangimu. Dan kami semua membutuhkanmu."
"Supaya bisa menang?" tanyaku. "Kalian membutuhkanku
untuk ikut bertempur? Bagaimana kalau aku tak mau lagi bertempur?
Bagaimana kalau aku menganggap semua ini sudah cukup untukku?
Yang kulakukan memang sudah cukup."

"Yang kaulakukan sudah lebih dari cukup. Seratus kali lebih


dari cukup. Tapi para Yeerk masih ada di sini."
Aku mengangkat bahu. "Yang kuat memakan yang lemah,"
kataku. "Itu bagian dari alam. Manusia selalu menang, binatang lain
selalu kalah. Mungkin sekarang giliran kita untuk kalah."
Jake mengangguk. "Ini bukan masalah ras yang disebut
manusia. Ini masalah orang-orang yang kita kenal. Orang-orang yang
kita temui setiap hari. Kakakku, Tom, salah satu dari mereka. Jadi,
kenapa kau tidak menemui Tom dan bilang padanya bahwa oke-oke
saja dia jadi budak Yeerk karena sekarang giliran kita untuk kalah?"
Jake berbalik dan pergi.
"Jake?"
Ia berhenti.
"Jake? Ehm... ayahku akan mengembalikan induk sigung ke sini
beberapa hari lagi. Aku tak bisa membiarkan bayi-bayinya telantar
begitu saja."
Ia bertolak pinggang dan mendelik padaku. "Kau tak bisa
berubah wujud begitu lama. Kau kan sudah tahu."
"Aku tahu. Tapi aku harus menjaga agar tak ada binatang
pemangsa yang datang. Aku harus membawakan makanan untuk
mereka. Dan dari waktu ke waktu aku harus menjelma menjadi
sigung, menyamar sebagai induk mereka. Aku tahu, kau dan Marco,
dan mungkin juga orang-orang lain, menganggap ini perbuatan bodoh.
Tapi aku harus melakukannya."
<Aku akan menjaga mereka,> kata Tobias.
Aku tadi lupa betapa tajamnya pendengaran elang.
"Tobias akan menjaga. Kita susun rencana," kata Jake. "Kita
akan menyelamatkan sigung-sigung jelek itu. Lagi pula kan tak ada
hal lain yang harus kita kerjakan. Kecuali menyelamatkan dunia."
"Terima kasih, Jake," kataku. "Dan... sori. Aku tidak bermaksud
membuatmu ketakutan. Kurasa aku baikbaik saja sekarang."

Ia tersenyum, senyum khasnya yang merekah pelan. "Aku juga


baik-baik saja, Cassie. Asal kau ada di sampingku."
Agak di kejauhan, di sebelah kiri kami, kudengar Marco
mengeluarkan suara keras seperti tersedak. Aku jadi tertawa. Pastilah
perasaanku sudah jauh lebih baik, sampai aku bisa tertawa.

Chapter 17

"WAH, ini sih bukan cuma sekadar sinting," kata Marco. Masih
hari yang sama, Minggu malam. Kami semua berkumpul di depan
sarang sigung. "Kita akan membesarkan bayi sigung kecil yang bau
ini?"
"Apanya yang sinting?" tanya Rachel tajam. Rachel yang baik.
Ia pasti berpendapat ini ide sinting juga. Tapi ia sahabatku, dan selalu
membelaku.
"Mereka kan sigung," kata Marco, sambil memandang
bergantian dari Rachel ke Jake, lalu ke Ax, seakan ia satu-satunya
orang normal di bangsal rumah sakit jiwa.
"Mereka kan lucu," kata Rachel, mendelik pada Marco dan
kelihatan seperti cewek yang belum pernah menggunakan kata "lucu".
"Ah, begitu. 'Lucu.' Sekarang jelas jadinya."
Jake menyela, "Cassie tidak bisa membawanya ke klinik. Nanti
mereka jadi terbiasa dengan manusia. Mereka masih kecil.
Pengalaman ini akan membekas bagi mereka. Jadi kita memelihara...
sigung-sigung inisampai mama sigung pulang dari rumah sakit."
<Apakah sigung binatang keramat bagi manusia?> tanya Ax.
"Semua binatang keramat bagi Cassie," kata Marco. "Dia kan
gabungan Dokter Doolittleitu tuh dokter yang ngerti bahasa
binatang dan bisa bicara dengan merekadan tokoh penyayang
binatang yang muncul dalam acara Flora dan Fauna."
<Tapi kalian makan beberapa binatang,> kata Ax. <Sapi,
kambing, ayam, anjing.>
"Kami tidak makan anjing!" protesku.

"Tapi di negara-negara tertentu ada yang makan anjing. Aku


baca di Buku Pintar Dunia.>
Kami telah menghadiahkan Buku Pintar Dunia kepada Ax
untuk membantunya belajar tentang Bumi. Sejak itu, ia jadi ahli dalam
memberikan informasi-informasi yang tak berguna. Ia bisa
memberitahumu berapa penghasilan tahunan penduduk Tanzania atau
rekor lompat jauh dalam Olympiade.
"Yah, tapi di negara ini orang tidak makan anjing."
<Kalian makan kucing?>
"Ehm... maaf?" Jake menyela. Ia menarik-narik pangkal
hidungnya. Jelas ia pusing. Aku bisa memahaminya. "Begini
persoalannya: Kita berada kira-kira tiga ratus meter dari kompleks
para Yeerk. Mereka punya sensor, mereka punya penjaga. Tobias
berjaga dari atas, jadi untuk sementara kita selamat. Tapi kita tak
boleh ceroboh. Cassie, ceritakan rencana kita."
"Oke. Besok sementara kita di sekolah, Ax dan Tobias akan
menjaga lubang ini. Dari waktu ke waktu Ax akan berubah menjadi
induk sigung. Tobias akan berpatroli dari atas. Akan kubawakan
Tobias makanan beku, supaya dia tak usah berburu selama berjaga."
"Oooh, Daging Tikus Beku Tanpa Lemak," Marco meledek.
<Aku dengar lho,> kata Tobias dari atas pepohonan.
"Aku tahu," Marco nyengir puas.
"Kemudian, di luar jam sekolah dan sepanjang malam, kita
berempat bergantian berjaga. Aku yang akan berubah menjadi sigung,
tapi di antara saat-saat itu Jake, Rachel, dan Marco harus bergantian
membantu berjaga."
Marco mengangkat tangan.
"Ya, Marco?" tanyaku.
"Apakah kita akan mendapat kaus dan stiker bertulisan
'Selamatkan Sigung'?"

"Tak ada yang dipaksa melakukan ini," kataku. "Begini.aku


tahu ini kelihatannya sinting."
"Ah, tidak kok," ujar Marco. "Coba saja pikir. Aku sudah bolakbalik tidak mengerjakan PR. Dad mengira aku ikut gengentah geng
apakarena aku tak pernah ada di rumah. Aku kurang tidur karena
setiap kali kucoba tidur, tiba-tiba aku jadi rayap lagi dan aku
terbangun sambil jerit-jerit. Aku sama sekali tak punya waktu untuk
duduk dan nonton TV. Dan dalam waktu luangku, aku harus
membantu memikirkan bagaimana kita bisa mencegah para Yeerk
mengubah seorang laki-laki bernama Farrand menjadi Pengendali,
supaya mereka bisa memusnahkan hutan dan menangkap si Cowokburung dan satu-satunya Andalite di dunia yang telah membaca Buku
Pintar Dunia. Maksudku, aku tahu jadi anak SMP itu berat, tapi ini sih
sudah keterlaluan."
Lama Jake menatap Marco dengan pandangan ragu-ragu. "Jadi,
dengan kata lain, kau akan membantu dengan senang hati."
Kali ini, Jake-lah yang membuat kami semua tertawa. Bahkan
Marco pun ikut tertawa.
Marco mengangkat bahu. "Tahu tidak, sebetulnya kita jadi lega
juga begitu tahu bahwa Cassie ternyata sinting. Kita sudah tahu
Rachel itu sableng. Kita tahu aku gila. Cassie satu-satunya yang waras
selama ini. Selamat bergabung di perkumpulan orang sinting, Cassie.
Selamatkan sigung! Cium tanaman! Izinkan anjing ikut pemilu!"
Yang lain semua tertawa. Aku juga ikut tertawa, sedikit. Marco
selalu meledekku sebagai pencinta lingkungan. Biasanya sih oke-oke
saja, karena aku tahu keyakinanku benar.
Tapi kali ini humornya menoreh sedikit lebih dalam.
Aku tidak menyelamatkan ikan paus atau panda atau burung
hantu berbintik. Aku menyelamatkan beberapa sigung.
Ada banyak sigung di dunia. Mereka sama sekali tidak
terancam punah.

Semuanya bermula dari ratu rayap. Serangga. Aku telah


membunuh serangga, dan entah bagaimana, fakta itu telah
menggoyahkan keyakinanku yang terdalam.
Mungkin Marco benar. Mungkin aku memang sinting.

Chapter 18

SELAMA dua hari berikutnya kami melindungi dan memberi


makan empat bayi sigung. Walaupun kedengarannya mustahil, tapi
ternyata kami berhasil. Yah, boleh dibilang berhasil.
Mungkin aku menipu diri, tapi kurasa yang lain mulai
menikmatinya juga. Bisa ditebak, Marcolah yang memutuskan
sesudah gilirannya berjaga yang pertamabahwa bayi-bayi itu perlu
nama.
"Joey, Johnny, Marky, dan C.J.," ia mengumumkan, seakan
sudah jelas. "Grup The Ramones. Godfather punk rock. Mereka akan
merasa mendapat kehormatan. Yang setrip putihnya lebar itu, dia
Joey. Nah, si Johnny..."
Mula-mulanya, hanya aku yang bermetamorfosis menjadi induk
sigung. Lalu Ax mau. Kemudian yang lain juga, bergantian. Aku jadi
agak cemburu.
Sepulang sekolah, tiga hari kemudian, aku pergi ke sarang
sigung dan melihat Tobias melayang berjaga di atas lubang.
<Hei, Cassie.>
"Bagaimana kedaan, Tobias?"
<Wah, cukup seru juga tadi. Ada luak lapar datang. Tapi sudah
kuusir.>
"Jadi anak-anak selamat?"
<Masih empat, kalau itu yang kaumaksud,> jawab Tobias.
<Tapi mereka tidak mau berdiam di dalam terus. Mereka bolak-balik
keluar dan melihat-lihat. Terutama Marky. Ini tidak baik. Apalagi
kalau mereka melakukannya di malam hari.>

Aku menjelma menjadi induk sigung dan merayap ke dalam


lubang. Tobias benaranak-anak sigung itu resah. Mereka tumbuh
dengan pesat, dan secara naluriah mereka ingin menjelajah dunia luas
di luar lubang mereka.
<Aku akan mengajak mereka jalan-jalan,> aku memberitahu
Tobias.
<Apakah itu ide bagus?>
<Tentu saja. Kenapa tidak? Sebaiknya kau beristirahat.
Kepakkan sayapmu.>
Tobias lega diberi kesempatan pergi. Tapi begitu ia pergi, aku
jadi meragukan ide brilianku untuk mengajak anak-anak sigung ini
berjalan-jalan. Bagaimana aku bisa menjaga agar mereka tetap
berkumpul? Bagaimana kalau mereka memencar?
Sementara aku sedang berdebat sendiri, Marky dengan liar lari
keluar dan aku harus mengejarnya.
Tapi begitu aku keluar, anak sigung itu berdiri anteng di
belakangku. Satu demi satu, ketiga anak sigung lainnya keluar. Dan
betapa herannya aku, karena mereka berbaris rapi seperti anak TK
yang patuh.
<Oke,> kataku, walaupun tentu saja anak-anak sigung itu tidak
bisa memahami ucapanku. <Ayo, kita jalan-jalan. >
Aku berjalan pelan-pelan. Sepuluh langkah kemudian aku
menoleh. Keempatnya masih berjajar di belakangku. Aku induk
mereka, setahu mereka begitu. Dan mereka sudah diprogram untuk
mengikuti induk mereka.
Aku berjalan terus, merasa agak aneh, tapi bahagia.
Kami berjalan-jalan selama setengah jam. Dari waktu ke waktu
kami berhenti untuk mengendus macam-macam bau. Kebanyakan bau
berbagai binatang.

Dan kemudian aku menyadari sesuatu. Kami tentunya tidak


hanya jalan-jalan saja. Anak-anak sigung itu lapar. Aku induk mereka.
Tugaskulah untuk memberi mereka makan.
Jika aku tidak mengajar mereka menangkap serangga, mereka
takkan bisa hidup. Sigung makan beberapa jenis tanaman, tapi mereka
juga makan cengkerik dan belalang, bahkan tikus.
Aku berhenti berjalan dan menoleh memandang anak-anakku.
Empat bulatan bulu hitam-putih yang hampir serupa. Empat wajah
ingin tahu menatapku. Ingin melihat apa yang akan kulakukan. Ingin
belajar.
Selama ini aku memberi mereka belalang dan daging tikus yang
dibekukan yang kubawa dari klinik. Sama seperti yang kuberikan pada
Tobias karena ia tak sempat berburu sendiri. Tapi anak-anak sigung
ini tak bisa diberi makan oleh manusia selamanya.
Tiba-tiba terdengar bunyi keras! Ada yang berlari di hutan,
menembus pepohonan. Ceroboh, liar, bising. Dan bunyinya datang
mendekati kami!
Aku mulai membawa anak-anak sigung kembali ke lubangnya,
tapi bunyi itu makin keras. Terlalu cepat datangnya! Kucoba untuk
mengendus binatang apa itu, tapi angin bertiup ke arah berlawanan.
Kemudian... GUK! GUK! GUKGUKGUK!
Anjing!
Serigala pasti lebih bijaksana. Setelah melihat gumpalan bulu
hitam-putih, serigala pasti memutuskan pergi ke tempat lain. Beruang
juga begitu. Semua binatang liar tahu sebaiknya tidak mengganggu
sigung dewasa.
Tapi anjing besar yang riang gembira ini bukan binatang liar. Ia
tinggal bersama manusia. Ia tak tahu apa-apa tentang sigung.
Tanpa berpikir lagi, aku berbalik membelakangi si anjing.
Kuangkat ekorku sebagai peringatan.

Anjing itu tetap mendekat. Liur menetes dari sebelah


moncongnya dan lidahnya menjuntai dari sisi lainnya, dan ia sedang
luar biasa gembiranya. Ia berada di hutan, dan ada serombongan
binatang kecil hitam-putih yang bisa diajaknya bermain-main.
Anak-anak sigung masih berjajar. Mereka memandangku
dengan serius. Nyaris saja aku tertawakalau aku bisa tertawa. Ini
saat penting bagi merekamereka akan belajar kenapa binatang yang
bijaksana sebaiknya tidak mengganggu sigung.
Aku belum punya pengalaman menyemprot. Tapi pikiran
sigung dalam otakku tahu persis apa yang harus dilakukan.
Aku mengatur bidikanku.
Aku menoleh untuk memperkirakan jaraknya. Sasaranku muka
anjing itu, dan aku menyemprot. Tepat pada saat aku menembak, aku
punya perasaan aneh bahwa aku kenal anjing ini, entah di mana.
Tapi sudah terlambat. Sudah sangat terlambat.
Dari jarak tiga meter, semprotanku mengenai sasaran dengan
ketepatan peluru senapan laser.
GUK? GUK?
Anjing itu langsung berhenti melangkah. Pandangan matanya
menyiratkan kengerian yang luar biasa. Bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin makhluk kecil hitam-putih itu berbuat begini
terhadapnya?
Detik berikutnya, aku mendengar sesuatu yang membuatku
merasa sangat bersalah.
"Homer? Kenapa kau, Homer?" tanya Jake. "Oh. Ohhhhh,
Homer! Aku kan sudah bilang jangan mengikutiku ke dalam hutan."
"Kaaaing, kaaaing, kaaaing," Homer mendengking memelas.
Jake, Marco, Rachel, dan Ax datang berlarian. Marco sudah
terbahak-bahak.
"Kau menyemprot Homer!" Marco terkikik geli. "Cassie
menyemprot Homer. Tunggu, itu Cassie, kan?"

Aku benar-benar berpikir untuk pura-pura jadi sigung lain saja.


<Sori, Jake, > kataku.
"Wuahhh, baunya," komentar Rachel. "Jangan tersinggung,
Cassie. Tapi maksudku... hoek! Oh. Ugh."
<Luar biasa,> kata Ax. <Mungkin ini bau terbusuk yang pernah
kucium.>
Homer berusaha menempelkan tubuh pada Jake, tapi betapapun
sayangnya Jake pada anjingnya, ia mana mau didekati. "Jangan,
Homer. Aku sudah bilang kau di rumah saja. Tapi kau bandel, kau
malah ikut aku. Sekarang pulanglah. PULANG, Homer!"
Homer akhirnya memutuskan bahwa rumah ternyata tempat
yang lebih baik daripada hutan. Ia berjalan pulang, dengan ekor
terkulai di antara dua kaki belakangnya.
<Kurasa bau ini membuat pikiranku kacau,> kata Ax kalem.
<Bisa-bisa aku harus lari panik.>
"Ajak aku ya," gumam Marco.
"Wah, hebat banget deh," kata Jake. "Luar biasa. Orangtuaku
pasti senang sekali begitu Homer tiba di rumah membawa bau sigung.
Ihhh, yuk kita pergi dari sini, oke? Maksudku, astaga, baunya
kebangetan."
Kami meninggalkan tempat berbau busuk itu dan pindah ke
dekat lubang sigung. Kupimpin anak-anak sigung masuk lubang.
Mereka puas dan senang, sehingga langsung bergulung dan tidur.
Rupanya jalan-jalan tadi sungguh seru bagi mereka.
Aku kembali keluar dan berubah menjadi manusia lagi. "Bau
Homer akan hilang kalau dia kaumandikan dengan jus tomat dan
dibiarkan di luar selama beberapa hari," aku memberitahu Jake.
"Sori."
"Kasihan betul Homer," kata Jake. "Tapi kita punya masalah
yang lebih besar. Begini, Cassie, kami datang untuk menemuimu dan

Tobias. Ingat si Farrand? Ax dan Marco kan bisa mengakses komputer


di kompleks Yeerk."
"Yeah," Marco nyengir. "Si Ax-man benar-benar jago
komputer."
"Yeah, yang jelas kami berhasil mengetahui sesuatu. Mr.
Farrand tidak jadi datang akhir pekan ini. Dia datang lebih awal. Dia
datang untuk memberikan suara yang menentukan soal penebangan
hutan ini. Dan dia akan berada di sini kira-kira satu jam lagi."

Chapter 19

"KITA punya waktu satu jam untuk menyusun rencana dan


bersiap-siap," kata Jake. "Satu jam. Kurang malah, karena kita kan
harus berada di sana sebelumnya."
"Oke, apa yang kita ketahui?" tanya Marco. "Kita tahu Mr.
Farrand yang akan menentukan apakah operasi Yeerk ini bisa
dilaksanakan atau tidak. Kita tahu dia bukan Pengendali, sebab kalau
ya, pasti dia sudah memberikan suara dan mengizinkan penebangan
hutan dimulai."
"Kita tahu para Yeerk pasti tidak mau sekadar untunguntungan," kata Rachel. "Mr. Farrand akan datang ke tempat mereka.
Mereka pasti sudah siap untuk melakukan pemaksaan. Saat ini mereka
sudah menyiapkan Yeerk, yang tinggal menunggu kesempatan untuk
merayap masuk ke dalam telinga orang itu."
<Siapa tahu mereka akan mencoba membujuknya,> kata Ax.
<Mereka lebih memilih jalan sukarela. Dan kalau mereka sudah
berhasil membujuknya untuk memberikan suara yang
menguntungkan, siapa tahu dia akan langsung dilepas.>
"Jadi, apa yang akan kita lakukan? Menyerang?" tanya Rachel.
"Langsung menyerbu dan mengacaukan segalanya?"
<Hei! Shhh,> kata Tobias.
"Apa?" tanya Rachel.
<Kalian tidak dengar? Bahkan telinga manusia pun seharusnya
mendengarnya.>
Kami semua mendengarkan baik-baik. Kemudian terdengarlah
bunyi itu, terbawa anginbunyi mesin disel.

"Mungkin teman kita, Yeerk, sedang memindah-mindah


peralatan berat mereka. Dijajarkan rapi, supaya mengesankan kalau
Mr. Farrand datang memeriksa," kata Jake. Tapi kemudian ia berpikir
lagi dan menambahkan, "Tobias? Keberatan tidak kalau kau melihat
ke sana?"
Tobias mengepakkan sayapnya dan melayang di atas
pepohonan, menghilang dari pandangan.
"Oke, kembali ke masalah tadi," kata Jake. "Mr. Farrand-lah
kuncinya. Kalau dia bilang ya, para Yeerk bisa membabat hutan ini.
Kalau dia bilang tidak, mereka tak bisa apa-apa. Yah, maksa sih bisa
juga, tapi akan menarik terlalu banyak perhatian."
"Itu kalau mereka membiarkan Mr. Farrand hidup cukup lama
untuk bilang tidak," kata Rachel.
"Kalau begitu, itu tugas kita," usulku. "Kita harus menjaga agar
Mr. Farrand tetap hidup, dan agar para Yeerk tidak membuatnya
menjadi Pengendali."
Semua mengangguk.
"Sayangnya, aku tak tahu bagaimana caranya," aku mengakui.
Saat itu Tobias meluncur dari angkasa. <Mereka sudah mulai!>
teriaknya sambil menukik dan mendarat di dahan.
"Mulai apa?" tanyaku.
<Yeerk. Mereka sudah mulai menebang pohon. Dan mereka
menuju ke sini!>
"Wah," kata Jake. "Kurasa sekarang sudah jelas para Yeerk
tidak mau repot-repot memaksa Mr. Farrand."
"Mereka tidak peduli pada pendapat Mr. Farrand," kata Rachel.
"Mereka tidak akan berusaha meyakinkan dia. Kasihan benar orang
itu. Pasti sudah ada siput Yeerk yang dilabeli namanya."
<Kalian pasti tak percaya betapa cepatnya mesin-mesin itu
membabat pohon!> kata Tobias yang kelihatan terguncang. <Mereka
menebang pohon seperti petani membabat gandum saja.>

<Dan kita punya waktu satu jam untuk membantu orang ini,>"
kata Ax. Kemudian ia memusatkan pandangan kedua mata tanduknya
ke sarang sigung. <Anak-anak sigung ini tepat berada di jalur yang
akan dibabat mereka, kalau ucapan Tobias benar.>
Aku mengira Marco akan menyindir bahwa siapa yang peduli
pada sigung pada saat seperti ini. Maka betapa herannya aku ketika ia
berkata, "Hei, tak ada yang boleh mengganggu sigung. Mereka di
bawah perlindungan resmi Animorphs." Ia mengedip padaku sambil
memberi hormat dengan tangan terkepal. "Selamatkan Sigung,Earth
Sisteri"
Marco memang kelewatan. Tapi, saat kau mengira ia akan
membuatmu marah, ia malah membelamu.
"Yeah, mereka sigung kita," kata Rachel. "Tak ada yang boleh
mengganggu sigung kita."
"Hei-hei-hei!? Halo?" Jake memotong. "Apa rencana kita?!
Apa, nih?"
"Begini...," aku mulai berkata.
"Apa?" tanya Jake.
Aku mengangkat bahu. "Kalau Mr. Farrand kuncinya, kita perlu
merebut kunci itu. Betul, kan? Kemungkinan mereka akan mematikan
force field agar Mr. Farrand bisa masuk kompleks. Saat itulah kita
menjauhkannya dari para Yeerk. Apa pun risikonya."
"Pegang Mr. Farrand," kata Marco. "Sederhana. Bagus. Tapi,
kalau kita perhitungkan kekuatan Yeerk di kompleks itu, ini berarti
bunuh diri. Aku heran padamu, Cassie. Biasanya kan Rachel yang
mengajukan usul-usul bunuh diri."
"Kau punya ide yang lebih baik?" tanya Jake pada Marco.
"Kita bisa pulang dan nonton TV."
"Dengan jawaban itu kuandaikan tak ada rencana lain yang
lebih baik." Jake menggosok-gosok kedua tangannya. "Baik. Kalau

begitu kita tangkap Mr. Farand begitu dia muncul. Sementara itu, kita
harus memperlambat acara tebang pohon ini."
Rachel menyeringai. "Asyik," ujarnya.
Aku pusing.

Chapter 20

HANYA ada satu jalan untuk bisa tiba di kompleks penebangan


kayu itu, yang bisa dilalui mobil. Mereka harus melewati jalan tanah
menembus hutan, yang telah dibuat para Yeerk.
Jake dengan cepat mengambil keputusan. Ia memintaku pergi
bersama Tobias untuk mengecek kalau-kalau Mr. Farrand sudah
datang. Ia sendiri, bersama Marco, Rachel, dan Ax pergi,
meninggalkan aku dengan Tobias.ebukulawas.blogspot.com
Aku memandang muram pada Tobias. "Tinggal kita berdua."
<Aku selalu senang kautemani,> kata Tobias.
Aku mulai berubah menjadi elang laut. Elang laut adalah
pilihanku kalau aku harus berubah jadi burung pemangsa. Dan itu
satu-satunya metamorfosis yang aku bisa, yang dapat mengimbangi
kecepatan Tobias di angkasa.
"Eh, Tobias? Ada yang ingin kukatakan padamu. Hal ini sudah
lama menggangguku. Dan aku ingin mengeluarkan unek-unek ini.
Aku minta maaf karena aku marah padamu soal anak sigung itu.
Padahal kau cuma melakukan apa yang harus kaulakukan," kataku.
Aku bisa merasakan tulang-tulangku mengecil dan melebar ke
samping. Pola bulu abu-abu mulai tampak di lenganku.
<Aku bisa hidup dengan makanan yang kalian bawakan
untukku,> kata Tobias. <Aku tidak perlu berburu.>
"Oke, kalau begitu kenapa kau masih berburu?" tanyaku, tepat
sebelum mulutku berubah menjadi paruh.
<Karena aku bukan hanya manusia. Aku juga elang. Elang
berburu mangsa yang hidup. Sudah nalurinya seperti itu. Apakah lebih
baik jika aku membiarkan kalian yang membunuh untukku? Apakah

lebih baik kalau aku makan tikus beku yang kalian beli dari toko
makanan hewan, yang mendapatkan tikus itu dari para manusia
pemburu tikus?>
<Begini, Tobias, aku tahu apa yang berlangsung di alam ini.
Aku tahu tentang hewan-hewan pemangsa yang membunuh
mangsanya. Hanya saja semua itu... semua itu sungguh
membingungkan. Maksudku, bagaimana kita bisa bilang mana yang
benar atau mana yang salah dalam hal ini?>
Bulu lembut seputih salju tumbuh memenuhi bagian depan
tubuhku, menggantikan baju seragam metamorfosisku. Kakiku
berubah menjadi cakar abu-abu pucat.
<Aku tak tahu. Mungkin jika aku berkeliling membunuhi
binatang-binatang, padahal nantinya tidak kumakan, nah, itu salah.
Tapi elang punya hak untuk hidup, sama dengan tikus atau sigung.>
Mata manusiaku mulai berubah menjadi mata elang yang
penglihatannya sangat tajam. Tapi aku mengalami gangguan dalam
mengenali warna karena mata elang laut didesain untuk melihat
menembus air. Elang laut makan ikan. Alam mendesain matanya
untuk melihat ikan, bahkan ikan yang berada di balik permukaan air
danau atau sungai yang berkilauan.
<Siap terbang?> tanya Tobias.
Kukepakkan sayapku beberapa kali. <Ayo, berangkat,> ajakku,
berusaha kedengaran gagah seperti Rachel.
Tobias mengepakkan sayapnya, berhasil menembus angin sakal
yang berlawanan arah, dan tiba-tiba saja langsung melesat hampir
lurus ke atas. Kukembangkan sayapku dan kugerakkan otot-otot
terbangnya yang tak kenal lelah. Plak, plak, plak, dan aku pun berhasil
melawan angin sakal itu. Aku terbang ke atas pepohonan. Kemudian
angin yang lebih kencang bertiup dan aku melesat tinggi.

Rasanya seperti melangkah ke dalam lift yang cepat sekali.


Zoom! Kukepakkan sayap keras-keras, ingin merasakan sensasi
kecepatan.
Tobias ada di depanku, dan sambil terbang aku mengawasinya.
Kupandang gerakan sayapnya yang sangat halus. Kelihatannya ia
mampu menggerakkan helai demi helai bulu. Baginya, angin
bukannya sesuatu yang tidak kelihatan. Baginya, angin adalah jalan
raya, sama jelasnya seperti jalan beraspal.
Melayang mengikutinya, aku merasakan otak elang laut di
bawah otakku, menyesuaikan diri dan bereaksi terhadap angin.
Mataku melihat benda yang paling kecil sekalipun. Mataku
menangkap setiap binatang, setiap lubang tempat seekor binatang
mungkin bersembunyi. Aku melihat sungai kecil dan melihat bayangbayang ikan yang menyelinap di antara karang-karang.
Elang lautku ini telah didesain oleh alam untuk terbang tinggi
dan menemukan mangsanya. Sama seperti Tobias.
Kami terbang terus, makin lama makin tinggi. Bagian atas
pepohonan tampak seperti padang rumput yang bergunduk-gunduk di
bawah kami. Aku bisa melihat seluruh kompleks penebangan kayu
Yeerk. Dan aku bisa melihat mesin-mesin besar berwarna kuning yang
memotong pohon-pohon seperti pisau panas menembus mentega.
Akibat pembabatan itu sudah tampak, hamparan tunggul-tunggul kayu
yang berparut seperti kena luka. Luka yang menyebar seperti penyakit
menular mengerikan, membinasakan hutan.
Tobias menikung ke kiri, menuju jalan panjang berkelok yang
menembus pepohonan. Kubelokkan sayapku dan kuikuti dia.
Sungai kecil tadi bermuara ke sungai yang lebih besar, mengalir
beriak sepanjang jalan. Menembus air, menembus busa dan
gelembung, aku melihat rombongan ikan-ikan yang meluncur. Dan
kurasakan otak elang lautku mempertimbangkan situasi ini. Mengukur
jaraknya. Menghitung sudutnya. Merencanakan bagaimana ia akan

melayang rendah di atas air, kemudian menurunkan cakar tajamnya


pada saat yang paling tepat untuk menyerang. Untuk menyambar ikan
dari dalam air.
Aku tahu bahwa Tobias membuat perhitungan yang sama saat
ia terbang di atas tikus dan kelinci dan... sigung.
Tobias dan aku adalah dua pembunuh hebat yang indah. Kami
menggiring angin, sementara mangsa-mangsa kami meringkuk
ketakutan di bawah.
Tapi ia benar. Kami punya hak untuk hidup, sama dengan
mangsa-mangsa kami yang mana pun. Dan kami telah didesain oleh
evolusi selama jutaan tahun untuk menjadi hewan pemangsa.
<Itu dia,> kata Tobias. <Sebuah jip.>
Aku menoleh dan melihat mobil yang datang. Dengan
ketajaman pandangan elang, aku bisa melihat menembus jendela,
seakan kaca jendela itu permukaan air. <Tiga laki-laki. Satu
mengemudi, satu lagi duduk di sebelahnya. Satu lagi duduk di
belakang, dan dia kayaknya lebih tua dari yang di depan.>
<Betul. Dan tulisan di sisi jip itu bunyinya Dapsen Lumber.
Menurut terkaanku, sopir dan laki-laki yang duduk di sebelahnya itu
Pengendali. Orang yang duduk di belakang melihat ke kanan dan ke
kiri, seakan dia sangat tertarik pada apa yang sedang terjadi.>
<Beberapa menit lagi mereka akan tiba di kompleks. Begitu
kita lihat reaksi Mr. Farrand, kita akan tahu apakah dia sudah
dijadikan Pengendali atau belum,> kataku.
<Kok bisa begitu? >
<Para Yeerk kan sudah mulai menebang hutan,> aku
menjelaskan. <Kalau Mr. Farrand masih manusia asli, pasti dong dia
tidak terima. Kalau dia tenang-tenang saja, berarti dia sudah jadi salah
satu dari mereka.>
<Pendapat bagus,> kata Tobias.

<Apa yang kita lakukan? Maksudku, kalau dia ternyata sudah


jadi Pengendali?> tanyaku.
<Aku tak tahu.>
<Kita serang dia dan apa yang akan terjadi, terjadilah. Begitu,
kan?>
<Cassie, kau manusia. Tugasmu adalah menjaga agar kau dan
spesiesmu hidup. Itu yang diinginkan alam darimu. Itu tujuan
evolusiuntuk bertahan hidup.> Ia kedengaran marah.
Kami sekarang mengikuti jip itu, menuju ke kompleks Yeerk.
Beberapa menit lagi Mr. Farrand akan melihat apa yang sedang
terjadi, dan kami akan tahu siapa sebenarnya dia.
Salah satu dari kami, atau salah satu dari mereka. <Bertahan
hidup,> kataku datar.
<Itu hukum alam. Hukum nomor satu. Dan manusia adalah
bagian dari alam.>
<Begitu juga Yeerk, dan kita tidak lebih baik daripada mereka.>
<Kurasa itu kita pikirkan nanti saja,> kata Tobias. <Lihat.>
Jip berhenti di depan benteng Yeerk.
Mr. Farrand membuka pintu mobil dan meloncat turun. Dengan
jelas kulihat ia mengayun-ayunkan tangannya. Bahkan dari tempatku
berada aku bisa melihat kemarahan di wajahnya.
Kemudian dari dalam bangunan muncul seorang laki-laki.
Tapi... rasanya ia bukan manusia deh. Bahkan dari ketinggian di
angkasa ini, aku merasakan sesuatu yang mengerikan terpancar dari
orang itu.
<Dia,> kata Tobias.
Aku langsung sadar siapa yang dimaksud Tobias.
<Aku baru sekali melihatnya dalam wujud manusia, tapi aku
yakin itu pasti dia,> kata Tobias.
Visser Three.

Chapter 21

VISSER THREE.
Pemimpin penyerbuan kaum Yeerk ke Bumi. Satu-satunya
Yeerk di seluruh jagat yang bisa menguasai tubuh Andalite. Satusatunya Yeerk di jagat raya yang punya kemampuan untuk
bermetamorfosis.
Seharusnya aku tidak terkejut ia menjelma menjadi manusia.
Pilihan yang logis, kan.
Tapi aku toh marah besar. Tidak masuk akal memang, tapi aku
tetap marah. Ia manusia palsu. Ia menggunakan DNA manusia dan
bentuk manusia sebagai bagian dari rencananya untuk memperbudak
umat manusia.
<Visser Three,> kataku pada Tobias.
<Yeah,> ia menimpali. <Dia kelihatan normal. Hanya saja dia
membuat kita ngeri.>
<Perasaanku tidak enak,> kataku. <Kukira mereka tidak akan
menunggu lama-lama. Kukira mereka akan langsung menguasai Mr.
Farrand.>
Mr. Farrand berjalan menghampiri Visser Three, tangannya
masih melambai serabutan ke arah mesin-mesin berat yang sedang
menebang pepohonan. Visser Three tersenyum. Bukan senyum yang
ramah. <Di mana Jake dan yang lain?> tanya Tobias.
<Oh, ya ampun,> kataku. <Pasti sebentar lagi...>
Tiba-tiba saja Visser Three menyerang. Ditamparnya pipi Mr.
Farrand. Laki-laki itu terhuyung ke belakang. Tangannya memegang
pipinya.

Kedua laki-laki dari dalam jip maju menyergap Mr. Farrand.


Mr. Farrand lebih tua dari mereka. Ia tak berdaya.
<Cassie. Lihat. Kalau bukan Jake, berarti ada harimau lain
berkeliaran di hutan!>
Pandanganku kuarahkan ke lapangan terbuka. Sekarang aku
bisa melihatnyaseekor harimau loreng-jingga besar melesat ke arah
Mr. Farrand. Tapi ia terlalu jauh. Semuanya terjadi begitu cepat. Jake
tidak siap. Aku bahkan tidak tahu di mana yang lain. Mungkin malah
sedang dalam proses metamorfosis.
<Kalau begitu, terserah kita,> kataku.
Kuatur arah sayapku, lalu aku menukik turun mengarah Visser
Three. Turun, turun, turun. Makin cepat dan makin cepat, sampai
sayapku bergetar dan tulang-tulangku berkeretak saking cepatnya.
Targetku, kepala manusia Visser Three, makin lama makin
besar. Makin besar. Makin besar!
Kujulurkan cakarku ke depan, kukembangkan sayapku
secukupnya agar terbangku tidak keterusan, lalu aku menyerang. Bisa
kurasakan cakarku menembus kulit kepalanya. Dan kemudian aku
melesat dari sana, terbawa kecepatanku sendiri.
"Aaarrrgghh!" jerit si Visser.
Pada saat yang bersaman, Tobias menyerang salah satu laki-laki
dari dalam jip. Tobias lebih berpengalaman dari aku. Sasarannya lebih
tepat. Laki-laki yang diserangnya akan memakai penutup mata
sebelah seumur hidupnya.
<Yeee hah!> teriak Tobias.
Mr. Farrand berhasil melepaskan diri dari sergapan laki-laki
yang lain dan lari.
"Tangkap dia!" teriak Visser Three. "Siaga penuh!"
Laki-laki yang tak terluka mengejar Mr. Farrand. Dengan
mudah ia berhasil menangkapnya dan menghantamnya sampai roboh
di tanah. Kulihat kilatan warna hitam dan jingga. Jake menyerbu.

Di belakang Jake, kulihat terjadi pertempuran lain di tepi hutan.


Dua serigalaRachel dan Marcomenyerang para Pengendali yang
mengoperasikan mesin. Para penjaga berlarian mendekat, senjata
otomatis mereka sudah dikokang.
Mendadak, secepat gazelle, Ax berlari mendekat membantu
Rachel. Penjaga terdekat menoleh dan bersiap menembak. Ekor Ax
menyambar, dan si Pengendali tak lagi punya tangan untuk menarik
pelatuk.
Persis di bawahku, laki-laki yang tadi naik jip menendang Mr.
Farrand, yang sedang berusaha bangkit. Ini sudah keterlaluan bagiku.
Aku berputar di angkasa dan menyerang untuk kedua kalinya.
<Cassie!> Tobias berteriak memperingatkan.
Pintu depan bangunan terbuka dan mereka berbondongbondong keluarsetengah lusin Pengendali-Manusia, semua
bersenjata. Dan jauh lebih mengerikan lagi, ditambah empat HorkBajir besar.
Tapi sudah terlambat untuk mundur. Aku sudah telanjur
menukik.
DOR! DOR! DOR!
Aku mendengar dua peluru pertama mendesing melewatiku.
Kurasakan peluru ketiga mengenai sayap. Peluru itu menembus
sayap kananku, dan aku meluncur dari udara, tiba-tiba saja gerakan
terbangku kaku seperti anak ayam.
Aku jatuh. Tanpa daya, aku jatuh.
BLUK!
Keras aku menghantam tanah.
Pusing dan bingung, kupikir aku melihat Jake melompat
menyerang satu prajurit Hork-Bajir. Tapi aku tidak yakin.
Pandanganku kabur. Kabur...

Duniaku jadi sempit dan gelap. Aku tak lagi bisa melihat
sesuatu yang jauh. Aku hanya bisa memfokuskan pandangan ke tanah
di depanku.
Seekor semut merayap di depanku, membawa serangga mati.
Mungkin aku membayangkan yang tidak-tidak, selagi aku nyaris
pingsan begini. Mungkin otakku merekayasa hal-hal yang sebetulnya
tidak ada. Tapi aku hampir pasti bahwa serangga mati yang diseret
semut tadi adalah bangkai kering si ratu rayap.
Dan kemudian semua menjadi gelap.

Chapter 22

AKU terbangun dalam semacam kotak besar. Gelap, tapi


bukannya sama sekali tanpa cahaya. Ada lubang-lubang bulat kecil di
sisi-sisi kotak. Lubang udara. Kulihat Mr. Farrand tergeletak pingsan
di sebelahku.
Ia kelihatan tua. Kepalanya hampir botak dan lubang telinganya
ditumbuhi rambut. Darah menetes dari luka di dahinya.
"Hidupkan pertahanan di sekeliling kornpleks!" teriak Visser
Three.
Aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aneh juga, bisa
mendengar suara Yeerk-nya. Kami selalu bertemu Visser Three ketika
ia berada dalam tubuh Andalite yang dicurinya. Saat itu ia
berkomunikasi dengan bahasa pikiran.
"Kau! Dan kau! Kalian jaga kotak itu!" perintah Visser Three.
"Kalau ada sesuatu... sesuatu, tak peduli betapa pun kecilnya mencoba
keluar dari dalamnya, binasakan! Ada bandit Andalite dalam kotak
itu, dan sebaiknya dia masih ada di situ kalau semua ini sudah selesai.
Kalau tidak, kubinasakan kalian berdua!"
Bandit Andalite. Akulah yang dimaksud. Tentu saja, kalau aku
tidak keluar dari dalam kotak, nantinya aku toh harus kembali ke
wujud asliku dan Visser Three akan tahu bahwa aku sebetulnya
manusia.
Dan aku harus segera berubah. Sayapku serasa terbakar. Sakit
sekali.
"Visser! Bandit-bandit Andalite sudah berhasil membalik
mesin-mesin besar dan mengarahkannya kepada kita!" teriak
seseorang.

"Kalau begitu, pasang force field!"


"Tapi... tapi, Visser... orang-orang kita sendiri akan
terperangkap di luar force field."
Suara Visser Three berubah menjadi tenang. Tenang yang
membahayakan. "Apakah aku baru saja mendengar kau
mempertanyakan perintahku?"
"Tidak! Tidak, Visser! Kupasang force field-nya!"
Mr. Farrand merintih. Kepalanya bergerak sedikit, kemudian ia
diam lagi.
Oke, Cassie, berpikirlah. Berpikir!
Jelas kawan-kawanku masih bertempur. Pastilah mereka
menang, kalau tidak Visser Three tidak akan memasang force field.
Mereka telah berhasil mengambil alih beberapa mesin dan
mengarahkannya ke bangunan ini. Begitu force field terpasang, mesinmesin besar itu takkan berguna lagi.
Dan para Yeerk punya taktik lain. Visser Three akan
memanggil bala bantuan. Pesawat-pesawat Bug Fighter penuh HorkBajir segar bisa mendarat kapan saja. Kalau itu terjadi, semua sia-sia.
Kami kalah total.
Tidak! Pikir, Cassie! Ini permainan antara pemangsa dan
mangsanya. Ini perang. Apa kelemahan para Yeerk? Apa sesuatu yang
mereka butuhkan yang bisa kuambil?
Mr. Farrand merintih lagi.
Tentu saja!
Aku menghela napas dalam-dalam. Aku mulai bermetamorfosis
meninggalkan tubuh elang lautku yang terluka dan kesakitan, kembali
ke wujud manusiaku. Morph terjadi berdasarkan DNA dan DNA tidak
dipengaruhi luka. Wujud manusiaku akan utuh dan sehat.
Sesak benar dalam kotak berisi dua manusia ini. Aku sedang
membungkuk di depan Mr. Farrand ketika matanya mengerjap
terbuka. Saat itu aku sudah dalam proses metamorfosisku yang

berikutnya. Yang dilihatnya adalah wajah seorang gadis, tapi dipenuhi


bulu tebal hitam dan putih.
Matanya terpejam lagi. Ia akan mengira semua itu cuma mimpi.
Mudah-mudahan saja.
"Hah!" kudengar Visser Three berkaok. "Force field sudah
berhasil menghentikan mereka!"
"Visser! Pesawat Bug Fighter yang pertama akan mendarat di
sini lima belas menit lagi."
<Bagus!> kata Visser Three. <Kali ini, habis mereka!> Ia
menggunakan bahasa pikiran. Visser Three sudah kembali ke
wujudnya semula.
Kufokuskan pikiranku. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Tapi ini berbahaya. Aku harus berkomunikasi dengan Visser Three
dengan menggunakan bahasa pikiran. Dan itu harus kulakukan hatihati, jangan sampai dia bisa mendeteksi bahwa aku ini sebenarnya
manusia.
Percakapannya singkat saja. Suara monoton. Sesedikit mungkin
kata-kata. Jangan memberikan gambaran apa pun.
<Visser,> kataku. <Akan kubunuh manusia ini.>
Inilah kelemahan Visser Threeia membutuhkan Mr. Farrand
hidup-hidup. Di sinilah ia bisa kutekan. Dengan mengancam untuk
membunuh Mr. Farrand, aku mengancam rencana Visser Three.
Soalnya, mayat kan tidak bisa dijadikan Pengendali. Visser
Three langsung mengerti.
<Semua yang ada di ruangan ini! Arahkan senjata ke kotak itu!
Bersiaplah menunggu perintahku untuk menembak si Andalite, tanpa
mengenai si manusia! Dia bisa berbentuk binatang liar, entah apa!
Jangan sampai dia lolos.>
Aku mengambil posisi. Manusia dalam diriku takut. Tapi aku
sebagai sigung sangat tenang. Sigung tahu senjatanya yang sangat
ampuh.

Tiba-tiba pintu kotak itu terbuka.


Visser Three berdiri dalam tubuh Andalite-nya. Ekor Andalitenya mengacung, siap disabetkan.
Di kanan-kirinya berdiri masing-masing tiga PengendaliManusia bersenjata. Dan di antara para manusia itu, menjulang di atas
mereka, lima prajurit Hork-Bajir.
Para Pengendali-Manusia membidikkan senapan mereka.
Para Hork-Bajir itu juga membawa senjata, tapi mereka
sebetulnya tak memerlukannya. Hork-Bajir sendiri sudah berwujud
senjata. Tubuhnya setinggi dua meter lebih, dengan mata kaki pisau,
lutut pisau, siku pisau,dahi tombak, dan ekor tajamkombinasi
Stegosaurus dan Klingon.
Semua senjata mematikan yang luar biasa ini menunduk
menatapku.
Visser Three mengarahkan mata tanduk Andalite-nya kepadaku.
Mata utamanya sudah menatap dengan geli.
<Ini yang terbaik yang bisa kaulakukan, sampah Andalite?> Ia
tertawa. <Kau berubah menjadi binatang yang benar-benar
menakutkan!> Ia tertawa lagi.
Ia tertawa melihat binatang lucu seperti kucing gemuk berbulu
hitam dan putih yang ada dalam kotak. Ia tertawa melihat caraku
berdiri membelakanginya, dengan ekor terangkat, kepala menoleh ke
belakang.
Sigung bisa menembakkan baunya dengan ketepatan super dari
jarak sampai empat setengah meter.
Visser Three jauhnya cuma dua meter dariku. <Bunuh dia!>
perintah Visser Three dingin.
Tapi aku menembak lebih dulu.
Sigung bisa menembakkan baunya lima sampai tujuh kali.
Tembakan pertamaku mengenai muka Visser Three.

Tembakan keduaku mengenai Hork-Bajir di kiri yang paling


dekat. Sekali lagi, kena dua Pengendali-Manusia. Sekali lagi dan lagi.
Semua itu terjadi hanya dalam waktu tiga detik.
<Aaaarggghh!>
"Oh, guh, guh, ohhhhh. Ohhhh!"
"Herunt gahal! Bau! Arrrr!"
Visser Three terhuyung ke belakang, matanya terpejam dan ia
pusing karena bau busuk yang menusuk itu. Para Pengendali-Manusia
menutup mulut mereka dengan tangan. Beberapa di antaranya bahkan
menjatuhkan senjata mereka.
Para Hork-Bajir-lah yang kucemaskan. Aku tak tahu apakah
Hork-Bajir punya indra penciuman.
Ternyata punya.
Ternyata indra penciuman mereka tajam sekali. Rasain deh.
Justru para Hork-Bajir yang panik lebih dulu. Salah satu dari
mereka menembakkan senapan Dracon-nya dengan membabi buta.
<Jangan tembak, goblok!> teriak Visser Three. <Tembakanmu
bisa kena si manusia! Atau aku!>
Sebetulnya tembakan itu cuma mengenai lantai. Lubang besar
berasap muncul di lantai kayu.
"Bau fernall gahal!" salah satu Hork-Bajir tak henti-hentinya
mengumpat dalam bahasa gado-gadonya.
Kemudian para Hork-Bajir itu lepas kendali. Mereka berbalik
dan kabur.
Aku sendiri sih tidak bisa mengerti, ngapain mereka sampai
panik begitu.
Bagiku baunya oke-oke saja.

Chapter 23

MEREKA kabur. Para Pengendali-Manusia, Hork-Bajir, dan


Visser Three. Mereka tak tahan pada bau sigung-ku yang bukan main.
Aku berjalan melenggok. Sampai di pintu aku terpana.
Pemandangan di depanku sungguh luar biasa. Force field masih
tetap terpasang. Tiga mesin besar penebang pohon, mesin diselnya
menderu-deru dan mengepulkan asap tebal, menabrak-nabrak force
field seperti anjing gila yang dirantai.
Di dalam force field itu, tampak pasukan Yeerk yang sudah
patah semangat.
Di luar force field juga ada kebun binatang yang aneh
harimau, beruang grizzly, dan gorila. Dan sesuatu yang lain yang
belum pernah ada di kebun binatang di duniaAndalite.
Jake, Rachel, Marco, dan Ax.
Bertebaran di padang terbuka, sekelompok Pengendali-Manusia
dan Hork-Bajir sedang merawat luka mereka. Beberapa cuma
berbaring di tanah.
Sungguh pemandangan aneh dan menegangkan. Jika force field
berhasil dirobohkan, traktor dan mesin penebang pohon itu dalam
sekejap akan menabrak bangunan.
Tapi sebaliknya, meskipun mereka berbau busuk sigung,
terhuyung, dan setengah buta, kekuatan di dalam force field itu jauh
lebih besar daripada Jake, Rachel, Marco, dan Ax.
Tentu saja, jika mesin-mesin penebang pohon itu menabrak
bangunan, Mr. Farrand mungkin akan terbunuh. Para Yeerk tidak mau
itu terjadi. Kami juga tidak, tapi Visser Three tidak tahu itu.

<Apa yang terjadi?> Jake berbisik menanyaiku dalam


percakapan pribadi dengan bahasa-pikiran.
<Kusemprot mereka,> kataku. <Mereka tidak menyukainya.>
Aku yakin harimau tidak bisa tersenyum. Tapi aku berani
sumpah Jake saat itu tersenyum.
Jake pastilah diam-diam memberitahu Ax apa yang terjadi. Ax
satu-satunya yang kami percayai untuk bicara dengan Visser Three. Ia
satu-satunya Andalite sejati.
<Visser,> kata Ax. <Rupanya kita menghadapi jalan buntu,
ya.>
<Jangan coba-coba tawar-menawar denganku, goblok,> Visser
Three menyeringai. <Bala bantuanku sedang dalam perjalanan.>
Ax mengangguk. <Gimana ya nanti bau pesawat Blade-mu,
setelah kausebarkan baumu di dalamnya?>
<Baunya... lama-lama akan hilang,> kata Visser Three.
"Visser, menurut ingatan induk semangku...," salah satu
Pengendali-Manusia mencoba menjelaskan.
Ekor Visser Three yang berujung tajam membelah udara, lalu
menempel di leher si Pengendali-Manusia. Digerakkan sedikit saja,
kepala Pengendali itu akan melayang.
<Jangan menyela ucapanku,> kata Visser Three kalem. <Kau
tadi bilang apa?> tanyanya pada Ax.
<Baunya akan hilang dalam waktu kira-kira tujuh hari hitungan
waktu Bumi... kalau kau tinggal di udara terbuka,> kata Ax tenang."
<Kalau dalam pesawat ruang angkasa? Yang kedap udara, tertutup,
dan sempit? Baumu tak akan hilang. Selamanya. Untunglah... berkat
kecanggihan teknologi kimia Andalite, ada cara untuk menghilangkan
bau itu. Bebaskan si manusia Mr. Farrand itu. Dia pingsan dan tidak
menyaksikan kau ini sebenarnya siapa. Izinkan dia pergi, kami akan
memberimu resep penetralisir bau itu, dan kami semua pun akan
pergi.>

<Kau akan kubunuh dengan tanganku sendiri!> jerit Visser


Three. <Sampah Andalite!>
<Visser, kita berdua tahu, tak mungkin menghilangkan bau
busuk kalau sudah masuk ke pesawat ruang angkasa. Pesawat itu
harus dibongkar total dan diganti isinya di bengkel besar. Kalau tidak,
tak akan ada yang tahan berada dalam pesawat Blade-mu.>
Visser Three cuma berdiri saja. Berdiri diam dan mendelik.
Mata tanduknya pun merunduk.
<Ambil manusia itu,> bisiknya pada prajurit Hork-Bajir-nya.
"Visser...," salah satu Hork Bajir mengerang, jelas ia malas
kembali ke dalam ruangan yang bau busuknya bahkan lebih
menyengat lagi.
<Hari ini bukan hari menyenangkan bagiku,> kata Visser
Three. <Aku lagi jengkel, tahu! Apa kau mau merasakannya juga? >
Kedua Hork-Bajir kembali ke dalam bangunan dan segera
muncul lagi, menyeret Mr. Farrand. Laki-laki itu mereka jatuhkan di
tanah.
<Suruh salah satu orangmu mengantar dia naik mobil, sampai
ke rumah sakit manusia yang terdekat. Kalau dia sudah selamat, kami
akan memberitahukan rahasianya. Jangan coba-coba menipu. Kami
akan mengawasi.> Ax mengarahkan mata tanduknya ke angkasa.
Visser Three mengikuti arah pandangannya dan melihat, jauh di
angkasa, seekor elang berekor merah.
<Asal kalian tahu bahwa suatu hari nanti aku akan berhasil
menangkap kalian,> kata Visser Three. <Walaupun kalian licik sekali,
aku akan tetap bisa menemukan kalian.>
<Kurasa tidak,> kata Ax. <Dari jauh kami pasti sudah mencium
baumu kalau kau datang.>

Chapter 24

PARA Pengendali-Manusia mengantar Mr. Farrand ke rumah


sakit. Begitu kami tahu ia selamat, Ax memberitahu Visser Three
bahwa sejenis jus tertentu bisa menghilangkan bau sigung.
Visser Three masih memaki-maki ketika kami menghilang ke
dalam hutan.
Keesokan harinya, Jake, Marco, Rachel, Ax, dan aku
mengembalikan induk sigung ke sarangnya. Ia melenggok masuk ke
lubangnya dan beberapa menit kemudian keluar lagi, diikuti oleh
Joey, Johnnie, Marky, dan C.J.
Mereka sama sekali tidak mengacuhkan keempat manusia dan
Andalite ini. Bagaimanapun juga, induk sigung sudah berkumpul
dengan anak-anaknya. Dan induk sigung tidak takut pada apa pun.
"Cepat benar mereka besar," kata Rachel, ketika mereka
melenggok melewati kami dalam satu barisan.
"Kayaknya induk sigung akan memberi nama lain pada
mereka," kata Marco. Kurasa ia cuma bergurau.
"Yah, yang penting hutan sekarang sudah aman buat bayi-bayi
sigung," kata Jake.
Jake telah berubah menjadi lalat untuk menyelidiki Mr. Farrand
di rumah sakit. Laki-laki itu baik-baik saja. Hal pertama yang ia
lakukan ketika sudah sadar adalah menelepon untuk memberitahukan
bahwa ia menentang rencana penebangan hutan.
Bahkan, menurut Jake, Mr. Farrand bersumpah ia tak akan
pernah lagi mempercayai perusahaan Dapsen Lumber. Dan
kemungkinan besar ia akan mengajukan tuntutan.

Menurut Mr. Farrand, tampaknya para binatang hutan pun


memberontak melawan para penebang itu. Ia menyatakan bahwa ia
sendiri dikunjungi oleh roh sigung raksasa dengan mata seperti mata
anak perempuan.
"Hiduplah dengan tenang dan bahagia, sigung-sigung kecil,"
kata Marco kepada keluarga sigung. Penguasa hutan kecil-mungil
yang berbulu.
Semua tersenyum dan kelihatan puas. Tapi aku masih bingung.
Ketika kami berjalan pulang melewati hutan, Jake menemaniku
di belakang, membiarkan yang lain jalan lebih dulu.
"Tampaknya kau tidak begitu gembira," kata Jake. "Apa kau
menyesal tidak jadi mama sigung lagi?"
Aku tersenyum. "Tidak. Maksudku, ya, sedikit. Tapi bukan itu."
"Jadi? Apa yang membuatmu resah?"
Aku mengangkat bahu. "Semua ini tak masuk akal bagiku.
Tobias makan salah satu anak sigung, kemudian dia membantu
menyelamatkati sisanya. Aku membunuh ratu rayap untuk
menyelamatkan diriku dan teman-temanku, sesudah itu aku merasa
berdosa sekali. Tapi menghadapi Visser Three, aku tak ragu-ragu
menyerangnya. Sekejap aku tikus yang dikejar-kejar cowok badung di
lab sekolah, menit berikutnya aku membawakan Tobias tikus mati.
Lalu Tobias menjaga sigung, padahal seharusnya ia memburu sigungsigung itu untuk dimakan. Semua itu kan merupakan bagian dari
sistem besar yang sama. Sistem alam. Bagaimana bisa masuk akal,
coba?"
Jake kelihatannya menyesal telah memulai pembicaraan ini.
"Ehm... wah, Cassie, aku juga tak tahu."
"Oke, kalau begitu jelaskan saja ini. Apakah aku bagian dari
alam, sehingga aku harus hidup mengikuti hukum alam, yaitu
membunuh untuk hidup, membunuh atau dibunuh? Atau apakah aku
ini sesuatu yang berbeda karena aku ini manusia?"

Kami berjalan dalam diam sementara Jake memikirkan


ucapanku. Aku kasihan padanya. Aku tahu ia lebih suka
membicarakan Spiderman versus Batman dengan Marco.
"Yah, kurasa kau keduanya," kata Jake akhirnya. "Maksudku,
kau orang yang membinasakan ratu rayap. Kau juga orang yang
bersusah payah menyelamatkan beberapa anak sigung. Sama seperti
Tobias yang suatu hari memakan sigung, kemudian hari berikutnya
menyelamatkan sigung."
"Itu sih tidak banyak membantu," kataku. "Itu cuma berarti
manusia bisa dibilang setengah-setengahsebagian masih binatang
liar, melakukan apa saja agar bisa tetap hidup, dan sebagian lagi...
sebagian lagi, aku tak tahu apa. Mungkin sesuatu yang lebih dibanding
binatang-binatang lain."
"Satu hal yang aku tahu. Semua makhluk mempertahankan diri
untuk tetap hidup. Tapi hanya ada satu makhluk yang punya
kecerdasan dan kemampuan untuk menyelamatkan makhluk-makhluk
lain."
Aku mengangguk. "Kadang-kadang kau ini pintar, Jake,"
kataku.
"Cuma kadang-kadang?"
"Kau benar. Hanya satu makhluk yang bisa membantu
menyelamatkan makhluk atau binatang lain. Hanya manusia yang bisa
melakukannya. Tentu saja, pertama-tama kita harus menyelamatkan
diri kita sendiri." Aku menghela napas. "Masih tetap ruwet deh."
Ada bayangan melesat di angkasa. Aku mendongak dan melihat
Tobias. Ia menukik menuju pepohonan dan muncul lagi di dahan di
pinggir jalan setapak.
"Hai, Tobias," sapaku.
<Hai, Cassie. Halo semuanya. Halo, halo, halo.> Kelihatannya
ia sedang puas sekali.
"Ada apa, Cowok-burung?" tanya Marco padanya.

<Aku baru saja menengok teman-teman kita di kompleks


penebangan. Ada dua truk penuh jus yang baru datang. Entah sudah
berapa truk jus yang datang. Mereka menggali lubang besar di tanah
dan membuat semacam kolam renang yang diisi dengan jus. Visser
Three berendam di situ hampir sepanjang malam dan sepanjang pagi
ini. Kalau melihat semua masih menjauhinya, kukira dia masih bau.
Tambahan lagi,> Tobias menambahkan dengan diiringi tawa jail,
<kulit Visser Three sekarang bernuansa ungu, indah dan menarik
sekali.>
"Wow, bukan main," kata Rachel. "Aku kasihan sekali
padanya."
<Tak lama lagi dia akan tahu kalau sudah dikibuli,> kata Ax.
"Jadi, menyesal nih kita tidak bilang yang sebenarnya? Bahwa
jus tomatlah dan bukan jus anggur yang bisa menghilangkan bau
sigung?" tanyaku.
Kami semua berpandangan, dan meledak tertawa pada saat
yang sama.
"Ah, kurasa tidak," kataku. END

Anda mungkin juga menyukai