Luar biasa!
<Aaaaah!> aku mendengar Marco berseru. <Kita pasti sudah
sinting semua!>
Kami serasa bermain video-game yang sulitnya minta ampun.
Kecepatan kami tidak banyak berkurang, dan kini kami terbang
meliuk-liuk di antara pepohonan. Saking kencangnya, semua pohon
membaur seperti bayangan berwarna cokelat.
Pohon! Belok kiri.
Pohon! Belok kanan.
Pohon! Lusinan bulu tak henti-hentinya melakukan penyesuaian
kecil. Otot-otot sayapku terus mengatur sudut aliran udara.
Pohon! Pohon! Pohonpohonpohonpohonpohon!
<Uiiiiih!> aku memekik. Aku ngeri setengah mati, tapi
sekaligus merasakan ketegangan yang mengasyikkan.
Belok kiri. Belok kanan. Kiri lagi. Kanan lagi. Wus, wus,
WUSSSSS!
Tiba-tiba aku melihat mereka, di lapangan terbuka, tepat di
depan. Dua pemuda duduk di bak mobil pickup. Salah satu dari
mereka berambut pirang dikuncir. Yang satu lagi mengenakan topi
bisbol. Mereka masih seratus meter di depan kami, tapi mata elangku
begitu tajam sehingga, kalau mau, aku bisa menghitung jumlah bulu
mata mereka.
Pemuda dengan rambut dikuncir memegang senapan.
Temannya sedang mereguk bir kaleng. Keduanya masih memandang
ke langit, mencari-cari kami.
Dasar tolol, pikirku ketika kami melejit mendekati mereka.
Kami sudah tidak ada di atas sana. Kami sudah di sini....
Tepat.
Di...
Depan...
HIDUNGMU!
Chapter 2
Chapter 3
Marco sinis. "Begini, bagi Visser Three kita bukan ancaman. Kita
cuma dianggap makan siang oleh dia."
"Mereka tidak tahu siapaatau apakita sebenarnya," aku
berkilah. "Kaum Yeerk pikir kita prajurit Andalite karena kita bisa
berubah wujud. Mereka juga tahu bahwa kita berhasil menemukan
kolam Yeerk, menyusup ke sana, dan menghabisi beberapa Taxxon
dan Hork-Bajir. Menurutku, itu sudah cukup untuk membuat mereka
agak gugup."
Jake mengangguk. "Rachel benar. Tapi memang lebih baik kita
tidak kembali ke kolam Yeerk. Lagi pula... pintunya sudah tidak ada."
Kami semua berhenti, dan menatap Jake.
Ia angkat bahu. "Hei, aku cuma penasaran apakah pintunya
masih berfungsi, oke? Sekadar untuk jaga-jaga. Tapi ternyata pintunya
sudah tidak ada."
Pintu menuju ke kolam Yeerk semula tersembunyi di gudang
tukang sapu di sekolah kami. Sebenarnya pintu menuju kolam Yeerk
di bawah tanah ada lusinan, tersebar di seluruh kota, tapi ini satusatunya yang kami ketahui.
"Berarti kita harus cari jalan lain untuk menghadapi mereka,"
ujarku. "Tom bisa kita manfaatkan. Kita ikuti dia. Yeerk di dalam
kepalanya kan harus balik ke kolam Yeerk." Setiap tiga hari sekali
semua Yeerk harus kembali ke kolam tersebut. Pada saat itu mereka
keluar dari kepala induk semang masing-masing untuk menyerap sinar
Kandrona.
"Jangan. Jangan membawa-bawa Tom, kata Jake tegas. "Kalau
dia sampai dicurigai gara-gara kita, dia mungkin akan dibunuh."
Marco menatapku sambil memicingkan mata. "Jadi kau belum
kapok juga? Kau masih juga nekat mempertaruhkan nyawa kita dan
nyawa semua orang yang kita kenal? Untuk apa?"
"Demi kebebasan," Cassie menjawab singkat.
Marco tidak bisa bilang apa-apa.
Chapter 4
Chapter 5
menambahkan sambil nyengir, "kalau boleh pilih, aku lebih suka piza
daripada masakan Mom."
"Dasar konyol," sahutnya sambil tertawa. "Tapi jangan lupa,
pesan piza yang ada sayurannya."
Sehabis makan malam aku menelepon Jake.
"Hei, sepupu," ujarku. "Kau kemari, dong! Aku baru beli CD
yang bagus sekali. Kau pasti suka lagu-lagunya."
Sebenarnya, CD itu cuma alasan untuk mengajak Jake ke
rumahku. Kami memang harus hati-hati. Tadi aku sudah bilang, kan?
Kakak Jake, Tom, salah satu Pengendali. Bisa saja ia menguping
percakapan kami melalui pesawat telepon paralel.
Setelah menelepon Jake, aku menghubungi Cassie dan Marco,
dengan cara yang sama.
Begitu semua kumpul, aku langsung bercerita tentang Melissa,
dan juga tentang cowok brengsek yang telah kuberi pelajaran. Tapi
aku tidak bilang aku diantar pulang oleh Chapman. Entah kenapa aku
enggan. Ketika aku melihat reaksi Marco, aku bersyukur tidak
menceritakannya.
"Aduh, kau benar-benar bodoh. Bodoh! BODOH!" Marco
mengomel. "Bagaimana kalau dia seorang Pengendali?"
"Dia bukan Pengendali," sahutku kesal. "Mana mungkin
kaum.Yeerk memilih cowok pengacau seperti itu untuk dijadikan
Pengendali? Mereka pasti mengincar orang-orang penting."
"Belum tentu," ujar Jake. "Tom bukan orang penting. Dia tidak
punya kekuasaan apa-apa."
"Bagaimana dengan orang-orang yang kebetulan lewat naik
mobil, atau melongok dari jendela rumah mereka?" tanya Marco,
"Dan bagaimana kalau si brengsek itu memberitahu orang-orang
tentang cewek yang tiba-tiba punya belalai dan gading?"
"Tenang. Takkan ada yang percaya," balasku.
"Ini foto aku dan Melissa," ujarku. "Kalau tidak salah ini
diambil saat ulang tahunnya yang kedua belas. Kami sedang main di
rumput dengan kado ulang tahun dari ayahnya."
"Terus?" tanya Marco tidak sabar.
"Nih...." Kuserahkan foto itu padanya. Aku dan Melissa
mengenakan celana pendek. Dan di antara kami berdiri anak kucing
berbulu hitam-putih. "Kado ulang tahunnya seekor kucing."
Chapter 6
"Ehm, aku juga mau tanya," ujar Cassie. "Bagaimana cara kita
memancing kucing Melissa supaya keluar?" Kami semua langsung
menatapnya.
"Pertanyaan bagus," aku mengakui.
"Sebenarnya kita bisa saja terus menunggu sambil sembunyi di
semak-semak. Tapi cepat atau lambat para tetangga pasti curiga."
<Seperti apa kucing itu?>
Tobias bertengger di dahan pohon di dekat kami. Cukup dekat
untuk mendengar apa yang kami bicarakan.
Aku berusaha mengingat-ingat. "Aku ingat, namanya Fluffer.
Fluffer McKitty."
"Ah, yang benar?" Siapa lagi yang ngomong kalau bukan
Marco.
Aku berusaha mengingat-ingat saat Melissa dan aku masih
akrab. "Bulunya hitam-putih. Maksudku, belang-belang."
<Biar kucari dulu. Siapa tahu dia ada di luar.>
Tobias merentangkan sayap. Tanpa suara ia meluncur di atas
kepala kami, lalu menghilang dalam kegelapan malam.
"Kalian tahu apa yang kita perlukan?" tanyaku. "Kita perlu
kucing lain. Seharusnya sudah kita siapkan. Kucing kedua itu bisa
memanggil Fluffer."
Langsung saja Marco berkomentar, "Meong Fluffer, keluar
meong, kita main yuk, meong?"
"Tobias pernah berubah jadi kucing, kan?" tanyaku.
"Yeah," sahut Jake. "Waktu pertama kali dia berubah. Di antara
kita, dialah yang pertama kali mencoba metamorfosis."
"Rachel, kalau kau sudah masuk, jangan lupa tetap bertingkah
seperti kucing," pesan Cassie. "Kalau ada kucing bersikap aneh, orang
paling-paling cuma heran. Tapi Chapman mungkin curiga kalau
Fluffer tiba-tiba tidak bertingkah seperti kucing."
Tak seorang pun tahu apa yang akan dialami Tobias. Selain
dirinya, belum ada yang melanggar batas waktu dua jam. Dan
sekarang ia sudah lebih dari satu minggu menjadi elang.
Marco mendadak sadar. "Yeah, ehm... kurasa kalian benar. Lagi
pula, aku sendiri pernah makan daging burung unta. Jadi memang
tidak pantas aku ngomong begitu."
Begitulah cara Marco minta maaf.
<Kucing yang kita cari kira-kira setengah blok dari sini,> ujar
Tobias. <Ayo, ikut aku.>
Ia mengepakkan sayap dan terbang rendah. Kami segera
mengejarnya. Walaupun sudah berusaha terbang lambat, Tobias tetap
terlalu cepat untuk kami. Ia terpaksa berputar-putar menunggu. Kami
berusaha menyusulnya.
"Orang-orang pasti heran melihat kita," kata Cassie. "Empat
anak lari-lari sambil mendongak terus."
<Di sebelah sana,> Tobias memberitahu. <Kalian lihat
pekarangan dengan dua pohon itu?>
"Yeah. Yang di sebelah kiri, kan?"
<Betul. Kucing yang kalian cari sedang mengintai tikus, di
balik pohon terdekat.>
"Tunggu dulu, kita tidak bisa ramai-ramai menerobos
pekarangan orang," ujarku. "Biar aku dan Cassie saja."
Marco menyerahkan kurungan kucing yang kami bawa. "Perlu
pakai ini?" ia bertanya.
"Nanti saja. Fluffer akan kutangkap dulu, lalu kubawa kemari.
Kalian tunggu di sini saja."
Cassie dan aku memasuki pekarangan. Rumah di hadapan kami
tampak gelap. Barangkali penghuninya sedang pergi. Mudah-mudahan
saja.
"Kau ke kiri," kataku kepada Cassie. Kami mengelilingi pohon
itu.
Chapter 7
<AKUpunya sesuatu untukmu. Seekor bayi tikus. Tapi hatihati. Dia galak. Dari tadi aku mau digigitnya.> Tobias berputar rendah
di atas kami. Sebentar-sebentar ia menghilang di balik dahan-dahan
pohon, lalu muncul kembali. <Sudah siap?>
Sekali lagi aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian aku
melambaikan tangan padanya. Tentu saja aku siap. Kenapa aku mesti
tidak siap menerima bayi tikus dari seekor elang? Itu kan hal biasa.
Tobias melintas rendah sambil mengurangi kecepatan.
Kurapatkan tangan dan kuangkat keduanya tinggi-tinggi. Bidikan
Tobias tepat sekali. Ia berhasil menjatuhkan bayi tikus itu tepat ke
tanganku.
"Awas, jangan sampai kau d igigit!" Cassie mewanti-wanti.
"Bisa kena rabies."
"Bagus," aku bergumam. "Tambah asyik saja." Tapi sebenarnya
aku berterima kasih atas peringatan Cassie. Anak tikus itu merontaronta ketakutan dan berusaha lari. Telapak tanganku serasa digelitik
oleh cakarnya yang mungil.
"Sebaiknya kalian semua disuntik antirabies," ujar Cassie. "Aku
serius lho. Aku sih sudah. Kalau kita berurusan dengan binatang liar...
ehm, untuk sementara, hati-hati jangan sampai digigit."
"Siapa yang mau digigit?" sahutku.
"Eh, tunggu dulu." Cassie membuka tanganku agar dapat
melihat lebih jelas. "Ini bukan tikus. Ini cecurut. Coba perhatikan
matanya. Matanya terlalu kecil. Dan ekornya juga salah. Ini bukan
bayi tikus, Tobias, ini cecurut dewasa."
<Sori. Ada pengaruhnya?>
Cassie angkat bahu. "Entahlah. Yang jelas, ini bukan tikus."
"Tunggu dulu," ujar Marco sambil nyengir. "Rachel mau jadi
cecurut? Dia sudah berubah atau belum sih? Sekarang saja
tampangnya sudah kayak cecurut."
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
semua orang langsung menyingkir. Dia tidak mau cari perkara, tapi
sebaiknya dia juga jangan diganggu. Nah, kira-kira begitu rasanya.
Aku seperti Clint Eastwood.>
"Bagaimana, Rachel? Kau sanggup meneruskan rencana kita?"
tanya Jake.
<Oh, yeah. Aku sanggup melakukan apa saja.>
"Jangan sampai kau dapat masalah karena terlalu yakin," Marco
mewanti-wanti. "Kau mungkin merasa hebat sebagai kucing, tapi
musuh kita bukan orang biasa."
"Marco benar, Rachel," Cassie menambahkan. "Pikiranmu
harus terfokus. Kau tidak boleh gegabah."
Aku melirik ke arah tikus tadi. Aku yakin aku bisa
membunuhnya. Tikus kecil gendut itu bukan lawan sepadan bagiku.
Tapi ia beruntung. Aku sedang tidak lapar, dan karena itu ia selamat
untuk sementara.
<Beres,> sahutku.
"Pokoknya, kami siap menolongmu kalau ada kesulitan," ujar
Cassie.
<Oke, aku akan meong-meong kalau butuh bantuan. Tapi
jangan kuatir. Naluri Fluffer sudah bisa kukendalikan. Semua pasti
beres.>
Tapi sebenarnya aku bohong. Cuma sedikit sih bohongnya.
Naluri Fluffer belum sepenuhnya kukendalikan. Dan entah kenapa,
aku memang tidak ingin. Kesombongan Fluffer membuatku lebih
yakin. Dan aku memang tidak boleh ragu-ragu menghadapi tugas ini.
"Oke, waktumu cuma dua jam," Cassie mengingatkan.
"Sekarang jam delapan lewat seperempat. Jangan lupa itu."
Aku mulai menyusuri trotoar, menuju ke rumah Chapman.
Langkahku ringan sekali. Wah, coba kalau tubuhku selentur ini pada
saat senam, pikirku.
Chapter 12
Chapter 13
hampir tembus pandang. Tapi aku tidak tahu apakah memang aslinya
begitu, atau karena ini cuma hologramnya.
Visser mendekatkan mulut tabungnya ke kepala Chapman.
Ketika ia membuka mulut aku melihat ratusan, bahkan ribuan,
pengisap kecil yang masing-masing mengeluarkan cairan kental
seperti lendir.
Kepala Chapman seakan-akan ditelan.
Chapman gemetaran dan menggigil ketakutan.
Suara Visser Three berkata, "Jangan lupa, Iniss dua dua enam.
Aku yang memberikan tubuh Chapman ini padamu. Kau kutempatkan
di dalam kepalanya dan kujadikan tangan kananku karena aku percaya
padamu. Tapi kalau kau mengecewakan aku, kau akan kuisap keluar
lagi. Mau tahu bagaimana nasib mereka yang membuat aku kecewa?"
Tiba-tiba sebuah gambar melayang di udara, seperti film.
Hologram lagi. Hologram itu memperlihatkan seorang wanita
menjerit-jerit kesakitan karena kepalanya diisap-isap makhluk ungu.
Chapman mulai mengerang. "Oh, oh, jangan Visser. Ampun."
Makhluk ungu dalam film itu mendadak kejang-kejang. Dari
telinga wanita tadi muncul makhluk kelabu berlendir, mirip keong
tanpa rumah. Makhluk itu tersedot keluar dari kepala si wanita.
Si makhluk ungu menelan keong Yeerk itu bulat-bulat.
Lalu film itu berakhir.
"Bagaimana, Iniss dua dua enam? Kau tentu tidak ingin
bernasib seperti itu, bukan?"
Chapman cuma menggelengkan kepala. Matanya masih
menatap film yang sudah lenyap itu.
Visser Three kembali ke wujud Andalite.
"Jangan kecewakan aku," ia berpesan dengan tegas.
Chapter 14
<Bagus. Waktumu masih lebih dari satu jam, tapi Fluffer sudah
mau pulang. Cassie, Jake, dan Marco berusaha menangkapnya lagi,
tapi kau tahu sendiri seperti apa kucing itu.>
Melissa merebahkan diri di tempat tidur. Ia menutupi kepalanya
dengan bantal dan menangis tersedu-sedu.
<Aku belum bisa pergi dari sini,> sahutku.
<Rachel, kalau Fluffer yang asli muncul waktu kau masih di
situ....>
<Yeah, aku tahu. Tapi aku tetap belum bisa pergi. Masih ada
yang harus kukerjakan.>
Aku menuju ke tempat tidur Melissa. Karena tubuhku kecil, tepi
tempat tidur itu tampak seperti dinding gedung bertingkat dua. Aku
menekuk kaki belakang, siap mengambil ancang-ancang. Kemudian
aku melompat ke atas tempat tidur.
Aku menghampiri Melissa dan mengendus-endus rambutnya
yang menyembul dari bawah bantal. Tiba-tiba terdengar bunyi yang
membuatku teringat pada ibuku.
Aku jadi teringat pada kedua ibuku; ibuku sendiri dan ibu
kucing yang dulu menjilat-jilat buluku.
Bunyi itu kukenali sebagai bunyi mendengkur.
Aku yang mendengkur.
Melissa merangkulku dan menarikku mendekat. Sentuhannya
membuatku agak gelisah. Fluffer tidak suka dipeluk-peluk, dan
nalurinya mendorongku untuk segera pergi. Tapi Melissa mulai
menggaruk-garuk tengkuk dan belakang telingaku. Aku mendengkur
semakin keras dan memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama.
"Aku tidak tahu apa salahku," ujar Melissa.
Aku sempat tersentak kaget ketika ia mulai bicara denganku.
Apakah ia tahu rahasiaku? Apakah ia tahu siapa aku sesungguhnya?
Hmm, kurasa tidak. Ia cuma anak perempuan yang berbicara
kepada kucingnya.
Chapter 15
Dua jam kemudian aku sudah siap-siap terbang. Tapi asal tahu
saja: mengudara sebagai elang bukan pekerjaan mudah. Kita benarbenar harus memeras tenaga. Mudah-mudahan saja tubuh manusiaku
ikut memperoleh manfaat dari kerja keras yang harus kulakukan.
Begitu lepas landas, aku mulai bisa memanfaatkan tiupan angin
untuk menambah ketinggian. Sayangnya, angin di dekat permukaan
tanah terlalu pelan. Baru setelah berada di atas pepohonan dan
gedung-gedung sekolah, aku mendapatkan angin yang cukup kencang
untuk mendorongku ke atas.
Ketika aku akhirnya cukup tinggi, aku melihat Tobias. Bulu
ekornya yang merah tampak mencolok.
<Huh, ini benar-benar menyiksa,> ujarku setelah cukup dekat.
<Aku tahu. Ayo, ikut aku. Kita ke mall. Itu tempat terbaik
untuk angin termal.>
<Mall? Kenapa justru di sana?>
<Karena lapangan parkirnya luas. Permukaan aspalnya panas
karena sinar matahari. Aspalnya, mobil-mobil yang diparkir,
gedungnya, semuanya panas. Jadi hampir selalu ada angin termal.>
<Melayang-layang memang paling asyik,> ujarku sambil
melamun.
<Ya, memang asyik,> Tobias membenarkan. <Tapi ada juga
hal-hal yang kuinginkan. Misalnya duduk di sofa dengan sekaleng
soda dan sekantong keripik sambil nonton film bagus di TV. Apalagi
kalau besoknya libur. Itu juga asyik.>
Ia tidak bermaksud menyesali diri. Kata-katanya memang benar
kok.
<Itu menara gerejanya. Ada burung lain yang menuju ke sana.
Dan agaknya Cassie sudah mulai berubah lagi.>
<Ayo, kita turun,> ajak Tobias.
Sepuluh menit kemudian aku telah kembali menjelma sebagai
manusia.
"Kalian tahu, apa yang perlu kita pikirkan?" tanya Marco. "Kita
perlu mengatur baju yang kita pakai waktu kita berubah. Coba lihat,
Cassie pakai celana hijau dan baju ungu, dan Jake pakai celana balap
sepeda, dan Rachel seperti biasa tampil gaya dengan celana ketat
hitamnya. Kombinasinya kacau-balau."
"Terus, apa maumu?" Jake balik bertanya. "Memangnya kita
harus pakai baju biru dengan angka empat di dada? Biar jadi Fantastic
Four?"
<Fantastic Four ditambah Bird Boy,> Tobias menimpali.
"Jangan," balas Marco. "Jangan Fantastic Four. Aku cenderung
memilih kelompok X-Men. Baju kita tidak perlu seragam, yang
penting gaya. Kalau ada yang melihat kita sekarang ini, mana ada
yang bilang, 'Wow, hebat lho. Mereka superhero.' Malah mereka akan
bilang, 'Mereka norak banget sih.'"
"Marco," kataku, "sebaiknya kau jangan berkhayal terus. Kita
bukan superhero. Ini bukan cerita komik."
"Ya, tapi justru itu yang kuharapkan. Soalnya pahlawan buku
komik tidak pernah mati. Oke, Superman memang sempat mati, tapi
kan cuma sementara."
"Kalian sudah selesai berdebat?" tanya Jake. "Kita kemari untuk
membahas urusan penting."
"Apa salahnya pakai celana hijau dan baju ungu?" tanya Cassie
pada Marco.
"Itu pantangan nomor satu di dunia mode," sahut Marco.
"Kau langganan majalah Gadis, ya?" aku menggodanya.
Jake segera membekap mulut Marco. "Hei, teman-teman. Kita
harus memutuskan langkah selanjutnya lho."
Marco melepaskan tangan Jake. "Aku akan memutuskan apa
yang bukan langkah selanjutnya. Seharusnya aku lebih sering
menemani ayahku. Kalian kan tahu, dia masih terpukul karena
ibuku..."
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Tanpa pikir panjang aku pun mulai main kasar. Dengan cakar
dan taring, kulancarkan serangan menggebu-gebu. Dalam sekejap
tangan Chapman sudah berlumuran darah.
"Bukan main! Binatang hebat!" ujar Visser sambil berdecak
kagum. Ia memberikan petunjuk kepada Chapman. "Cepat, putar
badannya. Lalu jepit dia dengan tanganmu. Ya, begitu."
Seranganku yang bertubi-tubi membuahkan hasil. Chapman
benar-benar kubuat menderita.
Namun betapapun gigihnya perlawananku, aku tetap tak
berdaya menghadapi lawan yang jauh lebih besar daripada aku.
Berkat petunjuk Visser Three, Chapman berhasil mendekapku
erat-erat sehingga kaki depanku tidak bisa bergerak. Dan dengan
tangannya yang satu lagi, ia meraih kaki belakangku.
Tak ada yang bisa kulakukan selain menggigit.
Aku menggigitnya. Berkali-kali. Tapi aku tidak sanggup
membunuhnya. Aku tidak sanggup menghentikannya. Ketakutan
Chapman terhadap Visser Three mengalahkan rasa sakit akibat
gigitanku.
"Tahan dia sampai aku datang," ujar Visser Three penuh
semangat. "Bawa dia ke tempat pendaratan terdekat. Aku akan
menjemputnya di sana."
"Visser, bagaimana kalau... Aduh...! Bagaimana kalau dia
kembali ke wujud Andalite?"
"Kau punya senjata. Bunuh saja kalau dia mencoba berubah ke
wujud aslinya."
"Baik.... Ahhh! Binatang busuk! Baik, Visser. Aku segera ke
sana."
"Bandit Andalite ini akan kuberi pelajaran. Dan bawa anak
perempuan itu sekalian."
"Ehm... Melissa?" tanya Chapman.
Chapter 19
KAMI keluar lewat pintu depan. Melissa menangis tersedusedu. Jake bertanya apa yang terjadi. Chapman berjalan secepat
mungkin.
Melissa mencengkeram lengan ayahnya. Kurunganku berayunayun.
"Daddy, Fluffer jangan dibawa. Jangan dibawa! Dia mau
dibawa ke mana?"
Mobil Chapman. Aku melihatnya di depan garasi. Kami sudah
hampir sampai ke sana.
Sekonyong-konyong terdengar bunyi desis melengking tinggi.
Bagaikan peluru ia melesat melintasi pekarangan. Fluffer yang
asli.
Kucing itu berlari seakan-akan semua monster di dunia sedang
mengejarnya.
Kegelapan malam menyebabkan orang tidak bisa melihat apa
yang membuat Fluffer begitu ketakutan. Tapi dengan mata kucingku
aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Tobias meluncur rendah di
atas permukaan tanah, bagaikan bayangan kematian.
Rupanya Fluffer mengenali kurungannya. Ia segera mendekat
dan mengorek-ngorek dinding plastiknya.
Lalu Fluffer McKitty melihat sesuatu yang tak pernah
dibayangkan olehnya. Fluffer melihat dirinya sendiri.
Bagiku kejadian itu tak kalah anehnya. Otak kucing di dalam
kepalaku benar-benar bingung. Bau kucing di luar kurungan itu persis
sama dengan baunya sendiri. Tidak masuk akal. Kemudian otak
<Jake, waktu kita tinggal sedikit. Aku sudah sekitar satu jam
berubah wujud. Dan kau pasti lebih lama lagi. Kau harus segera pergi
dan berubah kembali."
<Masih ada waktu,> sahutnya.
<Memangnya kau bawa jam, Jake?> tanyaku. <Kau cuma
sebesar titik. Jangan sampai kau terperangkap dalam bentuk kutu.
Lagi pula tidak ada yang bisa kaulakukan.>
Tak lama kemudian mobil Chapman mulai terguncang-guncang
karena melewati jalan rusak.
<Kau harus lompat begitu kita turun dari mobil, Jake,> kataku.
<Aku tahu ini sulit, tapi kau harus memaksa diri menjauhi tempat
yang hangat dan menjauhi bau darah. Kau pasti bisa.>
Mobil Chapman berhenti.
<Rachel, aku tidak mau meninggalkanmu sendirian di sini.>
Aku tahu Jake ingin menolongku, tapi sikapnya yang keras
kepala justru membuatku marah. <Jake, kita terperangkap. Chapman
punya pistol sinar Dracon dan aku disekap dalam kurungan. Visser
Three akan datang untuk menangkapku. Aku tidak bisa berubah
bentuk. Chapman pasti mengenaliku. Dan dengan mudah dia bisa tahu
siapa saja teman-teman akrabku. Lalu riwayat kita semua akan tamat.
Padahal hanya kita yang bisa menghentikan mereka. Ayo, Jake, kau
tahu aku benar.>
<Kita belum kalah,> Jake berkeras.
<Satu-satunya harapanku adalah bertahan dalam wujud
kucing,> ujarku. <Kemungkinan besar aku akan... kau tahu
maksudku... tapi paling tidak mereka tidak tahu tentang kalian. Cepat,
tinggalkan aku.>
Chapman turun dari mobil. Ia membuka pintu belakang.
"Waktunya bertemu Visser, Andalite. Kalian pasti akan
bersenang-senang."
Chapter 20
jenis gerakan yang paling jelas terlihat oleh mata kucingku. Tapi
ketika aku memusatkan perhatian ke arah itu, aku tidak melihat apaapa lagi. Hmm, mungkin cuma Hork-Bajir lain yang sedang patroli,
pikirku.
<Baiklah, induk semangmu kuizinkan bicara langsung
denganku,> ujar Visser Three.
Perhatianku beralih kepada Chapman. Mula-mula tidak ada
perubahan. Tapi kemudian kaki Chapman mendadak tertekuk, seolaholah tidak sanggup menopang badannya.
Ia berusaha bangkit lagi. Tapi kakinya tidak mau menurut. Aku
melihat kakinya tersentak-sentak setiap kali Chapman mencoba
berdiri. Akhirnya ia menyerah.
"Fisher," ia bergumam. "Fisher Hree. Sor... Aku... sori. Visher.
Visser. Visser Three."
Chapman yang asli sudah begitu lama tidak mengendalikan
tubuhnya sendiri, sehingga ia tidak ingat bagaimana caranya bergerak
dan berbicara.
"Visser Three," ia berkata sekali lagi. Ucapannya pelan dan
lambat.
<Cepatlah, tolol,> Visser membentak. <Kaupikir aku mau
menunggu sampai besok?>
"Visser Three. Kau... Kita sudah sepakat. Kau tahu aku
sebenarnya tidak sudi bergabung dengan kalian. Istriku yang mau.
Aku tetap menolak meskipun dibujuk-bujuk. Tapi... tapi istriku...
waktu itu ia bukan lagi istriku, tentu saja." Sekonyong-konyong
Chapman mulai menangis. Aku melihat air matanya membasahi pipi.
"Istriku yang bukan lagi istriku... istriku yang sudah menjadi salah
satu makhlukmu... dia mengancam... mengancam akan menyerahkan
putriku padamu."
Ebukulawas.blogspot.com
Chapter 21
Chapter 22
B-O-O-O-O-M!
Aku segera melompat.
Aku melompat ke atas dinding tembok. Aku melompat hampir
dua meter, tegak lurus ke atas. Dan percayalah, dalam keadaan panik
seperti ini aku sanggup melompat lebih tinggi lagi.
Dari sudut mata aku melihat apa yang terjadi. Buldoser tadi
telah menabrak salah satu pesawat Bug Fighter. Dan pesawat tempur
itu langsung meledak.
<AAAARRRRRGHHH!> Visser Three meraung-raung karena
marah. Aku berlari menyusuri puncak tembok. Lebarnya tak sampai
sejengkal. Ini jauh lebih sulit daripada meniti balok keseimbangan di
tempat latihan senam. Tapi aku tetap lari sekencang mungkin.
<Kalian akan kubunuh SEMUA! DASAR TOLOL!> teriak
Visser Three.
Aku sempat berharap kemarahannya akan membuatnya lupa
padaku. Tapi langkahnya yang berdebam-debam kembali terdengar.
Dengan dua langkah saja ia sudah berhasil mengejarku.
Tangannya yang besar menyambar ke arahku.
Jarak ke permukaan tanah sekitar tiga meter, dan rongsokan
berkarat tergeletak di mana-mana.
Tapi aku tidak punya pilihan. Tanpa pikir panjang aku
melompat turun.
Benda-benda logam yang tajam siap menyambutku. Sementara
tangan Visser Three semakin dekat. Tiba-tiba punggungku seperti
ditusuk.
Aku tak lagi meluncur turun. Tubuhku malah terangkat ke
udara.
<Ya ampun, Rachel. Lain kali, kalau kau mau jadi kucing lagi,
pilih dong kucing yang tidak terlalu gendut!>
Tobias!
Chapter 23