Anda di halaman 1dari 63

R.L. Stine Perkemahan Hantu (Goosebumps # 45) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.

com Convert & Re edited by: Farid ZE blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

CHAPTER 1 "KAU kan tahu aku selalu mabuk kalau naik bus, Harry," Alex mengeluh. "Aduh, Alex, jangan macam-macam." Kudorong adikku ke jendela. "Kita sudah hampir sampai. Masa sudah dekat begini kau masih mau mabuk juga?" Bus kami menyusuri jalan yang sempit. Aku berpegangan pada sandaran kursi di depanku dan memandang keluar jendela. Di mana-mana hanya ada pohon pinus. Semuanya serba hijau. Sinar matahari menerobos jendela bus yang berdebu. Wow, sebentar lagi kami sampai di Camp Spirit Moon, pikirku dengan gembira. Aku sudah tak sabar untuk turun dari bus. Penumpangnya cuma duaadikku Alex dan aku. Terus terang, rasanya agak seram juga. Sopir bus tersembunyi di balik tirai berwarna hijau. Aku cuma sepintas melihatnya ketika kami naik. Senyumnya sih ramah. Kulitnya kecokelatan karena matahari. Rambutnya pirang berombak. Dan ia memakai anting perak di salah satu telinganya. "Selamat datang, dudes!" ia menyapa kami. Setelah bus berangkat dan perjalanan panjang dimulai, ia tidak kelihatan atau kedengaran lagi. Ihhh, seram. Untung saja Alex dan aku lumayan akur. Ia setahun lebih muda dariku. Umurnya sebelas. Tapi ia sudah setinggi aku. Kami biasa dijuluki si kembar Altman, padahal kami bukan anak kembar. Rambut kami sama-sama hitam lurus, mata kami sama-sama cokelat tua, dan wajah kami pun sama-sama berkesan serius.

Orangtua kami selalu mengingatkan agar kami harus lebih ceria - bahkan pada saat kami sedang bergembira ria! "Rasanya aku mulai mabuk, Harry," Alex mengeluh. Aku berpaling dari jendela. Muka adikku tiba-tiba kelihatan kuning. Dagunya gemetaran. Wah, ini pertanda buruk. "Alex, anggap saja kau tidak lagi naik bus," kataku padanya. "Anggap saja kau lagi naik mobil." "Tapi aku juga mabuk kalau naik mobil," ia mengerang. "Kalau begitu bayangkan yang lain saja," ujarku. Alex bahkan bisa mabuk kalau Mom mengeluarkan mobil dari garasi! Mabuk darat, laut, dan udara memang kebiasaan buruk adikku. Pertama-tama mukanya jadi kuning. Lalu ia mulai gemetaran. Dan habis itu - ah, pokok-nya jorok, deh! "Tahan sebentar lagi," kataku padanya. "Kita sudah hampir sampai di perkemahan." "Tapi aku mual sekali," Alex mengerang. "Aku tahu!" seruku. "Cobalah bernyanyi. Itu kan selalu membantu. Bernyanyilah, Alex. Bernyanyilah keras-keras. Takkan ada yang mendengarnya. Cuma ada kita berdua di bus ini." Alex senang bernyanyi. Suaranya memang merdu. Guru musik di sekolah kami bilang bahwa Alex dikaruniai perfect pitch. Aku tidak tahu persis apa maksudnya. Tapi sepertinya sih itu pujian untuk adikku. Kalau menyangkut soal menyanyi, Alex serius sekali. Ia ikut paduan suara di sekolah. Dad bilang ia akan mencarikan pelatih suara untuk Alex pada musim gugur tahun ini. Aku menatap adikku ketika bus kami kembali terguncang-guncang. Mukanya sudah sekuning kulit pisang. Benar-benar alamat buruk. "Ayo - bernyanyilah," aku mendesaknya. Dagu Alex gemetaran. Ia berdeham. Kemudian ia mulai menyanyikan lagu Beatles kesukaan kami berdua. Suaranya bergetar setiap kali bus terguncang. Tapi tampangnya mendingan setelah ia menyanyi. Ide bagus, Harry, aku memuji diriku sendiri. Aku memperhatikan pohon-pohon pinus di luar sambil mendengarkan suara Alex. Suaranya memang benar-benar bagus lho. Apakah aku iri? Sedikit, mungkin. Tapi ia tidak bisa memukul bola tenis sekeras aku. Dan aku selalu menang kalau kami adu cepat berenang. Jadi kedudukannya kurang-lebih seimbang. Alex berhenti menyanyi. Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan lesu. "Coba Dad

dan Mom mendaftarkanku di perkemahan musik." Ia menghela napas. "Alex, musim panas sudah hampir berakhir," aku mengingatkannya. "Berapa kali sih urusan ini harus kita bahas? Dad dan Mom menunggu terlalu lama. Mereka terlambat mendaftarkanmu." "Aku tahu," ujar Alex sambil mengerutkan kening. "Cuma kupikir..." "Camp Spirit Moon satu-satunya perkemahan yang masih membuka pendaftaran," kataku. "Hei, lihat tuh!" Kulihat dua ekor rusa di luar - satu sudah dewasa, satu lagi masih bayi. Keduanya berdiri di tepi hutan sambil memandang ke arah bus yang melaju kencang. "Yeah. Bagus. Rusa," Alex bergumam kesal. "Hei - semangat sedikit, dong," seruku. Adikku memang suka mengomel. Kadang-kadang aku ingin mengguncangguncang tubuhnya. Biar tahu rasa! "Siapa tahu Camp Spirit Moon ternyata perkemahan paling seru di dunia," ujarku. "Atau paling payah," sahut Alex. Ia mengorek-ngorek karet busa yang menyembul dari lubang di jok kursi. "Perkemahan musik itu pasti asyik sekali." Ia menghela napas. "Bayangkan saja, setiap musim panas ada dua sandiwara musik. Itu baru seru!" "Sudahlah, Alex," kataku. "Kita nikmati saja Camp Spirit Moon. Liburan kita tinggal beberapa minggu." Sekonyong-konyong bus kami berhenti. Aku tersentak ke depan, lalu ke belakang. Aku cepat-cepat menoleh ke jendela, berharap melihat perkemahan di luar. Tapi yang kelihatan cuma pohon-pohon pinus. Tumbuh bertebaran di mana-mana. "Camp Spirit Moon! Semuanya turun!" teriak si sopir. Semuanya? Kan cuma ada Alex dan aku! Si sopir mengintip dari balik tirai hijau sambil cengar-cengir. "Bagaimana perjalanannya, dudes?" ia bertanya. "Lumayan," sahutku sambil berdiri. Alex diam saja. Si sopir turun. Kami menyusulnya dan berdiri di sisi bus. Rumput yang tinggi di sekeliling kami tampak berkilau-kilau karena sinar matahari. Sopir bus itu membuka tempat bagasi dan mengeluarkan ransel dan kantong tidur kami. Semua barang bawaan kami diletakkannya di rumput. "Ehm... mana perkemahannya?" tanya Alex. Aku melindungi mata dengan sebelah tangan dan memandang berkeliling. Jalan yang sempit tampak membelok dan menembus hutan pinus. "Lewat situ, dudes," si sopir memberitahu. Ia menunjuk jalan setapak yang menerobos di antara pohon-pohon. "Tidak jauh, kok. Pasti ketemu, deh."

Ia menutup tempat bagasi, lalu kembali naik ke bus. "Nikmatilah kunjungan kalian!" serunya. Pintu bus menutup, dan bus itu langsung berangkat lagi. Alex dan aku memandang ke arah jalan setapak. Aku memanggul ranselku sedangkan kantong tidur kukepit di bawah lengan. "Bukankah semestinya ada orang yang menyambut kita?" tanya Alex. Aku angkat bahu. "Si sopir kan sudah bilang bahwa jaraknya tidak jauh dari sini." "Tapi tetap saja," balas Alex. "Seharusnya ada pembina yang menjemput kita." "Perkemahannya kan sudah mulai," aku mengingatkannya. "Sekarang sudah pertengahan musim panas. Jangan mengeluh terus, dong. Ayo, kita jalan saja. Angkat barang-barangmu. Aku kepanasan di sini!" Kadang-kadang aku memang harus bersikap sebagai kakak dan mengatur adikku. Kalau tidak begitu, ia bisa terus mengomel dan menggerutu tak keruan. Ia meraih barang-barangnya, kemudian mengikutiku menyusuri jalan setapak. Tanah merah yang kering kerontang bekersak-kersak ketika diinjak. Si sopir ternyata tidak bohong. Setelah berjalan dua atau tiga menit, kami sudah sampai di sebuah lapangan berumput. Sebuah tanda bertulisan huruf-huruf merah menyambut kami: CAMP SPIRIT MOON. Di bawah tulisan itu ada anak panah yang menunjuk ke kanan. "Nah, betul kan? Kita sudah sampai!" kataku dengan gembira Kami mengikuti jalan setapak menaiki bukit yang landai. Dua kelinci berbulu cokelat melintas di hadapan kami. Bunga-bunga liar berwarna merah dan kuning tampak berayunayun di lereng bukit. Begitu kami tiba di puncak bukit, perkemahan itu langsung terlihat. "Hei, kelihatannya bagus sekali!" aku berseru. Aku melihat pondok-pondok mungil bercat putih di pinggir danau berair biru. Beberapa perahu dayung ditambatkan ke dermaga kayu yang menjorok ke danau. Sebuah bangunan besar dari batu terletak agak terpisah. Bangunan itu pasti gedung asrama atau sebangsanya. Di tepi hutan terdapat lapangan tanah merah dengan sejumlah bangku kayu. Kelihatannya seperti tempat untuk membuat api unggun. "Hei, Harrydi sini ada lapangan bisbol dan lapangan sepak bola," kata Alex sambil menunjuk. "Asyik!" seruku. Aku melihat sederet papan bulat dengan lingkaran-lingkaran berwarna merahputih. "Wow! Lapangan panahan juga ada," aku berseru. Aku suka panahan, dan aku lumayan jago. Kupindahkan ranselku dari bahu kiri ke bahu kanan. Kemudian kami menuruni bukit dan berjalan menuju perkemahan itu. Di tengah jalan kami sama-sama berhenti. Lalu kami berpandangan.

"Rasanya ada yang aneh di sini," ujar Alex. Aku mengangguk. "Yeah, aku juga merasa begitu." Aku menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat aneh. Sesuatu yang menyebabkan tenggorokanku seperti tercekik dan perutku serasa diaduk-aduk. Tak seorang pun kelihatan. Perkemahan itu sunyi dan lengang.

Chapter 2 "KOK tidak ada siapa-siapa?" aku bertanya. Pandanganku beralih dari pondok ke pondok. Tak seorang pun kelihatan. Aku memandang ke danau di balik pondok-pondok. Dua burung kecil berwarna gelap sedang terbang rendah di atas permukaan danau yang berkilau. Tapi tak ada yang berenang di situ. Aku berpaling ke hutan yang mengelilingi perkemahan. Matahari sore sudah mulai condong ke barat. Tak ada tanda-tanda bahwa ada orang di hutan. "Barangkali kita salah tempat," ujar Alex perlahan. "Hah? Salah tempat?" Aku menunjuk tanda yang kami lewati tadi. "Mana mungkin kita salah tempat? Tulisannya jelas-jelas Camp Spirit Moon - ya, kan?" "Barangkali sedang ada acara kunjungan ke tempat lain," Alex menduga-duga. Aku geleng-geleng kepala seraya menghardik, "Kau memang tidak tahu apa-apa tentang perkemahan! Di sini tidak ada tempat lain untuk dikunjungi!" "Jangan marah-marah, dong!" Alex menggerutu. "Habis, omonganmu tidak masuk akal, sih!" sahutku dengan gusar. "Kita sendirian di perkemahan di tengah hutan. Kita tidak boleh panik." "Barangkali semua orang sedang berkumpul di gedung batu yang besar itu," ujar Alex. "Coba kita ke situ." Aku tidak melihat tanda-tanda kehidupan di sana. Tak ada yang bergerak. Seluruh perkemahan tampak diam bagaikan dalam foto. "Oke, kita ke sana," kataku setuju. "Tak ada salahnya kita periksa dulu." Kami masih menyusuri jalan setapak berliku-liku yang menuruni lereng bukit ketika sebuah seruan lantang membuat kami tersentak kaget.

"Yo! Hei! Tunggu!" Seorang pemuda berambut merah muncul di samping kami. Ia memakai celana tenis dan kaus berwarna putih. Umurnya sekitar enam belas atau tujuh belas tahun. "Hei - aku tidak melihatmu tadi!" seruku. Aku betul-betul kaget. Sesaat Alex dan aku cuma berdua saja, tapi tahu-tahu pemuda itu sudah berdiri di samping kami - sambil cengar-cengir lagi. Ia menunjuk ke hutan. "Aku sedang mencari kayu bakar," ia menjelaskan. "Dan aku lupa waktu." "Kau pembina di sini?" tanyaku. Ia menggunakan bagian depan kausnya untuk menyeka keringat di kening. "Ya. Namaku Chris. Kalian pasti Harry dan Alex." Alex dan aku mengangguk. "Sori aku telat menjemput kalian," Chris minta maaf. "Tapi kalian tidak kuatir, kan?" "Tentu saja tidak," sahutku cepat-cepat. "Harry agak ngeri. Tapi aku tidak," ujar Alex. Kadang-kadang ia benar-benar menyebalkan. Untuk apa ia bilang begitu? "Mana yang lainnya?" aku bertanya kepada Chris. "Kami tidak melihat siapa-siapa sejak tadi." "Semuanya pergi," Chris menyahut sambil menggelengkan kepala dengan sedih. Ketika ia kembali berpaling ke arah kami, aku segera melihat raut mukanya yang ketakutan. "Kita - kita cuma bertiga di sini," ia berkata dengan suara gemetar.

Chapter 3 "HAH? Semuanya pergi?" Alex memekik. "Tapitapike mana mereka?" "Masa sih kita sendirian!" seruku. "Hutan ini..." Chris mengembangkan senyum. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Sori, tapi aku tidak tahan lagi." Ia merangkul Alex dan aku, dan menggiring kami ke perkemahan. "Aku cuma bercanda, kok." "Apa? Bercanda?" tanyaku. Aku benar-benar bingung. "Ini lelucon khas Camp Spirit Moon," Chris menjelaskan sambil cengar-cengir. "Anak-anak yang baru tiba dipelonco dulu. Semua peserta dan pembina

bersembunyi di hutan kalau ada pendatang baru. Lalu salah satu pembina keluar dan bercerita bahwa para peserta yang lain sudah kabur. Bahwa tidak ada siapasiapa lagi di sini." "Ha-ha. Lucu sekali," aku berkomentar dengan sinis. "Kalian selalu menakut-nakuti pendatang baru?" tanya Alex. Chris mengangguk. "Yeah. Itu sudah tradisi di Camp Spirit Moon. Di sini banyak tradisi seru. Lihat saja nanti. Pada waktu api unggun nanti malam..." Ia terdiam karena seorang pria besar berambut hitam yang juga berpakaian serba putihberjalan menghampiri kami. "Yo!" orang itu berseru dengan suara berat yang menggelegar. "Ini Paman Marv," bisik Chris. "Dia pengelola perkemahan ini. "Yo!" Paman Marv kembali berseru ketika tiba di hadapan kami. "Apa kabar, Harry?" Ia mengajakku ber-high five. Aku nyaris terpental ke pepohonan. Paman Marv menatap Alex dan aku sambil tersenyum lebar. Orangnya begitu besaraku jadi teringat pada beruang grizzly di kebun binatang di kota kami. (grizzly = nama sejenis beruang -edi Rambutnya yang hitam panjang dan berminyak dibiarkannya acak-acakan tanpa disisir. Matanya yang kecil berwarna biru, menyerupai sepasang kelereng di bawah alisnya yang tebal.Lengannya kekar, bagaikan lengan pegulat. Dan lehernya sebesar batang pohon! Ia mengulurkan tangan, lalu bersalaman dengan Alex. Aku mendengar bunyi krak dan melihat adikku meringis kesakitan. "Jabat tangan yang mantap, Nak," kata Paman Marv kepada Alex. Kemudian ia berpaling padaku. "Apakah Chris sudah memperkenalkan tradisi kami untuk menyambut pendatang baru?" Suaranya yang begitu keras membuatku ingin menutup telinga. Apakah suara Paman Marv selalu sekeras ini? aku bertanya dalam hati. "Yeah. Kami sempat tertipu," aku mengakui. "Aku benar-benar percaya bahwa tidak ada siapa-siapa di sini." Kedua mata Paman Marv tampak berbinar-binar. "Itu salah satu tradisi kami yang paling kuno," katanya sambil nyengir lebar sekali. Sepertinya ia punya enam deret gigi! "Sebelum kuantar ke pondok kalian, aku ingin mengajarkan kalian salam Camp Spirit Moon dulu," ujar Paman Marv. "Chris dan aku akan memperagakannya." Mereka berdiri berhadapan. "Yohhhhhh, Spirits! Paman Marv berseru. "Yohhhhhh, Spirits!" Chris menyahut. Kemudian mereka saling memberi hormat dengan tangan kiri, menempelkan

tangan ke hidung, lalu mengayunkannya ke samping. "Begitulah cara peserta Camp Spirit Moon saling memberi salam," Paman Marv memberitahu kami. Ia menarik Alex dan aku. "Ayo, sekarang giliran kalian." Aku tidak tahu bagaimana denganmu, tapi aku sih agak kikuk kalau disuruh mengerjakan hal-hal seperti ini. Aku tidak suka cara salam yang konyol. Rasanya terlalu kekanak-kanakan. Tapi aku baru tiba di perkemahan ini. Dan aku tidak ingin Paman Marv mendapat kesan buruk tentangku. Aku berdiri di hadapan adikku. "Yohhhhhh, Spirits!" aku berseru. Kemudian aku memberi salam tempel hidung dengan sigap. "Yohhhhhh, Spirits!!!" Alex jauh lebih bersemangat daripada aku. Ia memang suka hal-hal konyol seperti ini. Paman Marv tertawa terbahak-bahak. "Bagus! bagus sekali! Aku yakin kalian akan betah di Camp Spirit Moon." Ia mengedipkan mata kepada Chris. "Tapi ujian sebenarnya baru nanti malam, waktu api unggun." Chris mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Ujian?" tanyaku. "Ujian apa?" Paman Marv menepuk-nepuk pundakku. "Tenang Harry. Tenang saja." Entah kenapa, caranya berkata justru membuatku semakin waswas. "Semua pendatang baru mengikuti acara Api Unggun Selamat Datang," Chris menjelaskan. "Itulah kesempatan untuk mempelajari tradisi-tradisi Camp Spirit Moon." "Awas, jangan bilang apa-apa lagi," kata Paman Marv dengan tegas. "Nanti bukan kejutan lagi, dong!" "Kejutan...?" tanyaku dengan suara parau. Kenapa aku mendadak waswas? Kenapa tenggorokanku tiba-tiba seperti tercekik? Kenapa dadaku berdebar-debar? "Apakah ada acara menyanyi nanti?" tanya Alex. "Aku suka menyanyi. Di rumah aku ikut les menyanyi dan..." "Jangan kuatir. Kau pasti akan mendapat kesempatan untuk menyanyi. Percayalah," Paman Marv berkata dengan nada yang membuat bulu kudukku berdiri. Matanya yang biru menyorot dinginsedingin es. Aku langsung merinding. Ah, ia cuma mau menakut-nakuti kami, pikirku. Ini semua cuma lelucon. Ia cuma berolok-olok. Semua pendatang baru pasti ditakut-takuti seperti ini. Memang begitu tradisi di Camp Spirit Moon. Menurutku kalian akan menikmati acara api unggun nanti malam, Paman Marv berkata dengan suaranya yang menggelegar. "Kalau kalian berhasil selamat!"

Ia dan Chris tertawa. "Sampai nanti," ujar Chris. Ia memberi salam tempel hidung pada Alex dan aku, kemudian menghilang ke dalam hutan. "Nah, ini tempat tinggal kalian selama di sini," Paman Marv mengumumkan. Ia membuka pintu kawat nyamuk di salah satu pondok putih yang mungil. "Astaga!" Pintu itu nyaris copot dari engselnya. Alex dan aku membawa barang-barang kami ke dalam pondok. Pada ketiga sisi dinding terdapat ranjang susun. Selain itu ada lemari-lemari kecil dari kayu untuk menyimpan barang. Semua dinding dicat putih. Lampu yang tergantung dari langit-langit memancarkan sinar yang terang benderang. Cahaya jingga matahari yang sedang terbenam masuk melalui jendela kecil di atas salah satu ranjang susun. Lumayan juga, pikirku. "Tempat tidur itu masih kosong," Paman Marv berkata sambil menunjuk tempat tidur di bawah jendela. "Kalian boleh atur sendiri siapa yang tidur di atas dan siapa yang tidur di bawah." "Aku di bawah saja," ujar Alex cepat-cepat. "Aku sering bolak-balik kalau sedang tidur." "Dan dia juga bernyanyi sambil tidur," aku memberitahu Paman Marv. "Alex begitu gila menyanyi sehingga pada waktu tidur pun ia tidak mau berhenti." "Kalau begitu kau harus ikut acara unjuk bakat," Paman Marv berkata kepada Alex. Dan dengan merendahkan suara ia mengulangi, "Kalau kau berhasil selamat nanti malam." Ia tertawa. Kenapa ia terus bilang begitu? Ia cuma bercanda, aku mengingatkan diriku sendiri. Paman Marv cuma bercanda. "Pondok-pondok untuk para peserta putra ada di sebelah kiri," Paman Marv memberitahu kami. "Pondok-pondok untuk para peserta putri ada di sebelah kanan. Nah, kalian tentu sudah melihat bangunan besar dari batu di tepi hutan, bukan? Itu gedung pertemuan, yang digunakan bersama-sama." "Haruskah kami membongkar ransel sekarang?" tanya Alex. Paman Marv menyibakkan rambutnya yang berminyak. "Ya. Pakai saja lemari yang kosong. Tapi jangan lama-lama. Yang lain akan segera kembali dari hutan dengan membawa kayu bakar. Sebentar lagi tiba waktunya untuk acara api unggun." Ia berseru, "Yohhhhhh, Spirits!" dan memberi salam tempel hidung. Kemudian ia berbalik dan melangkah keluar. Pintu pondok dibantingnya keraskeras. "Orangnya ramai," aku bergumam. "Tapi agak menyeramkan," Alex menimpali.

"Dia cuma bercanda," aku menenangkan adikku. "Pendatang baru di perkemahan musim panas pasti ditakut-takuti seperti ini." Kuseret ranselku ke tempat tidur. "Tapi semuanya cuma main-main. Kau tak perlu takut," ujarku. Kulemparkan kantong tidurku ke pojok ruangan. Lalu aku menghampiri salah satu lemari untuk melihat apakah masih ada laci yang kosong. "Aww...!" aku berseru ketika aku menginjak sesuatu. Aku memandang ke bawah. Sebuah genangan berwarna biru. Sepatu ketsku menginjak genangan berwarna biru yang lengket. "Hei...!" Aku berusaha menarik kakiku. Cairan biru itu kental sekali, dan terus melekat pada telapak dan pinggiran sepatuku. Aku memandang berkeliling. Dan melihat genangan-genangan serupa. Di depan semua tempat tidur ada genangan berwarna biru yang lengket. "Ada apa ini? Cairan apa ini?" seruku.

Chapter 4 ALEX telah membuka ransel dan sedang mengeluarkan barang-barangnya ke tempat tidur bawah. "Ada apa sih, Harry?" ia bertanya tanpa menoleh. "Ada semacam lendir biru," sahutku. "Coba lihat nih. Di mana-mana ada genangan di lantai." "Memangnya kenapa?" Alex bergumam. Ia menengok dan mengamati cairan biru yang menempel di sepatuku. "Paling-paling ini cuma tradisi perkemahan," ia berkelakar. Aku tidak menganggapnya lucu. "Iiih!" seruku. Aku membungkuk dan menyentuh genangan itu dengan ujung jari. Ih, dingin sekali! Lendir biru itu terasa dingin seperti es. Aku langsung menarik tanganku. Rasa dinginnya menjalar ke lenganku. Kukibas-

kibaskan lenganku. Kemudian kugosok-gosok agar hangat. "Aneh," gumamku. Tapi sebenarnya itu belum apa-apa dibandingkan apa yang telah menantiku. ******** "Api unggun!" Seruan Paman Marv dari balik pintu kawat nyamuk menggetarkan seluruh pondok. Alex dan aku langsung berpaling ke arah pintu. Kami baru saja selesai membongkar ransel masing-masing. Saking sibuknya, aku tidak sadar bahwa matahari telah terbenam dan di luar sudah gelap. "Semuanya sudah menunggu," Paman Marv berkata. Ia tersenyum-senyum. Matanya yang kecil sampai hampir tak kelihatan. "Api Unggun Selamat datang adalah acara kesukaan kami semua." Alex dan aku mengikutinya keluar. Aku menarik napas dalam-dalam. Udara segar dan berbau daun cemara. "Wow!" seru Alex. Api unggun sudah berkobar-kobar. Lidah api berwarna jingga dan kuning tampak menari-nari. Kami mengikuti Paman Marv ke lapangan tempat api unggun dinyalakan. Kemudian kami melihat peserta perkemahan dan para pembina. Mereka duduk mengelilingi api unggun dan menghadap ke arah kami. Mengamati kami dengan saksama. "Hei, semuanya berbaju sama!" seruku. "Itu seragam kita," ujar Paman Marv. "Kalian akan memperolehnya seusai acara api unggun." Ketika Alex dan aku mendekat, semua peserta perkemahan dan pembina berdiri. Seruan "YOHHHHH, SPIRITS!" yang membahana membuat pohon-pohon bergetar. Setelah itu kami disambut dengan seratus salam tempel hidung. Alex dan aku membalas salam itu. Chris, si pembina berambut merah, muncul di samping kami. "Selamat datang," katanya. "Kita akan memanggang sosis dulu sebelum acara dimulai. Jadi, silakan ambil tusukan dan sosis, dan bergabunglah dengan yang lain." Anak-anak lain tampak berbaris di depan meja makan panjang. Di tengah meja itu aku melihat piring besar yang penuh sosis mentah. Beberapa anak menegurku dengan ramah ketika aku mulai ikut mengantre. "Kau tidur di pondokku," ujar anak laki-laki yang jangkung dan berambut pirang. "Pondok kita paling hebat!" "Hidup pondok nomor tujuh!" seru seorang anak perempuan.

"Perkemahan ini asyik sekali," ujar anak yang mengantre di depanku sambil menoleh ke belakang. "Kau pasti akan betah di sini, Harry." Mereka semua bersikap sangat ramah. Di depan aku melihat dua anak bermain dorong-dorongan dan saling berusaha mengeluarkan lawan dari antrean. Anakanak lain mulai bersorak-sorak menyemangati mereka. Api unggun berderak-derak di belakangku, memancarkan cahaya jingga. Aku agak kikuk, karena tidak berpakaian serba putih seperti yang lain. Aku memakai T-shirt hijau dan celana jeans yang pipanya sudah kupotong. Apakah Alex juga merasa seperti aku? Aku menoleh dan mencarinya dalam antrean. Ia berada di belakangku, dan sedang mengobrol dengan anak laki-laki yang pendek dan berambut pirang. Aku senang ia sudah mendapat teman baru. Dua pembina membagi-bagikan sosis. Baru sekarang aku sadar bahwa aku benarbenar kelaparan. Sebenarnya Mom sudah menyiapkan sandwich untuk Alex dan aku sebagai bekal perjalanan. Tapi kami terlalu tegang dan gugup untuk makan tadi. Aku menerima sepotong sosis dan berpaling ke api unggun yang berderak-derak. Sejumlah anak telah berkumpul di sekeliling api, dan sedang memanggang sosis yang ditancapkan pada tusukan-tusukan panjang. Di mana aku bisa mendapatkan tusukan? aku bertanya dalam hati sambil memandang berkeliling. "Tusukannya di sebelah sana," seorang anak perempuan berseru dari belakangku seakan-akan pikiranku bisa terbaca olehnya. Aku membalik dan melihat anak perempuan yang kira-kira sebaya denganku. Tentu saja ia juga berpakaian serba putih. Ia cantik sekali, dengan mata gelap dan rambut hitam berkilau yang dikucir. Kulitnya begitu pucat, sehingga matanya yang gelap berkesan menyala. Ia menatapku sambil tersenyum. "Anak baru pasti bingung mencari tusukan," katanya. Ia mengantarku ke setumpuk tusukan di bawah pohon pinus yang menjulang tinggi. Ia mengambil dua tusukan dan menyerahkan satu padaku. "Namamu Harry, bukan?" tanyanya. Untuk ukuran anak perempuan, suaranya cukup besar dan agak parau. "Yeah. Harry Altman," sahutku. Tiba-tiba saja aku salah tingkah. Aku tidak tahu kenapa. Aku memalingkan wajah dan menancapkan sosis ke ujung tusukan. "Namaku Lucy," katanya, lalu ia kembali ke anak-anak lain yang duduk mengelilingi api unggun. Aku mengikutinya. Wajah semua anak memantulkan cahaya api yang menari-nari. Aroma sosis yang sedang dipanggang membuatku semakin lapar.

Empat anak perempuan tampak berkerumun sambil menertawakan sesuatu. Aku melihat salah satu anak laki-laki makan sosisnya langsung dari tusukan. "Idih," ujar Lucy. Ia meringis. "Ayo, kita ke sebelah sana saja." Ia mengajakku ke sisi seberang. Tiba-tiba ada bunyi letusan di tengah api unggun. Kedengarannya seperti petasan. Kami sama-sama tersentak kaget. Lucy tertawa. Kami duduk di rumput, lalu mulai memanggang. Nyala api telah bertambah besar dan bunyinya menderu-deru. Aku bisa merasakan pancaran panasnya di wajahku. "Aku paling suka sosis yang dipanggang sampai gosong." Ia memutar tongkatnya dan menyorongkannya semakin jauh ke tengah api. "Aku suka rasanya. Kau sendiri bagaimana?" Aku hendak menyahut - tapi sekonyong-konyong sosisku terlepas dari tongkat. "Oh, ya ampun!" seruku ketika sosis itu menghilang di balik lidah api yang menarinari. Aku berpaling ke Lucy. Lalu aku membelalak karena kaget -dan ngeri. Ia mencondongkan badan ke depan. Mengulurkan tangan ke tengah api. Meraih sosisku di tengah bara api, dan mengangkatnya.

Chapter 5 SERTA-MERTA aku berdiri. "Awas tanganmu!" pekikku. Lidah api berwarna kuning menjilat-jilat tangan Lucy dan merambat ke lengannya. Ia menyerahkan sosisku. "Nih," katanya seakan-akan tidak ada apa-apa. "Tapi tanganmu!" seruku. Mataku terbelalak lebar karena ngeri. Perlahan-lahan kulitnya terbakar. Ia menatap tangannya dengan bingung. Sepertinya ia heran kenapa aku begitu panik. "Oh! Hei...!" serunya akhirnya. Matanya yang gelap langsung melebar. "Aduh! Panasnya!" Ia mengibas-ngibaskan tangan sampai apinya padam. Kemudian ia tertawa. "Paling tidak aku berhasil menyelamatkan sosismu yang malang. Moga-moga kau suka rasa gosong!" "Tapi... tapi... tapi...," aku tergagap-gagap. Sambil terbengong-bengong aku mengamati tangan dan lengannya. Aku yakin kulitnya sempat terbakar tadi. Tapi ternyata sama sekali tidak ada bekasnya. "Rotinya ada di sebelah sana," Lucy berkata. "Kau mau keripik kentang?"

Aku terus menatap tangannya. "Kau harus menemui juru rawat," ujarku. Ia menggosok-gosok lengan dan pergelangan tangannya. "Tidak perlu. Aku tidak apa-apa kok." Ia menggerak-gerakkan jarinya. "Nih, lihat." "'Tapi apinya..." "Ayo, Harry." Ia menarikku ke meja makan. "Sebentar lagi acara api unggun akan dimulai." Di meja makan aku bertemu Alex. Ia masih ditemani anak laki-laki pendek berambut pirang tadi. "Aku sudah dapat teman baru," Alex memberitahuku. Mulutnya penuh keripik kentang. "Namanya Elvis. Ada-ada saja, ya? Elvis McGraw. Dia satu pondok dengan kita." "Bagus," gumamku. Aku masih teringat pada api yang membakar lengan Lucy. "Perkemahan ini asyik sekali," kata Alex. "Elvis dan aku mau ikut seleksi untuk acara unjuk bakat dan pertunjukan musik." "Bagus," ujarku sekali lagi. Aku meraih sepotong roti dan menaruh segenggam keripik kentang di piringku. Kemudian aku mencari-cari Lucy. Ternyata ia sedang mengobrol dengan beberapa anak perempuan lainnya di dekat api unggun. Yoooh Spirits!" sebuah suara besar membahana. Aku segera mengenali suara itu. Pasti Paman Mary. "Semuanya ambil tempat di sekeliling api unggun!" ia memberi perintah. "Cepat cari tempat, semuanya!" Semuanya bergegas membentuk lingkaran di sekeliling api unggun sambil membawa piring dan minuman ringan. Anak-anak cowok dan anak-anak cewek mengelompok sendiri-sendiri. Rupanya masing-masing pondok sudah mempunyai tempat tertentu. Paman Marv menggiring Alex dan aku ke tengah-tengah lingkaran. "Yohhhhh, Spirits!" ia kembali berseru. Saking kerasnya, api unggun itu ikut bergetar! Semuanya membalas seruan itu dan memberi salam tempel hidung. "Acara kita mulai dengan menyanyikan lagu kebesaran perkemahan kita," Paman Marv mengumumkan. Semuanya bangkit. Paman Marv mulai menyanyi, dan yang lain segera bergabung. Aku mencoba ikut-ikutan, tapi tidak tahu melodinya. Apalagi liriknya. Mereka terus mengulangi kata-kata, "We have the spirit - and the spirit has us" kita memiliki semangat dan semangat memiliki kita. Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi kedengarannya cukup seru. Lagunya ternyata panjang sekali. Bait demi bait terus sambung-menyambung. Dan setiap kali ada kata-kata "We have the spiritand the spirit has us.

Alex menyanyi keras-keras. Dasar tukang pamer! Sebenarnya ia juga tidak tahu liriknya, tapi tetap saja menyanyi sekeras mungkin. Alex bangga sekali punya suara merdu. Dan ia memanfaatkan setiap kesempatan untuk memamerkan kelebihannya itu. Aku melirik ke samping adikku. Elvis, teman barunya, mendongak dan membuka mulut lebar-lebar. Ia juga menyanyi sekeras-kerasnya. Sepertinya Alex dan Elvis sedang bersaing. Sepertinya mereka ingin membuktikan suara siapa yang sanggup membuat daun-daun berguguran dari pepohonan! Tapi ada satu masalah. Suara Elvis jelek sekali! Suaranya kecil dan melengking. Dan setiap nada yang keluar dari mulutnya terdengar sumbang. Rasanya aku ingin menutup telinga. Tapi aku sedang berusaha mengikuti lagu kebesaran Camp Spirit Moon. Terus terang, usaha itu tidak mudah dengan kedua tukang teriak di sampingku. Alex menyanyi begitu keras, sehingga urat-urat di lehernya bertonjolan. Dan Elvis berusaha mengalahkan adikku dengan suara sumbangnya. Wajahku terasa panas. Mula-mula kusangka penyebabnya adalah pancaran panas dari api unggun. Tapi kemudian aku sadar bahwa wajahku seperti membara karena malu. Aku malu karena tingkah laku Alex. Aku tidak mengerti kenapa ia harus pamer seperti itu pada malam pertama di perkemahan. Paman Marv tidak memperhatikannya. Ia telah pindah ke sisi anak-anak perempuan. Sambil berjalan ia terus menyanyi. Aku mundur diam-diam, menjauhi api unggun. Aku terlalu salah tingkah untuk tetap di situ. Nanti, begitu lagunya selesai, aku menyelinap ke sini lagi, aku berkata dalam hati. Aku tidak tahan melihat adikku bersikap seperti itu. Lagu itu seakan-akan tak ada habisnya. "We have the spiritand the spirit has us," semuanya bersenandung. Sampai kapan mereka akan bernyanyi? aku bertanya-tanya. Aku semakin menjauh, dan menyusup ke antara pepohonan. Udara di sini jauh lebih sejuk. Suara Alex tetap terdengar lantang. Dia harus kutegur, aku berkata dalam hati. Dia harus kuberitahu bahwa pamer seperti itu sama sekali tidak pantas. "Ohh!" aku memekik kaget ketika pundakku ditepuk. Seseorang menarikku dari belakang. "Hei...!" Aku membalik dan menoleh ke arah pepohonan. Sambil memicingkan mata aku memandang ke kegelapan. "Lucy! Sedang apa kau di sini?" seruku tertahan.

"Tolong aku, Harry," ia memohon sambil berbisik. "Kau harus menolongku."

Chapter 6 AKU merinding. "Lucy... ada apa?" bisikku. Ia membuka mulut untuk menyahut. Tapi sebelum Ia sempat mengatakan sesuatu, suara Paman Marv telah menggelegar. "Hei, kalian berdua!" si pengelola perkemahan berseru lantang. "Harry! Lucy! Dilarang diam-diam masuk hutan!" Para peserta perkemahan yang lain langsung tertawa terbahak-bahak. Seketika wajahku terasa panas. Aku memang gampang salah tingkah. Sifatku menyebalkan sekali - tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Semua orang menatap Lucy dan aku ketika kami kembali ke api unggun. Alex dan Elvis ber-high Five sambil menertawakan kami berdua. Paman Marv terus mengawasiku. "Syukurlah kau begitu cepat mendapat teman baru, Harry," ia berkata dengan suaranya yang membahana. Lagi-lagi aku menjadi sasaran olok-olok para peserta perkemahan. Aku malu sekali. Rasanya aku ingin ditelan bumi saja. Tapi aku juga cemas memikirkan Lucy. Apakah dia sengaja mengikutiku ke hutan? Dan kalau ya, kenapa? Kenapa dia minta tolong padaku? Aku duduk di antara Lucy dan Elvis. "Lucy... ada apa sih?" aku berbisik. Ia cuma menggeleng. Ia tidak menoleh ke arahku. "Sekarang aku akan menceritakan dua kisah hantu," Paman Marv berkata. Di luar dugaanku, beberapa anak memekik kaget. Kemudian semua orang terdiam. Bunyi api yang meretih-retih seakan-akan bertambah keras. Sayup-sayup terdengar angin yang bertiup di antara pepohonan. Bulu kudukku berdiri. Cuma angin, kataku dalam hati. Kenapa semuanya mendadak begitu serius? Begitu ketakutan? "Kedua kisah hantu Camp Spirit Moon telah diceritakan dari generasi ke generasi,"

Paman Marv mulai bertutur. "Kisah-kisah ini akan terus diceritakan, selama masih ada legenda-legenda yang misterius." Aku melihat beberapa anak gemetar di seberang api unggun. Semuanya menatap lidah api yang menari-nari. Semuanya pasang tampang kencang. Ketakutan. Ini kan cuma cerita hantu, ujarku dalam hati. Kenapa semuanya bersikap begitu aneh? Mereka pasti sudah sering mendengar cerita-cerita ini. Jadi kenapa mereka kelihatan begitu ngeri? Dalam hati aku tertawa. Kok ada orang yang ngeri mendengar cerita hantu? Aku berpaling ke Lucy. "Ada apa sih dengan mereka?" tanyaku. Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Kau tidak takut hantu?" bisiknya. "Hantu?" Aku tertawa pelan-pelan. "Alex dan aku tidak percaya hantu," sahutku. "Dan kami tidak pernah ngeri mendengar cerita hantu. Tidak pernah!" Ia mencondongkan badan ke arahku. Lalu berbisik ke telingaku, "Barangkali kau akan berubah pikiran - setelah malam ini."

Chapter 7 LIDAH api tampak menjulang tinggi sambil menari-nari, seolah-olah hendak menjangkau langit yang bertaburan bintang. Paman Marv mencondongkan badan ke depan. Matanya yang kecil dan bulat bersinar-sinar. Suasana mendadak sunyi. Suara angin pun tak terdengar lagi. Udara malam terasa dingin di punggungku. Aku beringsut-ingsut mendekati api unggun. Anak-anak lain melakukan hal yang sama. Tak ada yang bicara. Semua mata tertuju pada Paman Marv yang mengembangkan senyum. Kemudian, sambil merendahkan suara, ia mulai menuturkan cerita hantu yang pertama... Sekelompok peserta perkemahan pergi ke hutan untuk menginap di sana. Mereka membawa tenda dan kantong tidur. Mereka membentuk barisan dan menyusuri

jalan setapak sempit yang meliuk-liuk di antara pohon-pohon. Pembina mereka bernama John. Ia membawa mereka semakin jauh ke tengah hutan. Awan-awan hitam melintas di langit dan menutupi bulan. Rombongan itu langsung diselubungi kegelapan. Mereka terus beriringan sambil berusaha mengikuti jalan setapak yang berkelok-kelok. Kadang-kadang lapisan awan terkuak sedikit, dan mereka disinari cahaya bulan yang dingin. Pohon-pohon berpendar keperakan, bagaikan hantu di tengah hutan. Mula-mula mereka masih bernyanyi. Tapi semakin lama mereka berjalan, suara mereka pun semakin pelan. Akhirnya semua terdiam. Mereka mendengarkan suara langkah mereka sendiri. Sesekali terdengar suara binatang kecil yang menyelinap di semak belukar. "Kapan kita berhenti dan mendirikan tenda?" seorang anak perempuan bertanya pada John. "Nanti," balas John. "Kita harus lebih jauh lagi masuk ke hutan." Mereka terus berjalan. Udara bertambah dingin. Pohon-pohon di sekeliling mereka meliuk-liuk tertiup angin yang berputar-putar. "Kita sudah bisa mendirikan tenda, John?" seorang anak laki-laki bertanya. "Jangan dulu," jawab John. "Kita masih terlalu dekat ke perkemahan." Jalan setapak berakhir. Rombongan itu harus mencari jalan sendiri menembus pepohonan, menghindari semak berduri, melewati lapisan daun kering yang bekersak-kersak saat diinjak. Dari atas terdengar suara burung hantu. Mereka juga mendengar kepak sayap kelelawar. Mahkluk-makhluk mungil berlarian dan melintas di depan kaki mereka. "Kami capek, John," seorang anak laki-laki mengeluh. "Tendanya kita dirikan di sini saja, ya?" "Jangan. Masih kurang jauh," John berkeras. "Apa gunanya menginap di hutan kalau bukan di tengah-tengahnya?" Dan mereka pun kembali berjalan. Berjalan sambil mendengarkan suara binatangbinatang malam. Sambil melihat pohon-pohon tua di sekeliling mereka berayunayun. Akhirnya mereka tiba di sebuah lapangan terbuka yang luas. "Di sini saja ya, John?" para anggota rombongan memohon. "Ya," ujar John. "Sekarang kita sudah cukup jauh. Tempat ini cocok sekali." Mereka meletakkan barang bawaan masing-masing di tengah lapangan. Cahaya bulan yang keperakan membuat tanah di sekeliling mereka berkilau-kilau. Mereka bersiap-siap untuk mendirikan tenda. Tapi suatu bunyi aneh menyebabkan mereka berhenti. Dag-dug dag-dug. "Suara apa itu?" seru salah seorang anak.

John menggelengkan kepala. "Paling-paling angin." Mereka kembali mempersiapkan tenda, menancapkan pasak-pasak ke tanah yang gembur dan membuka lipatannya. Tapi sekali lagi mereka berhenti karena mendengar suara aneh itu. Dag-dug dag-dug. Mereka merinding karena ngeri. "Suara apa itu?" mereka bertanya. "Mungkin ada binatang," sahut John. Dag-dug dag-dug. "Tapi suaranya dekat sekali!" pekik seorang anak laki-laki. "Suaranya datang persis dari atas kita," kata anak lain "Atau dari bawah kita." "Di hutan memang banyak suara aneh," ujar John. "Sudahlah, kalian tak perlu kuatir." Mereka mendirikan tenda. Dan menggelar kantong tidur masing-masing. Dag-dug dag-dug. Mereka mencoba mengabaikan suara aneh itu. Tapi suaranya begitu dekat. Sangat dekat. Suaranya aneh sekali, tapi sekaligus sangat akrab di telinga mereka. Suara apa itu? mereka bertanya-tanya. Apa yang membuat suara seperti itu? Dag-dug dag-dug. Mereka tidak bisa memejamkan mata. Suara itu keras, terlalu menakutkan - terlalu dekat. Dag-dug dag-dug. . Mereka menyelinap ke kantong tidur masing-masing. Menarik ritsleting sampai rapat dan menutup telinga. Dag-dug dag-dug. Sia-sia. Suara itu terus menghantui mereka. "John, kami tidak bisa tidur," mereka mengeluh. "Aku juga," balas John. Dag-dug dag-dug. "Apa yang harus kita lakukan?" para anggota rombongan bertanya. John tidak sempat menjawab. Mereka kembali mendengar suara Dag-dug dag-dug . Dan kemudian sebuah suara besar menggeram: "KENAPA KALIAN BERDIRI DI ATAS JANTUNGKU?" Bumi bergetar. Para anggota rombongan mendadak sadar suara apa yang telah mereka dengar. Dan ketika tanah di sekeliling mereka terangkat, mereka baru tahu bahwa mereka berkemah di kulit licin sesosok monster yang mengerikan. "Rupanya kita terlalu jauh masuk hutan!" seru John.

Itulah ucapannya yang terakhir. Dag-dug dag-dug. Detak jantung sang monster. Dan kemudian monster itu mengangkat kepalanya yang besar dan penuh bulu. Mulutnya membuka. Dan ia menelan John beserta rombongannya tanpa dikunyah dulu. Mereka meluncur di tenggorokan sang monster, dan detak jantungnya semakin keras. Dag-dug dag-dug. Dag-dug dag-dug. Dag-DUG! Dag-dug yang terakhir diserukan keras-keras oleh Paman Marv. Beberapa peserta perkemahan menjerit. Ada juga yang menatap Paman Marv sambil membisu, dengan wajah tegang karena ngeri. Di sampingku, Lucy merangkul lututnya dan menggigit bibir. Paman Marv mengembangkan senyum. Wajahnya memantulkan cahaya api unggun yang menari-nari. Aku tertawa dan berpaling kepada Elvis. " Ini baru cerita lucu!" ujarku. Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Hah? Lucu?" "Yeah. Lucu sekali," jawabku sekali lagi. Elvis mengerutkan kening. "Tapi cerita itu betul-betul terjadi!" katanya pelanpelan.

Chapter 8 AKU tertawa. "Hah, yang benar saja," ujarku sambil geleng-geleng kepala. Semula kupikir Elvis bakal ikut tertawa. Tapi ternyata tidak. Pantulan cahaya api unggun tampak menari-nari di matanya yang biru. Kemudian ia berpaling dan berbicara pada adikku. Aku merinding. Kenapa ia bersikap begitu aneh? Apa ia pikir aku bakal percaya cerita konyol seperti ini? Mustahil! Aku bukan anak kemarin sore. Umurku sudah dua belas tahun. Sudah lama aku tidak lagi percaya pada hal-hal seperti Kelinci Paskah dan Peri Gigi.

Aku berpaling kepada Lucy. Ia masih duduk sambil merangkul lutut dan memandang ke api unggun. "Ada-ada saja, ya. Kenapa sih dia?" aku bertanya seraya mengangguk ke arah Elvis. "Anak itu aneh sekali." Pandangan Lucy tetap terarah lurus ke depan. Tampaknya ia tidak mendengarku karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Akhirnya ia menoleh dan mengedipkan mata. Apa?" "Teman baru adikku," kataku seraya kembali mengangguk ke arah Elvis. "Dia bilang cerita Paman Marv tadi betul-betul terjadi." Lucy mengangguk, tapi tidak mengatakan apa pun. "Menurutku cerita itu lucu," aku menambahkan. Lucy meraih ranting pohon dan melemparnya ke tengah api unggun. Aku menunggu ia mengatakan sesuatu. Tapi ia sudah termenung-menung lagi. Api unggunnya mulai mengecil. Bara api dan potongan-potongan kayu yang telah hangus tampak berserakan di tanah. Chris dan seorang pembina lainnya mengambil kayu bakar tambahan. Aku memperhatikan mereka mengurus api unggun. Mereka melempar rantingranting dan daha-dahan ke atas bara. Setelah apinya membesar lagi, keduanya meletakkan balok-balok kayu ke tanah. Kemudian mereka mundur, dan Paman Marv mengambil tempat di depan api unggun. Ia berdiri sambil menyelipkan tangan ke saku celana pendeknya yang berwarna putih. Bulan purnama tampak melayang di atas kepalanya, membuat rambutnya yang panjang berkilauan. Ia tersenyum. "Dan sekarang aku akan menceritakan kisah tradisional kedua dari Camp Spirit Moon," ia mengumumkan. Suasana kembali hening. Aku bersandar ke belakang sambil berusaha menarik perhatian adikku. Tapi Alex sedang memandang ke arah Paman Marv dari balik api unggun. Aku yakin Alex juga tidak percaya pada cerita pertama tadi. Ia paling sebal mendengar cerita hantu. Bahkan lebih dari aku. Menurutnya, cerita hantu cuma untuk anak kecil. Dan aku sependapat dengannya. Jadi, kenapa sikap Elvis begitu aneh? Barangkali ia cuma bercanda. Barangkali ia ingin mempermainkanku. Ataukah ia berusaha menakut-nakutiku? Lamunanku buyar akibat suara Paman Marv yang menggelegar. "Kisah ini diceritakan setiap tahun di Camp Spirit Moon," katanya. "Ini kisah tentang Kemah Hantu." Ia merendahkan suaranya, sehingga kami semua terpaksa mencondongkan badan ke depan supaya bisa mendengarnya. Dan dengan suara tertahan, ia mulai menuturkan cerita Kemah Hantu.

Kisah itu terjadi di suatu perkemahan yang sangat mirip dengan Camp Spirit Moon. Pada suatu malam yang hangat di musim panas, semua peserta perkemahan dan para pembina duduk mengelilingi api unggun yang berkobar-kobar. Mereka memanggang sosis dan marshmallow. Mereka menyanyikan lagu-lagu tentang alam. Salah satu pembina bermain gitar dan memimpin yang lain menyanyikan lagu demi lagu. Setelah bosan bernyanyi, para pembina secara bergantian menceritakan kisah-kisah hantu. Mereka juga menceritakan legenda-legenda kuno yang telah disampaikan secara turun-temurun selama hampir seratus tahun. Malam semakin larut. Nyala api unggun telah meredup. Bulan purnama yang pucat tampak melayang tinggi di langit malam yang gelap. Si pengelola perkemahan maju untuk menutup acara api unggun. Tiba-tiba semua terselubung kegelapan. Mereka menengadah - dan melihat bahwa bulan telah tertutup lapisan awan hitam yang tebal. Kabut datang bergulung-gulung, menyelimuti seluruh perkemahan. Kabut yang dingin dan lembap. Mula-mula berwarna kelabu. Tapi semakin lama semakin gelap. Dan semakin tebal. Sampai akhirnya menyerupai asap hitam. Kabut itu menyapu api unggun yang sudah nyaris padam. Menyelubungi para peserta dan pembina. Menutup pondok-pondok dan danau dan pohon-pohon. Kabutnya begitu tebal dan gelap, sehingga para peserta tidak bisa saling melihat. Mereka tidak bisa melihat api unggun. Atau tanah. Atau bulan di angkasa. Kabut itu terus berputar-putar. Lembap, begitu lembab dan hening. Kemudian berlalu tanpa suara bagaikan asap yang tertiup angin. Bulan kembali bersinar. Rumput tampak berkilau-kilau, seakan-akan diselubungi embun. Api unggun telah padam. Yang tersisa hanyalah beberapa potong kayu hangus yang membara mengeluarkan desisan. Kabut itu bergerak perlahan. Melewati pohon-pohon. Dan lenyap tanpa bekas. Para peserta perkemahan duduk mengelilingi api unggun yang sudah padam. Mata mereka memandang kosong. Lengan mereka terkulai lemas. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bergerak. Sebab mereka semua sudah tak bernyawa. Kabut itu bergerak meninggalkan kemah hantu. Para peserta, para pembina, si pengelola - semuanya telah menjadi hantu.

Hantu. Semuanya. Tanpa kecuali. Mereka bangkit pelan-pelan. Dan kembali ke pondok masing- masing. Mereka tahu bahwa kemah hantu telah menjadi rumah mereka - untuk selamalamanya! Sambil tersenyum Paman Marv mundur menjauhi api unggun. Aku memandang berkeliling. Wajah-wajah yang kulihat tampak begitu serius. Tak ada yang tersenyum, apalagi tertawa. Ceritanya lumayan juga, pikirku. Cukup menakutkan. Tapi akhirnya kurang bagus. Aku menoleh untuk menanyakan pendapat Alex. Dan memekik tertahan ketika melihat roman mukanya yang berkesan ketakutan. "Ada apa, Alex?" aku berseru. Suaraku memecahkan keheningan. "Ada apa?" Ia tidak menyahut. Pandangannya tertuju ke langit. Ia menunjuk. Aku menengadah - dan langsung memekik karena kaget. Dengan mataku sendiri aku melihat kabut hitam bergulung-gulung dan mulai menyelubungi perkemahan.

Chapter 9 AKU sampai terbengong-bengong ketika kabut itu mendekat. Segala sesuatu yang dilintasinya menjadi gelap. Pohon-pohon. Langit. Tidak mungkin! aku berkata dalam hati. Ini tidak masuk akal! Aku bergegas menghampiri Alex. "Ini cuma kebetulan," kataku padanya. Tampaknya ia tidak mendengarku. Ia langsung bangkit. Seluruh tubuhnya gemetaran. Aku berdiri di sampingnya. "Ini cuma kabut," ujarku sambil berusaha agar suaraku tetap tenang. "Di hutan memang sering ada kabut." "Masa, sih?" sahut Alex dengan suara pelan. Kabut hitam itu mulai menyelubungi kami. "Tentu saja," kataku. "Heikita kan tidak percaya hantu. Kita tidak pernah takut

kalau mendengar cerita hantu. "Tapitapi..." Alex tergagap-gagap. "Kenapa semua orang memandang ke arah kita?" ia akhirnya bertanya. Aku berbalik dan memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas. Alex benar. Semua orang yang duduk mengelilingi api unggun sedang menatap Alex dan aku. Wajah-wajah mereka tampak samar-samar di balik tirai kabut. "A-aku juga tidak tahu kenapa," aku berbisik pada adikku. Kabut terus bergulung-gulung di sekitar kami. Aku menggigil. Rasanya dingin sekali. "Harryaku punya firasat buruk," bisik Alex. Kabutnya kini begitu tebal sehingga aku nyaris tidak bisa melihatnya, padahal ia berdiri persis di sampingku. "Aku tahu kita tidak percaya hantu," ujar Alex. "Tapi ini benar-benar aneh. Benarbenar seram." Suara Paman Marv memecahkan keheningan dari sisi seberang. "Ah, betapa indahnya kabut ini," ujarnya. "Mari kita semua berdiri dan menyanyikan lagu kebesaran Camp Spirit Moon." Alex dan aku sudah berdiri. Para peserta dan pembina lainnya bangkit dengan patuh. Mereka tampak pucat di balik kabut. Aku menggosok-gosok lenganku yang dingin dan lembap. Kemudian aku mengeringkan wajah dengan bagian depan T-shirt-ku. Kabut semakin tebal dan gelap ketika Paman Marv mulai bernyanyi. Yang lain segera bergabung. Alex pun ikut. Tapi kali ini suaranya jauh lebih pelan. Suara-suara kami seakan-akan diredam oleh kabut yang tebal. Suara Paman Marv yang menggelegar pun terdengar lebih pelan, seolah-olah datang dari jauh. Aku mencoba bernyanyi. Tapi aku belum hapal liriknya. Dan suaraku seperti tersangkut di tenggorokan. Ketika aku memandang kabut yang bergumpal-gumpal, suara-suara di sekelilingku pun semakin pelan. Semua orang menyanyi, tapi suara mereka seperti tertelan kabut. Suara para peserta dan pembina berangsur-angsur lenyap. Semuanya. Kecuali suara Alex. Agaknya tinggal ia sendiri yang masih bernyanyi. Dan suaranya terdengar begitu jernih dan lembut di tengah kabut gelap. Dan kemudian Alex juga berhenti menyanyi. Kabut hitam itu berlalu. Kegelapan yang menyelubungi kami mulai terkuak. Cahaya bulan yang keperakan kembali menyinari kami. Alex dan aku memandang berkeliling - dan memekik kaget.

Selain kami berdua, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada Alex dan aku di depan api unggun yang sudah nyaris padam.

Chapter 10 AKU berkedip. Dan berkedip lagi. Aku tidak tahu kenapa. Barangkali aku berharap para pembina dan anak-anak lain akan muncul lagi kalau aku mengedip-ngedipkan mata. Alex dan aku tercengang. Semua orang lenyap seiring hilangnya kabut. Para peserta perkemahan. Para pembina. Paman Marv. Aku merinding. Kulitku terasa lembap dan dingin gara-gara kabut tebal tadi. "M-mana...?" Alex tergagap-gagap. Aku menelan ludah. Sebuah balok kayu yang sudah hangus mendadak patah dua. Bunyi itu mengejutkanku. Aku tersentak kaget. Dan kemudian aku mulai tertawa. Alex menatapku sambil memicingkan mata. " Harry...?" "Masa kau belum sadar juga?" tanyaku. "Ini semua cuma lelucon." Ia mengerutkan kening. "Hah?" "Lelucon perkemahan," aku menjelaskan. "Semua pendatang baru di Camp Spirit Moon pasti dipermainkan seperti ini." Seluruh muka Alex tampak berkerut-kerut. Ia sedang memikirkan ucapanku. Tapi sepertinya ia tidak percaya. "Mereka semua kabur ke hutan," aku menjelaskan padanya. "Mereka memanfaatkan kabut tadi untuk lari. Semuanya sudah bersekongkol. Aku yakin semua pendatang baru dikerjai seperti ini." "Tapi - kabutnya..." ujar Alex dengan suara parau. "Kabutnya pasti cuma tipuan!" aku berseru. "Mereka pasti punya semacam mesin asap. Supaya lelucon mereka bisa berjalan lancar." Alex mengusap-usap dagu. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia masih agak ngeri. "Permainan ini pasti sudah jadi tradisi di Camp Spirit Moon," aku berusaha

meyakinkannya. "Paman Marv menceritakan sebuah kisah. Lalu seseorang menghidupkan mesin asap, dan asapnya bergulung-gulung ke tempat api unggun. Lalu semua orang kabur dan bersembunyi." Alex menoleh dan memandang ke arah hutan. "Aku tidak melihat seorang pun yang bersembunyi di sana," ujarnya pelan. "Dan tak ada siapa pun yang mengintai kita." "Aku yakin mereka semua sudah kembali ke pondok masing-masing," kataku. "Mereka pasti sudah menunggu kita. Menunggu untuk melihat tampang kita yang ketakutan." "Mereka mau menertawakan kita karena kita tertipu lelucon konyol ini," Alex menambahkan. "Ayo, kita ke sana!" seruku. Aku menepuk pundaknya. Kemudian aku mulai berlari ke deretan pondok, melintasi rumput yang basah. Alex menyusul tepat di belakangku. Rumput itu tampak berkilau-kilau karena cahaya bulan yang keperakan. Ternyata benar - ketika kami mendekati barisan pondok, semua peserta perkemahan menghambur keluar. Mereka tertawa dan bersorak-sorai sambil saling ber-high five. Mereka benar-benar menikmati lelucon mereka. Pendatang baru pasti dipermainkan seperti itu kalau kebetulan ada kabut, mereka memberitahu kami. Aku melihat Lucy tertawa bersama sekelompok anak perempuan. Elvis menarik Alex, dan mereka bergulat di tanah sambil tertawa-tawa. Semua orang menggoda Alex dan aku. Semuanya berkomentar betapa pucat tampang kami. "Hah, kami sama sekali tidak ngeri, kok," aku berbohong. "Alex dan aku sudah tahu ini cuma tipuan." Tapi tawa dan sorak-sorai mereka malah semakin keras. "Huhhhhh!" Beberapa anak menempelkan tangan di sekeliling mulut dan melolong bagaikan hantu. "Huhhhhh!" Semuanya tertawa terbahak-bahak. Aku tidak keberatan. Silakan saja. Aku merasa lega sekali. Jantungku masih berdegup kencang. Dan lututku masih terasa lemas. Tapi aku begitu gembira bahwa semuanya cuma lelucon. Semua perkemahan musim panas punya lelucon seperti ini, kataku dalam hati. Dan lelucon yang ini memang lucu sekali. Tapi aku tidak tertipu. Atau paling tidak, aku segera sadar bahwa ini cuma tipuan. "Perhatian, lima menit lagi semua lampu sudah harus mati!"

Perintah Paman Marv itu mengakhiri senda gurau para peserta perkemahan. "Semuanya bersiap-siap tidur!" Semua anak berbalik dan bergegas ke pondok masing-masing. Aku tiba-tiba bingung. Sambil mengerutkan kening aku memandang deretan pondok itu. Yang mana pondok kami? "Ikut aku, Harry," ujar Alex. Ia menarikku ke pondok ketiga. Untuk hal-hal seperti ini, ingatan Alex lebih bagus daripada ingatanku. Elvis dan dua anak lain sudah ada di dalam ketika Alex dan aku masuk. Mereka sedang berganti baju. Kedua anak itu memperkenalkan diri. Mereka Sam dan Joey. Aku menuju ke tempat tidurku dan mulai membuka baju. "Huhhhhh!" Bunyi mengerikan itu membuatku tersentak kaget. Aku segera berbalik dan melihat Joey cengar-cengir. Semuanya tertawa. Termasuk aku. Ternyata ramai juga di sini, kataku dalam hati. Anak-anak di sini memang jail. Tapi juga lucu. Sekonyong-konyong aku merasakan sesuatu yang kenyal dan lengket di bawah kakiku yang telanjang. Idih! Aku menoleh ke bawah. Rupanya aku telah menginjak genangan lendir berwarna biru. Tepat pada saat itu lampu pondok padam. Tapi sebelumnya aku masih sempat melihat genangan-genangan biru di seluruh lantai. Lendir biru yang dingin itu melekat di telapak kakiku. Aku tersandung-sandung di pondok yang gelap dan menemukan handuk untuk menyekanya. Genangan apa sih ini? aku bertanya dalam hati sambil naik ke tempat tidur. Aku melirik ke arah Joey dan Sam yang tidur di seberang ruangan. Dan hampir saja aku memekik kaget. Ternyata mereka sedang menatapku, dan mata keduanya bercahaya bagaikan senter! Ada apa ini? aku bertanya-tanya. Kenapa ada genangan lendir biru di mana-mana? Dan kenapa mata Sam dan Joey bersinar seperti itu dalam gelap? Aku berbalik dan menghadap ke dinding. Aku berusaha untuk tidak memikirkan apa pun. Aku sudah hampir tertidur - ketika aku merasakan sebuah tangan yang dingin dan lengket menggamit lenganku.

Chapter 11 "HAH?" Aku langsung duduk tegak. Sentuhan yang dingin dan lembap itu membuatku merinding. Aku menatap adikku. "Alexkau ini bikin kaget saja!" bisikku. "Ada apa, sih?" Ia berdiri di tempat tidur dan menatapku dengan matanya yang gelap. "Aku tidak bisa tidur," ia mengeluh. "Berusaha, dong," aku menyahut dengan ketus. "Kenapa tanganmu begitu dingin?" "Entahlah, aku juga tidak tahu," katanya. "Mungkin karena di sini memang dingin." "Nanti kau akan terbiasa," ujarku. "Kau kan selalu susah tidur di tempat baru." Aku menguap. Aku menunggu agar ia kembali berbaring. Tapi ia diam saja. "Harry, kau tidak percaya hantu, kan?" bisiknya. "Tentu saja tidak," jawabku. "Masa sih kau ngeri gara-gara cerita-cerita konyol tadi?" "Yeah, kau benar," katanya. "Oke, aku coba tidur lagi, deh." Ia kembali berbaring. Tempat tidurnya berderit-derit karena ia terus bolak-balik ke kiri dan ke kanan. Kasihan, pikirku. Ia jadi ketakutan karena lelucon kabut tadi. Tapi besok pagi ia pasti sudah merasa lebih enak, ujarku dalam hati. Aku berbalik dan memandang ke arah tempat tidur Joey dan Sam. Apakah mata mereka masih menyala-nyala? Ternyata tidak. Semuanya gelap. Aku hendak berpaling - tapi tidak jadi. Mataku langsung terbelalak. "Oh, ya ampun!" aku bergumam. Aku melihat Joey dalam cahaya yang remang-remang. Terbaring di kasur. Tertidur lelap. Dan tubuhnya melayang setengah meter di atas tempat tidur!

Chapter 12 SERTA-MERTA aku mencoba turun dari tempat tidur. Tapi kakiku terlilit selimut, dan hampir saja aku terjerembap! "Heiada apa, sih?" aku mendengar Alex berbisik dari bawah. Aku tidak menggubrisnya. Aku berbalik dan melompat ke lantai. "Aduh!" Karena terlalu terburu-buru, aku salah mendarat dan mata kakiku terkilir. Rasa nyeri langsung menjalar sampai ke pangkal paha. Tapi aku tidak menghiraukannya. Sambil terpincang-pincang aku menghampiri pintu. Aku ingat ada sakelar lampu di sekitar situ. Aku ingin menyalakan lampu. Aku harus memastikan bahwa aku tidak salah lihat. Bahwa Joey benar-benar melayang di udara. "Harryada apa?" Alex memanggil. "Ada apa, sih? Jam berapa sekarang?" aku mendengar Elvis mengerang sambil terkantuk-kantuk. Aku bergegas ke pintu. Tanganku meraba-raba dinding sampai menemukan sakelar lampu. Cepat-cepat aku menekannya. Lampu di langit-langit menyala, dan pondok mungil itu langsung terang benderang. Aku menoleh ke tempat tidur Joey. Ia mengangkat kepala dari bantal dan menatapku sambil memicingkan mata. "Harry - ada apa, sih?" Joey menggerutu. Ia sedang tengkurap di atas selimut. Bukan melayang di udara. Ia menopang dagunya, menguap, lalu mengamatiku sambil mengerutkan kening. "Matikan lampu!" Sam menghardik. "Kalau Paman Marv melihat lampu kita menyala..." "Tapi - tapi..." aku tergagap-gagap. "Matikan!" seru Elvis dan Sam bersamaan. Aku memadamkan lampu. "Sori," gumamku. "Kupikir aku melihat sesuatu yang aneh." Aku malu sekali. Bagaimana mungkin aku sampai mengira Joey melayang-layang di udara? Rupanya aku sama takutnya dengan Alex, aku mengaku dalam hati. Bahkan aku sampai melihat yang bukan-bukan! Aku berusaha menenangkan diri. Kau cuma gugup karena ini hari pertama di perkemahan, pikirku. Aku melangkah pelan-pelan ke tempat tidurku. tapi di tengah jalan, lagi-lagi aku menginjak genangan lendir yang dingin dan lengket.

******* Ketika kami bangun keesokan pagi, Alex dan aku menemukan seragam Camp Spirit Moon kami - celana pendek putih dan T-shirt putihtelah siap di ujung tempat tidur masing-masing. Sekarang Alex dan aku takkan tampak mencolok lagi di antara teman-teman yang lain, pikirku dengan gembira. Kejadian semalam segera kulupakan. Aku sudah tak sabar untuk mengawali hari baru di perkemahan yang mengasyikkan ini. Sore itu Alex ikut seleksi untuk acara unjuk bakat Camp Spirit Moon. Aku sendiri sebenarnya harus ke lapangan sepak bola. Ada latihan mendirikan tenda yang harus diikuti oleh sekelompok peserta perkemahan. Menurut rencana, kami akan menjelajah hutan dan menginap di sana. Tapi aku berhenti di depan panggung di sisi gedung pertemuan untuk mendengarkan Alex bernyanyi. Acara seleksi dipimpin oleh pembina bernama Veronica. Rambutnya panjang sekali, dan berwarna pirang kecokelatan. Aku bersandar pada sebatang pohon dan menonton acara itu. Cukup banyak anak yang ambil bagian. Aku melihat dua pemain gitar, seorang anak laki-laki dengan harmonika, seorang penari, dan dua mayoret. Veronica bermain piano di bagian depan panggung. Ia memanggil Alex dan bertanya lagu apa yang hendak dinyanyikannya. Ia memilih salah satu lagu Beatles. Adikku tidak pernah mendengarkan band-band baru. Ia suka The Beatles dan The Beach Boys - pokoknya kelompok-kelompok musik dari tahun enam puluhan. Setahuku ia satu-satunya anak sebelas tahun yang gemar mendengarkan radio khusus lagu-lagu lama. Aku agak kasihan padanya. Sepertinya ia lahir pada zaman yang keliru. Veronica memainkan beberapa nada pada piano, dan Alex mulai bernyanyi. Wah, suaranya! Tadinya anak-anak yang lain sibuk bercanda, tertawa dan mengobrol. Tapi setelah Alex bernyanyi selama beberapa detik, semuanya langsung terdiam. Mereka berkumpul di depan panggung dan mendengarkan alunan suara adikku. Ia seperti penyanyi profesional! kataku dalam hati. Ia sudah pantas masuk dapur rekaman. Veronica pun tampak terkesan. Aku melihatnya mengucapkan kata "Wow!" tanpa bersuara ketika ia mengiringi Alex dengan permainan pianonya. Begitu Alex selesai, semua anak langsung bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Elvis mengajak Alex ber-high five ketika adikku turun dari panggung.

Setelah itu giliran Elvis. Ia bilang ia ingin membawakan lagu Elvis Presley, karena namanya memang diambil dari penyanyi legendaris itu. Ia berdeham-deham sebentar, lalu mulai menyanyikan lagu berjudul Heartbreak Hotel. Hmm... penampilan Elvis bisa membuat orang patah semangat - sebab ia sama sekali tidak bisa bernyanyi. Setiap nada yang keluar dari mulutnya terdengar sumbang! Veronica berusaha sebaik mungkin untuk mengiringinya dengan piano. Tapi kelihatan sekali bahwa ia mengalami kesulitan. Sepertinya ia ingin berhenti saja agar bisa menutup kedua telinganya! Suara Elvis melengking tapi parau. Dan semua nada yang dinyanyikannya benarbenar fals. Anak-anak di sekitar panggung sampai meringis-ringis karena tidak tahan. Mereka mulai menggerutu, dan akhirnya pergi satu per satu. Elvis memejamkan mata. Ia begitu asyik dengan lagunya, sehingga sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya. Masa ia tidak sadar betapa parah suaranya? tanyaku dalam hati. Kenapa ia nekat ikut seleksi unjuk bakat kalau suaranya lebih mirip suara anjing yang terjepit pintu? Elvis mulai mengulangi bagian chorus. Aku segera menyingkir sebelum gendang telingaku pecah. Aku mengacungkan jempol kepada Alex dan bergegas ke lapangan sepak bola: Sam, Joey, dan sekelompok anak lain sudah membuka tenda dan bersiap-siap memulai latihan yang dipimpin oleh Chris. Ia melambaikan tangan padaku. "Harry - coba buka tenda di sebelah situ," ia memberi instruksi. "Coba kita lihat seberapa cepat kau bisa mendirikannya." Aku memungut bungkusan tenda yang ditunjuknya. Tenda itu dilipat dan diikat begitu kencang sampai kira-kira sebesar ransel. Aku belum pernah mendirikan tenda. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara membuka ikatannya. Chris melihat bahwa aku kebingungan, dan segera menghampiriku. "Ini mudah, kok," ujarnya. Ia menarik dua utas tali pengikat, dan tenda nilon itu segera terbuka. "Betul, kan? Ini tiang-tiangnya. Tendanya tinggal digelar, lalu ditopang dengan tiang-tiang ini." Ia menyerahkan bungkusan itu padaku. "Yeah. Mudah," aku mengulangi. "Hei, suara apa sih itu?" Joey bertanya sambil menoleh. Aku pasang telinga. "Oh, itu suara Elvis. Dia lagi bernyanyi," aku memberitahu mereka. Nada-nada sumbangnya terdengar sampai ke lapangan sepak bola. "Kedengarannya seperti anjing kejepit pintu," Joey berkomentar.

Semuanya tertawa. Joey dan Sam mencopot sepatu, lalu berjalan dengan kaki telanjang. Aku mencontoh mereka. Rumput yang hangat terasa nyaman di telapak kakiku. Aku menggelar tenda di rumput. Tiang-tiang penyangga kutaruh di sebelahnya. Sinar matahari terasa menyengat di tengkuk. Aku menepuk seekor nyamuk yang hinggap di lenganku. Tiba-tiba aku mendengar teriakan-teriakan. Aku menoleh, dan melihat Sam dan Joey bergulat di rumput. Tapi mereka tidak berkelahi, cuma main-main. Masing-masing meraih tiang tenda dan berlagak adu pedang. Keduanya tertawa-tawa dengan riang. Tapi kemudian Sam tersandung tenda. Ia kehilangan keseimbangan. Terhuyunghuyung. Dan jatuh terpelanting. Aku menjerit ketika kakinya tertembus tiang tenda yang dipegangnya.

Chapter 13 PERUTKU serasa diaduk-aduk. Seketika aku terserang rasa mual. Tiang tenda yang runcing itu menembus kaki Sam sehingga kakinya seperti terpaku ke tanah. Joey membelalakkan mata. Ia menatap kaki Sam dengan tercengang. Aku langsung menoleh ke kiri-kanan, mencari-cari Chris. Aku tahu Sam butuh pertolongan. Ke mana Chris? "Sam...," kataku dengan gugup. "Aku akan cari pertolongan. Aku..." Tapi Sam diam saja. Ia sama sekali tidak bereaksi. Bahkan meringis pun tidak. Dengan tenang ia meraih tiang tenda - dan mencabut tongkat logam itu dari kakinya. Aku mengerang. Ternyata malah kakiku yang sakit. Mungkin karena simpati. Sam dengan santai mencampakkan tiang itu. Aku menatap kakinya. Tak ada luka. Tak ada darah yang mengucur deras. Kakinya sama sekali tak berdarah! "Sam!" aku memekik. "Kakimu! Kakimu tidak berdarah!" Ia berpaling dan angkat bahu. "Tidak kena, kok," katanya. Ia berlutut di rumput dan mulai mendirikan tenda.

Aku menelan ludah dan menunggu sampai perasaanku tenang kembali. Tidak kena? pikirku. Tidak kena? Aku lihat sendiri kakinya tertembus tiang itu! Atau jangan-jangan aku berkhayal lagi? *** Selama sisa sore itu aku berusaha tidak memikirkan kejadian itu. Aku sibuk memasang tenda. Setelah digelar di rumput, tenda itu memang jadi mudah didirikan. Chris menyuruh kami melipat dan memasang tenda berulang-ulang. Kemudian kami mengadakan lomba untuk melihat siapa yang paling cepat. Aku menang. Sam bilang aku cuma beruntung. Chris lalu berkomentar bahwa aku sudah siap untuk menginap di hutan. "Di mana kita akan menginap?" aku bertanya. "Jauh, jauh di tengah hutan," sahut Chris. Ia mengedipkan mata kepada Sam dan Joey. Aku merinding karena teringat kisah hantu yang diceritakan Paman Marv semalam. Perasaan ngeri itu langsung kuusir. Aku tidak sudi ketakutan hanya gara-gara cerita konyol. Acara berikutnya adalah latihan renang di danau. Airnya jernih dan dingin. Aku pemegang ijazah Junior lifesaverpenolong tingkat junior. Joey dan aku bergantian saling menyelamatkan. Aku tidak memikirkan kaki Sam yang tertembus tiang. Aku memaksakan diri untuk tidak memikirkan hal itu. Sehabis latihan renang, aku kembali ke pondok. Aku berganti baju untuk makan malam. Dan di sana aku melihat genangan-genangan lendir biru yang masih baru di lantai. Tak ada seorang anak pun yang menghiraukan genangan-genangan itu. Jadi aku juga diam saja. Alex datang. Ia tampak gembira sekali. "Aku dapat giliran pertama untuk tampil di acara unjuk bakat!" ia mengumumkan. "Dan suaraku dipuji-puji oleh Veronica. Aku bakal dapat peran utama dalam sandiwara musik nanti." "Hebat!" seruku. Aku mengajaknya ber-high five. Kemudian aku bertanya, "Bagaimana dengan Elvis?" "Dia juga ikut," sahut Alex. "Dia ditunjuk sebagai manajer panggung." Aku mengenakan seragam Camp Spirit Moon yang serba putih, lalu menuju ke gedung pertemuan untuk makan malam.

Sekelompok anak perempuan keluar dari pondok-pondok di seberang. Aku mencari-cari Lucy, tapi ia tidak kelihatan. Aku cukup gembira. Aku tidak memikirkan hal-hal aneh yang telah kulihat. Aku tidak memikirkan genangan-genangan lendir biru di lantai. Atau kabut hitam yang misterius semalam. Aku tidak memikirkan cerita-cerita hantu yang menurut Elvis benar-benar terjadi. Aku tidak memikirkan bagaimana Lucy mengulurkan tangan ke tengah api unggun dan mengambil sosisku yang telah gosong. Aku tidak memikirkan bagaimana Joey melayang-layang di atas tempat tidurnya. Atau bagaimana kaki Sam tertancap tiang tenda. Tanpa berdarah. Tanpa berteriak kesakitan. Seakan-akan tidak merasakan apa-apa. Aku lapar sekali. Saking laparnya, aku tidak memikirkan segala hal yang menimbulkan tanda tanya itu. Tapi gara-gara ulah Joey di ruang makan, aku kembali teringat pada hal-hal yang menakutkan itu. Makan malam baru saja disajikan. Hidangannya ayam dengan saus kental, bayam, dan kentang rebus yang ditumbuk sampai hancur. Aku tidak peduli. Yang penting aku bisa mengisi perut! Tapi sebelum aku sempat menyentuh makananku, Joey memanggilku dari seberang meja. "Hei, Harrycoba lihat, nih!" Aku menoleh. Ia meraih garpu - dan menancapkannya ke leher!

Chapter 14 "OHHH." Aku langsung mengerang. Garpu di tanganku terlepas dan jatuh ke lantai. Joey menatapku sambil cengar-cengir. Garpu di lehernya tampak berayun-ayun. Aku langsung mual. Jantungku berdegup-degup. Ia tetap cengar-cengir ketika mencabut garpu itu. "Sekarang giliranmu!" katanya. "Joey - jangan macam-macam!" Elvis berseru dari seberang meja. "Ya, berhentilah," Sam menyetujui. Aku menatap leher Joey. Tak ada luka. Tak ada darah.

"Ba-bagaimana mungkin?" aku tergagap-gagap. Senyum Joey bertambah lebar. "Cuma tipuan, kok," ia menyahut. Aku menoleh ke arah Alex yang duduk di ujung meja. Apakah ia juga sempat melihat "tipuan" Joey? Ya. Alex tampak pucat pasi. Mulutnya sampai melongo karena ngeri. "Lihat baik-baik, nih. Biar kutunjukkan bagaimana caranya," Joey menawarkan. Ia kembali mengangkat garpu - tapi langsung berhenti ketika menyadari bahwa Paman Marv sudah berdiri di belakangnya. "Ada apa, Joey?" Paman Marv bertanya dengan tegas. Joey segera meletakkan garpu. "Kami cuma main-main kok," kilahnya tanpa berani menatap Paman Marv. "Ayo, habiskan makanan kalian," perintah Paman Marv. "Tanpa main-main." Jarinya yang gendut menggenggam pundak Joey. "Jangan lupa, nanti ada pertandingan sepak bola malam. Anak laki-laki melawan anak perempuan." Paman Marv mengendurkan genggamannya dan pindah ke meja sebelah. Di situ telah terjadi perang makanan. Potongan-potongan kentang beterbangan ke segala arah. Joey bergumam. Tapi aku tidak tahu ia bilang apa karena suasananya begitu ramai. Aku menoleh ke arah Alex di ujung meja. Ia sedang memegang garpu, tapi tidak menyentuh makanannya. Pandangannya tertuju pada Joey. Matanya tak berkedip. Keningnya berkerut-kerut. Aku yakin ia punya pikiran yang sama denganku. Ada apa ini? Joey bilang garpu yang menancap di lehernya itu hanya tipuan. Tapi bagaimana caranya? Kenapa ia tidak kesakitan? Kenapa ia tidak berdarah? "Pertandingan sepak bola malam benar-benar seru!" kata Elvis. Ia sedang mengunyah sepotong ayam. Sausnya mengalir di dagunya. "Apalagi kalau pertandingan cowok lawan cewek," Sam menimpali. "Kita bantai mereka! Mereka pasti kalah telak." Aku melirik ke meja anak-anak perempuan di seberang ruangan. Mereka sedang asyik mengobrol. Mungkin tentang pertandingan sepak bola itu. Aku melihat Lucy di balik bayang-bayang di dekat dinding. Ia diam saja, tidak ikut mengobrol. Tampangnya serius sekali. Dan sepertinya ia juga tengah melirik ke arahku. Tapi aku tidak bisa memastikannya. Aku menghabiskan makan malamku meski sebenarnya sudah kehilangan selera. "Bagaimana caramu menancapkan garpu tadi?" aku bertanya pada Joey. "Aku kan sudah bilang, itu cuma tipuan," jawabnya. Kemudian ia berpaling dan mengatakan sesuatu kepada Sam. Hidangan cuci mulut berupa potongan agar-agar berwarna merah, kuning, dan hijau. Rasanya sih lumayan. Sayang tidak pakai krim.

Ketika aku sedang melahap agar-agar, aku mendengar seseorang memekik. Aku segera menoleh dan melihat seekor kelelawar terbang kian kemari. Beberapa anak kecil menjerit-jerit. Tapi anak-anak yang duduk semeja denganku tetap tenang. Kelelawar itu mengepak-ngepakkan sayap dan melesat dari ujung ke ujung, sesekali terbang tinggi, sesekali menukik. Paman Marv mengejar-ngejarnya sambil membawa sapu. Dan akhirnya kelelawar itu berhasil disudutkannya ke dinding. Kemudian ia meraihnya, dan menggenggamnya dengan sebelah tangan. Makhluk itu mungil sekali! Paling-paling sebesar anak tikus. Paman Marv membawanya ke pintu dan melepaskannya. Semua anak bersorak-sorai. "Ini sudah biasa," Sam memberitahuku. "Kadang-kadang ada kelelawar yang kesasar, soalnya ruang makan ini tidak pakai pintu kawat nyamuk." "Dan hutan di sini penuh kelelawar," Joey menimpali. "Kelelawar pembunuh. Mereka mendarat di kepalamu dan mengisap darahmu sampai habis." Sam tertawa. "Yeah. Benar." Ia menatapku sambil nyengir. "Itulah yang terjadi dengan Joey. Itulah sebabnya ia begitu aneh sekarang." Aku ikut tertawa bersama yang lain. Tapi dalam hati aku ragu apakah Sam benar-benar cuma bercanda. Habis, tingkah laku Joey memang aneh, sih. "Semuanya ke lapangan bola!" Suara Paman Marv membahana dari pintu ruang makan. "Lapor ke pembina olahraga. Alissa dan Mark akan mengatur pembagian tim." Semua anak langsung berdiri. Aku melihat Lucy melambaikan tangan. Tapi Sam dan Joey keburu menarikku. Udara malam terasa sejuk. Langit tampak mendung, dan bulan pun bersembunyi di balik lapisan awan. Rumput lapangan bola sudah basah karena embun. Para pembina langsung membagi pemain-pemain untuk masing-masing tim. Alex dan aku masuk tim kedua. Berarti kami tidak turun pada babak pertama. Tugas kami adalah berdiri di pinggir lapangan dan memberi semangat kepada tim pertama. Sepasang lampu sorot yang dipasang pada tiang-tiang tinggi memancarkan cahaya menyilaukan. Tapi kedua lampu sorot itu tidak sanggup menerangi seluruh lapangan. Beberapa bagian tampak cukup gelap. Tapi justru di situ asyiknya. Alex berdiri di sampingku ketika pertandingan dimulai. Dalam waktu kurang dari satu menit tim cewek telah berhasil mencetak gol. Anak-anak cewek di pinggir lapangan langsung bersorak-sorai.

Para pemain tim cowok terbengong-bengong. Mereka cuma bisa menggerutu sambil menggaruk-garuk kepala. "Kebetulan! Kebetulan!" seru Mark, si pembina tim cowok yang bertubuh kurus dan jangkung. "Ayo, balas mereka!" Pertandingan dilanjutkan. Cahaya lampu-lampu sorot seakan-akan bertambah redup. Aku menoleh - dan melihat kabut datang bergulung-gulung. Lagi-lagi kabut. Mark berlari melewati kami. Sepintas lalu ia mirip burung bangau raksasa. "Kelihatannya bakal ada kabut lagi, nih," serunya kepada Alex dan aku. "Tapi pertandingan malam justru tambah ramai kalau ada kabut." Ia menyerukan instruksi-instruksi kepada para pemainnya. Dalam sekejap saja kami sudah diselubungi kabut yang tertiup angin kencang. Alex merapatkan badan padaku. Aku menoleh dan melihat roman mukanya yang cemas. "Kaulihat apa yang dilakukan Joey waktu makan malam tadi?" ia bertanya dengan suara pelan. Aku mengangguk. "Dia bilang itu cuma tipuan." Alex termenung sejenak. "Harry," ia berkata sambil memperhatikan pemain yang sedang menggiring bola. "Kau juga merasa bahwa anak-anak di sini agak aneh?" "Yeah, memang," sahutku. Aku teringat kembali pada tiang tenda yang menembus kaki Joey. "Tadi ada kejadian aneh di danau," Alex melanjutkan. "Dan sampai sekarang aku masih terbayang-bayang." Aku memicingkan mata agar bisa melihat para pemain yang terselubung kabut. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sisi anak-anak perempuan. Rupanya tim mereka berhasil mencetak gol lagi. Tapi aku tidak bisa memastikan karena pandanganku terhalang kabut. Aku menggigil. "Memangnya ada kejadian apa sih?" aku bertanya pada adikku. "Sehabis acara seleksi tadi, kelompokku berenang di danau. Selain kami juga ada beberapa kelompok anak cewek." "Danaunya asyik juga," aku berkomentar. "Airnya jernih dan bersih. Dan tidak terlalu dingin." "Yeah, memang," Alex membenarkan. Ia mengerutkan kening. "Tapi kemudian ada kejadian aneh. Atau paling tidak, kesannya aneh." Ia menarik napas panjang. Aku langsung tahu bahwa ada yang mengganggu pikirannya. "Ayo, dong! Jangan diam saja!" terdengar Mark berseru kepada para pemainnya. Sinar lampu sorot meredup, dan menghasilkan bayangan-bayangan aneh di

lapangan permainan. Kabutnya benar-benar tebal. Aku nyaris tak bisa membedakan antara para pemain dan bayangan. "Aku lagi mengambang di permukaan," Alex melanjutkan sambil mendekap dadanya sendiri. "Cuma bersantai saja. Aku berenang pelan-pelan sekali. Namanya juga acara bebas. Jadi kami boleh berbuat sesuka hati. Beberapa anak adu cepat renang di dekat tepi danau. Tapi aku berenang sendirian saja." "Airnya jernih sekali. Aku membenamkan kepala dan memandang ke dasar. Dan dan aku melihat sesuatu di situ." Ia menelan ludah. "Apa yang kaulihat? Apa?" tanyaku tak sabar. "Aku melihat anak cewek," Alex menyahut sambil menggigil. "Salah satu anggota kelompok cewek yang ikut berenang. Aku tidak tahu namanya. Rambutnya hitam ikal dan dipotong pendek." "Di bawah permukaan?" tanyaku. "Dia berenang di bawah permukaan?" "Bukan." Alex menggelengkan kepala. "Dia tidak berenang. Dia tidak bergerak sama sekali. Dan dia ada di bawah. Hampir di dasar danau." "Maksudmu, dia menyelam sampai ke dasar?" Alex angkat bahu. "Entahlah. Pokoknya aku ngeri sekali!" ia berseru untuk mengalahkan hiruk-piruk yang mendadak terdengar di lapangan. "Dia tidak bergerak. Dan sepertinya dia juga tidak bernapas. Lengannya naik-turun. Dan matanya - sorot matanya kosong." "Dia tenggelam?" aku memekik. "Aku juga pikir begitu," ujar Alex. "Aku langsung panik. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak bisa berpikir. Tahu-tahu aku sudah menyelam ke dasar." "Kau menyelam untuk mengangkatnya?" tanyaku. "Yeah. Tapi aku tidak tahu apakah aku sudah terlambat atau belum. Atau apakah aku harus memanggil salah satu pembina. Aku benar-benar bingung." Alex kembali menggigil. "Aku menariknya ke permukaan. Lalu kuseret dia ke tepi. Aku sampai tersengalsengal. Terutama karena panik. Dadaku serasa mau meledak. Aku takut sekali. "Tiba-tiba ada yang tertawa. Ternyata dia. Dia menertawakanku. Aku masih memeluknya dari belakang. Dia berbalik dan menyemburkan air ke mukaku!" "Oh, wow!" Aku tercengang. "Jadi dia tidak apa-apa?" "Yeah," sahut Alex sambil geleng-geleng kepala. "Dia tidak apa-apa. Dia malah menertawakanku. Dia pikir leluconnya lucu sekali. Aku sampai bengong. Aku benar-benar bingung. Habis dia hampir di dasar danau waktu aku menariknya ke atas. Dan dia sudah lama sekali berada di situ. Akhirnya aku melepaskannya. Dia berenang menjauh, masih sambil tertawa. "Lalu aku bertanya, 'Bagaimana kau bisa menyelam seperti itu?'Berapa lama kau bisa menahan napas?'

"Tapi tawanya malah tambah keras. 'Berapa lama?' aku mendesaknya. "Lalu dia bilang, 'Pokoknya lama sekali.' "Setelah itu dia kembali ke cewek-cewek lain." "Terus, apa yang kaulakukan?" tanyaku pada Alex. "Aku buru-buru naik ke darat," jawabnya. "Seluruh tubuhku menggigil. Aku tidak bisa berhenti gemetaran. Aku aku pikir..." Ia terdiam. "Untung saja dia tidak apa-apa," Alex bergumam setelah beberapa waktu. "Tapi kejadiannya memang aneh sekali - ya kan, Harry? Dan waktu makan malam tadi, waktu Joey menancapkan garpu di lehernya..." "Ya, ini memang aneh, Alex," ujarku pelan. "Tapi mungkin saja semuanya cuma lelucon." "Lelucon?" Alex mengulangi. Ia menatapku dengan matanya yang gelap. "Pendatang baru di perkemahan mana pun pasti jadi sasaran lelucon," aku berkata padanya. "Itu sudah tradisi. Biasa, anak-anak baru harus ditakut-takuti dulu. Aku yakin semua ini cuma lelucon." Ia merenungkan ucapanku sambil menggigit bibir. Meskipun Alex berdiri begitu dekat denganku, ia tampak sangat jauh akibat kabut hitam yang bergulung-gulung. Aku kembali berpaling ke lapangan sepak bola. Pemain-pemain cowok sedang menyerang dan mengancam gawang tim cewek. Bola berpindah-pindah dengan operan-operan pendek. Lelucon, pikirku. Semuanya cuma lelucon. Aku memicingkan mata dan memandang ke tengah kabut. Dan aku melihat sesuatu yang pasti bukan lelucon. Salah satu pemain cowok menendang bola ke arah gawang. Kiper tim cewek segera bergerak untuk menghalau tembakan itu. Tapi ia kurang cepat. Atau mungkin juga ia terpeleset. Bola itu menghantam keningnya. Bunyinya keras sekali. Bolanya jatuh ke tanah. Dan kepala si kiper menggelinding ke sebelahnya.

Chapter 15 AKU memekik tertahan. Dan langsung bergegas ke lapangan.

Menerobos gumpalan-gumpalan kabut hitam. Kabut yang bergulung-gulung itu seakan-akan naik dari tanah dan turun dari pepohonan. Wajahku terasa dingin dan lembap ketika aku berlari menghampiri kiper tim cewek. Aku memicingkan mata. Samar-samar aku melihatnya tergeletak di rumput dalam posisi tengkurap. Dan kepalanya... Kepalanya... Aku membungkuk dan memungutnya. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku berbuat begitu. Barangkali kupikir kepalanya bisa dipasang lagi di pundak anak perempuan itu. Sambil gemetaran aku membungkuk di tengah kabut - dan memungut kepala itu dengan kedua tangan. Rasanya keras sekali. Terlalu keras untuk kepala manusia. Aku mengangkatnya. Aku mendekatkannya ke wajahku. Dan menyadari bahwa aku sedang memegang bola. Bukan kepala. Bukan kepala si kiper. Di sampingku terdengar erangan. Aku menoleh dan melihat anak perempuan itu berlutut dirumput. Ia bergumam tak jelas dan menggelengkan kepala. Kepalanya sendiri. Kepala yang ada di pundaknya. Ia menatapku sambil mengerutkan kening. Aku menatap wajahnya, kepalanya. Seluruh tubuhku masih gemetaran tak terkendali. "K-kepalamu..." aku tergagap-gagap. Ia menyibakkan rambutnya yang pirang dan lurus. Menepis tanah yang mengotori celana pendeknya. Lalu meraih bola yang masih kupegang. "Hei, Harry! Belum waktunya kau masuk lapangan! Kau kan tidak ikut tim pertama!" seseorang berseru padaku. "Ayo, keluar!" teriak anak lain. Aku menoleh dan melihat bahwa para pemain telah berkerumun di belakangku. "Tapi kepalanya copot!" ujarku. Seketika aku menyesal. Seharusnya aku tidak bilang begitu. Semuanya tertawa. Mereka tertawa sampai terpingkal-pingkal. Malah ada yang menepuk punggungku. Wajah-wajah mereka yang nyengir dan tertawa melayang-layang di sekelilingku. Sejenak aku menyangka kepala mereka semua juga copot. Aku dikepung puluhan kepala yang seolah-olah melayang di tengah cahaya menyeramkan dari kedua lampu sorot. Si kiper menempelkan tangan ke sisi kepalanya dan berlagak mendorongnya ke atas. "Nih, Harry," ia berseru. "Belum goyang, kan?"

"Kepala Harry yang perlu diperiksa," salah satu pemain menimpali. Tawa mereka semakin keras. Seseorang menghampiriku, memegang kepalaku, dan menariknya dengan keras. "Aduh!" aku memekik. Mereka tertawa terbahak-bahak. Aku melempar bola kepada si kiper. Kemudian aku meninggalkan lapangan. Ada apa sih denganku? aku bertanya-tanya. Kenapa aku jadi kacau begini? Kenapa aku terus melihat yang bukan-bukan? Apakah cuma karena aku masih gugup di tempat baru ini? Ataukah aku memang sudah mulai tidak waras? Aku terus berjalan, biarpun aku telah melewati garis tepi lapangan. Aku tidak tahu mau ke mana. Aku cuma ingin mencari tempat yang sejauh mungkin dari anakanak yang menertawakanku, tempat yang sejauh mungkin dari lapangan bola. Seluruh lapangan terselubung kabut tebal. Aku menoleh ke belakang. Aku mendengar para pemain berseru-seru dan bersorak-sorai, tapi mereka nyaris tidak kelihatan. Aku berbalik dan menuju ke deretan pondok. Embun di rumput menggelitik telapak kakiku ketika aku berjalan. Aku sudah hampir sampai ketika aku menyadari bahwa ada yang mengikutiku.

Chapter 16 SERTA-MERTA aku membalik. Seraut wajah muncul dari kegelapan. "Alex!" aku berseru. Saking sibuknya aku memikirkan soal bola dan kepala si kiper, aku sama sekali lupa bahwa adikku juga ada di sini. Ia menghampiriku begitu dekat sehingga aku bisa melihat butir-butir keringat di atas bibirnya. "Aku juga melihatnya," Alex berbisik. "Hah?" Mula-mula aku tidak mengerti. "Lihat apa?" "Kepala anak perempuan itu," Alex membalas dengan ketus. Ia menoleh ke arah lapangan bola. Mungkin untuk memastikan bahwa tidak ada yang mengikutinya. Kemudian ia berpaling kembali dan menarik lengan T-shirtku. "Aku juga melihat bahwa kepalanya copot. Aku melihat kepalanya menggelinding

ke tanah." Aku menelan ludah. "Masa, sih?" Ia mengangguk. "Aku langsung mual." "T-tapi kepalanya tidak copot!" aku berseru. "Kau lihat waktu aku masuk lapangan tadi? Yang kupungut adalah bola, bukan kepala." "Tapi aku melihatnya, Harry!" Alex berkeras. "Semula kupikir aku salah lihat karena kabut. Tapi..." "Ya, ini pasti gara-gara kabut," kataku. "Anak itu sama sekali tidak apa-apa." "Tapi kita sama-sama melihat bahwa..." Alex kembali angkat bicara, namun akhirnya terdiam dan menghela napas. "Perkemahan ini benar-benar aneh." "Yeah, memang," ujarku. Alex menyelipkan tangan ke kantong celana pendeknya. Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Menurut Elvis, cerita-cerita Paman Marv semuanya benar," katanya. Aku mencengkeram pundak Alex. Ia gemetaran. "Hei - kita kan tidak percaya hantu," kataku menegaskan. Ia mengangguk dengan lesu. Tiba-tiba terdengar lolongan panjang. Alex dan aku tersentak kaget. Aku menoleh ke arah hutan. Sekali lagi terdengar lolongan dari arah yang sama. Itu bukan lolongan binatang. Suara itu menyayat hati. Suara manusia. "Owwoooooooooo." Aku menahan napas. Alex meraih lenganku. Tangannya sedingin es. "Suara apa itu?" bisiknya dengan tegang. Aku hendak menyahut - tapi didului oleh lolongan berikutnya. "Owwoooooooooo." Ada dua makhluk yang melolong-lolong. Mungkin malah tiga. Atau bahkan lebih. Suara-suara mengerikan itu bersahut-sahutan dari balik pohon-pohon. Sampai akhirnya seluruh hutan seperti melolong. Tak ada manusia yang bersuara seperti itu. Suara-suara yang kami dengar pasti suara hantu. "Kita dikepung, Harry," bisik Alex. Ia masih menggenggam lenganku. "Aku tidak tahu suara apa itu, tapi kita telah dikepung."

Chapter 17 "Owwoooooooo." Bunyi mengerikan itu kembali terdengar dari pepohonan. "Lari!" aku berbisik kepada Alex. "Ke gedung utama. Barangkali Paman Marv ada di sana. Barangkali..." Kami berlari ke arah gedung utama, menerobos kabut. Tapi lolongan-lolongan itu terus mengejar. Dan malah bertambah nyaring. Aku mendengar suara langkah berdebam-debam di belakang kami, berlari melintasi rumput. Kami tidak mungkin lolos, aku menyadari. Alex dan aku berbalik bersamaan. Dan melihat Elvis, Sam, dan Joey - ketiga-tiganya mengejar kami sambil nyengir lebar. Sam menempelkan tangan ke mulut dan melolong panjang. Elvis dan Joey tertawa terpingkal-pingkal, lalu meniru perbuatan Sam. "Dasar brengsek!" teriakku sambil melayangkan tinju ke arah mereka. Mukaku mendadak terasa panas. Rasanya aku ingin meledak. Rasanya aku ingin menghajar ketiga pelawak konyol itu. Menghajar dan menendang-nendang mereka, biar mereka kapok. "Kena kau!" seru Elvis. "Kena kau!" Ia berpaling kepada Sam dan Joey. "Coba lihat mereka! Mereka gemetaran! Oh, wow! Mereka gemetaran!" Sam dan Joey tertawa puas. "Kalian pikir kami gerombolan serigala dari hutan?" tanya Sam. "Jangan banyak omong," aku menyahut dengan ketus. Alex diam saja. Ia menundukkan kepala. Aku tahu ia sama malunya dengan aku. "Owwooooooo!" Elvis kembali melolong. Ia merangkul pinggang adikku dan menariknya sampai terjatuh. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" seru Alex dengan kesal. Mereka bergulat di rumput yang basah. "Tadi kau ketakutan, ya?" tanya Elvis sambil terengah-engah. "Ayo, mengaku saja, Alex. Kau pikir ada hantu. Ya, kan?" Alex tidak mau menjawab. Ia mengerang dan mendorong Elvis dengan keras. Sam dan Joey menghampiriku sambil cengar-cengir. Sepertinya mereka puas sekali. "Kalian tidak lucu," aku menggerutu. "Asal tahu saja, kalian kekanak-kanakan sekali."

Joey ber-high five dengan Sam. "Kekanak-kanakan?" serunya. "Kalau begitu, kenapa kalian bisa tertipu?" Aku hendak menjawab - tapi tidak sanggup berkata apa-apa. Ya, kenapa aku bisa tertipu? aku bertanya pada diriku sendiri. Kenapa aku mau ditakut-takuti oleh tiga anak konyol yang melolong-lolong sambil bersembunyi di balik pohon? Biasanya aku pasti menertawakan lelucon seperti itu. Aku terus berpikir ketika kami berlima menuju ke pondok. Aku sadar semua peserta dan pembina terus berusaha menakut-nakuti Alex dan aku, sejak kami baru tiba. Paman Marv pun menceritakan kisah-kisah hantu untuk membuat kami ngeri. Menakut-nakuti anak baru mungkin sudah tradisi di Camp Spirit Moon, kataku dalam hati. Dan usaha mereka memang berhasil. Alex dan aku benar-benar jadi ngeri. Kami jadi serba tegang. Dan gugup. Bunyi sekecil apa pun langsung membuat kami tersentak kaget. Kami masuk ke pondok. Aku menyalakan lampu. Elvis, Sam, dan Joey masih tertawa-tawa. Mereka masih menikmati lelucon mereka. Alex dan aku harus bisa mengendalikan diri, pikirku. Kami harus melupakan segala omong kosong tentang hantu. Kami kan tidak percaya hantu, aku meyakinkan diri dalam hati. Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu. Kalimat itu kuulangi terus-menerus. Bagaikan mantra. Alex dan aku tidak percaya hantu. Dari dulu kami tidak percaya. Dan kami takkan pernah percaya. Takkan pernah. Sampai suatu malam... setelah berjalan-jalan di hutan - aku berubah pikiran!

Chapter 18 BESOKNYA Alex dan aku terus diolok-olok. Begitu keluar dari ruang makan sehabis sarapan, seseorang melempar bola padaku dan berteriak, "Kepalaku! Kembalikan kepalaku!" Pagi itu ada latihan renang. Joey dan Sam dan beberapa anak lain mulai melolonglolong seperti hantu. Semua anak tertawa terpingkal-pingkal. Aku melihat Lucy di tepi danau bersama sejumlah teman sepondoknya. Teman-

temannya ikut tertawa ketika mendengar Joey dan Sam melolong. Hanya Lucy yang diam saja. Tampangnya justru kelihatan serius. Seakan-akan ia sedang memikirkan sesuatu. Beberapa kali aku memergokinya ketika ia sedang melirik ke arahku. Aku pasti dianggap penakut olehnya, pikirku dengan sedih. Ia pasti kasihan padaku karena aku telah mempermalukan diriku sendiri di depan semua orang di lapangan bola semalam. Sehabis latihan renang, aku segera naik ke darat dan mengeringkan badanku. Dengan handuk melilit di pinggang seperti sehelai sarung, aku menghampiri Lucy. Teman-temannya telah pergi. Lucy memakai celana pendek dan T-shirt berwarna putih. Sebelah kakinya menjejak di dasar perahu dayung plastik, sehingga perahu itu terombang-ambing di air yang dangkal. "Hai," aku menyapanya. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku tidak tahu harus berkata apa. "Hai," sahut Lucy. Ia tidak tersenyum. Ia cuma menatapku dengan matanya yang gelap. Tahu-tahu ia berbalik dan langsung berlari menjauh. "Hei...!" aku berseru. Aku berusaha mengejarnya, tapi terpaksa berhenti karena handukku copot. "Hei, Lucyada apa, sih?" Lucy menghilang di balik pondok Kerajinan Tangan. Ia kabur tanpa menoleh lagi ke arahku. Aku tahu apa masalahnya, pikirku dengan sedih. Ia tidak mau berteman dengan orang yang tidak waras. Orang yang percaya bahwa kepala bisa copot begitu saja. Orang yang percaya bahwa hutan penuh hantu yang melolong-lolong. Aku kembali melilitkan handuk. Sam dan Joey dan beberapa anak lain memandang ke arahku dari tepi danau. Mereka tampak cengar-cengir. Aku yakin mereka melihat Lucy lari meninggalkanku. "Barangkali napasmu tidak sedap," Joey berkelakar. "Makanya, sikat gigi, dong!" Sam menimpali. Lalu semuanya berguling-guling di tanah sambil melolong-lolong. *** Sesudah makan siang, kami diberi waktu untuk menulis surat. Para pembina menyuruh semua peserta masuk ke pondok untuk menulis surat kepada orangtua masing-masing. Sesuai peraturan Camp Spirit Moon, seminggu sekali setiap peserta harus memberi kabar kepada orangtuanya. "Supaya mereka tidak cemas," kata Paman Marv sewaktu makan siang. "Beritahu mereka bahwa kalian benar-benar senang di sini. Kalian kan belum pernah berlibur seasyik ini. Betul, tidak?"

"Yohhhhhhh, Spirits!" semuanya berseru. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu betah di sini. Terus terang saja, liburan kali ini termasuk liburan paling buruk yang pernah kualami. Tapi aku memutuskan untuk tidak menyinggung soal itu dalam suratku. Aku naik ke tempat tidur dan mulai memikirkan apa yang harus kuceritakan kepada Mom dan Dad. Tolong jemput aku segera - itu yang hendak kutulis. Orang-orang di sini aneh. Alex dan aku benar-benar ngeri. Tapi tentu saja aku tidak mungkin menulis begitu. Aku mengintip adikku di tempat tidur bawah. Ia sedang duduk membungkuk sambil sibuk menulis. Kelihatannya lancar sekali. "Apa yang kautulis?" aku bertanya padanya. "Aku bercerita tentang acara unjuk bakat," ia menyahut. "Aku bakal jadi bintangnya. Dan aku juga akan ikut pertunjukan musik minggu depan." "Bagus," aku bergumam. Aku memutuskan bahwa cuma hal-hal yang menyenangkan saja yang akan kuceritakan kepada orangtua kami. Untuk apa membuat mereka kuatir? Untuk apa membuat mereka menyangka bahwa aku sudah mulai tidak waras? Kalau Alex tidak menyinggung kejadian-kejadian aneh yang ada di sini, kataku dalam hati, aku juga tidak akan mengungkit-ungkitnya. Aku mulai menulis: Dear Mom dan Dad, Camp Spirit Moon ternyata lebih mengasyikkan dari yang pernah terbayang olehku... *** "Acara sehabis makan malam adalah penjelajahan," Paman Marv mengumumkan. Atap ruang makan serasa mau runtuh karena sorak-sorai menyambut pengumuman itu. "Penjelajahan ke mana?" seseorang bertanya. Paman Marv tersenyum simpul. "Tentu saja jauh ke tengah hutan." Semua anak langsung teringat cerita hantu Paman Marv. Ada yang kembali bersorak-sorai. Ada pula yang tertawa. Alex dan aku bertukar pandang. Tapi ternyata acara menjelajah hutan itu cukup seru. Bulan purnama membuat hutan seakan-akan bercahaya. Kami menyusuri jalan setapak yang berbelok mengitari tepi danau.

Semua orang tampak riang gembira. Saking seringnya kami menyanyikan lagu kebesaran Camp Spirit Moon, aku hampir hapal kata-katanya! Di suatu tempat di pinggir danau, dua ekor rusa muncul di jalan setapak. Seekor rusa betina bersama anaknya. Anaknya lucu sekali. Tampangnya persis seperti Bambi. Kedua rusa itu menatap kami. Mereka mengerutkan hidung, seolah-olah hendak berkata, "Hei, sedang apa kalian di hutan kami?" Kemudian keduanya kembali menyelinap ke antara pohon-pohon. Jalan setapak yang kami ikuti membawa kami ke sebuah lapangan terbuka. Ketika kami melangkah keluar dari pepohonan, tanah di depan seakan-akan bersinar. Cahaya bulan begitu terang, sehingga aku merasa bisa melihat setiap semak, setiap daun, setiap batang rumput. Indah sekali. Perasaanku mulai tenteram. Sam, Joey, dan aku berjalan sambil bernyanyi dan mencari kata-kata lucu untuk lagu-lagu yang kami kenal. Ada satu lagu yang kami ulangi sampai dua puluh kali-sampai anak-anak lain memohon-mohon agar kami berhenti. Kenapa aku begitu gugup selama ini? aku bertanya dalam hati. Aku sudah mendapatkan teman-teman baru yang menyenangkan di Camp Spirit Moon. Aku benar-benar senang di sini. Perasaan gembira itu bertahan sampai kami kembali ke perkemahan. Kabut hitam telah turun lagi. Kami disambut gumpalan-gumpalan kabut yang bergulung-gulung. Langit, tanah, seluruh perkemahan terselubung kabut hitam yang dingin dan lembap. "Sepuluh menit lagi semua lampu sudah harus mati," Paman Marv mengumumkan. Semua anak bergegas ke pondok masing-masing. Tapi sepasang lengan yang kuat menahanku dari belakang. "Hei...!" aku berseru. Aku tak sanggup berbuat apa-apa ketika aku ditarik ke hutan. "Sssst," seseorang berbisik ke telingaku. Aku berbalik. Ternyata Lucy. "Hei, apa-apaan ini?" aku bertanya padanya. "Kita kan disuruh kembali ke pondok. Kita harus bersiap-siap untuk..." "Sssst," ia kembali mendesis. Matanya yang gelap mengamati wajahku. Rasanya aku melihat air mata di pipinya yang pucat. Gumpalan-gumpalan kabut melayang-layang di sekeliling kami. Lucy mengendurkan cekalannya. Tapi pandangannya seakan-akan terkunci pada mataku. "Harry, kau harus menolongku," bisiknya. Aku menelan ludah. "Ada apa sih, Lucy?" "Kurasa kau sudah tahu," jawabnya pelan. "Semuanya benar. Yang kaupikirkan

selama ini. Semuanya benar." Aku tidak mengerti. Saking bingungnya, aku cuma bisa melongo. "Kami hantu, Harry," Lucy memberitahuku. "Kami semua hantu di sini." "Tapi, Lucy..." aku mulai berkata. "Ya." Ia mengangguk dengan sedih "Ya. Ya. Ya. Aku sendiri juga."

Chapter 19 POHON-POHON menghilang di balik kabut. Cahaya bulan menyebabkan mata Lucy berkilau-kilau seperti sepasang mutiara hitam. Tapi sinar itu segera meredup ketika kabut mulai menyelubungi bulan. Mataku tidak berkedip. Aku tidak bergerak. Tiba-tiba saja seluruh tubuhku kaku bagaikan pohon-pohon yang terselubung kabut. "Kau - kau cuma bercanda, kan?" aku tergagap-gagap. "Ini cuma lelucon khas Camp Spirit Moon - ya, kan?" Tapi sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Sorot matanya yang gelap telah menjawab pertanyaanku. "Aku hantu," ia menyahut dengan sedih. "Cerita-cerita itu - semuanya benar, Harry." Tapi aku tidak percaya hantu! Itulah yang hampir saja kukatakan padanya. Tapi bagaimana mungkin aku tidak percaya kalau aku sedang berhadap-hadapan dengan hantu? Bagaimana mungkin aku tidak percaya ucapan Lucy? "Aku percaya," bisikku. Ia menghela napas. Lalu memalingkan wajah. "Bagaimana kejadiannya?" "Persis seperti yang diceritakan Paman Marv," jawabnya. "Waktu itu kami duduk mengelilingi api unggun. Semuanya. Persis seperti waktu kalian baru datang. Lalu muncul kabut. Kabut tebal dan gelap." Ia kembali menghela napas. Dalam gelap pun aku bisa melihat butir-butir air mata yang bergulir di pipinya. "Ketika kabut itu akhirnya berlalu," Lucy melanjutkan, "kami semua sudah mati. Kami semua sudah jadi hantu. Dan sejak itu kami berada di sini. Cuma itu yang bisa kujelaskan padamu. Soalnya cuma itu yang aku tahu."

"T-tapi kapan kejadiannya?" aku bertanya. "S-sudah berapa lama kau jadi hantu, Lucy?" Ia angkat bahu. "Entahlah. Aku sudah lupa waktu. Hantu tidak kenal waktu. Kami cuma tahu hari ini dan hari berikut. Dan hari berikutnya lagi." Aku menatapnya sambil membisu. Aku merinding. Bulu kudukku berdiri. Seluruh tubuhku gemetaran. Aku meraih tangan Lucy. Aku tidak tahu kenapa. Barangkali aku ingin memastikan apakah ia berkata benar atau tidak. Apakah ia benar-benar hantu atau cuma bercanda. "Oh!" Rasa dingin menjalar ke lenganku, dan aku langsung melepaskan tangan Lucy. Tangannya dingin sekali. Sedingin kabut hitam yang bergulung-gulung. "Sekarang kau percaya?" ia bertanya lembut. Sekali lagi ia mengamatiku dengan matanya yang gelap. Aku mengangguk. "Y-ya," aku tergagap-gagap. "Aku percaya, Lucy." Ia tidak menyahut. Tanganku masih terasa dingin. "Genangan-genangan biru itu," aku bergumam. "Genangan-genangan biru yang lengket di lantai pondok. Kautahu, apa itu?" "Ya," kata Lucy. "Itu protoplasma." "Hah? Protoplasma?" Ia mengangguk. "Genangan-genangan itu timbul kalau kami menampakkan diri. Kalau kami berubah wujud." Wajahnya berkerut-kerut. "Berubah wujud benar-benar menguras tenaga. Begitu banyak energi yang harus dikerahkan. Dan genangan-genangan itu timbul kalau kami menggunakan energi itu." Aku tetap belum mengerti. Tapi sejak awal aku memang sudah merasa bahwa ada yang aneh dengan lendir biru itu. Dan ternyata lendir itu merupakan jejak hantu. "Bagaimana dengan hal-hal yang dilihat Alex dan aku?" aku bertanya. "Anak-anak yang melayang-layang di atas tempat tidur? Mata mereka yang menyala dalam gelap? Anak-anak yang menusuk diri sendiri tapi tidak berdarah? Dan tidak kesakitan?" "Beberapa temanku memang mencoba menakut-nakuti kalian," Lucy mengakui. "Tapi mereka cuma main-main, Harry. Hantu seperti kami jarang mendapat hiburan. Percayalah. Jangan kausangka kami senang menghabiskan hari demi hari di sini sebagai arwah gentayangan. Bayangkan saja, kami takkan pernah tumbuh dewasa. Kami takkan berubah." Ia terisak-isak. "Kami takkan pernah bisa

menikmati hidup normal!" "A-aku ikut bersedih," aku tergagap-gagap. Sekonyong-konyong roman mukanya berubah. Ia memicingkan mata. Dan mengembangkan senyum yang membuatku merinding. Aku mundur selangkah. Tiba-tiba saja aku merasa ngeri. "Tolonglah aku, Harry," Lucy berbisik. "Aku tidak tahan lagi. Kau harus menolongku supaya aku bisa pergi dari sini." "Pergi dari sini?" seruku. Aku kembali mundur selangkah. "Tapi, bagaimana caranya?" "Aku harus menguasai pikiranmu," Lucy mendesak. "Aku harus mengambil alih tubuhmu."

Chapter 20 "JANGAN!" aku memekik tertahan. Aku langsung panik. Setiap otot di tubuhku mendadak tegang. Pelipisku berdenyut-denyut. "Aku harus menguasai pikiranmu, Harry," Lucy mengulangi seraya menghampiriku. "Aku mohon, tolonglah aku." "Jangan! Jangan!" Rasanya aku ingin berbalik dan kabur. Tapi aku tidak bisa bergerak. Kakiku terasa seperti agar-agar. Seluruh tubuhku gemetaran. Aku tidak percaya hantu. Pikiran itu melintas dalam benakku. Aku berdiri di tepi hutan dan menatap Lucy. Menatap arwah Lucy. Kabut bergulung-gulung di sekeliling kami. Sekali lagi aku berusaha lari. Tapi kakiku tidak mau diajak kerja sama. "A-apa yang akan kaulakukan padaku?" aku akhirnya bertanya dengan suara parau. "Kenapa kau harus menguasai pikiranku?" "Itu satu-satunya cara supaya aku bisa pergi dari sini," balas Lucy. Ia menatapku dengan tajam. "Satu-satunya cara." "Kenapa kau tidak pergi begitu saja?" tanyaku. Ia menghela napas. "Kalau aku nekat pergi sendiri dari sini, aku akan lenyap. Aku

akan memudar kalau aku meninggalkan yang lain. Aku akan terserap oleh kabut ini." "A-aku tidak mengerti," aku tergagap-gagap. Aku mundur selangkah. Kabut yang dingin dan lembap itu seakan-akan mencengkeramku. Lucy berdiri setengah meter di hadapanku. Tapi aku nyaris tak bisa melihatnya. Ia tampak seperti bayangan di balik kabut. "Aku butuh bantuan." Suaranya pelan sekali. Aku harus pasang telinga supaya bisa mendengarnya. "Satu-satunya cara bagi hantu untuk lolos dari sini adalah dengan mengambil alih pikiran orang yang masih hidup." "Tapi - itu tidak mungkin!" aku memekik. Ucapanku benar-benar konyol, kataku dalam hati. Melihat hantu juga tidak mungkin! Segala sesuatu yang kualami di sini sebenarnya tidak mungkin terjadi. Tapi nyatanya terjadi juga. "Aku harus menguasai jiwa dan raga orang yang masih hidup," Lucy menjelaskan. "Aku harus mengambil alih tubuhmu, Harry. Aku memerlukannya untuk pergi dari sini." "Jangan!" aku kembali memekik. "Aku tidak bisa! Maksudku..." Jantungku berdegup begitu kencang sehingga aku nyaris tak sanggup bicara. "Aku tidak bisa membiarkanmu mengambil alih pikiranku," kataku akhirnya. "Sebab kalau kau lakukan, aku bukan aku lagi." Aku mundur pelan-pelan. Aku harus kembali ke pondok, aku berkata dalam hati. Aku harus mencari Alex. Kami harus kabur dari perkemahan ini. Secepat mungkin. "Jangan takut," Lucy memohon. Ia mengikutiku. Kabut berputar-putar di sekeliling kami, seakan-akan tidak rela melepaskan kami. "Kau tak perlu takut," Lucy menegaskan. "Begitu kita sudah jauh dari sini, aku akan keluar lagi. Aku akan keluar dari pikiranmu. Aku akan keluar dari badanmu. Aku berjanji, Harry. Begitu kita berhasil lolos dari sini, aku akan membebaskanmu. Kau bakal jadi dirimu lagi. Kau akan kembali seperti semula." Aku berhenti. Seluruh tubuhku gemetaran. Karena kedinginan dan karena ngeri. "Tolonglah aku, Harry," Lucy memohon. "Tolonglah. Kau tak perlu kuatir. Aku berjanji kau akan baik-baik saja." Aku menatapnya sambil memicingkan mata. Haruskah aku menolongnya? Haruskah aku membiarkan Lucy menguasai pikiranku? Apakah ia akan mengembalikannya? Apakah ia bisa dipercaya?

Chapter 21 LUCY melayang-layang di hadapanku. Matanya yang gelap seakan-akan memohon padaku. "Tolonglah," ia berbisik. "Tidak. Maafkan aku. Tapi aku tidak bisa." Kata-kata itu kuucapkan tanpa kusadari. "Aku tidak bisa, Lucy." Ia memejamkan mata. Aku melihat otot rahangnya mengencang ketika ia mengertakkan gigi. "Aku menyesal, tapi aku tidak bisa menolongmu," aku menegaskan sambil melangkah mundur. "Aku juga," ia menyahut dengan dingin. Ia memicingkan mata. Lalu menyeringai. "Aku sungguh menyesal, Harry. Tapi kau tidak punya pilihan. Kau harus menolongku!" "Tidak! Tidak!" Aku berbalik dan berusaha kabur. Tapi ada sesuatu yang menahanku. Kabut itu. Kabut itu mencengkeramku erat-erat. Kabut yang tebal dan lembap itu bergerak mengelilingiku, mendorongku, menahanku tetap di tempat. Aku mencoba berteriak minta tolong. Tapi teriakanku diredam oleh kabut. Sementara itu Lucy hilang ditelan kabut hitam. Dan kemudian aku merasakan sesuatu yang dingin di puncak kepalaku. Kulit kepalaku seperti kesemutan. Aku meraih ke atas dengan kedua tangan. Dan menyentuh es. Seolah ada lapisan embun beku yang menyelimuti kepalaku. "Jangan!" aku menjerit. "Lucy - jangan!" Rasa dingin itu masuk ke kepalaku. Wajahku seperti beku. Aku menggosok-gosok pipi. Pipiku mati rasa. Dingin dan mati rasa. "Lucy - jangan!" aku memohon. Aku merasakan kehadirannya di dalam badanku - begitu ringan, begitu dingin. Perlahan-lahan ia mulai menyusup ke otakku. Menyusup... menyusup...

Aku seperti mau tertidur lelap. Rasa dingin itu menjalar ke seluruh tubuhku. Melewati leherku. Merambat ke dadaku. "Jangaaaan!" aku melolong. Aku memejamkan mata. Aku tahu aku harus berkonsentrasi. Aku harus memusatkan pikiran. Aku harus tetap terjaga. Aku tidak boleh menyerah. Lucy tidak boleh menang. Ia tidak boleh menyingkirkan diriku. Ia tidak boleh menguasai jiwa dan ragaku. Aku mengertakkan gigi. Dan terus memejamkan mata. Dan mengencangkan setiap otot. Tidak! pikirku. Kau tidak bisa berbuat begini padaku, Lucy! Kau takkan bisa merampas pikiranku! Kau takkan bisa merampas badanku. Takkan bisa - soalnya aku takkan membiarkanmu! Seluruh tubuhkku dingin bagaikan es. Dan aku begitu mengantuk... begitu mengantuk...

Chapter 22 "JANGAAAAN!" Aku menengadah dan kembali melolong panjang. Kalau aku terus berteriak, aku akan terus terjaga, kataku dalam hati. Dan dengan begitu aku bisa melawan Lucy. Aku bisa mencegahnya. "Jangaaaan!" aku berteriak ke arah kabut yang bergulung-gulung dan berputarputar di sekelilingku. "Jangaaaan!" Berangsur-angsur tubuhku mulai lebih hangat. "Jangaaaan!" Aku mengusap-usap lengan. Menggosok-gosok pipi. "Jangaaaan!" Tiba-tiba aku merasa lebih ringan. Dan seratus persen siaga. Berhasil! pikirku. Aku berhasil mencegah Lucy! Tapi berapa banyak waktu yang

kumiliki sebelum ia mencoba lagi? Aku menarik napas dalam-dalam. Satu kali, lalu sekali lagi. Aku bisa bernapas. Aku tetap aku - dan aku masih bernapas. Aku langsung merasa lebih kuat. Tanpa pikir panjang aku mulai berlari menerobos kabut. Sepatu ketsku berdebam-debam di tanah ketika aku menuju ke arah pondok. Semua lampu sudah mati. Anak-anak lain sudah berada di tempat tidur masingmasing. Aku menyerbu masuk dan membanting pintu kawat nyamuk. "Hei, ada apa?" tanya Sam. Aku tidak menyahut. Aku melintasi ruangan. Mencekal pundak Alex. Dan mengguncangnya keras-keras. "Ayo bangun. Cepat," aku memerintahnya. "Hah?" Alex menatapku dengan terkantuk-kantuk. Tanpa berkata apa-apa aku mengambil celana pendek dan sepatu ketsnya. Anak-anak yang lain juga terbangun. Joey duduk tegak di tempat tidurnya. "Harry - dari mana saja kau?" tanyanya. "Lampu sudah dimatikan sepuluh menit lalu," ujar Sam. "Gara-gara kau kita semua bakal dimarahi." Aku tidak menggubrisnya. "Alex - cepat!" aku berbisik. Begitu tali sepatunya terikat, aku meraih lengannya dan menariknya keluar pintu. "Harryada apa, sih?" tanyanya. "Heikalian mau ke mana?" aku mendengar Joey memanggil. Aku menarik Alex keluar. Pintu kawat nyamuk kubiarkan terbanting di belakang kami. "Lari!" seruku. "Nanti kujelaskan semuanya. Kita harus pergi dari sinisekarang juga!" "Tapi, Harry..." Aku menarik Alex melintasi rumput. Cahaya bulan menembus kabut yang telah menipis. Kami mengikuti jalan setapak ke tepi hutan. Berulang kali kami tergelincir di rumput yang basah. Selain bunyi langkah kami, hanya ada suara jangkrik dan daun-daun cemara yang berdesir karena tiupan angin. Setelah berlari satu atau dua menit, Alex hendak berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Jangan," aku melarangnya. "Kita tidak boleh berhenti. Mereka akan mengejar kita. Mereka akan menemukan kita." "Tapi kita mau ke mana?" tanya Alex. "Ke tengah hutan," aku berkata padanya. "Pokoknya sejauh mungkin dari perkemahan."

"Tapi aku tidak kuat lagi, Harry," Alex mengeluh. "Pinggangku sakit dan..." "Mereka semua hantu!" aku berseru. "Alex - aku tahu kedengarannya tidak masuk akal - tapi kau harus percaya. Anak-anak. Para pembina. Paman Marv. Semuanya hantu!" Raut wajah Alex langsung berubah. "Aku tahu," ia menyahut pelan. "Hah? Tahu dari mana?" tanyaku. Kami bersembunyi di balik dua batang pohon yang tumbuh berdampingan. Sayupsayup terdengar gemercik air dari riak-riak di tepi danau. Kami masih terlalu dekat dengan perkemahan, pikirku. Aku menarik adikku ke arah berlawanan. Menjauhi danau. Kami menerobos ilalang dan semak belukar, dan semakin jauh memasuki hutan. "Alex - kau tahu dari mana?" aku bertanya sekali lagi. "Elvis yang memberitahuku," jawabnya sambil menyeka keringat yang membasahi keningnya. Kami merunduk di bawah semak berduri. Duri-durinya menggores bagian atas kepalaku. Tapi aku tidak peduli, dan terus bergegas maju. "Elvis bilang bahwa cerita tentang kabut hantu itu benar," Alex melanjutkan. "Tadinya kupikir dia cuma mau menakut-nakutiku. Tapi setelah itu dia - dia..." Alex tidak menyelesaikan kalimatnya. Kami sampai di sebuah lapangan kecil. Cahaya bulan membuat rumput berkilau keperakan. Aku memandang berkeliling. Aku tidak tahu ke mana kami harus berlari. Aku menepuk seekor nyamuk yang hinggap di lenganku. "Apa yang dilakukan Elvis?" aku bertanya pada Alex. Alex mengusap rambutnya. "Dia mencoba merampas pikiranku, jawabnya dengan suara gemetaran. "Dia melayang-layang di tengah kabut. Dan aku tiba-tiba sangat kedinginan." Aku mendengar bunyi ranting patah. Daun-daun kering berderak-derak. Apakah ada yang datang? Kami merapat ke batang pohon dan pasang telinga. Hening. "Barangkali ada tupai, atau tikus tanah, atau sebangsanya," bisik Alex. "Bisa jadi," ujarku pelan. Cahaya bulan menerobos pucuk dedaunan. Bayangan-bayangan hitam tampak menari-nari di lapangan. "Kita harus jalan lagi," ujarku. "Kita masih terlalu dekat ke perkemahan. Kalau hantu-hantu itu mengikuti kita..." Aku merinding. Aku tidak berani membayangkan apa yang bakal terjadi kalau hantu-hantu itu benar-benar mengikuti kami. Dan menangkap kami...

Jalan raya di sebelah mana?" Alex bertanya sambil memandang berkeliling. "Letaknya tidak terlalu jauh dari perkemahan - ya, kan? Kalau kita bisa sampai ke situ, kita bisa menumpang mobil yang lewat." "Ide bagus," ujarku. Kenapa hal itu tidak terpikir olehku? Tapi kami telah berada di tengah-tengah hutan. Jauh dari jalan raya. Aku bahkan tidak tahu di sebelah mana letaknya. "Pasti ke arah situ," Alex berkata sambil menunjuk. "Bukan. Kalau lewat situ, kita bakal kembali ke perkemahan," aku membantah. Alex hendak menyahut - tapi bunyi degup yang keras membuatnya terdiam. "Suara apa itu?" ia berbisik. Aku juga mendengarnya. Lalu terdengar sekali lagi. Bunyi degup yang keras. Dan sangat dekat. "Barangkali suara binatang?" aku menduga-duga. "R-rasanya bukan," Alex tergagap-gagap. DAG-DUG. Lebih keras dari sebelumnya. Jangan-jangan ada hantu, aku berkata dalam hati. Mungkinkah salah satu dari mereka berhasil menemukan kami? "Cepat - lewat sini!" aku mendesak. Aku menyambar pergelangan tangan Alex dan menariknya dengan keras. Kami harus menjauh dari sumber bunyi yang menakutkan itu. DAG-DUG. Lebih keras lagi. "Aduh, kita salah jalan!" aku berseru. Kami berbalik dan bergegas kembali ke lapangan terbuka. DAG-DUG. "Ke mana?" Alex memekik. "Kita harus ke mana?" DAG-DUG. Dan kemudian sebuah suara besar menggeram dari atas, "KENAPA KALIAN BERDIRI DI JANTUNGKU?"

Chapter 23 BUMI bergetar dan berguncang. Alex dan aku sama-sama memekik kaget. Tapi teriakan kami ditelan bunyi gemuruh yang semakin lama semakin keras. Tanah tempat kami berpijak mendadak amblas. Alex dan aku mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika kami terjatuh. Aku mendarat dalam posisi merangkak. Alex terempas dalam posisi telentang. Bumi terus terguncang-guncang. "I-ini si monster!" Alex menjerit. Tidak mungkin! pikirku sambil berusaha bangkit. Monster itu cuma ada dalam cerita. Dalam cerita hantu yang konyol. Tidak mungkin ada monster di tengah hutan. Aku membantu Alex berdiri. Tapi bumi kembali bergetar, sehingga kami jatuh berlutut lagi. DAG-DUG. DAG-DUG. "Tidak mungkin!" aku berseru. "Ini tidak..." Aku membelalakkan mata dengan ngeri ketika sebuah kepala besar muncul di hadapan kami. Matanya merah membara, bagaikan api - bulat, mengerikan, dan menyala-nyala. Tampangnya berkerut-kerut dan sangat jelek. Makhluk itu memelototi kami. "S-si monster!" Alex tergagap-gagap. Kami sama-sama berlutut dan terguncang-guncang dengan hebat. Makhluk itu membuka mulutnya yang besar menganga bagaikan gua. Aku melihat giginya yang kuning dan runcing berderet-deret. Perlahan-lahan kepalanya mendekati kami. Perlahan tapi pasti. Mulutnya terbuka lebar. Siap menelan kami. Dengan kalang kabut Alex dan aku berusaha menjauhinya. "Harry...! Harry...!" Alex memanggil-manggil namaku dengan suara melengking. "Kita mau dimakan! Kita mau ditelan bulat-bulat!" Dan kemudian - tiba-tiba saja - aku mendapat ide.

Chapter 24 MONSTER raksasa itu menggeram. Keras sekali. Mulutnya membuka semakin lebar. Lidahnya yang berwarna ungu menjulur ke luar. Aku memekik tertahan ketika menyadari bahwa lidahnya penuh bulu yang kaku. "Awas, Alex!" teriakku. Terlambat. Tanah mendadak terangkat, sehingga kami terlempar ke udara dan jatuh tepat di lidah si monster. "Awwwww!" kami menjerit berbarengan. Bulu-bulu kaku di lidahnya menusuk tajam bagaikan duri kaktus. Kami terbawa masuk ke mulut makhluk itu. "Kita tidak percaya monster," kataku kepada Alex. Aku terpaksa berteriak untuk mengalahkan bunyi geraman si monster. Lidahnya membawa kami semakin dekat ke deretan gigi kuning yang mengerikan. "Kita tidak percaya monster!" seruku. "Monster cuma ada dalam dongeng. Monster ini tidak nyata. Kalau kita tidak percaya, dia akan lenyap dengan sendirinya!" Seluruh tubuh Alex terguncang-guncang. Ia melipat kaki dan menekuk badan, sehingga menyerupai bola. "Rasanya dia benar-benar ada!" Alex menyahut dengan susah payah. Lidah si monster terus bergerak mundur. Aku bisa mencium bau napasnya yang busuk. Aku melihat noda-noda hitam di giginya yang runcing. "Pusatkan pikiran!" aku memberi instruksi pada adikku. "Kami tidak percaya monster. Kami tidak percaya monster." Alex dan aku terus mengulangi kata-kata itu. "Kami tidak percaya monster. Kami tidak percaya monster." Kami terbawa masuk ke mulutnya. Aku mencoba berpegangan pada salah satu gigi. Tapi permukaannya terlalu licin. Tanganku terlepas. Dan kami pun ditelan. Kami meluncur turun. Menuju kegelapan yang masam. "Kami tidak percaya monster. Kami tidak percaya monster," Alex dan aku terus mengulangi. Tapi suara kami nyaris tak terdengar ketika kami meluncur di kerongkongan makhluk itu. "Harrykita ditelan!" Alex meratap. "Jangan berhenti!" sahutku. "Kalau kita tidak percaya monster, dia tidak mungkin ada!" "Kami tidak percaya monster. Kami tidak percaya monster." Gumpalan air liur menerpaku. Aku langsung mual ketika cairan memuakkan itu

membasahi pakaianku, kulitku - rasanya begitu panas dan lengket. Dinding kerongkongan si monster berdenyut-denyut. Kami terus meluncur turun. Menuju ke lambung yang terdengar bergolak jauh di bawah. "Ohhh." Alex mengerang. Ia juga terselubung ludah kental. "Jangan berhenti! Kita pasti selamat! Pasti!" aku berteriak. "Kami tidak percaya monster! Kami tidak percaya monster!" "Kami tidak percaya monster!" Alex dan aku memekik-mekik ketika kami mulai melayang-layang. Melayang-layang ke lambung yang siap mencerna kami.

Chapter 25 AKU memejamkan mata. Dan bersiap-siap untuk tercebur. Bersiap-siap untuk terempas ke dasar lambung. Aku menunggu. Dan menunggu. Ketika aku membuka mata, aku telah berdiri di tanah yang kokoh. Aku berdiri di samping Alex di tengah lapangan rumput. Pohon-pohon pinus tampak berayun-ayun tertiup angin. Bulan purnama mengintip dari balik awan-awan tipis. "Hei...!" aku berseru. Aku gembira sekali karena bisa mendengar suaraku sendiri. Aku begitu gembira karena melihat langit. Melihat tanah. Begitu gembira karena bisa menghirup udara yang sejuk. Alex mulai berputar. Ia berputar-putar bagaikan gasing. Sambil tertawa riang. "Kami tidak percaya monster!" serunya. "Kami tidak percaya monster - dan ternyata berhasil!" Kami sama-sama sangat gembira karena monster itu telah lenyap. Aku meniru Alex. Berputar-putar sambil tertawa. Tapi kemudian kami berhenti ketika menyadari kami ternyata tidak sendirian. Aku memekik kaget sewaktu melihat wajah-wajah yang mengelilingi kami. Wajah-wajah pucat, dengan mata menyala-nyala. Aku mengenali Sam, dan Joey, dan Lucy, dan Elvis. Alex dan aku saling merapat ketika para peserta perkemahan - para arwah gentayangan - mulai membentuk lingkaran. Untuk mengepung kami berdua.

Paman Marv melangkah ke tengah lingkaran. Matanya yang kecil tampak membara bagaikan api. Dengan geram ia memicingkan mata dan menatap kami. "Tangkap mereka!" ia memerintahkan dengan lantang. "Bawa mereka kembali ke perkemahan. Tak ada yang bisa lolos dari Camp Spirit Moon." Beberapa pembina bergegas maju untuk menangkap kami. Kami tidak bisa bergerak. Kami tidak bisa melarikan diri. "Apa yang akan kalian lakukan pada kami?" aku berseru.

Chapter 26 "KAMI membutuhkan anak-anak yang hidup," Paman Marv berkata dengan suaranya yang menggelegar. "Kami tidak bisa membiarkan anak-anak seperti kalian lolos dari sini. Kecuali kalau mereka mau membawa salah satu dari kami." "Jangaaan!" Alex meratap. "Kalian tidak boleh merampas pikiranku! Tidak boleh! Takkan kubiarkan kalian melakukannya!" Kepungan mereka semakin rapat. Mereka terus bergerak maju. Aku berusaha mengendalikan kakiku yang gemetaran. Berusaha menenangkan jantungku yang berdegup kencang. "Alex - kita juga tidak percaya hantu," aku berbisik. Sejenak ia menatapku dengan bingung. Tapi kemudian ia mengerti. Kami berhasil melenyapkan monster tadi karena kami tidak percaya bahwa ia benar-benar ada. Kami bisa melakukan hal yang sama dengan gerombolan hantu ini. "Tangkap mereka. Bawa mereka kembali ke perkemahan," Paman Marv memberi perintah kepada para pembina. "Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu," Alex dan aku mulai berkata. "Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu." Aku menatap wajah-wajah pucat yang mengelilingi kami, dan menunggu mereka semua lenyap. Aku terus mengulangi mantra kami bersama adikku. Lebih cepat. Lebih keras. "Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu." Aku memejamkan mata. Rapat-rapat. Dan ketika aku membuka mata lagi...

Hantu-hantu itu masih mengepung kami. "Kau tidak bisa membuat kami lenyap, Harry," ujar Lucy seraya melangkah maju. Ia menatapku sambil memicingkan mata. Kedua matanya berkilau dingin keperakan dalam cahaya bulan. "Monster itu bisa dilenyapkan karena dia memang tidak nyata. Monster itu cuma tipuan kami," Lucy menjelaskan. "Kami mengelabui kalian. Tapi kami benar-benar ada! Kami semua! Dan kami tidak akan lenyap begitu saja." "Kami takkan pergi," Elvis menambahkan sambil menghampiri adikku. "Kami justru akan semakin dekat. Jauh lebih dekat." "Aku akan mengambil alih jiwamu," Lucy berbisik padaku. "Aku akan lolos dari Camp Spirit Moon dengan menggunakan jiwa dan ragamu." "Jangaaan! Kumohonjangan!" aku memprotes. Aku berusaha mundur. Tapi arwah-arwah yang lain mencegahku. "Tidak bisa! Aku takkan membiarkanmu!" aku memekik di hadapan Lucy. Saking ngerinya, aku sampai tidak bisa bergerak. "Jangan ganggu aku!" Alex berseru kepada Elvis. Hutan mendadak gelap ketika awan-awan melintas menutupi bulan. Mata para hantu di sekelilingku seakan-akan menyala semakin terang. Aku melihat Elvis mengulurkan tangan ke arah adikku. Dan kemudian pandanganku terhalang oleh Lucy. Ia mulai melayang. Kakinya terangkat dari tanah. Ia melayang ke atasku. "Jangan! Jangan!" aku menjerit. Kulit kepalaku mulai serasa ditusuk-tusuk. Aku merasakan hawa dingin menjalar ke tubuhku. Hawa dingin dari arwah Lucy. Aku merasakannya merasuki pikiranku. Mengambil alih jiwaku. Dan aku sadar aku tidak mungkin lolos.

Chapter 27 "AWAS, Lucy! Aku duluan!" aku mendengar sebuah suara berseru. "Enak saja!" teriak salah satu anak laki-laki. "Ayo, minggir kalian semua. Paman Marv bilang aku yang dapat giliran pertama." Rasa dingin yang merasuki tubuhku berangsur-angsur lenyap.

Aku membuka mata dan melihat Lucy berdiri di tanah lagi. Dan anak-anak lain tengah menarik-narik tubuhnya. "Lepaskan aku!" seru Lucy, terhuyung-huyung mundur. "Aku yang paling dulu melihatnya!" "Siapa cepat, dia dapat!" arwah lain menimpali. Baru aku sadar ternyata mereka bertengkar karena memperebutkan aku. Mereka berhasil menyingkirkan Lucy. Dan sekarang mereka bertengkar untuk menentukan siapa yang akan mengambil alih jiwaku. "Hei - lepaskan aku!" salah satu hantu memprotes. Aku melihatnya bergulat dengan hantu lain. Mereka bergulat dan bergelut, saling mendorong dan menarik. Para pembina juga tidak mau ketinggalan. "Berhenti! Berhenti!" suara Paman Marv membahana. Ia berusaha melerai para peserta perkemahan. Tapi mereka tidak menggubrisnya, dan terus saja bertengkar dan bergulat. Aku membelalakkan mata dengan ngeri ketika mereka mulai berputar-putar mengelilingiku. Makin lama makin cepat. Aku berada di tengah-tengah lingkaran hantu yang bergulat, bertengkar, dan berteriak-teriak. Cewek, cowok, para pembina, Paman Marv - semuanya berputar-putar sambil saling mendorong dan menarik. Makin cepat. Dan lebih cepat lagi. Mereka berputar-putar mengelilingi Alex dan aku. Dan kemudian cahaya bulan meredup. Meredup hingga menyerupai asap kelabu. Gumpalan-gumpalan asap yang melayang ke pepohonan. Dan menghilang di antara dahan yang bergoyang-goyang. Alex dan aku tercengang keheranan. Kami menyaksikan kejadian itu sampai gumpalan asap terakhir menghilang dari pandangan. "Mereka pergi," ujarku dengan suara parau. "Mereka saling menggempur. Dan sekarang mereka telah pergi. Semuanya." Aku menggelengkan kepala. Dan menarik napas panjang. Jantungku masih berdegup kencang. Seluruh tubuhku gemetaran. Tapi aku baik-baik saja. Alex dan aku baik-baik saja. "Kau yakin mereka sudah pergi?" tanya Alex dengan suara sangat pelan. "Ya. Ayo, kita juga pergi dari sini," kataku seraya menarik tangannya. "Ayo. Cepat." Alex segera mengikutiku. "Mau ke mana kita?" "Ke jalan raya," ujarku. "Kita harus melalui perkemahan agar bisa sampai ke jalan raya. Lalu kita cegat mobil pertama yang lewat. Setelah itu kita cari telepon umum. Dan kita telepon Mom dan Dad." Aku menepuk punggung adikku. "Kita selamat, Alex!" seruku dengan gembira.

"Tidak lama lagi kita sudah sampai di rumah!" Kami bergegas menembus hutan. Menerobos semak belukar dan alang-alang. Mencari jalan yang paling cepat. Alex mulai bersenandung ketika kami menuju ke arah jalan raya. "Hei!" aku berseru. "Kau kenapa, Alex?" "Hah?" Ia menatapku dengan heran. Aku berhenti dan mencekal pundaknya. "Coba nyanyi lagi," aku menyuruhnya Ia kembali bernyanyi. Mengerikan! Suaranya mengerikan. Betul-betul sumbang dan fals. Aku menatap mata adikku. "Elvis - kau yang ada di dalam situ, ya?" seruku. "Kau yang ada di dalam tubuh adikku, ya?" Suara Elvis-lah yang keluar dari mulut Alex. "Tolong jangan beritahu siapa-siapa, Harry," ia memohon. "Aku bersumpah takkan bernyanyi lagi - asal kau berjanji untuk tidak memberitahu siapa-siapa!" END

Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com Convert & Re edited by: Farid ZE blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai