Novel Goosebumps seri ke-6 ini sebenarnya berjudul “Lets Get Invisible” yang
seharusnya diartikan “Ayo Jadi Tak Terlihat”. Tapi penerbitnya dari Indonesia
memberikan judul “Gara-gara Cermin Ajaib” mungkin karena lebih menarik
perhatian para konsumen dan lebih berdaya jual. Saya sengaja memberikan
terjemahan ini judul yang sama agar tidak menimbulkan kebingungan dan
mempermudah pencariannya di internet.
Seri ini juga cukup menarik dan menegangkan seperti seri-seri Goosebumps
lainnya.Saya harap hasil terjemahan ini cukup mudah dimengerti dan tidak
menyimpang jauh dari buku aslinya yang berbahasa Inggris, meskipun harus saya
akui terkadang saya mengalami kesulitan dalam penerjemahannya. Dan saya juga
berharap dapat menimbulkan ketegangan yang sama bagi para pembacanya seperti
bahasa aslinya.
Dan akhirnya, saya ucapkan “selamat membaca dan selamat mengalami
ketegangan”.
Farid ZE
Aku jadi tak terlihat pertama kali pada ulang tahunku yang kedua belas.
Dalam masalah ini, itu semua salah Whitey. Whitey adalah anjingku.
Dia hanyalah anjing kampung, blesteran anjing terrier dan anjing lainnya.
Seluruh tubuhnya berwarna hitam, jadi tentu saja kami menamainya Whitey.
Jika saja Whitey tak mengendus-endus di loteng ...
Yah, mungkin sebaiknya aku mundur sedikit dan mulai dari awal.
Ulang tahunku berlangsung pada hari Sabtu yang hujan. Itu adalah beberapa menit
sebelum anak-anak akan mulai berdatangan ke pesta ulang tahunku, jadi aku
bersiap-siap.
Bersiap-siap artinya menyisir rambutku.
Saudaraku selalu mempermasalahkan rambutku. Dia memberiku waktu yang sulit
karena aku menghabiskan begitu banyak waktu di depan cermin untuk menyisir
dan memeriksanya.
Masalahnya adalah aku kebetulan memiliki rambut yang indah. Rambutku sangat
tebal, semacam cokelat keemasan, dan sedikit agak bergelombang. Rambutku
keistimewaan terbaikku, jadi aku senang memastikannya terlihat oke.
Lagipula aku punya telinga yang sangat besar yang terlalu mencuat. Jadi aku harus
terus memastikan bahwa rambutku menutupi telingaku. Ini penting.
"Max, belakangnya masih kacau," kata saudaraku, Lefty, berdiri di belakangku saat
aku mengamati rambutku di depan cermin.
Namanya aslinya Nuh, tapi aku memanggilnya Lefty karena dia
satu-satunya dia orang yang kidal di keluarga kami. Lefty sedang melemparkan
bola kasti ke atas dan menangkapnya dengan tangan kirinya. Dia tahu dia tak
seharusnya melemparkan bola itu di sekitar rumah, tapi bagaimanapun juga dia
selalu melakukannya juga.
Lefty dua tahun lebih muda dariku. Dia bukan anak yang buruk, tetapi ia memiliki
energi terlalu banyak. Dia harus selalu melempar bola, mengetuk-ngetukkan
tangannya di meja, memukul sesuatu, berlarian, jatuh ke bawah, melompati benda-
benda, bergulat denganku. Kalian tahu maksudku. Ayah mengatakan Lefty punya
semut-semut di celananya. Itu adalah ungkapan yang bodoh, tapi sepertinya
menggambarkan saudaraku.
Aku berbalik dan memutar leher untuk melihat bagian belakang dari rambutku.
"Tak kacau, pembohong," kataku.
"Berpikirlah cepat!" Teriak Lefty, dan dia melempar bola kasti itu padaku.
Aku meraihnya dan gagal. Bola itu menabrak dinding tepat di bawah cermin
dengan debuman keras. Lefty dan aku menahan nafas, menunggu untuk melihat
apakah Ibu mendengar suara itu. Tapi dia tak mendengarnya. Kupikir ia berada di
dapur mengerjakan sesuatu pada kue ulang tahun.
"Itu bodoh," bisikku pada Lefty. "Kau hampir memecahkan cermin. "
"Kau yang bodoh," katanya. Khas.
"Mengapa kau tak belajar untuk melempar dengan tangan kanan? Lalu mungkin
aku bisa menangkapnya, kadang-kadang, "kataku padanya.
Aku suka menggodanya tentang kekidalannya karena dia benar-benar
membencinya.
"Kau bau," katanya, mengambil bola kasti itu.
Aku sudah terbiasa untuk itu. Dia mengatakannya seratus kali sehari. Kukira dia
berpikir itu cerdas atau seperti itu.
Dia anak yang baik untuk usia sepuluh tahun, tetapi ia tak punya banyak kosa kata.
"Telingamu mencuat," katanya.
Aku tahu dia berbohong. Aku mulai menjawabnya, tetapi bel pintu berbunyi.
Dia dan aku berlomba menyusuri lorong sempit ke depan pintu.
"Hei, ini pestaku!" Kataku.
Tapi Lefty sampai ke pintu duluan dan membukanya.
Sahabatku, Zack, menarik membuka pintu dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Saat itu mulai hujan cukup deras, dan dia sudah basah kuyup.
Dia memberiku kado yang dibungkus kertas perak, air hujan menetes darinya.
"Itu sekumpulan buku komik," katanya. "Aku sudah membacanya. Gambar novel
X-Force jenis yang (paling) keren."
"Trim's," kataku. " Kelihatannya tak terlalu basah."
Lefty meraih kado itu dari tanganku dan lari ke ruang tamu dengannya. "Jangan
dibuka!" Teriakku.
Dia mengatakan ia baru saja memulai menumpuk.
Zack melepas topi Red Sox-nya, dan aku melihatnya potongan rambut barunya.
(Red Sox = nama tim kasti profesional di Boston, Massachusetts anggota Liga
Utama Kasti Amerika Bagian Selatan)
"Wow! Kau terlihat ... berbeda," kataku, mempelajari penampilan barunya.
Rambut hitamnya berkibar begitu pendek di sisi kirinya. Sisanya itu panjang,
disisir lurus ke kanan.
"Apakah kau mengundang para gadis?" Dia beranya padaku, "atau hanya anak
laki-laki? "
"Beberapa gadis akan datang," kataku. "Erin dan April. Mungkin sepupuku Debra.
"Aku tahu dia menyukai Debra.
Dia mengangguk berpikir. Wajah Zack benar-benar serius. Dia punya mata biru
kecil yang selalu terlihat jauh, sepertinya ia berpikir keras tentang sesuatu.
Sepertinya dia benar-benar (berpikir) mendalam.
Dia semacam seorang pria yang kuat. Tak gugup. Hanya tegang. Dan sangat
semangat bersaing. Dia harus menang di segalanya. Jika ia di tempat kedua, ia jadi
benar-benar kesal dan menendang barang-barang. Kalian tahu semacam (itulah).
"Apa yang akan kita lakukan?" Tanya Zack, mengguncang-guncangkan air dari
topi Red Soxnya.
Aku mengangkat bahu. "Kita seharusnya berada di belakang halaman. Ayah
memasangkan net voli pagi ini. Tapi itu sebelum hujan mulai turun. Aku menyewa
beberapa film. Mungkin kita akan menontonnya. "
Bel pintu berbunyi. Lefty muncul lagi keluar dari tempatnya, mendorong Zack dan
aku keluar dari jalan, dan menukik ke pintu .
"Oh, kau," kudengar ucapannya.
"Terima kasih untuk sambutannya." Aku mengenali suara Erin yang melengking.
Beberapa anak memanggil Erin "Tikus" karena suaranya itu, dan karena dia kecil
seperti tikus. Dia berambut pendek pirang lurus, dan kupikir dia lucu, tapi tentu
saja aku tak pernah memberitahu seorang pun tentang itu.
"Bisakah kita masuk?"
Berikutnya aku mengenali suara April. April adalah gadis lain dalam kelompok
kami. Dia berambut keriting hitam dan gelap, bermata sedih. Aku selalu berpikir
dia benar-benar sedih, tapi kemudian aku tahu bahwa dia hanya pemalu.
"Pestanya itu besok," aku mendengar Lefty memberitahu mereka.
"Hah?" Kedua gadis mengeluarkan teriakan terkejut.
"Tidak, tidak," teriakku. Aku melangkah ke ambang pintu dan mendorong Lefty
keluar dari jalan. Aku membuka layar pintu jadi Erin dan April bisa masuk "Kalian
tahu lelucon kecil Lefty , "kataku, menekan saudaraku ke dinding.
"Leftylah lelucon kecil itu," kata Erin.
"Kau bodoh," kata Lefty padanya. Aku menekannya ke dinding sedikit lebih keras,
bersandar kepadanya dengan segenap berat badan. Tapi ia menunduk turun dan
berlari menjauh.
"Selamat Ulang Tahun," kata April, menggocangkan air hujan dari rambut
keritingnya. Dia memberiku kado yang dibungkus kertas kado Natal.
"Hanya itu kertas yang kami punya" dia menjelaskan, melihatku menatapnya.
"Selamat Natal juga kepadamu," candaku. Kado itu rasanya seperti CD.
"Aku lupa kadomu," kata Erin.
"Apa itu?" Tanyaku, mengikuti para gadis ke kamar tamu.
"Aku tak tahu. Aku masih belum membelinya. "
Lefty menyambar keluar hadiah April tanganku dan berlari untuk meletakkannya
di atas hadiah Zack di sudut belakang sofa.
Erin menjatuhkan diri di atas kursi kulit ottoman putih. April berdiri di jendela,
menatap hujan.
"Kita akan pesta makan hotdog," kataku.
"Itu akan sangat lembek hari ini," jawab April.
Lefty berdiri di belakang sofa, melemparkan bola kasti ke atas dan menangkapnya
dengan satu tangan.
"Kau akan memecahkan lampu itu," aku memperingatkannya.
Dia mengabaikanku, tentu saja.
"Siapa lagi yang akan datang?" Tanya Erin.
Sebelum aku bisa menjawab, bel pintu berdering lagi. Lefty dan aku berlari ke
pintu. Dia tersandung sepatunya sendiri dan tergelincir jatuh ke lorong pada
perutnya. Begitu khas.
Jam dua lebih tiga puluh setiap orang telah tiba, lima belas anak-anak masuk
semua, dan pesta dimulai. Yah, pesta itu tak benar-benar mendapatkan
dimulai karena kita tak bisa memutuskan apa yang harus dilakukan. Aku ingin
menonton film Terminator kusewa. Tapi para gadis ingin bermain Twister.
(Twister = sebuah permainan yang mengandalkan skill keluwesan tubuh.
Permainan ini menggunakan sebuah alas/karpet yang cukup lebar yang
direntangkan di atas lantai dan memiliki sejumlah lingkaran bewarna. Warnanya
terdiri atas warna merah, kuning, hijau, dan biru. Tiap lingkaran dengan warna
yang sama disusun pada baris yang sama. Selain itu, terdapat juga sebuah spinner
yang digunakan untuk menunjukkan dimanakah player harus meletakkan tangan
atau kakinya)
"Ini hari ulang tahunku!" Aku bersikeras.
Kami berkompromi. Kami bermain Twister. Kemudian kami menonton sebagian
video Terminator sampai waktunya untuk makan.
Ini adalah pesta yang cukup bagus. Kupikir semua orang mendapat waktu yang
baik. Bahkan April tampak bersenang-senang. Dia biasanya benar-benar pendiam
dan gugup melihat pesta.
Lefty menumpahkan Coke-nya dan makan sepotong coklat kue ulang tahun dengan
tangannya karena dia pikir itu itu lucu. Tapi ia satu-satunya hewan dalam
kelompok itu.
Aku mengatakan kepadanya satu-satunya alasan ia diundang adalah
karena ia keluarga dan tak ada tempat lain dimana kami bisa menyembunyikannya.
Dia menjawab dengan membuka mulut lebar-lebar hingga semua orang bisa
melihat kunyahan kue cokelat di dalamnya.
Setelah aku membuka kado-kado, aku memutar film Terminator kembali. Tapi
semua orang sudah mulai pergi. Kukira itu karena jam 05:00. Kelihatannya jauh
lambat. Saat itu gelap seperti malam, masih berangin keras.
Orang tuaku di dapur bersih-bersih. Erin dan April adalah satu-satunya (tamu)
yang tersisa. Ibu Erin seharusnya menjemput mereka. Dia menelepon dan berkata
dia akan sedikit terlambat.
Whitey berdiri di jendela ruang tamu, menggonggong kepalanya tertunduk. Aku
melihat ke luar. Aku tak melihat ada orang di sana. Aku meraihnya dengan kedua
tanganku dan bergulat menjauh dari jendela.
"Ayo kita naik ke kamarku," kataku ketika aku akhirnya anjing bodoh itu menjadi
tenang. "Aku punya permainan Supernintendo baru aku ingin mencobanya. "
Erin dan April dengan lega mengikutiku ke lantai atas. Mereka karena suatu alasan
tak suka film Terminator.
Lorong lantai atas gelap gulita. Aku menekan tombol lampu, tapi lampu tak
menyala.
"Bola lampunya pasti mati," kataku.
Kamarku berada di ujung lorong. Kami berjalan perlahan menembus kegelapan.
"Agak seram di sini," kata April pelan
Dan persis saat ia mengatakannya, pintu lemari linen berayun terbuka dan, dengan
lolongan yang memekakkan telinga, sesosok gelap melompat keluar kepada kami.
"Whitey!"
Aku berlutut turun dan menarik anjing itu menjauh dari pintu.
"Apa masalahmu, anjing kecil?"
Begitu aku menggerakkannya ke
samping, Whitey kehilangan rasa tertariknya pada pintu itu. Dia berlari dan mulai
mengendus ke sudut yang lain. Bicara tentang perhatianmu jangka waktunya
pendek (sekali).
Tapi kurasa itulah perbedaan antara anjing dan orang.
Hujan terus memukul-mukul turun, suara gemuruh tepat di atas kepala kami. Aku
bisa mendengar bunyi angin di sekitar sudut rumah. Ini benar-benar badai musim
semi.
Pintu yang gerendelnya berkarat itu hampir setengah terangkat. Terdorong dengan
mudah, dan pintu kayu yang melengkung mulai berayun terbuka bahkan sebelum
aku menariknya.
Engsel pintu berderit saat aku menariknya ke arahku, menampakkan kegelapan
yang pekat di seberang sana.
Sebelum aku membuka pintu setengahnya, Lefty berlari ke dalam dan berlari
dengan cepat ke ruangan gelap itu.
"Mayat!" Jeritnya.
"Tidaaak!" jerit April dan Erin berdua dengan jeritan ketakutan.
Tapi aku tahu selera humor Lefty yang buruk.
"Usaha yang bagus, Lefty, "kataku, dan mengikutinya melewati ambang pintu.
Tentu saja ia hanya main-main.
Aku menemukan diriku di sebuah ruangan kecil tanpa jendela. Satu-satunya
cahaya datang dari lampu langit-langit belakang berwarna kuning pucat di
belakang kami di tengah loteng.
"Dorong pintu seluruhnya hingga cahaya bisa masuk ke dalam, "perintahku pada
Erin. "Aku tak bisa melihat apa-apa di sini."
Erin membuka pintu dan menggeser karton untukmenahannya di tempat. Lalu ia
dan April maju pelan-pelan untuk bergabung dengan Lefty dan aku.
"Ini terlalu besar untuk lemari," kata Erin, suaranya terdengar lebih mencicit dari
biasanya. "Jadi apa itu?"
"Kukira hanya suatu ruangan," kataku, masih menunggu mataku untuk
menyesuaikan diri dengan cahaya yang redup.
Aku melangkah lsgi ke dalam ruangan. Dan saataku melakukan, sesosok gelap
melangkah ke arahku.
Aku menjerit dan melompat mundur.
Orang lain itu juga melompat mundur.
"Ini cermin, dungu!" Kata Lefty, dan mulai tertawa.
Seketika, kami berempat semuanya tertawa. Tawa nyaring bernada gugup.
Itu adalah satu cermin di depan kami. Dalam cahaya kuning pucat yang merembes
ke dalam ruangan kecil persegi itu, sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas.
Itu adalah cermin persegi empat yang besar, sekitar dua kaki lebih tinggi dariku,
dengan bingkai kayu gelap. Bertumpu pada lantai kayu.
Aku bergerak mendekatinya dan bayanganku bergerak sekali lagi untuk
menyapaku. Yang membuatku terkejut, bayangannya jelas. Tak ada debu di kaca,
meskipun faktanya tak adaseorang pun berada di sini dalam bertahun-tahun.
Aku melangkah di depannya dan mulai memeriksa rambutku.
Maksudku, itu gunanya cermin, bukan?
"Siapa yang akan menempatkan satu cermin dalam sebuah ruangan sendirian?"
tanya Erin.
Aku bisa melihat bayangan gelapnya di cermin, beberapa kaki di belakangku.
"Mungkin itu bagian perabot rumah yang berharga atau semacamnya," kataku,
merogoh saku celana jeansku mengambil sisirku. "Kau tahu. Sebuah barang antik."
"Apa orangtuamu yang menaruhnya di sini?" Tanya Erin.
"Aku tak tahu," jawabku. "Mungkin itu milik kakek-nenekku. Aku benar-benar tak
tahu." aku menggerakkan sisir.
beberapa kali melalui rambutku.
"Bisakah kita pergi sekarang? Ini tak terlalu mendebarkan, "kata April.
Dia masih tertinggal dengan enggan di ambang pintu.
"Mungkin itu cermin karnaval," kata Lefty, mendorongku minggir dan
menyeringai ke cermin, membawa wajahnya tepat beberapa inci dari kaca. "Kau
tahu. Salah satu cermin rumah yang menyenangkan yang membuat tubuhmu itu
terlihat seperti berbentuk telur. "
"Kau sudah berbentuk seperti telur," gurauku, mendorongnya ke samping.
"Setidaknya, kepalamu."
"Kau telur busuk," bentaknya kembali. "Kau bau."
Aku menatap ke dalam cermin. Aku tampak sangat normal, sama sekali tak
terdistorsi (gangguan/penyimpangan).
"Hei, April, masuklah," desakku. "Kau menghalangi sinar. "
"Tak bisakah kita pergi saja?" Tanyanya, merengek.
Dengan enggan, ia pindah dari ambang pintu, melangkah sedikit ke dalam ruangan.
"Siapa yang peduli tentang cermin tua, sih? "
"Hei, lihat," kataku, menunjuk. Aku telah melihat lampu melekat pada bagian atas
cermin. Berbentuk oval, terbuat dari kuningan atau dari logam semacamnya.
Bohlamnya panjang dan sempit, hampir seperti lampu neon, hanya lebih pendek.
Aku menatapnya, berusaha membayangkannya dalam cahaya yang redup.
"Bagaimana kau menyalakannya, aku bertanya-tanya."
"Ada rantai," kata Erin, datang ke sampingku.
Benar saja, rantai kecil menurun di sisi kanan lampu, menggantung turun sekitar
satu kaki dari atas cermin.
"Ajaib jika bekerja," kataku.
"Bola lampunya mungkin sudah mati," kata Lefty.
Lefty tua yang keliru. Selalu optimis.
"Hanya ada satu cara untuk mencari tahu," kataku.
Berdiri berjinjit, aku mengulurkan tanganku sampai ke rantai.
"Hati-hati," April mengingatkan.
"Hah? Ini hanya lampu, "kataku padanya.
Kata-kata terakhir yang terkenal.
Aku mengulurkan tangan. Meleset. Mencoba lagi. Aku meraih rantai dan
menariknya pada percobaan kedua.
Lampu menyala dengan kilatan cerah yang mengejutkan.Laku pelan-pelan
meredup ke terang yang normal. Cahaya putih yang terang terpantul cerah di
cermin.
"Hei-itu lebih baik!" Seruku. "Ini menerangi seluruh kamar. Sangat terang, ya?"
Tak ada yang mengatakan apapun.
"Aku bilang, sangat terang, ya?"
Sahabat-sahabatku masih diam.
Aku berbalik dan terkejut menemukan pandangan ngeri di wajah mereka.
"Max?" Teriak Lefty, menatap tajam ke arahku, matanya hampir copot dari
kepalanya.
"Max dimana kau?" Teriak Erin. Dia berpaling ke April. "Kemana dia pergi?"
"Aku di sini," kataku pada mereka. "Aku belum bergerak."
"Tapi kita tak bisa melihatmu!" Teriak April.
Ketiganya menatap ke arahku dengan mata mereka menonjol dan kengerian masih
tampak di wajah mereka. Tapi aku bisa melihat mereka bermain-main.
"Yang benar saja, teman-teman," kataku. "Aku tak sebodoh kelihatannya. Aku tak
akan tertipu lelucon bodoh kalian. "
"Tapi, Max-" Lefty bersikeras. "Kami serius!"
"Kami tak bisa melihatmu!" Ulang Erin.
Bodoh, bodoh, bodoh.
Tiba-tiba, lampu itu mulai menyakiti mataku. Tampaknya menjadi lebih terang.
Bersinar tepat di wajahku.
Melindungi mataku dengan satu tangan, aku meraih dengan tangan
yang lain dan menarik rantai itu.
Lampu padam, tapi cahaya putih yang menyilaukan masih tetap bersamaku. Aku
mencoba berkedip untuk menghilangkannya, tapi aku masih melihat bintik-bintik
besar terang di depan mataku.
"Hei kau kembali!" Teriak Lefty. Dia melangkah dan mencengkeram lenganku dan
meremasnya, seolah-olah dia mengujinya itu, memastikan aku nyata.
"Apa masalahmu?" Bentakku. Aku mulai marah. "Aku tak tertipu lelucon
bodohmu, Lefty. Jadi mengapa tetap terus? "
Yang mengejutkanku, Lefty tak mundur. Dia memegangi lenganku seakan takut
untuk membiarkan pergi.
"Kami tak bercanda, Max," desak Erin dengan suara pelan. "Kami benar-benar tak
bisa melihatmu."
"Itu pasti karena lampu di cermin," kata April.
Dia menekan lagi dinding sebelah pintu. "Lampu itu begitu cerah. Kupikir itu
hanya sebuah ilusi optik atau semacamnya. "
"Itu bukan ilusi optik," kata Erin padanya. "Aku berdiri tepat di samping Max. Dan
aku tak bisa melihatnya. "
"Dia tak terlihat," tambah Lefty dengan serius.
Aku tertawa. "Kalian mencoba untuk menakut-nakuti aku," kataku.
"Dan kalian melakukan pekerjaan itu cukup baik!"
"Kau yang menakut-nakuti kami!" Seru Lefty. Dia melepaskan lenganku dan
melangkah ke cermin.
Aku mengikuti tatapannya.
"Itu aku," kataku, menunjuk ke bayanganku. Sehelai rambut menyembul di
belakang kepalaku. Dengan hati-hati kuatur ke bawah.
"Ayo keluar dari sini," pinta April.
Lefty mulai melemparkan bola kasti ke atas, memgamati dirinya sendiri di cermin.
Erin berjalan ke bagian belakang cermin.
"Terlalu gelap di belakang sini. Aku tak bisa melihat apa-apa," katanya.
Dia melangkah sekitar ke depan dan menatap lampu berbentuk oval di atas. "Kau
menghilang cepat saat kau menarik rantai lampu itu. "
"Kalian benar-benar serius!" Kataku. Untuk pertama kalinya aku mulai percaya
bahwa mereka tak bercanda.
"Kau tak terlihat, Max," kata Erin. "Wuss. Kau lenyap. "
"Dia benar," Lefty setuju, melemparkan bola kasti ke atas dan menangkapnya,
mengagumi bentuk tubuhnya di cermin.
"Itu hanya ilusi optik," desak April. "Kenapa kalian membuat hal itu menjadi
masalah besar? "
"Itu bukan!" Erin bersikeras.
"Dia menyalakan lampu. Lalu ia menghilang dalam sekejap, "kata Lefty. Dia
menjatuhkan bola kasti. Bola itu terpental keras di lantai kayu, kemudian
menggelinding ke belakang cermin.
Dia ragu-ragu beberapa detik. Lalu ia pergi sesudahnya, merogoh-rogoh bola
dalam kegelapan. Beberapa detik kemudian, dia berlari kembali.
"Kau benar-benar tak terlihat, Max," katanya.
"Sungguh," tambah Erin, menatap tajam ke arahku.
"Buktikan," kataku pada mereka.
"Ayo kita pergi!" Pinta April. Dia telah pindah ke pintu dan berdiri dipertengahan,
setengah dari kamar.
"Apa maksudmu membuktikannya!" Tanya Erin, berbicara dengan
bayangan gelapku di cermin.
"Tunjukkan padaku," kataku.
"Maksudmu melakukan apa yang kau lakukan?" Tanya Erin, beralih ke berbicara
dengan diriku yang sebenarnya.
"Ya," kataku. "Kau jadi tak terlihat juga. Sama seperti yang kulakukan. "
Erin dan Lefty menatapku. Lefty mulutnya menganga terbuka.
"Ini bodoh," teriak April dari belakang kami.
"Aku akan melakukannya," kata Lefty. Dia melangkah ke cermin.
Aku menarik bahunya kembali.
"Bukan kau," kataku. "Kau terlalu muda."
Dia mencoba lepas dari peganganku, tapi aku menahannya.
"Bagaimana denganmu, Erin?" Desakku, melingkarkan lenganku di pinggang
Lefty untuk menahannya kembali ke cermin.
Dia mengangkat bahu. "Oke. Kukira, aku akan mencobanya. "
Lefty berhenti berjuang untuk lepas. Aku mengendurkan peganganku sedikit.
Kami melihat Erin langkah di depan cermin. Bayangannya balas menatapnya,
gelap dan berupa bayangan.
Dia berdiri berjinjit, mengulurkan tangan, dan meraih rantai lampu. Dia melirik
padaku dan tersenyum.
"Ini dia," katanya.
5
***
Zack tak bisa datang hingga hari Sabtu. Segera setelah ia tiba, aku ingin
membawanya ke loteng dan
memberinya demonstrasi kekuatan cermin itu.
Terutama, aku ingin menakut-nakutinya sampai mati!
Tapi Ibu bersikeras bahwa kami duduk makan siang dulu.
Sup mie ayam kaleng, selai kacang dan jelly sandwich.
Aku menelan supku secepat aku bisa, tak repot-repot mengunyah mie. Lefty terus
memberiku lirikan yang bermakna dari seberang meja. Aku bisa melihat bahwa dia
ingin sekali (melihat) aku menakut-nakuti Zack.
"Dari mana kau dapatkan potongan rambut itu?" tanya Ibuku pada Zack. Dia
berjalan mengelilingi meja, menatap kepala Zack, mengerutkan kening. Aku tahu
ia membencinya.
"Di Quick Cuts," kata Zack padanya setelah menelan mentega kacang dan selai.
"Anda tahu. Di mal. "
Kami semua mempelajari potongan rambut Zack. Kupikir itu agak keren.
Modelnya itu kacau begitu pendek di sebelah kiri, kemudian menjuntai panjang di
sebelah kanan.
"Baiklah ini berbeda," kata ibuku.
Kami semua tahu dia membencinya. Tapi kurasa dia berpikir ia menutupinya
dengan menyebutnya berbeda. Jika aku datang ke rumah dengan potongan rambut
seperti itu, dia akan membunuhku!
"Apa yang ibumu katakan tentang itu?" Tanyanya Zack.
Zack tertawa. "Tak banyak."
Kami semua tertawa. Aku terus melirik ke arah jam. Aku begitu ingin segera ke
lantai atas.
"Bagaimana kalau cokelat dan kue mangkok?" tanya Ibu saat kami selesai (makan)
roti lapis kami.
Zack mulai mengatakan ya, tapi aku memotongnya. "Bisakah kami makan
makanan penutup nanti? Aku agak kenyang. "
Aku mendorong mundur kursi dan segera bangkit, memberi isyarat pada Zack agar
mengikutiku. Lefty sudah berlari ke tangga.
"Hei - ke mana kalian akan pergi begitu cepat?" kata Ibu, mengikuti kami ke ruang
depan.
"Eh ... Ke atas ... ke loteng," kataku.
"Loteng?" Dia mengerutkan wajahnya, bingung. "Apa yang begitu menarik di
sana? "
"Eh ... hanya sekumpulan majalah tua," aku berbohong. "Itu agak lucu. Aku ingin
menunjukkannya pada Zack "
Itu pikiran yang cukup cepat bagiku. Aku biasanya tak sangat cepat dalam
mengarang cerita.
Ibu menatapku. Kupikir dia tak percaya padaku. Tapi ia kembali ke dapur.
"Bersenang-senanglah, anak-anak.
Jangan terlalu kotor di sana. "
"Kami tak akan," kataku. Aku memimpin Zack menaiki tangga yang curam.
Lefty sudah menunggu kami di loteng.
Panasnya kira-kira seratus derajat di atas sana. Aku mulai berkeringat pada
langkahku yang kedua ke dalam ruangan.
Zack berhenti beberapa meter di belakangku dan melihat di sekeliling. "Ini cuma
sampah tua yang banyak. Apa yang begitu menarik di sini? "tanyanya.
"Kau akan lihat," kataku misterius.
"Ke arah ini," panggil Lefty penuh semangat, berlari ke ruangan kecil pada dinding
yang jauh itu. Dia begitu bersemangat, ia menjatuhkan bola kastinya. Bola itu
menggelinding di depannya, dan dia tersandung olehnyadan jatuh menelungkup di
lantai dengan suara gedebuk.
"Aku ingin melakukan itu!" Gurau Lefty, dengan cepat bangkit dan melompati
bola itu, yang telah menggelinding di lantai.
"Adikmu terbuat dari berlian atau sesuatu," Zack tertawa.
"Jatuh adalah hobinya," kataku. "Dia jatuh sekitar seratus kali sehari."
Aku tak melebih-lebihkan.
Beberapa detik kemudian, kami bertiga berada di ruangan tersembunyi berdiri di
depan cermin itu. Bahkan meskipun itu adalah sore yang cerah, ruangan itu gelap
dan samar-samar seperti biasanya.
Zack berbalik dari cermin kepadaku, wajahnya terlihat bingung. "Apa ini yang
ingin kau tunjukkan padaku?"
"Ya." Aku mengangguk.
"Sejak kapan kau bisnis mebel?" Tanyanya.
"Ini cermin yang menarik, kan?" Tanyaku.
"Tidak," katanya. "Tak terlalu menarik."
Lefty tertawa. Dia memantulkan bola kastinya ke dinding dan menangkapnya.
Aku memang sengaja berlama-lama. Zack berada dalam kejutan hidupnya, tapi aku
ingin dia sedikit bingung dulu. Dia selalu melakukan hal-hal seperti itu padaku.
Dia selalu bertindak seolah-olah dia tahu segala sesuatu yang harus diketahui, dan
jika aku pintar, ia akan membagi sedikit pengetahuannya denganku.
Nah, sekarang aku tahu sesuatu yang tak diketahuinya. Aku ingin memperlama
saat ini, membuatnya paling akhir.
Tapi pada saat yang sama, aku tak bisa menunggu untuk menonton pandangan di
wajah Zack saat aku menghilang tepat di depan matanya.
"Ayo kita pergi ke luar," kata Zack tak sabar. "Terlalu panas di sini. Aku
membawa sepeda. Mengapa kita tak bersepeda ke lapangan bermain di belakang
sekolah, melihat siapa di sana? "
"Mungkin nanti," jawabku, nyengir pada Lefty. Aku berpaling ke adikku.
"Haruskah aku menunjukkan rahasia kita pada Zack atau tidak?"
Lefty nyengir ke arahku. Dia mengangkat bahu.
"Rahasia apa?" Tuntut Zack.
Aku tahu dia tak bisa tahan untuk meninggalkan apa pun. Dia tidak tahan jika ada
yang punya rahasia yang tak diketahuinya.
"Rahasia apa?" Ulangnya ketika aku tak menjawab.
"Tunjukkan kepadanya," kata Lefty, sambil melemparkan bola kasti.
Aku mengusap daguku, pura-pura berpikir tentang hal itu.
"Yah ... baiklah." Aku memberi isyarat pada Zack untuk berdiri di belakangku.
"Kau akan membuat wajah lucu di cermin?" Zack menebak. Dia menggelengkan
kepalanya. "Masalah besar!"
"Tidak. Itu bukan rahasia, "kataku. Aku melangkah di depan cermin, mengagumi
bayanganku, yang menatap ke arahku di cermin.
"Perhatikan!" Desak Lefty, melangkah di samping Zack.
"Aku sedang melihat. Aku menonton, "kata Zack tak sabar.
"Aku bertaruh aku bisa lenyap menjadi udara tipis," kataku pada Zack.
"Ya. Tentu, "gumamnya.
Lefty tertawa.
"Kau ingin bertaruh berapa?" Tanyaku.
"Dua sen," kata Zack. "Apa ini semacam tipuan cermin? "
"Sesuatu seperti itu," kataku. "Bagaimana dengan sepuluh dolar? Aku bertaruh
sepuluh dolar? "
"Hah?"
"Lupakan taruhan. Cukup tunjukkan kepadanya, "kata Lefty, memantulkan
bolanya naik dan turun tak sabar.
"Aku punya peti ajaib di rumah," kata Zack. "Aku bisa melakukannya. Ribuan
trik. Tapi itu mainan anak kecil, "ejeknya.
"Kau tak punya trik seperti ini," kataku yakin.
"Cukup lakukanlah jadi kita bisa pergi ke luar," dia menggerutu.
Aku melangkah ke tengah cermin.
"Ta-daa!"
Aku bernyanyi sendiri gembar-gembor singkat. Lalu aku mengulurkan tangan dan
meraih rantai lampu.
Aku menariknya. Lampu di atas cermin berkilat menyala, pada awalnya terang,
lalu meredup seperti sebelumnya.
Dan aku lenyap.
"Hei!" Teriak Zack. Dia tersandung mundur.
Dia benar-benar tersandung keluar karena terkejut!
Tak terlihat, aku berpaling dari cermin menikmati reaksi tertegunnya.
"Max?" Teriaknya. Matanya mencari ke dalam ruangan.
Lefty tertawa dengan kepala tertunduk.
"Max?" Zack terdengar sangat khawatir. "Max? Bagaimana kau melakukan itu? Di
mana kau? "
"Aku di sini," kataku.
Dia melompat saat mendengar suaraku. Lefty tertawa bahkan lebih keras.
Aku mengulurkan tangan dan mengambil bola kasti itu dari tangan Lefty .
Aku melirik bayangan di cermin. Bola itu tampak melayang di udara.
"Ke sini. Tangkap Zack "Aku melemparkan bola itu padanya..
Dia begitu tertegun, ia tak bergerak. Bola memantul dari dadanya.
"Max? Bagaimana kau melakukan tipuan ini?" tuntutnya.
"Ini bukan trik. Ini nyata, "kataku.
"Hei, tunggu ..." Pandangan curiga tampak di wajahnya.
Dia berlari ke bagian belakang cermin. Aku kira dia mengharapkan aku
bersembunyi di belakang sana.
Dia tampak sangat kecewa ketika dia tak melihatku.
"Apakah ada pintu rahasia atau semacamnya?" Tanyanya. Dia berjalan kembali ke
depan cermin, berlutut, dan mulai mencari-cari pintu rahasia di lantai.
Aku bersandar ke atasnya dan menarik kaosnya ke atas kepalanya.
"Hei - hentikan itu!" Teriaknya, berdiri marah.
Aku menggelitik perutnya.
"Hentikan, Max." Dia menggeliat menjauh, tangannya meronta-ronta, mencoba
untuk memukulku. Sekarang dia terlihat sangat ketakutan. Dia terengah-engah, dan
wajahnya merah padam.
Aku menarik kaosnya lagi.
Dia tersentak ke bawah.
"Kau benar-benar tak terlihat?" Suaranya naik begitu tinggi, hanya anjing yang
bisa mendengarnya. "Sungguh?"
"Tipuan yang bagus, ya?" Kataku tepat di telinganya.
Dia melompat dan berputar menjauh. "Seperti apa rasanya? Apa itu terasa aneh? "
Aku tak menjawabnya. Aku bergerak pelan keluar dari ruangan dan mengambil
sebuah kardus karton di luar pintu. Aku membawanya ke cermin. Ini tampak hebat.
Sebuah karton mengambang dengan sendirinya.
"Turunkan," desak Zack. Dia terdengar benar-benar ketakutan.
"Ini benar-benar membuatku takut, Max. Hentikan, oke? Kembalilah jadi aku bisa
melihatmu. "
Aku ingin menyiksa dia lagi, tapi aku bisa melihat dia hampir kalah. Selain itu, aku
mulai merasa aneh lagi. Semacam pusing dan pusing. Dan lampu terang itu
menyakiti mataku, aku mulai buta.
"Oke, aku akan kembali," aku mengumumkan. "Perhatikan."
Aku bersandar pada cermin dan menjulurkan tangan ke rantai. Aku tiba-tiba
merasa sangat lelah, sangat lemah. Butuh semua kekuatanku untuk melilitkan
tanganku di sekitar rantai.
Aku merasakan sensasi aneh bahwa cermin itu menarikku, menarikku ke arahnya,
memegangiku.
Dengan kekuatan penuh yang menentukan, aku menarik rantai.
Lampu padam. Ruangan jadi gelap.
"Dimanakah kau? Aku masih tak bisa melihatmu! "teriak Zack, suaranya
menunjukkan kepanikan.
"Tenanglah," kataku. "Butuh beberapa detik. Makin lama tetap tak terlihat, makin
lama waktu yang diperlukan untuk kembali." Lalu aku menambahkan," Aku pikir."
Menatap cermin kosong itu, menunggu bayanganku kembali, aku tiba-tiba
menyadari bahwa aku tak tahu apa-apa tentang cermin ini, tentang mengubah jadi
tak terlihat. Tentang datang kembali.
Pikiranku tiba-tiba berputar dengan segala macam pertanyaan-pertanyaan yang
menakutkan:
Apa yang membuatku berpikir bahwa cermin itu otomatis akan memunculkan
kembali?
Bagaimana jika kau hanya bisa kembali dua kali? Dan waktu ketiga kau lenyap tak
terlihat,kau terus tak terlihat?
Bagaimana jika cermin itu rusak? Bagaimana jika cermin itu terkunci jauh di
ruangan tersembunyi ini karena tak bekerja dengan benar dan itu membuat orang
tetap tak terlihat selamanya?
Bagaimana jika aku tak pernah kembali.
Tidak, itu tak mungkin, aku memberitahu diriku sendiri.
Tapi detik-detik itu berdetak. Dan tubuhku masih belum kelihatan.
Aku menyentuh cermin, menggosok tangan tak terlihatku ke atas kaca dingin yang
halus itu.
"Max, mengapa begitu lama?" Tanya Zack, suaranya bergetar.
"Aku tak tahu," kataku, terdengar seperti ketakutan dan kesal seperti dia.
Dan kemudian tiba-tiba, aku kembali.
Aku menatap bayanganku di cermin, melihat sungguh-sungguh, bersyukur, satu
senyum lebar melintas di wajahku.
"Ta-daaa!" Aku bernyanyi riuh penuh kemenangan, berbalik kepada temanku yang
masih terguncang. "Aku di sini!"
"Wow!" Seru Zack, dan mulutnya tetap ketat terkejut dan heran. "Wow."
"Aku tahu," kataku, sambil nyengir. "Cukup keren, ya?"
Aku merasa sangat goyah, sepertinya seluruh (tubuhku) gemetar. Lututku terasa
lemah semua dan berkeringat. Kau tahu perasaan itu.
Tapi aku mengabaikannya. Aku ingin menikmati saat kebanggaanku ini. Ini tak
sering bahwa aku harus melakukan sesuatu yang Zack tak pernah lakukan sepuluh
kali.
"Menakjubkan," kata Zack, menatap tajam cermin itu. "Aku harus mencobanya! "
"Yah ..." Aku tak begitu yakin aku ingin Zack melakukannya. Ini sepertinya
tanggung jawab yang besar. Maksudku, bagaimana jika ada sesuatu yang salah?
"Kau harus membiarkanku melakukannya!" Tegas Zack.
"Hei-mana Lefty?" Tanyaku, melirik cepat sekitar ruangan kecil itu.
"Hah? Lefty? " mata Zack juga mencari-cari.
"Aku sangat sibuk menjadi tak terlihat, aku lupa dia ada di sini," kataku. Dan
kemudian aku memanggil, "Hei, Lefty?"
Tak ada jawaban.
"Lefty?"
Sunyi.
Aku berjalan cepat ke bagian belakang cermin. Dia tak ada. Memanggil namanya,
aku berjalan ke pintu mengintip ke loteng.
Tak ada tanda dari dia.
"Dia sedang berdiri di sini. Di depan cermin, " Zack berkata, tiba-tiba pucat.
"Lefty?" Teriakku. "Apakah kau di sini? Bisakah kau mendengarku? "
Diam.
"Aneh," kata Zack.
Aku menelan ludah. Perutku tiba-tiba merasa seolah-olah aku menelan batu.
"Dia di sini. Berdiri di sini, "kata Zack, suaranya melengking ketakutan.
"Yah, dia sudah lenyap sekarang," kataku, menatap bayangan gelap di cermin.
"Lefty lenyap."
10
11
"Lakukan sesuatu!" Pinta Zack masih tak terlihat,. "Max -kau harus melakukan
sesuatu! "
"Aku-aku sebaiknya memanggil Ibu," Lefty tergagap. Dia menjatuhkan bola kasti
untuk floorand mulai ke pintu.
"Ibu? Apa yang bisa Ibu lakukan? " teriakku panik.
"Tapi sebaiknya aku memanggil seeseorang!" Kata Lefty.
Pada saat itu, Zack berpendar tampak kembali.
"Wow!" Dia mengeluarkan desahan panjang, terengah-engah lega
dan merosot berlutut di lantai.
"Yaaaay!" teriak Erin gembira, bertepuk tangan saat kami semua berkumpul di
sekitar Zack.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanyaku, meraih bahunya. Kupikir aku ingin tahu
dengan pasti bahwa dia benar-benar kembali.
"Aku kembali!" Zack memproklamirkan, tersenyum. "Itu saja yang aku peduli."
"Itu benar-benar menakutkan," kata April pelan, tangan masuk ke kantong celana
tenis putihnya. "Maksudku, benar-benar menakutkan. "
"Aku tak takut," kata Zack, tiba-tiba nada suaranya berubah. "Aku tahu ada
masalah."
Apa kau percaya orang ini?
Satu detik (yang lalu) dia merengek dan meratap, mengemis agar aku melakukan
sesuatu.
Detik berikutnya, dia menganggap dirinya yang punya waktu hidupnya. Tuan
Percaya Diri.
"Bagaimana rasanya?" Tanya Erin, meletakkan satu tangannya pada bingkai kayu
cermin.
"Mengagumkan," jawab Zack. Dia berdiri goyah. "Benar. Itu benar-benar hebat!
Aku ingin jadi tak terlihat lagi sebelum sekolah di hari Senin sehingga aku bisa
pergi memata-matai di ruangan lemari gadis-gadis '! "
"Zack, kau babi!" Kata Erin jijik.
"Apa gunanya jadi tak terlihat jika kau tak dapat memata-matai gadis-gadis? "
tanya Zack.
"Apa kau yakin kau baik-baik saja?" Tanyaku, benar-benar memperhatikan. "Kau
tampaknya seperti gemetar kepadaku."
"Yah, aku mulai merasa sedikit aneh di akhir," aku Zack, menggaruk bagian
belakang kepalanya.
"Apa maksudmu?" Tanyaku.
"Yah, seperti aku sedang ditarik. Menjauh dari kamar. Menjauh dari kalian. "
"Ditarik kemana?" tuntutku.
Dia mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Aku hanya tahu satu hal "
Seulas senyum mulai terbentuk di wajahnya, dan mata birunya tampak menyala.
Uh-oh, pikirku.
"Aku hanya tahu satu hal," ulang Zack.
"Apa?" Aku harus bertanya.
"Aku juara baru tak terlihat. Aku tetap tak terlihat lebih lama darimu. Setidaknya
lima menit. Lebih lama dari siapa pun. "
"Tapi aku belum dapat giliran!" Protes Erin.
"Aku tak ingin giliran!" Kata April.
"Penakut?" Zack menggodanya.
"Kupikir kau bodoh membuat keributan bermain dengan ini," kata April panas. "Ini
bukan mainan, kau tahu. Kau tak tahu apa-apa tentang hal itu. Kau tak tahu apa
yang benar-benar dilakukannya pada tubuhmu. "
"Aku merasa baik-baik saja!" Kata Zack, dan memukul dadanya dengan kedua
tangan seperti gorila untuk membuktikannya. Dia melirik ke cermin gelap. "Aku
siap untuk kembali-bahkan lebih lama. "
"Aku ingin jadi tak terlihat, pergi keluar dan bermain tipuan pada orang-orang,
"kata Lefty antusias. "Bisakah aku jadi selanjutnya, Max? "
"Aku - aku tak berpikir begitu ...."
Aku sedang memikirkan apa yang dikatakan April. Kami benar-benar
main-main dengan sesuatu yang bisa berbahaya, sesuatu yang kita tak tahu apa-apa
tentangnya.
"Max harus pergi lagi," kata Zack, menamparku keras di belakang, hampir-hampir
mengirimku dalam posisi membentang pada cermin. "Untuk mengalahkan
rekorku."
Dia menyeringai padaku.
"Kecuali kau juga penakut."
"Aku tak takut!" Aku bersikeras. "Aku hanya berpikir-"
"Kau penakut," tuduh Zack, tertawa mencemooh.
Dia mulai berdecak keras, mengepakkan lengannya seperti
ayam.
(ayam=kata kiasan untuk penakut).
"Aku tak takut. Biarkan aku pergi, "pinta Lefty. "Aku bisa mematahkan rekor
Zack. "
"Sekarang giliranku," desak Erin. "Kalian semua pernah dapat giliran. Aku belum
pernah sama sekali! "
"Oke," kataku sambil mengangkat bahu. "Kau duluan, Erin. Lalu aku. "
Aku lega Erin begitu ingin melakukannya. Aku benar-benar tak merasa suka jadi
tak terlihat lagi, masih belum.
Sejujurnya, aku merasa sangat berdebar dan gugup.
"Aku berikutnya!" Tegas Lefty. "Aku berikutnya! Aku berikutnya! " Dia
mulai terus melantunkan kata-kata itu.
Aku mengatupkan tanganku ke mulutnya.
"Mungkin kita semua harus pergi ke bawah, "usulku.
"Penakut?" goda Zack. "Kau ketakutan keluar?"
"Aku tak tahu, Zack," jawabku jujur. "Kupikir-
Aku melihat Erin menatapku. Apa itu rasa kecewa pada wajahnya? Apa Erin
berpikir aku penakut juga?
"Oke," kataku. "Silakan, Erin. Kau pergi. Lalu aku akan pergi. Kemudian Lefty.
Kita semua akan mengalahkan rekor Zack. "
Erin dan Lefty bertepuk tangan. April mengerang dan matanya bergerak-gerak.
Zack nyengir.
Ini bukan masalah besar, aku berkata pada diriku sendiri. Aku telah melakukannya
tiga kali. Ini sangat menyakitkan. Dan jika kau hanya tetap tenang dan menunggu
dengan sabar, kau datang tepat kembali ke jalanmu.
"Apakah ada yang punya jam?" Tanya Erin. "Kita perlu mencatat waktu jadi aku
tahu kapan waktunya harus mengalahkan. "
Aku bisa melihat bahwa Erin serius dalam kompetisi ini.
Lefty tampak sangat bersemangat, juga. Dan tentu saja Zack akan bersaing dalam
apa pun.
Hanya April tak senang tentang semua hal ini. Dia diam-diam berjalan ke bagian
belakang ruangan dan duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding,
tangannya dilipat pada lututnya.
"Hei, hanya kau satu-satunya penonton," panggil Erin pada April. "Jadi kau
pencatat waktunya, oke?"
April mengangguk tak antusias. Dia mengangkat pergelangan tangannya dan
melihat jamnya. "Oke. Siap. "
Erin mengambil napas panjang dan melangkah ke cermin. Dia menutup matanya,
mengulurkan tangan, dan menarik pelan rantai lampu.
Lampu menyala dengan kilatan cerah. Erin menghilang.
"Oh, wow!" Teriaknya. "Ini cara yang keren!"
"Bagaimana rasanya?" Panggil April dari belakang kami, matanya melirik dari
cermin ke jamnya.
"Aku tak merasa berbeda sama sekali," kata Erin. "Cara yang bagus untuk
menurunkan berat badan! "
"Lima belas detik," April mengumumkan.
Rambut Lefty tiba-tiba berdiri tegak di udara. "Hentikan itu, Erin "teriaknya,
memutar jauh dari tangan tak tampaknya.
Kami mendengar tawa Erin dari suatu tempat dekat Lefty.
Lalu kami mendengar langkah kakinya saat dia berjalan keluar dari ruangan dan
masuk ke loteng. Kami melihat jaket tua naik menari berutar-putar di udara.
Setelah jaket itu dijatuhkan
kembali ke kardus, kami melihat sebuah majalah tua terbang
dan halaman-halamannya tampak berbalik dengan cepat.
"Ini sangat menyenangkan!" Kata Erin pada kami. Majalah itu jatuh kembali ke
tumpukan. "Aku tak sabar untuk pergi ke luar seperti ini dan benar-benar menakut-
nakuti orang!"
"Satu menit," Kata April. Dia belum beranjak dari posisi duduknya di dinding.
Erin bergerak sebentar di sekitar loteng, membuat benda-benda terbang dan
melayang. Lalu ia kembali ke ruangan kecil itu untuk mengagumi dirinya di
cermin.
"Aku benar-benar tak terlihat!" Kami mendengar dia menyatakannya dengan
penuh semangat.
"Sama seperti dalam film atau semacamnya!"
"Ya. Efek khusus yang hebat," kataku.
"Tiga menit," April mengumumkan.
Erin terus menikmati dirinya sampai sekitar empat menit telah berlalu. Lalu tiba-
tiba suaranya berubah. Dia mulai terdengar ragu, takut.
"Aku-aku tak suka ini," katanya. "Aku merasa agak aneh."
April melompat dan berlari ke arahku. "Bawa dia kembali!" Desaknya. "Cepat!"
Aku ragu-ragu.
"Ya. Bawa aku kembali, "kata Erin lemah.
"Tapi kau belum mengalahkan rekorku!" Kata Zack. "Apakah kau yakin-?"
"Ya. Tolong. Aku merasa tak benar." Tiba-tiba suara Erin terdengar menjauh.
Aku melangkah ke cermin itu dan menarik rantai. Lampu itu mati.
Kami menunggu Erin untuk kembali.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanyaku.
"Hanya ... aneh," jawabnya.
Dia berdiri tepat di sampingku, tapi aku masih tak bisa melihatnya.
Butuh waktu hampir tiga menit bagi for untuk muncul kembali.
Tiga menit yang sangat menegangkan.
Ketika dia berpendar kembali kelihatan, ia menggoyang-goyangkan dirinya seperti
anjing menggoyang-goyangkan air setelah mandi.
Lalu ia tersenyum pada kami meyakinkan. "Aku baik-baik. Itu benar-benar hebat.
Kecuali untuk detik-detik terakhir. "
"Kau tak mengalahkan rekorku," Zack memberitakan dengan gembira.
"Kau sudah begitu dekat. Tapi kau gagal. Persis seperti seorang gadis. "
"Hei-" Erin mendorong Zack dengan keras. "Berhentilah bersikap brengsek."
"Tapi kau cuma perlu lima belas detik untuk pergi, dan kau kurang percaya diri,
keluar! "kata Zack padanya.
"Aku tak peduli," desak Erin, merengut marah padanya. "Ini benar-benar bagus.
Lain kali aku akan mengalahkan rekormu, Zack. "
"Aku akan menjadi pemenang," kata Lefty. "Aku akan tetap tak terlihat untuk
sepanjang hari. Mungkin dua hari! "
"Wah!" Jeritku. "Itu bisa berbahaya, Lefty."
"Berikutnya giliran Max," Zack mengumumkan. "Kecuali kau membayar
hukuman. "
"Tidak," kataku, sambil melirik Erin. Dengan enggan, aku melangkah ke cermin
dan mengambil napas dalam-dalam.
"Oke, Zack, ucapkan selamat tinggal untuk rekormu," kataku, berusaha tenang dan
percaya diri.
Aku tak benar-benar ingin melakukannya, aku mengaku pada diri sendiri. Tapi aku
tak ingin terlihat kelihan penakut di depan lain. Untuk satu hal lagi, jika aku
pengecut, aku tahu bahwa Lefty akan mengingatkanku dua puluh atau tiga puluh
kali sehari selama sisa hidupku.
Jadi aku memutuskan untuk terus maju dan melakukannya.
"Satu hal lagi," kataku pada Zack. "Ketika aku katakan 'siap ', itu berarti aku ingin
kembali. Jadi saat aku mengatakan 'Siap', kau tarik rantai lampu secepat kau bisa-
oke? "
"Baik," jawab Zack, ekspresinya berubah serius. "Jangan khawatir. Aku akan
membawamu langsung kembali." Dia menjentikkan jarinya. "Seperti itu. Ingat,
Max, kau harus mengalahkan lima menit. "
"Oke. Ini dia, "kataku, menatap bayanganku di cermin.
Aku tiba-tiba punya perasaan buruk tentang ini.
Suatu perasaan yang benar-benar buruk.
Tapi aku mengulurkan tangan dan menarik lampu juga.
12
Ketika lampu menyilaukan itu meredup, aku menatap tajam ke dalam cermin.
Bayangan-bayangan itu terang dan jelas. Pada dinding belakang, aku bisa melihat
bulan April, merosot di lantai, menatap tajam pada jamnya.
Lefty berdiri dekat dinding sebelah kanan, menganga di tempat di mana aku
berdiri, tersenyum konyol di wajahnya.
Zack berdiri di sampingnya, kedua lengannya disilangkan di dada, juga menatap ke
cermin.
Erin bersandar di dinding sebelah kiri. Matanya (tertuju) pada lampu di atas
bingkai cermin.
Dan di mana aku?
Berdiri tepat di depan cermin. Tepat di tengah-tengahnya. Menatap bayangan-
bayangan mereka. Menatap tempat dimana bayanganku seharusnya (berada).
Hanya saja bayangan itu tak ada.
Aku merasa normal.
Bereksperimen, aku menendang lantai. Sepatu tak terlihatku membuat suara
gesekan biasa.
Aku meraih lengan kiriku dengan tangan kananku dan meremasnya. Rasanya
normal.
"Hai, semuanya," kataku. Aku terdengar sama seperti sebelumnya.
Hanya aku tak tampak.
Aku melirik ke arah lampu, mendapati suatu persegi panjang kuning turun ke
cermin.
Apa kekuatan lampu itu? Aku bertanya-tanya.
Apa itu yang melakukan sesuatu pada molekulmu? Membuatnya pecah entah
bagaimana sehingga kau tak bisa dilihat?
Tidak. Itu bukan teori yang baik. Jika molekulmu pecah, kau pasti merasakannya.
Dan kau tak akan
mampu menendang lantai, meremas lenganmu atau berbicara.
Jadi, apa yang lampu itu lakukan?
Apa lampu itu menutupi (dengan cara)entah bagaimana?
Apakah lampu itu membentuk semacam selimut? Suatu penutup yang
menyembunyikanmu dari diri sendiri dan semua orang lain?
Misteri!
Kurasa aku tak akan bisa mengetahuinya, tak akan pernah tahu jawabannya.
Aku memutar mataku menjauh dari lampu itu. Lampu itu mulai
menyakiti mataku.
Aku memejamkan mata, tapi cahaya terang yang menyilaukan tetap bersamaku.
Dua lingkaran putih yang menolak untuk meredup.
"Bagaimana perasaanmu, Max?" Suara Erin memecahkan pikiranku.
"Oke, kurasa," kataku. Suaraku kedengaran aneh bagiku, semacam menjauh.
"Empat menit, tiga puluh detik," April mengumumkan.
"Waktu berlalu begitu cepat," kataku.Setidaknya, kupikir aku mengatakan itu. Aku
sadar aku tak bisa mengatakan apakah aku mengucapkan kata-kata atau cuma
memikirkannya.
Lampu kuning terang itu bersinar lebih cerah.
Aku merasa tiba-tiba cahaya lampu itu tertuang padaku, mengelilingiku.
Menarikku.
"Aku-aku merasa aneh," kataku.
Tak ada respon.
Bisakah mereka mendengarku,
Cahaya itu membungkusku. Aku merasa diriku mulai mengambang.
Ini adalah perasaan yang menakutkan. Seolah-olah aku kehilangan kontrol
pada tubuhku.
"Siap-siap!"jeritku. "Zack siap-siap! Bisakah kau mendengarku, Zack? "
Kelihataannya perlu waktu berjam-jam bagi Zack untuk menjawab.
"Oke," aku mendengarnya mengatakan. Suaranya terdengar begitu kecil, begitu
jauh.
Bermil-mil dan bermil-mil jauhnya.
"Siap-siap!" Jeritku. "Siap-siap!"
"Oke!" Sekali lagi aku mendengar suara Zack.
Namun cahaya itu begitu terang, begitu cemerlang menyilaukan. Gelombang
cahaya kuning bergulir ke atasku. Lautan gelombang cahaya melandaku menjauh.
"Tarik rantainya, Zack!" jeritku. Setidaknya, kupikir itu adalah jeritan.
Cahaya itu menarikku begitu keras, menyeret menjauh, jauh, menjauh.
Aku tahu aku akan melayang pergi. Melayang selamanya.
Kecuali Zack menarik rantai dan membawaku kembali.
"Tarik! Tarik! Tolong-tariklah!"
"Okay."
Aku melihat Zack melangkah ke cermin itu.
Dia jadi kabur dalam bayang-bayang. Dia melangkah melalui bayangan-bayangan
gelap, di sisi lain dari lampu.
Begitu jauh.
Aku merasa jadi seringan bulu.
Aku bisa melihat Zack dalam bayang-bayang. Dia melompat berdiri. Dia meraih
rantai lampu.
Dia menarik ke bawah dengan keras.
Lampu itu tak mati. Bahkan bersinar lebih cerah.
Dan lalu aku melihat wajah Zack penuh dengan rasa ngeri.
Dia mengangkat tangannya. Dia mencoba untuk menunjukkan sesuatu padaku.
Dia memegangi rantai di tangannya.
"Max, rantainya-" dia tergagap. "Ini putus. Aku tak bisa mematikan lampu!"
13
15
***
Erin meneleponku malam itu. Saat itu sekitar jam sebelas. Aku dengan piyamaku,
membaca buku di tempat tidur, berpikir untuk pergi ke bawah dan meminta pada
orang tuaku agar membiarkan aku tetap terjaga dan menonton (acara) Sabtu Malam
Liveu.
Erin terdengar sangat bersemangat. Dia bahkan tak mengatakan halo. Hanya mulai
berbicara satu mil permenit. Suara tikus mencicitnya begitu cepat, aku kesulitan
memahaminya.
"Bagaimana dengan pekan raya ilmu pengetahuan?" Tanyaku, memegang telepon
dari telingaku, berharap itu akan membantuku memahaminya dengan lebih baik..
"Proyek yang menang," kata Erin terengah-engah. "Hadiahnya adalah piala perak
dan hadiah sertifikat dari Video Dunia. Ingat? "
"Ya. Jadi? "Aku masih tak bisa mengikutinya. Kurasa aku lebih mengantuk dari
yang kupikir. Ini adalah hari yang mencemaskan, melelahkan, setelah semuanya.
"Nah, bagaimana kalau kau bawa cermin itu ke sekolah?" tanya Erin
bersemangat. "Kau tahu. Aku akan membuatmu jadi tak terlihat. Lalu aku akan
mengembalikanmu, dan aku akan jadi tak terlihat. Itu bisa jadi proyek kita. "
"Tapi, Erin-" Aku mulai protes.
"Kita akan menang!" Selanya. "Kita pasti menang! Maksudku, apa lagi yang bisa
mengalahkannya? Kita akan memenangkan hadiah pertama. Dan kita akan
terkenal! "
"Wah!" Jeritku. "Terkenal?"
"Tentu saja. Terkenal! "serunya. "Foto kita akan (muncul) di majalah People dan
semuanya! "
"Erin, aku tak begitu yakin tentang hal ini," kataku pelan, berpikir keras.
"Hah? Tak begitu yakin tentang apa?"
"Tak begitu yakin aku ingin menjadi terkenal," jawabku. "Maksudku, aku benar-
benar tak tahu apakah aku ingin seluruh dunia tahu tentang cermin itu."
"Mengapa tidak?" Tanyanya tak sabar. "Setiap orang ingin menjadi terkenal. Dan
kaya. "
"Tapi mereka akan mengambil cermin itu," jelasku. "Ini adalah hal yang
menakjubkan, Erin. Maksudku, apa itu sihir? Apa elektronik? Apa penemuan
seseorang? Apa pun itu, itu luar biasa! Dan mereka tak akan membiarkan anak-
anak menyimpannya."
"Tapi itu milikmu!" Ia bersikeras.
"Mereka akan mengambilnya untuk mempelajarinya. Para ilmuwan akan
menginginkannya. Orang Pemerintah akan menginginkannya. Orang militer.
Mereka mungkin ingin menggunakannya untuk membuat tentara jadi tak terlihat
atau semacamnya. "
"Menakutkan," gumam Erin berpikir sejenak.
"Ya. Menakutkan, "kataku. "Jadi aku tak tahu. Aku telah berpikir tentang hal ini.
Banyak. Sementara ini, itu biar jadi rahasia kita."
"Ya, aku kira," katanya ragu. "Tapi pikirkan tentang pekan raya ilmu pengetahuan,
Max. Kita bisa memenangkan hadiah. Kita benar-benar bisa menang."
"Aku akan memikirkannya," kataku padanya.
Aku belum memikirkan hal lain! Aku menyadarinya.
"April ingin mencobanya," katanya.
"Hah?"
"Aku meyakinkannya. Aku bilang padanya tak sakit atau apa pun. Jadi ia ingin
mencobanya pada hari Rabu. Kita akan untuk melakukannya pada hari Rabu,
bukan begitu, Max? "
"Kurasa," jawabku enggan. "Karena setiap orang menginginkannya. "
"Bagus!" Serunya. "Kupikir aku akan mengalahkan rekormu."
"Rekor barunya adalah sepuluh menit," aku menginformasikan padanya. Aku
menjelaskan tentang Lefty dan petualangan makan malamnya.
"Adikmu benar-benar gila," kata Erin.
Aku setuju dengannya, lalu mengucapkan selamat malam.
Aku tak bisa tidur malam itu. Aku mencoba tidur di satu sisi, kemudian sisi yang
lain. Aku mencoba menghitung domba.
Semuanya.
Aku tahu aku mengantuk. Tapi hatiku berpacu. Aku hanya tak bisa merasa
nyaman. Aku menatap langit-langit,
berpikir tentang cermin di ruangan kecil itu di atasku.
Saat itu hampir pukul tiga pagi saat aku bergerak pelan-pelan bertelanjang kaki
keluar dari kamarku, terjaga, dan naik menuju ke loteng. Seperti sebelumnya, aku
bersandar pada pegangan tangga. Aku naik, berusaha untuk menjaga tangga kayu
dari musik deritan dan erangannya.
Terburu-buru pergi ke ruang kecil, aku jari kakiku tersandung pada ujung peti
kayu.
"Aduh!" Teriakku sepelan mungkin. Aku ingin melompat ke atas dan ke bawah,
tapi aku memaksakan diri untuk berdiri diam, dan menunggu nyerinya memudar.
Begitu aku bisa berjalan lagi, aku berjalan ke dalam ruangan kecil. Aku menarik
kardus di depan cermin dan duduk di atasnya.
Kakiku masih berdenyut-denyut, tapi aku mencoba untuk mengabaikannya. Aku
menatap bayangan gelapku di cermin, meneliti rambutku terlebih dahulu, tentu
saja. Itu benar-benar kacau, tapi aku benar-benar tak peduli.
Lalu aku memandang dengan tajam di luar bayanganku, di balik itu. Kukira aku
mencoba untuk melihat jauh ke dalam kaca. Aku benar-benar tahu apa yang
kulakukan atau kenapa aku di sana.
Aku begitu lelah dan bergairah pada saat yang sama, begitu penasaran dan
bingung, mengantuk dan gugup.
Aku mengusap di sepanjang kaca, terkejut kembali bagaimana dingin rasanya di
ruangan itu yang sedikit panas hampir pengap. Aku mendorongkan tanganku yang
terbuka pada kaca, kemudian menariknya. Ini tak meninggalkan cetakan tangan.
Aku gerakkan tanganku ke bingkai kayu, sekali lagi menggosok kayu halus. Aku
berdiri dan perlahan-lahan berjalan ke bagian belakang cermin. Itu terlalu gelap di
belakang sini untuk benar-benar memeriksanya dengan hati-hati. Tapi tak ada yang
bisa diperiksa. Bagian belakang bingkai itu halus, polos, dan tak menarik.
Aku kembali ke depan dan menatap pada lampu itu. Ini tampak seperti sebuah
lampu biasa. Sama sekali tak ada yang khusus tentang hal itu. Bohlamnya
bentuknya aneh, panjang dan sangat tipis. Tapi itu tampak seperti bola lampu
biasa.
Duduk kembali di kardus, aku menyandarkan kepala di tanganku dan menatap ke
cermin mengantuk. Aku menguap pelan.
Aku tahu aku harus kembali ke bawah dan pergi tidur.
Ibu dan Ayah yang membangunkan kami pagi-pagi keesokan harinya untuk pergi
ke Springfield.
Tapi ada sesuatu yang menahanku di sana.
Rasa ingin tahuku, kukira.
Aku tak tahu berapa lama aku duduk di sana, masih seperti patung, melihat
bayanganku sendiri tak bergerak. Ini mungkin telah semenit atau menit. Atau
mungkin telah setengah jam.
Tapi setelah beberapa waktu, saat aku menatap ke dalam cermin, bayangan
tampaknya kehilangan ketajaman. Sekarang aku menemukan diriku menatap
bentuk samar-samar, warna kabur, bayangan-bayangan yang mendalam.
Dan kemudian aku mendengar bisikan pelan.
"Maaaaaaaax.??
Seperti angin melalui pepohonan. Goyangan pelan dedaunan.
Bukan suara sama sekali. Bahkan bukan bisikan.
Hanya isyarat dari sebuah bisikan.
"Maaaaaaaaax.??
Pada awalnya, kupikir itu ada dalam kepalaku sendiri.
Begitu samar. Begitu pelan. Namun begitu dekat.
Aku menahan napas, mendengarkan baik-baik.
Sekarang sunyi.
Jadi itu dalam kepalaku, aku berkata pada diriku sendiri. Aku membayangkan hal
itu.
Aku menghela napas panjang, membiarkannya keluar perlahan-lahan.
"Maaaaax.??
Bisikan itu lagi.
Sekali ini lebih keras. Menyedihkan, entah bagaimana. Mirip permohonan. Suatu
panggilan minta tolong. Dari jauh, jauh.
"Maaaaaaaax.??
Aku mengangkat tanganku di telingaku. Apa aku mencoba untuk menutupinya ?
Untuk melihat apakah aku bisa membuatnya pergi?
Di dalam cermin, sebentuk bayangan gelap bergeser perlahan-lahan. Aku menatap
kembali pada diriku sendiri, ekspresi wajahku tegang ketakutan. Aku menyadari
bahwa aku kedingingan dari kepala sampai kaki.
Seluruh tubuhku menggigil kedinginan.
"Maaaaax.??
Bisikan itu, kusadari, itu berasal dari cermin.
Dari bayanganku sendiri? Dari suatu tempat di belakang bayanganku?
Aku melompat berdiri, berbalik, dan berlari. Kaki telanjangku menampar lantai
kayu. Aku terjun ke bawah tangga, terbang melintasi lorong, menukik ke tempat
tidurku.
Aku menutup mata rapat-rapat dan berdoa ketakutan.
Bisikan tak mengikutiku.
16
Aku menarik selimut sampai ke daguku. Aku merasa begitu kedinginan. Seluruh
tubuhku gemetar.
Aku bernapas keras, mencengkeram bagian atas selimut dengan kedua tangan,
menunggu, mendengarkan.
Apakah bisikan-bisikan itu mengikutiku ke kamarku?
Apa mereka itu nyata, hanya di kepalaku?
Siapa yang memanggilku, membisikkan namaku dengan suara sedih, putus asa?
Tiba-tiba aku mendengar suara terengah-engah lebih keras dariku. Aku merasakan
napas panas di wajahku. Berbau asam dan lembab.
Sesuatu itu meraihku. Menangkap wajahku.
Aku membuka mataku ketakutan.
"Whitey!" Jeritku.
Anjing bodoh itu berdiri dengan kaki belakangnya, bersandar di selimut, dengan
bersemangat menjilati wajahku.
"Whitey, anjing yang baik!" teriakku, tertawa. Lidahnya yang kasar menggelitik.
Aku tak pernah sesenang itu melihatnya.
Aku memeluknya dan menariknya naik ke tempat tidur. Dia merintih penuh
semangat. Ekornya bergoyang-goyang seperti gila.
"Whitey, apa yang membuatmu masih bangun?" Tanyaku, memeluknya. "Apa kau
juga mendengar suara-suara?"
Dia menggonggong pelan, seolah-olah menjawab pertanyaan itu.
Kemudian dia melompat dari tempat tidur dan menggoyangkan dirinya. Dia
berbalik tiga kali dalam sebuah lingkaran yang ketat, membuat tempat untuk
dirinya di atas karpet, dan berbaring, menguap keras.
"Kau sungguh-sungguh aneh malam ini," kataku.
Dia meringkukkan dirinya menjadi bola ketat dan mengunyah lembut di ekornya.
Didampingi oleh dengkuran lembut anjing itu, aku akhirnya hanyut dalam tidur
yang tak tenang.
***
Ketika aku terbangun, langit pagi hari di jendela luar kamarku masih abu-abu.
Jendela terbuka sedikit, dan tirai yang bergoyang-goyang oleh angin yang kuat.
Aku duduk dengan cepat, langsung waspada. Aku harus berhenti naik ke loteng,
pikirku.
Aku harus melupakan cermin bodoh itu.
Aku berdiri dan meregangkan tubuh. Aku harus berhenti. Dan aku harus membuat
orang lain untuk berhenti.
Aku teringat teriakan berbisik dari malam sebelumnya.
Suara kering sedih, membisikkan namaku.
"Max!"
Suara dari luar kamarku mengejutkanku, mengeluarkanku dari pikiran
mengerikanku.
"Max waktunya bangun! Kita akan ke Springfield, ingat?" Itu ibuku di luar lorong.
"Cepat. Sarapan di atas meja. "
"Aku sudah bangun!"teriakku. "Aku akan turun sebentar lagi."
Aku mendengar langkah-langkah kakinya menuruni tangga. Lalu aku mendengar
Whitey di bawah tangga menggonggong ke pintu akan keluar.
Aku berbaring lagi.
"Wah!" Teriak ku keluar saat pintu lemari berayun terbuka.
Satu kaos Gap merah bangkit dari rak atas dan mulai mengapung di seberang
ruangan.
Aku mendengar cekikikan. Cekikikan yang kukenal.
Kaos itu menari-nari di depanku.
"Lefty, kau konyol!" Teriakku marah. Aku memukul kaos itu, tapi itu menari-nari
di luar jangkauanku. "Kau berjanji tak akan melakukan ini lagi! "
"Aku telah menyilangkan jari-jariku," katanya, cekikikan.
"Aku tak peduli!" Jeritku. Aku menerjang ke depan dan menyambar kemeja. "Kau
harus berhenti. Aku serius. "
"Aku hanya ingin mengejutkanmu," katanya, berpura-pura perasaannya terluka.
Sepasang celana melayang naik dari rak lemari dan memulai berparade bolak-balik
di depanku.
"Lefty, aku akan membunuhmu!" teriakku. Lalu aku merendahkan suaraku, ingat
kalau Ayah dan Ibu bisa mendengar. "Letakkan-sekarang. Pergi ke atas dan
matikan lampu cermin itu. Cepat! "
Aku mengacungkan kepalanku di mana jins berbaris. Aku sangat marah.
Mengapa ia harus begitu bodoh? Apa dia tak menyadari bahwa ini bukan sekedar
permainan?
Tiba-tiba, celana itu ambruk di tumpukan di karpet.
"Lefty, lemparkan itu padaku," perintahku padanya. "Lalu ke atas dan buat dirimu
terlihat lagi."
Sunyi.
Celana itu tak bergerak.
"Lefty-jangan main-main," bentakku, perasaan takut menikam perutku.
"Lemparkan celana itu padaku dan keluar dari sini."
Tak ada jawaban.
Celana itu tetap terpuruk di karpet.
"Hentikan permainan bodoh ini!" teriakku. "Kau tak lucu! Jadi hentikan itu.
Sungguh. Kau membuatku takut!"
Aku tahu itu yang ingin dia dengar. Setelah aku mengakui bahwa ia membuatku,
aku yakin dia akan tertawa dan pergi melakukan seperti yang kukatakan.
Tapi tidak. Ruangan itu masih sunyi. Tirai beterbangan ke arahku, lalu tertarik ke
belakang dengan suara gemerisik pelan. Celana kusut itu berbaring di karpet.
"Lefty? Hei, Lefty? "Seruku, suaraku gemetar. Tak ada balasan.
"Lefty? Apa kau di sini? "Tidak Lefty sudah lenyap.
17
18
Bayangkan betapa terkejutnya aku saat Zack, Erin, dan April muncul di depan
pintuku di hari Rabu pagi.
"Aku bilang pada kalian kompetisi dibatalkan," aku tergagap, menatap mereka
keheranan melalui layar pintu.
"Tapi Lefty menelpon kami," jawab Erin. "Dia bilang pikiranmu berubah."
Dua orang lainnya itu setuju.
Mulutku ternganga setinggi lutut. "Lefty?"
Mereka mengangguk. "Dia menelpon kami kemarin," kata April.
"Tapi Lefty bahkan tak di sini pagi ini," kataku pada mereka saat mereka berjalan
ke dalam rumah. "Dia di taman bermain kasti dengan teman-temannya. "
"Siapa itu?" Kata ibuku. Dia datang berjalan ke lorong, mengeringkan tangannya
pada lap piring.
Dia mengenali teman-temanku, lalu berpaling kepadaku, suatu
pandangan bingung tampak pada pada wajahnya. "Max, kupikir kau akan
membantuku di ruang bawah tanah. Aku tak tahu kau akan membuat rencana
dengan Zack, Erin, dan April. "
"Aku tidak," jawabku pelan. "Lefty-"
"Kami hanya mampir," kata Zack pada Ibu, datang untuk menyelamatkanku.
"Jika kau sibuk, Max, kita bisa pergi," tambah Erin.
"Tidak, tak apa-apa," kata Ibu pada mereka. "Max mengeluh tentang betapa akan
membosankannya membantuku. Ada baiknya kalian bertiga muncul. "
Dia menghilang kembali ke dapur. Segera setelah ia pergi, ketiga temanku praktis
menerkamku.
"Ke atas!" Teriak Zack penuh semangat, menunjuk ke tangga.
"Ayo kita jadi tak terlihat!" Bisik Erin.
"Aku bisa jadi yang pertama karena aku tak pernah," kata April.
Aku mencoba untuk berdebat dengan mereka, tapi aku kalah jumlah dan
kalah suara.
"Oke, oke," Dengan enggan aku setuju. Aku mulai mengikuti mereka menaiki
tangga ketika aku mendengar suara menggaruk di pintu.
Aku mengenali suara itu. Itu Whitey, kembali dari jalan-jalan paginya. Aku
mendorong membuka layar pintu dan dia berlari-lari kecil, mengibas-ngibaskan
ekor.
Anjing bodoh punya beberapa duri-duri kecil yang menempel di ekornya. Aku
mengejarnya ke dapur dan berhasil membuatnya berdiri diam cukup lama untuk
menarik duri-duri itu. Lalu aku bergegas ke loteng untuk bergabung dengan teman-
temanku.
Saat aku tiba di sana, April sudah berdiri di depan cermin, dan Zack berdiri di
sampingnya, siap untuk menyalakan lampu.
"Wah!" Kataku.
Mereka berbalik untuk menatapku. Aku bisa melihat suatu ekspresi ketakutan di
wajah April. "Aku harus melakukan ini segera. Atau kalau tidak aku mungkin
pengecut, "dia menjelaskan.
"Aku hanya berpikir kita harus meluruskan peraturan dulu," Aku berkata tegas.
"Cermin ini sungguh bukan mainan, dan-"
"Kami tahu, kami tahu," sela Zack nyengir.
"Ayolah, Max. Tak ada kuliah hari ini, oke? Kami tahu kau gugup karena kau akan
kalah. Tapi itu bukan alasan-"
"Aku tak ingin bersaing," kata April gugup. "Aku hanya ingin melihat bagaimana
rasanya menjadi tak terlihat. Cukup untuk satu menit. Lalu aku ingin kembali. "
"Yah, aku yang akan memegang rekor dunia," Zack membual, bersandar pada
bingkai cermin itu.
"Aku juga," kata Erin.
"Aku benar-benar tak berpikir itu ide yang bagus," kataku, menatap bayanganku di
cermin. "Kita seharusnya cukup jadi tak terlihat dalam waktu singkat. Ini terlalu
berbahaya untuk-"
"Pengecut!" Kata Zack, menggelengkan kepala.
"Kami akan berhati-hati, Max," kata Erin.
"Aku cuma punya perasaan yang benar-benar buruk," aku mengaku. Rambutku
telah berdiri di belakang. Aku melangkah mendekat ke cermin untuk melihat lebih
baik, dan merapikannya ke bawah dengan tanganku.
"Kupikir kita semua harus jadi tak terlihat pada saat yang sama,"
Zack berkata kepadaku, mata birunya bercahaya gembira. "Lalu kita bisa pergi ke
taman bermain dan membuat adikmu ketakutan setengah mati! "
Semua orang tertawa kecuali April. "Aku hanya ingin mencobanya semenit,"
desaknya. "Itu saja."
"Pertama kita berkompetisi," kata Erin dan Zack. "Lalu kita pergi keluar dan
menakut-nakuti orang. "
"Ya! Semua benar!" seru Zack.
Kuputuskan untuk menyerah. Tak ada gunanya untuk mencoba berdebat dengan
Zack dan Erin. Mereka terlalu menjiwai kompetisi ini.
"Oke, ayo kita melakukannya ," kataku pada mereka.
"Tapi pertama-tama aku yang pergi," kata April, kembali ke cermin.
Zack menggapai tali itu lagi.
"Siap? Pada hitungan ketiga, "katanya.
Aku berbalik ke pintu saat Whitey datang mengendus-endus masuk, hidungnya
turun ke lantai, ekornya lurus di belakangnya.
"Whitey, apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku.
Dia mengabaikanku dan terus mengendus bersemangat.
"Satu ... dua ..." Zack mulai.
"Ketika aku mengatakan 'siap', bawa aku kembali. Oke? " pinta April bertanya,
berdiri kaku, menatap lurus ke depan ke dalam cermin. "Tak ada lelucon apa pun,
Zack."
"Tak ada lelucon," jawab Zack serius. "Begitu kau ingin kembali, aku akan
mematikan lampu. "
"Bagus," jawab April pelan.
Zack mulai menghitung lagi. "Satu ... dua ... tiga!"
Saat dia mengatakan tiga dan menarik string, Whitey melangkah ke samping April.
Lampu menyala.
"Whitey!" Aku berteriak. "Hentikan!"
Tapi sudah terlambat.
Dengan menjerit kaget, anjing itu lenyap bersama dengan April.
19
20
21
Aku menatap ke cermin itu sebentar, menunggu (cahaya) yang menyilaukan itu
memudar dari mataku. Selalu syok seperti itu. Saat pertama, ketika bayanganku
menghilang. Ketika kau menatap tempat di mana kau tahu kau berdiri - dan
menyadari bahwa kau sedang melihat tepat melalui dirimu sendiri!
"Bagaimana perasaanmu, Max? Bagaimana perasaanmu? " tanya Erin bertanya,
meniruku.
"Erin, apa masalahmu?" Bentakku. Ini tak seperti dirinya begitu sinis.
" Cuma memberikan rasa dari pengobatanmu," jawabnya, nyengir.
Sesuatu tentang senyumnya itu miring, tak normal.
"Kau pikir dapat mengalahkan rekorku?" tuntut Zack.
"Aku tak tahu. Mungkin, "jawabku ragu.
Zack melangkah ke cermin yang mengamati bayangannya. Aku punya perasaan
aneh saat aku melihatnya. Aku tak bisa menjelaskannya. Aku tak pernah melihat
Zack berdiri seperti dalam posisi itu dan mengagumi dirinya dengan cara itu.
Sesuatu yang berbeda. Aku tahu itu. Tapi aku tak bisa mencari tahu apa.
Mungkin hanya kegugupanku, aku berkata pada diriku sendiri.
Aku hanya begitu stres. Mungkin ini mempengaruhi caraku melihat teman-
temanku. Mungkin aku yang membuat semua hal ini.
"Dua menit," diumumkan April.
"Apakah kau hanya akan berdiri di sana?" Tanya Erin, menatap ke cermin.
"Apakah kau tak akan bergerak berkeliling atau lainnya, Max? "
"Tidak. Aku tak berpikir begitu, "kataku. "Maksudku, aku tak bisa memikirkan
apapun yang ingin kulakukan. Aku cuma akan menunggu sampai waktunya habis."
"Kau ingin berhenti sekarang?" Tanya Zack, menyeringai di tempat di mana dia
mengira aku berdiri.
Aku menggeleng. Lalu aku ingat bahwa tak ada satu bisa melihatnya.
"Tidak. Aku mungkin juga pergi jauh, "aku mengatakan kepadanya. "Karena aku
di sini, aku mungkin juga membuatmu terlihat buruk, Zack. "
Dia tertawa mengejek.
"Kau tak akan mengalahkan tiga belas menit dua puluh detik, "katanya yakin. "Tak
mungkin."
"Yah, kau tahu apa?" Kataku, marah karena nada suara sombongnya. "Aku hanya
akan berdiri di sini sampai aku selesai."
Dan itulah yang kulakukan. Aku berdiri di tempat, bersandar ke bingkai cermin,
sementara April menghitung dari menit ke menit.
Aku baik-baik saja sampai beberapa saat setelah dia berseru sebelas menit. Lalu,
tiba-tiba, cahaya menyilaukan dari lampu mulai menyakiti mataku.
Aku memejamkan mata, tapi tak membantu. Lampu itu semakin terang, lebih
tajam. Tampaknya akan melanda di sekitarku, mengelilingiku, membungkusku.
Dan lalu aku mulai merasa pusing dan bercahaya. Seolah-olah aku mulai melayang
pergi, bahkan meskipun aku tahu bahwa aku berdiri di tempat.
"Hei, teman-teman?" Seruku. "Kupikir aku sudah cukup."
Suaraku terdengar kecil dan jauh, bahkan bagiku.
Cahaya berputar-putar di sekitarku. Aku merasa diriku jadi lebih ringan, lebih
ringan, sampai aku harus berjuang untuk menjaga kakiku di lantai untuk bertahan
dari melayang pergi.
Aku menjerit bernada tinggi. Aku tiba-tiba tercengkeram oleh kepanikan.
Kedinginan panik.
"Zack bawa aku kembali!" teriakku.
"Oke, Max. Tak masalah, "aku mendengar jawaban Zack.
Dia tampak bermil-mil jauhnya.
Aku berusaha melihatnya melalui lampu kuning yang menyilaukan. Dia sesosok
gelap di belakang dinding lampu, sosok gelap itu bergerak cepat ke cermin.
"Aku sekarang membawamu kembali, Max. Tunggu, "aku mendengar ucapan
Zack.
Lampu terang itu bersinar lebih terang. Ini sangat menyakitkan. Bahkan dengan
mata tertutup, ini menyakitkan.
"Zack, tarik talinya!" teriakku.
Aku membuka mataku untuk melihat bayangan redupnya sampai ke tali.
Tarik, tarik, tarik! desakku diam-diam.
Aku tahu bahwa dalam satu detik, lampu akan mati. Dan aku akan aman.
Sedetik.
Satu sentakan tali.
Tarik, tarik, tarik, Zack.
Zack mencapai tali itu. Aku melihatnya meraihnya.
Dan kemudian aku mendengar suara lain di dalam ruangan. Satu suara baru. Satu
suara terkejut.
"Hai. Apa yang terjadi di sini? Apa yang kalian- anak-anak lakukan? "
Aku melihat sosok bayangan Zack menurunkan tali dan melangkah pergi tanpa
menariknya.
Ibuku mendadak masuk ke dalam ruangan.
22
23
Satu jeritan ngeri keluar dari bibirku. Aku mencoba untuk membentuk kata-kata,
tapi otakku sepertinya lumpuh.
Sosok itu mendekati dengan cepat, diam-diam, melalui dinginnya dunia putih
cermin. Dia tersenyum padaku, sebuah senyum yang menakutkan, senyum yang
kukenal.
"Kau!" Teriakku.
Dia berhenti satu inci dariku.
Aku menatapnya tak percaya.
Aku menatap diriku sendiri. Diriku. Tersenyum ke arahku. Senyum sedingin kaca
yang mengelilingi kita.
"Jangan takut," katanya. "Aku bayanganmu."
"Tidak!"
Matanya - mataku sendiri- menatapku kelaparan, seperti menatap tulang gemuk.
Senyumnya jadi melebar saat aku berteriak ketakutan.
"Aku sudah menunggumu di sini," kata bayanganku, matanya terkunci padaku.
"Tidak!" ulangku.
Aku berbalik menjauh.
Aku tahu aku harus menjauh.
Aku mulai berlari.
Tapi aku berhenti saat aku melihat wajah-wajah di depanku. Menyimpang, wajah
tak bahagia wajah, lusinan dari mereka, penuh wajah-wajah cermin rumah, dengan
mata-mata yang sangat besar, terkulai dan mulut-mulut kecil ketat dengan
kesedihan.
Wajah-wajah yang tampakmelayang-layang di depanku. Mata-mata yang kosong
menatapku, mulut-mulut kecil yang bergerak cepat seolah-olah memanggilku,
memperingatkanku, memberitahuku untuk pergi.
Siapa orang-orang, wajah-wajah ini?
Mengapa mereka di dalam cermin bersamaku?
Mengapa mereka menyimpang, gambar-gambar berputar menunjukkan begitu
banyak kesedihan, begitu banyak rasa sakit?
"Tidak!"
Aku tersentak saat kupikir aku mengenali dua dari wajah yang mengambang,
mulut-mulut mereka bekerja keras, alis-alis mata mereka
naik dengan liar ke atas dan ke bawah.
Erin dan Zack,
Tidak.
Itu tak mungkin, bukan?
Aku menatap tajam mereka. Mengapa mereka berbicara dengan panik? Apa yang
mereka coba untuk memberitahuku,
"Tolong aku!" Seruku.
Tapi mereka tampaknya tak mendengarku.
Wajah-wajah, lusinan dari mereka, muncul dan melayang.
"Tolong aku - tolong!"
Dan kemudian aku merasa diriku berputar. Aku menatap pada mata bayanganku
saat ia mencengkeram bahuku dan menahanku di tempat.
"Kau tak akan pergi," katanya. Suaranya yang tenang bergema melalui keheningan
kosong itu, untaian tetesan air yang membeku menggores kaca.
Aku berjuang untuk membebaskan diri, tapi cengkeramannya (begitu) kuat.
"Aku orang yang akan pergi," katanya kepadaku. "Aku sudah menunggu begitu
lama. Sejak kau menyalakan lampu. Dan sekarang aku akan melangkah keluar dari
sini dan bergabung dengan yang lain. "
"Yang lain?" Jeritku.
"Teman-temanmu menyerah dengan mudah," katanya. "Mereka tak melawan.
Pertukaran dibuat. Dan sekarang kau dan aku akan juga membuat pertukaran. "
"Tidak!" Jeritku, dan teriakanku tampak bergema melalui es dingin itu bermil-mil.
"Mengapa kau begitu takut?"Tanyanya, memutarku, masih mencengkeram bahuku,
membawa wajahnya dekat denganku. "Apakah kau begitu takut sisi lainmu, Max?"
Dia menatapku tajam. "Itulah aku, kau tahu, "katanya. "Aku bayanganmu. Sisi
lainmu. Sisi dinginmu. Jangan takut padaku. Teman-temanmu tak takut. Mereka
membuat pertukaran tanpa banyak dari perjuangan. Sekarang mereka berada di
dalam cermin. Dan bayangan mereka ... "
Suaranya melemah. Dia tak harus menyelesaikan kalimatnya. Aku tahu apa yang
dikatakannya.
Sekarang aku mengerti tentang Erin dan Zack. Sekarang aku mengerti mengapa
mereka tampak berbeda bagiku.
Mereka terbalik. Mereka itu bayangan Zack dan Erin.
Dan sekarang aku mengerti mengapa mereka mendorongku ke dalam
cermin, mengapa mereka memaksaku untuk menghilang juga.
Jika aku tak melakukan sesuatu, aku menyadari, bayanganku akan bertukar tempat
denganku. Bayanganku akan masuk ke loteng. Dan aku akan terperangkap di
dalam cermin selamanya, terjebak selamanya dengan wajah-wajah sedih yang
terapung-apung.
Tapi apa yang bisa kulakukan?
Menatap pada diriku sendiri, aku memutuskan untuk berdalih, untuk mengajukan
pertanyaan, untuk memberi diriku sedikit waktu untuk berpikir.
"Siapa pemilik cermin ini? Siapa yang membuatnya? " tuntutku.
Dia mengangkat bahu. "Bagaimana aku bisa tahu? Aku hanya bayanganmu,
ingat?"
"Tapi bagaimana-"
"Sudah waktunya," katanya bersemangat. "Jangan mencoba untuk berdalih dengan
pertanyaan bodoh. Waktu untuk membuat pertukaran. Waktu bagimu untuk
menjadi bayanganku! "
24
Lampu menyala.
Aku jadi tak terlihat.
Bayanganku tetap di cermin, telapak tangannya yang terbuka menekan bagian
dalam kaca, menatap keluar.
"Aku menunggumu, Max," katanya. "Dalam beberapa menit, kau akan bergabung
denganku di sini. "
"Tidak!" Aku berteriak. "Aku pergi. Aku akan turun. "
"Tidak, kau tak akan," kata bayanganku, menggelengkan kepalanya. "Erin dan
Zack tak akan membiarkanmu melarikan diri. Tapi jangan begitu takut, Max. Ini
semua tak cukup menyakitkan. Sungguh. "
Dia tersenyum. Itu senyumku. Tapi itu dingin. Kejam.
"Aku tak mengerti ini," April memprotes kembali di pintu. "Apa ada yang bisa
mengatakan padaku apa yang terjadi?"
"Kau akan melihatnya, April," kata Erin menenangkannya.
Apa yang harus kulakukan? Aku bertanya-tanya, membeku dalam panik.
Apa yang bisa kulakukan?
"Hanya beberapa menit lagi," kata bayanganku dengan tenang, siap merayakan
kemenangannya. Kebebasannya.
"April, cari bantuan!" Jeritku.
Dia berbalik saat mendengar suaraku. "Hah?"
"Cari bantuan! Pergi ke bawah. Cari bantuan! Cepat! " jeritku.
"Tapi-aku tak mengerti-" April ragu-ragu.
Erin dan Zack bergerak menghalangi jalnnya.
Tapi pintu tiba-tiba terayun terbuka.
Aku melihat Lefty berhenti di ambang pintu. Dia mengintip ke dalam.
Bayanganku.
Dia pasti berpikir bayangan itu adalah aku.
"Berpikirlah cepat!" Teriaknya, dan ia melemparkan bola kastinya.
Bola itu menabrak cermin itu.
Aku melihat ekspresi terkejut di wajah Lefty itu. Dan kemudian!
Mendengar dentaman itu dan melihat kaca itu pecah dan hancur.
Bayanganku tak punya waktu untuk bereaksi. Dia pecahkan menjadi pecahan kaca
dan jatuh ke lantai.
"Tidaaaak!" Erin dan Zack memekik.
Aku muncul kembali dalam pandangan saat bayangan Erin dan Zack melayang
dari lantai. Mereka terhisap ke dalam cermin rusak itu menjerit-jerit sepanjang
jalan- tersedot ke dalamnya seolah-olah penyedot debu yang kuat menarik mereka
masuk.
Kedua bayangan itu terbang berteriak-teriak ke cermin dan tampaknya
memecahkan cermin itu jadi ratusan potong.
"Wah!" Teriak Lefty, mencengkeram pintu dengan seluruh kekuatannya, menekan
tubuhnya ke kusen pintu,
berjuang untuk menahan dirinya dari tersedot ke dalam kamar.
Dan kemudian Erin dan Zack jatuh berlutut ke lantai, tampak linglung dan
bingung, menatap potongan-potongan kaca yang hancur berserakan di sekitar
mereka.
"Kau kembali!" Teriak saya gembira. "Ini benar-benar kau!"
"Ya. Ini aku, "kata Zack, berdiri goyah , kemudian berbalik untuk membantu Erin.
Cermin itu hancur. Bayangan-bayangan itu lenyap.
Erin dan Zack memandang sekeliling ruangan, masih terguncang dan pusing.
April menatapku sangat bingung.
Lefty tetap berada di luar ambang pintu, menggelengkan kepalanya. "Max,"
katanya, "Kau seharusnya menangkap bola itu. Itu tangkapan mudah."
Erin dan Zack kembali. Dan mereka baik-baik saja.
Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan semuanya kembali normal.
Kami menjelaskan segalanya pada April dan Lefty sebaik kami bisa.
April pulang ke rumah. Dia harus mengurusi adik kecilnya.
Erin dan Zack -Erin dan Zack yang asli-membantuku menyapu kaca yang pecah.
Kemudian kami menutup pintu ruangan kecil itu. Aku menguncinya erat-erat, dan
kami membawa semua kardus dan menumpuknya menghalangi dari pintu.
Kami tahu kami akan tak akan pernah di sana lagi.
Kami bersumpah tak akan memberitahu siapa pun tentang jadi
tak terlihat, cermin itu atau apa yang terjadi di ruangan kecil itu. Lalu Erin dan
Zack pulang.
Kemudian, Lefty dan aku berkeliaran keluar di halaman belakang.
"Itu sangat menakutkan," kataku pada Lefty dengan bergidik. "Kau tak bisa
membayangkan seperti apa rasanya."
"Kedengarannya cukup menakutkan," jawab Lefty tanpa sadar. Dia
melemparkan bola kasti dari satu tangan ke tangan lainnya. "Tapi setidaknya
semuanya baik-baik saja sekarang. Ingin bermain menangkap (bola) sebentar? "
"Tidak," Aku menggeleng. Aku sedang tak ingin. Tapi kemudian aku berubah
pikiran. "Mungkin itu akan mengalihkan pikiranku dari apa yang terjadi pagi ini,"
kataku.
Lefty melemparkan bola. Kami berlari di belakang garasi, tempat kami biasanya
untuk melempar bola.
Aku melemparkan kembali kepadanya.
Kami punya permainan tangkap bola yang cukup baik.
Sampai sekitar lima menit telah berlalu.
Sampai ...
Sampai aku berhenti dan membeku di tempat.
Apakah mataku menipuku?
"Inilah bola cepatku datang," katanya. Dia melempar bola itu padaku.
Tidak Tidak Tidak
Aku ternganga dengan mulut terbuka saat bola melesat melewatiku.
Aku bahkan tak berusaha untuk menangkapnya. Aku tak bisa bergerak.
Aku hanya bisa terpaku ngeri.
Adikku melempar dengan tangan kanan.
***