Anda di halaman 1dari 76

RL Stine

Gara-gara Cermin Ajaib


(Goosebump#06)

Novel Goosebumps seri ke-6 ini sebenarnya berjudul “Lets Get Invisible” yang
seharusnya diartikan “Ayo Jadi Tak Terlihat”. Tapi penerbitnya dari Indonesia
memberikan judul “Gara-gara Cermin Ajaib” mungkin karena lebih menarik
perhatian para konsumen dan lebih berdaya jual. Saya sengaja memberikan
terjemahan ini judul yang sama agar tidak menimbulkan kebingungan dan
mempermudah pencariannya di internet.
Seri ini juga cukup menarik dan menegangkan seperti seri-seri Goosebumps
lainnya.Saya harap hasil terjemahan ini cukup mudah dimengerti dan tidak
menyimpang jauh dari buku aslinya yang berbahasa Inggris, meskipun harus saya
akui terkadang saya mengalami kesulitan dalam penerjemahannya. Dan saya juga
berharap dapat menimbulkan ketegangan yang sama bagi para pembacanya seperti
bahasa aslinya.
Dan akhirnya, saya ucapkan “selamat membaca dan selamat mengalami
ketegangan”.

Minggu, 23 Desember 2012

Farid ZE

Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu


RL Stine
Gara-gara Cermin Ajaib
(Goosebump#06)

Aku jadi tak terlihat pertama kali pada ulang tahunku yang kedua belas.
Dalam masalah ini, itu semua salah Whitey. Whitey adalah anjingku.
Dia hanyalah anjing kampung, blesteran anjing terrier dan anjing lainnya.
Seluruh tubuhnya berwarna hitam, jadi tentu saja kami menamainya Whitey.
Jika saja Whitey tak mengendus-endus di loteng ...
Yah, mungkin sebaiknya aku mundur sedikit dan mulai dari awal.
Ulang tahunku berlangsung pada hari Sabtu yang hujan. Itu adalah beberapa menit
sebelum anak-anak akan mulai berdatangan ke pesta ulang tahunku, jadi aku
bersiap-siap.
Bersiap-siap artinya menyisir rambutku.
Saudaraku selalu mempermasalahkan rambutku. Dia memberiku waktu yang sulit
karena aku menghabiskan begitu banyak waktu di depan cermin untuk menyisir
dan memeriksanya.
Masalahnya adalah aku kebetulan memiliki rambut yang indah. Rambutku sangat
tebal, semacam cokelat keemasan, dan sedikit agak bergelombang. Rambutku
keistimewaan terbaikku, jadi aku senang memastikannya terlihat oke.
Lagipula aku punya telinga yang sangat besar yang terlalu mencuat. Jadi aku harus
terus memastikan bahwa rambutku menutupi telingaku. Ini penting.
"Max, belakangnya masih kacau," kata saudaraku, Lefty, berdiri di belakangku saat
aku mengamati rambutku di depan cermin.
Namanya aslinya Nuh, tapi aku memanggilnya Lefty karena dia
satu-satunya dia orang yang kidal di keluarga kami. Lefty sedang melemparkan
bola kasti ke atas dan menangkapnya dengan tangan kirinya. Dia tahu dia tak
seharusnya melemparkan bola itu di sekitar rumah, tapi bagaimanapun juga dia
selalu melakukannya juga.
Lefty dua tahun lebih muda dariku. Dia bukan anak yang buruk, tetapi ia memiliki
energi terlalu banyak. Dia harus selalu melempar bola, mengetuk-ngetukkan
tangannya di meja, memukul sesuatu, berlarian, jatuh ke bawah, melompati benda-
benda, bergulat denganku. Kalian tahu maksudku. Ayah mengatakan Lefty punya
semut-semut di celananya. Itu adalah ungkapan yang bodoh, tapi sepertinya
menggambarkan saudaraku.
Aku berbalik dan memutar leher untuk melihat bagian belakang dari rambutku.
"Tak kacau, pembohong," kataku.
"Berpikirlah cepat!" Teriak Lefty, dan dia melempar bola kasti itu padaku.
Aku meraihnya dan gagal. Bola itu menabrak dinding tepat di bawah cermin
dengan debuman keras. Lefty dan aku menahan nafas, menunggu untuk melihat
apakah Ibu mendengar suara itu. Tapi dia tak mendengarnya. Kupikir ia berada di
dapur mengerjakan sesuatu pada kue ulang tahun.
"Itu bodoh," bisikku pada Lefty. "Kau hampir memecahkan cermin. "
"Kau yang bodoh," katanya. Khas.
"Mengapa kau tak belajar untuk melempar dengan tangan kanan? Lalu mungkin
aku bisa menangkapnya, kadang-kadang, "kataku padanya.
Aku suka menggodanya tentang kekidalannya karena dia benar-benar
membencinya.
"Kau bau," katanya, mengambil bola kasti itu.
Aku sudah terbiasa untuk itu. Dia mengatakannya seratus kali sehari. Kukira dia
berpikir itu cerdas atau seperti itu.
Dia anak yang baik untuk usia sepuluh tahun, tetapi ia tak punya banyak kosa kata.
"Telingamu mencuat," katanya.
Aku tahu dia berbohong. Aku mulai menjawabnya, tetapi bel pintu berbunyi.
Dia dan aku berlomba menyusuri lorong sempit ke depan pintu.
"Hei, ini pestaku!" Kataku.
Tapi Lefty sampai ke pintu duluan dan membukanya.
Sahabatku, Zack, menarik membuka pintu dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Saat itu mulai hujan cukup deras, dan dia sudah basah kuyup.
Dia memberiku kado yang dibungkus kertas perak, air hujan menetes darinya.
"Itu sekumpulan buku komik," katanya. "Aku sudah membacanya. Gambar novel
X-Force jenis yang (paling) keren."
"Trim's," kataku. " Kelihatannya tak terlalu basah."
Lefty meraih kado itu dari tanganku dan lari ke ruang tamu dengannya. "Jangan
dibuka!" Teriakku.
Dia mengatakan ia baru saja memulai menumpuk.
Zack melepas topi Red Sox-nya, dan aku melihatnya potongan rambut barunya.
(Red Sox = nama tim kasti profesional di Boston, Massachusetts anggota Liga
Utama Kasti Amerika Bagian Selatan)
"Wow! Kau terlihat ... berbeda," kataku, mempelajari penampilan barunya.
Rambut hitamnya berkibar begitu pendek di sisi kirinya. Sisanya itu panjang,
disisir lurus ke kanan.
"Apakah kau mengundang para gadis?" Dia beranya padaku, "atau hanya anak
laki-laki? "
"Beberapa gadis akan datang," kataku. "Erin dan April. Mungkin sepupuku Debra.
"Aku tahu dia menyukai Debra.
Dia mengangguk berpikir. Wajah Zack benar-benar serius. Dia punya mata biru
kecil yang selalu terlihat jauh, sepertinya ia berpikir keras tentang sesuatu.
Sepertinya dia benar-benar (berpikir) mendalam.
Dia semacam seorang pria yang kuat. Tak gugup. Hanya tegang. Dan sangat
semangat bersaing. Dia harus menang di segalanya. Jika ia di tempat kedua, ia jadi
benar-benar kesal dan menendang barang-barang. Kalian tahu semacam (itulah).
"Apa yang akan kita lakukan?" Tanya Zack, mengguncang-guncangkan air dari
topi Red Soxnya.
Aku mengangkat bahu. "Kita seharusnya berada di belakang halaman. Ayah
memasangkan net voli pagi ini. Tapi itu sebelum hujan mulai turun. Aku menyewa
beberapa film. Mungkin kita akan menontonnya. "
Bel pintu berbunyi. Lefty muncul lagi keluar dari tempatnya, mendorong Zack dan
aku keluar dari jalan, dan menukik ke pintu .
"Oh, kau," kudengar ucapannya.
"Terima kasih untuk sambutannya." Aku mengenali suara Erin yang melengking.
Beberapa anak memanggil Erin "Tikus" karena suaranya itu, dan karena dia kecil
seperti tikus. Dia berambut pendek pirang lurus, dan kupikir dia lucu, tapi tentu
saja aku tak pernah memberitahu seorang pun tentang itu.
"Bisakah kita masuk?"
Berikutnya aku mengenali suara April. April adalah gadis lain dalam kelompok
kami. Dia berambut keriting hitam dan gelap, bermata sedih. Aku selalu berpikir
dia benar-benar sedih, tapi kemudian aku tahu bahwa dia hanya pemalu.
"Pestanya itu besok," aku mendengar Lefty memberitahu mereka.
"Hah?" Kedua gadis mengeluarkan teriakan terkejut.
"Tidak, tidak," teriakku. Aku melangkah ke ambang pintu dan mendorong Lefty
keluar dari jalan. Aku membuka layar pintu jadi Erin dan April bisa masuk "Kalian
tahu lelucon kecil Lefty , "kataku, menekan saudaraku ke dinding.
"Leftylah lelucon kecil itu," kata Erin.
"Kau bodoh," kata Lefty padanya. Aku menekannya ke dinding sedikit lebih keras,
bersandar kepadanya dengan segenap berat badan. Tapi ia menunduk turun dan
berlari menjauh.
"Selamat Ulang Tahun," kata April, menggocangkan air hujan dari rambut
keritingnya. Dia memberiku kado yang dibungkus kertas kado Natal.
"Hanya itu kertas yang kami punya" dia menjelaskan, melihatku menatapnya.
"Selamat Natal juga kepadamu," candaku. Kado itu rasanya seperti CD.
"Aku lupa kadomu," kata Erin.
"Apa itu?" Tanyaku, mengikuti para gadis ke kamar tamu.
"Aku tak tahu. Aku masih belum membelinya. "
Lefty menyambar keluar hadiah April tanganku dan berlari untuk meletakkannya
di atas hadiah Zack di sudut belakang sofa.
Erin menjatuhkan diri di atas kursi kulit ottoman putih. April berdiri di jendela,
menatap hujan.
"Kita akan pesta makan hotdog," kataku.
"Itu akan sangat lembek hari ini," jawab April.
Lefty berdiri di belakang sofa, melemparkan bola kasti ke atas dan menangkapnya
dengan satu tangan.
"Kau akan memecahkan lampu itu," aku memperingatkannya.
Dia mengabaikanku, tentu saja.
"Siapa lagi yang akan datang?" Tanya Erin.
Sebelum aku bisa menjawab, bel pintu berdering lagi. Lefty dan aku berlari ke
pintu. Dia tersandung sepatunya sendiri dan tergelincir jatuh ke lorong pada
perutnya. Begitu khas.
Jam dua lebih tiga puluh setiap orang telah tiba, lima belas anak-anak masuk
semua, dan pesta dimulai. Yah, pesta itu tak benar-benar mendapatkan
dimulai karena kita tak bisa memutuskan apa yang harus dilakukan. Aku ingin
menonton film Terminator kusewa. Tapi para gadis ingin bermain Twister.
(Twister = sebuah permainan yang mengandalkan skill keluwesan tubuh.
Permainan ini menggunakan sebuah alas/karpet yang cukup lebar yang
direntangkan di atas lantai dan memiliki sejumlah lingkaran bewarna. Warnanya
terdiri atas warna merah, kuning, hijau, dan biru. Tiap lingkaran dengan warna
yang sama disusun pada baris yang sama. Selain itu, terdapat juga sebuah spinner
yang digunakan untuk menunjukkan dimanakah player harus meletakkan tangan
atau kakinya)
"Ini hari ulang tahunku!" Aku bersikeras.
Kami berkompromi. Kami bermain Twister. Kemudian kami menonton sebagian
video Terminator sampai waktunya untuk makan.
Ini adalah pesta yang cukup bagus. Kupikir semua orang mendapat waktu yang
baik. Bahkan April tampak bersenang-senang. Dia biasanya benar-benar pendiam
dan gugup melihat pesta.
Lefty menumpahkan Coke-nya dan makan sepotong coklat kue ulang tahun dengan
tangannya karena dia pikir itu itu lucu. Tapi ia satu-satunya hewan dalam
kelompok itu.
Aku mengatakan kepadanya satu-satunya alasan ia diundang adalah
karena ia keluarga dan tak ada tempat lain dimana kami bisa menyembunyikannya.
Dia menjawab dengan membuka mulut lebar-lebar hingga semua orang bisa
melihat kunyahan kue cokelat di dalamnya.
Setelah aku membuka kado-kado, aku memutar film Terminator kembali. Tapi
semua orang sudah mulai pergi. Kukira itu karena jam 05:00. Kelihatannya jauh
lambat. Saat itu gelap seperti malam, masih berangin keras.
Orang tuaku di dapur bersih-bersih. Erin dan April adalah satu-satunya (tamu)
yang tersisa. Ibu Erin seharusnya menjemput mereka. Dia menelepon dan berkata
dia akan sedikit terlambat.
Whitey berdiri di jendela ruang tamu, menggonggong kepalanya tertunduk. Aku
melihat ke luar. Aku tak melihat ada orang di sana. Aku meraihnya dengan kedua
tanganku dan bergulat menjauh dari jendela.
"Ayo kita naik ke kamarku," kataku ketika aku akhirnya anjing bodoh itu menjadi
tenang. "Aku punya permainan Supernintendo baru aku ingin mencobanya. "
Erin dan April dengan lega mengikutiku ke lantai atas. Mereka karena suatu alasan
tak suka film Terminator.
Lorong lantai atas gelap gulita. Aku menekan tombol lampu, tapi lampu tak
menyala.
"Bola lampunya pasti mati," kataku.
Kamarku berada di ujung lorong. Kami berjalan perlahan menembus kegelapan.
"Agak seram di sini," kata April pelan
Dan persis saat ia mengatakannya, pintu lemari linen berayun terbuka dan, dengan
lolongan yang memekakkan telinga, sesosok gelap melompat keluar kepada kami.

Saat gadis-gadis berteriak ngeri, makhluk melolong itu menyambar pinggangku


dan bergumul kepadaku di lantai.
"Lefty - lepaskan!" Teriakku marah. "Kau tak lucu! "
Dia tertawa seperti orang gila. Dia pikir dirinya adalah orang yang sangat lucu.
"Kena !" Teriaknya. "Aku mengenai dengan bagus!"
"Kami tak takut," Erin bersikeras. "Kami tahu itu kau. "
"Lalu kenapa kau menjerit?" Tanya Lefty.
Erin tak punya jawaban.
Aku mendorongnya dari tubuhku dan berdiri. "Itu tolol, Lefty. "
"Berapa lama kau menunggu di lemari linen?" April bertanya.
"Cukup lama," kata Lefty nya. Dia mulai untuk bangun, tetapi Whitey berlari ke
arahnya dan mulai menjilati wajahnya dengan kuat. Terlalu menggelikan hingga
Lefty jatuh telentang, tertawa.
"Kau membuat takut Whitey juga," kataku.
"Tidak, aku tidak. Whitey lebih pintar dari pada kalian." Lefty mendorong Whitey
menjauh.
Whitey mulai mengendus-endus pintu di seberang lorong.
"Ke mana pintu itu menuju, Max?" Tanya Erin.
"Ke loteng," kataku.
"Kalian memiliki loteng?" Teriak Erin. Sepertinya itu semacam masalah besar.
"Ada apa di sana? Aku suka loteng! "
"Hah?"
Aku menyipitkan mata padanya dalam gelap. Kadang-kadang anak perempuan
benar-benar aneh. Maksudku, bagaimana mungkin ada orang yang suka loteng?
"Hanya sampah-sampah lama peninggalan kakek nenekku," kataku padanya.
"Rumah ini dahulu milik mereka. Ibu dan Ayah menyimpan banyak barang-barang
mereka di loteng. Kami hampir tak pernah naik ke sana. "
"Bisakah kita naik dan melihat-lihat?" Tanya Erin.
"Kurasa," kataku. "Aku tak berpikir itu terlalu mendebarkan hati atau sama sekali
tidak. "
"Aku suka sampah tua," kata Erin.
"Tapi loteng itu sangat gelap ...." kata April pelan. Kupikir dia sedikit takut.
Aku membuka pintu dan meraih tombol lampu di dalam. Sebuah lampu langit-
langit dinyalakan dalam loteng. Lampu itu mengeluarkan cahaya kuning pucat ke
arah kami saat kami menatap anak tangga kayu yang curam.
"Lihat? Ada cahaya di atas sana," kataku April. Aku mulai naik
tangga yang berderit di bawah sepatuku. Bayanganku benar-benar panjang. "Kalian
ikut?"
"Ibu Erin akan datang sebentar lagi," kata April.
"Kita hanya akan ke atas sebentar," kata Erin. Dia mendorong April pelan. "Ayo."
Whitey berlari melewati kami saat kami menaiki tangga, ia menggoyangkan
ekornya gembira, kuku kakinya bersuara keras di anak tangga kayu. Sekitar
setengah jalan ke atas, udara menjadi panas dan kering.
Aku berhenti di tangga teratas dan melihat sekeliling. Loteng itu membentang di
kedua sisi. Satu ruangan panjang, yang diisi dengan furnitur lama, kardus-kardus
kartun, pakian-pakaian tua, pancing, tumpukan majalah-majalah yang menguning -
Semua jenis sampah.
"Ooh, baunya begitu pengap," kata Erin, bergerak melewatiku dan melangkah ke
dalam ruang yang luas itu. Dia mengambil napas dalam-dalam. "Aku suka bau
itu!"
"Kau benar-benar aneh," kataku.
Hujan berbunyi keras membentur atap. Suaranya bergema melalui ruangan yang
rendah, bergemuruh tetap. Ini terdengar seolah-olah kami berada di dalam air
terjun.
Kami berempat mulai berjalan-jalan, menjelajahi. Lefty terus melemparkan bola
kastinya membentur langit-langit kasau, lalu menangkapnya saat turun.
Kuperhatikan April tetap berdekatan dengan Erin. Whitey mengendus dengan
bersemangat sepanjang dinding.
"(Dia) pikir ada tikus di sini?" Tanya Lefty, satu seringai iblis terlintas wajahnya.
Aku melihat mata April melebar.
"Tikus besar gendut yang suka memanjat kaki gadis-gadis '?" goda Lefty.
Adikku itu punya selera humor yang bagus.
"Bisakah kita pergi sekarang?" tanya April tak sabar. Dia mulai kembali ke arah
tangga.
"Lihatlah majalah-majalah lama ini," seru Erin, mengabaikannya. Dia mengambil
satu dan mulai membolak-baliknya. "Lihat ini. Yang memakai pakaian-pakaian
model ini adalah orang yang lucu! "
"Hei, apa yang Whitey lakukan?" Tanya Lefty tiba-tiba.
Aku mengikuti pandangannya ke dinding jauh itu. Di balik tumpukan tinggi
karton, aku bisa melihat ekor Whitey bergoyang-goyang. Dan aku
bisa mendengarnya menggaruk marah pada sesuatu.
"Whitey kesini!" Perintahku.
Tentu saja dia mengabaikan aku. Ia mulai menggaruk lebih keras.
"Whitey, apa yang kau garuk?"
"Mungkin menarik potongan tikus," kata Lefty.
"Aku keluar dari sini!" Seru April.
"Whitey?" Teriakku. Melangkah di sekitar meja makan tua, aku berjalan melintasi
loteng yang berantakan.
Aku segera melihat bahwa ia menggaruk di bagian bawah sebuah pintu.
"Hei, lihat," aku memanggil yang lain. "Whitey menemukan pintu tersembunyi."
"Keren!" Teriak Erin, bergegas. Lefty dan April tepat dibelakangnya.
"Aku tak tahu pintu ini ada di sini," kataku.
"Kita harus memeriksanya," desak Erin. "Ayo kita lihat apa yang ada dibaliknya."
Dan sejak saat itulah semua masalah dimulai.
Kalian dapat mengerti mengapa aku mengatakan itu semua salah Whitey, bukan?
Jika anjing bodoh tak mulai mengendus-ngendus dan menggaruk di sana, kita
mungkin tak akan pernah menemukan kamar tersembunyi di loteng.
Dan kami tak akan pernah menemukan rahasia menarik dan menakutkan di balik
pintu kayu itu.
3

"Whitey!"
Aku berlutut turun dan menarik anjing itu menjauh dari pintu.
"Apa masalahmu, anjing kecil?"
Begitu aku menggerakkannya ke
samping, Whitey kehilangan rasa tertariknya pada pintu itu. Dia berlari dan mulai
mengendus ke sudut yang lain. Bicara tentang perhatianmu jangka waktunya
pendek (sekali).
Tapi kurasa itulah perbedaan antara anjing dan orang.
Hujan terus memukul-mukul turun, suara gemuruh tepat di atas kepala kami. Aku
bisa mendengar bunyi angin di sekitar sudut rumah. Ini benar-benar badai musim
semi.
Pintu yang gerendelnya berkarat itu hampir setengah terangkat. Terdorong dengan
mudah, dan pintu kayu yang melengkung mulai berayun terbuka bahkan sebelum
aku menariknya.
Engsel pintu berderit saat aku menariknya ke arahku, menampakkan kegelapan
yang pekat di seberang sana.
Sebelum aku membuka pintu setengahnya, Lefty berlari ke dalam dan berlari
dengan cepat ke ruangan gelap itu.
"Mayat!" Jeritnya.
"Tidaaak!" jerit April dan Erin berdua dengan jeritan ketakutan.
Tapi aku tahu selera humor Lefty yang buruk.
"Usaha yang bagus, Lefty, "kataku, dan mengikutinya melewati ambang pintu.
Tentu saja ia hanya main-main.
Aku menemukan diriku di sebuah ruangan kecil tanpa jendela. Satu-satunya
cahaya datang dari lampu langit-langit belakang berwarna kuning pucat di
belakang kami di tengah loteng.
"Dorong pintu seluruhnya hingga cahaya bisa masuk ke dalam, "perintahku pada
Erin. "Aku tak bisa melihat apa-apa di sini."
Erin membuka pintu dan menggeser karton untukmenahannya di tempat. Lalu ia
dan April maju pelan-pelan untuk bergabung dengan Lefty dan aku.
"Ini terlalu besar untuk lemari," kata Erin, suaranya terdengar lebih mencicit dari
biasanya. "Jadi apa itu?"
"Kukira hanya suatu ruangan," kataku, masih menunggu mataku untuk
menyesuaikan diri dengan cahaya yang redup.
Aku melangkah lsgi ke dalam ruangan. Dan saataku melakukan, sesosok gelap
melangkah ke arahku.
Aku menjerit dan melompat mundur.
Orang lain itu juga melompat mundur.
"Ini cermin, dungu!" Kata Lefty, dan mulai tertawa.
Seketika, kami berempat semuanya tertawa. Tawa nyaring bernada gugup.
Itu adalah satu cermin di depan kami. Dalam cahaya kuning pucat yang merembes
ke dalam ruangan kecil persegi itu, sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas.
Itu adalah cermin persegi empat yang besar, sekitar dua kaki lebih tinggi dariku,
dengan bingkai kayu gelap. Bertumpu pada lantai kayu.
Aku bergerak mendekatinya dan bayanganku bergerak sekali lagi untuk
menyapaku. Yang membuatku terkejut, bayangannya jelas. Tak ada debu di kaca,
meskipun faktanya tak adaseorang pun berada di sini dalam bertahun-tahun.
Aku melangkah di depannya dan mulai memeriksa rambutku.
Maksudku, itu gunanya cermin, bukan?
"Siapa yang akan menempatkan satu cermin dalam sebuah ruangan sendirian?"
tanya Erin.
Aku bisa melihat bayangan gelapnya di cermin, beberapa kaki di belakangku.
"Mungkin itu bagian perabot rumah yang berharga atau semacamnya," kataku,
merogoh saku celana jeansku mengambil sisirku. "Kau tahu. Sebuah barang antik."
"Apa orangtuamu yang menaruhnya di sini?" Tanya Erin.
"Aku tak tahu," jawabku. "Mungkin itu milik kakek-nenekku. Aku benar-benar tak
tahu." aku menggerakkan sisir.
beberapa kali melalui rambutku.
"Bisakah kita pergi sekarang? Ini tak terlalu mendebarkan, "kata April.
Dia masih tertinggal dengan enggan di ambang pintu.
"Mungkin itu cermin karnaval," kata Lefty, mendorongku minggir dan
menyeringai ke cermin, membawa wajahnya tepat beberapa inci dari kaca. "Kau
tahu. Salah satu cermin rumah yang menyenangkan yang membuat tubuhmu itu
terlihat seperti berbentuk telur. "
"Kau sudah berbentuk seperti telur," gurauku, mendorongnya ke samping.
"Setidaknya, kepalamu."
"Kau telur busuk," bentaknya kembali. "Kau bau."
Aku menatap ke dalam cermin. Aku tampak sangat normal, sama sekali tak
terdistorsi (gangguan/penyimpangan).
"Hei, April, masuklah," desakku. "Kau menghalangi sinar. "
"Tak bisakah kita pergi saja?" Tanyanya, merengek.
Dengan enggan, ia pindah dari ambang pintu, melangkah sedikit ke dalam ruangan.
"Siapa yang peduli tentang cermin tua, sih? "
"Hei, lihat," kataku, menunjuk. Aku telah melihat lampu melekat pada bagian atas
cermin. Berbentuk oval, terbuat dari kuningan atau dari logam semacamnya.
Bohlamnya panjang dan sempit, hampir seperti lampu neon, hanya lebih pendek.
Aku menatapnya, berusaha membayangkannya dalam cahaya yang redup.
"Bagaimana kau menyalakannya, aku bertanya-tanya."
"Ada rantai," kata Erin, datang ke sampingku.
Benar saja, rantai kecil menurun di sisi kanan lampu, menggantung turun sekitar
satu kaki dari atas cermin.
"Ajaib jika bekerja," kataku.
"Bola lampunya mungkin sudah mati," kata Lefty.
Lefty tua yang keliru. Selalu optimis.
"Hanya ada satu cara untuk mencari tahu," kataku.
Berdiri berjinjit, aku mengulurkan tanganku sampai ke rantai.
"Hati-hati," April mengingatkan.
"Hah? Ini hanya lampu, "kataku padanya.
Kata-kata terakhir yang terkenal.
Aku mengulurkan tangan. Meleset. Mencoba lagi. Aku meraih rantai dan
menariknya pada percobaan kedua.
Lampu menyala dengan kilatan cerah yang mengejutkan.Laku pelan-pelan
meredup ke terang yang normal. Cahaya putih yang terang terpantul cerah di
cermin.
"Hei-itu lebih baik!" Seruku. "Ini menerangi seluruh kamar. Sangat terang, ya?"
Tak ada yang mengatakan apapun.
"Aku bilang, sangat terang, ya?"
Sahabat-sahabatku masih diam.
Aku berbalik dan terkejut menemukan pandangan ngeri di wajah mereka.
"Max?" Teriak Lefty, menatap tajam ke arahku, matanya hampir copot dari
kepalanya.
"Max dimana kau?" Teriak Erin. Dia berpaling ke April. "Kemana dia pergi?"
"Aku di sini," kataku pada mereka. "Aku belum bergerak."
"Tapi kita tak bisa melihatmu!" Teriak April.

Ketiganya menatap ke arahku dengan mata mereka menonjol dan kengerian masih
tampak di wajah mereka. Tapi aku bisa melihat mereka bermain-main.
"Yang benar saja, teman-teman," kataku. "Aku tak sebodoh kelihatannya. Aku tak
akan tertipu lelucon bodoh kalian. "
"Tapi, Max-" Lefty bersikeras. "Kami serius!"
"Kami tak bisa melihatmu!" Ulang Erin.
Bodoh, bodoh, bodoh.
Tiba-tiba, lampu itu mulai menyakiti mataku. Tampaknya menjadi lebih terang.
Bersinar tepat di wajahku.
Melindungi mataku dengan satu tangan, aku meraih dengan tangan
yang lain dan menarik rantai itu.
Lampu padam, tapi cahaya putih yang menyilaukan masih tetap bersamaku. Aku
mencoba berkedip untuk menghilangkannya, tapi aku masih melihat bintik-bintik
besar terang di depan mataku.
"Hei kau kembali!" Teriak Lefty. Dia melangkah dan mencengkeram lenganku dan
meremasnya, seolah-olah dia mengujinya itu, memastikan aku nyata.
"Apa masalahmu?" Bentakku. Aku mulai marah. "Aku tak tertipu lelucon
bodohmu, Lefty. Jadi mengapa tetap terus? "
Yang mengejutkanku, Lefty tak mundur. Dia memegangi lenganku seakan takut
untuk membiarkan pergi.
"Kami tak bercanda, Max," desak Erin dengan suara pelan. "Kami benar-benar tak
bisa melihatmu."
"Itu pasti karena lampu di cermin," kata April.
Dia menekan lagi dinding sebelah pintu. "Lampu itu begitu cerah. Kupikir itu
hanya sebuah ilusi optik atau semacamnya. "
"Itu bukan ilusi optik," kata Erin padanya. "Aku berdiri tepat di samping Max. Dan
aku tak bisa melihatnya. "
"Dia tak terlihat," tambah Lefty dengan serius.
Aku tertawa. "Kalian mencoba untuk menakut-nakuti aku," kataku.
"Dan kalian melakukan pekerjaan itu cukup baik!"
"Kau yang menakut-nakuti kami!" Seru Lefty. Dia melepaskan lenganku dan
melangkah ke cermin.
Aku mengikuti tatapannya.
"Itu aku," kataku, menunjuk ke bayanganku. Sehelai rambut menyembul di
belakang kepalaku. Dengan hati-hati kuatur ke bawah.
"Ayo keluar dari sini," pinta April.
Lefty mulai melemparkan bola kasti ke atas, memgamati dirinya sendiri di cermin.
Erin berjalan ke bagian belakang cermin.
"Terlalu gelap di belakang sini. Aku tak bisa melihat apa-apa," katanya.
Dia melangkah sekitar ke depan dan menatap lampu berbentuk oval di atas. "Kau
menghilang cepat saat kau menarik rantai lampu itu. "
"Kalian benar-benar serius!" Kataku. Untuk pertama kalinya aku mulai percaya
bahwa mereka tak bercanda.
"Kau tak terlihat, Max," kata Erin. "Wuss. Kau lenyap. "
"Dia benar," Lefty setuju, melemparkan bola kasti ke atas dan menangkapnya,
mengagumi bentuk tubuhnya di cermin.
"Itu hanya ilusi optik," desak April. "Kenapa kalian membuat hal itu menjadi
masalah besar? "
"Itu bukan!" Erin bersikeras.
"Dia menyalakan lampu. Lalu ia menghilang dalam sekejap, "kata Lefty. Dia
menjatuhkan bola kasti. Bola itu terpental keras di lantai kayu, kemudian
menggelinding ke belakang cermin.
Dia ragu-ragu beberapa detik. Lalu ia pergi sesudahnya, merogoh-rogoh bola
dalam kegelapan. Beberapa detik kemudian, dia berlari kembali.
"Kau benar-benar tak terlihat, Max," katanya.
"Sungguh," tambah Erin, menatap tajam ke arahku.
"Buktikan," kataku pada mereka.
"Ayo kita pergi!" Pinta April. Dia telah pindah ke pintu dan berdiri dipertengahan,
setengah dari kamar.
"Apa maksudmu membuktikannya!" Tanya Erin, berbicara dengan
bayangan gelapku di cermin.
"Tunjukkan padaku," kataku.
"Maksudmu melakukan apa yang kau lakukan?" Tanya Erin, beralih ke berbicara
dengan diriku yang sebenarnya.
"Ya," kataku. "Kau jadi tak terlihat juga. Sama seperti yang kulakukan. "
Erin dan Lefty menatapku. Lefty mulutnya menganga terbuka.
"Ini bodoh," teriak April dari belakang kami.
"Aku akan melakukannya," kata Lefty. Dia melangkah ke cermin.
Aku menarik bahunya kembali.
"Bukan kau," kataku. "Kau terlalu muda."
Dia mencoba lepas dari peganganku, tapi aku menahannya.
"Bagaimana denganmu, Erin?" Desakku, melingkarkan lenganku di pinggang
Lefty untuk menahannya kembali ke cermin.
Dia mengangkat bahu. "Oke. Kukira, aku akan mencobanya. "
Lefty berhenti berjuang untuk lepas. Aku mengendurkan peganganku sedikit.
Kami melihat Erin langkah di depan cermin. Bayangannya balas menatapnya,
gelap dan berupa bayangan.
Dia berdiri berjinjit, mengulurkan tangan, dan meraih rantai lampu. Dia melirik
padaku dan tersenyum.
"Ini dia," katanya.
5

Rantai itu tergelincir dari tangan Erin.


Dia mengulurkan tangan dan meraih lagi.
Dia baru saja menarik-nariknya ketika suara seorang wanita mengganggu dari
lantai bawah. "Erin! Apa kau di sana? April? "
Aku mengenali suara itu. Ibu Erin.
"Ya. Kami di sini, "teriak Erin. Dia melepaskan rantai.
"Cepat turun. Kita terlambat! "panggil ibunya. "Apa yang kalian lakukan di loteng,
sih? "
"Tak ada," disebut Erin bawah. Dia menoleh padaku dan mengangkat bahu.
"Bagus. Aku keluar dari sini! "Seru April, dan bergegas ke tangga.
Kami semua mengikutinya turun, berjalan gedabak gedebuk dengan berisik
menuruni tangga kayu yang berderit.
"Apa yang kalian lakukan di atas sana?" Tanya ibuku ketika kami semua di ruang
tamu. "Loteng itu sangat berdebu. Mengherankan kalian tak kotor. "
"Kami hanya nongkrong," kataku.
"Kami bermain dengan cermin tua," kata Lefty. "Ini agak rapi. "
"Bermain dengan cermin?" ibu Erin melihat ibuku sekilas dengan bingung.
"Sampai jumpa," kata Erin, menarik ibunya ke pintu. "Pesta yang bagus, Max."
"Ya. Trim's, "tambah April.
Mereka menuju ke pintu depan. Hujan akhirnya berhenti. Aku berdiri di layar pintu
menyaksikan mereka melangkah di sekitar genangan air di jalan saat mereka
berjalan ke mobil.
Ketika aku kembali ke ruang tamu, Lefty melemparkan bola kasti sampai ke langit-
langit, berusaha untuk menangkapnya di belakang punggungnya. Dia meleset. Bola
memantul dari lantai ke ujung meja, di mana ia mebentur ke vas bunga tulip yang
besar.
Celaka!
Vas itu pecah. Bunga-bunga tulip melayang. Semua airnya tumpah ke karpet.
Ibu menggoyangkan tangannya ke atas dan mengatakan sesuatu dengan pelan ke
langit, cara yang selalu dilakukannya saat dia dalam keadaan sangat tertekan
tentang sesuatu.
Lalu ia benar-benar marah pada perbuatan Lefty itu. Dia mulai berteriak: "Berapa
kali aku harus memberitahumu untuk tak melemparkan bola di rumah? "
Hal-hal semacam itulah. Dia terus diam sementara.
Lefty menyusut di pojokan mencoba untuk membuat dirinya lebih kecil dan lebih
kecil. Dia terus berkata ia menyesal, namun Ibu berteriak begitu keras, kupikir dia
tak mendengarnya.
Aku yakin Lefty ingin benar tak terlihat pada saat itu.
Tapi dia harus berdiri dan menerima hukumannya.
Lalu dia dan aku membantu membersihkan kekacauan itu.
Beberapa menit kemudian, aku melihatnya melemparkan lagi bola kasti ke atas di
ruang tamu.
Itulah Lefty. Dia tak pernah belajar.
Aku tak berpikir tentang cermin itu untuk beberapa hari. Aku sibuk dengan sekolah
dan yang lainnya.
Berlatih untuk konser musim semi. Aku hanya (anggota) paduan suara, tapi aku
masih harus pergi ke setiap latihan.
Aku sering melihat Erin dan April di sekolah. Tapi tak satupun dari mereka
menyebutkan cermin itu. Kukira mungkin itu juga tergelincir dalam pikiran
mereka. Atau mungkin kami semua hanya menghalanginya dari pikiran kami.
Ini agak menakutkan, jika kau berhenti untuk memikirkan tentang hal itu.
Maksudku, jika kau percaya apa yang mereka katakan terjadi.
Kemudian malam Rabu aku tak bisa tidur. Aku berbaring di sana, menatap langit-
langit, menonton bayang-bayang bergoyang maju mundur.
Aku mencoba menghitung domba. Aku mencoba menutup mataku benar-benar erat
dan menghitung mundur dari seribu.
Tapi aku benar-benar tegang, untuk satu alasan. Sama sekali tak mengantuk.
Tiba-tiba aku mendapati diriku berpikir tentang cermin yang di loteng.
Apa yang terjadi di atas sana? Aku bertanya pada diriku sendiri. Mengapa cermin
itu ditutup di atas dalam ruangan tersembunyi dengan pintu dikunci dengan hati-
hati?
Milik siapa? Kakek dan nenekku? Jika demikian, mengapa mereka
menyembunyikannya di ruangan kecil?
Aku bertanya-tanya apakah ibu dan ayah tahu cermin itu ada sana.
Aku mulai berpikir tentang apa yang terjadi di hari Sabtu setelah pesta ulang
tahunku. Aku membayangkan diriku berdiri di depan cermin. Menyisir rambutku.
Kemudian meraih rantai. Menariknya. Lampu itu menyala dengan cahaya terang.
Dan kemudian ...
Apa aku melihat bayanganku di cermin setelah lampu menyala.
Aku tak bisa ingat.
Apa aku juga melihat diriku? Tanganku? Kakiku ?
Aku tak bisa mengingatnya
"Itu lelucon," kataku keras-keras, berbaring di tempat tidurku, menendangi
selimutku.
Itu pasti suatu lelucon.
Lefty selalu bermain lelucon bodoh padaku, mencoba membuatku terlihat buruk.
Saudaraku seorang pelawak. Dia akan selalu menjadi pelawak. Dia tak pernah
serius. Tak pernah.
Jadi apa yang membuatku berpikir dia sekarang serius.
Karena Erin dan April telah sepakat dengannya.
Sebelum aku menyadarinya, aku telah keluar dari tempat tidur.
Hanya satu cara untuk mengetahui apakah mereka serius atau tidak, aku berkata
pada diriku sendiri. Aku mencari di kegelapan sandal kamarku. Aku kancingkan
kaos piyamaku yang
terlepas dari semua lenggokan dan berbalikku.
Lalu, setenang yang saat kubisa, aku bergerak pelan-pelan keluar ke lorong.
Rumah ini gelap kecuali lampu malam kecil yang turun ke lantai di luar kamar
Lefty itu. Lefty satu-satunya dalam keluarga yang kadang terbangun di tengah
malam. Dia bersikeras agar punya lampu malam di kamarnya dan satu di lorong,
meskipun aku mengolok-oloknya tentang hal ini sesering mungkin.
Sekarang aku bersyukur sekali akan lampu itu saat aku berjalan di
berjingkat ke tangga loteng. Meskipun aku bersikap begitu hati-hati, lantai
papannya berderit di bawah kakiku. Tak mungkin untuk tak membuat suara di
sebuah rumah tua seperti ini.
Aku berhenti dan menahan napasku, mendengarkan baik-baik,
mendengarkan tanda apa saja yang telah kudengar.
Sunyi.
Dengan mengambil napas dalam-dalam, aku membuka pintu loteng, meraba-raba
sampai aku menemukan tombol lampu, dan menyalakan lampu loteng. Lalu aku
berjalan perlahan-lahan menaiki tangga curam, menyandarkan semua berat
tubuhku di pegangan tangga, berusaha sebisaku untuk tak membuat tangga
berderit.
Tampaknya perlu waktu selamanya untuk berjalan sampai ke atas.
Akhirnya, aku berhenti di tangga atas dan menatap sekeliling, membiarkan mataku
menyesuaikan diri dengan cahaya kuning lampu langit-langit.
Loteng terasa panas dan pengap. Udaranya begitu kering, membuat hidungku
terbakar. Aku mendadak memiliki dorongan untuk berbalik dan kembali.
Tapi kemudian mataku berhenti di ambang pintu ke kamar kecil yang tersembunyi.
Karena terburu-buru pergi, kami telah meninggalkan pintunya terbuka lebar.
Menatap kegelapan di pintu keluar masuk yang terbuka itu, aku melangkah ke
tangga dan berjalan cepat melewati lantai yang berantakan. Papan lantai berderit
dan mengerang di bawahku, tapi aku hampir tak mendengarnya.
Aku tertarik dengan pintu keluar masuk yang terbuka itu, ditarik ke
ruangan misterius itu seakan ditarik oleh magnet yang kuat.
Aku harus melihat cermin yang tinggi itu. Aku harus memeriksanya,
mempelajarinya dari dekat.
Aku harus tahu kebenaran tentang hal itu.
Aku melangkah ke kamar kecil tanpa ragu-ragu dan berjalan ke cermin itu.
Aku berhenti sejenak dan mempelajari pantulan bayanganku di cermin. Rambutku
benar-benar kacau, tapi aku tak peduli.
Aku menatap diriku sendiri, menatap ke mataku. Lalu aku melangkah mundur
untuk mendapatkan tampilan yang berbeda.
Cermin itu memantulkan seluruh tubuhku dari kepala sampai kaki. Tak ada sesuatu
yang khusus tentang
bayangan itu. Tak terdistorsi dan aneh dengan cara apapun.
Fakta bahwa itu seperti bayangan yang normal membantu menenangkanku. Aku
tak menyadari hal itu, tetapi hatiku berkibar seperti kupu-kupu yang gugup.
Tangan dan kakiku sedingin seperti es.
"Tenang saja, Max," bisikku pada diriku sendiri, melihat diriku berbisik sendiri di
cermin yang gelap.
Aku melakukan sedikit tarian lucu untuk keberuntunganku, melambaikan tanganku
di atas kepalaku dan menggoyangkan seluruh tubuhku.
"Tak ada yang istimewa tentang cermin ini," kataku keras-keras.
Aku mengulurkan tangan dan menyentuhnya. Kaca itu terasa sejuk
meskipun ruangannya hangat. Aku menggerakkan tanganku sepanjang kaca sampai
aku mencapai bingkainya. Lalu aku membiarkan tanganku
mengembara dan turun ke bingkai kayu. Itu juga terasa halus dan dingin.
Ini hanya cermin, pikirku, akhirnya merasa lebih santai. Cuma cermin
tua,seseorang dulu menyimpannya di sini lalu dan melupakannya.
Masih memegang bingkainya, aku berjalan memutar ke belakangnya. Terlalu gelap
untuk melihat dengan jelas, tetapi tak tampak terlalu menarik kembali ke sini.
Yah, aku mungkin sebaiknya menyalakan lampu di puncaknya, pikirku.
Aku kembali ke depan cermin. Berdiri cuma se-inci dari belakang cermin itu, aku
mulai menggapai rantai lampu ketika sesuatu menarik perhatianku.
"Oh!"
Aku menjerit saat aku melihat dua mata, turun rendah di cermin.
Dua mata itu menatap ke arahku.

Napasku tercekat di tenggorokan. Aku mengintip ke dalam bayangan gelap itu.


Dua mata itu menatapku. Mata gelap dan jahat.
Mengucapkan jeritan panik, aku berbalik menjauhi cermin.
"Lefty!" Jeritku. Suaraku terdengar nyaring dan ketat, seperti jika seseorang
mencekik tenggorokanku.
Dia nyengir padaku persis di ambang pintu.
Aku menyadari bahwa itu bayangan mata Lefty dalam cermin.
Aku berlari ke arahnya dan mencengkeram bahunya.
"Kau membuatku takut setengah mati!" Aku setengah berteriak-, setengah- bisik.
Senyumnya melebar. "Kau bodoh," katanya.
Aku ingin mencekiknya. Dia berpikir itu lucu.
"Mengapa kau menyelinap di belakangku?" Tuntutku, mendorongnya ke dinding.
Dia mengangkat bahu.
"Nah, apa yang kau lakukan di sini, sih?"
Aku tergagap.
Aku masih bisa melihat mata yang gelap menatapku dalam cermin. Begitu
menakutkan!
"Aku mendengarmu," jelasnya, bersandar di dinding, masih nyengir. "Aku sudah
bangun. Aku mendengarmu berjalan melewati kamarku. Jadi aku mengikutimu. "
"Yah, kau tak seharusnya berada di atas sini," bentakku.
"Kau juga," bentaknya kembali.
"Pergilah kembali ke lantai bawah dan tidurlah," kataku. Suaraku akhirnya kembali
normal. Aku mencoba terdengar seolah-olah aku
bersungguh-sungguh.
Tapi Lefty tak bergerak.
"Paksa aku," katanya. Alasan kuno lainnya yang menang.
"Aku serius," aku bersikeras. "Kembalilah ke tempat tidur."
"Paksa aku," ulangnya tak menyenangkan. "Aku akan memberitahu Ibu dan Ayah
kau di sini, "tambahnya.
Aku benci menjadi terancam. Dan dia tahu itu. Itulah sebabnya mengapa dia
mengancamku setiap jam dalam sehari.
Kadang-kadang aku berharap aku bisa memukulnya.
Tapi kami hidup dalam keluarga yang tanpa kekerasan.
Itulah yang dikatakan Ibu dan Ayah setiap kali Lefty dan aku berkelahi. "Kalian
berdua hentikan itu. Kita hidup di keluarga tanpa kekerasan. "
Kadang-kadang antikekerasan dapat benar-benar membuat frustasi.
Tahukan apa maksudku?
Ini adalah salah satu darinya. Tapi aku bisa melihat bahwa aku tak akan bisa
menyingkirkan Lefty dengan begitu mudah. Dia bertekad untuk tinggal di loteng
denganku dan melihat apa yang kulakukan dengan cermin.
Hatiku akhirnya melambat normal. Aku mulai merasa lebih tenang. Jadi
kuputuskan untuk menghentikan perkelahian dengannya dan membiarkannya
tinggal. Aku berbalik kembali ke cermin.
Untungnya, disana tak ada lagi sepasang mata lain yang menatap ke arahku!
"Apa yang kau lakukan?" Tuntut Lefty, berjalan belakangku, tangannya masih
terlipat di atas dadanya.
"Cuma memeriksa cermin," kataku.
"Kau akan jadi tak terlihat lagi?" Tanyanya. Dia berdiri tepat di belakangku, dan
napasnya berbau
asam, seperti jeruk.
Aku berbalik dan mendorongnya mundur beberapa langkah.
"Pergi!, "kataku. "Nafasmu bau."
Tentu saja itu memulai perdebatan bodoh lainnya.
Aku menyesal aku pernah datang di sini. Aku seharusnya tinggal di tempat tidur,
aku menyadarinya.
Akhirnya, aku membujuknya untuk berdiri satu kaki jauhnya dariku. Satu
kemenangan besar.
Sambil menguap, aku kembali ke cermin itu. Aku mulai merasa mengantuk.
Mungkin itu karena panas dari loteng. Mungkin karena aku lelah berdebat dengan
saudara tololku. Atau mungkin karena itu benar-benar larut malam, dan aku lelah.
"Aku akan menyalakan lampu," kataku, meraih rantainya. "Katakan padaku kalau
aku jadi tak terlihat lagi."
"Tidak" Dia mendorong dirinya tepat di sampingku lagi. "Aku ingin mencobanya
juga. "
"Tidak," aku bersikeras, mendorongnya kembali.
"Tak akan." Dia mendorongku keras.
Aku mendorongnya kembali. Lalu aku punya sebuah ide yang lebih baik.
"Bagaimana dengan jika kita berdua berdiri di depan cermin, dan aku menarik
rantai lampu? "
"Oke. Silakan "
Berdiri satu inci di depannya, praktis berhadap-hadapan dengan bayangannya,
Lefty menegang sampai ia berdiri memerhatikan.
Dia tampak konyol, terutama dengan piyama hijau mengerikannya.
Aku melangkah di sampingnya.
"Ini dia tak apa-apa," kataku.
Aku mengulurkan tanganku, meraih rantai lampu, dan menariknya.

Lampu di atas lampu itu berkilat.


"Aduh!" Teriakku.
Lampu itu begitu terang, menyakiti mataku.
Kemudian dengan cepat meredup, dan mataku mulai menyesuaikan diri.
Aku berbalik pada Lefty dan mulai mengatakan sesuatu. Aku tak ingat apa itu. Itu
benar-benar terbang keluar dari pikiranku saat aku menyadari bahwa Lefty sudah
lenyap.
"L-Lefty?" Kataku tergagap.
"Aku di sini," jawabnya. Suaranya terdengar dekat, tapi aku tak bisa melihatnya.
"Max dimana kau? "
"Kau tak bisa melihatku?" Jeritku.
"Tidak," kata Lefty. "Tidak, aku tak bisa."
Aku bisa mencium nafas baunya, jadi aku tahu ia ada di sana.
Tapi ia tak terlihat. Lenyap. Keluar dari pandangan.
Jadi mereka tak membodohiku! Erin, April, dan Lefty telah mengatakan kebenaran
pada hati Sabtu setelah pesta ulang tahun. Aku benar-benar telah jadi tak terlihat.
Dan sekarang aku tak tampak lagi, bersama dengan saudaraku.
"Hei, Max," suaranya terdengar kecil, gemetar. "Ini aneh. "
"Ya. Ini aneh, oke, "aku setuju. "Kau benar-benar tak dapat melihatku, Lefty? "
"Tidak. Dan aku tak bisa melihat diriku, "katanya.
Cermin. Aku lupa untuk memeriksa cermin itu.
Apa aku punya bayangan.
Aku berbalik dan menatap ke cermin. Lampunya mengalir turun dari atas bingkai,
menangkap cahaya terang yang menyilaukan di atas kaca.
Menyipitkan mata dalam cahaya yang menyilaukan, aku melihat ... tak ada apa-
apa.
Tak ada aku.
Tak ada Lefty.
Hanya bayangan dari dinding di belakang kami dan pintu keluar masuk yang
mengarah ke sisa loteng.
"Kita - kita tak punya bayangan," kataku.
"Ini keren," kata Lefty. Dia meraih lenganku. Aku melompat terkejut.
"Hei!" teriakku.
Rasanya menakutkan dipegang oleh seseorang yang tak terlihat.
Aku memegangnya kembali. Aku menggelitik tulang rusuknya. Dia mulai tertawa.
"Kita masih punya tubuh kita," kataku. "Kita cuma tak bisa melihatnya. "
Dia mencoba untuk menggelitikku, tapi aku menari (menjauh) darinya.
"Hei, Max, ke mana kau pergi?" panggilnya, terdengar takut lagi.
"Coba dan temukan aku," godaku, mundur ke arah dinding.
"Aku-aku tak bisa," katanya gemetar. "Kembalilah kesini, oke? "
"Tidak," kataku. "Aku tak ingin digelitiki."
"Aku tak akan," Lefty bersumpah. "Aku janji."
Aku melangkah kembali di depan cermin.
"Apakah kau di sini?" Tanya Lefty takut-takut.
"Ya. Aku tepat di sampingmu. Aku bisa mencium napas baumu, "kataku.
Dan dia mulai menggelitikku lagi. Pembohong kecil.
Kami bergulat di situ sebentar. Cuma itu begitu aneh bergulat dengan seseorang
yang kau tak bisa lihat.
Akhirnya, aku mendorongnya menjauh. "Aku bertanya-tanya apa kita bisa pergi
bawah dan masih tak terlihat, "kataku. "Aku bertanya-tanya apa kita bisa
meninggalkan rumah seperti ini.
"Dan pergi memata-matai orang?" Usul Lefty.
"Ya," kataku. Aku menguap. Aku mulai merasa sedikit aneh. "Kita bisa pergi
memata-matai anak perempuan dan yang lainnya."
"Keren," jawab Lefty.
"Ingat film lama yang Ibu dan Ayah tonton di TV? "tanyaku padanya. "Tentang
hantu yang terus muncul dan menghilang sepanjang waktu?
Mereka punya banyak kesenangan menakut-nakuti orang. Kau tahu,
bermain lelucon pada mereka, membuat mereka gila. "
"Tapi kita bukan hantu," jawab Lefty dengan suara gemetar. Kupikir ide semacam
itu membuatnya takut.
Ini membuatku takut, juga!
"Bisakah kita kembali ke normal sekarang?" Tanya Lefty. "Aku tak merasa baik. "
"Aku juga," kataku. Aku merasa sangat ringan. Agak gugup. Hanya ... aneh.
"Bagaimana kita bisa kembali normal lagi?" Tanyanya.
"Nah, terakhir kali, aku hanya menarik rantai. Aku mematikan lampu, dan aku
kembali. Hanya itu. "
"Yah, lakukanlah," desak Lefty tak sabar. "Sekarang. Oke? "
"Ya. Oke." Aku mulai merasa seperti pusing. Semacam (jadi) ringan.Seolah-olah
aku bisa melayang pergi atau sesuatu yang lain.
"Cepat," kata Lefty.
Aku bisa mendengar napas kerasnya. Aku mengulurkan tangan dan meraih rantai
cahaya.
"Tak masalah, "kataku. "Kita akan kembali dalam satu detik."
Aku menarik rantai.
Lampu itu mati.
Tapi Lefty dan aku tak kembali.
8

"Max - aku tak bisa melihatmu!" Rengek Lefty.


"Aku tahu," jawabku pelan. Aku merasa begitu ketakutan. Udara dingin mengalir
di punggungku, udara dingin yang tak akan pernah berhenti.
"Aku juga tak bisa melihatmu."
"Apa yang terjadi?" Teriak Lefty.
Aku bisa merasakannya menarik-narik lenganku yang tak terlihat.
"Aku - aku tak tahu," kataku tergagap. "Ini sebelumnya bekerja. Aku mematikan
lampu dan aku kembali. "
Aku menatap cermin. Tak ada bayangan. Tak ada. Tak ada aku. Tak ada Lefty.
Aku berdiri di sana membeku ketakutan, menatap tempat bayangan kami
seharusnya. Aku senang Lefty tak bisa melihatku karena aku tak ingin dia melihat
bagaimana aku tampak begitu ketakutan.
"Coba lagi, Max," rengeknya. "Tolonglah. Cepat! "
"Oke," kataku. "Cobalah untuk tetap tenang, oke?"
"Tetap tenang? Bagaimana? " ratap Lefty. "Bagaimana jika kita tak pernah bisa
kembali? Bagaimana jika tak ada yang bisa melihat kita lagi? "
Tiba-tiba aku merasa begitu sakit. Perutku semacam agak mual.
Sadarlah, aku berkata pada diriku sendiri. kau harus tetap bersama-sama, Max.
Demi Lefty.
Aku menjulurkan (lenganku) ke rantai lampu, tapi sepertinya di luar jangkauanku.
Aku mencoba lagi. Meleset.
Dan kemudian tiba-tiba, aku kembali. Dan begitu pula Lefty.
Kami bisa melihat satu sama lain. Dan kami bisa melihat bayangan kami di
cermin.
"Kita kembali!" Teriak kami berdua berbarengan.
Dan kemudian kami berdua jatuh di lantai, tertawa. Kami sangat lega. Begitu
senang.
"Ssstt!" Aku meraih Lefty dan mendorong tanganku mulutnya. Aku baru ingat itu
adalah tengah malam. "Jika Ibu dan Ayah menangkap kita di sini, mereka akan
membunuh kita, "aku berbisik memperingatkan.
"Mengapa butuh waktu begitu lama bagi kita untuk kembali?" tanya Lefty,
berbalik serius, menatap bayangannya.
Aku mengangkat bahu. "Mana aku tahu."
Aku memikirkan hal itu.
"Mungkin jika kau tetap tak terlihat lebih lama lagi, butuh waktu lebih untuk bisa
kembali, "usulku.
"Hah? Apa maksudmu? "
"Pertama kali aku lenyap tak terlihat," kataku padanya, "itu hanya untuk beberapa
detik. Dan aku langsung kembali, karena segera setelahnya aku mematikan lampu.
Tapi malam ini-"
"Kita tetap tak terlihat jauh lebih lama. Jadi butuh waktu lebih lebih lama untuk
bisa kembali. Aku mengerti, "kata Lefty.
"Kau tak sebodoh seperti kelihatannya," kataku, menguap.
"Kau yang bodoh!" Bentaknya kembali.
Merasa sangat lelah, aku mulai memimpin berjalan keluar dari ruangan kecil itu,
memberi isyarat pada Lefty untuk mengikutiku.
Tapi dia ragu-ragu, melirik kembali pada bayangannya di cermin.
"Kita harus memberitahukan kepada Ibu dan Ayah tentang cermin itu," bisiknya
serius.
"Tak mungkin!" Kataku. "Tak mungkin kita mengatakan kepada mereka. Jika kita
memberitahu mereka tentang hal ini, mereka akan mengambilnya. Mereka tak akan
membiarkan kita menggunakannya. "
Dia menatapku serius.
"Aku tak yakin aku ingin menggunakannya, "katanya pelan.
"Yah, aku yang akan menggunakannya," kataku, berbalik di ambang pintu untuk
melihat ke belakang. "Aku hanya ingin menggunakan sekali lagi."
"Untuk apa?" Tanya Lefty, menguap.
"Untuk menakut-nakuti Zack," kataku, sambil nyengir.

***

Zack tak bisa datang hingga hari Sabtu. Segera setelah ia tiba, aku ingin
membawanya ke loteng dan
memberinya demonstrasi kekuatan cermin itu.
Terutama, aku ingin menakut-nakutinya sampai mati!
Tapi Ibu bersikeras bahwa kami duduk makan siang dulu.
Sup mie ayam kaleng, selai kacang dan jelly sandwich.
Aku menelan supku secepat aku bisa, tak repot-repot mengunyah mie. Lefty terus
memberiku lirikan yang bermakna dari seberang meja. Aku bisa melihat bahwa dia
ingin sekali (melihat) aku menakut-nakuti Zack.
"Dari mana kau dapatkan potongan rambut itu?" tanya Ibuku pada Zack. Dia
berjalan mengelilingi meja, menatap kepala Zack, mengerutkan kening. Aku tahu
ia membencinya.
"Di Quick Cuts," kata Zack padanya setelah menelan mentega kacang dan selai.
"Anda tahu. Di mal. "
Kami semua mempelajari potongan rambut Zack. Kupikir itu agak keren.
Modelnya itu kacau begitu pendek di sebelah kiri, kemudian menjuntai panjang di
sebelah kanan.
"Baiklah ini berbeda," kata ibuku.
Kami semua tahu dia membencinya. Tapi kurasa dia berpikir ia menutupinya
dengan menyebutnya berbeda. Jika aku datang ke rumah dengan potongan rambut
seperti itu, dia akan membunuhku!
"Apa yang ibumu katakan tentang itu?" Tanyanya Zack.
Zack tertawa. "Tak banyak."
Kami semua tertawa. Aku terus melirik ke arah jam. Aku begitu ingin segera ke
lantai atas.
"Bagaimana kalau cokelat dan kue mangkok?" tanya Ibu saat kami selesai (makan)
roti lapis kami.
Zack mulai mengatakan ya, tapi aku memotongnya. "Bisakah kami makan
makanan penutup nanti? Aku agak kenyang. "
Aku mendorong mundur kursi dan segera bangkit, memberi isyarat pada Zack agar
mengikutiku. Lefty sudah berlari ke tangga.
"Hei - ke mana kalian akan pergi begitu cepat?" kata Ibu, mengikuti kami ke ruang
depan.
"Eh ... Ke atas ... ke loteng," kataku.
"Loteng?" Dia mengerutkan wajahnya, bingung. "Apa yang begitu menarik di
sana? "
"Eh ... hanya sekumpulan majalah tua," aku berbohong. "Itu agak lucu. Aku ingin
menunjukkannya pada Zack "
Itu pikiran yang cukup cepat bagiku. Aku biasanya tak sangat cepat dalam
mengarang cerita.
Ibu menatapku. Kupikir dia tak percaya padaku. Tapi ia kembali ke dapur.
"Bersenang-senanglah, anak-anak.
Jangan terlalu kotor di sana. "
"Kami tak akan," kataku. Aku memimpin Zack menaiki tangga yang curam.
Lefty sudah menunggu kami di loteng.
Panasnya kira-kira seratus derajat di atas sana. Aku mulai berkeringat pada
langkahku yang kedua ke dalam ruangan.
Zack berhenti beberapa meter di belakangku dan melihat di sekeliling. "Ini cuma
sampah tua yang banyak. Apa yang begitu menarik di sini? "tanyanya.
"Kau akan lihat," kataku misterius.
"Ke arah ini," panggil Lefty penuh semangat, berlari ke ruangan kecil pada dinding
yang jauh itu. Dia begitu bersemangat, ia menjatuhkan bola kastinya. Bola itu
menggelinding di depannya, dan dia tersandung olehnyadan jatuh menelungkup di
lantai dengan suara gedebuk.
"Aku ingin melakukan itu!" Gurau Lefty, dengan cepat bangkit dan melompati
bola itu, yang telah menggelinding di lantai.
"Adikmu terbuat dari berlian atau sesuatu," Zack tertawa.
"Jatuh adalah hobinya," kataku. "Dia jatuh sekitar seratus kali sehari."
Aku tak melebih-lebihkan.
Beberapa detik kemudian, kami bertiga berada di ruangan tersembunyi berdiri di
depan cermin itu. Bahkan meskipun itu adalah sore yang cerah, ruangan itu gelap
dan samar-samar seperti biasanya.
Zack berbalik dari cermin kepadaku, wajahnya terlihat bingung. "Apa ini yang
ingin kau tunjukkan padaku?"
"Ya." Aku mengangguk.
"Sejak kapan kau bisnis mebel?" Tanyanya.
"Ini cermin yang menarik, kan?" Tanyaku.
"Tidak," katanya. "Tak terlalu menarik."
Lefty tertawa. Dia memantulkan bola kastinya ke dinding dan menangkapnya.
Aku memang sengaja berlama-lama. Zack berada dalam kejutan hidupnya, tapi aku
ingin dia sedikit bingung dulu. Dia selalu melakukan hal-hal seperti itu padaku.
Dia selalu bertindak seolah-olah dia tahu segala sesuatu yang harus diketahui, dan
jika aku pintar, ia akan membagi sedikit pengetahuannya denganku.
Nah, sekarang aku tahu sesuatu yang tak diketahuinya. Aku ingin memperlama
saat ini, membuatnya paling akhir.
Tapi pada saat yang sama, aku tak bisa menunggu untuk menonton pandangan di
wajah Zack saat aku menghilang tepat di depan matanya.
"Ayo kita pergi ke luar," kata Zack tak sabar. "Terlalu panas di sini. Aku
membawa sepeda. Mengapa kita tak bersepeda ke lapangan bermain di belakang
sekolah, melihat siapa di sana? "
"Mungkin nanti," jawabku, nyengir pada Lefty. Aku berpaling ke adikku.
"Haruskah aku menunjukkan rahasia kita pada Zack atau tidak?"
Lefty nyengir ke arahku. Dia mengangkat bahu.
"Rahasia apa?" Tuntut Zack.
Aku tahu dia tak bisa tahan untuk meninggalkan apa pun. Dia tidak tahan jika ada
yang punya rahasia yang tak diketahuinya.
"Rahasia apa?" Ulangnya ketika aku tak menjawab.
"Tunjukkan kepadanya," kata Lefty, sambil melemparkan bola kasti.
Aku mengusap daguku, pura-pura berpikir tentang hal itu.
"Yah ... baiklah." Aku memberi isyarat pada Zack untuk berdiri di belakangku.
"Kau akan membuat wajah lucu di cermin?" Zack menebak. Dia menggelengkan
kepalanya. "Masalah besar!"
"Tidak. Itu bukan rahasia, "kataku. Aku melangkah di depan cermin, mengagumi
bayanganku, yang menatap ke arahku di cermin.
"Perhatikan!" Desak Lefty, melangkah di samping Zack.
"Aku sedang melihat. Aku menonton, "kata Zack tak sabar.
"Aku bertaruh aku bisa lenyap menjadi udara tipis," kataku pada Zack.
"Ya. Tentu, "gumamnya.
Lefty tertawa.
"Kau ingin bertaruh berapa?" Tanyaku.
"Dua sen," kata Zack. "Apa ini semacam tipuan cermin? "
"Sesuatu seperti itu," kataku. "Bagaimana dengan sepuluh dolar? Aku bertaruh
sepuluh dolar? "
"Hah?"
"Lupakan taruhan. Cukup tunjukkan kepadanya, "kata Lefty, memantulkan
bolanya naik dan turun tak sabar.
"Aku punya peti ajaib di rumah," kata Zack. "Aku bisa melakukannya. Ribuan
trik. Tapi itu mainan anak kecil, "ejeknya.
"Kau tak punya trik seperti ini," kataku yakin.
"Cukup lakukanlah jadi kita bisa pergi ke luar," dia menggerutu.
Aku melangkah ke tengah cermin.
"Ta-daa!"
Aku bernyanyi sendiri gembar-gembor singkat. Lalu aku mengulurkan tangan dan
meraih rantai lampu.
Aku menariknya. Lampu di atas cermin berkilat menyala, pada awalnya terang,
lalu meredup seperti sebelumnya.
Dan aku lenyap.
"Hei!" Teriak Zack. Dia tersandung mundur.
Dia benar-benar tersandung keluar karena terkejut!
Tak terlihat, aku berpaling dari cermin menikmati reaksi tertegunnya.
"Max?" Teriaknya. Matanya mencari ke dalam ruangan.
Lefty tertawa dengan kepala tertunduk.
"Max?" Zack terdengar sangat khawatir. "Max? Bagaimana kau melakukan itu? Di
mana kau? "
"Aku di sini," kataku.
Dia melompat saat mendengar suaraku. Lefty tertawa bahkan lebih keras.
Aku mengulurkan tangan dan mengambil bola kasti itu dari tangan Lefty .
Aku melirik bayangan di cermin. Bola itu tampak melayang di udara.
"Ke sini. Tangkap Zack "Aku melemparkan bola itu padanya..
Dia begitu tertegun, ia tak bergerak. Bola memantul dari dadanya.
"Max? Bagaimana kau melakukan tipuan ini?" tuntutnya.
"Ini bukan trik. Ini nyata, "kataku.
"Hei, tunggu ..." Pandangan curiga tampak di wajahnya.
Dia berlari ke bagian belakang cermin. Aku kira dia mengharapkan aku
bersembunyi di belakang sana.
Dia tampak sangat kecewa ketika dia tak melihatku.
"Apakah ada pintu rahasia atau semacamnya?" Tanyanya. Dia berjalan kembali ke
depan cermin, berlutut, dan mulai mencari-cari pintu rahasia di lantai.
Aku bersandar ke atasnya dan menarik kaosnya ke atas kepalanya.
"Hei - hentikan itu!" Teriaknya, berdiri marah.
Aku menggelitik perutnya.
"Hentikan, Max." Dia menggeliat menjauh, tangannya meronta-ronta, mencoba
untuk memukulku. Sekarang dia terlihat sangat ketakutan. Dia terengah-engah, dan
wajahnya merah padam.
Aku menarik kaosnya lagi.
Dia tersentak ke bawah.
"Kau benar-benar tak terlihat?" Suaranya naik begitu tinggi, hanya anjing yang
bisa mendengarnya. "Sungguh?"
"Tipuan yang bagus, ya?" Kataku tepat di telinganya.
Dia melompat dan berputar menjauh. "Seperti apa rasanya? Apa itu terasa aneh? "
Aku tak menjawabnya. Aku bergerak pelan keluar dari ruangan dan mengambil
sebuah kardus karton di luar pintu. Aku membawanya ke cermin. Ini tampak hebat.
Sebuah karton mengambang dengan sendirinya.
"Turunkan," desak Zack. Dia terdengar benar-benar ketakutan.
"Ini benar-benar membuatku takut, Max. Hentikan, oke? Kembalilah jadi aku bisa
melihatmu. "
Aku ingin menyiksa dia lagi, tapi aku bisa melihat dia hampir kalah. Selain itu, aku
mulai merasa aneh lagi. Semacam pusing dan pusing. Dan lampu terang itu
menyakiti mataku, aku mulai buta.
"Oke, aku akan kembali," aku mengumumkan. "Perhatikan."
Aku bersandar pada cermin dan menjulurkan tangan ke rantai. Aku tiba-tiba
merasa sangat lelah, sangat lemah. Butuh semua kekuatanku untuk melilitkan
tanganku di sekitar rantai.
Aku merasakan sensasi aneh bahwa cermin itu menarikku, menarikku ke arahnya,
memegangiku.
Dengan kekuatan penuh yang menentukan, aku menarik rantai.
Lampu padam. Ruangan jadi gelap.
"Dimanakah kau? Aku masih tak bisa melihatmu! "teriak Zack, suaranya
menunjukkan kepanikan.
"Tenanglah," kataku. "Butuh beberapa detik. Makin lama tetap tak terlihat, makin
lama waktu yang diperlukan untuk kembali." Lalu aku menambahkan," Aku pikir."
Menatap cermin kosong itu, menunggu bayanganku kembali, aku tiba-tiba
menyadari bahwa aku tak tahu apa-apa tentang cermin ini, tentang mengubah jadi
tak terlihat. Tentang datang kembali.
Pikiranku tiba-tiba berputar dengan segala macam pertanyaan-pertanyaan yang
menakutkan:
Apa yang membuatku berpikir bahwa cermin itu otomatis akan memunculkan
kembali?
Bagaimana jika kau hanya bisa kembali dua kali? Dan waktu ketiga kau lenyap tak
terlihat,kau terus tak terlihat?
Bagaimana jika cermin itu rusak? Bagaimana jika cermin itu terkunci jauh di
ruangan tersembunyi ini karena tak bekerja dengan benar dan itu membuat orang
tetap tak terlihat selamanya?
Bagaimana jika aku tak pernah kembali.
Tidak, itu tak mungkin, aku memberitahu diriku sendiri.
Tapi detik-detik itu berdetak. Dan tubuhku masih belum kelihatan.
Aku menyentuh cermin, menggosok tangan tak terlihatku ke atas kaca dingin yang
halus itu.
"Max, mengapa begitu lama?" Tanya Zack, suaranya bergetar.
"Aku tak tahu," kataku, terdengar seperti ketakutan dan kesal seperti dia.
Dan kemudian tiba-tiba, aku kembali.
Aku menatap bayanganku di cermin, melihat sungguh-sungguh, bersyukur, satu
senyum lebar melintas di wajahku.
"Ta-daaa!" Aku bernyanyi riuh penuh kemenangan, berbalik kepada temanku yang
masih terguncang. "Aku di sini!"
"Wow!" Seru Zack, dan mulutnya tetap ketat terkejut dan heran. "Wow."
"Aku tahu," kataku, sambil nyengir. "Cukup keren, ya?"
Aku merasa sangat goyah, sepertinya seluruh (tubuhku) gemetar. Lututku terasa
lemah semua dan berkeringat. Kau tahu perasaan itu.
Tapi aku mengabaikannya. Aku ingin menikmati saat kebanggaanku ini. Ini tak
sering bahwa aku harus melakukan sesuatu yang Zack tak pernah lakukan sepuluh
kali.
"Menakjubkan," kata Zack, menatap tajam cermin itu. "Aku harus mencobanya! "
"Yah ..." Aku tak begitu yakin aku ingin Zack melakukannya. Ini sepertinya
tanggung jawab yang besar. Maksudku, bagaimana jika ada sesuatu yang salah?
"Kau harus membiarkanku melakukannya!" Tegas Zack.
"Hei-mana Lefty?" Tanyaku, melirik cepat sekitar ruangan kecil itu.
"Hah? Lefty? " mata Zack juga mencari-cari.
"Aku sangat sibuk menjadi tak terlihat, aku lupa dia ada di sini," kataku. Dan
kemudian aku memanggil, "Hei, Lefty?"
Tak ada jawaban.
"Lefty?"
Sunyi.
Aku berjalan cepat ke bagian belakang cermin. Dia tak ada. Memanggil namanya,
aku berjalan ke pintu mengintip ke loteng.
Tak ada tanda dari dia.
"Dia sedang berdiri di sini. Di depan cermin, " Zack berkata, tiba-tiba pucat.
"Lefty?" Teriakku. "Apakah kau di sini? Bisakah kau mendengarku? "
Diam.
"Aneh," kata Zack.
Aku menelan ludah. Perutku tiba-tiba merasa seolah-olah aku menelan batu.
"Dia di sini. Berdiri di sini, "kata Zack, suaranya melengking ketakutan.
"Yah, dia sudah lenyap sekarang," kataku, menatap bayangan gelap di cermin.
"Lefty lenyap."

"Mungkin Lefty jadi tak terlihat, juga," saran Zack.


"Lalu mengapa dia tak menjawab kita?" Jeritku. Aku mencoba memanggil
saudaraku lagi. "Lefty - kau di sini? Bisakah kau mendengarku? "
Tak ada jawaban.
Aku berjalan ke cermin dengan marah menampar bingkainya. "Cermin bodoh."
"Lefty? Lefty? " Zack menangkupkan tangannya di sekitar mulutnya seperti
pengeras suara. Dia berdiri di pintu ke ruangan kecil, memanggil keluar ke loteng.
"Aku tak percaya ini," kataku pelan. Kakiku begitu gemetar, aku terjatuh ke lantai.
Dan kemudian aku mendengar cekikikan.
"Hah? Lefty " Aku melompat berdiri.
Cekikikan lagi. Datang dari balik kardus yang kubawa ke ruangan kecil itu.
Aku menerjang karton itu saat Lefty muncul dari belakangnya.
"Kena kau!" Teriaknya, dan terjatuh ke atas kardus, membentur lantai, tertawa
kepalanya tertunduk.
"Kena kalian! Kalian berdua kena! "
"Kau makhluk kecil!" Teriak Zack.
Dia dan aku sama-sama menerkam Lefty pada waktu yang sama. Aku
menarik lengannya ke belakang sampai ia menjerit. Zack mengacaukan rambutnya
ke atas, lalu menggelitiknya.
Lefty menjerit-jerit, tertawa-tawa, menggeliat dan menangis semua pada waktu
yang sama. Aku memberinya pukulan keras di bahu.
"Jangan pernah berbuat itu lagi," teriakku marah.
Lefty tertawa, jadi aku mendorongnya keras dan berdiri.
Zack dan aku, terengah-engah, dengan wajah memerah, melotot marah pada Lefty.
Dia berguling-guling di lantai, tertutup debu, masih tertawa seperti orang gila.
"Kau membuat kami ketakutan setengah mati. Kau benar-benar!" seruku panas.
"Aku tahu," jawab Lefty gembira.
"Ayo kita memukul dia lagi," saran Zack, mengepalkan tangannya terkepal erat-
erat.
"Oke," aku setuju.
"Kalian harus menangkapku dulu!" Teriak Lefty. Dalam sekejap dia berdiri, dan
keluar pintu.
Aku mengejarnya, tersandung tumpukan pakaian lama, dan melayang dengan
kepala lebih dulu ke lantai. "Aduh!" Kakiku terbentur keras. Rasa sakit menembus
tubuhku.
Menarik diri perlahan-lahan, aku mulai mengejar Lefty lagi.
Tapi suara-suara di tangga loteng membuatku berhenti.
Kepala Erin muncul pertama. Lalu April muncul.
Lefty sedang duduk di ambang jendela di jauh dari loteng, wajahnya memerah dan
berkeringat, napasnya megap-megap.
"Hei, bagaimana kabarmu?" Seruku kepada dua gadis itu, menyikat debu dari
celana jeansku, kemudian meluruskan rambutku dengan satu tangan.
"Ibumu bilang kau ada di sini," jelas Erin, melihat dari Lefty kepadaku.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Tanya April.
"Oh ... hanya nongkrong," kataku, melirik marah pada adikku, yang balas
menjulurkan lidahnya.
April mengambil sebuah majalah Life tua dari tumpukan menguning majalah-
majalah itu dan mulai membalik-baliknya.
Tetapi halamannya jadi pecah saat ia melihatnya.
"Yekh," katanya, meletakkannya. "Ini sudah sangat tua."
"Itulah gunanya loteng," kataku, mulai merasa sedikit lebih normal. "Siapa yang
pernah dengar ada orang menyimpan barang-barangnya di loteng? "
"Ha-ha-ha," Lefty tertawa sinis.
"Di mana cermin itu?" Tanya Erin, melangkah ke dalam tengah ruangan. "Itu yang
membuat ilusi optik aneh Sabtu lalu. "
"Itu bukan ilusi optik," tanyaku langsung. Aku tak benar-benar merasa suka
dengan cermin itu lagi. Aku akan sudah cukup takut sore ini. Tapi hanya kata-kata
itu jatuh keluar dariku.
Aku tak bisa menyimpan rahasia. Ini benar-benar sifat kekuranganku.
"Apa maksudmu?" Tanya Erin, sangat tertarik.
Dia berjalan melewatiku, menuju ke pintu yang terbuka dari ruangan kecil.
"Maksudmu minggu lalu itu bukan ilusi optik?" tanya April, mengikutinya.
"Tidak, benar-benar tidak," kataku, sambil melirik Lefty, yang tak beranjak dari
jendela melintasi ruangan besar.
"Cermin itu punya kekuatan aneh. Ini benar-benar dapat mengubahmu jadi tak
terlihat. "
April tertawa mengejek.
"Ya. Benar, "katanya. "Dan aku akan terbang ke Mars dalam saus terbang
nanti malam setelah makan malam. "
"Yang benar saja," gumamku. Aku memalingkan mataku pada Erin. "Aku serius."
Erin menatap ke arahku, wajahnya penuh dengan keraguan.
"Kau mencoba untuk memberitahu kami bahwa kau telah lenyap di ruangan itu dan
jadi tak terlihat?"
"Aku tak mencoba untuk memberitahu kalian," jawabku panas. "Aku memberitahu
kalian! "
April tertawa.
Erin terus menatapku, mengamati wajahku. "Kau serius," ia memutuskan.
"Ini cermin tipuan," kata April padanya. "Itu saja. Cahaya yang di atasnya begitu
terang, itu membuat matamu jadi aneh. "
"Tunjukkan pada kami," kata Erin kepadaku.
"Ya. Tunjukkan pada mereka! "seru Lefty penuh semangat. Dia melompat dari
jendela dan mulai berjalan ke ruangan kecil. "Aku akan lenyap saat ini! Biarkan
aku melakukannya! "
"Tidak," kataku.
"Biar aku mencobanya," celetuk Erin.
"Hei, kau tahu siapa lagi di sini?" Tanyaku, pada para gadis itu, mengikuti mereka
ke kamar. "Zack di sini."
Aku memanggilnya. "Hei, Zack. Erin ingin jadi tak terlihat. Kau pikir kita harus
membiarkannya? "
Aku melangkah ke dalam ruangan. "Zack?"
"Di mana dia bersembunyi?" Tanya Erin.
Aku terkesiap diam.
Lampu cermin menyala. Zack sudah lenyap.

10

"Oh, tidak!" Teriakku. "Aku tak percaya ini!"


Lefty tertawa. "Zack tak terlihat," katanya kepada Erin dan
April.
"Zack dimana kau?" Tuntutku marah.
Tiba-tiba, bola kasti itu melayang dari tangan Lefty.
"Hei, berikan kembali !" Teriak Lefty, dan meraihnya.
Tapi Zack yang tak terlihat menarik bola keluar dari jangkauan Lefty.
Erin dan April berdua menganga di saat bola melayang di udara, mata mereka
melotot, mulut mereka terbuka lebar.
"Hai, gadis-gadis," panggil Zack menggelegar, suara yang dalam mengapung dari
di depan cermin.
April menjerit dan meraih lengan Erin.
"Zack, berhenti bercanda. Berapa lama kau tak terlihat "tanyaku.
"Aku tak tahu." Bola itu melayang kembali ke Lefty, dia menjatuhkannya dan
harus mengejarnya keluar ke loteng.
"Berapa lama, Zack?" ulangku.
"Sekitar lima menit, mungkin," jawabnya.
"Ketika kau mengejar Lefty, aku menyalakan lampu dan jadi tak terlihat. Lalu aku
mendengar kau berbicara dengan Erin dan April.
"Kau sudah tak terlihat sepanjang waktu itu?" Tanyaku, merasa benar-benar gugup
dan kesal.
"Ya. Ini mengagumkan! "serunya. Tapi lalu suaranya nada ragu. "Meskipun aku -
aku mulai merasa agak aneh, Max. "
"Aneh?" Tanya Erin, menatap di mana suara Zack tampaknya berasal. "Apa
maksudmu 'Aneh'? "
"Agak pusing," jawab Zack lemah. "Semuanya semacam putus. Kau tahu. Seperti
gambar TV yang buruk. Maksudku, kau mulai memudar, tampak menjauh. "
"Aku membawamu kembali," kataku. Dan tanpa menunggu jawaban Zack, aku
meraih dan menarik rantai lampu.
Lampu itu mati. Kegelapan sepertinya menggulung dalam ruangan itu, mengisi
cermin dengan bayangan abu-abu.
"Di mana dia?" Teriak April. "Ini tak berhasil. Dia tak kembali. "
"Ini perlu waktu," aku menjelaskan.
"Berapa lama?" Tanya April.
"Aku tak tahu," kataku.
"Mengapa aku tak kembali?" Tanya Zack.
Dia berdiri tepat di sampingku. Aku bisa merasakan napasnya di leherku.
"Aku tak bisa melihat diriku." Dia terdengar sangat ketakutan.
"Jangan tegang," kataku, memaksa diri untuk bersuara tenang. "Kau tahu itu butuh
waktu. Terutama karena kau tetap tak terlihat begitu lama. "
"Tapi berapa lama?" Ratap Zack. "Bukankah seharusnya aku kembali oleh
sekarang? Kau kembali sekarang. Aku ingat. "
"Tetap tenang," kataku, meskipun perutku bergolak dan tenggorokanku kering.
"Ini terlalu menakutkan. Aku benci ini!" erang April.
"Sabarlah," ulangku pelan. "Semuanya bersabarlah. "
Kami semua menatap tempat itu yang kami pikir Zack berdiri ke cermin, lalu
kembali lagi.
"Zack, bagaimana perasaanmu?" Tanya Erin, suaranya gemetar.
"Aneh," jawab Zack. "Seperti aku tak akan pernah kembali."
"Jangan katakan itu!" Bentakku.
"Tapi itulah perasaanku," kata Zack sedih. "Seperti aku tak akan pernah kembali. "
"Tenanglah," kataku. "Semua orang. Tenanglah. "
Kami berdiri dalam keheningan. Menonton. Menunggu.
Menunggu.
Aku tak pernah setakut itu dalam seluruh hidupku.

11

"Lakukan sesuatu!" Pinta Zack masih tak terlihat,. "Max -kau harus melakukan
sesuatu! "
"Aku-aku sebaiknya memanggil Ibu," Lefty tergagap. Dia menjatuhkan bola kasti
untuk floorand mulai ke pintu.
"Ibu? Apa yang bisa Ibu lakukan? " teriakku panik.
"Tapi sebaiknya aku memanggil seeseorang!" Kata Lefty.
Pada saat itu, Zack berpendar tampak kembali.
"Wow!" Dia mengeluarkan desahan panjang, terengah-engah lega
dan merosot berlutut di lantai.
"Yaaaay!" teriak Erin gembira, bertepuk tangan saat kami semua berkumpul di
sekitar Zack.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanyaku, meraih bahunya. Kupikir aku ingin tahu
dengan pasti bahwa dia benar-benar kembali.
"Aku kembali!" Zack memproklamirkan, tersenyum. "Itu saja yang aku peduli."
"Itu benar-benar menakutkan," kata April pelan, tangan masuk ke kantong celana
tenis putihnya. "Maksudku, benar-benar menakutkan. "
"Aku tak takut," kata Zack, tiba-tiba nada suaranya berubah. "Aku tahu ada
masalah."
Apa kau percaya orang ini?
Satu detik (yang lalu) dia merengek dan meratap, mengemis agar aku melakukan
sesuatu.
Detik berikutnya, dia menganggap dirinya yang punya waktu hidupnya. Tuan
Percaya Diri.
"Bagaimana rasanya?" Tanya Erin, meletakkan satu tangannya pada bingkai kayu
cermin.
"Mengagumkan," jawab Zack. Dia berdiri goyah. "Benar. Itu benar-benar hebat!
Aku ingin jadi tak terlihat lagi sebelum sekolah di hari Senin sehingga aku bisa
pergi memata-matai di ruangan lemari gadis-gadis '! "
"Zack, kau babi!" Kata Erin jijik.
"Apa gunanya jadi tak terlihat jika kau tak dapat memata-matai gadis-gadis? "
tanya Zack.
"Apa kau yakin kau baik-baik saja?" Tanyaku, benar-benar memperhatikan. "Kau
tampaknya seperti gemetar kepadaku."
"Yah, aku mulai merasa sedikit aneh di akhir," aku Zack, menggaruk bagian
belakang kepalanya.
"Apa maksudmu?" Tanyaku.
"Yah, seperti aku sedang ditarik. Menjauh dari kamar. Menjauh dari kalian. "
"Ditarik kemana?" tuntutku.
Dia mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Aku hanya tahu satu hal "
Seulas senyum mulai terbentuk di wajahnya, dan mata birunya tampak menyala.
Uh-oh, pikirku.
"Aku hanya tahu satu hal," ulang Zack.
"Apa?" Aku harus bertanya.
"Aku juara baru tak terlihat. Aku tetap tak terlihat lebih lama darimu. Setidaknya
lima menit. Lebih lama dari siapa pun. "
"Tapi aku belum dapat giliran!" Protes Erin.
"Aku tak ingin giliran!" Kata April.
"Penakut?" Zack menggodanya.
"Kupikir kau bodoh membuat keributan bermain dengan ini," kata April panas. "Ini
bukan mainan, kau tahu. Kau tak tahu apa-apa tentang hal itu. Kau tak tahu apa
yang benar-benar dilakukannya pada tubuhmu. "
"Aku merasa baik-baik saja!" Kata Zack, dan memukul dadanya dengan kedua
tangan seperti gorila untuk membuktikannya. Dia melirik ke cermin gelap. "Aku
siap untuk kembali-bahkan lebih lama. "
"Aku ingin jadi tak terlihat, pergi keluar dan bermain tipuan pada orang-orang,
"kata Lefty antusias. "Bisakah aku jadi selanjutnya, Max? "
"Aku - aku tak berpikir begitu ...."
Aku sedang memikirkan apa yang dikatakan April. Kami benar-benar
main-main dengan sesuatu yang bisa berbahaya, sesuatu yang kita tak tahu apa-apa
tentangnya.
"Max harus pergi lagi," kata Zack, menamparku keras di belakang, hampir-hampir
mengirimku dalam posisi membentang pada cermin. "Untuk mengalahkan
rekorku."
Dia menyeringai padaku.
"Kecuali kau juga penakut."
"Aku tak takut!" Aku bersikeras. "Aku hanya berpikir-"
"Kau penakut," tuduh Zack, tertawa mencemooh.
Dia mulai berdecak keras, mengepakkan lengannya seperti
ayam.
(ayam=kata kiasan untuk penakut).
"Aku tak takut. Biarkan aku pergi, "pinta Lefty. "Aku bisa mematahkan rekor
Zack. "
"Sekarang giliranku," desak Erin. "Kalian semua pernah dapat giliran. Aku belum
pernah sama sekali! "
"Oke," kataku sambil mengangkat bahu. "Kau duluan, Erin. Lalu aku. "
Aku lega Erin begitu ingin melakukannya. Aku benar-benar tak merasa suka jadi
tak terlihat lagi, masih belum.
Sejujurnya, aku merasa sangat berdebar dan gugup.
"Aku berikutnya!" Tegas Lefty. "Aku berikutnya! Aku berikutnya! " Dia
mulai terus melantunkan kata-kata itu.
Aku mengatupkan tanganku ke mulutnya.
"Mungkin kita semua harus pergi ke bawah, "usulku.
"Penakut?" goda Zack. "Kau ketakutan keluar?"
"Aku tak tahu, Zack," jawabku jujur. "Kupikir-
Aku melihat Erin menatapku. Apa itu rasa kecewa pada wajahnya? Apa Erin
berpikir aku penakut juga?
"Oke," kataku. "Silakan, Erin. Kau pergi. Lalu aku akan pergi. Kemudian Lefty.
Kita semua akan mengalahkan rekor Zack. "
Erin dan Lefty bertepuk tangan. April mengerang dan matanya bergerak-gerak.
Zack nyengir.
Ini bukan masalah besar, aku berkata pada diriku sendiri. Aku telah melakukannya
tiga kali. Ini sangat menyakitkan. Dan jika kau hanya tetap tenang dan menunggu
dengan sabar, kau datang tepat kembali ke jalanmu.
"Apakah ada yang punya jam?" Tanya Erin. "Kita perlu mencatat waktu jadi aku
tahu kapan waktunya harus mengalahkan. "
Aku bisa melihat bahwa Erin serius dalam kompetisi ini.
Lefty tampak sangat bersemangat, juga. Dan tentu saja Zack akan bersaing dalam
apa pun.
Hanya April tak senang tentang semua hal ini. Dia diam-diam berjalan ke bagian
belakang ruangan dan duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding,
tangannya dilipat pada lututnya.
"Hei, hanya kau satu-satunya penonton," panggil Erin pada April. "Jadi kau
pencatat waktunya, oke?"
April mengangguk tak antusias. Dia mengangkat pergelangan tangannya dan
melihat jamnya. "Oke. Siap. "
Erin mengambil napas panjang dan melangkah ke cermin. Dia menutup matanya,
mengulurkan tangan, dan menarik pelan rantai lampu.
Lampu menyala dengan kilatan cerah. Erin menghilang.
"Oh, wow!" Teriaknya. "Ini cara yang keren!"
"Bagaimana rasanya?" Panggil April dari belakang kami, matanya melirik dari
cermin ke jamnya.
"Aku tak merasa berbeda sama sekali," kata Erin. "Cara yang bagus untuk
menurunkan berat badan! "
"Lima belas detik," April mengumumkan.
Rambut Lefty tiba-tiba berdiri tegak di udara. "Hentikan itu, Erin "teriaknya,
memutar jauh dari tangan tak tampaknya.
Kami mendengar tawa Erin dari suatu tempat dekat Lefty.
Lalu kami mendengar langkah kakinya saat dia berjalan keluar dari ruangan dan
masuk ke loteng. Kami melihat jaket tua naik menari berutar-putar di udara.
Setelah jaket itu dijatuhkan
kembali ke kardus, kami melihat sebuah majalah tua terbang
dan halaman-halamannya tampak berbalik dengan cepat.
"Ini sangat menyenangkan!" Kata Erin pada kami. Majalah itu jatuh kembali ke
tumpukan. "Aku tak sabar untuk pergi ke luar seperti ini dan benar-benar menakut-
nakuti orang!"
"Satu menit," Kata April. Dia belum beranjak dari posisi duduknya di dinding.
Erin bergerak sebentar di sekitar loteng, membuat benda-benda terbang dan
melayang. Lalu ia kembali ke ruangan kecil itu untuk mengagumi dirinya di
cermin.
"Aku benar-benar tak terlihat!" Kami mendengar dia menyatakannya dengan
penuh semangat.
"Sama seperti dalam film atau semacamnya!"
"Ya. Efek khusus yang hebat," kataku.
"Tiga menit," April mengumumkan.
Erin terus menikmati dirinya sampai sekitar empat menit telah berlalu. Lalu tiba-
tiba suaranya berubah. Dia mulai terdengar ragu, takut.
"Aku-aku tak suka ini," katanya. "Aku merasa agak aneh."
April melompat dan berlari ke arahku. "Bawa dia kembali!" Desaknya. "Cepat!"
Aku ragu-ragu.
"Ya. Bawa aku kembali, "kata Erin lemah.
"Tapi kau belum mengalahkan rekorku!" Kata Zack. "Apakah kau yakin-?"
"Ya. Tolong. Aku merasa tak benar." Tiba-tiba suara Erin terdengar menjauh.
Aku melangkah ke cermin itu dan menarik rantai. Lampu itu mati.
Kami menunggu Erin untuk kembali.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanyaku.
"Hanya ... aneh," jawabnya.
Dia berdiri tepat di sampingku, tapi aku masih tak bisa melihatnya.
Butuh waktu hampir tiga menit bagi for untuk muncul kembali.
Tiga menit yang sangat menegangkan.
Ketika dia berpendar kembali kelihatan, ia menggoyang-goyangkan dirinya seperti
anjing menggoyang-goyangkan air setelah mandi.
Lalu ia tersenyum pada kami meyakinkan. "Aku baik-baik. Itu benar-benar hebat.
Kecuali untuk detik-detik terakhir. "
"Kau tak mengalahkan rekorku," Zack memberitakan dengan gembira.
"Kau sudah begitu dekat. Tapi kau gagal. Persis seperti seorang gadis. "
"Hei-" Erin mendorong Zack dengan keras. "Berhentilah bersikap brengsek."
"Tapi kau cuma perlu lima belas detik untuk pergi, dan kau kurang percaya diri,
keluar! "kata Zack padanya.
"Aku tak peduli," desak Erin, merengut marah padanya. "Ini benar-benar bagus.
Lain kali aku akan mengalahkan rekormu, Zack. "
"Aku akan menjadi pemenang," kata Lefty. "Aku akan tetap tak terlihat untuk
sepanjang hari. Mungkin dua hari! "
"Wah!" Jeritku. "Itu bisa berbahaya, Lefty."
"Berikutnya giliran Max," Zack mengumumkan. "Kecuali kau membayar
hukuman. "
"Tidak," kataku, sambil melirik Erin. Dengan enggan, aku melangkah ke cermin
dan mengambil napas dalam-dalam.
"Oke, Zack, ucapkan selamat tinggal untuk rekormu," kataku, berusaha tenang dan
percaya diri.
Aku tak benar-benar ingin melakukannya, aku mengaku pada diri sendiri. Tapi aku
tak ingin terlihat kelihan penakut di depan lain. Untuk satu hal lagi, jika aku
pengecut, aku tahu bahwa Lefty akan mengingatkanku dua puluh atau tiga puluh
kali sehari selama sisa hidupku.
Jadi aku memutuskan untuk terus maju dan melakukannya.
"Satu hal lagi," kataku pada Zack. "Ketika aku katakan 'siap ', itu berarti aku ingin
kembali. Jadi saat aku mengatakan 'Siap', kau tarik rantai lampu secepat kau bisa-
oke? "
"Baik," jawab Zack, ekspresinya berubah serius. "Jangan khawatir. Aku akan
membawamu langsung kembali." Dia menjentikkan jarinya. "Seperti itu. Ingat,
Max, kau harus mengalahkan lima menit. "
"Oke. Ini dia, "kataku, menatap bayanganku di cermin.
Aku tiba-tiba punya perasaan buruk tentang ini.
Suatu perasaan yang benar-benar buruk.
Tapi aku mengulurkan tangan dan menarik lampu juga.

12

Ketika lampu menyilaukan itu meredup, aku menatap tajam ke dalam cermin.
Bayangan-bayangan itu terang dan jelas. Pada dinding belakang, aku bisa melihat
bulan April, merosot di lantai, menatap tajam pada jamnya.
Lefty berdiri dekat dinding sebelah kanan, menganga di tempat di mana aku
berdiri, tersenyum konyol di wajahnya.
Zack berdiri di sampingnya, kedua lengannya disilangkan di dada, juga menatap ke
cermin.
Erin bersandar di dinding sebelah kiri. Matanya (tertuju) pada lampu di atas
bingkai cermin.
Dan di mana aku?
Berdiri tepat di depan cermin. Tepat di tengah-tengahnya. Menatap bayangan-
bayangan mereka. Menatap tempat dimana bayanganku seharusnya (berada).
Hanya saja bayangan itu tak ada.
Aku merasa normal.
Bereksperimen, aku menendang lantai. Sepatu tak terlihatku membuat suara
gesekan biasa.
Aku meraih lengan kiriku dengan tangan kananku dan meremasnya. Rasanya
normal.
"Hai, semuanya," kataku. Aku terdengar sama seperti sebelumnya.
Hanya aku tak tampak.
Aku melirik ke arah lampu, mendapati suatu persegi panjang kuning turun ke
cermin.
Apa kekuatan lampu itu? Aku bertanya-tanya.
Apa itu yang melakukan sesuatu pada molekulmu? Membuatnya pecah entah
bagaimana sehingga kau tak bisa dilihat?
Tidak. Itu bukan teori yang baik. Jika molekulmu pecah, kau pasti merasakannya.
Dan kau tak akan
mampu menendang lantai, meremas lenganmu atau berbicara.
Jadi, apa yang lampu itu lakukan?
Apa lampu itu menutupi (dengan cara)entah bagaimana?
Apakah lampu itu membentuk semacam selimut? Suatu penutup yang
menyembunyikanmu dari diri sendiri dan semua orang lain?
Misteri!
Kurasa aku tak akan bisa mengetahuinya, tak akan pernah tahu jawabannya.
Aku memutar mataku menjauh dari lampu itu. Lampu itu mulai
menyakiti mataku.
Aku memejamkan mata, tapi cahaya terang yang menyilaukan tetap bersamaku.
Dua lingkaran putih yang menolak untuk meredup.
"Bagaimana perasaanmu, Max?" Suara Erin memecahkan pikiranku.
"Oke, kurasa," kataku. Suaraku kedengaran aneh bagiku, semacam menjauh.
"Empat menit, tiga puluh detik," April mengumumkan.
"Waktu berlalu begitu cepat," kataku.Setidaknya, kupikir aku mengatakan itu. Aku
sadar aku tak bisa mengatakan apakah aku mengucapkan kata-kata atau cuma
memikirkannya.
Lampu kuning terang itu bersinar lebih cerah.
Aku merasa tiba-tiba cahaya lampu itu tertuang padaku, mengelilingiku.
Menarikku.
"Aku-aku merasa aneh," kataku.
Tak ada respon.
Bisakah mereka mendengarku,
Cahaya itu membungkusku. Aku merasa diriku mulai mengambang.
Ini adalah perasaan yang menakutkan. Seolah-olah aku kehilangan kontrol
pada tubuhku.
"Siap-siap!"jeritku. "Zack siap-siap! Bisakah kau mendengarku, Zack? "
Kelihataannya perlu waktu berjam-jam bagi Zack untuk menjawab.
"Oke," aku mendengarnya mengatakan. Suaranya terdengar begitu kecil, begitu
jauh.
Bermil-mil dan bermil-mil jauhnya.
"Siap-siap!" Jeritku. "Siap-siap!"
"Oke!" Sekali lagi aku mendengar suara Zack.
Namun cahaya itu begitu terang, begitu cemerlang menyilaukan. Gelombang
cahaya kuning bergulir ke atasku. Lautan gelombang cahaya melandaku menjauh.
"Tarik rantainya, Zack!" jeritku. Setidaknya, kupikir itu adalah jeritan.
Cahaya itu menarikku begitu keras, menyeret menjauh, jauh, menjauh.
Aku tahu aku akan melayang pergi. Melayang selamanya.
Kecuali Zack menarik rantai dan membawaku kembali.
"Tarik! Tarik! Tolong-tariklah!"
"Okay."
Aku melihat Zack melangkah ke cermin itu.
Dia jadi kabur dalam bayang-bayang. Dia melangkah melalui bayangan-bayangan
gelap, di sisi lain dari lampu.
Begitu jauh.
Aku merasa jadi seringan bulu.
Aku bisa melihat Zack dalam bayang-bayang. Dia melompat berdiri. Dia meraih
rantai lampu.
Dia menarik ke bawah dengan keras.
Lampu itu tak mati. Bahkan bersinar lebih cerah.
Dan lalu aku melihat wajah Zack penuh dengan rasa ngeri.
Dia mengangkat tangannya. Dia mencoba untuk menunjukkan sesuatu padaku.
Dia memegangi rantai di tangannya.
"Max, rantainya-" dia tergagap. "Ini putus. Aku tak bisa mematikan lampu!"

13

Melewati dinding yang berkilauan cahaya kuning, Zack mengulurkan tangan


terdengar jelas dalam pandanganku. Rantai gelap itu berjuntai di tangannya seperti
ular mati.
"Ini putus!" teriaknya, terdengar sangat khawatir.
Aku menatap melalui lampu di rantai, merasa diriku melayang di samping Zack,
mengambang, memudar.
Di suatu tempat berjarak jauh, April menjerit. Aku tak bisa mengerti kata-katanya.
Lefty berdiri membeku di tengah ruangan. Rasanya aneh melihatnya masih tetap
berdiri. Dia selalu bergerak, selalu terpental, berjalan, jatuh. Tapi sekarang dia juga
berdiri menatap rantai itu.
Lampu itu berpendar lebih terang.
Aku tiba-tiba melihat gerakan.
Seseorang sedang melintasi ruangan. Aku bersusah payah untuk fokus.
Itu Erin. Dia menyeret sebuah kotak kardus besar melewati lantai. Suara gesekan
yang dibuatnya tampak begitu jauh.
Merasa diriku menjauh, aku berjuang untuk melihatnya. Dia menarik kotak ke
samping cermin. Lalu ia memanjat ke atasnya.
Aku melihatnya meraih ke lampu itu. Aku melihatnya menatap ke lampu itu.
Aku ingin bertanya apa yang ia perbuat, tapi aku terlalu jauh. Aku melayang. Aku
merasa begitu ringan, seringan bulu.
Dan saat aku melayang, cahaya lampu kuning itu menyebar padaku. Menutupiku.
Menarikku.
Dan lalu dengan mengejutkan tiba-tiba itu menghilang.
Dan semua jadi gelap.
"Aku melakukannya!" Erin mengumumkan.
Aku mendengarnya menjelaskan pada yang lain. "Ada sedikit rantai yang tersisa di
sana. Aku menariknya dan mematikan lampu. "
Matanya panik bergerak-gerak cepat mencari-cariku di sekeliling ruangan. "Max -
apa kau baik-baik saja? Bisakah kau mendengarku? "
"Ya. Aku baik-baik saja, "jawabku.
Aku merasa lebih baik. Lebih kuat. Lebih dekat.
Aku melangkah ke cermin dan mencari bayanganku.
"Itu menakutkan," kata Lefty dibelakangku.
"Aku bisa merasakan diriku kembali," kataku pada mereka.
"Berapa waktunya?" Tanya Zack pada April.
Roman muka April tegang dengan kekhawatiran. Duduk terhadap
dinding, dia tampak pucat dan tak nyaman.
"Lima menit empat puluh delapan detik, "katanya Zack. Dan kemudian cepat-cepat
menambahkan, "Aku benar-benar berpikir kompetisi bodoh ini adalah kesalahan
besar. "
"Kau mengalahkan rekorku!" Erang Zack, beralih ke tempatdi mana ia pikir aku
sedang berdiri. "Aku tak percaya! Hampir enam menit! "
"Aku akan lebih lama dari itu," kata Lefty, mendorong melewati Zack dan
melangkah ke cermin.
"Kita harus memperbaiki rantainya dulu," kata Erin padanya. "Terlalu
sulit untuk terus memanjat kotak untuk menarik sedikit potongan rantai."
"Aku merasa cukup aneh di akhir," kataku, masih menunggu untuk muncul
kembali. "Lampu itu jadi lebih terang dan lebih cerah. "
"Apa kau merasa sepertinya kau sedang ditarik?" tanya Erin.
"Ya," jawabku. "Sepertinya aku memudar atau semacamnya."
"Begitulah. Mulai terasa, "teriak Erin.
"Ini jadi begitu berbahaya," kata April, menggelengkan kepalanya.
Aku muncul kembali.
Lututku lemas dan aku hampir jatuh ke lantai. Tapi aku meraih cermin itu dan
menahan diriku berdiri. Beberapa
detik kemudian, kakiku terasa kuat lagi. Aku mengambil beberapa langkah dan
mengembalikan keseimbangan.
"Bagaimana jika kita tak bisa mematikan lampu?" tuntut April, berdiri, menyikat
debu di belakang celananya dengan kedua tangan. "Bagaimana jika rantainya
benar-benar putus dan lampunya tetap menyala?
Lalu apa? "
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
"Kau memecahkan rekorku," kata Zack, membuat wajah jijik. "Itu berarti aku
harus dapat giliran lagi."
"Tidak!" Teriak Lefty. "Sekarang giliranku berikutnya!"
"Tak ada dari kalian yang mendengarkanku!" Teriak April.
"Jawab pertanyaanku. Bagaimana jika salah satu dari kalian tak terlihat
dan lampu itu tak mau mati? "
"Itu tak akan terjadi," kata Zack padanya. Dia menarik seutas tali
dari sakunya. "Sini. Aku akan mengikatnya erat-erat pada rantai. "
Dia memanjat ke kotak dan mulai
pekerjaannya. "Tarik tali itu. Lampunya akan padam, "katanya
pada April. "Tak masalah."
"Siapa salah satu dari kita yang akan jadi yang pertama tak kelihatan dan lalu pergi
ke luar? "tanya Erin.
"Aku ingin pergi ke sekolah dan meneror Bu Hawkins," kata Lefty, tertawa
terbahak-bahak.
Bu Hawkins adalah guru pelajaran sosialnya.
"Dia sudah menerorku sejak sekolah dimulai. Bukankah itu keren hanya untuk
menyelinap di belakangnya dan berkata, 'Hai, Miss Hawkins?'
Dan dia berbalik dan tak ada orang di sana? "
"Itukah yang terbaik yang dapat kau kerjakan?" Ejek Erin. "Lefty, di mana
imajinasimu? Tidakkah kau ingin membuat kapur terbang keluar dari tangannya,
penghapus kapur papan tulis terbang melintasi ruangan, menumpahkan (isi)
keranjang sampah semuanya di mejanya, dan menerbang susu kentalnya ke
wajahnya?"
"Ya! Itu cara yang keren "seru! Lefty.
Aku tertawa. Itu adalah ide yang lucu. Kami berempat bisa pergi berkeliling,
benar-benar tak terlihat, melakukan apa pun yang kami inginkan. Kita bisa
menghancurkan seluruh sekolah dalam sepuluh menit! Semua orang akan menjerit
dan berjalan keluar pintu. Bodoh sekali!
"Kita tak bisa melakukannya sekarang," kata Lefty, menyela pikiranku. "Karena ini
giliranku untuk mengalahkan rekor."
Dia berbalik pada April, yang berdiri tegang di pintu, menarik-narik sehelai rambut
hitamnya, satu kerutan khawatir tampak pada wajahnya. "Siap (menghitung)
waktuku?"
"Aku kira," jawabnya, sambil mendesah.
Lefty mendorongku keluar dari jalan. Dia melangkah ke depan cermin, menatap
bayangannya, dan meraih tali itu.
14

"Lefty!" Satu suara berteriak dari belakang kami. "Lefty!"


Terkejut oleh gangguan itu, aku mengeluarkan seruan kaget.
Lefty melangkah mundur dari cermin.
"Lefty, beritahu teman-teman kakakmu harus pulang! Ini saatnya makan malam.
Grammy dan Poppy di sini. Mereka ingin berjumpa kalian! "
Itu Ibu, memanggil dari lantai bawah.
"Baik, Bu. Kami akan segera turun "teriakku cepat-cepat. Aku tak ingin dia
muncul.
"Tapi itu tak adil!" Rengek Lefty. "Aku tak mendapatkan giliranku. "
Dia melangkah kembali ke cermin dengan marah meraih tali itu lagi.
"Turunkan," kataku tegas. "Kita harus pergi bawah. Cepat. Kita tak ingin Ibu atau
Ayah datang ke sini dan melihat cermin ini, iya kan? "
"Oke, oke," gerutu Lefty. "Tapi lain kali, aku jadi yang pertama. "
"Lalu aku," kata Zack, menuju tangga.
" Aku dapat kesempatan untuk mengalahkan rekormu, Max."
"Semua orang, berhentilah bicara tentang itu," aku memperingatkan saat kami
semua berjalan menuruni tangga. "Bicarakan sesuatu yang lain. Kita tak ingin
mereka mendengar apa pun. "
"Bisakah kami besok datang lagi?" Tanya Erin. "Kita bisa mulai kontes lagi."
"Aku sibuk besok," kata April.
"Kita tak bisa melakukannya besok," jawabku. "Kami akan mengunjungi saudara
sepupuku di Springfield. "
Aku menyesal mereka akan mengingatkanku. Sepupuku ini punya anjing gembala
besar yang suka berjalan melalui lumpur, lalu melompat padaku dan mengelapkan
cakar berbulunya yang ke pakaianku. Bukan ideku dari waktu yang baik.
"Tak ada sekolah pada hari Rabu," kata Zack. "Kupikir ada rapat guru. Mungkin
kita semua bisa datang di hari Rabu."
"Mungkin," kataku.
Kami melangkah ke lorong. Semua orang berhenti berbicara. Aku bisa melihat
bahwa kakek nenekku dan orang tuaku sudah duduk di meja ruang makan.
Kakek dan Nenek suka makan segera. Jika makan malam mereka terlambat satu
menit saja, itu akan membuat mereka benar-benar rewel di sisa hari itu.
Aku mengantar teman-temanku dengan cepat, mengingatkan mereka untuk tak
memberitahu siapa pun tentang apa yang kami lakukan. Zack bertanya lagi apa jadi
hari Rabu, dan sekali lagi kukatakan kepadanya bahwa aku tak yakin.
Menjadi tak terlihat benar-benar menarik, benar-benar mendebarkan.
Tapi itu juga membuatku gugup. Aku tak yakin aku ingin segera melakukannya
lagi.
"Kumohon!" Pinta Zack.
Dia tak bisa menunggu untuk jadi tak terlihat lagi dan mengalahkan rekorku. Dia
tak bisa tahan bahwa ia bukan si juara itu.
Aku menutup pintu depan setelah mereka (pergi) dan bergegas ke ruang makan
untuk menyapa kakek-nenekku. Mereka sudah meneguk sup mereka ketika aku
masuk.
"Hai, Grammy. Hai, Poppy." aku berjalan mengelilingi meja dan memberi mereka
masing-masing ciuman di pipi.
Grammy berbau jeruk. Pipinya terasa lembut dan lembek.
Grammy dan Poppy adalah nama yang kuberikan pada mereka saat aku masih
kecil. Ini benar-benar memalukan untuk memanggil mereka (dengan nama itu)
sekarang, tapi aku masih melakukannya. Aku tak punya pilihan. Mereka bahkan
memanggil satu sama lain Grammy dan Poppy!
Mereka tampak sama, hampir seperti adik kakak. Kurasa itulah yang terjadi saat
kau sudah menikah selama seratus tahun. Mereka berdua punya wajah panjang
yang kurus dan rambut putih pendek. Mereka berdua memakai kacamata tebal
dengan bingkai kawat perak. Mereka berdua benar-benar kurus. Dan mereka
berdua punya mata dan ekspresi yang menyedihkan.
Aku tak merasa senang duduk makan malam di sana dan membuat pembicaraan
kecil dengan mereka hari ini. Aku masih benar-benar bergairah tentang apa yang
kami lakukan sepanjang sore.
Menjadi tak terlihat benar-benar begitu aneh dan menarik.
Aku ingin sendirian dan berpikir tentang hal itu. Kau tahu. Mencoba untuk
mengingat kembali hal itu, mengingat kembali bagaimana rasanya.
Sering kali setiap kali aku melakukan sesuatu yang sangat mengasyikkan dan
menarik, Aku ingin naik ke kamarku, berbaring di atas tempat tidurku, dan cuma
memikirkan tentang hal ini. Menganalisanya. Memikirkannya secara terpisah.
Ayah bilang aku memiliki pikiran yang sangat ilmiah. Kukira dia benar.
Aku berjalan ke tempatku di meja.
"Kau tampak jauh lebih pendek," kata Poppy, mengelap mulutnya dengan serbet
kainnya. Itu adalah salah satu lelucon standarnya. Dia mengatakannya setiap kali
dia melihatku.
Aku terpaksa tertawa dan duduk.
"Supmu pasti sedingin es sekarang," kata Grammy, lidahnya berbunyi. "Tak ada
yang lebih kubenci dari sup yang dingin. Maksudku, apa gunanya punya sup jika
tak mengepul panas? "
"Rasanya baik-baik saja," kataku, mengambil sesendok.
"Kita punya beberapa sup dingin lezat di musim panas lalu," kata Poppy. Dia
menyukai menentang Grammy dan memulai pertengkaran dengannya. "Sup
stroberi, ingat? Kau tak mau itu panas, iya kan? "
"Itu bukan stroberi," kata Grammy padanya, mengerutkan kening. "Itu
bahkan bukan sup. Itu semacam susu kental yang mewah. "
"Tidak, itu tidak," desak Poppy. "Itu benar-benar sup dingin. "
"Kau keliru, seperti biasa," bentak Grammy.
Ini bisa jadi buruk, pikirku.
"Sup jenis apa ini? "tanyaku, mencoba untuk menghentikan perdebatan mereka.
"Bak mie ayam," jawab Ibu dengan cepat. "Apa tak mengenalinya? "
"Poppy dan aku punya sup beberapa minggu lalu yang tak bisa kami kenali, "kata
nenekku, menggelengkan kepalanya. "Aku harus bertanya pada pelayan apa itu. Itu
sama sekali tak tampak seperti apa yang kami pesan. Semacam sup kentang
bawang prei, bukan begitu, Poppy? "
Poppy butuh waktu lama menelan beberapa mie.
"Bukan. Tomat, "jawabnya.
"Di mana adikmu?" Tanya Ayah, menatap kursi kosong di sampingnya kepadaku.
"Hah?"
Aku bereaksi terkejut. Aku telah begitu sibuk mendengarkan perdebatan konyol
kakek nenekku tentang sup, aku sama sekali lupa tentang Lefty.
"Supnya semakin dingin," kata Poppy.
"Kau harus memanaskannya untuknya," kata Grammy, berdesas- desus lagi.
"Jadi di mana dia?" Tanya Ayah.
Aku mengangkat bahu. "Dia tepat di belakangku," kataku. Aku berbalik menuju
pintu ruang makan dan berteriak, "Lefty! Lef-teeeee??!
"Jangan berteriak di meja," omel Ibu. "Bangunlah dan carilah dia. "
"Apa ada lagi sup?" Tanya Poppy. "Aku benar-benar tak dapat cukup."
Aku meletakkan serbetku turun dan mulai untuk bangun. Tapi sebelum aku keluar
dari kursiku, aku melihat mangkuk sup Lefty yang naik ke udara.
Oh, tidak! Pikirku.
Aku langsung tahu apa yang terjadi.
Adik bodohku membuat dirinya tak terlihat, dan sekarang dia berpikir dia sedang
melucu, mencoba menakut-nakuti semua orang di meja.
Mangkuk sup itu melayang di atas tempat Lefty.
Aku berdiri dan menyergapnya dan menariknya ke bawah secepat yang aku bisa.
"Keluar!" Aku berbisik keras pada Lefty.
"Apa katamu?" Tanya ibuku, memandangku dengan mulut menganga.
"Aku bilang aku akan keluar dan pergi mencari Lefty," kataku padanya, berpikir
cepat.
"Keluar - sekarang!" Bisikku pada Lefty.
"Berhenti berbicara tentang menemukannya. Cukup pergi lakukanlah, " kata ibuku
tak sabar.
Aku berdiri saat adik bodohku yang tak terlihat mengangkat gelas airnya. Gelas itu
melayang di atas meja.
Aku terkesiap dan meraihnya.
Tapi aku menyambar terlalu keras. Aku menarik gelas itu, dan airnya tumpah
semua ke atas meja.
"Hei!" Teriak Ibu.
Aku menarik gelas ke tempatnya.
Lalu aku mendongak. Ayah menatapku, matanya menyala marah ke arahku.
Dia tahu, pikirku, perasaan berat akan ketakutan melandaku.
Dia melihat apa yang baru saja terjadi, dan dia tahu.
Lefty telah merusaknya bagi setiap orang.

15

Ayah di seberang meja melotot marah.


Aku menunggunya berkata, "Max, mengapa adikmu tak kelihatan?"
Tapi sebaliknya, ia malah berteriak, "Berhentilah bersikap bodoh, Max. Kami tak
menghargai aksi komedimu. Cukup bangun dan temukan adikmu."
Aku begitu lega. Ayah tak menyadari apa yang benar-benar terjadi, setelah itu
semua. Dia pikir aku hanya main-main.
"Apa ada sup kedua?" Aku mendengar Poppy bertanya lagi saat aku dengan
bersyukur menjauh dari meja dan bergegas keluar dari ruang makan.
"Kau sudah cukup (kenyang)," omel Grammy.
"Tidak, aku tidak!"
Aku berjalan cepat melalui ruang tamu, mengambil langkah panjang, naik ke lantai
dua, dan berhenti di lorong pada pintu tangga loteng.
"Lefty?" Bisikku. "Aku harap kau mengikutiku."
"Aku di sini," bisik Lefty kembali.
Aku tak bisa melihatnya, tentu saja, tapi dia tepat di sampingku.
"Apa itu gagasan besar?" Tuntutku marah. Aku tak marah. Aku sangat marah.
"Apa kau mencoba untuk memenangkan kejuaraan itu? "
Lefty tak peduli bahwa aku marah. Dia mulai cekikikan.
"Diam!" Bisikku. "Tutup mulut! Kau benar-benar brengsek! "
Aku menyalakan lampu loteng dan berjalan dengan marah menaiki tangga. Aku
bisa mendengar sepatunya berjalan di belakangku.
Dia masih tertawa-tawa di puncak tangga.
"Aku menang!" ia mengumumkan. Aku merasa satu tangan menamparku keras di
belakangku.
"Hentikan, brengsek!" Jeritku, menyerbu ke ruangan kecil yang menyimpan
cermin. "Apa kau tak sadar kau hampir merusaknya bagi semua orang? "
"Tapi aku menang!" Ulangnya gembira.
Lampu di atas cermin bersinar terang, memantulkan matahari kuning yang
menyilaukan di cermin.
Aku benar-benar tak bisa percaya Lefty. Dia biasanya anak yang cukup
egois. Tapi tak seegois ini!
"Kau tak sadar masalah yang bisa buat bagi kita?" teriakku.
"Aku menang! Aku menang!" Dia bernyanyi-nyanyi.
"Kenapa? Berapa lama kau sudah tak terlihat? "Tanyaku. Aku melangkah ke
cermin dan menarik tali.
Lampu itu mati. Cahaya menyilaukan tinggal di mataku.
"Sejak kalian turun," Lefty, tetap tak terlihat, menyombongkan diri.
"Itu hampir sepuluh menit!" Seruku.
"Aku juaranya!" Lefty mengumumkan.
Aku menatap ke cermin, menunggunya untuk tampak kembali.
"Juara kebodohan," ulangku. "Ini hal terbodoh yang pernah kau perbuat."
Dia tak berkata apa-apa.
Akhirnya, dia bertanya dengan suara pelan, "Mengapa begitu lama bagiku untuk
kembali?"
Sebelum aku bisa menjawab, aku mendengar Ayah memanggil dari bawah: "Max?
Apa kalian berdua atas sana? "
"Ya. Kami akan segera turun," teriakku.
"Apa yang kalian lakukan di atas sana?" tuntut Ayah.
Aku mendengar dia mulai menaiki tangga.
Aku berlari ke puncak tangga untuk menghalanginya.
"Maaf, Yah, "kataku. "Kami datang."
Ayah menatapku di tangga. "Apa sih yang begitu menarik di sini? "
"Cuma barang-barang lama," gumamku. "Tak ada apa-apa, sungguh."
Lefty muncul di belakangku, tampak seperti dirinya yang dulu.
Ayah menghilang kembali ke ruang makan. Lefty dan aku mulai menuruni tangga.
"Wow, itu mengagumkan!" Seru Lefty.
"Bukankah kau mulai merasa aneh setelah beberapa waktu?" tanyaku padanya,
berbisik meskipun kami hanya berdua.
"Tidak" Dia menggelengkan kepalanya. "Aku merasa baik-baik saja. Itu benar-
benar dahsyat! Kau seharusnya melihat ekspresi wajahmu saat aku membuat
mangkuk sup melayang di udara! "
Dia mulai cekikikan lagi, tawa melengking tingginya yang kubenci.
"Dengar, Lefty," aku memperingatkan, berhenti di bagian bawah tangga,
menghalangi jalan ke lorong. "Jadi tak terlihat itu menyenangkan, tetapi bisa
berbahaya. Kau-"
"Ini mengagumkan!" Ulangnya. "Dan aku juara baru. "
"Dengarkan aku," kataku panas, menyambar bahunya. "Cukup dengarkan. Kau
harus janji bahwa kau tak akan naik ke sana dan jadi tak terlihat olehmu sendiri
lagi. Aku serius. Kau harus menunggu sampai ada orang lain. Janji? "Aku meremas
keras bahunya.
"Oke, oke," katanya, berusaha meronta menjauh. "Aku janji. "
Aku melihat ke bawah. Dia menyilangkan jarinya di kedua
tangan.

***

Erin meneleponku malam itu. Saat itu sekitar jam sebelas. Aku dengan piyamaku,
membaca buku di tempat tidur, berpikir untuk pergi ke bawah dan meminta pada
orang tuaku agar membiarkan aku tetap terjaga dan menonton (acara) Sabtu Malam
Liveu.
Erin terdengar sangat bersemangat. Dia bahkan tak mengatakan halo. Hanya mulai
berbicara satu mil permenit. Suara tikus mencicitnya begitu cepat, aku kesulitan
memahaminya.
"Bagaimana dengan pekan raya ilmu pengetahuan?" Tanyaku, memegang telepon
dari telingaku, berharap itu akan membantuku memahaminya dengan lebih baik..
"Proyek yang menang," kata Erin terengah-engah. "Hadiahnya adalah piala perak
dan hadiah sertifikat dari Video Dunia. Ingat? "
"Ya. Jadi? "Aku masih tak bisa mengikutinya. Kurasa aku lebih mengantuk dari
yang kupikir. Ini adalah hari yang mencemaskan, melelahkan, setelah semuanya.
"Nah, bagaimana kalau kau bawa cermin itu ke sekolah?" tanya Erin
bersemangat. "Kau tahu. Aku akan membuatmu jadi tak terlihat. Lalu aku akan
mengembalikanmu, dan aku akan jadi tak terlihat. Itu bisa jadi proyek kita. "
"Tapi, Erin-" Aku mulai protes.
"Kita akan menang!" Selanya. "Kita pasti menang! Maksudku, apa lagi yang bisa
mengalahkannya? Kita akan memenangkan hadiah pertama. Dan kita akan
terkenal! "
"Wah!" Jeritku. "Terkenal?"
"Tentu saja. Terkenal! "serunya. "Foto kita akan (muncul) di majalah People dan
semuanya! "
"Erin, aku tak begitu yakin tentang hal ini," kataku pelan, berpikir keras.
"Hah? Tak begitu yakin tentang apa?"
"Tak begitu yakin aku ingin menjadi terkenal," jawabku. "Maksudku, aku benar-
benar tak tahu apakah aku ingin seluruh dunia tahu tentang cermin itu."
"Mengapa tidak?" Tanyanya tak sabar. "Setiap orang ingin menjadi terkenal. Dan
kaya. "
"Tapi mereka akan mengambil cermin itu," jelasku. "Ini adalah hal yang
menakjubkan, Erin. Maksudku, apa itu sihir? Apa elektronik? Apa penemuan
seseorang? Apa pun itu, itu luar biasa! Dan mereka tak akan membiarkan anak-
anak menyimpannya."
"Tapi itu milikmu!" Ia bersikeras.
"Mereka akan mengambilnya untuk mempelajarinya. Para ilmuwan akan
menginginkannya. Orang Pemerintah akan menginginkannya. Orang militer.
Mereka mungkin ingin menggunakannya untuk membuat tentara jadi tak terlihat
atau semacamnya. "
"Menakutkan," gumam Erin berpikir sejenak.
"Ya. Menakutkan, "kataku. "Jadi aku tak tahu. Aku telah berpikir tentang hal ini.
Banyak. Sementara ini, itu biar jadi rahasia kita."
"Ya, aku kira," katanya ragu. "Tapi pikirkan tentang pekan raya ilmu pengetahuan,
Max. Kita bisa memenangkan hadiah. Kita benar-benar bisa menang."
"Aku akan memikirkannya," kataku padanya.
Aku belum memikirkan hal lain! Aku menyadarinya.
"April ingin mencobanya," katanya.
"Hah?"
"Aku meyakinkannya. Aku bilang padanya tak sakit atau apa pun. Jadi ia ingin
mencobanya pada hari Rabu. Kita akan untuk melakukannya pada hari Rabu,
bukan begitu, Max? "
"Kurasa," jawabku enggan. "Karena setiap orang menginginkannya. "
"Bagus!" Serunya. "Kupikir aku akan mengalahkan rekormu."
"Rekor barunya adalah sepuluh menit," aku menginformasikan padanya. Aku
menjelaskan tentang Lefty dan petualangan makan malamnya.
"Adikmu benar-benar gila," kata Erin.
Aku setuju dengannya, lalu mengucapkan selamat malam.
Aku tak bisa tidur malam itu. Aku mencoba tidur di satu sisi, kemudian sisi yang
lain. Aku mencoba menghitung domba.
Semuanya.
Aku tahu aku mengantuk. Tapi hatiku berpacu. Aku hanya tak bisa merasa
nyaman. Aku menatap langit-langit,
berpikir tentang cermin di ruangan kecil itu di atasku.
Saat itu hampir pukul tiga pagi saat aku bergerak pelan-pelan bertelanjang kaki
keluar dari kamarku, terjaga, dan naik menuju ke loteng. Seperti sebelumnya, aku
bersandar pada pegangan tangga. Aku naik, berusaha untuk menjaga tangga kayu
dari musik deritan dan erangannya.
Terburu-buru pergi ke ruang kecil, aku jari kakiku tersandung pada ujung peti
kayu.
"Aduh!" Teriakku sepelan mungkin. Aku ingin melompat ke atas dan ke bawah,
tapi aku memaksakan diri untuk berdiri diam, dan menunggu nyerinya memudar.
Begitu aku bisa berjalan lagi, aku berjalan ke dalam ruangan kecil. Aku menarik
kardus di depan cermin dan duduk di atasnya.
Kakiku masih berdenyut-denyut, tapi aku mencoba untuk mengabaikannya. Aku
menatap bayangan gelapku di cermin, meneliti rambutku terlebih dahulu, tentu
saja. Itu benar-benar kacau, tapi aku benar-benar tak peduli.
Lalu aku memandang dengan tajam di luar bayanganku, di balik itu. Kukira aku
mencoba untuk melihat jauh ke dalam kaca. Aku benar-benar tahu apa yang
kulakukan atau kenapa aku di sana.
Aku begitu lelah dan bergairah pada saat yang sama, begitu penasaran dan
bingung, mengantuk dan gugup.
Aku mengusap di sepanjang kaca, terkejut kembali bagaimana dingin rasanya di
ruangan itu yang sedikit panas hampir pengap. Aku mendorongkan tanganku yang
terbuka pada kaca, kemudian menariknya. Ini tak meninggalkan cetakan tangan.
Aku gerakkan tanganku ke bingkai kayu, sekali lagi menggosok kayu halus. Aku
berdiri dan perlahan-lahan berjalan ke bagian belakang cermin. Itu terlalu gelap di
belakang sini untuk benar-benar memeriksanya dengan hati-hati. Tapi tak ada yang
bisa diperiksa. Bagian belakang bingkai itu halus, polos, dan tak menarik.
Aku kembali ke depan dan menatap pada lampu itu. Ini tampak seperti sebuah
lampu biasa. Sama sekali tak ada yang khusus tentang hal itu. Bohlamnya
bentuknya aneh, panjang dan sangat tipis. Tapi itu tampak seperti bola lampu
biasa.
Duduk kembali di kardus, aku menyandarkan kepala di tanganku dan menatap ke
cermin mengantuk. Aku menguap pelan.
Aku tahu aku harus kembali ke bawah dan pergi tidur.
Ibu dan Ayah yang membangunkan kami pagi-pagi keesokan harinya untuk pergi
ke Springfield.
Tapi ada sesuatu yang menahanku di sana.
Rasa ingin tahuku, kukira.
Aku tak tahu berapa lama aku duduk di sana, masih seperti patung, melihat
bayanganku sendiri tak bergerak. Ini mungkin telah semenit atau menit. Atau
mungkin telah setengah jam.
Tapi setelah beberapa waktu, saat aku menatap ke dalam cermin, bayangan
tampaknya kehilangan ketajaman. Sekarang aku menemukan diriku menatap
bentuk samar-samar, warna kabur, bayangan-bayangan yang mendalam.
Dan kemudian aku mendengar bisikan pelan.
"Maaaaaaaax.??
Seperti angin melalui pepohonan. Goyangan pelan dedaunan.
Bukan suara sama sekali. Bahkan bukan bisikan.
Hanya isyarat dari sebuah bisikan.
"Maaaaaaaaax.??
Pada awalnya, kupikir itu ada dalam kepalaku sendiri.
Begitu samar. Begitu pelan. Namun begitu dekat.
Aku menahan napas, mendengarkan baik-baik.
Sekarang sunyi.
Jadi itu dalam kepalaku, aku berkata pada diriku sendiri. Aku membayangkan hal
itu.
Aku menghela napas panjang, membiarkannya keluar perlahan-lahan.
"Maaaaax.??
Bisikan itu lagi.
Sekali ini lebih keras. Menyedihkan, entah bagaimana. Mirip permohonan. Suatu
panggilan minta tolong. Dari jauh, jauh.
"Maaaaaaaax.??
Aku mengangkat tanganku di telingaku. Apa aku mencoba untuk menutupinya ?
Untuk melihat apakah aku bisa membuatnya pergi?
Di dalam cermin, sebentuk bayangan gelap bergeser perlahan-lahan. Aku menatap
kembali pada diriku sendiri, ekspresi wajahku tegang ketakutan. Aku menyadari
bahwa aku kedingingan dari kepala sampai kaki.
Seluruh tubuhku menggigil kedinginan.
"Maaaaax.??
Bisikan itu, kusadari, itu berasal dari cermin.
Dari bayanganku sendiri? Dari suatu tempat di belakang bayanganku?
Aku melompat berdiri, berbalik, dan berlari. Kaki telanjangku menampar lantai
kayu. Aku terjun ke bawah tangga, terbang melintasi lorong, menukik ke tempat
tidurku.
Aku menutup mata rapat-rapat dan berdoa ketakutan.
Bisikan tak mengikutiku.

16

Aku menarik selimut sampai ke daguku. Aku merasa begitu kedinginan. Seluruh
tubuhku gemetar.
Aku bernapas keras, mencengkeram bagian atas selimut dengan kedua tangan,
menunggu, mendengarkan.
Apakah bisikan-bisikan itu mengikutiku ke kamarku?
Apa mereka itu nyata, hanya di kepalaku?
Siapa yang memanggilku, membisikkan namaku dengan suara sedih, putus asa?
Tiba-tiba aku mendengar suara terengah-engah lebih keras dariku. Aku merasakan
napas panas di wajahku. Berbau asam dan lembab.
Sesuatu itu meraihku. Menangkap wajahku.
Aku membuka mataku ketakutan.
"Whitey!" Jeritku.
Anjing bodoh itu berdiri dengan kaki belakangnya, bersandar di selimut, dengan
bersemangat menjilati wajahku.
"Whitey, anjing yang baik!" teriakku, tertawa. Lidahnya yang kasar menggelitik.
Aku tak pernah sesenang itu melihatnya.
Aku memeluknya dan menariknya naik ke tempat tidur. Dia merintih penuh
semangat. Ekornya bergoyang-goyang seperti gila.
"Whitey, apa yang membuatmu masih bangun?" Tanyaku, memeluknya. "Apa kau
juga mendengar suara-suara?"
Dia menggonggong pelan, seolah-olah menjawab pertanyaan itu.
Kemudian dia melompat dari tempat tidur dan menggoyangkan dirinya. Dia
berbalik tiga kali dalam sebuah lingkaran yang ketat, membuat tempat untuk
dirinya di atas karpet, dan berbaring, menguap keras.
"Kau sungguh-sungguh aneh malam ini," kataku.
Dia meringkukkan dirinya menjadi bola ketat dan mengunyah lembut di ekornya.
Didampingi oleh dengkuran lembut anjing itu, aku akhirnya hanyut dalam tidur
yang tak tenang.

***

Ketika aku terbangun, langit pagi hari di jendela luar kamarku masih abu-abu.
Jendela terbuka sedikit, dan tirai yang bergoyang-goyang oleh angin yang kuat.
Aku duduk dengan cepat, langsung waspada. Aku harus berhenti naik ke loteng,
pikirku.
Aku harus melupakan cermin bodoh itu.
Aku berdiri dan meregangkan tubuh. Aku harus berhenti. Dan aku harus membuat
orang lain untuk berhenti.
Aku teringat teriakan berbisik dari malam sebelumnya.
Suara kering sedih, membisikkan namaku.
"Max!"
Suara dari luar kamarku mengejutkanku, mengeluarkanku dari pikiran
mengerikanku.
"Max waktunya bangun! Kita akan ke Springfield, ingat?" Itu ibuku di luar lorong.
"Cepat. Sarapan di atas meja. "
"Aku sudah bangun!"teriakku. "Aku akan turun sebentar lagi."
Aku mendengar langkah-langkah kakinya menuruni tangga. Lalu aku mendengar
Whitey di bawah tangga menggonggong ke pintu akan keluar.
Aku berbaring lagi.
"Wah!" Teriak ku keluar saat pintu lemari berayun terbuka.
Satu kaos Gap merah bangkit dari rak atas dan mulai mengapung di seberang
ruangan.
Aku mendengar cekikikan. Cekikikan yang kukenal.
Kaos itu menari-nari di depanku.
"Lefty, kau konyol!" Teriakku marah. Aku memukul kaos itu, tapi itu menari-nari
di luar jangkauanku. "Kau berjanji tak akan melakukan ini lagi! "
"Aku telah menyilangkan jari-jariku," katanya, cekikikan.
"Aku tak peduli!" Jeritku. Aku menerjang ke depan dan menyambar kemeja. "Kau
harus berhenti. Aku serius. "
"Aku hanya ingin mengejutkanmu," katanya, berpura-pura perasaannya terluka.
Sepasang celana melayang naik dari rak lemari dan memulai berparade bolak-balik
di depanku.
"Lefty, aku akan membunuhmu!" teriakku. Lalu aku merendahkan suaraku, ingat
kalau Ayah dan Ibu bisa mendengar. "Letakkan-sekarang. Pergi ke atas dan
matikan lampu cermin itu. Cepat! "
Aku mengacungkan kepalanku di mana jins berbaris. Aku sangat marah.
Mengapa ia harus begitu bodoh? Apa dia tak menyadari bahwa ini bukan sekedar
permainan?
Tiba-tiba, celana itu ambruk di tumpukan di karpet.
"Lefty, lemparkan itu padaku," perintahku padanya. "Lalu ke atas dan buat dirimu
terlihat lagi."
Sunyi.
Celana itu tak bergerak.
"Lefty-jangan main-main," bentakku, perasaan takut menikam perutku.
"Lemparkan celana itu padaku dan keluar dari sini."
Tak ada jawaban.
Celana itu tetap terpuruk di karpet.
"Hentikan permainan bodoh ini!" teriakku. "Kau tak lucu! Jadi hentikan itu.
Sungguh. Kau membuatku takut!"
Aku tahu itu yang ingin dia dengar. Setelah aku mengakui bahwa ia membuatku,
aku yakin dia akan tertawa dan pergi melakukan seperti yang kukatakan.
Tapi tidak. Ruangan itu masih sunyi. Tirai beterbangan ke arahku, lalu tertarik ke
belakang dengan suara gemerisik pelan. Celana kusut itu berbaring di karpet.
"Lefty? Hei, Lefty? "Seruku, suaraku gemetar. Tak ada balasan.
"Lefty? Apa kau di sini? "Tidak Lefty sudah lenyap.

17

"Lefty?" Suaraku yang keluar terdengar lemah dan gemetar.


Dia tak ada. Itu bukan permainan. Dia lenyap.
Tanpa berpikir, aku berlari keluar dari kamarku, menyusuri koridor, dan naik
tangga ke loteng. Kaki telanjangku berdebam di tangga kayu curam. Jantungku
berdebar-debar bahkan lebih keras.
Saat aku melangkah ke loteng panas, gelombang ketakutan melanda diriku.
Bagaimana jika Lefty telah hilang selamanya.
Dengan berteriak ketakutan, aku menerjang ke ruangan kecil itu.
Lampu terang itu terpantul dalam kilauan cermin ke mataku.
Melindungi mataku dengan satu tangan, aku berjalan ke cermin dan menarik tali.
Lampu itu segera mati.
"Lefty?" Aku khawatir.
Tak ada jawaban.
"Lefty? Apakau di sini? Bisakah kau mendengarku? "
Rasa takut menyumbat tenggorokanku. Aku terengah-engah keras, hampir-hampir
tak mampu berbicara.
"Lefty?"
"Hai, Max. Aku di sini "datang. Suara adikku tepat di sampingku.
Aku begitu senang mendengarnya, aku berbalik dan memeluknya, meskipun aku
tak bisa melihatnya.
"Aku baik-baik saja," katanya, terkejut oleh emosiku. "Sungguh, Max. Aku baik-
baik. "
Butuh beberapa menit baginya untuk muncul kembali.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku, memeriksa dia keluar, melihat dia naik turun seperti
jika aku tak melihatnya dalam sebulan. "Kau melucu di dalam kamarku. Lalu kau
lenyap. "
"Aku baik-baik saja," tegasnya sambil mengangkat bahu.
"Tapi mana kau pergi?" Tuntut saya.
"Sampai di sini," ulangnya.
"Tapi Lefty-" Sesuatu tentangnya tampak berbeda. Aku tak bisa memastikan itu.
Tapi menatap wajahnya, aku yakin bahwa ada sesuatu yang aneh.
"Berhentilah menatapku seperti itu, Max." Dia mendorongku pergi. "Aku baik-baik
saja. Sungguh." Dia mulai menari menjauhiku, menuju ke tangga.
"Tapi, Lefty-" Aku mengikutinya keluar ruangan.
"Tak ada lagi pertanyaan. Oke? Aku baik-baik saja. "
"Menjauhlah dari cermin itu," kataku tegas. "Apakah kau mendengarku? "
Dia mulai menuruni tangga.
"Aku serius, Lefty. Jangan jadi tak terlihat lagi. "
"Oke, oke," bentaknya. "Aku tak akan melakukannya lagi."
Aku memeriksanya untuk memastikan jari-jarinya tak disilangkan.
Kali ini tidak.
Ibu menunggu kami di lorong. "Jadi di kalian di sana, "katanya tak sabar. "Max,
kau tak berpakaian!"
"Aku akan cepat-cepat," kataku, dan berlari ke kamarku.
"Lefty, apa yang kau lakukan pada rambutmu?" Aku mendengar Ibu
menanyai adikku. "Apa kau menyisirnya dengan gaya berbeda atau semacamnya?"
"Tidak," Aku mendengar Lefty menjawab. "Itu sama. Sungguh.
Mungkin mata Anda yang berbeda. "
"Berhentilah bersikap seperti bermulut cerdas dan segera ke bawah, "ujar Ibu
padanya.
Sesuatu yang aneh jelas (terjadi) pada Lefty. Ibu telah melihatnya juga. Tapi aku
tak bisa mencari tahu apa itu.
Saat aku mengambil celana jeansku dari lantai dan memakainya, aku mulai merasa
sedikit lebih baik. Aku telah begitu ketakutan, takut bahwa sesuatu yang
mengerikan telah
terjadi pada adikku. Takut dia menghilang, dan aku tak melihatnya lagi.
Semuanya karena cermin bodoh itu.
Semuanya karena itu semacam sensasi untuk jadi tak terlihat.
Tiba-tiba aku berpikir tentang Erin, April, dan Zack.
Mereka begitu bersemangat pada Rabu. Tentang kompetisi itu. Bahkan April akan
jadi tak terlihat saat itu.
Tidak, pikirku.
Aku harus menelepon mereka. Aku harus memberitahu mereka.
Aku benar-benar memutuskan.
Tak ada lagi cermin. Tak ada lagi jadi tak terlihat.
Aku akan menelepon mereka bertiga saat aku kembali dari Springfield. Dan aku
akan memberitahu mereka kompetisi itu dibatalkan.
Aku duduk di tempat tidur untuk mengikat sepatuku.
Wah, pikirku. Itu beban pikiranku.
Dan itu saja. Setelah memutuskan untuk tak akan pernah menggunakan cermin itu
lagi, membuat perasaanku jauh, jauh lebih baik. Semua rasa takutku kelihatannya
melayang menjauh.
Yang tak kutahu bahwa saat yang paling menakutkan masih akan datang.

18

Bayangkan betapa terkejutnya aku saat Zack, Erin, dan April muncul di depan
pintuku di hari Rabu pagi.
"Aku bilang pada kalian kompetisi dibatalkan," aku tergagap, menatap mereka
keheranan melalui layar pintu.
"Tapi Lefty menelpon kami," jawab Erin. "Dia bilang pikiranmu berubah."
Dua orang lainnya itu setuju.
Mulutku ternganga setinggi lutut. "Lefty?"
Mereka mengangguk. "Dia menelpon kami kemarin," kata April.
"Tapi Lefty bahkan tak di sini pagi ini," kataku pada mereka saat mereka berjalan
ke dalam rumah. "Dia di taman bermain kasti dengan teman-temannya. "
"Siapa itu?" Kata ibuku. Dia datang berjalan ke lorong, mengeringkan tangannya
pada lap piring.
Dia mengenali teman-temanku, lalu berpaling kepadaku, suatu
pandangan bingung tampak pada pada wajahnya. "Max, kupikir kau akan
membantuku di ruang bawah tanah. Aku tak tahu kau akan membuat rencana
dengan Zack, Erin, dan April. "
"Aku tidak," jawabku pelan. "Lefty-"
"Kami hanya mampir," kata Zack pada Ibu, datang untuk menyelamatkanku.
"Jika kau sibuk, Max, kita bisa pergi," tambah Erin.
"Tidak, tak apa-apa," kata Ibu pada mereka. "Max mengeluh tentang betapa akan
membosankannya membantuku. Ada baiknya kalian bertiga muncul. "
Dia menghilang kembali ke dapur. Segera setelah ia pergi, ketiga temanku praktis
menerkamku.
"Ke atas!" Teriak Zack penuh semangat, menunjuk ke tangga.
"Ayo kita jadi tak terlihat!" Bisik Erin.
"Aku bisa jadi yang pertama karena aku tak pernah," kata April.
Aku mencoba untuk berdebat dengan mereka, tapi aku kalah jumlah dan
kalah suara.
"Oke, oke," Dengan enggan aku setuju. Aku mulai mengikuti mereka menaiki
tangga ketika aku mendengar suara menggaruk di pintu.
Aku mengenali suara itu. Itu Whitey, kembali dari jalan-jalan paginya. Aku
mendorong membuka layar pintu dan dia berlari-lari kecil, mengibas-ngibaskan
ekor.
Anjing bodoh punya beberapa duri-duri kecil yang menempel di ekornya. Aku
mengejarnya ke dapur dan berhasil membuatnya berdiri diam cukup lama untuk
menarik duri-duri itu. Lalu aku bergegas ke loteng untuk bergabung dengan teman-
temanku.
Saat aku tiba di sana, April sudah berdiri di depan cermin, dan Zack berdiri di
sampingnya, siap untuk menyalakan lampu.
"Wah!" Kataku.
Mereka berbalik untuk menatapku. Aku bisa melihat suatu ekspresi ketakutan di
wajah April. "Aku harus melakukan ini segera. Atau kalau tidak aku mungkin
pengecut, "dia menjelaskan.
"Aku hanya berpikir kita harus meluruskan peraturan dulu," Aku berkata tegas.
"Cermin ini sungguh bukan mainan, dan-"
"Kami tahu, kami tahu," sela Zack nyengir.
"Ayolah, Max. Tak ada kuliah hari ini, oke? Kami tahu kau gugup karena kau akan
kalah. Tapi itu bukan alasan-"
"Aku tak ingin bersaing," kata April gugup. "Aku hanya ingin melihat bagaimana
rasanya menjadi tak terlihat. Cukup untuk satu menit. Lalu aku ingin kembali. "
"Yah, aku yang akan memegang rekor dunia," Zack membual, bersandar pada
bingkai cermin itu.
"Aku juga," kata Erin.
"Aku benar-benar tak berpikir itu ide yang bagus," kataku, menatap bayanganku di
cermin. "Kita seharusnya cukup jadi tak terlihat dalam waktu singkat. Ini terlalu
berbahaya untuk-"
"Pengecut!" Kata Zack, menggelengkan kepala.
"Kami akan berhati-hati, Max," kata Erin.
"Aku cuma punya perasaan yang benar-benar buruk," aku mengaku. Rambutku
telah berdiri di belakang. Aku melangkah mendekat ke cermin untuk melihat lebih
baik, dan merapikannya ke bawah dengan tanganku.
"Kupikir kita semua harus jadi tak terlihat pada saat yang sama,"
Zack berkata kepadaku, mata birunya bercahaya gembira. "Lalu kita bisa pergi ke
taman bermain dan membuat adikmu ketakutan setengah mati! "
Semua orang tertawa kecuali April. "Aku hanya ingin mencobanya semenit,"
desaknya. "Itu saja."
"Pertama kita berkompetisi," kata Erin dan Zack. "Lalu kita pergi keluar dan
menakut-nakuti orang. "
"Ya! Semua benar!" seru Zack.
Kuputuskan untuk menyerah. Tak ada gunanya untuk mencoba berdebat dengan
Zack dan Erin. Mereka terlalu menjiwai kompetisi ini.
"Oke, ayo kita melakukannya ," kataku pada mereka.
"Tapi pertama-tama aku yang pergi," kata April, kembali ke cermin.
Zack menggapai tali itu lagi.
"Siap? Pada hitungan ketiga, "katanya.
Aku berbalik ke pintu saat Whitey datang mengendus-endus masuk, hidungnya
turun ke lantai, ekornya lurus di belakangnya.
"Whitey, apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku.
Dia mengabaikanku dan terus mengendus bersemangat.
"Satu ... dua ..." Zack mulai.
"Ketika aku mengatakan 'siap', bawa aku kembali. Oke? " pinta April bertanya,
berdiri kaku, menatap lurus ke depan ke dalam cermin. "Tak ada lelucon apa pun,
Zack."
"Tak ada lelucon," jawab Zack serius. "Begitu kau ingin kembali, aku akan
mematikan lampu. "
"Bagus," jawab April pelan.
Zack mulai menghitung lagi. "Satu ... dua ... tiga!"
Saat dia mengatakan tiga dan menarik string, Whitey melangkah ke samping April.
Lampu menyala.
"Whitey!" Aku berteriak. "Hentikan!"
Tapi sudah terlambat.
Dengan menjerit kaget, anjing itu lenyap bersama dengan April.

19

"Anjing itu!" Teriak Erin.


"Hei - aku lenyap! Aku tak terlihat! " seru April di sama waktu.
Aku bisa mendengar Whitey merintih. Dia terdengar sangat ketakutan.
"Tarik talinya!" teriakku pada Zack.
"Belum!" Protes April.
"Tarik!" Aku bersikeras.
Zack menarik tali. Lampu mati. April muncul pertama, dengan ekspresi marah di
wajahnya.
Whitey muncul kembali, dan jatuh. Dia melompat cepat, tetapi kakinya semua
gemetar.
Dia tampak begitu lucu, kami semua mulai tertawa.
"Apa yang terjadi di sana?" Suara ibuku dari tangga mengejutkan kami yang
langsung terdiam. "Apa yang yang kalian lakukan? "
"Tak ada, Bu," jawabku cepat, memberi isyarat pada teman-teman untuk tetap
diam. "Hanya nongkrong."
"Aku tak mengerti apa yang begitu menarik di atas sana di loteng tua berdebu,
"serunya.
Aku menyilangkan jariku, berharap dia tak datang ke atas untuk mencari tahu.
"Kami cuma senang berada di sini," jawabku. Cukup lemah, tetapi cuma itu satu-
satunya yang bisa kupikirkan untuk dikatakan.
Whitey, setelah pulih keseimbangannya, berlari ke tangga. Aku mendengar kuku
anjing itu berbunyi pada tangga kayu saat ia pergi ke bergabung dengan ibuku.
"Itu tak adil," keluh April setelah Ibu dan Whitey pergi. "Aku tak dapat banyak
waktu."
"Kupikir kita harus keluar dari sini," pintaku. "Kalian lihat bagaimana tak
terduganya cermin itu. Kalian tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi. "
"Ini semacam bersenang-senang," desak Erin.
"Aku ingin giliran lagi," kata April.
Kami berdebat sekitar sepuluh menit. Sekali lagi, aku kalah.
Sudah waktunya untuk memulai kompetisi. Erin akan jadi yang pertama.
"Sepuluh menit adalah waktu untuk dikalahkan," perintah Zack padanya.
"Tak masalah," kata Erin, membuat wajah lucu dirinya di cermin. "Sepuluh menit
terlalu mudah."
April telah melanjutkan posisinya, duduk di lantai dengan bersandar di dinding,
mengamati jamnya.
Kami sudah sepakat bahwa dia akan mendapat giliran setelah kompetisi berakhir.
Setelah kompetisi berakhir ...
Berdiri di sana menonton Erin bersiap-siap, aku berharap kompetisi itu berakhir.
Aku merasa dingin. Aku punya perasaan takut yang berat yang membebaniku.
Tolong, tolong, aku berpikir sendiri, biarkan semuanya berjalan baik.
Zack menarik tali.
Erin menghilang dalam kilatan lampu.
April mengamati jamnya.
Zack melangkah mundur dari cermin menyilangkan lengannya di depan dada.
Matanya bersinar gembira.
"Bagaimana penampilanku?" Goda Erin.
"Kau tak pernah kelihatan lebih baik," canda Zack.
"Aku menyukai apa yang kaulakukan pada rambutmu," goda April, memandang ke
atas dari jamnya.
Bahkan April bercanda dan punya waktu yang baik.
Mengapa aku tak bisa bersantai, juga? Mengapa aku tiba-tiba ketakutan?
"Kau merasa baik-baik saja?" Tanyaku pada Erin. Kata-kata itu hampir
tersangkut di tenggorokanku.
"Baik," jawab Erin.
Aku bisa mendegar langkah kakinya saat dia berjalan di sekitar kamar.
"Jika kau mulai merasa aneh, cukup mengatakan 'siap', dan Zack akan
menarik tali, "kataku.
"Aku tahu," jawabnya dengan tak sabar. "Tapi aku tak akan siap untuk kembali
sampai aku memecahkan rekor itu. "
"Aku yang berikutnya," kata Zack pada Erin, tangannya masih disilangkan di
depannya. "Jadi rekormu tak akan bertahan lama."
Tiba-tiba lengan Zack tak disilangkan. Tangannya terbang liar di udara, dan dia
mulai menampar wajahnya dengan kedua tangan.
"Aduh! Hentikan itu, Erin "teriaknya, mencoba menggeliat pergi. "Lepaskan!"
Kami mendengar tawa Erin saat Zack menampar dirinya beberapa kali lagi, lalu
akhirnya berhasil bergulat keluar dari cengkeramannya.
"Satu menit," April mengumumkan dari belakang kami.
"Aduh! Kau menyakitiku! "kata! Zack, cemberut dan menggosok-gosok
pipi merahnya.
Erin tertawa lagi.
"Kau masih merasa baik-baik saja?" Tanyaku, melirik ke cermin itu.
"Baik. Berhentilah khawatir, Max, "omel Erin.
Kaosku tiba-tiba tertarik menutupi kepalaku. Erin tertawa.
"Yang benar saja!" teriakku, berputar menjauh.
"Dua menit," April mengumumkan.
Aku mendengar tangga loteng berderit. Beberapa detik kemudian, Whitey
menjulurkan kepalanya masuk Kali ini, ia berhenti di pintu dan mengintip ke
dalam ruangan tanpa
masuk.
"Kembalilah ke lantai bawah, nak," kataku. "Turunlah."
Dia menatap ke arahku seakan mempertimbangkan permintaanku.
Tapi dia tak beranjak dari ambang pintu.
Aku tak ingin memberinya kesempatan lain pada dirinya untuk terlalu dekat
dengan cermin. Jadi aku mencengkeram ban lehernya membimbingnya ke tangga.
Lalu perlu waktu bagi anjing bodoh itu untuk mendapatkan ide bahwa ia
seharusnya turun tangga!
Ketika aku kembali ke ruangan kecil itu, April baru saja berseru empat menit. Zack
mondar-mandir tak sabar
bolak-balik di depan cermin. Kukira dia tak sabar menunggu gilirannya.
Aku menemukan diriku berpikir tentang Lefty. Lefty tahu aku telah
menelepon semua orang dan membatalkan kompetisi. Jadi kenapa dia memanggil
Zack, Erin, dan April dan mengatakan pada mereka itu kembali? Hanya satu dari
lelucon praktisnya, aku memutuskan.
Aku harus menemukan cara untuknya agar membayar kembali.
Sesuatu yang benar-benar jahat.
"Delapan menit," kata April, tegang.
"Cukup bagus," kata Zack pada Erin. "Tentu kau tak ingin berhenti sekarang? Tak
ada cara bagimu untuk bisa menang. Mengapa tak menghemat waktu semua orang
waktu? "
"Apakah kau masih merasa baik-baik saja?" Tanyaku cemas.
Tak ada jawaban.
"Erin?" Seruku, mencari di sekitar seolah-olah aku punya kesempatan untuk
mamandangnya. "Kau merasa baik-baik saja?"
Tak ada jawaban.
"Erin-jangan main-main. Ini tak lucu! "Teriakku.
"Ya. Jawab kami!" tuntut Zack.
Masih tak ada jawaban.
Melirik ke dalam cermin, aku melihat bayangan April, menangkap ekspresi
ketakutannya.
"Erin lenyap," ucapnya, suaranya berbisik ketakutan.

20

"Erin - dimana kau?" teriakku.


Ketika dia tak menjawab, aku berlari ke arah tali. Persis saat aku menyambarnya,
aku mendengar langkah kaki di luar ruangan. Beberapa detik kemudian, kaleng
Coke datang mengambang melalui pintu.
"Rindu aku?" Tanya Erin main-main.
"Kau membuat kami ketakutan setengah mati!" teriakku, suaraku mencicit.
Erin tertawa. "Aku tak tahu kau peduli."
"Itu tak lucu, Erin," kata Zack tegas. Untuk pertama kalinya dia setuju denganku.
"Kau benar-benar menakut-nakuti kami."
"Aku haus," jawab Erin. Kaleng Coke itu miring.
Kami melihat Coke itu mulai mengalir. Cairan itu tiba-tiba raib saat mengalir ke
dalam mulut Erin.
"Kurasa jadi tak terlihat membuatmu benar-benar haus," Erin menjelaskan. "Jadi
aku menyelinap ke lantai bawah dan mendapat Coke."
"Tapi kau seharusnya memberitahu kami," omel April, matanya kembali ke jamny.
"Sembilan menit."
"Kau tak seharusnya pergi ke lantai bawah," aku menambahkan panas. "Maksudku,
bagaimana jika ibuku melihatmu? "
"Melihatku?"
"Yah ... kau tahu apa yang kumaksud," gumamku.
Erin tertawa. Aku tak berpikir itu lucu.
Mengapa hanya aku satu-satunya menganggap ini serius?
Erin mengalahkan rekor Lefty dan terus berjalan. Ketika April berkata dua belas
menit, Zack bertanya pada Erin apa dia ingin kembali.
Tak ada jawaban.
"Erin? Apa kau main-main lagi pada kami ?" Tuntutku.
Masih tak ada jawaban.
Aku bisa merasakan tenggorokanku mengencang sekali lagi dengan ketakutan.
Aku berjalan ke atas dan menarik tali. Tanganku gemetar saat aku menariknya.
Aku berdoa dalam hati kepada diriku sendiri bahwa
Erin akan kembali baik-baik saja.
Lampu itu mati. Kami bertiga menunggu Erin kembali dengan tegang.
Sesudah penantian yang kelihatannya yang tak ada akhirnya, ia berpendar
tampil kembali. Dia cepat-cepat berbalik ke cermin itu, senyum penuh
kemenangan (tampak) di wajahnya.
"Juara baru" dia mengumumkan, mengangkat tinjunya sebagai isyarat
kemenangan.
"Kau baik-baik saja?" Tanyaku, perasaan takutku menolak untuk
pergi.
Dia mengangguk.
"Baik-baik saja, pesimis." Melangkah Dia menjauh dari cermin, berjalan limbung.
Aku menatapnya. Sesuatu tentang dirinya tampak berbeda.
Dia tampak sangat baik-baik saja. Tak tampak pucat, sakit atau apa pun. Tapi ada
sesuatu yang berbeda. Senyumnya?
Rambutnya?
Aku berharap aku bisa mencari tahu apa itu.
"Max, tarik talinya." Suara bersemangat Zack menyentakku menjauh dari
pikiranku. "Ayo kita pergi, man. Aku akan pergi lima belas menit.!
"Oke. Siap-siap, "kataku, sambil melirik Erin saat menyambar tali. Dia tersenyum
sekilas meyakinkanku.
Tapi sesuatu tentang senyumnya nampak berbeda.
Sesuatu.
Tapi apa?
Aku menarik tali. Zack menghilang dalam kilatan terang lampu.
"Kembalinya si Invisible Man!" Teriaknya dengan suara dalam.
"Jangan keras-keras," aku memperingatkannya. "Ibuku akan mendengarmu dari
bawah. "
Erin menurunkan dirinya ke lantai disisi April. Aku berjalan ke atas dan berdiri di
atasnya. "Kau yakin kau baik? "tanyaku. "Kau tak merasa pusing, aneh atau apa
pun?"
Dia menggoyangkan kepalanya. "Tidak. Sungguh. Mengapa kau tak percaya
padaku, Max? "
Saat aku menatapnya, aku mencoba untuk mencari tahu apa yang
berbeda dari penampilannya. Misteri apa ini! Aku tak bisa memastikan itu.
"Nah, kenapa kau tak menjawab saat aku memanggilmu? " Tuntutku.
"Hah?" Wajahnya penuh dengan rasa terkejut. "Kapan?"
"Kita-kira saat dua belas menit," kataku. "Aku dan Zack memanggilmu. Tapi kau
tak menjawab kami. "
Ekspresi Erin berubah merenung. "Kukira aku tak mendengar kalian, "akhirnya dia
menjawab. "Tapi aku baik-baik saja, Max. Sungguh. Aku merasa hebat. Ini benar-
benar mengagumkan. "
Aku bergabung dengan mereka di lantai dan bersandar ke dinding untuk menunggu
giliran Zack selesai.
"Aku sungguh-sungguh bermaksud untuk itu. Jangan matikan lampu sampai lima
belas menit, "ia mengingatkanku.
Lalu dia mengacaukan rambutku, membuatnya berdiri tegak di udara.
Kedua gadis itu tertawa.
Aku harus bangun, berjalan ke cermin, dan menyisirnya turun kembali. Aku tak
tahu mengapa orang berpikir membuat kacau rambut sepertinya lucu. Aku benar-
benar tak mengerti.
"Hei, ikuti aku. Aku punya ide, "kata Zack. Suaranya itu berasal dari ambang
pintu.
"Wah-tunggu!" Seruku. Tapi aku bisa mendengar suara sepatunya berjalan di
loteng.
"Ikuti aku ke luar," dia memanggil kami. Kami mendengar langkah kakinya di
tangga loteng.
"Zack-jangan melakukannya," aku memohon. "Jangan pernah melakukannya! "
Tapi tak ada cara baginya untuk mendengarkanku.
Beberapa detik kemudian, kami keluar dari pintu belakang, berikut teman kami
yang tak kelihatan menuju taman belakang tetangga kami Pak Evander.
Hal ini akan menjadi masalah, pikirku sedih. Masalah besar.
Erin, April, dan aku bersembunyi di balik pagar yang memisahkan kedua taman
kami. Seperti biasa, Pak Evander keluar dalam kebun tomatnya, membungkuk,
mencabuti rumput-rumputnya, perut besarnya tergantung di bawah kaosnya, kepala
botak merahnya mengkilap di bawah matahari.
Apa yang akan Zack lakukan? Aku bertanya-tanya, menahan napasku, seluruh
tubuhku berat dengan ketakutan.
Dan lalu aku melihat tiga tomat itu melayang dari tanah. Tomat-tomat itu
melayang-layang di udara, kemudian melayang mendekati Pak Evander.
Oh, tidak, pikirku, mengerang perlahan ke diri sendiri.
Tolong, Zack. Tolong jangan lakukan itu.
Erin, April, dan aku meringkuk berimpit-impitan dibelakang pagar, menatap tak
percaya saat tiga tomat itu mulai berputar-putar di udara.
Zack yang tak terlihat bermain sulap dengannya. Pamer, seperti biasa. Dia selalu
membual tentang bagaimana dia bisa sulap, dan kami tak bisa.
Butuh waktu bagi Pak Evander untuk tahu.
Tapi ketika akhirnya ia melihat tiga tomat berputar di tengah udara sekitar
beberapa kaki di depannya, matanya melotot dan wajahnya berubah memerah
seperti tomat!
"Oh!" Teriaknya. Dia membiarkan ramput jatuh dari tangannya.
Dan lalu ia hanya menatap tomat-tomat itu berputar, sepertinya ia membeku.
Zack melemparkan tomat tinggi-tinggi saat dia bermain sulap.
April dan Erin menutup mulut mereka dengan tahan untuk menahan tawa. Mereka
pikir aksi Zack benar-benar keren. Tapi aku hanya ingin mengembalikan Zack ke
loteng.
"Hei, Mary! Mary!" Pak Evander mulai memanggil istrinya. "Mary - ke sini! Kau
harus melihat ini! Mary! "
Beberapa detik kemudian, istrinya datang berlari melintasi halaman, dengan
ekspresi ketakutan di wajahnya. "Mike, apa yang salah? Apa yang salah? "
"Lihat - tomat-tomat itu yang berputar-putar di udara!" teriak Pak
Evander, terburu-buru menunjuk dengan liar padanya.
Zack membiarkan tomat-tomat itu jatuh ke tanah.
"Dimana?" tanya Bu Evander terengah-engah, berlari secepat dia bisa.
"Di sini. Lihatlah!" tunjuk Pak Evander.
"Aku tak melihat ada tomat," kata Bu Evander, berhenti di depan suaminya,
terengah-engah keras.
"Ya! Tomat-tomat itu berputar-putar. Tomat-tomat itu-"
"Tomat-tomat itu?" Evanderasked Mrs, menunjuk ke tiga tomat di tanah.
"Yah ... ya. Tomat-tomat itu berputar-putar, dan-" Pak Evander terlihat sangat
bingung, dia menggaruk-garuk bagian belakang lehernya.
"Mike, sudah berapa lama kau telah keluar di bawah sinar matahari?" omel
istrinya. "Bukankah aku memberitahumu untuk memakai topi?"
"Eh ... Aku akan berada di dalam beberapa menit lagi," kata Pak Evander pelan,
menatap tomat-tomat itu.
Begitu Pak Evander berbalik dan kembali ke rumah, ketiga tomat itu melayang dari
tanah dan mulai berputar-putar lagi di udara.
"Mary, lihatlah!" teriak Pak Evander bersemangat. "Lihat cepat! Tomat-tomat itu
melakukannya lagi! "
Zack membiarkan tomat-tomat itu jatuh ke tanah.
Bu Evander (menatap) disekitarnya dan menatap ruang kosong. "Mike, sebaiknya
kau kesini denganku - sekarang, "desaknya. Dia bergegas kembali, meraih lengan
Pak Evander, dan menariknya menjauh.
Lelaki malang itu tampak benar-benar bingung, menatap tomat-tomat itu di tanah,
masih menggaruk bagian belakang lehernya saat istrinya menariknya ke rumah.
"Hei, ini mengagumkan!" Teriak Zack, tepat di depanku.
Erin dan April roboh tertawa liar. Aku harus akui itu cukup lucu. Kami tertawa
tentang hal itu untuk sementara. Lalu kami menyelinap kembali ke rumah dan naik
ke loteng.
Dalam ruangan kecil yang aman itu, kami tertawa lebih lanjut tentang aksi sulap
Zack. Zack membual bahwa dia adalah pemain sulap pertama di dunia yang tak
terlihat.
Lalu, saat dua belas menit, Zack tiba-tiba berhenti menjawab kami.
Sama seperti Erin.
Kami bertiga terus memanggil-manggil namanya.
Sunyi.
Zack tak menjawab.
"Aku akan membawanya kembali," kataku, langsung tercengkeram rasa takut
sekali lagi. Aku berlari ke tali.
"Tunggu," kata Erin, menahanku kembali.
"Hah? Untuk apa? Aku menarik diriku menjauh darinya.
"Dia berkata tunggu sampai lima belas menit, ingat?" Dia berpendapat.
"Erin, dia benar-benar menghilang!" Jeritku.
"Tapi dia akan benar-benar gila," pinta Erin.
"Aku katakan bawa dia kembali," kata April cemas.
"Beri dia lima belas menit," desak Erin.
"Tidak," kataku.
Aku menarik tali.
Lampu itu mati.
Beberapa menit kemudian, Zack berkelap-kelip kembali. Dia tersenyum pada
kami.
"Berapa lama?" Tanyanya, berpaling pada April.
"Tiga belas menit, dua puluh detik," katanya.
Senyumnya melebar. "Ini juara barunya!"
"Kau baik-baik saja? Kau tak menjawab kami, "kataku, mempelajari wajahnya.
"Aku baik-baik. Aku tak mendengar kalian memanggilku. Tapi aku baik-baik
saja."
Zack juga tampak berbeda bagiku. Ada sesuatu yang sangat berbeda tentang dia.
Tapi apa?
"Apa masalahmu, Max?" Desaknya. "Kenapa kau menatapku seperti aku semacam
bentuk kehidupan alien ? "
"Rambutmu," kataku, mengamatinya. "Apakah seperti itu sebelumnya? "
"Hah? Apa yang kamu bicarakan? Apa kau panik atau yang lainnya?" tanya Zack,
memutar matanya.
"Apa rambutmu seperti itu sebelumnya?" Ulangku. "Melayang rendah pendek di
sebelah kanan dan disisir panjang ke kiri? Bukankah itu gaya yang tak biasanya?"
"Kau kacau, Max," katanya, sambil nyengir pada Erin dan April. "Rambutku itu
selalu sama. Kau sudah menatap ke dalam cermin itu terlalu lama. "
Aku berani sumpah rambutnya seharusnya pendek di sebelah kiri, panjang di
sebelah kanan. Tapi kurasa Zack akan tahu sendiri rambutnya.
"Apakah kau akan pergi?" Tanya Erin, melompat ke belakangku.
"Ya, kau akan mengalahkan lima belas menit?" tanya Zack.
Aku menggeleng. "Tidak, aku benar-benar tak merasa seperti itu," kataku pada
mereka jujur. "Mari kita menyatakan Zack sebagai pemenang
dan keluar dari sini. "
"Tak mungkin!" kata Zack dan Erin serempak.
"Kau harus mencoba," desak Zack.
"Jangan pengecut, Max. Kau bisa mengalahkan Zack. Aku tahu kau bisa, "kata
Erin.
Dia dan Zack keduanya mendorongku ke cermin.
Aku mencoba untuk mundur. Tapi mereka praktis menahanku di tempat.
"Tidak. Sungguh, "kataku. "Zack bisa menjadi pemenang. Aku-"
"Pergilah, Max!" Desak Erin. "Aku bertaruh padamu!"
"Ya. Pergilah, "ulang Zack, tangannya mencengkeram kuat pada bahuku.
"Tidak. Tolonglah-"kataku.
Tapi Zack dengan tangannya yang bebas meraih dan menarik tali.

21

Aku menatap ke cermin itu sebentar, menunggu (cahaya) yang menyilaukan itu
memudar dari mataku. Selalu syok seperti itu. Saat pertama, ketika bayanganku
menghilang. Ketika kau menatap tempat di mana kau tahu kau berdiri - dan
menyadari bahwa kau sedang melihat tepat melalui dirimu sendiri!
"Bagaimana perasaanmu, Max? Bagaimana perasaanmu? " tanya Erin bertanya,
meniruku.
"Erin, apa masalahmu?" Bentakku. Ini tak seperti dirinya begitu sinis.
" Cuma memberikan rasa dari pengobatanmu," jawabnya, nyengir.
Sesuatu tentang senyumnya itu miring, tak normal.
"Kau pikir dapat mengalahkan rekorku?" tuntut Zack.
"Aku tak tahu. Mungkin, "jawabku ragu.
Zack melangkah ke cermin yang mengamati bayangannya. Aku punya perasaan
aneh saat aku melihatnya. Aku tak bisa menjelaskannya. Aku tak pernah melihat
Zack berdiri seperti dalam posisi itu dan mengagumi dirinya dengan cara itu.
Sesuatu yang berbeda. Aku tahu itu. Tapi aku tak bisa mencari tahu apa.
Mungkin hanya kegugupanku, aku berkata pada diriku sendiri.
Aku hanya begitu stres. Mungkin ini mempengaruhi caraku melihat teman-
temanku. Mungkin aku yang membuat semua hal ini.
"Dua menit," diumumkan April.
"Apakah kau hanya akan berdiri di sana?" Tanya Erin, menatap ke cermin.
"Apakah kau tak akan bergerak berkeliling atau lainnya, Max? "
"Tidak. Aku tak berpikir begitu, "kataku. "Maksudku, aku tak bisa memikirkan
apapun yang ingin kulakukan. Aku cuma akan menunggu sampai waktunya habis."
"Kau ingin berhenti sekarang?" Tanya Zack, menyeringai di tempat di mana dia
mengira aku berdiri.
Aku menggeleng. Lalu aku ingat bahwa tak ada satu bisa melihatnya.
"Tidak. Aku mungkin juga pergi jauh, "aku mengatakan kepadanya. "Karena aku
di sini, aku mungkin juga membuatmu terlihat buruk, Zack. "
Dia tertawa mengejek.
"Kau tak akan mengalahkan tiga belas menit dua puluh detik, "katanya yakin. "Tak
mungkin."
"Yah, kau tahu apa?" Kataku, marah karena nada suara sombongnya. "Aku hanya
akan berdiri di sini sampai aku selesai."
Dan itulah yang kulakukan. Aku berdiri di tempat, bersandar ke bingkai cermin,
sementara April menghitung dari menit ke menit.
Aku baik-baik saja sampai beberapa saat setelah dia berseru sebelas menit. Lalu,
tiba-tiba, cahaya menyilaukan dari lampu mulai menyakiti mataku.
Aku memejamkan mata, tapi tak membantu. Lampu itu semakin terang, lebih
tajam. Tampaknya akan melanda di sekitarku, mengelilingiku, membungkusku.
Dan lalu aku mulai merasa pusing dan bercahaya. Seolah-olah aku mulai melayang
pergi, bahkan meskipun aku tahu bahwa aku berdiri di tempat.
"Hei, teman-teman?" Seruku. "Kupikir aku sudah cukup."
Suaraku terdengar kecil dan jauh, bahkan bagiku.
Cahaya berputar-putar di sekitarku. Aku merasa diriku jadi lebih ringan, lebih
ringan, sampai aku harus berjuang untuk menjaga kakiku di lantai untuk bertahan
dari melayang pergi.
Aku menjerit bernada tinggi. Aku tiba-tiba tercengkeram oleh kepanikan.
Kedinginan panik.
"Zack bawa aku kembali!" teriakku.
"Oke, Max. Tak masalah, "aku mendengar jawaban Zack.
Dia tampak bermil-mil jauhnya.
Aku berusaha melihatnya melalui lampu kuning yang menyilaukan. Dia sesosok
gelap di belakang dinding lampu, sosok gelap itu bergerak cepat ke cermin.
"Aku sekarang membawamu kembali, Max. Tunggu, "aku mendengar ucapan
Zack.
Lampu terang itu bersinar lebih terang. Ini sangat menyakitkan. Bahkan dengan
mata tertutup, ini menyakitkan.
"Zack, tarik talinya!" teriakku.
Aku membuka mataku untuk melihat bayangan redupnya sampai ke tali.
Tarik, tarik, tarik! desakku diam-diam.
Aku tahu bahwa dalam satu detik, lampu akan mati. Dan aku akan aman.
Sedetik.
Satu sentakan tali.
Tarik, tarik, tarik, Zack.
Zack mencapai tali itu. Aku melihatnya meraihnya.
Dan kemudian aku mendengar suara lain di dalam ruangan. Satu suara baru. Satu
suara terkejut.
"Hai. Apa yang terjadi di sini? Apa yang kalian- anak-anak lakukan? "
Aku melihat sosok bayangan Zack menurunkan tali dan melangkah pergi tanpa
menariknya.
Ibuku mendadak masuk ke dalam ruangan.

22

"Tolong - tarik talinya!" Seruku.


Tak ada seorang pun yang mendengarkanku.
"Kami hanya nongkrong," aku mendengar Zack memberitahu ibuku.
"Tapi di mana Max?" Aku mendengar dia bertanya. "Bagaimana kalian
menemukan kamar kecil ini? Apa yang kalian lakukan di sini? "
Suaranya terdengar seolah-olah itu datang dari bawah air, jauh, jauh.
Seluruh ruangan mulai berkilauan cahaya, berkelap-kelip dan mematikan. Aku
berpegangan erat-erat ke bingkai cermin, berjuang untuk tak hanyut.
"Bisakah kalian mendengarku?" Seruku. "Tolong, seseorang- tarik talinya! Bawa
aku kembali! "
Mereka persis bayangan abu-abu berkelap-kelip, bergulung cahaya. Mereka
tampaknya tak mendengarku.
Mencengkeram erat bingkai cermin, aku melihat satu bayangan mendekati cermin.
Ibuku. Dia berjalan di sekitarnya, mengaguminya.
"Aku tak percaya kami tak pernah tahu tentang ruangan ini. Dari manakah cermin
tua ini? "Aku mendengarnya bertanya.
Dia berdiri begitu dekat denganku. Mereka semua.
Mereka begitu dekat dan begitu jauh pada saat yang sama.
"Tolong bawa aku kembali!" teriakku.
Aku mendengarkan untuk jawaban. Tapi suara-suara itu memudar.
Bayangan bergerak dalam suatu kelap-kelip kabur. Aku mencoba untuk
menjangkau mereka, tapi mereka terlalu jauh.
Aku melepaskan bingkai cermin dan mulai melayang.
"Bu, aku di sini. Tak bisakah Anda mendengarku? Tak dapatkah Anda berbuat
sesuatu? "
Begitu ringan, sehingga benar-benar tak berbobot, aku melayang di depan cermin.
Kakiku di lantai. Aku tak bisa melihat mereka dalam cahaya silau yang
membutakan.
Aku melayang ke cermin itu, dibawah lampu.
Aku bisa merasakan lampu itu menarikku lebih dekat. Lebih dekat.
Sampai lampu itu menarikku tepat ke cermin.
Aku tahu aku berada di dalam cermin. Di dalam warna kabur berkilauan. Bentuk-
bentuk berpendar dan berguling bersama-sama seperti jika di bawah air.
Dan aku melayang melalui pecahan-pecahan cahaya berkilauan dan warna,
melayang diam-diam menjauh dari teman-temanku, menjauh dari ibuku, melayang
jauh dari loteng ruangan kecil itu.
Ke tengah cermin.
Ke tengah ombak dunia yang bergulir memutar cahaya-cahaya dan warna-warna.
"Tolong aku!" Jeritku.
Tapi suaraku teredam kabur oleh warna-warna yang bergeser.
"Bawa aku kembali! Kembalikan aku!"
Mengambang jauh ke dunia yang berkilauan, aku hampir-hampir tak dapat
mendengar (suaraku) sendiri..
Jauh ke dalam cermin. Dan masih lebih dalam.
Warna-warna itu bergerak menjadi bentuk abu-abu dan hitam. Ini dingin di sini.
Dingin seperti kaca.
Dan saat aku melayang lebih dalam, lebih dalam, warna abu-abu dan hitam
memudar juga. Dunia itu putih sekarang. Putih murni semua di sekitarnya.
Bayangan putih berkurang sepanjang yang bisa kulihat.
Aku menatap lurus ke depan, tak lagi memanggil-manggil keluar, terlalu
takut untuk memanggil keluar, terlalu bingung oleh dinginnya dunia gading yang
kumasuki.
"Halo, Max," kata seorang dengan suara yang tak asing.
"Ohh!" Teriakku, menyadari bahwa aku tak sendirian.

23

Satu jeritan ngeri keluar dari bibirku. Aku mencoba untuk membentuk kata-kata,
tapi otakku sepertinya lumpuh.
Sosok itu mendekati dengan cepat, diam-diam, melalui dinginnya dunia putih
cermin. Dia tersenyum padaku, sebuah senyum yang menakutkan, senyum yang
kukenal.
"Kau!" Teriakku.
Dia berhenti satu inci dariku.
Aku menatapnya tak percaya.
Aku menatap diriku sendiri. Diriku. Tersenyum ke arahku. Senyum sedingin kaca
yang mengelilingi kita.
"Jangan takut," katanya. "Aku bayanganmu."
"Tidak!"
Matanya - mataku sendiri- menatapku kelaparan, seperti menatap tulang gemuk.
Senyumnya jadi melebar saat aku berteriak ketakutan.
"Aku sudah menunggumu di sini," kata bayanganku, matanya terkunci padaku.
"Tidak!" ulangku.
Aku berbalik menjauh.
Aku tahu aku harus menjauh.
Aku mulai berlari.
Tapi aku berhenti saat aku melihat wajah-wajah di depanku. Menyimpang, wajah
tak bahagia wajah, lusinan dari mereka, penuh wajah-wajah cermin rumah, dengan
mata-mata yang sangat besar, terkulai dan mulut-mulut kecil ketat dengan
kesedihan.
Wajah-wajah yang tampakmelayang-layang di depanku. Mata-mata yang kosong
menatapku, mulut-mulut kecil yang bergerak cepat seolah-olah memanggilku,
memperingatkanku, memberitahuku untuk pergi.
Siapa orang-orang, wajah-wajah ini?
Mengapa mereka di dalam cermin bersamaku?
Mengapa mereka menyimpang, gambar-gambar berputar menunjukkan begitu
banyak kesedihan, begitu banyak rasa sakit?
"Tidak!"
Aku tersentak saat kupikir aku mengenali dua dari wajah yang mengambang,
mulut-mulut mereka bekerja keras, alis-alis mata mereka
naik dengan liar ke atas dan ke bawah.
Erin dan Zack,
Tidak.
Itu tak mungkin, bukan?
Aku menatap tajam mereka. Mengapa mereka berbicara dengan panik? Apa yang
mereka coba untuk memberitahuku,
"Tolong aku!" Seruku.
Tapi mereka tampaknya tak mendengarku.
Wajah-wajah, lusinan dari mereka, muncul dan melayang.
"Tolong aku - tolong!"
Dan kemudian aku merasa diriku berputar. Aku menatap pada mata bayanganku
saat ia mencengkeram bahuku dan menahanku di tempat.
"Kau tak akan pergi," katanya. Suaranya yang tenang bergema melalui keheningan
kosong itu, untaian tetesan air yang membeku menggores kaca.
Aku berjuang untuk membebaskan diri, tapi cengkeramannya (begitu) kuat.
"Aku orang yang akan pergi," katanya kepadaku. "Aku sudah menunggu begitu
lama. Sejak kau menyalakan lampu. Dan sekarang aku akan melangkah keluar dari
sini dan bergabung dengan yang lain. "
"Yang lain?" Jeritku.
"Teman-temanmu menyerah dengan mudah," katanya. "Mereka tak melawan.
Pertukaran dibuat. Dan sekarang kau dan aku akan juga membuat pertukaran. "
"Tidak!" Jeritku, dan teriakanku tampak bergema melalui es dingin itu bermil-mil.
"Mengapa kau begitu takut?"Tanyanya, memutarku, masih mencengkeram bahuku,
membawa wajahnya dekat denganku. "Apakah kau begitu takut sisi lainmu, Max?"
Dia menatapku tajam. "Itulah aku, kau tahu, "katanya. "Aku bayanganmu. Sisi
lainmu. Sisi dinginmu. Jangan takut padaku. Teman-temanmu tak takut. Mereka
membuat pertukaran tanpa banyak dari perjuangan. Sekarang mereka berada di
dalam cermin. Dan bayangan mereka ... "
Suaranya melemah. Dia tak harus menyelesaikan kalimatnya. Aku tahu apa yang
dikatakannya.
Sekarang aku mengerti tentang Erin dan Zack. Sekarang aku mengerti mengapa
mereka tampak berbeda bagiku.
Mereka terbalik. Mereka itu bayangan Zack dan Erin.
Dan sekarang aku mengerti mengapa mereka mendorongku ke dalam
cermin, mengapa mereka memaksaku untuk menghilang juga.
Jika aku tak melakukan sesuatu, aku menyadari, bayanganku akan bertukar tempat
denganku. Bayanganku akan masuk ke loteng. Dan aku akan terperangkap di
dalam cermin selamanya, terjebak selamanya dengan wajah-wajah sedih yang
terapung-apung.
Tapi apa yang bisa kulakukan?
Menatap pada diriku sendiri, aku memutuskan untuk berdalih, untuk mengajukan
pertanyaan, untuk memberi diriku sedikit waktu untuk berpikir.
"Siapa pemilik cermin ini? Siapa yang membuatnya? " tuntutku.
Dia mengangkat bahu. "Bagaimana aku bisa tahu? Aku hanya bayanganmu,
ingat?"
"Tapi bagaimana-"
"Sudah waktunya," katanya bersemangat. "Jangan mencoba untuk berdalih dengan
pertanyaan bodoh. Waktu untuk membuat pertukaran. Waktu bagimu untuk
menjadi bayanganku! "

24

Aku menarik diriku menjauh.


Aku mulai berlari.
Wajah-wajah sedih yang menyimpang melayang di depanku.
Aku menutup mataku dan menghindar menjauhi mereka.
Aku tak bisa berpikir. Tak bisa bernapas.
Kakiku bergerak naik turun. Lenganku terbang keluar di pinggangku. Ini begitu
jelas dan terang, aku tak tahu apakah aku bergerak atau tidak. Kakiku tak bisa
merasakan lantai. Tak ada dinding, tak ada langit-langit. Tak ada udara yang
menyapu wajahku saat aku berlari.
Tapi rasa takutku mambuatku terus bergerak. Melalui dinginnya cahaya lampu
yang berkilauan.
Dia dibelakangku
Aku tak bisa mendengarnya.
Dia tak punya bayangan.
Tapi aku tahu dia berada tepat di belakangku.
Dan aku tahu bahwa jika dia menangkapku, aku akan hilang. Hilang di dalam
dunia kosong ini, tak bisa melihat, mendengar, membau, menyentuh apa pun,
hilang selamanya di kaca dingin itu.
Wajah-wajah diam terayun-ayun lainnya.
Jadi aku terus berlari.
Sampai warna-warna kembali.
Sampai cahaya membengkok untuk membuat bentuk-bentuk.
Dan aku melihat bayangan-bayangan bergerak dan bergeser di depanku.
"Berhenti, Max!" Aku mendengar suara bayanganku tepat belakangku. "Berhenti
di situ!"
Tapi sekarang dia terdengar khawatir.
Jadi aku terus berlari, berlari ke warna-warna dan bentuk-bentuk yang bergerak.
Tiba-tiba, Zack mematikan lampu.
Aku mendadak keluar dari cermin, ke dalam ruangan kecil di loteng, dalam
ledakan suara, warna, permukaan keras, hal-hal nyata. Dunia nyata.
Aku berdiri, terengah-engah, tersengal-sengal bernapas. Aku menguji kakiku. Aku
menginjak lantai. Lantai yang padat.
Aku memutar mataku pada teman-temanku, yang berdiri di depanku, ekspresi
kaget tampak pada wajah mereka. Ibuku, aku menyadari, pasti mundur kembali
bawah.
"Apa kau membuat pertukaran?" Tanya Zack penuh semangat, matanya bersinar
gembira.
"Apakah kau salah satu dari kami?" Tanya Erin pada waktu yang sama.
"Tidak," kata suatu suara -suaraku- datang dari belakangku.
Kami semua menatap ke cermin.
Di dalamnya, bayanganku, bermuka merah dan marah, melotot pada kami,
tangannya menempel kaca.
"Dia lolos, "kata bayanganku pada teman-temanku. "Pertukaran itu tak dilakukan. "
"Aku tak mengerti!" Aku mendengar teriakan April. "Apa yang terjadi, teman-
teman? "
Zack dan Erin mengabaikannya. Mereka melangkah dengan cepat dan
mencengkeram lenganku. Mereka memutar tubuhku dengan kasar.
"Pertukaran itu tak dilakukan," ulang bayanganku dari dalam kaca.
"Tidak masalah," kata Erin itu.
Dia dan Zack memaksaku ke cermin.
"Kau akan kembali, Max," kata Zack panas.
Dia mengulurkan tangan dan menarik tali lampu.
25

Lampu menyala.
Aku jadi tak terlihat.
Bayanganku tetap di cermin, telapak tangannya yang terbuka menekan bagian
dalam kaca, menatap keluar.
"Aku menunggumu, Max," katanya. "Dalam beberapa menit, kau akan bergabung
denganku di sini. "
"Tidak!" Aku berteriak. "Aku pergi. Aku akan turun. "
"Tidak, kau tak akan," kata bayanganku, menggelengkan kepalanya. "Erin dan
Zack tak akan membiarkanmu melarikan diri. Tapi jangan begitu takut, Max. Ini
semua tak cukup menyakitkan. Sungguh. "
Dia tersenyum. Itu senyumku. Tapi itu dingin. Kejam.
"Aku tak mengerti ini," April memprotes kembali di pintu. "Apa ada yang bisa
mengatakan padaku apa yang terjadi?"
"Kau akan melihatnya, April," kata Erin menenangkannya.
Apa yang harus kulakukan? Aku bertanya-tanya, membeku dalam panik.
Apa yang bisa kulakukan?
"Hanya beberapa menit lagi," kata bayanganku dengan tenang, siap merayakan
kemenangannya. Kebebasannya.
"April, cari bantuan!" Jeritku.
Dia berbalik saat mendengar suaraku. "Hah?"
"Cari bantuan! Pergi ke bawah. Cari bantuan! Cepat! " jeritku.
"Tapi-aku tak mengerti-" April ragu-ragu.
Erin dan Zack bergerak menghalangi jalnnya.
Tapi pintu tiba-tiba terayun terbuka.
Aku melihat Lefty berhenti di ambang pintu. Dia mengintip ke dalam.
Bayanganku.
Dia pasti berpikir bayangan itu adalah aku.
"Berpikirlah cepat!" Teriaknya, dan ia melemparkan bola kastinya.
Bola itu menabrak cermin itu.
Aku melihat ekspresi terkejut di wajah Lefty itu. Dan kemudian!
Mendengar dentaman itu dan melihat kaca itu pecah dan hancur.
Bayanganku tak punya waktu untuk bereaksi. Dia pecahkan menjadi pecahan kaca
dan jatuh ke lantai.
"Tidaaaak!" Erin dan Zack memekik.
Aku muncul kembali dalam pandangan saat bayangan Erin dan Zack melayang
dari lantai. Mereka terhisap ke dalam cermin rusak itu menjerit-jerit sepanjang
jalan- tersedot ke dalamnya seolah-olah penyedot debu yang kuat menarik mereka
masuk.
Kedua bayangan itu terbang berteriak-teriak ke cermin dan tampaknya
memecahkan cermin itu jadi ratusan potong.
"Wah!" Teriak Lefty, mencengkeram pintu dengan seluruh kekuatannya, menekan
tubuhnya ke kusen pintu,
berjuang untuk menahan dirinya dari tersedot ke dalam kamar.
Dan kemudian Erin dan Zack jatuh berlutut ke lantai, tampak linglung dan
bingung, menatap potongan-potongan kaca yang hancur berserakan di sekitar
mereka.
"Kau kembali!" Teriak saya gembira. "Ini benar-benar kau!"
"Ya. Ini aku, "kata Zack, berdiri goyah , kemudian berbalik untuk membantu Erin.
Cermin itu hancur. Bayangan-bayangan itu lenyap.
Erin dan Zack memandang sekeliling ruangan, masih terguncang dan pusing.
April menatapku sangat bingung.
Lefty tetap berada di luar ambang pintu, menggelengkan kepalanya. "Max,"
katanya, "Kau seharusnya menangkap bola itu. Itu tangkapan mudah."
Erin dan Zack kembali. Dan mereka baik-baik saja.
Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan semuanya kembali normal.
Kami menjelaskan segalanya pada April dan Lefty sebaik kami bisa.
April pulang ke rumah. Dia harus mengurusi adik kecilnya.
Erin dan Zack -Erin dan Zack yang asli-membantuku menyapu kaca yang pecah.
Kemudian kami menutup pintu ruangan kecil itu. Aku menguncinya erat-erat, dan
kami membawa semua kardus dan menumpuknya menghalangi dari pintu.
Kami tahu kami akan tak akan pernah di sana lagi.
Kami bersumpah tak akan memberitahu siapa pun tentang jadi
tak terlihat, cermin itu atau apa yang terjadi di ruangan kecil itu. Lalu Erin dan
Zack pulang.
Kemudian, Lefty dan aku berkeliaran keluar di halaman belakang.
"Itu sangat menakutkan," kataku pada Lefty dengan bergidik. "Kau tak bisa
membayangkan seperti apa rasanya."
"Kedengarannya cukup menakutkan," jawab Lefty tanpa sadar. Dia
melemparkan bola kasti dari satu tangan ke tangan lainnya. "Tapi setidaknya
semuanya baik-baik saja sekarang. Ingin bermain menangkap (bola) sebentar? "
"Tidak," Aku menggeleng. Aku sedang tak ingin. Tapi kemudian aku berubah
pikiran. "Mungkin itu akan mengalihkan pikiranku dari apa yang terjadi pagi ini,"
kataku.
Lefty melemparkan bola. Kami berlari di belakang garasi, tempat kami biasanya
untuk melempar bola.
Aku melemparkan kembali kepadanya.
Kami punya permainan tangkap bola yang cukup baik.
Sampai sekitar lima menit telah berlalu.
Sampai ...
Sampai aku berhenti dan membeku di tempat.
Apakah mataku menipuku?
"Inilah bola cepatku datang," katanya. Dia melempar bola itu padaku.
Tidak Tidak Tidak
Aku ternganga dengan mulut terbuka saat bola melesat melewatiku.
Aku bahkan tak berusaha untuk menangkapnya. Aku tak bisa bergerak.
Aku hanya bisa terpaku ngeri.
Adikku melempar dengan tangan kanan.

***

Pemindaian, format dan


pemeriksaan oleh Undead.

Terjemah bahasa Indonesia oleh:


Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai