Anda di halaman 1dari 6

Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.

com

Entah kenapa Eric selalu menatapnya...atau Mike.


Dia mengernyit dipikirannya ketika menyebut nama yang terakhir. Pujaan barunya,
Mike Newton yang populer, yang jelas-jelas cuek. Namun rupanya, bersikap sebaliknya pada
si murid baru. Lagi-lagi seperti anak kecil yang melihat benda berkilau. Ini membuat Jessica
gusar, meskipun tetap bersikap ramah dengan menjelaskan perihal keluarga Cullen. Murid
baru itu pasti menanyakan kami.
Semua orang ikut memperhatikanku, sambil lalu Jessica puas dengan dirinya. Betapa
beruntungnya Bella sekelas denganku di dua mata pelajaran...pasti Mike akan bertanya
padaku apa yang dia--
Aku berusaha menghalau pembicaraan tolol itu, sebelum membuatku gila.
“Jessica Stanley sedang mengupas kebobrokan keluarga Cullen ke si Swan anak baru
itu.” aku berbisik ke Emmet untuk mengalihkan perhatian.
Dia tertawa geli. Kuharap kisahnya menarik, pikirnya.
“Kurang imajinatif, sebetulnya. Cuma skandal-skandal kuno. Tidak ada bagian
horornya. Sedikit mengecewakan.”
Dan si murid baru? Apa dia juga kecewa?
Aku mencari tahu pikiran si murid baru ini, Bella, tentang cerita-cerita Jessica. Apa
pendapatnya ketika melihat keluarga aneh, berkulit putih-kapur, yang diasingkan ini?
Itu tanggung jawabku buat mengetahui reaksinya. Aku bertindak sebagai pengawas—
itu istilah yang peling mendekati—bagi keluargaku. Untuk melindungi kami. Jika seseorang
curiga, aku bisa memberi peringatan awal dan mundur teratur. Itu sempat terjadi—beberapa
manusia dengan imajinasi berlebihan mengaggap kami mirip dengan karakter di buku atau
film. Biasanya tebakan mereka salah, tapi lebih baik menyingkir daripada mengambil resiko.
Jarang ada yang menebak dengan tepat. Kami tidak memberi mereka kesempatan untuk
menguji hipotesisnya. Kami langsung menghilang, dan sekedar jadi kenangan buruk...
Aku tidak mendengar apa-apa, meskipun telah menyimak disebelah monolog internal
Jessica yang berhamburan tak karuan. Seperti tidak ada orang. Sangat ganjil, apa dia telah
pindah? Sepertinya belum, Jessica masih berbincang dengannya. Aku mendongak
memastikan, sedikit heran. Memastikan 'pendengaran' ekstraku—ini belum pernah dilakukan.
Kembali, pandanganku terpaku pada mata lebar coklat yang sama. Dia masih duduk

6
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com

disitu, sedang melirik kesini, sesuatu yang wajar, sementara Jessica meneruskan gosipnya.
Memikirkan tentang kami, itu juga wajar.
Tapi aku tidak mendengar bisikanpun.
Rona hangat merah muncul di pipinya ketika menunduk, malu kedapatan mencuri
pandang. Untung Jasper tidak melihat. Sulit dibayangkan bagaimana reaksinya jika melihat
rona merah itu.
Perasaannya tampak jelas di mimiknya, sejelas ada torehan huruf di keningnya:
terkejut, begitu mendapati tanda-tanda perbedaan antara kaumnya dengan kami; penasaran,
setelah mendengar dongeng Jessica; dan sesuatu yang lain...takjub? Itu bukan yang pertama.
Kami terlihat indah bagi mereka, mangsa alami kami. Kemudian, malu setelah terpergok
sedang memperhatikan diriku.
Tetap saja, meskipun tampak jelas pada matanya yang aneh—aneh, karena terlihat
begitu dalam; mata coklat biasanya datar—aku tidak mendengar apapun kecuali keheningan.
Tidak ada sama sekali.
Sejenak aku merasa tidak nyaman.
Ini sesuatu yang belum pernah kujumpai. Apa ada yang aneh denganku hari ini? Aku
merasa baik-baik saja. Khawatir, aku mencoba lebih keras.
Suara-suara yang sebelumnya kujauhkan mendadak berteriak di kepalaku.
...kira-kira apa musik kesukaannya...mungkin aku bisa menyinggung CD baru
itu...Mike Newton sedang berpikir, dua meja disebalahnya—memperhatikan Bella Swan.
Coba lihat bagaimana dia menatapnya... Eric Yorkie berpikir tak senang, juga masih
sekitaran perempuan itu.
...benar-benar memuakan. Kau pikir dia itu terkenal atau bagaimana, bahkan Edward
Cullen, menatapnya... Lauren Mallory sangat cemburu hingga wajahnya bisa-bisa menghijau.
Dan Jessica, memamerkan teman barunya. Menggelikan... sindiran terus bermuntahan dari
pikirannya.
...sepertinya semua orang sudah menanyakan hal itu ke dia. Tapi aku ingin ngobrol
dengannya. Aku mesti memikirkan pertanyaan baru. Renung Asley Downing.
...mungkin ia akan ada di kelas bahasa Spanyolku... June Richardson berharap.
...banyak yang mesti dikerjakan nanti malam! Trigonometri, dan tes bahasa Inggris.

7
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com

Kuharap ibuku... Angela Weber, gadis pendiam. Pikirannya paling ramah. Satu-satunya di
meja yang tidak terobsesi pada si Bella.
Aku dapat mendengar semuanya, tiap hal sepele yang terlintas di benak mereka. Tapi
tidak dari murid baru dengan mata memperdaya itu.
Dan, tentu saja, aku bisa mendengar apa yang dibicarakannya ke Jessica. Tidak perlu
membaca pikiran untuk mendengar suara lirihnya dengan jelas.
“Cowok berambut coklat kemererahan itu siapa?” aku dengar ia bertanya, mengerling
dari sudut matanya, dan buru-buru menghindar ketika tahu aku masih menatapnya.
Jika aku berharap suaranya bisa membantu menemukan pikirannya, yang hilang entah
dimana, aku kecewa. Biasanya, pikiran orang-orang memiliki suara yang sama dengan
aslinya. Tapi nada pelan dan pemalu ini terdengar asing, tidak ada diantara ratusan pikiran
yang bersautan di seantero kafetaria. Aku yakin itu. Suaranya benar-benar baru.
Oh, selamat, idiot! Pikir Jessica sebelum menjawab pertanyaannya. “Itu Edward. Dia
tampan, tentu saja, tapi jangan buang-buang waktu. Dia tidak berkencan. Kelihatannya tak
satupun perempuan disini cukup cantik baginya.” Dia mendengus.
Aku memutar kepala menyembunyikan senyum. Dia tidak tahu betapa beruntungnya
mereka tidak memenuhi seleraku.
Dibalik kegetiran itu, muncul dorongan aneh, sesuatu yang tidak kupahami. Ini ada
hubungannya dengan pikiran-pikiran tersembunyi Jessica...aku merasakan desakan aneh
untuk turun tangan, melindungi Bella Swan ini dari kesinisan Jessica. Sungguh perasaan
yang aneh. Coba menemukan motifasi dibaliknya, aku mempelajari murid baru itu sekali
lagi.
Mungkin sekedar insting terpendam untuk melindunggi—yang kuat pada yang lemah.
Perempuan ini kelihatan lebih rapuh dibanding yang lainnya. Kulitnya begitu tipis dan
trasparan hingga sulit dibayangkan mampu melindunginya dari dunia luar. Aku bisa melihat
darahnya berdenyut melewati pembuluhnya, dibawah membrannya yang pucat dan jernih...
tapi sebaiknya tidak berkonsentrasi pada hal itu. Aku sudah cukup baik dengan pilihan
hidupku, tapi sama hausnya dengan Jasper. Tidak ada untungnya mengundang godaan.
Ada kerut samar diantara alisnya yang tidak ia sadari.
Benar-benar menjengkelkan! Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ia tersiksa

8
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com

disana, berbincang dengan orang asing, jadi pusat perhatian. Aku bisa merasakan perasaan
malunya dari caranya menahan pundak-lemahnya. Curiga, seakan menunggu datangnya
penolakan. Tapi tetap saja aku cuma bisa menilai. Cuma melihat. Cuma membayangkan.
Tidak ada kecuali keheningan dari mahluk yang tidak istimewa ini. Aku tidak mendengar
apa-apa. Kenapa?
“Ayo pergi.” Rosalie berbisik, memecah perhatianku.
Aku berpaling lega. Aku tidak ingin gagal lagi—itu membuat kesal. Dan aku tidak
ingin tertarik pada pikirannya yang tersembunyi hanya karena tersembunyi dariku. Tak ada
keraguan, ketika mampu menembus pikirannya—dan aku akan mencari cara—pasti sama
sempit dan dangkalnya seperti manusia lainnya. Tidak sepadan dengan usahanya.
“Jadi, apa murid baru itu takut?” tanya Emmet, dia masih menunggu jawaban
pertanyaan tadi.
Aku angkat bahu. Dan ia tidak terlalu tertarik untuk bertanya lebih jauh. Begitu juga
denganku.
Kami bangkit dari meja dan berjalan keluar kafetaria.
Emmet, Rosalie, dan Jasper berakting sebagai senior; mereka pergi ke kelas mereka.
Peranku lebih muda. Aku menuju kelas biologi, bersiap untuk bosan. Tidak mungkin bagi Mr.
Banner, yang kecerdasannya rata-rata, menyinggung topik yang mengejutkan seseorang yang
memegang dua gelar kedokteran.
Di kelas, aku duduk di kursiku dan mengambil buku biologi—satu lagi peralatan
kamuflase lainnya; aku sudah menguasai semua isinya. Aku satu-satunya yang duduk
sendirian. Manusia tidak cukup cerdas untuk tahu mereka takut, tapi insting bertahannya
cukup untuk membuat mereka menyingkir.
Ruangan mulai terisi setelah istirahat selesai. Aku bersandar di kursi dan menunggu
waktu berlalu. Lagi, aku berharap bisa tidur.
Karena mungkin aku akan memikirkan tentang dia. Ketika Angela Weber masuk
bersama murid baru itu, namanya memicu perhatian.
Bella kelihatannya sepemalu diriku. Pasti hari ini berat buat dia. Aku harap bisa
mengucapkan sesuatu...tapi mungkin akan kedengaran bodoh...
Yes! Pikir Mike Newton, menggeser duduknya untuk melihat gadis itu.

9
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com

Masih saja, dari tempat Bella Swan, tidak ada apa-apa. Ruang kosong dimana isi
pikirannya seharusnya membuatku jengkel.
Dia mendekat, melintasi gangku menuju meja guru. Gadis malang; satu-satunya tempat
kosong cuma di sampingku. Kubersihkan bagian mejanya, menyingkirkan buku-bukuku. Aku
ragu ia akan nyaman. Dia mengambil satu semester penuh—di kelas ini, paling tidak.
Mungkin, dengan duduk disampingnya, aku bisa memecahkan rahasianya...bukannya aku
butuh posisi dekat sebelumnya...juga bukannya akan menemukan hal yang menarik...
Bella Swan berjalan melintasi hembusan pemanas ruangan yang bertiup ke arahku.
Aromanya langsung menghantamku dengan keras, seperti pendobrak yang tak kenal
ampun. Tidak ada gambaran kekejian yang mampu mendeskripsikan dorongan yang tiba-tiba
melandaku.
Dalam sekejap, aku tidak lagi mendekai seperti manusia; tidak ada lagi jejak
kemanusiaan yang tersisa.
Aku adalah pemangsa. Dia buruanku. Tidak ada yang lebih penting selain itu.
Tidak ada ruangan penuh saksi—di pikiranku mereka telah jadi korban yang tak
terelakan. Misteri pikirannya telah lenyap. Tidak ada artinya. Sebentar lagi ia tidak akan
memikirkannya.
Aku adalah vampir, dan dia memiliki darah paling manis yang pernah kucium selama
delapan puluh tahun.
Aku tidak pernah membayangkan aroma manis senikmat ini betul-betul ada. Jika aku
pernah tahu, aku telah memburunya sejak lama. Akan kususuri bumi mencarinya. Bisa
kubayangkan sedapnya...
Rasa haus membakar kerongkonganku seperti tinju api. Mulutku hambar dan kering.
Liur yang menetes deras tidak mampu mengusirnya. Perutku melilit oleh lapar akibat haus.
Otot-ototku menegang siap terlontar.
Satu detik belum lagi lewat. Dia masih pada langkah yang sama ketika angin bertiup.
Setelah kakinya menjejak, matanya melirikku, gerakan yang maksudnya diam-diam.
Pandangannya bertemu, dan kulihat bayangan diriku terpantul pada cermin lebar matanya.
Wajah syok yang kulihat menyelamatkan nyawanya seketika itu juga.
Dia tidak membuatnya lebih mudah. Ketika mengkaji ekspresiku, darah mengalir ke

10
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com

pipinya, mengubah warnanya sangat menggiurkan. Aromanya sesuatu yang baru di otakku.
Tidak mungkin melewatinya begitu saja. Pikiranku pun mengamuk, memberontak, tak
karuan.
Langkahnya lebih cepat, seakan tahu saatnya untuk lari. Ketergesaan membuatnya
kikuk—dia tersandung, hampir menubruk kursi depanku. Rapuh, lemah. Bahkan lebih untuk
ukuran manusia.
Aku berupaya fokus pada pantulan wajah di matanya, wajah yang langsung kukenali.
Monster dalam diriku—sosok yang kukalahkan lewat kerja keras dan kedisiplinan puluhan
tahun. Betapa mudahnya sekarang muncul!
Aroma manis itu berputar di sekelilingku. Mencabik pikiranku, dan hampir membuatku
bertindak.
Jangan!
Tanganku mencengkram ujung meja, menahanku tetap duduk. Kayunya tidak cukup
keras. Serat kayunya lantak jadi bubuk, meninggalkan bentuk jari terpahat dibalik meja.
Hilangkan bukti. Itu aturan dasar. Aku cepat-cepat memipis dengan ujung jari,
meninggalkan coakan dan serbuk di lantai. Kusingkirkan dengan kaki.
Hilangkan bukti. Korban yang tidak terelakan...
Aku tahu akan tiba waktunya. Gadis itu akan duduk di sampingku. Dan aku harus
membunuhnya.
Penonton tak bersalah di kelas ini, delapan belas murid dan seorang guru, akan
menyaksikannya.
Kubuang jauh pikiran itu. Bahkan saat kondisiku lebih buruk, aku tidak sekeji ini. Aku
belum pernah membunuh orang tidak bersalah. Tidak selama delapan puluh tahun. Dan
sekarang aku merencanakan pembantaian dua puluh orang sekaligus.
Sosok monster itu membuatku muak.
Sebagian diriku gemetar, sebagian lagi menyusun rencana.
Jika kubunuh gadis itu duluan, aku cuma punya waktu lima belas detik sebelum seisi
ruangan panik. Mungkin sedikit lebih lama, jika mereka tidak menyadari yang sedang
kulakukan. Dia sendiri tidak punya waktu untuk menjerit atau kesakitan; aku tidak akan
membunuhnya dengan kejam. Cuma itu yang bisa kuberi pada monster dalam diriku,

11

Anda mungkin juga menyukai