Anda di halaman 1dari 4

Nama:Dean Fatih D.

Absen: 6
Kelas:9A

Hutan misterius
“Ada sebuah cerita, berlatar di sebuah desa kecil yang terletak di perbukitan. Warganya hidup
dengan bahagia dan damai. Namun, dibalik semua itu, ada sebuah cerita menakutkan ...”
“Apa itu kek?!”
Aku tertawa. Cucuku yang berumur lima tahun ini memang selalu penasaran dengan apapun.
“Sabar, ceritanya baru dimulai!” kakak perempuannya yang gemas, mencubit lengan adik
laki-lakinya itu. “Teruskan, kek!”
Aku mengangguk. Setelah mengambil napas, aku kembali meneruskan ceritaku.
“Cerita ini dari kakek dan nenek buyut kalian. Kalau mencarinya dan berhasil, cerita itu justru
membuat bulu kuduk kalian berdiri, menjerit, dan bahkan tak bisa lagi kembali ke desa.”
Kedua cucuku mulai saling mendekat. Melihat mereka berdua, aku lagi-lagi tertawa. Lalu
kutengadahkan kepalaku menatap langit-langit ruangan, kembali mengenang masa-masa itu.
***
“Assalamualaikum, Bambang!!”
“Waalaikumsalam!!” aku buru-buru membuka pintu, terkekeh melihat kedua temanku sudah
berdiri membawa tombak buatan dan alat-alat aneh lainnya yang mereka jinjing.
“Apa ini?” aku mendelik.
“Ini?? Ini tombak, lah!” Yuda, temanku yang kurus bagai ranting menunjukkan tombak
buatannya—yang menurutku lebih mirip pajangan karena hiasan ukirnya. Jiwa seninya memang
mantap. Tapi gara-gara itu, tangannya selalu gatal untuk mengukir apapun.
“Jual saja kepasar itu! Namanya tombak ya kau pertajam ujungnya, bukan pertajam
penampilannya!!” satu lagi temanku, namanya Hendra. Yang ini suka marah-marah dan makan-
makan. Tapi, tubuhnya susah untuk gemuk.
“Yang penting senjata,” kataku. “Eson bawa ketapel, mungkin banyak burung gereja disana.”
“Mantap. Ayo berangkat,”
Setelah mendapat izin, kami bertiga berjalan melintasi rumah-rumah penduduk, pendopo
yang ramai dengan anak-anak kecil, lalu persawahan yang mulai menguning padinya.
“Lewat sini,” aku keluar dari jalur setapak, memimpin jalan membelah hutan. Kuambil Arit
yang kusimpan dibalik tubuhku, menghempaskannya pada semak-semak di depan.
“Benar ada rusa disini?” Yuda mengerutkan kening. “Eson sering kemari, tak pernah lihat.”
“Ada, ikut saja.” Aku masih acuh, terus mengayunkan aritku. “Ageh!”
“Eh, kita tak masuk kesana, kan?” Yuda mulai menghentikan langkahnya. “Terlarang!”
“Itu kan, cerita lama.” Jawab Hendra. “Mau makan daging rusa, tidak? Jangan jadi penakut,”
“Siapa yang takut?!” jawab Yuda. “Tapi kau tahu kan, larangan kalau dilanggar itu pamali!”
“Ya, kita tak perlu masuk.” Aku berkata pelan. “Di luar batasnya saja.”
“Dimana?” tanya Hendra.
“Ada kolam tak jauh dari sini. Aku pernah melihat rusa itu mengambil minum disana.” Kedua
temanku itu menyetujui. Kami berlari kecil, mengambil jalan pintas. Sampai di kolam, kami
bersembunyi dibalik bebatuan besar. Berpencar, saling mengawasi.
Suhu semakin memanas. Aku semakin sering mengelap keringat di keningku. Entah
bagaimana Yuda dan Hendra diujung sana. Tak terlihat batang hidungnya. Mungkin tertidur.
“Srek ... srek ...!” Semak diujung kiri terlihat bergerak. Aku memicingkan mataku, kalau tak
salah itu tempat Hendra bersembunyi. Benar saja, tak lama, kulihat laki-laki itu merangkak cepat ke
tempat persembunyianku.
“Rusa, Bam! Rusa!” bisiknya. Aku buru-buru melempar cangkang siput kearah
persembunyian Yuda, sebagai sinyal. Tepat saat Yuda mulai merangkak ke tempatku, mahluk indah
itu menampakkan dirinya.
Kami bertiga mematung. Yuda bahkan tak jadi mendekat kearahku. Dia juga takjub bisa
melihat rusa. Walau di hutan serimbun ini, melihat rusa termasuk hal yang paling menakjubkan. Tapi,
ada hal yang lebih menakjubkan. Daging rusa.
“Bambang!” bisik Hendra, mengambil ancang-ancang sebelum melempar tombak. Aku
mengangguk, mengacungkan jempol. Laki-laki itu beranjak mendekati buruan. Lalu, tombak itu ia
angkat setinggi bahunya, tepat mengarah pada rusa yang sedang tenang meminum air di kolam.
Syuuut ...
“Aargghh!!!” Hendra berteriak kesal. Tombaknya meleset.
“Lari Heeen!!!” aku cepat mendahuluinya, disusul Yuda dibelakangku. Rusa buruan kami
sudah lebih dulu melesat. Dia cepat sekali.
Aku jadi merasa tertantang. Kupercepat langkah kakiku, melompati apapun yang
menghalangi. Sesekali aku menoleh kebelakang, Yuda dan Hendra tak kalah gesit mengikutiku.
Ageh Bambang ... sedikit lagi ...
“Bruak!!!”
Aku refleks berhenti. Terkesiap. Rusa yang berlari kencang di depanku, tiba-tiba saja ambruk
ketanah. Tubuhnya tertancap sesuatu yang panjang. Seperti tombak. Jadi aku menoleh kebelakang—
siapa tahu salah satu dari kedua temanku menembaknya. Tapi mereka berdua sama-sama masih
membawa tombak.
“HOIIII!!!” Sebuah panggilan seram tiba-tiba saja menggema. Kami bertiga begidik ngeri.
“Hei suara ap-” tubuhku terseret kedalam semak. Kedua mataku melotot, saat Yuda dan
Hendra sudah menempelkan telunjuknya ke bibir.
“Apa?!” bisikku.
Hendra melirikku dengan tajam, “Pamali.”
“Oh ...” Benar juga, aku lupa soal larangan tentang hutan paling dalam itu. Kupikir semua itu
hanya tipuan. Jadi aku santai saja masuk lebih dalam, meninggalkan kolam itu dibelakangku.
“Bagaimana sekarang?” wajah Yuda pucat pasi. Semak yang kami tempati tiba-tiba saja
gelap. Aku menelan ludah, mendongakkan kepalaku. Menatap sosok besar yang tiba-tiba saja muncul
menyibak semak.
Gelap. Hanya itu yang kuingat sejak aku melihat wajahnya.
***
“Uhuk!” Aku meringis. Dadaku rasanya sesak. Melihat ke kanan dan ke kiri, hanya ada
dinding kayu dan perabot usang.
“Bambang! Ssst!!”
Aku menoleh. Saat itulah aku sadar. Kami bertiga diikat di sebuah tiang. Yuda sudah
terbangun, dan menurut perkiraanku, kondisinya lebih buruk dari sebelumnya. “Hendra mana?”
“Belum bangun!” jawab Yuda, juga berbisik.
Aku menggerutu dalam hati. Tombakku sudah hilang entah kemana. Satu-satunya yang
tersisa, hanya ketapel yang kusimpan di punggungku. Untungnya tidak diambil oleh orang itu—atau
mungkin, mahluk itu.
“Oi, Yuda!” aku teringat, kawanku ini suka mengukir. “Kau masih bawa pisau kecil itu?”
“Ya,” Yuda menyahut. “Oh, eson paham!” Tak lama, aku mendengar suara kikisan. Juga
suara Yuda yang mendesis senang. Kawanku itu segera menampakkan wajahnya, mengikis ikatan di
tanganku. “Sebentar, kawan. Sedikit lagi.”
Aku mengangguk. Begitu ikatanku terlepas, aku mencoba mengintip keluar.
“Sstt!!” Yuda langsung mendesis tajam begitu Hendra membuka mata. Anak itu hampir saja
berteriak. Padahal Yuda sedang memutus ikatannya.
Sementara aku menemukan celah yang terbentuk karena kayu lapuk. Dari sana, aku bisa
mengintip sepasang kaki yang ada di depan dipan. Sementara kedua tangannya seperti mengikis pisau.
“Hei!” bisik Hendra. Aku menoleh. Hendra menunjuk jendela tua tak jauh darinya.
“Bisa dibuka?” tanyaku.
“Tidak. Harus di dobrak.”
“Orang itu ada di seberang ruangan. Dia pasti dengar!” aku melotot.
“Mungkin bisa kita hambat.” Yuda celingukan mencari sesuatu. Dia menghampiri meja kecil
di sudut ruangan. “Bantu eson, ageh!”
“Buat apa?” bisik Hendra.
“Letakkan di depan pintu, sampai susah dibuka. Jadi kita punya waktu lari,” jelas Yuda. Aku
dan Hendra mengangguk. Otak Yuda memang paling encer diantara kami. Akhirnya kami
memindahkan apapun yang bisa dipindahkan. Kursi, meja, laci ...
“Krieeek!!”
Tubuhku merinding. Aku memelototi Hendra, yang sedang menarik meja kedepan pintu.
“Hmmh!!” dari seberang ruangan, kami bisa mendengar gumamam yang mengerikan. Yuda
tiba-tiba mengambil ketapelku, lalu memasangkannya ke pintu.
“Pukul Hen!” ucap Yuda. Hendra memukul jendela itu keras-keras. Lalu, kami bertiga
melompat keluar. Tepat saat matahari sudah terlihat tumbang di ufuk barat. Kami berlari luntang-
lantung di tengah hutan. Entah orang itu sempat mengejar kami atau tidak, kami tidak tahu.
Tapi satu yang kutahu. Aku takkan pernah lagi melewati batas itu.

Namun, memiliki sebuah cerita mengenai hutan angker, siapa yang akan memasuki gunung
tersebut mereka tidak akan kembali, cerita ini sudah ada sejak dahulu. cerita ini ada dikarenakan
orang-orang yang pergi ke daerah tersebut namun tidak ada satu pun yang kembali maka dari itulah
warga setempat membuat cerita tersebut.
Meski ini sudah menjadi sebuah cerita turun temurun, dan sudah tidak diketahui kepastiannya, cerita
ini masih dijaga dengan baik terutama oleh tetua desa setempat yang sangat meyakinkan bahwa hutan
tersebut sanggatlah angker. maka dari itulah masyarakat sangat menjaga cerita tersebut.
Karena dijaga dan dipercaya cerita tersebut membuat masyarakat menjadi tidak berani untuk
mengusik hutan tersebut. Pencari kayu bakar dan pemburu mereka hanya masuk sampai tepian hutan
saja. Meskipun begitu hutan tersebut memberikan banyak manfaat bagi masyarakat desa dikarenakan
aliran sungai yang berasal dari dalam hutan tersebut masih jernih dan membawa berkah bagi
masyarakat desa.
masyarakat desa menjalani hari tanpa mengetahui apa yang ada dibalik hutan tersebut. Sampai ketika
desa mengalami masalah. Dan mengharuskan warga desa pergi ke hutan yang lebih jauh untuk
menyelesaikan permasalahan dan mencari sumber makanan dan masalah yang terjadi Dan akhirnya
warga desa pun mengirim para pemburu dan penjaga desa untuk memasuki hutan tersebut

***

Hari pertama setelah dikirimnya orang-orang terbaik desa penuh dengan kejutan dikarenakan pada
awalnya warga tidak boleh masuk kehutan yang dalam sehingga itu membuah mereka terkejut dengan
keadaan hutan bagian dalam yang sangat memukau
Penjaga desa, kita harus membuat sebuah tenda dengan segera agar kita bisa bermalam disini dan
melanjutkan perjalanan di kemudian hari
Pemburu, oke buatlah tenda untuk kita bermalam dan aku akan mencari buruan untuk kita makan
Maka penjaga desa dan pemburu pun melaksanakan tugasnya masing-masing smapai di keesokan hari

Anda mungkin juga menyukai