Anda di halaman 1dari 4

Waktu Itu

Karya: Zulfahri

Pagi itu semua semua pasukan dikumpulkan untuk menyusun strategi serangan balik ke markas musuh.
Aku yang terlembat sepersekian detik mendapat siraman rohani dari komandan. ''Bagaimana kita
memperoleh kemenangan jika ada Prajurit kita yang tidak disiplin waktu''. Teriaknya dengan nada tegas.
''Siap, salah Ndan'' Jawabku dengan nada tegas dan sedikit malu, karena semua pandangan samar-samar
tertuju padaku. Sayup-sayup terdengar suara instrumen yang menyenandungkan lagu kebangsaan Indonesia
Raya, ''Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku rakyatku, semuanyaa'' semakin lama alunan
instrumen itu menusuk telinga. Aku pun terbangun dari tidur. ''Astaga ternyata mimpi, seandainya saja itu
nyata. hmmmm". Sudah kali keberapa aku mimpi menjadi seorang Prajurit Tentara seakan ada panggilan
Jiwa, yang dulu merupakan cita-cita masa kecil. Sayup lagi terdengar suara instrumen lagu kebangsaan itu.
Ternyata dari rumah kakek tua tetanggaku. Aku coba melihat dari balik jendela seorang kakek tua seolah
sedang melaksanakan apel pagi sendirian dengan menggunakan pakaian ala tentara zaman kemerdekaan.
''Tegaaaaakkk..Gerakkk!'' teriaknya dan membuatku sedikit terkejut. Dan yang membuatku lebih terkejut dia
seolah sadar sejak tadi aku mengintainya dari balik jendela dengan tersenyum kearahku. '' Astagfirullah, apa
dia barusan menoleh dan tersenyum kearahku? Mungkin hanya perasaanku'' Tanyaku dalam hati.

Kejadian tadi pagi membuatku merenung sepanjang jam mata kuliah berlangsung. ''Baiklah saudara-
saudara, perkuliahan kita sampai disini saja. Kita akan sambung dipertemuan berikutnya. sampai bertemu
lagi, dan selamat siang'' Seakan kata-kata mutiara yang menghembus telinga dengan sopan dan sontak
menghentikan lamunanku. aku segera mengemas peralatan yang ada diatas meja. ''Joe aku gerak dulu yaa, lo
ikut nongkrong gak?” tanya Cindy yang sejak tadi duduk disampingku. ''Ehhh sorry Cin, hari ini aku langsung
pulang aja deh. aku kan baru pindah kontrakan, so banyak yang harus aku beresin'' jawabku dengan sedikit
segan menolak tawarannya. ''Wahhh. oke deh Joe. kalau perlu bantuan, roger aja ya''. Cindy memang salah
satu yang paling dekat denganku di kelas. Dan kami sering menghabiskan waktu nongkrong berdua. sampai
banyak gosip beredar, kalau kita pacaran. Tapi aku dan Cindy seolah acuh tak acuh. sesekali Cindy bertanya
tentang perasaanku terhadapnya. Dan aku selalu mengalihkan pembicaraan dengan lelucon konyol, hingga
berhasil membuatnya terbahak dan melupakan pertanyaan sebelumnya. Dan mungkin dia juga paham kalau
aku akan kesulitan untuk menjawabnya.

Sepulang dari kampus, seperti biasa aku langsung singgah ke Warteg terdekat, warung yang sangat
populer di kalangan mahasiswa yang pas-pasan seperti aku ini. Demi menghemat pengeluaran aku hanya
memesan lauk saja, ntah mengapa aku teringat kakek tua sebelah kontrakanku. "Bu lauk ayam kalasannya 2
porsi ya bu'' sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang. ''Lauknya aja seperti biasa kan mas?'' tanya bu
wati owner warteg karena sudah hafal dengan pesananku. Akhirnya aku memesan 2 porsi lauk dan langsung
menuju rumah kontrakan.

Sesampainya dirumah kontrakan, aku langsung menanak nasi dalam rice cooker yg sudah menemaniku
selama 6 semester. Terdengar sayup suara kakek disebelah rumah bernyanyi, ''17 agustus tahun 45 itu lah
hari kemerdekaan kita. hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia" dia bernyanyi dengan
semangat 45. aku kembali mengintip dari balik jendela, mengintai dia sedang bernyanyi dari balik jendela
yang kebetulan menghadap kearah jendela rumahku. Seketika teringat lauk ayam yang aku beli, ''Klik Klik"
suara rice cooker yg menandakan nasi sudah matang. Aku langsung menyiduk nasi diatas 2 piring lengkap
dengan lauk yang aku beli tadi. Sebenarnya sejak pagi tadi aku sudah penasaran dan ingin ngobrol dengan
kakek tua itu.

''Tok tok tok... Assalamualaikum, Selamat Sore" Aku mengetuk pintu dengan sedikit keraguan.
''Waalaikumussalam, masuk saja pintunya tidak saya kunci'' jawabnya dengan tegas dan sedikit
menggetarkan hatiku. ''Baik Kek, terima kasih''. ''Kenalin kek, saya Joe dari rumah sebelah. Baru pindah
kemarin. Ingin silaturahmi kerumah kakek sebagai tetangga saya'' lanjutku tanpa berbasa-basi, karena yang
ada dalam pikiranku saat itu. cepat memulai, maka akan segera berakhir pula. ''Wahh wahhh.... Anak muda
yang ramah, sopan dan santun. Sepertinya sudah hampir langka dizaman ini. Berapa Umur mu nak?” Tanya
nya sembari menggosok sepatu PDL tua miliknya. ''23 tahun kek'' jawabku sembari menatap seisi rumahnya.
''Dulu saya saat seumuran dengan mu sudah ikut memperjuangkan tanah air'' sembari terus menggosok
sepatu tuanya. ''Kakek seorang Veteran ya? oh iya, nama kakek siapa kalau boleh tau?'' sejenak aku berpikir
mengapa aku banyak pertanyaan. ''Iyaa saya seorang Veteran yang memperjuangkan Kemerdekaan
Indonesia, waktu itu pangkat terakhir saya Letnan Kolonel Sukarni'' jawabnya dan seketika dia berhenti
menggosok sepatu tua miliknya yang sejak tadi dia sibuk menggosoknya. ''Oohh nama kakek adalah Sukarni,
Ohh iya kek saya membawa rantang yang berisi makanan, kita makan sama-sama ya kek?'' dia hanya diam,
kali ini dia memandangi foto dalam frame, Dan sekilas aku melihat wajah bung karno. ''Dulu kami
memperjuangkan kemerdekaan rela berkorban nyawa dan keluarga yang kami tinggalkan demi kemerdekaan
tanpa berharap mendapat imbalan apapun. Karena merdeka adalah hadiah yang paling luar biasa.'' seolah
dia curhat sambil terus memandangi beberapa orang dalam foto tersebut. ''Sungguh luar biasa perjuangan
pahlawan-pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia seperti kakek pada waktu itu, sehingga kami pada
saat ini bisa hidup dengan nyaman di negara ini''. Kami melanjutkan obrolan sembari makan rantangan yang
aku bawa tadi. Tak terasa obrolan sampai pada adzan maghrib dan aku pun pamit pulang.

Pagi ini mentari terselimuti mega yang sedikit mendung, secangkir kopi dan roti isi telah kusediakan di
atas meja. Sambil tersenyum ''Seperti orang-orang barat saja sarapanku ini'' aku adalah orang yang tak akan
kenyang sebelum menyantap nasi dan lauk-pauknya. Seketika lamunanku tersentak oleh nyanyian Kakek
Sukarni. Tidak sama dengan pagi sebelumnya, kali ini ia menyanyikan lagu Gugur Bunga, nadanya sedikit
sendu bercampur sedikit isakan. Aku mengintip dari balik tirai jendela '' Telah gugur pahlawanku. Tunai sudah
janji bakti, gugur satu tumbuh seribu. Tanah air jaya sakti''. Kali ini bendera dikibarkan setengah tiang. ''Kakek
kenapa benderanya setengah tiang, dan kenapa kakek menangis" tanyaku dari sebalik pagar rumahnya.
''Hormat! dasar pemuda zaman sekarang tidak memiliki sifat patriotisme'' sontak aku mengambil sikap
hormat menghadap tiang bendera di hadapan. ''Tegaaakkkkk. Grakk!" kakek pun duduk diteras rumahnya
sembari merenung dengan sedikit derain disekitar kelopak matanya. ''Kakek baik-baik saja?'' tanyaku dengan
langkah mendekatinya bersama rasa penasaran alam diriku. ''Tepat pada hari ini rekan seperjuangan saya
bernama Surono, tertembak 2 peluru di dadanya. Waktu itu, kami sedang mempertahankan tanah ini dari
gempuran Belanda. Dan saya tidak bisa berbuat apa-apa''. Jawabnya dengan lugas, tapi terpancar kesedihan
yang mendalam dari mata kakek. ''Mohon maaf kek, Joe turut berbelasungkawah sedalam-dalamnya kek''
Aku coba menenangkannya, karena melihat seorang kakek yang menangis, baru kali ini aku saksikan.” Ting
Ting Ting rotinya bang?” seorang penjual roti menawarkan dagangannya.” Nggak bang saya sudah sarapan”
jawabku seketika, karena aku memang sudah sarapan sebelumnya. “Kali aja kakek mau?” belum habis aku
bicara tukang roti itu sudah pergi. ''kau tidak pergi ke kampus?'' seketika aku melihat arloji di lengan kiriku.
''Astaga 5 menit lagi, aku berangkat dulu ya Kek. Assalamualaikum''. Sambil tersenyum ''Waalaikumussalam,
hati-hati dijalan nak''. Motor Japstyle itu ku pacu dengan kekuatan maksimumnya.

Hari ini perkuliahan terasa membosankan. Seperti biasa, yang bertambah dalam ranselku adalah
catatan tugas yang harus aku kerjakan dalam waktu dekat. Kali ini, lampu merah terasa sangat lama
bertransisi ke warna hijau.”Bapak mau beli balon yang warna merah itu” pinta seorang kepada bapaknya
ditepian trotoar. “Tunggu ya, kita jual dulu rongsokan ini. Habis itu kita balik lagi” jawabnya membujuk
anaknya yang mulai menangis, sambil terus mendorong gerobak yang berisi barang rongsokan. Pandanganku
teralihkan oleh pamflet yang berisikan satu mantra yang sering diperdengarkan “ Waktu adalah pedang, siapa
yang tidak bijak menggunakannya maka akan tertusuk oleh pedangnya sendiri”. Seperti ayat yang mulai
membosankan bila dihadapkan oleh realita yang semakin edan ini. Apapun boleh dilakukan tanpa terikat oleh
waktu. Waktu sudah digadaikan oleh uang, orang-orang sudah melupakan waktu dalam mengumpulkan
pundi-pundi uang. “ Lauk ayam kalasan lengkap dengan sayurnya satu porsi ya” aku memesan lauk makanku
untuk malam ini di Wateg langgananku. “Ndak pakai nasi seperti biasanya kan Mase?” pertanyaan ibu
Warteg yang ntah pada kali keberapa dia pertanyakan setiap aku memesan makanan di Warteg miliknya itu.
Aku menjawab dengan senyuman yang ditangkap dengan senyuman ibu Warteg. Perjalanan menuju rumah
terasa melelahkan dengan pemandangan alam dan situasi sosial yang seperti menyerabutkan isi kepala.
Sebelum tepat sampai di depan rumah, aku memandangi rumah kakek yang sunyi tak seperti biasanya. Aku
tak acuh karena beban secarik catatan di ranselku yang memaksaku untuk begadang malam ini. “
Assalamualaikum... Aku pulang” merupakan kebiasaanku mengucapkan salam kepada rumah yang aku
tinggali, walaupun aku sadar aku tinggal seorang diri. Aku merasa rumah adalah teman yang paling setia dan
ikhlas menerimaku apa adanya dari aku tidur sampai aku tertidur lagi. “Wise man say only fools rush in, if i
can’t help falling in love with you......” Lagu ini memang menjadi penemanku mengerjakan segala tugas yang
menyerabutkan setiap harinya.

Pagi seakan terlalu cepat menyapa, sedikit berbeda dari pagi sebelumnya kali ini alarm yang
mengejutkan ku. Dua hari terakhir aku masih terjaga saat alarm itu berbunyi. Aku segera menyiapkan diri dan
segala sesuatu.Pagi ini haya ada semangkuk sereal dan secangkir hangat. Sayup-sayup kembali aku dengarkan
suara apel pagi dengan lagu kebangsaan “Betapa hatiku tak akan pilu, telah gugur pahlawanku...” Pagi ini
kakek menyanyikan lagu Gugur bunga sambil meneteskan air mata dan mengibarkan bendera setengah tiang
lagi. “ Kali ini siapa yang meninggal ya, jadi penasaran”. Aku langsung menyudahi sarapan dan lekas
berangkat sambil singgah kerumah kakek. “Hari ini memperingati pahlawan siapa kek?” tanyaku sambil
menuntun motor. “ Dasar anak muda zaman sekarang tidak pernah belajar dari kesalahan yang lalu, tunjukan
sikap patriotisme mu” Bentak kakek, kali ini dia benar-benar marah, seketika aku mengambil sikap hormat ke
arah bendera setengah tiang itu. “Tegaaaaaaakkk Graak!” kami serentak menurunkan kedua tangan dari
posisi sebelumnya.“Hari ini adalah gugurnya teman kakek, peluru senapan mesin bersarang di perut sebelah
kirinya yang mengkibatkan pendarahan hebat. Dia meninggal sesaat setelah sempat mendorong seorang ibu
dan anak untuk bersembunyi kedalam bangker sampah”. Dia berbicara sambil menatapku dengan saksama.
“ Siapa nama teman yang kakek bicarkan itu?” Pertanyaan yang sejak awal aku tunggu jawabannya. Kakek
tersenyum kecil “ Sukarni. Letkol Sukarni” dia kembali menghadap arah bendera setengah tiang itu. “Sukarni?
Bukannya itu nama kakek?” tanyaku karena sedikit membuatku kebingungan. “Bukan, itu Sukarni yang lain”
Jawaban itu membuatku lega. “Rootiii..Rooti. Rotinya bang?” seorang penjajah roti yang sejak aku pindah
beberapa hari yang lalu selalu lewat gang sekitar rumah menawarkan dagangannya. “Nggak bang, saya baru
saja habis sarapan” lagi-lagi jawabanku sama. “Selama beberapa hari ini abang selalu berdiri disini ngapain
bang? Pertanyaan itu membuatku terdiam. “saya perhatikan abang selalu hormat bendera ke arah tiang
usang itu dan bercakap-cakap sendiri” kali ini membuatku merinding dan sedikit tidak menerima. “Ya jelas
saya bercakap dengan kakek Karni di sebelah saya ini” Seketika saya menoleh dan kudapati kakek sudah tidak
ada. Semakin membuat buku kuduk ku merinding. “Tidak pernah ada kakek yang bernama Karni di gang ini
dan rumah tua itu sudah kosong puluhan tahun karena ditinggal peghuni lamanya”. Aku terdiam cukup lama
sembari menuntun motorku, setelah beberapa langkah aku menoleh kebelakang dan tidak ada siapa-siapa.

TAMAT

Penulis bernama Zulfahri. Merupakan mahsiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan. Bergiat di Komunitas Runang Sastra Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Lahir di Teluk Nilap, 28 Agustus 1998.

Anda mungkin juga menyukai