Anda di halaman 1dari 8

Tugas Bahasa Indonesia Cerpen Ideal

Muhammad Ilham Pratama (19) XI IPA 3

Bahagiaku Bahagiamu
Cerpen Karangan: Danvi Sekartaji
Kategori: Cerpen Mengharukan, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 23 September 2020

*Bruk*
“Arghhh..” seorang anak laki-laki terdengar mengerang kesakitan.
Aku yang tengah asyik berjalan santai terkejut melihat pemandangan di depanku. Tak jauh dari
tempatku berdiri, ada seorang anak laki-laki terjatuh dari sepeda, sepertinya ia baru saja
menghindari lubang yang ada di tengah jalan dan ia justru menabrak batuan besar yang ada di
pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, aku langsung membantunya.

“Dik.. kamu tidak apa-apakan?” tanyaku khawatir.


“Engga kok. Aku baik-baik aja. Maaf ya kak, tapi aku bisa sendiri” jawabnya saat aku mencoba
membantunya bangkit. Dan beberapa saat kemudian ia langsung menaiki sepedanya dan
bergegas pergi.

Aku mengejar anak laki-laki itu karena penasaran. Ternyata ia ingin bermain bola dan sudah
banyak teman-teman yang menunggunya, tak terkecuali seorang gadis cilik yang tampak berdiri
di tengah lapangan.
“Mau apa anak perempuan itu?” tanyaku pada diri sendiri.
Gadis cilik itu tiba-tiba berteriak.
“Ayo mulaiiii” Seketika aku terdiam.
“De javu” gumamku.
“Tidak. Ini memang pernah terjadi” aku teringat kembali kejadian itu. Sahabatku, pengalamnku,
kenanganku, semua ada padanya.

“Kali ini kita mau main apa?” tanyaku pada teman-temanku, Nadia, Anggun, Nabila, Siti, dan
Tiara.
“Main dokter-dokteran aja yuk” ajak Nabila.
“Ah… kita kan baru main itu kemarin Bil” ucap Anggun.
“Kita main bola aja yuk. Kita ajak tanding anak-anak cowok, siapa tau mereka kalah sama kita.
Hehe” Nadia tampak menggebu-gebu dengan ide yang ia sebut ‘ide brilian’, padahal jelas sekali
itu ‘ide mengerikan’.
“Kamu laper atau lagi sakit sih? Kok ngajaknya aneh-aneh banget. Aku nggak setuju” aku jelas
menentang ide tak masuk akal itu.
“Oke, Lala ngga ikut. Trus siapa yang mau ikut main sama aku?” tanya Nadia dan aku
menatapnya tak percaya. Tampak semuanya terdiam dan aku mulai tersenyum senang karena
pasti semuanya menolak ide tersebut.
“Kenapa ngga kita coba dulu aja, buat senang-senang aja” ucap Tiara memecah keheningan dan
kali ini aku benar-benar tak habis pikir.
“Ya ampun.. kalian ini lagi kenapa? Duh.. kayaknya kalian harus ke dokter deh. Kalian semua
lagi nggak sehat”
“Ngga apa-apa La, sekali-sekali kita main sama anak-anak cowok. Biar ngga bosen. Hehe” Siti
menimpali. Dan akhirnya saat ini kami sedang berada di tengah-tengah lapangan bersama
dengan anak laki-laki. Sebenarnya aku tidak mau ikut, tapi teman-temanku memaksaku hingga
menarik-narik tanganku.

“Jadi kalian mau main bareng kita?” tanya seorang anak laki-laki yang bernama Farhan. Ia
bertumbuh tinggi, besar, dan kulit sawo matang. Yang baru aku ketahui bahwa dia dikenal
sebagai kapten tim. Haha.. lucu sekali, padahal hanya bermain-main biasa, tapi harus ada kapten
yang menyebalkan seperti orang itu.
“Kalian yakin bisa melawan kami?” tanya Farhan mengejek. Ingin sekali aku melempar
wajahnya dengan batu yang ada di pinggir lapangan.
“Paling juga kalau kalah nanti mereka nangis. Trus ngadu ke orangtua mereka” ucap seorang
anak laki-laki berambut plontos. Dan ucapanya itu, membuat yang lainnya tertawa. Aku dan
teman-temanku merasa direndahkan.
“Stoooooopppp” suaraku membelah lapangan, aku berteriak amat keras.
“Kami ngga takut melawan kalian, kami janji ngga akan nangis dan mengadu ke orangtua. Dan
yang jelas, kami ngga akan kalah. Paham?” kesepakatan itu tiba-tiba mengalir dalam alunan nada
tegas yang aku tuturkan di hadapan semua orang yang ada di lapangan. Awalnya, tim anak laki-
laki tampak mengejek. Tapi beberapa saat kemudian mereka tampak serius dan hal itu
membuatku sedikit ketakutan.

“Oke. Kami siap” ucap Farhan. Aku menelan ludah saat Farhan mengulurkan tangannya. Dan
tanpa terasa tanganku ikut terulur untuk menjabat tangannya.
“Siap-siap menghadapi kekalahan” Farhan sedikit berbisik tapi nada suaranya sangat
menakutkan seperti monster yang akan menerkam mangsanya.

Sebelum bertanding, kami menuju ke pinggir lapangan untuk berdiskusi. Tepatnya Anggun yang
menarik tanganku.
“Kamu gimana sih La? Kok malah nantangin gitu? Kalau kita kalah gimana coba?” tanya
Anggun bertubi-tubi. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Pasrah.
“Habis gimana lagi, aku ngga suka kalau diejek gitu” jawabku seadanya.
“Udahlah, yang penting kita main aja nanti yang serius” Nadia menimpali.
“Main yang serius gimana coba? Kita aja ngga pernah main bola” Siti juga mulai gelisah.
“Kita itu cuma mau main-main aja kan niatnya, jadi ya udah, jalani aja. Kalau kita kalah itu
wajar, justru kalau kita menang yang malah ngga wajar” Nabila menengahi.

Dan pada akhirnya kami sepakat untuk bermain bola bersama anak laki-laki. Aku mencoba
santai, tapi tetap saja sulit. Karena akulah penyebab suasananya menjadi tegang. Nadia ditunjuk
sebagai kapten tim kami, dan Anggun sebagai pemain cadangan. Ia maju ke tengah lapangan
bersama dengan Farhan menuju ke arah wasit. Sama halnya seperti permainan bola biasa,
mereka menentukan siapa yang akan mengoper bola pertama. Dan ternyata, tim kami yang
beruntung bisa mengoper bola pertama. Tapi menurutku sama saja, karena kami tidak bisa
bermain bola dengan benar. Hingga tim Farhan berhasil merebut bola yang kami mainkan.
Tapi pertandingan ini cukup menyenangkan. Karena hingga 15 menit pertandingan, belum ada
gol yang diciptakan baik dari timku maupun tim lawan. Wasit mengatakan, kami menggunakan
peraturan permainan futsal. Jadi waktunya hanya 40 menit. Dan aku tidak tahu menahu soal hal
itu, yang aku tahu adalah, aku hanya harus berlari dan mencetak gol.

Babak pertama telah usai dan kami sangat kelelahan. Sebetulnya lelah karena terlalu banyak
tertawa, sejak peluit dibunyikan tim kami selalu menghalalkan segala cara agar kami bisa
menang. Mulai dari berteriak, pura-pura jatuh, dan kami bermain sesuka kami tanpa
mempedulikan wasit. Benar-benar menyenangkan. Tim Farhan pun juga terlihat menikmati,
mereka tidak terlihat lelah dan kesal menghadapi kami.

Babak kedua berlanjut dan dimenit-menit awal timku sudah tidak kuat. Anggun menggantikan
Nabila yang mulai terlihat lemas. Dan saat Anggun mulai masuk lapangan, ia melakukan hal-hal
konyol. Ia sampai harus berguling-guling di tanah agar bisa merebut bola. Dan yang lebih lucu
adalah saat Tiara merebut bola dengan tangan karena ia tidak sabaran. Sepanjang babak kedua
ini, kami betul-betul dibuat sakit perut karena kekonyolan-kekonyolan kami sendiri.

Tapi tim Farhan berhasil mencetak gol di menit-menit akhir. Tim Farhan yang ternyata juga
sangat konyol, tidak mau kalah dengan timku. Ia melakukan selebrasi unik dengan saling
bertindih-tindihan satu sama lain. Farhan berada di paling bawah, ia terlihat kesulitan bernapas.
Kami dibuat tertawa karena hal itu.

Pertandingan kembali dilanjut, dan belum ada 2 menit tim Farhan sudah kembali menjebol
gawang timku. Karena sudah mulai kelelahan, Siti terlihat merangkak sambil tertawa untuk
merebut bola.
“A..akhu.. haahaaahaaa.. nggaaaa.. kuathhh.. haahaahaaaa…” ia mulai memegang perutnya yang
kesakitan karena terus-terusan tertawa. Hingga peluit panjang dibunyikan, kami masih terus
tertawa. Kami terus tertawa, karena kami bermain sesuka kami dan tak mempedulikan siapapun.
Aku dan timku kembali ke pinggir lapangan. Siti dan Anggun masih saja merangkak, karena
mereka tak kuat berjalan.

“Kalian ini, ngga bisa main tapi terus aja lari dan mengincar bola. Padahal kalian melanggar
peraturan” ucap Farhan menghampiri aku dan teman-temanku. Teman-teman Farhan pun juga
menghampiri kami, mengajak kami bersalaman. Awalnya kami bingung, tapi ternyata memang
begitulah ritual setelah bertanding dan kami menyambut uluran tangan mereka dengan senang
hati.
“Lain kali, kita tanding lagi ya. Seru banget main sama kalian” ucap salah seorang teman Farhan
yang berkulit putih.
“Iya, boleh. Tapi kami mau latihan dulu, biar ngga malu-maluin kayak tadi” timpal Nabila
sambil tersenyum malu.
“Halah.. ngga usah latihan, yang tadi juga udah baik kok. Baik dalam menghibur. Hahaha” ucap
teman Farhan yang disambut gelak tawa oleh semua orang yang ada di lapangan, termasuk aku.
“Tapi bolehlah, sekali-kali kami diajak main congklak, bekel, atau masak-masakan” ucapan
Farhan tersebut kembali kami sambut dengan gelak tawa.
“Haaahh.. ideku cemerlang kan? Brilian banget?” tanya Nadia dan aku menanggapi dengan
anggukan kepala.
Ya.. hal aneh yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, telah dicetuskan oleh teman sekaligus
sahabatku yang bernama Nadia. Kami jadi sering bermain dengan anak laki-laki. Permainannya
seperti basket, balap sepeda, bahkan dokter-dokteran dan yang terpenting adalah bermain bola.
Kami bertanding sebulan sekali dan permainannya masih tetap konyol dan menyenangkan. Dan
mulai dari sanalah, kami mulai kompak dalam berbagai hal. Kami selalu antusias dalam berbagai
lomba atau apapun acara yang ada di desa kami. Aku benar-benar tak melewatkan sedikitpun
masa kecil yang menyenangkan ini bersama teman-temanku.

Kupikir ini semua karena Nadia. Meskipun aku tau, ia adalah orang aneh dengan segudang ide
konyol tapi semua itu mampu membuat siapapun senang.
Tanpa ada yang tahu, bahwa sebenarnya ia mengalami masa-masa sulit selama ini. Aku yang
sangat dekat dengannya pun tidak tahu apa-apa tentangnya. Ia terlalu pintar dalam
menyembunyikan kesedihan dan kesakitannya. Ternyata, saat ia membuat orang lain tertawa
dengan ide konyolnya, di saat itulah ia sedang menghibur diri dan melupakan segala keluh
kesahnya. Aku benar-benar merasa aku bukan sahabat yang baik, benar-benar bukan

Sore itu, aku dan teman-temanku sedang asyik bermain bersama Farhan dan teman-temannya
juga. Kami sedang bermain sepeda. Tiba-tiba Nadia terjatuh, ia tampak kesakitan. Saat aku
mencoba membantunya, ia menolak dan buru-buru menaiki sepedanya lagi menuju ke rumahnya.
Awalnya aku merasa ganjil dengan sifat aneh Nadia. Tapi teman-temanku bilang, Nadia hanya
malu dan ingin istirahat. Karena saat terjatuh, anak laki-laki sempat mentertawakannya.

“Ah kamu sih”


“Ya kamulah, ngapain coba ngetawain?”
“Lho.. kamu yang ngetawain duluan juga”
“Udah jangan main salah-salahan” Farhan mencoba melerai teman-temannya yang saling
menyalahkan.
“Lala.. coba besok kamu temui Nadia ya. Soalnya besok kan Minggu, kalau nunggu Senin kan
kelamaan buat nemuin dia di sekolah. Jadi kamu dan teman-temanmu coba temui dia di rumah
aja ya” Farhan memberi instruksi panjang lebar dan hanya aku balas dengan anggukan.
“Ya memang agak aneh sih, ngga biasanya dia begini” ucap Tiara.
“Ah.. ya udahlah. Jangan dipikirkan terus. Kita pulang aja yuk, udah mulai gelap nih” ucap
Anggun yang langsung kami setujui. Dan akupun pulang dengan perasaan yang sangat
mengganjal.

Keesokan harinya, saat aku di kamar aku mendengar suara Siti dan Nabila memanggil namaku.
Akupun menemui mereka di luar rumahku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Nadia La, Nadia kritis” jawab Siti panik.
“Kok bisa? Emang dia kenapa?” tanyaku yang sangat terkejut.
“Ceritanya panjang, mending sekarang kamu sama Nabila ke rumah Tiara dan aku ke rumah
Anggun. Nanti kita kumpul di rumah aku. Ayah aku sama perangkat desa lainnya mau ke rumah
sakit sekarang, jadi kita bisa ikut” Siti memberi instruksi panjang lebar. Lalu aku dan Nabila
segera menemui Tiara di rumahnya yang tidak jauh dari rumahku.
Setelah semuanya berkumpul, termasuk ayah Siti selaku kepala desa dan perangkat desa lainnya.
Kami langsung bergegas ke rumah sakit tempat Nadia di rawat dengan menggunakan mobil
milik ayah Siti. Dalam perjalanan, aku tak henti-hentinya berdo’a untuk keselamatan Nadia.

Dan ayah Siti pun mulai bercerita tentang keadaan Nadia saat ini.
“Jadi, kemarin Pakde ke rumah Nadia, untuk memastikan keadaannya bagaimana. Karena
dengar-dengar dari warga, Nadia sakit keras. Dan Ibunya membenarkan itu, katanya sakit kanker
otak” terang ayah Siti kepada kami. Seketika itu, rasanya pelupuk mataku sudah mulai basah.
“Selama ini Nadia sudah melakukan kemoterapi, tapi sel kankernya masih terus berkembang.
Intinya, sampai sekarang Nadia semakin parah” lanjut ayah Siti.
“Tapi kenapa selama ini Nadia ngga pernah bilang ke kita?” tanya Tiara.
“Mungkin karena Nadia ngga mau membuat kalian khawatir, jadi kalian jangan salahkan Nadia
ya. Karena dari tindakan Nadia itu, pasti dia punya alasan yang kuat” jawab Ibu Siti. Dan kali ini
aku lebih memilih untuk diam, karena aku yakin apa yang dikatakan Ibunya Siti memang benar.

Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Orangtua Nadia yang tampak gelisah, kami pun
menghampiri mereka.
“Tante, keadaan Nadia gimana?” tanyaku.
“Dia sedang diperiksa oleh dokter” jawab ayah Nadia singkat. Terlihat sekali dari raut wajahnya,
bahwa beliau sangat cemas.

Tiba-tiba dokter dan beberapa perawat keluar dari ruangan dimana Nadia dirawat.
“Orangtua dari Nadia harap ikut ke ruangan saya, karena kami akan melakukan tindakan yang
cukup berisiko dan kami membutuhkan persetujuan dari Anda” ucap dokter itu, lalu Orangtua
Nadia pun mengikuti dokter itu ke ruangannya. Saat aku dan teman-temanku ingin masuk ke
ruang rawat Nadia, seorang perawat melarang kami. Perawat itu mengatakan bahwa Nadia butuh
istirahat.

Sekitar 10 menit berlalu dan akhirnya dokter yang tadi menangani Nadia kembali ke ruang rawat
Nadia dan beberapa perawat juga mengikuti dokter tersebut beserta orangtua Nadia. Wajah
mereka terlihat tegang sekali. Tak lama, Nadia yang berada di sebuah ranjang dibawa keluar
menuju ruang operasi. Entah kenapa, perasaanku tidak enak. Sejak Nadia dibawa keluar, aku
hanya diam. Sedangkan teman-temanku yang lain menangis dan saling menenangkan satu sama
lain. Orangtua Siti mencoba menenangkan orangtua Nadia.

“Nadia.. sebetulnya ada apa denganmu?” tanyaku dalam hati.

Kami menunggu cukup lama, hingga lampu ruang operasi padam. Dokter yang bertugas
mengoperasi Nadia keluar dan langsung berbicara dengan orangtua Nadia. Entah apa yang
disampaikan oleh dokter, yang jelas setelahnya Ibu Nadia menjerit histeris. Dan entah ada
dorongan darimana, tiba-tiba aku langsung masuk ke ruang operasi dan menerobos beberapa
perawat. Kulihat wajah pucat Nadia. Aku menangis, betul-betul sedih. Tanpa diberitahu pun, aku
sudah dapat membaca situasi ini. Dan.. kenapa ini terjadi sangat cepat? Apa betul ia adalah
Nadia?
Kakiku sudah tak sanggup menahan tubuhku, hingga akhirnya aku roboh dan tidak sadarkan diri.
Setelahnya, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Yang dapat kuingat, aku sudah ada di rumah dan
semua teman-temanku berada di sekelilingku. Aku mencoba mengingat kembali apa yang sedang
terjadi, dan hal itu semakin membuatku semakin melemah. Aku baru bisa ke makam Nadia 2
hari kemudian. Karena aku benar-benar tak sanggup untuk ke tempat peristirahatannya yang
terakhir.

Kejadian 10 tahun lalu kembali menaungi pikiranku. Setelah mengambil beberapa foto dari
kegiatan anak-anak yang sedang bermain bola, aku kembali teringat ke masa kecilku bersama
Nadia dan yang lainnya. Dan tanpa terasa air mataku sudah menetes dan membasahi pipiku.

“Nadia.. kenapa cepat seklai?” gumamku.


“Alasanmu itu konyol. Sengaja membuat kami tertawa dengan ide gilamu, tapi ternyata kamu
diam-diam punya misi untuk dirimu sendiri. Agar yang lain tertawa diatas kepedihanmu. Dengan
melihat yang lain tertawa, kamu pun ikut senang? Konyol. Itu konyol Nadia. Itu hal yang palin
bodoh yang pernah ada” ucapku entah kepada siapa. Aku menggenggam erat buku harian Nadia.
Ya.. buku itu selalu aku bawa kemana-mana. Atas persetujuan yang lainnya, buku itu memang
aku yang membawanya. Untuk barang-barang lainnya milik Nadia, seperti gantungan kunci,
pakaian, dan lainnya juga dibawa oleh Siti, Tiara, Nabila, dan Anggun. Kami sudah membaginya
rata dan sesuai kenangan masing-masing bersama Nadia. Semisal buku ini, dulu buku harian ini
pernah hilang dan aku yang berhasil menemukannya.

Dengan perasaan kalut ini, tak terasa hari mulai sore. Sang surya tampak melangkah menjauh
menuju ufuk Barat. Aku terdiam sesaat, hari ini batal lagi. Tiba-tiba ada yang menepuk
pundahkku.
“Farhan?”
“Maaf ya terlambat banget, aku tadi ada praktikum dan itu berlangsung lama banget” ucap laki-
laki bertubuh jangkung yang kini telah berada di hadapanku. Ya.. ia adalah Farhan.
“Ah.. kamu selalu PHP” ucapku kesal.
“Yah.. maaf banget, aku janji besok-besok ngga gini lagi deh” ia tampak memelas.
“Iya, iya yang calon dokter. Memang selalu sibuk” aku memanyunkan bibirku seketika,
mengingat seberapa lamanya aku menunggunya.
“Duh, jangan gitulah. Aku udah berusaha supaya bisa nepatin janji. Tapi ya memang gini
keadaaanya” jelasnya yang sudag mulai pasrah.
“Kan yang mau ke makam Nadia kamu. Kamu yang minta temenin aku, kamu yang buat janji,
dan kamu juga yang melanggar janji”
“Iya, iya. Aku minta maaf” ucapnya memohon.

Suasana lengang seketika setelah Farhan meminta maaf, aku hanya mengacuhkannya. Dan tak
lama suara ledakan tawa sudah terdengar lantang. Kali ini aku sudah benar-benar tak sanggup
untuk tak menahan tawa. Wajahnya tampak sangat sedih dan gelisah, aku sampai tak tega
melihatnya sekaligus geli.

“Kok malah ketawa?” tanyanya.


“Tolong wajahnya dikondisikan” jawabku asal dan membuatnya tersenyum kikuk.
“Duh.. kamu bikin panik aja” ucapnya dan aku hanya tertawa geli melihat eksspresi wajahnya.
Setelah tawaku mereda aku kembali menatapnya.

“Kenapa kamu ngga jadi pemain bola aja sih?” tanyaku serius.
“Aku mengubur mimpiku itu, karena satu orang. Yaitu, Nadia. Lagian juga selama beberapa
tahun terakhir aku lebih suka sains daripada olahraga” jawabnya.
“Tunggu, Nadia katamu? Kenapa dia?” tanyaku bingung.
“Kalau main bola, aku sering ingat betapa konyolnya dia. Dan alasan yang terpenting adalah, aku
mau jadi dokter yang bisa menyembuhkan Nadia-Nadia yang terluka di luar sana” jawabnya
sambil menatap langit. Aku berkaca-kaca mendengar jawabannya. Benar-benar luar biasa
tujuannya.

Tiba-tiba Farhan menatapku sambil tersenyum.


“Yuk kita makan, aku yang traktir deh” ucapnya dan aku mengangguk.

Sore itu kami makan bersama, disusul oleh yang lainnya. Memang rasanya tidak lengkap tanpa
kehadiran Nadia dan ide-ide konyolnya. Tapi sebagai bentuk rasa sayang kami kepadanya, kami
tetap bersama dan akan selalu bersama. Bahagia bersama untuknya. Sama seperti misinya yang
ingin melihat kami bahagia bersamanya.
Nilai-nilai kehidupan dari cerpen tersebut :

 Nilai moral : sosok Nadia yang sengaja membuat temannya tertawa dengan ide gilanya,
tapi ternyata diam-diam punya misi untuk dirimu sendiri, agar temannya tidak merasa
khawatir dengan penyakit yang dimilikinya.
 Nilai sosial : alasan Farhan berhenti menjadi pemain bola karena dia mau jadi dokter
yang bisa menyembuhkan Nadia-Nadia yang terluka di luar sana” jawabnya sambil
menatap langit.
 Nilai budaya : “hal aneh yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, telah dicetuskan
oleh teman sekaligus sahabatku yang bernama Nadia. Kami jadi sering bermain dengan
anak laki-laki. Permainannya seperti basket, balap sepeda, bahkan dokter-dokteran dan
yang terpenting adalah bermain bola. Kami bertanding sebulan sekali dan permainannya
masih tetap konyol dan menyenangkan. Dan mulai dari sanalah, kami mulai kompak
dalam berbagai hal. Kami selalu antusias dalam berbagai lomba atau apapun acara yang
ada di desa kami. Aku benar-benar tak melewatkan sedikitpun masa kecil yang
menyenangkan ini bersama teman-temanku.”
 Nilai psikologi : “Tanpa ada yang tahu, bahwa sebenarnya ia mengalami masa-masa sulit
selama ini. Aku yang sangat dekat dengannya pun tidak tahu apa-apa tentangnya. Ia
terlalu pintar dalam menyembunyikan kesedihan dan kesakitannya. Ternyata, saat ia
membuat orang lain tertawa dengan ide konyolnya, di saat itulah ia sedang menghibur
diri dan melupakan segala keluh kesahnya.”

Unsur pembangun cerpen :

 Alur : dalam cerpen diatas karena cerita dimulai dari keadaan masa kini, kemudian
flashback ke masa kecil Lala, kemudian kembali lagi ke masa sekarang. Maka
alurnya adalah alur campuran atau maju mundur.
 Tema : tema cerpen ini adalah persahabatan karena menceritakan tentang kenangan
masa kecil Lala bersama teman-temannya termasuk Nadia.
 Penokohan : Lala (tokoh utama, berani), Nadia (sahabat Lala, tabah, baik, mudah
bergaul), Siti (sahabat Lala, mudah gelisah), Anggun (sahabat Lala), Nabila (sahabat
Lala, pemalu), Farhan (sahabat Lala, bjiak, berani).
 Latar : latar tempat (lapangan, rumah sakit, pemakaman).
 Amanat : pentingnya memperbanyak teman bukan musuh dan mempererat tali
persahabatan, jadikan kejadian dimasa lalu sebagai pembelajaran untuk masa depan.

Anda mungkin juga menyukai