“Anak-Anak yang lain sudah kumpul ya?” teriakku dari depan pintu rumah
kepada teman-temanku yang sedari tadi memanggil namaku di depan
rumah.
“Sudah Do, tinggal nunggu kamu saja!” Arsa berkata cukup keras, namun
tidak seperti berteriak, mewakili kumpulan anak-anak lain tanpa diminta.
“Tunggu 5 menit kalau begitu.” Setelah itu aku masuk ke rumah dan
berpamitan pada ibu
Ketika aku, Arsa, dan 3 teman lainnya datang ke lapangan, sudah ada
beberapa anak di lapangan. Salah satunya membawa bola plastik seharga
Rp 3.000,00.
Tak lama kemudian, kami membagi tim.
Sekalipun saat itu ada 13 anak, bukan masalah seandainya nanti tim yang
terbentuk terdiri dari satu tim dengan 6 orang melawan satu tim dengan 7
orang. Kami hanya bersenang-senang bersama saja. Dan berteman baik.
Jika cerdik teman berunding, jika bodoh disuruh diarah.
“Harusnya ikut timku biar imbang. Jumlah tim kaliankan sudah lebih satu
orang.” Arsa tidak mau mengalah.
Tidak ada tendangan pojok karena kami tidak mengenalnya. Jika bola
keluar di sisi gawang, sekalipun pemain terakhir adalah pemilik daerah
tersebut, tetap saja menjadi bola mati bagi kiper. Juga jarang terjadi
lemparan ke dalam karena ada tembok pembatas sehingga bola tidak
keluar. Kecuali bola keluar ke jalan di mana kendaraan berlalu lalang, atau
terlalu melebar jauh dari posisi gawang, baru terjadi lemparan ke dalam.
Situasinya sedang sangat bagus bagiku. Aku sudah mencetak 4 gol dan
timku memimpin dengan kedudukan sudah 7-4. Namun, itulah awal dari
mimpi burukku.
Aku menyalahkan diri sendiri secara terus menerus karena nilai ujian
nasionalku jelek, tetapi akupun tetap lulus.
Tapi aku tidak pantang menyerah. Aku tetap berlatih sepak bola
meskipun itu jauh dari rumahku, karena ada banyak teman-temanku yang
ikut berlatih denganku.
Setiap hari rabu dan jum’at sore aku selalu berlatih di tempat
latihanku yaitu di KARANGBENDO , bersama teman-temanku