Anda di halaman 1dari 3

SEPAK BOLA

Oleh:Aldo Dwi Agus Cahyo

Aku tidak mengira kejadian itu akan membekas dan berpengaruh


buruk buat pergaulanku. Aku masih berusia 12 tahun kala itu. Di Minggu
sore, seperti biasa, teman-teman sepermainanku menjeputku untuk
bermain sepak bola.

“Anak-Anak yang lain sudah kumpul ya?” teriakku dari depan pintu rumah
kepada teman-temanku yang sedari tadi memanggil namaku di depan
rumah.

“Sudah Do, tinggal nunggu kamu saja!” Arsa berkata cukup keras, namun
tidak seperti berteriak, mewakili kumpulan anak-anak lain tanpa diminta.

“Tunggu 5 menit kalau begitu.” Setelah itu aku masuk ke rumah dan
berpamitan pada ibu

Kami kemudian menuju lapangan sepak bola. Lapangan yang kami


gunakan untuk bermain bola adalah halaman rumah yang luas milik
tetangga di kampung. Ada satu pohon mangga berukuran cukup besar dan
satu pohon mengkudu di tengah lapangan. Tetapi itu bukan masalah besar
bagi anak-anak kampung seperti kami.

Gawangnya berupa dua batu bata. Seseorang diantara kami mengukur


gawang dengan langkah kaki agar lebar kedua gawang sama lebarnya,
kemudian memberi sebuah batu bata bekas yang bisa dengan mudah
ditemukan di sekitar kampung di masing-masing ujungnya. Paling-Paling
bagian yang sering bikin ribut adalah ketika bola melintas tepat di atas batu
bata. Anak-Anak akan berdebat apakah itu termasuk gol atau keluar.
Bahkan argumen seperti berandai-andai bata itu adalah gawang, tentu bola
akan mengenai tiang dan masuk pun adalah hal yang lumrah.

Ketika aku, Arsa, dan 3 teman lainnya datang ke lapangan, sudah ada
beberapa anak di lapangan. Salah satunya membawa bola plastik seharga
Rp 3.000,00.
Tak lama kemudian, kami membagi tim.

Sekalipun saat itu ada 13 anak, bukan masalah seandainya nanti tim yang
terbentuk terdiri dari satu tim dengan 6 orang melawan satu tim dengan 7
orang. Kami hanya bersenang-senang bersama saja. Dan berteman baik.
Jika cerdik teman berunding, jika bodoh disuruh diarah.

“Aldo ikut timku” pinta Andi.

“Harusnya ikut timku biar imbang. Jumlah tim kaliankan sudah lebih satu
orang.” Arsa tidak mau mengalah.

Mereka bertengkar memperebutkanku. Hal semacam ini cukup sering


terjadi mengingat aku jago bermain bola. Dan meski kami tidak pernah
mempersoalkan menang atau kalah, tetapi jelas setiap anak ingin
memenangkan pertandingan. Akhirnya kedua tim melakukan suit,
pemenangnya akan mendapatkan aku sebagai salah satu bagian dari
timnya. Ternyata Andi yang menang suit dan aku pun segera menuju ke
daerahku.

Tak lama kemudian, permainan pun di mulai. Jangan bandingkan


permainan kami seperti sepak bola di televisi, mengingat lapangannya
tidak seluas lapangan sepak bola resmi, kami tidak perlu bermain strategi.
Setiap anak bebas menyerang dan bertahan. Tidak ada aturan. Bahkan
kiper pun terkadang ikut maju.

Tidak ada tendangan pojok karena kami tidak mengenalnya. Jika bola
keluar di sisi gawang, sekalipun pemain terakhir adalah pemilik daerah
tersebut, tetap saja menjadi bola mati bagi kiper. Juga jarang terjadi
lemparan ke dalam karena ada tembok pembatas sehingga bola tidak
keluar. Kecuali bola keluar ke jalan di mana kendaraan berlalu lalang, atau
terlalu melebar jauh dari posisi gawang, baru terjadi lemparan ke dalam.

Situasinya sedang sangat bagus bagiku. Aku sudah mencetak 4 gol dan
timku memimpin dengan kedudukan sudah 7-4. Namun, itulah awal dari
mimpi burukku.

Ketika bola keluar terlalu jauh dan tersangkut di semak-semak, aku


terlalu bersemangat berlari mengambil bola. Dan ketika aku melangkahkan
kaki ke dalam semak, aku langsung berteriak. Aku terkena pecahan
mangkok yang dibuang di semak-semak.

Darah mengalir dengan deras dari telapak kakiku. Seorang teman


dengan sigap menolongku dan membawaku pulang ke rumah. Tak lama
kemudian setelah kakikundibersihkan, kakiku dibalut dengan kain bekas
kaos.

Aku menyalahkan diri sendiri secara terus menerus karena nilai ujian
nasionalku jelek, tetapi akupun tetap lulus.

Bapak memarahiku habis-habisan, “Sudah tahu mau ujian malah


bermain terus. Sudah begitu, sampai kena beling.”

Dan rentetan kemarahan lain ketika kutunjukkan nilai ujianku

Karena impianku ingin menjadi pemain bola profesional, akupun


menghiraukannya. Aku tetap terus bermain bola bersama beberapa teman
di kampungku. Anak SMP dan SMA biasanya bermain di lapangan yang
sesungguhnya tak jauh dari kampung secara rutin, meski ada beberapa
aturan yang dilanggar, tetapi sudah mirip pemain bola pro.

Hingga kini aku tetap latihan dan terus berlatih denganbteman-


temanku di berbagai daerah,tidak lupa juga untuk berdoa kepada allah agar
apa yang aku cita-citakan terwujud. Tapi di kampungku anak seumuranku
sudah jarang yang ikut latihan sepak bola, hingga SSB yang ada di daerahku
pun banyak yang mati.

Tapi aku tidak pantang menyerah. Aku tetap berlatih sepak bola
meskipun itu jauh dari rumahku, karena ada banyak teman-temanku yang
ikut berlatih denganku.

Setiap hari rabu dan jum’at sore aku selalu berlatih di tempat
latihanku yaitu di KARANGBENDO , bersama teman-temanku

Tidak lupa dengan doa dan dukungan orangtuaku yang membuatku


semakin semangat dalam berlatih dan menggapai cita-cita.

Anda mungkin juga menyukai