Anda di halaman 1dari 1

GLUNDUNG PLECEK

Siang yang terik. Matahari masih setia di atas ubun-ubun. Tampak olehku, anak-anak berlarian dari arah
sekolah di dekat tempat tinggalku. Mereka yang kebanyakan lelaki melangkah semakin dekat ke
tempatku bersembunyi. Tiap hari pada jam seperti ini selalu bermain di tanah lapang yang bersebelahan
dengan tempat tinggalku. Keluar dari kelas dengan gembira, saling bercanda satu sama lain. Beberapa
dari mereka akan bermain dengan saling memperebutkan benda berbentuk bulat sepertiku. Mereka
memainkan benda itu dengan kakinya. Satu benda diperebutkan beberapa orang yang terbagi dalam
dua regu yang saling berhadapan. Satu orang menjadi penengah yang akan menentukan hukuman jika
ada diantara mereka yang melakukan pelanggaran.

Aku suka sekali mengintip mereka bermain. Saling bercanda tapi tetap mematuhi aturan. Benda yang
bentuknya mirip aku itu hanya satu. Dimainkan oleh dua regu yang masing-masing terdiri dari sebelas
anak yang semua lelaki. Anak perempuan hanya menjadi penonton. Memang permainan itu sepertinya
lumayan keras. Tak jarang mereka menendang, menyundul hingga saling berbenturan tubuhnya satu
sama lain. Hanya kaki dan kepala yang boleh dipakai. Tangan tak boleh secara sengaja menyentuh benda
kembaranku itu. Sementara benda itu seolah pasrah. Ditendang dan terlempar dari satu kaki ke kaki lain.

Kali ini jumlah anak yang bermain lebih banyak. Selain dua regu anak yang saling berhadapan sebagai
pemain, banyak pula anak yang menjadi penonton. Berdiri di pinggir lapangan dan meneriakkan suara-
suara yang menjadi penyemangat teman mereka yang bermain di lapangan. Lelaki dan perempuan
dengan saling bergerombol bersama teman yang sama jenis kelaminnya. Entah mengapa begitu.
Mungkin lebih nyaman.

Sudah sejak lama aku ingin seperti mereka. Bermain, bercanda bersama mereka meski bentuk kami tak
sama. Aku lebih mirip benda bulat yang selalu mereka mainkan. Mereka menyebutnya bola. Tak jarang,
aku mengintip mereka dari dekat. Bersembunyi diantara rimbun daun pepohonan yang menjadi
pembatas tempat tinggalku dengan lapangan tempat mereka bermain. Tapi selama ini aku dapat
menahan keinginanku. Kuingat pesan orangtuaku.

“ Jangan dekati anak-anak itu. Kasihan mereka akan ketakutan melihat kamu.” Ayahku sering
mengatakan itu.

Padahal hatiku sangat ingin bermain dengan mereka. Berlarian, bermain pasir, atau kalau boleh ikut
bermain bola. Tak bisa kubayangkan bagaimana caraku menendang atau melempar bola yang seperti
kembar denganku itu. Bisakah? Tapi, anak-anak itu menendang dan melempar bahkan menyundul
dengan mudahnya. Kelihatannta tidak sulit. Mengapa aku tak bisa? Mungkin hanya orangtuaku yang
khawatir berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai