Anda di halaman 1dari 12

Naskah Nonfiksi 1

Beri yang Terbaik

Prrriiiiittt!!!!

Referee mengacungkan kedua telunjuknya ke atas.

Two free throw!

Tinggal tiga detik dan kita masih tertinggal setengah bola. Ini kesempatan!!! Degup

jantung saya semakin keras kencang berdebar. Suasana seperti ini tidak baik untuk kondisi

jantung saya sebenarnya, tapi sayangnya saya menikmatinya.

Masuk! Masuk! Masuk! Kalimat yang saya gumamkan dalam hati itu kian meluap

seiring semakin cepatnya pantulan bola menerpa lapangan.

Masuk! Masuk! Masuk! Bibir saya tak kuasa untuk ikut melafalkannya.

MASUK! MASUUK... MAAAAA....

“Apa, sih, Yang? Masuk?” suara Diana, temen tidur saya (baca: istri saya) menarik

saya kembali ke alam nyata.

Sial, cuma mimpi.

Diana kembali terlelap, sementara saya masih terdiam menatap langit-langit kamar.

Bayangan di lapangan tadi benar-benar membekas nyata di benak saya. Saya melihat jam;

pukul 1 tengah malam. Saya terus menatap langit-langit kamar. Gelisah. Langit-langit kamar

berubah seolah jadi lapangan basket dengan kedua tim yang saling serang. Saya coba
memejam, berharap bisa tidur lagi. Bagus. Saya memang tak seolah melihat pertandingan

dari bench sekarang, tapi suara bola yang memantul dan decit khas sepatu basket terdengar

nyata di kuping saya. Saya buka kembali matamata kembali, sedikit memicing ke arah jam

dinding; pukul 1 lewat 30 menit.

Entah kesurupan setan apa, saya malah menyalakan ponsel. Saya masukkan kode

pembuka, lalu saya arahkan contact list ke huruf U. Ketemu, Udjo Project Pop. Call!

Jangan ganggu banciiii...

Jangan ganggu banciiii...

Jangan ganggu...

“Total, Jo, total! Loyalitas lo luar biasa ke Project Pop.” Hati saya mendadak takjub

mendengar nada sambung ponsel Udjo.

“Ha... haloo?” agak serak, Udjo mengangkat telepon saya.

“Djo, belom tidur lo?” tanya saya seolah enggak punya dosa.

“Menurut lo, Gie?” dengan nada lumayan gemes.

“Djo, kayaknya kalo kita beli klub basket asyik kali yah?” saya antusias, bener-bener

enggak punya dosa.

“Anjirr... beli. Emang cendol?! Gie, lo stres, gila, atau sarap ya?” HahaHaha, si si

Udjo ngajak bercanda.

“Mmm...”

“Lo gila aja, Gie! Satu, duit dari mana? Yang kedua, ngurus klub basket itu lebih

banyak ruginya.”

Sekarang sisi Udjo enggak kalah antusiasnya ketimbang saya.


“Mata lo antusias! Liat ini jam berapa? Udah-udah, lo tidur dulu, besok kita ngobrol

lagi.” Hebat, Si Udjo bisa baca pikiran gue.

*****

#1 Main Hanya Mimpi!

Apa duka paling dalam bagi seorang olahragawan? Bukan, jawabannya bukan kekalahan.

Menurut saya, jawabannya adalah tidak dimainkan dalam pertandingan. Tidak dimainkan

dalam satu pertandingan mungkin biasa, tapi kalau tidak dimainkan di semua pertandingan

meski tim sudah unggul jauh? Sakitnya tuh, di sini—nunjuk betis, eh salah, nunjuk dada.

Ngomong-ngomong, betis saya tuh gede banget. Jadi, itu sebabnya, saya suka malu kalau

pakai celana pendek. Hehehe...

Saya mungkin memang tidak terlalu berbakat dalam bidang basket. Tuhan tidak

memberikan karunia itu kepada saya. Tapi, Tuhan memberi karunia-Nya dalam bentuk lain.

Karunia itu berbentuk cinta yang teramat besar terhadap olahraga yang kalah populer

dibanding sepak bola di Indonesia, tapi jadi salah satu olahraga favorit, bahkan popularitas

pemain bintangnya bisa sebanding dengan artis Hollywood di Negeri Paman Sam sana.

Basket adalah cinta pertama saya meski dari SD sudah mengenal sepak bola.

Bandung, kota kelahiran saya 37 tahun lalu, adalah salah satu pusat atmosfer basket di

Indonesia. Gegap gempitanya samar-samar nyelip di kegaduhan para Bobotoh dengan Maung

Bandungnya. Luar biasa rasanya jika basket di Indonesia bisa punya fans fanatik se-edun

Bobotoh atau seloyal The Jack, atau klub-klub sepak bola lainnya. Tapi berbicara tentang

hobi, ya, sama saja berbicara tentang kekasih hati. Gak bisa asal pindah ke lain hati. Sadisss...
Bermula dari ajakan Jane a.k.a Ing-Ing, teman SMP yang Papa-Mamanya ngelatih

klub Rajawali Bandung, saya seolah menemukan kepingan hidup yang selama ini belum

terungkap saat ikut berlatih di klub tersebut. Mendengar bunyi jala yang terusik karena bola

meluncur dengan lembut menembus ring adalah sesuatu yang... ah, entahlah, saya tidak

mampu mendeskripsikannya lewat kata-kata.

Candu, basket serupa candu buat saya. Lagi, saya selalu ingin memantulkan bola lagi

ke lapangan. Sambil berlari, pura-pura akan melompat, atau dengan satu-dua gerakan tipuan

hingga lawan terkecoh, lalu diakhiri dengan sebuah tembakkan. Flusshhh!!! Lagi, saya selalu

ingin melakukannya lagi hingga dada terasa sesak karena kelelahan. Setelahnya, sSaya, baru

merasa puas.

Saya kemudian ingin menambah intensitas bermain yang awalnya dua kali seminggu

jadi lebih banyak lagi di klub Rajawali. Saya pun memutuskan ikut ekstrakurikuler basket di

SMP Aloysius, tempat saya sekolah waktu itu. Menyenangkan rasanya bisa semakin sering

berlatih. Saya sangat suka ketika sesi latihan dribbling, shooting, dan passing. Tapi Namun,

ketika masuk sesi latihan fisik, which is disuruh lari, saya mendadak pura-pura sakit!.

Kalimat, “Aduh, Coach... perut saya sakit,” jadi senjata andalan saya ketika sesi

latihan fisik akan dimulai. Saya enggak tahan disuruh lari turun-naik tangga penonton di

GOR Pajajaran atau lari keliling lapangan. Saat disuruh lari 400 meter, garis finish enggak

pernah kelihatan. Latihan fisik bagi saya sekilas seperti penyiksaan. Ngeri.

Kegetolan berlatih, minus latihan fisik tentunya, membuat saya masuk ke tim basket

klub Rajawali dan tim sekolah. Di tim sekolah, saya menjadi bagian generasi emas angkatan

97 SMA Aloysius. Julukan generasi emas ini bukan tanpa sebab. Karena berlatih secara

serius, selama karier basket saya dari SMP sampai lulus SMA, tim kami tak pernah
terkalahkan!. Ketika mengikuti turnamen, statistik lose kami nol dari babak penyisihan

sampai laga final. We are undefeated champions dalam semua turnamen yang diikuti.

Sayangnya, status sebagai tim tak terkalahkan itu bukan karena saya. Saya cuma jadi

pemanas bangku cadangan di tengah pemain-pemain bintang Aloysius yang kebetulan juga

pemain klub Rajawali dan jagoan di tim pelajar Kota Bandung dan Jawa Barat. Saya sangat-

sangat jarang dimainkan. Kata sangatnya dua kali, sengaja, biar kebayang bagaimana

minimnya minute play saya.

Bahkan ketika tim sudah unggul dengan skor yang terpaut sangat jauh, saya kadang

tetap enggak dimainkan. Sampai di suatu pertandingan, rasa gatal untuk ikut bermain enggak

bisa saya tahan lagi. Saya bangkit dari bangku yang jika diolesi margarin mungkin bisa untuk

menggoreng telur karena saking panasnya itu. Saya melakukan pemanasan tepat di depan

muka Coach Samuel, pelatih tim di sekolah yang sekarang sudah bahagia di surga.

Coach Samuel hanya melongo melihat saya melakukan pemanasan. Mungkin dalam

hatinya beliau berkata, “Ngapain nih, bocah?” Saya tidak peduli, saya terus melakukan

pemanasan. Lalu saya berjalan menuju table dan mengisyaratkan untuk melakukan

pergantian pemain. Melihat tingkah saya semakin di luar nalarnya, Coach Samuel berteriak,

“Augie! Mau ngapain kamu?”

“Saya udah siap, Pak! Saya mau maen!”

“Enggak! Nanti nanti nanti!” sergah Coach Samuel.

Ah, lama! Saya berjalan maju mendekati line, menunjuk ke salah seorang teman yang

sedang bermain entah siapa saya asal tunjuk—terus mengatakan dia diganti. Saya masuk ke

lapangan. Saya bermain. Dua menit kemudian, pertandingan berakhir. Terus saya dimarahi.

Hehehe...
Saya kembali menduduki bangku pesakitan yang sudah akrab menemani bertahun-

tahun. Di pertandingan-pertandingan selanjutnya, saya tetap berada di sana, di bangku

cadangan. Saya tidak tahu kapan saya akan dimainkan. Bisa bermain bareng teman-teman

dalam sebuah pertandingan rasanya hanya jadi mimpi bagi saya. Akhirnya saya hanya bisa

memandangi pelatih, berharap dia bisa menangkap gelombang telepati yang saya sampaikan,

“Coach, kapan saya main?”.

Jawabannya hanya Tuhan dan pelatih yang tahu kapan saya akan bermain. Begitu

seterusnya sampai lebaran kuda. Maaf, maksudnya, sampai saya SMA.

*****

#2 Duit dari Mana?

Selepas SMA, saya berangkat ke Amerika untuk jadi pemain National Basketball Association

(NBA). Serius? Becanda lah! Di klub dan sekolah saja saya cuma jadi cadangan, iya keleus

mau jadi pemain NBA. Saya berangkat ke Amerika untuk melanjutkan studi di Ohio State

University, menyusul kakak yang sudah lebih dulu kuliah di sana.

Saya mengambil jurusan ekonomi, tapi kalau ditanya apa kegiatan sehari-hari,

jawabannya ya nonton dan main basket. Makanya kalau ada teman-teman di Indonesia yang

bertanya saya di Ohio kuliah ambil jurusan apa? Saya selalu menjawab kuliah jurusan basket.

:D

Saya benar-benar tidak melewatkan kesempatan nonton langsung pertandingan NBA.

Paling sering, sih, nonton NCAA1. Tidak jarang juga saya bolos kuliah demi bisa

1
NCAA adalah sebuah asosiasi sukarela dari sekitar 1.200 institusi, kelompok, organisasi, dan badan-badan
individual yang mengurus program-program olahraga di perguruan tinggi dan universitas Indonesia. Semacam
liga basket tingkat mahasiswa di Amrik sana.
menyaksikan superstar dunia basket beraksi. Kalau tidak ada pertandingan, saya bermain

basket bareng teman-teman mahasiswa asal Indonesia.

Kok, enggak main sama bule? Saya sadar enggak akan bisa bersaing sama mereka.

Kalah pastur postur, kalah skill. Yang ada saya cuma dibego-begoin sama mereka. Teman-

teman yang hitungannya jago saja enggak bisa masuk ke lingkungan mereka. Apalagi saya

yang kalau disejajarin dengan bulu ketek mereka, lebih panjang bulu keteknya! Please,

jangan dibayangin.

Aktif main basket bareng di komunitas mahasiswa Indonesia di Colombus, Ohio,

membuat saya kenal banyak orang. Di antaranya yang menjadi sahabat baik saya ada Sherly

Humardani. Dia salah satu pemain basket terbaik yang dimiliki Indonesia di era 1990-an.

Sherly, yang mulai bermain basket sejak berumur tujuh tahun, berhasil membawa timnya,

CLS, merajai Kompetisi Bola Basket Wanita (Kobanita) enam kali beruntun (1996-2001).

Sherly juga jadi bagian Timnas Basket Putri Indonesia yang berhasil meraih medali

perunggu SEA Games 1997. Tuhan memang menggariskan takdir Sherly di dunia basket.

Sekarang, dia menjadi isteri dari Christoper Tanuwidjaja, pemilik klub CLS Knight Surabaya.

Karier sebagai entertainer yang hampir selalu bersinggungan dengan dunia

perbasketan Indonesia membuat saya juga kenal dengan banyak owner tim basket. Itop,

sapaan mesra saya untuk Christoper sang pemilik CLS, salah satunya. Saking baiknya

hubungan kami, tidak jarang kami bertemu terus ngobrol-ngobrol tentang banyak hal kalau

lagi ada waktu senggang. Tentunya obrolan kami tidak lepas dari dunia basket, mulai dari sisi

prestasi hingga bisnisnya. Di sela-sela perbincangan nan santai kayak di pantai itu, tiba-tiba

Itop bilang, “Klub basket A sama B mau dijual, tuh. Biasa, masalah finansial.”
Mendengar berita itu, lubang hidung saya langsung megap-megap! “Kayaknya lucu,

ya, kalo gue ngurus klub.” Bola mata saya berbinar bergantian memandangi Sherly dan Itop,

tidak sabar menunggu reaksi mereka.

“Ah, ngapain sih lo, Gie. Daripada beli klub basket, mending lo urus aja nih klub gue.

Gue aja udah pusing ngurusnya.” Saya terdiam mendengar pernyataan Itop.

Beberapa waktu kemudian, saya menghubungi Udjo Project Pop via telepon. Di

tengah perbincangan absurd menjelang subuh itu Udjo memberikan beberapa advice yang

menurut saya masuk akal. Kondisi saya yang bekerja di dunia entertainment membuat

“keinginan untuk memiliki klub basket” jadi tidak sesederhana itu.

Memiliki klub basket otomatis akan memosisikan diri saya di salah satu kutub,

sehingga aspek netralitas yang memang harus dimiliki orang seperti saya akan sangat

dipertanyakan. Belum lagi kalau terjadi konflik, jelas sangat tidak baik untuk karier saya.

Selain itu, banyaknya dana yang harus disediakan owner klub basket jadi PR yang belum

terjawab. “Duit dari mana?” Mengingat isu yang sering saya dengar bahwa mengurus klub

basket di Indonesia itu lebih banyak ruginya.

Obrolan yang mungkin awalnya terkesan cuma pengen-pengenannya si Augie doang

ini berubah jadi serius. Pasalnya, Persatuan Basket Indonesia (Perbasi) mengadakan

pertemuan dengan para pemilik klub basket di Indonesia. Pertemuan tersebut tidak lain dalam

rangka membahas persiapan timnas menghadapi SEA Games 2015. Itop ikut hadir dalam

pertemuan itu.

Hasan Gozali, Manajer Timnas Putri yang waktu itu sudah menjabat sejak 2011,

mempersilakan untuk munculnya nama baru. Hasan Gozali merupakan pemilik klub Tomang

Sakti Mighty Bees yang berganti nama jadi Tomang Sakti Merpati. Hasan Gozali juga teman

saya sejak kuliah dulu. Saat itu dia kuliah di San Francisco. Setelah Hasan Gozali
menyatakan mundur, awalnya pihak Perbasi menunjuk Itop sebagai penggantinya. Itop

menolak.

Itop bilang, “Enggak fair kalau saya jadi manajer timnas. Karena bisa terulang lagi

apa yang selama ini terjadi pada masa manajer-manajer sebelumnya, di mana akan masukin

pemain-pemain sendiri.”

Dari pernyataannya, saya melihat Itop yang sudah hampir 10 tahun berkecimpung di

dunia basket merasakan sendiri selama ini orang yang menjadi pengurus timnas selalu berasal

dari lingkungan klub. Kalau bukan pemilik, ya, enggak jauh dari manajer klub. Enggak ada

yang salah dengan hal ini karena siapa pun punya hak buat memimpin timnas. Hanya saja

jika kebetulan yang memimpin berasal dari sebuah klub, bukan enggak mungkin akan ada

“politik” atau kepentingan tertentu di dalam mengurus timnas.

Anggaplah bukan politik, tapi lebih ke emotional bonding antara pemilik klub dan

pemain di klubnya. Itop bilang sendiri ke saya, biasanya manajer atau pemilik klub yang juga

jadi manajer timnas sudah pasti ingin pemain-pemain dari klubnya bisa masuk timnas. Hal itu

enggak bisa dipmungkiri jika didasarkan pada kebersamaan antara pemain dan manajer di

dalam klub. Manajer percaya kepada pemainnya karena mereka telah berjuang bersama

sepanjang tahun di dalam klub. Begitu kira-kira Itop menjelaskan lebih jauh.

Konsep yang Itop sampaikan memang betul dan mendapat pengakuan dari peserta

rapat, tapi dalam kenyataannya susah untuk dijalani. Selain dari lingkungan klub, tidak

banyak orang yang mau berkorban secara sukarela mengeluarkan uang dan waktu untuk

mengurus timnas.

“Saya kenal dua kandidat yang sebenarnya tertarik untuk punya tim. Siapa tahu dua

orang ini bisa jadi kandidat bagus. Perbasi mau enggak ngasih kesempatan ke orang yang

bisa dibilang belum pernah terjun ke dunia basket?” Itop menawarkan solusi.
Perbasi kemudian menerima usulan Itop. Mereka meminta untuk dipertemukan

dengan kandidat tersebut. “Sebentar, ya, saya ngobrol sama orangnya dulu.” Tiba-tiba Itop

ngomong gitu, terus berjalan menjauh dari meja forum. Belum ada yang tahu siapa yang

dimaksud Itop dengan “orangnya” ini.

Ponsel saya bergetar. Saya lihat ternyata Itop yang menelepon. Saya angkat.

“Halo. Iya, Top?” Sapa saya, hangat.

“Halo, selamat siang dengan Augie Fantinus?”

“I, iya betul. Saya sendiri.” Kok formal gini, ya?

“Kami ingin menawarkan obat peninggi badan...”

Mata saya melotot. Jangan-jangan Itop yang selama ini komen di Instagram buat

nawarin produk serupa?! Enggak-enggak, bercanda. Serius banget, sih?!! Percakapan aslinya

kurang lebih gini:

“Halo, Gie?”

“Iya, Top?”

“Gie, lo kan dulu bilang pengen punya klub. Tapi kan lo bilang takut banyak musuh

juga, gak bagus buat profesi lo. Kalo pegang timnas mau enggak?”

“Wah serius, Top? Gue pengen ngobrol lebih banyak deh.”

Njir!!! Mendengar tawaran tersebut seketika membuat saya galau tingkat dewa!

Kaget, tertantang, bingung. Semua rasa itu campur aduk jadi satu. Di satu sisi ini kesempatan

untuk saya. Mimpi saya untuk mengurus tim basket benar-benar ada di depan mata. Berbicara

soal timnas, sudah tentu kekhawatiran akan adanya musuh seharusnya sirna. Ini timnas,
segenap bangsa Indonesia seharusnya mendukung. Tapi balik lagi, duit dari manaaaa??

Kondisi ini yang bikin saya galau terus rada bikin pengen mewek!

Obrolan dari telepon itu berlanjut ke tahap yang lebih serius. Saya dan Itop bertemu.

Itop kemudian menjelaskan nanti akan ada subsidi dari pemerintah. Selain itu, memang siapa

pun yang menjadi manajernya diharapkan untuk mencari sponsor dan sumber funding lain

agar perjalanan menuju SEA Games lancar.

Terlepas dari masalah dana, Itop mengatakan bahwa dia menawari saya menjadi

manajer timnas bukan karena percaya kepada saya. Namun,Tapi atas dasar ketidakpercayaan

pada dirinya sendiri. Itop bilang, jika sampai dia yang jadi manajer, bukan tidak mungkin

timnas berisi 50% persen pemain Surabaya Fever. Ini menyangkut idealisme yang tidak ingin

Itop langgar, dan saya sepakat dengan apa yang Itop katakan. Saya juga menganggap amanat

ini komitmen yang harus bisa jalankan, jika benar-benar diambil.

Mendengar penjelasan Itop membuat saya berpikir. Dalam logika sederhana saya, jika

menjadi manajer timnas, kayaknya bisa nih mengajukan sponsor ke setiap pemilik klub

mengingat posisi netral saya. Saya juga harus membuat tim secara objektif, semata atas

kemampuan pemain dan kebutuhan pelatih.

Saya merasa semakin tertantang. Mungkin ini kesempatan yang Tuhan berikan untuk

mewujudkan apa yang saya impikan. Mungkin juga ini ujian dari Tuhan atas seberapa besar

rasa cinta yang saya miliki, tidak hanya kepada basket tapi juga untuk Sang Merah Putih.

Kadang, kita memang harus jadi gila untuk menjadi besar. Nyatanya memang dibutuhkan

orang yang cukup gila buat jadi manajer klub basket. Mungkin saya tidak cukup gila, tapi

saya cinta basket. Saya menerima tawaran menjadi Manajer Timnas Basket Putri Indonesia

untuk SEA Games 2015!

*****

Anda mungkin juga menyukai