Prrriiiiittt!!!!
Tinggal tiga detik dan kita masih tertinggal setengah bola. Ini kesempatan!!! Degup
jantung saya semakin keras kencang berdebar. Suasana seperti ini tidak baik untuk kondisi
Masuk! Masuk! Masuk! Kalimat yang saya gumamkan dalam hati itu kian meluap
Masuk! Masuk! Masuk! Bibir saya tak kuasa untuk ikut melafalkannya.
“Apa, sih, Yang? Masuk?” suara Diana, temen tidur saya (baca: istri saya) menarik
Diana kembali terlelap, sementara saya masih terdiam menatap langit-langit kamar.
Bayangan di lapangan tadi benar-benar membekas nyata di benak saya. Saya melihat jam;
pukul 1 tengah malam. Saya terus menatap langit-langit kamar. Gelisah. Langit-langit kamar
berubah seolah jadi lapangan basket dengan kedua tim yang saling serang. Saya coba
memejam, berharap bisa tidur lagi. Bagus. Saya memang tak seolah melihat pertandingan
dari bench sekarang, tapi suara bola yang memantul dan decit khas sepatu basket terdengar
nyata di kuping saya. Saya buka kembali matamata kembali, sedikit memicing ke arah jam
Entah kesurupan setan apa, saya malah menyalakan ponsel. Saya masukkan kode
pembuka, lalu saya arahkan contact list ke huruf U. Ketemu, Udjo Project Pop. Call!
Jangan ganggu...
“Total, Jo, total! Loyalitas lo luar biasa ke Project Pop.” Hati saya mendadak takjub
“Djo, belom tidur lo?” tanya saya seolah enggak punya dosa.
“Djo, kayaknya kalo kita beli klub basket asyik kali yah?” saya antusias, bener-bener
“Anjirr... beli. Emang cendol?! Gie, lo stres, gila, atau sarap ya?” HahaHaha, si si
“Mmm...”
“Lo gila aja, Gie! Satu, duit dari mana? Yang kedua, ngurus klub basket itu lebih
banyak ruginya.”
*****
Apa duka paling dalam bagi seorang olahragawan? Bukan, jawabannya bukan kekalahan.
Menurut saya, jawabannya adalah tidak dimainkan dalam pertandingan. Tidak dimainkan
dalam satu pertandingan mungkin biasa, tapi kalau tidak dimainkan di semua pertandingan
meski tim sudah unggul jauh? Sakitnya tuh, di sini—nunjuk betis, eh salah, nunjuk dada.
Ngomong-ngomong, betis saya tuh gede banget. Jadi, itu sebabnya, saya suka malu kalau
Saya mungkin memang tidak terlalu berbakat dalam bidang basket. Tuhan tidak
memberikan karunia itu kepada saya. Tapi, Tuhan memberi karunia-Nya dalam bentuk lain.
Karunia itu berbentuk cinta yang teramat besar terhadap olahraga yang kalah populer
dibanding sepak bola di Indonesia, tapi jadi salah satu olahraga favorit, bahkan popularitas
pemain bintangnya bisa sebanding dengan artis Hollywood di Negeri Paman Sam sana.
Basket adalah cinta pertama saya meski dari SD sudah mengenal sepak bola.
Bandung, kota kelahiran saya 37 tahun lalu, adalah salah satu pusat atmosfer basket di
Indonesia. Gegap gempitanya samar-samar nyelip di kegaduhan para Bobotoh dengan Maung
Bandungnya. Luar biasa rasanya jika basket di Indonesia bisa punya fans fanatik se-edun
Bobotoh atau seloyal The Jack, atau klub-klub sepak bola lainnya. Tapi berbicara tentang
hobi, ya, sama saja berbicara tentang kekasih hati. Gak bisa asal pindah ke lain hati. Sadisss...
Bermula dari ajakan Jane a.k.a Ing-Ing, teman SMP yang Papa-Mamanya ngelatih
klub Rajawali Bandung, saya seolah menemukan kepingan hidup yang selama ini belum
terungkap saat ikut berlatih di klub tersebut. Mendengar bunyi jala yang terusik karena bola
meluncur dengan lembut menembus ring adalah sesuatu yang... ah, entahlah, saya tidak
Candu, basket serupa candu buat saya. Lagi, saya selalu ingin memantulkan bola lagi
ke lapangan. Sambil berlari, pura-pura akan melompat, atau dengan satu-dua gerakan tipuan
hingga lawan terkecoh, lalu diakhiri dengan sebuah tembakkan. Flusshhh!!! Lagi, saya selalu
ingin melakukannya lagi hingga dada terasa sesak karena kelelahan. Setelahnya, sSaya, baru
merasa puas.
Saya kemudian ingin menambah intensitas bermain yang awalnya dua kali seminggu
jadi lebih banyak lagi di klub Rajawali. Saya pun memutuskan ikut ekstrakurikuler basket di
SMP Aloysius, tempat saya sekolah waktu itu. Menyenangkan rasanya bisa semakin sering
berlatih. Saya sangat suka ketika sesi latihan dribbling, shooting, dan passing. Tapi Namun,
ketika masuk sesi latihan fisik, which is disuruh lari, saya mendadak pura-pura sakit!.
Kalimat, “Aduh, Coach... perut saya sakit,” jadi senjata andalan saya ketika sesi
latihan fisik akan dimulai. Saya enggak tahan disuruh lari turun-naik tangga penonton di
GOR Pajajaran atau lari keliling lapangan. Saat disuruh lari 400 meter, garis finish enggak
pernah kelihatan. Latihan fisik bagi saya sekilas seperti penyiksaan. Ngeri.
Kegetolan berlatih, minus latihan fisik tentunya, membuat saya masuk ke tim basket
klub Rajawali dan tim sekolah. Di tim sekolah, saya menjadi bagian generasi emas angkatan
97 SMA Aloysius. Julukan generasi emas ini bukan tanpa sebab. Karena berlatih secara
serius, selama karier basket saya dari SMP sampai lulus SMA, tim kami tak pernah
terkalahkan!. Ketika mengikuti turnamen, statistik lose kami nol dari babak penyisihan
sampai laga final. We are undefeated champions dalam semua turnamen yang diikuti.
Sayangnya, status sebagai tim tak terkalahkan itu bukan karena saya. Saya cuma jadi
pemanas bangku cadangan di tengah pemain-pemain bintang Aloysius yang kebetulan juga
pemain klub Rajawali dan jagoan di tim pelajar Kota Bandung dan Jawa Barat. Saya sangat-
sangat jarang dimainkan. Kata sangatnya dua kali, sengaja, biar kebayang bagaimana
Bahkan ketika tim sudah unggul dengan skor yang terpaut sangat jauh, saya kadang
tetap enggak dimainkan. Sampai di suatu pertandingan, rasa gatal untuk ikut bermain enggak
bisa saya tahan lagi. Saya bangkit dari bangku yang jika diolesi margarin mungkin bisa untuk
menggoreng telur karena saking panasnya itu. Saya melakukan pemanasan tepat di depan
muka Coach Samuel, pelatih tim di sekolah yang sekarang sudah bahagia di surga.
Coach Samuel hanya melongo melihat saya melakukan pemanasan. Mungkin dalam
hatinya beliau berkata, “Ngapain nih, bocah?” Saya tidak peduli, saya terus melakukan
pemanasan. Lalu saya berjalan menuju table dan mengisyaratkan untuk melakukan
pergantian pemain. Melihat tingkah saya semakin di luar nalarnya, Coach Samuel berteriak,
Ah, lama! Saya berjalan maju mendekati line, menunjuk ke salah seorang teman yang
sedang bermain entah siapa saya asal tunjuk—terus mengatakan dia diganti. Saya masuk ke
lapangan. Saya bermain. Dua menit kemudian, pertandingan berakhir. Terus saya dimarahi.
Hehehe...
Saya kembali menduduki bangku pesakitan yang sudah akrab menemani bertahun-
cadangan. Saya tidak tahu kapan saya akan dimainkan. Bisa bermain bareng teman-teman
dalam sebuah pertandingan rasanya hanya jadi mimpi bagi saya. Akhirnya saya hanya bisa
memandangi pelatih, berharap dia bisa menangkap gelombang telepati yang saya sampaikan,
Jawabannya hanya Tuhan dan pelatih yang tahu kapan saya akan bermain. Begitu
*****
Selepas SMA, saya berangkat ke Amerika untuk jadi pemain National Basketball Association
(NBA). Serius? Becanda lah! Di klub dan sekolah saja saya cuma jadi cadangan, iya keleus
mau jadi pemain NBA. Saya berangkat ke Amerika untuk melanjutkan studi di Ohio State
Saya mengambil jurusan ekonomi, tapi kalau ditanya apa kegiatan sehari-hari,
jawabannya ya nonton dan main basket. Makanya kalau ada teman-teman di Indonesia yang
bertanya saya di Ohio kuliah ambil jurusan apa? Saya selalu menjawab kuliah jurusan basket.
:D
Paling sering, sih, nonton NCAA1. Tidak jarang juga saya bolos kuliah demi bisa
1
NCAA adalah sebuah asosiasi sukarela dari sekitar 1.200 institusi, kelompok, organisasi, dan badan-badan
individual yang mengurus program-program olahraga di perguruan tinggi dan universitas Indonesia. Semacam
liga basket tingkat mahasiswa di Amrik sana.
menyaksikan superstar dunia basket beraksi. Kalau tidak ada pertandingan, saya bermain
Kok, enggak main sama bule? Saya sadar enggak akan bisa bersaing sama mereka.
Kalah pastur postur, kalah skill. Yang ada saya cuma dibego-begoin sama mereka. Teman-
teman yang hitungannya jago saja enggak bisa masuk ke lingkungan mereka. Apalagi saya
yang kalau disejajarin dengan bulu ketek mereka, lebih panjang bulu keteknya! Please,
jangan dibayangin.
membuat saya kenal banyak orang. Di antaranya yang menjadi sahabat baik saya ada Sherly
Humardani. Dia salah satu pemain basket terbaik yang dimiliki Indonesia di era 1990-an.
Sherly, yang mulai bermain basket sejak berumur tujuh tahun, berhasil membawa timnya,
CLS, merajai Kompetisi Bola Basket Wanita (Kobanita) enam kali beruntun (1996-2001).
Sherly juga jadi bagian Timnas Basket Putri Indonesia yang berhasil meraih medali
perunggu SEA Games 1997. Tuhan memang menggariskan takdir Sherly di dunia basket.
Sekarang, dia menjadi isteri dari Christoper Tanuwidjaja, pemilik klub CLS Knight Surabaya.
perbasketan Indonesia membuat saya juga kenal dengan banyak owner tim basket. Itop,
sapaan mesra saya untuk Christoper sang pemilik CLS, salah satunya. Saking baiknya
hubungan kami, tidak jarang kami bertemu terus ngobrol-ngobrol tentang banyak hal kalau
lagi ada waktu senggang. Tentunya obrolan kami tidak lepas dari dunia basket, mulai dari sisi
prestasi hingga bisnisnya. Di sela-sela perbincangan nan santai kayak di pantai itu, tiba-tiba
Itop bilang, “Klub basket A sama B mau dijual, tuh. Biasa, masalah finansial.”
Mendengar berita itu, lubang hidung saya langsung megap-megap! “Kayaknya lucu,
ya, kalo gue ngurus klub.” Bola mata saya berbinar bergantian memandangi Sherly dan Itop,
“Ah, ngapain sih lo, Gie. Daripada beli klub basket, mending lo urus aja nih klub gue.
Gue aja udah pusing ngurusnya.” Saya terdiam mendengar pernyataan Itop.
Beberapa waktu kemudian, saya menghubungi Udjo Project Pop via telepon. Di
tengah perbincangan absurd menjelang subuh itu Udjo memberikan beberapa advice yang
menurut saya masuk akal. Kondisi saya yang bekerja di dunia entertainment membuat
Memiliki klub basket otomatis akan memosisikan diri saya di salah satu kutub,
sehingga aspek netralitas yang memang harus dimiliki orang seperti saya akan sangat
dipertanyakan. Belum lagi kalau terjadi konflik, jelas sangat tidak baik untuk karier saya.
Selain itu, banyaknya dana yang harus disediakan owner klub basket jadi PR yang belum
terjawab. “Duit dari mana?” Mengingat isu yang sering saya dengar bahwa mengurus klub
ini berubah jadi serius. Pasalnya, Persatuan Basket Indonesia (Perbasi) mengadakan
pertemuan dengan para pemilik klub basket di Indonesia. Pertemuan tersebut tidak lain dalam
rangka membahas persiapan timnas menghadapi SEA Games 2015. Itop ikut hadir dalam
pertemuan itu.
Hasan Gozali, Manajer Timnas Putri yang waktu itu sudah menjabat sejak 2011,
mempersilakan untuk munculnya nama baru. Hasan Gozali merupakan pemilik klub Tomang
Sakti Mighty Bees yang berganti nama jadi Tomang Sakti Merpati. Hasan Gozali juga teman
saya sejak kuliah dulu. Saat itu dia kuliah di San Francisco. Setelah Hasan Gozali
menyatakan mundur, awalnya pihak Perbasi menunjuk Itop sebagai penggantinya. Itop
menolak.
Itop bilang, “Enggak fair kalau saya jadi manajer timnas. Karena bisa terulang lagi
apa yang selama ini terjadi pada masa manajer-manajer sebelumnya, di mana akan masukin
pemain-pemain sendiri.”
Dari pernyataannya, saya melihat Itop yang sudah hampir 10 tahun berkecimpung di
dunia basket merasakan sendiri selama ini orang yang menjadi pengurus timnas selalu berasal
dari lingkungan klub. Kalau bukan pemilik, ya, enggak jauh dari manajer klub. Enggak ada
yang salah dengan hal ini karena siapa pun punya hak buat memimpin timnas. Hanya saja
jika kebetulan yang memimpin berasal dari sebuah klub, bukan enggak mungkin akan ada
Anggaplah bukan politik, tapi lebih ke emotional bonding antara pemilik klub dan
pemain di klubnya. Itop bilang sendiri ke saya, biasanya manajer atau pemilik klub yang juga
jadi manajer timnas sudah pasti ingin pemain-pemain dari klubnya bisa masuk timnas. Hal itu
enggak bisa dipmungkiri jika didasarkan pada kebersamaan antara pemain dan manajer di
dalam klub. Manajer percaya kepada pemainnya karena mereka telah berjuang bersama
sepanjang tahun di dalam klub. Begitu kira-kira Itop menjelaskan lebih jauh.
Konsep yang Itop sampaikan memang betul dan mendapat pengakuan dari peserta
rapat, tapi dalam kenyataannya susah untuk dijalani. Selain dari lingkungan klub, tidak
banyak orang yang mau berkorban secara sukarela mengeluarkan uang dan waktu untuk
mengurus timnas.
“Saya kenal dua kandidat yang sebenarnya tertarik untuk punya tim. Siapa tahu dua
orang ini bisa jadi kandidat bagus. Perbasi mau enggak ngasih kesempatan ke orang yang
bisa dibilang belum pernah terjun ke dunia basket?” Itop menawarkan solusi.
Perbasi kemudian menerima usulan Itop. Mereka meminta untuk dipertemukan
dengan kandidat tersebut. “Sebentar, ya, saya ngobrol sama orangnya dulu.” Tiba-tiba Itop
ngomong gitu, terus berjalan menjauh dari meja forum. Belum ada yang tahu siapa yang
Ponsel saya bergetar. Saya lihat ternyata Itop yang menelepon. Saya angkat.
Mata saya melotot. Jangan-jangan Itop yang selama ini komen di Instagram buat
nawarin produk serupa?! Enggak-enggak, bercanda. Serius banget, sih?!! Percakapan aslinya
“Halo, Gie?”
“Iya, Top?”
“Gie, lo kan dulu bilang pengen punya klub. Tapi kan lo bilang takut banyak musuh
juga, gak bagus buat profesi lo. Kalo pegang timnas mau enggak?”
Njir!!! Mendengar tawaran tersebut seketika membuat saya galau tingkat dewa!
Kaget, tertantang, bingung. Semua rasa itu campur aduk jadi satu. Di satu sisi ini kesempatan
untuk saya. Mimpi saya untuk mengurus tim basket benar-benar ada di depan mata. Berbicara
soal timnas, sudah tentu kekhawatiran akan adanya musuh seharusnya sirna. Ini timnas,
segenap bangsa Indonesia seharusnya mendukung. Tapi balik lagi, duit dari manaaaa??
Kondisi ini yang bikin saya galau terus rada bikin pengen mewek!
Obrolan dari telepon itu berlanjut ke tahap yang lebih serius. Saya dan Itop bertemu.
Itop kemudian menjelaskan nanti akan ada subsidi dari pemerintah. Selain itu, memang siapa
pun yang menjadi manajernya diharapkan untuk mencari sponsor dan sumber funding lain
Terlepas dari masalah dana, Itop mengatakan bahwa dia menawari saya menjadi
manajer timnas bukan karena percaya kepada saya. Namun,Tapi atas dasar ketidakpercayaan
pada dirinya sendiri. Itop bilang, jika sampai dia yang jadi manajer, bukan tidak mungkin
timnas berisi 50% persen pemain Surabaya Fever. Ini menyangkut idealisme yang tidak ingin
Itop langgar, dan saya sepakat dengan apa yang Itop katakan. Saya juga menganggap amanat
Mendengar penjelasan Itop membuat saya berpikir. Dalam logika sederhana saya, jika
menjadi manajer timnas, kayaknya bisa nih mengajukan sponsor ke setiap pemilik klub
mengingat posisi netral saya. Saya juga harus membuat tim secara objektif, semata atas
Saya merasa semakin tertantang. Mungkin ini kesempatan yang Tuhan berikan untuk
mewujudkan apa yang saya impikan. Mungkin juga ini ujian dari Tuhan atas seberapa besar
rasa cinta yang saya miliki, tidak hanya kepada basket tapi juga untuk Sang Merah Putih.
Kadang, kita memang harus jadi gila untuk menjadi besar. Nyatanya memang dibutuhkan
orang yang cukup gila buat jadi manajer klub basket. Mungkin saya tidak cukup gila, tapi
saya cinta basket. Saya menerima tawaran menjadi Manajer Timnas Basket Putri Indonesia
*****