Anda di halaman 1dari 5

Menyerah Bukanlah Sifatku!

Sudah empat tahun lamanya aku berpisah dengan keluarga kecilku, sejak aku naik kelas
enam SD hingga aku menyelesaikan sekolahku di bangku SMP. Dulu memang aku yang
memilih untuk bersekolah di kampung, namun lama-lama aku merasa jenuh. Terlebih
lagi rasa rindu ini menggebu-gebu dalam dadaku ingin berkumpul bersama keluarga
kecilku. Sedikit pilu terasa dalam hati tapi ini sudah waktunya, hari itu aku berpamitan
dengan nenek, kakek, paman, bibi dan saudara-saudariku di kampung.

Kurang lebih tujuh jam lamanya diatas mobil travel, badanku sangat lelah sekali
melewati jalan yang berliku-liku. Akhirnya sampai juga “Assalamu’alaikum” aku
menenteng tasku sambil berdiri didepan pintu. “Wa’alaikumussalam, masyaAllah
anakku sudah sampai” kata ibu sambil membuka pintu. Lalu kupeluk ibu dengan penuh
rasa rindu, aku cari ayahku lalu kupeluk juga, aku cari adik-adikku lalu kupeluk dan aku
bertanya, “masih ingat sama abang?” hahaha, mereka menyambutku dengan gembira
dan mengajakku untuk bermain. Hilang sudah rasa penatku seketika.

Setelah menikmati liburan yang cukup panjang, aku mendaftarkan diriku ke SMA yang
letaknya kurang lebih hanya lima belas menit dari rumahku jika menggunakan sepeda
motor. Alhamdulillah diriku diterima, aku sangat bersyukur sekali di terima di sekolah
ini karena tidak perlu membayar uang bulanan dan buku belajar diberikan secara cuma-
cuma.

Angin sepoi-sepoi dan pepohonan seolah-olah menyambutku pada hari itu, sejuk
rasanya seperti di musim semi. Ini adalah hari pertama aku masuk sekolah di bangku
SMA. Saat di dalam kelas aku diberi secarik kertas formulir minat dan bakat untuk diisi
dan ditanda tangani oleh orang tua. Cukup menarik dan segera aku simpan ke dalam tas.

Aku pun mendiskusikan hal itu kepada ayah dan ibu. “ayah, adek ikut ekstrakulikuler
sepak bola aja ya?” kataku dengan semangat. “bahaya nak, dulu ada kawan ayah
kakinya patah gara-gara main bola. Selain itu ada apa lagi?” katanya sambil menyeduh
secangkir kopi. Aku rasa ayahku khawatir hal itu terjadi padaku, padahal tidak
semuanya begitu. Setelah aku bacakan semua pilihannya, akhirnya aku memilih
ekstrakulikuler bola basket dan ayah memberiku izin “kalau basket gak apa, biar tambah
tinggi adek” katanya sambil tersenyum. Jujur aku belum berbakat dalam olahraga bola

Page | 1
basket, tapi dulu waktu SMP aku pernah belajar di sekolah dan lumayan sering masukin
bola ke ring dengan instrumen feeling. Sepertinya bakalan seru, aku sudah tidak sabar
untuk berlatih.

Pada pekan ke empat, barulah aku bisa datang latihan karena ada beberapa halangan
yang membuatku tidak dapat hadir. Ini hari pertamaku latihan basket, ternyata sangat
melelahkan. Badanku lemas tapi aku tak akan menyerah, aku memaksakan diriku pada
waktu itu sampai pandanganku semuanya menyilau. Aku tetap berlari, lalu ku katakan
pada pelatihku “permisi ke wc coach” sambil terus berlari menuju wc. Setibanya di wc
aku menutup pintu dan kupejamkan mataku sambil bersandar ke dinding wc dengan
nafas terengah-engah. Sungguh aku merasa malu jika aku katakan yang sebenarnya,
tidak lama kemudian aku keluar dari wc menuju lapangan dan melanjutkan latihan.
Setelah latihan coach memberi pengarahan, motivasi dan memberi tahu bahwa minggu
depan akan ada sparing lawan sekolah lain. Setelah itu aku saling berkenalan satu sama
lain, ternyata mereka juga baru bermain basket.

Sejak itu aku sering nonton video bola basket di internet ” Wah , aku harus bisa hebat
seperti mereka” terbesit dibenakku. Aku sempat mencoba meniru gerakan yang ada di
video saat latihan dengan kacau, gerakanku sangat kaku dan bola basket tak terkontrol
dari tanganku sehingga sering terlepas, ditambah lagi permukaan lapangan yang tidak
rata karena terdiri dari susunan paving block yang sudah lama. Lalu pelatihku
menegurku “jangan yang aneh-aneh, yang dasar saja belum dikuasai”. “baik coach”
kataku. Coach bilang “latihan disekolah saja tidak cukup, apalagi kondisi lapangan kita
yang tidak rata. Kalau ada waktu pergilah ke unri, disana banyak orang hebat bermain
basket”. Entahlah, pikiranku waktu itu aku harus jadi hebat dan jadi yang terbaik.

Sekolahku melakukan sparing dengan sekolah lain, aku dan timku optimis menang.
Ternyata kalah, dari gaya bermainnya mereka jauh lebih berpengalaman. Ini yang
pertama, kami down dan pelatih bilang “sparing ini untuk evaluasi, kalian harus latihan
lebih giat lagi, dan jangan ada yang tidak datang. Oh ya, besok kita seleksi untuk ikut
turnamen. Tunjukkan diturnamen nanti kalau kita bisa!” tiba-tiba semuanya semangat.

“shoot dek, berani aja”. Ya, mulai saat itu setiap sore aku dan tim basketku bermain
basket di unri ketika tidak ada jadwal latihan di sekolah. Dengan percaya diri aku

Page | 2
lemparkan bola ke ring dan ternyata masuk. “woooo”, semua nya bersorak. Bahagia dan
rasanya aku adalah pemain bintang saat itu. Aku banyak bertanya kepada pemain dan
wasit yang main disana. Aku dan timku diberi masukan oleh temannya pelatihku “
kau,kalian juga, latihan skiping sehari 1000 kali, drible 1000 kali kanan kiri, cross over,
behind the back, lay up kanan dan kiri, shooting, jangan lihat bola”. “Banyak kali bang”
sambut temanku. “kalau gak gitu-gitu ajalah kau” balas abang tadi.

Aku mengusahakan setiap harinya untuk melakukan latihan, namun tak selalu sebanyak
yang di sarankan oleh temannya pelatiku. Aku merasakan perbedaannya, aku mulai
lincah dan dapat mengontrol bola. Ditambah dengan terbiasa main sore bersama orang-
orang yang hebat, aku pun mendapatkan sedikit mental keberanian. Aku harap timku
juga begitu.

Pertandingan demi pertandingan telah kami lalui, namun kemenangan tak kunjung kami
dapatkan. Aku terus berusaha untuk menyemangati timku, terlebih lagi ada yang
kecewa karena tidak terpilih dalam seleksi. Setiap kekalahan yang kami dapatkan adalah
pembelajaran. Aku melihat ada air yang menetes dari mata mereka, ada yang merunduk,
namun aku hanya diam.

Mulai hari itu aku sering ditegur oleh ibu, ayah dan adikku. “basket ke basket juga lagi,
lihat badan tu ceking, olahraga sering, makan ndak teratur, menang ndak juga” kata ibu
sambil masak. Hampir setiap hari aku mendengar kata-kata itu, terutama saat aku
hendak pergi latihan dan sepulang latihan. Rasanya semangat mulai turun, namun
menyerah bukanlah sifatku. Alhamdulillah aku bersyukur nilai akademisku di sekolah
masih bagus dan selalu masuk dalam peringkat tiga besar. Sehingga ayah dan ibu masih
memberiku izin untuk bermain bola basket.

Rekan timku mulai jarang datang latihan, sering telat dan terlalu banyak tertawa saat
latihan. Sementara pertandingan yang besar sudah didepan mata, pelatih pun
mengingatkan agar segera mengumpulkan persyaratan dan memberikan amanah itu
kepadaku. Lama aku menunggu, waktu terus berlalu, hanya sedikit yang mengumpulkan
kepadaku. Padahal sudah sering aku ingatkan, lalu aku berinisiatif menjemputnya ke
kelas mereka masing-masing dengan berkeliling. Hmm “lupa aku, besok ya” kata itu
yang selalu aku dengar dari masing-masing mereka.

Page | 3
Aku bingung dan bertanya pada diriku sendiri, sebenarnya siapa yang akan bertanding.
Apakah aku atau kita, kenapa seperti aku yang butuh. Kesal, marah, kecewa semua
bersatu rasanya menghancurkan semangatku. Namun menyerah bukanlah sifatku, aku
akan selesaikan semua itu tanpa meluapkannya pada mereka.

Ini merupakan tanggup jawab yang besar, sekolah sudah mengeluarkan dana cukup
banyak untuk pertandingan ini. Semuanya berharap kami menang, dan itu hari
terakhirku bertanding membawa nama sekolah. Namun aku merasakan ada rasa pesimis
yang dipendam oleh rekan timku atau mungkin aku yang terlalu optimis. Kami
mendapati lawan yang merupakan juara bertahan, terbaik, terfavorit dan aku sama sekali
tidak takut.

Jika dibandingkan dengan sekolahku, sekolah mereka sangat maju. Fasilitas latihan
mereka sangat lengkap, sampai masing-masing dari mereka dibelikan sepatu oleh pihak
sekolah. Untuk latihan fisiknya saja juga ada dilaksanakan di tempat fitnes, kerenlah
pokoknya. Tapi wajar saja sih, mereka membayar uang bulanan yang cukup besar di
sekolah itu. Jika dibandingkan kualitas pemain, pemain mereka semuanya disaring dari
pemain-pemain basket berpengalaman sejak SMP dan ada juga yang dari kecil, tapi aku
tidak peduli. Walaupun kami semua rata-rata baru mengenal basket di bangku SMA dan
dengan fasilitas seadanya, kami pasti bisa mengalahkan mereka. I will do my best!.

“prittt”, wasit meniupkan peluit. Aku berusaha mengambil alih permainan, sekarang
bola di tanganku, aku passing ke temanku, dia melakukan shoot tapi tidak masuk, center
ku melakukan rebound namun tidak berhasil, dia terkunci oleh dua pemain lawan yang
sedang defense. Sekarang bola dipelukan pemain lawan, mereka melakukan fastbreak,
sialnya ring kami berhasil ditembus. Aku tidak terima, aku membawa bola dengan ego
tanpa memberikannya kepada rekan timku dengan cepat dan akhirnya aku menembus
ring mereka lalu penonton pun bersorak sekuat-kuatnya. Setelah itu mereka benar-benar
menjagaku dengan ketat dan mengunci permainanku.

Quarter pertama, quarter kedua, dan quarter ketiga berlalu. Tinggal quarter keempat,
dan ini yang terakhir. Aku dipanggil oleh pelatihku ketepi lapangan, dia memegang
bajuku, berusaha menenangkanku, meyakinkanku, bahwa masih ada harapan. Aku
berusaha untuk tetap optimis dan kembali kelapangan. Seolah-olah aku mendengar

Page | 4
detak jantungku, aku melihat dengan tenang teman-teman dan guruku di bangku
penonton. Huff, cukup berat bagiku jika mengecewakan mereka dan juga cukup berat
bagiku untuk mengembalikan keadaan. Aku tahu quarter terakhir ini mereka akan lebih
menekan, dan aku berjuang dengan seluruh kemampuanku.

“pritt, pritt, pritt” wasit meniup peluit waktu telah habis. Aku tak bisa berkata banyak,
aku yang terburuk diantara timku. Semuanya tertunduk, pelatih memberi pengarahan
kepada kami dan berkata jadikan ini sebagai evaluasi. Temanku memanggilku namun
aku hanya diam sambil menahan kesedihanku. Setelah pengarahan selesai, kami pun
pulang. Aku meminta temanku yang mengendarai motorku, ku tutup kaca helmku,
kutumpahkan semua air mata yang membendung pada malam itu.

Keesokan harinya aku pergi sekolah dengan rasa malu dan tertunduk. Saat jam istirahat
tiba, aku berjalan ke gazebo ruang terbuka hijau sekolah tempat biasanya berkumpul
dan bercerita. Sembari berjalan teman-temanku menghampiriku dan menyemangatiku,
setibanya di gazebo ternyata rekan timku sudah berkumpul dan mereka juga
menyemangatiku. Semenjak itu mereka bukanlah rekan timku lagi, tetapi mereka adalah
sahabatku. Kami pun bernyanyi sekeras-kerasnya sampai yang mendengarkan pun ikut
bernyanyi.

Sahabatku adalah pemenang, mereka tidak pernah menyerah untuk selalu menjadi yang
terbaik. Aku sadar kami terbatas, tapi kami tidak pernah putus asa dengan minimnya
fasilitas. Aku tahu kami bukanlah pemain yang luar biasa, tapi kami selalu ada untuk
mengisi kekurangan satu sama lainnya. Aku merasa bersyukur dan mengambil hikmah
dibalik semua ini, setiap kejadian yang aku alami membuat aku jadi belajar banyak hal
bahwa tidak ada yang sia-sia. Jika aku mendapatkan apa yang aku inginkan maka aku
bersyukur, jika tidak maka aku bersabar.

-Karya Jumadino Anperta Rindy

Page | 5

Anda mungkin juga menyukai