Anda di halaman 1dari 4

Nasionalisme - Narasi

Smash Ku Untuk Ibu Pertiwi


Cerpen Karangan: Wisnu Wijayandaru

Peluit Pak Karta yang terdengar begitu keras membuat kami semua berlari begitu kencang
mengelilingi lapangan bulu tangkis yang berjajar sebanyak sepuluh buah. Beliau adalah pelatihku di
klub bulu tangkis Indomaju. Begitulah hari-hari yang aku lewati bersama teman-teman satu klubku
untuk menjadi seorang pemain tim nasional bulu tangkis Indonesia. Di sebuah pusat pelatihan bulu
tangkis itulah aku sedikit demi sedikit menata masa depan. Bermodalkan raket, sepatu, dan semangat
yang bergelora itu aku tak mudah menyerah. Tak peduli orang mau bilang apa tentangku, tapi
tekadku tak akan pernah hilang semudah itu. Sangat ingin suatu saat nanti tertulis nama Indonesia di
punggung baju bulu tangkisku dan merah putih terjahit tepat di dada bagian kanan sebagai semangat
juangku.

Tak ada seorang pun yang tidak berjuang dapat meraih apa yang dia inginkan. Kata-kata itulah yang
selalu aku tanamkan selama ini di dalam hatiku untuk dapat meraih impianku. Selalu terucap saat aku
sedang berlatih di GOR Indomaju yang menjadi markas klub Indomaju. Napas terengah-engah usai
latihan selalu aku rasakan, namun tak sebanding dengan apa yang akan aku dapatkan nanti. Biarlah
aku sengsara terlebih dahulu agar hidup yang aku lalui berakhir bahagia. Jam bulat putih besar yang
menempel di dinding GOR sudah menunjukkan pukul 10.00 malam, saatnya untukku kembali ke
rumah dan melepas segala lelah yang aku rasakan. Aku langsung naik ke lantai dua dan masuk ke
kamar yang dipenuhi oleh poster Taufik Hidayat di dinding. Ku taruh tas raket merah bertuliskan
Yonex di pojok kamar dan aku langsung turun ke lantai satu untuk mandi air hangat yang sudah
disiapkan oleh Ibuku.

Setiap kali aku berada di dalam kamar mandi, aku selalu termenung membayangkan diriku menjadi
juara dunia bulu tangkis. Terkadang Ibuku mengetuk pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam
karena aku terlalu lama termenung. Setelah kelelahan yang aku rasakan usai berlatih hilang, aku
kembali ke kamar. Hari yang semakin malam mulai terasa, ku setting jam wekerku tepat pukul 04.00
pagi agar aku bisa berlatih dengan udara pagi yang masih segar. Di kesunyian malam, aku terbangun
dan menyalakan lampu kamarku. Aku melihat jarum jam weker yang masih menunjukkan pukul 01.00
dini hari. Aku mendengar Ibu dan Ayah berbincang di ruang tengah, ruangan yang tepat berada di
depan kamarku. Aku pun mematikan lagi lampu kamarku dan tenang mendengarkan perbincangan
Ayah dan Ibu di gelapnya malam.

“Ayah tahu kan, kalau keadaan ekonomi keluarga kita tiga bulan terakhir ini sedang mengalami
penurunan. Ini semua karena Ayah menginginkan Wisnu menjadi juara dunia bulu tangkis. Biaya
hidup yang kita miliki sebagian besar digunakan untuk membiayai latihan dan peralatan bulu tangkis.
Semua itu sia-sia di negara kita ini. Jika dia telah meraih juara dunia lalu pensiun dari dunia bulu
tangkis, paling-paling dia nanti hanya menjadi tukang becak. Negara kita tidak mau menghargai
pejuang yang telah mengharumkan nama bangsa ini,” Ibu mengawali pembicaraan.

“Masa depan seorang anak tidak ada yang bisa mengetahuinya. Bahkan oleh Ibunya sendiri yang
melahirkannya. Masa depan seseorang hanya diketahui oleh Allah Swt. Yang sudah dilakukan biarlah
berlanjut, memang apa salahnya anak kita berusaha untuk mencapai impiannya? Sudah cukup
perbincangan malam ini, tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Mari kita tidur, ini sudah larut,” Ayah
menjawab dengan suara yang lembut dan segera masuk ke kamar.

Mendengarkan pembicaraan orangtuaku itu, hatiku merasa berat untuk melanjutkan karir bulu tangkis
yang aku jalani selama ini. Ku minum air mineral yang berada tepat di atas bantalku untuk
menenangkan pikiran. Jam weker berdering dengan begitu keras, tanpa ku sadari aku tidak
mengistirahatkan tubuhku ini semalam suntuk. Aku bangkit dari tempat tidur, namun aku urungkan
niatku untuk berlatih. Aku segera ke kamar mandi dan berwudu untuk melaksanakan salat subuh. Di
ujung doaku, aku memohon agar diberikan petunjuk dan kemudahan oleh Allah Swt.
“Ya Allah, apakah yang aku lakukan selama ini hanyalah sia-sia? Haruskah aku menjatuhkan impianku
begitu saja? Mohon berilah hamba-Mu ini petunjuk dan kemudahan,” dengan air mata mengalir di pipi
aku berdoa.

Fajar mulai menjelang, saatnya untukku bersiap dan berangkat ke sekolah yang jaraknya sekitar 5
kilometer dari rumah. Tepat pukul 07.00 pagi jam pelajaran dimulai, awalnya aku sangat antusias
mengikuti pelajaran matematika yang disampaikan oleh Pak Tata, namun akhirnya aku pun tertidur
karena lelah. Pak Tata memergoki aku sedang tidur dengan enaknya di kelas dan melemparkan
sebuah penghapus papan tulis tepat mengenai kepalaku. Amarah Pak Tata pun tak mampu
dibendung.
“Wisnu! Siapa yang menyuruhmu tidur saat pelajaranku berlangsung?! Sekarang kamu keluar dan
hormat kepada bendera sampai jam pelajaranku selesai,” Pak Tata marah besar padaku.

Aku beranjak ke luar dari kelas dan menuju ke lapangan untuk melaksanakan hukuman yang aku
terima. Dengan menghadap sang merah putih aku memutuskan untuk berhenti bermain bulu tangkis
dan konsentrasi pada prestasi akademisku. Itulah yang aku putuskan setelah dimarahi oleh Pak Tata.
Siang mulai menampakkan diri, jam menunjukkan pukul 02.00 siang dan seluruh jam pelajaran telah
usai. Kini saatnya untuk pulang dan aku ingin membicarakan apa yang aku pikirkan kepada Ayah dan
Ibu.

Sesampainya di rumah, aku meminta Ayah dan Ibu duduk di kursi rotan tua yang ada di ruang
tengah.
“Aku ingin menjelaskan sesuatu kepada Ayah dan Ibu. Setelah aku menimbang dan akhirnya aku
mendapat satu keputusan bahwa aku ingin berhenti bermain bulu tangkis. Aku tidak mau
memberitahukan alasannya. Tetapi, hari ini adalah hari terakhirku untuk berlatih bulu tangkis,”
dengan berat aku menyampaikan kalimat itu.
“Apa kamu yakin mengucapkan kalimat tersebut? Jika kamu telah memutuskan, Ayah tidak mampu
menghalangimu. Namun Ayah hanya akan mengingatkan, jangan sampai kamu menyesal dengan
keputusan yang telah kamu buat ini,” Ayah merelakanku untuk berhenti bermain bulu tangkis.

Setelah perbincangan yang memilukan itu, aku pamit dan berangkat latihan bulu tangkis untuk yang
terakhir kalinya. Di GOR Indomaju, kami semua diminta Pak Karta melakukan pertandingan, namun
hanya latihan. Jarang sekali Pak Karta mau melakukan pertandingan latihan, tetapi berbeda dengan
hari ini. Dengan bersusah payah, aku berhasil memenangkan latihan tersebut dengan mengalahkan
temanku yang sangat kuat, yaitu Bintang. Setelah semua pertandingan usai, seseorang datang
dengan memakai jaket bertuliskan Indonesia pada bagian punggungnya. Kami semua tidak mengenal
beliau. Beliau memanggilku dan menawarkan hal yang sangat menarik.

“Saya datang kemari tidak sia-sia, karena saya berhasil menemukan seseorang untuk bergabung ke
pelatnas dan juga mendapat beasiswa bulu tangkis. Apakah kamu tertarik dengan tawaran saya?
Ingat Korea Open 2013 sebentar lagi dan negara ini membutuhkan kamu, maka siapkan dirimu,” kata
beliau yang ternyata adalah pencari bakat dari pelatnas.
“Tentu saja saya menerima tawaran tersebut, Pak,” dengan rasa gembira yang meledak aku
menjawab.
Baru kali ini selesai berlatih aku tidak merasa letih, mungkin karena kabar yang sangat
menggembirakan itu datang menghampiri. Saatnya untuk pulang dan memberitahu orangtuaku
dengan kabar yang baru saja aku terima. Aku meminta Ayah dan Ibu duduk di kursi rotan tua untuk
yang kedua kalinya.

“Sepertinya aku mengurungkan niatku untuk berhenti di dunia bulu tangkis karena aku dipanggil
masuk ke pelatnas dan aku juga mendapatkan beasiswa bulu tangkis. Jadi, ekonomi keluarga kita
tidak akan terasa terbebani. Apakah Ayah dan Ibu memperbolehkan aku bergabung dengan pelatnas
dan berangkat ke Jakarta minggu depan?” dengan nada gembira aku memohon restu kepada Ayah
dan Ibu.
“Tentu saja Ayah memperbolehkan kamu bergabung, itu adalah satu langkah lebih dekat untuk
menggapai impian yang kamu inginkan. Kamu harus bersyukur karena Allah Swt telah memberikan
kemudahan,” dengan senyum tersirat Ayah menjawab.
“Ibu hanya ingin kamu mendapat yang terbaik, jika ini yang terbaik untuk kamu, maka Ibu setuju,”
dengan terharu Ibu menyetujui.
Rasanya aku ingin menangis melihat keharuan Ibu. Dengan spontan aku memeluknya dan Ibu pun
menangis. Aku tak mampu melihat Ibuku menangis, air mataku pun ikut membasahi pipi.

Satu minggu kemudian, aku berangkat ke Jakarta tanpa seorang pun yang mendampingi. Berangkat
dengan tekad bulat yang ada dalam diriku. Saat aku di Jakarta, terkadang aku rindu dengan Ayah dan
Ibu. Tapi aku yakin doa mereka pasti mengiringi perjuanganku. Enam bulan berlatih tanpa pulang ke
kampung halaman, kini saatnya aku membuktikan bahwa diriku yang terbaik. Korea Open 2013
digelar di Jeonju, Korea Selatan. Aku menelepon orangtuaku bahwa aku kini sedang berada di Korea
Selatan. Aku ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa dan tak sekadar omong belaka. Kini Indonesia
telah tertulis di punggung bajuku dan merah putih pun ikut terjahit rapi. Perjuanganku kali ini harus
lebih keras dari sebelumnya. Perjuangan yang dahulu aku anggap tiada artinya. Inilah perjuangan
yang sesungguhnya.

Gemuruh dukungan penonton terdengar begitu keras membuatku merinding. TrIbun penonton
dipenuhi supporter dari berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Sekarang aku di sini, disaksikan
oleh ribuan penonton yang hadir. Pertandingan demi pertandingan berhasil ku menangkan, China,
Malaysia, dan Jepang berhasil aku tumbangkan. Aku pun berhasil masuk final dan akan berhadapan
dengan lawan tangguh dari tuan rumah, yaitu Kim Jong Geun. Hari penentuan siapa yang terbaik tiba,
aku langkahkan kaki memasuki lapangan dengan diiringi tepuk tangan para penonton. Dukungan
penonton lebih terdengar dari hari-hari sebelumnya. Ini adalah final, semua mata tertuju padaku dan
aku harus memberikan yang terbaik. Indonesia menunggu kepulanganku, menunggu kepulangan sang
juara.

Aku menatap Kim Jong Geun dengan tajam, di dalam hati aku ingin menghancurkannya. Memang
terdengar agak kasar, tetapi itulah yang harus aku lakukan untuk negaraku. Set pertama diawali
dengan forehand service oleh Kim Jong Geun. Aku balas dengan smash keras di sisi kanan lapangan
Kim Jong Geun dan satu angka untukku. Pertandingan berjalan sangat menegangkan. Alunan drum
dari pendukung Indonesia membuatku semangat dan tak mau menyerah. Aku tak mau
mengecewakan bangsaku. Dropshot dibalas dengan lob dan lob dibalas dengan smash, begitu
seterusnya sepanjang pertandingan berlangsung.

Aku dan Kim Jong Geun terlihat berimbang, kejar mengejar skor, itulah yang terjadi. Sampai harus
dilakukan rubber game. Stamina benar-benar terkuras, aku berharap dukungan penonton tak akan
surut. Lagi-lagi ketegangan terjadi di rubber game ini. Skor di set ketiga ini adalah 19-19. Backhand
service oleh Kim Jong Geun aku balas dengan mengangkat shuttlecock ke belakang. Kim Jong Geun
melompat dan melakukan smash keras. Beruntunglah aku, smash tersebut hanya mengenai net dan
satu angka bertambah untukku. Skor saat ini 20-19, aku satu angka lebih unggul.

Inilah detik-detik penentuan, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Aku lakukan backhand
service berharap Kim Jong Geun mengangkat shuttlecok ke belakang. Dan dugaanku benar, aku
langsung melompat dan melakukan smash keras dengan tenaga yang tersisa. Shuttlecock melesat
dengan begitu cepat ke sisi kiri lapangan Kim Jong Geun. Kim Jong Geun berhasil aku tumbangkan
dengan skor 21-18, 19-21, dan 21-19. Hanya tepuk tangan dan teriakan dari penonton yang bisa aku
dengar. Merah putih berkibar diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Aku telah
mengharumkan nama bangsa dan sekaligus membuktikan bahwa Indonesia bisa. Ku genggam merah
putih yang ada di dadaku dan air mata bahagia ke luar tanpa aku sadari. Inilah aku, Wisnu, sang
juara dunia yang baru saja lahir.

“Wisnu! Wisnu! Wisnu!” penonton dengan keras menyebut-nyebut namaku.


Inilah kadoku untuk Ibu Pertiwi, smashku untuk Ibu Pertiwi, yang dibalut oleh rasa bangga dan
perjuangan yang tiada henti-hentinya.

Cerpen Karangan: Wisnu Wijayandaru


UNSUR_UNSUR NARASI

Judul: Smash Ku Untuk Ibu Pertiwi

Tema: perjuangan seseorang untuk menjadi atlet bulu tangkis.

Tempat: Sekolah, Rumah, GOR, dan Korea

Waktu: Pagi, Siang, dan Malam Hari

Tokoh: Wisnu (tokoh utama), Ayah, Ibu, Pak Tata, Pak Karta, Kim Jong Geun, Pencari Bakat Pelatnas.

Alur cerita: Alur campuran

Sudut Pandang: Orang pertama (Wisnu)

Jalan Cerita:

Moral Cerita: Janganlah putus asa dalam meraih mimpi!

Anda mungkin juga menyukai