Anda di halaman 1dari 2

Grandmaster Dari Kampung

Cerpen Karangan: Kartono Anwar


Kategori: Cerpen Lucu (Humor), Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 5 December 2017

Aku suka bermain catur. Tapi aku selalu kalah dalam permainan itu. Setelah pulang mengaji dari mesjid
atau setelah solat isya aku selalu pergi ke rumah temanku. Ya tujuannya untuk bermain catur. Kami
selalu bertaruh yang kalah harus mendapat hukuman. Tiap malam hukumannya selalu berbeda. Tapi
yang kalah tetap sama yaitu aku. Aku merasa bosan. Kenapa aku kalah mulu. Padahal aku selalu berlatih.
Tiap hari minggu aku selalu berlatih dengan ayah. Karena saat itu beliau libur kerja. Dan kadang-kadang
aku pergi ke rumah kakek di kampung sebelah. Ya walupun harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak
yang cukup jauh. Bahkan harus melewati hutan. Tapi tidak apa-apa ini demi harga diri.
Hari itu di rumah Ali temanku, permainan catur dimulai. Kami berjumlah 5 orang. Yaitu aku, Ali, Iman,
Marwan dan Dio. Karena papan caturnya cuma ada satu. Jadi kita main bergiliran. Kita baru bisa main
setelah ada lawan yang kalah. Sementara yang menang akan terus main melawan penantang
selanjutnya. Untuk hukuman bagi yang kalah hari ini adalah meminum air satu gelas setiap kali kalah.
Mereka semua merasakan kemenangan kecuali aku. Selama tiga jam permainan tak terhitung berapa
gelas air yang sudah aku minum. Aku selalu kalah dan dengan waktu yang cepat pula. Lebih cepat dari
temanku yang menderita kekalahan.
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Akupun pulang seperti sapi gelonggongan. Karena
terlalu banyak meminum air. Tapi aku berbesar hati menerima semua kekalahanku itu. Aku selalu
berpikir esok pasti akan lebih baik.
Dan tibalah di hari esok. Ali mengumumkan bahwa kali ini hukumannya adalah setiap yang kalah harus
rela wajah tampannya dicoret pakai sepidol oleh si pemenang. Kami semua menyanggupinya.
Permainan pun dimulai dan lagi-lagi aku kalah. Kali ini aku diliputi perasaan marah. Karena aku sudah
bosan kalah melulu. Ketika waktu menunjukan pukul 10 malam dan sudah waktunya pulang, aku
mengajukan protes dan minta waktunya ditambah sampai pukul 12 malam. Mereka semua
menyanggupinya karena besok hari minggu.
Dua jam yang menegangkan itu pun dimulai. Aku sekuat tenaga berusaha untuk memenangkan
pertarungan ini. “Aku harus memanfaatkan betul kesempatan ini” pikirku, dan jeng.. jeng… aku kalah
lagi.
Saat itu tepat pukul 12 malam aku pulang dengan perasaan marah, mataku melotot sepanjang
perjalanan. Baju hitam, celana hitam, sarung hitam dan kini wajahku pun hitam. Aku berjalan dalam
kegelapan dan hanya bola mataku saja yang kelihatan. Sebelum pulang aku sempat bercermin dulu di
rumah Ali. Aku kaget karena aku tak mengenali wajahku sendiri di cermin itu. Tapi aku tak boleh
mencuci muka dulu sebelum sampai di rumah itu peraturannya.
“Asalamualaikum bu,” akupun memanggil
“Wa’ alaikum salam” saat itu yang membuka pintu adikku
Saat pintu dibuka adikku menjerit histeris sambil berkata “setan” dia mengangapku setan dengan mata
melotot dan wajah yang menyeramkan. Suaranya sangat keras. Sampai tetangga yang sudah tidur pun
semuanya keluar rumah.
Besoknya setelah solat subuh aku tidur lagi tapi tidak lama kemudian segayung air mendarat di wajahku.
Kata ibu aku harus sekolah. Aku merasa bingung hari ini kan hari minggu. Kan sekolah libur. Tapi aku
menurut saja. Aku pun pergi ke sekolah.
Sesampainya di sekolah suasana sudah ramai. Dan ternyata kepala sekolah mengadakan perlombaan
catur. Dia melakukan seleksi siapa tiga orang yang berhak untuk mewakili sekolah dalam perlomba catur
tingkat kecamatan minggu depan. “Semoga saja aku salah satunya” harapku. Aku pun mendaftarkan diri.
Dan aku berhasil aku menjadi salah satu dari tiga wakil itu. Dan di sekolah ini aku menjadi juara satu
dimana hal itu tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sementara di tempat kedua ada Ali dan Dio di
tempat ketiga.
Hari itu pun tiba, di kecamatan kita bertarung dengan anak-anak dari sekolah lain. Dimana hanya ada
dua orang saja yang berhak melaju di tingkat kabupaten. Sekolah kami sungguh bangga. 3 wakilnya
berhasil menjadi juara di perlombaan catur tingkat kecamatan ini. Dan aku kembali menjadi juara satu.
Ali di tempat kedua dan Dio di tempat ke tiga. Namun yang berhak melaju ke tingkat kabupaten hanya
dua orang saja. Kami pun melakukan salam perpisahan dengan Dio. “Maafin aku ya, aku sempat
ngeremehin kamu” ucap Dio lalu dia memelukku. “gak apa-apa, kamu doain aja semoga di kabupaten
kita berhasil dan kembali mengharumkan nama sekolah” ucapku sembari melepaskan pelukkan Dio,
karena pelukkannya erat banget sampai aku susah bernapas.
Kami bertarung kembali di kabupaten dan aku kini harus berpisah dengan Ali. Dia gugur. Aku kembali
melaju di tingkat provinsi dan lagi-lagi jadi juara satu. Aku kembali jadi juara satu di tingkat Nasional dan
juga tingkat Asia, aku pun berhak mewakili Indonesia di kejuaraan dunia. Prestasiku itu ditayangkan
dalam sebuah acara di televisi. Betapa bangganya hati orangtuaku saat dia menyaksikan acara di tv itu,
begitu juga sekolahku dan negara Indonesia. Semuanya bangga padaku. Aku di wawancarai apa
rahasianya aku bisa sampai mewakili Indonesia di kancah Dunia. Aku hanya menjawab “rahasianya
usaha dan doa” jawabku singkat.
Perlombaan catur tingkat dunia pun dimulai dan tinggal selangkah lagi bagiku untuk menyabet gelar
grandmaster. Aku sampai di final dan di final ini aku melawan orang Rusia. Dan Aku berhasil menang.
Aku jadi juara Dunia. Hari ini aku membuktikan diri bahwa seseorang yang berasal dari kampung pun
mampu berbicara banyak di mata dunia. Akulah Alvin Sanjaya Grandmaster dari kampung.
Aku sangat bahagia, aku tak bisa menahan rasa ini, aku tertawa terbahak-bahak dengan mulut yang
terbuka lebar. Saat itu orang Rusia yang aku kalahkan berjalan menghampiriku dengan membawa
bakwan goreng yang sepertinya masih panas. Tak kusangka dia memaksukan bakwan goreng yang masih
panas itu ke dalam mulutku yang sedang terbuka lebar itu. Aku pun sontak kaget. Saat aku sedang
kepanasan muncul suara dari langit “sudah makan saja!” tapi suaranya mirip suara Dio temanku, dalam
pikiranku “Dio kan di kampung dia kan gak ikut ke Rusia?”. Lalu orang Rusia itu kembali memasukkan
bakwan yang masih panas itu ke dalam mulutku dan suara Dio itu muncul lagi dan benar saja itu suara
Dio dari alam nyata.
Ternyata aku hanya mimpi. Aku membuka mata dan aku merasakan ada yang aneh dengan mulutku. Ya
bakwan itu masih ada di mulutku. Ternyata Dio yang memasukan bakwan panas itu. Karena katanya aku
susah dibangunin. “Ayo kemon! makan mulu” ucapku sambil membawa bola yang aku ambil dari bawah
kolong tempat tidurku.

Anda mungkin juga menyukai