for
Fight for Love
Penulis : Orizuka
Penyunting : Ken Kinasih
Perancang sampul : Zariyal
Penata letak : Heru Tri Handoko
Penerbit : Puspa Swara, Anggota IKAPI
Semua teman-teman yang sudah hadir dalam hidupku, dari aku kecil
hingga sebesar ini, terima kasih sangat-sangat banyak! Glad I met you
guys.
Tidak lupa kepada Puspa Swara, yang punya andil besar dalam
membuat cita-citaku menjadi nyata. Terima kasih, terima kasih,
terima kasih. Sukses selalu untuk Puspa Swara dan semua krunya!
Regards,
Orizuka
Contact orizuka!
Follow @puspa_swara dan add Puspa Swara Publisher untuk mengetahui info buku-buku
terbaru terbitan kami. Ikuti kuis mingguannya dan dapatkan hadiah menarik.
Klik www.puspa-swara.com untuk informasi seputar acara Puspa Swara dan
buku-buku rekomendasi dari kami.
Untuk membeli buku secara online, silakan hubungi
salesonline@puspa-swara.com, info@puspa-swara.com
atau 021-8729060, 87743503
“STARLETTT!!”
Aku tersentak keras, lalu mengaduh karena hidungku masih
nyeri. Kepalaku terasa pusing dan penglihatanku remang. Aku
mengerjap-ngerjap beberapa kali sebelum akhirnya sadar kalau aku
berada di kamar yang lampunya belum dinyalakan.
“STARLETT!! MAKAN DULU!!” sahut Ibu lagi dari bawah.
“IYA!!” balasku.
Aku mengerang sebentar karena kulit wajahku tertarik saat
berteriak tadi, lalu bergerak ke luar kamar dan turun. Ayah, Ibu,
dan Fernan sudah menunggu di meja makan.
“Lo ngapain aja sih? Lama am…. HUAHAHAHA!” sahut Fernan
ketika melihat wajahku. Aku menyipitkan mata sebal, lalu duduk
di depannya.
Ayah dan Ibu juga ikut memerhatikanku.
“Kamu habis berantem, Star?” tanya Ayah heran. “Kok bonyok
gitu?”
“Hm…. Kecelakaan kecil pas latihan tadi,” kataku, kagum sendiri
akan kecepatan mengarangku.
’BODOH! Kalau menembak itu jangan cuma pakai siku, pakai pergelangan
tangan juga!’
Aku menoleh, lalu menatap seorang cowok pendek dengan wajah sok
tahu yang berdiri di pinggir lapangan. Aku baru saja melakukan tembakan
dan bolanya memantul di papan ring. Sekarang, bola itu bergulir ke arahnya.
Cowok pendek itu mengambil, lalu mendribelnya dengan sok gaya.
’Heh, kembaliin bolaku!’ seruku sengit, tapi cowok itu tidak mau mendengar.
Dia malah berjalan ke arahku.
’Minggir,’ katanya sambil mendorongku.
8. Otoosan = Ayah
9. Okaasan = Ibu
1�.. �omen ne = Maa� ya
Malam ini, semua berjalan kacau. Ibu, yang dengan soknya mau
membuat sushi, gagal total. Tak satu pun bisa dimakan. Ibu sudah
mau menangis saat aku bertanya apa semua itu bisa dimakan, tapi
Hikari menenangkannya dan berkata akan membantu membuatnya
lagi. Aku sih lebih memilih bermain basket sambil menunggu
makan malam.
Aku mendribel bola basket ke lapangan kompleks dan melewati
rumah Aya. Aku berhenti sebentar di depan pekarangannya, berpikir
untuk menumpang makan di rumah temanku itu, tapi aku segera
“Aku mau pergi sama Starlet, Tante,” kata Ryuu esok paginya.
Aku bisa melihat mata Ibu langsung berbinar begitu Ryuu
mengatakannya.
Soal Aya akhirnya selesai juga. Aya sudah mau berbicara lagi
dengan Satria, juga sudah meminta maaf kepadanya. Satria bilang
dialah yang harusnya meminta maaf. Kalau kubilang, tidak ada
seorang pun yang harus meminta maaf.
Aya juga sudah kembali bermain ke rumah dan tidak canggung
lagi bergaul dengan Hikari. Sebagian cewek memang aneh, apalagi
cewek seperti Aya yang kecepatan sembuhnya sangat cepat.
Satria juga sudah tampak lebih cerah karena satu masalahnya
terselesaikan. Sekarang, dia sedang mengantar Ibu dan Hikari pergi
Hari ini kami berlatih sendiri lagi karena Kak Endah harus
mengurus sesuatu di kedutaan. Aku tidak tahu apa yang terjadi
pada Ryuu, aku pun tidak begitu mau tahu. Kurasa dia sedang ke
pantai lagi, menyempurnakan liburannya.
Aku baru akan melakukan three-point shot ketika Ayu berteriak
histeris. Aku menoleh, lalu melihat apa yang membuatnya sebegitu
heboh. Ryuu. Tidak tampak siap dengan baju untuk latihan, tapi
toh dia datang juga.
“Star? Mau ke mana?” tanya Ibu begitu aku turun dari kamar
membawa bola basket.
“Main di lapangan.” Aku mencomot pisang goreng buatan Ibu