Anda di halaman 1dari 3

S

inar pagi membias belahan menerobos dedaunan, yang tumbuh liar di sepanjang jalan yang
damai. Pagi yang cerah, dan masih perawan bahkan masih terlalu muda untuk melakukan
aktifitas. Aku yang sudah rapi memakai baju putih beserta celana abu-abu dengan gaya rambut
agak cepak. Sepatu hitam yang terpasang rapi di kaki, tak kalah saing sama pegawai-pegawai
negeri, lebih-lebih parfum yang beraromakan khas Paris yang membuat mata-mata cantik terbelalak jika
menatapku. Aku melihat jam tanganku sudah hamper jam tujuh, aku ingin berangkat sekolah cepat-cepat
tapi aku masih menunggu temanku yang tak kunjung datang. Sudah tiga puluh menit aku di depan rumah
menunggunya, tapi temanku belum datang juga. Aku hendak berangkat namun, melihat sebuah motor
ninja hijau melintas dengan ugal-ugalan. Kancing bajunya tak terpasang seperti preman saja, rambutnya
acak-acakan seperti sapu lidi. Namun setelah motor itu lebih dekat, sepertinya aku mengenali dia. Jelas saja
aku mengenalinya, dia adalah Radit Putra Pratama.
“Gila kamu Dit, baru datang jam segini.”
“Ya, sorry. Aku tadi kesiangan bangunnya.”
“Kamu kesiangan terus Dit, kapan bangun tepat waktunya.” Kataku membuat Radit tersenyum.
“Kan kamu tahu sendiri kalau malam aku tidur jam berapa..” bela Radit.
“Ya udah, ayo berangkat nanti telat.”
Motor yang kami kendarai melaju secepat kilat, setelah aku yang mengemudi menggantikan Radit, aku
malah khawatir jika Radit yang mengemudi tidak sampai dengan selamat. Bisa-bisa menabrak trotoar di
jalanan. Soalnya jika Radit bawa motor, ugal-ugalan tak karuan. Pernah satu kali nabrak gerobak jual sayur,
ketika itu kami sedang buru-buru berangkat sekolah. Karena sudah terlambat akhirnya kami mengambil
jalan pintas seperti gang-gang kecil. Saat itu juga, tiba-tiba muncul penjual sayur entah dari mana
datangnya kemudian lewat di depan kami. Dan akhirnya, terjadilah benturan yang sangat keras, kami pun
terpental ke jalan aspal. Sudah badan sakit semua, masih harus ganti rugi gerobak sayur tersebut. Sudah
jatuh tertimpa tangga. Tapi, sejak SMP aku dan Radit selalu bersama, susah senang kami rangkul bersama.
“Ardi, lihat itu sebentar!”
“Apa lah, belum selesai nih…”
“Lihat ini!”
Tiba-tiba Radit menarik dan memutar kepalaku, kemudian mataku menangkap wajah seorang yang
tengah melintas di depan sekolah dan kebetulan dia juga menoleh ke arahku. Sosok wanita berhijab putih
dengan putih mulus serta wajahnya khas Arab disertai lesung pipi, dan di kedua belah pipinya tertoreh
cantik ketika melontarkan senyuman. Ditambah lagi mata sipitnya membuatku tak mampu melontarkan
kata-kata. Kemudian dia berlalu meninggalkan kami dengan seberkas senyuman yang masih tergiang di
kepalaku.
“Gimana Dit, cantik tidak cewek tadi?”
“Gak tahu, menurut kamu gimana?” tanyaku punya syarat.
“Gimana kamu ini, ditanya malah balik Tanya.” Protes Ardi.
“Kalau kataku sih cantik, daripada koleksi cewek-cewek yang pernah aku pacarin.” Jawabku senyam-
senyum.
“Kenapa kamu senyam-senyum Dit? Jangan bilang kalau dia akan dijadikan sasaran kamu kali ini.”
“Emang kenapa? Gak boleh?”
“Bukan gak boleh, tapi dia terlalu baik untuk kamu.”
Kami pun tertawa bahagia sambil lompat-lompat kegirangan menuju kelas. Ketika hamper sampai kelas,
aku tidak mendengar suara gaduh seperti biasanya. Pikiranku mulai berkecamuk, apakah gurunya sudah
masuk? Kami pun mempercepat langkah kami untuk segera masuk ke dalam kelas. Ternyata mereka
sedang menggerumbuni sesuatu entah itu apa, aku belum tahu. Membuatku jadi penasaran dan bertanya-
tanya.
“Hey! Ada apa guys?” sapa Radit. Kemudian disambut oleh Fitri cewek yang merasa dirinya paling cantik
di kelas kami.
“Ini…ada siswa baru anaknya kepala sekolah, pindahan dari Jakarta.”
“Kok bisa ya, dari Jakarta pindah ke tanah Jawa?” sahutku penasaran.
“Tau ah! Tanya saja sendiri, buat apa nanya-nanya, kan masih ada aku.”
“Ih! Siapa juga yang nyariin kamu?” sambar Radit.
kemudian kami berlalu meninggalkan Fitri. Lalu Radit segera bergabung bersama anak-anak lainnya.
“Kenalin, aku Radit.”
“Saya Sinta siswi baru di sini.”
Aku senang ketika mendapati dia sedang curi-curi pandang kepadaku, dan dia tertutup malu karena
tertangkap basah memandangku. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya, ketika pelajaran sedang
berlangsung, kelas kembali riuh lagi setelah mendengar bel berbunyi.
“Ardi, tunggu sebentar.” Suara Radit ketika aku hendak pulang.
“Ardi, bisakah kamu pulang sendiri?” Tambah Radit.
“Ya bisa, memangnya kamu mau kemana?”
“Sebenarnya aku mau pulang bareng sama Fitri.” Jawab Radit gugup.
“Siswi yang baru itu?”
“Ya, gak apa-apa kan?”
“Dasar! Demi cewek kamu nyuruh aku jalan kaki.”
“Maksudku bukan begitu Di.” Jelas Radit.
“Ya gak apa-apa sana.”
“Thanks ya!” Radit pun berlalu meninggalkanku.
Aku berjalan di tepi jalan, memang sengaja aku tidak naik angkot ingin tampil jalan-jalan dulu sebelum
pulang. Aku hanya berjalan sendirian, memandangi kendaraan yang berlalu lalang. Panas pun tak terlalu
ganas, masih bisa diajak kompromi tidak seperti biasanya.
“Hey!”
Seseorang memanggilku dari belakang, aku pun menoleh dan tersentak kaget melihat seorang yang tak
asing lagi bagiku.
“Sendirian saja?” sapanya setelah di dekatku.
“Terus, kamu ngapain di sini? Bukannya kamu diajak pulang bareng sama Radit?”
“Iya… tapi, pas mau pulang motornya tiba-tiba mogok.”
“Oh… begitu.”
Akhirnya malah aku yang pulang bareng sama dia, dan mulai akrab. Sejak itu pula Radit jadi rajin pergi
sekolah dan semenjak kenal sama Fitri, dia jadi berubah. Di suatu pagi, Radit ke rumahku untuk berlibur
sekolah.
“Di, gimana menurutmu jika aku menembak Fitri?”
“Apa!?” aku pun tersentak kaget dan ketika itu pula entah kenapa rasanya urat nadiku seperti berhenti.
“Bagaimana menurutmu Di?”
“Ya udah, terserah kamu saja.”
Dan ketika itu pula Radit pergi meninggalkanku untuk menembak Fitri. Aku hanya terdiam di teras,
sebenarnya sakit semakin menyelinap ke seluruh tubuhku. Namun, apalah dayaku, mungkin dia akan
bahagia bersama Radit.
PLAK!
Tiba-tiba pukulan Radit mendarat di pipiku.
“Ada apa, Dit?” Kataku lirih.
“Jangan sok bodoh kamu!”
“Sebodoh gimana aku gak ngerti?” balasku.
“Aku tadi nembak Fitri, tapi dia menolak. Hatinya sudah buat orang lain. Dan orang itu adalah kamu!!!”
Aku menatap wajah Fitri yang menangis melihat pertengkaran kami. Sungguh, aku tak tega melihat air
matanya tumpah secara direnung kesedihan.
“Maksud kamu apa Dit?”
“Fitri menolakku karena dia cinta sama kamu!” cetus Radit.
“Tidak, itu tidak mungkin. Dia itu cintanya sama kamu, aku gak mau ganggu hubungan kalian.” Tangisan
Fitri semakin menjadi melihat kami adu mulut.
“Gak usah bohong, dari raut wajah aku sudah bisa baca dari tadi!” kemudian Radit menarik tangan Fitri.
“Ardi, maafkan aku. Aku telah egois. Soalnya aku sadar Fitri akan lebih bahagia jika bersamamu, kamu
juga cintakan sama Fitri?”
Aku hanya terdiam membisu melihat wajah Fitri yang begitu berbinar-binar.
“Tunggu apa lagi, Di? Cepetan peluk!”
“Eh. Kita kan belum muhrim, jadi gak boleh pelukan.” Tegur Fitri bahagia.
Aku pun menjadi malu dan salah tingkah, Radit pun tertawa lega.

Anda mungkin juga menyukai