Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HAKIKAT AMAL
Diajukan Sebagai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Tafsir I
Dosen Pengampu : Muhammad Mabrur, M.Ag

Oleh:

Muhammad Zaky Habibi


220104010221

FAKULTAS DAKWAH & ILMU KOMUNIKASI


PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
TAHUN 2023
Latar Belakang

Seorang khalifah di muka bumi telah Allah tetapkan pada manusia. Pada
dasarnya jin yang diciptakan terlebih dahulu ketimbang manusia, maka dari itu jin
diperintahkan sujud penghormatan pada manusia dan mereka menolaknya lalu
Allah melaknatnya dan jin akan menyesatkan manusia pada keburukan. Karena itu,
manusia seharusnya dapat mengendalikan emosinya yang cenderung berasal dari
nafsu dan bisikan syaitan sehingga dapat berdampak pada perilakunya sebagai
khalifah yang diperintah untuk menjaga dan memakmurkan bumi Allah Swt.

Rasulullah Saw sebagai manusia yang sempurna, telah menjadi teladan bagi
seluruh umat manusia. Banyak hal yang telah Rasulullah sendiri ajarkan dan patut
diteladani dari beliau agar kita menjadi manusia yang baik dan positive vibes. Hal
demikian dapat dilihat dari sahabat Rasulullah yang meneladani dan mencintai
beliau seperti hal kepemimpinan dari Khulafaur Rasyidin dan beberapa tokoh lain
yang menjadi sasaran keteladanan beliau yang dapat diambil.

Dari paparan di atas, makalah ini akan membahas bagaimana semestinya


perlakuan sebagai khalifah di muka bumi ini berdasarkan dari ayat yang telah
ditentukan. Tentunya hal ini tidak mencakup keseluruhan, melainkan memiliki
pembatas menyesuaikan ayatnya saja, yaitu Al-Ahqaf ayat 19, Al-An’am ayat 135
dan At-Taubah ayat 105.
Pendahuluan

Alquran adalah sumber ilmu dan petunjuk bagi seluruh umat manusia dalam
menjalani kehidupan dunia. Namun, tidak sedikit yang menghiraukan perihal
tersebut. Sebagai contoh umat-umat terdahulu yang tidak mempercayai utusan
Allah dalam mendakwahkan Islam yang dianggap sebagai pembual, penyihir dan
lainnya, dengan begitu mereka berpaling dari kebenaran dan memutuskan untuk
berada dalam lingkaran yang menyesatkan mereka dan menghancurkan diri mereka
sendiri. Allah telah memberi petunjuk yang jelas bagi mereka yang mau berpikir
atas kebenaran. Tidak heran hingga sekarang sesama umat Islam pun terjadi
perpecahan, dari perbedaan pikiran, pendapat dan ideologi yang menyebabkan
konflik padahal sumber pijakannya sama yaitu Alquran dan Hadis. Namun
mengapa demikian? Karena kurangnya pemahaman yang dangkal sehingga terjadi
kesalahan dalam penafsiran, sehingga berdampak pada pemikiran, cara pandang
dan moralitas yang muncul dari dirinya.
Pembahasan

1. Al-Ahqaf: 19

‫َوﻟِﻜ ﱟُﻞ َد َر ٰﺟ ٌﺖ ﱢﻣ ﱠ� َﻋ ِﻤﻠُ ْﻮا ۚ◌ َوﻟِ ُﻴ َﻮﻓﱢ َﻴ ُﻬ ْﻢ ا َ ْﻋ َ�ﻟَ ُﻬ ْﻢ َو ُﻫ ْﻢ َﻻ ﻳُﻈْﻠَ ُﻤ ْﻮ َن‬


“Dan bagi masing-masing mereka dapat derajat menurut apa yang telah mereka
kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-
pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.”

Pada ayat di atas, sekilas terdapat kata kunci yang cukup menjadi
perhatian, yaitu ٌ‫( دَ َرﺟٰ ﺖ‬derajat). Derajat yang dimaksud adalah sebuah tingkatan
yang telah ditetapkan terhadap masing-masing dari jin dan manusia. Lantas
bagaimana maksud perihal demikian?

a. Asbabun Nuzul
Mengenai penyebab turunnya ayat di atas, bisa dilihat dari ayat
sebelumnya yakni pada ayat 17 yang menerangkan tentang celakanya orang
yang berbuat durhaka pada ke dua orang tuanya. Beberapa pendapat
mengatakan orang durhaka tersebut adalah Abdurrahman bin Abu Bakr saat
orang tuanya memberikan peringatan kepada Abdurrahman untuk tidak salah
kaprah dalam beragama dan menyeru untuk menyembah kepada Allah Swt,
namun Abdurrahman menolak hal tersebut. Namun hal ini ditolak
kebenarannya.
Faktor yang menjanggal adalah Aisyah menolak hal tersebut karena
Abdurrahman tidak memiliki kaitannya dengan ayat tersebut. Di samping itu,
Abdurrahman juga seorang yang terpilih dan tersohor pada jamannya. Al-
Hafizh Ibn Umar mengatakan bahwa perkataan dari Aisyah dapat dijamin
keshahihannya. Kemudian selain itu, Abdurrahman setelah mendapat
peringatan dari ke dua orang tuanya, dia langsung masuk Islam. Maka dari itu
pendapat yang paling banyak disepakati ialah ayat tersebut diturunkan secara
universal, yaitu ditujukan pada setiap orang kafir yang menolak untuk
bertaubat ketika diperintahkan orang tua mereka.
b. Tafsir
Untuk memulai penafsiran yang signifikan, akan diuraikan dari ayat 17
hingga 19 sebagai berikut:
(Al-Ahqaf: 17) Pada ayat ini ditegaskan bahwa seorang anak yang kafir
terhadap ke dua orang tuanya dan mendustakan hari kebangkitan. Ketika
orang tua dia memperingatkan akan kesesatan yang dijalani oleh orang kafir
tersebut perihal untuk jalan yang benar ialah kepada Allah, atau jika ingkar
terhadap peringatan tersebut, maka kelak akan mendapat balasan pada hari
kebangkitan, dan sungguh hari kebangkitan itu nyata adanya. Setelah
mendapat perlakuan tersebut, anak itu lantas menjawabnya “Apakah kalian
ingin mengatakan bahwa aku akan dibangkitkan setelah kematianku?”,
kemudian orang tuanya berdo’a dan memohon kepada Allah agar anaknya
tersebut dapat diberikan petunjuk untuk bertaubat dan taat kepada-Nya. Anak
tersebut melanjutkan kalimatnya, “Bagaimana dengan kaum terdahulu (kaum
Ad dan Tsamud) yang tidak keluar dari kuburnya? Tidak lain semua itu (hari
kebangkitan) bualan atau dongeng mereka belaka.” Pada ayat hanya
menyebutkan “Ah!” yang ditafsirkan sebagai bentakan atau perlawanan
kepada dua orang tua.
(Al-Ahqaf: 18) Allah memberikan jawaban atas orang yang seperti di
atas akan mendapat adzab yang sama dengan golongannya itu sendiri, baik
dari golongan jin maupun manusia. Dengan demikian, Allah menobatkan
orang seperti itu adalah golongan yang merugi. Yang dimaksud dalam merugi
adalah kerugian yang menimpa padanya baik bagi dirinya sendiri maupun ke
dua orang tuanya. Pada momen ini, tidak ada larangan untuk mengerjakan
kesenangan selama tidak melibatkan keburukan di dalamnya walaupun
berlarut-larut di dalamnya, asalkan tidak keluar dari niat kebaikan.
(Al-Ahqaf: 19) Terhadap setiap orang yang melakukan kebaikan dan
keburukan itulah, akan ada ٌ‫ دَ َرﺟٰ ﺖ‬yang telah Allah tetapkan. Derajat di sini
ialah ketentuan yang mutlak dari Allah terhadap balasan terhadap amal
mereka. Derajat juga bisa diartikan sebagai tingkatan di akhirat kelak, yakni
orang yang mengerjakan kebaikan maka mereka akan mendapatkan benefit
yang setimpal dengan kebaikannya itu, begitu juga sebaliknya bagi mereka
yang melakukan kemungkaran dan berbuat keburukan, maka sungguh mereka
akan mendapatkan balasan yang setimpal pula. Tingkatan surga itu semakin
ke atas untuk yang semakin diberikan kenikmatan, dan neraka yang akan
semakin pedih jika semakin ke bawah. Allah juga tidak akan membagikan
ْ ‫ َﻻ ﯾ‬tidak akan
amal mereka secara suka cita, maksudnya ialah Allah َ‫ُﻈﻠَ ُﻤ ْﻮن‬
melebih-lebihkan amal orang yang taat, dan tidak mengurang-ngurangkan
amal orang yang ingkar. Semuanya sesuai dengan amal yang mereka kerjakan
semasa di dunia, sungguh Allah Maha Adil.

c. Kesimpulan
Pada ayat ini Allah menegaskan kepada orang yang kufur terhadap ke
dua orang tuanya kelak akan mendapatkan hal yang setimpal pada amal
buruknya tersebut. Sebagai seorang muslim yang baik, hendaknya menuruti
orang tua selama itu berada pada lingkaran kebaikan dan jangan pernah
melawan mereka sekali pun. Sesungguhnya hari kebangkitan itu nyata adanya
dan sungguh Allah Maha Adil dalam segala sesuatu.

2. Al-An’am: 135

‫ﻗ ُْﻞ ﻳٰ َﻘ ْﻮ ِم ا ْﻋ َﻤﻠُ ْﻮا َﻋ ٰﲆ َﻣﻜَﺎﻧَ ِﺘ ُﻜ ْﻢ اِ ﱢ ْ� َﻋﺎ ِﻣ ٌﻞ ۚ◌ ﻓ ََﺴ ْﻮ َف ﺗَ ْﻌﻠَ ُﻤ ْﻮ َن ۙ◌ َﻣ ْﻦ ﺗَ ُﻜ ْﻮ ُن ﻟَ ٗﻪ َﻋﺎ ِﻗ َﺒ ُﺔ‬


‫اﻟ ﱠﺪا ِر ۗ◌ اِﻧﱠ ٗﻪ َﻻ ﻳُ ْﻔﻠِ ُﺢ اﻟﻈﱣﻠِ ُﻤ ْﻮ َن‬
“Katakanlah: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu,
sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah
(di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini.
Sesungguhnya, orang-orang yang zhalim itu tidak akan mendapatkan
keuntungan.”

Allah perintahkan Nabi Muhammad Saw untuk menyeru kaum quraish


pada saat itu ‫ﻋ ٰﻠﻰ َﻣﻜَﺎﻧَﺘِ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫( ا ْﻋ َﻤﻠُ ْﻮا‬berbuatlah sepenuh kemampuanmu) atas perbuatan
mereka yang tidak taat pada Allah Swt untuk kepada jalan yang benar. Lantas
bagaimana yang dimaksud ayat di tersebut? Apakah sebagai pembebasan
terhadap kaum Quraish atau sebagai sebuah ancaman?

a. Tafsir
Dari beberapa tafsir yang telah ditela’ah, ayat tersebut menerangkan
tentang kekufuran kaum Quraish dalam menyembah berhala dan jauh dari
makna ketaatan pada Allah Swt. Pada ketika Allah memerintahkan pada Nabi
Muhammad Saw untuk menyampaikan pesan ayat Allah di atas, menjadi
sebuah ancaman yang amat keras menurut tafsir Ibnu Katsir, dan begitu pula
tafsir lain mengatakan bahwa itu adalah ancaman yang menggunakan bahasa
halus. Allah memberikan peringatan kepada kaum kafir Quraish bahwa
berbuatlah kalian sebagaimana kondisi kalian sendiri, kemudian Nabi
Muhammad selaku utusan Allah pun mengatakan juga untuk dirinya akan
berbuat sesuai dengan kondisinya sendiri. Akan ada masanya pada hari di
mana semua itu siapa kah yang benar dan diberi kenikmatan, dan siapa yang
akan mendapat adzab dari Allah atas perbuatan mereka sendiri.
Di samping itu, ayat ini juga bisa memiliki dua pengertian, pertama
berbuatlah sesuai dengan kemampuan dan kekuatanmu. Kedua, berbuatlah
sesuai posisi dan keadaanmu saat ini. Maknanya, kaum kafir Quraish
diperingatkan “tetaplah kalian berada dalam kekufuran, dan aku juga akan
tetap dalam Islam.” Bahwasanya Allah telah menetapkan tiap-tiap balasan
bagi yang berbuat baik maupun buruk seperti di ayat sebelumnya.
(Al-An’am: 133) Hal ini merujuk pada ayat ke-133 (ayat sebelumnya)
yang menggambarkan bahwa Allah menyuruh untuk menyembah kepada-
Nya bukan lantaran Allah membutuhkan mereka dan amal ibadahnya, akan
tetapi Allah memberikan rahmat pada tiap ciptaan-Nya dan Allah Maha Kaya,
sedangkan makhluk itu miskin (akan selalu berharap kepada-Nya). Kemudian
sungguh jika Allah berkehendak mereka seperti kaum sebelumnya yang
dimusnahkan (kaum Ad dan Tsamud) lalu menggantikannya dengan kaum
yang lebih baik darimu (kaum Quraish), Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu, akan tetapi Allah masih memberikan rahmat-Nya pada kaum Quraish
untuk membiarkannya tetap berada di atas bumi.
(Al-An’am: 134) Pada ayat ini Allah menegaskan sungguh apa yang
telah dijanjikan kepada jin dan manusia itu pasti datang. Dan jangan pula
sekali-kali berpikir bahwa Allah tidak sanggup untuk melakukannya, padahal
hakikatnya bisa saja Allah mengembalikan mereka kepada semulanya dari
debu dan tulang-belulang.

b. Kesimpulan
Pada ayat ini Allah memberikan peringatan yang halus, bijak dan keras
kepada kaum Quraish yang terus-menerus di jalan kesesatan. Nabi
Muhammad Saw mengatakan kepada mereka seraya tetaplah kalian berada di
jalan yang kalian posisikan (kekufuran), sedangkan aku juga akan tetap
berada di jalanku (Islam) sendiri. Di akhirat kelak, akan terlihat siapakah yang
akan mendapat pujian akibat perbuatan baiknya, dan siapa yang akan
mendapatkan adzab dari Allah atas kedzaliman yang diperbuat, sungguh janji
Allah itu benar adanya.

3. At-Taubah: 105

‫َوﻗُﻞِ ا ْﻋ َﻤﻠُ ْﻮا ﻓ ََﺴ َ َ�ى اﻟﻠﱣ ُﻪ َﻋ َﻤﻠَ ُﻜ ْﻢ َو َر ُﺳ ْﻮﻟُ ٗﻪ َواﻟْ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ُﻨ ْﻮ َن ۗ◌ َو َﺳ ُ َﱰ ﱡد ْو َن اِ ٰﱃ ٰﻋﻠِ ِﻢ اﻟْ َﻐ ْﻴ ِﺐ‬
◌ۚ ‫َواﻟﺸﱠ َﻬﺎ َد ِة ﻓَﻴُﻨَﺒﱢﺌُ ُﻜ ْﻢ ﻤﺑِ َﺎ ﻛُﻨْﺘُ ْﻢ ﺗ َ ْﻌ َﻤﻠُ ْﻮ َن‬
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Sekilas pada ayat di atas terdapat perintah untuk bekerja atau beramal ‫َوﻗُ ِﻞ‬
‫ا ْﻋ َﻤﻠُ ْﻮا‬, namun jika kita sandingkan dengan sambungan ayatnya ‫ﻋ َﻤﻠَ ُﻜ ْﻢ‬ َ ُ� َ َ‫ﻓ‬
‫ﺴﯿَ َﺮى ﱣ‬
َ‫ﺳ ْﻮﻟُﮫٗ َو ْاﻟ ُﻤﺆْ ِﻣﻨُ ْﻮ ۗن‬ ُ ‫ َو َر‬, maka hal ini cukup sulit dimengerti. Dengan demikian ‫ﺴ َﯿ َﺮى‬ َ َ‫ﻓ‬
َ‫ﺳ ْﻮﻟُﮫٗ َو ْاﻟ ُﻤﺆْ ِﻣﻨُ ْﻮ ۗن‬
ُ ‫ﻋ َﻤﻠَ ُﻜ ْﻢ َو َر‬
َ ُ�
‫ ﱣ‬cukup memberikan kesan yang menarik untuk dikulik
artinya seperti apa, maka dari itu bagaimana kah konteks makna yang ada pada
lafadz tersebut?

a. Tafsir
Ayat ini mufassir berpendapat sebagai ancaman pada orang-orang yang
melanggar perintah-Nya. Yang dimaksud dari “Bekerjalah” ialah bentuk yang
sama seperti ayat sebelumnya, yaitu Allah memberikan kebebasan pada
manusia dalam mengambil jalannya sendiri sesuka hati, tentunya hal ini pasti
akan memiliki balasannya, bagi orang yang beramal baik maka ia akan
mendapatkan keuntungan dari kebaikannya itu, dan bagi yang beramal buruk
maka dia akan mendapatkan adzab dari keburukannya itu. Yang dimaksud
dari َ‫ﺳ ْﻮﻟُﮫٗ َو ْاﻟ ُﻤﺆْ ِﻣﻨُ ْﻮ ۗن‬
ُ ‫ﻋ َﻤﻠَ ُﻜ ْﻢ َو َر‬
َ ُ� َ َ‫ ﻓ‬adalah semua yang telah dikerjakan atau
‫ﺴﯿَ َﺮى ﱣ‬
diamalkan oleh jin maupun manusia, di akhirat kelak akan ditampakkan di
hadapan Allah, Rasulullah dan orang-orang mukmin, baik amal yang
dikerjakan secara tersembunyi maupun terang-terangan, amal yang dilakukan
dengan ikhlas maupun dengan riya’, amal yang berupa ketaatan maupun
kemaksiatan pada Allah. Sesungguhnya semua akan kembali kepada Allah
pada hari kiamat kelak.
Suatu Hadis menyebutkan “Jika saja di antara kalian bekerja di dalam
batu besar yang keras yang tidak ada pintu dan lubang anginnya, Allah pasti
akan memperlihatkan perbuatannya itu pada manusia, itu memang terjadi.”
(HR. Ahmad dan Baihaqi). Hadis tersebut menjelaskan bahwa Allah Maha
Mengetahui segala yang tampak maupun tidak tampak, dan Allah juga akan
memperlihatkannya kepada yang dikehendakinya, tiada yang luput dari kuasa
Allah Swt. Disebutkan amal yang sedang dikerjakan oleh seorang hamba juga
akan ditampakkan kepada kaum terdahulunya di alam barzakh, seperti yang
dikatakan Abu Dawud Ath-Thayalisi, dia meriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah berkata, “Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya amal
perbuatan kalian akan diperlihatkan kepada kerabat dan keluarga dekat
kalian di kubur mereka, jika itu adalah perbuatan baik maka mereka akan
bergembira dengannya, dan jika itu adalah perbuatan yang buruk mereka
berkata, ‘Ya Allah ya Tuhanku, ilhami mereka untuk berbuat taat kepada
Engkau’.” (HR. Abu Dawud)

b. Kesimpulan
Pada ayat ini Allah memberikan ancaman pada orang yang kafir bahwa
setiap amal yang dikerjakan oleh seseorang akan mendapat balasan dan
ditampakkan di hadapan Allah, Rasulullah dan orang-orang mukmin lainnya.
Sesungguhnya perbuatan itu jika baik maka akan mendapat keuntungan, jika
buruk maka akan mendapat kerugian. Allah Maha Mengetahui yang tampak
dan tidak tampak, dan Allah mengetahui amal yang diniatkan pada ibadah
maupun maksiat, tidak ada yang luput dari kuasa Allah Swt.
Semasa di dunia, amal itu akan ditampakkan kepada kerabat dan
keluarga dekatnya, kemudian semua amal tersebut akan kembali kepada
Allah di hari kiamat kelak dan akan mendapat balasan-Nya.
DAFTAR RUJUKAN

Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir Al-Munir

Tafsir Al-Qurthubi

Tafsir Ath-Thabari

Tafsir Jalalain

Anda mungkin juga menyukai