Anda di halaman 1dari 3

Angka, jarum pada jam semakin mempercepat pemborosan waktu.

Ia mengejarku dengan
pelariannya, cepat. Barangkali ia mengipaskan bubuhan angin dengan sayap kecilnya. Aku tak
pernah menyangka, rasa firasatnya dikejar malaikat. Lalu aku mencoba berpikir untuk caranya
malaikat ini berhenti mengejar. Jangan salah sangka, kami hanya main-main. Bahkan
menyengsamkan.

Hidupku bermula di surganya tuhan yang tersimpan, bukan salah satu dari yang diketahui
banyak orang. Pertama kalinya aku membuka mata dan melihat saat itu dan tempat itu juga. Ini
normal, bangun dari alam bawah sadar, keadaan berbaring, lalu melihat ke langit-langit. Tak ada
matahari, bulan, bintang, atau pun awan. Ruang kosong. Tak ada apapun yang bisa dilihat. Jasad
mungil seperti bayi yang masih dalam perut ibu. Jari-jari kecil dan kulit lembut, ku miliki saat itu.
Atau mungkin memang kenyataannya begitu.

Aku penasaran pada tuhan yang ku pikir menyengajakan rohku ke jasad mungil ini, aku mau
bertanya-tanya. Mencoba mencari tuhan. Mungkin tuhan dapat dilihat oleh mata, soalnya katanya
orang dulu, tanpa alis mata maka manusia dapat melihat yang dikasatkan.

Sebuah fakta yang bisa dikronologikan melalui tulisan atau lisan adalah perasaan, tapi kapan
kita bisa melihatnya? Tak akan pernah. Manusia kalau sudah putus asa, hal sekecil apapun akan
dijadikan pegangan harapan. Mencari sesuatu yang tak dapat dicari, siapa yang bisa menunda putus
asa dalam hatinya untuk datang menggantikan rasa penasaran. Tulisan petunjuk yang biasanya ada
di tutorial game pun tak ada. SEDIKITPUN.

Aku lah seorang di sini. Yang mempunyai kulit lembut, mata binaran bintang, wajah yang
seperti bola bounce, pipi yang masih empuk untuk diraba, telinga dan hidung yang masih belum
membeku mengeras, bibir yang masih ingin mengulu karet, aku lah. Apa maunya ruang ini? Masa
Cuma nunggu? Dan apa itu yang muncul bercahaya. Hades? Zeus?

Helaian bulu putih bersih kinclong berguguran di cahaya itu. Seperti membentuk sebuah
portal yang tak bertepi. Memuntahkan helaian bulu putih tak habis-habisnya. Terlalu lama aku
terbelalak penasaran. Ingin bergerak melangkah tapi ketidak pastian di sarafku menggelinang ke
otakku. Kepala berkerudung coklat tak membiarkan wajahnya nampak tampil. Bersambung jubah
panjang, lengan jubah panjang yang tak memberi celah se-inchi pun untuk tangan. Makhluk itu
keluar dari cahaya portal pemuntah bulu sayap. Ternyata setelah sekian meredup cahaya itu,
makhluk jubah utuh mematang berdiri polos entah menatap kemana matanya itu.

“Kau tuhan yang...”

“Nak, mungkinkah tuhan menampakkan dirinya?” Makhluk itu ku tanya, tapi tanya balik. Bikin kesel.

“Tidak, setidaknya tampakkan wajahmu untuk meyakinkanku.”

“Memintalah pada tuhan, aku tidak bisa apa-apa.”

Aku mencoba meminta pada angin dan debu, karena aku tidak yakin meminta pada yang tidak ada.
Barangkali meminta kepada makhluk itu untuk meyakinkanku.

“Kau berpikir tentang tuhan, maka tuhan ada. Tapi jika kau meragukan tuhan, maka tak ada
bagimu.” Kemudian keadaan serba hening.
Bola atau batu atau apalah itu tidak jelas rupanya. Jatuh tak beraturan tanpa tanda begitu saja. Saat
jatuh, memantul pun tidak.

“Apa ini pekerjaanmu?” Tanyaku menunjuk ke... apalah yang jatuh tadi.

“Terus terang nak, kau menyaksikanku berdiam diri di sini.”

Makhluk apa ini seenaknya nyimpan sendiri ilmunya. Kalau dikira, yang bersangkutan
sepertinya kurang cocok jika disebut makhluk hominid. Suara hanif yang keluar entah dari mulutnya
atau dari telinga itu seperti perpaduan antara lelaki bersuara besar, lelaki bersuara kecil dan wanita
lugu. Mudah-mudahan saja dia bukan seorang militan anti damai.

Aku mengambil batu(mungkin) yang jatuh dan melemparkannya ke makhluk itu dengan
tullang dan tenaga lemahku. Tidak perlu kaget atas lemparan itu karena sama halnya orang dewasa
yang melempar seekor kambing dewasa jantan. Seandainya bisa dilihat bibirnya saja, dia pasti
menertawakanku. Bisa apa kau?! Barangkali begitu ucapnya.

“Ayo bermain nak, waktumu tidak kekal di sini. Aku akan mengajarimu dan memberi tahu apapun
yang kau mau.” Godanya yang membuatku tertarik akan yang ia ucakan.

“Baiklah, siapa kau?”

“Aku tercipta dari cahaya suci, aku pun tak punya nama, karena itu tak satu pun tau tentangku.”

Aku sadar kalau yang dihadapanku ini lumayan jauh dipandang mata, seenaknya bergerak
secepat kedipan mata berpindah ke hadapan muka-ku. Adalah malaikat. Malaikat sejadi-jadinya
seorang yang terbelah menjadi dua. Tak kuat menahan angin kilatnya, aku terbaring, berputar, jauh
kebelakang, terpental dan tak mampu menyentuh alas. Dalam hatiku, aku meminta “Manusia
bukanlah makhluk yang dapat berdiri sendiri, tak kuasa atas segalanya, hanya bisa meminta, tak
mungkin memberi. Tolonglah tuhan, berikan securah titikan kekuatanmu. Langit pun meminta,
apalagi hamba.”

Kakiku bisa menyeimbangkan pentalannya, baguslah. Bagaimana pun aku harus lari darinya.
Masa iya ini yang dimaksud dengannya bermain? Katanya juga akan memberitahuku apapun yang ku
mau. Memang benar, dia sudah tidak salah lagi kalau ditebak sosok malaikat. Keluar dengan portal
bulu sesayapan, memakai jubah, dia juga bilang kalau dia diciptakan dari Nur, mengasingkan diri lagi.
Dari awal aku memang keingin tahuannya membelegu, tentangnya. Apakah tak ada cara lain?!

“(Cari cara... cari cara...)” Aku berpikir keras, berlari kencang, tenaga terkuras, akal ku menyurut.
Waspada. Tak bisa bicara melainkan dalam hati.

Dia mulai mengejarku dengan remehnya. Padahal bisa saja langsung di hadapanku, atau dia
hanya ingin pamer sayapnya mulai memekar? Aku menemukan batu di pelarianku. Apa yang ku
pikirkan dengan batu? Melemparnya ke belakang dan berharap besar akan terledakkan tepat di
sosok itu. Meledak sungguhan, ha! ha! ha!

Dengan rasa bangga sekali karena mendengar ledakan batu tadi, rasa syukurku
membuahkan dan menanamkan bibit kebahagiaan di lubuk hatiku sedalam-dalamnya. Sungguh
bangganya aku. Mencoba berhenti dan memeriksa, sosok itu tidak ada. Beginilah sifat orang yang
suka remehan. Mentang-mentang lebih kuat dan cepat, lari penerbangannya terlalu sengaja untuk
dipelankan. Atau barangkali karena ledakan itu, malaikat itu menjadi sebundaran tali membentuk
jaring besar dan membutuhkan waktu cukup panjang untuk kembali semula. Baiklah aku menang,
aku ingin menjauh untuk sembunyi. Aduh, celaka, dia langsung menamparku dengan wajah seribu
mata. Raungannya melintang pukang. Aku kembali terpental ke balik arah. Badanku memberat saat
melewati bekas ledakan batu yang dimana menjadi tali tadi. Bahwasanya jika aku berdiam diri di sini,
tergeletak, menunggu malaikat itu melangkahi tali, apa yang terjadi kira-kira? Apa salahnya
mencoba.

Caranya berjalan dia terbang. Barangkali dia tak ada kaki, tapi bisa dengan caranya
menguasai angin sekitar dan membuatnya mengapung kemana yang ia tuju. Jujur, tak ada tujuan
lain lagi selain aku atas dirinya. “Tuhanku, aku tahu aku ciptaanmu yang terlemah di antara mereka
(ciptaanmu yang lain). Dan aku paham betul kenapa begitu. Segala kekuatan yang kuat, kasat mata,
tak terlihat milikmu seorang. Apalah aku tanpamu.” Aku memohon pula. Begitu malaikat melangkahi
jebakan yang tidak sengaja aku atau tuhan yang jadikan dari batu. Dia tertahan, tak bisa bergerak,
tak ada tenaga, kusut, melemah. Inilah kuasa tuhan. Tali-tali itu menghitam, mengeluarkan sinar
kegelapan suci, membentuk jaring yang menjalar keluar menyelimuti tubuh malaikat. Lalu
membeku, membekukan diri berkorban untuk orang yang telah meminta kepada tuhan nan
menyerahkan dirinya kepada-Nya. Malaikat itu? Hanya bisa diam sampai tuhan berkata pulang. Kini
aku yakin telah mengerti setengah arti kehidupan. Apapun yang terjadi, aku punya tuhan. Dan aku
siap lahir ke dunia. Tunggu, siapa yang bertanya?

Anda mungkin juga menyukai