Koin dua sisi yang sudah dimodifikasi gambarnya itu dilempar ke atas. Satu
sisinya bergambar kepala, sedangkan sisi yang lain bergambar ekor. Peluang
muncul keduanya adalah fifty-fifty. Kepala? Atau Ekor? Mana yang kalian
inginkan muncul di hadapan kalian?
Tapi jujur saja, menjadi kepala tak semudah kelihatannya. Ini pekerjaan yang tak
mampu dikerjakan banyak orang. Sebagai raja hutan, aku tentunya mengenakan
mahkota emas untuk membuktikan kepemimpinanku. Kalian mungkin tak dapat
melihatnya karena rambut berantakan yang kumiliki memang sering
menyembunyikan mahkota terhormat itu.
Benda berbahan dasar emas dengan tambahan permata hingga berlian entah
berapa gram itu selalu duduk manis di kepalaku. Namun lebih dari itu, kekuatan,
kecerdasan, dan tanggung jawab membuat benda ini semakin berat. Kepalaku pun
dipaksa tetap memandang lurus ke depan. Tak membiarkanku sedetik saja
menunduk mengistirahatkannya.
Sisi koin satunya, Sang Ekor, sepertinya tidak mau kalah. Sejak tadi ia
menyenggolku untuk segera menjauh dari pusat perhatian. Dia memang pencari
perhatian. Bayangkan saja ekor panjang kucing yang menggeliat menggoda orang
yang berlalu lalang di depannya. Meminta untuk disentuh bulunya.
Respon mereka cukup baik. Lebih dari itu, menurutku ia mendapat terlalu banyak
perhatian. Orang-orang menyapa, tersenyum, bahkan membelai bulu putih
bersihnya. Lalu ia mengeong dengan lembut membuat orang semakin senang
bermain dengannya.
Jika saja aku yang berada di sana, mungkin orang-orang akan berdiri sejauh lima
meter menjaga jarak. Takut-takut aku akan menerkamnya kapan saja. Padahal kan
ekor juga bisa melilit siapapun. Meski ia tidak sekuat itu untuk melakukannya.
Tiba-tiba saja seseorang mengambil koin yang sejak tadi mengambang di udara. Ia
menatap sinis ke arahku dan Sang Ekor. Aku lagi-lagi melupakan keberadaannya.
Lagipula dia tidak sepenting itu. Namanya bahkan tak tercantum di koin dua sisi
—Si Badan.
Dia selalu menyombongkan dirinya sebagai pusat dunia. Katanya dia yang
memegang kuasa atas organ pernafasan dan pencernaan. Padahal jika tidak karena
otakku, dia juga tidak akan bekerja. Namun dengan galaknya, ia menolak gagasan
tersebut.
Ketika mati otak, manusia masih bisa dikatakan hidup. Namun ketika jantungnya
yang mati, ia sudah pasti dinyatakan meninggal. Begitu bisiknya di telingaku
seakan mengancamku. Sangat menyeramkan memang. Di antara kita berrtiga, dia
yang paling merasa berjasa. Namun tidak salah juga.
“Sulung! Tengah! Bungsu! Ayo makan!” teriak wanita paruh baya dari arah dapur
yang membuat aku mau tak mau mengakhiri ocehanku.