Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Zaky Habibi

Lokal : 22B
Prodi : Pancasila

FILOSOFI GARUDA SEBAGAI LAMBANG NKRI

1. Aspek Kisah/Cerita Asal-usul Garuda


Garuda adalah hewan mitologi dalam agama Hindu, diambil dari bahasa sansekerta
yaitu “Garula”. Kisah burung garuda ditemukan pada kitab mahabharata khusus pada
bagian pertama yaitu adiparwa. Cerita awalnya adalah seorang bernama Kasyapa
memiliki 14 istri, dua di antaranya Kadru dan Winata yang belum dikaruniai anak, lalu
Kasyapa memberikan 1.000 telur kepada Kadru dan 2 telur kepada Winata. Telur yang ada
pada Kadru menetas dan menjadi 1.000 ekor ular sakti, sedangkan milik Winata belum
menetas. Karena Winata merasa malu, dia pun menetaskan satu telur kemudian menjadi
seekor burung yang kecil tanpa kaki dan cacat. Kemudian Winata diperbudak oleh Kadru
sekaligus merawat 1.000 ekor ular sakti itu. Singkat cerita, telur lain Winata menetas dan
menjadi seekor burung garuda yang besar, bersinar, sakti dan gagah. Kadru pun menyuruh
Garuda untuk mengambil amerta (air kehidupan) yang dilindungi para dewa dan berhasil
melawan para dewa dan menyemburkan air pada api sekeliling amerta serta membawanya
kepada Kadru untuk menyelamatkan Winata. Kebebasan amerta dan Winata sudah
membuat 1.000 ular sangat senang, namun Garuda tidak kehilangan akal. Garuda
mengibaskan sayapnya dan mencipratkan lumpur pada 1.000 ekor ular yang membuat
mereka membersihkan badan mereka ke sungai. Selagi membersihkan badan, Garuda
membawa amerta kembali pada dewa melalui dewa Wisnu pada saat itu dan menjadi
tunggangannya.

Maka, dengan cerita inilah dipetik oleh nenek moyang Indonesia yang kental akan
kepercayaannya pada jaman kuno, mengapa Garuda menjadi lambang negara kita.
Sosoknya yang berani melambangkan Indonesia sosok yang besar dan kuat. Jiwa Garuda
yang rela berkorban untuk mengeluarkan ibunya dari penderitaan diibaratkan sebagai
pemuda bangsa yang rela mati-matian mengusir penjajah untuk menyelamatkan ibu
Pertiwi di Indonesia. Dan dia juga menghormati ayahnya yang dilambangkan sebagai
Angkasa sedangkan ibunya dilambangkan sebagai tanah yang kita selalu berpijak. Sultan
Hamid II merancang lambang garuda yang kemudian diperbarui dan ditetapkan oleh
presiden Soekarno sebagai lambang resmi NKRI melalui sidang kabinet RI pada tanggal
11 Februari 1950.

2. Aspek Sejarah Lambang Garuda


Setelah merdeka, diadakan semacam sayembara untuk membuat lambang NKRI.
Pada tanggal 10 Januari 1950 dibentuklah panitia lencana negara yang bertugas
menyeleksi dan mempertimbangkan segala aspek dalam pemilihan lambang negara ini.
Ada 2 rancangan lambang negara, yaitu, karangan dari Sultan Hamid II dan M. Yamin.
Setelah melewati bermacam proses, akhirnya Sultan Hamid II yang terpilih, karena dari
gambaran Yamin menyertakan sinar-sinar matahari yang merupakan representasi dari
jepang.

Namun jika mengatakan Sultan Hamid II adalah perancang dan pendesain lambang
garuda yang pertama, maka hal itu dapat direvisi terlebih dahulu karena jauh sebelum era
kemerdekaan, ada kerajaan di tanah air yang memiliki lambang meyerupai garuda
pancasila, yaitu kerjaan Samudra Pasai di Aceh. Selain kerjaan Pasai, ada beberapa
kerajaan lain di tanah air yang juga menggunakan lambang burung garuda, seperti
kerajaan Mataram kuno namanya “garuda muka”, kerajaan Keda namanya “garuda
garagasi”, kerajaan Sumatera dan kerajaan Sintang Kalimantan.

3. Makna dan Filosofi


Secara umum, total jumlah bulu pada lambang garuda pancasila melambangkan hari
proklamasi kemerdekaan Indonesia yaitu 17 helai pada masing-masing sayap, 8 helai di
ekor, 19 helai di bagian bawah perisai dan 45 helai di leher. Pita putih bertuliskan
“Bhinneka Tunggal Ika” melambangkan kesucian dan kerukunan, paruh dan cakar
melambangkan kekuatan bangsa, warna emas melambangkan kejayaan atau keagungan,
perisai melambangkan pertahanan, warna merah putih pada perisai melambangkan
bendera kebangsaan, sedangkan hitam melambangkan titik pusat garis katulistiwa.

Pancasila diambil dari bahasa sansekerta yaitu “panca” berarti lima dan “sila” adalah
prinsip. Sedangkan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan salah satu kutipan kitab Kakawin
Sutasoma karya Mpu Tantular yaitu; “Bhinneka” adalah raga atau berbeda-beda,
“Tunggal” adalah satu dan “Ika” adalah itu. Kepala menoleh ke kanan karena selalu
diidentikkan dengan kebajikan, santun serta terpuji. Bulu dan jembul pada kepala, pada
dasarnya tidak memiliki arti khusus. Namun presiden Soekarno menyatakan agar tidak
sama seperti lambang Amerika Serikat.

Anda mungkin juga menyukai