Anda di halaman 1dari 12

Aku Dipaksa Menikahi Wanita Cantik Itu..

Seminggu lagi, aku akan menikah, tetapi hari ini aku masih di sini, kota besar, sendiri
memikirkan nasib. Tidak ada uang, tidak ada mobil, tidak ada pekerjaan, tidak ada apa-apa
selain, handphone murah, dan oh... handphoneku ini juga tak ada pulsanya.
Sewa kontrakan pun belum aku bayar, tetapi aku akan menikah seminggu lagi. Acaranya
sederhana, menikah dengan gadis kampung sebelah, di rumah keluarga gadis itu, dan aku
juga tidak kenal siapa gadis itu. Orang tuaku yang mengaturnya, dan aku masih berpikir,
mengapa orang tua gadis itu mau menikahkan anaknya dengan seorang laki-laki seperti
aku.
Aku lelaki yang apabila ditanya apa kerjanya, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Aku memang bekerja, tetapi hanya kerja sambilan di hotel, membantu kawan-kawan yang
berjualan online di internet, dan sesekali mengikuti seminar MLM. Kebanyakan waktu
dihabiskan duduk-duduk di kontrakan, menatap surat kabar untuk mencari kerja.
Lalu, atas atas dasar apa ayah dan ibu gadis itu, mau menikahkan anaknya denganku, dan
hantaran kawinnya, cuma senaskah Al Quran, dan mas kawin cuma Rp250.000. Lebih
mengherankan, semua biaya acara ditanggung oleh keluarga si gadis.
Kenapa? Aku semakin tidak mengerti, kok mau orang tua gadis itu, mengawinkan aku
dengan anak perempuannya yang cantik, yang berkerudung rapi. Ya, aku sudah melihat
fotonya, dan karena kecantikannya, aku walaupun dengan semua keheranan itu, setuju
juga dengan pernikahan yang diatur oleh keluarga ini. Ditambah, perempuan itu lulusan
universitas luar negeri, berkerja sebagai pegawai negeri yang gajinya, cukup untuk
membayar angsuran mobil BMW.
Pada mulanya, aku pikir aku ibarat tikus yang jatuh ke dalam gudang beras, tapi ketika
acara semakin dekat, aku mulai berpikir, mungkin ada yang disembunyikan oleh keluarga
si gadis. Apakah foto yang diberi sama dengan wajah asli perempuan itu? Apakah
perempuan itu sebenarnya janda? Atau yang paling menakutkan, jangan-jangan
perempuan itu sedang mengandung anak orang lain, dan aku menjadi 'ayah' untuk anak
itu.
Dari sinilah kisahku dimulai.
***
Tengah hari itu aku nekat pulang ke kampung halaman. Aku nekat, mencari tahu latar
belakang calon istriku, dan mengapa ibu bapaknya, mau melepaskan anaknya kepada laki-
laki seperti aku. Cuma, aku tidak tahu bagaimana cara untuk mencari tahu. Selama di

1
dalam bus, aku beruntung duduk di sebelah seorang laki-laki yang ramah.

Kepada laki-laki itu aku bertanya, “Bagaimana cara cari tahu latar belakang calon istri
kita?”
“Mudah kok. Kalau dia ada FB, buka FB dia, atau cari saja nama lengkapnya di internet.
Nanti ada lah informasi tentang dia. Kalau susah, pergi tempat kerjanya, tanya kawan-
kawannya, atau tanya saudara-saudaranya.”
Untuk mencari tahu tentang calonku itu di internet, nama lengkapya saja aku tidak tahu.
Aku cuma diberitahu, namanya Sarimah. Berapa banyak orang punya nama Sarimah di
internet? Banyak! Lalu aku ambil nasihat kedua dari laki-laki itu, tanya rekan-rekan
sekerjanya, dan mujur aku tahu gadis itu bekerja di kantor Bappenas.
Sampai di kampung, aku pinjam motor ayah, lalu pergi ke kantor Bappenas. Aku tidak
tahu apa jabatannya, tetapi kantor sebesar itu, pasti banyak orang yang namanya sama.
Tetapi agak tidak logis juga kalau aku langsung masuk ke kantor dan bertanya tentang
calon istriku. Lalu akhirnya aku ambil keputusan menunggu dan memperhatikan di
seberang jalan.
Aku pikir, mungkin pada waktu makan tengah hari, Sarimah dan kawan-kawannya akan
keluar, dan apabila sudah ingat wajah kawan-kawannya, setelah pulang nanti boleh lah
saya tanya tentang Sarimah. Itulah rencanaku, rencana yang diatur dengan baik. Lalu aku
pun duduk di atas motor menghadap kantor Bappenas yang cuma satu beberapa meter di
depanku.
Kemudian datang pula rasa menyesal, sebab pada jam 11 pagi, cuaca sudah terik. Di situ
belum ada pohon yang rindang, karena semuanya baru saja dipangkas dahannya. Sudah
panas terik, satpam di luar kantor mulai memperhatikanku. Bukan Cuma satpam, malah
orang yang lalu lalang di situ turut memperhatikan.
Aku lupa, jam kantor seperti itu, segala perbuatan yang tidak biasa akan jadi perhatian.
Perbuatanku, yang duduk di depan kantor bukan perkara biasa. Nampak terlalu aneh.
Akhirnya, aku semakin menyesal karena dari jauh aku lihat seorang perempuan keluar dari
kantor. Semakin dekat perempuan itu, semakin aku berdebar. Wajahnya semakin jelas,
dengan kerudung kuning muda, dan baju kurung biru muda. Dia adalah calon istriku, yang
Cuma aku kenal namanya. Sarimah. Hanya itu.
Aku sempat berpikir untuk menghidupkan motor dan kemudian pergi dari situ. Tetapi
semuanya sudah terlambat, kemudian Sarimah berkata, “Kamu Salman?”
Aku memberikan senyuman yang paling terpaksa pernah aku buat. Lebih terpaksa

2
daripada senyum terpaksa apabila bertemu dengan guru semasa sekolah dahulu.

“Ya, saya. Kok kamu bisa tahu?”


“Kawan di kantor yang beritahu, katanya ada laki-laki di sebearang jalan. Mereka
menggodaku, katanya mungkin aku kenal, dan aku pikir wajahmu sama dengan foto yang
ditunjukkan oleh ibu.”
Satu kantor pun tahun aku menunggu disini?! Duh! Payah betul caraku mencari informasi
ini. Kemudian aku memerhatikan wajah Sarimah, dan ternyata wajah aslinya jauh lebih
cantik daripada wajah di foto. Mungkin karena itu pass foto. Orangtuanya pun hanya
memberikan satu foto. Entahlah, ibu dan ayahku pun mungkin memberikan pass fotoku.
Ketika itu juga aku merasa jantungku berdebar, karena saat mengambil foto itu, aku baru
saja bangun tidur.
Aku perhatikan pula perutnya, tetapi tidak nampak ada tanda-tanda perempuan
mengandung. Saat aku memperhatikan, terasa tangannya menyilang menutupi perutnya,
dan aku malu karena ketahuan memperhatikan perutnya. Pasti dia sadar kalau aku
memperhatikan perutnya, entah apa yang dia pikirkan sekarang.
Aku rasa, Sarimah ini adalah perempuan yang berani. Berani untuk keluar berjumpa
denganku. Kalau perempuan lain, tentu mereka tidak berani. Barulah aku sadar, inilah
pertemuan pertamaku dengan calon istri aku. Pertemuan dalam keadaan yang agak aneh.
Selepas pertanyaan itu, kami terdiam. Kami hanya berdiri di tepi jalan raya, sambil
memandang ke arah yang sebenarnya agak aneh untuk dipandang. Aku memandang ke
ujung jalan, dan Sarimah memandang ke arah motor ayahku.
Aku tahu, ini keadaan yang tidak betul dan aku sebagai laki-laki perlu menunjukkan
contoh yang baik kepada calon istriku. Jadi, selepas puas berpikir dan memberanikan diri,
aku berkata, “Sudah makan?”
“Saya sedang diet.”
Nasib baik bagiku dia bilang sedang diet. Bagaimana kalau dia bilang, ayo kita makan,
aku akan sangat jahat sekali, karena di dalam dompetku cuma ada uang dua puluh ribu
rupiah. Mana cukup. Setelah itu, keadaan kembali sepi.
“Aku mau kembali ke kantor,” kata Sarimah sopan dan membuatku lega.
“Aku juga mau pulang,” balasku, dan ternyata, rasa legaku tidak berlangsung lama.
“Malam ini datanglah ke rumah.”
“Datang ke rumahmu?”
“Iya, makan malam dengan keluargaku.”

3
Aku terdiam. Berdebar-debar.
“Jemputlah sekalian ayah dan ibumu kalau mereka tidak ada halangan.”
“Baiklah, selepas maghrib insya Allah aku sampai.”
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa tidak puas hati dengan diriku. Mengapa aku
tiba-tiba menjadi kaku? Seharusnya, pada waktu itulah aku banyak bertanya dan mencari
tahu kenapa dia dan keluarganya memilih aku.
Cuma malam ini aku merasa sedikit bingung. Alamat rumah Sarimah, aku bisa tanya
ayahku, tapi mungkinkah aku patut bawa ayah dan ibuku sekaligus? Tidak.. Tidak....
Bukannya aku tidak mau, biasanya kalau ada ibu, habis semua rahasia anaknya dia
ceritakan. Beliau senang sekali menceritakan rahasia anaknya.
Lagipula aku ada banyak rahasia yang tidak patut Sarimah dan orangtuanya tahu. Rahasia
yang paling aku takuti dibocorkan oleh ibu adalah hampir setiap bulan aku masih meminta
uang kepada ibuku. Memang memalukan, tetapi untuk pergi seorang diri, aku juga tidak
berani.
Akhirnya, aku punya ide paling bagus. Aku melajukan motor ayah langsung ke rumah
kawan lamaku, Rudy. Bukan sekedar kawan lama, tetapi juga sahabat karib. Aku yakin dia
ada di rumah, karena dia juga senasib denganku, belum ada pekerjaan tetap. Bedanya, dia
bertarung hidup di kampung, dan aku bertarung hidup di kota.
Sesampainya di rumah Rudy, aku lihat Rudy sedang duduk di tangga sambil bermain gitar.
Itulah kemampuan Rudy yang sangat aku cemburui. Aku tidak pandai bermain gitar,
bahkan tak tahu caranya.... oh... ada lagi rupanya kemahiran Rudy yang tidak aku miliki.
Rudy pandai menggoda gadis dengan bermain gitar, dan Rudy sangat berani berhadapan
dengan perempuan, tidak seperti aku. Itulah akibatnya, aku tidak punya keyakinan apabila
berhadapan dengan perempuan.
“Lama banget kau gak muncul,” kata Rudy saat aku duduk di sebelahnya.
“Masa lama sih. Baru juga dua bulan lebih.”
“Lama itu.”
Aku diam, dan coba mendengarkan petikan gitar lagu rock terkenal, 'Suci Dalam Debu'.
Aku coba menyusun kata untuk mengajaknya menemaniku malam ini, tetapi belum ada
kata yang bagus.
“Aku dengar seminggu lagi kau mau nikah. Kok gak ngundang?” kata Rudy, dan itu
secara tidak langsung memberikanku jalan untuk melaksanakan rencanaku.
“Ini acara pihak perempuan, jadi mereka cuma ngundang kerabat perempuan aja.”

4
“Kerabatmu gimana?”
Aku diam, karena aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya. Sebab dengan
keuanganku sekarang, hidang mie goreng kepada tamupun aku tidak mampu.
“Lihat nanti saja lah. Kalau nanti kau sampai ke rumah ku, kau pergi dulu saja.”
Rudy semakin mengencangkan petikan gitarnya. Kini lagu Adele pula, 'Someone like you'.
Entah mengapa, lagu yang temanya kecewa saja yang dia mainkan saat ini.
“Dia cantik gak?” Rudy memandang dengan senyuman penuh berharap.
“Cantik.”
“Gimana bisa kenal dia?” Senyuman Rudy kini semakin tinggi harapannya. Harapan
jenis apa aku tidak tahu. Mungkin harapan untuk melihat aku bahagia. Walaupun aku
merasa seperti Rudy pasti berpikir tidak logis aku mendapatkan gadis cantik.
“Ayah dan ibuku yang menjodohkan. Aku terima saja.”
“Kau belum pernah ketemu dia?”
“Baru tadi.”
\“Memang dia cantik?”
“Memang cantik.”
Rudy kini memperlihatkan wajah orang yang sedang gusar dan berpikir panjang.
“Apa pekerjaannya?”
“Pegawai di Bappenas. Aku tidak tahu jabatannya. Tetapi ibuku bilang, dia punya jabatan
cukup tinggi.”
“Hmm... Dia cantik, pekerjaan bagus, tapi kok dia mau kawin denganmu? Heran.”
Aku menelan liur. Nampaknya Rudy juga sudah merasa ada sesuatu yang tidak benar. Dia
pandangi wajahku.
Rudy menyambung, “Kau, ganteng juga nggak. Heran-heran.”
Aku tersenyum pahit. Aku akui, aku memang tidak tampan dan itu pun sebenarnya
merisaukanku juga.
“Kau tidak heran?” tanya Rudy.
“Ya heran juga sih.”
“Kau sudah periksa latar belakang perempuan itu?”
Aku pandangi wajah Rudy. Akhirnya peluangku tiba.
“Malam ini kau ikut aku. Temani aku ke rumah calonku itu.”
“Hah? Buat apa?” Rudy memandang heran.
“Dia ajak aku makan malam di sana. Ketemu dengan ayah dan ibunya. Nanti itu, baru
akan aku cari tahu latar belakangnya.”

5
“Kau pergi sajalah sendiri.” Rudy kembali memetik gitar.
“Kamu kayak gak tahu aku. Aku segan. Aku butuh kamu temani aku. Kamu kan berani,
mungkin kamu bantu aku kepo juga.”
“Kepo? Kepoin apa?”
“Tanyain lah hal-hal yang bisa ditanyain. Kamu kan berpengalaman dalam dunia
percintaan. Pasti bisa bantu aku.”
Akhirnya, setelah lama aku bujuk, Rudy pun setuju.
***
Malam itu, walaupun aku sudah salin alamat dari ayahku, tetap saja aku tersesat. Aku
sampai selepas Isya, bukannya selepas Maghrib. Aku lihat makanan sudah terhidang di
atas meja, dan nampak sudah dingin. Mungkin perut Sarimah dan orang tuanya juga sudah
lapar.
“Maafkan saya karena terlambat.”
“Gak apa-apa, masuklah,” kata seorang lelaki yang sebaya ayahku. Mungkin dia adalah
ayah Sarimah dan calon ayah mertuaku.
“Ooo... Ini dia Salman. Ayahmu bilang kamu akan pulang lusa, kok cepat bener
baliknya?” tegur seorang perempuan, yang aku yakin adalah ibu Sarimah.
“Ada yang harus diurus dulu di rumah,” balasku dan kemudian berkata, “Kenalkan ini
kawan saya Rudy. Ibu dan ayah saya tidak bisa datang.”
Kemudian, Sarimah keluar dari dapur dan dia kelihatan sangat cantik. Tertegun aku dan
aku sempat melihat wajah Rudy yang ikut tertegun.
“Beruntung kamu,” bisik Rudy.
Selepas makan, kami duduk di ruang tamu dan pada waktu itulah, aku lirik-lirik Rudy
supaya mulai menjalankan rencananya.
“Kata Salman, ini pertama kali dia berjumpa dengan bapak dan ibu ya. Malah dengan
Sarimah pun baru tadi ketemu.” kata Rudy, dan aku mulai berdebar-debar.
“Iya, ini pertama kalinya. Sebelumnya, kami lihat wajahnya dalam pass foto yang diberi
oleh ibunya.” jawab ayah Sarimah.
Aku semakin berdebar-debar. Ibuku ngasih pass foto? Ah, sudah! Matilah aku!
“Tidak sangka, orang aslinya ganteng juga.” sambung ibu Sarimah.
Aku mulai merasa pipiku panas. Jarang sekali ada orang yang memuji aku tampan.
Kalaupun ada, pasti ada maksudnya. Atau mungkin, ibu Sarimah hanya ingin menjaga
perasaanku.
“Itulah saya heran. Karena Salman bilang, orangtuanya yang mengatur. Gak nyangka,

6
zaman sekarang masih ada ya pernikahan yang diatur oleh orang tua. Apa rahasianya
Pak?” Rudy memang tidak menunggu lama, terus saja dia bertanya sambil ketawa-
ketawa kecil. Jadi, walaupun ini persoalan serius, tetapi ia nampak seperti bergurau.

“Tidak ada rahasia apa-apa. Emang Salman gak ngasih tahu kamu?”

Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan menggeleng.

Lalu aku bilang, “Sebenarnya saya pun tidak tahu apa-apa.”

“Kamu tidak tanya ayah dan ibumu?”

Pada saat itulah, aku mulai merasa menyesal. Ya, aku tidak tanya pun kepada ayah dan
ibuku mengapa beliau memilih Sarimah. Yang aku tahu, ibuku cuma tanya, “Mau ibu
carikan kamu jodoh?” Aku pun menjawab, “Boleh.” Tiba-tiba, dua minggu kemudian,
aku sudah bertunangan dan dalam satu bulan akan menikah. Itupun tunangan pakai uang
ibuku. Memalukan betul.

“Saya tidak tanya.”

Ayah Sarimah mulai ketawa kecil.

“Begini, saya dan ayah kamu itu memang sudah lama kenal. Suatu hari, ngobrol-ngobrol
di kedai kopi, kami bercerita tentang anak masing-masing, kemudian bercerita tentang
jodoh, dan akhirnya, terus kepada rancangan mau menjodohkan anak masing-masing.
Setelah itu, inilah yang terjadi,” jelas ayah Sarimah.

“Begitu saja Pak? Mudah sekali ya!” Rudy nampak terkejut, dan aku pun sebenarnya
agak terkejut juga. Ya, mudah sekali ternyata.

Ibu dan ayah Sarimah hanya tersenyum lebar.

Ayahnya berkata, “Tidaklah semudah itu. Kami pun mau yang terbaik untuk anak bungsu
kami. Kami pun mencari tahu latar belakang Salman.”

7
“Jadi Bapak tahu Salman ini menganggur dan tidak punya duit?” tanya Rudy, membuat
aku geram tetapi dalam saat yang sama merasa sangat malu. Tiba-tiba aku berdoa supaya
tubuhku menjadi kecil, supaya aku bisa menyembunyikan bukan saja muka, tetapi seluruh
tubuhku di balik bantal.

“Tahu,” jawab ayah Sarimah sambil ketawa kecil lagi.

“Jadi?” Rudy bertanya sambil memutar tangan kanannya. Aku rasa, sebenarnya Rudy
mau bilang, “Jadi, mengapa masih pilih Salman?” Mungkin karena tidak sampai hati,
dia cuma pakai isyarat tangan saja. Ya, aku tahu betul sebab sudah lama aku kenal Rudy.

“Itulah yang diberitahu oleh ayahnya. Katanya, anak dia tidak tampan, tidak ada
pekerjaan tetap, dan malah, bulan-bulan masih minta duit dari ibunya. Tetapi, dari situlah
Bapak tahu, Salman ini akan menjadi suami yang baik.” Ayah Sarimah tidak lagi
tersenyum, sebaliknya memandangku dengan wajah serius. Aku terus menunduk malu.
Malunya aku. Rupanya mereka sudah tahu kalau aku ini masih minta duit selama
berbulan-bulan kepada ibuku.

“Jadi?” Rudy sekali lagi menggerak-gerakkan tangannya.

“Ayahnya juga bilang, anaknya sering menelepon kampung, paling tidak dua kali
seminggu. Dan, walaupun dia tidak punya pekerjaan tetap, kerjanya pun tidak menentu
dengan gaji yang kecil, tetapi setiap kali mendapat gaji, ayahnya memberitahu, dia tidak
pernah lupa memberikan sedikit kepada ibunya. Walaupun cuma dua ratus ribu. Jadi,
bayangkan walaupun hampir tiap bulan dia kekurangan uang, tapi dia masih mau
membantu orang tua. Itulah namanya tanggungjawab!”

Aku tertegun. Aku sebenarnya tidak menyangka ayahku menceritakan perkara itu juga
kepada ayah Sarimah.

“Ooo... Tanggungjawab,” Hanya itu kata Rudy sambil mengangguk-angguk.

Ayah Sarimah menyambung perkataannya, “Tanggungjawab itu, bukan saat kita kaya

8
saja. Tanggungjawab itu adalah sesuatu yang kita pegang disaat kita susah dan disaat kita
senang. Lalu, dalam rumahtangga, tidak selamanya senang. Lebih banyak saat susahnya.
Jadi, Bapak akan lega, karena tahu anak Bapak berada dalam tangan laki-laki yang
bertanggungjawab.”

“Betul juga ya Pak. Lagi pula, Salman ini setahu saya dia tidak pernah lupa shalat dan
tidak punya pacar, karena dia takut perempuan, hehe.” tambah Rudy yang membuat aku
tersipu-sipu. Tidak kusangka Rudy memujiku.

“Shalat itulah perkara utama yang Bapak tanya kepada ayahnya, dan pacar pun Bapak
tanya.” Ayah Sarimah kembali tertawa kecil.

“Susah mau cari orang seperti Bapak di zaman ini. Zaman sekarang, semua mau menantu
kaya,” tambah Rudy lalu terlihat wajahnya tiba-tiba murung. Mungkin dia sedang
bercerita tentang dirinya sendiri secara tidak sadar.

“Dulu, waktu Bapak menikahi ibu Sarimah, hidup Bapak pun susah. Bapak juga orang
susah, cuma bekerja sebagai pembantu pejabat, sedangkan ibu Sarimah itu anak orang
kaya di kampung. Alhamdulillah, keluarga istri Bapak termasuk yang terbuka. Lalu,
kenapa Bapak tidak memberi peluang kepada orang yang susah, sedangkan Bapak dulu
pun diberi peluang. Yang penting, dia susah bukan karena dia malas, tetapi karena
memang belum rezeki. Beda sekali, orang malas dengan orang yang belum ada rezeki.
Kalau susah karena duduk-duduk di rumah dan tidur berguling-guling, memang Bapak
tidak akan terima,” jelas ayah Sarimah dengan panjang lebar.

Aku berasa mulai sedikit lega. Tidak kusangka, begitu pikiran ayah dan ibu Sarimah.
Perlahan-lahan, perasaan maluku itu mulai berkurang. Perlahan-lahan juga, perasaan
curigaku kepada Sarimah ikut berkurang.

“Anak Bapak hebat juga. Dia mau nurut kata Bapak. Zaman sekarang, biasanya
semuanya sudah punya pacar,” kata Rudy. Aku tahu, Rudy juga sedang memasang
umpan untuk mengetahui latar belakang Sarimah sekaligus. Aku kembali berdebar-debar.

“Alhamdulillah. Bapak sangat bersyukur diberi anak seperti Sarimah. Awalnya, Bapak

9
khawatir juga, tetapi setelah satu minggu, Sarimah bilang setuju. Cuma Bapak tidak tahu
apa yang membuat diadia setuju, mungkin Salman bisa tanya dia sendiri setelah menikah
nanti,” kata ayah Sarimah, lalu dia, istrinya dan Rudy tertawa bersama. Tinggal aku dan
Sarimah saja yang duduk diam-diam malu. Sempat aku melirik Sarimah, dan bertanya
dalam hati, “Mengapa kamu mau dengan lelaki seperti aku?'

***

Alhamdulillah. Allah mudahkan usaha kami. Aku sudah sah menjadi suami Sarimah, dan
setelah bersalaman dengan Sarimah, rasa gentar dan maluku kepada Sarimah mulai
berkurang. Malah aku mulai memanggilnya, 'sayang'. Lalu setelah resepsi, aku dan
Sarimah masuk ke dalam kamar, berdua-duan untuk pertama kalinya.

Dalam hati, masih kuingat pertanyaanku pada malam aku bertemu ayah dan ibu Sarimah.
Kini pertanyaan dalam hati itu aku nyatakan dengan lidah, “Sayang, mengapa kamu
setuju untuk menikah dengan laki-laki sepertiku? Laki-laki yang belum tentu masa
depannya, dan mungkin juga membuat dirimu menderita.”

Tidak kusangka, pertanyaan melalui lidahku menjadi lebih panjang dan detil dari
pertanyaan dalam hati.

Sarimah yang saat itu sedang duduk malu-malu, memandangku lalu mencium tanganku,
dan berkata, “Ampuni Sarimah bang, ampuni Sarimah.”

Aku mulai berdebar-debar dan tidak enak hati.

“Ampuni apa sayang?”

“Sebab, Sarimah sebenarnya sempat curiga juga dengan Abang. Sarimah sempat tidak
yakin dengan Abang. Malah Sarimah minta tolong kawan Sarimah, yang kebetulan tinggal
bersebelahan dengan Abang di kota supaya mencari tahu latar belakang Abang. Malah,
Sarimah juga solat iskhtikarah hanya karena ragu-ragu kepada Abang.”

Debar jantungku kembali menurun. Rupanya, Sarimah lebih dulu mencari tahu latar

10
belakangku? Malunya aku. Tetapi sekarang dia sudah jadi istriku, lalu aku angkat
kepalanya dan kupandangi matanya.

“Abang ampunkan. Abang pun minta maaf, sebab Abang pun pernah juga berasa curiga
kepadamu.”

Sarimah tersenyum. Bukan senyum manis biasa, tetapi senyuman seorang perempuan
yang bahagia, dan senyuman itu sangat ajaib karena ikut membuat aku merasa bahagia.
Mungkin inilah perasaan bahagia yang datang karena kita membahagiakan orang lain.
Tetapi pertanyaanku tadi masih belum terjawab sepenuhnya.

“Jadi, apa kata kawanmu?” lanjutku ingin tahu. Aku risau, takut kawannya
membicarakan yang tidak-tidak.

“Katanya, Abang ini tidak punya pekerjaan tetap. Motorpun pinjam punya teman, tapi
katanya dia selalu melihat Abang membaca koran untuk mencari kerja, mengirim surat
lamaran, dan selalu memeriksa kotak surat kalau-kalau ada surat lamaran yang dibalas.
Maksudnya, Abang ini orang yang rajin berusaha. Katanya lagi, dia tidak pernah melihat
Abang keluar dengan perempuan. Shalat pun pasti Abang berjamaah.”

Aku mulai tersipu malu. Takut ketahuan kalau aku tersipu, aku pun bertanya, “Tetapi
orang secantik dirimu pasti banyak orang yang tertarik kan? Pasti banyak yang mau
meminang dirimu, dan mungkin pasti juga yang ada sudah datang ke rumah untuk
meminang.”

Sarimah sekali lagi tersenyum.

“Ya, memang banyak laki-laki yang mencoba dekat dengan Sarimah, tetapi Sarimah
sangat takut. Sarimah ingat dengan kakak”

“Mengapa dengan kakak, sayang?” tanyaku segera.


Sarimah pun bercerita panjang lebar, dan aku baru tahu kalau kakaknya sudah meninggal.
Kakak Sarimah dulu juga seorang perempuan cantik, dan banyak laki-laki yang
meminangnya. Akhirnya, dia menikah dengan lelaki pilihan hatinya sendiri. Laki-laki

11
yang tampan, berpendidikan tinggi, dan bekerja dengan gaji yang lumayan. Sayangnya,
setelah satu tahun menikah, suami kakaknya mulai berubah karena belum juga
mendapatkan anak. Dia mulai pulang terlambat, dan suka marah-marah.
Bahkan, suaminya sampai di PHK karena krisis ekonomi. Hidup mereka menjadi susah,
dan suaminya juga semakin banyak berubah. Dia sudah tidak pulang berhari-hari, apabila
pulang, hanya untuk meminta uang, marah-marah dan memukul istrinya. Kemudian
terungkaplah bahwa selama ini suami kakaknya itu sudah memiliki perempuan lain. Lalu
pada hari itu, dengan hati yang kusut, kakak Sarimah gagal mengendarai mobilnya hingga
kecelakaan dan meninggal dunia. Diakhir ceritanya itu, aku langsung menggenggam
tangan Sarimah erat-erat.
“Karena itulah, Sarimah takut kalau mau menerima laki-laki sembarangan dalam hidup
Sarimah. Malahan, Sarimah juga sebenarnya sudah mengamanahkan ayah dan ibu untuk
mencari laki-laki yang sesuai untuk Sarimah. Biar tidak kaya, biar tidak tampan, tetapi
lelaki itu mampu membahagiakan hidup dengan kasih sayang dan mendamaikan hati
dengan agama.”
Akhirnya, semuanya sudah jelas. Kenapa ayah dan ibu Sarimah memilih laki-laki
sepertiku, dan mengapa Sarimah menerimaku dalam hidupnya. Genggaman tanganku
semakin kuat.
“Abang... Tolong jaga Sarimah. Jaga dan mohon jangan lukai hati Sarimah. Mohon
bang,” rayu Sarimah dan air matanya pun mulai menggenang, dan kemudian menetes di
pipinya yang cantik. Aku segera menyeka air mata Sarimah.
“Abang bukanlah laki-laki terbaik, dan Abang tidak mampu berjanji menjadi suami yang
terbaik untukmu. Abang cuma mampu berjanji, Abang berusaha menjadi laki-laki yang
terbaik itu, dan berusaha menjadi suami yang terbaik untukmu,” kataku perlahan, dan
Sarimah terus memelukku. Aku merasa, bahuku sudah basah dengan air mata Sarimah.
Karya : Bahruddin Bekri

12

Anda mungkin juga menyukai