Anda di halaman 1dari 92

1 | FROM J

JEVIAR

Secara refleks dan begitu tiba-tiba, gue menghentikan langkah gue begitu sesuatu yang
terpajang di sebuah etalase. Mata gue tertuju kesana, mengamati lengkungan benda-benda
cantik berkilau yang tergeletak di atas permukaan beludru biru. Mereka semua indah, tapi
pandangan gue langsung tertancap ke salah satu yang keliatan begitu sederhana dari
kejauhan, seakan benda itu hanya polos tanpa ada tambahan ornamen apapun, namun kalau
diperhatikan secara seksama, lo bakal ngeliat kilau mata berlian mungil yang awalnya nggak
keliatan. Gue masih menatap kesana, sementara Raya yang berada di samping gue keliatan
heran karena gue berhenti secara mendadak macem cewek metroseksual baru ngeliat tagline
diskon gede-gedean hingga 70% di store baju favorit.
"Kenapa sih?" katanya bertanya sambil mengikuti arah pandang gue, dan saat dia mengerti,
dia langsung mendengus pelan. "Ya ampun, Je."
"Liat-liat dulu yuk?"
"Je,"
"Cuman liat doang kok, Ra."
"Tapi kan—"
Gue nggak ngerti kenapa dia nggak pernah mau diajak ngomongin sesuatu yang menjurus
ke pernikahan. Gue yakin dia sayang gue, dan begitupun sebaliknya, lantas apa lagi yang
harus dipertanyakan? Tapi dia nggak pernah mau ngomong. Dia nggak bilang apa-apa, cuman
setiap kali kita jalan ke mal, dia selalu berusaha menarik diri jauh-jauh dari yang namanya toko
perhiasan ataupun gaun-gaun yang berhubungan dengan pengantin dan pernikahan. Gue
menarik napas, ngeliatin dia lama banget.
Mukanya keliatan ngerasa bersalah. "Maaf, tapi bukan maksud gue—"
"Kenapa?"
Dia menggigit bibirnya. Nggak bisa ngasih jawaban apapun. Matanya keliatan bingung, dan
gue benci ketika gue liat ekspresi kayak gitu di wajahnya. Gue lebih suka Raya yang percaya
diri, yang matanya bersinar karena antusiasme berlebihan tiap kali dia menceritakan apa yang
dia suka, entah itu soal kerjaannya atau business abroad trip dia yang minimalnya dilakuin dua
minggu sekali. Tiga puluh detik lewat dan dia sama sekali nggak menjawab, hingga gue
memutuskan untuk meraih salah satu tangannya yang tadi gue gandeng, mengusap
permukaannya dalam pola lingkaran dengan perlahan.
"Its okay. Yaudah yuk mending lanjut cari tempat makan aja."
"Ng... liat-liat ke tempat itu dulu juga boleh kok. Tapi sebentar aja ya?"
Gue terdiam, tapi lantas tersenyum dan mengangguk. Senyum gue bisa dipastiin bikin dia
lega, karena gesturnya jauh lebih rileks daripada sebelumnya. Pramuniaga toko perhiasan itu
langsung memasang setelan senyum ramah nan resminya waktu kita berjalan masuk, dan saat

1|A Little Longer Than Forever


dia membungkuk, samar gue mencium aroma parfum yang pekat di udara. Well, satu hal
lainnya yang bikin gue benci belanja di gerai ekslusif adalah kemewahan dan keramahan
mereka yang menurut gue begitu artifisial. Palsu. Serta segambreng penjelasan tentang
kualitas produk yang menurut mereka berkelas. Lucunya lagi, pelayanan sok ramah itu nggak
mereka kasih buat semua pelanggan, tapi hanya beberapa yang secara fisik menurut mereka
cukup "mampu" untuk ngebeli barang yang mereka jual.
Kalau bahkan nilai seorang manusia dinilai dari baju yang dia pake, tas yang dia bawa,
dan make-up yang dia templokin ke muka, bukankah itu artinya manusia nggak ada bedanya
sama benda? Konyol.
"Kenapa?" Raya bertanya lagi begitu dia ngeliat gue mengerutkan hidung.
"Gue nggak suka bau parfum tuh mbak-mbak," kata gue sambil nunduk, bernapas tepat di
bawah daun telinganya yang bikin dia ngerasa kegelian.
"For God's sake, J, we are in public."
"Bentar doang. Buat netralin idung gue."
"Ck." Dia memutar bola matanya, lantas menyikut rusuk gue hingga gue nggak punya
pilihan lain selain mengerang pelan sambil menarik wajah gue menjauh. Sikutannya hampir
nggak kerasa, tapi ya paling nggak lebih powerful daripada sikutannya beberapa bulan yang
lalu. Kayaknya rajin ke gym ngasih efek yang lumayan bagus buat dia, yah meskipun dia masih
aja cewek sok cool yang belagak keliatan kuat ketika buat ngebuka tutup botol saos ABC aja
masih minta tolong ke gue.
Kita melangkah, menatap satu-persatu benda berkilau yang terpajang di etalase sambil
mendengarkan pujian kosong dari si mbak-mbak gerai yang menurut gue nggak penting. Dia
bilang kita cocok. Raya ngebales tuh pujian dengan satu kalimat terimakasih sementara gue
mengabaikannya, hanya memandang penuh konsentrasi pada jajaran benda-benda bulat
dengan bentuk mata yang berbeda-beda di atas hamparan beludru.
"Suka yang mana, Ra?"
"Hah? Apaan?"
Gue menyentakkan kepala. "Suka yang mana?"
"Semuanya bagus."
"Bisa bangkrut gue kalo kudu ngebeliin lo semuanya, Ra. Lagian jari manis lo cuman ada
dua."
"HAH? EMANGNYA LO MAU BELIIN BUAT GUE?"
Ya Tuhan. Pengen rasanya gue ngejitak nih anak satu. Heran, gimana bisa dia nyampe
Jepang dan diterima di salah satu instansi bergengsi negeri ini dengan kapasitas otaknya yang
kayaknya nggak nyampe satu liter. Lemotnya nggak ketulungan, untung gue sayang. "Ra,"
"KATANYA TADI LIAT-LIAT DOANG??"
Muka si mbak-mbak gerai pada berubah. Mereka justru merhatiin kita berdua cekcok nggak
penting dengan salah satu alis terangkat.
"Raya,"

2|A Little Longer Than Forever


"Je, kalau mau ngasih cincin mah beli aja cincin gocapan di abang-abang tuh sekalian pake
ukiran nama. Ngapa juga beli mahal-mahal disini?"
"Raya, mana ada orang tunangan pake cincin abang-abang?"
Pelototannya makin gede. "LO MAU TUNANGAN AMA SAPA? AMA GUE?"
Gemes. Asli. Kalo udah kayak gini gue pengen makan nih orang. "Ra, gue jitak juga nih
lama-lama."
"Je,"
"Hah? Cepet pilih lo suka yang mana?"
"Je, lo serius nggak sih?"
"Gue serius."
"Tunangan?"
"Maunya sih langsung nikah, Ra."
Mukanya langsung horror abis. Dia ngeliatin gue seakan gue baru aja melorotin kolor
bokapnya sampe lepas. "Je,"
"Serius deh. Gue udah dilangkahi ama tuh Yohana Butarbutar masa nanti gue kudu tetep
ikhlas dilangkahin ama Faris atau ama Adrian atau ama Rama? Please ya, harga diri kita
berdua mau dikemanain coba, Ra?"
"Yaudah sana nikah duluan."
"Ra,"
"Je,"
"Ahelah." gue menghembuskan napas. "Tinggal pilih aja mana yang lo suka."
"Emang lo punya duit?"
Beneran minta dijitak. Yaudah. Karena gue udah terlanjur gregetan, akhirnya gue jitak
begitu aja kepalanya. Si mbak-mbak gerai masih aja ngeliatin kita dengan pandangan sumpah-
lo-tinggal-pilih-terus-bayar-aja-cok-jangan-banyak-bacot sementara Raya sibuk ngusap bagian
atas kepalanya sambil merengut. Cute banget, bikin gue harus memohon sama Tuhan biar gue
dikasih kekuatan untuk nggak langsung nyosor dan nyipok dia disini. Gila aja lo, nggak elit
banget cipokan ditontonin sama mbak-mbak gerai perhiasan.
"Sakit tau." Katanya menggerutu.
"Lagian lo bacot banget tinggal pilih aja satu. Udah kan kelar."
"Serius deh, jangan main-main. Harganya juga kan nggak murah."
"Ya Tuhan, Raya Alviena, emangnya muka gue keliatan kayak lagi main-main?"
Dia mengamati muka gue sebentar. "Muka lo kaga pernah keliatan serius. Suer."
Gue melepaskan satu hela napas frustasi dari mulut gue sambil menatap cewek di depan
gue dengan pandangan bertanya-tanya. Bertanya-tanya kenapa gue bisa sayang setengah
idup ama nih bocah satu. Bertanya-tanya kenapa juga Raya bisa lemot banget macem anak
SMP yang baru pertama kali nonton bokep. "Raya,"
"Hah?"
"Kok lo ngeselin sih?"

3|A Little Longer Than Forever


Dia ngegigit bibirnya. Keliatan banget kalo dia bingung mau jawab apa. Astaga. Oke, gue
ngerti kalau dia bukan kayak tipe cewek kebanyakan yang bisa dengan gampangnya
ngomongin komitmen. She has a very open-mind, I can see that clearly since the very first day
that we met. Komitmen adalah sesuatu yang agak sedikit terlalu mengerikan buat orang yang
pengen punya kebebasan sebesar-besarnya kayak dia. Bukan berarti dia nggak membutuhkan
orang lain, hanya aja, dia terlalu takut membayangkan terikat sama seseorang seumur hidup,
ketika hati seseorang nggak akan pernah sama selamanya. Musim selalu berganti, dan gue
nggak bisa memastikan apakah hati gue bakal tetep sama besok-besok. Tapi untuk sekarang,
gue sayang ama dia, terlalu sayang sampai-sampai gue cukup egois untuk nggak mau biarin
dia pergi lagi.
Anggap gue sinting, anggap gue posesif, tapi itu bukan sepenuhnya salah gue. Entah udah
berapa kali dia menghilang begitu aja dari hidup gue, belom lagi business tripnya yang kadang
begitu dadakan, hingga pernah beberapa kali gue dateng ke apartemennya cuman untuk
nemuin sticky notes nempel di kulkas, ngasih tau kalau dia bakal ada di negara A selama
berapa minggu dan baru balik di akhir bulan. Stress? Nggak usah ditanya. Gue cabut Bandung-
Jakarta begitu kelar kerja di hari Jumat buat apa lagi selain buat nemuin dia? Pas ditelepon dia
malah cuman cengar-cengir sambil minta maaf. Kan kampret, jadinya gue nggak bisa marah.
Kalo dia gini terus, gue jadi kesel. Bukan cuman sama dia. Tapi sama diri gue sendiri.
Segitu belangsaknya kah gue sampe dia bahkan nggak yakin buat ngabisin sisa hidupnya sama
gue? Plis ya, kita udah kenal dari jaman gue lari-lari di jalan komplek pake kolor spiderman
karena menghindar dari nyokap gue yang nyuruh gue mandi sore. Itu artinya, dia udah terjebak
bersama gue selama belasan tahun. Apa yang bakal bikin beda seandainya suatu saat nanti
kita tinggal serumah, bersama versi mini dari kita berdua yang lebih lucu?
Gue melengos, mau melangkah pergi dengan jengah pas Raya tiba-tiba ngeraih tangan
gue.
"Je,"
"Hn."
"Jangan marah."
"Gue nggak marah."
"Lo marah."
"Yaudah. Tuh udah tau."
"Plis."
"Terserah lo aja deh, Ra."
"Jangan marah. Plis. Lusa udah Senin dan kita baru bisa ketemu lagi minggu depan. Gue
nggak mau waktu kita habis buat marah-marah." katanya, "Yaudah. Gue pilih. Gue pilih satu
yang paling gue suka."
"Really? Yang mana?"
"Itu." katanya sambil nunjuk salah satu, bikin mata gue langsung terarah kesana. Well, she
always has that good taste in almost everything. Bentuknya sederhana, namun ada gores detail

4|A Little Longer Than Forever


di permukaan logam lengkungan tuh cincin yang baru keliatan ketika lo bener-bener
memperhatikan. Detail yang indah, kayak sulur bebungaan atau apa, gue nggak tau.
"Kenapa yang itu?"
"Emang kenapa? Lo nggak suka?"
"Bukan gitu. Biasanya kan lo milih sesuatu karena ada filosofinya. Inget gimana lo ngasih
gue bunga bakung pas gue sakit dulu?"
"Bukan bunga bakung, bego. Bunga Daffodil."
"Alah sama aja."
"Ck. Kampung ah. Tapi ya, gue milih itu, soalnya sulurnya kayak mistletoe."
"Jangan bilang karena lo masih demen ama tuh Bieber-Bieber. Ya ampun, Ra, its so
yesterday. Please, lo kan bukan anak SMP lagi."
Mukanya memerah sedikit waktu dia meninju bahu gue pelan. "Apa sih, kampret. Gue kan
bukan fangirl lagi sekarang ya, plis."
"Bukan fangirl tapi masih menggeliat najis tiap kali liat Thomas Sangster."
"Namanya juga cewek." Dia berdecak. "Ahelah lo nih mau dengerin alesan gue milih tuh
cincin apa enggak?"
"Iya-iya, buru ngomong."
"Soalnya ya, mistletoe itu kayak semacem lambang cinta abadi gitu nggak sih? Kan ada
mitos katanya kalo orang nyium orang yang dia sayang di bawah mistletoe, cinta mereka bakal
abadi. Eh ya nggak sih?"
"Hm."
Mukanya memerah lagi. "Apaan lo ngeliatin gue kayak gitu."
"Abadi lo bilang?"
"Iya, kenapa emang hah?"
"Gue nggak nyangka kalau lo pengen selamanya bareng sama gue."
"Kat—ah sial." Dia menghela napas. "Iya. Gue emang selamanya mau bareng sama lo.
Kenapa? Masalah? Lo nggak mau? Lo keberatan?"
Gue terdiam sejenak, sempet kaget karena nggak biasanya dia langsung ngomong blak-
blakan gitu. tapi ngeliat mukanya yang merah malu campur kesel kayak gitu bikin gue nggak
bisa nahan diri buat nggak ketawa. Gue ketawa kecil sambil ngeliatin dia, lantas ngasih kode ke
mbaknya untuk memproses transaksi biar gue bisa bawa pulang tuh cincin bergurat mistletoe-
atau apalah itu. Si mbak langsung bergerak dengan cekatan, namun Raya masih aja cemberut
waktu gue ngeluarin sekeping kartu plastik dari dompet gue. Lucu banget minta dicubit.
"Napa lagi sih, Ra? Cemberut gitu. Lo pikir cantik?"
"Tau ah."
"Ra,"
"Bodo." Katanya sambil ngeloyor pergi. Gue ngeliatin punggungnya, sambil masih ketawa,
kemudian ngikutin dia ketika acara transaksi blablablanya selesai. Dia masih aja ngambek. Tapi
paling enggak gue masih bisa ngerasa seneng karena berhasil bawa pulang satu kotak cincin

5|A Little Longer Than Forever


yang udah dia pilih. Sebuah kemajuan. Untuk saat ini cukup, sampai gue bisa nemuin waktu
yang pas buat mindahin tuh cincin dari kotak beludru ke jari manisnya.

***

Gue mendengus sambil ngelempar kaleng Pringles yang udah kosong ke sesosok cowok di
depan gue. Dengan gesit, tuh cowok menghindar lantas ketawa terbahak, bikin empat cowok
lainnya ikutan ketawa puas. Monyet. Temen-temen macem apa mereka, bukannya ngasih
saran malah sibuk ngetawain sana-sini. Kan nyebelin. Padahal siapa coba yang dibebanin pas
mereka lagi struggle ama kisah cinta masing-masing yang dramatisnya kayak serial murahan di
tv kalau bukan gue? Pas gue susah dulu aja, mereka boro-boro ada. Faris kabur keluar negeri
waktu itu, Edgar sibuk ngurusin persahabatannya ama Hana yang hampir ancur, begitupun Dio
yang sibuk ngapalin isi diktat segede dosa sambil masih mikirin Hana yang tiba-tiba ngejauh.
Gue nggak perlu juga kan nyeritain Adrian yang harus direpotin ama masalah dua kakak
ceweknya, ataupun cewek jutek bernama Aries yang sekarang entah dimana kabarnya? Kalau
Rama sih nggak usah ditanya. Dia masih aja berkutat di samping matahari senja
kesayangannya sampe sekarang. No progress, sejauh yang gue liat. Hubungan mereka gitu-
gitu aja.
"Gue sakit hati kalo kayak gini caranya. Kenapa juga kalian pake ketawa?"
"Abis lo lucu." Dio berkomentar dengan tawa geli. Komuk-komuk cerah ala pengantin baru.
Kampret nyebelin.
"Gue bukan pelawak."
"Hidup lo tuh panggung lawak, jing." Faris berkomentar santai. "Tibang lamar aja, jeder dia
pake kotak cincin. Kalo perlu berlutut sekalian. Udah kelar kan. Lo-nya aja yang terlalu
mendramatisir."
"Atau mungkin Raya nggak yakin buat kawin ama lo?"
"Bukan sepenuhnya salah dia sih," Adrian cengar-cengir. Ganteng, tapi bikin gue pengen
ngehantem mukanya pake asbak. "Siapa juga yang yakin buat hidup selamanya bareng ama
lo? Salwa yang penyabar aja kabur."
"Nggak usah bawa-bawa mantan gue plis."
"Gini deh, Jev, menurut gue lo ajakin aja dia kawin langsung." Ujar Rama.
"Kalo dia nggak mau?"
"Yaelah tong, gitu aja repot," Faris nyamber, "Ya ajak lagi lah! Lo jangan menghancurkan
martabat kita sebagai anggota perserikatan lelaki kece pantang ditolak dong! Terus aja desak
dia sampe dia nggak bisa menghindar."
"Sadis."
"Kalau gue nggak sadis, gue nggak bakal bisa dapetin cewek yang gue sayang, bro."
"Jadi gimana?"
Edgar keliatan mikir. "Lo ketemu lagi sama dia kapan?"
"Minggu depan."

6|A Little Longer Than Forever


"Pacarannya weekend doang, itu pacaran ama rekreasi keluarga?"
Gue ngelempar Rama pake gumpalan tissue di tangan gue. "Bacot."
"Ck. Yaudah gini deh," Edgar kembali mengarahkan pembicaraan ke jalur yang benar.
"Nanti pas weekend lo ama dia ada rencana kemana? Kalo bisa arahin ke tempat yang
romantis yang instagramable-lah, yang bakal bikin dedek gemes meneriakkan kata-kata
'relationship goals' dengan mupeng tingkat kabupaten. Cewek dimana-mana bakal luluh kalo lo
romantisin macem ending cerita dongeng, Jev."
"Masalahnya, Raya nggak suka baca dongeng. Dia terlalu realistis."
Faris ngegaruk lehernya. "Lagian lo juga sih, macarin cewek yang terlalu fokus ama
kariernya kayak Raya."
"Yah gimana dong kalau gue udah mentok di dia, gue bisa apa?"
"Mampus rasain tuh karma," Adrian mencibir. Wajar sih, karena daridulu dia adalah pihak
yang paling vokal kalo udah menyangkut urusan gue sama sederetan penghuni asrama puteri
gue. "Btw lo ama Raya mau kemana weekend ini?"
"Apartemennya-lah. Movie marathon."
"Sama main kuda-kudaan." kata Faris, lagi-lagi nyeletuk dengan senyum mesum ala om-om
yang bikin gue pengen nyumpel mulutnya pake kaos kaki baunya Rama. Sial emang nih bocah.
"Jangan melotot kayak gitu dong, Jev. Gue bener kan tapi? Mustahil banget kalo lo berdua bisa
berada di apartemen yang sama semaleman tanpa ngapa-ngapain."
"Bukan urusan lo ya."
"Yah, siapa juga yang mau ngurusin? Gue udah puas sama yang gue punya kok. Maap-
maap nih."
"Apa sih nggak jelas."
"Yaudah deh." Edgar menghembuskan napas. "Gue nggak ngerti Raya harus digimanain.
Dan rasanya sia-sia juga kalo lo nanya ke kita-kita, soalnya lo udah lebih lama kenal ama tuh
cewek daripada kita-kita. Jadi otomatis lo lebih ngerti dong? Lo tau dia. Lo paham apa yang jadi
ketakutan dia, apa yang bikin dia jadi terlalu realistis ampe susah banget cuman buat diajak
kawin-eh nikah doang. Bicara dari hati ke hati aja. Nggak peduli berapa kali lo harus nyoba, gue
yakin lo bakal berhasil. Pertama, karena dia sayang banget sama lo. Dan kedua, karena lo
berdua udah sama-sama mentok sama satu sama lain. stuck. Terjebak. Nggak bisa diapa-apain
lagi."
"Anjir master percintaan!" Adrian berseru. "Lo bisa ngasih advice bijak ke nih kutu kasur
satu, tapi napa lo diem aja pas gue curhat soal Aries ke elo?!! Nggak adil!"
"Kalo soal lo sama Aries sih gue angkat tangan, Yan. Lo berdua mah masalahnya dibuat-
buat sendiri."
"Tai banteng lo."
Edgar malah ketawa. Lalu tawa itu disusul tawa yang lainnya, termasuk gue. meskipun
begitu, diem-diem gue berpikir dalam hati.
Apa yang bikin Raya takut sama komitmen dan lebih terfokus sama kariernya yang
sekarang?

7|A Little Longer Than Forever


Gue menghela napas, saat serangkaian kata-kata yang pernah dia ucapkan terngiang lagi
dalam benak gue, kayak klip suara yang tersimpan, yang terputar begitu aja tanpa bisa gue
tahan.
Kenapa lo lebih fokus ama karir lo sih? I mean, lo nggak ada keinginan untuk nikah kayak
temen-temen lo yang lain, Ra?
Gue nggak tau. Commitment is not my thing. Soal karir, gue nggak tau. Mungkin karena
suatu hari nanti, karir gue nggak akan pernah terbangun tiba-tiba dan bilang kalau dia udah
nggak cinta lagi sama gue?
Maksud lo?
Hati manusia selalu berubah, Je. Hati lo. Hati gue. Dan gue terlalu takut untuk menghadapi
perubahan itu. Gue nggak mau ada yang berubah.
Gue akan selalu ada untuk lo, Raya.
Gue tau.
Dan dia ketawa saat itu.
Duh.
Raya, apa aja yang sebenernya udah lo lewatin selama gue nggak ada, yang bikin lo jadi
begitu takut untuk komitmen dan pikiran akan hidup bersama orang yang sama untuk seumur
hidup lo?

***

It was 2 AM and all I did was sitting there, beside the sleeping version of the most precious
woman in my life, after my Mom, of course. Gue mengamati dia, bertanya-tanya gimana dia
bisa tetep keliatan adorable bahkan dalam keadaan nggak sadar kayak gitu. Dia terlihat seperti
puisi. Rambutnya yang berantakan tersebar di bantal, nutupin sebagian wajahnya. Gue
menghela napas, kemudian mengumpulkan helai rambut dia dengan tangan gue, sampai
wajahnya terlihat jelas dan selama sejenak, pandangan mata gue terpaku sama lehernya. Well,
ada banyak tanda merah disana—masterpiece gue tentu aja, emangnya siapa lagi? Dan itu
membuat gue tanpa sadar tersenyum, walaupun cuman samar.
She is mine. Not only her soul, but her heart, and also the whole of her body.
Satu hela napas lagi, dan bayangan akan apa yang terjadi beberapa jam belakangan
membuat gue kembali ngerasa useless, karena sampe sekarang cincin yang minggu lalu gue
beli masih tersimpan rapi dalam kotaknya, sama sekali nggak tersentuh apa lagi berpindah
tempat ke jari manis nih cewek yang sekarang terlelap pulas di deket gue. Seperti yang gue
bilang minggu lalu ke Faris dan gerombolan penjahat kelamin yang entah gimana bisa
menyamar jadi sohib gue paling setia, gue bakal nyoba buat ngajakin Raya nikah—oke, agak
sedikit terlalu nggak enak istilahnya, tapi dibilang ngelamar juga kayaknya rada-rada kurang
bergengsi, jadinya gue bingung. Ya lo sebut apalah itu, mau ngajakin nikah atau ngelamar,
terserah, yang jelas gue bertekad untuk bisa ngebuat tuh cincin berpindah dari kotaknya ke
tangan Raya sesegera mungkin.

8|A Little Longer Than Forever


Gue bukan tipikal orang yang suka dating di tempat rame macem mall atau lokasi fine
dining super-hits dimana para couple dunia maya memposting foto mereka berada disana, yang
lantas dapet komentar dari satu skuad dedek gemes, dengan bunyi yang relatif sama, pastinya
nggak jauh dari kata-kata 'relationship goals' banget. Bullshit. Relationship goals palelu, hah.
Kecanggihan sosmed tanpa sadar bikin generasi kita jatuh cinta sama ilusi, merasa iri sama
sesuatu yang bahkan belum tentu ada. Yakali mereka keliatan bener-bener jatuh cinta satu
sama lain dalam foto, but you'll never know their facial expressions, their gestures to each other
when cameras are not around. Relationship goals adalah ketika lo bisa ngerasa hepi bareng
pasangan lo, bahkan dalam kesederhanaan sekalipun. Tanpa perlu embel-embel tempat makan
romantis, bunga sebanyak dosa umat manusia dari jaman nabi Adam, atau kata-kata manis sok
ngegombal.
Ahelah, kenapa gue jadi khotbah.
Intinya gitu. Dan Raya sendiri adalah orang introvert yang masih aja punya sedikit-banyak
karakteristik yang sama dengan dirinya yang dulu, entah saat SMA ataupun saat kuliah. Dia
nggak punya masalah bergaul sama siapapun, atau berkomunikasi dengan orang lain, tapi
bersosialiasi menyedot banyak energinya. Dia nggak terlalu suka keramaian, dan itulah yang
membuat acara movie marathon ditemani sejumlah menu delivery dari restoran favorit kita jadi
pilihan yang tepat buat ngabisin hari jumat malam kita berdua.
Kita mesen sejumlah menu khas restoran Padang, ditambah beberapa snack, soft-drink,
dan well, bir kalengan murahan yang bisa lo temuin dengan gampang di minimarket semudah lo
nemuin akua botolan. Bir kalengan itu, entah bagaimana selalu berhasil buat dia maupun gue
tersenyum geli satu sama lain, lantas bertatapan dan tau kalau kita sama-sama teringat ke
kejadian yang sama. Kejadian ketika gue dan dia nonton konser ketika kita masih kuliah dulu,
yang juga jadi pengalaman pertama dia nyobain minuman beralkohol kayak bir—walaupun
kadarnya rendah banget dan nggak ngasih efek apa-apa buat gue.
Lantas gue dan dia duduk bareng di ruang tengah apartemennya, di atas sofa, dengan
posisi yang selalu jadi favorit dia—dimana dia ngejadiin paha gue sebagai bantal sambil
membungkus badannya rapat-rapat pake sehelai selimut tartan tipis. Bukan posisi favorit gue,
karena gue lebih suka gue yang tiduran, tapi yah, berhubung Raya adalah pribadi yang sangat
langka buat bisa bermanja-manja, gue nggak punya pilihan lain selain mengalah sama dia.
Lagipula sejujurnya, ngacak-ngacak rambutnya adalah salah satu hal yang paling demen gue
lakuin tiap kali gue lagi sama dia.
"Ra," gue mengawali sambil melirik dia yang masih menatap serius ke layar kaca, ngamatin
muka datarnya Benedict Cumberbatch yang lagi berperan jadi Sherlock. Geez, gue nggak suka
ngeliat dia segitu terfokusnya ngeliatin muka cowok lain, apalagi tuh cowok cuman om-om bule
dengan freckles di muka yang jelas bukan apa-apa dibandingin gue.
"Hn?"
"What's so scary about marriage?"
Pertanyaan gue keliatannya berhasil bikin konsentrasinya bener-bener terpecah. Dia
menarik napas, lantas mengalihkan pandangan matanya dari layar televisinya ke gue, yang

9|A Little Longer Than Forever


bikin gue balik menatapnya. "Karena gue udah melihat terlalu banyak pernikahan yang gagal,
Je."
Ya, gue tau apa yang dia maksud. Di keluarga besarnya sendiri, ada lebih dari dua familinya
yang pernikahannya nggak berhasil, belum lagi kerabatnya yang memilih untuk nggak menikah
sama sekali. Dia dikelilingi sama orang-orang yang skeptis akan cinta bahkan dari dia kecil,
meskipun kehidupan keluarganya bisa dibilang harmonis. Tapi dia nggak bisa terus-menerus
berpikir begitu. Enggak ketika dia punya gue dalam hidupnya.
"Kita bukan mereka, Raya."
Dia menghela napas. "What's so important about marriage, Je? Gue suka kita yang kayak
gini. Lo dan gue. Kita. Bahagia. Buat gue itu semua udah cukup."
"Tapi nggak buat gue."
Dia terdiam.
"You are a free soul. And I need to make sure that you will always have at least a reason to
come back home. To me."
"You are my home, Mr. Mahardika. You always are."
"Please, Raya."
"Kenapa sih?"
"Gue cuman takut... suatu hari nanti lo bakal nemuin rumah baru." Gue berujar. "Karenanya
gue ngerasa perlu ngiket lo."
Dia menatap gue, dengan pandangan yang... entah, apakah itu pandangan kaget? Tapi ada
sorot itu di matanya. Sorot teduh yang selalu gue liat tiap kali dia lagi tersentuh karena sesuatu.
Sorot yang nggak pernah nggak berhasil bikin gue lemah, bahkan sejak jaman kita masih SMP.
Tiap kali gue mau pergi tawuran ama sekolah lain, gue nggak akan pernah berkutik kalau dia
udah ngasih tatapan itu sambil bilang kalau dia nggak pengen gue celaka. Selalu berakhir
dengan gue yang mengalah, meminta maaf ke temen-temen gue kalo gue nggak bisa ikut dan
malah end up nemenin dia baca buku sastera lama di perpustakaan.
"Are you too dumb to realize? Gue bisa pergi sejauh yang gue mau, tapi pada akhirnya gue
selalu balik ke lo kan?"
"Raya,"
Dia memutus ucapan gue ketika dia bangkit dari pangkuan gue, kemudian membungkuk
dan meraih bibir gue dengan bibirnya. Siasat yang bagus, karena dia terlalu paham karena
bibirnya udah jadi semacam candu buat gue. Enggak ada kata-kata yang terlontar sesaat
setelahnya, hanya ada suara hela napas dan degup jantung, berbaur bersama bunyi pengait
yang terlepas dan risleting yang ditarik turun. Untuk sesaat, hanya insting yang mengambil alih.
Lalu disinilah gue sekarang, menatap dia yang tertidur dengan dengkur halus yang nggak
kentara. Nyaris sebagian besar badannya tenggelam dalam balutan selimut, cuman
menyisakan kepala hingga bahu yang terekspos jelas.
Gue menatapnya lagi, lama, lantas membungkuk dan mencium satu titik di bawah
telinganya. Kemudian bernapas disana sebentar. Oh God, even her after-sex smell was great.
Gue hampir sibuk tenggelam dalam fantasi liar gue yang lainnya yang berpotensi menyebabkan

10 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
hormon mengalir deras dalam diri gue ketika dia menggeliat, lalu matanya yang mengantuk
terbuka, menatap gue sayu diiringi beberapa kerjapan pelan.
"What a jerk." Dia bergumam. Terdengar sedikit terlalu seksi buat gue
"Hello, sleepy-head. Nggak maksud bangunin lo kok. Serius deh."
Dia memutar badannya yang semula memunggungi gue jadi menghadap ke gue. Wajahnya
yang khas orang baru bangun tidur terarah ke gue, matanya masih aja menatap dengan
pandangan mengantuk. "Lo belom tidur?"
"Pengen tapi nggak bisa."
"Kenapa?"
Gueikut berbaring dengan posisi menyamping, balik menatapnya. "Gara-gara lo."
"Loh, kok gue?"
"Obrolan kita yang tadi belom selesai loh."
Dia terlihat bingung sebentar, tapi kemudian wajahnya menunjukkan raut penuh pengertian.
"Oh. Yang itu?"
"Menurut lo?"
"I'm not ready for this, Je."
"Kenapa? Karena lo terlalu takut sama ketidakpastian?" gue mengangkat sebelah alis.
"Denger ya, Raya, enggak ada satupun yang pasti dalam hidup ini, kecuali ketidakpastian itu
sendiri. Gue nggak tau kenapa lo begitu takut sama komitmen. Sama pernikahan. Jujur, gue
juga nggak bisa janji kalau gue bakal selalu sama untuk seterusnya, dan gue yakin begitupun
elo. Enggak ada orang yang tetap sama. Semua orang berubah, termasuk gue, termasuk lo,
dan gue mau, kita ngejalanin segala perubahan itu sama-sama."
"Je,"
"Just tell me why."
Dia menggigit bibirnya. "Karena gue nggak mau suatu saat nanti lo berpikir kalau lo udah
ngambil keputusan yang salah."
"Yaelah." Gue berdecak. "Udah berapa tahun lewat dan mindset lo masih gini aja?"
"Bukan cuman itu. Gue terlalu mencintai karir gue. Gue bukan perempuan pada umumnya
yang bisa lo harapkan bakal terus menerus stay di rumah buat mengurus keluarga. Gue nggak
sekolah tinggi buat terjebak di rumah, dengan siklus kehidupan yang jauh-jauh dari dapur-
sumur-kasur. Analoginya seperti itu. Gue hanya nggak mau lo menyesal suatu hari nanti,
karena itu bakal bikin gue sakit lagi."
Gue menghela napas, menatap dia dalam diam. Pengen marah rasanya. Kenapa susah
banget buat dia ngerti kalau gue yakin gue nggak akan menyesal, dan kalau gue bakal selalu
ngedukung dia buat ngeraih semua mimpi yang dia punya? Tapi gue nggak ngelakuin itu.
Justru, gue mengulurkan tangan, mengacak rambut di puncak kepalanya dengan lembut.
"Udah ngomongnya?"
"Je,"
Gue merunduk, membenamkan hidung gue di lekukan lehernya, lantas bernapas frustrasi
disana, "Is it that hard to make you mine?"

11 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"I am mine before I'm ever somebody else's."
Gue mengeluh pendek. "Lo bener-bener nggak ada niat jadi bini gue ya?"
"Hm. Gue nggak tau. Gue masih belom yakin buat saat ini." Lalu dia ketawa. "Tapi mungkin,
kalo lo nemuin cara yang bagus buat yakinin gue, who knows? Gue sendiri nggak pernah
nyangka kalau sampe sekarang... gue bakal selalu stuck ama bocah kurus bergigi drakula yang
gue kenal waktu gue masih anak-anak."
Gue menarik kepala gue, menatap dia lagi. "So that's all I have to do?"
"Apa?"
"Convince you?"
Dia tersenyum, bikin satu lesung pipinya terlihat. "Convince me."

12 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
2 | FROM R

Its not like I don't love him.


Gue sayang dia, dari dulu. Nggak pernah berubah, nggak peduli berapa lama waktu yang
udah gue habisin bareng, atau bahkan tanpa dia. Tapi tiap kali dia memutar topik obrolan ke
arah sana, entah kenapa gue nggak pernah bisa buat nggak ngerasa takut. Ya, anggep aja gue
aneh atau apa—gue tau gue freak. Pernikahan adalah sesuatu yang diidamkan oleh hampir
semua cewek, nggak peduli mereka yang lagi berada dalam usia produktif macem gue, atau
bahkan sampe anak SMA dan SMP yang baru aja ngerasain gimana sakitnya ngalamin masa
puber yang penuh dengan kompleksitas. Namun enggak buat gue. Sejak dulu, gue selalu
merasa takut dengan apa yang disebut pernikahan.
Pernikahan itu kayak kerangkeng.
Gimana enggak? Lo terjebak dengan orang yang sama seumur hidup lo. Lo bakal memulai
hari dengan muka dia yang lo liat pertama kali, begitupun ketika lo menyudahi hari, sebelum lo
tidur, yang ada di sebelah lo bukan cuman batal kosong, tapi sesosok wajah yang akan terus
berubah dijalari garis waktu. Belum lagi kalau misalnya lo berdua lagi sama-sama capek,
kemudian bakal mulai saling menuntut. Entah itu menuntut untuk mengalokasikan waktu lebih
banyak untuk satu sama lain. Atau menuntut untuk punya anak. Atau menuntut untuk
mengorbankan karir salah satunya demi kepuasan pihak yang lain. Nope. Dengan cuman
ngebayangin itu semua aja udah bikin gue ngerasa takut. Iya, dengan cuman membayangkan
bahwa mungkin gue akan harus kehilangan karir gue, atau menghabiskan waktu di rumah
mengasuh anak-anak yang suka buang air dan minta makan tanpa kenal waktu akibat sesuatu
yang bernama pernikahan udah bikin gue ngeri setengah mati. Apalagi untuk ngejalanin itu
semua. Gue rasa gue nggak sanggup.
Tapi dia nggak pernah berhenti nyoba ngajakin gue buat ngomongin segala sesuatu yang
mengarah kesana. I know that he's demanding, but I never know that he's THAT demanding.
Gue sempet ngerasa bersalah ngeliat muka betenya dia ketika kita jalan ke mall tempo hari,
lantas ngebiarin dia beli cincin yang harganya nggak murah, yang kemudian hanya membuat
gue berakhir pada penyesalan. Geez, kita udah pernah ngomongin ini dari dulu. Dia paham
banget ketakutan gue akan perubahan, ketakutan gue sama yang namanya pernikahan,
kekhawatiran gue yang cemas bakal terkekang dan di atas segalanya, gue takut... gue takut
seandainya nanti yang akan tinggal dalam satu atap yang sama bukan cuman kita berdua, tapi
sebiji-dua biji makhluk kecil yang bakal manggil kita berdua 'papa' dan 'mama' dengan
pengucapan mereka yang belom sepurna. Ah ya, satu masalah lagi. gue nggak suka anak kecil.
Dan sekarang pun begitu.
Jadi hari ini, kita semua lagi ngumpul di rumah bokap-nyokap gue dalam rangka merayakan
ulang tahun bokap yang ke-53, yang nggak pernah berubah letak dan lokasinya sejak gue
masih SD—yang itu berarti, deket juga sama rumah bokap-nyokapnya Jev. Ya iyalah, jarak

13 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
rumah kita berdua cuman selemparan batu, dan setelah satu-persatu dari anak-anak mereka
pergi—entah karena udah mapan dan punya pekerjaan sendiri, atau untuk kuliah di luar kota—
kedua orang tua kita jadi makin deket satu sama lain. Well, ya gue harus mengakui kalau gue
terlalu sibuk. Gue udah jarang banget balik ke rumah, meskipun jaraknya yang super-deket dari
ibukota tempat gue beraktivitas. Bener kata pepatah yang bilang bahwa ketika kita udah punya
kehidupan sendiri, seringkali kita terlalu sibuk buat mendewasa, tanpa sadar kalau orang tua
kita pun ikut menua.
Adek gue yang masih santai dengan semester satu kuliahnya juga ikut dateng. Tiap kali
ketemu gue, yang dia bisa cuman minta duit mulu, sementara begitu ngeliat Jev, mereka
berdua langsung dengan gampangnya high-five ala-ala anak cowok, lantas beralih ke pojokan.
Entah mereka berdua ngomongin game terbaru yang barusan dirilis atau berita pensiunnya
Miyabi dari dunia perbokepan, gue nggak tau. Dan nggak mau tau juga. Gue lebih memilih buat
menyibukkan diri, ngebantuin nyokap ngeluarin segala macem tetek-bengek dan makanan
untuk menyuguhi para tamu (yang sebenernya kebanyakan adalah tante dan om gue yang
kebetulan juga udah pada pensiun dan nggak ada kerjaan lain selain mengunjungi rumah
kerabatnya buat mengisi waktu). Salah satu hal yang gue sesali, karena jujur, gue nggak
menduga suasananya bakal serame itu.
Bete banget.
Ya lo tau lah kenapa.
Sudah hukum alam, ketika keluarga lagi ngumpul-ngumpul kayak gitu, pasti gue selaku
salah satu dari generasi muda produktif yang lagi hits-hitsnya jadi topik relationship goals di
kalangan keluarga besar diberondong oleh pertanyaan seperti...
"Kapan nikah?"
"Kapan nih papa-mama kamu bisa nimang cucu?"
"Raya nggak bosen begitu-begitu aja ama Jev?"
"Jev kapan mau ngelamar Raya?"
Yakali.
Makin bête pas dia justru malah jawab.
"Raya-nya belum mau, Tante."
Anjing.
"Loh, emang kenapa?"
"Kalian berdua kan sudah sama-sama mapan."
Ya lo kira aja. Emangnya mapan aja cukup buat nikah? Enggak. Gue bukan seseorang
yang mengagungkan penyatuan cinta macem pernikahan, tapi buat gue, itu adalah peristiwa
sekali seumur hidup. Hal yang perlu dipersiapin untuk melangkah ke jenjang itu bukan cuman
dari segi materi dimana si laki-lakinya diharapkan sudah mapan dan punya pekerjaan yang
kelak bisa menyangga keluarganya, tapi juga mental. Urusan kerjaan bolehlah, kerjaan dia di
bidang konstruksi bisa dibilang lagi dalam masa bagus-bagusnya, begitupun gue yang lagi
menikmati bidang karir yang tengah gue geluti, tapi urusan mental? Gila aja bos. Gue belom
siap. Secinta apapun gue ama itu titisan petruk.

14 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Kalian nggak bosen apa begini terus dari dulu?" pertanyaan tante gue secara tiba-tiba
membuyarkan lamunan gue. Oh geez. Seandainya dia bukan pihak yang berjasa sebagai
penyedia networking bagi gue untuk masuk sebagai pegawai dari instansi perencanaan
nasional, mungkin gue udah mendesis macem kucing murka di depannya. Gue menghela
napas, berusaha menahan rasa jengkel yang udah menumpuk.
"Aku belum siap, Tante."
"Siap nggak siap itu urusan biasa, Raya. Nanti kalau sudah dijalanin juga semuanya
gampang."
Yakali.
"Tuh, Ra. Keluarga kamu aja udah dukung kita. Keluargaku juga. Tunggu apa lagi coba?"
Je tiba-tiba nyela, dengan cengiran playful yang bikin dua dekik di wajahnya kecetak jelas.
Kampret. Sebenernya nyokapnya dia ngidam apa sih pas dia masih dalem perut? Kok makin
tua malah makin ganteng, kalau kayak gini bisa mati mud ague lama-lama.
"Nope."
"Raya, nggak boleh gitu dong. Perempuan kan punya batas masa produktif. Emangnya
kamu mau nikah pas usianya udah terlalu tua? Resikonya lebih gede loh, entah itu untuk punya
anak atau untuk perencanaan keluarga ke depannya."
Holy cowl.
Dan sekarang, gue bisa melihat bahwa yang sedang mencoba memberondong gue bukan
cuman tante gue seorang, melainkan om-tante gue yang lain, bahkan hingga ke orang tua gue
dan orang tua Jev yang perlahan mulai mendekat dengan satu niat yang sama : mau ikutan
nimbrung mencecar gue, yang intinya menuntut supaya gue dan Jev cepat-cepat ngelanjutin ke
jenjang berikutnya. Oh God. Ini salah satu alasan kenapa gue benci pertemuan dengan
keluarga besar. Selalu ada tuntutan untuk menjadi ideal, yang mau nggak mau harus selalu gue
penuhi walaupun itu benar-benar "bukan gue". Sesuatu yang membuat gue harus berpura-pura
mengikuti standar ideal orang lain—dan gue benci ngelakuin itu.
"Aku belum kepikiran kesana sekarang ini."
"Kok gitu?"
"Nggak tau deh. Kayaknya nggak nikah juga nggak akan berpengaruh banyak buatku."
Dan dengan sebaris jawaban itu, semuanya langsung terdiam. Ya, semuanya, bahkan adek
gue yang awalnya masih sibuk mainin gadget sambil chatting sama calon gebetannya di
seberang sana. Termasuk Jev yang sempat menatap gue dengan pandangan yang sulit
diartikan selama beberapa saat. Oh, oke. Gue harus mengakui kalau gue sudah keterlaluan.
Gue nggak seharusnya bilang begitu disana, karena bagaimanapun jalan pikiran mereka terlalu
sederhana buat bisa memahami jalan pikiran gue yang terlampau rumit. Tidak menikah adalah
pilihan yang buruk, menurut mereka. Sebagian lainnya tentu bakal langsung mengaitkan sama
dosa, mengingat konon katanya nikah adalah sebuah kewajiban dalam agama. Ck. Udah gue
bilang. Gue percaya Tuhan, tapi agak ragu dengan agama. Kalau nikah mungkin akan
membuat gue nggak bahagia, kenapa gue harus dipaksa menjalaninya? Bukannya agama
sendiri melarang tindakan self-destruction?

15 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Raya," Tante gue berujar dengan hati-hati, dan air mukanya sekarang ini bener-bener
serius. Semua kesan bercanda yang awalnya ada udah sepenuhnya hilang. Akhirnya gue
cuman bisa menghela napas, dan meletakkan begitu aja sendok sop buah yang sebelumnya
terpegang di tangan gue.
"Nah, its okay." Kata gue tanpa melihat muka mereka lagi, lantas berbalik dan melangkah
pergi dari sana. Gue nggak mau ngeliat ekspresi itu—ekspresi yang menyiratkan seolah-olah
gue memiliki pikiran radikal yang nggak seharusnya ada. Seakan-akan gue terlalu freak, terlalu
sulit dimengerti, layaknya anomali yang nggak bisa dibiarkan begitu aja. Gue udah biasa
dihujani pandangan menghakimi seperti itu sejak masa sekolah hingga masa kuliah gue. Nggak
papa, selama yang menatap gue dengan pandangan seperti itu adalah orang asing. Tapi jika
yang memandang gue kayak gitu adalah keluarga gue sendiri... entah kenapa... rasanya gue
nggak bisa.
Gue berjalan tanpa arah, keluar dari halaman dan menyusuri jalan besar komplek rumah
gue. Sendirian, dengan raut muka yang masih menyisakan kekesalan. Sampai kemudian
langkah kaki gue terhenti begitu gue sampe di taman komplek, yang entah kenapa masih aja
sama walaupun bertahun-tahun udah lewat. Sama kayak jalan kecil yang mengarah ke sekolah
SD tempat gue dan Jev menimba ilmu dulu, taman komplek itu juga merupakan tempat yang
penuh kenangan, paling nggak buat gue. Dan menyadari gimana taman itu nggak pernah
berubah dari jaman gue berseragam merah putih sampe sekarang entah bagaimana membuat
gue lega. Dari semua perubahan yang berlangsung begitu cepat sampai-sampai gue merasa
takut untuk menghadapinya, taman ini adalah salah satu dari sedikit hal yang nggak pernah
berubah.
Gue memutuskan untuk membelokkan langkah kesana, lalu duduk di salah satu
ayunannya. Kaki gue terjuntai ke bawah, menyentuh tanah berumput dan mengayun ayunan itu
pelan, nyoba untuk melupakan semua pandangan menghakimi yang baru aja gue dapetin dari
anggota keluarga besar gue sendiri. Angin berhembus, lantas secara tiba-tiba, gue merasa
seseorang meraih ayunan tempat gue berada dari belakang, mengayun ayunan itu lebih keras
hingga gue merasakan semilir angin yang berhembus menerpa wajah gue seiring dengan
ayunan yang berayun lebih tinggi.
"Udah gue tebak lo bakal kabur kesini." Katanya, dan tanpa nengok juga gue udah tau siapa
pemilik suara itu. Jeviar. Udah terlalu lama gue menghabiskan waktu bareng dia, hingga segala
sesuatu tentang dia terasa begitu familiar. Hingga gue nggak bisa membayangkan gimana
jadinya tanpa dia. Aneh, karena gue tau gue butuh dia untuk menjaga dunia gue berputar di
tempatnya, tapi masih aja ngerasa takut buat menghabiskan sisa umur gue cuman bareng dia.
Gue cuman diem.
"Jangan ngambek dong, Ra."
"Lo nggak marah?"
Dia masih aja mengayun ayunan gue. "Kenapa gue harus marah?" katanya balik bertanya.

16 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Tentang apa yang gue omongin tadi." Gue menjejakkan kaki gue ke tanah, menghentikan
ayunannya secara otomatis, lalu memutar posisi badan hingga sekarang gue bisa menatap dia.
"Gue nggak maksud ngomong gitu. Maaf."
Dia jongkok, matanya menatap gue dengan lekat, lalu perlahan dia tersenyum. Masih
senyum yang sama—senyum khas dari anak laki-laki yang gue liat saat gue masih SD. Senyum
ketika suatu pagi dia berdiri dengan rambutnya yang merah karena terbakar sinar matahari,
diiringi senyum sambil sebelah tangan menyodorkan kertas bergambar Doraemon
penuh glitter biru buat gue. "You are not an easy girl, are you?"
"Je,"
"Selow aja kali."
"Maafin gue."
"Bukan lo yang salah." Dia memiringkan wajah, menatap gue seolah gue adalah alasan
kenapa dunianya masih berputar pada orbitnya. "Gue yang salah. Karena gue nggak cukup
bagus buat bisa ngeyakinin lo untuk mempercayakan sisa hidup lo sama gue."
"Je,"
"Tenang aja. Gue nggak akan nyerah kok. Perjanjian kita waktu itu masih berlaku kan?"
"Perjanjian apa?"
"Perjanjian dimana gue harus ngeyakinin lo. Dan gue nggak akan berenti sampe lo yakin."
"Kalo gue nggak yakin-yakin?"
"Ya gue nggak bakal berenti."
"Kalo kelamaan gimana?"
"Ya bakal gue tunggu."
"Nungguin itu capek, Je."
"Tapi nggak secapek mencari lagi." dia tersenyum. Senyum lebar, yang bahkan terlihat
sampai ke matanya. "Apalagi nyari yang kayak lo. Satu banding sejuta kali. Pegel banget gue
kalo harus mengenal satu juta cewek lagi cuman buat ngedapetin yang kayak lo. Udah gitu,
belom tentu juga dia mau gue ajak kawin."
"Emangnya gue mau?"
"You will." Katanya dengan ringan, lantas dia ketawa. Ketawa tanpa beban. Kadang gue
bertanya-tanya, sebenernya dia tercipta dari apa. Kenapa dia bisa begitu baik, memaafkan
semua kesalahan yang udah gue lakuin ke dia, nggak peduli seberapa besar kesalahan itu.
Gue udah begitu jahat sama dia, sampe-sampe mungkin gue udah nggak pantes lagi
ngedapetin dia. Tapi dia selalu balik. Dari dulu. Setiap kali gue berpikir bahwa mungkin suatu
hari nanti dia bakal sepenuhnya menghilang, dia selalu kembali, seperti mau ngebuktiin kalau
apa yang gue pikirin itu salah.
"Yakin banget."
"Harus-lah."
"Jangan terlalu yakin, Je." Gue menarik napas. "Nanti lo kecewa."
Tawanya hilang, dan wajahnya berubah serius. Matanya yang gelap menatap gue lekat
selama beberapa saat, lalu tangannya terulur, menyelipkan anak rambut di sisi wajah gue ke

17 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
belakang telinga. Dia terdiam sebentar, tapi matanya nggak pernah sekalipun berhenti
memandang ke arah gue. "Semua yang udah kejadian diantara kita, apakah lo nggak paham
arti dari itu semua?"
"Hng?"
"Udah gue duga." Dia ketawa, agak sedikit sarkastik. "Daridulu, lo emang cuman pinter
pelajaran doang."
"Je,"
"Lo bisa pergi ke ujung dunia paling jauh sekalipun, Raya, tapi pada akhirnya, lo akan selalu
balik ke gue. Begitupun gue. Gue bisa milih cewek manapun yang gue mau. Tapi pada akhirnya
gue akan selalu balik ke lo. Karena nggak ada dari mereka yang bisa menjadi sesuatu yang
sama seperti lo yang menjadi sesuatu buat gue. Kalau pada akhirnya lo memilih untuk nggak
nikah dan tetep stay seperti ini selamanya, well, gue rasa gue juga nggak bakal keberatan."
"Gila lo. Lo nggak pengen apa kayak temen-temen lo yang lain?"
"Masalahnya, cewek gue nggak kayak cewek temen-temen gue yang lain. Jadi gimana
dong."
"Kampret."
"Tapi gue tetep sayang kok,"
"Yaelah."
"Yoi." Dia terkekeh, tapi terus berenti, dan sedetik kemudian dia mencondongkan badan,
mengecup pelan sisi wajah gue. "Gue cuman pengen lo bahagia."
Gue sempet cengo sebentar. "Kenapa?"
"Karena lo pantas bahagia."
Dia ketawa.
Dan gue pun ikut ketawa.
Saat itu, ngeliat dia disana, ketawa lepas hingga matanya menyipit dan dekiknya tercetak
dalam, gue ngerasa kalau gue adalah orang yang sangat beruntung. Dan gue berani sumpah
bahwa detik itu adalah salah satu momen paling bahagia yang pernah gue rasain sepanjang
hidup gue.
He's indeed the best thing that ever happened to me.

***

"Jadi kesimpulannya gimana? Lo tetep masih mau ngegantungin dia gitu aja?" Adalah
kalimat pertama yang keluar dari Hana beberapa saat setelah gue ngebacot panjang kali lebar
kali tinggi pas kita meet up di restoran deket kampus yang emang udah jadi basis tempat
nongkrong kita-kita dari jaman kuliah dulu—selain kantin teknik tentunya. Btw dia udah jadi
ukhti sekarang—udah kerudungan gitu, tapi ya bukan tipe-tipe kerudungan yang ketinggalan
jaman gitu ngerti nggak? Dandanannya udah kayak sosialita berkerudung
nan fashionable macem Dian Pelangi, sampe gue mikir nggak akan ada yang ngira kalau
dulunya dia adalah mahasiswi yang setia mengulang mata kuliahnya Pak Nana Supena hingga

18 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
bersemester-semester lamanya. Gue sempet mengamati dia sebentar mengingat terakhir kali
kita ketemu adalah beberapa bulan pasca dia kawin ama suaminya yang sekarang—yang
bener-bener nggak pernah gue tebak sama sekali kalo tuh orang yang kelak jadi pendamping
hidup seorang Yohana doang.
Tapi ya, hidup itu emang misteri. Ada banyak kejutan dan belokan tidak terduga di
dalamnya—entah itu untuk urusan percintaan Hana, atau hidup gue sendiri. Tapi dengan sekali
liat, gue tau kalau dia bahagia. Secara lahir maupun batin. Yaiyalah, kalo punya suami macem
suaminya yang sekarang ya gimana nggak bahagia? Secara status sosial dia jadi terangkat
abis, dianggap sama cemerlangnya kayak suaminya, belom lagi bisnis-bisnis yang udah
mereka rintis berdua dari jaman mereka belom nikah—entah itu bisnis café sampe ke bisnis
properti macem kos-kosan.
Hari ini adalah salah satu dari sedikit hari langka, dimana gue libur dan bisa beristirahat
sejenak dari rutinitas perkantoran yang seringkali bikin jenuh setengah mati, sementara Jev
masih sibuk ngurusin kerjaannya di Bandung sana. Biasanya, tiap hari libur gue nggak pernah
nganggur, karena ketika gue libur, Jev selalu punya waktu luang untuk ngerencanain sesuatu
buat kita berdua, mulai dari cuman jalan-jalan random di seputaran Jakarta sampe menyusuri
jalanan tanpa arah. Rekor terjauh kita berdua ya paling banter cuman sampe Parung, itu juga
udah pegel abis, baik karena kebanyakan ketawa di mobil, atau deg-degan parah tiap kali dia
nyetir sambil ngebut. Sebenernya, hari ini dia nyuruh gue cabut ke Bandung. Sesuatu yang
bikin gue sempet cengo. Ya buset ngapain juga gue kesana? Mantengin site salah satu mega
proyek konstruksinya yang belom kelar? Ah gila. Sorry aja, tapi telinga gue nggak betah sama
sekali ngedengerin bunyi mesin konstruksi yang berisiknya amit-amit. Gue nggak mau dateng,
dan dia langsung bereaksi keras. Anehnya, perdebatan kita terputus begitu aja pas gue bilang
gue mau meet up sama Hana. Entah ada kong-kalikong macem apa diantara mereka.
"Gue nggak tau," gue menjawab jujur sambil mengaduk smoothies dalam gelas gue,
menyedotnya tanpa selera.
"Raya, liat gue." katanya sambil mendengus pas dia liat tangan gue masih aja hiperaktif
sama sedotan. "Gue serius. Lo berdua mau begini terus selamanya?"
"Kalo kita berdua bisa bahagia dengan begini, why not?"
"Sinting." Hana berdecak. "Cinta itu nggak cukup cuman dengan kata-kata. Perlu ada
tindakan."
"Lo lagi ngomongin ijab kabul, pada 'tindakan' yang itu?"
"Dua-duanya."
"Yah, kalau untuk nikah tujuan cuman kesana," gue mengedikkan bahu. "Kita berdua nggak
perlu nikah buat ngelakuin itu."
Sedetik.
Dua detik.
Lalu Hana langsung melotot. "RAYA! JANGAN BILANG KALAU LO AMA DIA—"
"Kita berdua bukan orang alim, Na. He is a sinner. And so am I."
Hana mendelik. "Lo berdua bener-bener sinting ya."

19 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Gue ketawa. "Skor kita tetep seri."
"Beda urusan. Gue ngelakuin itu semua ketika emang udah sewajarnya gue ngelakuin. Kan
dia suami gue." Hana berkilah. "Lah elo berdua? Gila aja kalo bokap-nyokap lo berdua sampe
tau. Digeret ke KUA kali lo pada. Anjir, jaman udah sebegini berantakannya sampe temen-
temen gue bener-bener jadi iblis sepenuhnya."
"Tai." Kata gue mencibir. "Kita udah sama-sama dewasa."
"Tapi tindakan lo yang terus menerus lari dari komitmen yang dia tawarin itu bikin lo jadi
keliatan kekanakan banget, Raya."
Gue cuman bisa terdiam, karena jauh di dalam hati gue tau kalo apa yang dibilang Hana itu
benar. Gue kekanakan, tapi gue nggak bisa memaksa diri gue untuk mencoba berani, untuk
nggak memikirkan apa yang kemungkinan terjadi di masa depan. Jujur, sampe sekarang gue
nggak pernah bisa mempercayai seseorang sepenuhnya. Nggak dengan orang tua gue. Nggak
dengan Hana, Adrian, Faris, Rama, atau bahkan Edgar. Nggak dengan Jev. Meskipun kecil,
gue tau kemungkinan bahwa suatu saat nanti mereka nyakitin gue tetep ada. Dan gue udah
puas sama yang namanya rasa sakit.
"Apa sih yang lo takutin?" suara Hana diikuti sentuhan tangannya di tangan gue membuat
gue langsung terkesiap, seperti baru saja ditarik paksa dari lamunan.
"Banyak."
"Lo takut suatu hari dia nggak cinta lagi sama lo?"
Harus gue akui, salah satunya itu.
"Raya, cinta itu emang nggak akan pernah sama. Musim terus berubah. Hari terus
berganti. Nothing lasts forever. Semua ada masanya, termasuk cinta itu sendiri. Tapi bukan
berarti cinta itu bakal hilang. Dia bisa aja berubah ke bentuk yang lain. Berubah ke bentuk
kepedulian. Rasa sayang."
"Atau kebencian."
"Lo nggak percaya dia?"
Is that even a question?
Hana berdecak. "After all these years, he never stop loving you. That should be enough,
no? Dia mungkin akan berubah. Tapi setelah bertahun-tahun lewat, faktanya dia masih ada di
samping lo. Masih ada buat lo. Apa lagi yang harus dia lakuin buat bikin lo yakin?"
"Gue... nggak tau."
"Karena lo nggak pernah mau tau."
Untuk kesekian kalinya, gue harus akuin kalau Hana bener. Kampret. Tumben banget dia
bisa bijak gini. Pengaruh dari mas suami atau emang dia sendiri udah jauh lebih dewasa?
Kenapa gue selalu berpikir kalau dia adalah Hana yang masih aja sama, temen gue, si
mahasiswi teknik industri yang setia mengulang kelas kalkulus di tiap tahunnya.
"Ego laki-laki itu gede, Ra. Gede banget. Dan gimanapun juga, dia laki-laki." Hana
menghela napas. "Dia udah mengorbankan egonya sendiri demi lo. Dia nggak memaksa lo. Dia
mencoba bilang kalau dia baik-baik aja walaupun kalian berdua tetep kayak gini sampe
seterusnya. But deep down inside, he's not alright. Satu persatu temennya udah pindah ke

20 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
jenjang berikutnya. Beberapa malah udah mau punya anak. Nggak ada seorangpun yang suka
berada dalam posisi yang terus menerus sama. Kecuali lo, mungkin."
"Lo narik kesimpulan dari mana?"
"Karena menurut gue, lo punya ketakutan berlebihan akan perubahan."
"Sejak kapan lo jadi psikolog?"
Hana nyengir. "Gue kasih tau ya, dalam hidup ini, bakal selalu ada perubahan. Karena
hidup terus berjalan. Apa susahnya percaya sama dia sekali ini aja? Rasanya nggak adil dia
udah selalu percaya sama lo, sementara lo nggak pernah sekalipun mau bener-bener percaya
sama dia."
Hening.
"Raya?"
"Na,"
"Hng? Lo sebenernya ngerti nggak sih apa yang gue omongin?"
"Ngerti lah, lo kira gue selemot itu apa." Gue menyentakkan kepala. "Makasih."
"Tumben lo inget bilang makasih." Dia berujar dengan cuek sambil ngeraih
sepotong mozzarella stick dari piringnya. "Mending lo mulai mikir deh. Biar pinteran dikit. Pinter
dalem hidup, bukan pinter dalem pelajaran. Masak iya nanti keponakan lebih pinter dari
tantenya."
Omongan Hana bikin sebelah alis gue keangkat. "Keponakan?"
"Iye. Keponakan lo." Dia langsung nyengir evil yang otomatis langsung ngingetin gue ama
gaya cengiran tengilnya Rama yang super brengsek. "Anak gue."
"HAH??!!!"
"Muehehe. Syok bener. Jadi malu."
"BOHONG?!!!!!!"
"Tokcer kan?"
"SERIUS?!!!!"
"Napa sih lo kayak gapercaya banget?"
"ANJIR."
"Tole!" Hana cemberut sambil nimpuk gue pake selada. "Kayak keajaiban dunia banget sih."
Kampret.
Dunia berubah begitu cepet. Terlalu cepet.
Dan apa yang Hana bilang bener. Gue emang punya ketakutan yang berlebihan sama
sesuatu yang bernama perubahan. Tapi kemudian omongan Hana kembali terngiang di telinga
gue.
Apa susahnya percaya sama dia sekali ini aja? Rasanya nggak adil dia udah selalu percaya
sama lo, sementara lo nggak pernah sekalipun mau bener-bener percaya sama dia.
I'm screwed up.

***

21 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Jev dateng ke apartemen gue sore harinya. Sebuah tindakan bunuh diri sih, kalau menurut
gue. Ya gimana enggak, begitu urusannya di site proyek kelar, dia langsung cabut gitu aja dari
Bandung ke Jakarta. Beruntung karena sekarang-sekarang ini bukan weekend, sebab kalo iya,
dia mungkin masih terjebak di jalan sampe sekarang. Tau sendiri kayaknya nggak ada tempat
liburan lain yang ideal menurut warga Jakarta selain kawasan Puncak dan sekitarnya. Saking
demennya bolak-balik Puncak tiap minggu, mereka sampe ada yang bela-belain ngerambah
ruang terbuka hijau disana buat dijadiin villa—dan lucunya, begitu kebanjiran, mereka justru
nyalahin pemerintah. Well, ya, kayaknya budaya saling menyalahkan itu sendiri udah lekat
banget sama sebagian besar masyarakat sini, kayak lintah yang nggak bisa dilepas
lagi. Pathetic.
Gue lagi duduk di sofa sambil nyetel ulang film yang udah sering banget gue tonton dari
jaman SMA—judulnya Mean Girls—ketika dia dateng. Ah ya, perlu diketahui, dia udah tau
dengan detil password pintu apartemen gue, belum lagi pass-card apartemen gue yang entah
gimana bisa dia dapetin begitu aja. Bukan salah pihak securitynya juga sih, ya gimana,
apartemen gue udah kayak apartemen dia aja, sementara rumahnya dia yang di Bandung juga
udah kayak rumah gue. Satu dari sedikit hal yang sama sekali nggak pernah berubah dari
jaman kita masih bocah. Dia bawa sekotak martabak keju yang cuman dengan nyium baunya
aja udah bikin air liur gue terbit dan sebungkusan makanan lainnya yang otomatis bikin gue
berpikir kalau malam ini bakal panjang. Panjang buat movie marathon dan ngobrol sambil
ngemil ya, in case pikiran lo mengarah pada sesuatu yang kotor.
"Nonton film?"
"Ya kali menurut lo gimana,"
Dia tertawa kecil, lalu naro bungkusan di tangannya ke atas meja sebelum akhirnya
membungkuk, ngacak rambut di satu sisi kepala gue. "Jutek banget sih, mbaknya. Bikin makin
naksir aja."
"Don't be touchy touchy," kata gue sambil beringsut mundur di sofa, menghindari dia.
"Badan lo bau semen. Males."
"Hm, gitu ya?"
"Iya. Udah sana ih mandi."
"Males."
"Je,"
"Temenin,"
Gue melotot. "Coba ngomong sekali lagi."
Dia ketawa, lebar banget. Dan lesung pipinya kembali keliatan. Lantas tangannya bergerak,
dan sambil melepaskan dua kancing paling atas kemejanya, dia berjalan ngejauh. "Galak bener
sih. Abis ngomongin apa coba ama Hana tadi?"
"Mandi dulu pokoknya."
"Ck. Iya-iya." Dia ngejawab, lantas berjalan ninggalin gue menuju ke kamar mandi.
Beberapa detik kemudian, pintu tertutup, diikuti suara air yang mengalir dan aroma
samar shower gel di udara. Gue memilih untuk tetep stay di sofa, ngeliatin muka Lindsay Lohan

22 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
meskipun pikiran gue jelas nggak berada disana. Gue bingung. Di satu sisi gue mikirin ucapan
Hana dan di sisi lain gue membayangkan gimana seksinya itu petruk satu di dalem
sana. Shirtless, dengan bahu yang bidang dan lengan yang cukup kredibel buat dijadiin tempat
bersandar. Dia mungkin nggak se-sixpack mereka-mereka yang biasa ngabisin waktu luangnya
di pusat kebugaran, tapi paling nggak dia punya badan cowok yang enak buat disenderin, juga
buat diliat. Ahelah. No. Fokus, Raya. Fokus.
Apa susahnya percaya sama dia sekali ini aja? Rasanya nggak adil dia udah selalu percaya
sama lo, sementara lo nggak pernah sekalipun mau bener-bener percaya sama dia.
Hana bener. Betapa sering gue udah berbuat nggak adil sama dia. Betapa sering gue udah
berbuat jahat sama dia. Cuman herannya, dia selalu balik, seolah kesalahan gue nggak berarti
apa-apa. Seperti bagi dia, gue nggak pernah melakukan apapun yang bikin gue pantes dibenci.
Akan jauh lebih mudah bagi gue seandainya dia orang yang emang pada dasarnya pemaaf.
Tapi dia bukan orang yang pemaaf. Dia adalah dia, yang tiap kali putus sama mantannya nggak
pernah nggak pake cara kasar macem ribut hebat sampe satu sekolahan tahu. Bahkan sampe
sekarang , jumlah mantan yang masih berhubungan baik sama dia bisa diitung pake jari. Salwa
mungkin salah satunya—walaupun gue udah lama juga nggak denger kabar tuh cewek.
"Ngelamun?"
Gue tersentak ketika suara dia terdengar lagi, bikin gue secara otomatis langsung nengok
dan God, kenapa dia bisa tercipta dengan sebegitu puitisnya? Rambutnya yang gelap masih
basah, nempel ke pelipis dan dahinya. Ada titik air di wajahnya, dan nggak pake apa-apa dari
pinggang ke atas. Sumpah. Gue udah sering liat dia begitu—malah pernah liat yang lebih dari
itu. Tapi kenapa dia nggak pernah berenti bikin gue kehabisan kata-kata?
"Puas ngeliatinnya?"
Muka gue kerasa panas. "Apasi kampret."
"Lagian elo, ngeliatin sampe segitunya." Dia duduk di samping gue, ngebuka kotak
martabak dan nyomot seiris. "Kenapa sih? Hm? Hana ngomong apa sampe lo bengong gini?"
Pusing. Sumpah pusing. Dengan kondisi dia yang shirtless di samping gue dan bau shower
gel yang memenuhi udara, gue nyaris kehilangan orientasi.
"Raya,"
"Nggak papa. Lo pake baju dulu mending deh."
"Nggak ah."
"Je,"
"Apasih, lo udah biasa juga kan."
Elah biji korma.
"Yaelah malah diem."
Gue berdecak. "Gue bingung mau ngomong apa."
"Gue bukan atasan lo. Gue cowok lo. Tibang ngomong aja apa susahnya," dia nyomot seiris
martabak lagi, terus menyodorkan tuh irisan makanan ke gue. "Aaa."
Secara refleks, gue buka mulut. Sial. Enak.

23 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Gue nggak tau apa yang Hana omongin ke lo." Dia bilang tiba-tiba, "Tapi jangan jadiin itu
beban."
Selama sejenak, hening. Satu-satunya suara di ruangan itu bersumber dari Regina George
yang baru aja ketabrak bus setelah dia ngelabrak karakter yang diperanin Lindsay Lohan.
"Gue jahat banget ya?"
"Apaan sih gue nggak ngerti,"
Gue terdiam. Rasanya kayak ada gumpalan besar yang mengganjal di tenggorokan.
Sesuatu yang biasa gue rasain tiap gue mau mewek. "Gue jahat banget sama lo. Iya kan?"
Dia diem sebentar, tapi sesaat kemudian mukanya keliatan mengerti. "Raya,"
"Maaf," gue menggigit bibir. Sumpah. Kenapa suasananya jadi mellow gini sih? Gue benci
drama. Benci banget. Tapi sekarang tingkah gue malah lebih murahan daripada akting aktris
kacangan dalam drama pasaran. "Gue nggak maksud... tapi... gue takut."
Dia hanya diam, tapi tangannya terulur, menyelipkan rambut gue yang tergerai ke belakang
telinga. Matanya masih aja menatap lembut, dan terus terang, itu yang bikin gue ngerasa makin
bersalah. "Masih rasa takut yang sama?"
Gue nggak tau harus jawab apa.
"Hati manusia itu sesuatu yang susah ditebak, karena kita nggak pernah tau kapan hati kita
berubah, kapan hati kita jatuh, dan kapan hati kita memilih. Gue sendiri nggak tau kedepannya
bakal kayak gimana, tapi yang gue tau, dari awal gue kenal lo sampe sekarang, nggak pernah
sekalipun gue nggak membutuhkan elo. Gue sayang lo, dari kemarin, sampe hari ini, dan gue
berharap sampe besok-besok. Kalau lo takut suatu hari nanti gue nggak akan memandang lo
dengan cara yang sama lagi, then it makes the two of us. Lo nggak tau kan kalau selama ini
gue juga menyimpan ketakutan yang sama. Nggak, gue nggak pernah takut perasaan lo bakal
berubah. Gue cuman takut lo bakal menghilang, karena udah berapa kali lo ngelakuin itu
selama kita saling kenal."
"Je,"
"Kalo lo masih juga nggak yakin, then its okay. Kalau lo mau kita tetep ada dalam fase kita
yang sekarang, gue nggak akan keberatan. Asal lo bahagia, itu udah cukup buat gue."
"Je," Ah sial. Kenapa jadi melankolis macem drama gini sih.
"Yaelah kenapa malah mewek sih?"
Gue merem, sebelum akhirnya ndusel-ndusel unyu di lengannya yang terekspos bebas.
"Ngantuk."
"Lah tumben."
"Ngomong ama Hana bikin otak gue ngebul."
"Kenapa? Pasca nikah dia jadi makin lemot atau gimana?"
"Nggak. Tumbenan dia bijak. Omongannya dalem banget ampe bikin gue mikir." Gue
ngejawab, masih nyender di bahunya sambil merem. Badan Jev berguncang pelan saat dia
ketawa, lantas tangannya bergerak dan jarinya kembali mengusap helaian rambut gue.
"Mau tidur beneran nih?"

24 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Iya." Kata gue sambil narik napas. Oh ya ampun. Gue jadi susah ngebedain antara aroma
badannya sama aroma surga. Yah, nggak tau juga sih kan gue belom pernah mati juga jadi
belom pernah sampe surga. Cuman ya itu. Salah satu tempat paling nyaman di dunia ini ya
sudah pasti lengannya seorang Jev Mahardika.
"Pindah dong ke kamar."
"Nggak mau. Udah pewe."
"Tumben bener lo manja." Tapi dia sama sekali nggak beranjak dari sana. "Yaudah. Kalau
mau molor, ya molor aja. Nanti gue pindahin ke kamar."
"Emangnya lo mau nginep disini malem ini?"
"Emangnya lo mau ngusir gue?"
Masih merem, gue menggeleng lalu ketawa. "Enggak. Yaudah disini aja terus."
Dia cuman diem, tapi tangannya masih di sana. Di puncak kepala gue, mengusap dengan
gerakan paling nyaman yang pernah gue tau. Hening sejenak diantara kita, bahkan suara
Lindsay Lohan dan Rachel McAdams pun seperti gema yang berasal dari kejauhan. Nyaris
nggak terdengar. Satu-satunya suara paling jelas yang terdengar di telinga gue cuman helaan
napas gue sendiri dan detak jantung sosok yang tengah gue jadikan sandaran.
"Je,"
"Ng?"
"Gue sayang lo."
"Me too, babygirl. Me too."
Samar, sebelum gue jatuh tertidur ditelan mimpi, gue merasakan bibirnya. Di puncak kepala
gue. Mengecup dengan pelan. Dan lama.

***

J's
Gue terbangun pagi harinya saat gue merasakan temperatur udara di sekeliling gue jadi
berubah begitu dingin. Dengan malas, gue mengerang pelan, lalu membuka mata. Benda
pertama yang gue lihat adalah langit-langit warna nude yang langsung gue kenali sebagai
warna langit-langit apartemen Raya. Secara refleks, tangan gue langsung meraba kasur di
sebelah gue, hanya untuk mendapati kekosongan disana. Nggak ada kulit yang hangat, atau
rambut lembut yang tersebar di sekeliling bantal. Yang ada cuman permukaan seprei yang
dingin, dan sebuah sticky notes yang ditempel di meja lampu sisi tempat tidur.
Gue mendesah malas, tapi memaksa diri buat bangun.
'Good morning :) Sorry cabut gabilang-bilang. Lo tau sendiri panggilan atasan udah kayak
panggilan Tuhan. Ada sesuatu di dapur. Cari aja.'
Well?
Udah lama banget sejak terakhir kali Raya ngajakin gue main misteri-misterian kayak gini.
Harus gue akui gue jadi tertarik. Akhirnya gue mutusin buat langsung bangun dari kasur dan
beranjak menuju dapur. Sticky notes berikutnya dengan warna hijau langsung menyambut gue,

25 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
ditempel di panggangan roti—yang emang merupakan benda pertama yang gue sentuh tiap kali
gue masuk ke dapur apartemennya.
'Keping kedua. Cek kulkas.'
Apa ini? Permainan mencari telur paskah? Apa Raya cuman lagi berniat ngerjain gue? Tapi
gue menurut, beralih ke kulkas hanya untuk mendapati sticky notes lainnya di temple di pintu,
dengan tempelan Darth Vader di sisi kanan bawahnya. Fokus pertama gue adalah Darth Vader,
tapi kemudian mata gue tertarik pada tulisan di sticky notes itu, ditulis dengan tinta merah.
'Lo punya utang sama gue –RA'
Gue mengerutkan kening. Apa artinya ini? Gue pikir hari ulang tahun gue belom pindah
tanggal. Tapi kenapa dia malah ngajakin gue mainan kayak gini, dengan penutup kalimat super
ambigu yang mungkin memiliki banyak arti? Gue masih tercengang di tempat gue berdiri saat
gue merasakan seseorang meraih pinggang gue dari belakang, memeluk gue, dan dari bau
parfum yang mengambang di udara, gue tau kalau itu Raya.
"Hm. Sejak kapan gue berubah jadi atasan lo?"
Dia tersenyum saat gue berbalik. "Udah baca sticky notesnya?"
"Udah. Apa maksudnya coba? Perasaan gue nggak ada utang."
"Ada."
"Apaan?"
"Ck, lo lupa?"
"Yaelah. Gue aja lupa kemaren gue sarapan pake apa. Udah tibang jawab aja ngapa, Ra?"
"Cincin."
"Hah?"
"Lo punya utang cincin kawin sama gue."
"HAH?"
"Bayar."
"HAH??"
"Bayar buruan."
"HAH??"
"Je, nggak ada kata lain apa?"
"Tunggu dulu. Ini gue bingung banget sumpah. Jangan bilang kalau lo—"
"Yep," Dia mengedipkan sebelah matanya. "Let's just get married."
Setelah sempat cengo selama beberapa saat, gue memutuskan untuk membalas sinar
nakal yang bermain di bola matanya. "Challenge accepted."

26 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
3 | NIKOTIN

JEVIAR

Maybe I wasn't made for anyone.


Gue menatap tulisan ala-ala tumblr kekinian yang masih aja terpajang dalam bingkai yang
apik di tembok kuning gading kamar Raya. Tulisan itu nyaris plain, nggak ada tambahan
ornamen apapun. Hanya sebarisan kata-kata dalam font yang estetik. Sejak pertama kali gue
dateng ke apartemennya setelah kita balik dari kondangan ke acara kawinannya Hana--yang
konon katanya bentar lagi jadi emak-emak. Buset deh emang tuh anak ya. Siapa juga yang
bakal ngira dia bakal nikah duluan, sama orang yang bener-bener nggak terduga pula. Well,
mungkin nggak semengejutkan itu buat gue dan temen-temen lain yang emang tetep keep in
touch sama Hana selama beberapa tahun terakhir--pengecualian buat Raya yang langsung
ngilang kayak ditelan Bumi setelah hari wisuda kelar. Tapi tentunya enggak buat anak-anak
seisi kampus. Kalau ada acara reunian dalam waktu dekat ini, fix deh pasti Hana bakal jadi
bulan-bulanan.
Ah ya, sampe mana tadi?
Hm, ya intinya sejak pertama kali gue dateng kesini, tulisan itu emang udah ada. Tulisan itu
biasa aja, namun gue merasa terganggu. Kenapa? Gue juga nggak tau. Setiap kali gue ngeliat
tulisan itu, gue selalu teringat pada tahun-tahun bisu diantara kita. Enggak ada sapa, bahkan
cuman hanya sekedar nanya kabar. Seperti dia terjebak di salah satu kutub bumi dan gue ada
di sisi lainnya. Nggak terjangkau, begitu jauh, bahkan jarak pun menghapus jejak helaan
napasnya. Gue selalu berpikir bahwa mungkin dia udah lebih bahagia--bareng sama Kenzo
atau siapapun itulah mereka yang ada di sekelilingnya. She's completely okay, kalau gue liat
dari cerita nyokapnya tiap kali gue main ke rumahnya saat lagi libur proyek. Beberapa kali, dia
sama Kenzo bahkan pernah liburan bareng ke luar kota. She seemed so happy that I lost hope
and decided to have my own happiness with my former girlfriend.
Tapi sekarang gue berpikir, apakah dia bener-bener sebahagia itu? Atau itu semua cuman
kamuflase? Menurut gue wajar gue berpikir seperti ini. Bukan, bukan dalam artian gue
meragukan kemampuan mantan pacarnya buat bikin dia bahagia, hanya aja... dari sekian
banyak orang yang gue kenal, dia adalah satu dari sedikit yang bisa berkamuflase dengan
sempurna. Dia bisa aja keliatan baik-baik aja, seakan nggak ada masalah, but all you need is to
leave her alone and boom, that sad face of hers will show.
Pintu kamar mandi terbuka tiba-tiba, diikuti oleh Raya yang mengernyit pada gue sambil
menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Gue melirik sekilas, lantas tersenyum yang
justru bikin dia memberengutkan bibir untuk membentuk ekspresi masam. Cewek itu berjalan
melewati gue, masih dalam balutan bathrobe warna hitam. Ada aroma sabun cair yang khas
ketika dia berjalan, tertinggal di udara dan menyapa indera penciuman gue dengan lembut.
"Gue mau ganti baju."

27 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Gue memiringkan wajah. "Ya ganti aja kali?"
Dia berbalik, memunggungi lemari pakaiannya. Matanya mendelik pada gue diiringi sebuah
decakan. "Gimana gue bisa ganti kalau lo masih ada disini?"
"Well, I saw everything already," gue mengedikkan bahu, membuat wajahnya langsung
dirambati rona merah sekaligus ekspresi jengkel, "more than once, anyway." kata gue
menambahkan sambil tersenyum jahil. Wow, I love that blushy face.
"Enggak lucu, nyet." katanya sambil melempar handuk yang tadi dia pakai untuk
mengeringkan rambutnya ke muka gue. Gue menangkapnya, aromanya langsung menyentuh
hidung gue. Aroma manis vanilla dari conditioner yang dia pake. It smells so good that I feel like
to kiss her hair... or anything below it.
"Gue kan emang nggak lagi ngelucu."
"Keluar nggak lo!?" Dia mulai ngebentak, lantas jalan mendekati gue dan tangannya mulai
bergerak menarik tangan gue agar bangkit dari ranjangnya. "Keluar, elah."
Gue tertawa sambil berusaha menahan tangannya yang mati-matian memaksa gue bangkit.
Tangannya dingin, masih terasa lembab karena jejak air yang belum sepenuhnya mengering.
Tawa gue justru bikin dia makin gusar, dan gerakannya jadi makin ganas. "Ra, anjir, kalo lo gini
terus bathrobe lo bisa melorot tau."
"Enak aja. Lo kira anduk."
"Bathrobe juga anduk, toil."
"Tapi tetep aja gabisa melorot, bego."
"Bisa. Kalo gue tarik talinya lepas." Ucapan gue langsung membuat gerakannya terhenti.
Cewek itu terdiam di tempatnya berdiri, matanya menatap horror lalu sedetik kemudian dia
melompat mundur diiringi suara ngakak gue yang puas.
"Dosa apa sih gue sampe pagi-pagi gini udah digangguin lo." dia menggerutu, lalu berjalan
menjauhi gue. Tapi kali ini dia nggak mengarah ke lemari pakaian. Alih-alih memilih baju, dia
justru menghempaskan badannya ke atas ranjang. Dalam posisi terlentang, sebuah dengusan
terhembus keluar dari mulutnya sementara matanya menatap pada langit-langit yang dihiasi
lampu gantung dan sketsa tujuh titik bintang biduk dari cat fosfor hasil karya gue. Raya sempet
kalap pas tau gue ngutak-ngatik langit-langit kamarnya yang bersih dari apapun kecuali lampu
gantung dan beberapa untai lampu kecil-kecil ala-ala room decor Tumblr di tepi ceiling, tapi
begitu dia tau kalau lukisan glow in the dark itu adalah kumpulan berbagai macam bentuk
favoritnya, dia berhenti protes. Lagian, itu juga bentuk perayaan kecil-kecilan karena dia udah
mau nerima cincin yang gue kasih.
"Ra,"
"Ape?"
"Kondangannya mulai setengah jam lagi loh."
"Terus?"
"Kok malah tiduran?" Gue balik nanya. Yaps, ada beberapa alasan utama kenapa gue udah
cabut ke apartemennya Raya pagi-pagi buta di hari Sabtu begini--not to mention kalau gue baru
aja nyampe Jakarta setelah menempuh perjalanan dari Bandung jam dua belas malem tadi.

28 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Pertama, gue kangen sama Raya--dan gue yakin kalau dia juga kangen sama gue. Gila aja lo,
seminggu penuh nggak ketemu gue kan siksaan tak tertahankan buat dia. Muehehe. Kedua,
ada salah satu temen gue yang nikahan, jadi nggak mau tau, pokoknya Raya harus nemenin
gue kon-da-ngan. Ogah gue dateng sendiri, ntar dicap jomblo nggak laku. Apalagi soal
kemungkinan kalau Salwa juga bakal hadir disana, berhubung temen gue ini temen dia juga.
Males banget kan kalau ketemu dia udah punya gandengan baru sementara gandengan gue
ngejogrok di apartemen sambil makanin Nutella dan nonton episode Gossip Girl yang udah
berulang kali dia tonton ulang.
"Abis lo nyebelin."
"Ngambek?'
Dia merengut. "Apaan sih? Lo kira gue anak SMA."
Emang beneran ngambek. Gue mengamati dia sebentar, lalu memutuskan untuk ikutan
berbaring di ranjang, tepat di sebelahnya. Mata kita menatap pada arah yang sama selama dua
menit yang hening, lantas gue berdehem dan menolehkan kepala gue ke samping untuk
menatapnya. Dia masih memandang ke atas, tapi gue tau dia menyadari bahwa sekarang mata
gue lagi tertuju ke arahnya.
"Raya Alviena,"
"Bodo amat."
"Sayang,"
Dia berdecak kesal, "lo nyebelin."
"Loh, gue kan cuman bercanda."
"Tapi candaan lo nggak lucu."
"Oh ya? Kenapa?"
"Soalnya," dia diem sebentar. "lo bikin gue malu."
Gue ketawa sambil bangkit dari ranjang. Cewek itu masih berbaring disana, tapi dia
memandang gue dengan pandangan nggak suka. Oke, gue nyerah. Kalau gini terus, yang ada
sehari penuh bakal abis cuman buat ajang saling ejek dan gue yakin temen gue juga nggak
akan seneng kalau gue nggak nongol di hari bahagianya.
"Etdah, lo mau ngapain?!" Dia membentak dengan gusar waktu gue berjalan melintasi tepi
ranjang dan mempersempit jarak diantara kita. Matanya melotot, diiringi tangannya yang secara
refleks tertangkup menutupi muka saat gue membungkuk untuk mendaratkan bibir gue di
jidatnya--satu-satunya spot yang nggak tertutupi oleh kedua telapak tangannya. Efek dari
seminggu nggak ngeliat dia dan lembab kulitnya yang masih beraroma sabun membangkitkan
sesuatu yang liar dalam diri gue, tapi yah, soal itu bisa menunggu. Satu-satunya hal darurat
yang harus dikelarin sekarang adalah acara milih-memilih bajunya Raya yang pasti bakal
makan waktu lama--belum lagi ditambah milih warna eyeshadow dan warna lipstik, kalau gue
harus nambahin--juga jalanan yang kayaknya macet mampus.
"Gue tunggu di depan ya, Cinta."
"Ew."
Sambil tertawa, gue menarik pintu kamarnya hingga tertutup.

29 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
***

RAYA

He kissed me as soft as he always did before, before pulled himself away and stared at my
eyes with such a loving gaze.
Semuanya akan terlihat seperti fragmen sempurna dari film roman kacangan seandainya
gue balik menatap ke arahnya, lalu bilang kalau gue kangen banget sama dia. Tapi well, gue
bukan aktris FTV--not beautiful enough to become one, honestly. Alih-alih balik memandangnya
dengan lembut, gue justru mengernyit sambil mengangkat salah satu alis.
"Lo abis ngerokok ya?" Enggak perlu nunggu dia ngomong, gue udah tau jawabannya.
Mereka ngumpul lagi di acara kondangan tadi. Iya, mereka semua--Faris, Edgar, Rama, Dio
(yang secara mengejutkan jadi kelihatan lebih gembul dikit dibandingin pas dia masih kuliah)
dan Adrian. Mereka sempet melipir sedikit ke pojok dan gue yakin sambil ngobrolin pasangan
masing-masing (yang kebanyakan bener-bener orang tidak terduga) mereka nggak mungkin
nggak nyebat. Tapi entah kenapa gue lega ketika gue ketemu sama temen-temen yang
beberapa diantaranya nggak pernah lagi gue liat setelah hari wisuda. Mereka keliatan baik-baik
aja--meskipun Adrian keliatan agak sedih dan dia nggak dateng bareng istrinya. Hana bilang
terjadi sesuatu sama istrinya Adrian. She is sick, and even it doesnt mean she's going to die, it
makes her not healthy enough to have children. Somehow, ngedenger cerita Hana bikin gue
takut.
What if I couldnt be a perfect partner for him? What if I have problems with my body that I'm
not healthy enough to have children? Would he stay?
"But Adrian stays." Hana bilang di acara tadi, seperti bisa membaca kekhawatiran gue. "He
loves his wife a lot. So does Jev. He loves you a lot, and he would stay no matter what. Jangan
jadi goblok dan takut tanpa alasan. Nanti ujung-ujungnya lo kabur lagi kayak yang dulu-dulu."
"Dikit."
"Banyak juga nggak apa-apa."
"You're indeed one in a million, you know that?" Dia menatap gue dan tersenyum,
membiarkan lesung pipi favorit gue tercetak di wajahnya selama beberapa saat.
"Kenapa?"
"Salwa nggak suka kalau gue ngerokok."
"Emangnya gue suka?"
"Tapi lo nggak ngelarang."
"Because I do never own you. You're yours. And I'm mine. Semua keputusan yang lo ambil
dalam hidup lo adalah karena lo, bukan karena gue. Dan itu artinya, lo harus siap nanggung
konsekuensinya," gue mulai menjelaskan. "but when you're at your worst, I'll make sure to be
there to lend you a hand. Or a shoulder. Or a hug."
"Baby, all you need is just to give me a peck on the lips and I'll be alright."

30 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Stop."
"Kenapa?'
"Lo bukan Leonardo Dicaprio." gue mengernyit. "Cuman Leonardo Dicaprio yang bisa
ngomong gitu ke gue tanpa bikin gue ngerasa geli."
"Wow, so Leonardo comes before me?"
"He always is, darling."
Dia memberengut. "Sumpah ya, sampe kapan coba harus begini? Sepanjang masa SD,
gue ikhlas selalu lo nomorduain setelah Westlife. Jaman SMP, gue harus rela ngeliat lo lebih
milih ngeliat gue kecebur got daripada ngebiarin poster Justin Bieber lo jatoh ke jalan. Dan
sekarang... who the fuck is Leonardo Dicaprio?"
"He is a Hollywood actor." Gue menjawab. "and sunshine of my life."
"Oh, gitu ya." Dia menyahut nggak peduli sambil bangkit dari ranjang dan berjalan menuju
balkon. Gue terdiam sejenak, menatap punggungnya yang terlapisi kaus putih dengan bingung.
Jangan bilang ke gue kalau dia marah. Tapi masa sih? Elah, kan gue cuman bercanda.
"Ngambek ya?"
"Enggak. Mau nyebat."
Ya-e-lah.
Tapi entah kenapa gue tergerak untuk ikut turun dari ranjang dan melangkah menuju
balkon. Dia ada disana, berdiri di tepi sambil memegang pagar pembatas balkon. Jakarta
terlihat begitu kecil dari lantai 32, lampu berwarna-warni terlihat berkerlip memenuhi kota. Jev
berdiri disana, rambutnya yang hitam tertiup oleh angin malam. Sebatang rokok yang sudah
dinyalakan terselip di bibirnya. Melihat caranya menatap pada batas gelap cakrawala dan
rambut yang berantakan karena dihembus angin ditambah rokok di mulutnya, dia agak sedikit
mengingatkan gue sama Sen Mitsuji. But no, I think he's cooler.
"Gue nggak ngambek kok, kalau itu yang mau lo tanyain," dia berpaling pada gue.
Rambutnya masih bergerak nggak karuan ditiup angin, dan matanya yang kelam memandang
pada gue dengan jenis tatapan yang membuat lutut gue terasa lemas. God, how could he like
someone like me?
"Gue juga nggak mau nanya kok."
"Gue kira lo nggak suka rokok."
"I'm open to experience new things."
"Want some?" cowok itu menggeser kotak rokoknya mendekati gue. Gue sempat ragu
sebentar, tapi akhirnya gue meraih kotak itu dan mencabut sebatang rokok dari sana. Dia
menatap gue sebentar ketika gue menyelipkan benda itu diantara bibir, lantas tangannya
menyalakan korek untuk membakar ujung rokok itu.
Hening sebentar. Hanya ada angin dan hela napas. Selubung asap dan bau nikotin.
"Jujur sama gue,"
Gue menghembuskan cincin asap ke udara. "apa?"
"Ini bukan pertama kalinya lo ngerokok kan?”
Wow. Gimana dia bisa tau?

31 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Iya kan?" dia mendesak.
"Kalau iya emang kenapa?"
Jev menghisap rokoknya, membiarkan asap terhembus dan matanya menatap lurus pada
gue. "Kapan terakhir kali ngerokok?"
"Hm," gue bergumam nggak peduli. "Seminggu setelah gue putus dari Kenzo.”
"Dan sebelumnya?"
"Kalo lagi stres aja. Kok lo jadi lebay gini sih?"
"Persisnya lo stres seberapa sering?" Dia mengabaikan protes yang gue lontarkan.
"Lumayan sering."
"Why? I think you were happy with him?"
"Indeed." Gila. Anginnya gede banget. Gue jadi nyesel udah ke balkon cuman dengan kaos
oblong dan celana pendek. Mana lupa bawa ikat rambut pula. Gue mendesah pelan,
ngebayangin betapa sulitnya menyisir rambut gue setelah ini. "I was happy. But not happy
enough."
"Tell me the reason."
"Je,"
"Just tell me."
Gue mengerjapkan mata. "because he's not you."
"Lo ngerokok sekarang." dia berujar setelah tiga puluh detik keheningan yang panjang. "jadi
itu artinya lo nggak happy hari ini? Nggak happy sama gue?"
Gue tersentak. "No. Untuk hari ini, alasannya bukan itu."
"Terus kenapa?"
"Karena lo butuh temen ngerokok, mungkin?"
Dia terdiam lagi, meskipun nggak lama. Beberapa detik kemudian, cowok itu meraih gue ke
dalam pelukannya. Mendekap gue dengan erat. Gue bisa merasakan debar jantungnya, dan
kedua lengannya yang hangat di punggung dan pinggang gue. Oh man, this is too comfortable.
If I could die in his arms, I wouldnt mind.
"Gue nggak mau liat tulisan itu lagi."
"Tulisan apa?"
"Tulisan yang ada di kamar lo."
"Tulisan yang man--oh." gue langsung konek, dan sesaat setelahnya dia melepaskan gue.
"kenapa sih? Kan cuman tulisan doang?"
"Because you were made for me, idiot. You were made to be someone I love. To be
someone I spend my life with. To be my personal painkiller. To be my favorite addiction. And to
be my loveliest smoking partner."
"Makasih, gue terharu."
"Dingin nggak?"
"Kenapa?"
"Kalo dingin kan gue jadi punya alesan buat meluk lo lagi."
"Oh, enggak deh, makasih."

32 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Ra,"
"Gue suka yang dingin-dingin kok."
"Bukan itu." dia ketawa.
"Apa dong?"
"I love you," bisiknya dari jarak yang begitu dekat hingga gue bisa merasakan hangat
hembus napasnya. "I always do."
Gue menatapnya. "Me too. Like you always do."

33 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
4 | THE LOST PIKACHU

Jam digital di atas nakas masih menunjukkan pukul empat ketika gue merasakan sebentuk
sentuhan lembut bermain di atas dahi kepala gue, mengiringi deru napas yang pelan. Samar,
tapi terasa hangat setiap kali menerpa bagian belakang leher gue. Gue mengerjapkan mata,
memiringkan badan gue ke sisi yang berlawanan secara tiba-tiba hanya untuk bertemu
pandang dengan sepasang mata milik seseorang. Sepasang mata yang tetap terlihat teduh,
bahkan dalam keremangan karena cahaya yang minim. Alis tebal menaungi matanya, membuat
sorot irisnya yang gelap terasa sejuk. Gue menarik senyum samar, balik menyentuh ujung
hidungnya dengan jari telunjuk gue.
"Hello, sleepy head." bisiknya.
"Seharusnya lo tidur, bukannya gangguin gue."
"Lima hari. Lebih dari seratus dua puluh jam. Lima belas kali jam makan."
Gue mengernyitkan dahi. "Apanya?"
Dan dia tersenyum. Senyum yang masih sama. Seperti nggak pernah berubah bahkan
setelah bertahun-tahun berlalu. "Waktu yang harus gue lewati untuk ketemu sama lo. Do you
think it's easy? Dan lo kira gue akan membuang terlalu banyak waktu untuk tidur?"
"Lo berlebihan. Emangnya Jakarta-Bandung sejauh apa sih?"
"Lo tau apa definisi jauh menurut gue? Definisi jauh menurut gue adalah ketika gue nggak
bisa melihat lo dan mendengar suara lo secara langsung." Dia terkekeh, matanya masih tertuju
pada gue seperti mampu menembus kegelapan. Gue selalu suka momen-momen ini. Dengan
suaranya yang rendah, kita berkomunikasi dalam bisikan. Hingga bahkan mungkin cicak yang
merayap di dinding nggak bisa mendengar. Hanya gue dan dia. Kita.
Gue tertawa, tapi dia enggak. Matanya tetap menatap gue dengan lekat. Lalu jarinya
kembali memainkan helai rambut gue.
"Raya,"
"Em-hm?"
"Did you ever stop loving me?"
Sesaat setelah mendengar pertanyaannya, kening gue langsung berkerut. Ini adalah kali
pertama Jev bertanya tentang sesuatu yang bisa membuat gue bingung. Biasanya, gue lah
yang sering menanyakan pertanyaan aneh. Pertanyaan yang bagi sebagian besar orang
mungkin bakal membuat mereka menilai gue sinting dan sukar dimengerti. Tapi setiap kali
menghadapi pertanyaan semacam itu, Jev hanya akan tersenyum, kemudian mengetuk dahi
gue dengan jarinya sambil bilang "don't be overthinking."
"Maksud gue," seperti bisa membaca ketidakmengertian (atau kelemotan gue), Jev
langsung buru-buru menerangkan lebih detail. "After our split and stuffs... you were with him."
Him? Oh. Kenzo maksudnya.
"Nice question," Gue merespon cepat. "But I have same thing to ask. Did you ever stop
loving me?"

34 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Yaelah," Jev memutar bola matanya. "I asked you first. So you have to answer me first."
"I know you're a gentleman, Jeviar Mahardika. But that ladies' first phrase is getting old."
"Raya Alviena," Jev terdengar jengkel.
"Ya, sayang?"
Dan segampang itu, napasnya seperti terhenti seketika. Kelopak matanya sempat melebar
meski hanya sepersekian detik. Sejak dulu, gue tahu bukan orang yang bisa dengan mudah
mengekspresikan isi hati gue pada orang lain. Termasuk sama dia. But I guess he knows how
much I love him. So dearly. So deeply. Tapi tetap saja, setiap kali gue bersikap seperti ini, dia
nggak pernah bisa menutupi keterkejutannya.
Namun kemudian, cowok itu justru mendengus pelan.
"Lo benar-benar tau kelemahan gue ya. Dan no, stop looking at me with those puppy eyes
of yours."
"Enggak mau." Gue menggeleng-gelengkan kepala dengan sok imut.
"Stop it or else--"
"Or what?"
"Or I'll have to kiss you. Roughly."
Secara refleks, gue memutar bola mata. "Sialan lo ya. Dasar PK."
"Boys will always be boys, sweetheart." Jev tertawa kecil. "Hm. Kembali ke pertanyaan
lo. Did I ever stop loving you? I guess, no."
"Even when you were still with her?"
"Her? Siapa tuh?"
"Salwa."
"Menurut lo aja gimana."
"Jahat!" Gue berseru secara refleks. "How dare you to play with that poor girl's heart."
"Loh, bukan gitu. Lo salah tangkep," Dia menyergah cepat. "I never stop loving you,
because after our split, you're still my friend. And I cherished you as... my friend."
"Taik."
"Jangan cemburu, darling. Itu sudah masa lalu kok. Yang penting sekarang kan..."
tangannya masuk ke dalam selimut, mencari jemari gue dan meraihnya hingga gue merasakan
samar denting dari dua cincin yang berbenturan. "How about you?"
"I never stop loving you," Gue diam sebentar. "... as a man."
"Berarti lo juga jahat."
"Indeed."
Jawaban gue sepertinya benar-benar tidak diduga sama sekali olehnya. "Gue kasihan sama
dia."
"Siapa?"
"Kenzo."
"Oh."
"Iya."

35 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"I was cruel, I know that. Tapi dia selalu bilang kalau dia nggak apa-apa. Dia selalu
menunggu sampai hati gue berubah arah."
"Which is impossible."
Gue mengiyakan meskipun agak sedikit nggak rela.
"Wow, apakah gue memang sehebat itu?"
"Lo tuh kayak lintah. Sekali nempel susah lepasnya."
Mendengar omongan gue, Jev tertawa. "Tapi kalian pacaran lama banget. Lebih lama dari...
Kita."
"Yes, and the breakup might be really painful for him."
Jev menggeser posisi berbaringnya sementara tangannya mulai terjulur ke balik punggung
gue, menarik gue lebih mendekat. "Tell me about it."
"Do I really have to?"
"I insist."
Gue menarik napas, menatap matanya sekali lagi dan mmeutar kembali kenangan yang
sebenarnya nggak pernah gue ingin ingat. Bukan karena itu menyakitkan buat gue. Tapi karena
untuk pertama kalinya selama hidup, gue merasa sangat jahat telah melukai seseorang yang
sudah bersikap benar-benar baik sama gue.

***

Year Ago.

Malam ini malam anniversary kita yang kedua--dan ketika gue bilang 'kita' maksudnya
adalah gue dan Kenzo. Hari ini juga tepat sebulan setelah gue wisuda--dimana gue mengikuti
gelombang wisuda yang berbeda dengan Jev meskipun kita lulus di tahun yang sama. Lucu,
karena kita sama sekali nggak ketemu lagi. Dia langsung cabut ke Bandung seminggu setelah
wisuda, karena udah ada sebuah perusahaan konstruksi disana yang nge-hire dia untuk jadi
salah satu engineer mereka. Dia mungkin sering bilang kalau dia nggak pintar, tapi itu salah.
Dia adalah insinyur terpintar yang pernah gue tau. Haha. Lebih lucu lagi, harusnya sekarang
gue bukan mikirin dia, melainkan mikirin Kenzo, cowok yang berstatus pacar gue. Cowok yang
kini duduk di hadapan gue dengan setelan bagus dan aroma parfum khas yang menguar.
What's not lovable in Kenzo?
Dia tinggi, mungkin tingginya sepantaran dengan Jev. Ah, lagi-lagi gue membandingkan
mereka berdua. Betapa nggak adil buat Kenzo, karena sejak awal, isi pikiran gue nggak pernah
jauh-jauh dari Jev, Jev dan Jev. Dia seperti mantra, menyihir habis segala hal dari dalam otak
gue selain namanya. Bahkan, sebelum gue bisa melupakan namanya, gue udah melupakan
nama gue sendiri lebih dulu. Tapi yah, begitulah. Kenzo tinggi. Dia pintar. Sangat pengertian.
Meskipun dia rajin pergi ke gereja--kita berbeda agama--dia nggak pernah menghakimi
pemikiran gue yang seperti nggak pernah berhenti mempertanyakan keberadaan Tuhan. Dia

36 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
nggak menuntut. Dia adalah satu-satunya yang tahu Jev sebanyak yang gue tahu, meskipun
dia sama sekali nggak pernah bertemu dengan cowok itu.
Gue jahat. Gue menyiksanya. Dan dia juga bodoh. Karena udah membiarkan dirinya sendiri
tersiksa karena gue, cewek biasa yang tolol karena nggak pernah bisa benar-benar melupakan
seseorang yang nggak nyampe setahun pacaran dengan gue--meskipun teknisnya, gue dan
Jev sudah saling mengenal lebih dari separuh masa hidup kita di dunia. Jika gue jadi Kenzo,
gue nggak akan mau menghamba sama seseorang yang bahkan nggak pernah bisa melihat
gue hanya atas nama cinta.
Bukan berarti gue nggak pernah mencoba untuk mencintai Kenzo. Tentu saja, dia adalah
pilihan teraman buat gue. Dia sayang sama gue. Dia punya semua karakter dari jenis cowok
yang akan gue pilih mendampingi gue semur hidup. Tapi, semua usaha gue nggak pernah
berhasil. Gue nggak pernah bisa benar-benar mencintai Kenzo. Karena diantara semua
kelebihannya yang menggunung, dia punya satu kekurangan.
Dia bukan Jeviar Mahardika.
"Raya," Kenzo meraih tangan gue, membuat gue langsung tersentak kaget. Bukan karena
tangannya yang sangat hangat menyentuh kulit punggung tangan gue yang dingin. Bukan juga
karena gue terlalu larut dalam lamunan gue sampai-sampai nggak menyadari apa yang dia
lakukan. Tapi karena gue nggak menebak Kenzo bakal meraih tangan gue dengan begitu tiba-
tiba. "What's inside your mind?"
Gue menggelengkan kepala gue cepat-cepat. "Bukan apa-apa."
"It's him again, isn't it?" Kenzo balik bertanya, dan baru saat itulah gue melihat ada sorot
pahit yang membayang di kedua matanya. Caranya menatap gue membuat gue kehabisan
kata-kata, dan sepertinya kebisuan yang ada justru terasa menegaskan semuanya. Cowok itu
menunduk, lantas mengeluarkan sebuah tawa muram. Dia jadi terlihat menyedihkan, seperti
sedang mentertawakan dirinya sendiri. Gue benci itu.
Karena gue adalah penyebab mengapa dia jadi terlihat begitu menyedihkan
"Kenzo, look,"
"No need to speak," Kenzo memotong ucapan gue sambil merogoh saku jas yang dia pakai.
Setelan resmi yang baru gue sadari terlihat jauh lebih mentereng daripada setelan yang biasa
dia pakai saat pergi ke kantor. Sebentuk firasat buruk menyelinap ke dalam benak gue, dan
jantung gue terasa luruh ke perut ketika dugaan gue benar. Kenzo mengeluarkan sebuah kotak
beludru berwarna biru. Cowok itu membukanya tanpa melihat reaksi gue, mengekspos cincin
emas bermata berlian di dalamnya.
"Kenzo," Dia tahu benar ketakutan gue pada sesuatu yang bernama pernikahan. Dan nggak
peduli berapa kalipun dia berkata bahwa gue bisa tenang hidup bersamanya, atau bagaimana
dia bilang dia rela pindah agama demi gue atau berapa banyak dia menyebut nama gue dalam
malam-malam sepi ketika saat kita mengobrol dinihari karena nggak sempat bertemu sebab
kesibukan masing-masing, dia nggak pernah berhasil.
"I was going to ask you to be my companion for the rest of my life," Kenzo menghela napas.
"Tapi kayaknya itu nggak mungkin, ya?"

37 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"I don't wanna hurt you,"
"Too bad, you did."
Lagi-lagi, Kenzo berhasil membuat gue terbungkam. Bahkan untuk bicara pun, gue udah
nggak punya hak. Gue menunduk, membiarkan pandangan gue menusuk lantai yang bersih
dan tepi meja berpelitur yang selalu tampak seperti baru. Yah, kemewahan adalah sesuatu
yang patut harap ditemukan di restoran dengan fasilitas sky dining kan? Namun, gue nggak
bisa menutupi kegugupan gue. Pelan-pelan, jari gue mulai naik ke paha, saling meremas
dengan bagian rok gaun malam yang gue pakai. Kenzo langsung menyadarinya, karena cowok
itu meminta gue menatap padanya, dan begitu gue mengangkat wajah, dia sedang tersenyum
lembut.
I really am the biggest fool ever.
Bagaimana bisa gue menyia-nyiakan laki-laki sebaik ini, yang udah siap membuang segala
yang dia punya untuk gue, hanya demi seorang cowok yang bahkan rimbanya aja udah gue
nggak tau berada dimana? Kalau udah begini, gue jadi berpikir, mungkin seharusnya sejak
awal, gue nggak pernah bertemu sama orang itu sama sekali. Like the hell, orang itu bahkan
belum tentu masih inget gue. Dia udah bahagia di luar sana, sama cintanya yang lain. Gue
hanya kepingan masa lalu yang memang sudah seharusnya terlupa. Disini, gue justru
mendorong satu-satunya orang yang mungkin bisa jadi kesempatan buat gue untuk bahagia
menjauh hanya karena dia.
He is, indeed, my deadly addiction.
"Gue iri sama dia."
"Hah?"
Bodohnya, hanya reaksi itu yang bisa gue tunjukkan sebagai respon spontan.
"Jeviar Mahardika."
"Oh."
Kenzo melukis segaris senyum tipis yang terkesan sedih di wajahnya. Cahaya lampu
bernuansa kuning dan background titik-titik sinar serupa kunang-kunang beraneka warna dari
bangunan dan gedung pencakar langit kota Jakarta menjadi background di belakangnya. Indah
dan terkesan sureal. Dia seperti pangeran dari negeri peri yang terletak begitu jauh. Datang dari
mimpi. Menjanjikan kebahagiaan. Tapi gue justru mematahkan hatinya dengan begitu purna.
"Gue iri sama dia. Banget." Kenzo berdehem. "Karena bahkan setelah semua yang terjadi,
setelah semua apa yang gue lakukan, dia tetap punya tempat yang lebih besar di hati lo
daripada gue."
"Kenzo,"
"Do you remember our first encounter that morning in Shibuya?"
Dengan terpatah, gue mengangguk.
"You looked like a little candy. With those yellow raincoat and transparant umbrella. Like a
lost Pikachu trying to find its way home." Dia berhenti sejenak, seperti memutar ulang kilas balik
itu dalam sinema di ruang kepalanya. "Sejak saat itu, gue menyukai hujan. Dan
Shibuya. Because they remind me of you."

38 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Gue masih nggak mengerti.
"Believe me, I tried so hard to be your new home. To be that suicidal Pikachu's shelter. To
cherish you, and give you another purpose to live this sick world. Because of me. But I guess I
was wrong. Right from the start, your heart belongs to another."
"Kenzo, gue minta maaf."
"No need to say sorry, Raya."
"Tapi,"
"Penilaian gue ke lo masih sama. Lo adalah cewek yang... gue nggak tau bagaimana harus
menggambarkannya. You're fierce, but fragile at the same time. Strong but weak. Pretty
confident but insecure. Lo seperti paradoks. Dua sisi yang berlawanan dalam satu jiwa. But still,
out of all people in this world, I believe you deserve to be happy. And to be loved by someone
that you love. That someone, surely, is not me."
"Lo salah."
"Raya, gue punya satu permintaan. Hanya untuk hari ini. Malam ini." Kenzo berbicara
dengan serius. "Can you be mine for a day?"
Semuanya berjalan begitu cepat. Begitu dramatis. Malam itu bukan tanda dari kekalahan
Kenzo atas Jev, melainkan akhir dari apa-apa yang sudah dia perjuangkan untuk tetap bersama
gue. Dia sudah tau itu sejak lama, hanya mungkin baru malam itu hatinya bisa benar-benar
menerima. Kita bersikap seperti layaknya pasangan. Kita berdansa. Saling bergandengan
tangan. Makan dan bercakap-cakap tanpa terjadi apa-apa. Sampai kemudian ketika malam
merambat menuju larut dan ruangan restoran itu sudah mulai kosong, Kenzo mengajak gue
turun ke lobi gedung.
Cowok itu melepaskan genggaman tangannya yang erat pada jemari gue, kemudian
menunduk dan memberikan sebuah kecupan di pipi gue.
"I hope my little Pikachu finds her way of happiness."
"Lo juga."
"As long as you're happy, I'm sure I can be happy." Dia tertawa. "He is a lucky bastard."
"Who?"
"That jerk."
"Why?"
"Because you love him that deep." Kenzo berkata lagi, kali ini sembari menyelipkan sebuah
kotak mungil ke tangan gue. Sebelum gue bisa bicara atau mengembalikan kotak itu padanya,
Kenzo sudah lebih dulu berlalu menjauh, bertepatan dengan mobilnya yang berhenti di depan
pintu. Petugas jasa valet keluar dari sana, dan Kenzo langsung menggantikan tempatnya
setelah memberikan uang tip.
Gue menghela napas, memutuskan menelepon adik gue untuk menjemput. Sambil
menunggu Andra, gue terduduk di lobi dan membuka kotak mungil itu. Di dalamnya ada sebuah
gantungan kunci berbentuk karakter Pikachu, juga sepucuk surat. Isinya singkat, tapi cukup
untuk membuat gue merasa sebagai perempuan paling culas sedunia.

39 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Dear Raya,
Thank you for giving me such a happy ending
Thank you for letting me hold you like more than a friend
For the last time
Because you've granted my wish, then let me give you an advice
Call him, and finish what both of you started
It's not good to leave something important remains unsaid
If you do that, there is a chance for you to be completely happy
Because someone as precious as you doesn't deserve to be "just" happy
Much love,
Kenzo

***
JEVIAR

I pity that Kenzo guy.


Really.
But at the same time, I feel so lucky. I'm lucky to have her. I'm lucky that she fell in love with
me so deeply. Too deep, even another man who is more in anything than me had no chance to
steal her heart.
"Makanan lo ada di meja, bukannya di depan lo."
Suara Raya yang terdengar jengkel membuyarkan lamunan gue. Sekarang adalah jam
makan siang, dan karena gue sudah bosan makan PHD ataupun makanan order lainnya, gue
memutuskan menarik cewek ini keluar dari sangkar nyamannya. Raya sempat protes, tapi
setelah dia tau kalau gue yang akan mengorbankan diri nyetir hari ini, dia pun nggak keberatan.
Hari ini hari Sabtu. Meski begitu, restoran tempat kita makan nggak begitu ramai.
"You're not a food, but you still look edible." Gue terkekeh. "If you know what I mean."
"Makin gede kenapa otak lo makin rusak ya, Pak?"
"Maybe because I have sexiest girlfriend in the world?"
"You're wrong."
"Oh, I'm sorry, babe. I meant, sexiest fiancee."
Raya keselek. Sama aja kayak dulu. Dan reaksi gue pun nggak berubah. Gue tertawa
seraya menggeser gelas minum ke dekatnya. Cewek itu mendelik, meneguk air dingin dalam
gelasnya dengan cepat. Tapi batuk-batuknya masih sesekali terdengar.
"Gue ke toilet dulu, oke? Awas ya kalau lo kabur." Gue berujar sambil mendorong kursi gue
mundur, lantas berlalu ke toilet. Seorang pramusaji yang berdiri di balik meja konter melirik
sekilas pada gue dengan jenis tatapan yang bisa dikategorikan super flirty. Bukannya gue GR
loh ya, cuma ya begitulah. Gue mengabaikannya. Sorry, ladies, but like I said before, I have
sexiest fiancee in the world by my side.

40 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Gimana ya. Menurut gue, seksinya cewek tuh bukan dari pantatnya. Atau dari bemper
depannya. Bukan. Tapi dari kepalanya. And Raya is that kind of someone who can make a
butterfly or even a sentence look so artsy and beautiful.
Toilet sepi, dan gue mengucap syukur dalam hati. Bukannya apa-apa, tapi kalau cewek
pipis kan dalam bilik-bilik tertutup, sementara cowok tuh pipisnya langsung di sederetan urinoir
yang kagak ada tembok pembatasnya. Bukan, gue bukannya krisis kepercayaan diri karena
otong yang mini. Sori-sori ya. Gue pede-pede aja kok pipis di urinoir, bodo amat mau rame atau
enggak. Cuma gue rada trauma sama urinoir, soalnya bukan sekali dua kali gue jadi korban
maho genit yang suka lirik-lirik terus tau-tau minta nomor telepon pas udah kelar pipis.
Gue masih straight. Gue nggak napsu sama batang. Dan gue nggak akan pernah
jadi gay kecuali Raya transgender jadi cowok which is mustahil. Kalaupun terjadi, itu bisa bikin
Bumi gonjang-ganjing dan jadi keajaiban dunia nomor sekian.
"Jeviar Mahardika, is it?"
Gue baru melewati pintu toilet setelah mencuci tangan ketika suara seorang laki-laki
terdengar, secara otomatis menginterupsi langkah gue. Gue menoleh, hanya untuk mendapati
sesosok cowok tinggi berkacamata yang menatap gue dengan pandangan penuh arti. Dia
mengernyit sebentar, seperti sedang meneliti gue sebelum akhirnya menarik sebentuk senyum
yang nggak begitu kentara. Duh, nyet. Nggak usah senyum kayak gitu kenapa. Creepy banget.
Gila ya, apa gue harus nulis gede-gede di jidat gue keterangan kalau gue straight?
Eh, tapi btw dia tau nama gue dari mana?
"Ya? Anda siapa ya?"
Positive thinking. Sapa tau ada hubungannya sama kerjaan.
"Selow aja." dia menatap gue. "Did you come here with your girlfriend?"
Hah? Apa sih kok kepo banget? Serem, anjeng.
"It's none of your business but well, she is my fiancee."
Kelopak matanya melebar, meski cuma sepersekian detik. "Oh. I see. You're a lucky man."
"I know."
"Dia kelihatan happy."
"Maksud lo?"
"Cewek lo." jawabnya. "Gue turut senang. Congratulations." dia meneruskan ucapannya,
kemudian berjalan melewati gue begitu saja. Gue mengernyit, menatap punggungnya sejenak
lalu memanggil.
"Tunggu."
Cowok itu berhenti melangkah, lantas kembali berbalik.
"Lo kenal sama gue? Atau lo kenal sama cewek gue?"
"Not really, but can you tell this to her?"
"Apa?"
"Tell her, someone is happy that finally the lost Pikachu is no longer lost."
Lalu tanpa menunggu reaksi gue, cowok itu berlalu pergi.
Gue berpikir sebentar hingga sebuah kesadaran menghantam benak gue.

41 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Well, gue rasa gue tau siapa dia.
Too bad, dia udah cabut duluan. Seandainya dia mau menunggu gue paham sedikit lebih
lama lagi, gue mungkin sudah bilang sama dia kalau dia nggak perlu khawatir. Kalau Raya akan
tetap baik-baik aja sama gue. Kalau gue nggak akan pernah membiarkan dia menghilang lagi
dari hidup gue seperti waktu itu.
Karena gue akan selalu ada di sisinya. Sampai kapanpun.

42 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
5 | BE MY BESTMAN?

Adrian sedang duduk di depan kanvas putih berukuran sedang dengan tangan kanan
menjepit kuas ketika suara seorang perempuan terdengar. Lelaki itu mengalihkan perhatian
pada sumber suara, hanya untuk mendapati isterinya berada di ambang pintu. Senyumnya
seketika tertarik. Senyum cerah yang tidak pernah berubah, bahkan sejak pertama kali mereka
baru mengenal.
"Morning, dear. Had a good sleep?"
Isterinya tidak langsung menjawab. Mata perempuan itu lebih dahulu menatap pada
seonggok bunga dalam vas yang kini menjadi objek lukisan. Lalu dia menghela napas, balik
menatap Adrian dengan sorot hangat. Ah. Mata itu. Tidak peduli berapa lama pun Adrian
memandangnya, dia tidak pernah merasa puas. Perempuan itu punya mata seperti blackhole.
Hanya satu tatapan, dan Adrian akan tersedot keluar dari dunianya.
Tanpa menunggu lebih lama, Adrian beranjak turun dari kursi tinggi yang dia duduki setelah
sebelumnya meletakkan palet dan kuas di tangannya ke atas nakas. Pria itu terlihat segar
dengan setelan santai yang dia kenakan. Rambutnya lembab, dan ketika dia menunduk untuk
memeluk isterinya, perempuan itu bisa mencium aroma sabun bercampur dengan bau yang
benar-benar khas Adrian. Tangannya terangkat, merengkuh bahu pria itu ketika hidung Adrian
terkubur di bahunya.
"I dreamed about you." Bisiknya, yang membuat Adrian tersenyum sesat setelah mereka
melepaskan pelukan. Mungkin apa yang biasa mereka lakukan setiap pagi seperti bertukar
kecupan di pipi atau hanya sebatas dekap sederhana adalah sesuatu yang terkesan cheesy,
namun tidak bagi Adrian. Setelah tahun-tahun panjang yang berlalu, memiliki perempuan itu
dalam rumahnya seperti mimpi. Adrian sudah berjanji bahwa dia tidak akan membuang barang
sedetikpun tanpa menatap perempuan itu dan meyakinkannya bahwa dia pantas dicintai.
"Oh ya? Tell me."
"In my dream, we had a child. A boy.He looked like a mini version of you. His eyes..." Mata
perempuan itu menatap Adrian pada matanya, lekat, kemudian turun pada lekukan hidung. "His
nose..." masih senyap ketika dia mengalihkan pandangannya pada bibir Adrian. "And his
lips. They're similar with yours."
Adrian memandang perempuan itu dengan dalam, lalu menunduk untuk memberikan
sebuah kecupan cepat di bibirnya. "We talked about this. And my answer will still be the same."
Perempuan itu mengerucutkan bibir. "I want it. You know you want it too. So, why don't
we—" sebelum isterinya bisa menyelesaikan ucapannya, Adrian sudah lebih dahulu memotong.
Suaranya masih lunak, namun kali ini terkesan tegas. Tentu saja. Hingga pernikahan mereka
yang sudah menginjak tahun ketiga, tidak pernah sekalipun Adrian berbicara dengan nada
kelewat kasar pada perempuan itu. Mereka bilang isterinya beruntung karena bisa
mendapatkan seseorang sesempurna Adrian. Dan yah, perempuan itu juga berpikir begitu.
Sebaliknya, Adrian sama sekali tidak beruntung karena mendapatkannya.

43 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Dear, please don't force me."
"I'm okay. I promise you that I'm okay. Everything is fine."
"No." balas Adrian.
"Kenapa keras kepala banget sih?" Perempuan itu mulai kesal.
"Because I'd rather stay like this with you than make a bet with Death."
"Konyol."
"Say that again." Adrian memberikan sebuah seringai menantang yang membuat ekspresi
cemberut di wajah perempuan itu perlahan mencair, sebelum akhirnya sorot nakal merambat di
matanya yang sebentuk buah almond.
"Konyol."
"Yes, but you love me." Dan hanya dengan satu kalimat itu, bibir Adrian kembali menjemput
bibirnya. Cara lelaki itu menciumnya tidak pernah berubah. Selalu sama. Seperti nada-nada
lembut dari lagu pengantar tidur. Tidak tergesa. Dan tidak pernah gagal membuatnya merasa
dicintai. Sesi make out itu mungkin akan berlangsung sedikit lebih lama dari ritual morning
kiss yang biasa mereka lakukan seandainya saja mereka tidak mendengar suara tawa tertahan.
Suara yang membuat keduanya langsung terpisah sebelum akhirnya menoleh secara
bersamaan ke ambang pintu.
"Gue nggak liat."
Itu Jeviar. Dan gadis yang berdiri di sampingnya dengan wajah merah padam, tentu saja
adalah Raya. Ah ya. Ini hari Sabtu. Adalah wajar melihat mereka berada disini. Keduanya
memang hobi datang bertamu ke rumah orang secara tiba-tiba. Tidak jauh berbeda dengan
Faris. Atau Rama. Atau Hana dan suaminya yang masih dia panggil sebagai yang tercinta.
Orang bilang waktu mengubah segalanya, tapi entah kenapa bagi Adrian, mereka semua masih
sama. Masih orang-orang yang tertawa bersama di kantin teknik bertahun-tahun lampau, hanya
saja, sekarang mereka menjelma menjadi versi yang lebih dewasa.
Adrian berdehem. "Masih pagi banget, perasaan."
"Iya. Kepagian buat main ke rumah orang. Tapi kesiangan buat ena-ena sama isteri."
"Geez!" Raya meninju bahu Jev, membuat cowok itu langsung mengeluarkan ringisan yang
tentu saja terlampau dramatis. "Greet them with proper manner, can't you?" ujarnya sambil
mengomel pendek. Lantas gadis itu melangkah mendekati perempuan yang tidak diragukan lagi
dicintai Adrian setengah mati, menariknya ke dalam pelukan.
"It's good to see you."
"Gue juga." Perempuan itu menjawab ucapan Raya, lalu menyipitkan mata dengan jengah
pada Jeviar yang justru langsung tertawa kencang. "But it's not good to see you, you know
that?"
"Ouch, I'm not hurt, believe me, darling."
Perempuan itu mendengus jengah. "What doesn't hurt you disappoint me."
"Jangan panggil bini gue pake sebutan darling." Adrian menyela cepat.
"Yaelah, posesif banget sih."
"I'll make some tea."

44 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Raya ikut merespon. "I'll help you."
Tanpa menunggu reaksi dari kedua pria yang ada di ruangan tersebut, mereka berlalu
begitu saja. Baik Adrian maupun Jeviar tidak mengalihkan pandang dari perempuan-perempuan
itu—bahkan Jev sempat mendengar Adrian membisikkan 'hati-hati' nyaris tanpa suara sesaat
sebelum isterinya mulai menuruni tangga menuju dapur yang berada di lantai bawah.
"Tumben lo memilih dateng ke tempat gue daripada tempatnya Faris." Adrian berujar
sementara mereka berjalan menuju teras belakang.
"Oh, jadi sekarang lo cemburu sama itu biji onta?"
"Nggak juga sih. Emangnya lo siapa?"
"Sobat tersayang lo lah."
Adrian hanya menanggapi ucapan Jev dengan decakan, sementara yang ditanggapi sibuk
senyam-senyum tidak jelas. Kadang sulit bagi Adrian membayangkan Jev sebagai salah satu
pegawai sebuah perusahaan konstruksi bereputasi luar biasa baik dengan tingkahnya yang
tidak jauh beda tengilnya ketika dia masih mahasiswa. Mereka berjalan menyusuri koridor
rumah Adrian yang besar, kemudian berbelok menuju teras belakang. Tempat itu menghadap
ke sebuah taman luas dengan beragam tanaman berbunga beraneka warna.
"Waduh, sejak kapan Taman Bunga Cipanas pindah kesini?"
"My wife is a talented gardener."
"Raya sih boro-boro, melihara kura-kura aja kura-kuranya mati." Jev terkekeh. "Tapi nggak
apa-apa. Aku tetap cinta."
"Jadi, sebenernya kenapa tumben banget lo pagi-pagi udah nyatronin rumah gue?" Adrian
kembali bertanya sesaat setelah mereka duduk berhadapan di atas kursi rotan. Jeviar tidak
langsung menjawab. Cowok itu menatap sejenak pada sekumpulan awan yang menggantung di
langit biru. Pagi ini cuacanya cerah. Sinar matahari menyirami pucuk-pucuk hijau tanaman di
taman belakang rumah Adrian tanpa halangan. Mengeringkan sisa titik-titik embun di atas
rerumputan.
"I wanna ask you a favor."
"Hm?" salah satu alis Adrian terangkat. "Is this even a question? You know you are my
bestfriend, Mahardika. Ngomong aja."
"Be my bestman."
"Maksud lo—HAH?!" Adrian tidak bisa menutupi keterkejutannya.
"Ya ampun. Keseringan ngelukis bikin lo budek ya. Gue barusan nanya, lo mau nggak
jadi bestman gue?"
"Best...man?"
Jev menyipitkan matanya. "Yan, mau gue anterin cek telinga ke dokter THT? Yuk,
mumpung gue lagi disini juga."
"Tunggu dulu."
"Sumpah, lo bikin gue khawatir."
"Lo yang bikin gue kaget, nyet!" Adrian tidak bisa menahan seruan kesalnya. "Maksud lo—
tunggu. Bestman. Lah, emangnya lo mau nikah? Sama siapa?"

45 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Sama tiang listrik." Jev mendengus kesal. "Ya sama Raya lah!! Emangnya sama siapa
lagi?! Salwa? Udah ke laut kali tuh cewek."
"Emang dia mau?"
Jeviar memasang raut wajah kecewa. "Gila, ya. Lo semua tuh temen gue bukan sih?
Enggak Hana, enggak si Batak, nggak Dio, nggak Rama... Faris... bahkan lo. Ah, anying.
Emangnya gue se-nggak suamiable gitu apa?! Ngedenger Hana nikah aja lo nggak kaget, lah
kenapa sekarang lo masang muka seakan-akan matahari baru aja terbit dua biji?!"
"Bukan begitu... maksud gue..." Adrian menghela napas. "Gila. Lo apain dia sampe dia mau
nikah sama lo?"
"Gue kasih cinta yang tulus."
"Gue serius, ler."
"Emang muka gue kelihatan bercanda?"
Kedua cowok itu bertatapan sejenak, lalu tanpa sadar, Adrian menghembuskan napas
dengan sangat-sangat panjang. "Bokapnya dia setuju?"
"Yan, apakah gue se-enggak pantes itu buat dia?"
Tanpa sadar, Adrian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Yah, enggak begitu juga sih
sebenarnya."
"Yaudah. Intinya gue dan dia bakal nikah. Dua bulan dari sekarang." Jev nyengir. "So, will
you be my bestman?"
Senyap lagi. Kemudian Jev kembali bicara.
"Etdah. Ini kenapa gue kedengeran kayak lagi ngelamar lo ya."
"Bestman?"
"Sekali lo nanya lagi, gue gebuk lo pake cangkul."
Adrian buru-buru meralat. "Bukan gitu. Maksud gue, dari semuanya, dari yang lain, kenapa
lo memilih gue?"
"Pertanyaan lo sama kayak pertanyaan Raya pas gue nembak dia dulu." Jev mendelik
jengah. "Gue cuma minta lo jadi bestman gue, oke, Yan? Bestman. Bukan pacar. Apalagi
ngelamar lo. Jadi harap jangan lebay."
"Bukan gitu." Adrian berkata lagi, kali ini dengan jengkel. "Maksud gue, dari semuanya. Ada
Faris. Edgar. Rama. Dio. Kenapa lo memilih gue?"
"Simply, because you are my bestfriend." Jeviar mengedikkan bahu. "Bukan berarti yang
lain bukan teman gue. Cuma, gue merasa bahwa lo adalah orang yang punya rasa peduli pada
Raya sebesar gue. Lo bisa tahu kenapa Raya spesial buat gue. Bukan karena lo teman gue,
tapi karena lo bisa melihat jika Raya emang seistimewa itu."
Adrian ingin tertawa begitu mendengar jawaban sahabatnya. Ah ya, Jeviar tidak akan
pernah tahu. Dia memang selalu memandang Raya dengan spesial. Karena seperti kata Jev,
Raya memang seistimewa itu.
"Congratulations!"
"Tunggu. Jadi jawabannya, lo mau kan?"
"It's one of happiest days in two of my bestfriends, how could I say no?"

46 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Hng. Gue nggak harus meluk lo sekarang kan?"
Adrian melotot, lantas bergidik jijik. "Apaan sih dramatis banget."
"Biasanya cewek kan gitu." Jeviar terkekeh. "Kayak Raya sama Hana. Dikit-dikit pelukan
mulu. Iri gue jadinya. Tapi berhubung gue tau kalau pelukan cewek sama cewek nggak seenak
pelukan cowok sama cewek, jadi yah gue menyabarkan diri."
"Maksudnya?"
"Lo pernah liat cewek pelukan nggak?"
"Sering."
"Tiap mereka pelukan, pasti ada yang ngeganjel."
Adrian tersadar sedetik kemudian. "Sampah banget lo, Jev."
Jeviar membalas ucapan Adrian dengan gelegar tawa. Adrian mulanya hanya
memberengut, tapi kemudian dia ikut tertawa. Rasanya menyenangkan bisa menghabiskan
waktu bersama teman yang sudah lo kenal lama sekali. Teman yang tahu bagaimana
perjalanan lo dari nol hingga lo sampai pada titik dimana lo berada sekarang. Teman yang tahu
segalanya tentang lo. Mulai dari cinta masa muda, konflik ala-ala remaja, stress karena tugas
yang melanda hingga wajah memelas begitu waktu keluarnya IP semester tiba.
"Anyway, I overheard your conversation with her earlier." Jeviar mengubah topik
pembicaraan. "Why didn't you just grant her wish?"
"Her wish?"
"Her wish to bear your child."
Adrian menahan diri untuk melengos. "Because I don't want to."
"Bohong."
Wajah Adrian berubah masam. ":Lo kira gue nikah cuma buat punya anak? Hell no, J. I took
her as my wife because I love her. I want her to a big part of my life. Anak itu bonus, bukan
sesuatu yang mesti ada."
"But she wants it. That bad."
"I almost lost her once. I won't make it twice."
"Lo trauma."
"Mungkin."
Jeviar terdiam sejenak, lantas sebuah senyum tipis bermain di wajahnya. "Gue nggak
mengira kalau seorang Adrian Cetta Arsenio bisa begitu egois."
"Untuk sekali ini aja, gue mau egois. Because damn it, I love her so much. Too much. Gue
yakin lo mengerti apa yang gue rasain."
"Bahkan meski itu membuat dia sedih?"
"Jev, lo dibayar berapa sama dia buat ngomong gini ke gue?"
"Hm. Ketauan ya?" Jev nyengir.
"Ah ya, lo bakal ngundang dia?"
"Dia siapa?"
"Cleo."
Hening kembali menyambangi.

47 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
***

RAYA

"Gue tadi nggak sengaja denger obrolan lo sama Adrian." Dalam perjalanan pulang dari
rumah Adrian, gue akhirnya ngomong. Well, sebenarnya nggak tepat juga dikatakan perjalanan
pulang karena kita nggak berencana untuk balik ke apartemen. Hari ini adalah satu dari sedikit
hari dimana gue punya mood untuk pergi keluar, dan kita berencana untuk main ke Timezone.
Gue pernah cerita sekali pada Jev tentang gimana gue dan Kenzo sering main dance
revolution, and he was pretty jealous of it. I can tell from the look inside his eyes. Jadi yah,
akhirnya hari ini dia mengusulkan untuk pergi ke mall terdekat.
Mendengar ucapan gue, salah satu alisnya terangkat. Matanya tampak sibuk membagi
konsentrasi, antara memandang ke jalan dan bergantian menatap pada gue. How cute. Gue
suka ketika dia terlihat berusaha banget, hanya untuk memandang gue dengan tatapan itu.
Tatapan yang gue berani taruhan, punya kemampuan mengubah cokelat padat jadi lelehen.
Hangat.
"Oh ya? Lo denger apa aja."
"Hampir semuanya."
"Jangan GR."
Gue ketawa. "I don't know if you love me that much."
"Kalau gue nggak sayang sama lo, gue nggak akan berani bertaruh dengan membuang
semuanya hanya untuk mengejar yang nggak pasti." Matanya melirik pada gue. Oh, shit.
Jangan senyum. Namun seperti bisa membaca pikiran gue, senyumnya tertarik. Lesung pipi itu
kembali muncul, membuat gue lupa untuk bernapas meskipun hanya sejenak. Gila. Udah
bertahun-tahun berlalu dan gue masih belum terbiasa. "Lo itu nggak pasti. Kayak danau yang
dalam. Gue nggak tau apa yang ada di bawah permukaan. But I still love it. You're like blue
crayon to my white paper."
"Blue crayon?"
"The one I use to light up my sky."
"Cheesy."
"Nah, sweetheart. It shows how much I love you."
"Lo ngomongin apa aja sama bininya tuh bule satu?"
"Banyak." Gue menyahut, memutar ulang percakapan yang tadi sempat kita lakukan selama
berada di dapur. "She said that she is really sorry because she stole Adrian from me."
Jeviar nyaris tersedak. "HAH?!"
Gue tersenyum penuh kemenangan padanya—meskipun faktanya, ketika perempuan itu
menceritakan mengenai bagaimana Adrian pernah punya semacam rasa buat gue dulu, gue
juga menampilkan ekspresi terkejut yang tidak jauh berbeda. "I used to be his crush."
"BOHONG?!!!"

48 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Wah, harga diri gue terkoyak," Gue berkomentar pada wajah kagetnya. Sialan. Apakah gue
seburuk itu sampai-sampai fakta mengenai Adrian yang pernah suka gue jadi terkesan tidak
terpercaya dan hanya sebatas bullshit belaka? Kampret.
"Untung deh kalau gitu."
"Untung kenapa?"
"Untung dulu gue nggak biarin dia nemenin lo pas lo sakit." Cowok itu berdecak sambil
membelokkan mobil di sebuah tikungan. "Kalau nggak, bisa berabe. Gue sih pede saingan
sama siapapun, tapi kalau Adrian, hm, menurut lo dulu dia gimana?"
"Ganteng banget lah gila. Cuma cewek bego yang bakal nolak dia."
Jeviar merengut. "TUH KAN!"
"Kalau dipikir-pikir," Gue mengusap rahang. "kenapa dia nggak bilang aja ke gue ya? Kan
lumayan, pas berantem sama lo gue bisa punya lelaki cadangan. Mana tampangnya bagus gila
lagi."
"Rays,"
"Apa?"
"Dia mungkin lebih ganteng dari gue, tapi satu yang pasti," Jeviar memberi jeda. "Gue lebih
jantan dari dia."
"Alah, tai."
Wajahnya mulai digurati ekspresi tersinggung. "Lo mau bukti?!"
"Enggak. Gue nggak mau kita end up ditangkap satpam karena disangka pasangan mesum
dalam mobil."
"Enggak apa-apa. Biar dibawa ke KUA lebih cepet."
Gue berdecak. "Ah ya, soal yang tadi. Kenapa lo diem pas Adrian nanya lo bakal ngundang
Cleo atau nggak?"
"Karena gue nggak tau gue harus jawab apa."
"Enggak apa-apa. Undang aja. Sekalian undang tuh siapa dulu namanya ayam kampus
kesayangan lo... oh ya, Indira. Terus Nina. Terus siapa lagi? Buset, saking banyaknya gue
sampe lupa."
"Jangan ngeledek gue."
"Ih, siapa yang ngeledek sih. Itu kan fakta."
"Cerita jaman kegelapan nggak usah dibawa-bawa lagi, dong!"
"Emang sekarang udah jaman keterangan? Yah, lo kira iklan lampu Philip."
"Kan sekarang gue udah insap."
Gue mencebikkan bibir. "Udah insap atau cuma belom bosen aja sama gue?"
"Lo tuh kalau ngomong suka—"
"Suka bener?" Gue memotong dengan alis yang diangkat tinggi-tinggi. Sengaja. Mau
menantang.
"Hm, jadi lo daridulu emang udah selalu cemburu sama cewek-cewek nggak jelas itu."
"Enggak jelas juga masih lo ajak bobo bareng kan?"
"Terus gue harus ngajak bobo bareng siapa? Elo?"

49 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Harusnya. Kenapa? Gue kurang seksi ya dulu?"
Lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, membuatnya menekan pedal rem sebelum
akhirnya menatap galak pada gue. "Cemburu lo lama banget ke-pendingnya. Itu udah lewat
mau sepuluh tahun yang lalu dan lo baru nyinggung masalah Indira dan kawan-kawan
sekarang? Sinting."
"Abisnya, gue baru ngeh sekarang kalau dulu lo tuh brengsek banget."
"Mana bisa gue ngajak lo bobo bareng."
"Kenapa? Gue kurang seksi."
"Kagak. Baru dicium aja muka lo udah pucat kayak mau pingsan." Jawabnya santai,
membuat wajah gue langsung memanas. "Apalagi diajakin bobo. Bisa mati di tempat kali lo."
"Lebay lo!"
"Faktanya emang begitu, sayang."
"Enggak. Cuma lo yang berpendapat seberlebihan itu. Mau bukti? Tanya aja Kenzo."
Matanya mendadak menyipit. "Lo udah diapain aja sama Kenzo?"
Gue balik membalas dengan senyum sok nantangin. "Kepo banget ya, Pak?"
"Raya,"
"Hng?"
"Ini di lampu merah. Dan kalau lo nggak jawab, gue nggak bakal peduli meskipun lampunya
udah berubah jadi hijau."
Kenapa sih nih bocah kalau sekalinya ngancam bisa sebegini nakutinnya?
"Bercanda doang, elah. Kenzo tuh anaknya nggak nakal kayak lo."
"Bagus. Karena pada akhirnya yang bakal nikahin lo juga cuma gue."
"Pede banget."
"Iyalah. Soalnya gue nggak pernah absen berdoa sama Tuhan."
"Doa sampe solat delapan rokaat?"
"Nggak usah bawa-bawa masa lalu," tukasnya cepat. "Berdoa biar lo nggak merasakan
cinta kecuali orangnya gue.."
"You selfish jerk."
"Tapi dikabulkan kan doa gue."
"Dasar manusia egois." Gue melotot. "Gue selalu berdoa supaya lo bahagia. Sama
siapapun. Nggak mesti sama gue. Dan balasan lo adalah itu? Dasar playboy cap kadal!"
"Kalau urusannya menyangkut lo sih, sama kayak Adrian, gue mau egois. Because just like
how much he loves his wife, I love you that deep. Too deep, sampai-sampai gue nggak bisa
membayangkan lo sama orang lain."
"Tapi lo pacaran sama yang lain."
"Asal hatinya buat lo mah nggak apa-apa kan?"
"Brengsek."
Jev tertawa, lantas kembali melajukan mobil begitu lampu lalu lintas menunjukkan warna
hijau. "But at least, you love me."
"Oke, stop. Jangan mengalihkan lagi. Intinya, undang aja Cleo."

50 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
"Rays,"
"Je, you don't hate her. Maksud gue, lo bukan membenci dia karena dia menyakiti gue,"
Gue menyela cepat. "Tapi karena dia mengingatkan lo kalau dulu lo pernah menyakiti
gue. That's all. I'm okay now. And I'm happy with you. Jadi lupain aja masa lalu. Nggak bagus
bersikap kayak gitu sama seseorang terlalu lama, apalagi statusnya sebagai mantan lo.
Gimanapun juga, kalian berdua kan pernah saling membahagiakan."
Senyap. Tidak ada jawaban.
"Je, you heard me, right?"
Sahutannya adalah sesuatu yang sama sekali tidak gue sangka. "I'm sorry."
"For what?"
"For hurting you too much. Dari dulu sampai sekarang. I'm really sorry."
Gue menatapnya, lalu tersenyum. "I don't care. Because now I have you. All mine. And also,
I'm thankful that you were fighting for me."
Dia tidak menjawab, tapi ujung bibirnya tertarik ke dalam segaris senyuman. Lesung itu
tercetak lagi di wajahnya.
"You were worth fighting for."
"Jadi, kita undang Indira, Nina dan kawan-kawan juga kan?"
Jev mengerang. "Please, stop with this non sense."
Gue tertawa keras, sementara dia tampak memasang wajah mendung. Melihat Jev yang
cemberut adalah seperti melihat dirinya di masa lalu, seorang bocah SD dengan rambut berbau
matahari yang hobi membeli cokelat berbentuk payung. Sekarang dia bukan lagi bocah. Dia
adalah cowok yang pelukannya menyelubungi gue dengan hangat dalam malam berhujan.
Cowok yang punggungnya gue lihat saat gue bangun tidur sementara dia sibuk di depan
kompor. Cowok yang akan memberikan jaketnya setiap kali gue kedinginan.
Selamanya, dia akan jadi orang paling berarti buat gue.
Gue mengulurkan tangan, meraih lengan kirinya, kemudian memeluk lengan itu seperti
memeluk boneka. "I love you to the moon and back."
Dia tersenyum lebar. Senyum yang menular sampai matanya hingga sepasang mata itu
berubah bentuk jadi serupa dengan lengkung bulan sabit.
"I love you to the Jupiter and back." balasnya dalam bisikan.

51 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
6 | AM I YOUR MOST BEAUTIFUL CREEP?

When you were here before


Couldn’t look you in the eye
You’re just like an angel
Your skin makes me cry

You float like a feather


In a beautiful world
I wish I was special
You’re so fucking special

Sore ini, sambil duduk di atas kursi sebuah kafe berdesain minimalis-modern dengan
pencahayaan serba kuning, Raya baru menyadari kalau suara bisa menjelma menjadi mesin
waktu. Paling tidak, itu efek yang ditimbulkan oleh suara petikan gitar dari sesosok cowok
jangkung yang tengah bernyanyi di atas panggung. Di bawah siraman cahaya lampu, Faris
Rafandra terlihat amat sureal. Matanya terpejam, seperti mengiringi keindahan bayang-bayang
yang dibentuk oleh lekuk pada wajahnya. Melalui melodi yang dimainkannya, ada sesuatu yang
menelusup masuk ke dalam telinga Raya, beresonansi pada sebuah ruang kecil di sudut kotak
ingatannya.
Lagu itu akan selalu punya makna tersendiri buat Raya. Bukan hanya karena liriknya yang
menggambarkan masa-masa suramnya dulu, melainkan juga karena lagu itu adalah alasan
kenapa Raya bisa melalui perjalanan dari kampus menuju tempat kosnya bersama Faris tanpa
canggung. Lagu itu memuat kenangan tentang banyak orang di masa yang berbeda. Mulai dari
Faris, Adrian, Hana hingga tentu saja, Jeviar.
“What’s with that face?”
Raya tersentak ketika mendengar suara Faris. Dia pasti terjebak dalam lamunan selama
beberapa lama, karena dia bahkan tidak sadar jika penampilan Faris sudah selesai dan kini
cowok itu tengah menarik kursi di depannya. “Udah selesai?”
“Lo melamun.”
“Cuma mikir.”
Faris terkekeh, batal duduk dan justru menyentil pelan dahi Raya dengan jarinya. “Jangan
kebanyakan mikir. Nanti tau-tau botak. Heran deh, nggak waktu kuliah, nggak saat udah jadi
wanita karir kayak sekarang, lo masih aja hobi ngelamun.”
“Dan lo masih aja genit.”
“Genit is my middle name, ma’am.” Faris berujar. “Sebenarnya, nggak biasanya gue
membawakan lagu itu. Kalau kata Opa-nya Cleo, Creep dari Radiohead itu terlalu emo dan
nggak sesuai sama mood kafe ini. Tapi sore ini, anggap aja itu welcoming greetings dari gue
buat lo.”

52 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Because I’m the creepiest girl you’ve ever known?”
“Second to the creepiest.” Faris mengoreksi. “Predikat cewek paling creepy masih dipegang
oleh… you know who.”
“Baru kali ini gue dengar ada cowok yang ngomongin cewek kayak lagi ngomongin
Voldemort.”
“Well, because she is both my mystery and misery.” Faris tertawa kering. “Jadi ada angin
apa tiba-tiba lo datang kesini?”
“Mau lihat lo manggung.”
“Lo nggak pernah jago bohong, Raya Alviena. Dari dulu. Sekarang jujur sama gue, mau
ngapain kesini? Lo jelas bukan tipe orang yang bakal ngambek karena gue nggak datang ke
acara makan-makan weekend kemarin.” Faris berkata lagi, kali ini menyinggung tentang acara
makan-makan yang memang sempat digelar oleh Raya dan Je di apartemen baru mereka.
Teknisnya, mereka berdua memang sudah tinggal bersama selama beberapa bulan terakhir di
apartemen Raya, tetapi itu lebih karena Je tidak punya hunian sendiri di Jakarta mengingat
pekerjaannya mengharuskannya lebih sering berada di Bandung. Setelah mereka menikah—
sumpah, Faris masih merasa aneh memikirkan kenyataan kalau pada akhirnya Raya betul-betul
menyerah pada seorang Jeviar Mahardika—mereka sepakat untuk mencari apartemen baru
yang lebih luas.
Bagi Faris, itu adalah keputusan yang gampang ditebak. Raya masih saja Raya yang dulu,
jenis orang yang tidak merasa nyaman berada di tengah banyak orang yang tak dikenal baik
olehnya dan lebih individualistis. Sedangkan Jeviar… well, serupa dengan Raya, cowok itu tidak
banyak berubah. Je tidak keberatan, dan lagi, dia memang berniat untuk resign dari tempatnya
bekerja sekarang dan mencari pekerjaan baru yang memungkinkannya menetap di ibukota.
Akhir pekan kemarin, Raya mengundang mereka semua untuk datang ke apartemen
barunya. Setahu Faris, hampir semua teman-teman sepermainan mereka saat masih kuliah
dulu turut datang. Mulai dari Adrian dan Azalea, Hana, Rama hingga Edgar dan Dio. Kecuali
dirinya, tentu saja. Faris beralasan dia sibuk, namun sesungguhnya dia tau dia tengah
menghindari sesuatu yang lain.
“Kenapa lo malah jadi melamun?” Raya berkata tiba-tiba seraya merogoh ke dalam tas
tangan yang dia bawa dan mengeluarkan selembar undangan. “Gue kesini untuk nganterin
undangan resmi, by the way. Karena lo nggak akan bisa masuk tanpa undangan.”
“Oh, gue kira gue cukup menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa dan bilang kalau gue rekan
satu almamater lo berdua.”
“Ah, Kartu Tanda Mahasiswa. Gue aja udah nggak tau Kartu Tanda Mahasiswa gue ada di
mana sekarang.” Raya mengenang. “Time flies so fast, indeed.”
“Indeed.”
Raya diam sejenak. Keraguan sempat terbersit di wajahnya. Namun pada akhirnya, dia
tetap bicara. “Dia bakal datang.”
“Dia?” Faris pura-pura tidak mengerti. “Dia siapa?”

53 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Lo nggak pernah jago bohong, Faris Rafandra.” Raya membalikkan kata-kata Faris dengan
ekspresi mencibir. “Seenggaknya, lo nggak jago bohong ke gue. Lo jelas tau siapa yang gue
maksud.”
“Gue beneran nggak—”
“Cleo bakal datang.”
Damn, Faris merutuk dalam hati.
“Dia kelihatannya baik-baik saja. Cantik seperti biasanya, tapi nggak sekurus seperti yang
gue ingat saat terakhir kali gue ketemu dia. Well, it was years ago. Tentu saja selalu ada yang
berubah. Waktu selalu mengubah sesuatu, entah kita sadari atau nggak.” Raya menjelaskan
meski Faris tidak meminta. “Dia di Jakarta, sengaja terbang dari London. Gue nggak tau apa
karena emang dia merasa sudah waktunya pulang, atau sengaja mengalokasikan waktu buat
hadir di acara gue dan Je. Tapi yah, Cleo terlihat baik-baik aja.”
“I’m happy for her.”
“Don’t lie to yourself, Faris. You care, more than you want to. Just let her know.”
“Biar apa? Situasinya sudah seperti ini. Nggak akan ada yang berubah, Ra. Semuanya
nggak guna.”
“Because I know deep down inside, she’s still care.”
“Tunggu.” Faris terlihat seperti baru menyadari sesuatu. “Kenapa gue merasa déjà vu
dengan obrolan ini?”
Raya tertawa kecil. “Ternyata ingatan lo nggak buruk-buruk amat. Waktu gue di Jepang, lo
pernah nelepon gue. Ingat? Waktu lo ngasih tau gue soal Je yang baru jadian sama Salwa.”
Faris memandang Raya dengan mata memicing. “Women are scary.”
“Lucu ya? Gimana keadaan berbalik total tapi obrolan kita waktu itu masih relevan dengan
situasi sekarang. Dan gue rasa, saran gue tetap sama buat lo,” Raya terkekeh. “Just believe in
fate. If she destined to be in your life, then she will never go anywhere. Never in billion years,
she’ll become someone else’s. But you know, Ris? Takdir nggak akan bekerja tanpa, at least,
sedikit usaha.”
Faris terdiam dan sesaat kemudian, ponsel Raya berbunyi.
“Ah, dia udah sampe.”
“Dia?”
“Dia.” Raya mengulum senyum sambil menatap pada pintu kafe, membuat Faris langsung
memutar tubuhnya dengan ekspresi panik—yang berubah drastis tatkala cowok itu menyadari
jika sosok dia yang berada dalam pikirannya benar-benar berbeda dengan sosok dia yang
dimaksud Raya. “Dia-nya gue. Bukan dia-nya lo.”
“Honestly, kalau disuruh memilih antara Raya yang dulu dan Raya yang sekarang, gue lebih
memilih Raya yang dulu. Lo lebih manis kalau lo nggak jahil kayak sekarang.” Faris mendengus
ketika Je melangkah melintasi ruangan besar kafe menuju tempat mereka duduk. Ekspresi khas
orang yang baru saja menyetir Bandung – Jakarta tampak jelas di wajahnya. Dia lelah, namun
terlihat senang. Wajar, selain karena sudah pasti akan bertemu Raya, lalu-lintas dari arah

54 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Bandung menuju Jakarta pada akhir pekan seperti ini tentu tidak sepadat lalu-lintas dari Jakarta
menuju Bandung.
“Hello, Fiancée.” Je menyapa sambil membungkuk, mencium pipi Raya sebelum menarik
kursi dan melirik pada undangan yang tergeletak di atas meja. “Aduh, kan gue udah bilang,
Kampret satu ini nggak usah dikasih undangan. Belum tentu juga dia mau datang. Kemarin aja
waktu ada acara di apartemen baru kita dia nggak datang.”
“Nggak usah berlagak ngambek. Itu nggak cocok buat lo.”
“Intinya Faris pasti nggak bakal datang.” Je ngotot. “Apalagi kalau lo udah kasih tau dia soal
Cleo yang fix banget bakal datang.”
Wajah Faris berubah masam.
“Dia tetap harus datang.” Raya menyahut dengan tenang. “Karena kalau dia nggak datang,
gue yang bakal obrak-abrik kantornya.” Saat ini, Faris memang bekerja di sebuah biro iklan
ternama asal New York yang kini memiliki kantor di Jakarta. Namun di waktu senggangnya,
Faris masih kerap datang ke kafe milik Kakek Cleo, di mana dia akan memainkan sejumlah
lagu, entah itu diiringi oleh home band kafe atau dengan petikan gitarnya sendiri.
“Nggak perlu. Gue pasti bakal datang.”
“Gitu ya. Raya cuma perlu sekali ngancam lo dan lo langsung kicep gitu. Mana motto kita
bersama yang katanya Bros before Hoes?”
“No. Gue memastikan bakal datang bukan karena gue takut sama ancaman calon bini lo ini.
Tapi karena…”
Salah satu alis Je terangkat sementara matanya menyorot tidak suka ketika mendapati
bagaimana Faris menatap Raya dengan teramat lekat. “Karena?”
“Because she is my most beautiful creep.” Faris masih saja menatap Raya dan sengaja
mengabaikan death glare yang kini Je layangkan padanya. “Whatever makes she happy.
Whatever she wants. She’s so fucking special. And I wish I was special.”
Senyum hangat merekah di wajah Raya, diikuti oleh semburat merah yang menyebar di
wajahnya. “Thanks, Ais.”
“Enough with this shit.” Je mendesis seraya bangkit dari kursi dan menarik lengan Raya
untuk ikut beranjak dengan gaya posesif yang membuat Faris merasa geli. “She is my soon-to-
be wife, Mr. Rafandra. Tolong jangan seenaknya menyebut dia spesial.”
“Can’t help it. Because Raya is indeed special.”
Je mendelik. “Lo mau ngajakin gue adu jotos ya?”
“Cut the crap already.” Raya memotong cepat sebelum segalanya berubah menjadi serius,
meski sebetulnya dia sangsi itu bakal betul-betul terjadi. “Itu lirik lagu, Je. Lagunya Radiohead
yang judulnya Creep. Lagu itu punya makna tersendiri buat gue dan Faris.”
“Wow, romantis banget.” Je menukas sinis.
Raya terkekeh. “Jangan ngambek. Seperti apa kata Ais tadi, lo benar-benar nggak cocok
berlagak ngambek kayak gitu. Mending kita cabut. Gue kepingin makan pecel lele bareng lo
dari kemarin.”
Je masih bergeming.

55 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Kalau Je nggak mau, gue mau kok nemenin lo.” Faris menyela jahil, lagi-lagi membuatnya
sukses dapat satu pelototan mematikan dari Jeviar.
“Nggak perlu.” Katanya sebelum meraih lengan Raya dan membawanya berlalu dari tempat
itu.
Faris mengamati kepergian kedua sahabatnya masih dengan senyum merekah di wajah.
Tapi kemudian dia dibikin merenung, tenggelam ke dalam sudut kenangan paling usang yang
selama bertahun-tahun belakangan tak pernah lagi dia usik. Ada banyak memori yang
menerjangnya tanpa ampun, seperti genangan air di musim hujan. Mereka semua berbeda-
beda tapi intinya selalu sama; semua fragmen masa lalu itu selalu terkait pada sesosok gadis
dengan satu nama, Cleo Belani Adinata.
Katanya, akan ada sebuah masa ketika kamu jatuh terlalu dalam pada seseorang sehingga
kamu menyesal membiarkannya masuk, ada lalu meninggalkan bekas dalam hidupmu. Buat
Faris, orang itu adalah Cleo. Jika saja dia punya kuasa memutar balik waktu, mungkin Faris
akan memilih untuk tidak pernah mengenal gadis itu sama sekali.
Bels, benak Faris berbisik pelan saat dia meraih undangan pernikahan yang ditinggalkan
Raya di atas meja sebelum turut beranjak dari kursi kafe yang dia duduki.
Am I your most beautiful creep?

I don’t care if it hurts


I don’t want to have control
I want a perfect body
I want a perfect soul

I want you to notice


When I’m not around
You’re so fucking special
I wish I was special

56 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
7 | TOGETHER, WE WILL MAKE IT WORKS.

Je baru saja menghentikan mobilnya di parkir basement gedung tempat apartemen mereka
berada ketika Raya tiba-tiba saja berdehem. Tanpa perlu bertanya, Je tau apa artinya itu. Raya
ingin membicarakan sesuatu dengannya sebelum mereka naik ke atas. Tangan cowok itu
langsung bergerak mematikan pemutar musik yang sedari tadi mengalunkan serentetan ballad
Sinatra sebelum kepalanya tertoleh, menatap pada gadis berambut hitam yang tak diragukan
lagi merupakan salah satu dari sedikit perempuan di dunia ini yang dia cintai setengah mati.
“Kenapa?”
“Sebelum gue ngomong, tolong janji lo nggak bakal marah.”
“Kalau lo ngomongnya begitu, kayaknya apa yang bakal lo kasih tau ke gue bakal bikin gue
marah.” Je menarik napas panjang, namun dia kembali meneruskan. “But you don’t have to
worry. Just go ahead. Lagian, setelah semuanya, gue rasa gue udah nggak bisa lagi marah
sama lo.”
“Lusa, gue harus pergi ke Hongkong.”
Je langsung melotot. “What the hell, Raya?!”
“Tuh kan.” Raya berkata sambil meniup pelan sejumput rambut yang jatuh di dahinya. “Gue
baru ngomong satu kalimat aja reaksi lo udah menyeramkan begitu.”
“Gue serius.”
“Gue juga serius.” Raya tidak mau kalah. “Urusan mendadak. Harusnya bukan gue yang
cabut. Tapi berhubung yang harusnya berangkat nggak bisa berangkat karena ada keperluan
keluarga, jadi gue yang ditunjuk.”
“Oh hell, emang divisi lo kekurangan orang atau gimana? Bukannya banyak yang lebih
senior daripada lo?”
“Kebanyakan kandidat potensial udah pada punya agenda sendiri.”
“Lo juga udah punya agenda sendiri.” Je menyela dengan nada tegas. “You’ll marry me in
ten days. Itu agenda yang menurut gue sangat-sangat penting. Atau menurut lo, itu udah nggak
penting lagi?”
“Kan masih sepuluh hari lagi, Je.”
“Kita itu bakal nikah, Raya. Ni-kah. Bukan main rumah-rumahan atau janjian main monopoli.
Lo bisa serius dikit nggak, sih?”
Raya tidak tau kenapa, tapi nada bicara Je membuatnya kesal. “Lo bicara seolah-olah lo
adalah satu-satunya pihak yang direpotkan dengan semua tetek-bengek acara yang
rangkaiannya kepanjangan itu. For your information, Mr. Mahardika, sebagian besar dari
persiapan itu diberesin oleh gue dan Hana. Bukan lo.”
“Raya, gue nggak mau berantem.”
“Gue juga.” Raya membalas tidak kalah cepat. “I don’t care. I’m still going.”
“Kalau gue larang?”
“You have no right to. At least not until I become your wife.”

57 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Je mencengkeram roda kemudi. “Raya Alviena,”
“Whatever, Je. Gue capek.”
Raya tau dia tidak seharusnya bersikap seperti itu pada Je ketika memang sudah
sepantasnya cowok itu yang justru merasa marah. Hari besar mereka akan dilangsungkan
sepuluh hari mendatang, dan disinilah dia, meminta Je memaklumi dan membiarkannya pergi
ke luar negeri demi sebuah urusan yang mengatas namakan pekerjaan. Cowok normal mana
pun pasti akan merasa kesal, dan mungkin bakal melakukan tindakan fisik seperti menahan
Raya untuk tetap berada dalam mobil hingga mereka selesai bicara, tetapi tentu saja, Je bukan
tipe orang seperti itu. Je membiarkan Raya keluar dari mobil, walau Raya bisa melihat jelas
bagaimana kuatnya genggaman kedua tangan Je pada roda kemudi hingga buku-buku jarinya
memutih.
Mereka berjalan melintasi basement dan masuk ke koridor dalam diam. Koridor sepi,
mungkin karena sekarang akhir pekan. Masih tidak ada kata yang terlontar saat keduanya
berada dalam lift. Raya benci situasi semacam itu, tapi dia khawatir kata-katanya hanya akan
memicu pertengkaran. Je tidak menyetir selama dua setengah jam dari Bandung ke Jakarta
hanya untuk cekcok dengannya. Seperti punya pikiran yang sama, Je juga membisu. Matanya
menatap lurus nyaris tanpa ekspresi pada bayangan Raya yang terpantul di cermin yang
melekat pada dinding lift.
Kesunyian terus menyertai hingga mereka berdua tiba di unit apartemen mereka. Raya
memilih langsung masuk ke kamarnya untuk membasuh tubuhnya yang lelah dengan satu sesi
mandi air panas, sementara Je pergi ke balkon. Sepanjang berada di dalam kamar mandi, Raya
tenggelam oleh lamunannya sendiri. Separuh dirinya berkata jika dia sudah keterlaluan pada Je
dan menganggap responnya yang wajar itu sebagai sesuatu yang tidak beralasan. Separuh
dirinya yang lain menegaskan jika urusan pekerjaan, bagaimana pun juga adalah urusan yang
sangat penting dan tidak seharusnya dinomorduakan, terutama dalam situasi yang tidak darurat
seperti sekarang.
Pernikahannya sepuluh hari lagi. Sepuluh hari lagi. Raya bisa saja berangkat ke luar negeri
lusa, kemudian kembali dengan penerbangan paling akhir keesokan harinya atau penerbangan
pertama pada hari berikutnya dan dia akan kembali berada di Jakarta beberapa hari sebelum
acara besar mereka dilangsungkan. Tidak ada yang perlu dikorbankan, kalau saja Je mau
berpikir terbuka dan tak keburu berasumsi kalau Raya tidak menganggap hari bahagia mereka
sebagai momen yang penting.
Raya pasti berada agak sedikit terlalu lama di bawah guyuan air dari shower karena begitu
dia tersadar, kesepuluh jari-jarinya telah memutih dan keriput. Gadis itu menghela napas
panjang seraya meraih bathrobe yang tersangkut pada gantungan baja, lantas menyempatkan
diri mengeringkan rambutnya yang basah dengan hairdryer sebelum berjalan keluar dari kamar
mandi. Je masih belum masuk ke kamar dan itu membuat Raya langsung mengerti kalau dia
memang harus meminta maaf.
Je bukan tipe orang yang mudah marah, bahkan meski Raya melakukan sesuatu yang tidak
dia sukai sekali pun. Cowok itu memang pernah beberapa kali ngambek atau menolak bicara,

58 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
terutama kalau tiba-tiba saja Raya membatalkan janji makan malam mereka atau langsung tidur
tanpa mengatakan apa-apa begitu keduanya tiba di apartemen, tapi Je tidak pernah
mengabaikan Raya atau alpa mengetuk pintu saat dia khawatir karena Raya menghabiskan
waktu terlalu lama di dalam kamar mandi. Sepertinya Je benar-benar tersinggung dan kesal
karena pembicaraan mereka di basement tadi.
Sesuai dugaan Raya, Je masih berada di balkon. Cowok itu membelakangi pintu, berdiri
tepat di depan pagar balkon dan menatap pada pemandangan malam Kota Jakarta yang
gemerlap oleh nyala titik-titik lampu beraneka warna. Angin malam mengacak rambutnya,
membuatnya jadi terlihat seperti sebentuk karya sureal yang hanya bisa Raya lihat dalam
gambar-gambar pada situs estetik di internet. Sebatang rokok yang ujungnya menyala terjepit
diantara jemari tangan kanannya.
“Mau sampai kapan di situ terus?”
Je tidak menoleh. “Gue lagi nggak butuh partner merokok.”
“Bagus, karena gue juga lagi nggak berminat menemani lo merokok.”
“Tidur aja.” Je membalas dingin. “Tadi lo bilang lo capek.”
“Gue emang cape, tapi gue nggak bakal bisa tidur kalau lo terus-terusan marah kayak gini
sama gue.” Raya membalas.
“Gue nggak marah.”
“You’re not a good liar, Fiancé.”
Je menarik napas dalam-dalam. “Raya—” Namun ucapannya terputus saat dia merasakan
kedua lengan Raya memeluk perutnya dari belakang. Aroma khas dari shampo dan shower gel
gadis itu mewarnai udara, membuat Je merasa hampir kehilangan akal sehat.
“I’m sorry.”
Je tidak menjawab.
“Gue tau gue salah. Wajar kalau lo kesal. Harusnya gue nggak balik nyolot ke lo. Untuk itu,
gue minta maaf.”
Masih saja senyap.
“Je?”
Dengan sekali gerakan, Je menekankan ujung rokoknya pada asbak untuk mematikan bara
yang menyala, lantas berbalik untuk menatap Raya. Je tidak pernah tidak menyukai Raya, tidak
peduli bagaimana pun gadis itu terlihat, namun Raya yang sekarang adalah jenis Raya yang
menjadi favoritnya. Rambut gadis itu lembab, tidak sepenuhnya kering dengan aroma khas
shampoo miliknya yang menguar ke udara, menyerang indra penciuman Je tanpa jeda.
Wajahnya pucat, tapi pipinya kemerahan karena efek mandi menggunakan air panas. Jenis
Raya yang seperti ini adalah jenis Raya yang selalu mampu membangkitkan pikiran-pikiran
terliar dalam otak seorang Jeviar Mahardika.
Dalam hitungan detik, Je membungkuk, menjemput bibir Raya dengan bibirnya. Ada hangat
yang mereka bagi selama sejenak. Je berbau seperti perpaduan nikotin dan angin malam, tapi
jelas itu bukan kombinasi yang tidak Raya sukai. Ciuman mereka diakhiri saat telapak tangan
kanan Je menyapu pipi Raya, lantas kini ganti mata mereka yang saling terkunci.

59 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Gue nggak marah.”
“Kalau udah dikasih cium tapi masih marah, namanya keterlaluan.”
“Seriously.” Je memutar bola matanya lalu tersenyum geli. “Gue nggak marah. Gue cuma
kesal.”
“Apa bedanya?”
“Pokoknya beda.” Je ngotot. “Gue kesal karena—”
“Karena lo berpikir gue nggak menganggap hari pernikahan kita itu penting. Iya, kan?”
“Salah.” Je tertawa kecil sambil memainkan ujung rambut Raya yang lembab. “Hari
pernikahan kita jelas penting buat lo. Kalau nggak penting, lo nggak akan mau repot-repot
bolak-balik fitting baju dan ngeladenin semua protes Hana tentang konsep, tema sampai
suvenir yang nanti bakal dibagiin ke tamu undangan. Lo nggak akan merasa perlu meluangkan
waktu nemuin mantan-mantan gue dan cewek-cewek random yang pernah jadi friends with
benefits gue waktu kuliah dulu untuk ngasih undangan. Dan, kalau lo nggak pernah
menganggap ini sebagai sesuatu yang penting, lo nggak akan menerima lamaran gue dari
awal. Gue bisa melihat kalau lo menganggap pernikahan ini sebagai sesuatu yang penting,
sama kayak gue.”
“Terus kenapa?”
“Karena gue nggak rela membiarkan lo merayakan ulang tahun lo sendirian di negeri
orang.”
Jawaban Je kontan membuat Raya tercekat—dia baru ingat jika beberapa hari mendatang
adalah hari ulang tahunnya.
“Lo—”
“Gue menghitung semua hari ulang tahun lo yang gue lewatkan setelah lo pergi ke Jepang.
Setelah lo menghilang dari hidup gue. Gue mengingat semuanya, tentang gimana setiap hari
ulang tahun lo tiba, gue hanya bisa diam-diam berharap kalau lo baik-baik aja dan bahagia.
Sekarang, saat pada akhirnya lo kembali sama gue, gue kepingin merayakan ulang tahun lo
kayak gimana kita dulu. Gue dan lo, di depan kue, meniup lilin, perang krim, apa pun itu.” Je
berkata lagi, membuat Raya tidak tau harus menjawab apa. “Kalau lo pergi lusa, itu berarti lo
bakal merayakan ulang tahun lo sendirian.”
“Je,”
“But you’re free to go.” Je buru-buru menukas. “Gue nggak akan melarang lo, karena gue
sadar gue juga nggak berhak melarang. You’re yours before you’re ever somebody else’s.
You’re yours before you’re mine.”
“Je,”
“Tenang aja. Gue nggak marah. Tapi janji, lo harus langsung pulang setelah urusan
pekerjaan lo disana selesai. Deal?”
Seulas senyum lembut tertarik di wajah Raya ketika tangan gadis itu terangkat menuju
wajah Je. Jari-jarinya melekat di pipi cowok itu, merasakan permukaan kasar kulitnya yang
kehijauan karena dia belum sempat bercukur hari ini. Berada dalam jarak yang begitu dekat,
Raya bisa melihat setiap detil pada sosok laki-laki di depannya; mulai dari alis tebal yang

60 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
menaungi kedua matanya, lekuk rahangnya, hingga kemejanya yang tidak lagi rapi. Kombinasi
dari semua hal favoritnya yang membuat Raya tersadar jika rumah itu bisa saja berupa suatu
sosok dengan sepasang lengan yang hangat dan satu degup jantung.
“I will not celebrate my birthday alone.”
“Hm, tapi urusan kerjaan lo?”
“Gue bakal langsung pulang besoknya dengan pesawat terakhir. Gue janji.” Raya berjinjit,
memberi satu kecup di pipi Je. “Makasih udah mengerti.”
“Well, sebenarnya gue nggak sepengertian itu.”
Raya memiringkan wajah. “Maksud lo?”
“Lo melakukan kesalahan dengan mendatangi gue saat lo hanya memakai bathrobe kayak
sekarang.” Je meraih pinggul Raya, menarik tubuh gadis itu mendekat padanya. “Anak nakal
harus dihukum.”
“Tapi gue nggak—”
Terlambat, Je sudah lebih dulu mendaratkan satu ciuman di garis rahang Raya. Geraknya
terus berlanjut seiring dengan waktu yang berlalu. Pada menit demi menit yang terlewati, Raya
sadar jika malam ini akan jadi malam yang amat panjang.

***

Akhir pekan mereka terlewati tanpa terasa. Setelah perdebatan keduanya yang ditutup
dengan satu sesi makeout di balkon—yang untungnya tidak berlanjut sampai sesi yang lebih
jauh karena Raya terlalu lelah untuk dibuat terjaga sepanjang malam—pada hari Sabtu malam,
mereka memilih menghabiskan hari Minggu dengan tidak pergi kemana-mana. Mengabaikan
fakta soal Raya yang sudah punya rencana untuk mengecek ulang venue dan konfirmasi dari
vendor penyedia suvenir pernikahan bersama Hana, Je memaksa perempuan itu untuk terjebak
bersamanya seharian. Meski terpaksa, Raya tidak bisa bilang jika dia tidak menyukai tindakan
tunangannya. Kesibukan pekerjaan yang membuat mereka harus terpisah jarak Bandung –
Jakarta selama lima hari dalam satu minggu membuat perdebatan kecil tentang topping saus
atau topping lada hitam di atas telur mata sapi mereka saat sarapan atau perselisihan ketika
memilih serial televisi mana yang akan mereka tonton adalah sesuatu yang langka.
Je kembali ke Bandung pada hari Minggu malam dengan jenis ekspresi wajah yang
membuat Raya merasa lega. Kalau Raya pikir lagi, Je adalah sosok paling sabar yang bisa dia
dapatkan sebagai pasangan. Kebanyakan laki-laki tentu akan lebih mementingkan ego mereka
dan melarang Raya untuk pergi. Bukan berarti itu sesuatu yang buruk, karena bagaimana pun
juga Raya sadar jika keputusannya untuk melakukan perjalanan kerja sepuluh hari menjelang
salah satu hari terpenting dalam hidupnya tidak bisa dibilang benar.
“Gue kira lo udah pergi.”
Sebuah suara familiar yang tiba-tiba terdengar membuat Raya tersentak kaget sebelum
menolehkan kepalanya ke ambang pintu. Di luar ekspektasinya, Je berada disana. Cowok itu
sudah tidak lagi mengenakan jaket dan celana panjang hitamyang dipakainya saat

61 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
meninggalkan apartemen semalam. Kaus berwarna abu-abu gelap yang tampak nyaris hitam
dan blue jeans melekat di tubuhnya, mengingatkan Raya pada penampilan cowok itu saat
mereka masih kuliah dulu. Rambutnya agak basah, mungkin karena dia baru mandi.
“Kenapa tiba-tiba lo nongol disini?”
“Nggak boleh?” Je justru balik bertanya sembari melangkah masuk ke dalam kamar.
Perlahan, cowok itu membantu Raya memasukkan beberapa helai pakaian dan barang-barang
keperluannya yang lain ke dalam sebuah carry-in luggage. Gerak tangannya berhenti saat
jemarinya menyentuh sehelai bra berenda warna hitam. Sebentuk seringai tergurat di wajahnya.
“This piece is still my all-the-time favorite, you know that?”
“Stupid pervert.” Raya mendesis sambil merebut bra tersebut dari tangan Je. Tindakannya
sukses membuat gelak tawa laki-laki itu pecah.
“You’re too cute when you’re blushing.” Je berkomentar dengan nada geli. “Sini. Gue
bantu.”
Raya menyerah dan membiarkan Je melakukan apa yang dia inginkan. “Kenapa lo masih
ada disini?”
“Emang nggak boleh?”
“Semalem katanya pamit mau balik ke Bandung?”
“Niatnya sih gitu.”
“Terus?”
“Aduh, jadi berasa kayak diinterogasi sama istri.”
“I’m indeed your soon-to-be wife.” Raya membalas dengan tangkas.
Senyum lebar Je terkembang. “Akhirnya lo nggak segengsi itu juga buat mengakui kalau
sebentar lagi lo bakal benar-benar terjebak bersama gue… dalam waktu yang lebih lama dari
selamanya.”
“Nggak usah berlagak jadi pujangga. Mending jawab pertanyaan gue tadi.”
“Niatnya mau balik ke Bandung. Tapi anak-anak ngajak ngumpul. Dan setelah gue pikir-pikir
lagi, kenapa nggak? Toh gue juga udah mengajukan resign. Paling tinggal balik untuk rapihin
meja dan bawa sisa barang-barang dari kontrakan di sana ke Jakarta, dan itu nggak mesti hari
ini.”
“Anak-anak yang mana?”
“Istri tuh di mana-mana selalu secerewet ini ya?”
“Lo keberatan?”
“Nggak. Sama sekali nggak. Gue seratus persen rela.” Je terkekeh. “Lo tau-lah siapa. Anak-
anak. Full team. Eh, nggak deng. Adrian nggak datang. Katanya istrinya lagi rajin-rajinnya
muntah-muntah dan jadi clingy abis.”
“Hah? Muntah-muntah? Jangan bilang kalau—”
“Yap.” Je membenarkan dugaan Raya. “She is pregnant.”
“Adrian pasti udah sinting.”
“Terlalu cinta emang bisa bikin sinting. Sama aja kayak apa yang lo lakuin ke gue.”
“Idih, itu sih pilihan lo.”

62 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“When it comes to you, I guess I have no choice but to be insanely mad.”
Raya mendengus.
“Flight lo nanti jam berapa?”
“Jam sebelas siang.”
“Hm, berarti nanti lo ke bandara bareng gue.” Je langsung menjawab begitu saja seraya
menutup risleting koper dan mengacak kombinasi angka pada bagian pengunci koper. “Now get
your lazy ass up because I’ll serve you breakfast.”
“Doesn’t sound good.”
“Skill masak gue mungkin nggak sehebat Dio, tapi gue bukan tipe orang yang benar-benar
buta dapur.” Je menyahut engan wajah tersinggung. “Come on.”
Sesi sarapan pagi itu adalah salah satu dari sekian banyak momen bersama Jeviar
Mahardika yang tak akan bisa Raya lupakan. Tidak, itu bukan karena Je tiba-tiba
mengejutkannya dengan memasakkan deretan hidangan-hidangan ala chef Gordon Ramsay.
Je hanya memasak dua telur mata sapi yang salah satu kuningnya pecah sebelum diangkat
dan dua piring mi instan goreng. Tetapi karena dalam hidangan yang amat sederhana, Je
menyajikan banyak kenangan tentang mereka.
“Mau tau sesuatu nggak?” Je tiba-tiba bertanya saat Raya sibuk menggulung mi instannya
pada moncong garpu.
“Apa?”
“Selama gue nggak ketemu lo, gue jadi alergi sama mi instan goreng.”
“Hah?”
“Atau lebih tepatnya meng’alergi’kan diri.” Je mengoreksi. “Karena mi instan goreng
mengingatkan gue sama lo.”
Raya terdiam.
“Kok malah diam?”
Masih ada senyap yang memberi jeda cukup lama hingga akhirnya Raya meneruskan
diiringi satu helaan napas panjang. “I’m sorry.”
“Buat apa?”
“For everything.” Raya batal menyuapkan mi instan yang sudah tergulung di garpu ke
mulutnya. “Karena gue selalu bersikap egois dan memaksa lo mengerti ketika sebenarnya lo
punya hak untuk nggak mencoba mengerti. Bahkan sampai hari ini, gue masih bersikap egois.”
“Geez.” Je berdecak. “Lo memang egois. Gue tau pasti soal itu.”
Raya tergugu.
“Tapi lo tau Raya, mengharapkan partner yang sempurna ketika lo sendiri nggak sempurna
hanya dilakukan oleh orang-orang brengsek yang nggak tau diri. It’s okay. Lo punya
kekurangan. Gue punya kekurangan. Tapi lo juga punya kelebihan. Dan gue pun punya
kelebihan. Setelah semua yang kita lewatin, gue sadar gue akan selalu mencintai setiap bagian
dari diri lo, bahkan sampai yang paling buruk sekali pun. Karena itu, gue dengan nggak tau
dirinya mau bertindak egois dan meminta lo terjebak bersama gue selama sisa hidup lo.” Je
menerangkan. “Because I’m sure that together, we will make it works.”

63 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Mata Raya kini sepenuhnya mengarah pada Je.
“Well, aren’t you suppose to answer that with at least a short ‘I love you too’?”
“And why would I?”
“Because you love me too.”
“Still a jerk who is so full of yourself, huh?”
Je tertawa. “Can’t help it, because I know I’m that lovable.”
Raya tertawa kecil.
“Walau pun begitu, lo tetap harus pulang besok ke Jakarta. Sesegera mungkin. Gue bakal
nungguin lo di bandara. Kalau lo nggak menepati janji, jangan salahin gue kalau terjadi sesuatu
yang nggak lo harapkan.”
“Sesuatu yang nggak gue harapkan? Misalnya?”
“Misalnya, gue berubah jadi Saint Seiya dan memporak-porandakan seisi Soekarno –
Hatta.”
Raya tertawa geli. “I promise.”
“Really?”
“Janji.”

64 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
8 | NOT IN THIS LIFETIME.

Saat terasa sakit, tatap saja aku. Biar kamu tau, ada seseorang yang selalu sayang sama
kamu.
Sebelum beranjak keluar dari mobil, Faris menatap sekali lagi pada sederetan kalimat yang
tertera pada gantungan kunci di tangannya. Well, sebenarnya benda itu bukan benar-benar
gantungan kunci. Faris mendapatkan beberapa tahun lalu, hampir setahun setelah dia bertemu
dengan Cleo. Bisa dibilang, masa itu adalah masa-masa tersuram dalam hidup Faris. Selain
menghadapi fase-fase labil peralihan dari masa remaja ke masa dewasa, Faris juga sering tidak
akur karena hobi berbeda pendapat dengan ayahnya. Pada suatu titik di mana Cleo merasa
Faris mulai menjauhi dunia dan semua isinya, gadis itu memberikan gantungan kunci
buatannya sendiri pada Faris.
Tapi yah, sekali lagi, benda itu bukan benar-benar gantungan kunci.
Suasana hotel sepi saat Faris melewati lobi dan langsung bergerak menuju rooftop. Setelah
percobaan bunuh dirinya yang gagal di rooftop hotel tersebut ratusan purnama lampau—sebab
berujung pada pertemuan tidak terduganya dengan Cleo—hampir seluruh pegawai hotel telah
mengenalnya. Awalnya, mereka menatap Faris seolah tengah menatap pasien rumah sakit jiwa
yang sedang berjuang keras memulihkan diri dari depresi. Tapi pelan-pelan, seiring dengan
waktu yang berlalu, kini mereka sudah menghormatinya, bukan hanya karena status
pertemanannya dengan Cleo, melainkan juga hubungan ala cucu-kakek yang terjalin antara
Faris dan Opa Cleo.
Bulan terlihat muram di langit yang kelam saat Faris berdiri di rooftop hotel seperempat jam
kemudian. Angin berembus nakal, mempermainkan helai rambutnya seperti jemari seorang ibu
pada puncak kepala anak laki-lakinya. Mendesah pelan, Faris merogoh saku celana
panjangnya, menarik keluar gantungan kunci yang tadi sempat ditatapnya sebelum turun dari
mobil.
Sebetulnya, benda itu bukan benar-benar gantungan kunci.
“Ini buat lo.” Itu yang dikatakan Cleo saat memberikan kertas persegi panjang yang
dipotong dengan bentuk cangkir dan delaminating itu pada Faris. Entah bagaimana, meski Cleo
mengucapkannya ribuan malam lalu, suaranya masih segar dalam ingatan Faris hingga detik
ini.
“Gantungan kunci?”
“Yap.”
“Buat apa?”
“Buat lo.”
“Gue tau.” Faris menyentakkan kepala sementara matanya membaca kata demi kata yang
tertera di atas permukaan kertas menggunakan tinta glitter berwarna merah muda. “Saat terasa
sakit, tatap saja aku. Biar kamu tau, ada seseorang yang selalu sayang sama kamu.
Maksudnya?”

65 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Cleo seolah sengaja menghindari tatapan mata Faris dengan membuang pandang ke langit
yang malam itu ditaburi oleh banyak bintang. “It’s a reminder.”
“Reminder?”
“Pengingat kalau di dunia ini, lo nggak akan pernah sendirian.” Cleo berkata sambil
membelokkan arah sorot matanya pada Faris, lalu seulas senyum lebar terbentuk di wajahnya
yang cantik. “Karena lo akan selalu punya gue.”
Faris tidak ingat persis apa lagi yang Cleo ucapkan padanya malam itu, tapi ada sesuatu
yang tak akan pernah terlupa; tentang bagaimana ada hangat meleleh dalam dadanya. Hangat
yang begitu magis. Hangat yang seperti tercipta untuk menambal luka dan menawarkan semua
rasa sakit. Sejak saat itu, setiap kali menatap gantungan kunci tersebut, Faris selalu merasa dia
tidak punya alasan untuk merasa sendirian.
Saat terasa sakit, tatap saja aku. Biar kamu tau, ada seseorang yang selalu sayang sama
kamu.
“Are you, Kle?”
Tentu tak ada yang menjawab gumamnya selain suara tamparan angin kencang di wajah.
Sekarang gue sakit, Kle. Apa gue masih boleh merasa kalau lo masih sayang sama gue?
Faris tertawa kecil dengan suara sumbang. Sesuatu yang terlihat sangat ironis, sebab
meski ada gelak terlepas dari mulutnya, matanya jelas mengisahkan tangis dan luka. Ada rindu
yang menggebu disana, tapi juga bercampur dengan rasa putus asa dan kemarahan yang
seolah bingung hendak ditujukan pada siapa.
Selama beberapa menit berikutnya, Faris mematung seperti itu tanpa bergerak. Kalau saja
dia tak bernapas atau matanya tak berkedip, mungkin orang bisa saja mengiranya sebagai
patung lilin yang terlihat sangat realistik. Tapi pada akhirnya, kesunyian itu pecah ketika Faris
mendengar suara pekik tertahan seorang gadis. Refleks, kepalanya langsung tertoleh
terbelakang. Kelopak matanya melebar seketika, mengiringi jutaan kata-kata yang tiba-tiba saja
kompak bertahan di tenggorokannya, membuatnya nyaris tersedak.
“Gue nggak menyangka gue akan ketemu lo disini.”
Sekarang Faris dibikin bertanya-tanya, apakah hadir sosok di depannya ini nyata atau
hanya imaji yang diciptakan oleh ruang rindu dalam kepalanya?
Lantas sosok itu melangkah mendekat.
“Faris, you okay?”
Setahu Faris, tidak ada ilusi yang terasa senyata ini.
“Faris?” Cleo mengulang dan kini ada kekhawatiran membersit di sepasang lensa matanya.
Faris berdehem. “Lo.” Katanya dengan suara kering, dan jelas itu bukan sebuah
pertanyaan.
“Lo baik-baik aja?”
“Menurut lo?” Faris justru balik bertanya.
“Lo nggak terlihat baik-baik saja.” Cleo melangkah ditingkahi oleh suara hak sepatunya
yang beradu dengan lantai. Tidak butuh waktu lama baginya untuk berada tepat di sebelah
Faris. Sejenak, Cleo mengernyit menatap Faris dan tersadar kalau Faris sudah bertambah lebih

66 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
tinggi lagi sejak terakhir kali mereka bertemu dulu. Kini, meski sudah memakai sepatu dengan
hak setinggi tujuh sentimeter, kepala Cleo tetap tidak mampu melewati kuping Faris.
“Hn.”
“Melihat langit?”
“Iya.”
Senyap lagi.
“I heard Je is getting married.”
“Iya.”
Hening menyelimuti untuk yang kesekian kali.
“Ris, bisa nggak ngomong sesuatu selain cuma ‘iya’?”
“Lo mau gue ngomong apa?”
“Apa pun.” Cleo menjawab cepat. “Apa pun yang mau lo omongin.”
“Yakin mau dengar?”
Cleo mendengus pelan. “Ini tahun ketiga.”
“Apanya?”
“Tahun ketiga sejak lo semarah itu sama gue. Dan lo masih aja marah.”
Faris terkekeh sedih. “Hm, yakin mau dengar?”
“Apa pun yang mau lo omongin, gue percaya itu lebih baik daripada kita hanya sekedar
bicara dengan kata ‘iya’ dan kata ‘nggak’ seolah-olah kita nggak pernah kenal dekat sama
sekali.”
“Emang kita pernah sedekat apa sih, Kle?”
“Faris Rafandra,”
“Sedekat-dekatnya kita juga lo nggak akan pernah menganggap gue lebih dari seorang
sahabat, iya kan?”
Cleo terdiam dibuatnya.
“Diam berarti iya.”
“Diam berarti gue lagi mikir apa yang harus gue lakukan biar bego di otak lo itu bisa luntur
meski pun cuma sedikit.” Cleo menyambar. “Ya udah. Nggak usah ngomong.”
“Gue sakit sekarang.”
Cleo tersentak. “Jangan bercanda.”
“Gue nggak bercanda. Gue sakit sekarang.” Faris mengulang. “Apa gue masih boleh
berharap kalau suatu hari nanti bakal tiba saat di mana lo menyayangi gue lebih dari sebatas
teman?”
“You’re silly.”
“Because of you.”
“Human hearts are indeed a pack of worst bitches. Gue pernah benar-benar mencintai Je
sampai sebuta itu, sampai gue nggak punya cukup akal sehat untuk sadar betapa buruknya dia
sudah memperlakukan gue.” Cleo menarik napas panjang. “Dan sekarang semuanya terulang
sama lo. Lo dibutakan oleh sesuatu yang lo kira cinta hingga lo jadi terlalu sinting buat melihat
segimana buruknya gue sudah memperlakukan lo.”

67 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“I love you, Kle. Semua rasa itu nggak pernah berubah.”
“And I don’t deserve it, Ris. Your heart is too precious to be kept by someone like me.” Cleo
membantah tanpa berpikir. “Lo salah membedakan mana cinta yang sesungguhnya dan mana
yang hanya napsu belaka.”
“I was telling you the truth. I love you.”
“Love wouldn’t last that long, especially when I gave nothing to you but pain.”
“People said, the love that last the longest is the love that is never returned.” Faris memutar
tubuhnya ke arah Cleo. “Gue lapar. Berminat makan malam bareng?”
“Get over me for your own’s sake.” Cleo balik menghadap pada Faris. “Cuma makan malam
biasa?”
“I’ll get over you, but not in this lifetime.” Faris mendesis sambil memasukkan kembali
gantungan kunci dalam genggamannya ke dalam saku celana. “Kalau bukan makan malam
biasa kenapa? Lo mau nolak?”
“You’re indeed stupid.” Cleo mendengus. “Nggak. Cuma nanya aja biar lebih pasti.”
“It’s all your fault.” Faris membalas tidak mau kalah. “Makan malam biasa.”
“Oke.”
“Tapi gue nggak janji semuanya bakal berakhir biasa.”
“Faris Rafandra,”
“I have to have you. At least in this lifetime.”
Cleo menarik napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Faris tidak pernah berubah. Dan
Cleo benci memikirkan fakta sebagian besar dari dirinya justru merasa senang dengan apa
yang Faris lakukan. Lantas, semudah itu sepotong jawaban naif terlontar dari mulutnya.
“Okay.”

68 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
9 | SOMEONE I LOVE WAS BORN TODAY.

Orang selalu bilang bahwa ada dua hari paling penting dalam hidup seseorang. Pertama,
adalah hari di mana dia dilahirkan. Dan kedua, adalah hari di mana dia memahami alasan
mengapa dia dilahirkan. Buat Raya, itu benar. Setidaknya, untuk hari yang pertama. Setiap hari
ulang tahunnya tiba, selalu ada banyak memori yang membanjiri benak Raya.
Hari ini, tidak ada pengecualian untuk itu. Ketika Raya berjalan menuju ruang tunggu
departure gate sesaat sebelum waktu keberangkatan pesawatnya dari Bandara Internasional
Hong Kong menuju Bandara Soekarno – Hatta sambil menarik carry-in-luggagenya, angannya
melayang pada perayaan ulang tahun yang dirayakannya pada tahun-tahun sebelumnya.
Anehnya, kali ini bintang utama ingatannya bukan Je, melainkan justru Kenzo.
Mungkin itu semacam firasat, karena Raya baru saja menghempaskan bokongnya di atas
kursi ruang tunggu bandara ketika tiba-tiba saja ponselnya bergetar pelan. Ada pesan LINE
yang baru masuk dan itu datang dari Kenzo. Mereka memang baru-baru ini kembali
berkomunikasi setelah Raya menghubungi Kenzo untuk memberikan undangan pernikahan.
Setelah putus, Raya sengaja menutup semua akses baginya dan Kenzo untuk saling
berhubungan. Bukan karena Raya membenci Kenzo, tetapi lebih sebagai langkah supaya Raya
bisa memaafkan dirinya sendiri karena sudah menyakiti orang baik yang mau menerima dirinya
apa adanya seperti Kenzo.

From: Kenzo
Happy birthday, Black Pikachu.

Black Pikachu.
Raya ingin tertawa dan menangis pada sebutan itu di saat yang bersamaan. Mereka
pertama kali bertemu di persimpangan Shibuya. Waktu itu hujan turun dan Raya tengah
mengenakan setelan jas hujan warna kuning yang mengingatkan Kenzo pada karakter Pikachu.
Keduanya berkenalan setelah Raya tidak sengaja menjatuhkan sesuatu di atas trotoar,
membuatnya memekik dalam bahasa Indonesia. Merasa bertemu dengan orang yang berasal
dari tempat yang sama, Kenzo memungut benda yang jatuh itu dan mengulurkannya pada
Raya sambil menyapanya dengan bahasa Indonesia. Lalu begitu saja, cerita mereka bergulir
dari sana.

To: Kenzo
Black Pikachu?

Sebagian orang mungkin akan beranggapan berbalas pesan dengan mantan kekasih
beberapa hari menjelang pernikahan adalah sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Tapi
Raya bukan termasuk ke dalam sebagian orang itu. Di luar hubungan mereka sebagai mantan

69 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
kekasih, Raya menganggap Kenzo sebagai salah satu temannya. Lagi pula, meski bisa jadi
sangat posesif, Je tidak cukup konyol untuk bisa marah pada Raya hanya karena masalah
sesepele itu.

From: Kenzo
Because you’re an emo version of a Pikachu.

To: Kenzo
I think I’ll take that as compliment.

From: Kenzo
Happy birthday.

To: Kenzo
Iya. Ditunggu kadonya.

From: Kenzo
Oh, apa sih hadiah yang bisa dikasih buat seseorang yang sudah memiliki segalanya?

To: Kenzo
Iya. Segalanya. I’m happy for you, by the way. Again, happy birthday. And happy wedding.

Raya tidak membalas. Selain karena dia tidak tau harus membalas pesan Kenzo dengan
kalimat yang seperti apa, juga karena sudah ada pemberitahuan bagi penumpang pesawat
untuk boarding. Raya beranjak dari duduk setelah mengaktifkan flight mode pada ponselnya
dan bergerak bersama kerumunan manusia lain menuju gerbang keberangkatan. Dalam setiap
langkah yang dia ambil, waktu menjelma menjadi debur ombak dan mengubahnya menjadi
pasir yang ditarik paksa menuju samudra masa lalu.

***

Beberapa tahun sebelumnya.

Selamat ulang tahun.


Raya menerima banyak pesan dan telepon dengan isi kalimat semacam itu sepanjang hari
ini. Yah, karena hari ini memang hari ulang tahunnya. Tapi anehnya, gadis itu justru tidak
merasakan apa pun. Tidak senang. Tidak juga sedih
Terkadang, Raya bisa dibikin begitu takjub akan kemampuan masa mengubah sesuatu ke
dalam bentuk yang sangat berbeda. Saat dia masih lebih kecil dulu, hari ulang tahun adalah
salah satu hari favoritnya dari sedikit hari dalam satu periode yang terdiri dari tiga ratus enam

70 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
puluh lima hari. Pada hari itu, dia menerima banyak perhatian, hadiah, kue dan pelukan. Namun
kini, hari ulang tahun justru jadi pengingat tentang betapa kosongnya hidup sebagai orang
dewasa.
Tidak ada Hana. Tidak ada kedua orang tuanya. Tidak ada adik laki-lakinya. Dan tidak ada
Jeviar. Mereka semua terpisah oleh jarak dengannya. Beberapa bahkan tidak hanya sekedar
jarak, melainkan juga bentangan kesalahpahaman yang berhasil mencipta celah sebesar
jurang. Melangkahkan kakinya masuk ke apartemennya saat pulang kerja, Raya tersadar ada
setitik harap bahwa begitu saklar lampu ditekan, teman-teman kuliahnya akan melompat keluar
dari tempat persembunyian sambil menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun keras-keras.
Tentu itu adalah keinginan yang konyol. Suasana apartemennya masih serapi dan sheening
saat Raya meninggalkannya tadi pagi. Adegan semacam itu hanya akan terjadi dalam film,
bukan realita nyata.
Raya baru berniat untuk bergerak menuju kamar mandi dan membasuh sisa-sisa penat dari
setiap jengkal tubuhnya ketika bel pintu apartemen tiba-tiba ditekan. Tanpa pikir panjang karena
rasa lelah yang menggelayuti sekujur badan, Raya membuka pintu, hanya untuk disambut oleh
seraut wajah penuh senyum milik Kenzo. Sebuket besar bunga anyelir merah muda berada di
tangannya, yang langsung dia ulurkan pada Raya dengan mata penuh binar ketulusan.
“Happy birthday, Pikachu.”
Respon pertama Raya adalah tercengang. Lalu respon berikutnya adalah melingkarkan
kedua lengannya pada tubuh Kenzo. Gadis itu mendekap Kenzo dengan erat. Sangat erat,
hingga Kenzo bergumam khawatir pelukan Raya akan merusak bunga dalam buket di
tangannya. Namun Raya tampaknya tidak peduli karena dia tidak menunjukkan tanda-tanda
akan melonggarkan pelukannya, yang justru membuat tatapan Kenzo melembut sebelum laki-
laki itu juga balik memeluknya.
“Thanks.”
“Hei,” Kenzo tiba-tiba menunduk menatap Raya, seperti baru menyadari sesuatu. “You’re
crying? Oh, please, don’t cry.”
“Nggak. Gue nggak nangis. Mata gue kemasukan debu.”
“Silly little liar.” Kenzo terkekeh. “Don’t cry, birthday girl.”
“Gue nggak nangis.”
“Kenapa sih? Lo sebegitu terharunya karena surprise murahan dari gue ini?”
Raya tidak menjawab, tapi dekapannya pada tubuh Kenzo kian mengerat. Air matanya
mengalir semakin deras, membuat wajahnya basah seketika. Kenzo sempat mengernyit heran,
tapi akhirnya dia hanya mengembuskan napas dan mengangkat tangan kirinya yang tak
memegang buket bunga untuk mengacak helai rambut hitam Raya dengan sepenuh rasa
sayang. Raya masih terus menangis hingga beberapa menit berikutnya sampai bahunya
bergetar di luar kendali.
Kenzo tidak mengatakan apa-apa, sebab dia berpikir Raya bersikap emosional setelah
mendapatkan kunjungan tiba-tiba Kenzo dalam rangka memperingati hari kelahirannya.

71 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Raya membisu dalam isaknya, karena dia terlalu takut Kenzo menyadari sesuatu;
bagaimana dia sangat berharap jika Kenzo adalah Jeviar Mahardika.

***

Setelah melalui penerbangan melelahkan selama hampir lima jam, Raya akhirnya tiba di
Jakarta. Langit sudah gelap karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Tetapi langkahnya harus terhenti di mulut gerbang kedatangan internasional saat matanya
bertemu pandang dengan sepasang mata cokelat gelap milik seseorang yang begitu familiar.
Sosok itu sempat terlihat terkantuk-kantuk sambil menatap layar ponsel, namun saat dia
mengangkat wajah dan matanya beradu pandang dengan mata Raya, senyum sehangat
matahari langsung merekah di wajahnya. Lelah yang semula bergelayut seolah terbasuh habis
tanpa tersisa, mengalir pergi entah ke mana.
“Lo nggak bilang lo mau jemput gue.”
“Ini kejutan.”
“Nggak juga.” Raya terkekeh sementara Je mengambil alih koper dari tangan Raya dan
menggantinya dengan mengisi sela-sela kosong jari-jari tangan kanan Raya dengan jarinya
sendiri. Masih sambil bergandengan tangan, keduanya melangkah melintasi ruang luas
bandara. “Gue sudah menebak lo bakal menjemput gue, sebenarnya.”
“Oh ya?”
“Iya. Karena lo sengotot itu meminta gue balik ke Jakarta tepat di hari ulang tahun gue.”
“Gue nggak ngotot.” Je mengoreksi. “Gue hanya menagih apa yang sudah lo janjikan.”
“Iya. Lo nggak ngotot.” Raya membenarkan dengan nada main-main yang membuat Je
memutar bola matanya.
“Lo kelihatan capek.”
“Iya. Tadi pagi abis mindahin barang-barang dari Bandung ke Jakarta.”
“Sendirian?”
“Dibantu Adrian. Faris sibuk karena urusan kerjaannya. Dio sendiri nggak bisa diganggu
karena jadwal prakteknya di rumah sakit. Edgar, well, dia jelas lagi sibuk-sibuknya. Rama nggak
usah diharapkan. Boro-boro bantuin gue mindahin barang, bisa bangun tepat waktu aja udah
jadi keajaiban buat dia.”
“Mm…” Raya bergumam. “Lo pasti capek banget.”
“Itu pasti.”
“Harusnya lo istirahat aja.” Raya berujar. “Atau nunggu di apartemen. Gue kan bisa naik
grab atau Go-Car. Apalagi ini udah malam.”
“Justru karena ini udah malam, makanya gue wajib jemput lo.” Je menyergah sambil meraih
membuka kunci mobil dan meraih kenop pintu. Waktu berlalu seiring dengan kalimat yang
saling mereka tukar dan kini mereka telah sampai di area parkir bandara. “Lagian tunangan lo
itu gue. Bukan abang grab atau abang Go-Car.”
“Posesif.”

72 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Harus.”
Raya baru bertanya lagi tatkala keduanya sudah berada di dalam mobil dan Je tengah
bersiap melajukannya keluar dari komplek bandara menuju jalan besar. “Kita langsung balik ke
apartemen?”
“Maunya lo gimana?”
“Gue serius loh nanyanya.”
“Honestly, gue dan anak-anak yang lain sempat berniat ngasih lo kejutan ulang tahun. Tapi
setelah dipikir lagi, perayaannya nggak bakal efektif. Lo jelas capek setelah flight hampir lima
jam. Terus udah malem juga. Menurut lo, sobat lo yang lagi bunting itu bakal diizinin suaminya
cabut dari rumah jam segini hanya demi ngasih birthday surprise?”
“Loh, harusnya nggak masalah, dong. Kan suaminya juga ikut ngasih gue surprise.”
Mata Je menyipit. “Bukannya lo justru benci surprise? Atau sekarang udah nggak?”
“Masih.” Raya menukas cepat.
“Jadi sekarang mau langsung pulang?”
Raya menyandarkan kepalanya pada jok mobil. “Iya. Lagian mata lo udah ngantuk banget
gitu. Mendingan balik, mandi terus langsung tidur.”
“Mandi bareng?”
“Stupid pervert.” Raya meninju pelan lengan Je, membuat cowok itu mengaduh dengan
dramatis.
“Ouch, it hurts.”
“Gue cubit beneran ya lo!” Raya berseru gemas sambil menghadiahi sejumlah cubitan di
lengan Je yang membuat cowok itu makin heboh mengaduh.
“Wifey, I’m the driver. You better don’t kill the driver.”
“I’m not your wifey.”
“Yes, you are. You’re going to be my wifey.” Je membalas tanpa mau kalah. “Anyway, I’m
so happy today.”
“Kenapa?”
“Because today is your birthday.” Senyum lebar Je lagi-lagi tertarik. “Because someone I
love was born today.”
Raya tercekat. Bukan karena kata-kata yang Je lontarkan, melainkan karena jenis nada
yang cowok itu gunakan saat bicara dan bagaimana cara matanya menatap Raya dengan
begitu lekat seolah Raya adalah pusat bagi semestanya.
“Raya Alviena,” Je berbisik dan tangan kirinya pelan-pelan kembali meraih tangan kanan
Raya, menelusupkan jari-jarinya pada ruang kosong diantara jemari gadis itu. “Itsumo taisetsu
ni omotteruyo.” (Kamu selalu menjadi yang terpenting dalam hidupku).
Kalimat itu adalah kalimat yang sama yang pernah Raya ketikkan pada kolom pesan LINE
pada hari ulang tahun Je. Pesan yang dikirimkannya ketika dia berada pada ketinggian ribuan
meter dari permukaan laut bersama Kenzo. Pesan yang tak pernah sampai pada orang yang
dituju. Pesan yang sarat dengan apa yang ada dalam hati kecilnya. Pesan yang penuh oleh
kejujuran tentang apa yang dia rasakan pada Je.

73 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Dan hari ini, pada hari ulang tahunnya, Je mengucapkan kalimat yang sama.
“Kenapa lo malah nangis?” Je justru melotot kaget ketika sesaat kemudian, air mata
meleleh di kedua belah pipi Raya. “Bahasa Jepang gue sejelek itu ya?”
“Nggak. Gue nggak nangis. Mata gue kemasukan debu.”
“My favorite silly little liar.” Je terkekeh sambil menghapus air mata di pipi Raya dengan ibu
jari. “Don’t cry, birthday wifey.”
“Gue nggak nangis.”
“Iya. Lo nggak nangis. Lo cuma lagi keringetan lewat mata.”
Raya meninju bahu Je pelan. “Nggak usah sok asik.”
“Loh, terus maunya apa? Dibilang nangis nggak mau. Dibilang keringetan lewat mata nggak
terima. Gue harus gimana?”
“Thankyou.” Raya berbisik dengan sepenuh hati, lalu menyandarkan kepalanya pada bahu
kiri Je. “Thankyou for being here today.”
Sekarang ganti Je yang kehabisan kata-kata.
“I’ll always be, Wifey. I’ll always be.”
Raya menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya. “I wish I could freeze this
moment so it will last a little longer.”
“Well, it will last a little longer.” Je tertawa kecil, lalu katanya sebelum melajukan mobilnya
meninggalkan pelataran parkir bandara, “Cause we will be together a little longer than forever.”
“A little longer than forever?”
“A little longer than forever.”

74 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
10 | A HAPPY ENDING FOR YOU, MY AWESO

Langit di luar belum terang saat Raya terbangun dari tidurnya. Apa yang pertama kali gadis
itu lihat adalah langit-langit kamar tidurnya yang temaram terkena cahaya lampu tidur. Udara
terasa dingin, selain karena temperatur air conditioner yang rendah juga karena matahari pun
belum benar-benar bergerak naik dari ufuk timur. Raya menarik napas panjang, berusaha keras
menahan dorongan untuk kembali tidur meski hari ini sudah termasuk dari satu minggu hari cuti
yang dia ambil dari tempatnya bekerja. Dia sudah punya janji bertemu dengan Hana jam tujuh
pagi ini, dan jika dia terlambat, bisa dipastikan Hana akan menciptakan amukan yang lebih
ganas dari badai Katrina.
“Go back to sleep, babe.”
Raya gagal beranjak dari tempatnya terbaring karena lengan Je yang berada di sekeliling
perutnya menahannya untuk bangkit. Laki-laki itu belum benar-benar bangun, tapi dekapannya
pada tubuh Raya masih saja erat. Raya tidak langsung menyingkirkan langkahnya, memilih
untuk menatap sosok yang berada di sampingnya selama sejenak. Setelah bertahun-tahun
berlalu, wajah Je yang sedang tidur masih saja menjadi favorit Raya. Matanya benar-benar
terpejam dan rambutnya berantakan. Ekspresinya yang biasa tengil tidak terlihat, terganti oleh
raut wajah polos yang membuatnya jadi terlihat begitu lugu. Raya tersenyum tipis sebelum
mengulurkan tangannya untuk menyentuh helai rambut di puncak kepala Je.
“What a big baby.”
Mayoritas orang mungkin akan menganggap aneh tentang fakta keduanya yang tinggal
serumah dan masih tidur dalam satu kamar beberapa hari menjelang pernikahan. Namun
mengingat Je dan Raya sama-sama tipikal orang yang menganut paham liberal, mereka tidak
merasa harus merepotkan diri untuk serangkaian acara yang tidak akan berpengaruh terlalu
banyak pada hari pernikahan mereka. Awalnya, keluarga mereka sempat tidak setuju. Tapi
pada akhirnya, para orang tua mengalah. Lagipula, mereka selalu berpikir kalau Raya dan Je
tidak pernah melakukan sesuatu yang kelewat batas dan sudah cukup dewasa untuk dapat
bertanggung jawab atas konsekuensi dari setiap pilihan mereka.
“Just go back to sleep.” Je meracau lagi masih dengan mata yang tertutup rapat.
“Gue punya janji sama Hana.” Raya menyahut sambil menyingkirkan tangan Je dari atas
perutnya. “Jam tujuh pagi ini.”
Je merengut. “Jadi Hana lebih penting dari gue?”
“Untuk pagi ini, iya.” Raya terkekeh seraya bangkit dari ranjang, lalu dia menunduk dan
memberi satu kecup lembut di pelipis Je. “Sorry, darl.”
Je menanggapinya dengan omelan lirih tidak jelas, tapi dia tidak melakukan apa pun dan
sesaat setelahnya kembali terlelap.
“What a big baby.” Raya bergumam, sekali lagi tangannya tergerak menyetuh rambut Je
yang berantakan dengan senyum penuh pengertian.

75 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
***

“What the hell, Yohana?”


“Makin lo tua mulut lo tuh makin ganas aja.” Hana mendengus keras. “Kenapa? Apanya
yang what the hell?”
“Lo minta gue dateng pagi-pagi ke rumah lo cuma buat mandiin kucing?”
“Kenapa? Lo keberatan?”
“Bukan gitu.” Raya berdecak sembari menggulung lengan bajunya sampai ke siku. “Cuma…
kalau tau urusannya nggak urgent kayak gini sih, mending gue sarapan dulu bareng Je.”
“Eh, jangan salah, masalah Yonga mandi atau nggak itu urgent banget, tau!” Hana jelas
kelihatan tersinggung. “Yonga itu separuh hati gue.”
“Bukannya separuh hati lo itu laki lo?”
“Dia separuh hati yang sebelah kiri. Yonga separuh hati yang sebelah kanan.”
“Terus anak lo nanti gimana? Kasihan banget dia, belum lahir aja udah harus rebutan
tempat sama kucing obesitas.”
Hana melotot. “Jangan menghina Yonga!”
“Gue nggak menghina. Aduh, sensi banget ya ibu-ibu jaman sekarang.”
“Gue bukan ibu-ibu!”
Raya memutar bola matanya, namun memilih diam karena dia sudah tau, jika dia terus
bicara, perdebatan mereka tidak akan terhenti bahkan hingga menjelang tengah malam nanti.
Selain itu, Raya sudah tau jika urusan mandi-memandikan kucing obesitas peliharaan Hana
(namanya Yonga) bukan satu-satunya alasan mengapa perempuan itu memintanya datang
berkunjung sepagi ini. Hana pasti tengah kesepian selama beberapa minggu belakangan
karena suaminya memiliki banyak kesibukan yang harus diurusi terkait pekerjaan. Yah, menurut
Raya itu sudah risiko, terutama dengan pekerjaan suami Hana yang seperti itu.
Butuh waktu hampir setengah jam bagi Raya untuk menyelesaikan ritual mandi Yonga.
Meski punya badan yang kelewat gemuk untuk ukuran kucing seusianya, Yonga tergolong
kucing lincah yang benci air. Raya harus rela menerima satu cakaran Yonga di lengan
kanannya dan terkena cipratan air hingga bajunya basah dimana-mana. Beruntung Hana
langsung mengambil alih urusan bersih-bersih badan Yonga begitu tiba saatnya untuk
mengeringkan bulu binatang itu, karena jika tidak, Raya rasa lengan kirinya juga akan jadi
korban cakaran.
“Yonga itu manis banget, kan?” Hana bertanya waktu mereka duduk berdua di sebuah
gazebo yang berada di halaman belakang rumah besar suaminya.
“Manis banget.” Raya membalas sarkastik seraya mengulurkan lengan kanannya,
menbiarkan Hana mengoleskan antiseptik dan kapas berbalut obat merah disana. Goresan itu
adalah jenis goresan tipis yang tidak begitu dalam, kemungkinan besar sudah akan hilang
tanpa bekas dalam waktu dua hari. Hana berharap begitu, karena kalau Je sampai tau,
eksistensi Yonga sudah pasti akan terancam. “Terlalu manis sampai dia nggak pernah nggak
mencakar gue setiap kali gue pegang.”

76 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Yonga emang sensian sama orang baru. Tapi kalau udah dekat, Yonga baik kok.” Hana
tertawa kecil. “Kayak lo.”
“Hm?”
“Yonga itu kayak lo.”
“Lo nyamain gue dengan kucing?”
“Oke, gue ralat. Lo itu kayak Yonga.”
“Sama aja.”
Hana justru tersenyum lebar sebelum kembali menatap sahabatnya. “Apa kabar Je?”
“Baik.” Kening Raya dirambati kerut heran. “Emang kenapa? Tumben lo nanyain.”
“Nggak apa-apa. By the way, melihat gimana bebasnya lo berkeliaran sekarang, rasanya
nggak akan ada yang percaya bahwa beberapa hari lagi lo bakal jadi pengantin dan jadi istri
orang.”
“Gue bukan tipe yang suka repot. Begitu pun Je.”
“Gue juga.” Hana menyambar. “Tapi sayangnya, baik keluarga gue mau pun keluarga suami
gue nggak begitu.”
“Alah, ngibul banget lo. Siapa ya yang dulu pas acara resepsi ngotot banget minta dicariin
sepatu, gaun dan head piece ala-ala Putri Disney biar acaranya kelihatan kekinian dan megah
banget? Kalau nggak salah sih itu lo.”
Wajah Hana memerah. “Soal itu… wajar, dong. Kan gue nikahnya sama pangeran!”
“Gue nggak nyangka bahwa hari ini akan tiba.” Raya tertawa geli. “Hari di mana lo manggil
dia dengan sebutan pangeran.”
“Oh, shut up.” Hana memutar bola matanya. “Tapi bukannya emang itu yang dilakukan oleh
waktu? Dia mengubah semuanya. Bahkan membuat kita jadi mau melakukan apa yang dulu
kita pikir nggak akan pernah kita lakukan. Dan itu nggak hanya berlaku sama gue, tetapi juga
berlaku sama lo.”
“Mmm…”
“Yaelah, tanggapan lo nggak asik banget, deh.” Hana berdecak lagi. “Tapi emang benar,
kan? Siapa yang mengira kalau lo bakal bersedia menikah dengan seseorang kalau ingat soal
pandangan lo terkait pernikahan sejak dulu.”
“Lo bicara seolah-olah gue fobia kawin.”
“Idih, mana ada orang kayak lo fobia kawin. Fobia nikah sih mungkin, tapi fobia kawin?
Bukannya kawin adalah salah satu dari kegiatan favorit lo bareng itu Kutu Kupret?”
“Sialan ya lo.”
Keduanya berpandangan sejenak, lantas tawa mereka pecah.
“But you’re right, tho.” Raya akhirnya kembali bicara. “Waktu memang mengubah
segalanya. Mengubah lo. Mengubah gue. Mengubah yang lain. Gue hanya berharap, pada
akhirnya kita semua akan bahagia.”
“Oh, itu pasti.”
“Lo kedengeran begitu yakin.”

77 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Hana tersenyum. “Apa yang udah gue lewatin membuat gue percaya bahwa setiap orang
selalu punya happy endingnya masing-masing. Di akhir, semuanya bakal bahagia. Gue tau
takdir itu memang nggak bisa ditebak, tapi gue percaya kita semua akan bahagia saat
waktunya tiba. Kalau kita belum bahagia, berarti itu belum akhirnya.”
“Super sekali, Mbak Yohana.”
“Buktinya, sekarang lo bahagia, kan?”
“I think so.”
“Raya Alviena,”
“Apa?”
Ada ketulusan di mata Hana saat perempuan itu membalas, “Gue senang pada akhirnya lo
menemukan kebahagiaan lo sendiri. Dan gue nggak mengharapkan apa pun selain untuk
kebahagiaan lo agar tetap berlangsung seterusnya. Selamanya. Karena sekarang, gue sudah
bahagia. Gue ingin sahabat gue juga merasakan sesuatu yang sama.”
“I will. And the same goes for you too. Stay happy for—ah no, stay happy for a little longer
than forever. Promise me?” Raya berujar sembari menyodorkan jari kelingking tangannya yang
diraih Hana juga dengan jari kelingkingnya.
“I promise.”
“And one more thing, thank you for being you.” Raya tidak tau mengapa ada hangat yang
meletup dalam bola matanya. “Thank you for being the sister I got to choose.”
“You’re welcome.”
“Gue nggak tau bakal jadi apa gue kalau nggak punya teman kayak lo.”
“You’ll be nothing, of course.” Hana berkata dengan lagak jumawa. “Because without me,
you’re just an aweso. But with me, you’re awesome.”
Raya menyeringai. “Indeed.”
Mata mereka kembali bertemu, dan pelan-pelan senyum kedua perempuan itu kembali
muncul.

78 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
11 | A HOMELESS HEART

Jarum pendek jam dinding telah merambat melewati angka dua dinihari ketika Je
melangkahkan kakinya masuk ke kamar. Wangi khas dari rangkaian bunga dan cahaya kuning
gading yang menimbulkan kesan mewah saat berpadu dengan interior dominan putih langsung
menyambutnya. Setiap senti bagian tubuh Je berteriak minta diistirahatkan setelah serangkaian
acara menguras mental dan tenaga yang telah dilaluinya sepanjang hari ini, tetapi begitu
matanya menangkap sosok seorang perempuan yang terduduk di tepi ranjang bertabur ratusan
kelopak mawar, seluruh penatnya terbasuh hilang begitu saja tanpa jejak.
Ayah Je selalu bilang kalau laki-laki tidak seharusnya menangis kecuali dalam tiga fase
penting dalam hidupnya. Pertama, adalah ketika dia dilahirkan. Kedua, adalah saat dia
menikah. Dan ketiga, adalah waktu dia menjadi seorang ayah. Tetapi anehnya, Je justru tidak
merasa ingin menangis hari ini. Bukan berarti karena dia tak menganggap hari ini sebagai hari
yang penting. Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah buatnya; hari di mana dia
mengucapkan selamat tinggal pada masa-masa kesendirian sekaligus hari di mana salah satu
impiannya jadi nyata.
Hari di mana seorang Raya Alviena benar-benar menjadi miliknya.
“Beautiful.” Je berkomentar saat dia sudah tiba di dekat Raya, lalu tangannya bergerak
melepaskan sisa-sisa head piece dari helai rambut Raya yang mengeras karena semprotan
hairspray.
Raya tersenyum, menatap pada guratan henna di punggung tangannya. “Yes, this place is
indeed beautiful.”
“No, not the room.” Je meletakkan head piece terakhir yang ditariknya lepas dari rambut
Raya ke atas nakas di sisi tempat tidur, kemudian dia berpindah posisi hingga kini dia
berjongkok di depan Raya sambil meraih jari-jari gadis itu dalam genggamannya. “Bukan
tempatnya yang cantik, tapi lo.”
Senyum Raya terkembang kian lebar.
“Lo banyak tersenyum hari ini. Nggak seperti biasanya.”
“Karena hari ini, gue bahagia.”
Je memiringkan wajah. “Berarti hari-hari sebelumnya nggak pernah bahagia?”
“Bukan gitu.” Raya membantah. “Maksudnya, hari ini adalah salah satu hari di mana gue
merasa sangat-sangat bahagia.”
“Karena gue?”
“Karena lo.”
Dahi Je justru berlipat dibuatnya. “Tumben lo mau mengakuinya segampang itu. Biasanya
lo jual mahal banget kalau udah urusan kayak begini.”
Raya tidak segera menjawab, namun tangannya balik meraih jari-jari Je sehingga kini jari
laki-laki itu yang berada dalam genggamannya. “Because today is my first day as your wife. And
because today is your first day as my husband.”

79 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
Je tercekat, matanya menatap pada Raya dengan teramat lekat.
“Thank you for marrying me, Mr. Mahardika.”
Je membalas ucapan tulus itu bukan dengan kata-kata, melainkan dengan satu ciuman
yang dijatuhkan di atas bibir Raya. Ciuman itu adalah salah satu dari beberapa ciuman yang
bagi keduanya paling istimewa, karena ciuman itu adalah ciuman pertama mereka setelah
dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Kontak fisik tersebut baru berakhir saat Je menggeser
kecupannya ke sudut bibir Raya, lalu terus merambat hingga garis rahangnya dan terhenti pada
leher.
“The pleasure is mine, Mrs. Mahardika.”
“Raya Mahardika kedengeran jelek.”
Je menyentakkan kepala, “Mulai lagi, deh.”
“Hehehe, jadi tambah jelek deh kalau ngambek.” Raya nyengir. “Bikin gue makin suka.”
“Lo nggak jago ngegombal, jadi tolong nggak usah dicoba.” Je mencibir. “Let’s have a
session of knock-knock game.”
“Knock-knock game?”
“Knock-knock game.”
“Fine, then. Let’s try.”
Jawaban Raya membuat Je mengerling sebelum lanjut bicara. “Knock-knock-knock.”
“Who’s there.”
Je mengelus punggung tangan Raya dengan ibu jarinya. “A homeless heart.”
“Oh, what a poor creature.”
“Do you mind to help this homeless heart?”
“Hm… I guess I don’tmind.”
“Can you be a home for this homeless heart?”
Raya terkekeh, kemudian secara tidak terduga, dia membungkuk dan meraih tubuh Je yang
masih terbalut jas ke dalam dekapanya. “Well, I am now.”
Je menarik napas panjang, mengisi rongga paru-parunya dengan harum yang menguar dari
rambut Raya sebanyak yang dia bisa. Lantas kedua tangannya terangkat. Satu bergerak untuk
balik mendekap punggung Raya, sementara tangannya yang lain terkubur dalam helai rambut
gadis itu. Pelan, jarinya mengelus rambut Raya.
“And now, finally I’m home.”

80 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
12 | FINALLY, I’M HOME

Biasanya, Adrian tidak pernah tiba di rumah selarut ini, bahkan karena urusan pekerjaan.
Meski memiliki workshop kecil milik sendiri dan bekerja pada sebuah perusahaan, Adrian selalu
berusaha untuk sampai di rumah sesore mungkin, sehingga dia masih punya waktu untuk
mengobrol atau menghabiskan waktu duduk-duduk di ruang keluarga bersama Azalea. Tapi
tentu saja penyebab Adrian pulang larut malam hari ini adalah sesuatu yang berbeda. Late
bachelor party yang diadakan oleh Faris serta teman-teman mereka yang lain untuk merayakan
hari-hari terakhir Je sebagai pria lajang bukan jenis acara yang bisa dia lewatkan—meski
sebetulnya sekarang Je sudah bukan lajang lagi. Mereka tidak sempat mengadakan acara
bachelor party sebelum hari pernikahan Je dan Raya karena kesibukan yang tak bisa dihindari.
Mengingat karakter Faris dan Rama, Adrian sudah punya firasat bachelor party untuk Je
tidak akan berakhir dengan singkat. Maka dia sengaja membawa kunci cadangan supaya dia
tidak perlu membangunkan Lea di tengah malam seperti ini. Untung saja ada orang yang cukup
punya akal sehat seperti Dio dalam lingkaran pertemanan mereka, karena jika tidak, bisa
dipastikan pesta bujangan tersebut baru akan berakhir besok pagi. Kehadiran Dio juga menjadi
penjamin pasti soal tidak adanya striptease girls atau unsur-unsur sejenis dalam pesta tersebut
sehingga Lea juga tidak banyak bertanya dan mengizinkan Adrian menghadirinya.
Well, Lea yang dulu berbeda dengan Lea yang sekarang. Kalau Lea di masa kuliah adalah
Lea yang tidak terlalu peduli tentang masalah cinta atau pasangan, Lea yang kini sudah
menjadi istri Adrian adalah tipe perempuan yang mudah cemburu. Kehamilannya turut
berkontribusi terhadap sikapnya yang makin clingy akhir-akhir ini, di mana Lea bahkan pernah
tidak bisa tidur jika tidak dipeluk oleh Adrian. Cukup merepotkan, namun mengatakan Adrian
tidak senang dengan perubahan sikap Lea adalah sesuatu yang tidak benar.
Adrian menikmati setiap saat yang dihabiskannya bersama Lea, tanpa kecuali.
Lampu ruang tamu sudah dimatikan, tetapi lampu ruang tengah masih menyala saat Adrian
masuk. Di kejauhan, terdengar suara kentongan pos ronda dipukul dua kali, menunjukkan jika
sekarang sudah jam dua pagi. Adrian terus melangkah masuk, namun langkahnya langsung
terhenti ketika melihat Lea tengah terbaring di atas sofa. Perempuan itu berada di bawah
selimut berwarna biru muda dengan tangan kanan menjuntai hampir menyentuh karpet tebal
yang tergelar melapisi lantai. Wajahnya begitu polos dengan mata yang terpejam dan hela
napas lambat yang teratur.
Adrian berdecak pelan, mengomel tanpa suara karena sebelumnya dia sudah bilang pada
Lea untuk tidak menunggunya pulang. Tetapi tentu saja, Lea adalah Lea. Sejak dulu,
perempuan itu punya watak keras kepala yang tak tertandingi.
Awalnya, Adrian berniat mengangkat Lea ke kamar. Tapi Lea terlihat tidur dengan begitu
nyenyak, membuat Adrian berubah pikiran dan memilih untuk tidak membangunkannya. Laki-
laki itu hanya melangkah mendekati sofa tempat Lea terbaring dengan mulut terkunci rapat, lalu
dia menarik selimut yang terhampar di atas tubuh istrinya hingga sebatas dagu. Adrian juga

81 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
menyelipkan kembali tangan Lea yang terjuntai ke atas sofa, kemudian dia mengamati wajah
tertidur perempuan itu sepuas yang dia mau.
“I’m so sorry, Sweetheart.” Adrian berbisik seraya membungkuk untuk memberikan satu
kecupan lembut di dahi Lea. Kecupan itu begitu lembut sampai-sampai tak membuat tidurnya
terganggu. Lantas Adrian turut berbaring, meski tidak di atas sofa. Dia merebahkan tubuhnya di
atas hamparan karpet bulu, matanya menatap langsung pada wajah Lea yang tertidur di atas
sofa yang berada di depannya.
“Sleep tight, Darling.” Katanya lagi dalma gumam tanpa suara sembari tangannya terulur
untuk menyentuh perut istrinya. “Sleep tight, Kiddo.”

***

Dingin yang merambati pipinya adalah apa yang membuat Azalea terbangun dari tidur
sesaat sebelum fajar menjelang. Mengerang pelan, perempuan itu menyentuh dahinya sebelum
bulu matanya bergetar samar diikuti kedua mata yang terbuka. Pada detik pertama, Azalea
mengerutkan kening karena intensitas cahaya yang menyerbu indra penglihatannya. Namun
begitu matanya sudah terbiasa dengan cahaya terang lampu ruangan, dia lagi-lagi dibikin
mengernyit ketika mendapati sosok Adrian tengah tertidur di atas karpet tepat di depannya.
Laki-laki itu tertidur dengan posisi berbaring menyamping dengan berbantalkan lengannya
sendiri. Azalea mengerjapkan mata, lalu merasa penasaran bagaimana bisa Adrian tetap
terlihat sedemikian angelic bahkan saat sedang tertidur. Meski sudah tinggal satu rumah
sebagai suami-istri selama beberapa lama, Azalea tidak pernah bisa benar-benar terbiasa
dengan Adrian. Setiap hari, selalu ada sesuatu yang pria itu tunjukkan, yang membuat Azalea
bertanya-tanya apa yang sudah dia lakukan hingga dia bisa mendapatkan sosok sesempurna
Adrian sebagai pendamping hidup.
Yah, meski pun katanya tidak ada orang yang sempurna. Tapi setidaknya, buat seorang
Azalea Pramudita, Adrian adalah manusia paling sempurna yang pernah dia kenal. Selain
punya penampilan menawan, laki-laki itu kelewat perhatian. Jika Azalea pikir-pikir lagi, selama
menikah, belum pernah sekali pun Adrian bersikap keras padanya. Mungkin beberapa kali
Adrian memang pernah melarang Azalea melakukan sesuatu yang menurutnya akan
berpengaruh buruk pada istrinya, tapi tentu saja, Azalea sudah cukup dewasa untuk bisa
membedakan kekerasan dan ketegasan.
“Stupid husband.” Azalea berkata lirih sambil mengulurkan tangannya dari atas sofa untuk
menyentuh sejumput rambut hitam yang jatuh di atas kening Adrian. “Tidur kayak gini cuma
bakal bikin kamu pegal. Ujung-ujungnya nanti aku juga yang repot mijitin.”
Tidak ada jawaban. Mata Adrian masih saja terpejam. Tubuhnya terus saja diam. Kombinasi
dua hal tersebut justru membuat senyum lembut Azalea tertarik.
“Your daddy is so ethereal, isn’t he?” Azalea berbisik sambil menyentuh perutnya dengan
tangan kiri. “But I promise you, he’ll be the best Dad ever in the world.”

82 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“And this one hell of a woman in front of me will be the best mother ever in the world.”
Azalea hampir terpekik saat tiba-tiba saja Adrian menangkap tangan kanannya, disusul kedua
mata laki-laki itu yang perlahan terbuka.
“Kamu bikin aku kaget.” Azalea merengut.
Adrian justru terkekeh meski matanya menatap sayu pada Azalea karena kantuk yang
masih bergelayut. “Hello, lovely sleepy head.”
“Idih. Jelas yang sekarang mukanya ngantuk banget itu kamu.”
“Iya, kan aku baru pulang jam dua tadi.”
“Betah banget ya pesta-pesta?” Azalea memberengut. “Ngapain aja kamu sama teman-
teman kamu yang error itu?”
“Nggak ngapa-ngapain. Cuma ngobrol. Minum. Mengenang kejayaan masa lalu.”
Azalea hampir tersedak. “Kejayaan masa lalu? Emang kamu punya kejayaan masa lalu?”
“Bukan kejayaanku, sih. Mungkin lebih ke cerita petualangan cinta yang lainnya. Kisah cinta
mereka kan pada dramatis banget. Yah, nggak jauh beda sih sama aku. Tapi berhubung
ceritaku cuma melibatkan satu perempuan, kayaknya nggak tepat disebut kejayaan.”
“Oh, jangan salah. Bisa menikahi aku itu salah satu kejayaan yang nggak akan bisa dicapai
dalam perang mana pun.”
“Aku nggak tau apa ini memang beneran karakter kamu atau bawaan dedek.” Adrian
terkekeh. “But yes, indeed it is. You’re my greatest victory.”
“Husband,”
“Iya, Sayang?”
“Kesiniin tangan kamu.”
“Mau buat apa?”
“Siniin aja.”
Meski bingung, Adrian menurut. Dia menyerahkan telapak tangan kanannya pada Azalea,
yang lantas Azalea lekatkan ke perutnya sendiri. “Katanya Acil kangen.”
“Acilnya atau mamanya yang kangen?”
Azalea tersipu. “Dua-duanya.”
“Halo, Acil. Maaf ya tadi Ayah pergi sebentar. Mudah-mudahan besok-besok nggak harus
pergi malam-malam lagi ya. Bukan karena Papa takut kamu kangen, tapi Papa takut kalau
besok-besok Papa pulang malam lagi, Mama kamu bakal kalap dan bikin rumah ini banjir air
mata.”
“Aku nggak gitu!”
“Iya, Sayang. Kamu nggak gitu.”
“Papa Acil nggak minta maaf ke Mama Acil juga?”
“Nggak. Soalnya Mama Acil belum bilang terang-terangan kalau Mama Acil kangen sama
Papa Acil.” Adrian tertawa pelan, membuat wajah Azalea kian memerah.
“Ih, pilih kasih.”
“Makanya, kamu bilang dulu dong kalau kamu kangen sama aku.”
“Yaudah.”

83 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Yaudah apanya?”
“I miss you.”
“I miss you too.”
“I miss you.”
“I miss you too.” Adrian tertawa. “Aku masih ngantuk. Sini.”
“Sini kemana?”
“Come here. Sleep in my arms.”
Azalea menggeleng. “Nggak, ah. Lebih empuk di atas sofa.”
“Come here, Sweetheart.”
Azalea menggeleng lagi, tapi pada akhirnya dia tetap bergerak turun dari sofa yang
memang tidak terlalu tinggi dan merebahkan tubuhnya di atas karpet bulu, tepat di sebelah
Adrian. Hangat menyelubunginya saat kepalanya mendarat di atas bahu Adrian dan laki-laki itu
merangkul tubuhnya.
“Ah, finally.”
“Finally apa, Husband?”
“Finally, I’m home.”
Senyum lebar Azalea kembali tertarik. “Well, welcome home.”
“Let us be like this a little longer, will you?”
“A little longer than forever?”
“A little longer than forever.”

84 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
13 | MY FAVORITE BLACKHOLE

You were the earth


And he used to be your sun
Then I came between both of you
And I was the blackhole

“Matanya mirip kamu.”


Mendengar ucapan suaminya yang baru saja membaringkan anak pertama mereka di
dalam boks bayi, Hana langsung tersenyum lebar. “Berarti nanti pas udah gede, dia bakal
cantik banget kayak aku.”
“I guess it’s true.” Laki-laki itu menjawab diiringi tawa kecil, kemudian dia bicara tentang
sesuatu yang lain. “Tadi pagi aku dengar kamu terima telepon dari dia.”
“Dia?” Hana mengernyit, tapi sesaat kemudian paham tentang siapa yang dimaksud
suaminya dengan sebutan dia. “Oh. Maksud kamu dia?”
“Iya. Dia.”
“Hubby, kamu nggak lagi cemburu, kan?” Hana tertawa geli. “Kita cuma ngobrolin…
kenangan lama.”
“Soal drama-drama kita waktu jaman kuliah dulu.”
“Iya.”
Hening sejenak, hingga Hana berinisiatif bicara lebih dulu. “Kamu nggak lagi cemburu,
kan?”
“Nggak. Cuma aku baru terpikir sesuatu.”
“Jangan keseringan mikir. Nanti botak.” Hana berkelakar. “Tapi sekarang kamu bisa terus-
terang aja sama aku. Kamu mikirin apa?”
“Aku merasa bersalah sama dia.”
“Kenapa gitu?”
“Karena aku merasa aku udah merebut kamu dari dia. Yah, walau pun sebenarnya nggak
begitu.” Suaminya mengedikkan bahu. “You were the earth. And he used to be your sun. Then I
came between both of you. And I was the blackhole.”
“Aduh, kamu konyol banget.”
“Serius, Sayang.” Laki-laki itu menjawab dengan raut wajah tak main-main. “Waktu ketemu
dia di pernikahannya Je dan Raya kemarin-kemarin, aku sempat ngobrol sama dia. Sampai
sekarang, ternyata dia masih sendirian. Dulu, kalau bukan karena aku, pasti kamu udah sama
dia.”
Kata-kata suaminya membuat Hana terdiam sejenak, sebelum segaris senyum bijak
tergurat di wajahnya. Tanpa mengatakan apa pun, perempuan itu menghampiri suaminya,
lantas tangannya terulur menyentuh pipi laki-laki itu. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak
akan sebahagia aku yang sekarang.”

85 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Really?”
“Really.” Hana menjawab cepat degan keyakinan. “Even now, you’re still the blackhole. You
have this dark, twisted and gloomy side of yours. But you know what? I love you from your
curves to your edges.”
Laki-laki itu tersenyum lebar saat mendengar kata-kata istrinya. “Quoting John Legend,
huh?”
“Well, it is a really old song, isn’t it?”
“Yap.” Jawabnya sambil meraih pundak Hana dan memeluk perempuan itu dari belakang.
“I’m a blackhole, even now. A proud blackhole.”
“Indeed.” Hana membiarkan suamianya menjatuhkan rahang di bahunya. “My favorite
blackhole, you’re the first and the last that I love with all of me.” Sambungnya lagi, kali ini seraya
mengangkat kedua tangannya dan balik mengelus pelan telapak tangan laki-laki yang hingga
kini masih memeluknya dari belakang.
“Well, not really the first and the last, I think. You had crush in lot of boys back then.”
Suaminya membalas cepat. “Siapa aja ya yang dulu pernah kamu taksir? Hm, coba aku ingat-
ingat. Senior kamu di teknik industri, Je, Adrian, terus—”
“Well, you’re my last.”
“Nggak. Aku juga bukan yang terakhir.”
“Maksud kamu?”
“Anak kita bakal jadi yang terakhir. Bukan aku.”
“Demanding deh.” Hana tergelak sambil membalikkan badan hingga posisinya jadi berganti
menghadapi suaminya. Matanya sempat menatap sejenak pada wajah laki-laki di depannya,
mulai dari rambutnya yang sudah sedikit lebih panjang dari biasanya, sepasang alis tebal yang
menaungi kedua matanya hingga jejak kehijauan di rahangnya karena belum sempat bercukur
selama beberapa hari ini. Seiring dengan tahun yang berlalu, penampilan laki-laki itu jauh
berubah jika dibandingkan dengan waktu mereka masih mahasiswa dulu. Namun bagaimana
pun bentuknya, Hana tau seraut wajah di depannya akan selalu jadi salah satu wajah
favoritnya. “Bahkan kamu nggak mau saingan sama Calla.”
“Iya. Aku sudah cukup bersaing sama dia dulu. Aku nggak perlu bersaing sama yang lain.”
Laki-laki itu membalas.
Kemudian, dia menunduk dan pada detik berikutnya, bibir mereka bertemu.

86 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
14 | FROM DADDY WITH LOVE

Keheningan di workshop Adrian siang itu terpecah ketika secara tidak sengaja sikunya
menyenggol kotak wadah tube-tube cat minyak yang berada di atas meja. Suara berisik khas
dari benda keras yang saling beradu langsung memenuhi seisi ruangan, menyisakan cipratan
cat dalam wadah-wadah kaca di atas permukaan lantai. Adrian mengernyit, merasakan ada
sebentuk firasat tidak enak menelusup ke dalam benaknya saat sedetik kemudian ponselnya
berdering. Ada telepon dari rumah yang masuk dan tanpa pikir panjang, Adrian menjawabnya.
“Halo?”
Tidak ada kata-kata yang menjawabnya, namun jelas suara tangis di seberang sana adalah
suara milik ibunya. Tanpa bertanya, Adrian langsung meletakkan kuas dan paletnya ke atas
meja, lantas menitipkan workshop pada salah satu karyawannya dan mengemudikan mobilnya
menuju tempat yang tadi sempat disebut ibunya di sela-sela isak. Dia beruntung kondisi jalanan
tidak terlalu padat, karena jika dia harus terjebak kemacetan dalam situasi semacam ini, bisa
dipastikan dia akan kehilangan kesabaran dan melakukan tindakan bodoh seperti melakukan
pelanggaran lalu-lintas atau menyerempet kendaraan lain karena terlalu tergesa-gesa.
Adrian tidak pernah menyukai suasana rumah sakit, terutama setelah peristiwa beberapa
tahun lalu saat Azalea mengalami kecelakaan tepat di depan gedung tempatnya mengadakan
pameran fotografi. Lorong panjang rumah sakit yang berbau obat tidak pernah gagal
membangkitkan kenangan buruk tentang darah Azalea yang melumuri kedua tangannya. Kini,
dia kembali harus mengalaminya. Sekarang, dia kembali terjebak dalam situasi yang sama.
Azalea berada disana, lagi-lagi meregang nyawa meski untuk penyebab yang benar-benar
berbeda.
“Adrian!” Abby berseru saat dia melihat Adrian mendekat, kemudian langsung mendekap
adik laki-lakinya itu dengan erat.
“Lea di mana?”
“Di dalam. Karena kamu sudah sampai di sini, mending kamu langsung nemuin dokter. Tadi
beliau nyariin kamu.”
Adrian punya firasat tidak enak soal ini. Namun dia menuruti kata-kata kakak
perempuannya dengan mulut terkunci. Ditemani oleh Aileen yang turut menyertai mereka,
kedunya menyusuri koridor rumah sakit lebih jauh dan berakhir di sebuah ruangan tempat
dokter yang dimaksud menunggu.
Ternyata, dugaan Adrian terbukti benar. Meski terlihat menjelaskan dengan tenang, dari
sorot mata sang dokter, Adrian tau jika kondisi Azalea tidak bisa dikatakan baik-baik saja.
Setelah memberikan sederetan keterangan yang membuat kepala Adrian terasa pening, dokter
tersebut meminta Adrian membuat pilihan tentang keselamatan siapa yang diutamakan. Azalea
mengalami pendarahan hebat setelah jatuh di kamar mandi hari ini, membuatnya mengalami
keguguran spontan. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa perempuan itu sekarang

87 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
adalah dengan melakukan prosedur kuretase, yang berarti Adrian harus merelakan calon
anaknya.
“Pak Adrian?”
Adrian menarik napas, lalu menatap dokter itu dengan mata kalut bercampur lelah.
“Bagaimana pun caranya, dokter bisa melakukan apa saja untuk menyelamatkan istri saya.”
“Saya tau ini keputusan yang sangat berat, tapi kita memang harus melakukan ini karena
kalau tidak, kemungkinan besar kita tidak akan bisa menyelamatkan istri anda.” Dokter itu
berujar sambil memandang Adrian dengan pandangan menguatkan. “Saya turut berduka untuk
kehilangan anda.”
Adrian mengucapkan terimakasih sebelum beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan
ruangan tersebut diikuti oleh kedua kakak perempuannya yang sama-sama tak mengatakan
apa-apa. Mereka melangkah dalam keheningan hingga kembali tiba di deretan kursi ruang
tunggu tempat kedua orang tua Azalea dan Mama Adrian berada. Mewakili Adrian—yang
terlihat seperti sudah tidak punya energi lebih untuk bicara—Abby dan Aileen menjelaskan apa
yang terjadi di ruangan dokter pada mereka. Adrian sendiri lebih banyak diam, sebelum
akhirnya dia melangkah pergi dengan alasan ingin membeli secangkir kopi di kantin rumah
sakit.
Ditemani secangkir kopi panas yang tak kunjung disentuhnya, Adrian menatap hampa pada
udara kosong. Tidak, dia bukannya disambangi nelangsa karena dia terlampau sedih
merelakan calon anaknya tak jadi terlahir ke dunia. Apa yang lebih dipikirkan Adrian sekarang
adalah tentang bagaimana perasaan Azalea nanti saat dia sudah sadar. Perempuan itu pasti
akan menangis atau mungkin marah padanya. Adrian tidak siap menghadapi itu semua. Dia
tidak bisa melihat perempuan menangis, terutama jika perempuan itu adalah perempuan yang
dia cintai.
Adrian tetap duduk sendirian di sana hingga satu setengah jam berikutnya. Laki-laki itu
hampir tidak bergerak. Jika saja matanya tak berkedip, mungkin orang-orang akan mengira
sosoknya merupakan sebentuk patung lilin yang entah bagaimana dibiarkan berada di salah
satu kursi kantin rumah sakit. Kopi di atas meja sudah mendingin tanpa sempat Adrian sentuh.
Pikirannya bekerja keras, mencoba memilah-milah cara paling tepat untuk menyampaikan
berita duka ini pada Azalea setelah perempuan itu sadar.
“Adrian,” Satu remasan dari tangan Aileen tiba-tiba saja menarik Adrian dari lamunan. Dia
tenggelam dalam angannya sendiri terlalu dalam, hingga tak mendengar suara langkah Aileen
yang mendekat mau pun menyadari kehadirannya.
“Iya?”
“Lea udah dipindah ke ruang perawatan biasa.”
Adrian mengembuskan napas. “Oke.” katanya sambil beranjak bangkit dan meraih cangkir
kopinya. Laki-laki itu menelan tiga-empat teguk, lalu meletakkan kembali cangkir tersebut di
atas meja sebelum berjalan mengikuti Aileen melintasi koridor menuju kamar yang dimaksud.
Kedua orang tua Azalea, Mama dan Abby telah berada di depan kamar perawatan saat Adrian
tiba di sana. Wajah mereka diselimuti mendung, namun sebelum Adrian berjalan masuk ke

88 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
kamar perawatan, ayah mertuanya sempat meremas pelan bahunya sambil memberikan satu
anggukan yang menyiratkan dukungan moral. Gestur itu di balas Adrian dengan satu tarikan
senyum muram sebelum tubuhnya hilang di balik pintu kamar yang segera ditutup.
Azalea terlihat sangat pucat dalam balutan pakaian rumah sakit biru langitnya. Rambutnya
yang dipotong sebahu tergerai di sekeliling kepalanya. Warnanya hitam, membuat kulit
wajahnya terlihat kian sakit. Tidak ada rona di pipinya. Matanya terpejam. Ada jarum infus
menusuk punggung tangannya.
Adrian berdehem pelan, berusaha melegakan tenggorokannya yang terasa tersumbat oleh
gumpalan pahit. Tangannya meraih jemari Azalea yang terasa dingin di bawah sentuhannya.
Lantas Adrian menarik napas panjang sambil membawa jari-jari lunglai perempuan itu ke
hidungnya. Matanya menutup sementara dia menarik napas dalam-dalam, seperti berusaha
menghirup apa pun yang bisa dia hirup dari tangan Azalea.
“I’m so sorry, Sweetheart.” Bisiknya dengan pedih. “I’m so sorry. But I can’t let something
bad happens to you. You have every rights to be angry with me. I deserve it. But please, don’t
cry.”
Seolah menjawab semua ucapannya, jari-jari Azalea bergerak pelan, disusul matanya yang
kemudian terbuka. Pandangannya amat sayu, namun perempuan itu tetap berusaha
memaksakan senyum lemah. Menyaksikan ekspresinya yang seperti itu, ada bagian dalam
dada Adrian yang seolah-olah ditusuk berkali-kali dari dalam.
“Hello.”
Adrian berusaha memaksakan senyum. “Hello.”
“Aku tidur kelamaan ya?”
“Nggak.” Adrian mengusap punggung tangan Azalea dengan sepenuh rasa sayang. “Nggak
apa-apa. Akhir-akhir ini aku juga banyak bikin kamu capek. Nggak apa-apa. Tidur aja lagi. Aku
bakal selalu ada disini nemenin kamu.”
Azalea menggeleng. “Acil… gimana?”
“Kita omongin ini nanti aja, ya? Sekarang kamu tidur aja.”
“Kalau kamu ngomong kayak gitu, sepertinya aku udah bisa nebak artinya apa.” Azalea
menggigit bibirnya. “Acil… udah nggak ada, kan?”
“Azalea—” Kata-kata yang hendak terlontar dari mulut Adrian langsung terhenti seketika
ketika dia melihat air mata meleleh di kedua belah pipi Azalea. Dengan cepat, tetesan air mata
perempuan itu diikuti oleh sedu-sedan hebat hingga bahunya bergetar tanpa kontrol. Duka
menghimpit dada Adrian melihat Azalea yang seperti itu. Menggigit bibirnya sendiri untuk
menahan kesedihannya, Adrian meraih kepala Azalea ke dadanya. Laki-laki itu mendekap
Azalea dengan erat, seperti ingin menahan agar gadis itu tak pecah menjadi kepingan-
kepingan. “Sayang, jangan begini. Ini bukan akhir dari semuanya. Kamu masih punya aku, oke?
Aku akan selalu ada buat kamu.”
Azalea tidak menjawab karena napasnya telah sesak oleh isak.

89 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Lea, Sayang, dengerin aku. Nggak apa-apa, oke? Nggak apa-apa. Kita bisa coba lagi.
Bukan berarti kamu nggak boleh sedih, tapi tolong…” suara Adrian kian mengecil. “… tolong
jangan begini. Demi aku.”
Namun Azalea tetap saja menangis. Gadis itu seolah tidak mendengar ucapan Adrian sama
sekali. Air matanya membanjir, terus mengalir tanpa henti hingga baju Adrian basah kuyup
dibuatnya.

***

“Husband, bangun.”
Sentuhan hangat di pipi Adrian adalah apa yang membuat mimpinya pecah menjadi
kepingan-kepingan berantakan sebelum pelan-pelan terganti oleh sosok seorang perempuan
berambut hitam sebahu yang membungkuk, mengernyit padanya setelah meletakkan kotak
Tupperware di atas meja—tepat di sisi kepala Adrian yang tergeletak di atasnya berbantalkan
lengan.
“Lea?”
“Kamu ketiduran.” Azalea berujar lembut sambil membuka tasnya, menarik sehelai tissue
basah dari sana untuk membersihkan bekas noda cat yang mengering di pipi Adrian. “Aku tadi
telepon asisten kamu di sini. Tapi dia lagi keluar buat makan siang. Katanya tadi kamu lagi
sibuk melukis. Kamu suka lupa waktu kalau melukis, jadi aku pikir sebaiknya aku kesini, bawain
makan siang buat kamu—eh, kamu kenapa? Pipi kamu basah. Kamu nangis?”
“Oh, ini.” Adrian menyentuh pipinya sendiri, sadar jika kini wajahnya basah oleh air mata.
“Kayaknya karena aku mimpi.”
“Mimpi?”
“Iya. Tadi aku mimpi sedih.”
“Itu gara-gara akhir-akhir ini kamu keseringan nyuekin aku sama Acil dan terlalu sibuk
ngurusin kerjaan di workshop dan di kantor.” Azalea bergurau. “Kamu kualat sama Acil. Acil
kesal kali, soalnya papanya lebih milih ngurus kerjaan daripada merhatiin dia.”
“Mungkin.” Adrian bergumam penuh rasa syukur karena ternyata peristiwa menyedihkan itu
hanya mimpi. “Kamu kesini sama siapa?”
“Minta dianterin sama Kak Aileen. Tapi dia udah pergi. Katanya mau ketemuan sama
pacarnya.”
“Mmm…” Adrian bergumam. “Kamu masak sendiri?”
“Iya.”
“Masak apa? Bukan tumis rebung, kan?”
Azalea memutar bola matanya. “Kamu setrauma itu ya sama tumis rebung buatan aku? Apa
rasanya emang se-nggak enak itu?”
“Bukan gitu.” Adrian berusaha mencari alasan walau faktanya, tumis rebung yang
dibawakan Azalea minggu lalu dalam kotak makan siangnya memang masakan Azalea dengan

90 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
rasa paling absurd. “Rasanya nggak sejelek itu, kok. Cuma aku kan emang nggak suka
rebung.”
“Halah, pada dasarnya kamu emang nggak doyan sayur.” Azalea mendengus. “Tapi hari ini
aku nggak masak rebung. Aku bikin sambel ati-kentang-pete, perkedel jagung sama kangkung
rebus buat kamu. Khusus untuk kangkung rebusnya harus dihabisin. Kalau nggak, nanti Acil
marah.”
Adrian menarik napas, lalu berujar. “Iya, Sayang. Iya.”
“Tapi emangnya kamu mimpi apa, sih?”
“Nggak apa-apa. Lupain aja.”
“Yaudah kalau kamu emang nggak mau cerita.” Perhatian Azalea teralih pada lukisan
setengah jadi yang terpampang di depannya. “Kamu nggak melukis aku ya?”
“Nggak.”
“Ini pesenan klien?”
“Nggak juga.”
Azalea mengerucutkan bibir. “Ih, kok nggak ngelukis aku?”
“Hm, emangnya aku harus selalu melukis kamu?”
“Bukan gitu.” Azalea meremas-remas jarinya, membuat Adrian terkekeh karena menurutnya
tingkah Azalea sangat cute. “Tapi biasanya kan kamu ngelukis aku.”
“Untuk lukisan yang ini, nggak. Coba tebak, aku ngelukis siapa?”
“Siapa?”
“Tebak.”
“Bukan Aries, kan?” Pandangan Azalea berubah jadi mematikan. “Kalau kamu sampai
ngelukis dia—”
“Aku bingung ini bawaan bayi atau emang karakter kamu,” Adrian berdecak. “Tapi aku
nggak melukis Aries. Aku melukis… seseorang yang lebih spesial lagi. Masa kamu nggak
nyadar sih? Coba kamu perhatiin dulu.”
Ucapan Adrian membuat Azalea memiringkan wajah dan mengamati lukisan setengah jadi
tersebut dengan teliti. Kemudian, dalam hitungan detik, kesadaran menghantamnya dengan
telak. Diantara gambar kasar kelopak bunga, Azalea melihat gurat-gurat yang membentuk
lukisan seorang bayi. Posisinya meringkuk seperti posisi janin dalam kandungan, lengkap
dengan lukisan tali pusar di bagian perutnya. Di sekelilingnya, ada warna jingga pastel yang
meengelilingi, membuat lukisan tersebut terkesan begitu lembut.
“Kamu…”
Adrian membungkukkan badan, menyentuh perut Azalea dengan telapak tangannya diikuti
satu tarikan senyum lebar yang membuat kedua matanya membentuk lengkungan serupa bulan
sabit. “Lukisan pertama Papa buat Acil.”
“Untuk pertama kalinya, Papa bikin Mama cemburu sama Acil.” Azalea menyahut sambil
menyeka bawah matanya sebelum dia betul-betul menangis karena haru.

91 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r
“Biarin. Biar Mama terbiasa.” Adrian terkekeh, kemudian melanjutkan. “Anak Papa harus
kuat ya. Pokoknya anak Papa nggak boleh kenapa-napa. Anak Papa nggak boleh cengeng, jadi
nanti bisa bantuin Papa ngejagain Mama.”
Azalea tersenyum lembut. “Anak Mama harus pintar juga, biar bisa bantu Mama ngejagain
papanya dari perempuan-perempuan ganjen di luar sana.”
Jawaban Azalea membuat Adrian tertawa. Lantas dia sengaja berlutut, membiarkan
telinganya melekat pada perut Azalea seperti tengah berusaha mendengar respon calon
anaknya dari dalam sana. Lalu secara tidak terduga, laki-laki itu mengecup pelan perut Azalea
dengan penuh kasih. “Papa loves you. Mama loves you. But take your time in there to grow,
okay? Be healthy. Be strong. Papa and Mama will see you when the time comes. Deal, Kiddo?”
“Namanya Acil, bukan Kiddo. Dia kan nggak terbuat dari Kinderjoy.” Azalea protes.
“Aku lebih suka Kiddo.”
“Pokoknya namanya Acil!”
Adrian kembali berdiri, lalu memeluk Azalea erat-erat sambil berjanji dalam hati bahwa dia
tidak akan membiarkan satu pun peristiwa dalam mimpinya barusan menjadi nyata. “Iya,
Sayang. Iya.”
Azalea tertawa gembira sebelum balik melingkarkan lengannya pada tubuh Adrian,
mendekap suaminya erat-erat dan membiarkan dirinya lebur dalam pelukan hangat.

92 | A L i t t l e L o n g e r T h a n F o r e v e r

Anda mungkin juga menyukai