Anda di halaman 1dari 6

Kapan Nikah?

Kaca kamar mandi yang berembun disertai bunyi derasnya shower dengan
air hangat, aku mematikannya, membungkus rambutku dengan handuk dan
mengusap kaca itu. Aku berdandan dengan ekspektasi dipuji oleh pacarku yang
tampan itu. Hari sebelumnya, Bagus mengajak ku untuk yang di katakan anak
muda, “ngedate”, tentu aku harus menyiapkan nya dong. Entah sudah berapa
baju yang aku keluarkan dari lemari ku, dress merah terlalu mencolok untuk
kencan orang setua ku, apalagi jika ia tiba-tiba melamarku.
Tak tau cara memakai make up, dan hanya menaburi beberapa bedak
dengan lipstick yang agak pucat. Ke-218 kali aku melihat kaca, melihat
penampilanku, apakah dia akan menyukainya, aku selalu berpikir berlebihan toh
nanti dia akan pakai celana pendek setara kolor itu, dasar Bagus. Seperti di
cerita-cerita, ternyata Bagus sudah menunggu di bawah dengan mobil sedan tua
itu. Ku meneriakinya dari balkon
“Tunggu!!”, karena aku tahu ia sudah terbiasa dengan aku yang begini.
Seketika ku keluar rumah, angin kencang hampir saja menerbangkan rok
ku ini, di depan ada Bagus dengan kemeja putih dan celana yang rapi.
Kesurupan apa pacarku ini, biasanya juga cuma pakai kaos oblong. Terlentas
keanehannya, salting langsung membanjiri ku apalagi senyum licik yang ia
berikan kepadaku seolah-olah berbicara “Bagaimana, ganteng kan aku?”.
Sebenarnya walaupun sudah 8 tahun kami pacarana entah aku masih agak
cangggung dengan dia, dasar Bagus. Kursi mobilnya yang sudah berkali-kali
diduduki membuat aku semakin mendelep ke bawah. Aroma parfum nya
memenuhi mobilnya, sudah kusuruh untuk ganti parfum namun masih bandel.
Bagus bilang kemarin ia ingin mengajakku bertemu dengan temannya, jadi
ini itu bukan date, ya aku aja yang berlebihan.
“Kamu tidak apa-apakan bertemu rekan kerjaku?” kata dia.
Sebenarnya aku tidak perduli dengan temannya itu, aku hanya ingin jalan-
jalan dengan pacarku ini.
“Tidak apa-apa, Gus. Toh sekalian jalan-jalan” ku menjawabnya.
“Halah, kamu modus saja” bilangnya mencubit pipiku.
Karena sudah lama berpacaran kami semakin jarang ngobrol berduaan
apalagi di mobil. Kepalaku bersandar di pintu mobilnya, dan kembali
merenungkan apa yang selama ini aku perdebatkan dengan nya. Tentu
hubungan 8 tahun pasti aka nada lanjutannya, atau hanya begini terus. Bagus itu
orang nya sibuk, mangkanya aku ingin sekali jalan dengan dia berdua
kemanapun itu. Ditengah keheningan aku dan pacarku, kucing hitam yang tiba-
tiba muncul di tengah jalan mengagetkan kita berdua, hampir tergulinglah mobil
sedan tua ini. Hampir saja jantung copot, tanpa pikiran bibirku langsung
mengeluarkan kalimat
“Masa belum nikah udah mau mati saja sih…”
Ya, aku mengkode pacarku yang tua ini. Namun kupingnya itu seperti di
tutupi batu kubur Yesus yang hanya malaikat yang dapat menggulingkannya.
Tak lama, kami datang ke tempat makan yang bisa dibilang cukup mahal
namun tak semahal The Voyage dimana ada steak sejuta, bisa gila. Tidak bisa
dibilang romantis jika Bagus ini tidak membukakan pintu mobil untuk
pacarnya, dasar lelaki bego. Suasana hatiku yang sudah terlanjur rusak di awal
kencan yang bukan kencan ini sedikit mendobrak pintu mobil nya, aku tau apa
yang aku lakukan bodoh, mengkode keras pacarku ini. Tak menunggu tuk
dibukakan pintu, kekesalanku masih membanjiri menyerobot masuk tempat
makan itu.
“Kamu mau kemana, memangnya kamu tau dimana temanku?”
Dasar sok tau, aku berdiri diam melihat ke arahnya dengan sedikit rasa
sinis. Tiba-tiba tangannya itu meraih tanganku dan menarikku ke arah teman
sepekerjaanya itu, namun jika ku lihat dari penampilan teman Bagus, memang
ya pacarku ini paling tak normal, disamping membawa pacarnya untuk kesini
temannya itu juga ada yang membawa wanita, terlihat lebih muda dari ku,
namun perawakannya sangat dewasa.
“Maaf ya lama menunggu, tadi di jalan ada sedikit kendala”, halah,Gus,
orang akunya yang lama, jalan di salahin.
Aku selalu duduk di sebelah pacarku, kelihatannya sedikit introvert. Aku
mendengarkan mereka berbicara, sesekali melihat ke arah wajah Bagus yang
tampan ini, dari pada tampannya hilang mending ayo cepet nikah, Gus.
Kebetulan sekali, teman pacarku ini sudah tunangan dilihat dari cincin mereka
yang menyilaukan mataku dengan kecemburuan. Dari tadi aku diam saja, si
Bagus ini cuekin pacarnya apa gimana sih, aku juga ingin nimbrung kali.
“ Cincin yang bagus, dimana kau mendapatkannya?” sok asik sekali diriku
ini.
“Terimakasih, ini cincin lamaranku, aku akan menikah bulan depan..”
jawab wanita itu dengan sangat halus.
Api kecemburuan sudah tercium dari radius 100 meter, entah kenapa
pacarku ini tidak menolehkan kepala sesedikitpun, seperti tidak perduli, ia tetap
lanjut ngobrol saja dengan rekan yang minum esspreso di sore hari. Pacarku
yang hanya membawaku sebagai pacarnya bukan sebagai tunangannya tampak
bangga dengan dirinya. Tentu aku tak tinggal diam mendengarkan ia berbicara
saja, tunangan teman Bagus ini juga asik diajak berbicara. Dari sekian
banyaknya obrolan aku dengan wanita ini, hanya ada satu perbincangan yang
membengkokkan perhatian Bagus, wanita itu bertanya kepada nya,
“Kalian kapan nikah?”, itu dia, pertanyaan yang selama ini aku sudah
pendam di lubuk hatiku yang paling dalam. Aku tak tau apa yang akan
dikatakan pacarku kepada wanita itu, tapi ternyata jawabannya,
“Kami masih memikirkannya, hanya tinggal menunggu waktu saja.”
Apa katanya, menunggu waktu, apa dia sudah gila, jadi menurutnya 8
tahun ini kami ngapain aja. Setelah ia menjawab, pikiranku terdiam, aku tak tau,
namun perkataannya itu membuatku merasa campur aduk, benci, marah,
kecewa dan sebagainya. Namun dalam dunia nyata aku hanya tersenyum
kepada temannya itu, tak tau harus berbuat apa. Aku tetap mengikuti alur yang
telah di ciptakan, terus mengobrol dengan pikiran yang entah kemana, bisa bisa
nya si Bagus ketawa-ketawa sehabis mengatakan itu. Beruntungnya situasi,
matahari sudah mulai terselimuti garis bumi, Bagus yang beranjak dari tempat
kursinya menandakan sudah usai pertemuan ini, ditutup dengan salaman kecil
antara kami.
Aku diam, dari depan tempat makan sampai di dalam mobil. Aku sudah
masuk mobil duluan dan ia masih saja berbincang kecil lagi di tempat parkiran.
Tak lama, ia masuk ke mobilnya dimana ada pacarnya yang melipat tangannya
di depan dada dan melihat ke arah luar jendela mobil, seharusnya ia sudah sadar
bahwa pacarnya ini marah.
“Setelah ini, ikut aku ya..”
Tiba-tiba saja dia ingin mengajakku ke suatu tempat lagi, tapi aku sudah
tak bersemangat lagi.
“Mau kemana lagi?, aku tidak mau jika bertemu dengan temanmu lagi,
atau mungkin kali ini siapamu, bos mu?” ya mungkin aku jawab dengan nada
yang sinis untuk membuatnya sadar.
“Kau kenapa?”
Aku diam sejenak, meluruskan pikiran.
“Berapa umurmu sekarang, Gus?”
“ tiga puluh, kenapa?”
“ Dan aku sekarang sudah dua delapan tahun, jadi?”
“Jadi apa?”
Aku menatapnya tajam dan dia yang siap memasukkan kunci mobilnya.
Dan dengan rasa tak bersalah ia menjawab,
“Oh, kamu sudah tua ya?”
Cukup sampai situ saja, dasar pria bangsat. Aku tak memikirkan apapun,
aku hanya bilang “Terserah!”. Ya, kesannya klasik sekali jika perempuan sudah
berkata itu. Ku buka pintu mobilnya dan berjalan ke belakang tempat makan itu
entah ada apa di sana, namun dari situ dapat terlihat matahari yang sedang
tenggelam. Aku jalan sambil mengehantakkan kaki seperti orang marah,
memang aku marah. Bagus dari tempat parkiran meneriaki ku.
“Hey, kamu mau kemana?!!”
Tentu aku terus jalan terus tak memperdulikannya. Namun jalanku
terpaksa berhenti karena memang disitu hanya ada taman kecil di batasi oleh
pagar, dengan pemandangan langit sore. Mengapa hari ini jadi seperti ini?, aku
terdiam melihat ke arah matahari. Dari belakang, Bagus menghampiriku,
“Apa yang kau lakukan di sini?, ayo kita pergi, nanti keburu malam”
Hanya diam saja aku, tak menjawabnya. Namun tangannya itu
membalikkan badanku yang tak ingin melihat dia.
“Kau ini sebenarnya kenapa?”
Ia bertanya dengan nada yang sedikit kesal memang, aku pun tak mau
kalah oleh nya.
“Apa yang tadi kau katakan pada temanmu itu, tidakkah kamu berpikir,
Gus?” nadaku naik sedikit dari dia.
“Tentang apa?, tentang nikah-nikah tadi?”
“Itu kamu tau, Gus, apa yang akan kamu lakukan dengan hubungan kita,
bukankah kita sudah menjalani ini lebih dari 8 tahun, bukankah seharusnya kita
harus melanjutkannya, apa karena kamu tidak mau menikah dengan ku?”
emosiku sudah kacau.
“Apa yang kau maksud?, kau tidak usah pikirkan pertanyaan mereka, itu
tidak penting”
Beraninya dia
“Apa maksud kamu?, hubungan kita tidak penting begitu?, aku ingin
menua bersamamu, bukannya menua menunggumu!”
Aku tahu Bagus ini sangat sabar menghadapi ku, mengapa ia begitu?,
mengapa ia terus bersabar.
“Sebaiknya kamu bersabar dulu, ini hanya tinggal menunggu waktu..”
“Itu saja yang dari tadi kamu ucapkan, Gus. Aku terus dimintai untuk
sabar, ini bukan pertama kalinya kita membicarakan soal ini. Mau menunggu
waktu sampai kapan lagi?, sampai aku atau kamu mati?”
Di sini aku mencoba sekuat tenaga agar tidak menangis, mungkin bisa
dibilang aku selalu melebih-lebihkan.
“Aku serius, Gus..”
Kata-kataku sudah mulai lelah, ia tiba-tiba mendekatkan dirinya kepadaku,
ia menarik nafas, entah kenapa ia terlihat tenang sekali.
“Aku juga serius, aku berkata bahwa hanya tinggal menghitung waktu,
namun kau selalu tidak sabar, tapi kamu harus tau, bahwa aku juga selalu tidak
sabar. Aku tidak sabar untuk menjadikanmu istriku, tidak sabar melihatmu
berjalan menuju altar gereja dengan gaun putih panjang, dan tak sabar menjadi
satu atap dengan mu. Kau tak perlu khawatir pada waktu yang terus berjalan.
Coba saja kamu bersabar sedikit lagi…”
Lagi-lagi aku disuruh bersabar.
“ Karena sebenarnya kencan kita belum selesai, seharusnya setelah dari
sini, kita menuju ke restoran yang selama ini aku sudah reservasi satu minggu
sebelumnya, The Voyage. Disitu aku ingin melihatmu memakan daging satu juta
itu, aku ingin melihatmu menikmati kue coklat mereka yang sangat manis itu.
Kemudian setelah kau memakan kue coklat itu, aku ingin berlutut sambil
mengeluarkan cincin pernikahan kita, dan melamarmu disana, aku tahu lamaran
jenis itu sudah sangat biasa. Coba saja kamu bersabar sedikit lagi, namun kamu
memaksamu untuk melakukannya sekarang…”
Kata-katanya sangat menenangkan ku, entah itu nadanya atau isi kata-kata
itu sendiri. Aku tak membayangkan kejadian ini terjadi secara medadak.
Bagaimana ini, aku melihat ia merogoh sakunya dan mengeluarkan satu kotak
putih.
“Ini kan ketidaksabaranmu?”
Orang yang sudah kupacari selama delapan tahun ini tiba-tiba saja
melilitkan tangannya ke pinggangku untuk mendekatkan kami. Apa ini, kenapa
tiba-tiba begini, apa aku harus senang atau merasa bersalah. Tak sadar air
mataku sudah mulai memburamkan penglihatanku, jadi selama ini hanyalah
ketidaksabaranku, dasar bodoh. Cengengnya aku cuma bisa menangis di
hadapan orang yang sedang melamarku. Tangan Bagus melepaskan pinggangku
dan mengusap air mataku dan satunya lagi masih memegang kotak dengan
cincin yang selama ini aku harapkan.
“Lihat, aku sudah melamarmu, tapi kamu malah menangis, aku sudah tidak
sabar, sayang. Ayo jawab.”
Ini adalah cara paling ampuh untuk meredakan rasa marah seorang
perempuan. Cincin itu dibuat lebih indah dengan pancaran matahari yang
sehabis ini tenggelam. Mungkin makan malam dengan makan steak adalah
kencan yang romantis, namun ini lebih baik, maafkan aku ya Gus
Aku terima lamaranmu.

Magelang, 2 April 2023

Anda mungkin juga menyukai