Anda di halaman 1dari 7

Orang Bugis Pandai Menyembunyikan Maksud

:: M Aan Mansyur ::

Aksara Lontara.
Puisi Bugis yang terdiri atas beragam jenis, merupakan salah satu kekayaan sastra lokal yang
unik, meski kini kian tak dikenali. Salah satunya adalah elong maliung bettuanna, atau sajaksajak yang menyimpan makna tersembunyi. Citizen reporter M Aan Mansyur melakukan riset
atas sejumlah jenis puisi ini, dan mengajak kita menelusuri makna-makna tersembunyi di balik
sejumlah elong. (p!)
Selain La Galigo, epos-mitos Bugis yang bisa jadi adalah karya sastra terpanjang di dunia,
mungkin tak banyak lagi karya sastra Bugis yang kita ketahui. Padahal, menurut Roger Tol
dalam sebuah artikelnya, selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas
karya sastra Bugis sangat menarik untuk terus diperbincangkan.
Salah satu jenis karya sastra Bugis adalah elong. Meskipun secara harfiah elong berarti lagu,
tetapi dalam pembahasan sastra elong dimaksudkan sebagai satu jenis puisi.
Menurut Salim (1990:3-5) sedikitnya ada 14 jenis elong, yang bisa dibedakan menurut isi
(keluarga, agama, nasehat dan hiburan), peristiwa (lulabi, perang, pernikahan, melamar, dll)
dan kepelikan atau keanehannya (bentuk dan permainan bahasa). Contoh-contoh elong bisa
ditemukan dalam beberapa buku yang ditulis oleh Muhammad Salim, Muhammad Sikki,
Rahman Daeng Palallo, dan paling komprehensif ditulis oleh B.F Matthes.
Ada sebuah jenis elong yang belum banyak dibahas namun justru sangat menarik yaitu elong
maliung bettuanna. Maliung sebenarnya berarti dalam dan bettuanna berarti artinya atau
maknanya. Frase maliung bettuanna dalam jenis puisi ini berarti susah ditemukan maknanya.
Dengan kata lain, puisi dengan makna tersembunyi (Palallo, 1968, 11:7).
Bukankah semua puisi memang menyembunyikan maknanya? Betul. Tetapi, ternyata ada yang
berbeda dalam jenis puisi Bugis ini. Selain menggunakan simbol atau majas tertentu, jenis
puisi ini menggunakan satu (permainan) bahasa yang disebut Basa to Bakke (yang tidak akan
ditemukan dalam jenis puisi lain) untuk menyembunyikan makna. Secara harfiah Basa to
Bakke berarti bahasa orang-orang Bakke. Tetapi dalam pengertian puisi ini frase itu berarti
permainan bahasa orang-orang Bakke. Bakke di sini merujuk kepada Datu Bakke atau
Pangeran (dari) Bakke. Daerah Bakke terletak di Soppeng. Sang pangeran konon dikenal

sebagai tokoh yang intelek dan sangat pandai berbahasa. Selain dalam elong maliung
bettuanna, Basa to Bakke juga ditemukan dalam puisi sejarah abad ke-20 Tolona Arung
Labuaja (Tol, 1992, 148:85).
Tiga Langkah Menyingkap Makna
Vopel (1967:3) mengatakan bahwa kemungkinan puisilah bahasa paling rumit di dunia ini.
Disebut paling rumit karena puisi menghendaki kepadatan (compactness) dalam
pengungkapan. Kepadatan ini tidak hanya tercermin lewat kata-kata yang memiliki bobot
makna yang berdaya jangkau lebih luas ketimbang bahasa sehari-hari. Kepadatan juga
berperan sebagai pembangun dimensi lapis kedua seperti membangun kesan atau efek
imagery, tatanan ritmis di tiap baris, membentuk nada suara sebagai cermin sikap penulis
semisal sinis, ironis, atau hiperbolis terhadap pokok persoalan yang diangkat. Dan yang lebih
penting juga adalah membangun dimensi lain yang hadir tanpa terlihat karena berada di balik
makna literal dan atau di balik bentuk yang dipilih.
Tuntutan-tuntutan seperti itu relatif longgar pada genre sastra lainnya, semisal prosa (cerita
pendek, novel) dan drama.
Perhatikan stanza berikut ini:
Kegaena na mumaberrekkeng,
buaja buluede,
lompu walennae?
[Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?]
Sepintas lalu bentuk puisi ini mirip haiku, puisi tradisional Jepang. Namun ternyata ada
beberapa hal yang membedakannya. Puisi (teka-teki) ini sesungguhnya ingin menyampaikan
sebuah makna, yakni: yang mana lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?
Bagaimana bisa sampai begitu?
Bagi yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara Bugis memiliki keunikan.
Beberapa keunikan aksara Bugis adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal
stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Satu silabel (suku kata) jika dibaca bisa
menjadi enam jenis silabel. Contohnya, huruf untuk silabel pa bisa saja dibaca pa, ppa,
pang, ppang, pa, atau ppa. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi oleh
permainan Basa to Bakke dalam elong maliung bettuanna .
Dalam satu elong yang disebutkan tadi, langkah pertama untuk menyingkap maknanya telah
dilakukan. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan. Ada dua frase dalam puisi
itu yang harus diperhatikan, buaja bulueede dan lompu walennae. Buaja buluede berarti
buaya gunung dan lompu walennae berarti lumpur sungai.
Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan dari
pernyataan (frase) yang telah ditemukan. Buaja buluede (buaya gunung) dalam puisi itu
merujuk kepada macang (macan) dan lompu walannae (lumpur sungai) merujuk kepada kessi
(pasir).
Jika hanya sampai di sini, puisi itu berarti yang mana yang lebih kau suka, macan atau pasir?
Tetapi bukanlah itu yang sesungguhnya ingin disampaikan puisi tersebut. Lalu bagaimana

caranya agar tiba pada makna sesungguhnya? Kita masih membutuhkan satu langkah lagi.
Dalam tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca (cerdas) dan kessi
(pasir) sama dengan kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis ma-ca dan ke-si.
Akhirnya makna puisi itu menjadi mana yang lebih kau suka, perempuan cerdas atau
perempuan cantik? Luar biasa, kan?
Perhatikan beberapa contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata majjekko,
Anre-anrena to Menree,
atena unnyie.
[Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.]
Puisi ini sesungguhnya berarti aku mencintaimu. Bagaimana bisa demikian? Gellang riwata
majjekko merujuk kepada meng (kail), anre-anrena to Menree merujuk kepada loka (pisang)
konon Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan
atena unnyie merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam aksara Bugis
akan menjadi me-lo-ka-ri-di. Rangkaian huruf ini bisa juga dibaca melo ka ridi (aku
mencintaimu).
Tiga lapis menyingkap makna itu bisa diuraikan lebih rinci seperti berikut; lapis pertama,
mengenali frase yang menyimpan kiasan (bunyi). Dalam puisi di atas, setiap barisnya
menyimpan masing-masing satu frase untuk mengenali kiasan itu; gellang riwata majjekko,
anre-anrena to Menree, dan atena unnyie. Kiasan dari frase itu, secara berurutan masingmasing; meng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). Lapis kedua adalah bunyi meng, loka, dan
ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis selanjutnya, untuk menemukan makna, bunyi
meng dalam aksara Bugis ditulis me, bunyi loka ditulis lo-ka, dan bunyi ridi ditulis ri-di.
Untuk menemukan makna elong semua bunyi itu dirangkai menjadi me-lo-ka-ri-di. Rangkaian
bunyi itu jika dibaca menjadi meloka ridi yang maknanya aku mencintaimu.
Jika disederhanakan rumus tiga lapis menyingkap makna sebuah elong maliung bettuanna
adalah:
(1) frase ->(2) bunyi -> (3) makna.
Inungeng mapekke-pekke
balinna aseede,
bali ulu bale.
[Minuman pekat,
kebalikan atas,
kebalikan kepala ikan.]
Setelah melalui proses penyingkapan makna, puisi ini berarti saya membencimu, makna itu
ditemukan dari rangkaian kata teng, awa, dan ikko yang jika dituliskan dengan aksara Bugis
menjadi te-a-wa-(r)i-ko, aku tidak mau (benci) padamu. Frase elong itu adalah inungeng

mapekke-pekke, balinna aseede, dan bali ulu bale. Bunyi yang dihasilkan frase itu adalah teng
(teh), awa (bawah), dan ikko (ekor). Bunyi ini jika dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi
te-a-wa-(r)i-ko. Rangkaian aksara Bugis itu bisa juga terbaca teawa (r)iko (aku benci
padamu).
Nah, berikut ini satu contoh lagi. Mari kita sama-sama mencoba menemukan makna dari elong
tersebut.
Duami uwala sappo,
Wunganna panasae,
Na belo-belona kanukue.
[Dua saja pagarku,
bunga nangka,
dan cat kuku.]

Wunganna panasae merujuk kepada lempu (bunga nangka) jika dituliskan memakai aksara
Bugis, kata lempu (bunga nangka) tak berbeda dengan lempu (jujur) yaitu le-pu. Sementara
belo-belona kanukue merujuk kepada pacci (daun pewarna kuku) yang jika ditulis sama
dengan paccing (bersih) yaitu pa-ci. Jadi sesungguhnya maksud bait pendek yang mirip haiku
itu adalah: hanya dua yang aku jadikan benteng; kejujuran dan kejernihan.
Selain puitis, elong maliung bettuanna juga kelihatan rumit dan berlapis-lapis. Namun jika
menemukan rumusnya, puisi ini tidak serumit yang kita duga. Jenis puisi ini betul-betul unik.
Sungguh, alangkah pintar orang-orang Bugis (dahulu) menyembunyikan maksudnya. Dan
tentu saja, alangkah kreatifnya mereka.
Permainan Bahasa
Sesungguhnya ada pola-pola umum yang paling sering digunakan dalam permainan bahasa
orang Bakke. Basa to Bakke biasanya menggunakan tiga macam topik dalam frasenya; 1)
yang berhubungan dengan nama daerah atau tempat (geografical), 2) tentang tumbuhtumbuhan (botanical), dan 3) tentang binatang (zoological). Memang ada beberapa
pengecualian, tetapi ketiga topik itulah yang paling sering digunakan.
1. Frase berhubungan dengan nama daerah
Satu contoh frase untuk topik geografis adalah sebagai berikut:
Toddanna Tangka nataro,
toddanna Palangiseng,
nalao purai.
[Di sebelah utara Tangka dia letakkan,

di sebelah utara Palangiseng,


dia akan menyelesaikannya.]
Frase Toddanna Tangka merujuk kepada Lebureng yang juga bisa berarti perawan dan frase
toddanna Palangiseng merujuk kepada Baringeng yang jika disebut nyaris terdengar ringeng
(ringan, murahan). Elong itu kira-kira bermakna, dia mengabaikan seorang perawan lalu
menikahi pelacur. Tangka, Lebureng, Palingeseng, dan Baringeng adalah nama-nama daerah.
Beberapa frase lain yang menggunakan nama-nama daerah adalah:

Masih banyak contoh yang lain untuk frase-frase yang berhubungan dengan nama-nama
tempat atau daerah.
2. Frase tumbuh-tumbuhan
Sementara frase-frase yang mengandung tumbuh-tumbuhan, ada beberapa contoh berikut ini:

3. Frase binatang
Dan yang terakhir adalah frase-frase yang berhubungan dengan binatang, di antaranya:

Ternyata bahasa Bugis bisa menjadi permainan yang menarik. Keunikan bahasa seperti itulah
yang membuat puisi Bugis menjadi berbeda dibandingkan jenis puisi lainnya. Meski elong
maliung bettuanna tak lagi pernah diperkenalkan, meliriknya kembali bisa menjadi alternatif.
Puisi Bugis ini bisa menjadi jawaban atas kejenuhan banyak kritikus sastra yang menganggap
puisi modern Indonesia diperangkap oleh segelintir nama besar seperti Sapardi Djoko Damono
dan Goenawan Mohamad. Kekuatan elong maliung bettuanna adalah ketercapaian dan
keseimbangan dua kekuatan, bentuk dan isi, hal yang semakin susah ditemukan oleh penyair
.kontemporer
Tak banyak bentuk puisi yang mampu mengawinkan bentuk dan isi seperti yang diperlihatkan
.oleh elong maliung bettuanna
Telah disadari oleh para penyair Bugis terdahulu bahwa puisi sangat penting peranannya
sehingga harus dibuat sedemikin indahnya. Selain aturan bunyi (fonologi) dan makna
(semantik) yang telah dijelaskan di atas, sesungguhnya elong maliung bettuanna juga menarik
untuk dilihat dari segi matra (bagan yang digunakan dalam penyusunan baris sajak yang
berhubungan dengan jumlah, panjang dan tekanan suku kata), pembentukan kata (morfologi)
dan yang tak kalah menarik adalah archaic vocabulary, pemakaian kata-kata Bugis lama yang
.(mungkin) tak lagi dikenal oleh orang-orang Bugis sekarang ini
Terbuka banyak pintu untuk masuk dan menikmati elong maliung bettuanna ini. Bagi anda
yang ingin menyembunyikan maksud dalam permainan bahasa, tak ada salahnya mengadopsi
cara yang digunakan puisi ini. Selain itu, permainan bahasa ini mungkin akan membuat Anda
mencintai kembali bahasa Bugis. Tapi untuk mencoba mengutak-atik elong, kita dituntut
.mampu membaca huruf lontara, paham budaya Bugis dan alam pikiran orang Bugis
Sayang sekali, orang-orang Bugis sekarang tak lagi melihat arti penting sebuah puisi (elong).
Berbeda dengan William Shakespeare yang karena puisi signifikan baginya, ia memujinya
dalam sebuah soneta yang ia tutup dengan dua baris terakhir: so long as men can breathe or
eyes can see,/so long lives this, and this gives lives to thee. Sepanjang manusia masih
bernafas, atau mata masih mampu memandang, akan selama itu pula puisi tetap lestari dan ia
akan memberimu kehidupan yang bermakna.(p!)
:Referensi

Fachruddin Ambo Enre, 1983, Ritumpanna Weelenrennge, telaah filologis sebuah Episode .Bugis klasik, Jakarta: Universitas Indonesia
.Goenawan Mohamad, 2004, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, Jakarta: Alvabet Kennedy, J.X, 1991. Literaure: an Introduction to Fiction, Poetry and Drama, (Fifth Edition). .New York: harper Collins Publisher
Mattulada, 1985, Latoa; satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Muhammad Salim, 1969-71, Transliterasi dan Terjemahan elong Ugi (kajian naskah Bugis), Ujung pandang: Departemen P dan K, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
.Sulawesi Selatan
Muhammad Sikki, dkk, 1978, Terjemahan beberapa naskah lontara Bugis, Ujung Pandang: .Balai Penelitian Bahasa
.Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar Perrine, Laurence, 1974, Literatre: Structure, Sound and sense. (Second Edition). New York: .Harcourt Brace Javanovisch Inc
Rahman Daeng Palallo, 1968, Bahasa Bugis; Dari hal elong maliung bettuanna (pantun jang .dalam artinya), Bingkisan I
Siswantoro, 2002, Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris, Surakarta: Muhammadiyah University .Press
Tol, Roger, 1992, Fish Food on a Tree Branch; Hidden Meanings in Bugis Poetry, Leiden: .Bijdragen tot de Taal-land- en Volkenkunde 148 : 82-102

Anda mungkin juga menyukai