Anda di halaman 1dari 11

Madekur dan Tarkeni : Potret Masyarakat Urban 1

Agung Dwi Ertato, 0806353330

Pendahuluan

Sastra tidak diciptakan bagitu saja atau dalam bahasa puitik jatuh dari langit.

Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dipelajari oleh masyarakat. 2 Drama

merupakan bagian dari karya sastra. Drama adalah semua teks yang bersifat dialog-

dialog yang isinya membentangkan sebuah alur. Kekhasan drama adalah bentuknya

yang berupa percakapan atau dialog. Dialog-dialog membentuk sebuah kepribadian

sehingga drama sah sebagai karya sastra disamping puisi dan prosa. Karya sastra—

drama3—pada hakekatnya adalah suatu bentuk pengungkapan kehidupan melalui

bahasa. Sastrawan—orang yang menciptakan karya sastra—menggunakan

pengalaman kehidupannya sebagai bahan sastra. Dengan demikian, suatu kehidupan4

tertentu yang dialami oleh sastrawan dengan sendirinya akan melahirkan suatu jenis

karya sastra. Sastra sangat berkaitan dengan masyarakat.

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi

kemasyarakatan disebut sosiologi sastra. Hubungan antara sosiologi dengan sastra

1 Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Pengkajian Drama

2 Sapardi Djoko Damono,Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), 1.

3 Drama dalam hal ini berbentuk naskah sedangkan naskah yang dipentaskan adalah teater.

4 Kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antara
masyarakat dengan-orang seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin
seseorang.

1
adalah sosiologi menitikberatkan pada unsur luar sebagai latar belakang diri

pengarang dan karyanya. Masyarakat merupakan faktor yang menentukan apa yang

harus ditulis orang, bagaimana menulisnya, untuk siapa karya sastra ini ditulis, apa

tujuan dan maksudnya. Pendekatan sosiologi sastra inilah yang akan dipakai dalam

mempelajari drama “Madekur dan Tarkeni”.

“Madekur dan Tarkeni” merupakan bagian dari pentalogi Orkes Madun5

karya Arifin C Noer (ACN). “Madekur dan Tarkeni” merupakan cerita—drama—

berbingkai. Drama “Madekur dan Tarkeni”menceritakan rombongan pemain

sandiwara dan orkestra sedang memainkan atau mementeskan cerita. Cerita tersebut

mengisahkan tentang Madekur dan Tarkeni yang sedang jatuh cinta. Mereka adalah

kaum urban yang tinggal di kota besar. Madekur (pencopet) dan Tarkeni (pelacur)

bertemu di pelacuran kota besar. Madekur ingin menikah dengan Tarkeni namun

Tarkeni tidak mau menikah tanpa persetujuan orangtuanya. Madekur dan Tarkeni

pulang ke desa untuk meminta restu kepada orangtua mereka. Baik orang tua

Madekur maupun Tarkeni tidak mengijinkan anak mereka menikah dengan

pencopet/pelacur. Bahkan, orangtua Madekur akan memutuskan ikatan keluarga jika

Madekur menikah dengan Tarkeni. Madekur tetap menikah dengan Tarkeni dan

memilih untuk memutuskan tali keluarga dengan orangtuanya. Setelah menikah,

Madekur mencukupi kebutuhan keluarganya dengan tetap mencopet dan Tarkeni

tetap melacur. Orangtua Madekur yang sebelumnya hidup dari uang hasil copetan

Madekur akhirnya menyesal. Mereka memutuskan untuk pergi ke kota mencari

5 Orkes Madun karya Arifin C. Noer merupakan pentalogi. Orkes Madun terdiri dari Madekur dan
Tarkeni, Umang-umang, Ozone, dan Sandek, Pemuda Pekerja.

2
Madekur. Mereka menuju kantor gubernur karena d.ulu Madekur mengaku sebagai

gubernur. Mereka tidak diterima dengan baik oleh penerima tamu di kantor Gubernur.

Orangtua Madekur akhirnya hidup menggelandang karena tidak punya uang lagi

sambil mencari anaknya. Tarkeni akhirnya menderita penyakit kelamin karena

profesinya sebagai pelacur. Madekur tetap menerima istrinya apa adanya. Bahkan

Madekur menunjukkan kesetiannya dengan berhubungan suami-istri walaupun sudah

tahu istrinya menderita penyakit kelamin. Madekur dan Tarkeni meninggal dunia

karena penyakit tersebut. Orangtua Madekur akhirnya menemukan anaknya

meninggal dunia di dalam tumpukan sampah.

Madekur dan Tarkeni : Potret Masyarakat Urban

Karya sastra—baik prosa maupun drama—mempunyai unsur penunjang

yaitu tokoh, alur, dan tema. Dalam drama “Madekur dan Tarkeni” tokoh sentral

adalah Madekur dan Tarkeni. Kedua tokoh ini membentuk cerita yang

menggambarkan kehidupan masyarakat urban di kota besar. Struktur sosial di kota

menjadi fragmen besar yang diangkat ke permukaan oleh ACN.

Kota merupakan daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan penduduk

yang tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar

pertanian.6 Di dalam kota terdapat masyarakat yang membentuk struktur sosial.

Dalam ilmu sosiologi struktur sosial adalah pola-pola nyata hubungan atau interaksi

6 KBBI ed.3, 2007, hal 597.

3
antara berbagai komponen masyarakat—pola-pola yang relatif bertahan lama karena

interaksi-interaksi tersebut dengan cara yang kurang lebih terorganisir.7

Dalam drama “Madekur dan Tarkeni”, gambaran struktur sosial masyarakat

kota sangat jelas terlihat. Gambaran masyarakat kota yang terdiri dari berbagai

lapisan masyarakat. Gambaran yang paling jelas ditampilkan adalah masyarakat kecil

—pemulung, pencopet, pelacur, dan gelandangan. Perhatikan kutipan berikut ini.

BADUT PERTAMA : […] Nah, sekarang silahkan mengacungkan


tangan siapa-siapa yang berhati lara.

SERENTAK SEMUANYA MENGACUNGKA TANGAN, KECUALI


YANG BUNTUNG TADI TENTU DAN SEORANG YANG TULI
DAN BISU (BARU KEMUDIAN TIRU-TIRU). SI BUNTUNG
TAMPAK BETAPA IA MENDERITA LANTARAN TIDAK MAMPU
MENYATAKAN IHWAL DERITANYA. KELIHATAN IA MAU
PROTES TAPI KETIKA IA INGAT AKAN ‘LANGIT ITU’ IA
KEMUDIAN HANYA LANGAK LONGOK GERAK SETENGAH
MENANGIS, SEMENTARA SI BISU SESEKALI
MEMPERHATIKAN TERSENYUM (SEBELUMNYA IA JUGA
MENDERITA KETIKA ORANG-ORANG MENERIAKAN
SUARANYA). AKHIRNYA SI BUNTUNG NGGAK TAHAN DAN
BICARALAH HATI-HATI KEPADA ORANG DI DEKATNYA.

SI BUNTUNG : Saya lara.

(Noer : 5-7)

Kemiskinan menjadikan orang-orang seperti “Si Buntung” kehilangan harapan.

Mereka hanya bisa memaki-maki semesta atau bahkan Tuhan. Kekesalan terhadap

kehidupan, semesta, dan Tuhan dapat dilihat dalam kutipan berikut.

KEMUDIAN SEMUANYA MEMPERDENGARKAN SUARANYA


YANG MENURUT MASING-MASING ADALAH BAHASA KELUH
DAN PENGADUAN. […]

BADUT PERTAMA: Kau saksikan sendiri, Tuhan saya tidak


mempengaruhi sedikit pun mereka dalam
demonstrasi dan pengaduan ini. Mereka
berkumpul di sini karena di sini biasa mereka

7 Achmad Fedyani, Ph.D, Antropologi Kontemporrer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma,
(Jakarta : Pranada Media, 2005), 156.

4
berkumpul, maklum ini pasar. Mereka
mengacungkan tangan mereka karena mereka
ingin mengacungkannya. Dan sesuai dengan
anjuranMu dalam semua buku-buku karanganMu,
saya bersama-sama mereka setiap kali
menghadap kepadaMu mengadu sambil mengadu
untung kalau-kalau kejatuhan reze…..rezekiMu.
Kau sendiri yang memanggil kami, dan kami
memenuhi panggilanMu.

Kalau sekarang mereka telah menurunkan tangan


mereka, itupun, saya yakin, lantaran kemauan
mereka sendiri. Selama ini saya hanya sekedar
bertanya. Coba. (KEPADA SESEORANG)
Kenapa kamu menurunkan tangan?

BADUT KEDUA : Karena saya cape.

BADUT PERTAMA: Kau dengar sendiri, Tuhan, apa katanya. Cape.


Coba lagi (KEPADA SEMUA) Siapa yang
merasa cape acungkan tangan!

(Noer : 9-7)

Realita lain yang ditampilkan dalam drama ini adalah ketertarikan

masyarakat rural (desa) yang ingin mencari nafkah ke kota. Masyarakat desa

umumnya tidak mempunyai keahlian tertentu. Mereka hanya menjadi bagian kecil

dari kota yang jika tidak kuat akan dianggap sebagai sampah masyarakat. Perhatikan

kutipan berikut.

Satu

Ada seorang pemuda / Madekur namanya


Asal dari desa / tinggal dan cari nafkah / di Jakarta
Sebagai normalnya orang Jakarta / bagus dandanannya
Cacat muka tidak / tampan tidak / sedeng namanya

Ada seorang pemudi Tarkeni namanya


Asal dari desa, tinggal dan cari nafkah di Jakarta
Sebagai normalnya orang Jakarta bagus dandanannya
Cacat muka tidak, cantik tidak, sedeng namanya

[…]
(Noer : 18-19)

Tiga

5
Madekur seorang pencopet
Lantaran di Jakarta ia tergencet
Bulan dari Jatibarang yang ia kepit
Bersama kertas ijasah di ketiaknya
Lusuh dan kehilangan cahaya

[…]

Adapun Tarkeni seoarng pelacur


Lantaran di Jakarta tak mau dikubur
Bulan dari Jatibarang yang ia bawa
Bersama kertas ijasah dalam kertas plastiknya
Lusuh dan kehilangan cahaya

[…]
(Noer : 23-24)

Kehidupan percintaan masyarakat kelas bawah juga digambarkan dalam

drama ini. Kisah cinta yang sederhana dan tidak dilebih-lebihkan. Perhatikan kutipan

berikut ini.

MADEKUR : Sekarang jawab. Bagaimana kalau kita kawin


saja?

TARKENI : Jangan kayak anak-anak, ah.

MADEKUR : Saya serius dan umur saya sudah duapuluhlima,


neng.

TARKENI : Saya duasatu.

MADEKUR : Nah, apalagi? Pekerjaan saya sudah punya.

TARKENI : Saya juga punya.

MADEKUR : Lebih bagus lagi. Dan lebih dari itu ketika kita
kecil kita pernah jadi pengantin-pengantinan.
Dan saya kira saya masih cinta sama kamu.

TARKENI : Kalau saya tidak?

MADEKUR : Belakangan ‘kan bisa?

(Noer : 22-23)

Penolakan-penolakan terhadap pencopet/pelacur merupakan hal yang biasa.

Anggapan masyarakat tentang buruknya pencopet/pelacur tergambar jelas. Drama ini

6
memperlihatkan realitas sosial tentang masyarakat urban. Drama ini juga mengkritik

pemerintah tentang kebijakan-kebijakan yang diambil untuk memecahkan

permasalahan-permasalahan sampah masyarakat. Perhatikan kutipan berikut.

BARU SAJA SATU LANGKAH MEREKA PORAK-PORANDA


LANTARAN DIKEPUNG OLEH POLISI DAN TEAM PENERTIB
KEINDAHAN KOTA. DAN AKHIRNYA SEMUA EKSIT.
BEBERAPA SAAT KEMUDIAN SECARA MENGENDAP-ENDAP
MEREKA MUNCUL LAGI.

SESEORANG : Ada apa tadi?

SESEORANG : Pembersihan.

SESEORANG : Saya kira gempa.

SESEORANG : Pembersihan apa?

SESEORANG : Pembersihan sampah.

SESEORANG : Sampah?

(Noer : 102)

Penolakan juga terjadi pada keluarga Madekur dan Tarkeni di desa.

Orangtua Madekur dan Tarkeni tidak setuju jika anak mereka menikah dengan

pencopet/pelacur. Penyebabnya adalah sama, pencopet/pelacur merupakan sampah

masyarakat.

AYAH & AYAH : Persetan ! (KEPADA PENONTON) Pernahkah


anda membayangkan anak anda kawin dengan
seoarang pencopet/pelacur? Sudah tentu anda
pernah skali membayangkan hal yang jelek-jelek
kalau pikiran anda sedang gurem. Tapi saya
percaya pikiran anda cukup jernih untuk
merundingkan soal ini. Anda punya seorang
anak. Bukan main senang bahagia kita melayani
dia ketika kecil sebab banyak boneka. Siang
malam kita melayani dia. Lalu kita sekolahkan
dengan harapan kelak menggantikan kita., kelak
menjadi kebanggaan kita, jadi raja kek kalau
bisa. Tiba-tiba setelah dewasa, punya pekrjaan,
punya penghasilan lumayan dia datang

7
mengutarakan niatnya akan kawin dengan
seorang pelacur/pencopet! Buat saya yang tidak
punya penyakit jantung hal ini tidak
membahayakan jiwa, dan saya bisa secara jernih
menimbang dan merundingkan dan meyakinkan,
tapi buat yang berpenyakit jantung? (KEPADA
ISTRINYA) Tidak, tidak – kamu jangan sekali-
kali membantu dia untuk memaksa saya
mengambil keputusan gila.

(Noer : 26)

Apa yang ditampilkan dalam drama “Madekur dan Tarkeni” merupakan

potret masyarakat urban. Kota terlalu angkuh terhadap masyarakat yang tinggal di

dalamnya. Banyak orang yang ingin menaklukkan kota namun pada akhirnya

masyarakat tersebut terjebak dalam keangkuhan kota. Orang yang kuat akan terjebak

arus keangkuhan kota. Mereka merasa dapat menaklukan kota namun sebenarnya

mereka hanya diperalat oleh kota. Orang atau masyarakat yang kuat akan merasa

angkuh. Mereka menganggap orang atau masyarakat yang lemah—yang tidak bisa

berkompromi dengan keangkuhan kota—sebagai sampah. Sampah yang harus

disingkirkan untuk menjaga kota agar tetap indah—angkuh.

Dalam sudut pandang masyarakat lemah, kota adalah harapan. Mereka akan

terus berusaha berkompromi dengan kota—dengan cara mereka sendiri. Harapan-

harapan hidup layak di kota yang mereka bawa dari daerah asal—desa—lambat laun

akan sirna. Keterbatasan keahlianlah yang membawa masyarakat lemah ini menyerah

pada keangkuhan kota. Masyarakat lemah ini kemudian hanya menjadi sampah

masyarakat—gelandangan, pencopet, pelacur, pemulung, dan lain sebagainya.

Sebenarnya mereka tidak menginginkan menjadi sampah namun kota memaksa

mereka untuk menyerah.

8
Permasalahan ekonomi adalah masalah paling pelik yang menimbulkan

struktur ekonomi. Struktur ekonomi mempengaruhi hubungan antarindividu dalam

bermasyarakat. Hubungan-hubungan antarindividu tersebut akan menghasilkan

struktur sosial.

Drama “Madekur dan Tarkeni” adalah kritik sosial terhadap realitas sosial

saat ini. “Madekur dan Tarkeni” mengkritik kota, terutama tatana sosial masyarakat

kota.

Orkes Madun, potret Indonesia yang menggeliat dan geliash. Berjuta


jiwa mengembara resah, terseok-seok di bumi. Begitulah Arifin C Noer
mengibaratka Indonesia 1970-an bagai “tong sampah besar, kiburan
bagi banyak impian dan harapan”. Rentetan dongeng penuh makna dan
perenungan.8

Drama “Madekur dan Tarkeni” mencoba mendekonstruksi dan

merekonstruksi tatanan sosial masyarakat kota. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan

drama berikut.

IBM : […] Dan pada suatu senja di sebuah tong sampah


perempuan tua itu mengais-ngais, tapi tong itu
kosong tong itu kosong. Tapi ibu itu terus
mengais dan mengais lantaran percaya di bawah
tong sampah itulah Madekur dan Tarkeni
terkubur. Dan benar perempuan tua itu
menemukan Madekur dan Tarkeni sedang
nyenyak tidur berpelukan. Dipandanginya anak-
anak itu, diciuminya anak-anak itu, direstuinya
anak-anak itu. Dan seketika Madekur dan
Tarkeni gaib menjelma dua daun kering yang
siap menjadi abu.
Para penonton yang bahagia, —semoga, amien.
Kemudian ibu itu berbisik pada daun-daun
kering itu :

8 N. Riantarno, Komentar mengenai Pentalogi Orkes Madun, tertulis pada sampul belakang buku
Orkes Madun.

9
“Bagaimana pun kalian adalah putra-putriku
yang terbesar bagiku……”

Kutipan tersebut menggambarkan keinginan tersirat drama “Madekur dan

Tarkeni” untuk merekonstruksi tatanan masyarakat kota. Kutipan tersbut juga

menggambarkan keikhlasan dan kebesaran hati untuk menerima seseorang yang

merupakan sampah mayarakat. Sikap tersebut memang jarang sekali terjadi namun

dalam drama “Madekur dan Tarkeni” dimunculkan untuk member harapan-harapan

dalam merekonstruksi tatana masyarakat kota.

Penutup

Drama “Madekur dan Tarkeni” merupakan potret masyarakat urban saat ini.

Dalam drama ini banyak menggambarkan tatanan sosial masyarakat kota. Tatanan

sosial tersebut membuat kota menjadi angkuh. Masyarakat yang kuat semakin

angkuh sedangkan masyarakat lemah hanya bisa pasrah dan ingin marah dengan

semesta maupun Tuhan. “Madekur dan Tarkeni” ingin mendekonstruksi tatanan

masyarakat kota dan merekonstruksi tatanan tersebut agar lebih baik. Kritik sosial

banyak disampaikan dalam drama “Madekur dan Tarkeni”.

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.


Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

10
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebagai Pengantar. Jakarta : Gramedia.

Marhaeni, Ni Made Tuti. 1991. Analisis Deskriptif, Alur, Latar dan Tema “Orkes
Madun”. Skripsi

Noer, Arifin C. 2000. Orkes Madun. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Saifuddin, Achmad Fedyani, Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritsi


Mengenai Paradigma. Jakarta : Prenada Media.

11

Anda mungkin juga menyukai