Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

Contents
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................- 1 -
BAB 1..................................................................................................................................................- 2 -
PENDAHULUAN..................................................................................................................................- 2 -
A. Latar Belakang............................................................................................................................- 2 -
B.Rumusan Masalah.......................................................................................................................- 2 -
C.Tujuan.........................................................................................................................................- 2 -
BAB 2..................................................................................................................................................- 3 -
PEMBAHASAN....................................................................................................................................- 3 -
A.Biografi Pengarang......................................................................................................................- 3 -
B.Unsur Instrinsik...........................................................................................................................- 4 -
C.Unsur Ekstrinsik...........................................................................................................................- 9 -
D.Nilai dan Moral.........................................................................................................................- 10 -
BAB 3................................................................................................................................................- 12 -
PENUTUP..........................................................................................................................................- 12 -
A.Kesimpulan...............................................................................................................................- 12 -
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................- 13 -

1
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengantar serta
refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya (Ismanto, 2003: 59).  Oleh karena itu,
kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba
menghasilkan pandangan dunianya tentang realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan
sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu.
Pernyataan di atas sesungguhnya mengandung implikasi bahwa sastra adalah sebagai
lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia ini
bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan,
aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat.
Novel karya ahmad Tohari dengan tema budaya yang berseting perjuangan hidup
seorang perempuan berhasil diselesaikan, novel tersebut berjudul “ Ronggeng Dukuh Paruk”.
Novel ini berlatarbelakang tentang sebuah kebudayaan di daerah tertentu. Bagaimana
pengaruh kebudayaan itu bagi masyarakat. Disamping itu, novel ini menjadi sebuah refleksi
bagi kehidupan bermasyarakat, yaitu dipergunakan sebagai literatur dengan pesan-pesan yang
ada di dalamnya. Pesan yang berusaha digarap oleh pengarang. Novel yang bertema
kebudayaan merupakan satu dari trilogi yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Novel ini
mengambil cerita tentang seorang ronggeng dengan kehidupannya dan bagaimana dia di
dalam masyarakat. Perjuangan seorang perempuan di dalam meniti pilihan hidupnya.

B.Rumusan Masalah
1.Mengenai pengarang novel
2.Mengenai unsur pembangun novel
3.Mengenai nilai yang ada dalam novel

C.Tujuan
1.Siapa pengarang novel RDP ?
2.Apa unsur pembangun novel ?
3.Nilai apa yang terkandung dalam novel RDP ?

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A.Biografi Pengarang

Ahmad Tohari dilahirkan di


desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatiwalang,
Banyumas tanggal 13 Juni 1948.
Pendidikan formalnya hanya
sampai SMAN II Purwokerto. Namun
demikian beberapa fakultas
seperti ekonomi, social politik, dan
kedokteran pernah dijelajahinya.
Semuanya tak ada yang ditekuninya.
Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang
mewarnai seluruh karyanya.
Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua lainnya Lintang Kemukus Dinihari dan
Jentera Bianglala), ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari
lingkungan dekatnya ke pelataran sastra Indonesia. Sesuai tahun-tahun penerbitannya,
karya Ahmad Tohari adalah Kubah (novel, 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982)
Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel, 1985), Di Kaki Bukit
Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah
Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat (kumpulan
kolom, 1994).

3
Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Cina, Belanda,
dan Jerman. Edisi bahasa Inggrisnya sedang disiapkan penerbitannya.

B.Unsur Instrinsik
Dari berbagai masalah, novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dapat dikelompokkan
menjadi dua masalah pokok, yaitu masalah budaya, adat istiadat dan keterbelakangan.
Masalah adat dalam RDP diperjelas seperti dalam kutipan berikut.
Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga laki-laki itu harus
berhenti di sini. Rasus, Warta, dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan
umbi singkong yang baru mereka cabut (RDP: 11)
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa kerja sama yang dilakukan bersama untuk
memperoleh suatu tujuan, harus berakhir ketika tujuan tersebut telah dicapai. Hal itu
dilakukan untuk menemukan pemenang, siapa yang layak memperoleh bagian yang lebih
banyak dari apa yang diperoleh, dan ketika pemenang ditentukan maka tidak ada protes
diantara mereka, karena sudah merupakan adat dari daerah Dukuh Paruk. Menanggapi hal
itu dapat disimpulkan bahwa tidak ada budaya gotong royong di RDP, yang ada hanyalah
kerja sama kemudian kemudian bersaing untuk menjadi pemenang.
Dari masalah adat ini dapat diangkat tema kebudayaan, yaitu bahwa adat
masyarakat Dukuh Paruk merupakan aturan yang harus dilestarikan oleh orang-orang
seketurunan Ki Secamenggala yang menjadi nenek moyang masyarakat Dukuh Paruk.
Novel RDP berlatar utama di pendukuhan yang bernama Dukuh Paruk. Latar
tempat ini terlihat dalam kutipan berikut.
Dua pululuh tiga rumah berada di pendukuhan itu, di huni oleh orang-orang
seketurunan. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah
dagingnya (RDP: 10)
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa latar tempat di dalam rumah novel RDP
terjadi di Dukuh Paruk sedangkan latar tempat di luar rumah tidak ditemukan dalam
novel. Adanya dua puluh tiga rumah di pendukuhan menggambarkan bahwa Dukuh
Paruk merupakan pemukiman kecil yang keberadaannya ditempat terpencil. Dari kutipan
diatas juga terlihat jelas bahwa masyarakat Dukuh Paruk dihuni oleh masyarakat
seketurunan, yang mana Ki Secamenggala adalah orang pertama yang tinggal di Dukuh
Paruk menjadi nenek moyang mereka.

4
Dukuh Paruk adalah pemukiman di tengah hamparan sawah yang luas terdapat dua
puluh tiga rumah, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Cerita dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk tidak punya tanggal tapi novel trilogi ini terjadi tahun 1965. Hal ini
tercermin ketika srintil terlibat dalam kekalutan politik pada tahun 1965. Sedang latar
terjadinya peristiwa kematian sebagian warga Dukuh Paruk akibat keracunan tempe
bongkrek terjadi tahun 1946. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana
tampak pada kutipan berikut.
Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat
mengira-ngira saai itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1964. Semua
penghuni pendukuhan itu telah tidur pulas, kecuali santayib, ayah srintil (RDP: 21).
Kutipan diatas mengambarkan bahwa kematian sebagian masyarakat Dukuh paruk
terjadi pada 1946 yang mana saat saat itu srintil masih kecil. Dalam novel ini seseorang
yang disalahkan atas terjadinya kematian masyarakat Dukuh paruk akibat tempe
bongkrek ada Santayib. Pengarang sengaja mengahadirkan cerita ini untuk
menggambarkan pembaca dengan bencana yang pernah menimpa Dukuh Paruk, serta
mengingatkan ronggeng terakhir di Dukuh Paruk yang mati ketika srintil masih kecil,
yang kemudian ronggeng tersebut digantikan oleh srintil.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk menyajikan gaya penokohan naratif, yaitu cara
mendeskripsikan watak tokoh cerita yang diambil alih oleh seorang pencerita tunggal,
yaitu Rasus. Dalam novel RDP, pencerita memaparkan watak tokoh-tokoh cerita dan
menambahkan komentar tentang watak tersebut.
Tokoh utama dalam novel RDP adalah Rasus, pengarang menampilkan rasus
sebagai narrator dalam peristiwa novel RDP sedang srintil ditampilkan sebagai tokoh
yang diceritakan Rasus. Tokoh Rasus merupakan tokoh yang serba tahu akan segala
peristiwa dalam cerita itu.
Rasus dilukiskan sebagai seorang pemuda rakyat biasa yang tidak mempunyai
status kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang mempunayi status rendah, kurang
pengetahuan serta mudah rapuh. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang
sebagaimana tampak pada kutipan berikut.
Aku tidak rela hal semacam itu terjadi. Tetapi lagi-lagi terbukti seorang anak dari
Dukuh Paruk bernama Rasus terlalu lemah untuk menolak hal buruk yang amat
dibencinya. Jadiaku hanya bisa mengumpat dalam hati dan meludah. Asu buntung! (RDP:
53)

5
Dalam kutipan di atas watak rapuh Rasus tampak jelas dalam pengakuannya bahwa
kejadian tersebut disebabkan oleh ketidakmampuannya melawan hukum pasti di Dukuh
Paruk yang harus dilakukan seorang ronggeng yaitu malam bukak-klambu. Rasus harus
merelakan orang yang dicintainya yaitu srintil untuk menyelesaikan persyaratan terakhir
menjadi seorang ronggeng yang bernama bukak-klambu. Menghadapi hal itu rarus tidak
dapat berbuat apa-apa, dia hanya dapat pasrah pada apa yang akan terjadi pada srintil.
Tokoh pembantu utama dalam novel RDP adalah srintil, pengarang
menggambarkan srintil sebagai seorang ronggeng yang cantik berperawakan menarik
serta perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki
Secamanggala. Kutipan berikut memperlihatkan kecantikan srintil serta kesempurnaan
fisik yang dimilikinya.
Mulutnya mungil. Cambang tipis di pipinya menjadi nyata setelah Srintil dibedaki.
Alis yang diperjelas dengan jelaga bercampur getah pepaya membuatnya kelihatan
seperti boneka. (RDP: 18)
Pengarang dalam kutipan di atas menampilkan tokoh utama Srintil sebagai seorang
ronggeng yang sempurna, yaitu dengan kecantikan dan fisik yang dimilikinya. Srintil
yang sebelumnya hanya anak Dukuh Paruk biasa yang tidak mempunyai status
kebangsaan dijadikan pengarang sebagai perempuan mempunyai status yang tinggi ketika
menjadi ronggeng. Hal tersebut menimbulkan perubahan watak yang dimiliki Srintil.
Dulu srintil yang sering bermain bersama Rasus, Warta dan Darsun tapi setelah menjadi
seorang ronggeng dia sudah tidak ada waktu untuk bermain bersama mereka. Dari situ
sangat terlihat perubahan sifat srintil.
Tokoh bawahan menurut Grimes (dalam panuti Sudjiman, 1988: 19), merupakan
tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat
diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Dalam novel RDP memiliki
sembilan tokoh bawahan dari analisis novel yang dilakukan. Tokoh bawahan dalam novel
RDP diantaranya:

1. Santayib memiliki sifat keras, tidak mudah putus asa, dan penyayang.
2. Istri santayib mempunyai sifat baik, patuh, dan penyayang.
3. Nenek Rasus, memiliki sifat penyayang, sabar dan pikun.
4. Sakarya, (kakek Srintil) memiliki sifat kolot, keras, dan penyayang
5.  Nyai Sakarya (nenek Srintil) mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli
kepada orang lain (tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat
kecil.
6. Sakum memiliki sifat tekun,baik, optimis akan hidupnya,.
6
7. Ki Kertareja memiliki sifat kolot, keras, penyayang, licik.
8. Nyai Kartareja memiliki sifat materialistis, pandai membujuk dan licik.
9. Sersan Pujo mempunyai sifat baik dan tegas.

Cerita dalam novel RDP di buku pertama yang berjudul Catatan Buat Emak
terdapat 4 bab. Bagian pertama novel RDP diawali dengan peristiwa yang menunjukkan
alur mundur, yaitu peristiwa malapetaka yang terjadi di Dukuh paruk akibat keracunan
tempe bongkrek. Hal ini tergambar dari kutipan berikut.
Sebelas tahun yang lalu ketika srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah
kuyup tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman yang kecil itu
lengang, amat lengang. (RDP: 21)
Kutipan di atas memberi gambaran bahwa kejadian malapetaka yang membunuh
sebagian masyarakat Dukuh Paruk akibat keracunan tempe bongkrek terjadi sebelas
tahun yang lalu yaitu ketika srintil masih kecil. Kutipan di atas juga menjadi paragraf
awal novel dalam penceritaan tentang malapetaka tempe bongkrek. Sehingga dapat
diketahui bahwa penceritaan tentang malapetaka tempe bongkrek dalam novel
menggunakan alur mundur.
Sedangkan pada bagian kedua dan seterusnya menggunakan alur maju yang
menceritakan tentang inti dari cerita novel RDP, yaitu kisah Srintil dengan Rasus dan
kisah Srintil yang menjadi Ronggeng baru setelah tidak adanya Ronggeng selama 11
tahun serta kebingungan rasus akan asal-usul ibunya yang menghilang sejak ia kecil.
Adanya alur maju terlihat dari kutipan berikut.
Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan
masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya
seorang ronggeng yang sebenarnya. (RDP: 43)
Kutipan di atas menjelaskan tentang srintil yang sudah menjadi ronggeng. Dari
kutipan tersebut dapat diketahui bahwa alur begerak maju sampai akhir cerita, yaitu dari
srintil yang dulunya masih kecil saat malapetaka tempe bongkrek dan sekarang sudah
berusia 11 tahun menjadi seorang ronggeng.
Berdasarkan beberapa pandangan tentang pusat pengisahan, dapat diperoleh
gambaran bahwa ada beberapa kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh pengarang
dalam menceritakan ceritanya melalui pusat pengisahan, seperti halnya dalam novel RDP
pada bagian pertama menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini
terdapat dalam kutipan berikut.

7
Ia merasa srintil telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Rasus cemas tidak
bisa lagi bermain sepuasnya dengan Srintil di bawah pohon nangka. Tetapi Rasus tak
berkata apapun. (RDP: 20)
Pengarang dalam kutipan di atas ikut terlibat dalam cerita sekaligus sebagai
pengamat. Penggunaan orang ketiga dalam novel ini dapat dikatakan logis, dalam gaya
penceritaan orang ketiga serta serba tahu karena pengarang berada di luar cerita,
pengarang mengetahui batin tokoh utama, seperti tokoh Rasus ketika menyaksikan pentas
menari srintil. Pengarang seperti ikut merasakan apa yang dirasakan Rasus, yaitu
perasaan hati Rasus.
Sedangkan pada bagian kedua sampai seterusnya ditampilkan dengan Sudut
pandang orang pertama pelaku utama, yaitu Rasus yang di sebut “aku”. “Aku” yang
bercerita dalam novel RDP mempunyai dua kemungkinan. Pertama, “aku” pencerita yang
berkedudukan sebagai pengarang yang menyusun cerita. Kedua, “aku” tokoh utama yang
mempunyai kedudukan yang dominan pada cerita.
Penggunaan sudut pandang orang pertama pelaku utama terlihat jelas dalam kutipan
berikut.
Aku mengenal dengan sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh paruk. Ketika
kartareja bercakap-cakap dengan Dower, aku mendengarnya dari balik rumpun pisang di
luar rumah. (RDP: 59-60)

Pada kutipan di atas ditunjukkan dengan tidak adanya komentar pengarang dalam
cerita. Tokoh utama bercerita tentang dirinya sendiri melalui tingkah laku yang
diperankannya. Disamping itu, dari pemahaman tokoh aku tentang Dukuh Paruk
memperkuat dugaan sedut pandang pada bab dua sampai empat menggunakan orang
pertama pelaku utama.
Dalam novel RDP karya Ahmad Tohari terdapat beberapa simbol. Simbol-simbol
diciptakan sebagai gambaran ide, pikiran atau perasaannya. Simbol itulah yang harus
ditafsirkan atau dimaknai sendiri oleh pembacanya.
Dalam karyanya Ahmad Tohari juga menggunakan gaya bahasa ironi yang berarti
sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari
fakta tersebut.

8
C.Unsur Ekstrinsik
Nilai yang terkandung dalam novel RDP yaitu nilai yang dapat memberikan atau
mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyatrakat, peradaban, atau
kebudayaan. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada
kutipan berikut.
Orang-orang yang sudah berkumpul hendak melihat Srintil menari mulai gelisah.
Mereka sudah begitu rindu akan suara calung. Belasan tahun lamanya mereka tidak
melihat pagelaran ronggeng. (RDP: 19)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Dukuh Paruk begitu erat dengan budaya
pertunjukkan ronggeng. Adanya ronggeng merupakan pemersatu masyarakat yang ada di
Dukuh Paruk. Nilai budaya yang terdapat dalam novel juga sangat erat dengan adat yang
ada di Dukuh paruk.
Dukuh Paruk yang identik dengan adanya ronggeng juga mengaitkan budayanya
dengan perilaku masyarakat, pertunjukkan ronggeng yang dihadirkan dalam novel
menimbulkan perilaku yang kurang dapat diterima di masyarakat sekarang. Misalnya
Dukuh Paruk dengan kemelaratannya, keterbelakangannya, kebodohannya tanpa
pengetahuan, di Dukuh paruk hal seperti sudah biasa.
Sedangkan moral yang terdapat dalam novel RDP yaitu moral yang didapat dari
ajaran berbagai ajaran adat yang menguasai perputaran manusia atau disebut moral
terapan. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
Di belakangku Dukuh Paruh diam membisu. Namun segalanya masih utuh di sana:
keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah serapah, irama calung, dan seorang
ronggeng. (RDP: 107)
Melalui kutipan di atas pengarang melukiskan kehidupan masyarakat yang masih
berada dalam alam pikiran mitis, miskin, longgar tatanan moralnya, dan
ronggeng. Kutipan di atas menggambarkan bagaimana moral yang tercipta di Dukuh
paruk. Dengan kemelaratan yang turun temurun tidak menumbuhkan semangat
masyarakat Dukuh Paruk untuk memperbaiki hidup. Tapi walaupun begitu kehidupan
mereka sangat bergantung pada pertunjukkan ronggeng yang menghasilkan kesenangan
pribadi.
Tingkah laku masyarakat Dukuh Paruk yang biasa dengan sumpah serapah
mencerminkan kebiasaan yang dinilai tidak baik. Sehinggan moral yang terdapat dalam
novel RDP banyak membahas tentang bentuk moral etika, yaitu membicarakan masalah

9
perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat
dinilai tidak baik.

D.Nilai dan Moral


Nilai yang terkandung dalam novel RDP yaitu nilai yang dapat memberikan atau
mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyatrakat, peradaban, atau
kebudayaan. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada
kutipan berikut.
Orang-orang yang sudah berkumpul hendak melihat Srintil menari mulai gelisah. Mereka
sudah begitu rindu akan suara calung. Belasan tahun lamanya mereka tidak melihat pagelaran
ronggeng. (RDP: 19)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Dukuh Paruk begitu erat dengan budaya
pertunjukkan ronggeng. Adanya ronggeng merupakan pemersatu masyarakat yang ada di
Dukuh Paruk. Nilai budaya yang terdapat dalam novel juga sangat erat dengan adat yang ada
di Dukuh paruk.
Dukuh Paruk yang identik dengan adanya ronggeng juga mengaitkan budayanya dengan
perilaku masyarakat, pertunjukkan ronggeng yang dihadirkan dalam novel menimbulkan
perilaku yang kurang dapat diterima di masyarakat sekarang. Misalnya Dukuh Paruk dengan
kemelaratannya, keterbelakangannya, kebodohannya tanpa pengetahuan, di Dukuh paruk hal
seperti sudah biasa.
Sedangkan moral yang terdapat dalam novel RDP yaitu moral yang didapat dari ajaran
pelbagai ajaran adat yang menguasai peputaran manusia atau disebut moral terapan. Hal ini
terdapat dalam kutipan berikut.
Di belakangku Dukuh Paruh diam membisu. Namun segalanya masih utuh di sana:
keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah serapah, irama calung, dan seorang
ronggeng. (RDP: 107)

Melalui kutipan di atas pengarang melukiskan kehidupan masyarakat yang masih berada
dalam alam pikiran mitis, miskin, longgar tatanan moralnya, dan ronggeng. Kutipan di atas
menggambarkan bagaimana moral yang tercipta di Dukuh paruk. Dengan kemelaratan yang
turun temurun tidak menumbuhkan semangat masyarakat Dukuh Paruk untuk memperbaiki
hidup. Tapi walaupun begitu kehidupan mereka sangat bergantung pada pertunjukkan
ronggeng yang menghasilkan kesenangan pribadi.
Tingkah laku masyarakat Dukuh Paruk yang biasa dengan sumpah serapah
mencerminkan kebiasaan yang dinilai tidak baik. Sehinggan moral yang terdapat dalam novel
RDP banyak membahas tentang bentuk moral etika, yaitu membicarakan masalah perbuatan
atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak
baik

10
11
BAB 3

PENUTUP
A.Kesimpulan
Secara analisis, novel Ronggeng dukuh Paruk dapat menambah pemahaman kepada
pembaca dalam menemukan unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik cerpen. Unsur novel
Ronggeng Dukuh Paruk yang dianalisi yaitu tema, latar, penokohan dan perwatakan, alur,
sudut pandang, simbol, ironi, dan nilai moral dalam novel.
Tema pokok dalam RDP, yaitu pertentangan antara keramat Ki Secamenggala
dengan kaum terpelajar. Latar yang terjadi di Dukuh paruk. Tokoh utama Rasus dan
tokoh pembantu utama Srintil. Alur yang terjadi alur campuran dengan menggunakan
sudut pandang orang pertama pelaku utama. Simbol yang dimunculkan yaitu bukak-
klambu, sumpah serapah, dan pegeblug. Ironi yang di gambarkan tentang kontradiksi
dengan kehidupan sekarang, serta nilai moral tergambar kurang baik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Analisis Novel "RONGGENG DUKUH PARUK" Karya Ahmad Tohari - Faizatur Rohmah

Analisis Unsur Kebahasaan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari, Bahasa Indonesia
Kelas 12 - Ringtimes Banyuwangi (pikiran-rakyat.com)

Kumpulan Berbagai Makalah - Makalah dan Lain lainnya: ANALISIS RONGGENG DUKUH PARUK
(1futureinsights.blogspot.com)

Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk | Isnaini Rizka F. - Academia.edu

13

Anda mungkin juga menyukai