Puisi merupakan salah satu karya sastra yang berisi ungkapan perasaan penyair secara
imajinatif melalui kata-kata indah yang muncul dari pikiran manusia. Sama halnya dengan karya
sastra lainnya, puisi bisa terlahir dari kenyataan-kenyataan yang ada dalam kehidupan
masyarakat sekitar pengarang. Akan tetapi, karya sastra tidak hanya mengungkapkan kenyataan-
kenyataan secara objektif saja, melainkan juga disertai pandangan, sikap, tafsiran yang
dikreasikan dengan imajinasi pengarang. Puisi menjadi wadah yang tepat untuk mengeluarkan
pendapat, tanggapan, atau kepedulian yang berhubungan dengan kondisi sosial di masyarakat.
Oleh karena itu, setiap puisi hadir bukan tanpa alasan. Puisi yang telah diciptakan mempunyai
tujuan atau maksud tertentu yang hendak disampaikan oleh penulis, termasuk kritik atas kondisi
kehidupan sosial dan segala permasalahannya.
Salah satu contoh puisi yang juga fenomenal adalah puisi yang berjudul “Bersatulah
Pelacur-pelacur Kota Jakarta” karya W.S Rendra. Keberpihakan Rendra pada masyarakat kelas
bawah tercermin dalam karyanya. Di dalam puisi “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”
Rendra mencoba untuk menyampaikan pikirannya tentang fenomena “kemunafikan” para
pejabat yang seolah-olah membuat peraturan atau kebijakan, padahal merekalah yang justru
sering melanggar dengan tindakan menyimpang norma, seperti penggelapan dana, pelacuran, dan
lain sebagainya. Puisi yang mengandung sindiran untuk menyadarkan para politisi dan pegawai
tinggi yang kurang memperhatikan kehidupan rakyat.
Puisi tersebut kental dengan aroma kritik sosial mengenai kehidupan seorang pelacur.
Dalam puisi tersebut Rendra menyoroti bagaimana sebuah pelacuran yang pada dasarnya
merupakan suatu hal yang diharamkan menjadi hal yang dilegalkan di sebuah negara tertentu,
bahkan lebih parahnya pejabat pemerintahannya sendiri turut menjadi penikmat dunia pelacuran
itu. Selain itu, tempat yang dikhususkan di Jakarta melukiskan bahwa meskipun kota yang sudah
dikatakan maju, masih juga terdapat ketidaksejahteraan yang terjadi di masyarakat. Rendra
seakan mengajak melihat fenomena pelacuran tak semata dari kacamata moral, melainkan
melihat dari sisi problem atau masalah yang lebih struktural.
Willibrordus Surendra Bhawana Rendra atau yang sering dipangil W.S Rendra adalah
seniman yang sudah dikenal oleh masyarakat luas sebagai seorang sastrawan dan seniman yang
menghasilkan banyak karya-karya seperti drama, puisi yang sudah terkenal sejak tahun 1954.
Pada tahun 1964 rendra pergi ke Amerika Serikat untuk mengikuti seminar di Harvard setelah
mendapatkan undangan dari Dr. Henry Kisiinger. Setelah seminar berhasil, Rendra pergi ke New
York untuk menuntut pelajaran teater secara formal di American Academic of Dramatic Arts.
Setelah pulang dari Amerika Serikat, Rendra membentuk Bengkel Teater yang pertama kali
muncul di Jakarta pada tahun 1968.
Pada tahun 1970, Bengkel Teter cukup produktif dalam acara pementasan. Pada saat itu
Rendra sangat bersemangat dan kreatif dalam menciptakan karya seni. Ditambah gayanya yang
urakan dan tingkahnya yang suka sensasi. Pada tahun 1971, Rendra mulai melihat permasalah
sosial, ekonomi, politik, secara struktural. Rendra juga terkenal sebagai salah satu seniman yang
menawarkan kata “kebebasan” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penentangan Rendra
dalam menggugat rasa ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat
kecil membuat Rendra mengemukakan pendapatkan dalam bentuk karya sastra yang menentang
dan mengkritisi kondisi sosial, politik, ekonomi pada msa orde baru. Termasuk puisi yang
berjudul “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta” yang berisi kritik tentang kemunafikan para
pejabat atas dan pembelaan terhadap para pelacur di Jakarta.
Dalam puisi Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta ada beberapa permasalahan yang bisa
disorot. Pertama, bagaimana kedudukan wanita yang digambarkan dalam puisi ini. Dalam puisi
ini tokoh utama yang diangkat oleh Rendra merupakan seorang perempuan yang selama ini
dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Begitu mendengar kata “pelacur” yang selama ini
identik dengan seorang perempuan yang tidak bermoral, kehidupan malam yang gemerlap, dan
erat dengan kehidupan seksual yang negatif. Itulah yang dimaksudkan sebagai citraan dalam
puisi. Hal itu dapat terlihat pada kutipan berikut:
Permasalahan kedua adalah ajakan perlawanan bagi kaum wanita dalam puisi tersebut.
Sedangkan yang dimaksud perjuangan wanita dalam puisi ini adalah, seorang wanita yang
terbelenggu oleh status sosial yang dianggap negatif oleh masyarakat. Namun, dengan puisi ini
Rendra mampu memunculkan sosok pelacur sebagai pendobrak kebenaran yang selama ini
tersembunyi rapat dibalik tirai kelam sebagai pemuas nafsu seksual belaka. Hal tersebut dapat
terlihat pada kutipan berikut:
Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Dengan pemilihan kata “sanggul kembali rambutmu” merupakan ungkapan keras yang
diperuntukkan kepada wnita tersebut untuk mengerahkan kekuatan yang dimilikinya.
Mengembalikan kepercayaan dirinya untuk melawan oknum-oknum tersebut. Sanggul yang
merupakan perhiasan adat jawa juga melambangkan keindahan bagi seorang wanita yang seakan
menggambarkan keinginana upenyair untuk mengembalikan kedudukan yang tingi dan
terpandang layaknya seorang wanita pada umumnya. Penegasan kata “kutang-kutang”
menggambarkan ketegasan para wanita tersebut untuk menuntut kembali keadilan yang telah
dirampas, sekaligus menunjukkan pada pejabat-pejabat tinggi yang seakan lupa atas apa yag
sudah mereka janjikan.
Dari kutipan puisi di atas, kita dapat mengetahui bahwa Rendra mendukung para pekerja
seks untuk bangkit dan menuntut hak mereka pada pemerintah. “Serangan” yang dimaksud
dalam kutipan berikut menunjukkan aksi yang perlu dilakukan para pekerja seks sebagai bentuk
kritik dan protes terhadap kebijakan yang malah merugikan mereka. Konteks di balik kutipan
tersebut adalah kebijakan pemerintah untuk menutup tempat-tempat prostitusi. Kebijakan
tersebut dinilai “munafik” oleh Rendra karena pemerintah membubarkan tempat prostitusi dan
mengatakan bahwa para pekerja seks akan menyebabkan bencana. Padahal, beberapa oknum dari
para petinggi itu sendiri memiliki kebiasaan “mengunjungi” para pekerja seks. Namun, mereka
seolah-olah bermuka dua dengan mengatakan bahwa para pekerja seks itu adalah sumber
bencana bagi negara. Hal tersebut yang mendorong penyair untuk mendukung para pelacur untuk
menuntut keadilan dari pemerintah.
Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu
Penggunaan nama orang “Sarinah” dan “Dasimah” mempertegas maksud yang ingin
mengungkapkan bahwa masih ada wanita yang terbelenggu dalam kehidupan malam yang gelap.
Profesi yang dianggap hina dikalangan masyarakat. Profesi yang tidak diinginkan oleh semua
orang. Akan tetapi, tuntutan ekonommi yang semakin berat membuat apapun hal dilakukan.
Hampir semua wanita tuna susila berada dalam kondisi seperti itu. Di sisi lain, mereka terus
dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya dimanfaatkan karena
ketidakmampuan mereka untuk melawannya. Dalam puisi ini penyair memaksa para pelacur
untuk berkata jujur. Mengungkapkan bagaimana para penguasa melakukan tipu daya terhadap
wanita dan memperalatnya menjadi seorang pemuas nafsu yang di inginkan oleh para penguasa.
Potongan bait di atas semakin memperjelas kemunafikan para penguasa. Mereka seolah
menceritakan kebenaran tentang sebuah kebijakan. Akan tetapi, pada kenyataanya mereka juga
mempermainkan permainan cinta dengan tujuan untuk bergantian menikmati tubuhnya.
Kewibawaan dari semua peraturan yang dibuatnya seakan hanya sebagai formalitas belaka.
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya
Penggalan bait di atas menjelaskan bahwa pemerintah berani mengambil kebijakan untuk
membubarkan tempat-tempat prostitusi. Namun, pemerintah tidak memberikan solusi atas
pembubaran tersebut. Para pekerja seks tidak diberikan fasilitas oleh pemerintah bagaimana
mereka mendapatkan uang dengan cara yang tidak dianggap rendah oleh masyarakat selain
menjadi pelacur. Hal ini akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam tatanan masyarakat.
Ketidak seimbangan tersebut akan menimbulkan banyak permasalahan sosial yang ada di
masyarakat. Sulitnya lapangan pekerjaan yang berujung kepada meingkatnya angka
pengangguran menjadi masalah utama dalam perekonomian yang ada di Indonesia
Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Saudari-saudariku
Jangan melulur keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.
Pada bait terakhir Rendra menasehati para pelacur untuk mengembalikan kedudukan
mereka. Pekerjaan mereka memang dianggap rendah oleh masyarakat. Namun, di sisi lain juga
ada keterlibatan pemerintah yang membuat isi dalam puisi ini menggambarkan kemunafikan
para pejabat yang menjadikan para pelacur sebagai gambing hitam. Pelacur juga ingin dihargai
layaknya masyarakat pada umumnya. Jika pemerintah tetap melakukan hal tersebut, bisa saja
para pelacur akan menaikkan tarif yang akan membuat para pejabat kelabakan. Mereka akan
berusaha untuk bisa memuaskan hawa nafsunya. Rendra menggambarkan pilihan terakhir yang
bisa dilakukan oleh para pejabat jika para pelacur melakukan hal demikian adalah mereka akan
berzina dengan istri saudaranya. Sungguh moral yang tak patut untuk dipertanggungjawabkan.
Puisi W.S Rendra menunjukkan bagaimana rendahkanya moral bangsa. Pelacuran seakan
menjadi sebuah legalitas, bahkan pemerintah pun tidak luput dari hal ini. Kewibawaan dan citra
seorang parlemen atau pejabat yang membuat kebijakan justru tercoreng hanya karena
perempuan. Melalui puisi ini Rendra ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa banyak pejabat
pemerintahan yang turut menjadi penikmat dunia pelacuran. Mereka menutupi semua ini dengan
cara mengkambinghitamkan para pelacur sebagai sumber bencana padahal mereka juga ikut
meinkmatinya. Hal-hal yang berusaha ditutup rapi oleh peemrintah berusaha dibuka oleh Rendra
melalui puisinya yang berjudul “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”.