CORAK FEMINISME DUA SAJAK PENYAIR LAKILAKI
Feminism Patterns of Two Verses by Men Poets
Suyono Suyatno
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur, Telepon/Faks. 021‐4896558
Pos‐el: suyonosuyatno@gmail.com, HP 085310859411
(Makalah diterima tanggal 11 Juli 2012—Disetujui tanggal 6 September 2012)
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan ketersebaran gagasan feminisme,
yakni apakah gagasan tersebut juga menjangkau kaum lelaki? Penelitian ini menggunakan teori
feminisme dan berpijak pada data berupa dua sajak yang ditulis penyair lakilaki, yakni sajak
“Adam di Firdaus” karya Subagio Sastrowardojo dan sajak “Perempuan” karya Emha Ainun
Nadjib. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa corak feminisme dalam puisi tidak hanya didomi
nasi oleh penyair perempuan. Beberapa sajak yang ditulis oleh penyair lakilaki seperti Subagio
Sastrowardojo dengan sajaknya "Adam di Firdaus" dan Emha Ainun Nadjib dengan sajaknya "Pe
rempuan" juga menunjukkan gagasan feminisme. Namun, berbeda dengan sajak feminis yang di
tulis oleh penyair perempuan yang umumnya menghadirkan perempuan sebagai korban ideologi
gender, dalam sajak feminis yang ditulis oleh penyair lakilaki kesadaran feminisme dan kese
taraan gender baru muncul setelah perempuan direpresentasikan sebagai korban ideologi gender.
KataKata Kunci: korban ideologi gender, feminisme, kesetaraan gender
Abstract: The purpose of this study is to determine the spreads of the idea of feminism, i.e., whether
the idea will also reach out to the men. This study uses feminist theory and is based on the data in
the forms of two poems written by two male poets, "Adam di Firdaus” by Subagio Sastrowardojo
and "Perempuan” by Emha Ainun Nadjib. The result shows that the colour of feminism in poetry is
not dominated by female poets. Some poetries written by male poets such as Subagio
Sastrowardojo with his poem "Adam di Firdaus" and Emha Ainun Nadjib with his poem
"Perempuan" also show the idea of feminism. However, different from poetries of feminism written
by female poets which commonly represents woman as a victim of gender ideology, in poetries of
feminism written by male poets, the awareness of feminism and gender equality appear after the
woman is represented as a victim of gender ideology.
Key Words: the victim of gender ideology, feminism, gender equality
PENDAHULUAN karena undang‐undang ini bertolak dari
Pandangan yang diskriminatif dan bias asumsi yang bias gender (undang‐un‐
gender terhadap perempuan—yang dang ini secara langsung dan tidak lang‐
tumbuh dalam masyarakat yang patriar‐ sung telah menempatkan perempuan
kat—secara langsung dan tidak langsung dan tubuh perempuan sebagai “terdak‐
melahirkan kekerasan sosiokultural ter‐ wa” dalam perilaku “syahwat liar” alias
hadap perempuan, antara lain dalam pornografi).
bentuk stigma terhadap perempuan. Di “Kekerasan” kultural terhadap pe‐
Indonesia, sekadar contoh, Undang‐Un‐ rempuan, antara lain pada tahun 1970‐
dang Pornografi memperoleh tentangan an terekam dalam sajak Yudhistira Ardi
dari aktivis pergerakan perempuan Nugraha (penyair muda ketika itu) yang
177
ATAVISME, Vol. 15, No. 2, Edisi Desember 2012: 177—186
berjudul “Biarin”: ‘….//kamu bilang aku Sastrowardojo dan Emha Ainun Nadjib,
bajingan. Aku bilang biarin/kamu bilang masing‐masing dengan sajak "Adam di
aku perampok. Aku bilang biarin//so‐ Firdaus" dan sajak "Perempuan".
alnya, kalau aku nggak jadi bajingan mau
jadi apa coba, lonte?/aku laki‐laki. Kalau TEORI
nggak suka kepadaku sebab itu/aku Persoalan gender pada dasarnya selalu
rampok hati kamu ….’ Larik‐larik sajak terkait dengan sistem sosial budaya po‐
“Biarin” dengan sangat telanjang mem‐ litik yang berlaku dalam suatu negara.
pertontonkan supremasi, dominasi, dan Dengan kata lain, realitas persoalan gen‐
machoisme aku lirik yang laki‐laki, seka‐ der merefleksikan realitas sosial budaya
ligus mensubordinasikan dan meleceh‐ politik yang ada (Stimpson dalam [Said,
kan perempuan dengan pernyataan ‘ka‐ 1986:174]; Djajanagara, 2000).
lau aku nggak jadi bajingan mau jadi apa Perlawanan terhadap ideologi gen‐
coba, lonte?/aku laki‐laki’, yang mengim‐ der dalam sastra melahirkan aliran femi‐
plikasikan bahwa hanya perempuan nisme, yang memperjuangkan kesetara‐
yang bisa jadi lonte ‘pelacur’, sementara an antara perempuan dan laki‐laki
laki‐laki tidak mungkin jadi lonte. (Djajanagara, 2000). Tuntutan akan ke‐
Gagasan feminisme pada dasarnya setaraan gender itu pada umumnya ha‐
bukan monopoli kaum perempuan. Se‐ dir melalui protagonis, yang biasanya di‐
bagaimana pernah dikemukakan dalam gambarkan sebagai korban diskriminasi
salah satu edisi jurnal perempuan, laki‐ gender. Latar pun—sebagai unsur struk‐
laki pun mungkin saja merupakan bagi‐ tur yang mungkin menggambarkan sua‐
an dari kaum feminis, atau laki‐laki femi‐ tu sistem sosial budaya yang berlaku—
nis, yaitu laki‐laki yang menaruh perha‐ biasanya juga menampilkan suatu kon‐
tian terhadap masalah‐masalah feminis‐ flik gender (antara perempuan dan laki‐
me, kesetaraan gender. laki).
Dalam dunia sastra pun ternyata Patut dicatat, sebelum melangkah
masalah‐masalah feminisme tidak hanya ke dalam pembacaan corak feminisme
disodorkan oleh sastrawan yang berjenis dua sajak penyair laki‐laki, bahwa femi‐
kelamin perempuan saja, tetapi juga oleh nisme telah mengubah pandangan dan
mereka yang berjenis kelamin laki‐laki. konsep tentang tubuh yang selama ini
Beberapa sajak yang menampilkan wa‐ bertolak dari persepsi peradaban yang
cana feminisme, misalnya, ternyata tidak patriarkat, sebagaimana dikemukakan
hanya ditulis oleh penyair perempuan, pula oleh Gading J. Sianipar (dalam
melainkan juga oleh penyair laki‐laki. Sutrisno [ed.], 2007:301). In Bene Ratih
Dari penelitian (2002) yang pernah pe‐ (dalam Sutrisno [ed.], 2007: 329—331)
nulis lakukan terhadap sejumlah sajak secara lebih komprehensif menyatakan
yang menghadirkan feminisme, penyair bahwa pada hakikatnya tubuh dan sek‐
laki‐laki ternyata menampilkan corak fe‐ sualitas terkait dengan suatu konstruksi
minisme yang berbeda dalam sajak me‐ sosial. Dengan demikian, dapat diba‐
reka jika dibandingkan dengan corak fe‐ yangkan bagaimana dalam suatu kon‐
minisme yang muncul dalam sajak‐sajak struksi sosial yang berpangkal pada pe‐
penyair perempuan, seperti Oka radaban yang patriarkat akan terjadi bi‐
Rusmini dan Dorothea Rosa Herliany. as gender dalam memandang perempu‐
Tulisan ini—dengan menggunakan pen‐ an dan tubuh perempuan. Perempuan
dekatan semiotik—mencoba mengemu‐ dipandang sebagai insan the second sex,
kakan corak feminisme yang mewarnai sementara laki‐laki sebagai the first sex
dua sajak penyair laki‐laki, yaitu Subagio dengan supremasi dan dominasinya
178
Corak Feminisme Dua Sajak ... (Suyono Suyatno)
179
ATAVISME, Vol. 15, No. 2, Edisi Desember 2012: 177—186
180
Corak Feminisme Dua Sajak ... (Suyono Suyatno)
bergeser sebagai metonimi yang menun‐ semata‐mata juga berkoherensi dan ber‐
juk pada 'laki‐laki'. Aku lirik dan 'tubuh ekuivalensi dengan ideologi gender.
bernapsu' pada bait pertama dan kedua
dapat dikatakan mengacu pada Adam Model
dan Hawa sebagaimana yang terdapat Model sajak "Adam di Firdaus" ini adalah
dalam kitab suci, sementara aku lirik dan 'Ah, perempuan!/Sudah beratus kali ku‐
'perempuan' yang terdapat pada bait ter‐ hancurkan badanmu di ranjang/Tetapi
akhir adalah laki‐laki dan perempuan kesepian ini, kesepian ini/datang ber‐
yang hadir setelah masa penciptaan ma‐ ulang.' Sebagaimana terlihat dari pemba‐
nusia pertama lewat. Berdasarkan hal caan heuristik dan hipogram potensial
itu, aku lirik pada bait ketiga (bait ter‐ sajak Subagio Sastrowardojo ini, bait ter‐
akhir) dapat dipandang beroposisi seca‐ akhir yang menjadi model sajak "Adam
ra temporal dengan aku lirik pada bait di Firdaus" ini terutama lahir dari oposi‐
pertama dan kedua. si antara Adam di Firdaus dan Adam di
Meskipun secara temporal aku lirik masa pasca‐Firdaus. Adam di Firdaus
pada bait pertama dan kedua beroposisi yang minus Hawa hanya mendatangkan
dengan aku lirik pada bait ketiga, namun kesepian bagi Adam, sementara Adam
aku lirik pada bait pertama dan kedua pasca‐Firdaus dalam situasi plus perem‐
berekuivalensi dan berkoherensi dengan puan tetap saja mendatangkan kesepian
aku lirik pada bait ketiga dalam hal na‐ karena ideologi gender, memperlakukan
sib: keduanya didera rasa sepi. Aku lirik perempuan semata‐mata sebagai objek
pada bait awal sajak "Adam di Firdaus" seksual. Hal ini pada hakikatnya sama
ini menderita kesepian karena belum ha‐ saja dengan membalikkan situasi plus
dirnya Hawa, perempuan; sementara perempuan menjadi situasi tanpa pe‐
aku lirik pada bait terakhir mengalami rempuan, atau peniadaan perempuan
kesepian yang sama justru setelah hadir‐ bagi laki‐laki karena perendahan marta‐
nya perempuan ('Ah, perempuan!/Su‐ bat perempuan oleh laki‐laki.
dah beratus kali kuhancurkan badanmu
di ranjang/Tetapi kesepian ini, kesepian Matriks
ini/datang berulang.'). Dari model sajak "Adam di Firdaus" yang
Situasi paradoksal sebagaimana ter‐ dikemukakan di atas, yang sesungguh‐
ungkap pada bait terakhir sajak Subagio nya merupakan aktualisasi pertama dari
Sastrowardojo ini mengimplikasikan matriks, dapat dikatakan matriks sajak
bahwa perlakuan dan sikap aku lirik ter‐ ini adalah kesetaraan gender. Matriks
hadap perempuan—yang memandang dalam sajak Subagio Sastrowardojo ini
perempuan semata‐mata sebagai objek dapat dikatakan merupakan amanat dan
pelampiasan seksual—adalah sumber pesan moral sajak ini: menjadikan dan
kesepian itu. Dengan demikian, menjadi‐ memandang perempuan semata‐mata
kan perempuan sebagai objek seksual sebagai objek seksual (laki‐laki) hanya
semata‐mata berkoherensi dan berekui‐ akan meniadakan keberadaan perempu‐
valensi dengan kesepian, dan implikasi an bagi laki‐laki. Jika itu terjadi, hal ini
selanjutnya berkoherensi dan berekui‐ berarti mengembalikan laki‐laki ke da‐
valensi pula dengan ketiadaan perempu‐ lam situasi Adam di Firdaus (ketika
an (sebagaimana diperlihatkan bait per‐ Adam masih sendiri dan kesepian kare‐
tama: ketika aku lirik, Adam masih sen‐ na belum terlahir Hawa, perempuan).
diri/belum ada perempuan). Di sisi lain, Dapat dikatakan, matriks sajak "Adam di
dapat pula dikatakan bahwa menjadikan Firdaus" ini bersumber pada kitab suci
perempuan sebagai objek seksual yang mengajarkan bahwa Hawa
181
ATAVISME, Vol. 15, No. 2, Edisi Desember 2012: 177—186
182
Corak Feminisme Dua Sajak ... (Suyono Suyatno)
183
ATAVISME, Vol. 15, No. 2, Edisi Desember 2012: 177—186
184
Corak Feminisme Dua Sajak ... (Suyono Suyatno)
185
ATAVISME, Vol. 15, No. 2, Edisi Desember 2012: 177—186
kesetaraan gender yang ditulis oleh pe‐ Herliany, Dorothea Rosa. 2002. "Buku
nyair laki‐laki Subagio Sastrowardojo Harian Perkawinan", Horison XXXV/4,
dan Emha Ainun Nadjib tampaknya April. Jakarta: Yayasan Indonesia.
memperlihatkan persepsi yang berbeda ‐‐‐‐‐‐‐‐. 2002. "Nikah Pisau", Horison XXXV/4,
April. Jakarta: Yayasan In‐donesia.
dari sajak‐sajak yang ditulis oleh penyair
‐‐‐‐‐‐‐‐. 2001. "Perempuan Itu Bernama Ibu",
perempuan dalam memandang persoal‐
Kill The Radio, Sebuah Radio
an kesetaraan gender. Dalam sajak dua Kumatikan. Magelang: Indonesia Tera.
penyair laki‐laki itu kesadaran akan ke‐ ‐‐‐‐‐‐‐‐. 2002. "Perempuan Itu Bernama Ibu",
setaraan gender baru muncul pada diri Horison XXXV/4, April. Jakarta: Yayasan
tokoh lirik sajak yang bergender laki‐laki Indonesia.
setelah menjadikan perempuan sebagai Nadjib, Emha Ainun. 1979. "Perempuan",
korban ideologi gender, sementara pada Horison XIV/2, Februari. Jakarta: Yaya‐
empat sajak yang ditulis oleh penyair pe‐ san Indonesia.
rempuan—yaitu "Percakapan" (Oka Nugraha, Yudhistira Ardi. 1977. Sajak Sikat
Rusmini), "Perempuan Itu Bernama Ibu" Gigi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. "Penelitian
(Dorothea Rosa Herliany), "Buku Harian
Sastra dengan Pendekatan Semiotik"
Perkawinan" (Dorothea Rosa Herliany),
dalam Metodologi Penelitian Sastra.
dan "Nikah Pisau" (Dorothea Rosa Yogyakarta: Hanindita Graha Widya
Herliany)—semua tokoh liriknya yang dan Masyarakat Poetika Indonesia.
perempuan rata‐rata tergambarkan se‐ Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry.
bagai korban ideologi gender. Bahkan, Bloomington and London: Indiana Uni‐
dua sajak Dorothea Rosa Herliany ("Bu‐ versity Press.
ku Harian Perkawinan" dan "Nikah Pi‐ Rusmini, Oka. 2002. "Percakapan", Horison,
sau") memperlihatkan perlawanan femi‐ XXXV/4, April. Jakarta: Yayasan Indone‐
nis terhadap ideologi gender yang telah sia.
mencengkeram kaum perempuan itu. Sastrowardojo, Subagio. tanpa tahun terbit.
"Adam di Firdaus", Simphoni (diterbit‐
kan sendiri oleh penyair).
Stimpson, Catharine R. 1986. "Ad/d Femi‐
DAFTAR PUSTAKA nam: Women, Literature, and Society"
dalam Edward W. Said. Literature and
Djajanagara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Society. Baltimore and London: The
Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Johns Hopkins University Press.
Gramedia Pustaka Utama. Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (editor).
Faruk. 1996. "Aku" dalam Semiotika 2007. TeoriTeori Kebudayaan. Yogya‐
Riffaterre. Semiotika Riffaterre dalam karta: Penerbit Kanisius.
"Aku", Humaniora No. III. Yogyakarta: Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Ja‐
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Ma‐ karta: Dunia Pustaka Jaya.
da.
186