Anda di halaman 1dari 100

Taman Kota

Buku Puisi

28wArtLab Press

2010
Taman Kota
Buku Puisi

Agung Dwi Ertato

Diterbitkan oleh

28wArtLab Press
Jalan Margonda 28w
Depok, Jawa Barat
(021) 98363462
duadelapanwartlab@rocketmail.com

©2010

Agung Dwi Ertato


Taman Kota: buku puisi / Agung Dwi Ertato -
- 28w ArtLab Press, 2010

ISBN -071088-081191

2 | Taman Kota
“Sebuah taman kota yang sering ramai setiap sore sekarang
seakan sunyi, bangku taman dan lampunya
hanya berdiam sembil menunggu tik-tok jam.”

--Fragmen Taman Kota,1--

Taman Kota | 3
ISI BUKU

ISI BUKU 4
Sajak tentang Kebingungan 10
Kosong dalam Hampa 11
Kau dan Aku 13
Desiran Angin 14
Hujan 15
Barangkali Aku 16
Jam Duabelas Siang Tepat 17
Fragmen: Mencari Aku 19
Ada Rindu pada Lot itu 21
Perihal Kehidupan 23
Titik 24
Dialektika Sepi 25
Dan Senja Itu 27
Sajak Lima musim 28
Cerita Malam 29
Nokturno 30
Bukankah Malam Ini Semakin Mesra 31
Aku Ingin Menjadi Bulan 32
Fragmen Tak Berima 33
Pelabuhan Kecil 35
Ode untuk Kapal 37
Fragmen Taman Kota, 1 51
Fragmen Taman Kota, 2 52
Lalu Desember 53
Tiba-tiba saja 54
Stasiun Tua 55
Selamat Tinggal 56

4 | Taman Kota
Masih Saja Kau Melamun 57
Rindu yang Kekal 58
Sepasang Cangkir di Meja Kedai Kecil 59
Fragmen Kecil tentang Laut 61
Sore yang Kau Tinggalkan Tiba-tiba 62
Dalam Kereta 63
Ada Apa dengan Hujan Malam ini 64
Ada yang tak biasa malam itu, aku lupa ada waktu yang terjepit di
antara kita 65
Ada yang Ingin Mencuat 66
Dan Cat Air itu Masih Tergeletak di Sudut Ruang 67
Bersatulah Lumpur-lumpur yang Telah Mengisi Hidup Kami 69
Kepada Pemilik Lumpur 71
Dan Senja pun Turun Pelan-pelan 73
Keluarlah, Ada Hujan Berdansa dengan Malam 74
Tidurlah Sejenak 75
Berjalanlah Pelan-pelan 76
Di Beranda: Pada Suatu Malam 77
Tiga Fragmen tentang Kertas 78
Aku Rahwana dan Kau Sinta 79
Perihal Waktu 83
Subuh 85
Jalan Menuju Rumahnya Terlalu Panjang, Tidak Ada Jalan Terdekat,
Kecuali Kau Begitu Dekat 86
18. 18 89
Selamat Pagi Jogja 90
Televisi 92
Waktu Berjalan Menuju Rumahmu 93
Aku Rindu Kau yang Mungkin Tak Ada 95
Surat Kepada Penyairku 97
Selamat Pagi, Kau Bangun Juga Akhirnya 98
Pertemuan 99

Taman Kota | 5
6 | Taman Kota
“ I do not write this till the last that no eye may catch it.”
(John Keats.)

“The words were created by me with my blood, with my pains


they were created.”
(Pablo Neruda.)

Taman Kota | 7
8 | Taman Kota
Untuk ibuku, kau,
dan semestaku

Taman Kota | 9
Sajak tentang Kebingungan

Sebatang, dua batang, tiga batang,empat batang, lima batang.


entah sudah berapa batang racun yang terhisap, pikiran masi
melayang, otak masih mengambang, mata masih sayup-sayup,
kanvas masih kosong, cat belum tertumpah, kuas belum terbasah,
dan bumi pun ternyata suda lenyap, lalu dimana aku ini??

2008

10 | Taman Kota
Kosong dalam Hampa

kosong memberi ruang dalam hampa


berbaur dalam keheningan
bercampur dengan kesunyian

2008

Taman Kota | 11
12 | Taman Kota
Kau dan Aku

kita tak bicara sekarang


kau lebur dalam hampa
aku diam dalam kosong

kita jauh dalam rupa


aku dekat dalam jiwa
matamu tak mengerdip
kau tatap sekenanya

akupun tak sanggup menatapmu


jiwaku yang merasa dekat
namun tak bagimu

2009

Taman Kota | 13
Desiran Angin

angin dan aku bersandiwara


tentang siapa yang bermula
aku : tentu saja hanya desiran angin
pada ronamu

2009

14 | Taman Kota
Hujan

kau masih seperti dulu :


menunggu hujan tengadah di taman
beralaskan resah dan bimbang

aku hanya menatapmu


--sama seperti dulu
menunggu untuk jatuh ke alasmu

2009

Taman Kota | 15
Barangkali Aku
: DL

Barangkali aku masih angin


yang menderai ronamu,
memenuhi parumu, bernari,
dan belarian di sawomu.

Barangkali aku adalah air


yang kau hisap tadi malam
menyebar hingga
tepi aortamu. Barangkali aku masih

sekat tiap ruangmu,


diam tak bergerak menatapmu
tanpa sedikit pun
mengerdip. Barangkali aku
adalah bias mengikuti setiap lekukmu.

: Barangkali aku bukan aku sekarang.

2009

16 | Taman Kota
Jam Duabelas Siang Tepat

di antara pohonpohon akasia dan payungpayung gedung


bertingkat tiga, aku memandang jauh ke arah dindingdinding
tempat buku berumah.

ada yang selalu ingin kupandang tepat pukul duabelas siang. detak
jantung selalu melebihi detik jam tangan. desiran angin perlahan
tapi selalu membawa daundaun bernari mengitari akasia.

matahari bersama awan sedang melepaskan kerinduan setelah


beberapa hari tak bersama. burungburung saling bercanda dan
sesekali melihatku sendirian di payungpayung. aku hanya
tersenyum kepada mereka sambil memendam rasa iri.

hirukpikuk mesin suara mengingatkanku pada kala. "ternyata


sekarang sudah pukul duabelas siang tepat", gumamku. gadis
berambut panjang tibatiba mencairkanku dengan suara lembut,"
kenapa kamu selalu sendiri di sini tepat jam duabelas siang?
bolehkah aku duduk disini?"

2009

Taman Kota | 17
18 | Taman Kota
Fragmen: Mencari Aku

+ Kau mau ke mana?


- Aku tidak tahu, aku hanya ingin menertawakan hidupku.
+ Ada apa dengan hidupmu?
- Sudahlah, aku hanya ingin berduaan dengan angin.
+ Angin hanya akan membuatmu berdahak, kenapa tak kau
ceritakan padaku?
- Bahkah aku sendiri tak tahu, apa yang harus kuceritakan.

Langit berubah menjadi mendung.


Tak ada lagi orang bertanya.
Tak ada lagi orang mencariku.

* Kenapa kau di sini tuan?


- Aku tidak tahu.
* Tuan salah jalan, lebih baik tuan kembali saja.
- Kembali ke mana? Bahkan aku tidak tahu jalan kembali.
* Tuan tersesat. Ini bukan dunia tuan.
- Lalu aku di mana? Kenapa kalian bisa bicara?
* Kami adalah tuan, kami adalah sisi lain tuan.
- Sisi lainku?
* Tuan tadi berjalan seperti kehilangan tujuan. Tuan...tuan, harus
kembali.

Hujan turun
Awan menghitam kelam
Angin menghembus hingga akasia
Tak sampai menahannya
Rintihan hujan

Taman Kota | 19
Membentuk suara-suara kelabu

+ Hei, bangun. Badanmu basah kuyup. Kenapa kau tidur di jalanan?


- Aku tidak tahu lagi. Apakah kau nyata? Lalu aku di mana
sekarang?
+ Kau di Jalanan, tertidur.
- Tertidur? Bukankah tadi aku bersama aku lain. Ah, aku mau pergi,
terima kasih.
+ Kau mau ke mana?
- Aku tidak tahu. Aku hanya ingin menertawakan hidupku.

2009

20 | Taman Kota
Ada Rindu pada Lot itu

/1/

Ada rindu yang kusematkan


di antara jajaran lot srau.
Aku akan datang padamu lagi.

Kemesraan buih air pasang pada


butiran pasir. Kehangatan senja
pada lot-lot srau. Kegelisahan angin pada layar
cadik.
:
Aku rindu kau kala.

/2/

Di antara lot-lot pacitan


ku sematkan rinduku pada kala

Di antara buih air pasang


Srau. Aku tetap rindu kau kala

2009

Taman Kota | 21
22 | Taman Kota
Perihal Kehidupan

Daun mengerti angin tentang apa yang dibisikannya


Bunga dan lebah terlihat mesra

Rumput dan surya tak pernah bertengkar tentang air


Hujan dan nimbus berkawan larut

Kala seperti biasa


Bermain dengan kata dan warna

2009

Taman Kota | 23
Titik

seninselasarabukamisjumatsabtuminggu
harihari taklagi berjeda
mereka menunggu titik entah kapan

ya, kapan Kau titikki aku


obituari semakin sesak
dengan namanama yang ingin dikenal
apiapi sudah terlalu lahap mencernaku
sekarang tunggu k-apa-n lagi

: beri titik sekarang juga .

2009

24 | Taman Kota
Dialektika Sepi

ketika katakata menjadi sepi,


angan tak lagi dipeluk.
peluh semakin menjerat rasa.
entah rasa manis atau rasa pahit,
--bahkan lidah tak lagi dapat merasa rasa--
sepi menusuk katakata
dia diam tertatih
memaknai dirinya
menjadi kata atau menjadi sepi

2009

Taman Kota | 25
26 | Taman Kota
Dan Senja Itu

Dan Senja di matamu tak seperti dulu


Kini mataair di ronamu mencair
Mengalir rindurindu dan memenuhi lesung itu

Bunga itu tak semerah dahulu,


menjadi hitam pekat selekat
duri tangkai pada batang
:
dan senja itu kini menjadi hitam
sepekat kopi yang kau hisap dari darahku

2009

Taman Kota | 27
Sajak Lima musim

Barang lima musim yang lalu,


kau tuliskan sajak-sajakmu padaku
:
Tiga sajak tentang aku
Tiga sajak tentang cinta
Tiga sajak tentang kamu

2009

28 | Taman Kota
Cerita Malam

Dingin malam ini begitu mesra


membelai daun kamboja di seberang jalan.
Orkestra jangkrik menghanyutkan malam
yang semakin larut. Embun itu
tetap Menemani kabut yang merindukan
Edelweis.
:
Aku di antara mereka
bermesraan dengan rinduku

2009

Taman Kota | 29
Nokturno

+ Mengapa selalu malam? Bukankah senja selalu lebih mesra.


Bahkan Fajar selalu menjadi penyejuk rasa yang pekat pada malam.

- Namun aku lebih suka pada pekat malam. Setiap malam hanya
ada aku, lampulampu kecil, dan rindurindu. Kadang gerimis kecil
bernyannyi riang. Aku suka.

gerimis kecil terdengar riang di balik jendela


bungabunga kamboja menawarkan rasa pekat
lilinlilin kecil menyemangati lampulampu yang behenti bersinar
kertaskertas dan penapena berhenti bekerja
aku rindu ka--mu

- Bukankah malam ini begitu mesra? Coba tutup matamu dan


rasakan malam lebih dekat.

jam berdetak beriringan dengan nyanyian gerimis


kunangkunang menjadi ku--ku

+ Aku tahu sekarang, mengapa kau selalu duduk sendiri lewat


tengah malam.

2009

30 | Taman Kota
Bukankah Malam Ini Semakin Mesra

remang bulan; kabut yang tipis;listriklistrik yang padam


bintangbintang bersembunyi di balik kerumunan kabut lirih;
surga seperti pelan; pelan terbuka
kau me--reka aku; mengambil pelanpelan hingga desahan yang
amat resah;
menjemputku pada tiang jembatan merah; di telaga merah;

: sendu

2009

Taman Kota | 31
Aku Ingin Menjadi Bulan

Gadis di depan kursiku seperti ingin mencari bulan,


menengadah langit sambil membawa kantung.
"aku ingin bulan itu jadi milikku", seru gadis itu

2009

32 | Taman Kota
Fragmen Tak Berima

Setelah beberapa kali kubalik lembarlembar


kiasan yang kau tulis, kau tetap saja
menjadi fragmen tak berima.

Setiap kata tak lagi kau sihir sempurna, bahkan


hanya jadi santapan di minggupagi. Bukan
sebagai pemuas dahaga, menjadikan

aku sedikit orgasme pun tak mampu.


Lalu untuk apa kau sulut api sedang aku
tak terbakar. Lebih baik kau

pagari saja atau kau kotaki kiasanmu itu,


lalu kau simpan di kolong kasurmu.

2009

Taman Kota | 33
34 | Taman Kota
Pelabuhan Kecil

Suara angin mendayu sendu. Nyanyian camar melukiskan


melankolia senja, tak ada kapal lagi yang kan berlabuh di
pelabuhan kecil. Senja mendadak luruh berganti abuabu, kelam.
Batubatu karang tak pernah menangis pada laut yang setiap hari
menamparnya. Namun, ia tetap tegar dan lembut. Laut dan langit
seperti bergandengan mesra. Namun mereka sebenarnya tak
pernah bertemu. Mereka terpisah asa. Sejatikah cinta mereka?
Batubatu karang, laut, dan langit tak pernah bertengkar, tak
pernah bertanya "cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku?"

: Pelabuhan kecil tak pernah menangis ketika kapalkapal pergi


begitu saja

2009

Taman Kota | 35
36 | Taman Kota
Ode untuk Kapal

/1/

Tidak ada yang bisa menjelaskan


tentang sendu yang kurasakan.

Tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa kopi berasa


pahit dan gula berasa manis? Senja masih bersembunyi di balik
abuabu langit yang sembilu entah apa yang dirasakan langit atau
langit serasa sendiri.

Di kamar yang kecil, aku memandang


jauh ke arah cakrawala.
Ke arah pelabuhan kecil di seberang
rumahku. Tak ada kapal yang bersandar padanya,
tak ada tali yang ditambatkan
pada tiangtiang dermaga.
:
Mengapa pelabuhan kecil
tak pernah bersedih
ketika tak ada kapal lagi
yang bersandar padanya?

Taman Kota | 37
/2/

Aku tidak pernah meminta atau


mengharapkan burung kertas datang padaku,
aku tidak pernah tahu rasa sesak ini tibatiba datang.
Aku bukan seorang barista yang bisa meracik kopi kaya akan rasa.

Aku tidak bisa memotong senja untukmu


atau menghadirkan hujan bulan juni.
Kadang aku hanya ingin menjadi malaikat
yang menjagamu siang dan malam.

38 | Taman Kota
/3/

Apakah malaikat merasa?


Ah, tentu saja malaikat tak merasa,
aku tidak bisa
menjadi malaikat karena aku merasa.

Mengapa rasa menjadikanku


manusia? Aku hanya ingin di dekatmu,
berdua denganmu
tanpa sekalipun terlihat olehmu.

Aku hanya memikirkan


betapa mayanya perasaan yang kurasakan.
Sembilu seperti langitlangit abuabu ataukah
merona merah seperti senja yang cerah.
Kedua rasa bercampur aduk memenuhi sesak dada.
:
Bagaimanapun aku adalah manusia bukan malaikat.

Taman Kota | 39
/4/

Mungkin aku seperti pelabuhan kecil di seberang


rumahku, yang tahu kapan bersikap lembut dan tegar.
Namun, aku masih belajar bersikap tegar.
Aku belum setegar pelabuhan kecil yang tak pernah
menangis ketika kapal pergi meninggalkannya.

/5/

40 | Taman Kota
Tibatiba aku ingat ketika
kau mengajakku ke kedai kopi kecil.
Sekadar melepas lelah katamu,
namun bagiku melepaskan dahaga.
Aku memesan kopi pahit
tanpa gula. Kau memesan kopi
yang telah dicampur—susu dan coklat.

Barista membawakan kopi


pesananku dan pesananmu,
di meja kecil paling ujung kedai kopi.
Aku meminum pelanpelan,
sambil memandangmu
yang dengan lugunya
meniupniup kopi panas.
Barista ternyata tak membuatkan
kopi sesuai yang kupesan.
:
Kopiku berasa manis
atau aku sudah tidak bisa membedakan pahit dan manis.

/6/

Taman Kota | 41
Aku merasa dekat dengan surga.
Entah surga seperti apa,
bahkan aku tidak pernah melihat surga.
Surgaku dan surga Tuhan mungkin berbeda.

Di Surgaku, hanya ada satu bidadari,


pantai senja yang merah disertai
camarcamar yang mengalun rindu.
Nyanyian ombak yang menderuderu.
:
Namun, surgaku tak abadi bahkan akan cepat luruh.
Aku hanya ingin sejenak berada di surgaku.

/7/

42 | Taman Kota
Aku masih mendengarkan
lagulagu yang sering kita putar di tamankota.
Duduk di taman
sambil meracau tentang:
aku, kamu, dia, kita, kami, kalian, dan mereka.

Waktu seakan berhenti.


Burung gereja iri melihat kita berdua.

Entah sudah berapa kali lagu mengalun


barangkali sudah seribu
jika ditambahkan yang kudengarkan sendiri.
Aku sempat beberapa kali terlelap dan
memimpikan kembali suasana tamankota.
:
Rasanya aku ingin abadi di sini.

/8/

Kau masih ingat

Taman Kota | 43
sepotong sajak yang kubacakan untukmu:
yang fana adalah waktu. Kita abadi.

Kau dan aku abadi setidaknya dalam kotakku.


Aku masih menyimpan kotak tersebut
dalam ruang dan waktu
yang aku sendiri bingung menjelaskannya.

/9/

Kapal yang dulu datang pada pelabuhan kecil, berangkat


tepat pukul 5 sore. Kapal sudah sempurna, lukaluka sudah sembuh.

44 | Taman Kota
Badai sudah reda. Lautan akan menyambut kapal lagi dan
menghantarkannya ke pelabuhan akhir—tempat yang menjadi
tumpukan impian kapal dan bukan di pelabuhan kecil.

/10/

: Sepotong roti yang kau titipkan padaku masih utuh,

Taman Kota | 45
aku tidak ingin memakannya karena aku tidak bisa
memakannya. Aku sudah tidak bisa membedakan manis dan
pahit. Sepotong roti kuletakkan di atas meja yang
menghadap jendela tepat menghadap cakrawala. Di
atasnya, burungburungkertas—merah, hijau, kuning, dan
biru yang juga kautitipkan padaku—kubiarkan terbang di
jendela.

Aku ingin meluruhkan segala rasa.

2009

46 | Taman Kota
Taman Kota | 47
Delapan Sonnet yang Terserak di
antara Kertas Lusuh

48 | Taman Kota
Taman Kota | 49
Fragmen Taman Kota, 1

Sore itu langit menjelma abu-abu. Angin berjalan


mondar-mandir di celah-celah akasia.
Sebuah taman kota yang sering ramai setiap sore sekarang
seakan sunyi, bangku taman dan lampunya

hanya berdiam sembil menunggu tik-tok jam.


Barangkali akan ada hujan. Di taman kota ada sepasang ayunan.
Biasanya sepasang burung dara bermain di atap ayunan
sambil meracau. Sepasang ayunan bergoyang

terbelai oleh angin yang sedari tadi bersinjingkat entah apa yang
ia cari. Sepasang burung dara tak datang sore ini.Jam taman
berdentang,
kali ini menandakan waktu sudah menjelang petang. Matahari
senja
yang tadi memancarkan cahaya merah, redup perlahan-lahan.

Ada bulan yang remang tertutup mendung. Lampu taman mulai


bangun dari kantuk sesiang. Ia mulai menerangi taman kota yang
sesore tadi sepi.

2010

50 | Taman Kota
Fragmen Taman Kota, 2

Biasanya akan ada gadis kecil berambut panjang duduk di sini.


Langit yang
sedari tadi dilanda murung mulai menandakan keceriaannya.
Dari jauh sepasang bayangan mendekat. Mungkin itu gadis yang
sering membaca buku dan membuat sajak.Ada yang hingar ketika
mereka

tiba di bangku taman. Lampu yang redup menjadi ceria, bangku


taman
menjadi lebih hangat. Petang menjelang malam kembali sedikit
hangat.
Aku suka taman kota ini, jika menjelang malam, aku selalu
menghabiskan
berlembar-lembar buku. Kau suka kan? Bangku taman seperti
mengenali bau parfum dan suara

lembutnya. Aku yakin, dia adalah gadis yang biasa duduk di sini.Tapi
dia tak
lagi sendiri.Ronanya tak lagi sendu. Langit pun tak lagi mendung.
Bulan sudah tak lagi
tertutup. Cahayanya perak memancar hingga membentuk bayang-
bayang
akasia. Angin tak lagi bertingkah seperti sore tadi.

Kita sudah tua ternyata, sudah lama kita tidak menemani


sepasang bayangan yang duduk di sini.

2010

Taman Kota | 51
Lalu Desember
: duadua, dua

Lalu desember, ketika kau titipkan pesan,


tiba-tiba aku ingin sendiri. Kubiarkan
kau sendiri tapi tak benar-benar sendiri.
Di bagian lain, aku menyihir

daun-daun di sekitarmu untuk


menemanimu selama sendiri,
juga angin juga burung-burung
gereja. Lalu Januari,

aku ingin ke kota yang jauh. Kusihir saja kereta


untuk menemani pergi ke kota yang berjarak ribuan kata.
Aku ingin kau ikut malam ini. Baru saja kusihir diriku
‘tuk menemanimu. Lalu februari, tiba-tiba kau

pergi, selamat tinggal, terimakasih. Lalu


kusihir saja diriku jadi tiada dan berlalu.

2010

52 | Taman Kota
Tiba-tiba saja
:dr

Tiba-tiba saja kau menjelma


angin yang hingar ke sana
–ke mari. Menerobos celah ruang-ruang.
Takterlihat namun selalu kurasakan.

Tiba-tiba kau menjelma menjadi detik waktu.


Mengingatkanku pada pertemuan yang lalu.
Lalu kau menjadi hujan yang tiba-tiba mengetuk
jendela dan mengajakku bermain. Lalu

kau dingin di sudut stasiun yang kurasakan


tempo lalu sambil menunggu. Aku tiba-tiba
membayangkan kau ada di setiap dinding yang
ku lihat di sepanjang jalan atau lampu jalan

yang menerangi jalan: Ah, tiba-tiba saja


kuingat kau yang tiba-tiba hilang.

2010

Taman Kota | 53
Stasiun Tua

Hanya angin yang mendesir di antara pekat peron stasiun tua.


Kereta sudah jarang lewat stasiun. Hanya ada beberapa kereta tua
yang bersandar di beberapa baris rel atau kereta yang sedikit lusuh
yang butuh istirahat beberapa saat. Ada penjaga stasiun

yang sangat setia padanya. Penjaga stasiun memang


kelihatan lebih muda dari stasiun. Jarak mereka
mungkin 2o atau 30 tahun. Tapi ia sangat suka dengan stasiun tua
ini.
Semua yang ada di dalam stasiun masih utuh, masih sama ketika
stasiun lahir.

Tidak ada yang berubah mungkin hanya beberapa kulit stasiun


yang
lebih cerah karena setiap ulangan hari lahirnya selalu
diperbaharui. Penjaga stasiun selalu duduk memandangi jam yang
memang
sedari dulu berada di situ sambil mendengarkan tik-tok waktu.

Sudah berapa kali kau berputar? Mungkin kau sudah lelah. Hanya
angin yang
mendesir sore itu, ketika stasiun tua melepas penjaga stasiun.
Mungkin kau sudah lelah.

2010

54 | Taman Kota
Selamat Tinggal

Tidak kah kau dengar helaan nafas


burung yang berjingkat di pohon mranggas.
Tidakkah kau dengar riuh angin menderai dahan
pohon itu. Tidakkah kau dengar

sayup-sayup mesin lokomotif yang


akan menjemputmu kelak.
Aku dengar jejak langkah yang
seru tertinggal di antara deru pasir dan

ombak. Aku dengar kelopak bunga


kamboja yang jatuh pada tanah basah.
Aku dengar rimis hujan pelan-pelan

di atap rumah. Nada itu. Aku dengar


suara lirihmu pelan-pelan.
: Selamat tinggal.

2010

Taman Kota | 55
Masih Saja Kau Melamun

Di teras rumahku, masih saja kau melamun,


diam-diam aku memikirkan lampu
remang-remang di seberang. Kerdipnya
pelan-pelan seirama denyut nadi menghanyutkan

darah yang mengalir pada aorta.


Kenapa kau masih saja melamun.
Ada burung yang tiba-tiba singgah di atap lampu,
memandangku, sejenak ia pejamkan mata.

Tiba-tiba saja lampu sepanjang jalan


mati dan hanya lampu itu saja pelan
remangnya mengirama pada malam yang pekat.
Masih saja kau melamun di dunia yang fana

sambil menghisap asap dan menyerap kopi pekat


lalu mengawang tentang keabadian pada ihwal yang fana.

2010

56 | Taman Kota
Rindu yang Kekal

Kutuliskan padamu, ibuku, rindu-rindu yang abadi.


Aku masih ingat dongeng-dongeng yang mengantarku ke negeri
penuh pelangi. Pelangi tak pernah memudar di antara
bukit-bukit yang menghimpitnya. Senja merah cerah tak pernah

luntur oleh abu-abu sembilu. Air terjun yang


mericik riang memenuhi danau bening, riciknya
membentuk pelangi abadi. Pinus-pinus
berpelukan meneduhkan ilalang dan burung-burung.

Tak ada lagi denyut waktu atau rintihan pasir yang jatuh
di antara kaca. Aku rindu dongeng-dongeng itu. Aku rindu
suara lirih yang mengantarku ke tempat itu.
aku rindu helai derai rambutmu. Aku rindu ronamu.

Suatu saat akan kuceritakan dongeng-dongeng itu pada anakku.


Suatu saat aku akan menemuimu di tempat
itu. Kita akan berbagi dongeng-dongeng dan denyut waktu benar-
benar punah.

2010

Taman Kota | 57
Sepasang Cangkir di Meja Kedai Kecil

Sepasang cangkir berada di meja kedai kecil.


Yang satu berisi kopi ampas pekat, yang satu berisi
teh manis hangat. Kedai kecil berasa hangat,
ketika di luar hujan liris. Sepasang cangkir diiringi lantunan

harpa serta suara sayup-sayup penyanyi menghangatkan


kedai kecil. Ketika seseorang maju menggantikan pemain harpa,
kemudian membacakan beberapa potong puisi, kedai kecil
larut. Sepasang cangkir mendengarkan baik-baik sambil

berpandangan satu sama lain. Kau tahu? Inilah yang aku suka
menjadi cangkir. Sepasang cangkir tersenyum, ia tidak
memikirkan kenapa ia hanya cangkir, bukan harpa,
maupun secarik puisi. Ia hanya tersenyum saja.

2010

58 | Taman Kota
Taman Kota | 59
Fragmen Kecil tentang Laut

Detak jam dinding terdengar riang


mengalun detak demi detak.
Kaca jendela kubuka, angin mendesir resah
serasa badai akan datang

hari ini. Camarcamar buruburu kembali ke sarangnya.


Lampusuar menyala dalam gelap abuabu. Lampusuar
menerawang jauh ke cakrawala menjadi tanda daratan
kepada kapal kalaukalau ingin sekadar bersandar.

Aku menerawang jauh ke cakrawala.


Langit mendung menggulunggulung. Riak
ombak menjadi tak tenang. Angin semakin kencang.
Terlihat kapal yang tergopohgopoh jauh di cakrawala.

Suar menatap jauh pada kapal, menunjukkan


jalan kepada pelabuhan kecil. Kapal memberikan
tanda kepada pelabuhan kecil.
ijinkan aku bersandar padamu malam ini.

Pelabuhan menyambut lembut kapal. Senyumnya


selalu merekah tatkala ada kapal yang bertambat
kepadanya. Ia selalu menyiapkan yang terbaik bagi kapal.
Malam semakin larut. Tak ada bintang, tak ada bulan.
Awan nimbus masih melirihkan air pada bumi

2010

60 | Taman Kota
Sore yang Kau Tinggalkan Tiba-tiba

Bagaimana dengan sore yang kau tinggalkan


tiba-tiba. Sore itu aku melihatmu di taman kota,
sambil berayun di antara pekik gelas
waktu, sesekali menengadah ke langit dan

menghirup sore yang beranjak petang.


Kau di situ bukan. Petang pelan-pelan
menghapus merah senja dan merapikan
langit, kau pun beranjak meninggalkan bekas

yang lekas mengabur pada petang.


Aku melihatmu sore tadi, ketika jam
terjepit di antara sore dan petang.
Bekas yang lekas sia-sia dilupakan.

2010

Taman Kota | 61
Dalam Kereta

Dalam kereta:
aku diam
hening
meniti jalan
panjang
yang tak
tahu ujung

2010

62 | Taman Kota
Ada Apa dengan Hujan Malam ini

Ada apa dengan hujan malam ini


Rintik-rintiknya mengalun perih
Malam begitu dingin begitu sepi
Tak ada lagu yang masgul
Langit mengharu putih keabuabuan
Atau abu keputihputihan
Lampulampu jalan samar pilu
Menundukan kepalanya
Berduka pada malam

Ada apa dengan hujan malam ini,


: Ada apa denganmu malam ini.

2010

Taman Kota | 63
Ada yang tak biasa malam itu, aku lupa ada
waktu yang terjepit di antara kita
: duadua, dua

Ada yang tak biasa dari malam itu. Aku berdua denganmu,
menghabiskan malam yang tak biasa. Langit seperti taman yang
penuh dengan bunga. Entah berapa bunga, kita berdua tak sempat
menghitung. Bukankah malam ini begitu indah. Desiran angin
mengiringi malam yang berjalan pelan, mengenaimu dan
mengenaiku. Malam itu tidak dingin, karena ada sisa bara
di antara kita. Kau masih juga memejamkan mata. Ronamu begitu
tenang bersama senyum. Coba kau pejamkan mata, dengarkan
nyanyian ombak, bintang, angin, dan malam.

Ombak menderu-deru bersama karang-karang tebing. Angin


bersijingkat ke sana-kemari. Lintang memainkan cahayanya
membentuk milkyway. Malam menjadi pemimpin rombongan
orkestra. Mereka memainkan harmoni yang tak pernah kudengar
sebelumnya. Aku ingin berdua denganmu, sambil menikmati malam
yang tak biasa, kau mau kan? Tanpa kau minta pun aku selalu ada
meskipun kau tak menyadari. Kau masih saja tersenyum lalu
memejamkan mata, menikmati malam yang tak biasa.

Ada yang tak biasa malam itu, aku lupa ada waktu yang terjepit di
antara kita.

2010

64 | Taman Kota
Ada yang Ingin Mencuat

Ada yang tiba-tiba ingin mencuat di antara cekik


waktu. Senja ini akan berangkat ke kotaku lagi.
Kotamu mengisyaratkan rasa yang kekal.
Ada yang tertinggal di kotamu. Rindu yang

begitu abadi—entah aku sengaja atau tidak sengaja


kutinggalkan. Bunga kamboja yang beguguran di depan
benteng, kuambil satu lalu kukekalkan ia di lembaran kata.
Batu karang yang tersebar di pantaimu, kukekalkan pula.

Kutitipkan pula rindu-rindu yang abadi


pada bunga kamboja dan karang lain.
:
Aku akan kembali kelak.

2010

Taman Kota | 65
Dan Cat Air itu Masih Tergeletak di Sudut
Ruang

Dan cat air itu masih tergeletak di sudut ruang.


Ada beberapa warna yang menunggu digoreskan
di antara kertas-kertas lusuh.
Ada beberapa kuas yang menanti warna untuk
membasuhnya.

Di sudut ruang, masih saja tidak ada perubahan.


Kertas-kertas masih saja lusuh serupa sampah
yang memenuhi sudut ruang.
Cat air dan kanvas masih mati terberai di antara
kertas-kertas lusuh dan sudut ruang.
:
Dan kau pun masih di situ rupanya, menunggu kunci ruang itu.

2010

66 | Taman Kota
Taman Kota | 67
Bersatulah Lumpur-lumpur yang Telah
Mengisi Hidup Kami

Sendok kami terbuat dari lumpur, garpu, piring, penggorengan,


kompor, pisau, wajan, rantang, pisau. Bersatulah dapur
lumpurku.
Baju, celana, daster, celana dalam, kutang, terbuat dari lumpur.
Jam dinding, kursi, meja, lemari, terbuat dari lumpur.
Buku-buku terbuat dari lumpur.
Nisan, terbuat dari lumpur
Mata, mulut, jantung, kuping, terbuat dari lumpur.
:
Bersatulah lumpur-lumpur kami.

2010

68 | Taman Kota
Taman Kota | 69
Kepada Pemilik Lumpur

Lumpur tuan telah penuh,


Kapan tuan ambil.

2010

70 | Taman Kota
Taman Kota | 71
Dan Senja pun Turun Pelan-pelan

Dan senja pun turun pelan-pelan,


meninggalkan peluh pada petang
yang tak sempat kau cicipi rasanya.

2010

72 | Taman Kota
Keluarlah, Ada Hujan Berdansa dengan
Malam 
: dr

Keluarlah, hujan telah berdansa dengan malam


Tik tik –nya menyerukan isyarat
—yang mungkin akan kau reka-reka

jendela rumahmu akan diketuknya


memanggilmu untuk ikut berdansa
malam akan lambat –
beku serupa batu
dan waktu takkan terjepit lagi
:
Keluarlah sebentar, aku ingin berdansa denganmu
Mungkin esok akan tiada

2010

Taman Kota | 73
Tidurlah Sejenak

tidurlah sejenak
langit telah terlelap
bulan akan menjagamu
--pada malam yang pekat

ilalangilalang telah menunggumu


--bermain bersama
kapuk yang terbang ke sana ke mari
rindu tiupan manjamu

tidurlah sejenak :
--sambil tertawa riang
di tengah padang ilalang
aku akan menjemputmu

2010

74 | Taman Kota
Berjalanlah Pelan-pelan

berlayarlah menuju pelabuhan


kelak kau akan mempertanyakan
laut yang menjadi teman perjalannamu
--kelak merindukanmu penuh sesak

berjalanlah menuju kotamu


pelanpelan saja, jangan kau tengok
gedunggedung akan menjemput
--kelak aku akan merindukanmu
:
langit yang menemanimu dulu
kelak akan abadi
berjalanlah pelanpelan, kelak kau
akan tahu aku abadi di sampingmu

2010

Taman Kota | 75
Di Beranda: Pada Suatu Malam

/1/

Kopi ampas yang kau sajikan padaku, sudah kuminum. Kini hanya
tinggal ampas yang membekas di gelas. Malam telah lewat tengah.
Kau tetap saja menemaniku dengan wajah yang sungguh aku tak
mengerti. Kau bawakan aku setumpuk cerita yang kau bawa dari
padang ilalang. Sebentar saja, aku hanya ingin berbagi denganmu.

/2/

Kau bawakan lagi aku kopi ampas lalu kau tambahkan dengan
beberapa batang kretek. Nanti saja, bukankah kita sudah lama tak
bertemu.

/3/

: Subuh menggantikan malam. Di cakrawala langit terbelah antara


gelap dan biru. Kau tertidur juga akhirnya.

2010

76 | Taman Kota
Tiga Fragmen tentang Kertas

/1/

Pada api yang menyala kelam di antara bukit kecil ku biarkan


kertaskertasku terbakar bebas. Cahaya merah menyala padam,
langit bercampur abukertasku menjelma abu-abu. Sekiranya kertas
bisa menangis, ia akan menangis padaku sambil berteriak :
mengapa kau bakar aku?

/2/

Langit bermuka dua, ia membuat hujan seakanakan ingin


menolong kertas. Api yang ku sulut, padam penuh menyisakan
kertas yang terbakar sebagian. Ada apa dengan kertas? Ada apa
dengan api? Ada apa dengan langit? Ada apa dengan hujan?

/3/

Aku mengambil beberapa kertas yang terbakar sebagian. Ku


simpan juga akhirnya. Dengan beberapa lukaluka di beberapa
bagian, ku masukkan kertaskertas sisa ke dalam amplop cokelat
besar. Langit masih menyisakan beberapa kesenduannya. Ku tulis
beberapa potongan kata pada muka amplop yang tadi menyimpan
kertaskertasku : kepada gadis kecil.

2010

Taman Kota | 77
Aku Rahwana dan Kau Sinta

/1/

ada hujan yang tibatiba datang


tanah membusungkan dadanya
menangkap satupersatu hujan

di antara hujan ada kau


aku berada pada sekian tanah
kau datang mengetukngetuk
rumahku
dengan tibatiba
kau buka pintu
--hujan semakin menderuderu
tubuhmu basah peluh

"bolehkah aku berteduh?"

"tentu saja, kau bisa memakai perapian itu


untuk menghangatkan
tubuhmu"

78 | Taman Kota
/2/

kau sinta
aku rahwana

dua senja telah berlalu


hujan sudah reda
-- hanya serintik
yang kadang turun

"kembalilah pada rama


hujan tak lagi turun
aku takut kelak...."

"dua senja di sini


aku telah menemukan rasa
sebelumnya aku tak merasakan apapun"

senja telah datang


untuk ketujuh kalinya
merah dan menyemburat
merasuk ke dalam
celahcelah rumahku

ada aku dan sinta


--dalam semestaku
menghabiskan tujuh senja
: aku masih takut pada kelak

Taman Kota | 79
/3/

langit yang tertidur dengan pulasnya


tibatiba bangun
ada cahaya merah dan menyemburat
namun bukan senja

"kembalilah, sebentar lagi senja palsu datang"

dengan lagu berat


kau melangkah ragu
menuju pintu

"di luar sudah ada yang mengantarmu kembali"

senja palsu mulai melahapmelalap


sekatsekat
tak ada lagi hujan yang mengantarkan
mu pada ku

rama telah menunggu se-tujuh senja


dia menciptakan senja palsu
untukmu

"aku rahwana, kau sinta


biarlah aku dilalap senja palsu
kembalilah pada rama-mu"
bisikku lirih pada sinta

2010

80 | Taman Kota
Taman Kota | 81
Perihal Waktu

jamtangan memandangku perlahanlahan


sambil meniktokkan jarumnya
mengapa ia selalu berceloteh tentang waktu?

waktu seakan menjadi perekat


tentang yang abadi dan yang fana

ku pandang jamtanganku
sambil berbisik kepadanya
: diamlah, aku hanya ingin abadi di sini

2010

82 | Taman Kota
Taman Kota | 83
Subuh

Di subuh, aku duduk di antara batu dan tegalan


Memandang batas di atas subuh setengah
biru. Ada juga yang meretas biru itu dengan sejuta doa
Tapi tak juga bertemu dengannya

Di subuh; tak sampai padamu juga aku


Dengan beribu bisu yang tak terucap : kau
Lalu kuterjemahkan sepi subuh untuk
sejenak. Melepas rindu, ada juga sepi itu menjelma kau

2010

84 | Taman Kota
Jalan Menuju Rumahnya Terlalu Panjang,
Tidak Ada Jalan Terdekat, Kecuali Kau Begitu
Dekat

Magrib, saat kau datang menyapa dan memanggilku pelan-pelan,


ada tanda seru melingkar di antara denyut nadiku. Sesaat petang
itu, magrib yang diliputi angin dan nyanyian kunang-kunang
menepi di ujung jalan. Di ujungnya ada simpangan. Aku bingung,
jalan menuju rumahmu. Ada dua suara, penuh tanda tanya dari dua
jalan. Aku sepertinya pernah mengenali dua suara itu. Entah dari
kau atau kau yang lain. Orang-orang berjalan menuju dua suara,
menuju dua jalan.

Ada bayangan mereka, mengikuti dari belakang. Ada kunang-


kunang yang terus bernyanyi sambil menari. Ada burung gagak,
diam saja di balik pohon randu, memandang orang-orang yang
berjalan itu. Ada detik waktu, yang melompat dari jam kota yang
terpasang di simpangan jalan. Ada matahari yang menggantung di
barat cakrawala. Orang-orang itu berjalan dengan muka penuh
tanda tanya.

Magrib, ketika kakiku masih saja tak beranjak dari tempat aku
melihat orang-orang berjalan itu, masih saja aku ingin bertanya
pada orang-orang itu. Tuan, aku ingin menuju magrib terdekat.
Suara penuh tanda tanya tak pernah berhenti memanggil. Ada
yang menggigil, ada yang terjatuh, ada yang terlena, ada juga yang
tersenyum. Aku ingin cepat-cepat menuju rumahmu.

Beberapa orang tak mau menjawab, beberapa orang hanya


tersenyum saja, beberapa orang ada yang marah-marah, ada yang
pelan menjawab, jalan menuju rumahnya terlalu panjang, tidak ada

Taman Kota | 85
jalan terdekat, kecuali kau begitu dekat. Kau tak pernah memberi
alamat pasti rumahmu. Yang kutahu hanya magrib sebagai
penanda rumahmu sudah dekat.

Sesaat sebelum magrib, ketika senja megap-megap oleh petang,


aku sangat rindu denyut waktu yang dulu sempat membawaku
pada putaran nada sumbang yang dimainkan beberapa pengamen
jalanan. Aku bertemu pengamen itu kembali, tapi ia tak
memainkan nada sumbang itu lagi. Ia berjalan menuju salah satu
jalan simpangan. Dan menghilang di kerumunan kunang-kunang.
Dan suara itu masih saja memanggil-manggil di antara kunang-
kunang, angin, petang, dan simpangan jalan. Suara magrib tetap
pelan-pelan, mungkin aku sudah dekat dengan rumahmu sekarang.

2010

86 | Taman Kota
Taman Kota | 87
18. 18

aku datang pada -Mu...

2010

88 | Taman Kota
Selamat Pagi Jogja

/1/

Selamat pagi Jogja, orang-orang berjalan


menuju ruang di jantung kota.
Ikut pula sepasang sepatu dan tas pakaian.
Selamat pagi Jogja.

Tidak ada nyanyian bising knalpot,


tidak ada teriakan klakson.
Mungkin benar kau adalah yang teramah.
Selamat pagi Jogja.

Suara jejak kuda tertinggal di depan


stasiun tugu kemudian mengantarku ke jantung kota.
Selamat pagi Jogja. Ada sebagian orang menawarkan
sepasang pakaian, untuk pergi ke jantung kota

sebaiknya pakai pakaian sepasang. Ada saja orang-orang percaya


dengan ajakan sebagian orang asing. Aih…Selamat pagi Jogja.

Taman Kota | 89
/2/

Jantung kota masih megap-megap terinjak-injak


beberapa orang yang memakai pakaian
sepasang. Menunggu. Katanya sebentar lagi ada
sirkus jantung kota di Jogja.

Rombongan orang berjalan


pelan-pelan menuju jantung kota,
membawa beban satu ton, sekiranya
jantung kota mau meredakan beban

satu ton, pikirnya pelan-pelan sambil mengusap-usap


dahi. Selamat pagi Jogja. Katanya kau memang ramah,
setidaknya dengan orang-orang yang sangat
berbeda dengan orang-orang yang memakai baju sepasang.

Selamat pagi Jogja. Hari ini ada rombongan sirkus memainkan


lakon orang Jakarta tersesat di jantung Jogja.

2010

90 | Taman Kota
Televisi

Televisi selalu saja resah


pada isian panjang
yang mengganggunya
tiap pagi hingga malam.

Selalu ada darah,


bangkai, atau nanah.

Mungkin kalau ia tidur sehari


akan lebih baik, pikirnya setiap saat.
Namun, ia hanya televisi.

Tiba-tiba saja ia menangis di ruang keluarga


sambil memandang sekitarnya.
:
Ia hanya televisi saja.

2010

Taman Kota | 91
Waktu Berjalan Menuju Rumahmu

waktu berjalan menuju rumahmu :


langit mengental
jalanjalan bisu
lampu padam

2010

92 | Taman Kota
Taman Kota | 93
Aku Rindu Kau yang Mungkin Tak Ada

Kehendakmu padaku mungkin tak bisa kuterjemahkan begitu saja.


Selalu ada tanda tanya menyeruak atau tanda seru atau tanda
koma sebelum tanda titik yang tak habis-habisnya kureka-reka.

Menerjemahkanmu adalah kefanaan atau sekedar kenisbian. Selalu


ada dinding yang akan membentur. Dan kau masih saja sulit
kujangkau dengan doa-doa yang sering kubaca.

Aku berdiri di tempat tertinggi hanya ingin menjangkaumu. Kata


orang kau adalah maha tinggi. Tak juga aku menjangkaumu. Aku
berdiam di tempat paling sunyi. Kata orang kau selalu menjelma
sunyi. Yang ada hanya aku yang senyap.

Kehendakmu padaku selalu menjadi isyarat panjang, yang selalu


kuukur tanpa tahu ujungnya. Aku rindu kau yang mungkin tak ada,
tapi selalu saja ada di balik sukmaku yang selalu sulit
kuterjemahkan.

2010

94 | Taman Kota
Taman Kota | 95
Surat Kepada Penyairku

Selamat sore, katanya kau ingin menjadi penyair.


Jangan lupa, kirimkan aku kartu pos bertuliskan
sajak-sajakmu. Jangan lupa pula, titipkan
beberapa patah kata yang kau tulis dengan
ucapan selamat sore atau semacam salam
yang lain. Biar kelak aku tahu, suaramu
masih bisa kudengar di balik bait sajakmu.

2010

96 | Taman Kota
Selamat Pagi, Kau Bangun Juga Akhirnya

/1/

Aku mencintaimu. Aku sudah bosan dengan petitihmu itu, setiap


saat kau dendangkan seperti suara angin. Pagi, siang, malam.
Bahkan kau selalu membisikkan ke telingaku jika aku sudah tidur,
hingga aku memimpikanmu menyiksaku dengan petitihmu itu.
Tapi, aku sangat mencintaimu. Bagaimana dengan kalender-
kalender yang sudah kutandai dengan pena, atau jam weker yang
terus bertik-tok yang selalu bernyanyi jika tanggal itu muncul lagi.
Kau sudah lupa, dengan kala itu, atau petitihmu itu sudah tidak ada
maknanya lagi bagimu dan tentu saja bagiku. Aku benar-benar
mencintai….. Bukankah kau sudah beberapa kali mengucapkan
beberapa mantra itu, lalu menghunuskan belatimu itu tepat di
jantungku. Aku pun megap-megap. Darah sudah tak lagi
bercucuran sekarang, belatimu memang masih menancap seru.
Mantramu memang masih menyihirku, tapi aku sudah tak lagi lena
pada petitihmu itu. Apa yang kau cari malam ini? ….Kamu.

/2/

Selamat pagi, kau bangun juga akhirnya.

2010

Taman Kota | 97
98 | Taman Kota
Pertemuan

Debur ombak laut pantai selatan,


mengingatkanku pada senja yang muram.
Ketika kau tiba-tiba tenggelam bersama

deburan ombak. Belum juga selesai aku


bercerita tentang pertemuan kembali, aku
denganmu, di tempat lama kita. Belum

juga bekas kakimu dan kakiku terhapus.


Selekas itu pula kau lesap dalam debur
ombak. Kali ini, saat penghabisanku,

kau bawa aku pada pantai selatan itu.


Dan debur ombak itu pula, kau bawa
aku bertemu kembali dengan rindu
yang dulu hilang kau bawa bersama senja.

2010

Taman Kota | 99
100 | Taman Kota

Anda mungkin juga menyukai