Anda di halaman 1dari 102

Keterbatasan

Kata
Agung Dwi Ertato

Keterbatasan pada Kata| 1


28w Artlab Press. 2010

Daftar Isi

Pacar Senja: Sebuah Biografi Estetika Joko Pinurbo..............3


Permainan Tanda Ke(tidak)-ada-an.......................................26
Sinta: Ketegangan antara Kehendak dan Kerelaan................38
Tragedi Pada Minggu Pagi....................................................47
Asmaradana: Perpisahan Dalam Kebekuan Waktu................56
Menimbang Chairil Anwar....................................................63
Pujangga Baru: Ketegangan antara Kemelayuan dan
Keindonesiaan.......................................................................73
Ayat-ayat Api: Kemarahan yang Terpendam dalam Puisi.....81
Ada Kematian di Balik Celana Joko Pinurbo.........................88

Keterbatasan pada Kata| 2


Pacar Senja: Sebuah Biografi
Estetika Joko Pinurbo
Pertunjukkan Estetik Joko Pinurbo Hingga Akhir
dan Pasca-Orde Baru

Agung Dwi Ertato

“Puisi adalah suara lain.”


(Octavio Paz. )

“These words were created by me with my blood, with my pains


they were created!”
(Pablo Neruda.)

I.

Quote Octavio Paz dan Potongan puisi Pablo Neruda


mengawali esai saya ini. Ada sesuatu yang menarik di balik
quotes tersebut. Pablo Neruda mengajarkan pada kita tentang

Keterbatasan pada Kata| 3


puisi. Puisi yang dimaksudkan oleh Neruda adalah kumpulan
kata-kata yang dibuat melalui darah melalui kepedihan dari
pembuatnya. Kepedihan dan darah tersebut terbentuk melalui
peristiwa-peristiwa yang pernah dialami atau dengan kata lain
sebagai pengalaman pribadi dari seorang pengarangnya.
Sedangkan Octavio Paz, beranggapan bahwa “Puisi adalah suara
lain”. Menurut Paz, “Puisi tidak menyuarakan sejarah atau
antisejarah, namun suara yang dalam sejarah senantiasa
mengatakan sesuatu yang berbeda.” 1Lalu bagaimana dengan
kondisi sastra atau perpuisian khususnya di Indonesia?

Tentu saja hal ini juga terjadi di Indonesia. Roman pertama


Indonesia yang terbit pada prakemerdekaan, Siti Nurbaya, juga
merupakan bagian dari darah Marah Roesli yang ia peroleh dari
kehidupan kolonial di Hindia Belanda. Bagaimana dengan
perpuisian? Puisi Indonesia Modern dipelopori oleh wacana
estetika Chairil Anwar yang menawarkan (menjadikan tawar)
perpuisian Indonesia dari pengaruh-pengaruh kesusastraan
Melayu dan menggantinya dengan perpuisian yang lebih
individualis. Wacana estetika tersebut kemudian diteruskan atau
dirombak oleh penyair-penyair sesudahnya seperti Ajip Rosidi,
W.S. Rendra, Goenawan Muhamad, Sapardi Djoko Damono,
Abdul Hadi W.M., Taufik Ismail, Danarto, Putu Wijaya, Afrizal
Malna, Dorothea, Nenden Lilis, Oka Rusmini, hingga Joko
Pinurbo. Namun, sebelum Chairil Anwar, Amir Hamzah juga
telah menanamkan embrio dalam perpuisian Indonesia Modern.
Embrio tersebut adalah konvensi tentang kesunyian yang dialami
oleh penyair seperti yang terdapat pada buku kumpulan puisi
Amir Hamzah, Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Kesunyian tersebut
1
Dikutip dari Octavio Paz, (2002), Puisi dan Esai Terpilih terjemahan Arif B.
Prasetyo, (Yogyakarta: Bentang) hal. Xiii.

Keterbatasan pada Kata| 4


juga bisa diartikan sebagai darah dari penyair yang ia dapatkan
dari perenungan tentang kondisi psikologi eksistensial atau
kondisi sosial sekitarnya.

Karya sastra tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan keadaan


sosial masyarakat yang menaungi penulis atau sastrawan.
Sastrawan sendiri hidup di antara lingkungan sosial masyarakat.
Menurut Sapardi Djoko Damono, “Sastra menampilkan
gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri merupakan
kenyataan sosial.” ( Damono: 1978). Di Indonesia, sastra
memang sangat dipengaruhi dengan kondisi sosial tempat puisi
dibuat. Entah itu, sastrawan dalam membuat puisi memilih
wacana estetik ‘perenungan akan kesunyian’ maupun ‘melihat
kondisi sosial secara langsung’. Kondisi sosial sangat
berpengaruh kuat dalam penciptaan karya sastra. Kondisi sosial
politik merupakan sangat berpengaruh terhadap karya sastra di
Indonesia, terutama ketika hegemoni Orde Baru berkuasa.
Banyak sastrawan secara langsung atau tidak langsung menyoroti
permasalahan yang disebabkan oleh hegemonik Orde Baru
tersebut seperti Taufik Ismail, W.S. Rendra, Goenawan
Muhamad, Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, Agus
R. Sarjono, Joko Pinurbo, dan lain-lain.

II.

Dalam esai ini, saya akan lebih memfokuskan pembicaraan


saya pada nama terakhir yang saya sebut di atas yaitu Joko
Pinurbo. Ada hal yang unik dari pertunjukkan estetik Joko
Pinurbo hingga akhir Orde Baru dan pasca-Orde Baru.
Pertunjukkan tersebut tentu saja sangat berkaitan dengan wacana
yang sedang menaungi pada awal kepenyairan Joko Pinurbo.

Keterbatasan pada Kata| 5


Awal kepenyairan Joko Pinurbo sendiri dimulai pada tahun 1979
dengan munculnya puisi Prajurit di Malam Sebelum Perang.

PRAJURIT DI MALAM SEBELUM PERANG

ya akulah abdimu
dari kandung leluhurku aku telah lahir
kubawa namanya dalam berkatmu
di tengah hutan memancar kesegaran mata air yang berlinang

dengan jari-jari perkasa


kauhembuskan napasku
dan kualirkan darah
dalam tubuhku yang mungil
hingga sungai pun tetap mengalir
dan bocah-bocah yang berbaris di tebingnya
bersorak gembira

lalu ingin kupersembahkan padamu:


setetes darah yang amis
sekerat daging yang tawar
sehelai rambut yang rapuh
sepotong tulang yang lapuk
dan sebaris napas yang cair
– korban ini begitu sederhana
……
(dikutip dari “Humor yang Polits, Humor yang Tragis” ,
Bandung Mawardi.)

Jika dilihat secara seksama puisi tersebut masih terpengaruh oleh


wacana estetik puisi lirik yang memang merebak pada masa itu.
Sebelum membahas pertunjukkan estetika Joko Pinurbo hingga
akhir Orde Baru dan pasca Orde Baru, tentu saja ada baiknya kita
kembali membaca perkembangan Sastra Indonesia pada masa
Orde Baru.

Keterbatasan pada Kata| 6


Agus R. Sarjono pernah menulis esai tentang perkembangan
Sastra Indonesia pada masa Orde Baru. 2 Dalam tulisan tersebut
Agus R. Sarjono membagi periodisasi menjadi empat yaitu
Sastra dan Orde Baru I, Sastra dan Orde Baru II, dan Sastra dan
Orde Baru III & IV. Setiap periode tersebut mempunyai ciri-ciri
tersendiri. Namun, dari semua periode tersebut, sejak periode
Sastra dan Orde Baru II, 1980-an, pemerintahan di Indonesia
mulai menunjukkan sikap represif terhadap para penentang
pemerintahan termasuk sastrawan.

Di dunia sastra, sikap represif yang dilakukan oleh pemerintah


Orde Baru adalah dengan politik bahasa. Pemerintah
menggunakan jargon-jargon seperti bebas bertanggung jawab,
menggunakan bahasa yang baik dan benar, dan lain-lain.
Jargon-jargon tersebut tentu saja menyebabkan penguasa politik
lebih hegemonik hingga puncaknya pada peristiwa Mei 1998
sebagai akhir kekuasaan hegemonik Orde Baru.

Michael Bodden menyebutkan pula bahwa, “Pemerintahan


Orde Baru melakukan kontrol kebudayaan hingga terbentuk
kebudayaan yang sejenis.” Ia juga menambahkan bahwa,
“Kontrol tersebut menyebabkan hegemonik dari pemerintahan
Orde Baru di bidang Kebudayaan”(Bodden: 1998). Kekuasaan
hegemonik memunculkan kaum-kaum postmodern di Indonesia
yang ingin menentang kekuasan hegemonik Orde Baru.

III.

2
Esai tersebut dimuat dalam Majalah Horison edisi XXXII/7-8/1998 dengan judul
Sastra Indonesia dalam Empat Orde Baru.

Keterbatasan pada Kata| 7


Joko Pinurbo adalah penyair yang tumbuh dan berkembang
pada era kekuasaan hegemonik Orde Baru. Seperti yang telah
disebutkan di atas, Joko Pinurbo mulai menulis puisi sejak tahun
1979. Pria kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 melakukan
metamorfosis estetik kepenyairannya. Metamorfosis tersebut
merupakan pertunjukkan estetik yang ditampilkan oleh Joko
Pinurbo dalam menentang hegemoni penguasa Orde Baru.
Pertunjukkan tersebut terekam dalam buku kumpulan puisi Joko
Pinurbo, Pacar Senja (2005).

Pacar Senja merupakan buku puisi yang berisi puisi-puisi


Joko Pinurbo yang tersebar dalam beberapa buku puisi
sebelumnya, Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001),
Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003, dan Kekasihku
(2004). Melalui pertunjukkan estetikanya, ia mendapatkan
Penghargaan Buku Puisi Pusat Kesenian Jakarta (2000), Hadiah
Sastra Lontar (2001), Sih Award (2001), dan Penghargaan Sastra
Pusat Bahasa (2002).

Bagaimana metaforsis estetika yang dilakukan Joko Pinurbo


hingga berakhirnya hegemoni Orde Baru yang ditandai dengan
Reformasi 1998?

Dalam buku Pacar Senja, puisi yang berusia paling tua adalah
puisi ‘Layang-layang’ (1980). Di dalam puisi tersebut kita bisa
melihat wacana estetik yang digunakan Joko Pinurbo pada awal
kepenyairannya.

LAYANG-LAYANG

Dulu pernah kau belikan sebuah layang-layang

Keterbatasan pada Kata| 8


pada hari ulang tahun.
Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak
tapi hanya sejenak.

Sebab layang-layang itu kemudian hilang,


entah ke mana ia terbang.
Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang
dan kembali ketemu
Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu.

Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan


selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan
meskipun tanpa benang dan tinggal robekan.
Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang.

1980

(Pacar Senja, Joko Pinurbo,hal. 133)

Puisi tersebut dibuat Joko Pinurbo pada usia 18 tahun. Tergolong


muda sekali, bahkan Chairil Anwar baru mempublikasikan
puisinya pada umur 20 tahun. Di usia semuda itu, wacana estetik
yang digunakan oleh Joko Pinurbo masih terpengaruh oleh
wacana estetik penyair terdahulunya seperti Goenawan Muhamad
dan Sapardi Djoko Damono. Aku lirik masih sebagai aku yang
individu dan sajak tersebut masih masih berkisar pada
permasalahan eksistensi psikologi. Tradisi puisi lirik juga masih
kuat diikuti oleh Joko Pinurbo—memang pada masa itu wacana
estetik puisi masih berkisar pada jenis puisi lirik yang
dikembangkan oleh Goenawan Muhamad dan Sapardi Joko
Damono. Pada tahun 1989, wacana estetik Joko Pinurbo mulai
bergeser atau bermetamorfosis melalui puisi ‘Tukang Cukur’
walaupun pada tahun 1990, Joko Pinurbo masih menunjukkan
pengaruh estetika puisi lirik seperti pada puisi ‘Hutan Karet’ dan

Keterbatasan pada Kata| 9


‘Pohon Bungur’. Puisi ‘Tukang Cukur’ setidaknya menjadi titik
awal perubahan orientasi dalam puisi-puisinya pada masa
menjelang akhir Orde Baru dan pasca-Orde Baru.

TUKANG CUKUR

Ia membuat padang rumput yang subur


Di kepalaku. Ia membabat rasa damai
Yang merimbun sepanjang waktu.

“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar,


hotel, dan restoran. Tentu juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.

Ia menyayat-nyayat kepalaku,
mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.

“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.


Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”

Suara guntingnya selalu menggangu tidurku.

1989

(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 17)

Dalam puisi ‘Tukang Cukur’, wacana estetik Joko Pinurbo


pelan-pelan bergeser. Ia sudah tidak lagi menggunakan wacana
estetik puisi lirik yang dulu ia gunakan pada awal
kepenyairannya. Ia mulai menggunakan gaya narasi dalam lirik-
lirik puisinya. Menggunakan potongan cerita atau kisah pendek
namun tetap menggunakan metafora-metafora yang menimbulkan
ironi. Puisi ‘Tukang Cukur’ juga merupakan perlawanan terhadap
modernisasi yang dilakukan kuasa Orde Baru. Simbol-simbol
modernisasi terlihat pada kata bandar, hotel, restoran, sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah. Kata-kata tersebut merupakan
penanda bagi kehidupan kota yang menuju metropolitan. Pada
masa Orde Baru pembangunan sangat didengung-dengungkan

Keterbatasan pada Kata| 10


melalui PELITA (Pembangunan Lima Tahunan). Pembangunan
tersebut persis seperti yang digambarkan oleh Joko Pinurbo
dalam puisi ‘Tukang Cukur’.

Relasi kuasa yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru


menginginkan Indonesia menuju modern melalui kerja-kerja
budaya yang sangat diatur ketat guna menuju Indonesia yang
berbudaya tunggal atau penyeragaman budaya. Relasi kuasa itu
kemudian ditentang oleh beberapa penyair dan tentu saja Joko
Pinurbo salah satunya. Relasi kuasa Orde Baru diciptakan
menggunakan bahasa sebagai alat tersebut. Bahasa sengaja
dimatikan oleh pemengang kekuasaan dengan pemaknaan
seragam. Hal ini menjadi keresahan bagi beberapa penyair karena
bahasa merupakan ‘rumah’ bagi puisi. Dampak dari
penyeragaman pemaknaan bahasa oleh Orde Baru adalah
kesadaran masyarakat Indonesia tentang kesusastraan mulai
berkurang. Namun, beberapa penyair, termasuk Joko Pinurbo,
menggunakan bahasa untuk melawan balik hegemoni Orde Baru.
Pada tahun 1989, Afrizal Malna juga menggunakan bahasa
sebagai sarana melawan arus hegemoni Orde Baru.

….
Di stasiun, orang-orang berdiri. Mereka
saling berdiam di hadapan spiker. Tahu,
jam-jam berlalu, tidak membawa siapa
pun pergi ke rumah sendiri. Sebuah kota
penuh spiker, tahu, tidak perlu mendengar
suaramu.

1989

(“Spiker di Jendela Kereta”, Afrizal


Malna,dalam Arsitektur Hujan, hal. 36)

Keterbatasan pada Kata| 11


Afrizal Malna juga mempersoalkan arus modernitas yang
dibangun oleh penguasa Orde Baru, sama seperti Joko Pinurbo.
Namun, bahasa yang digunakan oleh Afrizal dan Joko Pinurbo
berbeda walaupun Joko Pinurbo masih cenderung sedikit
menguntit wacana estetik yang dibangun Afrizal Malna.
Penggunaan kata-kata yang digunakan Joko Pinurbo masih
mencitrakan unsur-unsur gelap seperti menyayat. Unsur-unsur
gelap juga terdapat pada klausa-klausanya. Ia menyayat-nyayat
kepalaku, aku akan mencukur lentik bulu matamu. Dan kalau
perlu akan kupangkas daun telingamu. Citraan tersebut
merupakan unsur gelap dan bersifat ironi. Bagi mereka yang
hidup dan tumbuh dalam kekuasaan hegemonik Orde Baru seperti
Joko Pinurbo, tentu saja akan merasakan getirnya pencukuran
yang dilakukan oleh Tukang Cukur atau akan merasakan seperti
Afrizal Malna, kota-kota yang tidak perlu mendengarkan
suaramu.

IV.

Pada periode awal 1990-an hingga mendekati masa


keruntuhan kekuasaan hegemoni Orde Baru, wacana estetik yang
dilakukan Joko Pinurbo terus berkembang dan menemukan
bentuk khasnya. Pada tahun 1990-an, Joko Pinurbo membuat
puisi dengan gaya yang berbeda, tidak lagi kembali pada tradisi
puisi lirik ataupun terjebak pada kegelapan puisi à la Afrizal
Malna. Ia mengembangkan gayanya sendiri berupa gaya humor
dengan menggunakan bahasa yang sering kita jumpai sehari-hari
seperti celana, ranjang, dan sarung.

Pada periode itu pula, Orde Baru sedang gencar-gencarnya


melakukan represif terhadap penentangnya. Buktinya adalah

Keterbatasan pada Kata| 12


pembredelan sejumlah media massa seperti Tempo. Joko Pinurbo,
dalam sajak ‘Tuhan Datang Malam Ini’, berhasil menangkap
peristiwa pemberedelan Tempo. Kritiknya terhadap hegemoni
Orde Baru memang tak sekeras W.S. Rendra, namun ironi
muncul pada puisi tersebut.

....
Tuhan datang malam ini
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus
dan celoteh sepi. Ia datang dengan sebuah headline
yang megah: “Telah kubredel ketakutan
dan kegemetaranmu. Kini bisa kaurayakan kesepian
dan kesendirianmu dengan lebih meriah.”
Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai
di atas halaman-halaman yang hilang,
rubrik-rubrik terbengkelai.
....

(“Tuhan Datang Malam Ini”, Joko Pinurbo,dalam Pacar


Senja, hal. 111)

Metafora yang dilakukan oleh Joko Pinurbo untuk penguasa Orde


Baru adalah Tuhan. Orde Baru pada masa tahun 1990-an memang
seperti “Tuhan”. Penguasa dengan mudah membredel media
massa yang menentang penguasa Orde Baru. Orde Baru seperti
“Tuhan”, mempunyai kekuasaan tak berbatas di Indonesia.

.....
Dan Tuhan datang malam ini
di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni
cericit tikus dan celoteh sepi.
Ia datang bersama empat ribu pasukan,
lengkap dengan borgol dan senapan.
Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru:
“Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi.
Kami cuma orang-orang kesepian.
Kami ingin bergabung bersama Anda
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.
Kami akan kumpulkan senjata

Keterbatasan pada Kata| 13


dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.”

Tuhan, mereka sangat ketakutan.


Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang.

1997

(“Tuhan Datang Malam Ini”, Joko Pinurbo, dalam Pacar


Senja hal. 112)

Tuhan yang dimetaforkan oleh Joko Pinurbo sebagai penguasa


Orde Baru adalah orang-orang yang kesepian dan orang-orang
yang mengumpulkan senjata dan menyusunnya jadi komposisi
kebimbangan. Gambaran represif penguasa Orde Baru terlihat
pada metafor Tuhan. Penguasa memang sering melakukan
tindakan represif dengan senjata dan menciptakan ‘kedamaian’
yang dipaksakan tetapi sebenarnya adalah sebuah komposisi
kebimbangan. Ironi, baru dimunculkan pada bait terakhir. Bait
terakhir dicetak dengan huruf miring. Hal ini merupakan bagian
yang coba ditekankan oleh Joko Pinurbo bahwa orang-orang yang
ditekan oleh sikap represif penguasa Orde Baru ternyata masih
memohonkan “doa” kepada Tuhan (yang sebenarnya) untuk
penguasa Orde Baru agar mereka “sadar”.

Beberapa puisi Joko Pinurbo lainnya seperti “Celana 1”,


“Celana 2”, “Celana 3”, “Boneka 1”, “Boneka 2”, dan “Boneka
3” tetap menggunakan gaya humor tapi masih disisipi
permasalahan sosial. Ia tetap menyisipi kritik sosial yang terjadi
pada masa hegemoni Orde Baru.

...
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”

Keterbatasan pada Kata| 14


Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
...

(“Celana 3”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 5)

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Joko Pinurbo


melakukan kritik terhadap pengaruh asing dalam pemerintahan
Orde Baru. Pengaruh asing tersebut disimbolkan pada Ini asli
buatan Amerika. Amerika Serikat berpengaruh besar terhadap
Indonesia terbukti dengan adanya Freeport di Indonesia bahkan
hingga sekarang. Pengaruh tersebut juga terjadi di bidang
ekonomi hingga menyebabkan krisis ekonomi pada tahun 1997-
1998. Kritik tersebut terbungkus melalui bahasa humor –melalui
percakapan sehari-hari. Puisi “Celana 3” memang tidak
menggunakan bahasa puitik. Kekuatan puisinya adalah bahasa
humor yang sederhana. Hal ini merupakan bagian dari
metamorfosis wacana estetik yang diusung Joko Pinurbo dalam
puisi-puisinya.

Pada puisi “Boneka 1”, Joko Pinurbo kembali menampilkan


kritik terhadap kehidupan bernegara di Indonesia. Ia tetap
mengusung wacana estetiknya yaitu narasi humor melalui
percakapan.

Boneka, 1

Setelah terusir dan terlunta-lunta


di negerinya sendiri,
pelarian itu akhirnya diterima
oleh sebuah keluarga boneka.

“Kami keluarga besar yang berasal

Keterbatasan pada Kata| 15


dari berbagai suku bangsa.
Kami telah menciptakan adat istiadat
menurut cara kami masing-masing,
hidup damai dan merdeka
tanpa menghiraukan lagi asal-usul kami.
Anda sendiri, Tuan, datang dari negeri mana?”

“Saya datang dari negeri yang pemimpin


dan rakyatnya telah menyerupai boneka.
Saya tidak betah lagi tinggal di sana
karena saya ingin tetap menjadi manusia.”
...

(“Boneka 1”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 25)

Ia mengibaratkan pemerintah Orde Baru sebagai boneka.


Boneka merupakan simbol mainan. Hal ini berarti bahwa
pemerintah Orde Baru merupakan mainan asing terutama
Amerika. Simbol lain dari boneka adalah sebagai benda mati.
Pemimpin bangsa dan rakyat di Indonesia sudah menjadi benda
mati, tidak lagi menjadi manusia yang mempunyai hati dan
perasaan—manusia yang memanusiakan manusia lainnya.

V.

Pada Mei 1998 merupakan akhir dari hegemoni Orde Baru di


Indonesia. Berakhirnya hegemoni Orde Baru berawal dari krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia pada medio akhir 1997 dan
menyebabkan kerusuhan Mei 1998. Dalam buku Kerusuhan
Mei: 1998 Fakta, Data, dan Analisa menyebutkan bahwa,
“Kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh krisis ekonomi dan IMF
memiliki peran penting dalam menciptakan krisis moneter yang
meluas menjadi krisis ekonomi.” 3 Program-program yang
ditawarkan IMF lebih bersifat politis ketimbang ekonomis.
3
Jusuf, Ester Indahyani dkk, (2007), Kerusuhan Mei: Data, Fakta, dan Analisa,
(Jakarta: SNB dan APHI) hal. 224.

Keterbatasan pada Kata| 16


Pemerintah Orde Baru juga mendapatkan tekanan dari berbagai
pihak internasional. Akibatnya adalah harga-harga barang
melambung dan menyebabkan kerusuhan di Indonesia.

Kondisi negara yang carut-marut menggerakkan mahasiswa


untuk berunjuk rasa menuntut reformasi di Indonesia. Puncak
unjuk rasa tersebut adalah tertembaknya mahasiswa Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998. Pada tanggal 13 Mei 1998 hingga 15 Mei
1998 kerusuhan mulai menyebar di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya. Kerusuhan berubah menjadi kerusuhan rasial terbukti
dengan pembakaran pertokoan yang mayoritas didiami oleh etnis
Tionghoa.4 Bulan Mei 1998 kemudian menjadi bulan mencekam
bagi sejarah Indonesia. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden
Soeharto mundur dari jabatan presiden. Peristiwa tersebut
kemudian disebut sebagai Reformasi Mei 1998 dan sebagai akhir
dari hegemoni Orde Baru.

Beberapa penyair kemudian menulis tentang Reformasi Mei


1998, seperti Taufik Ismail, W.S. Rendra, Agus R. Sarjono, Sitok
Srengenge, Hamid Jabbar, Ikranegara, Danarto, Slamet
Sukirnanto, Soni Farid Maulana, dan Iyut Fitria. Puisi karya
nama-nama tersebut dimuat dalam majalah Horison bulan Juni
1998. Bahkan, penyair yang sering menulis tentang kegelisahan
eksistensial ikut pula menulis puisi yang menggambarkan
Reformasi Mei 1998.5 Wacana estetik pada periode ini berubah

4
Dalam buku Kerusuhan Mei: Data, Fakta, dan Analisa, tercatat 111 lokasi
pembakaran, sebagian besar adalah pertokoan etnis Tionghoa seperti di Penjaringan
Utara, Pluit Muara Karang, Mangga Dua, Kapuk Raya, Sunter, Harmoni, dan lain-
lain.
5
Sapardi Joko Damono yang beberapa puisinya sering berbicara tentang kegelisahan
eksistensial kemudian menulis puisi “Ayat-ayat Api” yang menggambarkan peristiwa
Mei 1998. Puisi tersebut dimuat dalam buku puisinya Ayat-ayat Api (2000).

Keterbatasan pada Kata| 17


menjadi wacana estetik kontekstual karena sebagian besar
sastrawan menulis tentang peristiwa Mei 1998.

Joko Pinurbo, dalam buku puisi Pacar Senja, juga mengikuti


wacana estetik di akhir hegemoni Orde Baru. Peristiwa Mei 1998
disebut Agus R. Sarjono sebagai peristiwa terdahsyat di
penghujung abad 20, sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak
menulis peristiwa tersebut kecuali alasan kemanusiaan dan kritik
sosial terhadap kondisi tersebut.6 Perasaan carut marut Joko
Pinurbo terhadap peristiwa tersebut terdapat pada puisi “Patroli”,
“Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, dan “Mei”.

Dua buah puisi Joko Pinurbo, “Patroli” dan “Minggu Pagi di


Sebuah Puisi”, menggambarkan kondisi aksi unjuk rasa pada Mei
1998. Pada puisi “Patroli”, Joko Pinurbo tetap menggunakan
wacana estetiknya, dengan gaya narasi humor penuh ironi. Puisi
tersebut merupakan potongan cerita seperti yang terdapat pada
puisi-puisi lain Joko Pinurbo namun perbedaannya dalam puisi
“Patroli” lebih jelas kontekstualnya yaitu Mei 1998.

Patroli

Iring-iringan panser mondar-mandir


di jalur-jalur rawan di seantero sajakku.
Di sebuah sudut yang agak gelap komandan
melihat kelebat seorang demonstran
yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan.
Pasukan disiagakan dan diperintahkan
untuk memblokir setiap jalan.
Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir
dan tiarap seketika. Komandan berteriak,

6
Terdapat pada esai Agus R. Sarjono, Sastra Indonesia dalam Empat Orde Baru,
dimuat dalam majalah Horison XXXII/7-8/1998.

Keterbatasan pada Kata| 18


“Kalian sembunyikan di mana penyair kurus
yang tubuhnya seperti jerangkong itu?
Pena yang baru diasahnya sangat tajam
dan berbahaya.”Seorang peronda
memberanikan diri angkat bicara,
“Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit
ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi
di sana.” “Sialan!” umpat komandan geram sekali,
lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli.
Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu
tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil
menepuk-nepuk perutnya. “Lega,” katanya.
Maka kata-kata yang tadi gemetaran
serempak bersorak dan merapatkan diri
ke posisi semula. Di kejauhan terdengar letusan,
api sedang melahap
dan menghanguskan mayat-mayat korban.

(1998)

Dalam puisi tersebut, sikap represif militer terhadap


demonstran digambarkan melalui gaya narasi. Komandan,
panser, patroli merupakan simbol militer sedangkan simbol
demonstran digambarkan oleh kata-kata. Peristiwa Mei 1998
memang seperti yang digambarkan oleh Joko Pinurbo. Militer
membubarkan para demonstran menggunakan panser dan
menembaki demonstran tersebut hingga menimbulkan korban
jiwa bagi demonstran. Humor yang muncul pada puisi tersebut
terdapat pada bagian “Si jerangkong tiba-tiba muncul dari dalam
kakus sambil menepuk-nepuk perutnya.” Si jerangkong kurus
tersebut sampai harus bersembunyi di dalam kakus—tempat yang
berkonotasi jorok—hanya untuk mengelabui militer yang represif
terhadapnya. Hal itulah yang terjadi pada masa hegemoni Orde
Baru hingga berakhirnya masa tersebut, para aktivis, yang
disimbolkan melalui si Jerangkong, harus bersembunyi untuk
menghindari sikap represif (sikap represif tersebut biasanya
dengan cara penculikan) dari penguasa Orde Baru.

Keterbatasan pada Kata| 19


Pada puisi “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, Joko Pinurbo lebih
menggunakan ironi. Joko Pinurbo menggambarkan kerusuhan
Mei 1998 seperti peristiwa penyaliban Yesus di bukit Golgota.
Sebelum penyaliban, Yesus di arak menuju Golgota melewati via
dolorosa. Via dolorosa kemudian penuh dengan darah Yesus.

Minggu Pagi di Sebuah Puisi

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah


ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.

Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara


di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.
...
(“Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, Joko Pinurbo, dalam Pacar
Senja, hal. 114)

Pada kerusuhan Mei 1998, banyak korban berjatuhan di


beberapa sudut kota Jakarta. Pembakaran terjadi di pertokoan-
pertokoan Tionghoa. Darah-darah banyak tersebar di jalan-jalan
kota Jakarta. Jakarta seperti via dolorosa yang banyak bercak-
bercak darah. Bahkan pada kerusuhan tersebut langit kehilangan
warna dan jejak kehilangan suara hanya untuk berduka pada
kerusuhan tersebut. Simbol-simbol tersebut merupakan ironi yang
diungkapkan oleh Joko Pinurbo untuk menggambarkan
kerusuhan Mei 1998 melalui puisi.

Pada puisi “Mei” tidak ada lagi humor yang biasanya menjadi
ciri khas puisi Joko Pinurbo. Joko Pinurbo kembali pada gaya
liris yang penuh ironi. Puisi “Mei” sendiri di tulis pada tahun

Keterbatasan pada Kata| 20


2000, pasca-Orde Baru. Hal ini menunjukkan bahwa kerusuhan
Mei 1998 sangat membekas dalam ingatan.

Mei

Jakarta, 1998

Tubuhmu yang cantik, Mei


telah kaupersembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.

Api sangat mencintaimu, Mei.


Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit yang cuma ilusi.

Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei


adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei

Kau sudah selesai mandi, Mei.


Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur
dan lebur dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.

2000

(“Mei”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 120)

Keterbatasan pada Kata| 21


Membaca puisi “Mei” Joko Pinurbo mengingatkan saya pada
puisi Sapardi Joko Damono“Ayat-ayat Api” terutama fragmen
pertama. Ada kesamaan kelirisan dari kedua sajak tersebut.

...
mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan
...

(“Ayat-ayat Api”, Sapardi Joko Damono, dalam Ayat-ayat


api, hal. 115)

Kedua puisi tersebut sama-sama menangkap kerusuhan Mei


1998 dan mempunyai kemiripan lirisnya. Apa yang menyebabkan
Joko Pinurbo menanggalkan sejenak wacana estetiknya berupa
humor yang biasa ia gunakan dalam beberapa puisinya? Tentu
saja, peristiwa kerusuhan Mei 1998 itu sendiri yang begitu pilu
dan menyedihkan sampai-sampai Joko Pinurbo kembali pada
wacana estetik tradisi puisi lirik, kembali pada aku lirik yang
mengalami perenungan. Mei disimbolkan sebagai perempuan
cantik yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998.

Jika kita melihat seksama diksi yang dipilih Joko Pinurbo


sebagai judul puisinya, maka kita akan mendapatkan nama
Tionghoa. Mei adalah nama perempuan Tionghoa yang berarti
cantik. Kerusuhan Mei 1998 menjadi kerusuhan rasial. Banyak
korban etnis Tionghoa yang menjadi korban kerusuhan. Mei
merupakan simbol korban Tionghoa yang dibakar tanpa tahu apa
kesalahannya—tak ada lagi yang mempertanyakan nama dan
warna kulitmu, Mei.

VI.

Pascakeruntuhan hegemoni Orde Baru, wacana estetik Joko


Pinurbo berubah sedikt demi sedikit. Beberapa puisinya ada yang

Keterbatasan pada Kata| 22


berupa aforisma-aforisma pendek (pada puisi “Kepada Puisi”,
2003).

Kepada Puisi
 
Kau adalah mata, aku airmatamu.
 
2003

(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 147)

Pada puisi “Kepada Puisi”, Joko Pinurbo melakukan


percobaan-percobaan estetik. Tidak lagi berupa narasi panjang
maupun narasi humor. Joko Pinurbo mempertunjukkan kerja
kreatifnya dengan kata-kata yang padat dan hanya menggunakan
satu larik saja.

Beberapa puisinya juga ada yang berbentuk puisi sentimentil


(pada puisi “Pacar Senja”, 2003).

Pacar Senja
 
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.
 
Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk,
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”
 
Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
 
Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.
“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium

Keterbatasan pada Kata| 23


menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”
 
Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap.
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak
dalam gemuruh ombak. 
 
2003

(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal .45)

Letak sentimental puisi tersebut adalah pada pemilihan tema


yang digarap oleh Joko Pinurbo. Jarang sekali Joko Pinurbo
menampilkan tema-tema percintaan. Pada periode pasca-Orde
Baru, Joko Pinurbo mencoba memainkan tema percintaan. Yang
menjadi unik, Puisi “Pacar Senja” tidak tenggelam pada arus
romantik seperti penyair setelah Sapardi Djoko Damono, namun
masih saja menimbulkan ironi. Ironi tersebut terdapat pada bait
keempat.

Beberapa lagi masih terdapat wacana estetik yang orisinil dan


khas yaitu narasi humor tragisnya (pada puisi “Celana Ibu”,
2004)

Celana Ibu
 
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
 
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
 
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
 

Keterbatasan pada Kata| 24


Mengenakan celana cinta buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
 
2004

(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 14)

Pada puisi tersebut, Joko masih menjaga eksistensi wacana


estetik khasnya. Kekuatan puisi tersebut tidak pada diksi yang
puitik namun pada alur narasi yang dibangun oleh tokoh-tokoh
dalam sajak. Tokoh-tokoh tersebut menimbulkan ironi. Peristiwa
paskah yang tragis masih bisa kita tertawakan. Kata paskah
menjadi ambigu ketika dikaitkan dengan kata pas. Itulah
kekuatan ironi yang dikembangkan dalam puisi-puisi Joko
Pinurbo.

VII.

Perubahan wacana estetik merupakan kewajaran karena


penyair pasti mengalami dinamika dalam pencapaian estetiknya
sejalan dengan pengalaman hidupnya bersinggungan dengan
dunia nyata, dunia yang penuh dinamika sosial.
Yang menjadi unik, biografi estetika Joko Pinurbo diberi
nama Pacar Senja yang diambil dari puisi sentimentilnya.
...
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.
...
Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
...

(“Pacar Senja”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 45)

Keterbatasan pada Kata| 25


Pertunjukkan estetik Joko Pinurbo hingga 2004, seperti
sebuah tragic comedy, berisi humor-humor yang tragis. Pacar
Senja merupakan sebuah pertunjukkan estetik Joko Pinurbo yang
terus bersinggungan dengan lingkungan sosialnya dari masa Orde
Baru hingga pascaruntuhnya hegemoni Orde Baru. Pertunjukkan
estetiknya seperti Pacar Senja yang sentimentil dan tak ada
matinya.

Daftar Pustaka

Bodden, Michael. 2004. “Satuan-satuan Kecil dan Improvisasi


Tak Nyaman Menjelang Akhir Orde Baru” dalam Keith
Foulcher dan Tony Day (ed.), Clearing a Space. Jakarta:
Yayasan Obor dan KITLV.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah
Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
____________________. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Jusuf, Ester Indahyani, dkk. 2007. Kerusuhan Mei 1998: Fakta,
Data, dan Analisa. Jakarta: SNB dan APHI.

Keterbatasan pada Kata| 26


Kleden, Ignas. 2004. “Membaca Kiasan Badan: Kumpulan Sajak
Joko Pinurbo” dalam Ignas Kleden, Sastra Indonesia
dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Freedom Institute.
Malna, Afrizal. 1995. Arsitektur Hujan. Yogyakarta: Bentang.
Mawardi, Bandung. 2010. “Humor yang Politis, Humor yang
Tragis” dalam Zen Hae (ed.), Dari Zaman Citra Ke
Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ. Jakarta:
KPG.
Paz, Octavio. 2002. Puisi dan Esai Terpilih terjemahan Arif. B.
Prasetyo. Yogyakarta: Bentang.
Pinurbo, Joko. 2005. Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.
Redaksi Horison, Tim (ed.). 1998. “Puisi-puisi Reformasi” dalam
majalah Horison, XXXII/6/1998.
Sarjono, Agus R. 1998. “Sastra Indonesia dalam Empat Orde
Baru” dalam Majalah Horison, XXXII/7-8/1998.
Utami, Ayu. 2005. “Joko Pinurbo: Mengapa Kematian,
Penyairku” dalam Joko Pinurbo, Pacar Senja. Jakarta:
Grasindo.

Keterbatasan pada Kata| 27


Permainan Tanda Ke(tidak)-
ada-an
Agung Dwi Ertato

In a drear-nighted December,
Too happy, happy brook,
Thy bubblings ne'er remember
Apollo's summer look;
But with a sweet forgetting
They stay their crystal fretting,
Never, never petting
About the frozen time.

(Happy Insensibility, John Keats)

/1/

Keterbatasan pada Kata| 28


Pada era puisi romantik, John Keats menampilkan sajak-sajak
liris imajis. John Keats menangkap semua yang ia lihat dan ia
rasakan kemudian ia tuangkan ke dalam kata-kata. Pengaruh
puisi-puisi John Keats merasuk ke dalam sajak-sajak penyair
Indonesia terutama Sapardi Djoko Damono dan Goenawan
Muhamad. Keduanya mempunyai gaya bahasa yang hampir
mirip.

saat tiada pun tiada


aku berjalan (tiada
gerakan serasa
isarat) Kita pun bertemu

(potongan “Dalam Doa: II”, Sapardi Djoko Damono)

Senja pun jadi kecil


Kota pun jadi putih
Di subway
aku tak tahu saat pun sampai

Ketika berayun musim


dari sayap langit yang beku
ketika burung-burung, di rumput-rumput dingin
terhenti mempermainkan waktu

Ketika kita berdiri sunyi


pada dinding biru ini
menghitung ketidak-pastian dan bahagia
menunggu seluruh usia
1966

(Senja Pun Jadi Kecil Kota Pun Jadi Putih, Goenawan Muhamad)

Keterbatasan pada Kata| 29


Keduanya memiliki gaya retoris liris. Membaca kedua sajak
ini, kita seakan-akan tersihir meresapi kelirisan kata yang
terbentuk dan menyelami kedalaman pemaknaannya.

/2/

Sejak awal kepenyairnnya, Sapardi Djoko Damono tetap setia


pada gaya bahasa yang liris imajis. Membaca karya Sapardi
Djoko Damono seperti membaca potongan-potongan fragmen
kecil. Kekuatan sajak-sajak Sapardi terletak pada diksi yang
sederhana, namun mempunyai kedalaman makna. Dalam antologi
puisi Ayat-ayat Api (2000), Sapardi Djoko Damono kembali
menampilkan kesederhanaan diksi kata. Ayat-ayat Api terbagi
menjadi tiga bagian yakni Ayat Nol, Ayat Arloji, dan, Ayat Api.
Ketiga bagian tersebut menandakan proses menuju ke(tidak)-ada-
an yang bermula pada ke(tidak)-ada-an. Sapardi seolah-olah
bermain dengan ke(tidak)-ada-an. Dalam antologi tersebut
setidaknya ada tiga sajak yang menampilkan permainan
ke(tidak)-ada-an. Sajak tersebut adalah Ruang Ini, Catatan Masa
Kecil 4, dan Yang Paling Menakjubkan.

Untuk memahami ketiga sajak tersebut tidak bisa dilakukan


dengan pembacaan biasa. Micheal Riffaterre mengungkapkan
bahwa pemaknaan puisi bersifat tidak langsung—puisi berbicara
suatu hal dengan maksud yang lain (1978:1)—dan kesatuan
makna dalam puisi bersifat terbatas atau terselubung dalam teks
puisi (1978: ix). Setidaknya ada dua tahap pembacaan yang harus
dilalui. Yang pertama adalah pembacaan heuristik. Pembacaan
heuristik adalah pembacaan secara linear, sekadar memeriksa
konvensi bahasa dalam puisi. Dalam pembacaan tahap ini
pemaknaan puisi cenderung heterogen, terpecah-pecah, dan

Keterbatasan pada Kata| 30


belum menyatu. Oleh sebab itu dibutuhkan pembacaan kedua.
Pembacaan kedua adalah pembacaan hermeneutik. Pembaca akan
dituntut untuk melakukan penafsiran terhadap puisi, dengan kata
lain pemberian makna. Pembacaan hermeneutik ini bersifat
semiotik. Dalam pembacaan hermeneutik akan ditemukan
kesatuan makna.

Seperti yang telah diutarakan, pembacaan puisi adalah proses


memahami makna puisi. Secara semiotik puisi merupakan
struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan
oleh konvensi.7Pendekatan semiotik sastra adalah upaya
menelaah karya sastra menggunakan sistem tenda-tanda untuk
menentukan makna suatu karya sastra. Pendekatan semiotik
Micheal Riffaterre akan digunakan dalam pembahasaan keempat
puisi yang mempunyai indikasi membicarakan ke(tidak)-ada-an.

/3/

RUANG INI

kau seolah mengerti: tak ada lubang angin


di ruang terkunci ini

seberkas bunga plastik di atas meja,


asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka
pada halaman pertama

kau cari catatan kaki itu, sia-sia

7
Konvensi-konvensi yang dimaksud adalah konvensi sastra dan tentu saja konvensi
bahasa, karena bahasa merupakan media dalam karya sastra. Karya sastra tidak bisa
lepas begitu saja dari konvensi bahasa yang berlaku pada waktu karya tersebut dibuat.
Periksa A. Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra halaman 95.

Keterbatasan pada Kata| 31


Dalam sajak Ruang Ini, aku ‘lirik’ tidak disebutkan dalam
sajak. Aku ‘lirik’ terlesap dalam sajak. Pembacaan secara
heuristik sajak ini adalah Aku ‘lirik’ membicarakan ‘kau’ yang
seolah mengerti bahwa tidak ada lubang angin dalam ruangan
yang terkunci ini. Di dalam ruangan yang terkunci terdapat
seberkas bunga plastik yang berada di atas meja. Di atas meja
tersebut juga terdapat asbak yang penuh dan buku yang terbuka
pada halaman pertama. ‘Kau’ masih mencari catatan kaki itu
padahal tidak ada dan kesiasiaan yang didapat.

Seperti yang diutarakan, pembacaan heuristik hanya akan


mendapatkan makna yang sangat heterogen. Pemaknaan secara
semiotik sajak ini, ‘kau’ sebagai objek atau lawan bicara dari aku
’lirik’. ‘Seolah mengerti’ frasa tersebut menandai seakan-akan
mempunyai pengetahuan. ‘Seolah’ mengacu pada keadaan yang
‘seakan-akan’ dan ‘mengerti’ mengacu pada kepintaran. Jika
merujuk pada larik pertama ‘Kau seolah mengerti: tak ada lubang
angin’ merupakan gambaran tentang sesuatu yang tidak bisa
tertembus oleh akal pikiran manusia.

‘Di ruang terkunci ini’ menguatkan frasa sebelumnya.


‘Ruang’ mempunyai padanan dengan semesta. Semesta yang luas
bahkan tidak tahu seberapa menggambarkan luasnya semesta.
‘Terkunci’ adalah simbol dari ketertutupan. Dalam hal ini
‘terkunci’ mempunyai makna kerahasian. Frasa ini berkaitan
dengan semesta yang penuh dengan kerahasiaan.

Pada bait kedua lebih menggambarkan tentang isi dari


semesta.

seberkas bunga plastik di atas meja,

Keterbatasan pada Kata| 32


asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka
pada halaman pertama

Kata ‘seberkas’ biasanya menandai keterangan file-file.


‘Seberkas’ menunjukkan bentuk tunggal yang menerangkan frasa
‘bunga plastik’. ‘bunga’ adalah makhluk hidup yang bisa tumbuh
sedangkan ‘plastik’ adalah benda mati yang tidak bisa
berkembang. Frasa ‘bunga plastik’ dapat menandai makhluk
hidup yang telah mati jiwanya. ‘Meja’ adalah isi dari ‘ruangan
ini’. ‘Meja’ menandai sebuah bagian dari alam semesta—bumi.
‘Meja’ mengacu pada tempat tinggal makhluk hidup, kota
maupun desa.

’Asbak’ menandai tempat pembuangan racun-racun


kehidupan. ‘Buku’ lebih mengindikasikan catatan kegiatan atau
rekaman hal-hal yang telah dikerjakan. ‘Pada halaman pertama’
merupakan tanda awal dari rekaman yang telah dikerjakan
manusia sebagai objek dalam sajak ini.

Membicarakan buku berarti membicarakan pencipta atau


pengarangnya. Dalam setiap buku yang bersifat ilmiah selalu ada
catatan kaki untuk pertanggung jawaban atas pengutipan. Dalam
sajak Ruang Ini ‘catatan kaki’ menandai esensi dari penciptaan
semesta. Pengutipan tentang penciptaan buku—pencipta semesta.
‘kau’—lawan bicara aku ‘lirik’—seakan mencari siapa dibalik
penciptaan semesta dan dia hanya menemukan jalan yang tak
mungkin.

Jika kita melihat ruangan terkunci kita akan mempertanyakan


ke-ada-an atau ketidak-ada-an perihal isi dalam ruangan tersebut.
Lalu kita menebak-nebak antara ada dan tiada. Lain halnya kalau

Keterbatasan pada Kata| 33


kita menemukan ruangan terkunci dan kita sudah tahu isi di
dalamnya, kita akan melewatinya tanpa proses mempertanyakan
ihwal isi di dalamnya lalu kita akan membiarkan saja atau
melewatinya.

Pemaknaan sajak Ruang Ini adalah tentang manusia yang


seakan-akan secerdas apapun akan sia-sia dalam memahami
catatan kehidupan. Manusia yang cerdas itu pun akan terjebak
pada ketidak-ada-an. Mereka akan mempertanyakan ihwal
pencipta yang mereka sungguh mengerti bahwa mereka tak bisa
menembus ada atau tidak ada pencipta.

/4/

Ihwal ke(tidak)-ada-an juga terdapat pada puisi Catatan Masa


Kecil 4. Ke(tidak)-ada-an ditandai dengan metafor ‘angka nol’.

Catatan Masa Kecil 4

Ia tak pernah sempat bertanya kenapa


dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah
dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu
tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari
tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang dengan
angka nol. Dan setiap kali ia menghitung dua
tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu
teringat waktu terjaga malam-malam ketika
ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di
rumah dan di halaman terdengar langkah-
langkah bakiak almarhum neneknya dan ia ingin
kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat
sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.
Sungguh, sejak semula ia hanya
mempercayai angka nol.

Keterbatasan pada Kata| 34


Pada pembacaan awal, kita akan menemukan bentuk sajak
‘Catatan Masa Kecil 4’ serupa dengan prosa. Sajak ini merupakan
bagian dari ketegangan konvensi dan inovasi dalam karya sastra.
Sapardi Djoko Damono melakukan inovasi terhadap bentuk sajak
yang ia ciptakan. Sajak tersebut tidak lagi berbentuk bait-bait yang
sering ditulis oleh penyair-penyair pada periode pujangga baru
maupun angkatan’45. Inovasi inilah yang menempatkan Sapardi
Djoko Damono menjadi salah satu penyair modern selain inovasi
dalam hal gaya bahasa.

Secara heuristik, sajak ini bercerita tentang aku ‘lirik’ yang


mencerikatan ‘ia’ kepada lawan bicaranya. ‘ia’ digambarkan oleh
aku ‘lirik’ sebagai anak kecil. Anak kecil tersebut tidak pernah
bertanya tentang ketepatan angka-angka dalam ilmu matematika.
Setiap ‘ia’ menghitung angka ‘ia’ hanya teringat kepada ‘ibunya’
yang sakit keras. Saatnya ‘ibunya’ sakit keras, ‘ayahnya’ juga tidak
ada di rumah. Saat itu pula ‘ia’ mendengar suara bakiak ‘neneknya’
yang sudah meninggal, dan saat itu pula ‘ia’ takut ke kamar mandi,
lalu ‘ia’ kencing di kasur. Sejak awal ‘ia’ hanya percaya ‘angka nol’.

Pemaknaan masih bersifat heterogen. Tidak ada kesatuan makna


dalam pembacaan heuristik. Dalam pembacaan heuristik kita akan
menemukan subjek aku ‘lirik’ yang bertindak sebagai penutur, orang
ketiga—‘ia’—, ‘angka-angka’, relasi ‘penjumlahan dan perkalian’,
‘ibunya’, ‘ayahnya’, ‘almarhum neneknya’, ‘bakiak’, ‘kencing’,
‘sumur’, ‘kamar kecil’, ‘kasur’, ‘mempercayai’, dan ‘angka nol’.
Metafor-metafor tersebut masih kabur maknanya.

‘Ia’ dalam sajak ini menjadi objek utama. ‘Ia’ berkaitan dengan
anak kecil karena merujuk pada judul sajak—Catatan Masa Kecil 4.
Anak kecil mengacu pada keadaan awal mula, awal mula dari sebuah
kehidupan. Anak kecil merupakan simbol kepolosan. Pada

Keterbatasan pada Kata| 35


pengetahuan anak kecil selalu pada tingkat yang kosong belum terisi
dengan segala pengetahuan. Awal mula adalah ke(tidak)-ada-an.

Frasa ‘tak pernah sempat bertanya’ merupakan fungsi predikat


dari ‘ia’. Frasa tersebut dapat diinterpretasikan pada keadaan yang
diam dan sunyi. ‘Kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua
tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu
dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga.’ Klausa tersebut
menandai suatu kepastian. Kepastian yang terjadi setelah awal mula
—ketidakadaan—menuju proses keadaan. Dalam proses menuju
keadaan, sesuatu yang ada sudah pasti dan tidak dapat diganggu
gugat.

Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga


kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu
terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras
dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman
terdengar langkah-langkah bakiak almarhum
neneknya dan ia ingin kencing tetapi takut ke
kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu
kencing saja di kasur.

Ada ketakutan pada masa lalu. Ketakutan masa lalu tersebut


ditandai dengan frasa ‘setiap kali’ dan ‘selalu teringat’. ‘Dua
tambah tiga kali empat kurang dua’ dikaitkan dengan ‘waktu
terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak
ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak
almarhum neneknhya’. Frasa pertama tadi menandai kepastian
dari ada dan frasa kedua menandai keadaan yang sunyi. ‘Ia’
sangat takut dengan ke-ada-an yang sunyi dan sendirian.
Ketakutan pada kepastian dan ketakutan pada kepastian
kenangan. Frasa ‘angka nol’ menandai bentuk permulaan dan

Keterbatasan pada Kata| 36


kekosongan. Dalam kekosongan—ke(tidak)-ada-an—selalu ada
ketidakpastian yang mengisinya.

Dalam sajak Catatan Masa Kecil 4, permainan ke(tidak)-ada-


an berada pada ketidakpastian ‘angka nol’. Hubungan antara
deretan angka dengan kehidupan, angka nol—kekosongan—
menjadi angka yang mutlak merupakan metafor dari rangkaian
kehidupan dari anak-anak menuju tua—nenek.‘Angka nol’
menjadi awal dari kekosongan yang tidak pasti batas
kekosongannya. Kosong menjadi penanda bagi ke(tidak)-ada-an.
Ke(tidak)-ada-an menjadi ketidakpastian.

/5/

‘Angka nol’yang dianggap sebagai ke(tidak)-ada-an muncul


kembali pada sajak Yang Paling Menakjubkan. Ke(tidak)-ada-an
lebih mengacu pada metafor ‘dunia yang fana’ dan ‘segala
sesuatu yang tidak ada’.

Yang Paling Menakjubkan

Yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini


adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita bisa membayangkan apa saja tentangnya,
menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa.

Kita bisa membayangkannya sebagai jantung


yang letih, yang dindingnya berlemak,
yang memompa sel-sel darah agar bisa menerobos
urat-urat yang sempit, yang tak lagi lentuk.

Kita bisa membayangkannya sebagai bola mata


yang tiba-tiba tak mampu membaca aksara
di dinding kamar periksa seorang dokter
ketika ditanya, “Apa yang Tuan lihat di sana?”

Keterbatasan pada Kata| 37


Kita bisa membayangkannya sebagai lidah
yang tiba-tiba dipaksa menjulur agar bisa diperiksa
apakah kemarin, atau tahun lalu, entah kapan
pernah mengucapkan suatu dosa, entah apa.

Sungguh, yang paling menakjubkan di dunia kita ini


adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya
sementara orang berhak juga menganggap kita gila.

Ke(tidak)-ada-an dipermainkan melalui pengimajinasian


subjek ‘kita’. Subjek ‘kita’ berimajinasi tentang yang paling
menakjubkan di dunia yang fana adalah segala sesuatu yang tidak
ada. Kata ‘membayangkan’ diulang empat kali. Pengulangan
empat kali menunjukkan penegasan terhadap ‘segala sesuatu
yang tidak ada’ dan ‘yang paling menakjubkan di dunia yang fana
ini’. Pengimajinasian digambarkan pada bait satu sampaie empat.
Pada bait kelima kata ‘sungguh’ menjadi penegasan kembali
tentang ‘yang paling menakjubkan’.

Pada bait pertama sajak Yang Paling Menakjubkan kita akan


menemukan beberapa kata yang mengaburkan pemaknaan sajak
tersebut. Kata-kata itu adalah ‘kita’ sebagai subjek, ‘yang paling
menakjubkan’, ‘di dunia yang fana ini’, ‘membanyangkan’,
‘muara’, ‘segala yang luar biasa’. Di tinjau dari judul sajak—
Yang Paling Menakjubkan—menandakan sesuatu hal yang
tertinggi. Frasa ‘Yang Paling’ menunjukkan posisi tertinggi,
teratas. Kata ‘menakjubkan’ merujuk kata sifat. ‘Menakjubkan’
menandai sifat hebat, luarbiasa. Judul sajak tersebut menandai
sesuati hal yang paling luarbiasa. ‘Yang paling menakjubkan’
tersebut kemudian disebutkan pada bait pertama. ‘Di dunia yang
fana ini’merujuk pada tempat manusia berdiam. Dunia bersifat

Keterbatasan pada Kata| 38


fana, tidak abadi, dan sementara. ‘Tidak ada’ menandai hal yang
kosong keberadaannya, tidak bias terlihat, dan abstrak.
‘Membayangkan’ adalah melakukan kegiatan pengandaian.
‘Muara’ adalah ujung dari sungai, muara dapat menandai awal
dari segala sesuatu. ‘Luar biasa’ menunjuk perihal yang tidak
sesuai pada umumnya.

Pemaknaan tersebut ditarik menjadi kebulatan makna pada


bait pertama. Pada bait pertama pemaknaan sajak adalah
permainan ke(tidak)-ada-an adalah adalah Sang Pencipta. Sang
Pencipta tidak bisa dilihat. Sang Pencipta adalah yang
menciptakan dunia yang fana. Sang Pencipta merupakan awal
mula—muara—bagi tempat manusia yang tak abadi.’ Yang
Paling Menakjubkan’ adalah ke(tidak)-ada-an, yang paling
menakjubkan adalah Sang Pencipta. Ini tentu saja belum tentu
jika dibulatkan dengan bait-bait berikutnya.

Pada bait kedua sampai bait keempat, pengimajinasian


kontradiktif dengan bait pertama. Pada bait pertama adalah awal
yang luar biasa, sedangkan pada bait kedua sampai keempat
adalah segala sesuatu yang terbatas—jantung, bolamata, dan
lidah. Ketidak-ada-an menjadi sesuatu yang mempunyai batasan.
Batasan mengenai kemampuan.

Pada bait kelima, terjadi penegasan kembali merujuk pada


kata ‘sungguh’. Penegasan terhadap ke(tidak)-ada-an yang dapat
bersifat awal mula atau bersifat terbatas. Ke(tidak)-ada-an
menjadi sesuatu yang bebas.

Setelah pemaknaan perbait ternyata terjadi


ketidakgramatikalan pada ihwal ke(tidak)-ada-an. Bait pertama

Keterbatasan pada Kata| 39


menjelaskan awal mula, bait kedua menjelaskan keterbatasan, dan
bait terakhir menjelaskan penegasan tentang kebebasan.
Kebulatan pemaknaan Yang Paling Menakjubkan adalah alam
pemikiran manusia. Alam pemikiran manusia bisa menjadi awal
mula, bisa menjadi terbatas, dan bisa menjadi bebas sampai
dianggap orang menjadi gila. Alam pemikiran manusia bisa
menjadikan manusia sebagai sang pencipta, manusia dengan
keterbatasan, ataupun manusia gila. Apa yang terjadi dalam alam
pemikiran manusia adalah segala sesuatu yang bebas
diterjemahkan.

/6/

Dalam puisi permainan makna sering dilakukan oleh penyair.


Puisi berbicara tentang suatu hal yang merujuk hal yang lain.
Pada antologi Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono
mempermainkan ke(tidak)-ada-an. Ke(tidak)-ada-an yang
umumnya bersifat nisbi dimainkan menjadi sesuatu yang lain.

Pada sajak Ruang Ini,permainan ke(tidak)-ada-an muncul


pada frasa ‘di ruang terkunci ini’ yang bermakna hal yang sia-sia
untuk ditafsirkan. Secerdas apapun manusia akan sia-sia
menafsirkan semesta. Pada sajak Catatan Masa Kecil 4,
permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘angka nol’.
‘Angka nol’ yang biasanya bermakna kosong dalam sajak
tersebut mempunyai makna awal mula dari kepastian. ‘Angka
nol’ menjadi awal dari angka satu,dua, dst. yang mempunyai
kepastian nilai. ‘Angka nol’ adalah ketidakpastian yang menjadi
awal kepastian. Pada sajak Yang Paling Menakjubkan, permainan
ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘segala sesuatu yang tidak
ada’. Frasa tersebut mempunyai makna alam pemikiran manusia.

Keterbatasan pada Kata| 40


Alam pemikiran manusia bersifat abstrak dan dapat meng-ada-
kan sesuatu yang tidak ada. Permaian ke(tidak)-ada-an yang
dilakukan Sapardi menunjukkan bahwa puisi selalu berbicara
suatu hal dan bermaksud hal yang lain. Ke(tidak)-ada-an dalam
sajak Sapardi mempunyai makna yang berbeda dari sajak-sajak
yang lain.

Sumber Acuan

Culler, Jonathan. 2001. The Pursuit of Signs. London: Roudledge


Classic

Damono, Sapardi Djoko. 2000. Ayat-ayat Api.Jakarta: Pustaka


Firdaus

Muhamad, Goenawan.1992. Asmaradana. Jakarta: Grasindo

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington :


Indiana University Press

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Keterbatasan pada Kata| 41


Sinta: Ketegangan antara
Kehendak dan Kerelaan
Agung Dwi Ertato

“Rama sediakan api itu bagiku.


Aku akan terjun kedalamnya,
karena memang demikianlah
kehendakmu. Aku telah berbuat
segala-galanya demi dirimu,
mengapa aku takut akan api
yang hendak menguji
kesudianku? … Semata-mata aku
hanya hendak menunjukkak
betapa aku mencintaimu.”

Keterbatasan pada Kata| 42


(Anak Bajang Menggiring
Angin, Sindhunata, 1983)

/1/

Fragmen Sinta (Sita) obong yang saya kutip di awal penulisan


esai ini merupakan bagian dari novel Anak Bajang Menggiring
Angin karya Sindhunata. Fragmen Sinta obong sebelumnya
merupakan bagian dari cerita Ramayana yang berasal dari India.
Ramayana kemudian menjadi cerita yang terkenal di negeri
asalnya. Masuknya pengaruh Hindu ke Nusantara menyebabkan
ikut masuknya cerita Ramayana. Cerita tersebut kemudian
digubah oleh pujangga-pujangga Nusantara masa lalu dan
disesuaikan dengan kondisi sosiokultur di Nusantara. Sampai
sekarang cerita tersebut tetap menjadi hal menarik, terutama
bagian Sinta obong. Pada bagian Sinta obong, wanita menjadi
bagian yang rumit antara subjek yang berkehandak atau pasif
(rela) pada nasibnya.

Fragmen tersebut menjadi daya tarik bagi beberapa penyair


kita. Penyair kita menggunakan fragmen tersebut sebagai sumber
inspirasi dalam menulis sajak. Penyair-penyair tersebut adalah
Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Soni Farid
Maulana, dan Dorothea Rosa Herliany. Keempat penyair
mempunyai sudut pandang berbeda dalam menangkap fragmen
Sinta obong. Keempatnya menjadikan Sinta sebagai subjek dalam
sajaknya. Keempatnya tentu saja mempunyai gagasan yang
berbeda tentang subjek Sinta.

Dalam esai ini saya akan memaparkan tentang simbol Sinta


yang terdapat dalam keempat sajak yang membicarakan Sinta.

Keterbatasan pada Kata| 43


Keempat sajak tersebut adalah Elegi Sinta, Sita Sihir,
Asmaradana, dan Sita Obong. Saya akan lebih memfokuskan
pada sajak Elegi Sinta karena sajak tersebut ditulis oleh wanita
dan wanita mempunyai pandangan berbeda dengan pria dalam
menulis sajak terutama dalam pembicaraan wanita itu sendiri
dalam sajak. Ketiga sajak lainnya akan menjadi bandingan sajak
Elegi Sinta

/2/

Sebelum membahas Elegi Sinta, saya akan membahas tiga


sajak yang merupakan bandingan dari sajak Elegi Sinta. Yang
pertama adalah sajak Sinta Obong karya Soni Farid Maulana.

Sita Obong

Tak peduli siang atau malam


musim kemarau atau musim penghujan
lebih kelam dari kelabang
cinta menyengat ulu nyawa, merayap dada

pelan dan pasti meliang kesunyian


bahkan kesepian
lebih dalam dari lobang hitam

demikian senja turun dan Sita terkapar


di ranjang. Walau begitu jangan kau tanya
mengapa semua ini terjadi;
pada kobaran api yang menyala di tegalan,

yang kutahu sekaligus tidak aku mengerti,


bisik Hanoman: hanya satu, Gusti,
banyak orang rela mati karenanya
tak peduli terang atau gelap
jalan yang dijelang
1985

Keterbatasan pada Kata| 44


Dalam sajak Sita Obong, kata ‘Sita’ hanya muncul satu kali.
Secara formal ‘Sita’ menjadi objek yang diceritakan oleh aku
lirik. Aku lirik menceritakan tentang keadaan ketika Sita Obong.
Pada bait pertama dan kedua, citraan sunyi, kelam, dan gelap
digambarkan secara jelas. Ternyata rasa cinta melebihi
kekelaman ‘Kelabang’—penanda hal yang beracun dan kelam.
Bahkan, kesunyian ‘cinta Sita’ melebihi ‘lobang hitam’. Aku lirik
menggambarkan keadaan ‘Sita’ sebelum melakukan ‘Obong’.
‘Sita’ yang mengalami kesunyian dan kesepian bahkan ‘Sita’
terkapar tidak berdaya menghadapi nasibnya seperti yang
terdapat pada demikian senja turun dan Sita terkapar di ranjang.
Kalimat tersebut juga sebagai penanda ‘Sita’ yang begitu pasrah
terhadap penghukumannya. Pada bait terakhir, mengukuhkan
tentang kerelaan terhadap cinta. Akhiran ‘-nya’ pada bait terakhir
mengacu pada cinta.

Simbol Sita dalam sajak ini mempunyai makna wanita yang


rela dan pasrah tentang nasib yang akan dihadapinya. Wanita
seakan tidak mempunyai kehendak atas dirinya dan nasibnya
ditentukan oleh superioritas pria. Wanita menjadi makhluk yang
lemah dan tidak bisa memperjuangkan nasibnya, hanya bisa
diam dalam kesunyian yang amat pekat.

/3/

Bandingan yang kedua adalah sajak Asmaradana karya


Subagio Sastrowardoyo. ‘Sita’ menjadi subjek yang lebih
berkehendak daripada ‘Sita’ yang terdapat pada Sita Obong.

Keterbatasan pada Kata| 45


Asmaradana

Sita di tengah nyala api


tidak menyangkal
betapa indah cinta berahi

Raksasa yang melarikannya ke hutan


begitu lebat bulu jantannya
dan Sita menyerahkan diri

Dewa tak melindunginya dari neraka


tapi Sita tak merasa berlaku dosa
sekedar menurut naluri

Pada geliat sekarat terlompat doa


jangan juga hangus dalam api
sisa mimpi dari senggama

Walaupun citra ‘Sita’ lebih berkehendak, ‘Sita’ tetap saja


takluk pada superioritas pria. Citra ‘Sita’ cenderung menjadi
negatif. Hal ini terlihat pada Sita di tengah api/ tidak
menyangkal/ betapa indah cinta berahi dan Dewa tak
melindunginya dari neraka/ tapi Sita tak merasa berlaku dosa/
sekadar menurut naluri. Simbol ‘Sita’ sebagai wanita hanya
mempunyai kehendak yang berdasarkan pada nalurinya bukan
kehendak berdasarkan pemikiran. Naluri berahi menjadi penanda
bahwa wanita hanya dijadikan sebagai pendamping pria yang
lebih superior untuk kebutuhan seksual saja. Hal ini menunjukkan
wanita tetap saja di bawah superioritas pria.

/4/

Sita Sihir

Terbebas juga akhirnya aku –


entah dari cakar Garuda
atau lengan Dasamuka.

Keterbatasan pada Kata| 46


Sendiri,
di menara tinggi,
kusaksikan di atas:
langit
yang tak luntur dingin birunya;
dan di bawah:
api
yang disulut Rama –
berkobar bagai rindu abadi.

“Terjunlah, Sita,” bentak-Mu,


“agar udara, air, api, dan tanah,
kembali murni.”

Tapi aku ingin juga terbebas


dari sihir Rama.

(1990)

‘Sita’ dalam sajak Sita Sihir karya Sapardi Djoko Damono,


hanya mempunyai keinginan yang dipendam dalam hatinya. Hal
ini terlihat pada Tapi aku ingin juga terbebas/ dari sihir Rama. Ia
masih saja kalah dengan ‘Rama’. Keinginan tersebut tidak dapat
diungkapkannya. ‘Sita’ dalam sajak ini hanya menjadi simbol
wanita yang mempunyai kehendak dalam batas-batas yang tidak
bisa ia dobrak. Batasan tersebut seperti kotak yang mengurung
ruang gerak atau kebebasan. Kalau ditafsirkan secara luas, simbol
‘Rama’ menandai sistem kebudayaan atau adat yang kaku
terhadap perempuan. Sistem tersebut tidak memberikan ruang
bagi perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri.

/5/

Elegi Sinta

Keterbatasan pada Kata| 47


aku sinta yang urung membakar diri.
demi darah suci
bagi lelaki paling pengecut bernama rama.
lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam.
agar hangat gelora cintaku.
tumbuh di padang pendakian yang paling hina.

kuburu rahwana,
dan kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan langit.
kubiarkan terbang, agar tangan yang
takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.

siapa bilang cintaku putih? mungkin abu,


atau bahkan segelap hidupku.
tapi dengarlah ringkikku yang indah.
menggosongkan segala yang keramat dan abadi.

kuraih hidupku, tidak dalam api


–rumah bagi para pendosa.
tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa.

agar sejarahku terpisah dari para penakut


dan pendusta. rama…

Prambanan, 2002

Sajak Elegi Sinta karya Dorothea memiliki kekuatan yang


sangat khas. Dalam bentuk formal teksnya saja, sajak ini
melakukan dekonstruksi terhadap tata bahasa. Pemakaian huruf
besar tidak ditemukan bahkan setelah tanda baca titik (.), tanda
tanya(?), maupun nama orang tidak menggunakan huruf kapital.
Ini menunjukkan bahwa dalam tatanan yang kecil pun sudah
diperlihatkan usaha penyair dalam mendobrak konvensi bahasa
yang kaku. Sikap berontak tersebut memang nyata bahkan dari
segi penulisan saja sudah terlihat.

Keterbatasan pada Kata| 48


Dalam epos Ramayana, Sinta selalu digambarkan sebagai
wanita yang lemah dan patuh pada Rama. Rama sendiri
digambarkan sebagai pria yang sempurna, ia adalah raja yang
bijaksana. Simbol-simbol tersebut merupakan gambaran yang
terjadi pada masyarakat dulu sampai sekarang. Simbol bahwa
wanita selalu digambarkan sebagai makhluk yang lemah, yang
tidak mempunyai kehendak atas dirinya. Simbol tersebut juga
merupakan gambaran tatanan masyarakat sekarang yang
menempatkan pria lebih tinggi dari wanita atau patriarki.

Dalam sajak Elegi Sinta, ‘sinta’ menjadi subjek yang


mempunyai kehendak terhadap nasibnya sendiri. Berbeda dengan
sajak-sajak hipogramnya maupun cerita epos Ramayana, dalam
sajak Elegi Sinta, ‘sinta’ lebih memilih untuk tidak membakarkan
diri dalam api yang dipersiapkan ‘rama’. Ia menentang ‘rama’, ia
memilih ‘rahwana’, dan ia memilih untuk hidup dalam kesunyian
daripada hidup lagi bersama ‘rama’ yang tentu saja dianggapnya
penakut. ‘sinta’ mempunyai kekuatan untuk mendobrak garis
hidup perempuan yang dulu dianggap lemah dan hanya sebagai
pelengkap pria.

Pada bait pertama, ketegasan ‘sinta’ ditunjukkan pada kata


‘urung’. Urung berarti enggan atau tidak mau. Pada bait tersebut
juga disebut bahwa ‘rama’ adalah seorang pengecut. Hal ini
berbeda dengan epos Ramayana yang menyebutkan bahwa Rama
adalah raja yang bijaksana. Pengecut yang dimaksud adalah
‘rama’ menyuruh hanoman untuk menjemput ‘sinta’ namun
setelah’sinta’ kembali ia malah menanyakan kesucian ‘sinta’dan
menyuruhnya untuk obong sebagai bukti kesuciannya dan
kerelaannya. Pada bait kedua dan ketiga ketegasan juga terjadi.

Keterbatasan pada Kata| 49


Pilihan kata ‘kuburu rahwana’ dan ‘kuminta ia menyetubuhi
nafasku’ merupakan pendobrakan terhadap epos Ramayana yang
berupa patriarki. Pada bait keempat, ‘sinta’ menunjukkan
kehendaknya atas nasibnya. Kehendak tersebut tidak ada pada
sajak-sajak hipogramnya. Pada sajak-sajak bandingannya ‘sinta’
merupakan simbol wanita yang lemah yang tidak bisa
menentukan pilihan hidupnya berdasarkan pemikirannya. Pada
bait empat ketegasan dalam berkehandak atas dirinya tersebut
ditunjukkan pada kuraih hidupku, tidak dalam api/—rumah bagi
para pendosa./tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa.

Subjek ‘sinta’ dalam sajak Elegi Sinta merupakan penanda


bahwa wanita juga mempunyai kehendak yang sama atas dirinya
yang harus disamakan dengan pria. Epos Ramayana juga
merupakan simbol tentang kondisi masyarakat yang patriarki.
Keadaan yang patriarki tersebut kemudian sengaja didobrak oleh
Dorothea melalui sajak Elegi Sinta.

/6/

Dari pembahasan singkat tersebut, jelas bahwa ‘Sinta’ yang


merupakan simbol dari wanita dipandang berbeda oleh pria
maupun wanita. Dalam sudut pandang pria (Subagio
Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, dan Soni Farid
Maulana), ‘Sinta’ tetap dipandang sebagai wanita yang harus
mempunyai kerelaaan terhadap pria walaupun wanita tersebut
mempunyai kehendak sendiri. Dalam sudut pandang wanita
(Dorothea R. Herliany), ‘sinta’ sebagai perwujudan protes
terhadap sistem patriarki yang ada pada masyarakat sekarang.
‘Sinta’ mempunyai kehendak terhadap dirinya dan nasibnya
berdasarkan pemikirannya.

Keterbatasan pada Kata| 50


Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta:


Grasindo.
Herliany, Dorothea Rosa. 2006. Santa Rosa. Yogyakarta:
Indonesia Tera.
Maulana, Soni Farid. 2004. Tepi Waktu Tepi Salju. Bandung:
Kelir.
Sastrowardoyo, Subagio. 1995. Dan Kematian Makin Akrab.
Jakarta: Grasindo.
Sindhunata. 1983. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Teeuw. A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
_______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Keterbatasan pada Kata| 51


Tragedi Pada Minggu Pagi
Agung Dwi Ertato

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah


Paskah
ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi,
pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.

/1/

Membaca sajak-sajak Joko Pinurbo (Jokpin), kita akan


dihadapkan pada retorika yang bersifat humor namun
menampilkan tragedi. Dalam proses kreatif Jokpin, ia sempat
mengalami ketegangan antara puisi lirik dan puisi naratif. Jika
membicarakan puisi lirik, tidak akan terlepas pada nama-nama
seperti Goenawan Muhamad dan Sapardi Djoko Damono. Pada
awal tahun 1970, perkembangan puisi lirik di Indonesia sangat
pesat. Joko Pinurbo sendiri pernah mengaku bahwa dalam
menulis puisi dia sangat terpengaruh pada Chairil Anwar,
Goenawan Muhamad, dan Sapardi Djoko Damono (Koran

Keterbatasan pada Kata| 52


Tempo, Minggu, 3 Juni 2007) . Jokpin kemudian mencapai pada
penemuan estetikanya yaitu mentransformasikan aku lirik ke
pengucapan epik dengan penguatan kisah dari sifat lirik murni.

Tragedi di sekitar penyair kemudian ditangkap oleh penyair


dan diubahnya menjadi sajak yang lebih humor namun
menyimpan kepedihan yang dalam.

Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang


bertengger di dalam celana. Ia sewot juga.
“buka dan buang celanamu!”

Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang


gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana.

(celana, 3: 1996)

Tragedi tentang peristiwa tahun 1998 juga tidak luput dari


kacamata Joko Pinurbo. Ada beberapa puisi yang sangat
berkaitan dengan tragedi tahun 1998. Dalam puisi-puisi tersebut,
Joko Pinurbo kembali menampilkan gaya yang khas—humor—
namun kali ini Joko Pinurbo lebih banyak menampilkan unsur
tragedi seperti yang ada pada sajak Minggu Pagi Pada Sebuah
Puisi.

/2/

Seperti yang kita ketahui, pada tahun 1998, Indonesia


mengalami gejolak politik. Gejolak politik kemudian disebut
Reformasi 1998. Reformasi 1998 menghasilkan perubahan politik
yang cukup signifikan. Namun, perubahan dalam proses
perubahan tersebut terjadi berbagai masalah yaitu masalah

Keterbatasan pada Kata| 53


demonstrasi (penembakan mahasiswa), penjarahan, dan masalah
etnis (etnis tionghoa banyak menjadi korban).

Pada tahun 1998, banyak penyair yang menyoroti


permasalahan tersebut. Beberapa di antaranya adalah Acep
Zamzam Noor, W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, dll. Puisi-
puisi yang dihasilkan oleh penyair tersebut sangat gamblang dan
transparan dalam menyampaikan kemarahan terhadap tragedi
1998.

/3/
ada seorang perempuan
diam saja berdiri
di dekat tukang rokok
di seberang jalan raya itu

ada satpam memperhatikannya


dari ujung gang itu
ada polisi sekilas melihatnya
dari dekat gardu telepon itu
ada anak tetangga sebelah
menyapanya
ada guru sd
yang masih mengenalnya
menepuk bahunya
ada neneknya di rumah
yang sudah suka lupa —

ada suaminya ada anak-anaknya


(yang
mungkin
saja
sedang
memikirkannya
juga)

Keterbatasan pada Kata| 54


yang kini
(tentunya
mungkin
moga-moga
saja
tidak!)
berada dalam sebuah toko besar
(atau
tidak
lagi
bisa)
yang sedang terbakar

(Fragmen ketiga dari Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono, 2000)

Pada kutipan sajak di atas, Sapardi dengan gamblang


menggambarkan peristiwa 1998 dengan jelas dan kontekstual.
Kebiasaan Sapardi dalam menulis puisi adalah ia jarang menulis
puisi secara kontekstual pada peristiwa-peristiwa besar. Berbeda
dengan Sapardi, Joko Pinurbo menangkap peristiwa 1998
menggunakan metafor-metafor yang mengaburkan peristiwa
tersebut jika dibaca sepintas. Pada sajak Minggu Pagi di Sebuah
Puisi, Joko Pinurbo menggunakan menggunakan analogi
peristiwa 1998 dengan peristiwa paskah yang dialami oleh Yesus.

Minggu Pagi di Sebuah Puisi

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah


ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.

Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara


di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.

Keterbatasan pada Kata| 55


Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.

“Ibu hendak ke mana?” Perempuan muda itu menyapa.


“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjukkan potret anaknya.
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.

Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.


Lalu katanya, “Ia telah menciumku
sebelum diseret ke ruang eksekusi.
Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata
telah menjarah perempuan lemah ini.

Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya


pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah


ketika hari mulai terang, kata-kata
telah pulang dari makam,
iring-iringan demonstran makin panjang,
para serdadu berebutan kain kafan, dan dua perempuan
mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?

(1998)

Paskah menjadi suatu kisah yang pedih dan sendu pada hari
Minggu pagi yang seharusnya diisi oleh suatu kebahagian.
Minggu pagi identik dengan hari libur yang biasa digunakan oleh
orang-orang untuk melepas kelelahan setelah bekerja selama
seminggu. Kebahagiaan hari Minggu kemudian dirusak oleh
berita pagi yang memberikan berita tentang tragedi. Tragedi
tersebut kemudian dikuatkan dengan suasana hari yang masih

Keterbatasan pada Kata| 56


remang disertai hujan yang gundah sepanjang malam. Ziarah
menambah kengerian hari Minggu. Ziarah menandakan suatu
perjalanan menuju kubur.

Apa yang ditampilkan dalam bait pertama tidak lain adalah


penggambaran suasana. Kata Paskah, remang, hujan, pergi,
basah, dan ziarah memberikan efek suasana yang melankolia.
Kata Paskah memberikan suasana yang mencekam. Paskah
dalam ajaran Kristiani adalah peristiwa Yesus disalib. Sebelum
penyaliban, Yesus disiksa hingga berdarah-darah, hingga ia
sangat tersiksa tak bisa lagi mengatakan sesuatu hal hingga pada
akhirnya ia disalib di bukit Golgota. Dari kata Paskah saja
gambaran tentang tragedi sudah tergambar penuh luka dan darah.

Pada bait kedua sampai kelima kisah Paskah dijabarkan. Isian


tragedi Pada Minggu Pagi kemudain berawal dari bait dua.
Kengerian tragedi lebih ditampilkan. Darah-darah berceceran
sepanjang jalan. Tidak ada suara sepanjang jalan. Yang tersisa
adalah langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.

Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara


di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.

Darah menandai keadaan yang penuh luka, penuh rasa perih dan
pedih. Penderitaan yang terjadi menyebabkan suasana yang sunyi
sehingga jalan kecil tak dilewati kata-kata.

“Ibu hendak ke mana?” Perempuan muda itu menyapa.


“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu

Keterbatasan pada Kata| 57


sambil menunjukkan potret anaknya.
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.

Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.


Lalu katanya, “Ia telah menciumku
sebelum diseret ke ruang eksekusi.
Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata
telah menjarah perempuan lemah ini.

Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya


pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”

Pada bait ketiga sampai kelima, penyair menampilkan gaya


naratif. Gaya tersebut menggunakan dialog-dialog yang sering
digunakan pada karya sastra jenis prosa. Gaya tersebut
menimbulkan efek yang tersirat melalui percakapan. Metafor-
metafor menyelinap di antara percakapan antara dua perempuan.

Pada bait ketiga dan keempat, kata penculikan, perusuh,


terperkosa, eksekusi, senjata, menjarah, perempuan, dan lemah
merupakan penanda bagi keadaan kota yang chaos. Keadaan kota
yang sangat berantakan. Kota yang tidak mempunyai norma dan
bahkan agama telah menjarah perempuan lemah. Golgota
menjadi anologi Jakarta yang merupakan tempat penculikan dan
surga para perusuh.Golgota merupakan tempat penyaliban
Yesus. Tempat tersebut merupakan tempat kejam. Kepedihan
yang dialami Yesus terjadi di Golgota. Bisa dikatakan bahwa
Golgota merupakan tempat yang kejam. Lalu bagaimana dengan
Jakarta? Jakarta tidak ubahnya seperti Golgota. Jika Golgota
adalah tempat penyiksaan Yesus, Jakarta lebih parah lagi.
Jakarta menjadi surga para perusuh. Ini berarti bahwa Jakarta

Keterbatasan pada Kata| 58


adalah tempat tindak kejahatan bermukim. Hal tersebut
menjadikan Jakarta menjadi kota yang kejam.

Permasalahan kelamin dimunculkan pada bait kelima. Vagina


secara harfiah mempunyai arti alat kelamin perempuan. Dalam
sajak tersebut Vagina mempunyai makna kuburan. Kuburan yang
sangat gelap dan sunyi-senyap. Kuburan tempat jasad yang penuh
luka bermukim. Pada akhirnya kematian sangat identik dengan
tragedi.

Kisah Paskah yang terdapat pada puisi tiba-tiba lagi muncul


ketika hari mulai terang. Serombongan demonstran dihadang
oleh para serdadu. Keadaan chaos akan terulang lagi dan tidak
lagi terjadi pada sebuah puisi. Keadaan tersebut merupakan
tragedi pada minggu pagi.

/3/

Setelah mendapatkan makna-makna dari tanda-tanda yang


terdapat pada sajak Minggu Pagi di Sebuah Puisi, kita akan
mengkaitkan dengan peristiwa yang terjadi atau konteks sosial
masyarakat pada tahun sajak tersebut dibuat. Sajak Minggu Pagi
di Sebuah Puisi dibuat oleh Joko Pinurbo pada tahun 1998.
Seperti yang kita ketahui bahwa pada tahun 1998, Indonesia
mengalami keadaan yang chaos. Kerusuhan terjadi di mana-
mana. Jakarta menjadi tempat yang sunyi dan mencekam.
Penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan terjadi di kota Jakarta.

Keterbatasan pada Kata| 59


Berita-berita tentang kerusuhan Jakarta setiap hari menjadi
headline di media massa maupun media elektronik. Bahkan, pada
hari Minggu yang seharusnya diisi oleh berita ringan, diisi oleh
berita tentang tragedi kerusuhan. Minggu yang seharusnya
menjadi hari melepaskan kepenatan menjadi hari penuh
kecemasan.

Joko Pinurbo berhasil menangkap tragedi tersebut ke dalam


sajaknya. Metafor-metafor yang digunakan berbeda dari penyair-
penyair lain dalam menangkap peristiwa tersebut. Jika Sapardi
menangkap peristiwa tersebut ke dalam metafor api, Joko
Pinurbo menangkap peristiwa tersebut ke dalam metafor Paskah,
via dolorosa, golgota, dan vagina. Kesemua metafor tersebut
tetap menggambarkan tragedi yang sangat menyayat, tragis,
kelam, dan sendu seperti tragedi pada tahun 1998. Tragedi
Paskah yang terjadi pada sajak Joko Pinurbo dikisahkan pada
Minggu Pagi di Sebuah Puisi sedangkan tragedi Mei 1998
dikisahkan pada media massa maupun media elektronik setiap
hari pada bulan dan tahun tersebut bahkan pada Minggu pagi
sekalipun.

/4/

Joko Pinurbo sebagai penyair mempunyai ciri khas. Ia mampu


mengolah bahasa, menampilkan, menerjemahkan peristiwa-
peristiwa di sekitarnya menggunakan metafor-metafor yang tak
lazim digunakan penyair-penyair lainnya. Ia mampu menangkap
tragedi Mei 1998 sebagai Paskah bagi Indonesia—tragedi pada
hari Minggu. Sapardi Djoko Damono menyebutkan bahwa Joko

Keterbatasan pada Kata| 60


Pinurbo dengan teknik surealis berusaha memberikan tanggapan
terhadap berbagai masalah sosial dan konflik batin manusia.8

Sumber Acuan
Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Burung dalam Celana” dalam
Joko Pinurbo Celana. Magelang: Indonesia Tera.
________. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Pinurbo, Joko. 1999. Celana. Magelang: Indonesia Tera.
________. 2005. Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington:
Indiana University Press.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
________. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Utami, Ayu. 2005. “Joko Pinurbo: Mengapa Kematian,
Penyairku?” dalam Joko Pinurbo Pacar Senja. Jakarta:
Grasindo.

81
Dalam esai catatan penutup Kumpulan Puisi Celana tahun 1999

Keterbatasan pada Kata| 61


Asmaradana: Perpisahan
Dalam Kebekuan Waktu
Agung Dwi Ertato

Anjasmara, my love, stay, as before.


Even the moon is slowed down by the wind, made careless by
time. Through the dim and the fireflies, you lose memory
of my face, as I lose yours.
(Asmaradana, Goenawan Muhamad translated by Laksmi Pamuntjak)

/1/

Seperti yang kita ketahui, perpisahan menjadi ihwal yang


paling menakutkan bagi manusia. Perpisahan memberikan efek
sendu dan pilu bagi subjek yang terkait. Pada perpisahan, gejala
kebekuan waktu akan terjadi. Waktu seakan melambat, entah
kapan ujung dari perjalanan.

Sajak Asmaradana membicarakan tentang ihwal perpisahan.


Perpisahan tersebut jelas terdapat pada pemilihan kata yang
dilakukan oleh penyair.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu.

Keterbatasan pada Kata| 62


Dari kutipan sajak tersebut saja kita bisa menangkap bahwa
ihwal perpisahan menjadi objek yang ingin dipermainkan oleh
penyair.

Sajak tersebut juga sangat berkaitan dengan konvensi budaya.


Konvensi yang digunakan adalah konvensi budaya Jawa.
Asmaradana dalam budaya Jawa merupakan tembang macapat
yang berkisah tentan percintaan. Asmaradana juga puisi Jawa
klasik yang menceritakan tentang perpisahan Damarwulan dan
Anjasmara. Dalam puisi klasik tersebut Darmawulan akhirnya
meninggal pada peperangan melawan pemberontak. 9 Sajak
Asamaradana karya Goenawan Muhamad sangat terpengaruh
oleh puisi klasik Jawa.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.


Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kau lupakan wajahku
kulupakan wajahmu.

Dalam mencari ihwal perpisahan tersebut, akan digunakan


teori Micheal Riffaterre tentang semiotik puisi. Teori Micheal
Riffaterre akan menjelaskan tanda-tanda yang terdapat pada pada
sajak Asmaradana untuk menemukan makna yang bulat terhadap
sajak Asmaradana.

Dalam teori yang dikembangkan oleh Micheal Riffaterre


bahwa puisi merupakan penyampaian ekspresi secara tidak

9
Penjelasan tentang Asmaradana terdapat pada buku Goenawan Muhamad Selected
Poems halaman 221. Asmaradana: A classical form of Javanese poetry. In the
Javanese opera Damarwulan, it is used to express the hero’s farewell to his beloved,
the lovely Anjasmara, before he went to meet his death in a battle againts a powerful
rebel under the reign of Queen Kencana Wungu in 13th century Java.

Keterbatasan pada Kata| 63


langsung. Puisi berbicara satu hal tetapi mempunyai maksud
yang lain. Dalam memahami puisi setidaknya ada dua
pembacaan yang harus dilakukan. Yang pertama adalah
pembacaan heuristik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan
sajak sesuai dengan konvensi bahasa. Dalam pembacaan
heuristik kita hanya mendapatkan makna yang heterogen dan
menyebar dari sajak. Pembacaan kedua adalah pembacaan
hermeneutik. Pembacaan hermeneutik menuntut penafsiran sajak.
Makna yang didapat pada pembacaan heuristik kemudian
disatukan kemudian ditafsirkan, hasilnya adalah kesatuan makna.

/2/

Indikasi pembicaraan perpisahan dalam sajak Anjasmara


ditunjukkan pada beberapa diksi yang dilakukan oleh Goenawan
Muhamad. Diksi tersebut adalah ‘kematian’, ‘kepak sayap’,
‘perjalanan’, dan lain-lain. Kebekuan waktu ditunjukkan pada
frasa ‘abai dalam waktu’.

ASMARADANA

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang
berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta,


nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang
tak semuanya disebutkan

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok
pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,
ia takkan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba,

Keterbatasan pada Kata| 64


karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.


Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kau lupakan wajahku
kulupakan wajahmu.

1971

Asmaradana dalam bahasa Jawa berarti api asmara.


Asmaradana berasal dari kata asmara yang berari cinta dan dana
yang berarti api. Dalam tembang macapat, Asmaradana selalu
bercerita tentang hubungan percintaan manusia. Hal ini sangat
penting untuk memulai pembahasan sajak Asmaradana karya
Goenawan Muhamad. Asmaradana karya Goenawan Muhamad
sangat terpengaruh oleh puisi klasik Jawa yang bercerita tentang
Damarwulan dan Anjasmara.

Dalam Asmaradana karya Goenawan Muhamad, kisah


percintaan juga terjadi. Percintaan antara Anjasmara dengan Aku
lirik. Aku lirik dalam Asmaradana karya Goenawan Muhamad
mempunyai referen Damarwulan. Percintaan yang terdapat pada
sajak tersebut berbeda dengan yang terdapat pada tembang
macapat. Dalam Asmaradana tembang macapat, cerita percintaan
lebih pada hal yang membara. Luapan api asmara menggeliat.
Hal ini sangat berbeda denga Asmaradana karya Goenawan
Muhamad. Sajak Asmaradana lebih menekankan pada ihwal
perpisahan percintaan. Perpisahan yang menyebabkan
kesenduan.

/3/

Keterbatasan pada Kata| 65


Subjek yang terdapat dalam Asmaradana sangat unik. Subjek
yang pertama adalah ia. Subjek ia terdapat pada bait satu sampai
tiga. Pada bait keempat subjek berganti menjadi aku. Lalu ada
mereka yang tiba-tiba muncul pada bait pertama. Hal ini
menunjukkan ambiguitas sajak tersebut.

Kalau dijabarkan secara heuristik sajak Asmaradana bercerita


tentang ia yang mendengarkan suara kepakan sayap kelelawar
dan tetesan air hujan yang menetes pada daun yang disebabkan
angin. Ia mendengarkan suara langkah kuda dan roda pedati
ketika langit bersih yang menampakkan bimasakti. Tapi di antara
mereka tidak ada yang berkata-kata hanya diam. Lalu ia
mengucapkan perpisahan dan melihat peta, melihat nasib, sebuah
perjalanan, dan sebuah peperangan yang semuanya tidak ingin ia
sebutkan. Ia tahu bahwa perempuan itu tidak akan menangis
karena perempuan itu tak berani mencatat hal yang telah lewat
dan yang akan tiba. Kemudian ia berkata kepada perempuan itu
untuk tinggal. Cepat atau lambat perempuan itu akan
melupakannya dan ia pun akan melupakan perempuan itu.

Dalam pembacaan heuristik yang kita dapatkan hanya


peristiwa yang terjadi antara ia dan perempuan—Anjasmara.
Peristiwa tentang perpisahan. Ia ingin pergi dan mengucapkan
perpisahan kepada perempuannya. Pada batas ini, perpisahan
menjadi hal yang sendu antara ia dan perempuan. Bahkan alam
pun meresapi kesenduan yang dialami mereka berdua.
Kelelawar, pohon kemuning, dan langit ikut merasakan
kesenduan yang dialami oleh ia dan perempuan—Anjasmara.
Pada perpisahan mereka waktu seakan beku.

Keterbatasan pada Kata| 66


Apa yang ada dibalik suasana sendu dari Perpisahan tersebut
akan terbaca pada pembacaan hermeneutik. Kepak sayap
kelelawar, resah kuda, dan langkah pedati merupakan penanda
bagi suatu perjalanan. Perjalanan tersebut merupakan perpisahan
yang teramat berat. Peta dan peperangan menandai suatu jalan
panjang yang akan ditempuh dan terjal. Kehidupan merupakan
rentetan peta dan peperangan. Banyak yang akan terjadi dalam
kehidupan entah itu peperangan terhadap diri sendiri maupun
dengan dunia yang ia pijaki.

Penanda perpisahan kemudian dikuatkan dengan tapak yang


menjauh. Keengganan untuk mengingat yang telah berlalu karena
pada akhirnya akan mengingatkan pada hal sendu dan ia tak
berani mencatat hal yang lalu. Pada ihwal perpisahan, waktu
menjadi beku. Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam
waktu. Bahkan bulan berjalan lamban dan bulan mengabaikan
waktu yang beku.

Penanda kebekuan waktu yang terdapat dalam sajak


Asmaradana adalah Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam
waktu. Dalam klausa tersebut bulan menjadi penanda waktu
malam. Bulan lamban seakan terjadi pelambatan waktu hingga
akhirnya waktu tersebut beku.

/4/

Kebulatan makna yang didapat adalah Setiap awal mula


pertemuan pasti akan berujung pada perpisahan. Pepisahan selalu
menjadi ihwal yang menyedihkan dan sendu. Dalam ihwal
perpisahan, waktu seakan melambat bahkan beku. Selama waktu
yang berjalan lambat tersebut, manusia cenderung merenung

Keterbatasan pada Kata| 67


perihal kehidupan yang dijalaninya. Kecenderungan tersebut
alamiah terjadi pada setiap manusia.

Hakekat pertemuan adalah hakekat perpisahan kelak. Hakekat


penciptaan selalu berujung pada maut dan hakekat kehidupan
akan selalu berujung pada kematian kelak. Yang tersisa pada
perpisahan adalah kenangan yang akan memperpanjang umur
manusia. Pada akhirnya kenangan tentang manusia yang telah
bertemu dengan maut akan memudar perlahan seiring waktu
yang kembali berjalan setelah beku pada saat perpisahan atau
kematian.

Lewat remang dan kunang-kunang, kau lupakan wajahku


kulupakan wajahmu

/5/

Setelah penjelasan panjang lebar mengenai Asmaradana


dapat disimpulkan bahwa Sajak Asmaradana sangat dipengaruhi
oleh Asmaradana—puisi klasik Jawa. Pada Asmaradana karya
Goenawan Muhamad, lebih menekankan pada ihwal perpisahan
yang sendu. Asmaradana juga memberi gambaran tentang ihwal
perpisahan. Perpisahan selalu menjadi hal paling sendu dalam
hidup manusia. Perpisahan bisa juga bebentuk maut atau
kematian. Pada Asmaradana juga menggambarkan hakekat
kehidupan. Hakekat kehidupan adalah kematian kelak. Kematian
akan menghasilkan kenangan yang lambat laun akan dilupakan.

Keterbatasan pada Kata| 68


Sumber Acuan

Muhamad, Goenawan.1992. Asmaradana. Jakarta:


Grasindo
Pamuntjak, Laksmi (ed.). 2004. Goenawan Muhamad
Selected Poems. Jakarta : Katakita
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington :
Indiana University Press
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Menimbang Chairil Anwar


Agung Dwi Ertato

“Prosaku dan puisiku juga di dalamnya


Tiap kata akan kugali-kukorek sedalamnya
Hingga ke Kernwood, ke Kernweld”
--Chairil Anwar--

/1/

Keterbatasan pada Kata| 69


Chairil Anwar, nama yang tidak asing lagi di telinga kita.
Sajak-sajaknya sudah kita kenal sejak sekolah menengah. Sajak-
sajaknya melampaui usianya. Dia akhirnya hidup seribu tahun
melalui sajak-sajaknya seperti yang ia tulis dalam sajak “Aku”.

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Chairil Anwar menjadi sosok yang sentral dalam dunia sastra


Indonesia modern. Ia dianggap sebagai sosok pembaharu dalam
dunia sastra Indonesia modern. Di satu sisi, setelah kemunculan
Lekra, nama Chairil Anwar seakan-akan ingin disingkirkan
karena pandangan hidup Chairil Anwar dan beberapa sajaknya
dianggap sebagai plagiat. Lalu apa yang menarik dari Chairil
Anwar untuk ditimbang?

Sejak kemunculannya pada tahun 1942, melalui sajak “Nisan”,


H.B Jassin menganggap bahwa masa Pujangga Baru telah
berakhir. Pada masa Pujangga Baru, konvensi dalam sajak
berbentuk kwatrin dan bergaya seperti pantun dan syair melayu.
Setiap lariknya terdiri dari empat kata jika ada pembaruan dalam
karya Pujangga Baru mungkin hanya dalam segi bentuk seperti
bentuk sonata yang sering dipakai oleh M. Yamin. Akan tetapi,
bentuk pantun tradisional tetap dipertahankan. Ada yang menarik
ketika sajak ”Nisan” Chairil Anwar menjadi simbol berakhirnya
Pujangga Baru. Sajak “Nisan” Chairil Anwar masih berbentuk
Kwatrin dengan rima yang teratur namun dalam hal isi Chairil
menawarkan hal yang baru salam sajaknya tersebut.

Rindu

Pernah tuan mendapat cinta,


Mendapat kasih semalam saja,
Setelah pagi tuan dipinta

Keterbatasan pada Kata| 70


Pergi jauh berkelan’ kembara?

Tuan berangkat berputus asa,


Bah’gia habis sudah melayang,
Sedang hati selalu terpaksa
Memandang kenangan terbayang-bayang?

(Madah Kelana, Sanusi Pane)

Nisan
Untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu


Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta.

(Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, Chairil Anwar)

Dua sajak tersebut dipilih sebagai perbandingan. Sajak pertama


adalah sajak ”Rindu” karya Sanusi Pane dan sajak kedua adalah
“Nisan” karya Chairil Anwar. Kedua sajak tersebut mewakili dua
masa berbeda. Sajak “Rindu” mewakili masa Pujangga Baru dan
sajak “Nisan” yang mengakhiri masa tersebut.

Jika dilihat sepintas kedua sajak tersebut mempunyai bentuk


yang sama yaitu berbentuk kwatrin. Dalam sajak “Rindu”
pengaruh konvensi syair tradisional melayu masih sangat kental.
Pemilihan kata dan struktur puisi masih mempunyai kerinduan
akan tradisi lama. Dalam tradisi lama, sajak dalam satu larik
terdiri dari empat kata, hal ini juga terdapat pada sajak “Rindu”.
Lain halnya dengan sajak “Nisan”, bentuknya tidak terikat
dengan tradisi pantun lama. Sosok ‘Aku’ menjadi sosok yang
kuat dalam pembangunan sajak. ‘Aku’ menjadi sosok yang

Keterbatasan pada Kata| 71


menyatu dalam sajak terutama perasaan ‘Aku’. Hal inilah yang
membedakan sajak masa Pujangga Baru dan sajak yang
mengakhiri masa Pujangga Baru.

/2/

Angkatan ’45 akan selalu identik dengan Chairil Anwar, bukan


Rivai Apin maupun Asrul Sani. Chairil Anwar memang menjadi
sosok yang kontroversial. Ia mulai tekun menghasilkan karya
sejak balatentara Jepang mulai menguasai Indonesia. Sejak itu
pula bahasa Belanda digantikan oleh bahasa Indonesia. Pada
masa Jepang, bahasa Indonesia menjadi bahasa komunikasi
karena bahasa Belanda dilarang oleh Jepang. Hal tersebut
menguatkan posisi bahasa Indonesia sendiri. Dalam
perkembangannya, bahasa Indonesia menjadi sosok yang sentral
karena sering dipakai. Hal ini berbeda dengan masa Pujangga
Baru. Pada masa Pujangga Baru, bahasa Indonesia baru lahir dan
tentunya masih belum berkembang.

Karya-karya angkatan ’45 dan Chairil Anwar pada khususnya


menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa sastra yang cukup
dewasa dan matang. Dalam sajak-sajaknya pengaruh bahasa asing
memang ada namun Chairil dapat memanifestasikan ke dalam
bahasa Indonesia yang bersifat Indonesia, bukan melayu lagi.
Chairil membukakan jalan bagi pemakaian bahasa tersebut yang
sampai sekarang masih dipakai oleh penyair-penyair baru
setelahnya.

/3/

Di sisi lain yang membuat Chairil lebih menonjol dari teman


seangkatannya adalah imajinasinya terhadap manusia Indonesia

Keterbatasan pada Kata| 72


modern. Chairil memang sangat mengagumi modernitas yang
berkembang di Barat. Sajak-sajaknya sangat terpengaruh oleh
sajak-sajak Barat, pengaruh itupula yang memepengaruhi
pandangan tentang manusia Indonesia modern.

Aku

Kalau sampai waktuku


‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang


Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku


Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari


Berlari
Hingga hilang pedi peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Deru Campur Debu,Chairil Anwar)

Dalam sajak “Aku”, Chairil memanifestasikan imajinasi


manusia Indonesia modern ke dalam subjek ‘Aku’. Subjek ‘Aku’
menjadi manusia yang bebas berkehendak. ‘Aku’ juga menjadi
manusia yang menyadari bahwa pengalaman subjektifnya akan
memberi warna tersendiri pada keberadaan. Subjek ‘Aku’
menjadi manusia yang individualis yang tidak mau dirayu oleh

Keterbatasan pada Kata| 73


banyak orang. Pengalaman tentang keterasingan membawa
subjek ‘Aku’ pada pengalaman yang lebih spiritual. ‘Aku’
menjadi sebuah eksistensi. ‘Aku’ bukan lagi menjadi bagian dari
sistem yang diatur. Subjek ‘Aku’ menjadi manusia yang ada dan
berkehendak atas dirinya sendiri.

Sajak “Aku” ditulis pada tahun 1943, masa peralihan dari


pemerintahan Hindia Belanda ke balatentara Jepang. Saat itu, ia
masih berumur 20 tahun. Sajak tersebut menjadi tolakan Chairil
dalam menjadi manusia Indonesia Modern seutuhnya. Sajak yang
penuh vitalitas dan semangat yang membara pada masa tersebut.
Dalam vitalitasnya, juga terdapat keraguan. Keraguan merupakan
bentuk dari perhitungan tentang kehidupan. Perhitungan-
perhitungan tentang dirinya dalam mengahadapi masa-masa pada
tahun tersebut, masa yang begitu bergejolak cepat.

Perhitungan juga Chairil lakukan dalam hal spiritualnya


terhadap pencipta. Ia sadar dalam keterbatasannya, ia tetap
mengenal pencipta. Kesadaran inilah merupakan kesadaran
subjek ‘Aku’. Ia berpikir tentang keberadaan penciptanya
kemudian ia sadar bahwa ia tetap saja tidak bisa berpaling dari
penciptanya. Kesadaran tersebut juga merupakan hasil
perenungan spiritual yang pada akhirnya ia menemukan jalannya
sendiri bukan dari pemberian orang lain. Dalam sajak “Doa”,
Chairil menampilkan subjek “Aku” yang sadar dan melakukan
perhitungan atas dirinya sendiri kepada penciptanya.

Doa
Kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Keterbatasan pada Kata| 74


Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh


mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci


tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk


remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

(Deru Campur Debu, Chairil Anwar)

Dalam gejolak sebagai manusia modern, ia masih menampilkan


perhitungannya tentang ihwal sang pencipta. Dalam
pengembaraannya pula—pengembaraan pemikirannya—ia
kembali bertemu dengan sang pencipta. Ia tetap sadar bahwa
dalam kondisi yang hilang bentuk dan remuk pun ia masih tak
bisa berpaling. Kesadaran tersebut juga merupakan kehendak
dalam subjek ‘Aku’ dalam menentukan pilihan bukan
berdasarkan kehendak orang lain.

Perhitungan lain yang dilakukan oleh Chairil adalah


perhitungan tentang ihwal kematian. Ia sadar betul bahwa

Keterbatasan pada Kata| 75


kematian merupakan akhir dari eksistensinya. Ini merupakan
proses kematangan dari diri seroang Chairil Anwar.

Pada halaman 5 sajak: Cemara Menderai


Sampai Jauh. Semuanya ditulis dengan
tulisan tangan yang bagus, tidak ada
coretan-coretan seperti biasanya.10

Kutipan tersebut membuktikan bahwa Chairil Anwar mencapai


titik kematangan dalam mencipta sajak. Perhitungannya akhirnya
menemui titik pencapaian dalam hal kematian. Ia menyerah pada
kehidupan bukan merupakan sikap pasrah melainkan ia telah
melakukan perhitungan-perhitungan yang mengantarkan pada
titik tersebut. Dalam sajak “Cemara Menderai sampai Jauh”,
Chairil tetap menampilkan subjek ‘Aku’ yang melakukan
perhitungan yang mencapainya pada puncak eksistensi sebagai
subjek ‘Aku’.

Cemara Menderai sampai Jauh11

cemara menderai sampai jauh,


terasa hari akan jadi malam,
ada beberapa dahan di tingkap merapuh,
dipukul angin yang terpendam.

aku sekarang orangnya bisa tahan,


sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.

hidup hanya menunda kekalahan,

10
H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45, (Jakarta: 1968), hal. 15.

11
Sajak “Cemara Menderai sampai Jauh” dalam buku Aku Binatang Jalang berjudul
“Derai-derai Cemara”.

Keterbatasan pada Kata| 76


tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.

(Kerikil Tajam dan Yang Terampas Dan Yang Putus, Chairil Anwar)

Pada titik ini, Chairil menjadi lebih matang. Ia tetap melakukan


perhitungan. Perhitungan-perhitungan yang ia lakukan kini lebih
matang yang mengantarkannya pada titik ‘menyerah’. Ia sadar
bahwa kematian adalah titik yang tak bisa terelakkan dalam
kehidupan.

Tentu saja perhitungan-perhitungan subjek ‘Aku’ dalam


beberapa sajak-sajak Chairil Anwar merupakan imajinasinya
terhadap manusia Indonesia modern. Subjek ‘Aku’ benar-benar
menjadi subjek ‘Aku’ yang ada, subjek eksistensial. Hal ini
merupakan upaya yang coba dilakukan oleh Chairil Anwar untuk
melakukan pencerahan setidaknya dalam dunia kesusastraan
Indonesia.

/4/

Setelah kematiannya, Chairil Anwar tetap menjadi sosok


kontroversial. Chairil Anwar diduga melakukan plagiat terhadap
karya-karya asing. Dalam sajaknya “Karawang-Bekasi”, ia
diduga menjiplak karya Archibald Macleish. Tentu saja ia
mempunyai perhitungan tersendiri mengapa ia melakukan hal
seperti itu. Setidaknya beberapa karya aslinya memang tidak bisa
dipungkiri bahwa ia merupakan tonggak pencerahan dunia sastra
Indonesia dan beberapa sajak saduran dan terjemahannya
memperkaya kazanah sastra Indonesia. Pemakaian bahasa yang

Keterbatasan pada Kata| 77


digunakan Chairil juga memantapkan posisi bahasa Indonesia
sebagai bahasa sastra yang matang dan dewasa.

Setelah kematiannya pula kebersamaan Angkatan ’45 berakhir.


Hal ini menunjukkan bahwa Chairil Anwar menjadi sosok yang
sentral dalam angkatan tersebut. Terlepas dari sosoknya yang
kontroversial, ia tetaplah menjadi tonggak penting dalam sastra
Indonesia modern.

“hidup hanya menunda kekalahan


tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah.”

Keterbatasan pada Kata| 78


Daftar Pustaka

Anwar, Chairil. 1991. Deru Campur Debu. Jakarta: Dian Rakyat.

___________. 2006. Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang


Putus. Jakarta: Dian Rakyat.

___________. 2008. Aku Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.

Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Chairil Anwar dan Kita” dalam


Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru Kesusastraan dan


Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti
Pasaka.

Jassin, H.B. 1968. Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45. Jakarta:


Gunung Agung.

Kusumawijaya, Marco. 2008. “Chairil Anwar: Subjek di dalam


Landasan Modernisasi Kota” dalam Chairil dan Kota.
Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Raffel, Burton. 1967. Modern Indonesian Poetry. New York: State


University of New York Press.

Rosidi, Ajib. 1973. “Menempatkan Chairil Anwar dalam


Proporsinya” dalam Masalah Angkatan dan Periodesasi
Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Keterbatasan pada Kata| 79


_________. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
Binacipta.

Pujangga Baru: Ketegangan


antara Kemelayuan dan
Keindonesiaan
Agung Dwi Ertato

“Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu”
(Padamu Jua, Amir Hamzah)

Pengantar

Keterbatasan pada Kata| 80


Sajak Padamu Jua karya Amir Hamzah mengawali tulisan
esai ini. Amir Hamzah ditasbihkan oleh H.B. Jassin sebagai raja
penyair Pujangga Baru. Yang menarik dari Amir Hamzah tentu
saja dia adalah bagian dari sejarah panjang Pujangga Baru. Di
Pujangga Baru, ada nama lain yang tentu saja sangat berpengaruh
besar yaitu Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane. Ketiga
nama tersebut menjadi bagian penting Pujangga baru. Sebelum
membahas secara jauh tentang Pujangga Baru alangkah baiknya
kita membicarakan masa sebelum Pujangga Baru. Sebelum
Pujangga Baru, Balai Pustaka menjadi patokan untuk Sastra
Indonesia modern sebelum perang. Balai Pustaka pada waktu itu
menjadi satu-satunya institusi yang menentukan ukuran baik
tidaknya karya sastra. Balai Pustaka membedakan karya sastra
yang baik dan buruk berdasarkan penggunaan bahasa—meskipun
tidak hanya sebatas bahasa. Penggunaan bahasa Melayu tinggi
yang berpatokan pada tata bahasa Van Ophusyen menjadi dasar
penilaian sastra pada Balai Pustaka. Tata bahasa atau ejaan Van
Ophusyen sendiri dimuat dalam buku Kitab Logat Melajoe. Hal
ini jelas bahwa Balai Pustaka masih berorientasi pada unsur
kemelayuan ditambah beberapa orang yang mengisi Balai
Pustaka adalah orang-orang yang berasal dari Sumatra.

Jika kita melihat karya-karya yang diterbitkan pada masa


Balai Pustaka, kita akan mengetahui corak atau konvensi yang
terdapat pada era Balai Pustaka. Karya-karya seperti Azab dan
Sengsara dan Siti Nurbaya diciptakan oleh orang Sumatra,
tepatnya Sumatra Barat. Tentu saja dalam karya tersebut disisipi
unsur kebudayaan daerah Sumatra Barat. Jika masyarakat Sunda
atau Jawa membaca karya tersebut pertama kali tentu saja ia
bakal bingung untuk mengetahui jalan ceritanya karena

Keterbatasan pada Kata| 81


masyarakat tersebut tidak mengusasai konvensi budaya Sumatra
Barat. Hasilnya mungkin novel tersebut terlalu berat untuk dibaca
masyarakat ramai. Di lain pihak, khazanah Sastra Indonesia
diramaikan oleh Sastra Melayu-Tionghoa. Sastra Melayu-
Tionghoa dianggap sebagai sastra rendah karena memakai bahasa
Melayu pasar yang tidak sesuai dengan tata bahasa Van
Ophusyen. Sastra Melayu-Tionghoa sendiri mengemukakan
permasalahan popular pada zaman tersebut yaitu pada awal abad
ke-20.

Kedua jenis sastra—Balai Pustaka dan Sastra Melayu-


Tionghoa—mendahului era Pujangga Baru. Kedua jenis sastra
tersebut tentu saja akan mempengaruhi pola dan pemikiran
angkatan Pujangga Baru. Permasalahan yang terjadi adalah
apakah angkatan Pujangga Baru mempunyai kaitan terhadap dua
jenis sastra atau hanya Balai Pustaka?

Awal Mula Pujangga Baru

Awal mula Pujangga Baru tentu saja tidak lepas dari gerakan
pemuda pada tahun 1928. Pada tahun tersebut terjadi gerakan
Sumpah Pemuda yang isinya tentang wacana “keindonesiaan”.
Pada tahun 1930 gerakan-gerakan pemuda kemudian bisa bersatu
dalam gerakan pemuda Indonesia, Indonesia muda [ CITATION
Kei91 \l 1033 ]. Kemudian permasalahan baru muncul.
Permasalahan-permasalahan tersebut adalah menyangkut identita
Indonesia.

Keterbatasan pada Kata| 82


Angkatan Pujangga Baru muncul dengan terbitnya majalah
Poedjangga Baroe pada tahun 1933. Majalah tersebut merupakan
sikap terhadap Balai Pustaka yang menjadi otoritas dalam
perkembangan kesusastraan Indonesia. Pandangan angkatan
Pujangga Baru lebih memihak pada Barat. Majalah Poedjangga
Baroe menjadi tempat berkumpulnya kaum budayawan, seniman,
dan cendekiawan Indonesia pada masa itu.

Angkatan Pujangga Baru banyak mengeluarkan gagasan baru


tentang kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah tentang
bahasa. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, “Bahasa Indonesia
ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-
lahan tumbuh di Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya
pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada awal abad dua
puluh dengan insyaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa
persatuan.”12 Pandangan tersebut berdasarkan pada sumpah
pemuda pada tahun 1928. Keberanian tersebut mengisyaratkan
bahwa Bahasa Indonesia bukanlah Bahasa Melayu. Hal tersebut
yang menjadi awal mula polemik kebudayaan antara Budayawan
tua dan Angkatan Pujangga Baru. Polemik kebudayaan yang lain
adalah tentang kiblat kebudayaan Indonesia. Arah kebudayaan
yang coba dilontarkan oleh Angkatan Pujangga Baru adalah
berkiblat ke barat. Hal ini merupakan gagasan baru dari Angkatan
Pujangga Baru.

Tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru adalah Sutan Takdir


Alisyahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, J. E. Tatengkeng,
Asmara Hadi, Amir Syarifudin dan lain-lain. Jika melihat tokoh-
tokoh tersebut, sebagian besar dari mereka berasal dari Sumatra.

12
Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1986) hal. 34

Keterbatasan pada Kata| 83


Tokoh dari Sumatra tersebut adalah tiga tokoh utama yaitu Sutan
Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah. Ketiga
tokoh tersebut tentu saja menguasai tradisi Melayu yang sangat
kental. Inilah yang menjadi pokok bahasan tulisan ini, bahwa
Apakah Angkatan Pujangga Baru—yang sangat berkiblat ke
Barat—mempunyai ketegangan antara Kemelayuan dan
Keindonesiaan?

Pujangga Baru: Ketegangan antara Kemelayuan dan


Keindonesiaan

Seperti yang dijelaskan di atas,Tokoh sentral Angkatan


Pujangga Baru berasal dari Sumatra. Ketiga tokoh sentral—Sutan
Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah—tentu saja
menguasai tradisi sastra Melayu. Hal ini sangat menarik karena
pada awal pendirian angkatan tersebut, pemikiran-pemikiran
Pujangga Baru secara terang-terangan berkibat pada Barat.
Karya-karya Pujangga Baru memang berkiblat pada Angkatan
’80 di Belanda namun jika kita amati secara seksama pengaruh
tersebut hanya tedapat pada bentuk formal saja. Dari segi bahasa,
karya-karya Pujangga Baru masih banyak yang terpengaruh oleh
tradisi lisan Melayu seperti Pantun dan Syair. Ini menjadi suatu
ketegangan dalam sejarah kesusastraan pada Angkatan Pujangga
Baru.

Sebagai contoh kita akan mengambil beberapa karya dari


Angkatan Pujangga Baru terutama karya sastra berupa sajak
untuk mengetahui ketegangan tersebut. Contoh karya yang
pertama adalah karya Moh. Yamin. Moh. Yamin biasanya
menggunakan bentuk sonata. Bentuk sonata merupakan pengaruh
dari kesusastraan Barat.

Keterbatasan pada Kata| 84


Permintaan

Mendengarkan ombak pada hampirku


Debar- mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku

Sebelah timur pada pinggirku


Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku

Di mana laut debur-mendebur


Serta medesir tiba di pasir
Di salanah jiwaku, mulai tertabur.

Di mana ombak sembur-menyembur


Membasahi barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya aku berkubur.

(Permintaan, Moh. Yamin)

Secara formal, sajak tersebut memang berbentuk sonata yaitu


berbentuk 14 baris dengan rima yang rapi. Pengaruh Barat
muncul dari segi formal sajak namun dari bentuk isinya, sajak
tersebut masih sangat terpengaruh oleh tradisi lisan Melayu.
Tradisi patun masih tampak terlihat jelas. Setiap larik sajak
tersebut terdiri dari empat kata dan mempunyai rima yang rapi.
Hal ini mengingatkan kita pada tradisi lisan Melayu yang berupa
panting maupun syair. Dalam tradisi lisan Melayu, setiap lariknya
juga terdiri dari empat kata. Pemilihan kata juga masih
terpengaruh oleh bahasa Melayu tinggi seperti ‘hampirku,
santunan, tabur’. Hal ini mengisyaratkan bahwa sebagian besar
penyair Pujangga Baru masih merindukan kebesaran tradisi
Melayu lama. Hal ini juga terdapat pada sajak karya Sanusi Pane
yang berjudul Rindu.

Rindu

Keterbatasan pada Kata| 85


Pernah tuan mendapat cinta,
Mendapat kasih semalam saja,
Setelah pagi tuan dipinta
Pergi jauh berkelan’ kembara?

Tuan berangkat berputus asa,


Bah’gia habis sudah melayang,
Sedang hati selalu terpaksa
Memandang kenangan terbayang-bayang?

(Madah Kelana, Sanusi Pane)

Dalam sajak Sanusi Pane, bentuk formal lebih mendekati


bentuk syair pada tradisi Melayu lama. Rima sajak tersebut
berbentuk a-a-a-a sama seperti syair. Bentuknya pula juga sama
yaitu bentuk kuatrin. Dalam bentuk kuatrin, setiap bait sajak
terdiri dari empat larik dan setiap larik terdiri dari empat kata.
Kekekatan konvensi tersebut menandakan masih adanya
pengaruh besar tradisi Melayu lama. Sajak tersebut juga
mengisyaratkan kerinduan penyair terhadap tradisi sastra Melayu
lama. Kerinduan tersebut disimbolkan pada larik terakhir
/Memandang kenangan terbayang-bayang?/. Kenangan dalam
hal ini merupakan penanda bagi kerinduan masa lalu. Ini menjadi
ketegangan tersendiri bagi penyair antara menyerap kemelayuan
atau membentuk keindonesiaan sesuai pada awal Pujangga Baru
terbentuk.

Contoh yang ketiga adalah sajak Amir Hamzah. Amir Hamzah


dipilih karena dia dianggap sebagai raja penyair pada masa
Pujangga Baru. Sajak Padamu Jua. Saya mengutip sebagian dari
sajak tersebut

Habis kikis

Keterbatasan pada Kata| 86


segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu

(Padamu Jua, Amir Hamzah)

Pada kutipan tersebut, tidak tampak lagi konvensi tradisi


Melayu lama. Sajak tersebut juga setidaknya menjadi suatu
embrio bagi perkembangan Sastra Indonesia Modern. Pemakaian
bentuk tidak lagi terikat pada bentuk kuatrin yang ketat—satu
larik terdiri dari empat kata. Akan tetapi sajak tersebut
merupakan karya Amir Hamzah setelah mendapatkan pengaruh
dari Rabrindranath Tagore. Sebelumnya Amir Hamzah masih
terikat pada konvensi ketat tersebut. Perhatikan kutipan sajaknya
di bawah ini.

Mengapakah rama-rama boleh bersenda


Alun boleh mencium pantai
Tetapi beta makhluk utama
Duka dan cinta menjadi selampai?

(Senyum, hatiku, Senyum, Amir Hamzah)

Dalam kutipan sajak tersebut, Amir masih terpengaruh oleh


konvensi tradisi Melayu lama. Sajaknya masih berbentuk kuatrin
dan empat kata setiap larik. Rimanya juga masih berbentuk rapi.
Bahasa-bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa Melayu
Tinggi namun mempunyai beberapa perbedaan seperti kata
‘beta’. Amir kemudian menjadi sosok yang berpengaruh pada
Pujangga Baru. Ia berusaha untuk membebaskan konvensi-
konvensi dan menjadi embrio puisi bebas namun hanya beberapa
saja sajaknya berbentuk puisi bebas selebihnya berbentuk syair.

Keterbatasan pada Kata| 87


Kesimpulan

Dari ketiga contoh tersebut, ketegangan dari dalam penyair


muncul pada karya-karyanya. Karya-karya Pujangga Baru masih
bernafaskan tradisi Melayu Lama. Hal ini menunjukkan bahwa
ketegangan antara Kemelayuan dan Keindonesiaan masih terasa
dalam Angkatan Pujangga Baru. Angkatan Pujangga Baru
tumbuh pada masa Bahasa Indonesia baru mulai muncul. Ini
berarti bahwa pengaruh-pengaruh dari tradisi Melayu lama masih
kentara dalam tiga contoh sajak tersebut. Ketegangan-ketegangan
tersebut pada akhirnya dicairkan oleh angkatan penerusnya yaitu
angkatan ’45. Pengaruh Barat memang tidak serta-merta menjadi
acuan dari Angkatan Pujangga Baru tersebut, namun pengaruh
tersebut membukakan jendela baru bagi kesusastraan Indonesia.
Memang pada awal mula kesusastraan memang selalu terjadi
ketegangan identitas apalagi dari bangsa Indonesia yang mulai
berikrar bersatu pada sumpah pemuda. Angkatan Pujangga Baru
memang mengalami ketegangan antara Kemelayuan dan
Keindonesiaan. Ketegangan tentang Identitas Indonesia memang
pada masa Pujangga Baru baru berupa embrio daru bangsa
Indonesia tersendiri.

Daftar Pustaka

Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru Kesusastraan dan


Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti
Pasaka.

Keterbatasan pada Kata| 88


Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
Binacipta.

Sumardjo, Jakob. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern 1.


Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ayat-ayat Api: Kemarahan


yang Terpendam dalam Puisi
Agung Dwi Ertato

Waktu upacara hampir usai kau tak ingat


Bahwa kuburan di kampung sudah penuh

Mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa


Adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami
(Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono)

I.

Keterbatasan pada Kata| 89


Setiap kali kita membaca puisi, kita selalu dihadapkan pada
masalah yang paradoksial, mengapa puisi? Pada tataran itu pula,
setiap kali membaca puisi akan selalu ada hal-hal baru yang
menjadi tegangan-tegangan walaupun puisi tersebut kita baca
berulang kali. Puisi pulalah yang mempertemukan kita pada
Sapardi Djoko Damono. Sapardi Djoko Damono memilih puisi
sebagai proses kerja kreatif seninya. Dalam perkembangan puisi
Indonesia mutahir, sosok Sapardi Djoko Damono memang tidak
asing lagi di telinga kita. Dia adalah penyair yang mulai menulis
puisi pada tahun 1960, kemudian ia dimasukkan ke dalam
angkatan ’66.

II.

Buku kumpulan puisi pertamanya adalah DukaMu Abadi


(1969). Goenawan Muhamad pernah menyebut kumpulan puisi
tersebut sebagai Nyanyian Sunyi Kedua (Teeuw: 1989).
Beberapa kumpulan puisi lainnya adalah Mata Pisau (1974),
Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984),
Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000),
Mata Jendela (2002), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?
(2002), dan yang terbaru adalah Kolam (2009). Puisi-puisi
Sapardi Djoko Damono sering menampilkan perenungan-
perenungan pribadi aku lirik terutama dalam kumpulan puisi
DukaMu Abadi. Corak puisi Sapardi tersebut masih terlihat
hingga kumpulannya yang terakhir, Kolam. Akan tetapi pada
periode 1990-2000, Sapardi menampilkan hal lain dalam
sajaknya. Ia menampilkan tema-tema sosial yang lebih
kontekstual pada masa itu. Pada periode tersebut, ia
mengeluarkan dua kumpulan puisi yaitu Arloji (1998) dan Ayat-

Keterbatasan pada Kata| 90


ayat Api (2000). Dalam Ayat-ayat Api, Puisi-puisi yang
terkumpul dalam Arloji ditampilkan kembali pada bagian Ayat
Arloji. Ditampilkannya Arloji ke dalam Ayat-ayat Api,
mengisyaratkan bahwa Sapardi secara tegas ingin menampilkan
permasalahan sosial pada masa tersebut, periode 1990-1998. Pada
buku kumpulan puisi ini, Sapardi seperti mengambil kelokan dari
jalan estetik yang sudah ia tempuh sebelumnya. Jika sebelumnya
Sapardi dikenal sebagai penyair yang jarang bicara secara cukup
vulgar tentang tema-tema sosial, dalam kumpulan itu, tema
berbau sosial muncul dalam sejumlah sajak.

Sejak melihat sampul depan Ayat-ayat Api, kita sudah tahu ada


sesuatu yang berbeda dalam kumpulan tersebut. Berlainan dengan
cover-cover kumpulan sajak Sapardi sebelumnya, juga berbeda
dengan sampul buku puisi pada umumnya, Ayat-ayat
Api memajang gambar bentrokan antara mahasiswa dengan
pasukan keamanan di bagian depan, sementara di bagian
belakang tampak suasana kerusuhan yang mengingatkan orang
pada peristiwa Mei 1998. Kumpulan puisi Ayat-ayat Api tersebut
pulalah yang akan menjadi fokus pembicaraan dalam tulisan ini.

Ayat-ayat Api menampilkan tema-tema sosial yang terjadi pada


periode 1990 hingga 1998. Pada kumpulan puisi sebelum atau
sesudah periode tersebut, Sapardi jarang menampilkan tema-tema
sosial seperti dalam Ayat-ayat Api. Hal ini lah yang menjadi
menarik dalam pembicaraan tulisan ini.

III.

Api menjadi simbol kehidupan yang selalu berkobar dan


menyala hingar ke sana ke mari. Api kadang juga menjadi simbol

Keterbatasan pada Kata| 91


amarah yang lama terpendam kemudian meledak entah tiba-tiba
atau pelan-pelan munculnya. Puisi Ayat-ayat Api, api menjadi
sosok kemarahan yang terpendam dalam puisi tersebut.
Kemarahan pada bulan mei, kemarahan pada peristiwa yang
terjadi pada tahun 1998.

Dalam puisi Ayat-ayat Api, Sapardi menangkap peristiwa


kerusuhan Mei 1998 ke dalam bahasa puitik. Puisi tersebut tetap
mempunyai ciri khas seorang Sapardi. Puisi Sapardi masih
menggunakan kegenapan dalam gramatika dan semantik. Di sisi
lain Sapardi tetap mejaga ambiguitas dalam puisi tersebut. Inilah
yang menurut Nirwan Dewanto—dalam makalahnya yang
disajikan dalam kuliah umum di Salihara—puisi Sapardi
merupakan “titik tengah” perpuisian Indonesia Modern. Puisi
Sapardi,Ayat-ayat Api, tidak tenggelam pada puisi pamflet dan
puisi gelap walaupun puisi tersebut merupakan puisi kontekstual
tantang peristiwa Mei 1998.

IV.

Dalam buku Kerusuhan Mei 1998 Fakta, Data, dan Analisa,


dipaparkan secara jelas peristiwa kronologis kerusuhan pada Mei
1998. Dalam buku tersebut terdapat 111 peristiwa kerusuhan di
111 tempat berbeda di Jakarta. Umumnya kerusuhan terjadi di
kompleks pertokoan seperti Penjaringan Utara, Mangga Dua,
Cempaka Putih, dan lain-lain. Puisi Ayat-ayat Api sangat
kontekstual pada peristiwa tersebut. Api menjadi bagian yang tak
terpisahkan pada puisi tersebut. Puisi Ayat-ayat Api terdiri dari 15

Keterbatasan pada Kata| 92


fragmen. Pada fragmen pertama, penanda waktu yang
mengkaitkan puisi tersebut dengan kerusuhan Mei 1998 adalah
kata mei.

...

mei, bulan kita itu, belum di tinggalkan penghujan


...

mei menjadi bulan yang masih diselimuti oleh penghujan.


Penghujan menandakan keadaan yang pilu, penuh dengan tetesan
air mata, dan kesedihan. Keadaan tersebut juga terdapat pada Mei
1998. Mei pada waktu tersebut banyak terjadi kerusuhan,
kerusuhan mengakibatkan awan mendung dan kesedihan bagi
korban kerusuhan.

Pada fragmen 2 dan 3, Peristiwa kebakaran digambarkan


dalam bahasa penyair. Tidak seperti bahasa yang digunakan
pamflet Rendra tapi dalam bahasa liris Sapardi yang biasa ia
pakai dalam puisi-puisi sunyinya. Sapardi memang tidak terlalu
tenggelam pada puisi yang keras dalam menangkap peristiwa
tersebut.

/2/

seorang anak laki-laki


menoleh ke kiri ke kanan
lalu cepat-cepat menyelinap
dalam kerumunan itu
dan tidak kembali

tiga orang lelaki separo baya


bergegas menyusulnya
dan tidak kembali

lima enam tujuh orang perempuan

Keterbatasan pada Kata| 93


meledak bersama dalam api
dan, tentu saja,
tidak kembali

agak ke sebelah sana


di seberang jalan
seorang penjual rokok
membayangkan dirinya duduk
di depan pesawat televisi
takjub menyaksikan
sulapan itu

Peristiwa kerusuhan diibaratkan oleh penyair seperti adegan


sulapan. Orang bisa menghilang begitu saja ketika memasuki
suatu ruangan kemudian terbakar seperti suatu permainan
sulapan saja. Kerusuhan pada Mei 1998 seperti permainan
penguasa menyihir orang-orang untuk melakukan kekacauan dan
kerusuhan. Pada fragmen ketiga suasana api terasa liris / ada
suaminya ada anaknya / (yang / mungkin / saja / sedang /
memikirkannya / juga) / yang kini / (tentunya / mungkin / moga-
moga / saja / tidak!) / berada dalam sebuah toko besar / (atau /
tidak / lagi / bisa) / yang sedang terbakar//

Pada fragmen ketujuh, ada kemarahan yang sedikit terpendam.


Kemarahan tersebut terdapat pada lirik / gambar-gambar / di
koran hari ini / godaan / bagi kita // untuk tetap / menyisakan
/aneka / kata seru //. Kata seru menjadi penanda amarah tersebut.
Subjek kita tidak menanyakan perihal peristiwa tersebut
melainkan menyerukan peristiwa tersebut.

Secara keseluruhan puisi Ayat-ayat Api merupakan puisi


naratif. Puisi yang bercerita tentang kerusuhan dan pembakaran-
pembakaran pertokoan di Jakarta. Pada puisi tersebut kemarahan

Keterbatasan pada Kata| 94


memang tidak lugas disebutkan tapi kemarahan masuk pada
bagian api melalui orang-orang yang tidak kembali ketika masuk
pada toko yang terbakar seperti Sulapan yang selalu menyisakan
kata seru. Kata seru tersebut itulah yang menjadi bagian
kemarahan yang terpendam. Kemarahan yang terpendam bagi
korban kerusuhan ataupun kemarahan bagi yang menyaksikan
kerusuhan. Kemarahan tersebut memang tidak bisa diungkapkan
secara langsung, kemarahan tersebut memang hanya terpendam
saja.Mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa Adalah
menguburmu sementara dalam ingatan kami.

V.

Dari pembahasan ringkas puisi tersebut, dapat disimpulkan


bahwa puisi tersebut merupakan puisi Sapardi yang menggumuli
tema-tema sosial. Puisi tersebut seperti mengungkapkan
kemarahan yang terpendam oleh panyair. Seperti yang kita
kitahui, puisi-puisi Sapardi sebelumnya jarang yang
membicarakan sesuai konteks sosial yang terjadi pada waktu
puisi itu dibuat. Akan tetapi dalam puisi tersebut, Sapardi
akhirnya mengungkapkan keadaan atau peristiwa yang terjadi di
sekitarnya ke dalam uisi tersebut—Peristiwa tentang kerusuhan
Mei 1998.

Keterbatasan pada Kata| 95


Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka


Firdaus.
Escarpit, Robert. 2008. Sosiologi Sastra. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Jusuf, Indahyani Ester, Hotma T., Olisias G., Sondang F. 2008.
Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa
Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 sebagai Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan. Jakarta: Solidaritas Nusa
Bangsa dan Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi
Manusia Indonesia.
Salden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa
Kini. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Teeuw. A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka
Jaya.

Keterbatasan pada Kata| 96


Ada Kematian di Balik
Celana Joko Pinurbo
Agung Dwi Ertato
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan”
(Celana 1, Joko Pinurbo)

/1/

Beberapa penyair mempunyai ciri khas dalam sajak-sajaknya,


begitu pula dengan Joko Pinurbo. Joko Pinurbo mempunyai ciri
gaya humor dalam beberapa sajaknya. Gaya tersebut
diungkapkan dalam sajak yang berbentuk naratif. Jika kita
membaca sajak Joko Pinurbo, kita akan menemukan keunikan
dan kesederhanaan dalam sajaknya. Pemilihan kata yang
dilakukan Joko Pinurbo berkisar pada kata-kata yang sering kita
jumpai sehari-hari. Bukan kata-kata yang ia gosok-gosok lalu
menjadi kata-kata yang puitik, melainkan kata-kata yang sering
kita jumpai lalu ia kuatkan melalui alur sajak naratifnya.

Nilai estetik dari sajak Joko Pinurbo memang bukan dari


pilihan kata tetapi pada gaya humornya yang jika kita baca, kita
akan tergelitik sekaligus tercengang. Pada beberapa sajaknya, ia
memilih berbicara tentang pertemuan dengan Tuhan. Pertemuan
tersebut bukan melalui peristiwa sufistik seperti yang sering kita
jumpai dalam sajak-sajak Goenawan Muhamad dan Sapardi

Keterbatasan pada Kata| 97


Djoko Damono. Joko Pinurbo membawa kita pada pertemuan
tersebut melalui Celana. Hal inilah yang akan menjadi pokok
pembicaraan dalam tulisan ini, ada apa sebenarnya di balik
Celana Joko Pinurbo? Oleh karena itu, saya memilih sajak
Celana 1 untuk mengetahui isi Celana Joko Pinurbo.

/2/

Celana 1

Ia ingin membeli celana baru


Buat pergi ke pesta
Supaya tampak lebih tampan
Dan meyakinkan

Ia telah mencoba seratus model celana


Di berbagai toko busana
Namun tak menemukan satu pun
Yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga


Yang merubung dan membujuk-bujuknya
Ia malah mencopot celananya sendiri
Dan mencampakkanya.

“kalian tidak tahu ya,


Aku sedang mencari celana
Yang paling pas dan pantas
Buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
Tanpa celana
Dan berkelana
Mencari kubur ibunya
Hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
Yang kupakai waktu bayi dulu?”

(1996)

Keterbatasan pada Kata| 98


Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan kata celana. Celana
merupakan benda modern yang digunakan manusia sehari-hari
untuk menutupi alat kelamin manusia. Dalam perkembangannya,
celana digunakan sebagai benda untuk memperindah penampilan
manusia. Di tangan Joko Pinurbo, celana dijadikan objek
kreatifnya dalam menulis sajak. Melalui kemampuan verbalnya,
Joko Pinurbo mengubah celana menjadi sebuah pertemuan
dengan Tuhan melalui kematian.

Pada sajak Celana 1, Joko Pinurbo berbicara tentang


kematian. Kematian tersebut tidak bersifat sendu atau sunyi.
Kematian yang ia tampilkan lebih bersifat humor dan paradoks.
Kematian ditandai dengan kata kuburan. Kuburan menjadi hal
yang paradoks jika kita kaitkan pada bait pertama sajak Celana 1.
Pada bait pertama, celana baru yang ia cari digunakan untuk
pergi ke pesta agar terlihat lebih tampan. Kata tampan menjadi
penanda bahwa ia adalah pria. Pada bait keempat celana yang ia
cari ternyata buat nampang di kuburan. Kata pesta pada bait
pertama sejajar dengan kata kuburan pada bait keempat. Pesta
dan kuburan menjadi paradoks karena pesta yang bersifat hingar-
bingar kemudian disejajarkan dengan kuburan yang lebih bersifat
sunyi.

Gaya humor khas Joko Pinurbo muncul pada bait ketiga dan
kelima. Pada bait ketiga, pria tersebut bahkan di depan
pramuniaga/yang merubung dan membujuk-bujuknya/ ia malah
mencopot celananya sendiri/ dan mencampakkannya/. Pada bait
kelima, pria tersebut ngacir/ tanpa celana/ dan berkelana/
mencari kubur ibunya/ hanya untuk menanyakan,/ “Ibu,
kausimpan di mana celana lucu/ yang kupakai waktu bayi

Keterbatasan pada Kata| 99


dulu?”/. Proses melepaskan celana dan lari telanjang menuju
kubur merupakan adegan yang lucu sekaligus mencengangkan.

Manusia telanjang tersebut memang hal yang tidak biasa


dalam kehidupan nyata. Dalam dunia rekaan Joko Pinurbo,
adegan tersebut merupakan simbol dari pencarian harta di dunia
sebelum menuju kematian. Joko Pinurbo seperti menghapus
anggapan bahwa kuburan atau kematian adalah hal yang
menyeramkan. Ia mengibaratkan bahwa kematian adalah sebuah
pesta pertemuan dengan Tuhan yang harus dipersiapkan dengan
meyakinkan atau sesempurna mungkin. Celana menjadi penanda
tentang harta yang akan kita bawa sebelum pesta pertemuan itu.
Kita akan menyiapkan celana yang paling sempurna sebelum
pesta pertemuan dengan mencari celana tersebut ke berbagai
toko. Pada akhirnya, kesempurnaan tidak akan kita temui pada
setiap toko. Pada akhirnya, kita akan menanggalkan segala
celana untuk menghadiri pesta pertemuan dengan Tuhan. Yang
tertinggal hanya ketiadaan yang melekat pada tubuh kita bukan
celana dan kita akan merindukan jiwa seperti dulu, jiwa semurni
jiwa bayi—celana lucu yang kita pakai waktu bayi dulu.

Celana 1 Joko Pinurbo menjadi simbol bahwa kematian


merupakan pesta pertemuan dengan Tuhan. Pada pesta
pertemuan itu, kita tidak akan membawa sesuatu apapun dari
dunia. Kita hanya datang pada kematian dengan tubuh yang
telanjang, tanpa membawa harta apapun, tanpa celana apapun.
Celana hanyalah harta dunia yang tidak akan kita bawa pada
kematian.

/3/

Keterbatasan pada Kata| 100


Berdasarkan penjelasan singkat sajak Celana 1, Joko Pinurbo
membicarakan kematian dengan gaya yang berbeda. Kematian
tidak ia simbolkan dengan peristiwa yang sedih, sunyi, dan sendu.
Celana 1 Joko Pinurbo terdapat kematian dibaliknya namun
kematian tersebut ia bawakan dengan peristiwa humor karena
kematian akan membawa kita kembali pada pertemuan dengan
Tuhan, apa yang harus kita sedihkan jika kita akan bertemu
dengan Pencipta kita, lebih baik ceria seperti dalam sebuah pesta
pertemuan kembali.

Sumber Acuan

Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Burung dalam Celana” dalam


Joko Pinurbo Celana. Magelang: Indonesia Tera.

Pinurbo, Joko. 2005. Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.

Utami, Ayu. 2005. “Joko Pinurbo: Mengapa Kematian,


Penyairku?” dalam Joko Pinurbo Pacar Senja. Jakarta:
Grasindo.

Keterbatasan pada Kata| 101


Keterbatasan pada Kata| 102

Anda mungkin juga menyukai