Anda di halaman 1dari 379

THE PHANTOM

OF THE OPERA
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana:
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanp a hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49
Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rpl.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak RpS.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memarnerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak
cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
RpS00.000.000,00 (Jima ratus juta rupiah).
GASTON LEROUX

Gii-

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Jakarta, 2011

�"#1 KOMPAS GRAMEDIA


THE PHANTOM OF THE OPERA
by Gaston Leroux
Alih bahasa: Stefanny lrawan
Editor: Hetih Rusli
GM 402 01 11 0038
Desain dan ilustrasi cover: Martin Dima
Hak cipta tetjemahan Indonesia:
PT Gramedia Pustaka Utama
JI. Palmerah Barat 29-37
Blok I, Lt. 5
Jakarta 10270
Indonesia
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI,
Jakarta, April 2011

376 hlm; 20 cm

ISBN: 978 - 979 - 22 - 6951 - 2

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


lsidiluar tanggung jawab Percetakan
Daftar Isi

Sebelum Membaca Si Hantu ... 7


Kata Pengantar 9
1 Apakah Itu Si Hantu? 17
2 Sang Margarita Baru 31
3 Alasan yang Misterius 45
4 Boks Balkon Nomor Lima 56
5 Biola yang Memukau 74
6 Kunjungan ke Boks Balkon Nomor Lima 97
7 Faust dan yang Tetjadi Setelahnya 101
8 Kereta Kuda yang Misterius 121
9 Di Pesta Topeng 132
10 Lupakan Suara Laki-laki Itu 146
11 Di Atas Pintu-Pintu Jebak 154
12 Harpa Dewa Apollo 165
13 Aksi si Pencinta Pintu Jebak 192
14 Tingkah Laku Aneh Yang Melibatkan Peniti 208
15 Christine! Christine! 217
16 Pengakuan Mencengangkan Madame Giry atas
Hubungan Pribadinya dengan si Hantu Opera 223
17 Kembali ke Peniti Itu 239
18 Sang Komisaris, Viscount, dan Orang Persia 248
19 Sang Viscount dan Orang Persia 256
20 Di Ruang Bawah Tanah Opera 266
21 Perubahan yang Menarik dan Menambah Pengetahuan
dari si Orang Persia di Ruang Bawah Tanah Opera 288
22 Di Dalam Kamar Penyiksaan 307
23 Siksaan Dimulai 316
24 "Tong kayu! Tong kayu! Ada yang mau

beli tong kayu?" 325


25 Kalajengking atau Belalang: Yang Mana?
26 Akhir Kisah Cinta Si Hantu 351
Epilog 364
Sebelum Membaca Si Hantu...

BANYAK di antara kita yang mengetahui atau paling tidak


pernah mendengar judul buku ini: The Phantom of The
Opera. Dan di antara sekian banyak adaptasi film atau dra­
ma panggung yang pemah dibuat atas kisah ini, saya ya­
kin versi musikal panggung karya Andrew Lloyd Webber
di tahun 1986-lah yang paling populer dan memukau begi­
tu banyak orang sehingga berhasil menempatkan The
Phantom of The Opera sebagai salah satu pertunjukan teater
musikal paling legendaris sepanjang sejarah. Perpaduan
lagu-lagu ciptaan Webber dan lirik yang sebagian besar
ditulis oleh Charles Hart itu sukses membuai penontonnya
ke dalam suatu cerita cinta romantis yang penuh petjuang­
an antara Christine dan Raoul untuk membebaskan diri
dari Erik, "monster" keji dan tak tahu diri.
Terkesima oleh mahakarya Webber tersebut dan mengeta­
hui bahwa The Phantom of The Opera sebenamya berbentuk
novel yang dipublikasikan pertama kali tahun 1909 sebagai
cerita bersambung di surat kabar Le Gaulois. Saya bemiat
membacanya sendiri, berusaha memadankan apa yang
tertulis di sana dengan apa yang diangkat oleh Webber
dan sejauh mana perbedaan antara keduanya. Dan saya
pun terkejut.
Novel The Phantom of The Opera karya Gaston Leroux­
seorang penulis berkebangsaan Prancis-menurut saya jauh
lebih kaya daripada versi musikal yang melegenda itu.
Satu hal, saya mendapati novel Leroux ini memiliki ele­
men-elemen humor yang hadir lewat gaya bercerita si
narator, suatu unsur yang sayangnya tak dimunculkan
pada versi adaptasi Webber. Kemegahan dan kemewahan
gedung Opera Paris juga dengan lebih mendetail digambar­
kan oleh Leroux. Namun di atas segalanya, perbedaan
signifikan yang tak dapat saya abaikan adalah karakter­
karakternya. Pengkarakteran tokoh Raoul dan si hantu
(phantom) hadir dengan perbedaan mencolok antara versi
novel dan milik Webber. Ada begitu banyak hal tentang si
phantom dalam novel ini yang tak diikutsertakan dalam
adaptasi seperti keberadaan karakter si orang Persia yang
memiliki peran teramat penting nan vital di dalam cerita
ini. Dan ini, menurut saya, adalah suatu lubang teramat
besar.
Karena itulah, ketika suatu hari saya mendapat tawaran
untuk menetjemahkan novel ini, saya langsung menerima­
nya dengan senang hati dan penuh semangat. Meskipun
tetap jatuh cinta pada versi musikal milik Webber, ada ke­
inginan besar dalam diri saya untuk membagi versi asli
The Phantom of The Opera ini sehingga orang dapat memi­
liki semacam penyeimbang, tak sekadar menerima versi
populer yang ada dan menganggapnya sebagai kisah cinta
pemuda tampan gagah berani dengan perempuan cantik
bersuara emas yang dihalangi oleh monster buruk rupa.
Saya berharap Anda mampu merasakan apa yang saya
rasakan ketika membaca novel ini, dan yang lebih penting,
saya harap Anda akan menikmatinya.

Stefanny Irawan
Kata Pengantar

Tempat Penulis Karya Ganjil lni


Memberitahu Pembaca Bagaimana la Teryakinkan Bahwa
Hantu Opera ltu Benar-Benar Pernah Ada

HANru Opera itu benar-benar ada. la bukanlah yang sela­

rna ini dianggap makhluk khayalan para senirnan, takhayul


para manajer, atau hasil pemikiran otak-otak absurd dan
labil milik para gadis muda penari balet, para ibu mereka,
para penjaga boks balkon, para penjaga mantel atau pene­
rima tamu. Ya, dia nyata dan benar-benar hidup meskipun
ia memilih untuk menampilkan diri layaknya hantu sung­
guhan.
Waktu aku mulai membongkar-bongkar arsip National
Academy of Music, aku langsung menyadari kebetulan
yang mengejutkan antara fenomena yang dikaitkan dengan
si "hantu" dengan tragedi paling luar biasa dan fantastis
yang pernah menggegerkan kalangan atas Paris. Tak lama,
kusadari bahwa tragedi ini mungkin bisa dijelaskan secara
masuk akal oleh fenomena itu. Kejadiannya tidak lebih
dari tiga puluh tahun lalu, dan tak akan susah menemukan
orang-orang paling terhormat di lobi balet sekarang ini,
orang-orang yang kata-katanya dapat dipercaya, yang ma-

9
sih dapat mengingat dengan jelas segala kejadian misterius
dan dramatis yang berkaitan dengan penculikan Christine
Daae, menghilangnya Vicomte de Chagny serta kematian
kakaknya, Count Philippe, yang mayatnya ditemukan di
tepi danau di ruang bawah tanah Opera di bagian Rue­
Scribe. Tapi sampai saat itu, tak seorang pun dari para
saksi yang berpikir untuk mengaitkan figur legendaris han­
tu Opera dengan kisah mengerikan itu.
Kebenaran itu memasuki kepalaku setelah cukup lama,
sebab aku dipusingkan oleh penyelidikan yang setiap saat
bertambah rumit dengan adanya kejadian-kejadian yang
sekilas terlihat seperti berkaitan dengan hal-hal gaib, dan
lebih dari sekali aku nyaris menyerah dan menghentikan
pencarian yang sepertinya sia-sia dan sungguh melelahkan
ini. Tetapi akhirnya aku mendapatkan bukti bahwa semua
firasatku benar dan semua jerih payahku terbayar sudah
di hari aku mendapatkan kepastian bahwa si hantu Opera
itu lebih dari sekadar bayangan.
Hari itu aku menghabiskan betjam-jam membaca Memoar
Seorang Manajer, hasil karya yang ringan dan serampangan
dari si skeptis Moncharmin, yang ketika menjabat sebagai
manajer Opera sama sekali tak mengerti tentang perilaku
misterius si hantu dan menganggapnya lelucon belaka saat
ia menjadi korban pertama dari kegiatan keuangan aneh
yang berlangsung di dalam "amplop ajaib."
Aku baru saja meninggalkan perpustakaan dengan putus
asa ketika aku bertemu dengan manajer akting yang ramah
dari National Academy ini. la sedang berdiri di balkon
dan berbicara dengan seorang laki-laki tua ceria dan berpe­
nampilan rapi yang kemudian diperkenalkanny a kepadaku.

10
Manajer al<ting itu tahu tentang penyelidikan yang kulaku­
kan dan bagaimana aku telah mati-matian mencari tapi
belum juga menemukan keberadaan M. Faure, hakim
penyelidik yang menangani kasus Chagny yang terkenal
itu. Tak ada yang tahu apa yang terjadi padanya, apakah
ia masih hidup atau sudah mati, tetapi kini ia berada di
sini, baru kembali dari Kanada setelah lima belas tahun di
sana, dan hal pertama yang dilakukannya begitu tiba di
Paris adalah mendatangi kantor sekretariat Opera untuk
meminta kursi gratis. Laki-laki tua bertubuh kecil itu ada­
lah M. Faure.
Kami berbincang lama malam itu dan ia bercerita pada­
ku tentang keseluruhan kasus Chagny sebagaimana ia
memahaminya waktu itu. la tidak punya pilihan selain
menutup kasus itu dengan menganggap sang viscount
telah gila dan kematian kakaknya sebagai kecelakaan kare­
na kurangnya bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya.
Tetapi ia juga merasa bahwa telah terjadi suatu tragedi
mengerikan di antara kedua bersaudara itu yang berkaitan
dengan Christine Daae. l a tidak dapat memberitahuku apa
yang terjadi dengan Christine maupun sang viscount. Keti­
ka aku menyebut soal si hantu, ia hanya tertawa. Rupanya
ia juga diberitahu tentang kejadian-kejadian ganjil yang
sepertinya mengarah pada keberadaan suatu makhluk gaib
yang tinggal di salah satu sudut paling misterius di Opera,
dan ia juga tahu cerita tentang amplop itu. Tetapi ia tak
melihat ada sesuatu yang penting untuk diperhatikan sehu­
bungan dengan posisinya sebagai hakim penyidik yang
menangani kasus Chagny, dan yang bisa dilakukannya
hanyalah mendengarkan seorang saksi yang datang dengan

11
sukarela dan mengaku telah sering bertemu dengan si
hantu. Saksi ini tak lain dan tak bukan adalah seseorang
yang oleh seluruh Paris disebut dengan "si orang Persia"
dan yang dikenal oleh setiap pelanggan Opera. Si hakim
menganggapnya tukang mimpi.
Aku sangat tertarik dengan kisah tentang si orang
Persia. Kalau bisa, aku mau mencari saksi penting yang
eksentrik ini. Keberuntungan mulai berpihak kepadaku
dan aku berhasil menemukannya di flat kecilnya di Rue de
Rivoli, tempat yang selama ini ditinggalinya dan tempat ia
meninggal lima bulan setelah kukunjungi. Tentu saja aku
sedikit curiga pada awalnya, tapi setelah orang Persia itu
bercerita kepadaku dengan kejujuran ala anak-anak ten.tang
segala yang ia ketahui tentang si hantu dan menyerahkan
bukti-bukti keberadaan si hantu kepadaku-termasuk
surat-surat ganjil Christine Daae-untuk kupergunakan
sebagaimana yang kuperlukan, aku tak lagi mampu mera­
gukannya. Tidak, hantu itu bukan mitos belaka!
Aku sadar dan pernah diberitahu bahwa surat-surat itu
mungkin saja dipalsukan seluruhnya oleh seseorang yang
daya imajinasinya sudah dicekoki oleh kisah-kisah paling
mengasyikkan, tapi untungnya aku menemukan beberapa
tulisan lain Christine dan setelah kubandingkan keduanya,
semua keraguanku lenyap. Aku juga menyelidiki masa lalu
si orang Persia dan mendapati bahwa ia orang yang bisa
dipercaya, tak mungkin ia mengarang cerita yang akan
mencurangi hukum.
Selain itu, berikut ini adalah pendapat orang-orang yang
lebih penting dariku, yang pada suatu titik pemah terlibat
di dalam kasus Chagny, mereka adalah teman-teman ke-

12
luarga Chagny. Aku pemah memberikan semua dokumen
dan kesimpulan yang kumiliki pada mereka. Sehubungan
dengan ini, aku berniat menyampaikan tulisan yang ku­
dapat dari Jenderal D-

SIR:
Saya tidak terlalu menyarankan hasil penyelidikan Anda
ini dipublikasikan. Saya masih ingat dengan jelas bahwa
beberapa minggu sebelum menghilangnya si penyanyi
terkenal Christine Daae, dan tragedi yang membuat selu­
ruh warga Faubourg Saint-Germain berduka, orang­
orang ramai membicarakan tentang si "hantu" di lobi
balet, dan saya percaya hal itu berhenti menjadi bahan
pembicaraan setelah peristiwa yang menggemparkan itu
terjadi. Tapi bila memungkinkan -dan setelah mende­
ngarkan Anda, saya percaya itu mungkin- untuk menje­
laskan tragedi itu melalui keberadaan si hantu, maka
saya mohon, Sir, ceritakan lagi tentang hantu itu kepada
kami. Meskipun mulanya cerita hantu itu mungkin terke­
san misterius, ia akan jauh lebih mudah dijelaskan dari­
pada kisah muram yang dibayangkan oleh orang-orang
berhati dengki itu, bagaimana kakak-beradik yang saling
memuja sepanjang hidupnya itu saling bunuh.
Percayalah, dll.

Akhimya, dengan setumpuk kertas di tangan, sekali lagi


aku pergi ke tempat kediaman luas si hantu, bangunan
teramat besar yang ia jadikan kerajaannya. Segala yang
kulihat dan segala yang tertangkap benakku membuktikan
kebenaran catatan-catatan milik si orang Persia sedetail-de-

13
tailnya dan usaha kerasku terbayar dengan satu temuan
yang mencengangkan. Orang-orang akan mengingat bahwa
nanti, ketika mereka menggali bawah tanah gedung Opera
itu, sebelum menguburkan piringan-piringan hitam rekam­
an suara sang penyanyi, para pekerja itu menemukan seso­
sok mayat yang telah menjadi belulang. Well. aku langsung
bisa menjamin bahwa mayat itu adalah si hantu Opera.
Aku meminta manajer akting itu sendiri membuktikan
kebenaran perihal mayat itu, dan bagiku adalah kebodohan
luar biasa bila media massa berpura-pura bahwa itu mayat
korban Komune Paris.
Orang-orang malang yang dibantai di ruang bawah ta­
nah Opera di bawah pemerintahan Komune Paris tidak
dikuburkan di sisi ini. Aku bisa menunjukkan tempat
tulang-belulang mereka dapat ditemukan, tak begitu jauh
dari ruangan luas tempat penyimpanan bahan makanan
selama masa pengepungan dulu. Aku menemukan jejak
tempat ini sewaktu mencari mayat si hantu Opera, yang
tentunya tak akan pernah kutemukan bila peristiwa yang
kusebutkan di atas tidak terjadi.
Tetapi kita akan kembali ke mayat itu dan apa yang
seharusnya dilakukan terhadapnya. Untuk sekarang ini aku
harus mengakhiri pendahuluan yang teramat penting ini
dengan berterima kasih kepada M. Mifroid (komisaris poli­
si yang dipanggil menangani penyelidikan-penyelidikan
awal setelah hilangnya Christine Daae), M. Remy, mantan
sekretaris Opera ini, M. Mercier, mantan manajer akting,
M. Gabriel, mantan pemimpin paduan suara, dan
khususnya Mme. La Baronne de Castelot-Barbezac, yang
pernah dikenal sebagai "Meg mungil" di kisah ini (dan

14
yang tak merasa malu mengakuinya), bintang paling bersi­
nar di corps de ballet kami yang terkenal, anak perempuan
tertua almarhum Mme. Giry yang terhormat, yang dulunya
bertugas mengurusi boks balkon pribadi si hantu. Mereka
semua adalah orang-orang yang sangat membantuku, dan
berkat mereka aku bisa menghadirkan kembali masa-masa
penuh cinta dan kengerian itu dengan begitu terperinci
bagi para pembaca.
Dan betapa tak tahu dirinya bila ketika berada di ger­
bang dimulainya kisah mengerikan dan nyata ini aku tak
berterima kasih kepada manajemen Opera yang sekarang,
yang telah dengan baik hati membantuku menemukan
jawaban dari semua pertanyaanku, khususnya kepada M.
Massager bersama dengan M. Gabion, sang manajer akting,
dan yang paling ramah di antara semuanya, sang arsitek
yang dipercaya merawat bangunan ini, yang tanpa ragu­
ragu merninjamkan catatan dan gambar Charles Garnier
meskipun ia hampir yakin aku tak akan pemah mengem­
balikannya. Akhirnya, aku harus mengumumkan terima
kasihku atas kemurahan hati teman serta mantan rekanku,
M.J.-L. Croze, yang mengizinkanku masuk ke perpustakaan
teater rniliknya yang luar biasa dan meminjam buku-buku
paling langka yang mampu dikumpulkan dan disim­
pannya.

GASTON LEROUX

15
Bab1
Apakah ltu Si Hantu?

MALAM itu Monsieur Debienne dan Poligny, para manajer


Opera, menggelar pesta jamuan terakhir yang menandai
masa pensiun mereka. Tiba-tiba ruang ganti La Sorelli, sa­
lah seorang penari utama, diserbu enam wanita muda ang­
gota kelompok balet yang baru saja kembali dari panggung
setelah "menarikan" Polyeucte. Mereka masuk dengan wa­
jah bingung, sebagian terdengar mengeluarkan tawa terpak­
sa dan yang lain memekik takut. Sorelli yang sedang ingin
sendirian agar bisa sekali lagi berlatih mengucapkan pidato
yang ia siapkan bagi para manajer itu menatap marah ke
kerumunan yang begitu ribut dan gempar ini. Jammes-ga­
dis yang memiliki ujung hidung agak lancip ke atas, mata
sebiru bunga forget me not, pipi yang kemerahan bagai
mawar, serta leher dan bahu yang seputih bunga lili-
kemudian memberi penjelasan dengan suara gemetar:
"Si Hantu!" Lalu ia mengunci pintu.
Untuk ukuran ruangan biasa, ruang ganti Sorelli telah

17
diatur sedemikian rupa sehingga memiliki aura elegan. Pe­
rabotan di dalamnya terdiri atas satu cermin besar yang
ramping, sofa, meja rias, serta dua lemari kecil. Di dinding­
nya bergantung beberapa ukiran, benda-benda peninggalan
sang ibu yang pernah mencicipi zaman keemasan Opera
tua di Rue le Peletier, serta lukisan-lukisan Vestris, Gardel,

Dupont, dan Bigottini. Meski begitu, ruang ganti itu layak­


nya istana bagi para anggota corps de ballet yang menem­
pati ruang ganti biasa saja, tempat mereka menghabiskan
waktu bernyanyi, bertengkar, mengganggu para penata
kostum dan penata rambut, serta sating mentraktir berge­
las-gelas cassis, bir atau bahkan rum, sampai bel penanda
giliran tampil dibunyikan.
Sorelli perempuan yang begitu percaya takhayul. la me­
rinding ketika mendengar Jammes menyinggung soal si
hantu dan menyebut gadis itu "si mungil konyol." Tetapi,
karena ia yang lebih dulu percaya hantu, khususnya Hantu
Opera, di antara gadis-gadis itu, ia segera bertanya lebih
jauh:
"Apakah kau melihatnya?"
"Sejelas aku melihatmu sekarang!" jawab Jammes yang
masih gemetaran kakinya, lalu mengempaskan diri ke kur­
si sambil mengerang.
Pada saat itulah Giry- gadis dengan wama mata seke­
lam buah plum, rambut sehitam tinta, dengan kulit agak
gelap yang membungkus tubuh kurusnya- menambahkan,
"Kalau itu si hantu, wajahnya jelek sekali!"
"Oh, benar!" teriak para penari balet itu serempak.
Lalu mereka semua ribut, bicara pada saat yang sama.
Si hantu muncul di hadapan mereka dalam rupa seorang

18
pria bersetelan resmi yang tiba-tiba berdiri di lorong, meng­
halangi jalan mereka tanpa diketahui dari mana asalnya.
Seakan-akan ia langsung muncul menembus tembok.
"Huh!" kata salah satu dari gadis-gadis itu, yang tam­
paknya masih cukup tenang dan bisa berpikir logis. "Ka­
lian melihat hantu itu di mana-mana!"
Dan itu memang benar. Selama beberapa bulan, tak ada
hal lain yang menjadi bahan pembicaraan di Opera kecuali
hantu dengan setelan resmi itu. Hantu yang berkeliaran
dalam gedung ini dari tingkat paling atas hingga paling
bawah, yang bagaikan bayangan dan tak pemah berbicara
dengan siapa pun serta langsung menghilang begitu terli­
hat, tanpa ada seorang pun yang tahu bagaimana serta ke
mana perginya. Seperti layaknya hantu sungguhan, ia berja­
lan tanpa suara. Orang-orang pada awalnya hanya tertawa
dan mengolok-olok hantu yang berdandan bagai orang ter­
hormat atau seorang penggali kubur itu. Tapi legenda ten­
tang hantu itu dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang
begitu bombastis di antara anggota corps de ballet. Gadis­
gadis itu mengaku pernah bertemu beberapa kali dengan
si makhluk gaib. Dan mereka yang tertawa paling keras
bukan berarti tidak takut terhadapnya. Ketika hantu itu
tidak muncul, ia seakan mengkhianati keberadaannya atau
segala hal yang dianggap sebagai perbuatannya, baik yang
lucu maupun serius. Jika seseorang terjatuh atau dikerjai
oleh salah satu gadis-gadis itu, atau kehilangan pemulas
bedaknya, langsung saja tuduhan diarahkan kepada hantu
itu, si hantu Opera.
Lagi pula, siapa yang sudah melihatnya? Kau bisa men­
jumpai sekian banyak laki-laki dalam setelan resmi yang

19
bukan hantu di Opera ini. Tetapi setelan resrni yang satu
ini lain daripada yang lain. Ia bukan membalut seseorang,
tetapi kerangka manusia. Paling tidak, itulah yang dikata­
kan gadis-gadis penari balet. Dan tentu saja, kepala laki­
laki itu berupa tengkorak.
Apa semua ini bukan main-main? Sebenamya, ide ke­
rangka rnanusia itu datang dari deskripsi si hantu yang
diberikan oleh Joseph Buquet, kepala bagian pengganti
gambar latar, yang benar-benar pernah melihat hantu itu.
Ia tak sengaja berternu hantu itu di tangga kecil dekat jajar­
an lampu di bibir panggung yang mengarah ke "ruang
bawah tanah." Ia hanya melihat si hantu selama satu
detik-karena hantu itu langsung kabur-dan kepada siapa
pun yang rnau mendengarkan omongannya ia bercerita
seperti ini:
"Ia luar biasa kurus dan setelannya seperti rnenggantung
pada kerangka. Matanya begitu dalam sehingga kau ham­
pir tak dapat melihat pupilnya. Kau hanya melihat dua
lubang hitam yang dalam seperti pada tengkorak orang
mati. Kulitnya, yang tipis membungkus tulang-tulangnya,
tidak berwarna putih, tapi kuning menjijikkan. Hidungnya
begitu kecil sampai-sampai kau tak dapat melihatnya dari
arah sarnping, dan itu pemandangan yang sungguh menge­
rikan. Rarnbut yang dirnilikinya hanyalah berupa tiga atau
empat ikat yang menjuntai dari dahi dan bagian belakang
telinganya."
Si kepala bagian pengganti garnbar latar ini orang yang
serius, tidak suka minum, tenang, dan tak terlalu merniliki
imajinasi yang bagus. Karena itu mereka menerima perka­
taannya dengan penuh ketertarikan dan kekaguman; dan

20
tak lama setelahnya orang-orang lain berkata bahwa mere­
ka juga telah bertemu dengan laki-laki bersetelan yang
berkepala tengkorak. Orang-orang berpikiran logis yang
mendengar cerita itu mengatakan bahwa Joseph Buquet
hanyalah korban keisengan salah satu asistennya. Tetapi
kemudian terjadi serangkaian kejadian yang begitu ganjil
dan sulit dijelaskan sehingga bahkan mereka yang paling
sinis pun mulai merasa tak tenang.
Misalnya, petugas pemadam kebakaran yang pemberani!
Ia tak takut apa pun, apalagi api! Tetapi si pemadam keba­
karan ini sepertinya berkeliaran lebih jauh daripada biasa­
nya ketika ia melakukan inspeksi di ruang bawah tanah,
lalu ia tiba-tiba muncul di atas panggung dengan muka
pucat pasi dan gemetar ketakutan, matanya melotot nyaris
copot dan bahkan pingsan di pelukan ibu si kecil Jammes.
Mengapa? Karena ia melihat sesuatu bergerak mendatangi­
nya, setinggi kepalanya, tengkorak terbakar tanpa badan! Dan
seperti yang kukatakan sebelumnya, seorang petugas pema­
dam kebakaran tidaklah takut api.
Nama petugas pemadam kebakaran itu Pampin.
Anggota corps de ballet langsung ketakutan setengah
mati. Kalau dipikir, kepala berapi ini tidak cocok dengan
penggambaran Joseph Buquet atas si hantu. Tetapi gadis­
gadis muda itu segera meyakinkan diri mereka sendiri
bahwa si hantu memiliki beberapa kepala yang bisa dipa­
kai bergantian sesuai keinginannya. Tentu saja, mereka
langsung membayangkan diri mereka berada di bawah an­
caman bahaya besar. Begitu seorang petugas pemadam
kebakaran tak tanggung-tanggung sampai pingsan karena
hal ini, ada banyak alasan bagi gadis-gadis pemimpin ba-

21
risan, baris depan serta belakang untuk mempercepat lang­
kah mereka setiap kali berjalan melewati sudut yang gelap
atau di lorong yang remang-remang. Bahkan sehari setelah
insiden petugas pemadam kebakaran itu, Sorelli sendiri
yang menaruh ladam kuda di meja di depan pos penjaga
pintu panggung, dan semua orang kecuali penonton wajib
menyentuh ladam itu sebelum menginjakkan kakinya pada
anak tangga pertama panggung. Cerita ladam kuda ini bu­
kanlah karanganku - begitu juga setiap bagian lain dari
cerita ini! - dan keberadaannya masih bisa dijumpai di atas
meja, di lorong di luar pos penjaga pintu panggung bila
kau memasuki Opera melalui lapangan yang dikenal de­
ngan Cour de I'Administration.
Mari kembali ke malam yang kita bahas tadi.
"Itu si hantu!" jerit si mungil Jammes.
Kesunyian yang menyiksa kini memenuhi ruang ganti.
Tak ada suara kecuali napas memburu gadis-gadis itu.
Akhirnya, dengan kengerian yang tampak jelas di wajah­
nya, Jammes bergerak ke sudut terjauh ruangan dan
berbisik, "Dengar!"
Semua orang seakan mendengar sesuatu bergemeresik
di balik pintu. Tidak ada bunyi langkah kaki. Seperti kain
sutra tipis bergerak di sepanjang dinding. Lalu suara itu
berhenti.
Sorelli mencoba terlihat lebih berani daripada gadis-ga­
dis lain.. la menuju ke pintu dan dengan suara bergetar ia
bertanya, "Siapa di sana?"
Tetapi tak ada yang menjawab. Merasa mata seisi ruang­
an mengarah kepadanya, ia berusaha menunjukkan kebera-

22
niannya dan berkata dengan sangat lantang, "Apakah ada

orang di belakang pintu ini?"


"Oh, ya, ya! Tentu saja ada!" pekik gadis mungil bema­
ma Meg Giry sambil secara dramatis memegangi rok tipis
Sorelli. "Apa pun yang kaulakukan, jangan buka pintunya!
Demi Tuhan, jangan buka pintunya!"
Namun, dengan memegang belati yang selalu dibawa­
nya, Sorelli memutar kunci dan menarik pintu itu hingga
membuka, sementara gadis-gadis penari balet itu mundur
lebih jauh ke dalam ruangan dan Meg Giry berbisik, "lbu!
lb u.I"
Sorelli dengan berani memandang lorong di hadapannya.
Lorong itu kosong; api lampu minyak di balik penutup
kacanya menebarkan cahaya merah suram ke kegelapan di
sekelilingnya tanpa benar-benar berhasil mengusir kegelap­
an tersebut. Lalu penari itu membanting pintu sambil
menghela napas dalam-dalam.
"Tidak," katanya, "tidak ada siapa-siapa di sana."
"Tetap saja kami melihatnya tadi!" kata Jammes sambil
melangkah takut-takut, kembali ke sisi Sorelli. "Dia pasti
sedang berkeliaran entah di mana. Aku tidak mau kembali
ke ruang ganti. Kita sebaiknya beramai-ramai segera turun
ke ruang tunggu untuk mendengarkan 'pidato' itu, lalu
naik kembali bersama-sama."
Lalu gadis kecil itu dengan penuh hormat menyentuh
cincin batu karang yang dipakainya sebagai jimat penolak
bala, sementara Sorelli diam-diam membuat tanda salib
Santo Andreas pada cincin kayu di jari manis tangan sebe­
lah kirinya menggunakan ujung ibu jari kanannya yang
bersemu merah muda. Ia berkata kepada gadis-gadis muda

23
penari balet itu, "Ayo, anak-anak, jangan takut! Aku berani
berkata bahwa tak seorang pun pernah rnelihat si hantu."
"Kami rnelihatnya - karni melihatnya baru saja!" teriak
gadis-gadis itu. "Ia berkepala tengkorak dan bersetelan,
seperti ketika ia muncul di hadapan Joseph Buquet!"
"Dan Gabriel juga melihatnya!" kata Janunes. "Kemarin!
Kemarin sore-di siang bolong..."
"Gabriel, si pemimpin paduan suara?"
"Betul, kau tidak tahu?"
"Dan dia mengenakan setelan resrni di siang bolong?"
"Siapa? Gabriel?"
"Tentu bukan, si hantu!"
"Tentu saja! Gabriel sendiri mengatakannya padaku. Itu­
lah bagaimana dia mengenali si hantu. Gabriel sedang
berada di kantor manajer panggung. Tiba-tiba pintu mem­
buka dan orang Persia itu masuk. Kau tahu bukan, si Per­
sia itu merniliki mata yang jahat..."
"Ya!" pekik gadis-gadis penari itu serempak, lalu meng­
usir nasib buruk yang mungkin dibawa si orang Persia
dengan menudingkan jari telunjuk dan kelingking mereka,
sementara jari tengah dan jari manis mereka ditekuk dan
ditahan ibu jari.
"Dan kau tahu betapa percayanya Gabriel pada takha­
yul," lanjut Jammes. "Meski begitu, dia selalu sopan. Keti­
ka ia bertemu dengan si Persia, ia hanya memasukkan ta­
ngannya ke saku dan menyentuh kunci-kuncinya. Yah
memang, persis di saat si Persia itu muncul di pintu,
Gabriel melompat dari kursinya untuk mengunci lemari
hanya demi tangannya menyentuh logam! Gara-gara itu
seluruh bagian pinggir mantelnya sobek tersangkut paku.

24
Saat berusaha cepat-cepat meninggalkan ruangan, dahinya
menabrak gantungan topi hingga benjol; lalu, karena me­
langkah mundur dengan tiba-tiba, lengannya Iuka tergores
sekat yang ada di dekat piano; ia mencoba bersandar pada
piano itu, tetapi tutup pianonya jatuh menimpa jari-jari
tangannya dengan keras; ia bergegas keluar kantor seperti
orang gila, tergelincir di tangga dan jatuh, melewati selu­
ruh anak tangga tingkat pertama meluncur dengan pung­
gungnya. Aku kebetulan lewat bersama lbu. Kami mem­
bantunya berdiri. Seluruh tubuhnya memar-memar dan
wajahnya penuh darah. Kami ketakutan setengah mati,
tetapi ia langsung bersyukur kepada Tuhan karena ia bisa
lolos dengan cukup mudah. Lalu ia memberitahu karni apa
yang membuatnya begitu ketakutan. la tadi melihat si han­
tu di belakang si Persia, hantu berkepala tengkorak, persis
yang digambarkan Joseph Buquet!"
Jamme s menceritakan kisah itu sedemikian cepatnya se­
akan dikejar oleh hantu itu sendiri, dan terengah-engah
ketika ceritanya usai. Kesunyian mengikuti setelahnya, se­
mentara Sorelli memulas kukunya dengan penuh semangat.

Lalu kesunyian itu pecah ketika si kecil Giry berkata,


"Joseph Buquet lebih baik menyimpan cerita itu untuk diri­
nya sendiri."
"Mengapa begitu?" tanya seseorang.
"Itu pendapat lbu," jawab Meg, merendahkan suaranya
dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, seakan ta­
kut ada orang lain selain mereka yang di sini yang mung­
kin mendengar kata-katanya barusan.
"Dan mengapa ibumu punya pendapat seperti itu?"
"Sst! Ibu bilang si hantu tidak suka dibicarakan."

25
"Mengapa ibumu bilang begitu?"
"Karena... karena... tidak apa-apa..."
Aksi bungkam ini membangkitkan rasa ingin tahu gadis­
gadis muda itu yang kini mengerubungi si kecil Giry,
meminta dengan sangat supaya ia mau menjelaskan. Mere­
ka berdiri bersebelah-sebelahan, mencondongkan tubuh ke
depan dengan serempak karena ingin tahu sekaligus keta­
kutan, saling bertukar kengerian dan merasakan suatu
kesenangan tertentu saat aliran darah mereka seperti ber­
henti dan membeku.
"Aku sudah bersumpah untuk tidak berkata apa-apa!"
jerit Meg.
Tetapi mereka terns mendesak dan betjanji akan meraha­
siakannya, sampai akhirnya Meg, yang telah menjadi tak
sabar mengatakan semua yang diketahuinya. Ia mulai ber­
cerita sambil terus memandang lekat ke arah pintu.
"Well, karena boks balkon pribadi."
"Boks balkon pribadi apa?"
"Boks balkon milik si hantu!"
"Si hantu mempunyai boks balkon? Oh, ceritakan, cerita­
kan pada kami!"
"Jangan keras-keras!" ujar Meg. "Boks Balkon nomor
Lima, kalian tahu kan, boks balkon di lantai utama, tepat
di sebelah kiri boks balkon panggung."
"Oh, tidak mungkin!"
"Sungguh. Ibu yang bertugas mengurusinya. Tetapi ka­
lian bersumpah tidak akan mengatakan apa-apa?"
"Tentu saja, tentu saja."
"Well, itu boks balkon si hantu. Sudah lebih dari sebulan
tidak ada yang menggunakan boks balkon itu, kecuali si

26
hantu, dan perintah juga sudah diberikan kepada bagian
penjualan tiket untuk tidak pernah menjual boks balkon
itu."
"Dan hantu itu benar-benar datang ke sana?"
''Ya.''
"Berarti seseorang benar-benar datang?"
"Tentu saja tidak! Si hantu datang, tetapi tidak ada se­
orang pun di sana."
Para gadis belia itu saling bertukar pandang. Jika si han­
tu datang ke boks balkon itu, ia pasti terlihat, sebab ia
mengenakan setelan resmi dan berkepala tengkorak. Inilah
yang berusaha mereka sampaikan pada Meg, tetapi ia men­
jawab, "Memang begitu! Hantu itu tak tampak. Dan ia tak
mengenakan setelan ataupun berkepala tengkorak! Semua
omongan soal kepala tengkorak serta tengkorak berapinya
itu omong kosong! Bohong besar. Kau hanya mendengar­
nya ketika ia berada di boks balkon itu. lbu tak pernah
melihatnya, tetapi ia pernah mendengarnya. lbu tahu itu
sebab ia memberi hantu itu buku acaranya."
Sorelli memotong, "Giry, Nak, kau mempermainkan
kami!"
Pada saat itulah si mungil Giry mulai menangis. "Aku
seharusnya mengunci mulutku... bagaimana kalau lbu sam­
pai tahu! Tetapi kurasa aku benar, Joseph Buquet tidak
seharusnya membicarakan hal yang bukan urusannya... itu
hanya mendatangkan nasib buruk. .. begitu kata Ibu sema-
"
1am...
Terdengar suara langkah berat yang terburu-buru di lo­
rong dan seseorang yang terengah-engah memekik, "Cecile!
Cecile! Apa kau di dalam?"

27
"Itu suara lbu," kata Jammes. "Ada apa?"
Ia membuka pintu. Seorang wanita yang tampak terpan­
dang, keturunan keluarga pengawal istana berdarah
Jerman, menghambur masuk ke dalam ruang ganti dan
mengempaskan tubuhnya sambil mengerang ke satu kursi
kosong. Matan.ya membelalak dan wajahnya bersemu keme­
rahan.
"Mengerikan!" serunya. "Sungguh mengerikan!"
"Apa? Ada apa?"
"Joseph Buquet-"
"Ada apa dengan dia?"
"Joseph Buquet meninggal!"
Ruangan langsung dipenuhi berbagai seruan dan jeritan
tak percaya, serta celetukan bernada takut meminta penje­
lasan.
"Ya, dia ditemukan tergantung dari langit-langit lantai
ketiga ruang bawah tanah!"
"Itu si hantu!" celetuk si mungil Giry begitu saja, seperti
tak sadar apa yang dikatakannya. Tetapi ia langsung mera­
lat kata-katanya sambil menangkupkan telapak tangannya
menutupi mulut: "Tidak, tidak! Aku tidak mengatakan itu!
Aku tidak mengatakan itu!"
Dan kini teman-teman yang mengerubunginya ikut-ikut­
an berbisik-bisik, "Ya... itu pasti si hantu!"
Sorelli terlihat pucat pasi.
"Aku takkan mungkin bisa mengucapkan pidatoku,"
katanya.
Sambil menenggak segelas minuman keras yang kebetul­
an berada di atas meja, lbu Jammes berkata bahwa, menu­
rutnya, si hantu pasti terlibat.

28
Sebenamya tak ada yang tahu bagaimana Joseph Buquet
meninggal. Keputusan dari penyelidikan yang dilakukan
menyatakan itu adalah "bunuh diri biasa." Di dalam buku­
nya yang berjudul Memoar Seorang Manajer, M. Moncharmin,
salah satu dari dua manajer yang menggantikan Debienne
dan Poligny, menggambarkan insiden itu sebagai berikut:

"Suatu kecelakaan mengerikan merusak pesta kecil yang


diadakan MM. Debienne dan Poligny untuk merayakan pensiun
mereka. Aku sedang berada di kantor manajer ketika Mercier, si
manajer akting, tiba-tiba menghambur masuk. Seperti kesetanan

ia berkata bahwa seorang pengganti gambar latar ditemukan


tergantung tak bernyawa di lantai ketiga ruang bawah tanah di

bawah panggung, di antara gambar rumah peternakan dan

pemandangan dari Roi de Lahore. Aku berteriak, 'Lekas kita

turunkan dial'
"Ketika aku sampai setelah tergesa-gesa menuruni anak tangga,

laki-laki itu sudah tidak lagi tergantung di sana!"

Bagi M. Moncharmin, kejadian ini biasa saja. Seorang


laki-laki mati tergantung pada seutas tali; mereka pergi
untuk menurunkannya; dan tali itu sudah tidak ada. Oh,
M. Moncharmin menemukan penjelasan yang sangat
sederhana untuk ini! Dengarkan apa yang dikatakannya:

"Kejadiannya persis setelah pertunjukan balet; maka para penari

utama serta penari lainnya segera bertindak untuk mencegah nasib

malang menimpa mereka."

29
Begitulah! Bayangkan corps de ballet itu berlari tergesa
menuruni tangga dan membagi-bagi tali bunuh diri itu di
antara mereka dalarn waktu yang sangat singkat! Sedang­
kan, di lain pihak, aku memikirkan tempat persisnya ma­
yat itu ditemukan-lantai tiga ruang bawah tanah di ba­
wah panggung-aku membayangkan seseorang pasti telah
merencanakan agar tali itu lenyap setelah menunaikan
fungsinya; dan nanti kita akan mengetahui apakah aku be­
nar atau salah.
Kabar mengerikan itu dengan cepat menyebar ke selu­
ruh Opera, tempat semua orang mengenal Joseph Buquet.
Ruang ganti seketika kosong, dan gadis-gadis penari balet
itu berjalan di sekeliling Sorelli seperti domba-domba yang
ketakutan mengelilingi penggembalanya. Mereka bergerak
melintasi lorong-lorong serta tangga temararn menuju lobi
secepat kaki-kaki mungil mereka bisa melangkah.

30
Bab 2

Sang Margarita Baru

DI lantai pertama, Sorelli berpapasan dengan Comte de


Chagny yang sedang menuju ke atas. Bangsawan yang bia­
sanya sangat tenang itu tampak begitu bersemangat.
"Aku baru saja hendak menemuimu," ujarnya sambil
melepas topinya. "Oh, Sorelli, ini malam yang luar biasa!
Dan Christine Daae, Sungguh menakjubkan!"
"Tidak mungkin!" kata Meg Giry. "Enam bulan lalu dia
bernyanyi seperti kodok! Namun, beri kami jalan, bangsa­
wanku yang baik," lanjut wanita tak tahu sopan santun itu
sambil berbasa-basi sekadarnya. "Kami ingin mengetahui
kabar laki-laki malang yang ditemukan tewas tergantung
tali yang melilit lehernya."
Tepat pada saat itu manajer akting lewat dan berhenti
ketika mendengar perkataan itu.
"Apa!" teriaknya dengan keras. "Kalian sudah mende­
ngar kabar itu? Tolong lupakan hal itu untuk malam
ini- dan yang paling penting, jangan sampai Debienne dan

31
Poligny mengetahuinya; itu akan menjadi hal yang sangat
tak mengenakkan untuk hari terakhir mereka di Opera."
Mereka semua pergi ke lobi yang sudah penuh sesak.
Comte de Chagny benar; tidak ada pertunjukan besar yang
bisa menandingi malam ini. Semua pencipta lagu hebat
zaman itu telah bergiliran mempersembahkan lagu ciptaan
mereka. Faure dan Krauss bernyanyi; dan pada malam itu,
untuk pertama kalinya, Christine Daae menunjukkan siapa
dirinya yang sebenarnya di hadapan para penonton yang
seketika terkesima dan begitu antusias terhadapnya.
Gounod mempersembahkan Funeral March of a Marionette;
Reyer dengan overture indah atas karyanya yang berjudul
Sigurd; Saint Saens menampilkan Danse Macabre dan Reverie
Orientale; Massenet membawakan mars Hungaria yang be­
lum pernah dipublikasikan; Guiraud dengan Carnaval-nya;
Delibes menyuguhkan Valse Lente dari Sylvia serta Pizzicati
dari Coppelia. Mademoiselle Krauss menyanyikan bagian
bolero dari lagu Vespri Siciliani; dan Mademoiselle Denise
Bloch membawakan lagu pesta dari Lucrezia Borgia.
Tetapi penampilan paling gemilang malam itu menjadi
milik Christine Daae yang mengawalinya dengan menya­
nyikan beberapa bait dari Romeo and Juliet. ltulah pertama
kalinya penyanyi muda itu menyanyikan komposisi ciptaan
Gounod yang belum pernah dimainkan di Opera ini, yang
dibuat marak kembali di Opera Comique setelah untuk
pertama kalinya diproduksi oleh teater tua, Theatre
Lyrique, oleh Mme Carvalho. Mereka yang mendengarnya
menyanyikan bagian tersebut berkata bahwa suaranya begi­
tu merdu. Tetapi itu tidak ada apa-apanya bila dibanding­
kan dengan nada-nada teramat tinggi yang berhasil dibawa-

32
kannya pada adegan penjara serta trio terakhir dari Faust,
yang dilakukannya karena menggantikan La Carlotta yang
sedang sakit. Tak seorang pun pemah mendengar atau
melihat penampilan seperti itu.
Daae menampilkan sosok Margarita yang baru malam
itu, Margarita yang begitu mencengangkan, suatu kecemer­
langan yang selama ini dianggap tidak mungkin. Maka
seluruh penonton pun bersorak-sorai, bangkit berdiri sam­
bil bertepuk tangan, sementara Christine menangis dan
pingsan di pelukan rekan-rekannya sehingga harus digo­
tong menuju ruang gantinya. Meski begitu, sebagian penon­
ton setia Opera memprotes, tidak terima bahwa kemam­
puan yang sebegitu hebat disembunyikan dari mereka
selama ini. Sampai saat itu, Christine Daae hanya berperan
sebagai Siebel yang baik dan Margarita diperankan oleh
Carlotta yang terlalu berlebihan. Dan ketidakhadiran
Carlotta yang sedemikian misterius pada pesta malam itu­
lah yang membuat Daae mendadak memiliki kesempatan
menunjukkan segenap kemampuannya dalam bagian yang
sudah disiapkan bagi diva Spanyol itu! Namun, sebenar­
nya, yang ingin diketahui oleh para penonton setia itu
adalah alasan Debienne dan Poligny menunjuk Daae meng­
gantikan Carlotta. Apa mereka tahu kemampuannya yang
terpendam? Dan bila benar, mengapa mereka menyembu­
nyikannya selama ini? Dan mengapa a
i sendiri menyembu­
nyikannya? Selain itu, yang agak janggal adalah ia seperti­
nya tidak memiliki guru vokal. Ia sering berkata bahwa ia
berniat berlatih sendiri, tanpa bimbingan siapa-siapa. Se­
mua itu menjadi suatu misteri.
Berdiri di boks balkon yang ditempatinya, Comte de

33
Chagny mendengarkan semua keributan yang ada dan kut
i
berpartisipasi dengan bertepuk tangan keras-keras. Philippe
Georges Marie Comte de Chagny baru berumur empat pu­
luh satu tahun. Ia seorang bangsawan yang hebat dan
laki-laki yang tampan, berperawakan sedikit lebih inggi
t
daripada rata-rata pria dengan ciri-ciri yang menarik ke­
cuali kekeraskepalaannya dan tatapannya yang tampak
sedikit dingin. la bersikap sangat sopan kepada perempuan
dan sedikit angkuh kepada laki-laki yang sering kali tak
rnenyukai kesuksesannya. Narnun ia rnerniliki hati yang
baik. Setelah kematian Count Philibert yang memang
sudah tua, Philippe menjadi pemimpin salah satu keluarga
paling tua dan terhormat di Francis yang silsilahnya dapat
ditelusuri hingga abad ke-14. Keluarga Chagny merniliki
banyak sekali properti, dan ketika bangsawan tua yang
juga seorang duda itu meninggal, bukanlah perkara rnudah
bagi Philippe untuk menerima tanggung jawab mengelola
properti sebesar itu. Kedua saudara perempuan serta satu
saudara laki-lakinya, Raoul, tidak pemah rnengklaim hak
waris mereka dan menyerahkan seluruhnya kepada
pengaturan yang dibuat Philippe, melestarikan keberadaan
primogenetur atau hak anak sulung. Pada hari kedua
saudara perernpuannya menikah, mereka menerirna hak
waris rnereka tetapi bukan sebagai warisan, rnelainkan
maskawin, dan mereka berterima kasih kepada Philippe
karenanya.
Corntesse de Chagny, yang bernarna de Moerogis de La
Martyniere ketika belum menikah, meninggal ketika mela­
hirkan Raoul yang terpaut dua puluh tahun dari kakak
laki-lakinya itu. Ketika bangsawan tua itu rneninggal, Raoul

34
baru berumur dua belas tahun. Philippe sangat sibuk meng­
urusi pendidikan adik kecilnya ini. Ia mendapatkan banyak
bantuan dari kedua saudara perempuannya dan kemudian
dari seorang bibi yang sudah tua, janda seorang perwira
angkatan laut, yang tinggal di Brest dan memberi Raoul
muda pengalaman melautnya. Pemuda itu belajar di kapal
pelatihan Borda dan lulus dengan gemilang, lalu melakukan
perjalanan keliling dunia. Berkat campur tangan seseorang
yang berpengaruh kuat, ia baru saja ditunjuk menjadi ang­
gota ekspedisi resmi kapal Requin yang akan dikirim ke
Lingkar Arktik untuk mencari korban yang selamat dari
ekspedisi D'Arto1 yang telah tiga tahun tak diketahui kabar
beritanya. Sementara ini ia sedang menikmati cuti panjang­
nya yang baru akan berakhir enam bulan lagi. Meski begitu,
para ahli waris garis keturunan Faubourg Saint-Germain itu
telah merasa kasihan kepada pemuda tampan ini atas kerja
keras yang menantinya.
Sifat malu-malu - aku nyaris menggunakan kata
"lugu" - pelaut muda ini sungguh luar biasa. Ia seakan
bayi yang baru lepas dari buaian para perempuan itu. Teta­
pi, meskipun begitu disayangi oleh kedua kakak perem­
puan dan bibinya serta dibesarkan dalam cara-cara pendi­
dikan yang sarat sentuhan feminin, pemuda ini tumbuh
menjadi seseorang yang berperilaku sedemikian tulus serta
memiliki karisma yang tak tercela. Ia baru melewati usia­
nya yang ke-21 tapi parasnya seperti remaja delapan belas
tahun. Kumisnya tipis dan halus, matanya biru, dan rona
wajahnya seperti rona wajah perempuan muda.
Philippe begitu memanjakan adiknya. Ia sangat senang
dan bangga mengetahui Raoul akan mempunyai karier

35
yang cemerlang di angkatan laut, seperti halnya salah se­
orang leluhur mereka yang terkenal, Chagny de La Roche,
yang pemah menyandang gelar laksamana. la memanfaat­
kan cuti pemuda itu untuk menunjukkan Paris kepadanya,
lengkap dengan segala daya tarik kemewahan dan artistik
yang ada. Bangsawan itu berpikir bahwa pada usianya
sekarang, tidaklah baik bagi Raoul untuk menjadi terlalu
alim. Philippe sendiri mampu menyeimbangkan antara
beketja dan bersenang-senang dengan sangat baik. Tindak­
annya tak bercela, membuatnya selalu bisa menjadi contoh
yang bail< bagi adiknya. Philippe mengajak Raoul ke mana

pun ia pergi. Ia bahkan memperkenalkan Raoul ke bagian


lobi balet. Aku tahu Philippe dikabarkan memiliki "hu­
bungan khusus" dengan Sorelli. Tetapi hal itu wajar saja
bagi si bangsawan yang masih melajang dan mempunyai
banyak waktu luang ini, terutama sejak kedua adik perem­
puannya telah berumah tangga, untuk datang dan meluang­
kan waktu barang sejam dua jam selepas makan malam
dengan ditemani oleh seorang penari yang meskipun tidak­
lah sangat pintar namun memiliki mata yang sangat indah!
Selain itu, bila seseorang memang warga Paris sejati, apa­
lagi berkedudukan sekelas Comte de Chagny, maka sudah
selayaknya ia menampakkan diri di tempat-tempat terten­
tu. Dan pada zaman itu, lobi balet di Opera adalah salah
satu dari tempat-tempat itu.
Tetapi Philippe mungkin tidak akan membawa adiknya
ke bagian belakang panggung Opera jika Raoul tidak me­
mintanya dan terus-menerus mengulangi permintaan itu
dengan kekeraskepalaan yang tak kentara, yang baru akan
disadari oleh kakaknya di kemudian hari.

36
Malam itu, setelah bertepuk tangan bagi Daae, Philippe
menoleh ke arah Raoul dan mendapati adiknya agak pu­
cat.
"Tidakkah kaulihat," kata Raoul, "perempuan itu jatuh
pingsan?"
"Kau sendiri terlihat nyaris pingsan," kata bangsawan
itu. "Ada apa?"
Tetapi Raoul telah menguasai dirinya kembali dan bang­
kit dari duduknya.
"Mari kita ke sana," katanya, "ia tak pemah bernyanyi
seperti tadi."
Bangsawan itu sekilas memandang adiknya sambil ter­
senyum ingin tahu dan tampak cukup senang karenanya.
Tak lama, mereka telah berada di dekat pintu yang meng­
arah ke panggung. Sejumlah penonton berjalan dengan
santai melewati pintu itu. Tanpa sadar, Raoul melepas sa­
rung tangannya dengan tidak sabar. Philippe terlalu baik
hati untuk menertawakan kegusaran adiknya itu. Tetapi ia
sekarang mengerti mengapa Raoul sering melamun ketika
diajak bicara dan alasan dari usaha setianya untuk membe­
lokkan setiap pembicaraan ke arah Opera.
Mereka telah mencapai panggung dan menerobos keru­
munan orang yang terdiri atas sejumlah lelaki, para peng­
ganti gambar latar, para pemimpin kelompok dan anggota
paduan suara. Raoul berjalan di depan dengan jantung ber­
degup kencang dan wajah penuh tekad, sementara Count
Philippe berusaha mengikutinya dengan penuh susah pa­
yah sambil terus tersenyum. Sampai di bagian belakang
panggung, Raoul harus berhenti karena terhalang oleh ba­
risan gadis-gadis penari balet. Beberapa kalimat menggoda

37
keluar dari bibir gadis-gadis itu kepadanya, narnun ia
sama sekali tak menanggapinya. Akhirnya ia berhasil lewat
dan berjalan cepat melewati lorong temararn yang dipenuhi
suara orang memanggil "Daae! Daae!" Count Philippe tak
menyangka Raoul mengetahui jalan ini. Ia tak pernah
mengajak Raoul menemui Christine, maka ia berkesimpulan
pastilah adiknya pergi ke sana seorang diri ketika ia se­
dang berbincang-bincang di lobi balet dengan Sorelli yang
sering memintanya menunggu sampai tiba gilirannya un­
tuk "tampil" dan terkadang menyerahkan kepadanya kain
pelindung kaki yang dipakainya dari ruang ganti demi
kebersihan sepatu balet berbahan satin serta stoking warna
kulit yang dikenakannya. Sorelli punya alasan untuk mela­
kukannya; ia sudah tak memiliki ibu lagi.
Maka, menunda kunjungan rutinnya atas Sorelli, si bang­
sawan mengikuti adiknya melewati Iorong yang menuju
ruang ganti Daae dan mendapatinya tidak pemah sepenuh
ini. Seluruh isi Opera sepertinya begitu bersemangat atas
kesuksesan serta peristiwa pingsannya. Gadis itu belum
juga siurnan, dan dokter teater ini baru saja tiba, tepat keti­
ka Raoul menginjakkan kakinya di sana. Maka Christine
mendapatkan pertolongan medis dari si dokter dan, ketika
siuman, mendapati dirinya berada di pelukan Raoul. Si
bangsawan serta banyak orang lain tetap berkerumun di
sekitar ambang pintu.
"Dokter, tidakkah menurut Anda orang-orang ini sebaik­
nya meninggalkan ruangan?" tanya Raoul tenang. "Susah
untuk bernapas di sini."
"Anda benar," kata dokter itu.
Dokter itu menyuruh semua orang pergi, kecuali Raoul

38
dan seorang pembantu yang menatap Raoul penuh keka­
guman. Ia tak pernah melihat pemuda ini sebelumnya,
tetapi ia tak berani menanyakan siapa dia; sementara dok­
ter itu beranggapan bahwa si pemuda hanya melakukan
apa yang menjadi wewenangnya. Jadilah si viscount tetap
tinggal di ruangan itu sambil mengamati Christine yang
perlahan siuman, sementara bahkan kedua manajer,
Debienne dan Poligny, yang datang untuk menyampaikan
rasa simpati serta ucapan selamat ikut terdepak keluar dan
berdiri di lorong bersama-sama dengan orang-orang lain­
nya. Comte de Chagny, salah satu dari orang-orang itu,
tertawa, "Oh, lihatlah rona merah di wajahnya!" Dan ia
melanjutkan sambil agak berbisik, "Anak-anak muda dan
tingkah mereka! Tampaknya ia memang benar-benar se­
orang Chagny!"
Ia berbalik hendak menuju ruang ganti Sorelli, tetapi
malah bertemu dengannya di tengah jalan beserta pasukan
penari balet yang mengerumuninya dengan ketakutan, se­
perti yang telah kita ketahui sebelumnya.
Sementara itu, Christine Daae menghela napas dalam-da­
lam dan tanda-tanda siuman ini disambut oleh desahan
seseorang. Maka Christine menoleh dan terkejut mendapati
Raoul. Ia memandang ke arah si dokter dan tersenyum
kepadanya, lalu ke arah pembantunya, kemudian kembali
ke Raoul.
"Monsieur," katanya, dengan suara yang tak lebih dari
bisikan, "siapakah Anda?"
"Mademoiselle," jawab pemuda itu, sambil bertumpu
pada salah satu lututnya dan mendaratkan satu ciuman
yang sungguh-sungguh pada tangan sang diva, "Akulah

39
anak laki-laki yang masuk ke laut untuk menyelamatkan syal­
mu."
Sekali lagi Chrisine
t melihat ke arah si dokter dan pem­
bantunya; lalu mereka bertiga mulai tertawa.
Wajah Raoul berubah menjadi sangat merah dan ia ber­
diri.
"Mademoiselle," ujarnya, "karena Anda tidak mampu
mengenali saya, saya ingin menyampaikan sesuatu kepada
Anda secara pribadi, sesuatu yang sangat penting."
"Bagaimana jika Anda melakukannya nanti, ketika saya
sudah dalam kondisi lebih baik?" Lalu suaranya bergetar.
"Anda telah bersikap sangat baik kepada saya."
"Ya, Anda harus pergi," kata si dokter sambil tersenyum
ramah. "Biarkan saya merawat mademoiselle ini."
"Saya baik-baik saja sekarang," kata Christine tiba-tiba
dengan energi yang entah dari mana datangnya.
la bangkit dan meletakkan tangannya menutupi mata.
"Terima kasih, Dokter. Saya ingin sendiri saja. Tolong
pergi, kalian semua. Tinggalkan saya. Saya merasa begitu
gelisah malam ini."
Dokter itu mencoba protes, namun melihat kegelisahan
yang begitu jelas pada diri gadis itu, ia berpikir bahwa
mungkin solusi terbaik adalah tidak membantahnya. Maka
ia pergi dan, di luar, ia berkata kepada Raoul, "Ia tidak
seperit biasanya malam ini. Biasanya ia begitu lembut."
Lalu ia mengucapkan selamat malam dan tinggallah
Raoul seorang diri di sana. Daerah teater yang ini sudah
sepi sekarang. Pesta perpisahan itu pasti sedang berlang­
sung di lobi balet. Raoul berpikir bahwa Daae mungkin
akan datang ke pesta itu, maka ia menunggu dalam diam

40
di sana, dan bahkan sedikit bersembunyi di daerah yang
tertimpa bayang-bayang ambang pintu. Ia merasa hatinya
tertusuk-tusuk dan itulah yang membuatnya ingin segera
berbicara dengan Daae.
Tiba-tiba pintu ruang ganti itu terbuka dan si pembantu
keluar seorang diri sambil membawa buntelan la menghen­
tikan perempuan itu dan menanyakan keadaan Christine.
Perempuan itu tertawa dan berkata bahwa keadaannya su­
dah cukup baik, tetapi Raoul tidak boleh masuk sebab ia
berpesan untuk tidak diganggu. Lalu pergilah pembantu
itu. Hanya satu hal mengisi pikiran Raoul yang sedang
kalut: tentu saja, Daae ingin dibiarkan sendirian saja untuk
bisa bersama dengannya! Bukankah ia telah berkata bahwa
ia hendak berbicara empat mata saja?
Sambil menahan napas pemuda itu melangkah ke arah
ruang ganti, lalu bersiap mengetuk pintu sambil menem­
pelkan telinganya di sana untuk mendengarkan jawaban
Christine. Tetapi ia tiba-tiba menurunkan tangannya. Ia
mendengar suara seorang pria di dalam ruang ganti itu,
berkata dengan nada memerintah yang ganjil, "Christine,
kau harus mencintaiku!"
Dan dengan suaranya yang sangat sedih serta bergetar
seakan telah menangis, Chrisine
t menjawab, "Bagaimana
mungkin kau berbicara seperti itu? Ketika aku bernyanyi ha­
nya untukmu!"
Raoul bersandar di pintu untuk menenangkan sakit yang
dirasakannya. Jantungnya yang sempat mencelos hilang
kini kembali ke dadanya dan berdegup dengan sangat ke­
ras. Lorong itu seakan bergema oleh suara degupnya dan
Raoul merasakan telinganya pekak. Bila jantungnya terus-

41
menerus bersuara sekeras ini, mereka yang di dalam tentu
akan dapat mendengarnya, membuka pintu, lalu akan
mengusir dirinya secara memalukan. Tertangkap basah
menguping di balik pintu bukan sesuatu yang pantas bagi
seorang Chagny! Maka ia meremas dadanya untuk mem­
buat jantungnya berhenti berdegup kencang.
Suara laki-laki itu kembali terdengar, "Apakah kau sa­
ngat lelah?"
"Oh, malam ini aku memberikan jiwaku kepadamu dan
aku sudah mati!" jawab Christine.
"Jiwamu sesuatu yang indah, Nak," sahut suara laki-laki
itu, "dan aku berterima kasih kepadamu. Tak ada seorang
kaisar pun yang pernah menerima hadiah seindah itu. Para
malaikat menitikkan air mata malam ini."
Raoul tak mendengar apa-apa lagi setelah itu. Meski be­
gitu, ia tidak pergi dari sana. Hanya saja, seakan takut
ketahuan, ia kembali bersembunyi di sudut yang temaram
sambil menunggu laki-laki itu keluar. Di dalam satu masa,
ia menjadi paham arti cinta dan benci. Ia tahu ia telah ja­
tuh cinta, sekarang ia ingin tahu orang yang dibencinya.
Alangkah terkejutnya ia ketika pintu itu membuka dan,
dengan berbalut mantel bulu dan wajah tersembunyi di
balik cadar, Christine Daae muncul sendirian. Ia menutup
pintu itu, tetapi Raoul memperhatikan bahwa ia tak me­
nguncinya. Lalu ia berjalan melewati Raoul. Tetapi Raoul
bahkan tidak melihatnya beranjak pergi, sebab matanya
terpaku ke arah pintu yang tidak pemah membuka lagi.
Ketika koridor itu kembali sepi, Raoul menyeberang dan
membuka pintu ruang ganti itu, masuk, lalu menutupnya.

42
Ruangan itu begitu gelap. Lampu pijarnya telah dipadam­
kan.
"Ada orang di sini!" ujar Raoul dengan suara bergetar
dan punggung menempel di pintu. "Untuk apa kau sembu­
nyi?"
Hanya gelap dan hening yang menjawab. Yang terde­
ngar olehnya hanya suara napasnya sendiri. la sudah tak
peduli lagi betapa tak pantas tindakannya ini.
"Kau tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku
rnengizinkanya!" teriaknya. "Kalau kau tak rnenjawab, ber­
arti kau pengecut! Tetapi aku akan rnenernukanrnu!"
Lalu ia rnenyalakan korek api. Cahayanya rnenerangi
ruangan itu. Tidak ada siapa pun di sana! Setelah rnengun­
ci pintu, Raoul rnenyalakan larnpu pijar yang ada. la rna­
suk ke lemari pakaian, rnembuka lemari-lemari dan terus
rnencari sembari merneriksa dinding dengan tangannya
yang berkeringat. Nihil!
"Apa-apan ini!" ucapnya keras. "Apa aku rnulai gila?"
Selarna sepuluh rnenit ia berdiri dalarn diam dengan ha­
nya diternani bunyi rnendesis gas larnpu. Meskipun ia ter­
gila-gila pada gadis itu, tak terbersit dalarn pikirannya
untuk rnencuri bahkan sepotong pita pun dari ruangan itu
hanya agar ia bisa rnenciurn aroma parfum gadis yang
dicintainya. Kernudian ia keluar dengan gontai, tak sepe­
nuhnya sadar atas apa yang dilakukannya atau ke mana
ia rnelangkah. Tiba-tiba udara dingin seakan rnengentak
dirinya kernbali ke kenyataan. Ia telah sarnpai di depan
anak tangga, dan di belakang pemuda itu tarnpak iring­
iringan sekelornpok pekerja yang mernbawa sernacarn tan­
du yang ditutupi kain putih.

43
"Di manakah jalan keluar?" ia bertanya kepada salah
satu pekerja itu.
"Lurus saja ke depan, pintunya telah dibuka. Tetapi biar­
kan kami lewat dulu."
Sambil menunjuk ke arah tandu, ia bertanya dengan eks­
presi datar, "Apa itu?"
Orang-orang itu menjawab, "ltu Joseph Buquet yang
ditemukan tergantung di lantai ketiga ruang bahwa tanah,
di antara perabotan dan pemandangan dari Roi de
Lahore."
Pemuda itu melepas topinya dan mundur untuk membe­
ri jalan bagi iring-iringan itu, kemudian ia pergi keluar.

44
Bab3
Alasan yang Misterius

SEMENTARA itu, pesta perpisahan sedang berlangsung. Aku


telah rnengatakan bahwa jarnuan rnakan yang rnenakjubkan
ini digelar demi pensiunnya Debienne dan Poligy yang
telah bertekad untuk rnundur dari bisnis ini. Sernua peso­
hor di rnasyarakat serta dunia seni Paris telah rnernbantu
rnewujudkan suatu pertunjukan luar biasa yang begitu
ideal bagi rnereka. Setelah pertunjukan usai, sernua orang
itu berkurnpul di !obi balet, dan di sana Sorelli telah me­
nunggu kedatangan kedua manajer yang hendak pensiun
itu dengan segelas champagne di tangan dan pidato singkat
yang siap meluncur di ujung lidah. Di belakangnya, para
anggota corps de ballet, baik tua maupun muda, sibuk ber­
bisik-bisik membahas kejadian hari ini atau sembunyi-sern­
bunyi saling bertukar isyarat dengan teman-temannya.
Suatu kelornpok riuh di sekeliling meja jarnuan telah diatur
di sepanjang lantai yang rnelandai.
Beberapa penari itu telah berganti mengenakan gaun
biasa; narnun kebanyakan masih mernakai rok sutra tipis.

45
Semua merasa sudah sepantasnya mereka menjaga sikap
di acara ini... semuanya kecuali si mungil Jammes yang
baru akan berusia lima belas tahun -usia yang menyenang­
kan! - musim panas ini dan yang sepertinya telah lupa
tentang si hantu dan kematian Joseph Buquet. Jammes
tidak berhenti tertawa dan ribut bicara, bergerak ke sana
kemari dan mengisengi orang-orang sampai Debienne dan
Poligny muncul di tangga lobi dan ia dibentak agar diam
oleh Sorelli yang sudah nyaris marah melihatnya.
Semua orang berkata bahwa kedua manajer itu tampak
ceria seperti orang Paris merayakan kegembiraan mereka.
Seseorang bukanlah warga Paris sejati jika ia tidak belajar
mengenakan topeng wajah gembira untuk menutupi duka
citanya dan topeng raut sedih, bosan, atau tak peduli bagi
suka cita di dalam hatinya. Bila kau tahu salah satu teman­
mu sedang punya masalah, jangan coba menghibumya
sebab ia akan bilang bahwa ia sudah tidak apa-apa. Tetapi
bila ia sedang beruntung, hati-hatilah dalam mengucapkan
selamat kepadanya; ia pikir hal itu biasa saja sehingga me­
rasa kaget ketika kau menyinggungnya. Di Paris, kehidup­
an adalah pesta topeng; dan dua laki-laki sekaliber
Debienne dan Poligny tidak bakal mau terlihat menam­
pakkan kesedihan mereka, betapapun tulusnya kesedihan
tersebut, di lobi sanggar balet itu. Mereka sudah tersenyum
dengan agak berlebihan ke arah Sorelli yang telah memulai
pidatonya ketika satu teriakan dari si mungil Jammes
menghancurkan senyum kedua manajer itu dengan begitu
brutal sehingga ekspresi menderita dan cemas yang
dipendam dalam-dalam langsung menyeruak ke permu-

46
kaan dan terlihat jelas dalam pandangan semua orang, "Si
hantu Opera!"
Jammes meneriakkan tiga kata itu dengan kengerian
yang tak terkira, dan jarinya menunjuk ke tengah kerumun­
an orang yang tampil penuh gaya malam itu, ke seraut
wajah yang begitu pasi, merana, dan buruk rupa, dengan
sepasang lubang mata yang begitu dalam dan gelap di ba­
wah lengkung alisnya; si kepala tengkorak yang menjadi
bahan pembicaraan tiba-tiba hadir di hadapan mereka.
"Si hantu Opera! Si hantu Opera!"
Semua orang tertawa dan dengan bergurau menyikut
orang di sebelahnya serta berusaha menawari si hantu
Opera itu minum, tetapi ia telah menghilang. Ia telah me­
nyelinap pergi dan sia-sia saja orang-orang berusaha men­
carinya. Sementara itu dua laki-laki tua berusaha mene­
nangkan si mungil Jammes, sedangkan Giry berdiri
berteriak-teriak histeris seperti burung merak.
Sorelli sangat marah; ia tidak pemah menyelesaikan
pidatonya karena kedua manajer itu buru-buru mencium­
nya, berterima kasih, dan melesat pergi secepat hantu itu
lenyap. Tidak ada yang kaget melihat ini, sebab para mana­
jer itu dijadwalkan mengikuti seremonial yang sama di
lantai atas, di lobi para penyanyi. Dan nanti, terakhir, mere­
ka akan menerima teman-teman terdekatnya di lobi utama
di luar kantor manajer, tempat digelarnya makan malam
sederhana untuk terakhir kalinya.
Di lobi utama inilah mereka bertemu dengan para mana­
jer baru, Armand Moncharmin dan Firmin Richard, yang
tak terlalu mereka kenal. Meski begitu, kedua manajer
lama ini begitu royal menunjukkan rasa persahabatan me-

47
reka dan memperoleh ribuan pujian sebagai balasannya,
sehingga para tamu yang tadinya khawatir malam ini akan
menjadi malam yang melelahkan seketika terlihat lebih ce­
ria. Makan malam itu nyaris sarat kegembiraan dan pidato
yang sangat pintar dari perwakilan pemerintah-pidato
yang menggabungkan kejayaan masa lalu dengan kesuk­
sesan yang akan datang- membuat ramah tamah yang
tercipta tetap bertahan.
Kedua manajer yang akan pensiun itu telah menyerahkan
kepada para penerusnya dua set kunci induk yang bisa
membuka semua pintu-ribuan pintu-di gedung Opera
ini. Dan kunci-kunci kecil yang selalu mampu menerbitkan
rasa ingin tahu orang-orang itu sedang dipindahkan dari
satu tangan ke tangan yang lain ketika perhatian sebagian
tamu tiba-tiba teralih pada satu sosok di ujung meja, pada
seraut wajah pucat yang ganjil dengan lubang mata yang
seakan kosong, yang sebelumnya muncul di lobi balet tem­
pat ia disambut dengan teriakan si mungil Jammes, "Si
hantu Opera!"
Dan di sanalah si hantu, duduk dengan begitu wajarnya
seperti tamu-tamu lain, hanya saja ia tidak makan atau mi­
num. Mereka yang mula-mula memandangnya sambil ter­
senyum kini memalingkan kepala mereka karena wajah itu
mampu membangkitkan pikiran-pikiran mengerikan ten­
tang kematian di dalam benak mereka. Tak seorang pun
mengulang lelucon di lobi tadi, tak ada yang berteriak,
"Itu si hantu Opera!"
Hantu itu tidak berkata apa-apa dan orang-orang yang
duduk di dekatnya tidak dapat mengatakan dengan pasti
kapan ia datang dan duduk di sana. Tetapi semua orang

48
setuju bahwa bila orang-orang mati sungguh bisa berga­
bung untuk makan bersama orang-orang yang masih hi­
dup, tidak akan ada sosok yang lebih mengerikan selain
dirinya. Teman-teman Firmin Richard dan Armand
Moncharmin mengira bahwa tamu kurus langsing ini salah
satu kenalan Debienne atau Poligny, sedangkan teman-te­
man Debienne dan Poligny yakin bahwa sosok yang seru­
pa mayat itu termasuk salah satu anggota kelompok tamu
Firmin Richard dan Armand Moncharmin.
Maka tak ada seorang pun yang bertanya, memberikan
komentar tak enak atau bergurau dengan seenaknya yang
mungkin saja akan menyinggung si tamu dari kubur. Seba­
gian dari mereka yang pernah mendengar kisah tentang si
hantu dan deskripsi yang diberikan oleh kepala bagian
pengganti gambar latar- mereka tidak tahu soal kematian
Joseph Buquet- diam-diam berpikir bahwa laki-laki di
ujung meja itu bisa saja salah dikira hantu; tetapi menurut
cerita, hantu itu tidak punya hidung, sedangkan laki-laki
misterius ini punya. Tetapi dalam Memoar miliknya,
Moncharmin menyatakan bahwa hidung tamu itu tembus
pandang: "panjang, kurus dan transparan" tepatnya kata­
kata yang ia gunakan. Menurutku, keadaan itu mungkin
disebabkan oleh hidung buatan yang dipakainya.
Moncharmin mungkin salah menangkap kilapnya sebagai
keadaan transparan. Kita semua tahu kemajuan di bidang
ortopedi bisa membuat hidung palsu bagi mereka yang
kehilangan hidungnya, baik secara alami atau karena hasil
operasi.
Apakah si hantu benar-benar muncul tanpa diundang
dan duduk di meja jamuan para manajer malam itu? Bisa-

49
kah kita yakin bahwa sosok itu adalah si hantu Opera itu
sendiri? Siapa yang mau mengambil risiko mencari tahu?
Aku menceritakan insiden ini bukan karena aku ngin
i
membuat para pembaca percaya - aku bahkan tidak ber­
usaha untuk membuat mereka percaya - bahwa si hantu
mampu melakukan kelancangan yang lihai itu; tetapi kare­
na sesungguhnya hal itu tidak mungkin.
Armand Moncharmin, dalam bab sebelas Memoar milik­
nya, berkata:

"Bila aku memikirkan malam pertama ini, aku tak dapat


memisahkan rahasia yang dibeberkan Messieurs Debienne
dan Poligny kepada kami di kantor mereka dengan keha­
diran suatu sosok mirip hantu yang tak dikenal seorang pun
di jamuan makan itu."

Beginilah yang terjadi: Debienne dan Poligny yang du­


duk di daerah tengah meja jamuan tidaklah melihat laki­
laki berkepala tengkorak itu. Tiba-tiba laki-laki itu bersua­
ra.
"Gadis-gadis penari balet benar," katanya. "Kematian
Buquet yang malang mungkin tidaklah sewajar yang di­
sangka orang-orang."
Debienne dan Poligny terkejut. "Buquet meninggal?" pe­
kik mereka.
"Ya," jawab laki-laki atau sosok hantu laki-laki itu de­
ngan tenang. "Ia ditemukan malam ini, tergantung di lan­
tai tiga ruang bawah tanah, di antara perabot dan peman­
dangan dari Roi de Lahore."
Kedua mantan manajer itu langsung berdiri dan meman-

50
dang aneh ke laki-laki itu. Mereka tampak lebih gelisah
daripada sikap yang seharusnya ditunjukkan seseorang
saat mendengar berita bunuh diri seorang kepala bagian
pengganti gambar latar. Mereka berpandangan dengan wa­
jah yang lebih putih daripada kain penutup meja. Akhirnya
Debienne memberi tanda kepada Richard dan Moncharmin,
sementara Poligny minta izin untuk meninggalkan meja
sebentar kepada para tarnu. Lalu keempat orang itu pergi
ke kantor manajer. Aku akan membiarkan Moncharmin
menyelesaikan kisah ini. Di dalam Memoar-nya, ia berka­
ta:

Messieurs Debienne dan Poligny tampak semakin gelisah

dan seperinya
t mereka memiliki berita yang begitu sulit untuk

disampaikan kepada kami. Pertama-tama, a


i bertanya apa kami

kenal laki-laki yang duduk di ujung meja, yang mengabarkan

mengenai kematian Joseph Buquet. Dan ketika kami menjawab

tidak, mereka semakin tampak khawatir. Selanjutnya mereka

mengambil set kunci induk dari tangan kami, memandanginya

sejenak, lalu menyarankan agar kami diam-diam memasang

kunci baru untuk berbagai ruangan, lemari, dan lemari pakaian

yang kami inginkan tetap terkunci rapat. Mereka menga-takan

ini dengan begitu Iucunya sampai kami mulai tertawa dan

bertanya apakah ada pencuri di Opera ini. Mereka menjawab

bahwa ada yang lebih buruk dari itu, yaitu si hantu. Kami

mulai tertawa Iagi, merasa yakin bahwa mereka hanya memain­

kan lelucon yang akan menutup perayaan hari itu. Kemudian,

sesuai permintaan mereka, kami mulai "serius" dan bertekad

untuk ikut dalam permainan ini. Mereka bilang takkan pemah

bercerita tentang si hantu kepada kami kalau tak ada perintah

51
resmi dari hantu itu sendiri untuk rnemberitahu kami supaya
bersikap baik kepadanya dan rnengabulkan segala perrnintaan­
nya. Tetapi di tengah rasa lega akan meninggalkan ternpat yang
rnenjadi daerah kekuasaan si hantu ini, kedua rnantan rnanajer
itu ragu-ragu untuk rnenceritakan kisah ganjil yang tentunya
tidaklah siap diterirna pikiran skeptis karni. Narnun berita
kernatian Joseph Buquet rnenjadi peringatan keras bagi rnereka
bahwa setiap kali rnereka tidak rnengindahkan permintaan si
hantu, akan ada peristiwa mengerikan yang akan rnengingatkan
betapa rnereka tergantung pada si hantu.
"Selama cerita rnengejutkan ini disarnpaikan dengan nada
yakin yang penuh kerahasiaan dan penting, aku menoleh ke
Richard. Saat rnasih sekolah, Richard dikenal sering berbuat
iseng dan rnempermainkan orang, dan sekarang sepertinya ia
rnenikrnati keisengan yang ditujukan kepadanya. Ia rnernainkan
perrnainan ini dengan sangat baik, rneskipun ini sedikit keterlal­
uan karena rnelibatkan kematian Buquet. Richard mengangguk
sedih sernentara para mantan rnanajer itu berbicara, dan ia terli­
hat seperti seseorang yang rnenyesal rnengarnbil alih Opera ini
setelah rnengetahui ada hantu yang ikut terlibat di dalarnnya.
Aku tak dapat memikirkan reaksi lain selain rneniru sikap
putus asanya. Waiau begitu, pada akhirnya karni tidak kuat
rnenahan tawa dan terbahak-bahak di hadapan Debienne dan
Poligny. Melihat perubahan yang begitu rnendadak dari sikap
sangat sedih kami rnenjadi keceriaan yang nyaris kurang ajar,
rnereka rnernandangi karni seakan karni sudah gila.
"Lelucon ini sudah sedikit mernbosankan dan Richard berta­
nya dengan setengah bercanda, 'Apa yang sebenarnya diingin­
kan oleh hantu kalian ini?'
"Poligny pergi ke mejanya dan kernbali dengan mernbawa

52
buku perjanjian. Buku perjanjian itu diawali dengan perkataan

terkenal yang menyatakan bahwa 'manajemen Opera memegang

hak atas pertunjukan National Academy of Music untuk pemen­

tasan apa pun yang berhubungan dengan drama musikal untuk

pertama kalinya di Prancis' dan berakhir dengan Klausul 98

yang menyatakan bahwa hak tersebut bisa dicabut apabila

manajer melanggar syarat-syarat yang dicanturnkan di dalam

buku perjanjian ini. Kemudian bagian itu dilanjutkan dengan

empat syarat yang ctimaksud.

"Buku yang ditunjukkan oleh Poligny ditulisi dengan tinta

hitam dan sama persis dengan buku yang kami miliki, kecuali

di bagian akhirnya: ada satu paragraf yang ditulis menggu­

nakan tinta merah dengan tulisan tangan yang ganjil dan seper­

tinya dibuat dengan susah payah. Tulisan itu seakan dibuat

dengan mencelupkan ujung korek api ke dalam tinta merah,

dan tampak seperti tulisan anak kecil yang belum bisa menulis

halus bersambung. Berikut isi paragraf itu, kata demi kata:

"5. Atau bila manajer, pada bulan apa pun, terlambat lebih

dari semalam untuk membayar uang bulanan kepada hantu

Opera sebesar dua puluh ribu franc sebulan, dua ratus dan

empat puluh ribu franc setahun."

"Dengan ragu-ragu Poligny menunjuk ke klausul terakhir

yang tentu saja mengejutkan kami.

'Hanya ini? Dia tidak ingin apa-apa lagi?' tanya Richard

dengan sangat tenang.

"Ada lagi," jawab Poligny.

"Lalu a
i membalik halaman-halaman buku perjanjian itu

sampai pada bagian yang memuat klausul yang secara spesifik

53
menyebutkan hari-hari apa saja boks-boks balkon pribadi terten­

tu di Opera harus disediakan khusus bagi presiden negara, para

menteri, dan seterusnya. Di akhir klausul ini ditambahkan satu

baris yang juga ditulis dengan tinta merah:

'Boks Balkon nomor Lima di lantai utama hanya di­

peruntukkan bagi hantu Opera di setiap pementasan.'

"Waktu kami membaca ini, kami spontan bangkit dan menya­


lami dengan hangat kedua pendahulu kami karena telah ber­

hasil memikirkan lelucon yang sangat memesona ini, bukti

bahwa selera humor klasik orang Prancis tak pernah hilang.

Richard menambahkan bahwa ia sekarang paham mengapa

Debienne dan Poligny memutuskan pensiun dari manajemen

National Academy of Music. Bisnis ini tentu saja mustahil dija­

lankan dengan adanya hantu yang seenaknya seperti itu.

'Tentu saja, dua ratus empat puluh ribu franc sama sekali

bukan jumlah yang sedikit,' ujar Poligny dengan sangat serius.

'Dan pernahkah kalian pikirkan berapa besar kerugian yang

kami derita atas Boks Balkon nomor Lima? Kami tidak pernah

menjual tiket untuk boks itu sekali pun; dan bukan hanya itu,

kami juga terpaksa mengembalikan uang berlangganan boks

tersebut! Kami tidak bekerja demi hantu-hantu! Kami lebih baik

pergi saja!'

"'Ya,' ulang Debienne, 'kami lebih baik pergi saja. Biarkan

kami pergi.'

"Lalu ia berdiri. Richard berkata, 'Tapi, sejujumya, bagiku

kalian terlalu baik pada hantu itu. Kalau aku punya hantu yang

sebegitu merepotkannya, aku tidak akan ragu-ragu meminta

agar a
i ditangkap-'

54
'Caranya? Di mana?' teriak mereka bersamaan. 'Kami tak

pemah melihatnya!'

'Bagaimana ketika dia datang ke boksnya?'

'Kami tidak pernah melihatnya di boks itu.'


'Kalau begitu jual saja.'

'Menjual boks si hantu Opera! Selarnat mencoba, Tuan­

Tuan.'

"Sarnpai di situ kami berernpat meninggalkan kantor. Richard

dan aku tidal< pemah tertawa sepuas itu selama hidup kami."

55
Bab4
Boks Balkon Nomor Lima

ARMAND MoNCHARMIN menulis Memoar yang sangat tebal


selama kepengurusannya yang cukup lama, sehingga wajar
saja bila kita mempertanyakan apakah ia pemah mempu­
nyai waktu untuk benar-benar menangani urusan-urusan
Opera dan bukannya sekadar menceritakan apa yang terja­
di di sana. Moncharmin tidak paham nada satu pun, tetapi
ia sangat akrab dengan menteri pendidikan dan seni sam­
pai-sampai bisa menyapa dengan nama depannya, pernah
sedikit terlibat dalam dunia jurnalisme dan memiliki pen­
dapatan pribadi yang cukup besar. Dan yang terakhir, ia
orang yang memiliki pesona dan juga pintar; buktinya, be­
gitu ia memutuskan untuk menjadi partner pasif di Opera
ini, ia mencari manajer aktif terbaik yang ada dan ia lang­
sung memilih Firmin Richard.
Firmin Richard adalah komposer termahsyur yang telah
menciptakan sejumlah lagu terkenal dari segala jenis aliran
dan menyukai hampir semua jenis musik yang ada dan
semua jenis musisi. Karena itu, jelaslah kalau setiap jenis

56
musisi wajib menyukai Firmin Richard. Satu-satunya keku­
rangan yang dimilikinya adalah ia suka memerintah dan
sangat tidak sabaran.
Hari-hari awal di Opera dilalui oleh kedua rekanan itu
dengan rasa senang karena kini mereka mengepalai suatu
perusahaan yang begitu besar; dan mereka sudah lupa
sama sekali dengan cerita hantu yang ganjil dan menakjub­
kan itu sampai suatu insiden mengingatkan mereka bahwa
lelucon itu-bila itu memang lelucon-belum berakhir.
Firmin Richard sampai di kantomya pagi itu pukul sebelas.
Sekretarisnya, Remy, memberinya enam surat yang belum
dibukanya karena bertanda "pribadi." Salah satu surat itu
langsung menarik perhatian Richard bukan saja karena
amplopnya ditulisi dengan tinta merah, tetapi juga karena
ia sepertinya pernah melihat tulisan itu. Tak lama ia ingat
bahwa itu tulisan bertinta merah yang dengan ganjilnya
menggenapi buku perjanjian. Ia mengenali tulisan model
anak kecil yang tak rapi itu. Maka ia membuka surat itu
dan mulai membaca:

MR. MANAJER YANG BAIK,

Saya minta maaf merepotkan Anda di saat-saat ketika Anda


pastinya sangatlah sibuk memperbarui kontrak-kontrak penting,
menandatangi kontrak-kontrak baru, dan hal-hal lain yang me­
nunjukkan betapa hebatnya selera Anda. Saya tahu apa yang
telah Anda lakukan bagi Carlotta, Sorelli, si mungil Jammes,
serta beberapa orang lain yang Anda rasa memiliki bakat serta
kejeniusan yang mengagumkan.
Tentu saja kata-kata bakat dan kejeniusan itu tidak saya
peruntukkan bagi La Carlotta, yang bernyanyi seperti

57
semprotan air dan yang tak seharusnya diperbolehkan mening­

galkan Ambassadeurs dan Cafe Jacquin, atau La Sorelli, yang

sukses semata-mata karena latihan, ataupun si mungil Jammes

yang menari seperti ternak di padang rumput. Dan saya juga

tidak sedang membicarakan Christine Daae yang jelas-jelas

punya bakat luar biasa namun tak pernah membawakan peran

penting karena mereka yang iri padanya tak mau itu terjadi.

Setelah mengetahui ini, Anda bebas menjalankan bisnis kecil

Anda ini dengan cara-cara yang menurut Anda terbaik,

bukan?
Meski begitu, saya ingin menyoroti fakta bahwa Anda belum

memberikan kesempatan lain bagi Christine Daae karena saya

masih mendengamya bernyanyi sebagai Siebel dan si pemeran

Margarita itu melarangnya memiliki peran lain sejak penam­

pilan Christine yang cemerlang malam itu. Saya juga meminta

Anda untuk tidak menjual boks balkon saya hari ini atau hari­
hari berikutnya, sebab saya tidak bisa tidak menyampaikan

betapa kagetnya saya ketika satu atau dua kali tiba di Opera

ini dan mengetahui bahwa boks balkon saya telah dijual di lo­
ket tiket atas perintah Anda.

Saya tidak protes karena pertama, saya tidak suka ribut-ribut,


dan kedua, karena saya menyangka para pendahulu Anda,

Debienne dan Poligny, yang selalu begitu baik kepada saya,

lupa menyampaikan kepentingan-kepentingan kecil saya kepada

Anda sebelum mereka pergi. Saya baru saja menerima jawaban

dari Tuan-Tuan itu atas surat saya yang meminta penjelasan

mereka, dan jawaban itu menyatakan bahwa Anda sudah tahu

semua tentang buku perjanjian saya dan itu berarti Anda telah

berbuat lancang kepada saya. Bila Anda ingin hidup tenang, Anda
harus memulainya dengan tidak menjual boks balkon pribadi saya.

58
Percayalah kepada saya tanpa berprasangka apa-apa terhadap

sekian banyak pengamatan kecil ini, Mr. Ma-najer.

Pelayan Anda yang Paling Rendah Hati dan Patuh,

Hantu Opera

Surat itu dilengkapi dengan potongan tulisan dari surat


pembaca Revue Theatrale yang berbunyi:

H.O. - Tak ada alasan bagi R. dan M. Kami sudah me.mberitahu

mereka dan memberikan buku perjanjian Anda kepada mereka.


Salam hangat.

Firmin Richard baru saja membaca surat ini ketika


Armand Moncharmin masuk dengan surat yang sama per­
sis di tangannya. Mereka sating pandang, lalu terbahak-ba­
hak.
"Mereka masih memainkan leluconnya," kata Richard,
"tetapi bagiku ini sudah tidak lucu."
"Apa maksudnya semua ini?" tanya Moncharmin. "Apa
mereka pikir karena mereka dulunya manajer Opera ini,
maka kita akan memberikan satu boks balkon pribadi un­
tuk mereka selamanya?"
"Aku tidak ingin dipermainkan lama-lama," kata Firmin
Richard.
"Tidak berbahaya sih," kata Armand Moncharrnin sete­
lah rnengarnati sejenak. "Apa sebenarnya yang mereka
mau? Boks balkon buat pertunjukan malam ini?"
Firmin Richard menyuruh sekretarisnya memberikan
Boks Balkon nornor Lima di lantai utama kepada Debienne
dan Poligny bila belum tetjual untuk malam ini. Dan me-

59
mang boks balkon itu belurn terjual. Maka undangan diki­
rimkan ke rumah Debienne di persimpangan Rue Scribe
dan Boulevard des Capucines dan Poligny yang beralamat
di Rue Auber. Kedua surat Hantu Opera dikirim melalui
kantor pos di Boulevard des Capucines, kata Moncharmin
setelah mengamati amplop-amplopnya.
"Nah kan!" kata Richard.
Mereka mengangkat bahu dan menyayangkan bahwa
dua laki-laki seusia itu masih saja bersenang-senang de­
ngan cara yang sangat kekanakan.
"Mereka sebenamya bisa melakukannya dengan lebih
terhormat!" kata Moncharmin. "Tidakkah kauperhatikan
bagaimana mereka berbicara kepada kita soal Carlotta,
Sorelli, dan si mungil Jammes?"
"Temanku yang baik, dua orang ini dibutakan oleh rasa
iri! Bayangkan, mereka bahkan sampai memasang pembe­
ritahuan di Revue Theatrale! Apa mereka tidak punya kegiat­
an lain?"
"Oh ya," kata Moncharmin, "Mereka sepertinya menaruh
perhatian besar pada Christine Daae itu!"
"Seperti yang kita ketahui, berdasarkan reputasinya,
sepertinya ia cukup bagus," kata Richard.
"Reputasi bisa didapat dengan mudah," jawab
Moncharmin. "Bukankah aku punya reputasi tahu segala­
nya tentang musik? Kenyataannya aku tak bisa membeda­
kan satu nada dengan nada yang lain."
"Jangan khawatir, kau tidak pemah punya reputasi itu,"
tukas Richard.
Setelah itu ia memerintahkan para seniman yang telah

60
dua jam mondar-mandir gelisah menanti kelanjutan nasib
mereka di Opera ini masuk satu per satu ke kantornya.
Sepanjang hari itu dihabiskan dengan berdiskusi, beme­
gosiasi, menyetujui atau membatalkan kontrak-kontrak;
dan kedua manajer yang kelelahan itu tidur cepat tanpa
sedikit pun melongok apakah Debienne dan Poligny menik­
mati pertunjukan malam ini dari Boks Balkon nomor
Lima.
Keesokan paginya, para manajer itu menerima kartu
ucapan terima kasih dari si hantu:

MR. MANAJER YANG BAJI<:

Terima kasih. Malarn yang mernesona. Daae tarnpil rnemukau.

Paduan suara menunjukkan peningkatan. Carlotta tampil baik

sebagai penyanyi seadanya. Saya akan segera menyurati kalian

mengenai 240.000 franc, atau tepatnya 233.424,70 franc. Debienne

dan Poligny telah mengirimkan 6.575,30 franc kepada saya

sebagai hak saya selama sepuluh hari tahun ini, sebab hak

istimewa mereka berakhir pada malam hari kesepuluh

tersebut.

Salam hangat.

H.O.

Selain itu, terdapat surat dari Debienne dan Poligny:

TUAN-TUAN:

Kami sungguh tersentuh atas niat baik kalian terhadap kami,

tetapi kalian pasti mengerti bahwa meskipun kesempatan untuk

sekali lagi menikmati pertunjukan Faust bagi mantan manajer

Opera seperti kami ini rnerupakan tawaran menggiurkan, ha!

61
itu tak membuat kami lupa bahwa kami tidak berhak menem­

pati Boks Balkon no-mor Lima di lantai utama yang merupakan

properti eksklusif milik dia yang pernah kami ceritakan kepada

kalian saat kita membahas buku perjanjian itu. Lihat Klausul

98, paragraf terakhir.

Terimalah, Tuan-Tuan, dst.

"Oh, dua orang itu mulai membikin aku jengkel!" teriak


Firmin Richard sambil merenggut surat itu.
Dan malam itu Boks Balkon nomor Lima dijual untuk
umum.
Begitu tiba di kantor esok harinya, Richard dan
Moncharmin mendapati laporan seorang inspektur tentang
insiden yang terjadi semalam di Boks Balkon nomor Lima.
Aku tuliskan bagian terpenting dari laporan tersebut:

Saya terpaksa memanggil petugas keamanan dua kali malam

ini untuk mengosongkan Boks Balkon nomor Lima di lantai


utama, masing-masing pada bagian awal dan tengah babak

kedua. Tamu boks balkon tersebut, yang datang ketika tirai

panggung diangkat pada babak kedua, menciptakan keributan

berkala dengan tawa dan ucapan-ucapan konyol mereka. Ketika

penjaga boks balkon akhirnya memanggil saya, terdengar ba­

nyak teriakan "Hus!" dilontarkan orang-orang di sekitar mereka


dan para penonton di gedung Opera ini mulai protes. Maka
saya masuk ke boks balkon itu dan mengatakan apa yang perlu

saya sampaikan. Berdasarkan pengamatan saya, orang-orang itu

tampak tidak waras dan mereka memberikan tanggapan-tang­

gapan tolol. Saya katakan bahwa bila mereka terus ribut, saya

terpaksa mengosongkan boks balkon ini. Begitu saya pergi, saya

62
mendengar tawa itu lagi yang langsung disambut oleh protes

para penonton. Maka saya kembali dengan seorang petugas

keamanan yang mengeluarkan mereka dari sana. Sambil tetap

tertawa, mereka memprotes dan berkata bahwa mereka tidak


akan pergi kecuali uang mereka dikembalikan. Mereka akhirnya

tenang dan saya mengizinkan mereka masuk ke boks balkon

kembali. Namun suara tawa itu langsung terdengar lagi dan

kali ini saya benar-benar mengusir mereka.

"Panggil inspektur itu kemari," kata Richard kepada


sekretarisnya yang telah membaca laporan itu dan menan­
dainya dengan pensil biru.
Remy, si sekretaris, telah memperkirakan hal ini dan
langsung menelepon inspektur tersebut.
"Beritahu kami apa yang terjadi," kata Richard tanpa
basa-basi.
Inspektur itu mulai bercerita dengan cepat sebagaimana
yang tertulis di laporan.
"Tetapi apa yang ditertawakan orang-orang itu?" tanya
Moncharmin.
"Mereka pasti datang sehabis makan, Tuan, dan terlihat
lebih cenderung sibuk bercanda daripada mendengarkan
nyanyian yang indah. Begitu mereka masuk boks balkon
itu, mereka langsung keluar dan memanggil penjaga boks
balkon yang menanyai mereka apa ada yang bisa dibantu.
Mereka berkata, 'Lihatlah ke dalam boks balkon, tidak ada
orang di sana, bukan?' 'Tidak,' kata wanita penjaga boks
balkon. 'Ketika kami masuk,' kata mereka, 'kami mende­
ngar suara yang berkata bahwa boks balkon ini sudah ada
yang menempati!"'

63
Moncharmin tak dapat menyembunyikan senyumnya
waktu menoleh ke Richard; tetapi Richard tidak tersenyum
la sudah begitu sering mempermainkan orang waktu ma­
sih muda sehingga ketika mendengarkan cerita si inspek­
tur, ia dengan mudah mengenali tanda-tanda keisengan
yang diawali dengan menghibur namun diakhiri dengan
membuat marah korbannya. Melihat Moncharmin terse­
nyum, inspektur itu merasa ia sebaiknya turut tersenyum.
Keputusan yang salah! Richard melotot kepada bawahan­
nya tersebut yang sejak saat itu memastikan dirinya me­
masang tampang prihatin.
"Tetapi, ketika orang-orang berdatangan," teriak Richard,
"tidak ada siapa-siapa di boks balkon itu, bukan?"
"Tak satu orang pun, Tuan, tak seorang pun! Baik di
boks balkon sebelah kanan maupun sebelah kirinya: tak
ada seorang pun, Tuan, saya bersumpah! Si penjaga boks
balkon berulang kali memberitahu saya demikian, dan itu
membuktikan bahwa semua itu hanya lelucon."
"Oh, kau setuju, kalau begitu?" kata Richard. "Kau setu-
ju! Itu lelucon! Dan menurutmu ini lucu, bukan?"
"Menurut saya ini lelucon yang amat buruk, Tuan."
"Dan apa yang dikatakan si penjaga boks balkon?"
"Oh, dia bilang bahwa itu si hantu Opera. Itu saja!"
Lalu inspektur itu menyengir tersenyum Tetapi ia lang-
sung sadar bahwa cengirannya juga salah, sebab begitu
kata-kata itu keluar dari mulutnya, Richard langsung ber­
ubah dari muram menjadi murka.
"Panggil penjaga boks balkon itu kemari!" teriaknya.
"Panggil dia! Sekarang! Saat ni
i juga! Dan bawa dia ke ha­
dapanku! Dan usir semua orang itu keluar!"

64
Inspektur itu mencoba protes, tetapi Richard membung­
kamnya dengan satu perintah penuh amarah untuk diam.
Lalu, ketika mulut laki-laki malang itu seperinya
t terkunci
rapat untuk selamanya, si manajer memerintahkannya un­
tuk membuka mulutnya sekali lagi.
"Siapa 'hantu Opera' ini?" bentaknya.
Namun, pada tahap ini, inspektur itu sudah tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun. Dengan bahasa tubuhnya
ia berhasil menyampaikan bahwa ia tidak tahu apa-apa
soal itu, atau lebih tepatnya ia tak ingin tahu.
"Pernahkah kau melihatnya, apa kau pernah melihat si
hantu Opera?"
Si inspektur menggeleng kuat-kuat untuk menyatakan
bahwa ia tak pernah melihat hantu yang dimaksud.
"Baiklah!" kata Richard datar.
Mata inspektur itu melotot, seakan bertanya mengapa
sang manajer mengucapkan "Baiklah!" yang terdengar tak
mengenakkan itu.
"Karena aku akan memecat siapa pun yang tak pemah
melihatnya!" jelas si manajer. "Karena ia sepertinya ada di
mana-mana, aku tidak percaya orang-orang tak pemah
melihatnya di mana pun. Aku ingin orang-orang yang
kupekerjakan bekerja dengan sungguh-sungguh!"
Setelah mengucapkan ini, Richard tak lagi menggubris
si inspektur dan membicarakan berbagai urusan bisnis de­
ngan manajer aktingnya yang masuk sementara percakapan
itu terjadi. lnspektur itu berpikir ia sudah bisa pergi dan
dengan pelan - teramat pelan! - berjalan menyamping ke
arah pintu ketika Richard menghentikan langkahnya de­
ngan berkata menggelegar, "Diam di sana!"

65
Remy telah memanggil si penjaga boks balkon dari Rue
de Provence yang terletak dekat dengan Opera, tempat ia
bekerja sebagai penjaga pintu. Ia tiba tak lama kemudian.
"Siapa namamu?"
"Mame Giry. Anda cukup mengenal saya, Tuan; saya
ibu si mungil Giry, atau yang lebih dikenal dengan si mu­
ngil Meg."
Kalimat itu diucapkan dengan nada yang tegas dan
sungguh-sungguh sehingga Richard sempat terkesan. la
memandang Mame Giry, mengamati syalnya yang telah
pudar, sepatunya yang butut, gaun tafetanya yang lusuh
dan topinya yang kusam. Dari sikap manajer itu jelaslah
ia entah tidak kenal atau tidak ingat pernah bertemu de­
ngan Mame Giry, atau si mungil Giry, atau bahkan "si
mungil Meg!" Namun rasa bangga Mame Giry begitu he­
bat sehingga si penjaga boks balkon yang cukup dikenal
itu beranggapan semua orang mengenalnya.
"Aku tak pernah mendengar nama itu!" ujar si manajer.
"Tetapi itu tak menjadi penghalang untuk menanyaimu,
Mame Giry, tentang apa yang terjadi semalam sehingga
kau dan inspektur ini merasa perlu memanggil petugas
II
keama
nan....
"Saya memang berniat menemui Anda, Tuan, untuk
membicarakan hal ini, agar Anda tidak mengalarni peristi­
wa tak mengenakkan seperti yang dialami Debienne dan
Poligny. Mereka juga menolak mendengarkan saya pada
awalnya."
"Aku tidak menanyaimu tentang semua itu. Aku berta­
nya tentang apa yang terjadi semalam."
Wajah Mame Giry memerah karena marah. Tak ada

66
yang pernah berbicara seperti itu kepadanya. Ia bangkit
seakan hendak pergi, menjinjing lipatan-lipatan gaunnya
dan mengibaskan bulu-bulu di topi kusamnya dengan pe­
nuh harga diri, tetapi ia lalu berubah pikiran dan duduk
kembali. Lalu ia berkata dengan nada angkuh, "Saya akan
menceritakan kepada Tuan apa yang terjadi. Hantu itu me­
rasa jengkel lagi!"
Sejak saat itu, berhubung Richard sudah nyaris murka,
Moncharmin mengambil alih proses tanya-jawab itu. Tam­
paknya Mame Giry berpikir wajar saja bila ada suara yang
berkata boks balkon itu sudah ditempati meskipun tidak
ada orang di boks balkon tersebut. Ia tak dapat menjelas­
kan peristiwa yang sudah tak asing lagi baginya itu selain
bahwa itu perbuatan si hantu. Tak seorang pun bisa melihat
hantu itu di boks balkonnya, tetapi semua orang bisa
mendengarnya. Ia sering mendengar hantu itu; dan kedua
manajer itu bisa memercayainya sebab ia selalu berkata
jujur. Mereka bisa bertanya pada M. Debienne dan M.
Poligny, serta siapa pun yang mengenalnya; juga M. Isidore
Saack yang kakinya dipatahkan oleh si hantu!
"Benarkah?" Moncharmin menginterupsinya. "Apakah
si hantu mematahkan kaki Isidore Saack yang malang?"
Mame Giry membelalakkan matanya penuh keterkejutan
atas ketidaktahuan tersebut. Tetapi ia ingin membantu ke­
dua orang malang itu mengetahui yang sebenarnya. Peristi­
wa itu terjadi pada masa kepengurusan Debienne dan
Poligny, bertempat di Boks Balkon nomor Lima juga pada
pementasan Faust. Mame Giry batuk dan berdeham -ia
terdengar seakan bersiap menyanyikan seluruh lagu karya
Gounod -lalu mulai bercerita, "Kejadiannya seperti ini,

67
Tuan. Malam itu, M. Maniera dan istrinya yang adalah
pedagang perhiasan di Rue Mogador, duduk di bagian de-­
pan boks balkon, sementara teman baik mereka, M. Isidore
Saack, duduk di belakang Mme Maniera. Mephistopheles
sedang bemyanyi" - di sini Mame Giry tiba-tiba bernya­
nyi - "'Catarina, sementara kau bermain ketika tidur,' ke­
mudian M. Maniera mendengar suara di telinga kanannya
(istrinya ada di sebelah kiri) berkata, 'Ha, ha! Julie tidak
bermain ketika tidur!' Julie memang nama panggilan istri­
nya. Maka M. Maniera menoleh ke kanan untuk melihat
siapa yang berbicara seperti itu kepadanya. Tidak ada
siapa-sia-pa! Ia menggosok telinganya dan bertanya-tanya
apa ia bermimpi. Lalu Mephistopheles melanjutkan
nyanyiannya.... Apakah saya membuat Anda bosan, Tuan­
Tuan?"
"Tidak, tidak, teruskan."
"Anda terlalu baik, Tuan-Tuan," jawabnya sambil terse­
nyum. "Baiklah kalau begitu, Mephistopheles melanjutkan
nyanyiannya" -sekali lagi Mame Giry tiba-tiba bernya­
nyi - "'Orang suci, bukalah pintu gerbangmu dan berikan
kebahagiaan kepada manusia yang menyembah meminta
ampun.' Kemudian M. Maniera sekali lagi mendengar sua­
ra di telinga kanannya yang kali ini berkata, 'Ha, ha! Julie
takkan keberatan memberikan cium kepada Isidore!' Lalu
ia menoleh lagi, tetapi kali ini ke kiri; dan menurut Anda
apa yang dilihatnya? M. Isidore telah memegang tangan
istrinya dan menciumi tangan itu bertubi-tubi pada lubang
bundar kecil sarung tangannya- seperti ini, Tuan-Tuan." -
ia dengan cepat menciumi daerah tengah telapak
tangannya yang tak tertutupi sarung tangan rajutnya.

68
"Kemudian mereka ribut berkelahi! Buk! Buk! M. Manier
yang berbadan besar seperti Anda, M. Richard, dua kali
meninju Isidore Saack yang lemah dan kecil, yang- dengan
segala hormat-seperti Anda, M. Moncharmin. Terjadi
keributan besar. Orang-orang berteriak, 'Cukup! Henikan
t
mereka! la akan membunuhnya!' Lalu, akhirnya, M. Isidore
Saack berhasil melarikan diri."
"Kalau begitu hantu itu tidak mematahkan kakinya?"
tanya Moncharmin, merasa sedikit kesal perawakannya ti­
dak terlalu mengesankan bagi Mame Giry.
"Hantu itu yang membuat kakinya patah, Tuan," jawab
Mame Giry dengan angkuh. "Ia melakukannya di tangga
besar yang dituruninya dengan terlalu cepat, Tuan, dan
akan cukup lama baginya sebelum ia bisa menaiki tangga
itu lagi!"
"Apakah hantu itu yang memberitahumu apa yang dika­
takannya di telinga kanan Maniera?" tanya Moncharmin
dengan nada tegang yang menurutnya benar-benar meng­
gelikan.
"Tidak, Tuan. M. Maniera sendiri yang mengatakannya.
Jadi -"
"Tetapi kau pemah berbicara dengan hantu itu, nyonya
yang baik?"
"Seperti saya berbicara dengan Anda sekarang, Tuan!"
jawab Mame Giry.
"Dan ketika si hantu berbicara denganmu, apa yang
dikatakannya?"
"Dia memintaku membawakan sandaran kaki!"
Kali ini Richard tertawa terbahak-bahak, begitu juga
Moncharmin dan Remy si sekretaris. Hanya si inspektur,

69
yang belajar dari pengalamannya, yang berhati-hati untuk
tidak tertawa. Sementara Mame Giry berusaha menunjuk­
kan sikap mengancam.
"Daripada tertawa," teriaknya marah, "Anda sebaiknya
melakukan apa yang dilakukan M. Poligny, yang berhasil
mengetahuinya sendiri."
"Mengetahui apa?" tanya Moncharmin yang tak pernah
merasa segeli itu sepanjang hidupnya.
"Tentu saja mengetahui soal hantu itu! Dengar..."
Ia tiba-tiba menenangkan diri, merasa ini saat yang serius
dalam hidupnya, "Dengar," ulangnya. "Waktu itu mereka
menampilkan La Juive. M. Poligny berpikir ia akan menonton
pertunjukan itu dari boks balkon milik si hantu... Nah, ketika
Leopold berteriak, 'Mari kita pergi!' -Anda tahu kan-dan
Eleazar menghentikan mereka lalu berkata, 'Ke manakah kau
akan pergi?' ..well, M. Poligny-saya sedang memperhatikan­
.

nya dari bagian belakang boks balkon sebelah yang saat itu
kosong- M. Poligny bangkit dan berjalan dengan kaku
seperti patung, dan sebelum saya sempat bertanya kepa­
danya 'Ke manakah kau akan pergi?' seperti Eleazer, ia su­
dah menuruni tangga, tetapi tanpa mematahkan kaki-
nya..."
"Tetap saja, itu tidak menjelaskan kepada kami bagaima­
na hantu Opera itu sampai memintamu membawakan san­
daran kaki," kata Moncharmin berkeras.
"Sejak malam itu, tidak ada yang mencoba merebut boks
balkon pribadi si hantu. Manajer memerintahkan agar boks
balkon itu menjadi milik si hantu dalam setiap pertunjuk­
an. Dan setiap kali ia datang, ia meminta saya membawa­
kan sandaran kaki."

70
"Ck, ck! Hantu meminta sandaran kaki! Kalau begitu
hantu kalian ini seorang perempuan?"
"Tidak, hantu ini laki-laki."
"Bagaimana kau tahu?"
"Ia merniliki suara laki-laki, oh, betapa indah suaranya
itu! lnilah yang terjadi: Biasanya ia datang ke Opera pada
pertengahan babak pertama. Ia mengetuk pelan pintu Boks
Balkon nomor Lima iga
t kali. Ketika pertama kali saya
mendengar ketukan tiga kali itu dan mengetahui tidak ada
orang di boks balkon itu, bisa Anda bayangkan betapa bi­
ngungnya saya! Saya membuka pintu, memasang telinga,
melongok; tak ada siapa pun! Kemudian saya mendengar
suara berkata, 'Mame Jules' - mendiang suami saya berna­
ma Jules-'tolong ambilkan sandaran kaki.' Dengan segala
hormat, Tuan-Tuan, itu membuat sekujur tubuh saya merin­
ding. Tetapi suara itu melanjutkan, 'Jangan takut, Mame
Jules, aku si hantu Opera!' Suaranya begitu lembut serta
ramah sehingga saya sama sekali tidak merasa takut. Suara
itu berasal dari kursi pojok sebelah kanan, di baris depan."
"Apakah ada orang di boks balkon sebelah kanan Boks
Balkon nomor Lima?" tanya Moncharmin.
"Tidak. Boks balkon nomor Tujuh dan Tiga yang ada di
sebelah kirinya juga kosong. Tirai panggung baru saja di­
naikkan."
"Dan apa yang kaulakukan?"
"Well, saya membawakan sandaran kaki itu. Tentu saja
itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk pasangannya! Tetapi
saya tidak pernah mendengar atau melihat perempuan
itu."
"Eh? Apa? Jadi ceritanya sekarang hantu itu sudah meni-

71
kah!" Mata kedua manajer itu berpindah dari Mame Giry
ke si inspektur yang berdiri di belakang si penjaga boks
balkon itu, yang kini melambai-lambaikan tangannya un­
tuk menarik perhatian mereka. Ia menempelkan jari telun­
juknya di dahi, memberi tanda bahwa ia pikir janda Jules
Giry ini sudah gila. Gerakan pantomim kecil itu semakin
memperkuat tekad Richard untuk memecat inspektur yang
mempekerjakan orang gila sebagai bawahannya ini. Semen­
tara, perempuan yang jujur itu terus bercerita soal si hantu,
dan kini tentang bagaimana murah hatinya hantu tersebut,
"Di setiap akhir pertunjukan, ia selalu memberi saya dua
franc, kadang-kadang lima, dan kadang bahkan sepuluh
franc jika ia sudah lama tidak datang. Hanya saja, ketika
orang-orang mulai membuatnya jengkel lagi, a
i tidak mem-
ben saya apa-apa....II
'

"Maafkan aku, nyonya yang baik," kata Moncharmin,


sementara Mame Giry mengibaskan bulu-bulu di topi ku­
sarnnya sebagai reaksi atas nada tak percaya yang sudah
cukup sering didengarnya, "Maaf, bagaimana caranya han­
tu itu memberimu dua franc?"
"Tentu saja dengan meninggalkannya di rak kecil yang
ada di boks balkon itu. Saya menemukannya bersama de­
ngan buku acara yang selalu saya berikan kepadanya. Ter­
kadang saya menemukan bunga-bunga di boks balkon itu,
setangkai mawar yang pastilah terjatuh dari pakaian si pe­
rempuan... sebab kadang a
i datang bersama perempuan
itu; suatu hari, mereka meninggalkan sebuah kipas."
"Oh, hantu itu meninggalkan kipas? Dan apa yang kau­
lakukan pada kipas itu?"

72
"Saya mengembalikan kipas itu ke boks balkon esok ma­
lamnya."
Di sini si inspektur buka suara.
"Anda telah melanggar aturan; saya harus mendenda
Anda, Mame Giry."
"Tutup mulutmu, bodoh!" gerutu Firmin Richard.
"Kau mengembalikan kipas itu. Lalu?"
"Lalu mereka mengambilnya kembali, Tuan; kipas itu
tidak ada lagi di sana waktu pertunjukan selesai. Dan di
tempat kipas itu tadi, mereka meninggalkan sekotak per­
men dari Inggris yang sangat saya sukai. Itu salah satu
kebaikan si hantu."
"Sudah cukup, Mame Giry. Kau boleh pergi."
Setelah Mame Giry memberi hormat penuh bangga dan
mohon diri, manajer memberitahu si inspektur bahwa mere­
ka telah memutuskan untuk memberhentikan perempuan
tua yang agak sinting itu; dan, ketika si inspektur sudah
pergi, mereka menyuruh manajer akting menghitung uang
pesangon si inspektur. Waktu semua orang sudah pergi,
kedua manajer itu sepakat untuk menangani sendiri
masalah Boks Balkon nomor Lima.

73
Babs
Biola yang Memukau

KARENA suatu kejadian yang akan kuceritakan nanti,


Christine Daae tidak langsung melanjutkan penampilannya
yang gemilang di Opera. Setelah pesta malam itu, ia ber­
nyanyi sekali di pesta Duchess de Zurich, tetapi itu ter­
akhir kalinya ia bernyanyi di acara-acara pribadi. Tanpa
alasan yang jelas, ia menolak tampil di suatu konser amal
yang telah ia setujui sebelumnya. Ia bersikap seakan tak
lagi memiliki kuasa atas hidupnya sendiri dan ia seperti­
nya takut bernyanyi memukau lagi.
Christine Daae tahu, demi menyenangkan hati adiknya,
Comte De Chagny telah berusaha sebaik mungkin berbi­
cara dengan Richard tentang porsinya di Opera itu. la
mengirimkan surat terima kasih kepada bangsawan itu,
sekaligus memintanya untuk berhenti mempromosikan diri­
nya. Tak pemah diketahui alasan ia melakukan ini. Seba­
gian orang berpikir itu akibat harga diri yang terlalu besar,
yang lain menyebut-nyebut kerendahatian yang tiada tara.
Tetapi orang-orang panggung tidaklah serendah hati itu;

74
dan kurasa tidaklah salah bila aku menerjemahkan perila­
kunya sebagai reaksi dari rasa takut. Ya, aku yakin
Christine Daae ketakutan dengan apa yang telah terjadi
padanya. Aku memiliki surat milik Christine (salah satu
dari berkas yang dimiliki si orang Persia) sekitar masa­
masa ini, yang menunjukkan kecemasan yang amat sangat,
"Aku tak mengenali diriku sendiri ketika bernyanyi," tulis
gadis malang itu.
la tidak pemah muncul di mana pun, dan usaha
Vicomte de Chagny untuk menemuinya sia-sia belaka.
Vicomte itu menyuratinya, meminta izin untuk menemui­
nya tetapi tak ada balasan. Dan ketika ia sudah nyaris
putus asa, suatu pagi, Christine memberikan pesan ini
kepadanya:

MONSIEUR:

Aku tidak lupa pada anak laki-laki yang masuk ke laut untuk
mengambil syalku. Aku merasa harus menulis surat ini kepada­

mu hari ini, ketika aku pergi ke Perros demi menggenapi tugas

penting. Besok hari peringatan kematian ayahku, orang yang

kaukenal dan yang sangat menyukaimu. la dimakamkan di

sana bersama dengan biolanya, di pemakaman gereja kecil di

dasar tanah melandai tempat kita sering bermain ketika kecil,

di samping jalan tempat kita mengucapkan salam perpisahan

terakhir kali ketika kita telah sedikit lebih besar.

Vicomte de Chagny buru-buru memeriksa jalur kereta


api, bersiap-siap secepat yang ia bisa, menulis beberapa
kalimat untuk diberikan kepada kakaknya oleh si pelayan,
lalu melompat ke dalam taksi yang membawanya ke Gare

75
Montparnasse, dan tiba tepat ketika kereta pagi bergerak
meninggalkan stasiun. Ia menghabiskan seharian itu de­
ngan muram sampai ia duduk di salah satu gerbong kereta
Brittany ekspress pada petang harinya. Ia membaca pesan
Christine itu berulang-ulang, menghirup wangi kertasnya,
mengingat-ingat saat-saat menyenangkan di masa kecilnya,
dan menghabiskan sisa perjalanan di malam yang melelah­
kan itu dalam mimpi-mimpi acak yang diawali dan di­
akhiri dengan Christine Daae. Hari mulai terang ketika ia
turun di Lannion. Buru-buru ia mencari kendaraan menuju
Perros-Guirec. la satu-satunya penumpang, dan setelah
menanyai pengemudinya, ia mengetahui bahwa kemarin
malam, seorang gadis muda yang terlihat berasal dari Paris
pergi ke Perros dan bermalam di penginapan bemama
Setting Sun.
Semakin mendekati tempat tujuan, semakin sering ia
mengingat-ingat cerita masa kecil penyanyi asal Swedia ini.
Sebagian besar detail cerita itu masih tak diketahui oleh
orang-orang.
Pada suatu masa, di kota perdagangan kecil tak jauh
dari Upsala, tinggal seorang petani yang bekerja keras sela­
ma sepekan dan bemyanyi di paduan suara gereja setiap
Minggu. Petani ini memiliki seorang anak perempuan yang
telah diajarinya membaca nada jauh sebelum anak itu mam­

pu membaca. Ayah Daae seorang musisi yang hebat mes­


kipun mungkin ia sendiri tak menyadarinya. Tak ada se­
orang pemain biola pun di segenap penjuru Skandinavia
yang mampu bermain sebaik dia. Namanya terkenal luas
dan ia selalu diundang untuk bermain mengiringi tarian
pasangan pengantin di pesta-pesta pernikahan dan acara-

76
acara lainnya. lstrinya meninggal ketika Christine mema­
suki usia enam tahun. Lalu sang ayah, yang hanya menya­
yangi putri dan biolanya, menjual tanahnya dan pergi ke
Upsala demi ketenaran dan uang. Tetapi hanya kemiskinan
yang ia dapatkan.
Maka ia kembali ke desa, berkelana dari satu pekan raya
ke pekan raya lain, rnemainkan lagu-lagu Skandinavia-nya,
sementara putrinya yang tak pernah jauh darinya itu men­
dengarkan dengan penuh kegembiraan atau ikut bemyanyi
seiring lagu. Suatu hari, di Pekan raya Limby, Profesor
Valerius menyaksikan penampilan mereka dan membawa
mereka ke Gothenburg. Ia berkeras bahwa sang ayah ada­
lah pemain biola pertarna di dunia dan anaknya mempu­
nyai bakat besar untuk menjadi seniman hebat. Maka gadis
kecil itu mendapatkan seluruh pendidikan dan pelatihan
yang ia butuhkan. Ia menunjukkan kemajuan pesat dan
memukau semua orang dengan kecantikannya, kelembutan
perilakunya, serta ketulusannya untuk membahagiakan
orang lain.
Waktu Valerius dan istrinya pindah untuk menetap di
Francis, rnereka membawa serta Daae dan Christine.
"Mamma" Valerius memperlakukan Christine seperti putri­
nya sendiri. Sementara itu, Daae mulai sakit-sakitan karena
merindukan karnpung halarnannya. Ia tak pernah keluar
rumah di Paris, melainkan hidup dalam dunia semacam
mimpi bersarna dengan biolanya. Setiap kali, ia bisa meng­
habiskan waktu berjarn-jam mengunci diri bersama putri­
nya di dalam kamar, bermain biola dan bernyanyi dengan
sangat lirih. Kadang Mamma Valerius akan datang dan
mendengarkan di balik pintu, lalu menghapus air matanya

77
dan berjingkat kembali ke lantai bawah sambil menghela
napas mengenang langit Skandinavia.
Kondisi Daae belum juga membaik sampai ketika selu­
ruh keluarga pergi dan tinggal selama musim panas di
Perros-Guirec, suatu wilayah di ujung Brittany, yang warna
lautnya sama dengan laut di kampung halamannya. Sering
ia memainkan nada-nada paling sedih dengan biolanya di
pantai dan berpura-pura laut menjadi tenang demi mende­
ngarkannya. Kemudian ia membujuk Mamma Valerius
untuk mengabulkan keinginan uniknya. Pada musim per­
ingatan ziarah orang-orang suci, festival-festival dan pesta
dansa desa, ia akan pergi selama seminggu, membawa bio­
la dan putrinya seperti waktu dulu. Mereka menyuguhkan
penampilan yang sangat memukau di dusun-dusun kecil,
menolak tidur di penginapan, dan lebih memilih tidur ber­
sebelahan di tumpukan jerami di lumbung-lumbung seperti
ketika mereka masih miskin di Swedia. Namun bedanya
adalah mereka sekarang berpakaian rapi, tidak mengedar­
kan tempat uang, serta menolak koin yang diberikan kepa­
da mereka. Orang-orang itu tidak mengerti perilaku pe­
main biola ini, yang berkelana bersama putri cantiknya
yang bernyanyi seperti malaikat dari surga. Orang-orang
itu mengikuti keduanya dari desa ke desa.

Suatu hari, seorang anak laki-laki yang sedang berjalan­


jalan dengan pengasuhnya membuat si pengasuh berjalan
lebih jauh daripada biasanya sebab ia tak mau lepas dari
gadis kecil dengan suara bening dan indah yang telah me­
nawan hatinya. Mereka sampai di pantai suatu teluk kecil
bernama Trestraou, yang sekarang, kurasa, sudah menjadi
lokasi suatu kasino atau sejenisnya. Tetapi waktu itu yang

78
ada hanya langit, laut, dan sehampar pantai indah. Hanya
saja ada juga angin keras yang berembus, yang menerbang­
kan syal Christine ke laut. Christine memekik dan berusa­
ha menggapai syal itu, namun angin telah menerbangkan­
nya jauh mencapai ombak. Lalu ia mendengar suara
berkata, "Jangan khawair,
t aku akan pergi dan mengambil
syalmu dari laut."
Dan ia melihat seorang anak laki-laki berlari cepat tanpa
memedulikan teriakan dan larangan seorang perempuan
bergaun hitam. Anak laki-laki itu berlari masuk ke laut
dengan pakaian lengkap, dan mengembalikan syal itu ke­
padanya. Syal itu sekuyup si anak laki-laki. Perempuan
bergaun hitam itu marah-marah, tetapi Christine tertawa
gembira dan mencium anak laki-laki itu, yang tak lain ada­
lah Vicomte Raoul de Chagny yang tinggal di Lannion
bersama bibinya.
Selama musim panas itu, hampir setiap hari mereka ber­
temu dan bermain bersama. Berdasarkan permintaan bibi­
nya, dan juga didukung oleh Profesor Valerius, Daae ber­
sedia memberikan pelajaran biola kepada viscount muda
itu. Begitulah ceritanya Raoul belajar mencintai hal-hal
yang sama, yang telah memukau masa kecil Christine.
Mereka juga sama-sama memiliki pembawaan yang tenang
dan sedikit suka melamun. Mereka sangat menyukai cerita
serta legenda-legenda Breton kuno; dan kegiatan yang pa­
ling mereka gemari adalah mengetuk pintu tiap-tiap rumah
dan meminta cerita seperti dua pengemis, "Nyonya..." atau
"Tuan yang baik. .. apa Anda punya kisah untuk dicerita­
kan kepada kami?"
Dan jarang sekali mereka tak menerima apa yang mere-

79
ka minta, sebab hampir setiap nenek tua Breton pernah,
setidaknya sekali dalarn hidup rnereka, rnelihat para
"korrigan" atau peri kecil rnenari di tungku pernanas di
bawah sinar bulan.
Tetapi kisah terbaik selalu hadir pada petang hari, da­
lam kesunyian yang tercipta setelah rnatahari tenggelarn di
balik garis laut di kejauhan. Daae akan datang dan duduk
di sarnping rnereka di tepi jalan, dan dengan suara rendah
seakan khawatir rnernbuat takut hantu-hantu yang ia sa­
yangi, ia rnenceritakan legenda-legenda negeri Utara kepa­
da rnereka. Dan ketika ia berhenti bercerita, anak-anak itu
akan rneminta diceritakan kisah lain lagi.
Ada suatu cerita yang dirnulai dengan, "Seorang raja
sedang duduk di kapal kecil di tengah salah satu danau
yang tenang dan dalarn yang terbentang bagai rnata yang
cernerlang di tengah-tengah pegunungan Norwegia..."
Dan satu lagi, "Lotte kecil suka diam rnelarnun. Rambut­
nya pirang keernasan seperti sinar rnatahari dan jiwanya
sejernih rnata birunya. Ia suka berrnanja dengan ibunya,
baik hati terhadap boneka-bonekanya, rnerawat gaun, sepa­
tu merah, serta biola miliknya, tetapi di atas segalanya, ia
senang mendengarkan Malaikat Musik ketika ia tidur."
Sernentara laki-laki tua itu rnenceritakan kisah ini, Raoul
rnemandangi mata biru dan rambut pirang keernasan
Christine; dan Christine berpikir bahwa Lotte sangatlah
beruntung bisa mendengarkan Malaikat Musik ketika ia
tidur. Malaikat Musik selalu berperan dalarn semua kisah
Daddy Daae; dan ayahnya percaya bahwa setiap musisi
hebat, setiap seniman besar didatangi oleh sang Malaikat
setidaknya sekali dalarn hidup mereka. Kadang sang Malai-

80
kat memandangi mereka dari atas tempat tidur goyang
mereka, seperti yang terjadi pada Lotte, dan itulah menga­
pa ada jenius-jenius kecil berusia enam tahun yang mampu

bermain biola lebih bagus daripada mereka yang berusia


lima puluh, suatu hal yang harus kauakui memang menak­
jubkan. Dan terkadang, sang Malaikat datang nani-nanti,
t
karena anak-anak itu nakal dan tidak mau belajar serta
berlatih musik. Dan, kadang, ia sama sekali tidak datang
karena anak-anak itu memiliki hati yang jahat atau budi
yang buruk.
Tak ada yang pernah melihat sang Malaikat, tetapi mere­
ka yang memang berhak akan mendengarnya. Ia sering
datang di saat yang tak disangka-sangka, seperti ketika
mereka sedih atau patah harapan. Dan, tiba-tiba, telinga
mereka akan dipenuhi harmoni surgawi, suara yang begitu
indah, yang akan mereka ingat sepanjang hidupnya.
Orang-orang yang tak dilawat oleh sang Malaikat itu geme­
tar seperti yang tak pernah dirasakan manusia. Dan suara
yang dihasilkan setiap kali mereka memainkan alat musik
atau membuka mulutnya untuk bernyanyi akan membuat
setiap suara lain yang dihasilkan manusia terdiam karena
malu. Lalu orang-orang yang tak tahu tentang lawatan
Malaikat itu atas mereka akan berkata mereka jenius.
Christine kecil bertanya kepada ayahnya apa sang ayah
pernah mendengar sang Malaikat Musik. Daddy Daae
menggelengkan kepala dengan sedih; tetapi matanya seke­
tika berbinar saat berkata, "Kau akan mendengamya suatu
hari nanti, anakku! Saat aku di surga, aku akan mengirim­
nya kepadamu!"

81
Sang ayah sudah mulai batuk-batuk ketika itu. Musim
gugur tiba dan memisahkan Raoul dan Christine.
Tiga tahun setelahnya, Raoul dan Christine bertemu kem­
bali di Perros. Profesor Valerius telah meninggal, tetapi
istrinya masih menetap di Prancis bersama Daae dan putri­
nya. Mereka mengisi hari-hari penyantun yang baik ini
dengan harmoni musik yang kini sepertinya menjadi satu­
satunya semangat dalam hidupnya. Anak laki-laki yang te­
lah tumbuh menjadi seorang pemuda itu datang ke Perros
untuk menemui mereka dan langsung menuju rumah yang
pernah mereka diami. Awalnya, ia hanya bertemu dengan
sang ayah, tetapi tak lama kemudian, Christine masuk
membawa nampan teh. Wajah gadis itu bersemu melihat
Raoul yang kemudian menghampiri dan menciumnya. Sete­
lah berbasa-basi layaknya nona rumah yang baik, Christine
mengambil nampannya kembali dan keluar ruangan. Ia lari
ke halaman dan duduk di bangku untuk menenangkan
perasaan yang merambati degup jantungnya. Temyata
Raoul menyusulnya, dan mereka berbincang hingga larut
senja dengan malu-malu. Mereka sedikit berubah, menjadi
berhati-hati layaknya diplomat dan sating menceritakan
hal-hal yang tak berhubungan dengan rasa yang mulai
bersemi di dada. Ketika mereka hendak berpisah di tepi
jalan, Raoul mencium tangan Christine yang gemetar dan
berkata, "Mademoiselle, aku tak akan melupakanmu!"
Lalu ia pergi sambil menyesali kata-katanya, sebab ia
tahu Christine tidak akan bisa menjadi istri seorang
Vicomte de Chagny.
Sementara itu, Christine berusaha untuk tidak memikir­
kan pemuda itu dan mendedikasikan diri penuh pada mu-

82
siknya. Ia menunjukkan kemajuan pesat dan mereka yang
mendengar nyanyiannya meramalkan ia akan rnenjadi pe­
nyanyi terhebat di dunia. Lalu, sang ayah meninggal; dan
tiba-tiba, sernua yang dirnilikinya seakan ikut rnati bersama
ayahnya: suaranya, jiwanya, kejeniusannya. Kernarnpuannya
yang tersisa hanya cukup untuk rnernbuatnya diterirna di
konservatori, dan ia sarna sekali tak menonjol selarna masa
belajarnya di sana. la mengikuti kelas-kelasnya tanpa sema­
ngat dan tampil dalarn pertunjukan hanya demi menye­
nangkan hati Mamma Valerius yang tetap memperbolehkan

Christine tinggal bersamanya.


Ketika pertama kali rnenyaksikan penarnpilan Christine
di Opera, Raoul terpesona oleh kecantikannya serta kenang­
an-kenangan rnanis yang berrnunculan karenanya, tetapi ia
agak kecewa dengan kemarnpuan vokal yang ditunjukkan­
nya. Ia kernbali untuk rnenyaksikan penarnpilannya lagi.
Ia mengikuti gadis itu di daerah sisi panggung dan me­
nunggunya di balik tangga. Ia mencoba menarik perha­
tiannya. Lebih dari sekali pemuda itu berjalan mengikuti
Christine hingga ke pintu ruang gantinya, tetapi gadis itu
tak melihatnya. Tetapi, bila diperhatikan, gadis itu seperti
berjalan tanpa melihat siapa pun. Christine seperti tak pe­
duli. Raoul begitu tersiksa sebab Christine sangat cantik
,

dan pernuda itu begitu rnalu-rnalu untuk rnengakui perasa­


annya, bahkan kepada dirinya sendiri. Kemudian segalanya
berubah pada penampilan jarnuan rnakan rnalarn itu: langit
terbelah dan terdengarlah suara rnalaikat bagi rnanusia di
bumi serta bagi hatinya yang tertawan saat itu juga.
Dan setelahnya... setelahnya terdengar suara laki-laki itu

83
dari balik pintu - "Kau harus mencintaiku!11 - dan tak se­
orang pun ada di ruangan itu...
Mengapa gadis itu tertawa ketika ia mengingatkan ten­
tang kejadian syal yang terbang ke laut? Mengapa gadis
itu tak mengenalinya? Dan mengapa ia menulis pesan ini
kepada Raoul?
Akhirnya mereka tiba di Perros. Raoul berjalan mema­
suki ruang tunggu Setting Sun yang penuh asap rokok dan
langsung mendapati Christine berdiri di hadapannya, terse­
nyum tanpa terlihat terkejut sedikit pun.
"Kau datang juga," katanya. 11Aku merasa bisa menemu­
kanmu di sini sekembaliku dari misa. Seseorang memberita­
huku di gereja tadi."
"Siapa?11 tanya Raoul sambil meraih tangan gadis itu ke
dalam genggamannya.
"Mendiang ayahku."
Hening mengisi, lalu Raoul bertanya, 11Apakah ayahmu
memberitahumu aku mencintaimu, Christine, dan bahwa
aku tak bisa hidup tanpamu?11
Christine tersipu malu dan mengalihkan pandangan.
Lalu, dengan suara bergetar ia berujar, "Aku? Kau bermim­
pi, sahabatku!11
Dan ia tiba-tiba terbahak untuk menetralkan raut wajah­
nya.
"Jangan tertawa, Christine. Aku cukup serius,11 jawab
Raoul.
Lalu gadis itu menjawab dengan muram, 11Aku tidak
memintamu datang untuk mengatakan hal semacam itu."
"Kau 'membuatku datang kemari', Christine. Kau tahu
suratmu tidak akan membuatku marah dan aku akan berge-

84
gas datang ke Perros. Bagaimana mungkin kau bisa meran­
cang semua itu bila kau tak berpikir aku mencintaimu?"
"Kupikir kau akan ingat permainan yang sering kita
lakukan di sini sewaktu kecil, yang juga sering diikuti oleh
ayahku. Aku benar-benar tak tahu apa yang kupikirkan....
Mungkin aku tak seharusnya rnenulis surat kepadamu... .
Peringatan kematian ini serta kemunculanmu di ruang
gantiku di Opera malam itu mengingatkanku pada masa
lalu dan membuatku menulis surat itu untukmu seperti
saat kanak-kanak dulu ...."
Raoul merasa ada sesuatu yang janggal dari perilaku
Christine. Meskipun berkata seperti itu, ia sama sekali tak
rnerasa Christine rnemusuhinya. Pancaran rasa sayang
yang gundah dari matanya berkata lain. Tetapi mengapa
gundah itu ada di sana? Pertanyaan itu begitu menggang­
gu Raoul.
"Waktu kau rnelihatku di ruang gantimu, apakah itu
pertama kalinya kau rnelihatku, Christine?"
Christine tak dapat berbohong.
"Tidak," katanya, "Aku sudah rnelihatrnu beberapa kali
di boks balkon rnilik kakakmu. Juga di atas panggung."
"Sudah kukira!" kata Raoul, mengatupkan bibirnya
rapat-rapat. "Tetapi ketika aku berlutut di hadapanmu dan
berkata aku pernah rnenyelamatkan syalmu dari laut,
mengapa kau menjawab seolah-olah tak mengenalku dan
rnengapa kau tertawa?"
Nada pertanyaan ini begitu kasar sampai Christine ha­
nya mampu terpaku menatap Raoul. Pemuda itu sendiri
kaget atas pertengkaran yang tiba-tiba dirnunculkannya
justru pada saat ia rnernutuskan untuk berbicara dengan

85
lembut dan penuh cinta kepada Christine. Ia tak berhak
berkata demikian, sebab nada itu milik seorang suami kepa­
da istri yang telah menyinggungnya. Tetapi, karena telan­
jur malu, Raoul memilih meneruskannya.
"Kau tak mau menjawab!" ujarnya marah. "Baik, aku
akan menjawabnya untukmu. Itu karena ada orang lain di
ruangan itu yang menghalangimu, Christine, dan kau tak
ingin orang itu tahu kau mungkin menyukai orang lain!"
"Bila ada orang yang menghalangiku, sahabatku," jawab
Christine dingin, "bila ada orang yang menghalangiku ma­

lam itu, kaulah orangnya, sebab aku menyuruhmu keluar


dari ruangan itu!"
"Ya, agar kau bisa berdua dengan orang lain itu!"
"Apa maksudmu, Monsieur?" tanya gadis itu penuh
emosi. "Dan orang lain mana yang kaumaksud?"
"Orang yang kepadanya kaukatakan, 'Aku hanya bemya­
nyi untukmu! ...malam ini aku memberikan jiwaku pada­
mu dan aku mati!"'
Christine menyambar lengan Raoul dan mencengkeram­
nya dengan kekuatan yang tak seharusnya dimiliki sosok
selemah itu.
"Jadi kau menguping di balik pintu?"
"Ya, karena aku mencintaimu... Dan aku mendengar se­
muanya."
"Apa yang kaudengar?"
Dan tiba-tiba gadis itu berubah tenang kembali, lalu
melepaskan cengkeramannya.
"Ia berkata kepadamu, 'Christine, kau harus mencintai­
ku!"'
Mendengar kalimat itu, Christine tiba-tiba menjadi sa-

86
ngat ketakutan. Wajahnya berubah pias dan keseimbangan­
nya goyah. Raoul bergegas maju dengan lengan terulur,
siap menangkapnya, tetapi Christine telah menguasai diri­
nya kembali dan dengan suara rendah ia berkata, "Terus­
kan! Teruskan! Beritahu aku segala yang kaudengar!"
Tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi, Raoul men­
jawab, "Setelah kau berkata telah menyerahkan jiwamu
kepadanya, aku mendengarnya menyahut, 'Jiwamu sesuatu
yang indah, Nak, dan aku berterima kasih kepadamu. Tak
ada seorang kaisar pun yang pernah menerima hadiah se­
indah itu. Para malaikat menitikkan air mata malam
ini.'"'
Christine mendekapkan tangannya di dada, seakan di­
kuasai emosi yang tak mampu diuraikan kata-kata, dan
pandangan matanya seperti menyiratkan ketidakwarasan.
Raoul ngeri melihat ini. Tetapi tiba-tiba tatapan mata
Christine melembut dan dua tetes besar air mata menuruni
kedua pipi cantiknya seperti dua butir mutiara.
' e.I"
"Chr'lStin
"Raoul!"
Pemuda itu berusaha memeluknya, tetapi gadis itu meng­
hindar dan buru-buru berlari pergi.
Sementara Christine mengunci diri di dalam kamarnya,
Raoul benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
la tidak mau makan pagi dan sungguh merasa tersiksa se­
orang diri melalui jam demi jam yang semestinya dilewait
dengan sangat manis bersama gadis Swedia itu. Mengapa
Christine tak mau berjalan-jalan bersamanya menyusuri
daerah yang menyimpan begitu banyak kenangan bagi me­
reka berdua? Kabarnya tadi pagi Christine merninta gereja

87
mengadakan misa untuk mendoakan ketenangan ayahnya
dan menghabiskan waktu sangat lama berdoa di dalam
gereja kecil itu dan di depan makam sang pemain biola.
Lalu, setelah tak ada lagi yang harus dilakukannya, meng­
apa gadis itu tak segera kembali ke Paris?
Dengan sedih Raoul membawa langkahnya ke arah la­
han pemakaman yang mengelilingi gereja dan perlahan
membaca tulisan tulisan yang tertera di batu-batu nisannya.
-

Ketika melewati sisi sebelah timur gereja, ia tiba-tiba terce­


kat. Matanya takjub memandang segerumbul mawar yang
menyembul di tengah hamparan salju. Mawar-mawar yang
mekar di subuh hari itu merah, kontras dengan putihnya
salju, dan seakan memberikan napas kehidupan di tengah­
tengah aura kematian dan kesendirian yang melingkupinya.
Namun, seperti mawar-mawar itu, tanah di sana juga me­
nyembulkan kematian dari dalam dirinya. Ratusan tulang
dan tengkorak tampak disusun di dinding gereja dan dita­
han oleh kawat yang mengikatnya. Tulang-tulang orang
mati itu dibariskan dengan rapi seperti membentuk barisan
bata yang menjadi pondasi bagi bangunan gereja itu. La­
yaknya gereja-gereja tua Breton pada umumnya, pintu
masuk menuju altar tampak terbentang di tengah-tengah
susunan tulang-belulang.
Raoul berdoa bagi Daae, lalu dengan perasaan terkesima
yang ganjil atas senyum abadi tengkorak-tengkorak itu, ia
berjalan mendaki jalanan menurun itu dan duduk di ping­
gir tanah lapang yang menghadap laut. Angin berembus
makin kencang seiring senja yang turun. Kegelapan yang
dingin menusuk menyelimutinya, tetapi Raoul sama sekali
tak merasa dingin. Ia ingat, di sinilah ia dan Christine kecil

88
dulu sering datang untuk melihat para korrigan menari di
bawah sinar bulan yang menyingsing. Penglihatannya yang
bagus tak pemah mendapati satu korrigan pun, sedangkan
Christine yang sedikit rabun dekat sering mengaku melihat
banyak korrigan menari. Ia tersenyum mengingat itu namun
tiba-tiba terlonjak kaget. Ada suara terdengar di belakang­
nya, "Menurutmu, apakah para korrigan akan muncul ma­
lam ini?"
Christine. Pemuda itu mencoba berkata sesuatu, tetapi
Christine menangkupkan tangannya yang terbungkus sa­
rung tangan ke mulut Raoul, mencegahnya bicara.
"Dengar, Raoul. Aku telah memutuskan untuk membe­
ritahumu sesuatu yang sangat serius.... Apa kau ingat le­
genda Malaikat Musik?"
"Tentu saja," jawabnya. "Kurasa di sinilah ayahmu per­
tama kali menceritakannya kepada kita."
"Dan di sinilah ia berkata, 'Saat aku di surga, anakku,
aku akan mengirimnya kepadamu.' Raoul, ayahku di surga
sekarang, dan aku telah dilawat oleh sang Malaikat Mu-
sik ."
"Aku tak meragukannya sama sekali," sahut pemuda itu
dengan sedih, sebab tampak baginya temannya yang baik
ini telah mengaitkan kenangan atas ayahnya dengan pe­
nampilan gemilangnya di malam jamuan makan waktu
itu.
Christine terlihat terkejut dengan ketenangan yang ditun­
jukkan Vicomte de Chagny ini. "Bagaimana kau dapat
memahaminya?" tanyanya sambil memajukan wajah pucat­
nya sedemikian dekat ke arah Raoul hingga ia nyaris me­
nyangka gadis itu akan menc1umnya. Tetapi Christine

89
hanya ingin berusaha melihat mata pemuda itu dalam
kegelapan.
"Aku paham," jawab Raoul, "bahwa tak ada seorang
manusia pun yang dapat bernyanyi seperti yang kaulaku­
kan malam itu tanpa campur tangan mukjizat. Tak ada
satu profesor pun di muka bumi ini yang dapat mengajari­
mu melagukan nada-nada itu sedemikian rupa. Kau telah
mendengar sang Malaikat Musik, Christine."
"Ya," sahutnya tenang, "di ruang gantiku. Di sanalah ia
datang untuk mengajariku setiap hari."
"Di ruang gantimu?" Raoul mengulang pernyataan itu
seperti orang bodoh.
"Ya, di sanalah aku mendengarnya; dan aku bukan satu-
satunya orang yang mendengarnya."
"Siapa lagi yang mendengarnya, Christine?"
"Kau, temanku."
"Aku? Aku mendengar sang Malaikat Musik?"
"Ya, malam itu, dialah yang berbicara denganku ketika
kau mendengarkan di balik pintu. Dialah yang berkata,
'Kau harus mencintaiku.' Tetapi waktu itu kupikir hanya
aku yang bisa mendengarnya. Betapa kagetnya aku ketika
pagi ini kau bilang kau juga bisa mendengarnya."
Raoul tak dapat menahan tawanya. Cahaya bulan yang
baru muncul menyelimuti sepasang anak muda itu.
Christine menoleh kepada Raoul dengan air muka tak ra­
mah. Mata yang biasanya lembut itu kini berapi-api.
"Apa yang kauketawakan? Kau berpikir kau mendengar
suara seorang laki-laki, bukan?"
"Well.. !"
. jawab pemuda itu, menjadi ragu-ragu setelah
menyaksikan sikap berkeras Christine.

90
"Kau, Raoul, yang berkata seperti itu? Kau, teman seper­
mainanku sendiri waktu kecil! Teman ayahku! Tetapi kau
sudah berubah sejak saat itu. Apa yang ada dalam pi­
kiranmu? Aku gadis yang jujur, M. le Vicomte de Chagny,
dan aku tak mengunci diriku dalam ruang ganti dengan
suara-suara laki-laki. Bila kau membuka pintunya, kau
akan melihat bahwa tidak ada seorang pun di dalam ruang­
an itu!"
"Benar! Aku memang membuka pintu itu ketika kau su­
dah pergi, dan aku tak menemukan seorang pun di
sana."
"Lihat sendiri, kan! Jadi?"
Viscount itu mengumpulkan segenap keberaniannya.
"Well, Christine, kurasa seseorang mempermainkan-
mu."
Gadis itu berteriak dan berlari pergi. Raoul mengejarnya,
tetapi dengan nada penuh amarah ia berkata, "Tinggalkan
aku! Tinggalkan aku!" Lalu ia menghilang dari pandang­
an.
Raoul kembali ke penginapan dengan perasaan benar­
benar lelah, patah semangat, dan sedih. Ia diberitahu bah­
wa Christine telah masuk ke kamarnya dan mengatakan
tidak akan turun untuk makan malam. Raoul bersantap
sendirian dengan muram. Lalu a
i masuk ke kamarnya dan
mencoba membaca. Setelahnya ia naik ke ranjang dan men­
coba tidur. Tak terdengar suara sedikit pun dari kamar
sebelah.
Waktu berlalu dengan lambat. Dan sekitar setengah dua
belas malam Raoul mendengar dengan jelas suara langkah
hati-hati seseorang di ruang sebelah kamarnya. Kalau be-

91
gitu Christine sama sekali tidak tidur! Tanpa berpikir pan­
jang, Raoul langsung berganti pakaian dan menunggu da­
lam diam. Menunggu apa? Mana dia tahu? Tetapi
jantungnya berdegup kencang ketika didengarnya engsel
pintu kamar Christine berderit pelan. Ke manakah ia akan
pergi selarut ini ketika semua orang di Perros telah lelap
tertidur? Pelan a
i membuka pintu, dan tampaklah Christine
dalam balutan baju putih berjalan pelan di koridor yang
diterangi cahaya bulan. Gadis itu bergerak menuruni tang­
ga dan Raoul, dengan menumpukan tubuhnya di pagar
lantai atas, melongok ke bawah. Tiba-tiba ia mendengar
dua suara berbicara dengan cepat. Satu kalimat dapat di­
tangkapnya, "Jangan sampai kuncinya hilang."
Itu suara perempuan pemilik penginapan. Pintu yang ke

arah laut dibuka lalu dikunci kembali. Lalu semuanya se­


nyap.
Raoul berlari kembali ke kamarnya dan membentangkan
daun jendelanya lebar-lebar. Sosok putih Christine terlihat
berdiri di dermaga yang lengang.
Lantai atas penginapan Setting Sun tidak terlalu tinggi
dari tanah, dan pohon yang tumbuh di dekat temboknya
memiliki dahan-dahan yang menjulur ke arah jendela.
Tangan-tangan Raoul yang sudah tidak sabar meraihnya
dan berhasil memanjat turun tanpa sepengetahuan pemilik
penginapan. Karena itulah si pemilik penginapan begitu
terkejut ketika keesokan paginya pemuda itu dibawa kem­
bali ke penginapan dalam keadaan nyaris tewas karena
beku kedinginan, apalagi mengetahui bahwa ia ditemukan
terbujur di tangga altar gereja kecil itu. Pemilik penginapan
itu langsung berlari rnernberitahu Christine yang segera

92
turun. Dengan bantuan perempuan itu, Christine berusaha
keras membuatnya siuman. Tak lama, Raoul membuka ma­
tanya dan segera pulih ketika mendapati paras menawan
sahabatnya.

Beberapa minggu setelahnya, ketika tragedi yang tetjadi di


Opera mengharuskan adanya campur tangan aparat pene­
gak hukum, Mifroid, sang komisaris polisi, memeriksa
Vicomte de Chagny berkaitan dengan kejadian malam itu
di Perros. Aku mengutip tanya-jawab yang tercantum di
laporan resmi pada halaman 150 dan seterusnya:

T. Apakah Nona Daae tidak melihat Anda memanjat turun dari


jendela kamar Anda?
R. Tidak, Tuan, tidak, meskipun saya sama sekali tidak
berusaha menyembunyikan suara langkah kaki saya keti-ka
mengikutinya. Malah saya ingin a
i menoleh dan melihat saya.
Saya sadar saya tak memiliki alasan untuk membuntutinya dan
tindakan memata-matainya ini sungguh tidak pantas. Ia dengan
tenang meninggalkan dermaga dan tiba-tiba betjalan cepat
mendaki jalanan yang ada. Jam gereja berdentang, menandakan
Hrna belas me-nit sebelum tengah malam, dan saya pikir itulah
yang membuatnya terburu-buru, sebab kemudian ia mulai
berlari dan tak berhenti sebelum mencapai gereja.
T. Apakah gerbangnya terbuka?
R. Ya, Tuan, dan saya kaget melihat itu, tetapi sepertinya Nona
Daae tidak terkejut sama sekali.
T. Apa tidak ada orang di halaman gereja?
R. Saya tak melihat siapa pun; bila memang ada seseorang di

93
sana, saya pasti telah melihatnya. Cahaya bulan memantul di

hamparan salju sehingga malam itu cukup terang.

T. Apakah mungkin ada yang bersembunyi di balik nisan­

nisan?
R. Tidak, Tuan. Nisan-nisan malang itu cukup kecil dan seba­

gian terkubur salju. Hanya ujung salib-salibnya yang menyem­

bul di permukaan tanah. Bayang-bayang yang ada hanyalah

milik salib-salib itu serta kami berdua. Gereja itu terlihat cukup

jelas. Saya tak pernah melihat malam secerah itu. Malam yang

sangat indah, sangat dingin, dan kita dapat melihat segalanya.

T. Apakah Anda orang yang percaya takhayul?

R. Tidak, Tuan, saya penganut Katolik yang taat beribadah.

T. Seperti apa kondisi pikiran Anda saat itu?


R. Jangan khawatir, saya dalam keadaan pikiran yang sangat

sehat dan tenang. Awalnya tindakan mencurigakan Nona Daae

yang pergi keluar pada malam selarut itu membuat saya

khawatir; tetapi begitu saya melihat a


i menuju halaman gereja,

saya pikir ia bermaksud me-menuhi suatu kewajiban religius di


makam ayahnya, dan hal ini membuat saya tenang kembali.

Saya hanya heran a


i tak mendengar saya berjalan mengikutinya,

karena suara langkah kaki saya cukup terdengar di atas lapisan

salju yang keras. Tetapi ia pasti terlalu terpaku pada niatnya

dan saya bertekad tidak mengganggunya. Ia berlutut di depan

makam ayahnya, membuat tanda salib dan mulai berdoa. Pada

saat itu jam gereja berdentang tepat tengah malam. Dan pada

dentangnya yang terakhir, saya melihat Nona Daae mendongak

ke langit dan merentangkan tangannya seakan berada dalam

kegembiraan terarnat sangat. Saya bertanya-tanya apa sebabnya,

tetapi ketika saya sendiri mendongak, segenap diri saya seakan

tertarik ke arah sesuatu yang tak terlihat, yang sedang memainkan

94
musik yang begitu sempurna! Christine dan saya mengenali musik
itu; kami mendengarnya ketika kanak-kanak. Tetapi tidak

pernah ia dimainkan dengan begitu indah, bahkan oleh ayah

Daae sekalipun. Saya ingat Christine pernah memberitahu saya

tentang Malaikat Musik. Musik yang memenuhi udara malam

itu The Resurrection of Lazarus, lagu yang dulu sering dimainkan


mendiang M. Daae di saat-saat sedih atau butuh pengharapan.

Bila Malaikat Musik Christine memang ada, maka a


i tak mung­

kin dapat bermain lebih bagus daripada yang terjadi malam itu

dengan menggunakan biola mendiang ayahnya. Sewaktu musik

itu berhenti, saya sepertinya mendengar suara dari tengkorak­

tengkorak di tumpukan belulang itu, seakan-akan mereka terke­

keh. Saya bergidik dibuatnya.

T. Tidakkah Anda berpikir si pemain musik itu mungkin

bersembunyi di balik tumpukan tulang-tulang itu?

R. Itu pikiran yang terlintas di benak saya, Tuan. Kemungkinan


itu begitu kuat sehingga saya memutuskan untuk tak mengikuti

Nona Daae ketika ia berdiri dan berjalan pelan menuju gerbang.

Waktu itu a
i tampak begitu terhanyut sehingga saya tidak

heran bila ia tidak melihat saya.

T. Lalu apa yang terjadi sampai Anda ditemukan pagi harinya,


terbujur nyaris mati di tangga altar?

R. Pertama, satu tengkorak menggelinding ke kaki saya... lalu

datang satu lagi... dan satu lagi... Saya seakan sasaran di per­

mainan bola boling yang mengerikan. Dan saya berpikir bahwa

pijakan yang salah mungkin telah meng-hancurkan keseim­

bangan susunan tulang yang dijadikan tempat persembunyian

musisi kita itu. Dugaan ini seakan diperkuat dengan sesosok

bayangan yang saya lihat tiba-tiba berjalan menyusuri dinding

di dekat pintu. Saya lari mengejarnya. Bayangan itu telah men-

95
dorong pintu dan masuk ke gereja. Tetapi saya lebih cepat dari

bayangan itu dan berhasil memegang ujung jubahnya. Tepat

saat itu kami berada di depan altar; dan sinar bulan jatuh tepat

mengenai kami melalui jendela-jendela kaca patri di dinding

sebelah timur. Karena saya tak juga melepaskan pegangan pada

jubahnya, bayangan itu menoleh; dan saya menatap kepala

tengkorak yang begitu mengerikan, yang menatap saya dengan

sepasang mata yang berkobar menyala. Saya merasa seperti

berhadapan dengan lblis. Lalu, di hadapan penampakan gaib

ini, saya merasa begitu ngeri, keberanian saya lenyap... dan

saya tak ingat apa-apa lagi sampai saya kembali siuman di

Setting Sun."

96
Bab6
Kunjungan ke Boks Balkon Nomor Lima

KITA terakhir membahas mengenai Firmin Richard dan


Armand Moncharmin ketika mereka memutuskan "mena­
ngani sendiri masalah Boks Balkon nomor Lima."
Mereka menuruni anak tangga besar yang menghubung­
kan lobi di luar kantor-kantor para manajer itu dengan
panggung dan bagian-bagian yang berkaitan dengannya,
lalu melewati panggung dan keluar melalui pintu para
langganan tetap, kemudian me.masuki gedung pertunjukan
itu lewat jalan kecil pertama di sebelah kiri. Setelah itu
mereka terus berjalan hingga ke barisan tempat duduk de­
pan dan memandang ke arah Boks Balkon nomor Lima di
lantai utama. Mereka tak dapat melihatnya dengan jelas,
sebagian karena gelap dan sebagian lagi karena terhalang
kain-kain besar yang digunakan menutupi pinggiran tiap­
tiap boks balkon yang terbungkus kain beludru merah.
Mungkin saat itu mereka satu-satunya orang di gedung
pertunjukan yang begitu besar dan suram itu, ditemani
kesunyian yang melingkupi. Jam-jam itu biasa digunakan

97
oleh sebagian besar pekerja teater untuk istirahat minum..
Tampak tata panggung yang baru selesai separuh diting­
galkan begitu saja. Beberapa berkas sinar lemah yang se­
akan nyaris hilang tampak menerobos celah-celah yang ada
dan jatuh pada bangunan berbentuk menara tua lengkap
dengan temboknya yang dipasang di atas panggung. Di
bawah pencahayaan temaram ini, segalanya mewujud se­
suatu yang indah. Kain karpet yang ditutupkan pada
kursi-kursi di bagian orkestra seakan menjelma laut yang
bergelora, yang gulungan ombaknya tiba-tiba mematung
atas perintah Adamastor, si hantu badai. Moncharmin dan
Richard seperti dua pelaut yang terkatung-katung di te­
ngah kacaunya lautan kursi-kursi kain belacu ini. Mereka
bergerak menuju boks-boks balkon di sebelah kiri seperti
pelaut yang meninggalkan kapal mereka dan berjuang men­
capai tepi pantai. Kedelapan pilar raksasa yang muJus itu
berdiri menjulang dalam temaram senja seperti suatu kesa­
tuan yang menopang tebing-tebing besar menakutkan yang
mungkin runtuh, yang dibentuk oleh garis-garis lengkung,
paralel, dan gelombang tempat duduk di bagian balkon
serta boks-boks balkon di lantai utama, pertama, dan ke­
dua. Di bagian paling atas, tepat di puncak tebing, tersem­
bunyi di langit-langit tembaga karya Lenepveu, terdapat
sosok-sosok yang meringis dan menyeringai, tertawa dan
mencemooh penderitaan Richard dan Moncharmin. Pada­
hal mereka biasanya sosok yang serius. Mereka adalah Isis,
Amphitrite, Hebe, Pandora, Psyche, Thetis, Pomona,
Daphne, Clytie, Galatea dan Arethusa. Ya, Arethusa dan
Pandora, yang kita kenal dengan kotak yang dimilikinya,
memandang ke bawah, ke kedua manajer Opera yang kini

98
berhenti lalu berpegangan pada puing-puing di lautan itu,
dan menatap Boks Balkon nomor Lima di lantai utama
tanpa bicara.
Aku sudah mengatakan bahwa mereka berdua merasa
resah. Setidaknya begitulah anggapanku. Meski begitu,
Moncharmin mengakui bahwa ia merasa terkesan. lnilah
kutipan kata-katanya dari Memoar-nya:

"Tak diragukan lagi, permainan omong kosong hantu Opera

yang dengan baik hati sudah kami ikuti sejak awal kami meng­

ganikan
t posisi Poligny dan Debienne ini-kadang-kadang gaya

cerita Moncharmin memang berpihak-telah memengaruhi daya

khayal serta penglihatanku. Mungkin kondisi sekeliling kami

yang luar biasa serta kesenyapan yang ada telah berhasil memu­

kau kami secara tak lazim. Mungkin kami menjadi korban se­

macam halusinasi yang ditimbulkan oleh keremangan teater

serta kegelapan yang menaungi sebagian Boks Balkon nomor

Lima. Apa pun itu, aku dan Richard melihat sosok di dalam

boks balkon tersebut. Richard maupun aku tak berkata apa-apa.

Tetapi kami spontan berpegangan tangan. Kami berdiri terpaku

seperti itu selama beberapa menit, dengan pandangan tertancap

di titik yang sama; tetapi sosok itu telah menghilang. Lalu kami
keluar, dan di Jobi kami saling menceritakan kesan yang kami

tangkap serta membicarakan soal 'sosok' itu. Celakanya, sosok

yang kulihat sama sekali tidak seperti yang dilihat Richard.

Yang kulihat adalah semacam tengkorak kepala terletak di

pinggiran boks balkon itu, sementara Richard melihat sosok

perempuan tua seperti Mame Giry. Kami segera menyadari

bahwa kami telah menjadi korban ilusi, dan setelah itu, tanpa

menunda lebih lama lagi dan sa.mbil tertawa layaknya orang

99
gila, kami berlari ke Boks Balkon nomor Lima di lantai utama,

masuk ke dalamnya dan tak menemukan sosok apa pun di


"
sana.

Boks Balkon nornor Lima itu sarna seperti boks-boks bal­


kon lain yang ada di lantai utarna. Tak ada bedanya sarna
sekali. Sarnbil berpura-pura senang dan saling menertawa­
kan, Moncharrnin dan Richard rnernindahkan perabot di
dalam boks balkon itu, menyingkap kain-kain dan rneng­
angkat kursi-kursinya, serta secara khusus memeriksa kursi
berlengan ternpat "suara laki-laki itu" biasa duduk. Tetapi
rnereka hanya mendapati kursi berlengan yang bagus dan
tanpa trik apa pun. Secara keseluruhan, boks balkon itu
tak lain boks balkon yang paling biasa di muka bumi ini,
lengkap dengan tirai merah, kursi-kursi, karpet, serta ping­
giran yang dibungkus beludru merah. Setelah memeriksa
karpet itu seteliti mungkin dan tak mendapati apa pun di
rnana pun, rnereka turun ke boks balkon yang persis di
bawahnya, di lantai dasar. Mereka juga tak rnenjumpai apa
pun di dalarn Boks Balkon nornor Lima di lantai dasar
yang terletak persis di jalan keluar pertarna, di sisi kiri ba­
risan kursi penonton terdepan.
"Orang-orang itu memperrnainkan kita!" Firmin Richard
menyimpulkan. "Faust akan dimainkan Sabtu nani:
t rnari
kita rnenonton pertunjukan itu dari Boks Balkon nornor
Lima di lantai utama!"

100
Bab7
Faust dan yang Terjadi Setelahnya

SABTU pagi, sesampai di kantor, kedua manajer itu menda­


pati sepucuk surat dari si H.O. yang berisi sebagai ber­
ikut:

PARA MANA)ERKU YANG BAIK,

Jadi Anda menginginkan perang?


Bila Anda masih ingin berdamai, ini peringatan terakhir saya.
Ada empat syarat yang harus dipenuhi:
1. Anda harus mengembalikan boks balkon pribadi saya; dan
saya harap boks balkon itu hanya diperuntukkan bagi saya
mulai sekarang.
2. Bagian Margarita malam ini harus dinyanyikan oleh
Christine Daae. Jangan pedulikan Carlotta; dia akan sakit.
3. Saya menuntut mendapatkan pelayanan yang baik dan
setia dari Mme. Giry, penjaga boks balkon saya, yang akan
Anda pekerjakan kembali mulai saat ini.
4. Melalui surat yang akan disampaikan Mme. Giry ke-pada
saya, tuliskan bahwa Anda menerima syarat-syarat di dalam

101
buku perjanjian saya terkait uang bulanan saya. Nanti saya
akan memberitahu Anda cara pembayarannya.
Bila Anda menolak, kutukan akan menimpa pementasan Faust malam
ini.
Carnkan peringatan saya dan bertindaklah bijaksana.
H. O.

11A.ku mulai muak dengan orang ini! Benar-benar muak!"

teriak Richard sambil menggebrak meja dengan tinjunya.


Tepat pada saat itu, Mercier, si manajer akting, masuk.
"Lachenel ingin bertemu salah satu dari Anda," katanya.
"Ia bilang ini urusan mendesak dan ia terlihat cukup gu­
sar."
"Siapa Lachenel?" tanya Richard.
"Ia pelatih kepala Anda."
11Apa maksudmu? Pelatih kepalaku?"
"Ya, Tuan," jelas Mercier, "ada beberapa orang pelatih
di Opera dan Lachenel adalah kepalanya."
"Dan apa yang dilakukan pelatih ini?"
"Ia manajer utama kandang kuda."
"Kandang kuda apa?"
"Kandang kuda Anda, tentu saja, Tuan. Kandang kuda
Opera."
"Ada kandang kuda di Opera? Aku benar-benar tidak
tahu. Di mana letaknya?"
"Di ruang bawah tanah sisi gedung Rotunda. Kandang
itu bagian yang penting; kita punya dua belas kuda."

"Dua belas! Demi Tuhan, untuk apa?"


"Kita tentunya menginginkan kuda-kuda terlatih untuk
prosesi di pementasan Juive, Profeta, dan sebagainya; kuda-

102
kuda yang 'terbiasa dengan panggung.' Para pelatih itu
harus mengajari rnereka. Lachenel sangat pandai untuk
urusan ini. la dulu rnenangani kandang kuda Franconi."
"Baiklah... tapi apa yang dia inginkan?"
"Saya tidak tahu. Saya tidak pernah rnelihatnya dalam
kondisi ini."
"Suruh dia masuk."
Lachenel rnasuk sambil rnembawa cemeti kuda yang
dipukul-pukulkannya ke sepatu bot kanannya dengan ti­
dak sabar.
"Selamat pagi, Lachenel," kata Richard yang cukup terke­
san rnelihatnya. "Ada apa hingga kau sudi datang kerna-
.,,,
n.

"Mr. Manajer, saya datang untuk meminta Anda me­

nyingkirkan seluruh isi kandang kuda."


"Kau mau mengenyahkan semua kuda kita?"
"Saya tidak bicara soal kuda, tetapi para penjaga kan­
dang itu."
"Ada berapa penjaga kandang yang kau punya,
Lachenel?"
"Enam."
"Enam penjaga kandang! Kau setidaknya kelebihan dua
orang."
"Ada beberapa 'posisi'," potong Mercier, "yang dibuat
dan d.ipaksakan keberadaannya oleh atase bidang kesenian.
Posisi-posisi itu dipenuhi oleh para pelajar dari pernerintah
dan, bila boleh saya bilang..."
"Persetan dengan pemerintah!" teriak Richard marah.
"Kita tidak butuh lebih dari empat penjaga kandang untuk
dua belas kuda."

103
"Sebelas," ralat si pelatih kepala.
"Dua belas," ulang Richard.
"Sebelas," ralat Lachenel lagi.
"Manajer akting memberitahuku kau punya dua belas
kuda!"
"Sebelum ini saya memang punya dua belas, tetapi saya
hanya punya sebelas sejak Cesar dicuri."
Dan Lachenel memukulkan cemetinya keras-keras ke se­
patu botnya.
"Cesar dicuri?" teriak si manajer akting. "Cesar, kuda
putih di pementasan Profeta?"
"Hanya ada satu Cesar," tukas si kepala pelatih, ketus.
"Saya bekerja sepuluh tahun di Franconi dan saya sudah
melihat banyak sekali kuda. Hanya ada satu Cesar. Dan
dia dicuri."
"Bagaimana bisa?"
"Saya tidak tahu. Tak ada yang tahu. Itulah mengapa
saya datang kemari dan meminta Anda memecat semua
penjaga kandang."
"Apa kata para penjaga itu?"
"Segala macam omong kosong. Sebagian menuduh para
pemain figuran. Yang lainnya pura-pura itu perbuatan pen­
jaga pintu manajer akting..."
"Penjaga pintu saya? Saya berani bersumpah dia tak
melakukannya!" protes Mercier.
"Apa pun kata mereka, Lachenel," teriak Richard, "kau
tentunya punya pendapat sendiri."
"Ya," tukas Lachenel. "Saya punya pendapat sendiri dan
saya akan memberitahu Anda. Tak diragukan lagi." Ia ber-

104
jalan mendekati kedua manajer itu, lalu berbisik, "Si hantu
yang melakukannya!"
Richard terkejut setengah mati.
"Apa? Kau juga!"
"Apa maksud Anda saya juga? Tidakkah itu kesimpulan
yang wajar setelah apa yang saya lihat?"
"Apa yang kaulihat?"
"Saya melihat, sejelas saya melihat Anda sekarang, ba­
yangan hitam menunggangi seekor kuda putih yang sama
persis dengan Cesar!"
"Lalu apakah kau mengejar mereka?"
"Saya mengejar dan meneriaki mereka, tetapi mereka
terlalu cepat dan menghilang di dalam kegelapan lorong
ruang bawah tanah."
Richard bangkit dari duduknya. "Baiklah, Lachenel. Kau
boleh pergi.... Kami akan melayangkan protes kepada si
hantu."
"Dan memecat para penjaga kandang saya?"
"Oh, tentu! Selamat pagi."
Lachenel membungkuk hormat, lalu pergi. Richard ma­
rah sekali.
"Tolong segera hitung pesangon idiot itu."
"la teman orang pemerintah!" Mercier memberanikan
diri berbicara.
"Dan ia biasa minum anggur di Tortoni's bersama
Lagrene, Scholl dan Pertuiset si pemburu singa," tambah
Moncharmin. "Kita akan berhadapan dengan seluruh me­
dia! la akan menceritakan kisah si hantu dan semua orang
akan menertawakan kita! Lebih baik kita mati saja daripa­
da jadi bulan-bulanan seperti itu!"

105
"Baiklah, tidak usah kita bahas lagi."
Pada saat itu pintu ruangan terbuka. Penjaga di luar pas­
ti sedang pergi sehingga Mame Giry bisa masuk tanpa izin.
Sambil memegang surat di tangannya, ia buru-buru berkata,
"Maafkan saya, Tuan-Tuan, tetapi pagi ini saya menerima
surat dari si hantu Opera. la menyuruh saya untuk menda­
tangi Anda karena Anda punya sesuatu untuk..."
Mame Giry tidak menyelesaikan kalimatnya. la melihat
raut muka Firmin Richard dan yang dilihatnya benar-benar
tak menyenangkan. Laki-laki itu seakan siap meledak. Teta­
pi Richard diam saja, tak mampu berkata apa-apa. Namun
tiba-tiba ia bertindak. Pertama, lengan kirinya merangkul
tubuh tua Mame Giry dan tanpa basa-basi memutarnya
setengah lingkaran sampai perempuan itu memekik. Kemu­
dian, sol sepatu kanan Richard mendarat di bagian bela­
kang rok tafeta hitam yang tentunya tidak pernah merasa­
kan perlakuan sedemikian rupa. Semuanya terjadi begitu
cepat sehingga ketika telah berada di lorong pun, Mame
Giry masih bingung dan seakan tak menyadari apa yang
telah terjadi. Tetapi, iba-tiba
t ia sadar dan seluruh gedung
Opera bergema oleh teriakan-teriakan marah, protes, serta
ancaman kerasnya.
Kurang-lebih pada saat yang sama, Carlotta, yang merni­
liki rumah kecil di Rue du Faubourg St.-Honore, memang­
gil pelayannya untuk membawakan surat-suratnya ke
tempat tidur. Di antara surat-surat yang datang, ada satu
dengan tulisan tangan tak rapi menggunakan tinta merah
yang berbunyi:

Kalau kau tampil malam ini, kau harus siap menerima

106
kernalangan besar saat kau rnembuka mulut untuk bemyanyi...
kernalangan yang lebih buruk daripada kernatian.

Surat itu membuat Carlotta kehllangan nafsu makan


paginya. la meminggirkan cokelatnya, duduk tegak di tem­
pat tidur, dan berpikir keras. Surat semacarn itu bukan
pertama kali diterimanya, tetapi tak ada yang semengan­
cam ini.
Waktu itu ia pikir dirinya korban dari begitu banyak
tindakan iri hati dan berkoar-koar bahwa ia memiliki mu­
suh rahasia yang bersurnpah untuk menghancurkannya. Ia
bersikap seolah-olah suatu rencana jahat sedang dipersiap­
kan untuknya oleh suatu komplotan rahasia yang akan
rnenarnpakkan dirinya suatu hari nanti, tetapi ia menam­
bahkan bahwa ia bukan perernpuan yang bisa ditakut­
takuti.
Sebenamya, bila mernang ada komplotan rahasia, maka
kelompok itu dipimpin oleh Carlotta sendiri atas Christine
yang rnalang, yang sarna sekali tidak curiga terhadapnya.
Carlotta tidak pemah memaafkan Christine atas penampil­
an memukaunya yang terjadi ketika tiba-tiba diminta meng­
gantikan Carlotta. Waktu Carlotta mendengar sambutan
luar biasa diberikan atas penampilan si pengganti, ia seke­
tika sembuh dari serangan gejala bronkitis dan sikap mera­
juknya terhadap pihak manajemen serta tak lagi berrninat
melalaikan tugasnya barang sedikit pun. Sejak saat itu
Carlotta berusaha sekuat tenaga untuk "menekan" saingan­
nya dengan menggunakan jasa teman-teman berpengaruh­
nya untuk meyakinkan para manajer agar tidak memberi
kesempatan lagi bagi Christine untuk tampil dengan gemi-

107
lang. Koran-koran tertentu yang telah mulai mengelu-elu­
kan bakat Christine sekarang hanya sibuk menulis tentang
ketenaran Carlotta. Belakangan, di lingkungan teater itu
sendiri, diva yang terkenal namun kejam ini sering mem­
buat pernyataan-pernyataan penuh skandal tentang
Christine dan mencoba menyengsarakannya melalui sekian
banyak hal kecil.
Setelah selesai memikirkan ancaman di dalam surat aneh
itu, Carlotta bangun dari tempat tidumya.

"Kita akan lihat," katanya, kemudian dengan tegas me­


nambahkan beberapa sumpah serapah dalam bahasa ibu­
nya, bahasa Spanyol.
Hal pertama yang dilihatnya ketika memandang ke luar
jendela adalah mobil jenazah. Carlotta sangat percaya
takhayul, sehingga mobil jenazah itu seakan-akan menguat­
kan isi surat itu bahwa ia akan menemui marabahaya ma­
lam ini. Maka ia mengumpulkan semua pendukungnya
dan memberitahu mereka bahwa dirinya terancam menjadi
korban rencana rahasia yang dipimpin Christine Daae pada
pertunjukan malam ini. la mengumumkan bahwa mereka
harus mengakalinya dengan memenuhi gedung malam ini.
Ia memiliki penggemar dalam jumlah besar, bukan? Ia ber­
gantung pada kesiapan mereka untuk membereskan musuh
ini bila apa yang dikhawatirkannya memang terjadi.
Sekretaris pribadi Richard datang untuk menanyakan
kondisi kesehatan sang diva dan mendapat jawaban bahwa
ia sedang dalam kondisi prima dan, "seandainya pun ia
sekarat", ia akan tetap menyanyikan bagian Margarita ma­
lam ini. Mewakili atasannya, sekretaris itu meminta dengan
sangat supaya Carlotta tidak berbuat yang aneh-aneh serta

108
supaya tinggal di rumah seharian dan menghindari udara
dingin Setelah sekretaris itu pergi, Carlotta tidak bisa tidak
mengaitkan saran-sarannya yang tiba-tiba dan tak biasanya
itu dengan ancaman di dalam surat tadi.

Pukul lima sore, datang surat kaleng kedua dengan tulis­


an tangan yang sama persis dengan yang pertama. Surat
ini pendek dan hanya berkata:

Kau menderita flu parah. Kalau kau bijak, kau tak akan

mencoba tampil bemyanyi malam ini.

Carlotta tersenyum mengejek, mengangkat kedua bahu


dan menyanyikan dua atau tiga nada untuk meyakinkan
diri.
Teman-teman Carlotta menepati janji mereka. Mereka
semua datang ke Opera malam itu, tetapi mereka tak da­
pat menemukan anggota komplotan jahat yang harus me­
reka bungkam. Satu-satunya hal tak biasa yang terlihat
adalah kehadiran Richard dan Moncharmin di Boks Balkon
nomor Lima. Teman-teman Carlotta berpikir bahwa, mung­
kin, para manajer itu mendengar kabar mengenai plot jahat
itu dan memutuskan berada di sana untuk langsung bertin­
dak dan menghentikannya; tetapi kalian, para pembaca,
tentu tahu betapa salahnya anggapan itu. Richard dan
Moncharmin tidak memikirkan apa-apa selain hantu mere­
ka.

"Sia-sia! Tiada yang menjawab, saat dalam doaku aku


memanggilmu,

109
Alam semesta dan Penciptanya!
Tiada jawab satu pun memecah sunyi yang begitu jemu!
Tiada tanda! Tak satu kata pun juga!"

Carolus Fonta, penyanyi bariton terkenal itu, bahkan be­


lum menyelesaikan permohonan pertama Dokter Faust
kepada kekuatan jahat ketika Firmin Richard yang duduk
di kursi yang biasa diduduki si hantu, yaitu kursi depan
sebelah kanan, mencondongkan tubuh ke arah rekannya
dan bertanya menyindir, "Well, apa si hantu sudah mem­
bisikkan satu kata ke telingarnu?"
"Tunggulah, jangan terburu-buru," jawab Armand
Moncharrnin dengan nada sama tak seriusnya. "Pertunjuk­
an baru saja mulai dan kau tahu hantu itu biasanya belum
datang hingga pertengahan babak pertama."
Babak pertama berlalu tanpa insiden apa-apa, suatu hal
yang tak mengherankan bagi teman-teman Carlotta, sebab
Margarita tidak bernyanyi di babak ini. Sedangkan para ma­
najer itu saling pandang ketika tirai panggung diturun­
kan.
"Itu babak kesatu!" kata Moncharmin.
"Ya, si hantu itu terlarnbat rupanya," kata Firmin
Richard.
"Yang datang boleh juga," ujar Moncharmin, "untuk
ukuran 'pementasan yang dikutuk."'
Richard tersenyum dan menunjuk ke arah seorang pe­
rempuan gemuk berpakaian hitam dengan tingkah laku
agak kasar yang duduk di tengah-tengah auditorium itu,
diapit oleh dua orang laki-laki bermantel panjang.
"Siapa sih orang-orang 'itu?'" tanya Moncharrnin.

110
"Orang-orang 'itu,' temanku yang baik, adalah pelayan
rumahku, suaminya, dan saudara laki-lakinya."
"Apa kau memberi mereka tiket?"
"Ya... Pelayanku belum pemah datang ke Opera -ini
pertama kali baginya - dan, berhubung ia akan datang tiap
malam mulai sekarang, aku ingin ia menempati kursi yang
bagus sebelum ia menghabiskan waktunya mengantarkan
para penonton ke kursi mereka."
Moncharmin menanyakan maksud kata-kata itu dan
Richard menjawab bahwa ia telah merayu pelayan yang
dipercayanya itu untuk datang dan menggantikan posisi
Mame Giry. Benar, ia ingin melihat apakah dengan digan­
tikannya nyonya tua gila itu dengan si pelayan, Boks
Balkon nomor Lima akan tetap memiliki pengaruh yang
sama bagi orang-orang di Opera.
"Omong-omong," kata Moncharmin, "kau tahu bukan,
bahwa Mame Giry akan mengajukan gugatan terhadap­
mu."
"Bersama siapa? Si hantu?"
Si hantu! Moncharmin sudah hampir melupakannya. Te­
tapi sosok misterius itu tidak berbuat apa-apa hingga saat
ini, jadi wajar saja bila kedua manajer itu lupa. Dan mere­
ka baru akan membahas tentangnya untuk kedua kalinya
malam itu ketika pintu boks balkon tiba-tiba terbuka dan
masuklah si manajer panggung dengan tampang shock.
"Ada apa?" tanya kedua manajer itu sambil merasa tak­
jub mendapatinya di sana saat pementasan masih berlang­
sung.
"Sepertinya ada rencana jahat yang dirancang oleh

111
teman-teman Christine Daae terhadap Carlotta. Carlotta
sangat marah."
"Apa-apaan... ?" kata Richard, menautkan kedua alis­
nya.
Tetapi tirai panggung telah dinaikkan untuk adegan kar­
naval rakyat dan Richard memberi tanda kepada manajer
panggung untuk pergi. Ketika mereka sudah sendiri lagi,
Moncharmin mencondongkan tubuh ke arah Richard, "Jadi
Daae punya teman-teman?" tanyanya.
"Ya, dia punya."
"Siapa?"
Richard melayangkan pandangan ke arah satu boks bal­
kon di lantai utama yang hanya diisi dua orang laki-laki.
"Comte de Chagny?"
"Ya, ia sempat mempromosikan gadis itu dengan begitu
bersemangat kepadaku. Kalau aku tidak tahu dia teman
akrab Sorelli, aku pasti sudah menyangka ia menaruh hati
pada Daae..."
"Benarkah?" kata Moncharmin. "Dan siapa itu laki-laki
pucat di sebelahnya?"
"Itu adiknya, sang viscount."
"Ia seharusnya beristirahat di tempat tidur. Ia terlihat
tidak sehat."
Panggung bergema dengan lagu yang ceria:

"Yang putih atau merah,


Murahan atau bagus!
Apa pentingnya,
Selama tetap anggur?"

112
Para pemeran murid, warga kota, tentara, gadis-gadis
dan pendamping mereka berseliweran dengan riang di de­
pan penginapan bertanda Bacchus, si dewa anggur. Lalu
muncul karakter Siebel. Christine Daae terlihat menawan
dalam kostum remaja laki-lakinya, dan para pendukung
Carlotta telah menantikan sambutan meriah atas kemuncul­
an gadis ini sehingga mereka bisa tahu apa yang sebenamya
direncanakan teman-temannya. Tetapi tak terjadi apa-apa.
Sebaliknya, ketika Margarita maju ke depan panggung
dan menyanyikan dua kalimat porsinya dalam babak ke­
dua ini:

"Tidak, tuanku, saya bukan seorang lady, belum juga berparas


cantik,
Dan tak memerlukan lengan untuk menggandengku berjalan."

Carlotta langsung disambut tepuk tangan membahana.


Kejadian itu sungguh tak terduga dan di luar kebiasaan,
sehingga mereka yang tak tahu-menahu soal kabar yang
beredar saling pandang dan bertanya apa yang sedang ter­
jadi. Babak ini juga berakhir tanpa insiden apa pun.
Lalu semua orang berkata, "Pasti akan terjadi di babak
selanjutnya."
Sebagian orang, yang sepertinya lebih tahu daripada
yang lain, mengatakan bahwa "keributan" itu akan dimulai
saat dinyanyikannya balada King of Thule dan bergegas
menuju pintu masuk para langganan tetap untuk memper­
ingatkan Carlotta. Kedua manajer itu meninggalkan boks
balkon mereka saat jeda antarbabak, untuk mencari tahu
tentang komplotan yang disebut oleh si manajer panggung

113
tadi. Tetapi, tak lama, mereka telah kembali ke tempat du­
duk, mengangkat bahu dan menganggap perkara itu ko­
nyol belaka.
Saat memasuki boks balkon itu, hal pertama yang mere­
ka lihat adalah satu kotak permen buatan Inggris di atas
rak kecil di tepian balkon. Siapa yang menaruhnya di
sana? Mereka bertanya kepada para penjaga boks balkon,
namun tak satu pun dari mereka yang tahu. Lalu mereka
kembali ke rak itu dan, di samping kotak permen itu, mere­

ka mendapati teropong untuk menonton opera. Kedua


manajer itu berpandangan. Mereka sama sekali tak berniat
tertawa. Semua yang pemah dikatakan Mme. Giry seka­
rang kembali ke ingatan mereka... lalu... lalu... mereka se­
akan merasakan kehadiran hawa dingin yang ganjil di
sekeliling mereka. Mereka duduk dalam diam.
Adegan yang mengisahkan tentang taman si Margarita:

"Bunga-bunga lembut bermandi embun,


Sampaikan pesan dariku... "

Ketika menyanyikan dua baris pertama ini, Christine


yang memegang segenggam mawar serta lilac, mendongak
dan melihat Vicomte de Chagny di boks balkonnya. Sejak
saat itu suaranya tak lagi terdengar semantap atau sejemih
biasanya. Sesuatu seakan membuat nyanyiannya tiba-tiba
menjadi membosankan dan mati....
"Gadis yang aneh!" ujar salah satu teman Carlotta di
kursi penonton dengan cukup keras. "Waktu itu ia begitu
luar biasa, dan malam ini ia bersuara seperti kambing. Ia
tak punya pengalaman, tak cukup latihan."

114
"Bunga-bunga yang lembut, diamlah di sana
Dan sampaikan kepadanya... "

Sang viscount menutupi wajahnya dengan kedua tangan­


nya lalu menangis. Sang count yang duduk di belakangnya
menarik-narik kumisnya dengan kasar, mengangkat bahu­
nya lalu merengut. Bagi orang yang sehari-harinya selalu
menjaga perilakunya, tingkah laku seperti itu menandakan
bahwa ia begitu marah. Dan ia memang murka. la menda­
pati adiknya kembali dari perjalanan singkat nan misterius
dalam keadaan begitu mengenaskan. Penjelasan yang dibe­
rikan kepadanya tidaklah memuaskan dan bangsawan itu
meminta bertemu dengan Christine Daae. Gadis itu rupa­
nya memiliki nyali untuk menjawab bahwa ia idak
t bisa
menemuinya maupun adiknya....

"Maukah ia mendengarku
Dan dengan senyumnya menceriakan hariku... "

"Gadis lancang!" gerutu bangsawan itu.


Ia bertanya-tanya apa yang dimaui gadis itu. Apa yang
diharapkannya.... Ia gadis yang baik, dan mereka bilang ia
tak punya teman atau pembimbing.... Malaikat dari Utara
itu pasti sangat hebat!
Di balik jemari tangannya yang menutupi aliran air mata­
nya, Raoul hanya memikirkan surat yang diterimanya
begitu kembali ke Paris. Christine, yang kabur dari Perros
layaknya pencuri di malam buta, telah tiba terlebih da­
hulu:

115
TEMAN SEPERMAINANKU WAKTU l<.ECIL:
Kau harus memaksa dirimu untuk tidak menemuiku atau

berbicara denganku lagi. Bila kau mencintaiku barang sedikit

saja, lakukan ini untukku, demi aku yang takkan pernah

melupakanmu, Raoul-ku tersayang. Hidupku tergantung pada

hal ini. Hidupmu pun tergantung pada hal n


i i.

CHruSTINE KECILMU.

Tepuk tangan meriah. Carlotta muncul di panggung.

"Seandainya aku tahu siapa dia


Yang memanggilku,
Apakah ia seorang terhormat, atau, setidaknya siapa
II
namanya...

Ketika tokoh Margarita telah menyelesaikan balada King


of Thule, penonton bersorak begitu keras untuknya, juga
ketika ia sampai di bagian akhir lagu The Jewel Song:

Ah, kegembiraan tiada tara


11

Memakai permata terang bercahaya... "

Sejak saat itu, karena merasa terlalu percaya diri, dengan


teman-temannya yang memenuhi gedung ini, dengan suara
dan kesuksesan yang dimilikinya, dan tanpa merasa takut
atas apa pun, Carlotta tak mampu menahan diri untuk me­
nyanyikan bagiannya dengan begitu berlebihan.... la bukan
lagi Margarita, ia telah menjelma Carmen. Tepuk tangan
penonton semakin membahana dan penampilan duetnya
dengan Faust tampaknya akan mendatangkan kesuksesan

116
baru baginya, tetapi tiba-tiba... hal yang mengerikan terja­
di.
Faust berlutut dengan satu kaki:

"Biarkan aku memandang sosok di hadapanku,


Sementara di biru langit yang jauh
Bintang senja yang terang dan sendu,
menaungiku,
Dan ikut memuja kecantikanmu!"

Dan Margarita menjawab:

"Oh, betapa ganjilnya!


Malam ini menawanku laksana sihir!
Pesona yang begitu dalam
Namun aku merasa aman
Atas melodinya yang membungkusku
Luluh segenap hatiku."

Pada waktu itu, persis pada saat itu, hal yang mengeri­
kan terjadi. ... Carlotta bersuara laksana kodok: "Kro-ok!"
Ekspresi shock langsung memenuhi wajah Carlotta dan
seluruh penonton. Kedua manajer yang berada dalam boks
balkon bahkan tak dapat menahan pekik ngeri mereka.
Semua orang merasa bunyi itu tidak wajar, seakan ada sihir
di baliknya. Suara kodok itu terdengar penuh muslihat.
Betapa hancur dan putus asanya Carlotta yang malang!
Keributan yang terjadi malam itu tak terlukiskan. Kalau
saja kejadian itu menimpa orang lain selain Carlotta, ia
pasti sudah akan diteriaki dan dicaci ma.ki. Tetapi semua

117
orang tahu betapa bagus suara Carlotta, sehingga tak terli­
hat sedikit pun kemarahan di antara penonton. Yang ada
hanyalah kengerian dan kekagetan yang layaknya dirasa­
kan orang-orang jika mereka melihat malapetaka yang
mematahkan lengan-lengan patung Venus de Milo.... Tetapi
bila itu terjadi pun, mereka masih akan bisa menyaksikan
kejadiannya... dan memaharninya....
Namun suara kodok malam ini tak masuk di akal! Begi­
tu tak masuk akalnya sehingga, setelah beberapa detik
bertanya-tanya apakah ia benar-benar mendengar suara
celaka itu keluar dari tenggorokannya, Carlotta mencoba
berkata kepada dirinya bahwa itu tidak benar. Ia mencoba
meyakinkan dirinya bahwa ia hanyalah korban suatu ilusi
pendengaran dan pita suaranya tidak mengkhianatinya....
Sementara itu, di Boks Balkon nomor Lima, Moncharrnin
dan Richard telah berubah pucat pasi. Insiden ganjil yang
tak dapat dijelaskan ini membuat mereka merasakan keta­
kutan yang amat sangat, karena untuk beberapa waktu
mereka seperti benar-benar merasakan kehadiran hantu itu.
Mereka merasakan napas si hantu. Bulu kuduk Moncharmin
meremang. Richard menghapus keringat yang memenuhi
dahinya. Ya, hantu itu ada di sana, di sekeliling mereka, di
belakang dan di samping mereka. Mereka merasakan keha­
dirannya tanpa melihat sosoknya, dan suara napas itu sa­
ngat, sangat dekat dengan mereka.. ! Mereka yakin ada tiga
.

orang di dalam boks balkon itu.... Mereka gemetar.... Mere­


ka berpikir untuk lari dari sana.... Tetapi tidak berani....
Mereka tak berani bergerak sedikit pun atau mengucapkan
sesuatu yang akan memberitahu si hantu bahwa mereka
tahu ia ada di sana... Apa yang akan terjadi?

118
Ini yang terjadi: "Kro-ok!"

Teriakan ngeri orang-orang serempak bergema di seluruh


ruangan. Mereka merasa kelabakan menghadapi serangan si
hantu. Kedua manajer itu mencondongkan tubuh mereka di
tepi balkon, menatap Carlotta seakan tak mengenalinya lagi.
Gadis celaka itu pasti sedang menyuarakan tanda-tanda
malapetaka. Ah, mereka cemas menanti malapetaka itu! Si
hantu telah memberitahu mereka kemalangan itu akan terja­
di! Pertunjukan ini telah dikutuk! Kedua manajer itu men­
jadi susah bemapas dan bermandi keringat. Dengan suara
tercekik Richard berkata kepada Carlotta, "Teruskan!"
Tidak, Carlotta tidak meneruskan ke bagian berikutnya....
Dengan berani dan heroik, ia mengulang dari awal kalimat
celaka yang diakhiri dengan kemunculan suara kodok
itu.
Kesenyapan yang ada begitu mencekam. Nyanyian
Carlotta menjadi satu-satunya suara yang menggema di
gedung pertunjukan itu: "Namun aku merasa aman..."
Para penonton juga merasakan sesuatu, tetapi bukan
rasa aman...

Namun aku merasa aman -kro-ok!


Atas melodinya yang membungkusku -kro-ok!
Luluh segenap hati -kro-ok!

Si kodok juga mulai dari awal lagi.


Seisi gedung gempar. Kedua manajer itu lunglai di kursi
mereka dan tak berani menoleh ke belakang. Mereka tak
punya nyali sebab si hantu terkekeh di belakang mereka!
Dan, akhimya, mereka dengan jelas mendengar suaranya

119
di telinga kanan mereka. Suara yang mustahil karena di­
ucapkan tanpa bibir itu berkata, "Malam ini ia bernyanyi
untuk menjatuhkan lampu gantung itu!"
Serempak kedua manajer itu melayangkan pandangan
ke langit-langit gedung dan berteriak ngeri. Lampu gan­
tung raksasa yang ada di sana terlihat meluncur turun ke
arah orang-orang, seakan diperintah oleh suara iblis itu.
Begitu lepas dari kaitnya, lampu gantung itu jatuh terjun
dan mendarat tepat di tengah-tengah barisan kursi penon­
ton diiringi ribuan jerit ketakutan. Orang-orang menyerbu
pintu-pintu keluar bagai kesetanan.
Berbagai surat kabar di masa itu memberitakan bahwa
beberapa penonton terluka dan satu tewas. Lampu gantung
itu meremukkan kepala perempuan malang yang baru per­
tama kalinya datang ke Opera, perempuan yang telah
ditunjuk Richard untuk menggantikan tugas Mame Giry,
si penjaga boks balkon milik si hantu! la meninggal di tem­
pat dan keesokan harinya, satu surat kabar muncul dengan
tajuk ini:

DUA RATUS KILO

MENIMPA KEPALA PELAYAN RUMAH

Itu satu-satunya epitaf baginya!

120
Bab8
Kereta Kuda yang Misterius

MALAM yang tragis itu berakibat buruk bagi semua orang.


Carlotta jatuh sakit, sementara Christine Daae menghilang
setelah pementasan. Dua minggu berlalu dan ia sama seka­

li tak terlihat baik di Opera maupun di luaran.


Raoul tentu saja menjadi orang pertarna yang terkejut
dengan ketidakhadiran sang prirnadona. Ia rnenyurati
Christine di kediaman Mme.Valerius tetapi tak ada balasan.
Ia bertarnbah sedih dan menjadi begitu khawatir ketika tak
pemah lagi rnelihat narna Christine tercantum di buku aca­
ra. Faust dipentaskan tanpanya.
Suatu sore ia pergi ke kantor para rnanajer untuk rnena­
nyakan alasan rnenghilangnya Christine. Ia mendapati ke­
dua rnanajer itu terlihat sangat khawatir. Bahkan ternan­
ternan rnereka seakan tak rnengenali kedua rnanajer itu
lagi: dua orang itu telah kehilangan sernangat dan kegern­
biraan. Mereka sering terlihat lewat di atas panggung de­
ngan kepala tertunduk, dahi berkerut, dan pipi pucat se-

121
akan dihantui pikiran buruk atau menjadi korban suatu
nasib jelek yang berkepanjangan.
Mereka harus bertanggung jawab atas kasus jatuhnya
lampu gantung itu, tetapi mereka tak pernah membicarakan­
nya. Penyelidikan yang dilakukan atas kematian si pelayan
rumah akhimya memutuskan bahwa kematiannya murni
karena kecelakaan yang disebabkan oleh rapuhnya rantai­
rantai yang menahan lampu gantung itu di langit-langit,
dan bahwa semestinya, sudah menjadi tugas para manajer
lama maupun baru untuk memeriksa kondisi rantai-rantai
itu dan menggantinya sebelum tetjadi apa-apa. Aku merasa
butuh menyampaikan bahwa Richard dan Moncharmin
sungguh tampak berubah. Mereka sering melamun, begitu
misterius dan tak dapat dipaharni sehingga para pelanggan
tetap Opera berpikir pastilah ada kejadian yang lebih bu­
ruk daripada jatuhnya lampu gantung yang telah memenga­
ruhi kondisi pikiran mereka.
Dalam urusan sehari-hari, kedua manajer itu terlihat sa­
ngat tidak sabaran, kecuali terhadap Mme. Giry yang su­
dah kembali dipeketjakan. Dan mereka menerima kedatang­
an Vicomte de Chagny dengan setengah hati. Mereka
hanya menyampaikan kepadanya bahwa Christine sedang
berlibur. Ketika Raoul menanyakan berapa lama waktu li­
buran itu, mereka hanya menjawab hingga waktu yang tak
ditentukan, sebab Mlle. Daae mengajukan permohonan li­
buran itu dengan alasan kesehatan.
"Kalau begitu dia sakit!" teriaknya. "Ada apa dengan­
nya?"
"Kami tidak tahu."

122
"Kalian tidak mengirim dokter Opera untuk memeriksa­
nya?"
"Tidak, ia tak mernintanya. Dan karena karni memerca­
yainya, kami mengiyakan saja."
Raoul meninggalkan Opera dengan berbagai pikiran tak
menentu. Lalu ia bertekad untuk pergi dan menanyai
Mamma Valerius. Ia teringat kata-kata yang tertulis di su­
rat Christine, yang melarangnya untuk berusaha menemui
gadis itu. Tetapi apa yang telah dilihatnya di Perros, yang
telah didengarnya di balik pintu ruang ganti, serta pembi­
caraannya dengan Christine di tepi padang rumput itu te­
lah membuatnya curiga bahwa, meskipun tampaknya tak
mungkin, dalang semua ini manusia belaka. Raoul melihat
bahwa tingkat imajinasi yang dirniliki gadis itu, pikirannya
yang romantis dan mudah percaya, banyaknya legenda
yang mewarnai tahun-tahun pertumbuhannya sewaktu ke­
cil, perenungan berkepanjangan atas kematian ayahnya,
dan terutama kegembiraan mahadahsyat yang dirasakannya
setiap kali musik yang indah hadir baginya pada saat-saat
istimewa seperti pada waktu di pemakarnan di Perros, ada­
lah suatu kondisi yang sangat menguntungkan bagi renca­
na jahat yang mungkin dirancang oleh seseorang. Siapakah
si jahat yang menjadikan Christine korbannya? Itulah per­
tanyaan yang dipikirkan Raoul sementara ia bergegas me­
nemui Mamma Valerius.
Pemuda itu gemetar ketika jarinya membunyikan bel flat
kecil di Rue Notre-Dame-des-Victoires. Pintu dibuka oleh
pelayan perempuan yang pernah dilihatnya keluar dari
kamar ganti Christine malam itu. Ia bertanya apa ia bisa
berbicara dengan Mme. Valerius dan dijawab bahwa perem-

123
puan itu sedang terbaring sakit dan tidak bisa menerima
tamu.
"Tolong, berikan kartu namaku kepadanya," katanya.
Tak lama, pelayan itu kembali dan mempersilakannya
masuk ke ruang tamu kecil dengan perabotan seadanya
beserta potret diri Profesor Valerius dan ayah Chrisine
t
tergantung di dinding yang berhadapan.
"Madame meminta maaf kepada monsieur le vicomte,"
kata pelayan itu. "Ia hanya bisa menerima Anda di kamar
tidumya, sebab kaki-kakinya yang kini lemah tak memung­
kinkannya untuk berjalan."
Lima menit kemudian Raoul diantar memasuki ruang
temaram, dan di kamar yang setengah gelap itu ia lang­
sung dapat mengenali wajah baik hati perempuan derma­
wan yang telah membesarkan Christine. Rambut Mamma
Valerius sekarang sudah memutih, tetapi mata itu tak ber­
tambah tua sedikit pun. Sebaliknya, mata itu tak pernah
tampak seterang dan sepolos ini.
"M. de Chagny!" sambutnya gembira, mengulurkan ke­
dua tangannya ke arah tamunya. "Ah, surga telah mengi­
rimkanmu kemari! Kita bisa bicara soal dia."
Di telinga Raoul, kalimat terakhir perempuan tua itu
terdengar begitu sedih. Ia langsung bertanya, "Madame...
di manakah Christine?"
Perempuan tua itu menjawab dengan tenang, "Ia bersa-
ma dengan mentomya yang baik!"
"Mentor baik apa?" Raoul yang malang itu terkejut.
"Tentu saja sang Malaikat Musik!"
Viscount itu terduduk lemas di kursi. Benarkah?
Christine bersama dengan sang Malaikat Musik? Dan

124
Mam.ma Valerius sekarang tersenyurn kepadanya di tempat
tidur sambil meletakkan jarinya di bibir, memberi tanda
supaya ia merahasiakan hal ini! Perempuan itu menambah­
kan, "Kau tak boleh bilang pada siapa pun!"
"Anda bisa memercayaiku," kata Raoul.
Tetapi Raoul tak terlalu menyadari ucapannya, sebab ia
disibukkan oleh pikiran-pikirannya tentang Christine, yang
memang sudah sangat membingungkan, namun kini kian
bertambah pelik. Dan sekarang segalanya seperti mulai
berputar mengelilinginya, mengelilingi ruangan itu, serta
mengeilingi
l perempuan tua baik hati yang berambut putih
dan bermata polos.
"Aku tahu! Aku tahu aku dapat memercayaimu!" kata­
nya, tertawa gembira. "Tetapi mengapa kau tak mau men­
dekat kepadaku seperti saat kau kecil dulu? Kemarikan
tanganmu, seperti ketika kau menceritakan kisah Little
Lotte yang kau dengar dari Daddy Daae. Kau tahu, aku
sangat menyukaimu, M. Raoul. Begitu juga Christine!"
"Ia menyukaiku!" desah pemuda itu. la merasa sulit me­
musatkan pikirannya untuk memahami beberapa hal seper­
ti berita "mentor yang baik" dari Mamma Valerius, sang
Malaikat Musik yang dengan ganjil diceritakan oleh
Christine kepadanya, kepala tengkorak yang ditemuinya
pada kejadian serupa mirnpi buruk di altar gereja Perros,
juga hantu Opera yang beritanya ia dengar suatu kali keti­
ka berdiri di belakang gambar latar, sementara para peng­
ganti gambar latar mengulang deskripsi menyeramkan
tentang si hantu yang diberikan oleh Joseph Buquet sebe­
lum kematiannya yang misterius.

125
Ia bertanya dengan suara lemah, "Apa yang membuat
Anda berpikir Christine menyukaiku, Madame?"
"Ia <lulu berbicara tentangmu setiap hari."
"Benarkah ... ? Apa yang dikatakannya kepada Anda?"
"Ia memberitahuku kau melamarnya!"
Lalu perempuan tua yang baik itu mulai tertawa terba­
hak-bahak. Raoul bangkit dari kursinya dengan muka me­
rah padam, merasa sakit hati.
"Ada apa? Kau mau ke mana? Duduklah kembali.... Apa
kaupikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Bila
kau marah karena aku tertawa, maafkan aku... Bagaimana­
pun, yang tetjadi bukanlah salahmu... Tidakkah kau tahu?
Apakah kaupikir Christine tidak terikat?"
"Apa Christine telah bertunangan?" tanya si malang
Raoul dengan suara tercekat.
"Tidak! Tentu tidak! Kau dan aku tahu bahwa Christine
tidak dapat menikah, bahkan bila ia menginginkannya... "
"Tetapi saya tidak tahu apa-apa soal itu! Dan mengapa
Christine tak dapat menikah?"
"Karena sang Malaikat Musik, tentu saja... "

"Saya tidak mengerti... "

"Ya, ia melarang Christine men ikah...!"


"Ia melarangnya! Sang Malaikat Musil< melarangnya me­
ru"k
ah...II
"Oh, a
i melarangnya... tanpa benar-benar melarang. Be­
gini, ia memberitahu Christine bahwa bila ia menikah,
maka ia tak akan melihatnya lagi. Itu saja! Dan malaikat
itu akan pergi selamanya.... Jadi kau paham kan, ia tak
mungkin melepaskan Malaikat Musik itu. Cukup wajar."

126
"Ya, ya," Raoul hanya mampu mengulang kata-kata itu,
"cukup wajar."
"Aku pikir Christine telah memberitahumu semua itu
ketika a
i bertemu denganmu di Perros, tempat yang dituju­
nya bersama sang mentor yang baik."
"Oh, ia pergi ke Perros bersama mentor yang baik
itu?"
"Lebih tepatnya sang mentor berjanji akan menemuinya
di sana, di halaman gereja di Perros, di makam Daae. Ia
berjanji akan memainkan The Resurrectian of Lazarus untuk­
nya, menggunakan biola ayahnya!"
Raoul de Chagny bangkit berdiri dan, dengan aura me­
merintah, mengucapkan kata-kata tegas berikut, "Madame,
kau harus memberitahuku di mana mentor ini tinggal."
Perempuan tua itu tak tampak terkejut sedikit pun atas
perintah lancang ini. Ia menatap ke atas dan berkata, "Di
surga!"
Kepolosan jawaban itu membuat Raoul tercengang. Ia
tak tahu harus berkata apa menghadapi rasa percaya yang
tulus dan sempurna terhadap seorang mentor yang tiap
malam turun dari surga untuk menghantui ruang-ruang
ganti di Opera.
Raoul sekarang menyadari kemungkinan pola pikir se­
orang gadis yang dibesarkan oleh pemain biola yang per­
caya takhayul dan perempuan tua yang suka mengkhayal,
dan ia bergidik membayangkan akibat dari semua itu.
"Apakah Christine masih gadis baik-baik?" tanyanya
tanpa mampu menahan diri.
"Aku bersumpah, seyakin rasa percayaku atas keselamat­
an setelah kematian!" seru perempuan tua itu, terlihat ma-

127
rah. "Dan bila Anda meragukannya, Tuan, aku tidak tahu
untuk apa Anda kemari!"
Raoul melepas sarung tangannya.
"Sudah berapa lama a
i mengenal 'mentor' ini?"
"Sekitar tiga bulan.... Ya, Kurang-lebih tiga bulan sejak
ia mulai mengajari Christine bemyanyi."
Viscount itu mengangkat tangan, menunjukkan sikap
frustrasi dan putus asa.
"Si mentor ini memberi pelajaran menyanyi! Di mana,
kalau boleh tahu?"
"Untuk sekarang, ketika Christine sudah pergi bersama­
nya, aku tak tahu; tetapi, sampai dua rninggu lalu, itu
dilakukan di ruang ganti Christine. Tidak mungkin dilaku­
kan di flat kecil ini. Semua orang di bangunan ini akan
mendengar mereka. Sedangkan di Opera, tidakkah kau
tahu bahwa tidak ada orang di sana pada jam delapan
pagi?"
"Ya, aku tahu! Aku tahu!" seru sang viscount.
Lalu ia meninggalkan Mme. Valerius dengan terburu­
buru sehingga perempuan tua itu bertanya-tanya apakah
bangsawan muda itu sedikit terganggu pikirannya.
Raoul pulang ke rumah kakaknya dalam keadaan menge­
naskan. la merasa pantas menabrakkan kepalanya ke tem­
bok karena telah sedernikian bodoh memercayai kepolosan
dan ketulusan gadis itu! Sang Malaikat Musik! la menge­
nalnya sekarang! la telah melihatnya! Tak diragukan lagi,
orang itu pastilah penipu berwajah tampan dengan suara
tenor yang begitu indah hingga mampu tersenyum meng­
ejek sambil bernyanyi! Raoul menganggap dirinya begitu
bodoh dan malang. Oh, betapa menyedihkan, kerdil, tak

128
penting, dan tololnya M. le Vicomte de Chagny ini, pikir­
nya. Dan gadis itu adalah makhluk licik terkutuk yang
bemyali!
Kakaknya telah menunggu kedatangannya dan Raoul
menjatuhkan diri ke dalam pelukannya seperti anak kecil.
Bangsawan itu menghibumya tanpa meminta penjelasan
apa pun, dan Raoul tentu saja tidak akan menceritakan
begitu saja kisah sang Malaikat Musik. Kakaknya meng­
usulkan mereka pergi makan malam. Dengan keputusasaan
yang dirasakannya saat itu, kemungkinan besar Raoul akan
menolak ajakan apa pun malam itu. Tetapi, untuk membu­
juknya, sang count memberitahu bahwa perempuan pujaan
hati adiknya itu terlihat bersama seorang laki-laki di Bois
kemarin malam. Awalnya sang viscount menolak memer­
cayai berita itu, tetapi detail yang diberikan kepadanya
begitu lengkap hingga ia berhenti menyanggah. Katanya
gadis itu terlihat di dalam kereta kuda yang kaca jendela­
nya diturunkan. Ia tampak menikmati sejuknya udara ma­
lam. Waktu itu bulan bersinar terang, maka wajahnya
terlihat jelas. Sementara orang yang bersamanya hanya
terlihat sebagai siluet yang bersandar di dalam kereta itu.
Kereta kuda itu bergerak pelan di jalanan sepi di belakang
gedung stadion di Longchamp.
Raoul berganti pakaian dengan tergesa, bersiap melupa­
kan kesedihannya dengan melemparkan dirinya ke dalam,
sebagaimana orang menyebutnya, "kumparan kesenangan."
Tetapi ia malah menjadi tamu yang sangat sedih dan akhir­
nya pulang lebih awal daripada kakaknya. Dan pada pu­
kul sepuluh malam itu, ia berada di dalam kereta kuda
sewaan di belakang stadion Longchamp.

129
Udara dingin menusuk. Jalanan kosong dan tampak te­
rang di bawah sinar bulan. Ia berpesan pada kusir untuk
menunggunya dengan sabar di pojok tikungan dekat situ,
sementara pemuda itu bersembunyi sebisanya dan mengen­
tak-entakkan kakinya demi mengusir dingin. Setelah mela­
kukan gerakan olah raga ini sekitar setengah jam, satu ke­
reta kuda terlihat berbelok di ujung jalan dan bergerak
pelan ke arahnya.
Ketika kereta itu mendekat, ia melihat seorang perem­
puan menyandarkan kepalanya di jendela yang terbuka.
Lalu, tiba-tiba, sinar bulan yang pucat menimpa wajah­
nya.
"Christine!"
Nama orang yang dicintainya itu terlontar begitu saja
dari bibir dan hatinya. Raoul tak kuasa menahannya... Sean­
dainya bisa, ia bersedia melakukan apa pun untuk menarik
kembali ucapannya, sebab ketika diucapkan di dalam kese­
nyapan malam, nama itu seakan menjelmakan kode bagi
kereta kuda itu untuk tiba-tiba melaju kencang melewati­
nya, menggagalkan rencana Raoul melompat ke depan
kuda-kuda itu dan menghentikan kereta. Jendela kereta
telah ditutup dan wajah gadis itu tak tampak lagi. Secepat
apa pun ia berlari, ia jelas tak mampu mengejar kereta
kuda yang kini hanyalah sebuah titik hitam di jalanan pu­
tih ini.
Ia memanggil lagi, "Christine!"
Tidak ada jawaban. Maka ia berhenti berlari di tengah­
tengah kesunyian itu.
Dengan pandangan kosong ia menatap ke kejauhan ma­
lam sepi yang melingkupi jalanan kosong dan dingin itu.

130
Tidak ada yang mampu menyaingi dingin hatinya saat itu:
ia telah jatuh cinta pada malaikat, namun sekarang ia
sungguh membenci perempuan itu!
Raoul, betapa peri kecil dari Utara itu telah memper­
mainkanmu! Untuk apa selama ini ia menampilkan wajah
mudanya yang polos, yang bisa bersemu merah sewaktu­
waktu, bila ia hendak menghabiskan malam di dalam
kereta kuda, berdua dengan seorang kekasih? Kepura­
puraan dan kebohongan tentu ada batasnya!
Gadis itu lewat begitu saja tanpa membalas panggilan
Raoul.... Dan pemuda itu kini berpikir untuk mati saja;
padahal ia baru berumur dua puluh tahun!
Esoknya, pelayannya mendapatinya duduk di tempat
tidur. la belum berganti pakaian, dan membaca raut wajah­
nya, si pelayan khawatir telah terjadi suatu malapetaka.
Raoul merenggut surat-surat yang dibawa si pelayan. Ia
mengenali kertas serta tulisan tangan milik Christine. Ini
yang ditulisnya:

YANG TERKASIH,

Datanglah ke pesta topeng di Opera esok lusa. Tepat tengah


malam, pergilah ke ruangan kecil di belakang perapian ruang
tunggu besar. Berdirilah di dekat pintu yang mengarah ke

Rotunda. Jangan katakan pada siapa pun janji pertemuan ini.

Pakailah setelan dan jubah putih, dan pastikan topengnya

menutupi mukamu dengan baik. Bila kau mencintaiku, jangan


i
sampa orang bisa mengenalimu.
CHRISTINE.

131
Bab9
Di Pesta Topeng

AMPLOP itu tertutup lumpur dan tak berprangko. Di depan­

nya tertulis dengan pensil "Untuk diserahkan kepada M.


le Vicomte Raoul de Chagny," lengkap dengan alamatnya.
Surat itu pasti dilemparkan keluar dengan harapan sese­
orang yang lewat akan memungut dan mengantarkannya,
dan memang itulah yang terjadi. Surat itu dipungut di tro­
toar Place de l'Opera.
Raoul membaca isi surat itu sekali lagi dengan mata pa­
nas. Hanya itu yang diperlukan untuk membangkitkan se­
mangatnya. Gambaran suram yang sempat dibayangkannya
tentang bagaimana Christine tak mampu menjaga diri kini
berganti dengan gambaran awal yang dimilikinya, yaitu
seorang gadis malang yang polos, korban kecerobohan dan
khayalan berlebihan. Sekarang ini, sampai sejauh manakah
gadis itu sungguh-sungguh menjadi korban? Tawanan
siapakah dia? Ke dalam arus pusaran apakah ia disedot?
Raoul menanyakan hal-hal ini pada dirinya sendiri dengan
kesedihan yang begitu mendalam. Tetapi bahkan rasa sakit

132
ini lebih tertahankan daripada kekalutan yang menengge­
lamkannya ketika ia membayangkan seorang Christine
sebagai penipu dan pembohong. Apa yang telah terjadi?
Apa yang memengaruhi gadis itu sekarang? Monster apa
yang telah membawanya pergi dan dengan cara apa...?
Dengan cara apa lagi selain musik? Raoul tahu kisah
hidup Christine. Setelah kematian ayahnya, ia kehilangan
minat terhadap segala sesuatu dalam hidup, termasuk seni.

Ia menyelesaikan pendidikan di konservatori sebagai mesin


vokal tanpa jiwa. Lalu, tiba-tiba, ia bangkit seperti telah
dijamah oleh dewa. Sang Malaikat Musil< muncul dalam
hidupnya! Ia menyanyikan Margarita di Faust dan berhasil
dengan gemilang!
Cemburu di hatinya membuat Raoul mengepalkan ta­
ngan kuat-kuat. Dengan takut pemuda polos ini bertanya­
tanya permainan apa yang dijalankan gadis itu? Sampai
sejauh mana seorang penyanyi opera dapat mempermain­
kan seorang laki-laki belia yang baru mengenal cinta? Oh
. .
den"ta rm....I
Begitulah pikiran Raoul berpindah dari satu titik ekstrem
ke titik ekstrem yang lain. Ia tak tahu lagi apakah harus
mengasihani Christine ataukah mengutukinya. Meski demi­
kian, ia akhimya tetap membeli jubah putih.
Saat yang disepakati datang juga. Dengan wajah bertu­
tup topeng berbingkai renda tebal dan panjang yang mem­
buatnya tampak seperti badut berjubah putih, si viscount
merasa penampilannya sungguh konyol. Laki-laki terhor­
mat tidak datang ke pesta dansa di Opera dengan kostum
seperti ini! Ini absurd. Tapi satu hal yang menenangkan
hati si viscount: ia pasti takkan mungkin dikenali!

133
Pesta dansa ini suatu perayaan khusus. Diadakan bebera­
pa hari sebelum masa pra-Paskah, pesta ini dimaksudkan
untuk memperingati hari lahir seorang perancang kosturn
terkenal, dan memang diharapkan untuk berlangsung lebih
meriah, lebih ramai, dan lebih Bohemian dibanding pesta
dansa yang lain. Sejurnlah senirnan telah mernastikan diri
untuk datang, diternani oleh sekelompok besar model dan
murid-murid mereka yang pada tengah malam telah men­
ciptakan suatu keramaian besar. Raoul menaiki tangga be­
sar di sana pada tengah malam kurang lima menit, tanpa
berlama-lama memperhatikan pajangan kostum aneka war­
na yang ditempatkan sepanjang tangga marmer itu, tanpa
mengindahkan ajakan topeng-topeng jenaka untuk berca­
kap-cakap, tanpa menjawab olokan yang ditujukan kepada­
nya, serta menepis tangan-tangan sok akrab yang berusaha
menyentuhnya. Setelah menyeberangi ruang tunggu itu
dan meloloskan diri dari sekumpulan penari yang sempat
membuatnya tertahan, akhirnya Raoul memasuki ruangan
yang disebutkan dalam surat Ouistine. Ruangan itu penuh
sesak, sebab di tempat kecil inilah semua orang yang akan
makan malam di Rotunda berpapasan dengan orang-orang
yang kembali dari mengambil segelas sampanye. Kegembi­
raan terasa begitu kuat di sini.
Raoul bersandar pada pilar pintu dan menunggu. Ia tak
perlu menunggu lama. Seseorang berjubah hitam lewat
dan meremas sekilas ujung jernari pemuda itu. Maka tahu­
lah ia dan berjalan mengikutinya, "Kaukah itu, Ouistine?"
tanyanya sernbunyi-sernbunyi.
Si jubah hitam langsung berbalik badan dan menaikkan

134
jarinya ke bibir, tanda agar Raoul tak lagi menyebutkan
namanya. Raoul kembali mengikutinya dalam diam.
Ketika mereka bertemu lagi dalam keadaan yang ganjil
ini, Raoul merasa takut kehilangan Christine. Kemarahan­
nya terhadap gadis itu hilang sudah. Ia tak lagi meragukan
"kemampuan gadis itu dalam menjaga diri," tak peduli
seberapa aneh dan misterius tingkah lakunya. la siap me­

nunjukkan pengampunan atau kelembutan hati. la sedang


jatuh cinta. Dan ia pasti akan segera mendapatkan penje­
lasan yang sangat masuk akal atas kepergian si gadis yang
menimbulkan tanya.
Si jubah hitam berpaling cukup sering untuk memastikan
jubah putih itu masih mengikutinya.
Ketika sekali lagi Raoul melewati ruang tunggu besar,
kali ini dengan dipandu oleh gadis itu, ia tidak bisa tidak
memperhatikan keberadaan sekelompok orang yang menge­
rumuni seseorang dengan penampilan serta aura eksentrik
yang lain daripada yang lain. Sosok itu adalah laki-laki
berkostum warna merah tua dari ujung kepala hingga
ujung kaki, lengkap dengan topi besar dan bulu-bulu yang
dikenakan menutupi kepala tengkoraknya. Jubah besar
warna merah beludru menjuntai dari bahunya hingga me­
nyapu lantai bagai jubah kebesaran seorang raja. Dan pada
jubah ini, disulam dengan benang emas, tampaklah sebaris
kata-kata yang dibaca keras-keras oleh semua orang, "Ja­
ngan sentuh aku! Aku Red Death yang sedang berkeli­
ling!"
Lalu, seseorang yang sungguh berani mencoba menyen­
tuhnya... tetapi sebuah tangan sangat kurus melesat keluar
dari lengan kostum merah tua itu, lalu dengan kasar men-

135
cengkeram pergelangan tangan si gegabah yang kini, sete­
lah merasakan terkaman tangan kurus penuh kemarahan
itu, berteriak ngeri serta kesakitan. Saat Red Death akhir­

nya melepaskannya, ia lari terbirit-birit bagai orang gila,


diikuti oleh sorak-sorai orang-orang di sekitarnya.
Persis pada saat itu Raoul lewat di depan si kostum ke­
matian yang kebetulan berpaling ke arahnya. Pemuda itu
nyaris berteriak, "Si kepala tengkorak dari Perros­
Guirec!"
Raoul mengenali sosok itu ! Ia ingin menerjang maju,
...

melupakan Christine; tetapi si jubah hitam, yang juga en­


tah mengapa terkesan begitu bersemangat, menangkap le­

ngan Raoul dan menyeretnya pergi dari ruang tunggu itu,


jauh dari kerumunan penuh hiruk-pikuk yang sedang
dikunjungi Red Death....
Si jubah hitam terus-menerus berpaling ke belakang, dan
rupanya dua kali melihat sesuatu yang membuatnya terpe­
ranjat, sebab kemudian ia membuat mereka mempercepat
langkah seperti sedang dikejar-kejar.
Mereka naik dua lantai. Di sini, tangga-tangga dan kori­
dor yang ada nyaris sepi. Si jubah hitam membuka pintu
salah satu boks balkon dan meminta si jubah puih
t meng­
ikutinya. Lalu Christine, yang ia kenali dari suaranya, me­
nutup pintu dan berbisik memperingatkan Raoul untuk
tetap berada di bagian belakang boks dan tak mena.mpak­
kan diri. Raoul melepas topengnya, namun tidak dengan
Christine. Ketika Raoul hendak memintanya melepas to­
peng itu, ia terkejut melihat Christine menempelkan telinga­
nya ke pintu, berusaha keras mendengarkan suara di luar
sana. Lalu gadis itu membuka pintu itu sedikit, melongok

136
ke koridor dan dengan suara rendah berkata, "Ia pasti naik

ke lantai atas." Tiba-tiba ia berseru, "Ia turun lagi!"


Christine mencoba menutup pintu itu, tetapi Raoul men­
cegahnya, sebab di puncak anak tangga menuju ke atas itu
ia melihat sepatu merah melangkah diikuti sepatu merah
satunya... lalu, dengan pelan dan anggun, tampaklah kos­
tum merah si Red Death. Dan sekali lagi ia menatap si

kepala tengkorak dari Perros-Guirec.


"Itu dia!" teriaknya. "Kali ini, ia tak akan lolos dari­
ku... !"
Tetapi Christine telah menutup rapat pintu itu tepat
pada saat Raoul hendak menetjang keluar. Ia mencoba me­
nyingkirkan gadis itu.
"Siapa yang kaumaksud dengan 'dia'?" tanya Christine
dengan nada suara yang berubah. "Siapa yang tak akan
lolos darimu?"
Raoul mencoba memaksa melewati Christine, tetapi ga­
dis itu melawannya dengan kekuatan yang tak pemah ia
sangka-sangka. Ia paham, atau setidaknya begitulah yang
dipikirnya, dan langsung kehilangan kesabaran.
"Siapa?" ulangnya dengan marah. "Tentu saja dia, laki­
laki yang bersembunyi di belakang topeng tengkorak
mengerikan itu! Si jenius jahat di pemakaman di Perros... !
Red Death...! Dengan kata lain, Madam, temanmu ... Malai­
kat Musikmu! Tetapi aku akan menyambar topengnya
hingga terlepas, seperti aku akan melepas topengku, dan
kali ini, kami akan saling bertemu muka, dia dan aku, tan­
pa ada penutup atau apa pun di antara karni, dan aku
akan tahu siapa yang kaucintai dan yang mencintaimu!"
Ia tiba-tiba tertawa seperti orang gila, dan Christine me-

137
ngeluarkan suara erangan putus asa di batik topeng belu­
drunya. Dengan satu gerakan sedih, Christine merentang­
kan kedua tangannya, menjadikan dirinya penghalang
antara Raoul dan pintu itu.
"Atas nama cinta kita, Raoul, kau tak boleh lewat..."
Tawa Raoul berhenti. Apa katanya? Atas nama cinta
mereka? Sebelum ini ia tak pemah menyatakan bahwa ia
mencintai pemuda itu. Padahal ia memiliki begitu banyak
kesempatan untuk mengatakannya.... Huh, ia hanya ingin
mendapatkan beberapa detik! Ia ingin memberi kesempatan
pada Red Death itu untuk melarikan diri... Maka, dengan
nada benci yang kekanakan Raoul berkata, "Kau bohong,
Madam, sebab kau tidak mencintaiku dan kau tak pemah
mencintaiku! Betapa menyedihkannya aku, membiarkanmu
mencemooh dan mempermainkanku sedemikian rupa!
Mengapa kau memberiku alasan untuk berharap di
Perros... harapan yang tulus, Madam, sebab aku laki-laki
yang jujur dan aku tadinya percaya kau perempuan yang
jujur, tetapi ternyata satu-satunya niatmu adalah untuk
menipuku! Ah, kau telah menipu kami semua! Tanpa tahu
malu kau memanfaatkan kasih sayang perempuan yang
menjadi penyantunmu, yang terus percaya pada ketulusan­
mu sementara kau berkeliaran di pesta dansa Opera bersa­
ma Red Death! Kau sungguh hina bagiku...!"
Lalu pemuda itu menangis. Christine membiarkan
Raoul menghinanya. Ia hanya memikirkan satu hal: mence­
gahnya meninggalkan boks balkon ini.
"Kau akan memohon ampun kepadaku, suatu hari nanti,
atas kata-kata rendahan itu, Raoul. Dan bila kau melaku­
kannya nanti, aku akan memaafkanmu!"

138
Raoul menggeleng. "Tidak, tidak, kau sudah membuatku
gila! Aku bahkan berpikir untuk rnewariskan nama keluar­
gaku kepada seorang gadis opera rendahan!"
"Raoul! Teganya kau?"
"Aku akan rnati rnenanggung rnalu!"
"Tidak, sayangku, hiduplah!" ujar Chrisine
t dengan sua­
ra sedih. "Dan... selarnat tinggal. Selamat tinggal,
Raoul...."
Pernuda itu rnelangkah rnaju dengan gontai. Sekali lagi
ia rnelontarkan kalirnat sarkastisnya, "Oh, kau harus rnern­
biarkanku datang secara rutin dan bertepuk tangan untuk­
rnu!"
"Aku tidak akan bemyanyi lagi, Raoul!"
"Benarkah?" jawabnya, lebih rnenyindir lagi. "Jadi ia
rnembawamu pergi dari kehidupan panggung. Kalau begi­
tu, selamat! Tetapi kita akan berternu di Bois, pada suatu
malarn nanti!"
"Tidak di Bois atau di rnana pun, Raoul. Kau takkan
pernah berternu denganku lagi..."
"Kalau begitu, paling tidak bolehkah aku bertanya, kege­
lapan apa yang kautuju? Demi neraka apakah kau akan
pergi, nona yang misterius... atau demi surga apakah?"
"Aku tadinya datang untuk rnernberitahumu, sayangku,
tetapi aku tak dapat rnernberitahumu sekarang... kau tak­
kan rnemercayaiku! Kau telah kehilangan rasa percayarnu
terhadapku, Raoul. Sernua sudah berakhir!"
Gadis itu berbicara dengan suara yang sarat keputusasa­
an sehingga pernuda itu mulai rnenyesali kekasarannya.
"Tunggu!" teriaknya. "Tak bisakah kau rnemberitahuku
arti sernua ini! Kau manusia bebas, tak ada siapa pun yang

139
mencarnpuri kehidupanmu .... Kau bepergian di Paris. Kau
mengenakan jubah untuk datang ke pesta dansa. Mengapa
kau tidak pulang? Apa yang kaulakukan selarna dua ming­
gu terak.hir...? Apa pula kisah tentang sang Malaikat Musik
yang selama ini kauceritakan kepada Mamma Valerius?
Seseorang mungkin saja telah rnenipumu, mernanfaatkan
keluguanrnu. Aku menyaksikannya sendiri, di Perros... teta­
pi sekarang kau tahu apa yang harusnya kaupercayai!
Bagiku kau terlihat cukup punya akal sehat, Christine. Kau
sadar apa yang kauperbuat.... Sementara itu Marnma
Valerius terbaring rnenunggurnu di rumah dan rnemohon
kepada 'mentor baikmu!' Jelaskan padaku, Christine, kumo­
hon! Orang lain mungkin juga telah tertipu seperti aku.
Ada apa dengan semua kepura-puraan ini?"
Christine hanya melepas topengnya dan berujar, "Sayang­

ku, ini suatu tragedi!"


Raoul sekarang melihat wajah gadis itu dan tak dapat
menahan seruan kaget serta ngeri. Kesegaran raut muka
yang ditemuinya dulu telah sirna. Wajah yang begitu cantik
dan lembut itu kini pucat pasi, dan penderitaan telah meng­
guratkan garis-garisnya di sana serta menaruh bayang­
bayang gelap kesedihan tak terperi di bawah matanya.
"Sayangku! Sayangku!" erang Raoul sambil rnengulurkan
tangan. "Kau tadi berjanji untuk mernaafkanku..."
"Mungkin...! Mungkin suatu hari nanti!" jawab gadis itu,
kembali memakai topengnya. Lalu ia pergi dan memberi
tanda supaya Raoul tak mengikutinya.
Raoul mencoba membantah, tetapi Christine berbalik
dan sekali lagi memberi tanda dengan begitu tegas hingga
pemuda itu tak berani beranjak selangkah pun.

140
Ia memandangi gadis itu hingga hilang dari pandangan­
nya. Kemudian ia juga turun, bergabung dengan keramaian
tanpa tahu pasti apa yang dilakukannya, sementara kepa­
lanya berdenyut-denyut dan hatinya sakit. Sembari menye­
berangi lantai dansa, ia bertanya apakah ada yang melihat
Red Death. Ya, semua orang pemah melihat Red Death,
tetapi Raoul tidak dapat menemukannya. Lalu pada jam
dua dinihari, ia menyusuri jalan di belakang panggung
yang mengarah ke ruang ganti Christine Daae.
Maka sampailah ia di ruangan tempat ia memahami arti
penderitaan untuk pertama kalinya. Diketuknya pintu. Tak
ada jawaban. Masuklah ia, seperti ketika ia mencari "suara
laki-laki itu." Ruangan itu kosong. Lampu pijar menyala
redup meneranginya. la melihat beberapa kertas tulis di
atas meja kecil. Ia sedang berpikir untuk menulis surat
kepada Christine, tetapi ia mendengar bunyi langkah kaki
di luar. Hanya ada cukup waktu baginya untuk bersembu­
nyi di ruangan kecil yang dipisahkan tirai.
Christine masuk, melepas topengnya dengan gerakan
letih dan melemparkannya ke atas meja. la menghela napas
lalu menangkupkan wajahnya pada kedua telapak tangan­
nya. Apa yang dipikirkannya? Tentang Raoul? Tidak, sebab
Raoul mendengamya bergumam, "Erik yang malang!"
Awalnya Raoul mengira ia pasti salah dengar. Karena ia
percaya, bila ada orang yang patut dikasihani, maka orang
itu adalah dirinya, Raoul. Akan wajar saja bila gadis itu
berkata, "Raoul yang malang," setelah apa yang terjadi di
antara mereka. Tetapi, sambil menggeleng, gadis itu meng­
ulangi perkataannya, "Erik yang malang!"
Apa hubungan seseorang bernama Erik ini dengan kese-

141
dihan Christine dan mengapa ia mengasihani Erik ketika
Raoul begitu tidak bahagianya?
Christine mulai menulis di kertas-kertas itu dengan begi­
tu lancar dan tenang sehingga Raoul-masih gemetar atas
tragedi yang memisahkan mereka -tak urung merasa ka­
gum dalam kepedihannya.
"Begitu tenangnya!" ucapnya dalam hati.
Gadis itu terus menulis, mengisi dua, tiga, hingga empat
lembar kertas. Tiba-tiba, ia mengangkat kepalanya dan me­
nyembunyikan kertas-kertas itu di balik bajunya.... Gadis
itu seperti mendengarkan sesuatu... Raoul juga mendengar­
kan... Dari mana datangnya suara dan alunan asing dari
kejauhan itu? Nyanyian lamat-lamat seakan keluar dari
dinding-dinding... ya, seakan dinding-dinding itu sendirilah
yang bemyanyi! Nyanyian itu bertambah jelas... kata-kata­
nya pun terdengar lebih jelas... Raoul mendengar suara
yang begitu indah, lembut, dan menawan hati... tetapi mes­
ki begitu lembut, suara itu tetaplah suara seorang laki-laki.
Suara itu semakin bertambah dekat... ia datang dari din­
ding... mendekat... dan kini suara itu berada di dalam ruang­
an itu, di depan Christine. Christine berdiri dan menyapa
suara itu seperti berbicara dengan seseorang.
"Aku di sini, Erik," ucapnya. "Aku siap. Tapi kau terlam­
bat."
Raoul yang mengintip dari balik tirai tak bisa memer­
cayai penglihatannya. Tidak ada orang lain di sana. Wajah
Christine tampak berseri. Senyum kebahagiaan mengem­
bang dari bibir pucatnya, senyum seperti milik seorang
pesakitan saat pertama kali mendengar berita harapan ke­
sembuhan baginya.

142
Suara tanpa raga itu terus bemyanyi, dan di sepanjang
hidupnya, Raoul tidak pernah mendengar suara yang lebih
manis namun gagah, yang lebih membuai, indah, dan kuat
daripada ini. Tak ada yang bisa menandinginya. Raoul
mendengarkan nyanyian itu sambil merinding dan mulai
mengerti bagaimana pada malam itu, di hadapan penonton
yang begitu terkesima mendengar keindahan yang tak per­
nah terbayangkan sebelumnya, Christine bisa tampil dalam
keadaan masih terbius oleh guru misteris dan tak kasatma­
ta ini.
Suara itu membawakan lagu Wedding-night Song dari
Romeo and Juliet. Raoul melihat Christine mengulurkan ta­
ngannya ke arah suara tersebut, seperti yang ia lakukan
sebelumnya di halaman gereja di Perros terhadap biola tak
tampak yang memainkan The Resurrection of Lazarus. Tak
ada kata-kata yang mampu menggambarkan penjiwaan
suara itu ketika menyanyikan kalimat ini, "Takdir mengan­
tarmu kepadaku untuk selama-lamanya!"
Kalimat itu menusuk hati Raoul. Setelah berhasil lepas
dari pesona yang seakan mampu menghanyutkan segenap
keinginan, tenaga, dan kesadaran yang dimilikinya pada
keadaan segening
t ini, Raoul berhasil menyibakkan tirai
yang menutupi persembunyiannya dan melangkah ke tem­
pat Christine berada. Christine sendiri sedang menuju ba­
gian belakang ruangan, ke arah dinding yang dipenuhi
cermin teramat besar yang memantulkan bayangan dirinya.
Raoul tak tampak di sana, sebab ia berada tepat di bela­
kang Christine, terhalang sosok gadis itu.
"Takdir mengantarmu kepadaku untuk selama-lama­
nya!"

143
Christine berjalan menuju bayangannya di cermin, dan
bayangan itu bergerak ke arahnya. Kedua Christine akhir­
nya bersentuhan, dan Raoul mengulurkan tangannya, ber­
siap meraih keduanya ke dalam pelukannya. Tetapi suatu
kejadian ganjil yang sulit dipercaya tiba-tiba terjadi. Raoul
mendadak terdorong ke belakang dan udara sedingin es
menerpa wajahnya. Ia melihat tidak lagi hanya dua
Christine, melainkan empat, delapan, dua puluh Christine
berputar mengelilinginya, tertawa dan bergerak begitu lin­
cah hingga Raoul tak dapat menyentuh satu pun dari mere­
ka. Lalu segala sesuatunya kembali diam dan Raoul mena­
tap pantulan dirinya di cermin itu. Tetapi Christine telah
lenyap.
Dengan tergesa Raoul menuju cermin itu. la memeriksa
dinding-dindingnya. Tak ada siapa pun! Sementara, ruang­
an itu masih menggemakan nyanyian lamat-lamat penuh
perasaan, "Takdir mengantarmu kepadaku untuk selama­
lamanya!"
Lewat manakah Christine menghilang? Lewat mana ia
akan kembali?
Akankah ia kembali? Bukankah Christine telah berkata
kepadanya bahwa semuanya telah berakhir? Dan tidakkah
suara itu terus-menerus mengulang, "Takdir mengantarmu
kepadaku untuk selama-lamanya!"
Kepadaku? Kepada siapa?
Merasa teramat lelah, kalah, dan kehabisan akal, Raoul
duduk di kursi yang tadinya ditempati Christine. Seperti
gadis itu, ia juga menangkup wajahnya ke kedua tangan­
nya. Ketika ia mengangkat kepalanya, air mata turun mem­
basahi pipinya. Air mata itu sungguh-sungguh, seperti

144
milik seorang kanak-kanak yang cemburu, air mata yang
menangisi sebentuk penderitaan menyedihkan yang begitu
akrab dengan para kekasih di muka bumi, yang diluapkan­
nya keras-keras, "Siapakah Erik ini?" ujarnya.

145
Bab 10
Lupakan Suara Laki-laki ltu

l<EEsoKAN hari setelah kejadian hilangnya Christine secara

ajaib yang sempat membuat Raoul meragukan pancaindra­


nya, M. le Vicomte de Chagny datang untuk bertanya pada
Mamma Valerius. Temyata, apa yang dijumpainya di sana
sangatlah menarik. Christine sedang duduk di tepi tempat
tidur tempat perempuan tua itu duduk bersandar di bantal
dan merajut. Rona kemerahan telah kembali tampak di
pipi gadis itu. Lingkaran gelap di bawah matanya telah
hilang. Raoul tak menjumpai paras menyedihkan yang dili­
hatnya kemarin. Bila bukan karena aura kesedihan yang
masih tampak membungkus sosok cantik itu, Raoul mung­
kin tidak akan percaya bila Christine adalah gadis yang
ditemuinya kemarin, yang menghadapi kejadian aneh dan
misterius.
Christine bangkit dari duduknya, dan tanpa menunjuk­
kan emosi apa pun, mengulurkan tangannya kepada Raoul.
Tetapi keterpanaan Raoul begitu hebat sehingga ia hanya
mampu berdiri tercenung di sana.

146
"Well, M. de Chagny," ujar Mam.ma Valerius, "kau tidak
mengenali Christine? Mentomya yang baik telah mengem­
balikan dia kepada kita!"
"Mamma!" ucap gadis itu seketika, dengan mata menyi­
ratkan rasa malu. "Kupikir Mam.ma tidak akan menyebut­
nyebut hal itu lagi... Mam.ma tahu Malaikat Musik itu ti­
dak ada!"
"Tetapi, Nak, dia memberimu pelajaran menyanyi sela­
ma tiga bulan!"
"Mam.ma, aku sudah berjanji untuk menjelaskan semua­
nya kepadamu dalam waktu dekat, dan aku berharap de­
mikian.... tetapi Mam.ma sudah berjanji bahwa sampai saat
itu tiba, Mam.ma akan diam dan tidak akan menanyaiku
pertanyaan apa pun!"
"Asalkan kau berjanji tidak akan meninggalkanku lagi!
Sudahkah kau berjanji, Christine?"
"Mam.ma, pembicaraan ini tidak menarik bagi M. de
Chagny."
"Sebaliknya, Mademoiselle," jawab pemuda itu dengan
suara masih gemetar, meskipun ia sudah mencoba menja­
ganya agar tetap terdengar tegas dan berani, "apa pun
yang berhubungan denganmu selalu begitu menarik bagiku
hingga ke batas yang mungkin akan kaupahami suatu hari
nanti. Aku tidak menyangkal bahwa aku terkejut sekaligus
senang mendapatimu di sini, bersama dengan ibu
angkatmu. Setelah apa yang terjadi di antara kita kemarin,
setelah apa yang kaukatakan dan yang bisa kukira-kira,
aku tidak menyangka akan menjumpaimu di sini secepat
ini. Aku orang pertama yang akan senang mendengar
berita kepulanganmu, kalau saja kau tidak menutupinya

147
dan bersikeras menyembunyikan rahasia yang mungkin
membahayakan dirimu. .. dan seperti halnya Mamma
Valerius, aku, yang telah cukup lama menjadi temanmu,
mencurigai ada suatu hal berbahaya yang sedang terjadi,
dan selama sesuatu itu tak terungkap, Christine, kau mung­
kin akan berakhir sebagai korbannya."
Mendengar kata-kata ini, Marnma Valerius bergerak geli­
sah di tempat tidurnya.
"Apa maksudnya ini?" serunya. "Apa Christine berada
dalam bahaya?"
"Ya, Madame," jawab Raoul dengan berani tanpa meme­

dulikan kode-kode yang dibuat Christine untuknya.


"Ya Tuhan!" seru perempuan tua yang baik itu. Rasa
panik membuatnya sedikit terengah. "Kau harus mencerita­
kan semuanya kepadaku, Christine! Mengapa sebelum ini
kau mencoba meyakinkanku? Dan bahaya apakah itu, M.
de Chagny?"
"Seorang penipu memanfaatkan rasa percayanya yang
tulus."
"Apa Malaikat Musik itu seorang penipu?"
"la memberitahu Anda sendiri bahwa Malaikat Musik
itu tidak ada."
"Kalau begitu, demi Tuhan, apa maksudmu? Aku bisa
mati kalau kau tak memberitahuku!"
"Ada suatu misteri mengerikan yang menyelubungi kita,
Madame, menyelubungi Anda, menyelubungi Christine.
Misteri yang jauh lebih menakutkan daripada hantu-hantu
dan jin!"
Wajah ketakutan Mamma Valerius berpaling ke arah

148
Christine yang telah menghambur ke arah ibu angkatnya
itu dan memeluknya.
11Jangan percaya padanya, Mummy, jangan percaya,11
katanya berulang-ulang.
11Kalau begitu betjanjilah padaku kau takkan pemah me­
ninggalkanku lagi,11 pinta janda itu.
Christine terdiam dan Raoul melanjutkan ucapannya.
11Itulah yang harus kaujanjikan, Christine. Itu satu-satu­
nya yang bisa meyakinkan ibumu dan aku. Kami berjanji
tidak akan menanyakan segala yang terjadi sebelum ini
bila kau betjanji untuk bersedia kami lindungi mulai seka­
rang.11
11Aku tidak pemah meminta janji itu darimu dan aku
menolak untuk menjanjikan itu padamu!11 ujar gadis itu
dengan ketus. /1 Aku yang jadi tuan atas perbuatanku sen­
diri, M. de Chagny. Kau tidak punya hak untuk mengen­
dalikannya, dan aku meminta kepadamu untuk berhenit
melakukan itu mulai sekarang. Tentang apa yang kulaku­
kan selama dua minggu ini, hanya ada satu orang yang
berhak menuntut penjelasanku: suamiku! Well, aku tidak
punya suami dan tak pernah berniat menikah!11
Christine mengibaskan tangannya untuk mempertegas
kata-katanya dan wajah Raoul berubah pucat, bukan hanya
karena kata-kata yang didengarnya, tetapi juga karena ia
melihat cincin emas polos melingkari jari Christine.
11Kau tidak punya suami tetapi kau memakai cincin ka-

II
wm.

Raoul mencoba meraih tangan gadis itu, tetapi Christine


dengan cepat menariknya.

149
"Itu hadiah!" katanya, dengan wajah bersemu merah
karena malu yang tak mampu disembunyikannya.
"Christine! Karena kau tak punya suami, cincin itu ha­
nya mungkin diberikan oleh seseorang yang ingin menjadi­
kanmu istrinya! Untuk apa kau membohongi kami lagi?
Mengapa kau masih ingin terus menyiksaku? Cincin itu
suatu bentuk lamaran dan lamaran itu telah diterima!"
"Itu yang kukatakan tadi!" seru perempuan tua itu.
"Dan apa jawabnya, Madame?"
"Aku menjawab apa yang ingin kujawab," jawab
Christine mulai marah. "Monsieur, tidakkah kaupikir peme­
riksaan ini sudah cukup? Sejauh yang aku tahu..."
Raoul takut mendengar lanjutan kalimat itu, maka ia
memotong.
"Aku minta maaf atas kata-kataku, Mademoiselle. Kura­
sa kau tahu niat baik yang membuatku mencampuri urus­
an yang kaupikir jelas-jelas tak ada hubungannya dengan­
ku ini. Tetapi izinkan aku mengatakan apa yang pernah
kulihat-dan aku sudah melihat lebih banyak dari yang
kaukira, Christine- atau apa yang aku pikir kulihat, sebab,
terus terang, sering kali aku meragukan apa yang dilihat
mataku."
"Well, apa yang kaulihat, Tuan, atau yang kaupikir kau­
lihat?"
"Aku melihat suka cita yang kaurasakan saat mendengar
suara nyanyian itu, Christine. Suara yang muncul dari batik
dinding atau dari sebelah ruanganmu... ya, suka citamu!
Dan itulah yang membuatku waspada atas keselamatanmu.
Kau berada di bawah pengaruh mantra yang berbahaya.
Tetapi sepertinya kau juga menyadari tipu muslihat ini,

150
karena hari ini kau mengatakan bahwa Malaikat Musik itu
tidak ada! Kalau begitu, Christine, mengapa waktu itu kau
mengikutinya? Mengapa kau bangkit dengan begitu
berseri-seri, seakan kau sungguh mendengar para malaikat?
Ah, suara itu begitu berbahaya, Christine, sebab saat aku
sendiri mendengarnya, aku begitu terkesima sehingga kau
bisa menghilang dari hadapanku tanpa aku tahu bagai­
mana dan ke mana! Demi surga dan ayahmu yang berada
di sana, yang begitu mencintaimu dan aku, Chrisine,
t beri­
tahu aku dan ibu penyantunmu, suara siapakah itu? Bila
kau memberitahu kami, kami akan marnpu melindungimu.
Ayolah, Christine, sebutkan nama laki-laki itu! Nama laki­
laki yang memiliki keberanian untuk menyematkan cincin
pada jari-mu!"
"M. de Chagny," ujar gadis itu dengan dingin, "kau tak
akan pemah tahu!"
Melihat ketidakramahan yang ditunjukkanya
n kepada
sang viscount agar tak bertanya lebih lanjut, Mamma
Valerius tiba-tiba berbalik memihak Christine.
"Dan, bila ia memang mencintai laki-laki itu, monsieur le
vicomte, maka ini bukan urusanmu!"
"Celakanya, Madame," jawab Raoul pelan, tak kuasa
menahan air matanya, "celakanya, aku yakin Christine
benar-benar mencintainya... Tetapi bukan hanya itu yang
membuatku menderita. Madame, aku tidak yakin laki-laki
yang dicintai Christine itu layak menerima cintanya!"
"Hanya aku yang berhak menilai itu, Monsieur!" ujar
Christine sambil memandang Raoul dengan marah.
"Ketika seorang laki-laki," lanjut Raoul, "menggunakan

151
cara-cara yang begitu romantis untuk mernikat perasaan
seorang gadis muda...."
"Maka laki-laki itu pastilah jahat atau gadis itu memang
bodoh, bukan begitu?"
"Christine!"
"Raoul, mengapa kau mengutuki laki-laki yang tak per­
nah kaulihat, yang tak dikenal siapa pun termasuk diri­
mu?"
"Aku tahu, Christine.... Ya.... setidaknya aku tahu nama
yang ingin kausembunyikan dariku untuk selamanya.
Nama sang Malaikat Musik-mu, Mademoiselle, adalah
Erik!"
Christine tak dapat lagi mempertahankan sikap tegasnya.
Wajahnya berubah sepuih
t kertas dan dengan terbata-bata
ia berkata, "Siapa yang memberitahumu?"
"Kau sendiri!"
"Bagaimana mungkin?"
"Ketika kau mengasihaninya pada malam pesta topeng
itu. Waktu kau masuk ke ruang gantimu, bukankah kau

berkata, 'Erik yang malang'? Well, Christine, pada saat itu


ada seorang Raoul yang malang yang mendengarmu."
"Ini kedua kalinya kau menguping di balik pintu, M. de

Chagny!"
"Aku tidak berada di batik pintu. Aku ada di dalam
ruang ganti itu, di ruang bagian dalam, Mademoiselle."
"Oh, laki-laki malang!" erang gadis itu, menunjukkan
wajah penuh kengerian. "Laki-laki malang! Apa kau ingin
mati?"
"Mungkin."
Raoul mengucapkan kata "mungkin" itu dengan nada

152
penuh cinta dan kesedihan sehingga Christine tak mampu
menahan tangisnya. Gadis itu meraih tangan Raoul dan
memandang wajahnya dengan segenap rasa sayang yang
mampu ditunjukkanya,
n "Raoul," katanya, "lupakan suara
laki-laki itu dan kau bahkan jangan mengingat namanya.
Kau tidak boleh mencoba memahami misteri di batik suara
laki-laki itu."
"Apakah misteri itu sebegitu mengerikannya?"
"Tak ada misteri yang lebih buruk daripada itu di muka
bumi ini. Bersurnpahlah padaku bahwa kau tidak akan
berusaha mencari tahu," desak gadis itu. "Bersurnpahlah
bahwa kau tak akan memasuki ruang gantiku kecuali aku
memintamu untuk datang."
"Kalau begitu kau berjanji untuk memintaku datang sese-
kali, Christine?"
"Aku janji."
"Kapan?"
"Besok."
"Maka aku bersumpah melakukan seperti yang kaumin­
ta."
Pemuda itu menciurn tangan Christine, lalu pergi sambil
mengutuki Erik dan bertekad untuk bersabar.

153
Bab ll
Di Atas Pintu-Pintu Jebak

l<EEsoKAN harinya Raoul menemui Christine di Opera. Ga­

dis itu masih memakai cincin emas polosnya. Ia memperla­


kukan Raoul dengan begitu baik dan lembut, membicara­
kan rencana-rencana Raoul untuk masa depan dan
kariemya.
la memberitahu Christine bahwa tanggal keberangkatan
ekspedisinya telah dimajukan dan ia akan meninggalkan
Prancis dalam tiga minggu atau maksimal satu bulan. De­
ngan cukup gembira Christine menyarankan Raoul melihat
petjalanan itu sebagai sesuatu yang menyenangkan, sebagai
langkah meraih kemasyhurannya. Ketika pemuda itu men­
jawab bahwa kemasyhuran tanpa cinta tidaklah menarik
baginya, Christine memperlakukan pemuda itu seperti
kanak-kanak yang akan segera melupakan kesedihannya.
"Bagaimana bisa kau bersikap begitu enteng terhadap
hal-hal yang sangat serius?" tanyanya. "Kita mungkin ti­
dak akan pemah bertemu lagi! Aku mungkin meninggal
dalam ekspedisi itu."

154
"Atau malah aku," jawabnya pendek.
Christine sudah tidak lagi tersenyum atau bercanda. Ia
seakan mernikirkan sesuatu yang baru saja, untuk pertama
kalinya, melintas di pikirannya. Dan hal itu membuat ma­
tanya berbinar-binar.
"Apa yang kaupikirkan, Christine?"
"Aku berpikir bahwa kita takkan bertemu satu sama lain
1ag1• ...II
"Dan itu membuatmu begitu senang?"
"Dan dalam waktu sebulan, kita akan harus berpisah
untuk selamanya!"
"Kecuali, Christine, kita betjanji setia dan saling menanti

untuk selamanya."
Tangan Christine menutup mulut pemuda itu.
"Sst, Raoul... ! Kau tahu itu tak bisa ditawar lagi... Dan
kita takkan pernah menikah: itu sudah jelas!"
Tiba-tiba, gadis itu seperti tak mampu menahan rasa se­
nang yang begitu besar. Ia bertepuk tangan dengan kegem­
biraan seorang anak kecil. Raoul memandanginya dengan
takjub.
"Tapi... tapi," lanjutnya sambil mengulurkan kedua ta­
ngannya kepada Raoul, atau lebih tepatnya menyerahkan
kedua tangannya kepada pemuda itu seperti tiba-tiba ber­
tekad menghadiahkannya pada Raoul, "tapi kalau kita ti­
dak bisa menikah, kita bisa... kita bisa bertunangan! Tidak
ada orang lain yang akan tahu kecuali kita, Raoul. Ada
begitu banyak pemikahan rahasia, mengapa tidak dengan
pertunangan rahasia? Kita bertunangan, Sayang, selama
sebulan! Dalam sebulan, kau akan pergi, dan aku akan
bahagia mengenang satu bulan itu selama sisa hidupku!"

155
Christine begitu terpesona oleh gagasan itu. Lalu ia ber­
ubah serius lagi.
"lni," katanya, "adalah kebahagiaan yang tidak akan menya­
kiti siapa pun."
Raoul begitu senang dengan ide itu. Ia membungkuk di
hadapan Christine dan berkata, "Mademoiselle, aku merasa
tersanjung bila kau mau memberikan tanganmu sebagai
tanda persetujuan pertunangan ini."
"Kau sudah memiliki kedua tanganku, tunanganku sa­
yang... ! Oh, Raoul, betapa bahagianya kita... ! Kita akan
melakukan permainan pertunangan ini sepanjang hari."
Itu adalah permainan tercantik di dunia dan mereka me­
nikmatinya seperti ketika kanak-kanak. Oh, betapa indah
kata-kata yang saling mereka ucapkan dan janji setia yang
mereka pertukarkan! Mereka bermain sepenuh hati seperti
kanak-kanak bermain bola; hanya saja kali ini mereka ha­
rus sangat, sangat berhati-hait setiap kali menangkapnya
karena sesungguhnya kedua hati merekalah yang sating
mereka lemparkan.
Suatu hari, seminggu setelah permainan itu dimulai,
perasaan Raoul begitu terluka sehingga ia berhenti bermain
dan tanpa pikir panjang ia berkata, "Aku tidak akan pergi
ke Kutub Utara!"
Christine, yang dalam kepolosannya tidak menduga hal
ini akan terjadi, tiba-tiba memahami bahaya permainan ini
dan menyalahkan dirinya sendiri. la tak menanggapi ucap­
an Raoul dan langsung pulang.
Kejadian itu sore hari, di ruang ganti penyanyi itu, tem­
pat mereka bertemu setiap hari dan menghibur diri dengan
memakan tiga biskuit serta meminum dua gelas anggur

156
dengan seikat bunga violet. Namun malam harinya,
Christine tidak tampil untuk bernyanyi, dan Raoul tidak
menerima surat darinya seperti biasa, meskipun mereka
telah betjanji untuk saling berkirim surat setiap hari selama
sebulan itu. Keesokan harinya, Raoul cepat-cepat menemui
Mamma Valerius yang kemudian memberitahunya bahwa
Christine telah pergi selama dua hari sejak jam lima sore
kemarin.
Raoul merasa gelisah. Ia kesal pada Mamma Valerius
yang menyampaikan berita itu dengan ketenangan luar
biasa. la mencoba menggali lebih jauh, tetapi perempuan
tua itu tidak tahu apa-apa.
Christine kembali keesokan harinya, dan a
i kembali ber­

nyanyi dengan begitu cemerlang. la mengulang kembali


kesuksesan penampilannya pada pesta jamuan makan wak­
tu itu. Sejak petualangan "si kodok", Carlotta tak sanggup
lagi tampil di atas panggung. la begitu ketakutan akan
mendengar suara "kro-ok" itu lagi sehingga ia kehilangan
seluruh kekuatannya untuk bernyanyi. Dan gedung teater
yang telah menjadi saksi aib misterius miliknya itu kini
menjadi musuh baginya. Carlotta bahkan berusaha memba­
talkan kontraknya. Karena itulah mereka menawari Daae
posisi Carlotta untuk sementara waktu. Hasilnya, Christine
menerima hujan tepuk tangan dalam pementasan Juive.
Sang viscount, yang tentu saja datang menonton, adalah
satu-satunya orang yang menderita mendengar gema ribu­
an tepuk tangan yang menyambut kesuksesan penampilan
ini, karena Christine masih memakai cincin emas polosnya.
Suara samar berbisik di telinga pemuda itu, "Ia memakai
cincin itu lagi malam ini, dan bukan kau yang memberikan-

157
nya. Ia memberikan jiwanya lagi malam ini, dan ia tidak
memberikannya kepadamu.... Jika ia menolak memberitahu­
mu apa yang dia lakukan dua hari terakhir ini .
. . kau harus
pergi dan bertanya kepada Erik!"
Raoul berlari ke belakang panggung dan menghadang
Christine. Gadis itu melihatnya, sebab ia memang mencari­
cari pemuda itu. Kata gadis itu, "Cepat! Cepat! Kemari!"
Dan ia menyeret Raoul ke ruang ganti miliknya.
Begitu sampai, Raoul langsung berlutut di hadapan
Christine. Ia berjanji kepada gadis itu bahwa ia akan pergi
berlayar dan memohon kepadanya untuk tidak lagi meng­
hilangkan kebahagiaan impian mereka barang satu jam
pun. Christine menangis mendengarnya. Lalu mereka ber­
ciuman seperti sepasang saudara yang sedih, yang dipersa­
tukan oleh suatu rasa kehilangan dan kini bertemu untuk
bertangisan atas kematian orangtua mereka.
Tiba-iba,
t Christine melepaskan diri dari pelukan nyaman
pemuda itu dan tampak berusaha mendengarkan sesuatu.
Lalu, dengan satu gerakan cepat ia menunjuk ke arah pintu.
Ketika Raoul berada di ambang pintu, Christine berbicara
dengan suara yang amat pelan sehingga Raoul sebenamya
lebih menebak-nebak kata-kata ini daripada mendengarnya
sendiri, "Besok, tunanganku tersayang! Dan bergembiralah,
Raoul, Aku bernyanyi untukmu malam ini!"
Keesokan harinya, Raoul kembali. Tetapi perpisahan dua
hari itu telah membuyarkan kesenangan permainan pura­
pura mereka. Dengan pandangan sedih keduanya bertatap­
an di ruang ganti itu tanpa mengucapkan sepatah kata
pun. Raoul harus menahan diri untuk tidak berseru, "Aku
cemburu! Aku cemburu! Aku cemburu!"

158
Tetapi gadis itu mengerti. Lalu ia berkata, "Mari kita
betjalan-jalan, Sayang. Udara luar baik untukmu."
Raoul berpikir Christine akan membawanya betjalan-ja­
lan di alam terbuka, jauh dari bangunan yang terasa bagai
penjara baginya. Penjara dengan sipir yang dapat dirasa­
kannya berjalan di dalam dinding-dinding yang ada. . . sipir
Erik. . . . Tetapi Christine membawa Raoul ke panggung dan
mendudukkannya di pinggiran sumur kayu yang akan
dipakai sebagai tata panggung pertama pementasan malam
itu.

Di hari yang lain, sambil bergandengan tangan dengan


Raoul, Christine berjalan-jalan melintasi jalan setapak sepi
di taman buatan yang tanaman-tamanan jalarnya telah
dipangkas rapi oleh dekorator berpengalaman. Alam yang
sesungguhnya seolah telah menjadi sesuatu yang terlarang
bagi gadis itu, dan ia dikutuk untuk tidak pemah lagi
menghirup udara di luar teater. Seorang pemadam api
paro waktu lewat, memandang kebersamaan melankolis
mereka dari kejauhan. Lalu Christine membawa Raoul naik
ke bagian langit-langit panggung, di antara puluhan palang
yang melintang, di tempat itu ia membuat Raoul cemas
melihatnya berlarian di jembatan-jembatan rapuh di atas
sana, di antara ribuan tali yang diikatkan pada sekian ba­
nyak katrol, kerekan, dan mesin gulung yang tersebar di
hutan tiang tonggak yang ada. Saat pemuda itu ragu-ragu,
dengan cibiran yang menggemaskan Christine berkata,
"Dan kau bilang kau seorang pelaut?"
Kemudian mereka kembali ke terra firma, yaitu beberapa
jalan yang mengarah ke sekolah tari tempat gadis-gadis
kecil berumur antara enam hingga sepuluh tahun melatih

159
gerakan-gerakan tari mereka, berharap suatu hari nanti
akan menjadi penari-penari terkenal yang "berbalut ber­
lian. . . ." Tetapi, untuk sekarang ini, Christine memberi me­
reka permen.
Ia membawa Raoul ke ruang-ruang penyimpanan kos­
tum dan properti, mengajak pemuda itu mengelilingi kera­
jaannya, yang meskipun hanyalah buatan manusia, tetapi
begitu besar, meliputi tujuh belas lantai dari ingkat
t paling
bawah hingga ke atap, serta ditinggali oleh begitu banyak
orang. Christine berkeliling di antara mereka seperti ratu
yang disukai rakyatnya. la menyemangati apa yang mereka
lakukan, duduk di bengkel-bengkel ketja mereka, dan mem­
beri saran kepada para pembuat kostum yang ragu-ragu
memotong kain indah untuk pakaian para tokoh utama.
Sepertinya segala macam profesi ada di sana. Bahkan tu­
kang sepatu hingga pengrajin perhiasan. Mereka semua
mengenal dan mencintainya, sebab ia selalu menaruh per­
hatian pada masalah-masalah serta berbagai kesukaan
mereka.
Christine mengetahui ruangan-ruangan tak tetjamah
yang secara diam-diam ditempati oleh orang-orang tua. la
mengetuk pintu-pintu mereka dan memperkenalkan Raoul
sebagai Pangeran Tampan yang telah melamarnya. Lalu
keduanya duduk di "properti" lapuk dan mendengarkan
legenda-legenda Opera ini seperti mereka mendengarkan
kisah-kisah kuno Breton saat masih kanak-kanak. Orang­
orang tua itu tidak ingat apa pun di luar Opera. Mereka
telah tinggal di sana sejauh mereka bisa mengingat. Mana­
jemen yang lalu-lalu telah melupakan mereka, revolusi­
revolusi kerajaan tak memedulikan mereka, sejarah Prancis

160
telah bergulir tanpa mereka ketahui, dan tak ada seorang
pun yang mengingat keberadaan mereka.
Begitulah hari-hari membahagiakan mereka itu berlalu
dengan cepat. Dan dengan memberikan perhatian berlebih
pada hal-hal di luar mereka, Raoul dan Christine berusaha
keras sating menyembunyikan pikiran dan perasaan mere­
ka. Tetapi satu hal yang pasti, Christine, yang sampai saat
itu selalu menjadi yang lebih tegar di antara keduanya,
tiba-tiba menjadi gugup tanpa alasan. Di tengah-tengah
penjelajahan mereka di gedung Opera itu, ia akan tiba-tiba
mulai berlari atau tiba-tiba berhenti. Dan tangannya yang
bisa mendadak berubah sedingin es akan menahan Raoul.
Kadang mata gadis itu seakan mencari-cari bayang-bayang
yang tak tampak. la berseru, "Lewat sini," dan "Sini," lalu
"Kemari," kemudian tertawa terbahak-bahak yang sering
berakhir dengan tangis. Maka Raoul berusaha bertanya, tak
peduli ia sudah berjanji sebaliknya. Tetapi, bahkan sebelum
ia mampu mengucapkan pertanyaannya, Christine tergesa
menjawab, "Tidak ada apa-apa. . . Sungguh, tidak ada apa­
apa."
Suatu kali, saat mereka lewat di dekat pintu jebak yang
terbuka di panggung, Raoul melongok ke dalam lubang
gelap itu.
"Kau sudah menunjukkan kepadaku bagian atas kera­
jaanmu, Christine, tetapi ada cerita-cerita ganjil tentang
dunia bagian bawah ini. Bagaimana kalau kita turun?"
Christine mencengkeram lengan Raoul, seolah takut
pemuda itu akan lenyap ditelan lubang hitam. Lalu, de­
ngan suara gemetar ia berbisik, "Tidak akan...! Aku takkan
memperbolehkanmu pergi ke sana! Lagi pula, bagian itu

161
bukan milikku. . . segala yang ada di bawah tanah adalah milik­
nya!"
Raoul menatap mata Christine dan berkata dengan ka­
sar, "Jadi dia tinggal di sana, kan?"
"Aku tidak pernah bilang begitu... Siapa yang mengata­
kan itu padamu? Mari kita pergi! Aku kadang bertanya-ta­
nya apa kau cukup waras, Raoul. Kau selalu menanggapi
hal-hal secara tak masuk akal. ... Ayo ikut aku! Cepat!"
Dan Christine benar-benar menyeretnya pergi, sebab
Raoul berkeras untuk tetap berada di samping pintu jebak
dengan lubang yang berhasil menarik perhatiannya.
Tiba-tiba, pintu jebak itu ditutup dengan begitu cepat
sampai mereka bahkan tak melihat tangan yang melakukan­
nya. Dengan bingung mereka memandanginya.
"Mungkin dia memang ada di sana," kata Raoul akhir­
nya.
Gadis itu mengangkat bahunya, tapi itu tak mampu
menyembunyikan kegelisahannya.
"Tidak, tidak, itu tadi 'para penutup pintu-pintu jebak.'
Pasti mereka yang melakukannya. . . . Mereka suka membu­
ka dan menutup pintu-pintu jebak tanpa alasan. Seperti
'para petugas penutup pintu,' kadang begitulah mereka
menghabiskan waktu mereka."
"Tetapi bagaimana kalau itu dia, Christine?"
"Tidak, tidak! la telah mengurung diri. la sedang beker­
ja."
"Oh, benarkah? Jadi, dia sedang bekerja?"
"Ya, dia tidak mungkin bisa membuka dan menutup
pintu-pintu jebak dan bekerja pada saat yang sama."
Christine bergidik.

162
"Apa yang sedang dikerjakannya?"
"Oh, sesuatu yang mengerikan...! Tetapi itu lebih baik
bagi kita. Ketika ia mengerjakan itu, ia tak menghiraukan
hal lain. Kadang ia bahkan tidak makan, minum, ataupun
yang lainnya selama berhari-hari... ia berubah menjadi ma­
yat hidup dan tak punya waktu untuk bermain-main de­
ngan pintu-pintu jebak itu."
Sekali lagi Christine merinding. la masih mendekap
Raoul. Lalu ia ganti berkata, "Mungkin itu dia!"
"Apa kau takut padanya?"
"Tidak, tidak, tentu tidak," jawabnya.
Karena itulah, untuk hari-hari setelahnya, Christine ber­
hati-hati untuk menghindari pintu-pintu jebak. Keresahan­
nya baru mulai terlihat ketika hari beranjak petang. Akhir­
nya, suatu sore, Christine datang sangat terlambat dengan
wajah pucat luar biasa dan mata begitu merah sampai-sam­
pai Raoul bertekad untuk melakukan apa pun, termasuk
yang sempat ia bayangkan ketika ia berkata akan batal
mengikuti ekspedisi Kutub Utara kecuali Christine membe­
ritahukan rahasia suara laki-laki itu kepadanya.
"Diamlah! Demi Tuhan, diamlah! Jangan sampai dia men­
dengarmu, Raoul!"
Dan, dengan panik, pandangan Christine menyapu ke­
adaan sekeliling.
"Aku akan membebaskanmu dari pengaruhnya,
Christine. Aku bersumpah. Dan kau tak akan perlu merni­
kirkannya lagi."
"Apa itu mungkin?"
Christine memikirkan kemungkinan yang memberinya
harapan itu sambil menarik Raoul ke lantai paling atas ge-

163
dung teater itu, sangat, sangat jauh dari pintu-pintu je­
bak.
"Aku akan menyembunyikanmu di sudut paling asing
di muka bumi ini, tempat yang tak dapat ia datangi untuk
mencarimu. Kau akan aman di sana. Lalu aku akan per­
gi. . . karena kau telah bersumpah tidak akan menikah."
Christine meraih kedua tangan Raoul dan meremasnya
dengan penuh kegembiraan. Tetapi, ia tiba-tiba menjadi
waspada lagi dan memalingkan kepalanya.
"Lebih tinggi!" hanya itu yang diucapkan Christine. "Le­
bih tinggi lagi!"
Dan gadis itu menyeret Raoul hingga ke puncak ge­
dung.
Raoul mengikuti Christine dengan susah payah. Tak
lama, mereka telah mencapai area persis di bawah atap,
tempat labirin tiang-tiang berada. Mereka bergerak dan
menyelinap di antara begitu banyak dinding topang, tiang,
dan balok, berpindah dari satu palang ke palang lain layak­
nya dari pohon satu ke pohon yang lain.
Meskipun Christine tak pernah lupa menoleh sesekali ke
belakang, ia luput mendapati suatu bayangan yang meng­
ikutinya seperti bayangannya sendiri. Tanpa suara, bayang­
an itu berhenti ketika Christine berhenti, dan ikut bergerak
ketika gadis itu bergerak lagi. Raoul pun tak melihat apa­
apa. Sebab, selama Christine berada di depannya, pemuda
itu tak peduli dengan apa pun yang terjadi di belakang­

nya.

164
Bab12
Harpa Dewa Apollo

MAKA sampailah mereka di atap. Christine melangkahkan


kakinya seringan burung layang-layang. Pandangan mereka
menyapu area luas yang terbentang di antara tiga kubah
dan atap segitiga itu. Christine menghirup udara Paris
dalam-dalam, sementara kesibukan kota itu terhampar di
bawah. la memanggil Raoul untuk mendekat, dan mereka
berjalan bersisian menyusuri atap berlapiskan lembar-lem­
bar seng dan timah itu. Mereka memandang bayangan
mereka di penampungan air raksasa dengan aimya yang
tenang, yang pada musim panas biasanya digunakan oleh
sekelompok anak laki-laki penari balet untuk belajar bere­
nang dan menyelam.
Bayangan itu terus mengikuti di belakang mereka, me­

nernpel ketat di setiap langkah. Dan tanpa menaruh curiga,


kedua sosok belia itu akhirnya duduk di bawah patung
kuningan Apollo berukuran raksasa yang mengangkat har­
pa besarnya ke jantung langit yang merah lembayung.
Sore hari yang indah di musirn semi. Awan-awan yang

165
baru saja bermantelkan cahaya ungu keemasan mentari
senja tampak berarak pelan. Christine berkata kepada
Raoul, "Tak lama lagi kita akan pergi lebih jauh dan lebih
cepat dibandingkan awan-awan itu, ke ujung dunia, dan
kau akan meninggalkanku, Raoul. Tetapi, bila tiba waktu­
nya bagimu membawaku pergi dan aku menolaknya -kau
harus memaksaku!"
"Apa kau takut akan berubah pikiran, Christine?"
"Aku tidak tahu," jawab gadis itu sambil menggeleng
aneh. "Dia itu iblis!" Lalu ia bergidik dan, sambil menge­
rang, menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Raoul. "Seka­
rang aku takut untuk kembali dan tinggal bersamanya . . .
di bawah tanah!"
"Apa yang mengharuskanmu kembali, Christine?"
"Kalau aku tak kembali kepadanya, malapetaka menge­
rikan akan terjadi! Tapi aku tak bisa, aku tak bisa melaku­
kannya... Aku tahu kita seharusnya mengasihani mereka
yang tinggal di bawah tanah. . . . Tapi a
i terlalu mengerikan!
Padahal waktu semakin mendesak, aku hanya punya seha­
ri lagi. Kalau aku tidak datang, ia akan menjemputku de­
ngan suaranya. Lalu a
i akan menyeretku pergi bersamanya,
ke bawah tanah, dan ia akan berlutut di hadapanku, me­
mandangku dengan kepala tengkoraknya. Dan ia akan
berkata bahwa a
i mencintaiku! Dan a
i akan menangis! Oh,
air mata itu, Raoul, air mata yang mengalir dari ceruk
mata yang gelap di kepala tengkoraknya! Aku tak sanggup
menyaksikan air mata itu mengalir lagi!"
Christine meremas-remas tangannya dengan begitu se­
dih, dan Raoul mendekap gadis itu erat.
"Tidak, tidak, kau tidak akan pemah mendengamya berka-

166
ta ia mencintaimu lagi! Kau takkan melihat air matanya! Mari
kita pergi dari tempat ini, Christine, pergi sekarang juga!"
Pemuda itu mencoba menariknya pergi, beberapa kali.
Tetapi gadis itu menghentikannya.
"Tidak, tidak," jawabnya, menggeleng sedih. "Tidak seka­
rang! Terlalu kejam. . . biarkan ia mendengarku bemyanyi
besok malam... dan setelahnya kita akan pergi. Kau harus
datang menjemputku di ruang gantiku tepat tengah ma­
lam. Saat itu ia akan menungguku di ruang makan di
pinggir danau . . . kita tak akan diawasi dan kau akan mem-
bawaku pergi.... Kau harus berjanji melakukannya, Raoul,
bahkan bila aku menolak. Sebab aku takut kalau aku me­
nemuinya kali ini, aku mungkin tak akan pemah bisa kem­
bali."
Lalu gadis itu menghela napas dan sepertinya a
i mende-
ngar helaan napas lain menyusul dari belakangnya.
"Kaudengar itu?"
Giginya gemeletuk karena ketakutan.
"Tidak," kata Raoul, "aku tak mendengar apa-apa."
"Gemetar ketakutan seperti ini sangatlah menyiksa!" ke-
luhnya. "Padahal tak ada bahaya apa pun yang mengintai
kita di sini. Kita berada di rumah, di ketinggian langit, di
tempat terbuka, dalam terang cahaya. Matahari benderang,
dan burung-burung malarn tak kuasa memandang ke arah­
nya. Aku tak pernah bertemu dengannya ketika hari masih
terang. . . pasti mengerikan! Oh, kali pertama aku bertemu
dengannya, kupikir ia akan mati."
"Mengapa?" tanya Raoul, meskipun ia sebenamya takut
pada apa yang mungkin akan didengamya sebagai jawab­
an pertanyaannya yang sok yakin.

167
"Karena aku telah melihatnya!"
Kali ini Raoul dan Christine menoleh bersamaan, "Seper­
ti suara orang sedang kesakitan," kata Raoul. "Mungkin
ada yang terluka. Apa kau mendengarnya tadi?"
"Aku tidak yakin," ujar Christine. "Bahkan meski ia ti­
dak ada, telingaku sering merasa mendengar suara helaan
napasnya. Tapi, kalau kau memang mendengamya. . ."
Mereka berdiri dan memandang sekitar. Hanya ada
mereka berdua di atap timah berukuran raksasa ini. Maka
mereka kembali duduk dan Raoul berkata, "Ceritakan
padaku bagaimana kau pertama kali bertemu dengan­
nya."
"Aku mendengarnya selama tiga bulan tanpa pernah
melihatnya. Pertama kali aku mendengar suara itu, seperti
dirimu, aku berpikir suara yang begitu indah itu berasal
dari ruangan lain. Maka aku keluar dan mencarinya ke
sana kemari. Tetapi seperti yang kau tahu, Raoul, ruang
gantiku letaknya cukup terpencil. Aku tak dapat menemu­
kan sumber suara itu di luar, sementara ia terus terdengar
di dalam ruanganku. Dan tak hanya bernyanyi, suara itu
juga berbicara denganku dan menjawab pertanyaan-perta­
nyaanku seperti suara manusia biasa, hanya saja ia begitu
indah seperti datang dari seorang malaikat. Aku tak per­
nah didatangi sang Malaikat Musik yang janjinya akan di­
kirim kepadaku oleh Ayah segera setelah ia meninggal.
Terus terang, aku agak menyalahkan Mamma Valerius.
Maka aku bercerita kepadanya, dan ia langsung berkata,
'Dia pastilah sang Malaikat; coba saja, tak ada salahnya
bertanya kepadanya.' Jadilah aku bertanya. Dan suara itu
menjawab ya, ini suara sang Malaikat, suara yang telah

168
kunanti-nantikan dan yang dijanjikan ayahku. Sejak saat
itu, aku berteman baik dengan suara itu. Ia meminta izin
mengajariku bemyanyi setiap hari. Aku menyetujuinya dan
tak pernah absen mengikuti pelajaran yang diberikannya
di ruang gantiku itu. Meskipun kau telah mendengar suara
itu, kau tak akan menyangka seperti apa sesi-sesi latihan
itu."
"Aku tidak tahu," kata Raoul. "Musik apa yang meng­
iringimu?"
" Kami diiringi musik yang tak kukenal, yang berasal

dari balik tembok dan yang secara ajaib, sangat akurat.


Suara itu seakan begitu persisnya memaharni suaraku, ia
tahu persis sampai mana ayahku mengajariku bernyanyi.
Hanya dalam beberapa rninggu, aku tak lagi mengenali
suaraku ketika bernyanyi. Aku bahkan merasa ketakutan
bahwa ada semacam ilmu gaib di belakang semua ini, teta­
pi Mamma Valerius meyakinkanku. la bilang aku terlalu
polos untuk bisa dikuasai iblis . . . . Suara itu menyuruhku
untuk merahasiakan perkembangan kemampuanku. Tak
ada yang boleh tahu selain dia, Mamma Valerius, dan aku
sendiri. Memang aneh, tapi aku menurutinya. Di luar sana

aku bemyanyi dengan suaraku yang biasanya dan tak ada


orang yang curiga. Aku melakukan semua yang dirninta
oleh si suara. Ia berkata, 'Tunggu dan lihatlah: kita akan
memukau Paris!' Maka aku menunggu dan hidup dalam
semacam rnimpi yang sungguh membahagiakan. ltulah
masa-masa ketika aku pertama kali melihatmu di Opera
pada suatu malam. Aku begitu senang melihatmu sampai
aku tak mengira harus menutupi kegembiraanku saat kem­
bali ke ruang ganti. Celakanya, si suara telah menungguku

169
di sana dan dari tingkah lakuku, ia tahu ada sesuatu yang
terjadi. Ia bertanya ada apa dan aku tak merasa punya
alasan untuk tidak membagikan cerita tentang kita atau
menutupi betapa istimewanya kau di hatiku. Lalu suara
itu diam. Kupanggil dia, tapi ia tak menjawab. Aku memin­
ta dan memohon, tetapi percuma. Aku takut suara itu te­
lah pergi untuk selarnanya. Sekarang aku berharap ia rne­
mang pergi saat itu. Malam itu aku pulang ke rumah
dalarn keadaan putus asa. Aku bercerita pada Marnma
Valerius yang menjawab dengan, 'Tidak heran. Suara itu
cemburu!' Dan saat itulah, sayangku, aku pertama kali
rnenyadari aku rnencintaimu."
Christine berhenti bercerita dan menyandarkan kepala­
nya ke pundak Raoul. Untuk beberapa waktu mereka diam
seperti itu, tak melihat gerakan yang berjarak beberapa
langkah dari mereka, yang datang dari bayangan berben­
tuk dua sayap besar yang mengendap-endap begitu dekat
dengan atap, begitu dekat hingga bayangan itu bisa men­
cekik mereka dengan mudah.
"Esoknya," lanjut Christine sambil menghela napas, "aku
kembali ke ruang ganti dengan pikiran penuh. Suara itu
ada di sana, dan dengan kesedihan teramat sangat ia berka­
ta dengan jelas bahwa bila aku rnernang rnenarnbatkan
hatiku di dunia ini, ia tak punya pilihan selain kembali ke
surga. Kesedihannya begitu manusiawi sehingga aku semes­
tinya rnenaruh curiga padanya dan sadar bahwa aku ha­
nya termakan tipuan pikiranku saja. Tetapi suara itu mern­
bangkitkan kenangan yang begitu akrab tentang ayahku
sehingga rasa percayaku kepadanya tak tergoyahkan. Tak
ada yang lebih rnenakutkan bagiku saat itu selain tak bisa

170
lagi mendengar suara itu. Aku telah memikirkan perasaan­
ku padamu dan menyadari betapa sia-sianya hal itu. Aku
bahkan tidak tahu apa kau masih mengingatku. Apa pun
yang akan terjadi, status sosialmu membuyarkan harapan­
ku untuk menikah denganmu, maka aku bersumpah kepa­
da si suara bahwa kau tak lebih dari saudara bagiku, akan
selamanya begitu, dan bahwa hatiku tak akan menanggapi
rasa cinta duniawi. Itulah, Sayang, mengapa aku seolah tak
mengenali atau melihatmu ketika aku berpapasan dengan­
mu di panggung atau di lorong-lorong. Sementara itu aku
menghabiskan waktu berjam-jam berlatih bersamanya de­
ngan sungguh-sungguh, hingga akhirnya suara itu berkata,
'Christine Daae, sekarang kau bisa memberikan sekelumit
musik surga kepada manusia.' Aku tidak tahu apa yang
membuat Carlotta tidak datang ke teater malam itu atau
mengapa aku diminta untuk menggantikannya, yang aku
tahu, aku bernyanyi dengan gairah yang tak pemah kura­
sakan sebelumnya dan, untuk beberapa saat, jiwaku seakan
melayang meninggalkan tubuhku!"
"Oh, Christine," kata Raoul, "hatiku bergetar mendengar
setiap nada yang dilagukan suaramu malam itu. Aku meli­
hat air mata mengaliri pipimu dan turut menangis bersama­
mu. Bagaimana mungkin kau bernyanyi seperti itu sambil
menangis?"
"Aku merasa akan pingsan," kata Christine, "maka aku
memejamkan mataku. Ketika aku membukanya lagi, kau
sudah ada di sampingku. Tetapi suara itu juga ada di sana,

Raoul! Karena mengkhawairkan


t keselamatanmu, sekali
lagi aku berpura-pura tak mengenalimu dan tertawa waktu
kau mengingatkanku bahwa kau pernah mengambilkan

171
syalku dari tengah laut! Celakanya, suara itu tak dapat
ditipu... Ia rnengenalirnu dan rnerasa cernburu! Ia berkata
bahwa bila aku tak rnencintairnu, aku tak akan rnenghindar
darirnu dan akan rnernperlakukanrnu seperti ternan lama
biasa. Ia terus rnencecarku. Akhirnya, aku berkata kepada­
nya, 'Cukup! Aku akan pergi ke Perros besok untuk ber­
doa di rnakarn ayahku dan aku akan rnengajak M. Raoul
de Chagny.' 'Lakukan apa yang kau rnau,' jawab suara itu,
'tetapi aku juga akan ada di Perros. Sebab aku akan ada
di rnana pun kau berada, Christine. Dan bila aku rnasih
rnenganggaprnu layak dan tulus, aku akan mernainkan The
Resurrection of Lazarus tepat tengah rnalam di rnakam ayah­
rnu, dengan biola ayahrnu.' Begitulah aku akhirnya rnengi­
rirnimu surat yang membawamu ke Perros, Sayang. Bagai­
rnana bisa aku dengan rnudah diperdaya? Mengapa pada
saat aku rnelihat sisi egois dari si suara itu aku tidak men­
curigainya sebagai seorang penipu? Aku tidak lagi menjadi
tuan atas diriku. Aku telah menjadi boneka mainannya!"
"Tapi," seru Raoul, "kau lalu rnengetahui kebenarannya!
Mengapa kau tak langsung rnembebaskan diri dari mimpi
buruk yang rnengerikan itu?"
"Tahu kebenarannya? Mernbebaskan diri dari mimpi bu­
ruk itu? Raoul, aku belum terperangkap dalam mimpi bu­
ruk itu sebelurn aku tahu kebenarannya... Betapa rnalang­
nya... Ingatkah kau malam ketika Carlotta rnengira ia telah
dikutuk menjadi kodok di atas panggung dan ketika ge­
dung opera tiba-tiba gelap setelah larnpu gantung itu me­
luncur jatuh? Orang-orang terluka dan mati malam itu,
dan seluruh gedung dipenuhi jerit ngeri. Yang terlintas di
pikiranku pertarna kali adalah kau dan suara itu. Tapi aku

172
ingat melihatmu di boks balkon kakakmu dan langsung
merasa tenang karena kau pastilah selamat. Suara itu ber­
kata bahwa ia akan datang di pementasan malam itu dan
aku mengkhawatirkannya, seolah-olah ia manusia biasa
yang bisa mati. Aku berpikir, 'Lampu gantung itu mungkin
saja menimpa si suara.' Karena itu aku hampir saja lari
dari panggung menuju ke area penonton untuk mencarinya
di antara mereka yang terbunuh dan terluka. Tapi lalu aku
berpikir, kalau suara itu selamat, ia tentu berada di ruang
gantiku saat itu. Maka aku buru-buru berlari ke ruangan­
ku. la tak ada di sana. Aku mengunci pintu, lalu memo­
hon-mohon sambil berlinang air mata agar ia muncul di
hadapanku. Suara itu tak menjawab. Tapi tiba-tiba aku me­
nangkap alunan panjang suara indah yang kukenal baik,
lolongan Lazarus ketika ia mulai membuka mata dan bang­
kit menyambut cahaya matahari setelah Tuhan memanggil
namanya. Itu lagu yang kita dengar di Perros, Raoul. Lalu
suara itu mulai menyanyikan bagian utama lagu itu, 'Kema­
rilah! Dan percayalah padaku! Yang percaya padaku akan
hidup! Betjalanlah! Yang telah percaya padaku takkan bina­
sa...' Aku tak dapat menceritakan kepadamu rasa yang
ditirnbulkan musik itu di dalam diriku. Ia seperti memerin­
tahku untuk mendekat, berdiri dan datang kepadanya. la
bergerak menjauh dan aku mengikutinya. 'Kemarilah! Dan
percayalah padaku!' Aku percaya kepadanya, aku datang
kepadanya. . . . Aku datang, dan-inilah yang aneh- seiring
aku melangkahkan kakiku, ruang ganti itu seakan terus
bertambah panjang. Semestinya itu efek cermin... karena
cermin itu berada tepat di hadapanku. . . Dan, mendadak,
tahu-tahu aku sudah ada di luar ruangan itu!"

173
11Apa! Tahu-tahu begitu? Christine, Christine, kau harus
berhenti berkhaya1!11
11Aku tidak berkhayal, sayangku, aku tak tahu bagaima­
na aku bisa keluar dari ruangan itu. Mungkin kau, yang
pernah menyaksikan aku menghilang dari ruangan itu,
bisa menjelaskannya. Yang jelas aku tidak bisa. Aku hanya
bisa mengatakan kepadamu bahwa, tiba-tiba, cermin di
hadapanku menghilang dan ruang ganti itu lenyap. Aku
berada di lorong yang gelap. Aku ketakutan dan berteriak.
Tak ada cahaya di sana kecuali sinar redup kemerahan di
sudut dinding yang jauh. Aku berteriak. Hanya suaraku
yang terdengar, karena nyanyian dan suara biola itu telah
berhenti. Dan tiba-tiba, aku merasakan ada tangan meme­
gang tanganku . . . atau tepatnya tulang-belulang dingin
yang menangkap pergelangan tanganku dan tak mau mele­
paskannya. Sekali lagi aku berteriak. Sesosok lengan meme­
luk pinggangku dan menopang tubuhku. Untuk beberapa
saat aku berusaha melepaskan diri tetapi akhirnya menye­
rah. Aku dibawa ke arah pendar kemerahan di kejauhan
itu, kemudian aku dapat melihat bahwa aku berada di
pelukan laki-laki bennantel besar dengan topeng yang
menutupi seluruh wajahnya. Aku berusaha memberontak
untuk terakhir kalinya. Tubuhku menegang dan mulutku
terbuka, siap berteriak. Tapi tangan itu menutup mulutku.
Tangan yang kurasakan menyentuh bibir dan kulitku...
tangan yang berbau kematian. Lalu aku jatuh pingsan.
11Saat aku membuka mata, kami masih berada dalam
kegelapan. Ada lentera di atas tanah yang menerangi sum­
ber air. Air yang keluar dari sumber itu langsung merem­
bes masuk ke dalam lantai tempat aku berbaring dengan

174
kepala di pangkuan laki-laki bermantel dan bertopeng hi­
tam itu. Ia membasuh keningku dan tangannya berbau
kematian. Aku mencoba menyingkirkan tangan itu dan
bertanya, 'Siapa kau? Mana suara itu?' Ia hanya menjawab
dengan menghela napas. Tiba-tiba aku merasakan napas
panas menerpa wajahku dan aku melihat suatu sosok pu­
tih di kegelapan, di samping sosok hitam laki-laki itu. So­
sok hitam itu mengangkatku ke atas sosok putih tersebut
dan suara ringkik senang menyambutku. Terkejut, aku ber­
gumam, 'Cesar!' Binatang itu menggerakkan tubuhnya.
Raoul, aku terbaring di atas pelana dan aku mengenali
kuda putih yang digunakan untuk pementasan Profeta,
yang sering kuberi makan gula dan permen. Aku ingat,
suatu malam tersebar kabar bahwa kuda itu menghilang
dan dicuri oleh si hantu Opera. Aku percaya pada si suara,
tapi aku tak pernah percaya pada hantu itu. Namun saat
itu, dengan ketakutan aku mulai bertanya-tanya apakah
aku dijadikan tawanan si hantu. Aku memanggil-manggil
suara itu untuk menolongku, sebab aku tak pernah me­
nyangka bahwa si suara dan si hantu adalah orang yang
sama. Kau pernah mendengar tentang hantu Opera itu
kan, Raoul?"
"Ya, tapi ceritakan padaku apa yang terjadi waktu kau
berada di atas kuda putih pementasan Profeta itu?"
"Aku memutuskan untuk diam saja dan membiarkan
semuanya terjadi. Sosok hitam itu mendudukkanku dan
aku menurut saja. Rasa tenang yang ganjil menyelimutiku
dan kupikir aku pasti berada di bawah pengaruh semacam
sikap ramah seorang tuan rumah. Pancaindraku bekerja
dengan sempuma, dan mataku mulai terbiasa dengan

175
kegelapan yang ada, yang sebenarnya diterangi kerlip caha­
ya di sana-sini. Aku memperkirakan kami sedang berada
di lorong sempit melingkar yang mungkin terbentang di
seluruh ruang bawah tanah Opera yang begitu luas. Aku
pernah turun ke tingkat-tingkat bawah tanah itu, tetapi
aku berhenit di ingkat
t ketiga, meskipun masih ada dua
tingkat lagi yang cukup besar untuk menampung sebuah
kota. Namun sosok-sosok yang kulihat membuatku lari
menjauh. Ada iblis-iblis di bawah sana, berwama cukup
gelap dan berdiri di depan tungku-tungku. Mereka meme­
gang sekop dan garpu rumput untuk mengatur baranya,
dan bila kau berada terlalu dekat dengan mereka, mereka
menakut-nakutimu dengan membuka mulut-mulut merah
tungku-tungku mereka secara tiba-tiba. .
. . Well, sementara
Cesar dengan tenang membawaku di atas pelananya, aku
melihat iblis-iblis hitam itu di kejauhan. Mereka terlihat
cukup kecil dan sedang berdiri di depan api merah
tungku-tungku mereka. Mereka muncul dan menghilang
berganti-ganti setiap kali kami bergerak menyusuri jalan
melingkar itu. Akhimya mereka semua tak tampak lagi.
Sosok itu masih memegangiku dan Cesar terus berjalan
dengan yakin tanpa komando. Aku bahkan tak dapat me­
ngira-ngira berapa lama perjalanan itu berlangsung. Aku
hanya tahu bahwa kami seperti terus berputar dan sering
kali menuruni tangga melingkar menuju perut bumi. Atau
mungkin juga itu karena kepalaku pusing saat itu, tetapi
rasanya tidak. Tidak, pikiranku cukup jernih waktu itu.
Akhirnya Cesar sedikit mendongak, membaui udara lalu
agak mempercepat langkahnya. Aku merasakan udara men­
jadi lembap dan Cesar berhenti. Kegelapan telah hilang.

176
Semacam sinar kebiruan melingkupi kami. Kami sampai di
tepian suatu danau dengan air kelam yang menghampar
hingga jauh ke dalam kegelapan. Tetapi sinar biru itu
menerangi tepiannya dan aku melihat perahu kecil tertam­
bat di gelang besi pada dermaga!"
"Sebuah perahu!"
"Ya, tetapi aku tahu semua itu nyata dan tak ada yang
gaib dari danau bawah tanah serta perahu itu. Tapi coba
pikir tentang keadaan tak lazim yang membawaku ke
sana! Aku tak tahu apakah efek keramahan tuan rumah itu
telah menghilang ketika sosok laki-laki itu mengangkatku
ke dalam perahu, yang jelas rasa ngeriku kembali. Penga­
walku yang menakutkan itu pasti merasakannya, sebab ia
menyuruh Cesar pergi. Aku mendengar derap langkahnya
menaiki tangga sementara laki-laki itu melompat ke dalam
perahu, membebaskan tali yang menahannya dan meraih
dayung. la mendayung dengan gerakan cepat dan kuat,
sedangkan matanya yang berada di batik topeng tak per­
nah lepas dariku. Kami bergerak mengarungi air tenang
yang diterangi sinar kebiruan seperti kataku tadi, lalu seka­
li lagi kami berada di dalam kegelapan dan mendarat di
tepian. Dan kembali lengan itu menggendongku. Aku ber­
teriak keras. Lalu, tiba-tiba, aku terdiam, terpaku oleh caha­
ya yang ada. . . . Ya, aku diletakkan di tengah-tengah cahaya
yang menyilaukan. Aku melompat berdiri. Aku berada di
tengah ruang tamu yang rasanya penuh sesak dihiasi
dengan berbagai jenis dan ukuran bunga, bunga-bunga di
dalam keranjang dengan pita-pita sutra seperti yang dijual
di toko-toko. Bunga-bunga itu terlalu beradab untuk tem­
pat semacam itu, sebab bunga-bunga tersebut jenis yang

177
biasa kudapati di ruang gantiku setiap usai pementasan
perdana. Dan, di tengah-tengah semua bunga ini, sosok
hitam laki-laki bertopeng itu berdiri sambil merentangkan
tangannya. Ia berkata, 'Jangan takut, Christine; kau tidak
berada dalam bahaya.' !tu si suara!
"Aku marah sekaligus takjub. Buru-buru aku menuju
topeng itu dan berusaha melepaskannya supaya aku bisa
melihat wajah di balik suara itu. Laki-laki itu berkata, 'Kau
tidak berada dalam bahaya selama kau tak menyentuh to­
peng ini.' Lalu dengan lembut ia memegang pergelangan
tanganku dan memaksaku duduk di kursi, sementara ia
berlutut di hadapanku dan tak berkata apa-apa lagi! Keren­
dahan hatinya menumbuhkan sebagian keberanianku, dan
cahaya ruangan itu melemparkanku kembali pada kenyata­
an. Seberapa pun ganjilnya perjalanan yang mengantarkan­
ku kemari, kini aku dikelilingi oleh benda-benda nyata
yang dapat dilihat dan disentuh. Perabot yang ada, hiasan­
hiasan gantung, lilin, vas, dan bunga-bunga dalam keran­
jang yang hampir bisa kukenali asal serta harganya, mema­
tahkan imajinasiku dan membuatku menyadari keberadaan
ruang tamu yang tak berbeda dengan ruang tamu mana
pun di luar ruang bawah tanah Opera ini. Tak diragukan
lagi, aku berurusan dengan seorang eksentrik menakutkan
yang entah bagaimana caranya telah berhasil membangun
tempat tinggalnya di sana, lima tingkat di bawah tanah
gedung Opera. Dan suara itu, yang kukenali keluar dari
balik topeng itu, datang dari sosok yang sedang berlutut
di depanku, dan ia adalah manusia biasa! Dan aku mulai
menangis.... Laki-laki yang tetap berlutut itu pasti mema­
hami alasan tangisku sebab ia berkata, 'Memang benar,

178
Christine... Aku bukan malaikat, jenius, atau hantu . . . Aku
Erik!'"
Sekali lagi cerita Christine terpotong. Gema di belakang
rnereka seakan mengulangi kata terakhir yang diucapkan­
nya.
"Erik!"
Gema apa itu? Keduanya meno leh ke belakang dan rnen­
dapati rnalam telah turun. Raoul hendak bangkit berdiri,
tetapi Christine menahannya supaya tetap di sana.
"Jangan pergi," katanya. "Aku ingin kau mengetahui
segalanya di sini!"
"Tetapi mengapa di sini, Christine? Aku takut kau akan
terkena flu."
"Kita tak perlu takut apa pun kecuali pintu-pintu jebak
itu, sayangku, dan di sini kita berada sangat jauh dari
pintu-pintu itu ... dan aku tak diperbolehkan menernuirnu
di luar teater. Ini bukan saatnya membuat dia kesal. Kita
tak boleh rnembuatnya curiga."
"Christine! Christine! Entah mengapa aku merasa kita
tak boleh menunggu hingga esok malam dan seharusnya
kita pergi sekarang juga."
"Bila ia tak mendengarku bernyanyi besok, ia akan sa­
ngat rnenderita."
"Bagairnana rnungkin kau tak rnau rnembuatnya rnende­
rita tetapi kau akan meninggalkan dia untuk selamanya."
"Kau benar, Raoul, sebab ia pasti rnati karena kepergian­
ku." Dan ia menarnbahkan dengan suara datar, "Tetapi ini
berlaku dua arah . . . sebab kita juga mengambil risiko dibu­
nuh olehnya."
"Apa ia begitu rnencintairnu?"

179
"Ia rela membunuh demi aku."
"Tetapi orang bisa menemukan tempat ia tinggal. Mere­
ka bisa mencarinya. Sekarang setelah kita tahu Erik bukan­
lah hantu, mereka bisa berbicara dengannya dan memaksa­
nya memberikan jawaban!"
Christine menggeleng.
"Tidak, tidak! Tidak ada yang bisa diperbuat terhadap
Erik. . . kecuali melarikan diri darinya!"
"Kalau begitu, ketika kau telah berhasil melarikan diri,
mengapa kau kembali kepadanya?"
"Karena aku harus. Dan kau akan mengerti setelah aku
menceritakan bagaimana aku meninggalkannya."
"Oh, aku membencinya!" seru Raoul. "Dan kau,
Christine, katakan kepadaku, apa kau juga membenci­
nya?"
"Tidak," jawab Christine pendek.
"Tentu saja tidak . . . . Kau mencintainya! Rasa takut dan
ngeri yang kaurasakan itu adalah cinta yang luar biasa,
sebentuk perasaan yang bahkan tak diakui orang kepada
dirinya sendiri," ucap Raoul getir. "Perasaan yang mem­
buatmu berdebar ketika memikirkannya. . . . Bayangkan, se­
orang laki-laki yang tinggal di istana bawah tanah!" Raoul
meliriknya tajarn.
"Jadi kau mau aku kembali ke sana?" tukas gadis muda
itu. "Hati-hati, Raoul, sudah kukatakan kepadamu, aku tak
akan kembali!"
Kesunyian yang menyesakkan melingkupi mereka ber­
tiga, dua orang yang berbicara dan satu bayangan yang
mendengarkan di belakang mereka.
"Sebelum aku menjawabnya," akhirnya Raoul berucap

180
pelan, "aku ingin tahu, bila kau tak membencinya, perasa­
an apa yang ditimbulkannya di dalam dirimu?"
"Kengerian!" jawabnya. "Itulah yang begitu mengerikan
dari semuanya. Ia membuatku merasakan kengerian ter­
amat sangat dan aku tak membencinya. Bagaimana mung­
kin aku membencinya, Raoul? Bayangkan Erik bersimpuh
di kakiku di rumah tepi danau di bawah tanah. Ia mema­
ki-maki dan menyumpahi dirinya sendiri serta memohon
pengampunanku. Ia mengakui kesalahannya. la mencintai­
ku! Ia menempatkan cinta yang begitu besar dan menye­
dihkan di ujung kakiku . . . . la membawaku atas nama cin­
ta... la memenjarakanku di bawah tanah bersamanya
karena cinta... Tapi ia menghargaiku. Ia berlutut, menge­
rang, dan menangis! Dan, Raoul, saat aku berdiri dan ber­
kata kepadanya bahwa ia tak lebih dari seorang hina di
mataku bila ia tak membebaskanku saat itu juga... ia mena­
warkan kebebasan itu kepadaku . . . ia menawarkan untuk
menunjukkan jalan tersembunyi itu . . . Hanya saja . . . hanya
saja ia kemudian berdiri dan bernyanyi. Dan aku sekali
lagi diingatkan bahwa, meski ia bukan malaikat, hantu,
atau jenius, ia tetaplah si suara. Lalu aku mendengarkan­
nya bernyanyi. . . dan tinggal di sana! Malam itu kami ti­
dak berkata apa-apa lagi. la bemyanyi hingga aku
tertidur."
"Ketika terbangun, aku terbaring sendirian di sofa di
suatu kamar tidur kecil sederhana berisi ranjang kayu
mahogani biasa, diterangi lampu yang ditempatkan di atas
lemari laci zaman Louis-Philippe. Aku segera menyadari
bahwa aku telah dijadikan tawanan dan satu-satunya jalan
keluar dari kamarku temyata mengarah ke kamar mandi

181
yang begitu nyaman. Sekembalinya ke kamar tidur, aku
melihat secarik catatan dengan tinta merah yang ditinggal­
kan di atas lemari laci, 'Christine-ku tersayang, kau tak
perlu mengkhawatirkan nasibmu. Tak ada orang yang le­
bih baik terhadapmu atau yang lebih menghormatimu se­
lain aku. Saat ini kau sendirian di rumah yang adalah
milikmu ini. Aku pergi berbelanja barang-barang yang kau­
butuhkan.' Aku yakin aku telah jatuh ke tangan orang gila.
Aku berlari mengelilingi apartemen mungilku, mencari ja­
lan keluar yang tak bisa kutemukan. Aku menyalahkan
diri sendiri karena memercayai takhayul yang membuatku
masuk dalam perangkap ini. Aku ingin tertawa dan mena­
ngis pada saat yang sama."
"Begitulah keadaanku ketika Erik datang. Setelah menge­
tuk dinding tiga kali, ia melangkah masuk dengan tenang
melalui pintu yang tak kulihat sebelumnya, yang kini
dibiarkannya terbuka. Tangannya penuh bungkusan yang
kemudian diaturnya dengan tenang di atas tempat tidur
sementara aku menghujaninya dengan permintaan supaya
ia melepas topengnya bila ia memang jujur. Dengan tenang
ia menjawab, 'Kau tak akan pernah melihat wajah Erik.'
Lalu ia mengomeliku karena belum juga berganti pakaian
sementara hari sudah siang. la memberitahu saat itu sudah
pukul dua. Sambil mengeset jam, a
i berkata akan mernberi­
ku waktu setengah jam sebelum mempersilakanku menuju
ruang makan. Di sana makan siang telah menanti karni."
"Aku begitu marah, membanting pintu di hadapannya
dan masuk ke kamar mandi. Keika
t aku keluar dari sana
dalam keadaan segar, Erik berkata bahwa ia mencintaiku
tetapi ia tak akan memberitahukannya kepadaku kecuali

182
aku mengizinkannya dan a i akan menghabiskan sisa wak­
tunya untuk menggarap musik. 'Apa maksudmu dengan
sisa waktu?' tanyaku. 'Lima hari,' katanya dengan yakin.
Aku bertanya apa setelah lima hari itu aku akan bebas dan
ia menjawab, 'Kau akan bebas, Christine. Sebab setelah
lima hari itu terlewati, kau akan terbiasa untuk tidak me­
mandang wajahku, dan setelah itu, secara rutin kau akan
datang menemui Erik-mu yang malang!' Ia duduk di meja
kecil dan menunjuk kursi yang ada di seberangnya. Aku
duduk dengan perasaan gelisah. Meski begitu, aku makan
beberapa udang dan sayap ayam serta minum setengah
gelas anggur tokay yang, katanya, diambilnya sendiri dari
ruang bawah tanah Konigsberg. Erik tidak makan maupun
rninum. Aku bertanya soal kewarganegaraannya dan apa
nama Erik itu menunjukkan darah Skandinavia yang dimi­
likinya. Ia berkata bahwa ia tidak punya nama atau negara,
dan nama Erik diambilnya begitu saja."
"Selesai makan siang, ia bangkit dan mengulurkan ta­
ngan kepadaku, berniat mengajakku berkeliling tempat
kediamannya. Tapi dengan cepat aku menarik tanganku
sambil menjerit. Yang kusentuh adalah sesuatu yang di­
ngin dan begitu kurus, dan aku ingat bau kematian yang
menguar dari tangan itu. 'Oh, maafkan aku!' erangnya.
Lalu ia membuka suatu pintu di depanku. 'lni kamar tidur­
ku, kalau kau sudi melihatnya. Sedikit tak lazim.' Cara,
kata-kata, serta sikapnya menimbulkan rasa percaya diriku
dan, tanpa ragu, aku melangkah masuk. Aku seperti me­
masuki kamar orang mati. Dinding-dindingnya berwarna
hitam. Tetapi, bukannya omamen-ornamen berwarna putih
yang biasa menghiasi interior pemakaman, ruangan itu

183
memiliki titi nada berukuran sangat besar yang memuat
notasi Dies Irae secara berulang-ulang. Di tengah-tengah
ruangan terdapat kanopi tempat tergantungnya tirai-tirai
brokat berwarna merah, dan di bawah kanopi itu terdapat
satu peti mati yang terbuka. 'Di situlah aku tidur,' kata
Erik. 'Seseorang harus membiasakan diri terhadap segala
sesuatu dalam hidup ini, termasuk keabadian.' Aku tak
tahan lagi, dan aku memalingkan wajahku."
"Saat itulah aku melihat organ yang berukuran satu din­
ding ruangan. Di atas meja terdapat buku musik yang
dipenuhi notasi berwarna merah. Aku meminta izin meli­
hatnya dan membaca tulisan yang ada di sana, Don Juan
Triumphant. 'Ya,' katanya, 'kadang aku mencipta lagu. Aku
mulai menulis komposisi ini dua puluh tahun lalu. Bila
selesai nanti, aku akan membawanya bersamaku ke dalam
peti rnati itu dan tak akan bangun lagi untuk selamanya.'
'Kalau begitu jangan kaukerjakan sering-sering,' kataku. la
menjawab, 'Kadang aku mengerjakannya siang-malam sela­
ma empat belas hari tanpa makan dan minum, lalu tak
menjamahnya selama bertahun-tahun.' 'Apa kau mau me­
rnainkan salah satu lagu dari Don Juan Triumphant karyamu
itu?' tanyaku, berusaha membuatnya senang. 'Jangan per­
nah kau minta itu kepadaku,' jawabnya muram. 'Kalau
kau mau, aku akan mernainkan Mozart untukmu. Mozart
hanya akan membuatmu menangis, tetapi Don Juan karya­
ku, Christine, bergelora dan membakar, dan ia tidak berko­
bar oleh api kebaikan dari surga.' Setelah itu kami kembali
ke ruang duduk. Aku menyadari bahwa tidak ada cermin
di seluruh ruang kediamannya. Aku baru saja akan mena­
nyakan ini kepadanya, tetapi Erik telah duduk di depan

184
piano. Ia berkata, 'Mengertilah, Christine, bahwa ada mu­
sik yang begitu mengerikan sehingga ia melumat habis
segala sesuatu yang mendekatinya. Untunglah kau belum
menjumpainya, sebab kau akan kehilangan seluruh rona
keindahan dalam dirimu dan tak seorang pun akan menge­
nalimu saat kau kembali ke Paris. Marilah kita nyanyikan
sesuatu dari Opera, Christine Daae.' la mengucapkan kali­
mat terakhir itu seolah-olah sedang menghinaku.11
11Apa yang kaulakukan?"
11Aku tak punya waktu untuk berpikir tentang maksud
kata-katanya. Kami langsung menyanyikan duet di Othello
dan segera kami merasakan malapetaka yang digambarkan
lagu itu. Aku menyanyikan Desdemona dengan keputusasa­
an dan kengerian yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Sedangkan ia, suaranya membahana, menyuarakan dendam
teramat sangat pada setiap nadanya. Rasa cinta, cemburu,
dan benci pecah melingkupi kami melalui suara-suara yang
menyayat. Topeng hitam Erik mengingatkanku pada to­
peng tokoh orang Moor dari Venice itu. Ia telah menjelma
menjadi Othello. Tiba-tiba, aku merasakan dorongan untuk
melihat yang ada di balik topeng itu. Aku ingin tahu wajah
dari si suara. Lalu, dengan satu gerakan yang benar-benar
tak mampu kucegah lagi, jemariku dengan cepat melepas­
kan topeng itu. Oh, ngeri, ngeri, ngeri!"
Christine berhenti, teringat pemandangan yang telah
membuatnya takut itu, sementara gema yang telah meng­
ulang nama Erik kini mengulang seruan itu tiga kali, 11Nge­
. . · 111
n... Ngen... Ngen.
Raoul dan Christine yang berdekapan erat mengarahkan
pandangan mereka ke bintang-bintang yang berpendar di

185
langit cerah malam itu. Raoul berkata, "Betapa aneh,
Christine, bahwa malam yang tenang dan tenteram ini
dipenuhi suara-suara sedih. Sepertinya ia turut berduka
bersama kita."
"Saat kau mengetahui rahasia itu, Raoul, seperti telinga­
ku, telingamu akan dipenuhi ratapan."
Gadis itu menggenggam tangan Raoul, lalu setelah ber­
gidik cukup lama ia melanjutkan, "Ya, bila aku hidup
hingga seratus tahun, aku akan selalu mendengar teriakan
pilu penuh kemarahan yang ia keluarkan saat aku menyak­
sikan hal mengerikan itu. Raoul, kau pernah melihat teng­
korak-tengkorak yang telah kering dan dimakan usia, dan
mungkin, bila itu temyata bukan mimpi buruk belaka, kau
telah melihat kepala tengkoraknya di Perros. Lalu kau meli­
hat Red Death berkeliaran di pesta dansa kemarin. Tetapi
semua tengkorak itu tidak bergerak dan kengerian yang
mereka miliki tidaklah hidup. Namun bila sanggup, ba­
yangkan topeng si Red Death tiba-tiba hidup dan mengeks­
presikan murka iblis melalui keempat lubang di wajahnya
yang dibentuk oleh mata, hidung, dan mulutnya. Dan tak
ada seberkas cahaya pun dari relung matanya, sebab, sebagai­
mana yang kupahami setelahnya, kau tak dapat melihat
matanya yang berkilat kecuali di dalam gelap."
"Aku terhuyung hingga ke dinding dan ia menghampi­
riku penuh kemarahan, dan ketika aku jatuh berlutut, ia
mendesiskan kata-kata dan makian tak jelas kepadaku.
Mencondongkan dirinya ke arahku, ia berseru, 'Lihat! Kau
ingin melihat, kan? Lihatlah! Puaskan matamu dan ke­
nyangkan jiwamu dengan keburukan parasku yang terku­
tuk ini! Lihatlah wajah Erik! Kini kau tahu wajah si suara!

186
Mendengarkan suaraku saja tidak cukup bagimu, hah? Kau
ingin tahu bagaimana rupaku! Oh, kalian para perempuan
memang selalu ingin tahu! Well, apa kau puas? Aku laki­
laki yang sangat tampan, ya? Bila seorang perempuan telah
melihat parasku, seperti yang kaulakukan, ia menjadi milik­
ku. Ia mencintaiku selamanya. Kau tahu, aku ini seperit
Don Juan!' Lalu ia berdiri tegak, dan dengan berkacak
pinggang ia menggoyang-goyangkan kepala mengerikannya
itu sambil berteriak, 'Lihat aku! Akulah Don Juan yang ber­
jaya!' Kemudian, saat aku memalingkan wajah dan memo­
hon belas kasihan, dengan kasar ia menarik wajahku ke
arahnya, menyelipkan jemarinya yang serupa mayat itu di
antara rambutku."
"Cukup! Cukup!" teriak Raoul. "Aku akan membunuh­
nya. Demi Tuhan, Christine, beritahu aku di mana ruang
makan di tepi danau itu! Aku harus membunuhnya!"
"Oh, bila kau memang ingin tahu, Raoul, diamlah!"
"Ya, aku ingin tahu bagaimana dan mengapa kau kem­
bali; aku harus tahu! Tapi bagaimanapun juga, aku akan
membunuhnya!"
"Oh, Raoul, diam dan dengarkan. . . Ia menarik rambutku
lalu . . . lalu . . . Oh, ini terlalu mengerikan!"
"Apa? Katakan!" seru Raoul marah. "Cepat, katakan!"
"Lalu ia mendesis ke arahku. 'Ah, aku membuatmu ta­
kut, bukan? Pasi!
t Mungkin kaupikir aku punya topeng
yang lain, hah, dan ini... kepalaku ini adalah topeng?
Well,' teriaknya, 'lepaskanlah seperti kau melepaskan yang
sebelumnya! Mari! Lakukan! Aku berkeras! Tanganmu! Ta­
nganmu! Berikan tanganmu!' Lalu ia meraih kedua tangan­
ku dan mencakarkan mereka ke wajahnya yang buruk. Ia

187
mengelupas daging mengerikan serupa mayat itu menggu­
nakan kuku-kukuku!
'"Ketahuilah,' teriaknya dengan napas memburu penuh
amarah, 'ketahuilah bahwa aku terbuat dari kematian dari
ujung rambut hingga ujung kaki, dan mayat inilah yang
mencintaimu, memujamu, dan takkan pemah meninggal­
kanmu! Lihatlah, aku tidak tertawa sekarang, aku mena­
ngis. Aku menangis untukmu, Christine, yang telah me­
nanggalkan topengku dan karenanya tak akan pernah bisa
pergi lagi dariku! Selama kau berpikir aku tampan, kau
mungkin saja kembali. . . tetapi, kini setelah kau mengetahui
keburukan parasku, kau akan pergi untuk selamanya . . . .
Karena itu aku harus menawanmu di sini! Mengapa kau
ingin melihat wajahku? Oh, si gila Christine yang ingin
melihat wajahku... Bahkan ayahku sendiri tidak pernah
menatapku dan ibuku menghadiahiku topeng pertamaku
supaya ia tak harus memandang wajahku!'
"Akhimya ia melepaskanku dan merangkak di lantai
sambil menangis pilu. Kemudian ia merangkak pergi seper­
ti ular, masuk ke kamarnya lalu mengunci pintu dan me­
ninggalkanku merenung sendirian. Lalu aku mendengar
suara organ dimainkan, dan aku mulai memahami kata­
kata Erik yang merendahkan musik yang dimainkan di
Opera. Musik yang kudengar saat itu benar-benar berbeda
dengan yang pernah kudengar. Bagiku, Don Juan
Triumphant karyanya itu (sebab aku yakin ia buru-buru
memainkan musik miliknya untuk melupakan kengerian
saat itu) pada mulanya terdengar seperti isakan yang begi­
tu panjang, sedih, namun indah. Tetapi, sedikit demi sedi­
kit ia menampilkan setiap emosi, setiap penderitaan yang

188
mungkin dialami oleh manusia. Musik itu membuaiku, dan
aku membuka pintu yang memisahkan kami. Ketika aku
masuk, Erik berdiri namun tak berani menoleh ke arahku.
'Erik,' seruku, 'jangan takut menunjukkan wajahmu kepada­
ku! Aku yakin kau adalah manusia yang paling tak baha­
gia namun mulia. Dan bila aku pernah gemetar sekali lagi
saat memandang wajahmu, itu pasti karena aku menyadari
betapa jeniusnya dirimu!' Lalu Erik membalikkan badan
karena ia memercayaiku dan aku juga meyakini kata-kata­
ku. Ia tersungkur di kakiku sambil mengucapkan kata-kata
cinta ... kata-kata cinta yang keluar dari mulut mayatnya. . .
dan musik itu berhenti . . . Ia mencium tepi gaunku dan tak
melihatku memejamkan mata.
"Apa lagi yang bisa kuceritakan kepadamu, Sayang?
Sekarang kau tahu tentang tragedi itu. Ia berlanjut selama
dua minggu- dua minggu lamanya aku berbohong kepada­
nya. Kebohonganku sama mengerikannya dengan monster
yang menciptakannya, tetapi itulah harga yang harus kuba­
yar untuk kebebasanku. Aku membakar topengnya. Dan
aku berpura-pura dengan sangat baik sehingga bahkan
ketika tidak sedang bernyanyi, ia memandangiku seperti
seekor anjing di samping tuannya. Ia adalah pelayanku
yang setia dan tak henti-hentinya ia menghujaniku dengan
perhatian. Sedikit demi sedikit aku berhasil menimbulkan
rasa percaya dalam dirinya sehingga ia mau mengajakku
berjalan-jalan di tepian danau dan membawaku naik pera­
hu mengarungi airnya yang gelap. Mendekati akhir masa
tawananku, ia membiarkanku keluar melalui gerbang yang
menutup jalan bawah tanah di Rue Scribe. Di sana kereta
kuda telah menunggu kami dan membawa kami ke Bois.

189
Malam ketika kami bertemu denganmu nyaris berakibat
fatal bagiku karena ia begitu cemburu kepadamu dan aku
terpaksa memberitahunya bahwa kau akan segera mening­
galkan kota ini . . . . Lalu, akhimya setelah dua minggu yang
mengerikan itu, masa-masa aku dipenuhi oleh rasa iba,
semangat, putus asa, serta ngeri berganti-ganti, ia memer­
cayaiku ketika aku berkata, 'Aku akan kembali!"'
"Dan kau kembali, Christine," erang Raoul.
"Ya, Sayang, dan aku harus memberitahumu bahwa aku
menepati janjiku bukan karena ancaman-ancaman menakut­
kan yang dikeluarkannya ketika ia membebaskanku, tetapi
karena isakan pilu darinya di ambang makam. . . . lsakan itu
temyata mengikatku pada laki-laki malang itu lebih kuat
daripada yang kuperkirakan saat aku berpisah dengannya.
Erik yang malang! Erik yang malang!"
"Christine," ujar Raoul sambil berdiri, "kau bilang pada­
ku kau mencintaiku; tetapi kau mendapatkan kebebasanmu
hanya beberapa jam sebelum kau kembali kepada Erik!
Ingatlah pesta topeng itu!"
"Ya. Dan apakah kau ingat waktu-waktu yang kulewati
bersamamu, Raoul. . . yang membahayakan kita berdua?"
"Aku meragukan cintamu kepadaku di saat-saat itu."
"Apa kau masih meragukannya, Raoul? Kalau begitu
ketahuilah bahwa setiap kali aku mengunjungi Erik, rasa
ngeriku terhadapnya kian bertambah. Sebab kunjungan­
kunjungan itu semakin membuatnya jatuh cinta dan bu­
kannya menenangkannya seperti yang kuharapkan. . . Dan
kini aku sangat ketakutan!"
"Kau ketakutan... tapi apa kau mencintaiku? Bila Erik

190
laki-laki yang tampan, apakah kau akan mencintaiku,
Christine?"
Kini gadis itu berdiri, dan sambil melingkarkan kedua
lengannya yang gemetar di leher pemuda itu a
i berkata,
"Oh, tunangan sehariku, bila aku tak mencintaimu, aku tak
akan memberikan bibirku untukmu! Terimalah bibirku un­
tuk pertama dan terakhir kalinya."
Pemuda itu mencium bibirnya. Tetapi malam tenang
yang menyelirnuti mereka tiba-tiba berubah kacau. Mereka
berlari secepat kilat dengan mata yang memancarkan keta­
kutan akan Erik, setelah dengan penuh kengerian mereka
mendapati jauh di atas mereka, sosok seperti burung rak­
sasa yang menatap mereka dengan matanya yang berkilat
dan seakan melekat pada senar harpa Dewa Apollo.

191
Bab 13
Aksi si Pencinta Pintu Jebak

RAoUL dan Christine berlari, sejauh mungkin meninggalkan


atap serta sepasang mata berkilat yang hanya terlihat da­
lam kegelapan, dan mereka tidak berhenti sebelum menca­
pai lantai kedelapan dari atas.
Malara itu tidak ada pementasan di Opera dan tak ada
orang di koridor-koridomya. Tiba-tiba satu sosok ganjil
berdiri di hadapan mereka dan menghalangi jalan.
"Tidak, jangan lewat sini!"
Lalu sosok itu menunjuk ke jalan lain yang menuju ke
daerah sayap gedung. Raoul berniat berhenti dan meminta
penjelasan, tetapi sosok yang mengenakan semacam jubah
panjang dan topi lancip itu berkata, "Lekas! Cepat per­
gi!"
Christine sudah menyeret Raoul, memohon supaya ia
berlari lagi.
"Tapi siapa dia? Siapa laki-laki itu?" tanyanya.
Christine menjawab, "Itu si orang Persia."
"Apa yang dilakukannya di sini?"

192
"Tak ada yang tahu. Dia selalu ada di Opera."
"Kau membuatku kabur untuk pertama kalinya dalam
hidupku. Kalau kita benar-benar melihat Erik, yang seha­
rusnya kulakukan adalah memakunya ke harpa Dewa
Apollo itu seperti kita memaku burung-burung hantu ke
dinding peternakan Breton kita, dan semuanya akan ber-
akhir.II
"Raoul-ku tersayang, pertama-tama kau harus memanjat
hingga harpa Dewa Apollo dan itu bukan perkara mu­
dah."
"Mata berkilat itu ada di sana!"
"Oh, kau sudah seperti aku sekarang yang melihatnya
di mana-mana! Apa yang kuanggap mata berkilat itu bisa
saja sepasang bintang yang bersinar di balik senar-senar
harpa itu."
Lalu Christine turun satu lantai lagi, diikuti oleh
Raoul.
"Dengan tekadmu yang sudah bulat untuk pergi,
Christine, aku yakin kita lebih baik pergi sekarang juga.
Mengapa harus menunggu besok? la mungkin mendengar
pembicaraan kita malam ini."
"Tidak, tidak, ia sedang bekerja. Sudah kubilang, ia me­
ngerjakan Don Juan Triumphant dan tak memikirkan
kita."
"Kau begitu yakin sampai-sampai kau terus menoleh ke
belakang!"
"Datanglah ke ruang gantiku."
"Tidakkah kita sebaiknya bertemu di luar Opera?"
"Tidak, tunggu sampai kita pergi dari sini untuk selama-
nya! Kalau aku tak menepati janjiku, kita akan bernasib

193
sial. Aku telah berjanji kepadanya untuk menemuimu ha­
nya di dalam gedung Opera."
"Betapa beruntungnya aku ia memperbolehkanmu mela­
kukan itu." Raoul melanjutkan dengan ketus, "Sadarkah
kau betapa nekatnya kau membiarkan kita pura-pura bertu­
nangan?"
"Sayang, ia tahu semua itu! la berkata, 'Aku percaya
padamu, Christine. M. de Chagny sedang jatuh cinta pada­
mu dan ia akan pergi jauh. Aku ingin ia sebahagia aku
sebelum ia pergi.' Apa orang memang begitu sedihnya
ketika mereka jatuh cinta?"
"Ya, Christine, jika mereka jatuh cinta dan tak yakin
cintanya berbalas."
Mereka sampai di ruang ganti Christine.
"Mengapa kaupikir lebih aman berada di ruangan ini
daripada di panggung?" tanya Raoul. "Kau pernah mende­
ngarnya di balik dinding-dinding ini, itu artinya ia bisa
mendengar kita."
"Tidak. Erik sudah berjanji tak akan lagi berada di balik
dinding ruang gantiku dan aku memegang kata-katanya.
Ruangan ini serta kamar tidurku di tepi danau adalah
milikku sepenuhnya dan ia tak berhak mendekat."
"Bagaimana kau bisa berpindah dari ruangan ini ke lo­
rong gelap itu, Christine? Bagaimana kalau kita meng­
ulangi apa yang kaulakukan saat itu?"
"Itu berbahaya, Sayang. Sebab cermin itu mungkin akan
membawaku pergi lagi, dan bukannya melarikan diri, aku
akan terpaksa berjalan hingga ke ujung jalan rahasia menu­
ju danau itu dan memanggil Erik."
"Apa ia akan mendengarmu?"

194
"Erik mendengarku setiap kali aku memanggilnya. Begi­
tu katanya padaku. Ia amat jenius. Raoul, kau jangan me­
ngira ia laki-laki biasa yang suka hidup di bawah tanah.
Ia melakukan hal-hal yang tak dapat diperbuat orang lain
dan ia mengetahui banyak hal yang tak diketahui seorang
pun di dunia ini."
"Hati-hati dengan ucapanmu, Christine. Kau sekali lagi
mengubahnya menjadi hantu!"
"Tidak, ia bukan hantu. Ia manusia yang luar biasa, itu
saja."
"Manusia yang luar biasa... itu saja! Penggambaran
yang begitu indah atas dirinya! Dan apakah kau masih
berkeras melarikan diri darinya?"
"Ya, besok."
"Niatmu akan lenyap besok!"
"Bila memang demikian, Raoul, kau harus tetap memba­
waku pergi meskipun aku menolak. Kau mengerti?"
"Tengah malam esok aku akan ada di sini. Apa pun
yang terjadi, aku akan menepati janjiku. Kaubilang ia akan
menunggumu di ruang makan tepi danau setelah mende­
ngarkan penampilanmu esok malam?"
''Ya.''
"Bagaimana kau bisa menemuinya jika kau tak tahu cara­
nya menembus cermin ini?"
"Tentu saja dengan langsung menuju tepi danau itu."
Christine membuka kotak, mengambil kunci yang sangat
besar dan menunjukkannya kepada Raoul.
"Apa itu?" tanyanya.
"Kunci gerbang yang menuju jalan bawah tanah di Rue
Scribe."

195
"Aku mengerti, Christine. Jalan itu langsung menuju ke
danau. Maukah kau memberikan kunci itu kepadaku,
Christine?"
"Tidak akan!" kata gadis itu. "Itu berarti aku berkhianat
padanya!"
Tiba-tiba wajah Chrisine
t berubah pucat. Raut ketakutan
yang amat sangat terpancar dari sana.
"Oh, Tuhan!" serunya. "Erik! Erik! Kasihanilah aku!"
"Diam!" kata Raoul. "Kaubilang dia bisa mendengar­
mu!"
Tetapi tingkah penyanyi itu semakin ganjil saja. la mere­
mas-remas jemarinya sambil berkata berulang-ulang de­
ngan panik, "Oh, Tuhan! Oh, Tuhan!"
"Apa? Ada apa?" tanya Raoul.
"Cincin itu. . . cincin emas yang diberikannya padaku."
"Oh, jadi Erik yang memberimu cincin itu!"
"Kau sudah tahu itu, Raoul! Tapi yang belum kau tahu
adalah ketika ia memberikan cincin itu kepadaku, ia ber­
kata, 'Kuberikan kembali kebebasanmu, Christine, dengan
syarat cincin ini terns terpasang di jarimu. Selama kau me­
makainya, kau akan terlindungi dari segala bahaya dan
Erik akan tetap menjadi temanmu. Tapi celakalah bila kau
sampai terpisah dengan cincin ini, sebab Erik akan memba­
las dendam!' Sayangku, cincin itu hilang! Kita berdua akan
celaka!"
Mereka mencari cincin itu, tetapi tak menemukannya.
Christine menjadi sangat panik.
"Pasti terjadi waktu aku menciummu di atap tadi, di
bawah harpa Dewa Apollo," katanya. "Cincin itu pasti ter­
lepas dari jariku dan jatuh ke jalanan di bawah! Kita tak

196
akan bisa menemukannya. Malapetaka apa yang menanti
kita sekarang? Oh, kita harus lari!"
"Mari kita lari sekarang," paksa Raoul sekali lagi.
Gadis itu ragu. Raoul mengira Christine akan berkata
iya . . . . Tetapi manik matanya yang tadi bersinar kini mere­
dup dan ia berkata, "Tidak! Besok!"
Lalu gadis itu buru-buru meninggalkan Raoul sambil
terus meremas dan menggosok jemarinya, seakan berharap
dengan begitu cincin tersebut akan kembali.
Raoul pulang dan merasa sangat gelisah atas segala se­
suatu yang ia dengar malam ini.
"Bila aku tak menyelamatkannya dari tangan penipu itu,
ia akan celaka," katanya keras-keras menjelang tidur. "Te­
tapi aku akan menyelamatkannya."
Ia mematikan lilin di kamarnya dan merasakan dorong­
an kuat untuk menghina Erik dalam kegelapan. Karena itu
ia berteriak tiga kali, "Penipu! Penipu! Penipu!"
Namun, tiba-tiba, a
i bergerak bangun dengan bertopang­
kan siku di samping tubuh. Keringat dingin mengaliri da­
hinya. Sepasang mata seperti bara api muncul di ujung
tempat tidurnya. Mata itu menatapnya dengan tajam dan
tak berkedip di tengah kegelapan malam.
Raoul bukan pengecut, tetapi ia gemetar juga. Tangan­
nya yang ragu-ragu meraba-raba meja di samping tempat
tidurnya. la menemukan korek api, lalu menyalakan lilin­
nya. Mata itu lenyap.
Dengan gelisah ia berpikir, "Christine memberitahuku
bahwa matanya hanya terlihat dalam gelap. Matanya bisa
jadi tak terlihat lagi dalam terang, tetapi dia mungkin ma­
sih di sana."

197
Lalu a
i bangun dan mengendap-endap mengitari ruang­
an. Seperti anak kecil ia melongok ke bawah tempat tidur­
nya. Merasa konyol, ia kembali ke tempat tidur lalu me­
niup mati lilinnya. Mata itu muncul lagi.
Raoul duduk tegak dan balas memandang sepasang
mata itu dengan segenap keberanian yang mampu dikum­
pulkannya. Lalu ia berseru, "Kaukah itu, Erik? Manusia,
jenius, atau hantu, kaukah itu?"
la berpikir, "Kalau memang itu dia, maka dia ada di
balkon!"
la kemudian berlari ke lemari lacinya dan berusaha me­
nemukan pistolnya. Ia membuka jendela balkon, meman­
dang ke luar, dan menutup kembali jendela itu setelah ia
tak mendapati apa-apa. la kembali ke tempat tidur sambil
gemetar karena malam itu dingin, dan a
i meletakkan pistol
itu di meja sehingga ia dapat dengan mudah menjangkau­
nya.
Sepasang mata itu tetap di sana, di ujung tempat tidur­
nya. Apakah ia berada di antara tempat tidur dan bingkai
jendela, atau di balik bingkai jendela yang berarti di bal­
kon? Itu yang ingin diketahui Raoul. Ia juga ingin tahu
apakah sepasang mata itu milik manusia .... Ia ingin tahu
semuanya.
Kemudian, dengan pelan dan tenang ia meraih pistol
dan membidik. Sasarannya adalah sedikit di atas kedua
mata itu. Kalau yang dilihatnya memang mata, pasti ada
dahi di atasnya, dan jika Raoul bisa melakukannya dengan
tepat. . .
Tembakan itu terdengar begitu keras di rumah yang se­
dang sunyi dalam lelap penghuninya. Sementara suara

198
langkah-langkah kaki yang tergopoh terdengar mendekat
dengan cepat di lorong, Raoul duduk tegak dengan lengan
terjulur, siap menembak lagi bila memang diperlukan.
Kali ini sepasang mata itu telah hilang.
Para pelayan muncul sambil membawa Win dan dengan
sangat cemas Count Philippe bertanya, "Ada apa?"
"Kupikir aku bermimpi," jawab pemuda itu. "Aku me­
nembak sepasang bintang yang membuatku tak bisa ti­
dur."
"Kau mengigau! Apa kau sakit? Demi Tuhan, katakan
apa yang terjadi, Raoul?"
Lalu Count itu merampas pistol yang digenggam adik­
nya.
"Tidak, tidak, aku tidak mengigau . . . Lagi pula kita akan
II
segera tahu . . . .
Raoul turun dari tempat tidur, mengenakan mantel tidur­
nya serta sandal, dan setelah mengambil lilin yang dipe­
gang seorang pelayan, a
i membuka jendela dan melangkah
ke balkon.
Sang bangsawan melihat lubang peluru setinggi orang
dewasa di kaca jendela. Raoul membungkuk di pagar bal­
kon sambil memegang lilin.
. .
a.I" k
"Ah atanya. "Darah. Darah... D"i srm, d"1 sana, 1ebih
..

banyak darah! Itu bagus! Hantu yang berdarah tentunya


tak terlalu berbahaya!" la menyeringai.
"Raoul! Raoul! Raoul!"
Bangsawan itu mengguncang-guncang Raoul seperti
membangunkan seseorang yang berjalan dalam tidur.
"Kakakku yang baik, aku tidak tidur!" protes Raoul gu­
sar. "Kau bisa melihat darah itu, kan. Kupikir aku bermim-

199
pi dan menembak sepasang bintang. Tapi itu sepasang
mata Erik... dan ini darahnya! Mungkin aku salah telah
menembaknya, dan Christine mungkin tak akan pernah
memaafkanku . . . . Semua ini tak akan tetjadi kalau aku me­
narik tirai hingga menutupi jendela sebelum tidur tadi."
"Raoul, apa kau mendadak jadi gila? Sadarlah!"
"Kau masih menyangka aku belum sadar? Kau lebih
baik membantuku mencari Erik... sebab, bagaimanapun
juga, hantu yang terluka pasti bisa ditemukan."
Pelayan sang count berkata, "Memang benar, Tuan, ada
darah di balkon."
Pelayan yang lain datang membawa lampu pijar, dan
dengan cahaya lampu itu mereka memeriksa balkon de­
ngan lebih teliti. Jejak darah itu tampak di sepanjang pagar
balkon hingga mencapai talang air dan terus naik menyu­
suri talang itu.
"Sahabatku," ujar Count Philippe, "kau menembak se­
ekor kucing."
"Yah," kata Raoul sambil nyengir, "itu mungkin saja ter­
jadi. Tetapi dengan Erik, kau tak akan tahu pasti. Apa itu
Erik? Atau kucing? Atau hantu? Tidak, dengan Erik, kau
tak akan tahu!"
Raoul terus mengocehkan hal-hal yang memenuhi kepa­
lanya sehingga orang-orang menyangka pikirannya agak
terganggu. Sang bangsawan itu sendiri termasuk orang
yang berpikir demikian dan nanti, hakim penyidik yang
menerima laporan komisaris polisi juga menyimpulkan hal
yang sama.
"Siapa itu Erik?" tanya sang bangsawan sambil meng­
genggam erat tangan adiknya.

200
"Dia sainganku. Dan sayang sekali bila ternyata ia be­
lum mati."
Bangsawan itu melambaikan tangan menyuruh para pela­
yannya pergi meninggalkan kedua anggota keluarga
Chagny itu sendiri. Tetapi para pelayan itu belum cukup
jauh untuk tidak mendengar Raoul berkata dengan jelas
dan tegas, "Aku akan membawa pergi Christine Daae ma­
lam ini."
Kalimat ini nantinya akan disampaikan kepada M.
Faure, sang hakim penyidik. Tapi tak seorang pun tahu
persis apa yang dibicarakan kedua kakak-adik saat itu.
Para pelayan berkata bahwa ini bukan pertama kalinya
mereka bertengkar. Suara keduanya terdengar nyaring me­
nembus dinding dan seorang aktris bemama Christine
Daae selalu disebut-sebut.

Waktu sarapan-sarapan yang diminta untuk dikirirnkan


ke ruang kerja sang bangsawan- Philippe memanggil adik­
nya. Raoul datang, tak banyak bicara dan berwajah suram.
Pertemuan itu singkat saja. Philippe memberikan satu
eksemplar Epoque kepada adiknya dan berkata, "Baca itu!"
Sang viscount membaca:

"Berita terbaru di Faubourg adalah tentang pertunangan Mlle.

Christine Daae, si penyanyi opera, dengan M. le Vicomte Raoul

de Chagny. Bila kabar ini benar, Count Philippe telah bersum­

pah bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, keluarga

Chagny tidak akan menepati janji mereka. Tetapi cinta adalah

sesuatu yang dahsyat, dan karena itulah, tidak hanya di Opera,

semua orang bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Count

Philippe untuk mencegah adiknya membawa Margarita baru

201
itu berjalan menuju altar. Kakak-adik itu dikabarkan saling

menyayangi, tetapi sepertinya sang count akan salah bila mengi­


ra cinta antar-saudara akan mengalahkan cinta yang tulus dan

murni."

"Kaulihat, Raoul," kata sang count, "kau rnernbuat kita


terlihat konyol! Gadis kecil itu telah mengacaukan pikiran­
rnu dengan cerita-cerita hantunya."
Rupanya sernalarn sang viscount rnenceritakan ulang ke­
pada kakaknya apa yang dikatakan Christine. Yang dikata­
kan pernuda itu sekarang hanyalah, "Selarnat tinggal,
Philippe."
"Apa kau sudah memutuskan? Kau akan pergi malam
ini? Bersarnanya?"
Tak ada jawaban.
"Kau tak akan rnelakukan hal sebodoh itu, kan? Aku
akan rnenghentikanrnu!"
"Selamat tinggal, Philippe," kata viscount itu sekali lagi,
lalu rneninggalkan ruangan.
Kejadian ini diceritakan sendiri oleh sang bangsawan
kepada hakim penyidik, dan bangsawan itu tidak bertemu
Raoul lagi hingga rnalarn itu di Opera, beberapa rnenit
sebelurn rnenghilangnya Christine.
Sebenarnya Raoul menghabiskan waktunya seharian
rnernpersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan rnereka.
Kuda, kereta, kusir, bekal, barang bawaan, uang selarna di
perjalanan, rute yang akan ditempuh (ia memutuskan tidak
naik kereta untuk mencegah hantu itu rnernbuntuti rnere­
ka): sernua itu telah dipersiapkan dan selesai pada pukul
sembilan malam.

202
Pukul sembilan, sejenis kereta kuda untuk perjalanan
jauh dengan jendela tertutup tirai tampak berjajar di antara
kereta-kereta kuda yang ada di luar sisi bangunan
Rotunda. Kereta itu ditarik dua kuda gagah yang dikenda­
likan oleh kusir yang nyaris seluruh wajahnya tersembunyi
di balik syal. Di depan kereta ini ada tiga kereta lagi. Satu
milik Carlotta, yang tiba-tiba kembali ke Paris, satu lagi
milik Sorelli, dan yang memimpin barisan adalah kereta
milik Comte Philippe de Chagny. Tak ada yang meninggal­
kan kereta. Para kusir itu tetap duduk di tempat mereka
masing-masing.
Sesosok bayangan berjubah hitam panjang dengan topi
kain berwarna hitam berjalan di trotoar di antara Rotunda
dan kereta-kereta kuda itu. la memperhatikan kereta-kereta
itu dengan saksama, menghampiri kuda-kuda dan kusir­
nya, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Nantinya, hakim
penyidik menganggap bayangan itu adalah Vicomte Raoul
de Chagny. Tetapi aku tidak setuju, sebab malam itu
Vicomte de Chagny mengenakan topi tinggi yang bisa
dibuktikan keberadaannya. Aku lebih cenderung berpikir
bahwa bayangan itu adalah si hantu yang telah mengetahui
segalanya, seperti yang akan segera diketahui oleh para
pembaca.
Malam itu mereka menampilkan Faust bagi penonton
yang memadati Opera. Para penduduk Faubourg berbon­
dong-bondong datang, dan tulisan di harian Epoque pagi
itu sudah menampakkan hasilnya, sebab semua mata me­
mandang boks balkon yang malam itu hanya ditempati
Count Philippe seorang diri. Bangsawan itu terlihat sibuk
dengan pikirannya sendiri dan tak memedulikan sekeliling-

203
nya. Para perempuan yang datang menonton malam itu
tampak bertanya-tanya, dan ketidakhadiran sang viscount
membuat bisik-bisik di balik kipas mereka semakin ramai.
Penampilan Christine Daae tak disambut semeriah biasa­
nya. Penonton malam itu tak bisa memaafkan kelancangan­
nya mencintai seorang viscount.
Penyanyi itu bisa merasakan sikap yang tak bersahabat
dari para penonton dan merasa bingung karenanya.
Para Jangganan tetap Opera yang pura-pura mengetahui
kisah cinta sebenarnya dari sang viscount saling bertukar
senyum penuh arti di bagian-bagian tertentu pada nyanyian
si Margarita. Dan mereka sengaja menoleh ke arah boks
balkon Philippe de Chagny ketika Christine bemyanyi:

"Seandainya aku tahu siapa dia


Yang memanggilku,
Apakah ia seorang terhormat, atau, setidaknya siapa
namanya... "

Bangsawan itu duduk bertopang dagu dan tampaknya


tak memedulikan semua yang terjadi. la terus menatap ke
arah panggung, namun sepertinya pikirannya melayang
entah ke mana.
Christine semakin lama semakin kehilangan rasa percaya
dirinya. Ia gemetar. Gadis itu merasa nyaris tak mampu
lagi mengendalikan diri. . . . Carolus Fonta bertanya-tanya
apa ia sakit, dan apa ia mampu bertahan hingga akhir Ba­
bak Taman. Di baris depan, penonton teringat malapetaka
yang menimpa Carlotta di akhir babak ini dan bunyi "kro-

204
ok" legendaris yang sempat menghentikan kariernya di
Paris untuk sementara waktu.
Tepat saat itu, Carlotta masuk dengan riuh ke salah satu
boks balkon yang menghadap panggung. Christine yang
malang mendongak untuk melihat hal yang sanggup meng­
alihkan perhatian penonton itu. la mengenali saingannya,
dan ia pikir ia melihat senyum tersungging dari bibir wani­
ta itu. Itulah yang menyelamatkannya. la melupakan se­
muanya untuk kembali menunjukkan kejayaannya di atas
panggung.
Sejak saat itu sang primadona bernyanyi dengan segenap
hati dan jiwanya. Ia mencoba tampil lebih baik dari yang
pernah ia berikan selama ini, dan berhasil. Di bagian ter­
akhir saat ia mulai berdoa kepada para malaikat, ia mem­
buat semua orang yang menonton seolah berubah menjadi
para malaikat bersayap.
Di tengah-tengah teater itu seorang laki-laki bangkit dan
tetap berdiri menghadap si penyanyi. Laki-laki itu Raoul.
"Malaikat yang kudus, terberkatilah kau di surga..."
Dan Christine, yang mengulurkan tangannya, sementara
musik mengisi penuh tenggorokannya dan rambutnya
yang indah jatuh di bahunya yang terbuka, melagukan ba­
gian yang sangat indah: "Jiwaku rindu untuk bersamamu
selamanya!"
Tepat pada saat itu pangung tiba-tiba diliputi kegelapan
total. Kejadiannya begitu cepat sampai-sampai para penon­
ton tak sempat berteriak kaget, dan lampu panggung seke­
tika menyala lagi. Tetapi Christine Daae sudah tak ada di
sana!
Apa yang terjadi padanya? Keajaiban apa itu? Semua

205
orang berpandangan tanpa memaharni apa yang sebenar­
nya terjadi. Dan dalam sekejap suasana menjadi gempar.
Keadaan di panggung tidaklah lebih baik. Orang-orang
berlarian dari sayap panggung ke tempat Christine bernya­
nyi beberapa detik lalu. Pertunjukan pun terhenti di tengah
kekacauan itu.
Ke mana Christine pergi? Ilmu sihir apa yang berhasil
melarikannya di hadapan ribuan penonton dan bahkan
dari pelukan Carolus Fonta? Seakan-akan para malaikat
benar-benar telah membawanya ke surga "untuk selama­
nya."
Raoul yang masih berdiri di tengah-tengah gedung tea­
ter itu berteriak. Count Philippe melompat berdiri di boks
balkonnya. Orang-orang melihat ke arah panggung, sang
bangsawan, dan Raoul secara bergantian dan bertanya-ta­
nya apakah kejadian ini ada hubungannya dengan paragraf
di koran pagi tadi. Tetapi Raoul buru-buru meninggalkan
kursinya, sang bangsawan menghilang dari boks balkon­
nya, dan sementara tirai panggung diturunkan, para lang­
ganan tetap bergegas menuju pintu ke arah belakang pang­
gung. Penonton sisanya tetap menunggu di tengah-tengah
keributan yang terjadi. Semua orang berbicara pada saat
yang sama. Semua orang mencoba mengajukan penjelasan
atas insiden ganjil itu.
Akhirnya, tirai panggung perlahan terangkat dan
Carolus Fonta melangkah ke podium dirigen. Dengan sua­
ra sedih dan sungguh-sungguh ia kemudian berkata,
"Tuan-Tuan dan Nyonya-nyonya, suatu peristiwa yang tak
pernah karni ala.mi telah terjadi dan hal itu membuat kami

206
semua sungguh khawatir. Saudara kami, Christine Daae,
telah menghilang di depan mata kita semua dan tak ada
yang dapat menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi!"

207
Bab 14
Tingkah Laku Aneh Yang Melibatkan Peniti

D1 balik tirai panggung, kerumunan orang begitu gempar.


Para penyanyi, pengganti gambar latar, pemain figuran,
anggota paduan suara, pelanggan tetap, semuanya sibuk
melontarkan pertanyaan, berteriak, dan saling dorong.
"Apa yang terjadi padanya?"
"Dia melarikan diri."
"Tentu saja dengan Vicomte de Chagny!"
"Tidak, dengan sang count!"
"Ah, ini Carlotta! Carlotta yang melakukannya!"
"Bukan, itu perbuatan si hantu!"
Dan beberapa orang tertawa, terutama karena pemerik­
saan saksama terhadap pintu-pintu jebak dan papan-papan
telah menghapus kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Di tengah-tengah massa yang riuh rendah ini, terlihat
tiga lelaki sedang berbicara dengan suara rendah dan me­
nunjukkan tingkah putus asa. Mereka adalah Gabriel, pe­
mimpin paduan suara; Mercier si manajer akting; dan
Remy si sekretaris. Mereka menyingkir ke sudut lobi yang

208
menghubungkan panggung dengan lorong menuju lobi
balet. Di sana mereka berdiri dan berdebat di belakang se­
jurnlah "properti" berukuran sangat besar.
"Aku sudah mengetuk pintunya," kata Remy. "Mereka
tak menjawab. Mungkin mereka tidak di sana. Tapi bagai­
manapun juga, kita tak mungin tahu karena mereka mem­
bawa kunci-kunci itu."
"Mereka" di sini pastilah para manajer, yang pada per­
gantian babak terakhir mengumurnkan bahwa mereka ti­
dak mau diganggu untuk alasan apa pun. Mereka tidak
mau menemui siapa pun.
"Tetap saja," seru Gabriel, "seorang penyanyi dibawa
kabur dari tengah-tengah panggung bukanlah sesuatu yang
terjadi setiap hari!"
"Apa kau meneriakkan berita itu kepada mereka?" ta­
nya Mercier tak sabar.
"Aku akan ke sana lagi," kata Remy yang kemudian
berlari pergi.
Setelah itu datanglah si manajer panggung.
"Well, M. Mercier, apa kau akan ikut denganku? Apa
yang kalian berdua kerjakan di sini? Kau dibutuhkan, Mr.
Manajer Akting."
"Aku menolak untuk turut campur apa pun bentuknya
sebelum si kornisaris datang," ucap Mercier. "Aku sudah
memanggil Mifroid. Akan kita urus begitu dia datang!"
"Kukatakan sekali lagi bahwa kau harus turun ke tem-
pat organ sekarang juga."
"Tidak sebelum kornisaris itu tiba."
"Aku sudah ke sana."
"Ah! Dan apa yang kaulihat?"

209
"Well, aku tak melihat siapa pun! Kaudengar- tak se­
orang pun!"
"Untuk apa kau mau aku turun ke sana?"
"Kau benar!" kata si manajer panggung sambil meratakan
rambutnya dengan gelisah. "Kau benar! Tetapi mungkin
saja ada orang di daerah organ yang dapat memberitahu
kita bagaimana panggung itu bisa tiba-tiba gelap. Sekarang
Mauclair tak dapat ditemukan. Apa kau mengerti?"
Mauclair adalah petugas lampu yang mengatur siang
dan malam di atas panggung Opera.
"Mauclair tidak dapat ditemukan!" ulang Mercier ter­
enyak. "Well, bagaimana dengan para asistennya?"
"Tidak ada Mauclair maupun para asistennya! Kuberita­
hu ya, tak ada seorang pun di bagian lampu! Bayangkan,"
teriak manajer panggung itu marah, "gadis itu pasti dilari­
kan oleh seseorang, dia tidak pergi seorang diri! Aksi itu
sudah diperhitungkan dengan cermat dan kita harus men­
cari tahu soal ini . .. Dan apa yang dilakukan para manajer
.

itu selama ini? Aku sudah memerintahkan agar tak se­


orang pun diperbolehkan turun ke bagian lampu, dan aku
menempatkan seorang petugas pemadam kebakaran di
depan pos petugas lampu di sebelah organ. Tindakan yang
tepat, bukan?"
"Ya, ya, cukup tepat. Sekarang mari kita menunggu
kornisaris itu."
Manajer panggung itu melangkah pergi sambil mengang­
kat bahu dan marah-marah, menggerutukan hinaan kepada
orang-orang lemah yang mernilih tetap tenang meringkuk
di pojokan sementara seluruh teater berada dalam keadaan
kacau balau.

210
Gabriel dan Mercier sebenarnya tidak setenang itu. Ha­
nya saja mereka mendapatkan perintah yang membuat
mereka tak bisa berkutik. Para manajer itu tidak boleh di­
ganggu, apa pun perkaranya. Remy telah melanggar perin­
tah itu dan tak membawa hasil.
Pada saat itu Remy kembali dari usaha keduanya de­
ngan wajah bingung dan terkejut.
"Bagaimana, sudah kautemui mereka?" tanya Mercier.
"Akhirnya Moncharmin membuka pintu. Matanya melo­
tot sampai seperti mau lepas dari kepalanya. Kupikir ia
akan memukulku. Aku belum sempat bilang apa-apa dan
tebak apa yang dia teriakkan kepadaku? 'Apa kau punya
peniti?' 'Tidak!' 'Kalau begitu pergi dari sini!' Aku menco­
ba memberitahunya bahwa sesuatu yang sangat ganjil telah
tetjadi di panggung, tetapi a
i berteriak marah, 'Peniti! Beri
aku peniti sekarang juga!' Seorang anak laki-laki mende­
ngarnya - ia berteriak seperti banteng-lalu berlari naik
dan memberikan peniti kepadanya. Setelah itu Moncharmin
membanting pintu di depan mukaku, dan habis perkara!"
"Dan kau bahkan tak bisa berkata, 'Christine Daae."'
"Aku ingin lihat apa yang bisa kaulakukan seandainya
kau jadi aku tadi. la begitu murka. la tak memikirkan apa
pun selain penitinya. Kurasa, kalau aku tidak memberinya
peniti saat itu juga, ia akan kena serangan jantung... Oh,
semua ini begitu aneh, dan para manajer kita sudah gila...
lni tak dapat dibiarkan! Aku tidak terbiasa diperlakukan
seperti itu!"
Tiba-tiba Gabriel berbisik, "Ini trik yang lain dari si H.O."
Remy menyeringai, Mercier menghela napas dan tampak

211
ingin mengatakan sesuatu. . . tetapi, setelah menatap mata
Gabriel, ia mengurungkan niatnya.
Mercier merasa tanggung jawab di pundaknya kian ber­
tarnbah berat seiring berlalunya waktu, sementara kedua
manajer itu tak kunjung memberikan tanda-tanda kemun­
culan mereka. Akhirnya ia tak tahan lagi.
"Sudahlah, aku akan pergi dan aku sendiri yang akan
menyeret mereka keluar!"
Gabriel, yang telah berubah murarn dan serius, menghen­
tikannya.
"Hati-hati dengan apa yang kaulakukan, Mercier! Kalau
mereka mendekam di dalarn kantomya, mungkin itu kare-
.
na harus.I H.0. 1tu l"10"kl"
.

Tetapi Mercier menggeleng.


"Kantor itu markas pengintaian mereka! Aku tetap per­
gi! Kalau saja orang-orang mau mendengarkanku, polisi
pasti sudah mengetahui segalanya sejak dulu!"
Dan ia pergi.
"Segalanya apa?" tanya Remy. "Apa yang harus diberita­
hukan kepada polisi? Kenapa kau diam saja, Gabriel? Ah,
jadi kau tahu sesuatu! Sebaiknya kau memberitahuku juga
kalau kau tak ingin aku berteriak keras-keras bahwa kalian
semua sudah gila... Ya, seperti itulah kalian: gila!"
Gabriel memasang tarnpang bodoh dan pura-pura tak
mengerti ledakan amarah si sekretaris pribadi itu.
"Apakah 'sesuatu' yang semestinya kuketahui ini?" kata­
nya. "Aku tak tahu apa yang kaumaksud."
Remy mulai kehilangan kesabaran.
"Malarn ini, Richard dan Moncharmin bertingkah seperti
orang sinting, di sini, di jeda antarbabak."

212
"Aku tak melihatnya," gerutu Gabriel sebal.
"Kalau begitu kau satu-satunya yang tak rnelihat! Menu­
rutmu aku tidak melihat mereka? Dan M. Parabise si ma­
najer Credit Central itu juga tak melihat apa-apa? Dan M.
de La Borderie, sang duta besar, juga tak punya mata? Se­
mua pelanggan tetap Opera menudingkan jari ke arah ke­
dua manajer kita!"
"Tapi apa yang dilakukan oleh manajer kita waktu itu?"
tanya Gabriel sambil memasang raut wajah polos.
"Apa yang mereka lakukan? Kau lebih tahu dari semua
orang lain apa yang mereka lakukan! Kau ada di sana!
Dan kau memandangi mereka. Kau dan Mercier! Dan ha­
nya kalian yang tak tertawa melihatnya. . . ."
"Aku tak mengerti!"
Gabriel mengangkat kedua tangan lalu menjatuhkannya
lagi di samping tubuhnya, menandakan bahwa pertanyaan
itu sama sekali tidak menarik baginya. Remy melanjutkan,
"Apa maksud sikap terakhir mereka itu? Mengapa mereka
melarang siapa pun mendekati mereka saat ini?"
"Apa? Mereka melarang siapa pun mendekati mereka?"
"Dan mereka melarang siapa pun menyentuh mereka!"
"Benarkah? Apakah kau melihat bahwa mereka melarang
siapa pun menyentuh mereka? ltu sungguh aneh!"
"Oh, jadi kau mengakuinya! Sudah selayaknya! Dan
setelahnya, mereka berjalan mundur!"
"Mundur! Kau melihat para manajer kita berjalan mundur?
Wah, kupikir hanya kepiting yang berjalan mundur!"
"Jangan tertawa, Gabriel; jangan tertawa!"
"Aku tidak tertawa," protes Gabriel dengan wajah sese­
rius hakim pengadilan.

213
"Mungkin kau dapat menjelaskan ini, Gabriel, mengingat
kau berteman dekat dengan pihak manajemen: Ketika aku
berjalan sambil mengulurkan tangan hendak menyentuh
M. Richard di luar lobi saat pergantian babak Taman,
mengapa M. Moncharmin buru-buru berbisik kepadaku,
'Pergi! Pergi! Apa pun yang kaulakukan, jangan menyen­
tuh M. le directeur!' Memangnya aku akan kena semacam
penyakit menular?"
"Menakjubkan!"
"Lalu, tak lama kemudian, waktu M. de La Borderie
menghampiri Richard, tidakkah kaulihat Moncharmin
menempatkan dirinya di antara mereka dan berseru, 'M.
I'ambassadeur, aku memohon dengan sangat agar Anda ti­
dak menyentuh M. le directeur'?"
"Itu buruk sekali. .. Sementara itu, apa yang dilakukan
Richard?"
"Apa yang dilakukannya? Kaulihat sendiri, bukan! la
berputar,membungkuk hormat ke depan meskipun tak ada se­
orang pun di depannya, dan berjalan mundur."
"Mundur?"
"Dan Moncharmin yang ada di belakang Richard juga
berputar, atau lebih tepatnya ia bergerak membentuk sete­
ngah lingkaran di belakang Richard dan berjalan mundur!
Dan mereka bertingkah seperti itu menuju tangga yang
mengarah ke kantor para manajer itu: mundur, mundur,
mundur... Well, kalau tindakan itu bukan dibuat-buat, bisa­
kah kau menjelaskan maksudnya?"
"Mungkin mereka sedang berlatih gerakan balet," jawab
Gabriel tak terlalu meyakinkan.
Sekretaris itu menjadi sangat marah atas lelucon buruk

214
yang dilontarkan di saat yang tak tepat ini. Ia menautkan
alisnya dan mengerutkan bibirnya. Lalu ia berbisik di teli­
nga Gabriel, "Jangan licik, Gabriel. Ada hal-hal yang terjadi
yang melibatkan kau dan Mercier."
"Apa maksudmu?" tanya Gabriel.
"Christine Daae bukan satu-satunya orang yang tiba-tiba
menghilang malam ini."
"Oh, among kosong!"
"Sama sekali bukan among kosong. Mungkin kau dapat
menjelaskan kepadaku mengapa Mercier meraih tangan
Mama Giry begitu ia muncul di lobi dan membawanya
pergi?"
"Benarkah?" kata Gabriel, "Aku tak melihatnya."
"Kau melihatnya, Gabriel, sebab kau pergi bersama
Mercier dan Mama Giry ke kantor Mercier. Sejak saat itu
kau dan Mercier masih berkeliaran, tapi tak seorang pun
melihat Mama Giry."
"Apa kaukira kami memakannya?"
"Tidak, tapi kalian menguncinya di kantor, dan siapa
pun yang lewat di sana bisa mendengarnya berteriak, 'Oh,
bajingan-bajingan itu! Oh, bajingan-bajingan itu!'"
Tepat pada bagian pembicaraan yang ini, Mercier kem­
bali sambil terengah-engah.
"Sudah!" katanya dengan suara muram. "Lebih buruk
dari yang pemah terjadi! Aku berteriak, 'Ini masalah se­
rius! Buka pintunya! lni aku, Mercier.' Aku mendengar
suara langkah kaki. Pintu terbuka dan muncullah
Moncharmin. la terlihat sangat pucat. la berkata, 'Apa
yang kauinginkan?' Aku menjawab, 'Seseorang membawa
kabur Christine Daae.' Menurutmu apa yang dikatakannya?

215
'Dan ia melakukannya dengan amat baik pula!' Lalu ia
menutup pintunya setelah menaruh ini di telapak tangan-
ku.II

Mercier membuka telapaknya, Remy dan Gabriel melihat


benda itu.
11Peniti!" seru Remy.
11Aneh sekali! Aneh sekali!11 ucap Gabriel pelan, tak kua­
sa untuk tak bergidik.
Tiba-tiba sebuah suara membuat ketiganya berbalik.
11Permisi, Tuan-Tuan. Dapatkah kalian memberitahuku
di mana Christine Daae?11
Meskipun keadaan begitu genting, keabsurdan pertanya­
an itu mungkin bisa membuat mereka tertawa terbahak­
bahak seandainya mereka tidak jatuh iba melihat wajah
yang begitu sedih itu. Wajah Vicomte Raoul de Chagny.

216
Bab 15
Christine! Christine!

SELEPAS peristiwa menghilangnya Christine Daae secara


fantastis itu, pikiran pertama yang terlintas di kepala Raoul
adalah menuduh Erik. Ia sudah tak lagi meragukan bahwa
sang Malaikat Musik itu memiliki kekuatan yang sifatnya
nyaris supernatural di dalam gedung Opera tempat ia
membangun kerajaannya ini. Lalu Raoul berlari ke pang­
gung dengan perasaan campur aduk antara cinta dan pu­
tus asa.

"Christine! Christine!" erang pemuda itu memanggil


nama Christine, merasa yakin gadis itu juga memanggil­
manggil namanya di kedalaman lubang gelap tempat mons­
ter itu melarikannya. "Christine! Christine!"
Dan ia merasa seolah mendengar teriakan gadis itu di
balik papan-papan panggung yang memisahkan mereka.
Ia membungkuk, mendengarkan, ia mengelilingi panggung
seperti orang gila. Ah, ia ingin turun, turun ke dalam lu­
bang gulita yang kini semua aksesnya tertutup baginya. . .

217
sebab tak seorang pun boleh menuruni tangga-tangga yang
menuju bawah panggung malam itu!
"Christine! Christine... !"
Sambil tertawa orang-orang mendorongnya agar me­
nyingkir. Mereka menertawakannya dan merasa si kekasih
malang ini sudah kehilangan kewarasannya!
Lewat lorong dan jalan gelap misterius manakah Erik
melarikan gadis polos itu? Apakah mereka ke tempat me­
ngerikan yang telah menanti di tepi danau, lengkap de­
ngan kamar Louis-Philippe itu?
"Christine! Christine! Mengapa kau tak menjawab? Apa­
kah kau masih hidup?"
Pikiran-pikiran mengerikan berkelebat di otak Raoul
yang telah terlalu kalut untuk berpikir. Tentu saja, Erik
pasti mengetahui rahasia mereka. Ia pasti tahu bahwa
Christine telah berdusta padanya. Betapa mengerikan balas
dendam yang akan ia perbuat!
Lalu Raoul teringat dua bintang kuning yang berkeliaran
di balkonnya kemarin malam. Mengapa tak ia habisi saja
mereka? Itu pastilah sepasang mata manusia yang pupilnya
membesar di kegelapan dan bersinar seperti bintang atau
mata kucing. Pasti seorang Albino yang sepertinya memi­
liki mata kelinci di waktu siang dan mata kucing pada
waktu malam: semua orang tahu itu! Ya, ya, dapat dipasti­
kan ia telah menembak Erik. Mengapa ia tak membunuh­
nya saja waktu itu? Monster itu kabur memanjat talang air
seperti kucing atau buronan yang-semua orang juga tahu
ini-akan mencapai tempat yang sangat tinggi dengan ban­
tuan talang itu. Tak diragukan lagi bahwa saat itu Erik
berpikir untuk mencelakai Raoul namun terluka dan kabur,

218
kemudian mengalihkan sasarannya pada Christine yang
malang.
ltulah pikiran-pikiran jahat yang menghantui Raoul se­
mentara ia berlari menuju ruang ganti penyanyi itu.
"Christine! Christine!"
Mata pemuda itu pedih terbakar air mata sewaktu ia
melihat pakaian yang akan dipakai kekasih jelitanya saat
mereka kabur nanti teronggok di antara perabot yang terse­
rak di ruangan itu. Oh, mengapa gadis itu menolak pergi
lebih awal?
Mengapa gadis itu berani bermain-main dengan malape­
taka semacam ini? Mengapa bermain-main dengan perasa­
an monster itu? Bila ia memang berkeras untuk pergi,
mengapa ia masih ingin tinggal hingga hingga saat-saat
akhir demi menenangkan hati iblis itu dengan menyanyi­
kannya lagunya yang indah:

"Malaikat yang kudus, terberkatilah kau di surga,


Jiwaku rindu untuk bersamamu selamanya!"

Sambil menangis tersedu dan bersumpah serapah, Raoul


berjalan terhuyung ke arah cermin besar yang malam itu
membuka di depan matanya dan mengirim Christine pergi
ke dunia bawah tanah yang suram. la mendorong, mene­
kan, dan meraba-raba, tetapi rupanya cermin itu hanya
mematuhi Erik. . . . Mungkin diperlukan lebih dari sekadar
tindakan untuk menggerakkan cermin semacam ini? Mung­
kin ia harus mengucapkan kata-kata tertentu? Ketika ia
masih kanak-kanak, ia mendengar cerita tentang benda­
benda yang mematuhi kata-kata tertentu!

219
Tiba-tiba Raoul teringat sesuatu tentang gerbang yang
mengarah ke Rue Scribe, tentang jalan bawah tanah yang
langsung menuju Rue Scribe dari danau itu . . . . Ya,
Christine pemah memberitahukan sesuatu semacam itu
kepadanya.... Lalu, ketika ia tak menjumpai kunci gerbang
itu di dalam kotaknya, ia memutuskan untuk tetap berlari
menuju Rue Scribe.
Di luar, ketika ia telah sampai di jalan itu, tangannya
yang gemetar menyusuri batu-batu besar itu, mencari-cari
celah untuk masuk... tangannya merasakan jeruji besi . . .
apakah itu gerbangnya? Atau yang ini? Atau mungkinkah
lubang angin itu? Ia mencoba mengintip ke dalam. . . . Beta­
pa gelapnya! Ia memasang telinga. . . yang ada hanya sunyi!
la mengitari gedung itu... dan sampai pada jeruji besi
yang lebih besar, gerbang raksasa! Pintu masuk menuju
Cour de I'Administration.
Raoul buru-buru masuk ke kabin penjaga gerbang.
"Permisi, Madame, dapatkah Anda memberitahukan di
mana saya bisa menemukan gerbang atau pintu yang ter­
buat dari jeruji besi yang membuka ke Rue Scribe. . . dan
menuju ke danau? Anda tahu danau yang saya maksud?
Ya, danau bawah tanah... di bawah Opera."
"Ya, Tuan, saya tahu ada danau di bawah Opera, tetapi
saya tidak tahu pintu mana yang menuju ke sana. Saya ti­
dak pernah pergi ke sana!"
"Bagaimana dengan Rue Scribe, Madame, Rue Scribe?
Apa Anda pernah ke Rue Scribe?"
Perempuan itu tertawa terbahak-bahak! Raoul melesat
pergi, sambil berteriak marah ia melewati empat anak tang­
ga sekaligus setiap kali ia naik-turun tangga-tangga yang

220
ada di bagian perkantoran gedung Opera ini. Akhirnya,
sekali lagi ia mendapati dirinya berada di panggung.
Dengan dada bergemuruh ia berhenti. Mungkinkah
Christine Daae telah ditemukan? Ia melihat sekelompok
laki-laki dan bertanya, "Permisi, Tuan-Tuan. Bisa kalian
beritahu aku di mana Christine Daae?"
Dan seseorang tertawa.
Pada saat yang sama, panggung kembali penuh dengan
suara-suara. Dan di tengah kerumunan orang dengan dan­
danan resmi yang ribut berbicara secara bersamaan sambil
menggerak-gerakkan tangannya, terlihat seorang laki-laki
yang tampak begitu tenang serta berparas menyenangkan.
Wajahnya bersemu merah dengan pipi gemuk, rambutnya
keriting, dan matanya yang biru jernih membuatnya tam­
pak riang. Mercier, si manajer akting, menjawab Vicomte
de Chagny dengan berkata, "Inilah laki-laki yang seharus­
nya Anda tanyai, Monsieur. Mari saya perkenalkan, ini M.
Mifroid, komisaris polisi."
"Ah, M. le Vicomte de Chagny! Senang bertemu dengan
Anda, Monsieur," kata si komisaris. "Bisakah Anda ikut
dengan saya? 0 ya, di mana para manajer itu? Di mana
mereka?"
Mercier tidak menjawab, dan Remy, si sekretaris, dengan
sukarela memberitahukan bahwa para manajer mengunci
diri di kantor mereka dan belum mengetahui apa pun
yang terjadi.
"Kau pasti bercanda! Mari kita pergi ke kantor mere­
ka!"
Sambil diikuti oleh kerumunan orang yang kian bertam­
bah jumlahnya, M. Mifroid kemudian bergerak ke arah

221
daerah perkantoran gedung itu. Mercier memanfaatkan
keadaan tersebut untuk menyelipkan sebuah kunci ke ta­
ngan Gabriel, "Perkembangannya sama sekali tidak bagus,"
bisiknya. "Kau sebaiknya membebaskan Mama Giry."
Lalu Gabriel beranjak pergi.
Tak lama mereka telah tiba di depan pintu kantor para
manajer itu. Mercier memanggil-manggil tanpa hasil. Pintu
itu tetap tertutup.
"Atas nama hukum, buka pintunya!" perintah M.
Mifroid dengan suara keras dan sedikit gelisah.
Akhirnya pintu itu terbuka. Semua orang bergegas ma­
suk ke kantor, mengikuti si kornisaris.
Raoul berada paling belakang. Ketika ia hendak meng­
ikuti orang-orang itu masuk, bahunya dipegang dan kali­
mat ini dibisikkan di telinganya,"Rahasia-rahasia Erik tidak
ada urusannya dengan orang-orang ini!"
Raoul berbalik sambil berseru tertahan. Tangan yang
tadi memegang bahunya kini menempelkan telunjuknya di
bibir seorang laki-laki berkulit gelap dengan mata hijau
dan mengenakan topi wol: si orang Persia!
Orang asing itu terus meletakkan jarinya di bibir, menya­
rankan Raoul untuk tutup mulut. Kemudian, pada saat
viscount yang terkejut itu hendak meminta alasan campur
tangannya yang rnisterius, laki-laki itu membungkuk hor­
mat dan pergi.

222
Bab16
Pengakuan Mencengangkan Madame Giry
atas Hubungan Pribadinya dengan si Hantu
Opera

SEBELUM cerita bergulir mengikuti si kornisaris masuk ke


kantor manajer, aku harus menjelaskan beberapa peristiwa
tak lazim yang terjadi di dalarn kantor yang dengan sia-sia
coba dimasuki Remy dan Mercier, tempat Richard dan
Moncharmin mengunci diri bersama dengan benda yang
belum diketahui oleh para pembaca. Tetapi, sebagai ahli
sejarah, sudah menjadi tugasku untuk tak menunda-nunda
lagi menceritakan hal ini.
Aku pemah mengatakan bahwa suasana hati para mana­
jer itu telah memburuk selama beberapa waktu, dan hal
itu bukan hanya karena jatuhnya larnpu gantung pada
malam pementasan besar itu.
Para pembaca harus tahu bahwa hantu itu diam-diam
telah menerima dua puluh ribu franc pertarnanya. Oh, me­
mang tindakan itu tidak dilakukan dengan rela! Tetapi hal
itu tetap terjadi juga dengan pengaturan yang sangat seder­
hana.
Suatu pagi, para manajer menemukan di atas meja mere-

223
ka amplop yang dialamatkan pada "Monsieur H.O. (priba­
di)" beserta catatan dari si H.O. sendiri:

Telah tiba saatnya untuk menjalankan klausul dalam buku

perjanjian itu. Tolong masukkan dua puluh lembar pecahan

seribu franc ke dalam amplop ini, segel dengan segel milik

Anda, lalu berikan kepada Madame Giry yang akan

mengaturnya.

Tanpa membuang-buang waktu menanyakan bagaimana


surat itu bisa berada di dalam kantor yang selalu mereka
kunci, para manajer itu tanpa ragu berniat memanfaatkan
kesempatan ini untuk menangkap si pemeras misterius.
Lalu, setelah bercerita kepada Gabriel dan Mercier yang
disumpah untuk tak membocorkan rahasia ini, mereka
memasukkan dua puluh ribu franc ke dalam amplop, dan
tanpa meminta penjelasan apa-apa, memberikan amplop
itu kepada Madame Giry yang telah kembali menempati
posisinya. Penjaga boks balkon itu sama sekali tak terkejut.
Tak perlu kuterangkan lagi bagaimana mereka mengawasi
perempuan itu dengan ketat. Madame Giry langsung pergi
ke boks balkon milik si hantu dan meletakkan amplop
berharga itu di atas rak kecil yang menempel pada pinggir­
an balkon. Kedua manajer beserta Gabriel dan Mercier
bersembunyi sedemikian rupa sehingga mereka tak pernah
melepaskan pandangan dari amplop itu barang sedetik
pun selama pementasan maupun setelahnya. Karena am­
plop itu diam di tempatnya, mereka juga tidak beranjak.
Madame Giry pergi dari sana sementara para manajer,
Gabriel, dan Mercier masih berada di tempat itu. Akhirnya

224
mereka lelah menunggu dan membuka amplop tersebut
setelah terlebih dahulu memastikan segelnya tetap utuh.
Sekilas, Richard dan Moncharmin berpikir lembar-lembar
uang itu masih ada di sana. Tetapi mereka langsung menya­
dari bahwa lembar-lembar uang itu sudah berubah. Dua
puluh lembar uang yang asli telah hilang dan diganti de­
ngan dua puluh lembar uang dari "Bank of St. Farce"!"
Para manajer itu jelas-jelas murka sekaligus takut.
Moncharmin bermaksud memanggil kornisaris polisi, tetapi
Richard keberatan. Tak diragukan lagi, Richard pasti punya
rencana, sebab ia berkata, "Jangan mempermalukan diri
sendiri! Seluruh Paris akan menertawakan kita. H.O. itu
telah memenangkan permainan pertama. Kita akan meme­
nangkan yang kedua."
Yang dirnaksudkannya adalah uang setoran bulan de­
pan.
Meski begitu, mereka telah dipermainkan habis-habisan
dan tentulah merasa kesal. Dan, percayalah, hal itu bisa
dipaharni. Kita harus ingat bahwa kedua manajer itu selalu
berpikir bahwa semua insiden aneh ini mungkin saja sema­
cam lelucon iseng dari para pendahulu mereka dan tidak­
lah baik untuk membongkarnya cepat-cepat. Meskipun
demikian, Moncharmin terkadang mencurigai Richard yang
kadang-kadang punya ide-ide aneh di kepalanya. Maka
mereka memutuskan untuk menunggu sambil mengawasi
Mama Giry. Richard menolak mengadukan perempuan
itu.

· "Bank of St. Farce" di Prancis, sama halnya dengan


Uang yang bertuliskan
yang bertuliskan "Bank of Engraving" di lnggris, ada!ah uang palsu.-Catatan
Penerjemah

225
"Kalau a
i bersekongkol dengan hantu itu," katanya,
"uang itu pasti sudah hilang dari tadi. Menurut pendapat­
ku ia cuma idiot."
"Ia bukan satu-satunya idiot di bisnis ini," kata
Moncharrnin sambil merenung.
"Well, siapa yang menyangka?" keluh Richard. "Tapija­
ngan takut. . . lain kali, aku akan berjaga-jaga."
Lain kali yang dimaksud jatuh pada hari yang sama keti­
ka Christine Daae menghilang. Paginya, sepucuk surat dari
si hantu mengingatkan mereka bahwa sudah saatnya me­
lakukan pembayaran. Begini bunyinya:

Lakukan seperti sebelumnya. Semuanya berjalan lancar waktu

itu. Letakkan dua puluh ribu itu di dalam amplop dan serahkan
kepada Madame Giry yang baik.

Surat itu datang beserta amplop yang biasanya. Mereka


hanya perlu memasukkan lembar-lembar uang itu.
Mereka melakukannya sekitar setengah jam sebelum ba­
bak pertama pertunjukan Faust dimulai. Richard menunjuk­
kan amplop itu kepada Moncharrnin. Lalu ia menghitung
uang dua puluh ribu itu di depan Moncharmin dan mema­
sukkan ke dalam amplop tanpa menutupnya.
"Dan sekarang," katanya, "mari kita undang Mama
Giry kemari."
Dipanggillah perempuan tua itu. Ia masuk sambil mem­
beri hormat. Perempuan itu masih mengenakan gaun tafeta
hitamnya yang sudah memudar menjadi ungu kecokelatan,
lengkap dengan topi kumalnya. Tampaknya suasana hati­
nya sedang baik. Ia langsung berkata, "Selamat malam,

226
Tuan-Tuan! Saya rasa ini waktunya untuk urusan amplop
'tu?"
l .

"Ya, Madame Giry," kata Richard dengan sangat ramah.


"Untuk urusan amplop . . . dan satu hal lain."
"Saya siap menjalankan tugas, M. Richard. Dan apakah
hal lain itu?"
"Pertama-tama, Madame Giry, aku punya satu pertanya­
an untukmu."
"Tentu saja, M. Richard. Saya ada di sini untuk menja-
wab."
"Apa kau masih berhubungan baik dengan si hantu?"
"Selalu baik, Tuan."
"Ah, kami senang mendengarnya.... Begini, Madame
Giry," ujar Richard dengan nada seakan ingin menyampai­
kan suatu rahasia penting. "Kami ingin menyampaikan
bahwa, hanya di antara kita saja... kami pikir kau bukan
orang bodoh!"
"Tentu, Tuan," seru si penjaga boks balkon, menghenti­
kan anggukan bulu-bulu hitam yang menghiasi topi kumal­
nya, "saya jamin tak ada yang meragukan itu!"
"Kita bisa menyetujui itu dan sebentar lagi kita akan
bisa saling memaharni. Cerita tentang hantu itu omong ko­
song belaka, bukan? Well, masih di antara kita saja. . . ini
sudah berlangsung cukup lama."
Madame Giry menatap kedua manajer itu seolah-olah
mereka berbicara bahasa Cina kepadanya. la berjalan menu­
ju meja Richard dan dengan agak gelisah bertanya, "Apa
maksud Anda? Saya tidak mengerti."
"Oh, kau cukup mengerti. Kalaupun tidak, kau harus
mengerti . . . . Dan, pertama-tama, beritahu kami namanya."

227
"Nama siapa?"
"Nama laki-laki yang bersekongkol denganmu, Mme.
Giry!"
"Saya bersekongkol dengan si hantu? Saya? Bersekongkol
dalam hal apa?"
"Kau melakukan apa yang dia inginkan."
"Oh! Ia tak terlalu merepotkan kok."
"Dan apakah ia memberimu tip?"
"Dengan murah hati."
"Berapa yang diberikannya kepadamu untuk membawa-
kan amplop itu kepadanya?"
"Sepuluh franc."
"Malangnya! Itu jumlah yang kecil, bukan?"
"Mengapa?"
"Akan kusampaikan kepadamu sebentar lagi, Mme.
Giry. Sekarang kami ingin tahu alasan luar biasa apakah
yang membuatmu menyerahkan tubuh serta jiwamu kepa­
da hantu ini. . . Persahabatan dan pengabdian Madame Giry
tentu tidak bisa dibeli dengan hanya lima atau sepuluh
franc."
"Itu benar. . . . Dan saya bisa memberitahu Anda alasan­
nya, Tuan. Bukan hal yang memalukan . . .malah sebalik­
nya."
"Kami cukup yakin soal itu, Mme. Giry!"
"Well, begini ceritanya... tapi hantu ini tidak suka saya
menceritakan urusannya."
"Benarkah?" ejek Richard.
"Tapi hal satu ini hanya menyangkut diri saya sendiri. . . .
Well, suatu malam, di Boks Balkon nomor Lima, saya mene­
mukan surat yang ditujukan kepada saya, surat yang ditu-

228
lis dengan tinta merah. Saya tak perlu membacakan isi
surat itu kepada Anda, Tuan. Saya hafal isinya dan tak
akan pernah melupakannya bahkan bila saya berumur se­
ratus tahun nanti!"
Lalu Madame Giry berdiri tegak dan mengucapkan isi
surat itu dengan begitu fasih:

MADAME:
1825. Mlle. Menetrier, pemimpin kelompok balet, menjadi

Marquise de Cussy. 1832. Mlle. Marie Taglioni, seorang penari,

menjadi Comtesse Gilbert des Voisins. 1846. La Sota, seorang

penari, menikahi saudara laki-laki Raja Spanyol. 1847. Lola

Montes, seorang penari, menjadi s


i tri Raja Louis dari Bavaria

dan dinobatkan menjadi Countess of Landsfeld. 1848. Mlle.

Maria, seorang penari, menjadi Baronne d'Herneville. 1870.

Therese Hessler, seorang penari, menikahi Dom Fernando,

saudara laki-laki Raja Portugal.

Richard dan Moncharmin mendengarkan perempuan tua


yang semakin bersemangat mengucapkan keterangan
pernikahan-pernikahan besar ini, hingga akhirnya ia me­
nyuarakan kalimat terakhir dari surat itu dengan suara
penuh keberanian dan kebanggaan yang membuncah:
1885. Meg Giry, Ratu!

Lelah akibat usahanya yang teramat keras, penjaga boks


balkon itu mengempaskan diri ke atas kursi sambil berka­
ta, "Tuan-Tuan, surat itu bertandakan, 'Hantu Opera.' Saya

sudah mendengar banyak tentangnya, tetapi saya tak


benar-benar percaya. Namun pada hari ia menyatakan bah-

229
wa Meg kecilku, darah dagingku, akan menjadi ratu, saya
percaya penuh kepadanya."
Kita tak perlu terlalu lama mengamati sikap bersemangat
Madame Giry untuk memahami khayalan apa yang terben­
tuk dalam benaknya oleh kata "hantu" dan "ratu."
Tetapi siapakah yang berada di balik semua ni
i dan me­
ngontrolnya? ltu yang jadi pertanyaan.
"Kau tak pernah bertemu dengannya, lalu ia berbicara
kepadamu dan kau percaya semua yang ia katakan?" tanya
Moncharmin.
"Ya. Pertama-tama, ia telah menjadikan Meg pemimpin
barisan penari. Saya berkata kepada hantu itu, 'Jika ia akan
menjadi ratu pada tahun 1885, maka tak banyak waktu
tersisa. la harus segera menjadi pemimpin barisan.' la ber­
kata, 'Anggaplah itu sudah terjadi.' Dan ia hanya perlu
mengucapkan satu kata kepada M. Poligny dan terjadilah
demikian."
"Jadi kau melihat M. Poligny bertemu dengannya!"
"Tidak, sama seperti yang saya alami, ia mendengar han­
tu itu. Hantu itu membisikkan satu kata ke telinganya,
Anda tahu kan, di malam ketika ia meninggalkan Boks
Balkon nomor Lima dengan tampang begitu pucat."
Moncharmin menghela napas. "Bisnis macam apa ini!"
erangnya.
"Ah!" kata Madame Giry. "Saya selalu berpikir bahwa
ada rahasia-rahasia di antara hantu itu dan M. Poligny.
Apa pun yang diminta hantu itu kepada M. Poligny selalu
dikabulkan. M. Poligny tak dapat menolaknya."
"Kaudengar, Richard? Poligny tak dapat menolaknya."
"Ya, ya, aku dengar itu!" kata Richard. "M. Poligny ber-

230
teman dengan si hantu, dan Madame Giry berteman de­
ngan M. Poligny, kan? Tetapi aku tak peduli soal M.
Poligny," tambahnya. "Satu-satunya orang yang nasibnya
kupedulikan adalah Madame Giry. Madame Giry, kau tahu
apa isi amplop ini?"
"Tentu saja tidak," jawabnya.
"Well, lihatlah."
Dengan pandangan malas ia melihat ke dalam amplop
itu, tetapi matanya berubah berbinar-binar dalam sekejap.
"Uang dalam pecahan ribuan franc!" serunya.
"Ya, Madame Giry, uang dalam pecahan ribuan franc!
Dan kau sudah tahu itu!"
"Saya, Tuan? Saya? Saya bersumpah. . ."
"Jangan bersumpah, Madame Giry! Dan sekarang aku
akan memberitahumu alasan kedua aku memanggilmu.
Madame Giry, aku akan meminta kau ditahan."
Dua bulu hitam yang biasanya bergoyang-goyang santai
di atas topi kusam itu kini bergerak dengan tegas dan ce­
pat, sementara topi itu bergerak-gerak mengancam di atas
sanggul berantakan milik perempuan itu. Rasa terkejut,
terhina, serta protes diungkapkan lebih lanjut oleh ibu Meg
mungil ini melalui gerakan berlebihan yang menunjukkan
betapa ia tersinggung. la melakukan semua itu dengan ja­
rak yang teramat dekat dengan wajah M. Richard sehingga
laki-laki itu harus memundurkan kursinya.
"Memintaku ditahan!"
Tiga gigi yang tersisa di mulut perempuan itu seakan­
akan ikut terlontar ke wajah Richard saat kata-kata itu di­
ucapkan.
Richard bersikap kesatria. Ia bergeming. Telunjuk laki-

231
laki itu seakan menuding penuh tuduhan kepada penjaga
Boks Balkon nomor Lima itu di hadapan para hakim tak

kasatmata.
"Aku akan memintamu ditahan, Madame Giry, sebagai
seorang pencuri!"
"Katakan sekali lagi!"
Lalu, tanpa sempat dicegah oleh Mr. Manajer
Moncharmin, Madame Giry telah melayangkan tinju ke
arah telinga Mr. Manajer Richard dengan sekuat tenaga.
Tetapi bukan tangan keriput perempuan tua yang murka
itu yang mendarat di telinga sang manajer, melainkan amp­
lop itu, amplop penyebab segala kekacauan ini. Arnplop
ajaib itu tiba-tiba terbuka bersamaan dengan tinju itu dan
menghamburkan uang-uang kertas itu ke segala penjuru
seperti kupu-kupu raksasa yang terbang.
Kedua manajer itu berteriak dan satu pikiran yang sama
membuat mereka berlutut, lalu bagai kesetanan memungut
dan memeriksa kertas-kertas berharga itu.
"Apa uangnya masih uang asli, Moncharmin?"
"Apa uangnya masih uang asli, Richard?"
"Ya, masih asli!"
Di atas kedua orang itu, tiga gigi Mame Giry bergemele­
tuk marah dengan ributnya. Namun yang terdengar de­
ngan jelas adalah bagian yang diucapkan berulang ini:
"Saya, seorang pencuri? Saya, pencuri? Saya?"
Amarahnya membuatnya terbata-bata. Ia berteriak, "Saya
tak pemah dituduh seperti itu!"
Lalu, tiba-tiba, ia kembali melesat ke arah Richard.
"Padahal," teriak perempuan itu, "Anda, M. Richard,

232
mestinya lebih tahu ke mana perginya dua puluh ribu
franc itu dibandingkan saya!"
"Aku?" tanya Richard keheranan. "Bagaimana mung­
kin?"
Moncharmin yang terlihat tidak puas mendengar hal itu,
langsung meminta perempuan itu menjelaskan kata-kata­
nya.
"Apa artinya, Madame Giry?" tanyanya. "Dan mengapa
kaubilang Richard mestinya lebih tahu ke mana perginya
dua puluh ribu franc itu daripada kau?"
Merasa wajahnya memerah karena ditatap sedemikian
rupa oleh Moncharmin, Richard menangkap pergelangan
tangan Mme. Giry dan mengguncang-guncangnya. Dengan
suara teramat keras bagai guntur ia berteriak marah,
"Mengapa aku mestinya lebih tahu daripada kau ke mana
perginya dua puluh ribu franc itu? Mengapa? Jawab
aku!"
"Karena uang itu masuk ke kantong Anda!" jawab pe­
rempuan tua itu sambil memandangi Richard seperti meli­
hat jelmaan iblis.
Seandainya Moncharmin tak memegangi tangan Richard,
laki-laki itu pasti sudah menampar Madame Giry. Buru­
buru Moncharmin bertanya dengan lebih sopan, "Bagaima­
na kau bisa mencurigai rekananku, M. Richard, memasuk­
kan dua puluh ribu franc itu ke dalam kantongnya?"
"Saya tak pemah bilang mencurigai," tukas Mame Giry,
"sebab saya sendirilah yang memasukkan dua puluh ribu
franc itu ke dalam kantong M. Richard." Lalu ia menam­
bahkan dengan suara pelan, "Terbongkar sudah! Semoga
hantu itu mengampuniku."

233
Richard mulai berteriak-teriak marah lagi, tetapi
Moncharmin dengan tegas memerintahkannya supaya
diam.
"Serahkan ini padaku! Biarkan perempuan ini menjelas­
kan. Biarkan aku menanyainya." Lalu ia menambahkan,
"Betapa mengherankan reaksi yang kaupilih! Kita sudah
nyaris menyingkap seluruh misteri ini. Dan kau begitu ma­
rah! Sikapmu itu tidak benar. . Aku merasa senang atas
.

semua ini."
Seperti seorang martir Mame Giry mendongak, wajahnya
berseri, penuh keyakinan atas ketidakbersalahannya.
"Anda memberitahu saya bahwa ada dua puluh ribu
franc di dalam amplop yang saya masukkan ke dalam kan­
tong M. Richard. Tetapi saya katakan sekali lagi kepada
Anda, saya tidak tahu apa-apa soal itu. Begitu juga dengan
M. Richard!"
"Aha!" kata Richard, mendadak menunjukkan sikap ang­
kuh yang tak disukai Moncharmin. "Aku juga tidak tahu
apa-apa! Kau memasukkan dua puluh ribu franc di dalam
kantongku dan aku juga tak tahu apa-apa! Aku sangat se­
nang mendengarnya, Madame Giry!"
"Ya," perempuan tua itu menyetujui, "ya, itu benar. Tak
seorang pun dari kita berdua mengetahui apa pun. Tapi
Anda, Anda pasti tahu pada akhirnya!"
Seandainya Moncharmin tidak ada di sana, Richard pasti
sudah menelan Mame Giry hidup-hidup! Tetapi
Moncharmin melindungi perempuan itu. Ia melanjutkan
pertanyaannya, "Amplop seperti apa yang kaumasukkan
ke dalam kantong M. Richard? Bukan yang kami berikan
padamu? Yang kaubawa ke Boks Balkon nomor Lima di

234
depan mata kami semua? Padahal amplop itulah yang ber­
isi dua puluh ribu franc."
"Maafkan saya. Amplop yang diberikan oleh M. le
directeur adalah amplop yang saya selipkan ke dalam kan­
tong M. le directeur," jelas Mame Giry. "Amplop yang saya
bawa ke boks balkon si hantu adalah amplop lain yang
sama persis, yang diberikan kepada saya oleh si hantu dan
yang saya sembunyikan di balik lengan baju saya."
Sambil berkata demikian, Mame Giry mengeluarkan dari
balik lengan bajunya sebuah amplop dengan tulisan alamat
serupa, berisikan dua puluh ribu franc. Kedua manajer
mengambil amplop itu darinya. Mereka memeriksa dan
mendapati amplop itu disegel dengan segel manajerial mi­
lik mereka. Lalu mereka membukanya. Amplop itu berisi
dua puluh lembar uang kertas Bank of St. Farce, persis se­
perti yang membuat mereka terkaget-kaget bulan lalu.
"Gampang sekali!" kata Richard.
"Gampang sekali!" ulang Moncharmin. Lalu a
i melanjut­
kan bertanya sambil menatap Mame Giry lekat-lekat, se­
akan mencoba menghipnoisnya.
t
"Jadi hantu itu yang memberimu amplop ini dan menyu­
ruhmu mengganti amplop yang kami berikan dengan am­
plop itu? Dan hantu itulah yang menyuruhmu memasuk­
kan amplop yang semula ke dalam kantong M. Richard?"
"Ya, hantu itu."
"Kalau begitu, apa kau keberatan menunjukkan sedikit
bakatmu itu? lni amplopnya. Lakukan seolah kami tidak
tahu apa-apa."
"Tentu saja, Tuan-Tuan."
Mame Giry mengambil amplop berisi dua puluh lembar

235
uang kertas itu dan beranjak ke pintu. Ia sudah nyaris ke­
luar ketika dua manajer itu buru-buru mencegahnya, "Oh,
tidak! Tidak! Kami tidak mau dibodohi untuk kedua kali­
nya! Sekali sudah cukup, dua kali itu keterlaluan!"
"Maaf, Tuan-Tuan," kata perempuan tua itu dengan
nada meminta pengertian, "Anda memberitahu saya untuk
melakukannya seolah-olah Anda tidak tahu apa-apa . . . .

Well, kalau Anda tidak tahu apa-apa, saya seharusnya bisa


pergi membawa amplop Anda!"
"Lalu bagaimana kau akan menyelipkannya ke dalam
kantongku?" bantah Richard. Moncharmin memandangi
Richard dengan mata kirinya sementara mata kanannya
mengawasi Mame Giry: tindakan yang kemungkinan akan
membuat indra penglihatannya terganggu, tetapi
Moncharmin rela melakukan apa saja untuk mengungkap
kebenarannya.
"Saya akan menyelipkannya ke dalam kantong Anda
ketika Anda lengah, Tuan. Anda tahu bahwa saya selalu
pergi ke belakang panggung pada malam hari dan saya
sering pergi bersama anak perempuan saya ke lobi balet,
tindakan yang sah-sah saja saya lakukan selaku ibunya.
Saya membawakan sepatunya ketika bagian tari balet akan
dimulai... malahan, saya bisa datang dan pergi sesuka
saya. Para pelanggan juga datang dan pergi. Begitu juga
dengan Anda, Tuan... Ada banyak sekali orang di sana ...
Saya hanya perlu lewat di belakang Anda dan menyelipkan
amplop itu ke dalam kantong di bagian ekor jas Anda ...
Tidak ada trik apa-apa!"
"Tidak ada trik!" teriak Richard sambil memutar bola

236
matanya. "Tidak ada trik! Tampaknya aku baru saja me­
nangkap basah kebohonganmu, dasar nenek sihir!"
Mame Giry langsung tersinggung. Tiga giginya tampak
tersembul.
"Dan kalau boleh saya tahu, apa alasannya?"
"Karena malam itu aku sibuk mengawasi Boks Balkon
nomor Lima dan amplop palsu yang kauletakkan di sana.
Sedetik pun aku idak
t pergi ke lobi balet."
"Tidak, Tuan, saya tidak memberikan amplop itu kepada
Anda malam itu, melainkan pada pertunjukan berikutnya. . .
pada malam ketika atase bidang kesenian. . ."
Mendengar kata-kata ini, Richard tiba-tiba memotong
kalimat Mame Giry, "Ya, itu benar, aku ingat sekarang!
Atase itu pergi ke belakang panggung. la mencariku. Kare­
na itu aku turun sebentar ke lobi balet. Aku sedang berada
di tangga lobi.... Sang atase dan sekretaris utamanya ber­
ada di lobi. . . . Aku iba-tiba
t berbalik. . . kau lewat di bela­
kangku, Madame Giry.... Kau sepertinya sedikit mendo­
rongku . . . . Oh, aku masih bisa mengingat kejadian itu!"
"Ya, yang itu, Tuan. Ketika Anda berbalik, aku baru saja
menyelesaikan urusan kecilku. Kantong di bagian ekor jas
Anda itu, Tuan, sangatlah berguna!"
Lalu Mame Giry sekali lagi mempraktikkan perkataan­
nya. la bergerak ke belakang Richard dan dengan gerakan
sedemikian gesit yang membuat Moncharmin takjub, ia
menyelipkan amplop itu ke dalam kantong di salah satu
ekor jas M. Richard.
"Tentu saja!" seru Richard, terlihat sedikit pucat. "Pintar
sekali si H.O. Persoalan yang dihadapinya adalah bagaima­
na memastikan terjadinya perpindahan yang aman atas

237
dua puluh ribu franc itu dari pihak pemberi ke pihak pene­
rima. Dan sejauh ini, ide terbaik yang dapat dipikirkannya
adalah datang dan mengambil uang itu dari kantongku
tanpa aku menyadarinya, sebab aku sendiri tidak tahu
uang itu ada di sana. Hebat!"
"Oh, hebat memang!" Moncharmin menyetujui. "Hanya
saja kau lupa, Richard, bahwa aku menyediakan separuh
dari dua puluh ribu franc itu dan tak ada seorang pun
yang menaruh apa pun ke dalam kantongku!"

238
Bab17
Kernbali ke Peniti ltu

KALIMAT terakhir Moncharmin jelas-jelas menunjukkan ke­


curigaan pada rekannya itu, kecurigaan yang menuntut
penjelasan penuh amarah. Akhirnya mereka bersepakat
bahwa Richard akan mematuhi semua permintaan
Moncharmin untuk membantunya menangkap penjahat
yang menjadikan mereka berdua korban.
Hal ini mengantar kita kembali pada jeda setelah Babak
Taman, saat tetjadinya tindakan aneh yang mendapat
perhatian Remy serta sikap tak pantas yang tak seharusnya
ditunjukkan oleh para manajer itu. Richard dan
Moncharmin telah mengatur bahwa pertama, Richard ha­
rus mengulang secara persis semua gerakannya pada ma­
lam hilangnya dua puluh ribu franc pertama kalinya itu.
Dan kedua, Moncharmin tak boleh melepaskan pengawas­
an barang sedetik pun pada kantong di ekor jas Richard,
tempat Mame Giry akan memasukkan dua puluh ribu franc
tersebut.
Richard mengambil posisi tepat di tempat a
i berdiri saat

239
membungkuk memberi hormat kepada atase bidang kese­
nian. Moncharrnin berdiri beberapa langkah di belakang­
nya.
Mame Giry lewat, menyenggol Richard sedikit, dan me­
nyingkirkan dua puluh ribu franc-nya ke dalam kantong di
bagian ekor jas manajer itu lalu pergi. . . . Atau lebih tepatnya
dibawa pergi. Sesuai dengan perintah Moncharmin
beberapa menit sebelumnya, Mercier memba-wa wanita tua
itu ke kantor si manajer akting dan menguncinya di dalam

sana sehingga ia takkan mungkin bisa berkomunikasi


dengan si hantu.
Sementara itu, Richard sedang membungkuk dan
menghormat, serta bersusah payah berjalan mundur se­
akan-akan sang atase bidang kesenian yang terhormat itu
berada di hadapannya. Hanya saja segala bentuk tindakan
sopan santun n
i i akan lebih masuk akal dan tak menimbul­
kan pertanyaan di benak orang-orang yang melihatnya jika
sang atase itu benar-benar ada di depan Richard.
Richard memberi hormat... tidak kepada siapa-siapa,
membungkuk... di hadapan udara kosong, dan berjalan
mundur. . . tanpa seorang pun ada di depannya. . . . Dan, bebe­
rapa langkah di belakangnya, Moncharrnin melakukan hal
yang sama, ditambah dengan mengusir Remy dan memo­
hon supaya M. de La Borderie, sang duta besar, dan sang
manajer Credit Central "tidak menyentuh M. le directeur."
Moncharmin, yang sudah punya pemikirannya sendiri,
tidak mau Richard datang kepadanya dengan dua puluh
ribu franc yang sudah lenyap dan berkata, "Mungkin duta
besar itu yang mengambilnya. . . atau si manajer Credit
Central. . . atau Remy."

240
Rasa penasaran mereka semakin memuncak sebab, sama
seperti pengakuan Richard tentang peristiwa bulan lalu,
Richard tak bertemu dengan siapa-siapa di bagian gedung
teater itu setelah Mame Giry menyenggolnya.
Jika pada awalnya Richard berjalan mundur demi mem­
beri hormat dengan membungkuk, ia kini terus melakukan­
nya dengan penuh kewaspadaan hingga ia mencapai jalan
yang mengarah ke kantor-kantor manajemen. Selama hal
itu terjadi, Richard terus-menerus diawasi oleh Moncharmin
dari belakang dan ia sendiri memperhatikan siapa pun
yang mendekat ke arahnya dari depan. Sekali lagi, cara
berjalan mundur baru yang diterapkan oleh para manajer
National Academy of Music kita ini menarik perhatian
orang-orang, tetapi kedua manajer itu hanya memikirkan
soal dua puluh ribu franc mereka.
Begitu mencapai jalan yang agak gelap, Richard berkata
kepada Moncharmin dengan suara rendah, "Aku yakin tak
seorang pun menyentuhku. . . . Sekarang kau sebaiknya men­
jaga jarak dariku dan mengawasiku hingga aku sampai di
pintu kantor. Lebih baik kita tak menimbulkan kecurigaan
apa pun dan bisa melihat apa pun yang terjadi."
Tetapi Moncharmin menjawab, "Tidak, Richard, idak!
t
Kau jalan lebih dulu, dan aku akan berjalan tepat di bela­
kangmu! Aku tak akan pergi satu langkah pun darimu!"
"Tapi, kalau begitu," seru Richard, "mereka tak akan
pernah mencuri dua puluh ribu franc kita!"
"Kuharap begitu!" tukas Moncharmin.
"Kalau begitu yang kita lakukan ini absurd!"
"Kita melakukan persis seperti yang kita lakukan sebe­
lumnya . . . . Waktu itu aku bergabung denganmu saat kau

241
meninggalkan panggung dan mengikuti persis di belakang­
mu melewati jalan ini."
"Itu benar!" kata Richard sarnbil menghela napas, meng­
geleng dan mematuhi Moncharmin.
Dua menit kemudian, dua manajer itu sudah bergabung
dan mengunci diri mereka di dalam kantor. Moncharmin
sendiri yang menaruh kuncinya di dalam sakunya, "Waktu
itu kita mengunci diri seperti ini," katanya, "sampai kau
meninggalkan Opera untuk pulang."
"Benar. Tidak ada yang datang dan mengganggu kita,
bukan?"
"Tidak ada."
"Kalau begitu," ujar Richard sambil berusaha menyusun
ingatannya, "kalau begitu dua puluh ribu franc itu pasti
dirarnpok dariku pada perjalanan pulang dari Opera."
"Tidak," ucap Moncharmin dengan nada lebih datar dari
biasanya, "tidak, itu idak
t mungkin. Sebab aku mengantar­
mu pulang naik keretaku. Tak diragukan lagi, dua puluh
ribu franc itu hilang di rumahmu."
"Tak mungkin!" protes Richard. "Aku percaya pada se­
mua pelayanku. . . dan bila salah satu dari mereka melaku­
kannya, dia pasti sudah menghilang setelahnya."
Moncharmin mengangkat bahu, seakan berkata ia tak
ingin membahas detailnya, dan Richard mulai berpikir bah­
wa sikap Moncharmin sarna sekali tak menunjukkan du­
kungan pada dirinya.
"Moncharmin, aku sudah muak dengan semua ini!"
"Terlebih lagi aku, Richard!"
"Kau berani mencurigaiku?"
"Ya, atas lelucon bodoh yang mungkin kaumainkan."

242
"Tak seorang pun akan bercanda dengan dua puluh ribu
franc."
"Aku pikir juga begitu," ujar Moncharrnin sarnbil mem­
buka koran dan berlagak mengamati tulisan yang dimuat
di sana.
"Kau sedang apa?" tanya Richard. "Apa kau mau mem­
baca koran sekarang?"
"Ya, Richard, sarnpai saatnya aku mengantarmu pulang
nanti."
"Seperti waktu itu?"
"Ya, seperti waktu itu."
Richard merampas koran itu dari tangan Moncharmin.
Moncharmin berdiri kesal, namun ia rnendapati Richard
melipat tangannya di depan dada dengan wajah lelah dan
berkata, "Begini, aku sedang berpikir tentang apa yang
mungkin kupikirkan kalau, seperti waktu itu, kau rneng­
antarku pulang setelah menghabiskan petang hari hanya
bersarnarnu, dan bila pada saat berpisah aku rnendapati
dua puluh ribu franc itu telah lenyap dari kantong di ekor
jasku. . . seperti waktu itu juga."
"Dan apa yang mungkin kaupikirkan itu?" tanya
Moncharmin yang sudah merah padarn karena marah.
"Aku mungkin berpikir karena kau tak pernah mening­
galkanku lebih dari tiga meter dan sesuai perrnintaanmu
seperti waktu itu untuk menjadi satu-satunya orang yang
boleh mendekat kepadaku, aku berpikir bahwa bila dua
puluh ribu franc itu tidak lagi ada di dalarn kantongku,
kemungkinan besar uang itu ada di dalarn kantongmu!"
Moncharrnin rnarah sekali rnendengar perkataan itu.
"Oh!" teriaknya. "Peniti!"

243
"Untuk apa kau butuh peniti?"
"Untuk mengaitkanmu! Peniti! Peniti!"
"Kau mau mengaitkanku menggunakan peniti?"
"Ya, mengaitkanmu pada dua puluh ribu franc itu! De­
ngan begitu, di mana pun kejadiannya - di sini, sepanjang
perjalanan pulang, atau di rumahmu -kau akan merasakan
tarikan tangan yang mengambil uang itu, dan kau akan
lihat sendiri apa itu tanganku! Kau sekarang mencurigaiku,
bukan? Peniti!"
Pada waktu itulah Moncharmin membuka pintu, lalu ber­
teriak di koridor, "Peniti! Beri aku peniit sekarang juga!"
Dan seperti yang telah kita ketahui bersama, pada saat
itu, Remy -yang tidak punya peniti - berada di hadapan
Moncharmin sementara seorang anak laki-laki berlari mem­
berikan peniti yang begitu diidamkan itu. Inilah yang terja­
di setelahnya: pertama-tama, Moncharmin mengunci pintu
kantor kembali, lalu ia berlutut di belakang Richard.
"Kuharap," katanya, "lembar-lembar uang itu masih
utuh."
"Kuharap juga begitu," kata Richard.
"Yang asli?" tanya Moncharmin sambil bertekad untuk
tak dibodohi lagi kali ini.
"Lihat saja sendiri," kata Richard. "Aku menolak
menyentuh uang itu."
Moncharmin mengambil amplop itu dari kantong
Richard dan mengeluarkan lembar-lembar uang itu dengan
tangan gernetar sebab kali ini, untuk rnernudahkan penge­
cekan keaslian uang, ia membiarkan amplop itu terbuka
dan tak disegel. Ia merasa lega setelah mengetahui uang
itu masih utuh dan asli. Lalu dikembalikannya uang itu ke

244
dalam kantong ekor jas dan dengan hati-hati mengaitkan­
nya di sana menggunakan peniti itu. Kemudian ia duduk
di belakang ekor jas Richard dan tak melepaskan pandang­
annya sama sekali dari sana sementara Richard bergeming
duduk di belakang meja kerjanya.
"Sabar sedikit, Richard," kata Moncharmin. "Kita hanya
butuh menunggu beberapa menit lagi . . . . Jam akan segera
berdentang pada pukul dua belas. Waktu itu kita mening­
galkan tempat ini tepat pada dentangnya yang kedua be­
las."
"Oh, aku akan sangat bersabar!"
Waktu berjalan lambat, berat, misterius, dan tegang.
Richard mencoba tertawa.
"Semua ini akan berakhir dengan aku memercayai ke­
mahakuasaan si hantu," katanya. "Tidakkah kau merasakan
suasana yang tak nyaman dan menegangkan di ruangan
. "?"
iru.

"Kau benar," kata Moncharmin yang merasa terkesima.


"Si hantu!" lanjut Richard dengan suara pelan, seakan
takut terdengar oleh sepasang telinga tak kasatmata. "Si
hantu! Bagaimana kalau hantu itu juga yang menaruh am­
plop ajaib itu di atas meja . . . yang berbicara di Boks Balkon
nomor Lima. . . yang membunuh Joseph Buquet . . . yang
menjatuhkan lampu gantung itu... dan yang merampok
kita! Sebab, lihatlah, bagaimanapun juga, tidak ada orang
lain di ruangan ini selain kau dan aku. Dan bila uang itu
menghilang tanpa keterlibatan salah satu dari kita, well,
kita mau tidak mau harus percaya padanya... pada hantu
itu."
Tepat saat itu, jam di atas perapian berbunyi klik, lalu

245
memperdengarkan dentang pertarna dari dua belas den­
tangnya.
Kedua manajer itu bergidik. Keringat mengalir di dahi
mereka. Dentang kedua belas terdengar ganjil di telinga
keduanya.
Ketika jam itu berhenti berdentang, mereka menghela
napas lega dan bangkit dari kursi.
"Kupikir kita bisa pergi sekarang," kata Moncharrnin.
"Kurasa begitu," Richard menyetujui.
"Sebelum kita pergi, apa kau keberatan kalau aku meli­
hat ke dalam kantongmu?"
"Sama sekali tidak, Moncharrnin, malah kau hilrus mela­
kukannya .. . Bagaimana?" tanyanya sembari Moncharrnin
meraba isi kantong itu.
"Well, aku bisa merasakan penitinya."
"Tentu saja, seperti katarnu, kita tak mungkin dirarnpok
tanpa menyadarinya."
Tetapi dengan tangan masih meraba-raba Moncharrnin
lalu berteriak, "Aku bisa merasakan penitinya, tapi aku tak
bisa merasakan uangnya!"
"Ayolah, jangan bercanda, Moncharmin! Bukan waktu­
nya untuk bercanda."
"Rasakanlah sendiri."
Richard buru-buru melepas jaketnya. Kedua manajer itu
membalikkan kantongnya. Kantong itu kosong. Dan yang
aneh adalah, peniti itu tetap di sana, tak berpindah dari
tempatnya.
Richard dan Moncharrnin berubah pucat. Tak ada lagi
yang bisa meragukan sihir yang terlibat dalam kejadian
ini.

246
"Si hantu!" ujar Moncharmin pelan.

Tetapi Richard tiba-tiba melompat ke arah rekannya.


"Tak ada orang lain yang menyentuh kantongku kecuali
kau! Kembalikan dua puluh ribu .franc-ku! Kembalikan dua
puluh ribu franc milikku!"
"Demi jiwaku," desah Moncharmin yang sudah nyaris
pingsan, "demi jiwaku aku bersumpah tak mengambil­
nya!"
Lalu tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Otomatis
Moncharmin membuka pintu itu. Tanpa terlalu menyadari
bahwa itu Mercier, manajer bisnisnya, Moncharmin berbi­
cara sebentar dengannya tanpa benar-benar menyadari apa
yang dikatakannya, dan dengan satu gerakan tak sadar ia
meletakkan peniti yang tak lagi berguna itu ke dalam geng­
gaman bawahannya yang kebingungan itu . . . .

247
Bab 18
Sang Komisaris, Viscount, dan Orang Persia

YANG diucapkan komisaris polisi itu begitu memasuki kan­


tor kedua manajer adalah pertanyaan tentang sang prima­
dona yang menghilang.
"Apa Christine Daae ada di sini?"
"Christine Daae di sini?" ulang Richard. "Tidak. Kena­
pa?"
Sementara itu Moncharmin sudah tak punya tenaga un­
tuk berkata apa-apa lagi.
Melihat sang komisaris dan kerumunan orang yang ikut
masuk itu terdiam, Richard mengulang pertanyaannya.
"Mengapa Anda bertanya apa Christine Daae ada di
sini, M. le commissaire?"
"Karena ia harus ditemukan," ujar komisaris polisi itu
dengan tenang.
"Apa maksud Anda ia harus ditemukan? Apa dia meng­
hilang?"
"Di tengah-tengah pertunjukan!"
"Di tengah-tengah pertunjukan? ltu tidak wajar!"

248
"O ya? Dan yang nyaris sama tak wajarnya adalah Anda
baru mengetahuinya dari saya!"
"Ya," kata Richard sambil memegangi kepalanya. Kemu­
dian ia berkata pelan, "Masalah baru apa lagi ini? Oh, ini
sudah cukup untuk membuat seseorang mengajukan surat
pengunduran dirinya!"
Lalu, tanpa sepenuhnya sadar atas tindakannya, ia men­
cabut beberapa helai kumisnya.
"Jadi ia . . . ia menghilang di tengah-tengah pertunjukan?"
ulangnya.
"Ya, ia dibawa pergi di tengah-tengah Babak Penjara,
tepat pada saat ia memohon pertolongan para malaikat.
Tetapi saya tak yakin ia dibawa pergi oleh malaikat."
"Tetapi saya yakin!"
Semua orang menoleh, mencari-cari sumber suara. Se­
orang anak muda yang tampak pucat serta gemetar penuh
emosi mengulangi kata-katanya, "Saya yakin itu!"
"Yakin apa?"
"Bahwa Christine Daae dibawa pergi oleh malaikat, M.
le commissaire, dan saya bisa memberitahu Anda nama
malaikat itu."
"Aha, M. le Vicomte de Chagny! Jadi Anda berkeras
bahwa Christine Daae dibawa pergi oleh malaikat: malaikat
Opera ini, bukankah begitu?"
"Ya, Monsieur, oleh malaikat Opera ini; dan saya akan
memberitahu Anda tempat ia tinggal... secara pribadi
.
saJa."
"Tentu saja, Monsieur."
Lalu komisaris polisi itu mempersilakan Raoul duduk

249
dan meminta orang-orang di ruangan itu, kecuali kedua
manajer, untuk keluar.
Kemudian Raoul berbicara:
"M. le commissaire, malaikat itu bernama Erik, ia tinggal
di Opera ini dan ia adalah sang Malaikat Musik!"
"Sang Malaikat Musik! Begitu rupanya! Benar-benar
mengherankan... Sang Malaikat Musik!" Lalu, sambil berpa­
ling kepada kedua manajer, Mifroid bertanya, "Apa Anda
memiliki Malaikat Musik di gedung ini, Tuan-Tuan?"
Richard dan Moncharmin menggeleng tanpa bersuara.
"Oh," kata sang viscount, "Tuan-Tuan itu pernah mende­
ngar soal si hantu Opera. Well, saya bisa menyatakan bah­
wa si hantu Opera dan sang Malaikat Musik adalah orang
yang sama; dan nama sebenamya adalah Erik."
Mifroid bangkit dan mengamati Raoul dengan saksa­
ma.

"Maafkan saya, Monsieur, tapi apa Anda bermaksud


mempermainkan hukum? Dan bila tidak, apa artinya se­
mua omongan soal hantu Opera ini?"
"Saya katakan bahwa Tuan-Tuan ini pemah mendengar
tentangnya."
"Tuan-Tuan, sepertinya Anda mengenal si hantu Opera
. "?"
lnt.

Richard berdiri sambil tetap memegang helai-helai kumis


di tangannya.
"Tidak, Tuan Komisaris, tidak, karni tidak mengenalnya.
Tetapi kami berharap sebaliknya, sebab malam ini ia me­
rampok dua puluh ribu franc dari kami!"
Lalu Richard memandangi Moncharmin dengan sedemi­
kian rupa, seakan ingin berkata, "Kembalikan dua puluh

250
ribu franc itu kepadaku atau aku akan membeberkan se­
muanya."
Moncharmin mengerti arti pandangan itu, sebab kemu­
dian dengan jengkel ia berkata, "Oh, beberkan saja semua­

nya, tak usah menunda-nunda lagi!"


Sedangkan Mifroid memandangi kedua manajer itu serta
Raoul berganti-gantian sambil berpikir apakah ia tanpa se­
ngaja telah memasuki rumah sakit jiwa. la menyisir ram­
butnya dengan jari-jarinya.
"Hantu," katanya, "yang pada malam yang sama mem­
bawa lari seorang penyanyi opera dan mencuri dua puluh
ribu franc pastilah hantu yang sangat sibuk. Jika Anda se­
mua tak keberatan, kita akan menyelidiki hal ini secara
berurutan. Kita akan bahas si penyanyi itu lebih dulu, sete­
lah itu barulah soal dua puluh ribu franc itu. Mari, M. de
Chagny, mari kita mencoba bicara serius di sini. Anda per­
caya bahwa Mlle. Christine Daae telah dibawa lari oleh
seseorang bemama Erik. Apakah Anda mengenal orang
ini? Apa Anda pernah melihatnya?"
"Ya."
"Di mana?"
"Di halaman gereja."
Mifroid terkejut, lalu kembali mengamati Raoul dengan
saksama dan berkata, "Tentu saja! Itu tempat biasanya
para hantu berkeliaran! Dan apakah yang Anda lakukan
di halaman gereja itu?"
"Monsieur," kata Raoul, "saya bisa memahami jawaban­
jawaban saya pastilah terdengar absurd bagi Anda. Tetapi
saya mohon Anda percaya bahwa saya sepenuhnya sadar
dan waras. Seseorang yang benar-benar saya sayangi di

251
dunia ini sedang terancam keselamatannya. Saya ngin
i
membuat Anda percaya dengan kata-kata sesedikit mung­
kin sebab kita tak punya banyak waktu, setiap menit yang
berlalu sangatlah berharga. Namun sayangnya, bila saya
tidak menceritakan kisah yang begitu ganjil ini dari awal,
Anda tak akan memercayai saya. Saya akan memberitahu
Anda semua yang saya ketahui tentang si hantu Opera ini,
Tuan Komisaris. Meskipun saya tidak tahu terlalu ba­
nyak. .. "

"Tidak apa, teruskan, teruskan!" seru Richard dan


Moncharmin yang tiba-tiba terlihat begitu tertarik.
Sayangnya, meskipun mereka begitu berharap untuk
segera mendapat berbagai detail yang akan menuntun
mereka melacak penipu ini, tak lama setelah ini mereka
seakan dipaksa menerima kenyataan bahwa Raoul de
Chagny sudah sinting. Semua cerita tentang Perros-Guirec,
kepala tengkorak, serta biola yang memukau hanyalah
mungkin terlahir dari pikiran kacau seorang pemuda yang
dimabuk cinta. Mr. Commissary Mifroid jelas-jelas juga
memiliki pendapat serupa. Dan seandainya tak ada keja­
dian yang tiba-tiba menginterupsi pembicaraan mereka,
dapat dipastikan komisaris itu sendiri akan memotong ce­
rita tak masuk akal itu.
Pintu terbuka dan rnasuklah laki-laki yang dengan ganjil­
nya mengenakan mantel jas yang begitu besar serta topi
tinggi yang lusuh namun mengilap, yang menutupi hingga
telinganya. Ia menghampiri sang komisaris lalu membisik­
kan sesuatu kepadanya. Pasilah
t ia detektif yang datang
menyampaikan suatu kabar teramat penting.
Selama hal itu tetjadi, Mifroid tak melepaskan pandang-

252
annya sekali pun dari Raoul. Akhirnya ia berkata kepada
Raoul, "Monsieur, kita sudah cukup berbicara tentang si
hantu. Sekarang, kalau Anda tidak keberatan, kita akan
bicara tentang Anda. Anda tadinya akan membawa pergi
Christine Daae malam ini?"
"Ya, M. le commissaire."
"Setelah pementasan usai?"
"Ya, M. le commissaire."
"Segala persiapan untuk ini telah diatur?"
"Ya, M. le commissaire."
"Kereta yang mengantar Anda ke sini akan membawa
kalian berdua pergi dari sini. Kuda-kuda yang kuat sudah
siap menanti untuk digunakan... "
"Itu benar, M. le commissaire."
"Tetapi kereta Anda masih berada di luar Rotunda me­
nunggu perintah dari Anda, bukan begitu?"
"Ya, M. le commissaire."
"Apakah Anda tahu bahwa selain kereta Anda, ada tiga
kereta lain lagi di sana?"
"Saya tidak memperhatikan."
"Kereta-kereta itu milik Mlle. Sorelli yang tidak berhasil
mendapat tempat di Cour de l'Administration, lalu milik
Carlotta, dan satu lagi milik kakak Anda, M. le comte de
Chagny...."
. .
"Bisa Jad"i. . . ."
"Yang dapat dipastikan adalah meskipun kereta Anda,
Sorelli, serta Carlotta masih berada di sana, di samping
trotoar Rotunda, kereta kuda M. le Comte de Chagny su­
dah tak ada."
"Itu tak ada hubungannya dengan. . ."

253
"Maafkan saya. Bukankah M. le Comte menentang per­
nikahan Anda dengan Mlle. Daae?"
"Itu urusan pribadi keluarga kami."
"Anda baru saja menjawab pertanyaan saya: ia memang
menentangnya... dan itulah mengapa Anda bermaksud
membawa Christine Daae pergi jauh, supaya berada di
luar jangkauan kakak Anda. . . . Well, M. de Chagny, izinkan
saya memberitahu Anda bahwa kakak Anda lebih cerdik
dari Anda! Dialah yang membawa pergi Christine Daae!"
"Oh, tidak mungkin!" erang Raoul sambil menaruh ta­
ngan di dada. "Apa Anda yakin?"
"Segera setelah penyanyi itu menghilang, bagaimana
caranya masih akan kita selidiki, kakak Anda langsung
menuju keretanya yang langsung melesat menyeberangi
kota Paris."
"Menyeberangi kota Paris?" tanya si malang Raoul de­
ngan suara serak. "Apa maksud Anda dengan menyebe­
rangi Paris?"
"Menyeberangi Paris dan meninggalkan Paris . . . lewat
jalan Brussels."
"Oh," seru pemuda itu, "aku akan mengejar mereka!"
Lalu ia bergegas keluar dari kantor itu.
"Dan bawa ia kembali kemari!" seru komisaris itu gem­
bira. "Ah, itu trik yang lebih pandai daripada tipuan ten­
tang Malaikat Musik!"
Lalu, Mifroid berpaling kepada dua orang lain yang ada
di sana dan menyampaikan sedikit kuliah mengenai cara­
cara yang dipakai polisi.
"Saya sama sekali tidak tahu apakah M. le Comte de
Chagny benar-benar telah membawa pergi Christine Daae

254
atau tidak . . . tetapi saya ingin tahu dan saya percaya bah­
wa pada saat ini tak ada orang yang lebih berniat mernbe­
ritahu kita selain adiknya.... Dan sekarang ia bergerak
secepat kilat untuk mengejarnya! Ia adalah pembantu uta­
maku! Ini, Tuan-Tuan, adalah seni yang dipakai oleh polisi,
yang dipandang sebagai sesuatu yang begitu rurnit, namun
begitu Anda mengerti bahwa ini hanyalah soal membiar­
kan orang yang tak ada hubungannya dengan kepolisian
rnengerjakan tugasrnu, segalanya terlihat begitu mudah."
Tetapi Mr. Commissary Mifroid tidak akan terlalu
berpuas diri seandainya ia tahu ketergesaan utusan kilat­
nya dihentikan bahkan ketika ia baru mencapai koridor
pertama. Satu sosok tinggi menghalangi jalan Raoul.
"Mau ke mana Anda begitu terburu-buru, M. de
Chagny?" tanya sebuah suara.
Dengan gusar Raoul mendongak dan rnengenali topi
wol yang dilihatnya satu jam lalu. la berhenti, "Kau!" seru­
nya dengan suara penuh emosi. "Kau orang yang tahu
rahasia Erik dan tak ingin aku mernbocorkannya. Siapa
kau?"
"Kau tahu siapa aku! Aku si orang Persia!"

255
Bab 19
Sang Viscount dan Orang Persia

SAAT itu Raoul ingat bahwa kakaknya pemah menunjukkan


kepadanya orang misterius itu. Tak ada yang tahu apa-apa
tentangnya kecuali bahwa a i orang Persia dan ia tinggal di

flat kuno di Rue de Rivoli.


Laki-laki berkulit gelap dan bermata hijau dengan topi
wol itu membungkuk ke arah Raoul.
"Saya harap, M. de Chagny," katanya, "Anda belum
membeberkan rahasia Erik?"
"Dan mengapa saya harus ragu-ragu membeberkan raha­
sia monster itu, Tuan?" jawab Raoul angkuh, mencoba
menyingkirkan pengacau ini. "Mungkin ia teman Anda?"
"Saya harap Anda tidak mengatakan apa-apa tentang
Erik, Tuan, sebab rahasia Erik juga rahasia Christine Daae,
dan membahas rahasia salah satunya berarti membicarakan
rahasia pihak lainnya!"
"Oh, Tuan," kata Raoul dengan semakin tidak sabar,
"sepertinya Anda mengetahui banyak hal yang menarik
bagi saya, tetapi saya tidak punya waktu untuk mendengar­
kan Anda!"

256
"Sekali lagi, M. de Chagny, hendak ke manakah Anda
begitu terburu-buru?"
"Anda tidak dapat menebaknya? Untuk menolong
Christine Daae. . . ."
"Kalau begitu, Tuan, jangan pergi, sebab Christine Daae
ada di sini!"
"Bersama Erik?"
"Bersama Erik."
"Bagaimana Anda tahu?"
"Aku menonton pementasan itu dan tak ada seorang
pun di dunia ini yang dapat melakukan penculikan seperti
itu selain Erik... Oh," katanya sambil menghela napas, "aku
mengenali gaya monster itu!"
"Kalau begitu Anda mengenalnya?"
Orang Persia itu tak menjawab namun sekali lagi meng­
hela napasnya.
"Tuan," kata Raoul, "saya tidak tahu tujuan Anda, tapi
apakah ada yang bisa Anda lakukan untuk menolong
saya? Maksud saya untuk menolong Christine Daae."
"Saya rasa begitu, M. de Chagny, dan itulah mengapa
saya berbicara dengan Anda."
"Apa yang bisa Anda lakukan?"
"Mencoba membawa Anda kepada gadis itu. . . dan kepa­
danya."
"Bila Anda bisa melakukan itu, Tuan, saya rela menye­
rahkan nyawa saya kepada Anda... Satu lagi, komisaris
polisi itu mengatakan kepada saya bahwa Christine Daae
dibawa lari oleh kakak saya, Count Philippe."
"Oh, M. de Chagnny, saya tak percaya barang satu kata
pun."

257
"Itu tidak mungkin, bukan?"
"Saya tidak tahu apa hal itu rnungkin, tetapi ada begitu
banyak cara untuk mernbawa lari seseorang, dan sepenge­
tahuan saya, M. le Comte Philippe tidak pernah berurusan
dengan trik sihir."
"Argumen-argumen Anda meyakinkan, Tuan, dan saya
bodoh telah memercayai sebaliknya... Mari kita bergegas!
Saya akan mernatuhi Anda! Bagaimana mungkin saya ti­
dak memercayai Anda bila Anda satu-satunya orang yang
memercayai saya . . . bila Anda satu-satunya orang yang ti­
dak tersenyum saat nama Erik disebut?"
Dan dengan tidak sabar pemuda itu menjabat tangan si
orang Persia. Tangan itu sedingin es.
"Diam!" kata si orang Persia, lalu ia diam dan mende­
ngarkan suara-suara di kejauhan di teater itu. "Kita tidak
boleh menyebutkan nama itu di sini. Kita sebut saja 'dia'
atau 'ia' sehingga lebih kecil kemungkinan kita menarik
perhatiannya."
"Apa rnenurut Anda dia ada di dekat kita?"
"Cukup mungkin, Tuan, dan bila ia tak di dekat kita,
maka sekarang ia sedang berada bersama korbannya di ru­
mah di tepi danau."
"Ah, jadi Anda juga mengetahui tentang rumah itu?"
"Bila ia tak ada di sana, ia mungkin di sini, di balik tem­
bok ini, di bawah lantai ini, di atas langit-langit ini ...

Mari!"
Lalu, setelah meminta Raoul memelankan suara langkah­
nya, orang Persia itu mengajak Raoul melewati jalan yang
tak pernah dilihatnya, bahkan ketika Christine Daae sering
mengajaknya berjalan-jalan di dalam labirin itu.

258
"Kalau saja Darius ikut!" kata si orang Persia.
"Siapa Darius?"
"Darius? Pelayanku."
Kini mereka berada di tengah-tengah lapangan yang
benar-benar kosong, suatu ruangan terarnat besar yang ha­
nya diterangi satu lampu kecil. Orang Persia itu menghen­
tikan Raoul dan dengan berbisik teramat lirih ia bertanya,
"Apa yang Anda katakan kepada sang komisaris?"
"Saya berkata bahwa orang yang menculik Christine
Daae adalah Malaikat Musik alias si hantu Opera, dan
nama aslinya adalah. . . "
"Diam! Apakah a
i memercayai Anda?"
"Tidak."
"la tak menganggap penting apa yang Anda katakan?"
"Tidak."
"Ia menganggap Anda sedikit gila?"
"Ya."
"Begitu lebih baik!" kata orang Persia itu lega.
Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Setelah naik-turun
beberapa tangga yang tak pernah dilihat Raoul, kedua laki­
laki itu berdiri di depan pintu yang kemudian dibuka oleh
si orang Persia dengan satu kunci induk. Si orang Persia
dan Raoul sama-sama menggunakan setelan resmi, hanya
saja Raoul mengenakan topi tinggi, sedangkan si Persia
memakai topi wol seperti yang telah kukatakan tadi. Me­
makai topi wol adalah pelanggaran atas aturan tentang
pemakaian topi tinggi di belakang panggung, tetapi orang
asing di Prancis diizinkan melakukan itu: orang Inggris
dengan topi bepergian mereka, orang Persia dengan topi
wolnya.

259
"Tuan," kata si orang Persia, "topi tinggi Anda akan
rnenghalangi gerak Anda. Lebih baik Anda rneninggalkan­
nya di ruang ganti."
"Ruang ganti apa?" tanya Raoul.
"Ruang ganti Christine Daae."
Lalu orang Persia itu rnernpersilakan Raoul rnasuk rnele­
wati pintu yang barn saja dibukanya, dan ia rnenunjukkan
ruang ganti aktris itu yang terdapat di seberangnya.
Mereka berada di ujung jalan yang sering dilewati Raoul
sebelum ia mengetuk pintu ruang ganti Christine Daae.
"Betapa baiknya Anda rnengenal gedung Opera ini,
Tuan!"
"Tidak sebaik 'dia' !" jawab si Persia merendah.
Kemudian ia rnendorong pernuda itu rnemasuki ruang
ganti Christine yang barn saja ditinggalkan Raoul beberapa
rnenit lalu.
Setelah rnenutup pintunya, orang Persia itu rnenuju ke
partisi sangat tipis yang mernisahkan ruang ganti itu de­
ngan ruang besar penyirnpanan barang yang berada tepat
di sebelahnya. la rnendengarkan lalu batuk dengan keras.
Terdengar suara seseorang bergerak di dalam ruang pe­
nyirnpanan itu dan beberapa detik kernudian terdengar
ketukan di pintu.
"Masuk," kata si orang Persia.
Masuklah seorang laki-laki yang juga rnemakai topi wol
serta mantel panjang. la rnernbungkuk hormat lalu menge­
luarkan kotak penuh ukiran dari balik mantelnya, kernu­
dian rneletakkan kotak itu di atas meja sebelum ia sekali
lagi mernbungkuk dan bergerak rnenuju pintu.
"Apa ada orang yang rnelihatmu rnasuk, Darius?"

260
"Tidak, Tuan."
"Jangan biarkan ada yang melihatmu keluar."
Pelayan itu mengamati jalan di balik pintu lalu dengan
cekatan pergi dari sana.
Orang Persia itu membuka tutup kotak di atas meja.
Ada sepasang pistol laras panjang di dalamnya.
"Waktu Christine Daae dibawa pergi, Tuan, saya mengi­

rim pesan kepada pelayan saya untuk membawakan pistol­


pistol ini. Saya sudah lama memilikinya dan pistol-pistol
ini dapat diandalkan."
"Apa Anda berniat berduel?" tanya pemuda itu.
"Kita pasti akan berduel nanti," jawab laki-laki itu sam­
bil memeriksa keadaan pistol-pistol miliknya. "Dan bukan
duel biasa!" la menyerahkan salah satu pistol itu kepada
Raoul dan menambahkan, "Di dalam duel itu nanti posisi
kita dua lawan satu, tetapi Anda harus bersiap mengha­
dapi segala sesuatunya sebab kita akan melawan musuh
paling mengerikan yang bisa Anda bayangkan. Tapi Anda
mencintai Christine Daae, bukan?"
"Saya memuja tanah yang dipijak gadis itu! Tetapi
Anda, Tuan, yang tidak mencintainya, katakan mengapa
Anda begitu siap mempertaruhkan nyawa baginya? Anda
pasti begitu membenci Erik!"
"Tidak, Tuan," jawab orang Persia itu dengan sedih,
"saya tidak membencinya. Bila saya memang membencinya,
maka ia pasti sudah lama mati."
"Apa ia pernah menyakiti Anda?"
"Saya telah memaafkan perbuatan yang dilakukannya
terhadap saya."
"Saya tidak mengerti Anda. Anda memperlakukan dia

261
seolah-olah dia itu monster, Anda membeberkan kejahatan­
nya, dan dia juga telah menyakiti Anda, tetapi saya mene­
mukan rasa iba yang tak dapat dijelaskan dalam diri Anda.
Rasa iba yang sama, yang membuat saya putus asa, ketika
saya melihatnya pada diri Christine!"
Orang Persia itu diam saja. la meraih satu bangku tinggi
dan meletakkannya di depan dinding yang menghadap
cermin raksasa seukuran dinding itu. Lalu ia menaiki bang­

ku itu dan, dengan hidung menempel pada kertas pelapis


dinding, ia seperti sedang mencari-cari sesuatu.
"Ah," katanya setelah mencari agak lama, "ketemu!"
Kemudian ia mengangkat jarinya ke daerah atas kepala
dan menekan suatu sudut yang ada di pola kertas pelapis
dinding itu. Lalu ia berbalik badan dan melompat turun
dari bangku.
"Dalam setengah menit," katanya, "kita akan berada di
jalan miliknya!" Kemudian ia menyeberangi ruangan dan
meraba cerrnin raksasa itu.
"Tidak, alatnya belum bekerja," gumarnnya.
"Oh, apa kita akan keluar melalui cermin?" tanya Raoul.
"Seperti yang dilakukan Christine Daae."
"Jadi Anda tahu bahwa Chrisine
t Daae keluar melewati
cerrnin itu?"
"Ia melakukannya di depan mata saya, Tuan! Saya ber­
sembunyi di balik tirai di ruang sebelah dalam dan saya
melihat dia hilang menembus cermin!"
"Dan apa yang Anda lakukan?"
"Saya pikir indra-indra saya terganggu, semacam suatu
rnimpi aneh. . . ."
"Atau trik baru milik si hantu!" kata orang Persia itu

262
sambil terkekeh. "Ah, M. de Chagny," lanjutnya sambil
tetap meletakkan tangan di cermin itu, "seandainya kita
berurusan dengan hantu! Kita bisa meninggalkan pistol-pis­
tol ini di kotaknya. Tolong lepaskan topi Anda. . . ya. . . dan
sekarang, sebisa mungkin, tutupilah bagian depan kemeja
Anda dengan mantel Anda . . . seperti yang sedang saya
lakukan sekarang. .. Arahkan kerah di bagian dada ke de­
.

pan... lalu naikkan kerahnya. Kita harus membuat diri kita


sebisa mungkin tak terlihat . . . ."
Sambil tetap memegang cermin tanpa bicara selama be­
berapa saat, laki-laki itu berkata, "Butuh waktu untuk
melepaskan penyeimbangnya ketika kita menekan pegas­
nya dari dalam ruangan. Berbeda bila kita berada di balik
tembok dan bisa langsung memegang penyeimbangnya.
Setelah itu cermin akan langsung berputar dengan kecepat­
an menakjubkan."
"Penyeimbang apa?" tanya Raoul.
"Tentu saja penyeimbang yang mengangkat seluruh din­
ding ini agar berputar pada titik tumpunya. Anda tentunya
tak mengharapkan dinding ini bergerak sendiri dengan
menggunakan semacam sihir, bukan? Kalau Anda perhati­
kan, Anda akan melihat cermin ini mula-mula naik sekitar
dua setengah hingga lima senimeter,
t kemudian bergeser
sekitar dua setengah hingga lima sentimeter ke kiri dan ka­
nan. Lalu ia akan berada di tumpuannya dan berputar."
"Cermin itu idak
t berputar!" kata Raoul tidak sabar.
"Oh, tunggulah! Tidak perlu terburu-buru, Tuan! Me­
kanisme benda ini tampaknya sudah berkarat atau pegas­
nya tidak bekerja. . . . Kecuali ada hal lain lagi," tambah si
orang Persia cernas.

263
"Apa?"
"Ia mungkin telah memotong kawat penyeimbangnya
sehingga peralatan ini sama sekali tidak berfungsi."
"Untuk apa dia melakukannya? Ia tidak tahu kita akan
mengambil jalan ini!"
"Saya kira ia sudah memperkirakan, karena a
i tahu saya

mengerti mekanisme ini."


"Cermin itu tidak berputar! Bagaimana dengan Christine,
Tuan?"
Orang Persia itu dengan dingin berkata, "Kita akan men­
coba segala hal yang bisa dilakukan manusia... Tapi ia
mungkin menghentikan kita pada langkah pertama. Ia
yang menguasai semua dinding, pintu, dan pintu jebak. Di
negara asal saya, ia dikenal dengan suatu nama yang ber­
arti 'pencinta pintu jebak."'
"Tetapi mengapa dinding-dinding ini hanya patuh pa­
danya? la tidak membangun tempat ini!"
"Tidak, Tuan, ia memang membangunnya!"
Raoul memandang dengan takjub, tetapi orang Persia itu
memberi tanda kepadanya agar diam, lalu ia menunjuk ke
arah cermin. . . . Pantulan di cermin itu tampak bergetar.
Pantulan mereka di cermin terlihat seperti genangan air
yang terganggu ketenangannya, lalu semua kembali te­
nang.
"Anda lihat sendiri, Tuan, cermin itu tidak berputar!
Mari kita menempuh jalan lain!"
"Untuk malam ini, tidak ada jalan lain!" tukas orang
Persia itu dengan suara sedih. "Dan sekarang, berhati-hati­
lah! Dan bersiaplah untuk menembak!"
Laki-laki itu menodongkan pistolnya ke arah cermin.

264
Raoul mengikuti gerakannya. Dengan tangannya yang be­
bas orang Persia itu menarik Raoul ke arahnya dan, tiba­
tiba, cermin itu berputar dengan kecepatan tinggi, berputar
seperti pintu putar yang belakangan ini dipasang di jalan
masuk sebagian besar restoran. Ia berputar dan membawa
Raoul serta si orang Persia bersamanya, dan serta-merta
melemparkan mereka dari terang cahaya ke dalam kegelap­
an teramat pekat.

265
Bab 20
Di Ruang Bawah Tanah Opera

"NAIKI<AN tanganmu dan bersiaplah menembak!" rekan


Raoul itu cepat-cepat mengulangi kata-katanya.
Dinding di belakang mereka telah kembali menutup sete­
lah menyelesaikan putarannya. Dan, untuk beberapa saat,
kedua laki-laki itu diam, menahan napas mereka.
Akhirnya orang Persia itu memutuskan untuk bergerak,
dan Raoul mendengarnya berlutut lalu mencari-cari sesua­
tu di dalam gelap. Tiba-tiba kegelapan itu diterobos oleh
cahaya dari lentera kecil suram dan, refleks, Raoul melang­
kah mundur seakan berusaha kabur dari pengamatan se­
orang musuh rahasia. Tetapi ia langsung menyadari bahwa
cahaya itu berasal dari si orang Persia yang sedari tadi ia
amat-amati gerakannya. Sinar merah berbentuk lingkaran
itu diarahkan ke segala arah dan Raoul melihat bahwa lan­
tai, dinding, serta langit-langit di tempat itu dibuat dari

papan-papan kayu. Jalan ini pasti jalan yang biasa dipakai


Erik untuk menuju ruang ganti Christine dan memanfaat­
kan keluguannya. Mengingat apa yang tadi didengamya

266
dari si orang Persia, Raoul menyangka jalan itu dibangun
sendiri secara misterius oleh si hantu. Namun nantinya ia
akan tahu bahwa jalan rahasia sudah ada ketika Erik me­
nemukannya, sebab ia dibangun di masa Komune Paris
yang berkuasa selama revolusi supaya para sipir dapat
langsung membawa para tahanan ke penjara bawah tanah.
Kaum Federasi langsung menduduki gedung opera itu
setelah tanggal delapan belas Maret dan menjadikan atap
gedung sebagai landasan balon udara Mongolfier yang me­
nyebarkan selebaran-selebaran pengumuman mengejutkan
milik mereka, sementara ruang bawah tanahnya mereka
fungsikan sebagai penjara negara.
Orang Persia itu berlutut dan meletakkan lenteranya di
tanah. Seperinya
t ia sedang mengerjakan sesuatu di lantai.
Tiba-tiba ia mematikan lentera itu. Lalu Raoul mendengar
bunyi klik yang samar dan melihat persegi cahaya pucat
di lantai. Seakan-akan suatu jendela telah membuka ke
suatu tingkat ruang bawah tanah Opera yang masih dite­
rangi cahaya. Raoul tidak lagi melihat si orang Persia, teta­
pi ia tiba-tiba merasakan orang itu di sampingnya dan
mendengarnya berbisik, "lkuti aku dan lakukan semua
yang kuperbuat."
Raoul berpaling ke arah lubang terang itu. Kemudian ia
melihat si orang Persia yang kembali berlutut, lalu berpe­
gangan pada tepi lubang itu dengan kedua tangannya.
Dengan pistol terselip di antara giginya, laki-laki itu kemu­
dian meluncur ke tingkat di bawahnya.
Anehnya, sang viscount memiliki kepercayaan penuh
pada orang Persia itu meskipun ia sama sekali tidak tahu
apa-apa tentangnya. Emosi laki-laki itu ketika menceritakan

267
tentang si "monster" terdengar tulus baginya, dan bila me­
mang si orang Persia akan mencelakainya, mana mungkin
ia mempersenjatai Raoul. Selain itu, bagaimanapun cara­
nya, Raoul harus menemukan Christine. Karena itu Raoul
menyusul berlutut dan bergelantungan dengan kedua ta­
ngannya pada tepian lubang.
"Lepaskan peganganmu!" kata sebuah suara.
Dan Raoul jatuh ke kedua lengan orang Persia yang
telah menunggunya di bawah. Laki-laki itu kemudian me­
nyuruh Raoul tiarap di lantai sementara ia sendiri menu­
tup pintu jebak itu, lalu berjongkok di samping Raoul.
Raoul mencoba bertanya kepadanya, tetapi tangan si orang
Persia membekap mulutnya dan Raoul mendengar suara
yang dikenalinya sebagai suara si komisaris polisi.
Raoul dan si orang Persia terlindungi oleh partisi kayu.
Di dekat mereka terdapat tangga kecil yang mengarah ke
ruangan kecil tempat si komisaris terdengar berjalan
mondar-mandir sambil menanyakan berbagai pertanyaan.
Cahaya yang lemah hanya memungkinkan Raoul untuk
mengenali bentuk benda-benda di sekelilingnya. Dan Raoul
tak dapat menahan jeritan pelannya: ada tiga mayat di
sana.
Mayat pertama terbaring di anak tangga yang sempit
itu, dua mayat lainnya telah terjatuh hingga ke dasar tang­

ga. Raoul bisa saja menyentuh salah satu dari dua mayat
malang itu dengan menjulurkan jari-jarinya melewati par­
tisi itu.
"Diam!" bisik si orang Persia.
Orang Persia itu juga telah melihat mayat-mayat itu dan
ia menjelaskannya dengan satu kata, "Dia!"

268
Suara komisaris itu kini terdengar lebih jelas. Ia mena­
nyakan informasi tentang sistem tata lampu yang dijawab
oleh si manajer panggung. Karena itu si komisaris pastilah
berada di "organ" atau daerah sekitarnya.
Tidak seperti yang dipikirkan setiap orang, terutama bila
berkaitan dengan suatu gedung opera, "organ" bukanlah
alat musik. Pada waktu itu listrik digunakan hanya untuk
segelintir efek panggung dan bel. Gedung raksasa dan
panggung itu sendiri masih diterangi oleh nyala lampu
gas. Gas hidrogen masih digunakan untuk mengatur dan
menyesuaikan tata lampu suatu adegan, dan ini dilakukan
dengan menggunakan alat khusus yang memiliki begitu
banyak pipa sehingga disebut "organ." Boks di sebelah
boks petugas pengingat dialog diperuntukkan khusus bagi
kepala petugas lampu. Dari sanalah si kepala petugas mem­
berikan perintah kepada para asistennya dan melihat pelak­
sanaannya. Mauclair berada di boks ini selama segala pe­
mentasan berlangsung.
Tetapi sekarang Mauclair tidak ada di boksnya dan para
asistennya juga tidak berada di posisi mereka.
"Mauclair! Mauclair!"
Suara si manajer panggung menggema menembus ting­
kat-tingkat bawah tanah itu. Tetapi Mauclair tidak menja­
wab.
Aku telah mengatakan bahwa ada pintu yang membuka
ke tangga kecil menuju ke ruang bawah tanah tingkat ke­
dua. Komisaris mencoba membukanya tetapi pintu itu
bergeming.
"Menurut saya," katanya kepada si manajer panggung,

269
"saya tak dapat membuka pintu ini. Apa selalu susah se­
perti ini?"
Manajer panggung membuka paksa pintu itu dengan
mendorongkan bahunya. Ketika melakukan itu, ia melihat
bahwa selain pintu, ada sesosok tubuh yang juga terdo­
rong. la langung berteriak, sebab ia langsung mengenali
tubuh itu,
"Mauclair! Betapa malang! la sudah mati!"
Tetapi Komisaris Mifroid yang sama sekali tak terkejut
langsung membungkuk, memeriksa tubuh besar itu.
"Tidak," katanya, "ia teler berat, bukan mati."
"Kalau begitu ini baru pertama kalinya terjadi," kata
manaJer panggung.
"Kalau begitu ada yang memberinya obat bius. Itu
mungkin saja."
Mifroid menuruni beberapa anak tangga lalu berkata,
Lihat!"
Dengan cahaya dari lentera kecil berwarna merah, mere­
ka melihat dua lagi tubuh manusia di dasar tangga. Mana­
jer panggung itu mengenali mereka sebagai para asisten
Mauclair. Mifroid mendatangi mereka dan mendengarkan
suara napasnya.
"Mereka tertidur pulas," katanya. "Mencurigakan! Sese­
orang yang entah siapa pasti memberi obat si petugas lam­
pu dan para asistennya. . . dan seseorang itu jelas-jelas be­
kerja bagi si penculik. Tetapi betapa anehnya menculik
seorang aktris di atas panggung! Tolong panggil dokter
teater ini kemari." Lalu Mifroid mengulang kata-katanya,
"Mencurigakan, benar-benar perbuatan yang mencuriga­
kan!"

270
Kemudian ia berpaling ke arah ruang kecil itu, berbicara
kepada orang yang tidak dapat dilihat oleh Raoul dan si
orang Persia dari tempat mereka tiarap.
"Apa pendapat Anda atas semua ini, Tuan-Tuan? Anda
satu-satunya pihak yang belum mengatakan apa-apa. Tapi
tentunya Anda punya pendapat."
Setelah itu Raoul dan si orang Persia melihat wajah ter­
kejut kedua manajer tampak di ujung atas tangga - dan
mereka mendengar suara bersemangat Moncharmin, "Ada
hal-hal yang terjadi di sini, Mr. Kornisaris, yang tidak da­
pat kami jelaskan."
Dan dua wajah itu pergi.
"Terima kasih untuk infonnasinya, Tuan-Tuan," ejek
Mifroid.
Tetapi manajer panggung tampak memegangi dagunya
dengan tangan kanan, tanda bahwa ia sedang berpikir ke­
ras. Ia berkata, "Ini bukan pertama kalinya Mauclair terti­
dur di teater. Saya ingat suatu malam pernah mendapati­
nya mendengkur di posnya dengan kotak bubuk tembakau
di sampingnya."
"Apa kejadiannya sudah lama?" tanya Mifroid sambil
menggosok kacamatanya dengan hati-hati.
"Tidak, kejadiannya belum terlalu lama. Tunggu seben­
tar! Terjadi pada malam. . . ya, pasti. . . Pada malam
Carlotta-Anda pasti mengenalnya, Mr. Kornisaris- mem­
perdengarkan 'kro-ok'-nya yang terkenal!"
"Benarkah? Di malam ketika Carlotta mengeluarkan
'kro-ok'-nya yang terkenal?"
Lalu Mifroid meletakkan kembali kacamatanya yang

271
mengilap di hidungnya dan menatap tajam si manajer
panggung.
"Jadi Mauclair mengisap bubuk tembakau, benar kan?"
tanyanya sambil lalu.
"Ya, Mr. Komisaris. Lihat, itu kotak tembakaunya di atas
rak kecil itu. Oh, dia pencandu tembakau!"
"Saya juga," kata Mifroid, lalu mengantongi kotak tern­
bakau itu.
Raoul dan si orang Persia tanpa ketahuan menyaksikan
dibawanya ketiga orang yang tak sadarkan diri itu oleh
sejumlah petugas pengganti gambar latar yang diikuti oleh
sang komisaris beserta semua orang tadi. Selama beberapa
menit, suara langkah kaki rnereka terdengar di panggung
di atas sana. Ketika sudah tak ada orang lagi di sana,
orang Persia itu memberi tanda kepada Raoul untuk ber­
diri. Raoul berdiri. Tetapi karena ia tak rnenaruh tangannya
yang memegang pistol di depan wajah untuk saga
i menem­
bak, orang Persia itu menyuruhnya sekali lagi dan meng­
ingatkannya untuk selalu rnelakukan itu, apa pun yang
tetjadi.
"Tetapi itu rnembuat tanganku capek dengan sia-sia,"
bisik Raoul. "Kalau aku harus menernbak, aku tak yakin
bisa membidik dengan tepat."
"Kalau begitu pindahkan pistolrnu ke tangan satunya,"
kata orang Persia itu.
"Aku tidak dapat menernbak dengan tangan kiri."
Setelah itu si orang Persia rnernberikan jawaban ganjil
yang jelas-jelas tak dimaksudkan untuk memberi pencerah­
an bagi otak pemuda yang sedang bingung itu.
"Persoalannya bukanlah rnenernbak dengan tangan ka-

272
nan atau kiri. lni tentang mengangkat salah satu tangan
seakan-akan kau siap menarik picu pistol di genggaman
tangan yang tertekuk itu. Tetapi pistol itu sendiri bisa kau­
rnasukkan ke kantong!" Lalu ia menambahkan, "Aku harap
kau benar-benar paham, atau aku tidak akan bertanggung
jawab atas apa pun yang terjadi. lni perkara hidup dan
mati. Sekarang diamlah dan ikuti aku!"
Ruang-ruang bawah tanah Opera itu teramat besar dan
terdiri atas lima tingkat. Raoul mengikuti orang Persia itu
dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya di dalam
labirin mencengangkan ini tanpa bantuan orang itu. Mere­
ka turun ke tingkat ketiga dan perjalanan mereka masih
diterangi semacam lampu di kejauhan.
Semakin dalam mereka menuruni ruang bawah tanah
itu, semakin waspada tampaknya si orang Persia. Ia sering
menoleh ke Raoul untuk memastikan pemuda itu memosi­
sikan tangannya dengan benar, layaknya orang yang siap
menembak, meskipun pistol yang sebenamya tersimpan di
dalam kantongnya.
Tiba-tiba suara yang keras membuat mereka berhenti.
Seseorang di tingkat atas berteriak, "Semua petugas penu­
tup pintu naik ke panggung! Kornisaris polisi ingin berte­
mu!"
Terdengar langkah-langkah kaki dan bayangan-bayangan
bergerak di sela kegelapan. Orang Persia itu menarik Raoul
bersembunyi di belakang gambar latar. Mereka melihat
banyak laki-laki tua melewati mereka, manusia-manusia
yang bungkuk oleh usia dan beban yang diberikan oleh
gambar latar opera di zaman yang telah lampau. Sebagian
dari mereka sudah tertatih jalannya, sebagian yang lain

273
bergerak layaknya kebiasaan mereka: berjalan dengan tu­
buh bungkuk dan tangan-tangan terjulur mencari pintu­
pintu untuk ditutup.
Merekalah para petugas penutup pintu, yang adalah
mantan para petugas pengganti gambar latar yang kini te­
lah tua dan uzur, namun dikasihani oleh salah satu era
manajemen opera sehingga mereka diberi pekerjaan menu­
tup pintu-pintu di atas dan di bawah panggung. Mereka
tak henti-hentinya berjalan ke sana kemari dari tingkat ter­
atas hingga terbawah gedung, menutup pintu-pintu. Mere­
ka juga dikenal sebagai "Para pengusir angin," setidaknya
pada zaman itu, sebab aku hampir yakin bahwa mereka
semua sudah mati sekarang. Angin memberi pengaruh bu­
ruk bagi suara, tak peduli dari mana pun asalnya.1
Si orang Persia dan Raoul menyambut peristiwa ini de­
ngan senang hati karena dengan demikian mereka akan
terbebas dari para saksi yang tak perlu, sebab sebagian
dari para petugas penutup pintu itu tidak memiliki peker­
jaan lain ataupun tempat tinggal, sehingga mereka memilih
untuk tidur di Opera. Kedua laki-laki itu mungkin saja se­
cara tak sengaja menabrak mereka sehingga membangun­
kan mereka dan membuat mereka meminta penjelasan atas
keberadaan keduanya di sana. Untuk sementara waktu,
penyelidikan Mifroid menyelamatkan mereka dari risiko
pertemuan yang tak menyenangkan itu.
Tetapi keduanya tak bisa menikmati kesendirian itu ter-

1 M. Pedro Gailhard sendiri mengatakan kepadaku bahwa a


i menciptakan
beberapa posisi tambahan sebagai petugas penutup pintu bagi para tukang
kayu panggung yang sudah tua tetapi ta k ingin dipecatnya dari Opera.

274
lalu lama. Bayangan-bayangan lain kini bergerak turun
dari lubang yang tadi digunakan oleh para petugas penu­
tup pintu untuk bergerak ke atas. Setiap bayangan itu
membawa satu lentera kecil dan menyorotkannya ke segala
penjuru seperti sedang mencari sesuatu atau seseorang.
"Sialan!" gerutu si orang Persia. "Aku tidak tahu apa
yang mereka cari, tapi mereka mungkin akan menemukan
kita dengan mudah. Mari kita pergi, cepat! Naikkan tangan­
mu, Tuan, siaga untuk menembak! Tekuk tanganmu . . .
lagi. . . ya, begitu! Tempatkan tangan setinggi matamu se­
akan-akan kau sedang berduel dan menunggu aba-aba
untuk menembak! Oh, simpan pistolmu di dalam kantong.
Cepat, ikuti aku, turuni tangga. Setinggi matamu! Ini
urusan hidup atau mati... Kemari, lewat sini, tangga ini!"
Mereka sudah ada di tingkat terbawah ruang bawah tanah.
"Oh, perjalanan yang menegangkan, Tuan."
Begitu sampai di lantai kelima, orang Persia itu menarik
napas. Ia seakan merasa lebih aman di sini daripada ketika
mereka berhenti di tingkat ketiga, tetapi ia tak pernah
mengubah posisi tangannya. Dan Raoul, yang mengingat
kata-kata si orang Persia setelah memeriksa pistolnya -
"Saya tahu mereka bisa diandalkan" - semakin bingung,
tidak habis pikir mengapa seseorang merasa senang karena
bisa mengandalkan pistol yang tak berniat digunakan­
nya!
Tetapi si orang Persia tak memberi Raoul banyak waktu
untuk berpikir. Setelah memerintahkan Raoul untuk diam
di tempat, laki-laki itu berbalik menaiki beberapa anak
tangga yang baru saja mereka lalui, kemudian kembali.

275
"Betapa bodohnya kita!" bisiknya. "Para laki-laki dengan
lentera itu tidak akan lama. Mereka para petugas pemadam
kebakaran yang berpatroli."2
Kedua laki-laki itu menunggu lima menit lagi. Kemudian
si orang Persia mengajak Raoul menaiki tangga lagi, tetapi
ia tiba-tiba memberi tanda untuk berhenti. Sesuatu berge­
rak di dalam kegelapan di depan mereka.
"Tiarap!" bisik si orang Persia.
Kedua laki-laki itu berbaring rata di atas lantai.
Mereka bertindak tepat pada waktunya. Sosok bayangan
tanpa lentera, hanya satu bayangan di kegelapan, berkele­
bat lewat. Ia lewat di dekat mereka, cukup dekat untuk
menyentuh mereka.
Mereka merasakan hangat jubahnya. Sebab di dalam ke­
gelapan itu mereka cukup bisa melihat bahwa sesosok ba­
yangan itu mengenakan jubah yang membungkusnya dari
kepala hingga kaki. Di kepalanya ia mengenakan topi dari
kain flanel. . . .
Bayangan itu bergerak menjauh, melangkahkan kakinya
hingga menyentuh dinding dan terkadang menendang su­
dutnya.
"Wow!" kata si orang Persia. "Kita nyaris ketahuan. Ba­
yangan itu mengenalku dan a
i sudah dua kali membawaku
ke kantor para manajer."
"Apa ia salah satu polisi teater?" tanya Raoul.

2 Padazaman itu petugas pemadam kebakaran masih bertugas untuk


memastikan keselamatan gedung Opera di Juar waktu pementasan, tetapi
layanan ini sudah dikurangi. Aku menanyakan alasannya kepada M. Pedro
Gailhard dan ai menjawab: "!tu karena pihak manajemen khawatir bahwa
tanpa pengalarnan yang memadai di ruang bawah tanah Opera, para petugas
pemadam kebakaran itu malah akan menyebabkan kebakaran di gedung
itu!"

276
"Bahkan lebih buruk dari itu!" jawab si orang Persia tan­
pa memberi penjelasan apa-apa.3
"Itu bukan. . . dia?"
"Dia? Bila ia tak datang dari belakang, kita akan selalu
bisa melihat mata kuningnya... ltu kurang-lebih panduan
berjaga-jaga kita untuk malam ini.... Tapi ia mungkin
mengendap-endap dari belakang, dan kita akan mati kalau
kita tak menaruh tangan seakan-akan siap menembak di
depan wajah kita setinggi mata!"
Si orang Persia masih belum berhenti bicara ketika mun­
cul sesosok wajah yang mencengangkan. .. bukan hanya
dua mata kuning berapi, tapi yang ini wajah berapi!
Ya, satu kepala berapi mendekat ke arah mereka setinggi
ukuran manusia, tetapi ia tidak berbadan. Wajah itu menge­
luarkan api, dan di dalam kegelapan bentuknya seperti
kobaran api.
"Oh," kata si orang Persia tertahan. "Aku tak pemah me­
lihat ini sebelumnya! Temyata Pampin tidak gila. Ia pemah
melihatnya... Apa sebenarnya api itu? Itu bukan dia, tapi dia
mungkin saja mengutusnya... Hai-hati!
t Demi Tuhan, taruh

' Seperti si orang Persia, aku tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut
tentang kemunculan bayangan ini. Meskipun semua hal lain di dalam narasi
historis ini dapat dijelaskan secara normal tanpa peduli seaneh apa pun
kejadiannya, aku tidak dapat menjelaskan kepada para pembaca apa yang
dimaksudkan si orang Persia dengan kalimat, "Bahkan lebih buruk dari itul"
Pembaca harus menebak-nebak sendiri sebab aku telah berjanji kepada M.
Pedro Gailliard, manajer terdahulu Opera itu, untuk tak membocorkan
rahasianya tentang sosok berjubah yang begitu menarik dan berguna ini.
Meskipun keberadaannya di ruang bawah tanah Opera tidaklah terlalu disukai,
namun ia sangat berguna menangkap orang-orang yang, pada acara-acara
pesta makan malam misalnya, nekat berkeliaran jauh dari panggung. Aku
bicara soal urusan kenegaraan, dan sumpah yang telah kuambil membuatku
tak bisa berkata apa-apa lag.i.

277
tanganmu setinggi matamu! Aku tahu sebagian besar trik
yang dipakainya. . . tapi tidak yang satu ini . . . . Ayo, mari
kita lari. . . lebih aman begitu. Tangan setinggi matamu!"
Kemudian mereka lari di sepanjang jalan yang terham­
par di hadapan mereka.
Setelah beberapa detik yang terasa bermenit-menit bagi
mereka, keduanya berhenti.
"Ia biasanya tidak lewat sini," kata si Persia. "Bagian ini
tidak ada hubungannya dengan dia. Sisi ini tidak mengarah
ke danau maupun ke rumah di tepi danau.... Tetapi mung­
kin dia tahu kita mengejarnya. . . meskipun aku pernah ber­
janji kepadanya untuk tak mencampuri urusannya lagi!"
Sambil berkata begitu ia menoleh ke belakang, begitu
juga Raoul. Dan sekali lagi mereka melihat kepala berapi
di belakang mereka. Kepala berapi itu mengikuti mereka.
Dan ia pasti berlari juga, mungkin lebih cepat dari mereka,
sebab ia terlihat lebih dekat daripada sebelumnya.
Bersamaan dengan itu mereka samar-samar mendengar
suara ribut yang tak mereka ketahui asalnya. Mereka ha­
nya tahu bahwa suara itu sepertinya bergerak mendekat
bersama-sama wajah berapi itu. Suara itu terdengar seperti
seribu paku diguratkan di papan tulis, suara melengking
tak tertahankan yang kadang ditimbulkan batu kecil di da­
lam kapur tulis yang menggores papan tulis.
Kedua laki-laki itu terus mundur, tetapi wajah berapi itu
terus melaju dan mengejar mereka. Mereka dapat melihat
bentuknya dengan jelas sekarang. Matanya bundar dan
menatap tajam, hidungnya sedikit bengkok dan mulutnya
besar dengan bibir bawah mencebik, mirip mata, hidung,
dan bibir bulan ketika bulan berwarna terang kemerahan.

278
Bagaimana bulan merah itu bisa meluncur menembus
kegelapan dengan posisi setinggi kepala manusia tanpa
terlihat dibantu oleh alat apa pun? Dan bagaimana bisa ia
bergerak begitu cepat, begitu lurus dengan mata yang
menatap tajam? Dan apakah suara gesekan dan guratan
yang dibawanya serta itu?
Si orang Persia dan Raoul tidak dapat mundur lagi dan
merapatkan tubuh mereka ke dinding. Mereka tak tahu
apa yang akan terjadi dengan datangnya kepala berapi ini,
terutama karena sekarang suara itu semakin intens dan
begitu hiruk-pikuk, suara yang jelas-jelas terdiri atas ratus­
an suara-suara kecil yang bergerak di dalam gelap, di ba­
wah wajah berapi itu.
Lalu wajah berapi itu semakin mendekat. . . bersama de­
ngan keributannya . . . dan sejajar dengan mereka!
Dan kedua laki-laki yang menempel ketat di dinding itu
kini merasakan bulu kuduk mereka meremang sejadi-jadi­
nya, sebab mereka sekarang tahu apa arti ribuan suara itu.
Suara-suara itu datang sebagai pasukan, bergerak tergesa
dalam rupa ombak kecil-kecil tak terhitung, lebih cepat dari
ombak yang berlari ke pantai di kala pasang, ombak kecil­
kecil di malam hari yang berbuih di bawah bulan, di bawah
kepala berapi yang menyerupai bulan. Dan ombak-ombak
kecil itu lewat di antara kaki-kaki mereka, menaiki kaki
mereka tanpa bisa dicegah. Maka Raoul dan si orang Persia
tak dapat lagi menahan teriakan ngeri, kaget, dan kesakitan
mereka. Mereka juga tak mampu terus menempatkan ta­
ngan setinggi mata mereka: kedua tangan mereka turun ke
arah kaki untuk mengusir ombak-ombak itu, yang sarat de­
ngan kaki-kaki dan kuku-kuku kecil serta cakar dan gigi.

279
Ya, Raoul dan si orang Persia sudah nyaris pingsan se­
perti Pampin si pemadam kebakaran. Tetapi kepala berapi
itu menoleh dan menanggapi teriakan mereka dengan ber­
kata, "Jangan bergerak! Jangan bergerak! Apa pun yang
kalian lakukan, jangan ikuti aku! Aku si penangkap tikus...
Biarkan aku lewat dengan tikus-tikusku..."
Lalu kepala berapi itu menghilang, lenyap ditelan kege­
lapan, sementara jalan di depan sana menjadi terang seba­
gai akibat dari perubahan yang dilakukan si penangkap
tikus dengan lentera redupnya. Sebelumnya, agar tak mena­
kut-nakuti tikus-tikus di depannya, si penangkap tikus
mengarahkan lentera redupnya ke arah dirinya sendiri,
menerangi kepalanya sendiri. Sekarang, untuk mempercepat
kepergian mereka, ia menerangi jalan gelap di depannya.
Dan ia melompat-lompat sambil membawa serta begitu
banyak ombak tikus yang menciptakan ribuan suara itu.
Raoul dan si orang Persia bisa bemapas kembali, meski­
pun masih gemetar.
"Aku seharusnya ingat bahwa Erik pernah berkata ten­
tang si penangkap tikus," kata orang Persia itu. "Tapi ia
tak pemah memberitahuku bahwa tampangnya terlihat se­
perti itu ... dan lucunya aku tidak pernah bertemu dengan
si penangkap tikus. . . . Tentu saja, Erik tidak pernah lewat
daerah ini!"
"Apa kita sangat jauh dari danau itu, Tuan?" tanya
Raoul. "Kapan kita akan sampai di sana? Bawa aku ke da­
nau itu, oh, bawa aku ke sana! Kalau kita sampai di danau
itu, kita akan berteriak! Christine akan mendengar kita ...
Dan dia juga akan mendengar kita! Dan karena kau menge­
nalnya, kita akan berbicara dengannya!"

280
"Anak ingusan!" kata si orang Persia. "Kita takkan per­
nah masuk ke rumah di tepi danau itu lewat danau! Aku
sendiri tidak pemah menyentuh sisi seberang danau. . . sisi
tempat rumah itu berada. . . . Karena kau harus menyebe­
rangi danau itu terlebih <lulu. . . dan danau itu dijaga ketat!
Kurasa beberapa dari para Ielaki tua itu -para petugas
pengganti gambar latar serta para petugas penutup pintu­
tidak pernah dijumpai lagi hanya karena mereka pemah
tergoda menyeberangi danau itu . . . . Sungguh mengerikan.
Aku sendiri nyaris terbunuh di sana. . . kalau monster itu
tak mengenaliku tepat pada waktunya. Satu nasihat untuk­
mu, Tuan, jangan pemah ada di dekat danau itu. . . . Dan,
yang paling penting, tutup telingamu bila kau mendengar
suara nyanyian di bawah air, suara sirene itu!"
"Kalau begitu untuk apa kita ada di sini?" tanya Raoul
dengan penuh emosi dan tidak sabar. "Kalau kau tidak
dapat melakukan apa-apa untuk Christine, paling tidak
biarkan aku mati demi dia!"
Orang Persia itu mencoba menenangkan si pemuda.
"Percayalah, kita hanya punya satu cara untuk menyela­
matkan Christine Daae, yaitu dengan memasuki rumah itu
tanpa diketahui oleh si monster."
"Dan apakah ada harapan untuk itu, Tuan?"
"Ah, kalau aku tidak melihat harapan itu, aku tak akan
datang menjemputmu!"
"Dan bagaimana orang bisa masuk ke rumah di tepi da­
nau itu tanpa menyeberangi danaunya?"
"Dari ruang bawah tanah tingkat ketiga, tempat kita tadi
terusir. Kita akan kembali ke sana sekarang. . . . Aku akan
memberitahumu," kata si orang Persia dengan nada yang

281
tiba-tiba berubah. "Aku akan memberitahumu, Tuan, tem­
pat persisnya: di antara satu properti panggung dan gam­
bar latar yang tak terpakai lagi dari pementasan Roi de
Lahore, tepat di tempat Joseph Buquet tewas. Mari, Tuan,
beranikan dirimu dan ikuti aku! Dan naikkan tanganmu
setinggi mata! Tapi ada di manakah kita?"
Orang Persia itu menyalakan kembali lenteranya dan
menyorotkan cahayanya ke arah dua koridor raksasa yang
bersilangan.
"Kita pasti," katanya, "berada di bagian yang khusus
dipakai untuk kegiatan yang melibatkan air. Aku tidak
melihat nyala api di tungku-tungkunya."
la betjalan mendahului Raoul untuk mencari jalan dan
berhenti tiba-tiba ketika ia khawatir akan bertemu dengan
salah satu petugas air. Kemudian mereka harus menyembu­
nyikan diri dari sinar yang berasal dari semacam tempat
penempaan bawah tanah yang sedang berusaha dipadam­
kan oleh para peketja. Raoul menyadari bahwa merekalah
iblis-iblis yang dilihat Christine pada saat ia pertama kali
ditawan.
Dengan melalui jalan itu, mereka akhimya sampai di
bawah ruang bawah tanah besar tepat di bawah panggung.
Pada saat itu mereka pastilah berada di dasar "tabung"
yang terletak begitu dalam di bawah tanah, mengingat bah­
wa tanah gedung itu digali sekitar lima belas meter di ba­
wah permukaan air yang berada di bawah seluruh area
Paris bagian itu.4

' Semua air itu harus dikeluarkan untuk membangun gedung Opera itu. Untuk
memberi gambaran jumlah air yang dipompa keluar, bisa kukatakan kepada
para pembaca bahwa banyaknya sama dengan luas halaman Louvre dengan
ketinggian separuh ukuran menara-menara Notre Dame. Meskipun begitu,
para insinyur itu masih menyisakan satu danau.

282
Orang Persia itu menyentuh suatu dinding partisi dan
berkata, "Kalau aku tidak salah, bagian ini mestinya
dinding rumah di tepi danau itu."
Ia mengetuk-ngetuk dinding partisi di dalam "tabung"
itu, dan mungkin para pembaca juga perlu mengetahui
bagaimana bagian dasar dan dinding-dinding partisi di
daerah tabung itu dibangun. Untuk mencegah air di sekitar
proyek pembangunan itu bersentuhan langsung dengan
dinding-dinding yang menopang seluruh bangunan teater
itu, sang arsitek harus membangun dinding lapis ganda di
segenap penjuru. Pembangunan dinding lapis ganda ini
memakan waktu setahun penuh. Ketika menyebutkan
tentang rumah di tepi danau, si orang Persia mengetuk
dinding pertama lapisan dalam. Bagi yang mengerti arsitek­
tur bangunan itu, tindakan si orang Persia mengindikasikan

bahwa rumah rnisterius rnilik Erik itu dibangun di dalam


lapisan kedua, terbuat dari dinding tebal yang didirikan
sebagai tanggul atau bendungan, lalu diikuti dinding bata,
lapisan semen yang begitu tebal, serta satu dinding lagi
setebal beberapa meter.
Mendengar kata-kata orang Persia itu, Raoul segera me­
nempelkan telinganya di dinding dan mendengarkan de­
ngan saksama. Tetapi ia tak mendengar apa-apa... tak satu
pun. . . kecuali bunyi langkah di kejauhan dari lantai di ba­
gian atas teater.
Si orang Persia meredupkan lenteranya lagi.
"Hati-hati!" katanya. "Jaga tanganmu tetap di atas! Dan
diam! Karena kita akan mencoba cara lain untuk masuk."
Lalu ia mengajak Raoul ke tangga kecil yang mereka
gunakan ketika turun tadi.

283
Mereka menaiki tangga itu dan berhenti di setiap anak
tangganya untuk mengecek kegelapan dan kesunyian yang
mengelilingi mereka hingga mereka sampai ke ruang ba­
wah tanah tingkat ketiga. Kini si orang Persia memberi
tanda kepada Raoul untuk berlutut. Dan mereka merang­
kak hingga mencapai dinding di ujung koridor, namun
dengan satu tangan tetap di posisi bersiap menembak.
Di dinding itu disandarkan satu gambar latar berukuran
besar dari pementasan Roi de Lahore yang sudah tak terpa­
kai lagi. Di dekat gambar itu terdapat satu properti pang­
gung. Jarak antara gambar latar dan properti itu hanya
cukup diisi satu orang. . . satu orang yang pada suatu hari
ditemukan tergantung di sana. Mayat Joseph Buquet.
Sambil tetap berlutut, orang Persia itu berhenti dan
memasang telinga. Untuk sedetik ia tampak ragu-ragu dan
melihat ke arah Raoul, lalu ia ganti menatap langit-langit
yang adalah ruang bawah tanah tingkat kedua. Tampak
sinar lemah lentera mengintip di celah antara dua papan.
Sinar ini sepertinya mengganggu si orang Persia.
Akhimya ia mengangguk dan memutuskan untuk bertin­
dak. la menyelinap ke dalam celah antara properti pang­
gung dan gambar latar dari Roi de Lahore itu, diikuti Raoul.
Dengan tangannya yang bebas orang Persia itu meraba
dinding. Raoul melihatnya menekan dinding itu kuat-kuat,
seperti ketika ia menempelkan tubuhnya di dinding ruang
ganti Christine. Lalu satu batu dinding terlepas, menyisa­
kan lubang di dinding.
Kali ini si orang Persia mengambil pistol dari kantong­
nya dan memberi tanda kepada Raoul untuk melakukan
hal yang sama. Ia mengokang pistol itu.

284
Lalu, dengan yakin dan masih merangkak, laki-laki itu
berusaha masuk ke dalam lubang di dinding tersebut.
Raoul yang sebenamya ingin masuk lebih dulu harus puas
mengikuti di belakangnya.
Lubang itu sangat sempit. Orang Persia itu sepertinya
berhenti mendadak. Raoul mendengarnya meraba-raba
batu-batu di sekelilingnya. Lalu laki-laki itu sekali lagi
mengeluarkan lentera yang redup, membungkuk ke depan,
memeriksa sesuatu di bawahnya dan seketika mematikan
lenteranya. Raoul mendengamya berbisik, "Kita harus me­
lompat beberapa meter ke bawah tanpa suara. Lepaskan
sepatu botmu."
Orang Persia itu menyerahkan sepatunya kepada
Raoul.
"Letakkan di luar dinding," katanya. "Kita akan meng­
ambilnya lagi setelah kita keluar."5
Laki-laki itu merangkak sedikit lagi lalu menoleh dan
berkata, "Aku akan berpegangan pada tepian batu dan ter­
jun ke dalam rumahnya. Kau harus melakukan hal yang
sama persis. Jangan takut. Aku akan menangkapmu di ba-
ah II
w .

Tak lama Raoul mendengar suara samar yang timbul


dari mendaratnya si orang Persia, lalu ia menyusul ter­

Jun.
Ia merasa lengan si orang Persia menangkapnya.
"Diam!" kata orang Persia itu.

5 Kedua pasang sepatu bot ini, yang menurut catatan si orang Persia diletakkan
persis di antara properti panggung dan garnbar latar dari Roi de Lahore tempat
Joseph Buquet ditemukan tewas tergantung, tidak pemah ditemukan kembali.
Sepatu-sepatu itu pasti telah diambil oleh salah satu tukang kayu atau
"petugas penutup pintu."

285
Maka mereka berdiri dalam diam, memasang telinga.
Kegelapan yang melingkupi mereka sungguh pekat, dan
kesunyiannya mencekam serta memekakkan telinga.
LaJu orang Persia itu mulai menggunakan lentera su­
ramnya lagi, menyorotkan cahayanya ke atas kepala mere­
ka dan dengan sia-sia mencari lubang yang menjadi jalan
masuk mereka.
"Oh!" katanya. "Batu itu menutup dengan sendirinya."
LaJu cahaya lentera itu menyapu dinding hingga sekeli­
ling lantai.
Orang Persia itu membungkuk dan mengambil sesuatu,
semacam tali, a
i memeriksanya sebentar laJu melemparkan­
nya dengan ngeri.
"Laso Punjab!" gumamnya.
"Apa itu?" tanya Raoul.
Si orang Persia bergidik. "Kemungkinan besar itu tali
yang dipakai menggantung laki-laki itu, dan yang dicari­
cari selama ini."
Lalu, mendadak laki-laki itu dengan gelisah menyorotkan
lenteranya ke arah dinding. Sesuatu yang ganjil tertangkap
berkas cahayanya: batang pohon yang terlihat hidup de­
ngan daun-daun dan cecabang yang menjulur naik menyu­
sur dinding-dinding dan menghilang di langit-langit.
Ukuran lentera yang kecil membuat mereka sulit menge­
naJi bentuk benda-benda yang ada: mereka mendapati
lekukan satu ranting. . . lalu daun. . . dan daun lagi... dan,
di sampingnya, tidak ada apa-apa kecuali berkas cahaya
yang sepertinya memantul . . . . Raoul meraba kekosongan
dan pantulan itu.

286
"Ah!" katanya. "Dinding ini sebenarnya cermin!"
"Ya, cermin!" kata si orang Persia dengan suara muram.
Lalu, sambil mengelap keringat di dahinya dengan tangan
yang memegang pistol, ia menambahkan, "Kita terjun ke
dalam kamar penyiksaan!"
Apa yang diketahui oleh si orang Persia tentang kamar
penyiksaan serta apa yang menimpa dirinya beserta teman
seperjalanannya itu akan diceritakan menggunakan kata­
kata laki-laki itu sendiri, seperti yang ditulis di dalam
catatan yang ditinggalkannya dan yang kusalin persis tiap
katanya.

287
Bab 21
Perubahan yang Menarik dan Menambah
Pengetahuan dari si Orang Persia di Ruang
Bawah Tanah Opera

Cerita si orang Persia

lru pertama kalinya aku memasuki rumah di tepi danau.


Sudah sering aku memohon kepada si /1 pencinta pintu je­
bak", begitu kami di negara asal kami biasa memanggil
Erik, untuk membukakan pintu-pintu misteriusnya bagiku.
Ia selalu menolak. Aku sudah berusaha berkali-kali untuk
masuk, tapi gagal. Begitu aku tahu bahwa Erik tinggal di
Opera, aku berusaha mengamait caranya keluar-masuk
Opera. Tetapi sekeras apa pun aku berusaha mengamati­
nya, terlalu gelap bagiku untuk bisa melihat bagaimana ia
membuka pintu di dinding tepi danau. Suatu hari, ketika
kupikir aku sendirian saja, aku menaiki perahu yang ada
di tepi danau itu dan mendayung ke arah bagian dinding
tempat kulihat Erik menghilang. Waktu itulah aku mende­
ngar suara yang menjaga tempat itu, suara yang pesonanya
nyaris berakibat fatal bagiku.
Baru saja aku meninggalkan pinggir danau ketika kesu-

288
nyian yang mengiringiku membelah air danau terusik oleh
semacam nyanyian berbisik yang mengepung sekelilingku.
Nyanyian itu separuh suara napas, separuh musik, dan ia
naik perlahan dari dalam air danau itu. Dan entah bagai­
mana aku dikepung oleh suara itu. la mengikutiku, berge­
rak seiringku dan begitu lembut sehingga aku tak merasa
terancam. Sebaliknya, karena aku ingin mendekati sumber
suara yang merdu dan memukau itu, aku menjulurkan tu­
buh keluar perahu dan membungkuk di atas air, sebab aku
yakin nyanyian itu datangnya dari air itu sendiri. Pada
saat itu aku sendirian di dalam perahu di tengah danau.
Suara itu - sekarang jelas sudah bahwa itu adalah suara
nyanyian -ada di sebelahku, di permukaan air. Aku men­
julurkan tubuh lebih jauh lagi. Danau itu benar-benar te­
nang, dan sinar bulan yang menyusup melalui lubang
udara di Rue Scribe tak menunjukkan keberadaan sesuatu
pun di permukaan airnya yang halus dan hitam pekat.
Aku menggelengkan kepala untuk mengusir kemungkinan
suara berdengung yang dihasilkan kesunyian ini, tetapi tak
lama aku harus menerima kenyataan bahwa tak ada bunyi
dengung yang seindah nyanyian berbisik yang mengikutiku
dan sekarang memukauku.
Kalau saja aku percaya takhayul, aku pasit akan lang­
sung berpikir bahwa aku mungkin berurusan dengan serna­
cam makhluk yang bertugas memukau siapa pun yang
berani berkeliaran hingga ke perairan rumah di tepi danau
itu. Untungnya aku datang dari negara yang orang-orang­
nya terlalu mencintai hal-hal fantastis sehingga mengenal­
nya dengan terarnat baik, dan aku sangat yakin bahwa aku
sedang berhadapan dengan salah satu ciptaan Erik yang

289
baru. Tetapi ciptaan yang satu ini begitu sempurna sehing­
ga ketika aku menjulurkan tubuhku keluar perahu, aku
lebih terdorong untuk menemukan trik di baliknya daripa­
da menikmati pesonanya. Maka aku menjulurkan tubuhku
hingga hampir membuat perahu itu terbalik.
Tiba-tiba dua lengan besar muncul dari dalam air dan
menangkap leherku, menarikku ke air dengan kekuatan
yang tak dapat dilawan. Seandainya aku tak sempat ber-te­
riak, aku pasti hilang ditenggelarnkan. Tetapi teriakan itu
menyelamatkanku sebab Erik mengenaliku. Sebab kedua le­
ngan itu miliknya. Lalu, ia urung menjalankan niatnya untuk
menenggelamkanku, dan berenang membawaku ke tepian.
"Betapa cerobohnya kau!" katanya sambil berdiri di de­
panku dalam keadaan basah kuyup. "Mengapa kau menco­
ba memasuki rumahku? Aku tak pemah mengundangmu!
Aku tak mau kau atau siapa pun datang ke sana! Apa kau
menyelamatkan nyawaku hanya untuk menyiksaku sete­
lahnya? Sebesar apa pun bantuan yang kauberikan kepada
Erik, kemungkinan ia akan melupakannya, dan kau tahu
bahwa tak sesuatu pun bisa menahan Erik, bahkan Erik
sendiri."
Ia terus berbicara, tetapi saat itu aku tak punya keingin­
an lain selain mengetahui rahasia dari sesuatu yang kuju­
luki trik sirene gaib. Dan ia memuaskan rasa ingin tahuku,
sebab meskipun ia seorang monster sejati-celakanya, aku
telah melihatnya bekerja di Persia - dalam hal-hal tertentu
Erik juga anak biasa yang sombong dan berbangga diri,
dan setelah memukau orang-orang, tak ada hal yang lebih
disukainya dibanding memamerkan seluruh kelihaian hasil
pernikiran jeniusnya.

290
Ia tertawa dan menunjukkan kepadaku satu buluh
alang-alang yang panjang.
"Ini trik paling konyol yang pernah kaulihat," katanya,

"tapi benda ini sangat berguna untuk bernapas dan bernya­


nyi di dalam air. Aku mempelajarinya dari para perompak
Tonkin yang sanggup bersembunyi selama berjam-jam di
dasar sungai."6
Aku berkata kepadanya dengan tegas.
"Trik itu nyaris membunuhku!" kataku. "Dan ia mung­
kin berakibat fatal bagi orang lain! Kau masih ingat apa
yang kaujanjikan kepadaku, Erik? Tidak ada lagi pembu­
nuhan!"
"Apa aku benar-benar pemah melakukan pembunuhan?"
tanyanya sambil menunjukkan sikap paling ramah yang
dimilikinya.
"Manusia hina!" seruku. "Apa kau sudah lupa saat-saat
menyenangkan di Mazandaran?"
"Ya," jawabnya dengan nada lebih sedih. "Aku memilih
untuk melupakannya. Meski begitu, aku selalu mampu
membuat sultan kecil itu tertawa!"
"Semua itu masa lalu," tukasku, "tapi kita bicara soal
masa sekarang. . . dan kau bertanggung jawab kepadaku
untuk masa sekarang ini, sebab bila aku mau, kau tak
akan hidup sekarang. Ingat itu, Erik: aku menyelamatkan
nyawamu!"
Dan aku memanfaatkan perpindahan topik perbincangan
ini untuk membicarakan sesuatu yang sudah lama berada

6 Laporan resmi dari daerah Tonkin yang sampai di Paris pada akhir Juli 1909
menyampaikan bagaimana kepala perompak De Tham dan anak buahnya
diburu oleh tentara kita dan bagaimana merel<a berhasil lolos berkat trik alang­
alang ini.

291
di dalam pikiranku, "Erik," tanyaku, "Erik, bersumpahlah
bahwa. . . "
"Apa?" potongnya. "Kau tahu aku tak pernah memenuhi
sumpahku. Segala sumpah itu hanya untuk menangkap
orang-orang bodoh."
"Katakan kepadaku . . . kau dapat memberitahuku, apa­
kah. . . "
"Ya?"
"Ya, lampu gantung itu . . . lampu gantung itu, Erik?"
"Ada apa dengan lampu gantung itu?"
"Kau tahu yang kumaksud."
"Oh," ia terkekeh. "Aku tak keberatan memberitahumu
tentang lampu gantung itu! Itu bukan aku! Lampu gantung
itu sudah sangat tua dan aus."
Ketika tertawa, Erik lebih mengerikan daripada biasanya.
Ia melompat ke dalam perahu sambil tetap terkekeh de­
ngan begitu mengerikannya sampai-sampai aku tak bisa
menahan untuk tak bergidik ngeri.
"Sudah sangat tua dan aus, Daroga7-ku yang baik! Sa­
ngat tua dan aus lampu gantung itu... Benda itu jatuh sen­
diri! la jatuh dengan bunyi sangat keras! Dan sekarang,
Daroga, turutilah saranku lalu pergi dan keringkan dirimu
sebelum kau terserang demam... Dan jangan pernah me­
naiki perahuku lagi . . . Lalu, apa pun yang kaulakukan, ja­
ngan coba memasuki rumahku lagi: aku tak selalu ada di
sana. . . Daroga! Dan aku akan sedih bila harus mendedikasi­
kan Requiem ciptaanku untukmu!"
Maka begitulah, dengan terus berayun ke depan dan
belakang seperti seekor monyet, ia mendayung pergi sam-

7 Daroga adalah bahasa Persia untuk kepala polisi.

292
bil terkekeh dan segera menghilang ke dalam kegelapan
danau.
Sejak hari itu aku menyerah mencoba memasuki rumah
di tepi danau miliknya itu. Jalan masuknya jelas-jelas dija­
ga dengan sangat ketat, terutama sejak ia tahu bahwa aku
mengetahui keberadaan rumah itu. Tetapi aku merasa pasti
ada jalan masuk lain, sebab aku sering melihat Erik meng­
hilang di lantai ketiga ruang bawah tanah ketika aku meng­
awasinya, meskipun aku tak punya gambaran bagaimana
ia melakukannya.
Sejak aku mengetahui Erik tinggal di Opera, aku terus­
menerus hidup dalam teror atas kegemaran-kegemarannya
yang mengerikan, bukan yang menyangkut diriku, tetapi
akibatnya terhadap orang lain.8 Dan setiap kali tetjadi kece­
lakaan atau kejadian fatal, aku selalu berpikir, "Aku takkan
kaget kalau itu perbuatan Erik," meskipun orang-orang
biasanya berkata, "Itu si hantu!" Betapa jarangnya aku
mendengar orang-orang mengatakan itu tanpa tersenyum!
Orang-orang yang malang! Andai saja mereka tahu bahwa
hantu itu benar-benar hidup. Aku berani bersumpah mere­
ka tidak akan tertawa!
Meskipun Erik telah mengatakan kepadaku dengan sung­
guh-sungguh bahwa ia sudah berubah dan telah menjadi
orang yang paling baik sejak ia dicintai apa adanya suatu -

8Orang Persia itu bisa saja dengan mudah mengakui bahwa ia juga menaruh
perhatian pada nasib Erik, sebab ia benar-benar sadar bahwa bila pemerintah
Teheran tahu bahwa Erik masih hidup, a i akan kehilangan uang pensiunnya
yang tak seberapa sebagai mantan daroga. Tetapi harus disampaikan bahwa
orang Persia itu memiliki hati yang mulia dan baik, dan aku sama sekali tak
pemah meragukan bahwa a i sungguh-sungguh memikirkan tentang malapetaka
yang dikhawatirkannya akan menimpa banyak orang. Segala tindakannya
dalam urusan ini menjadi buktinya dan mereka sungguh terpuji .

293
kalimat yang awalnya sangat membingungkanku -aku
tetap bergidik ketika memikirkan monster itu. Keburuk­
rupaannya yang begitu mengerikan, tak tertandingi, serta
menjijikkan telah meluputkannya dari rasa kemanusiaan
dunia ini, dan sering kali aku merasa bahwa itulah alasan
ia tak merasa memiliki tanggung jawab apa pun terhadap
manusia. Caranya yang begitu bangga bercerita tentang
kisah cintanya hanya meningkatkan kewaspadaanku, sebab
dari sana aku bisa rnelihat penyebab tragedi-tragedi baru
yang lebih rnenyeramkan.
Sementara itu, tak lama setelahnya, aku mendapati hu­
bungan ganjil yang tercipta antara monster itu dengan
Christine Daae. Dengan bersembunyi di dalarn ruangan
penyimpanan di sebelah ruang ganti primadona muda itu,
aku mendengarkan penampilan musikal rnencengangkan
yang jelas-jelas rnembawa Chrisine
t mengalami kegembi­
raan luar biasa, tetapi tetap saja, aku tak percaya bahwa
suara Erik -yang bisa diatur rnenjadi sekeras halilintar
atau selembut malaikat-dapat membuat gadis itu melupa­
kan keburukan wajahnya. Tapi semuanya menjadi jelas
bagiku saat aku tahu bahwa Christine belurn pernah meli­
hatnya! Aku pernah masuk ke ruang ganti itu, dan berda­
sarkan ajaran-ajaran yang pemah diberikannya kepadaku,
aku tak mengalami kesulitan untuk rnenemukan trik yang
rnampu membuat dinding bercermin itu berputar dan aku
menemukan cara-cara -yang rnelibatkan bata berlubang
dan sebagainya -yang dipakainya untuk mengirirnkan sua­
ranya kepada Christine sehingga gadis itu seakan-akan
rnendengar suara itu di belakangnya. Dengan cara ini pula
aku rnenemukan jalan yang mengarah ke sumur dan pen-

294
jara bawah tanah-penjara bawah tanah milik kelompok
Komunis-serta pintu jebak yang memungkinkan Erik lang­

sung menuju tingkat-tingkat ruang bawah tanah di bawah


panggung.
Beberapa hari setelahnya, aku tidak heran ketika menyak­
sikan dan mendengar sendiri Erik dan Christine bertemu
lalu mendapati monster itu membungkuk di atas sumur
kecil itu, di jalan yang digunakan kelompok Komunis, dan
memercikkan air di dahi Christine Daae yang jatuh ping­
san. Seekor kuda putih, kuda pada pementasan Profeta
yang menghilang dari kandang kuda di bawah Opera, tam­
pak berdiri dengan tenang di samping mereka. Aku me­
nampakkan diri. Sungguh mengerikan. Aku melihat nyala
api memercik dari sepasang mata kuning itu, dan belum
sempat aku berkata apa-apa, ia memukul kepalaku dan
aku tak sadarkan diri.
Waktu aku siuman, Erik, Christine, dan kuda putih itu
sudah tak ada di sana. Aku merasa yakin bahwa gad.is ma­
lang itu dijadikan tawanan di rumah di tepi danau. Tanpa
keraguan sedikit pun aku berniat kembali ke tepi danau
itu, mengabaikan bahaya yang mungkin mengancam. Dua
puluh empat jam penuh aku menunggu monster itu mun­
cul, sebab aku merasa dia pastilah harus keluar untuk
mendapatkan makanan. Dan jika boleh kuceritakan berkait­
an dengan cerita ini, setiap kali ia keluar ke jalan-jalan
atau pergi menunjukkan dirinya di hadapan publik, Erik
selalu memakai hidung palsu lengkap dengan kumis untuk
menutupi hidungnya yang hanya berupa lubang di wajah.
Ini tidak mengenyahkan aura kematian yang dimilikinya,

295
tapi itu membuatnya hampir, kutegaskan lagi hampir,
membuatnya layak dipandang.
Maka aku mengamati dari tepian danau, dan karena le­
lah atas penantian yang panjang ini, aku mulai berpikir
bahwa ia telah pergi lewat pintu satunya, pintu di lantai
ketiga ruang bawah tanah. Tetapi kemudian aku mende­
ngar bunyi kecipak samar di kegelapan, dan aku melihat
sepasang mata kuning menyala seperti ilin,
l lalu tak lama
perahu itu mendarat. Erik melompat keluar dari dalamnya
dan berjalan ke arahku, "Kau sudah dua puluh empat jam
di sini," katanya, "dan kau membuatku jengkel. Kuberitahu
kau, semua ini akan berakhir dengan sangat buruk. Dan
salahkan dirimu sendiri kalau itu benar terjadi, sebab aku
sudah teramat sabar menghadapimu. Kaukira kau meng­
ikutiku, dasar tolol, sebenarnya akulah yang mengikutimu.
Dan aku tahu semua yang kauketahui tentang aku di sini.
Kemarin aku telah mengampunimu di jalan Komunis milik­
ku, tapi kuperingatkan kau dengan sungguh-sungguh, ja­
ngan sampai aku memergokimu di sana lagi! Camkan
kata-kataku, sebab kau sepertinya tak bisa diberi peringat­
an!"
Ia begitu marah sehingga aku tak berpikir untuk memo­
tong kata-katanya barang sedetik pun. Setelah napasnya
memburu menahan amarah, ia mengucapkan ide mengeri­
kan yang ada di dalam kepalanya, "Ya, kau harus belajar,
untuk seterusnya-untuk seterusnya kataku-untuk mema­
tuhi peringatan yang diberikan padamu! Aku berkata demi­
kian kepadamu sebab dengan kecerobohanmu -ya, kau
sudah dua kali ditangkap oleh sosok bertopi flanel yang
tak paham apa yang kaulakukan di ruang bawah tanah

296
dan membawamu ke para manajer yang menganggapmu
sebagai orang Persia nyentrik yang tertarik pada mekanis­
me panggung serta kehidupan di belakang panggung; ya,
aku tahu semua itu, aku ada di sana, di kantor mereka;
kau tahu aku ada di mana-mana-well, kuberitahu kau
bahwa dengan kecerobohanrnu itu mereka akan bertanya­
tanya apa yang kaucari di sini! Dan mereka akan tahu
bahwa kau mengejar Erik... lalu mereka juga akan menge­
jar Erik dan menemukan rumah di tepi danau itu . . . . Kalau
sampai mereka menemukannya, itu akan jadi pertanda bu­
ruk bagimu, sobat lama, pertanda buruk! Aku tak akan
bertanggung jawab atas apa pun."
Napasnya kembali tersengal penuh kemarahan.
"Aku tak akan bertanggung jawab! Bila rahasia-rahasia
Erik terbongkar, itu akan menjadi pertanda buruk bagi ba­
nyak orang! Itu saja yang bisa kukatakan kepadamu, dan
kalau kau bukan orang yang teramat tolol, seharusnya per­
ingatan ini cukup bagimu. . . hanya saja kau tidak tahu
bagaimana mematuhi peringatan."
la duduk di bagian belakang perahunya dan menen­
dang-nendangkan tumitnya pada kayu perahu itu, menanti
jawabanku. Aku hanya berkata, "Bukan Erik yang kukejar
di sini!"
"Lalu siapa?"
"Kau tahu persis siapa: Christine Daae," jawabku.
la menjawab, "Aku berhak untuk bertemu dengannya di
rumahku sendiri. Aku dicintai apa adanya."
"ltu tidak benar," kataku. "Kau membawanya pergi dan
menawannya."
"Dengar," katanya. "Apa kau mau berjanji untuk tak

297
pernah lagi mencampuri urusanku kalau aku bisa membuk­
tikan kepadamu bahwa aku dicintai sebagaimana adanya
d.lTI"ku.?"
"Ya, aku berjanji," jawabku tanpa keraguan, sebab aku
yakin mustahil bukti itu ada bagi monster seperti dia.
"Baiklah kalau begitu, cukup sederhana. . . . Chrisine
t
Daae akan pergi dari sini sesuka hatinya dan akan kem­
bali! Ya, kembali lagi karena ia memang menginginkan­
nya. . . kembali dengan sendirinya, sebab ia mencintaiku
apa adanya!"
"Oh, aku tak yakin ia akan kembali! Tapi itu kewajiban­
mu untuk melepaskannya."
"Kewajibanku? Dasar tolol! Keinginanku... itu keinginan­
ku untuk melepaskannya; dan ia akan kembali lagi. . . sebab
ia mencintaiku! Dan semua ini akan berakhir di pernikah­
an... pernikahan di Madeleine, Tolol! Apa kau percaya
padaku sekarang? Ketika aku memberitahumu bahwa lagu
perkawinanku sudah ditulis. . . tunggu sampai kau mende­
ngar bagian Kyrie...."
la menciptakan ketukan dengan tumitnya yang menen­
dangi kayu perahu lalu bernyanyi, "Kyrie... Kyrie... Kyrie
eleison... Tunggu sampai kau mendengarnya, sampai kau
mendengar lagu itu."
"Dengarkan," kataku. "Aku akan memercayaimu kalau
aku melihat Christine Daae keluar dari rumah di tepi da­
nau itu dan kembali ke sana atas keinginannya sendiri."
"Dan kau takkan mencampuri urusanku lagi?"
"Tak akan."
"Baiklah, kau akan melihatnya malam ini. Datanglah di
pesta topeng. Christine dan aku akan datang untuk berke-

298
liling. Lalu kau bisa bersembunyi di ruang penyimpanan
itu dan kau akan melihat Christine masuk ke ruang ganti­
nya dan dengan rela kembali ke jalan Komunis itu. Dan
sekarang, pergilah, karena aku harus pergi dan berbelan-
. ''
Ja.I
Dengan sangat terkejut aku melihat semua yang dikata­
kannya benar-benar terjadi. Christine Daae meninggalkan
rumah di tepi danau itu dan kembali ke sana beberapa kali
tanpa terlihat dipaksa melakukannya. Aku masih memikir­
kan Erik. Meski begitu, aku bertekad untuk bersikap sa­
ngat hati-hati dan tidak membuat kesalahan dengan kem­
bali ke tepi danau atau menempuh jalan Komunis itu.
Tetapi kemungkinan adanya jalan masuk rahasia di ruang
bawah tanah tingkat ketiga itu terus menghantuiku, dan
aku terus-menerus pergi ke sana dan menunggu selama
berjam-jam di balik gambar latar dari Roi de Lahore yang
entah mengapa ditinggalkan di sana. Akhimya kesabaran­
ku membuahkan hasil. Suatu hari, aku melihat monster itu
menuju ke arahku dengan merangkak. Aku yakin ia tak
dapat melihatku. Ia lewat di antara gambar latar tempat
aku bersembunyi dan satu properti panggung, menuju ke
dinding dan menekan suatu pegas yang menggerakkan
sebuah batu hingga terbukalah jalan masuk baginya. Ia
masuk ke lubang itu dan batu itu menutup setelahnya.
Aku menunggu setidaknya tiga puluh menit lalu mene­
kan pegas itu. Semua yang tetjadi ketika Erik melakukan­
nya terulang persis sama. Tetapi aku cukup berhati-hati
untuk tidak memasuki lubang itu karena aku tahu Erik
ada di dalam sana. Di sisi lain, kemungkinan aku tertang­
kap oleh Erik tiba-tiba membuatku berpikir tentang kema-

299
tian Joseph Buquet. Aku tidak ingin mengambil risiko
mempertaruhkan suatu penemuan besar yang mungkin
berguna bagi banyak orang, "bagi sejumlah besar umat
manusia" begitu Erik mengatakannya, maka aku mening­
galkan ruang bawah tanah itu setelah dengan hati-hati
mengembalikan batu itu ke tempatnya.
Aku terus menaruh perhatian pada hubungan antara
Erik dan Christine Daae, bukan atas keingintahuan belaka,
tetapi atas dasar pikiran mengerikan di dalam kepalaku
bahwa Erik bisa melakukan apa saja bila ia mendapati bah­
wa ia tidak dicintai apa adanya seperti yang selama ini
dibayangkannya. Aku terus berkeliaran dengan hati-hati di
Opera dan tak lama aku mengetahui kebenaran tentang
hubungan cinta yang suram milik monster itu.
Christine memang selalu memikirkannya, tetapi itu kare­
na teror yang diberikannya, sedangkan hati gadis malang
itu sepenuhnya milik Vicomte Raoul de Chagny. Sementara
mereka bermain-main layaknya pasangan tunangan yang
tak tahu apa-apa di lantai-lantai atas Opera untuk meng­
hindari monster itu, mereka idak
t menyadari bahwa ada
seseorang yang mengamati mereka. Aku siap melakukan
apa pun, bahkan membunuh monster itu kalau perlu dan
memberikan penjelasan kepada polisi setelahnya. Tetapi
Erik tidak menampakkan dirinya, dan hal itu sama sekali
tak membuatku merasa tenang.
Aku harus menjelaskan seluruh rencanaku. Kupikir, kare­
na cemburu monster itu akan meninggalkan rumahnya,
sehingga aku bisa masuk ke sana dengan aman lewat jalan
masuk di lantai ketiga ruang bawah tanah. Demi kebaikan
semua orang, aku harus mengetahui apa yang ada di da-

300
lam sana. Suatu hari, setelah lelah menunggu datangnya
kesempatan, aku menyingkirkan batu itu dan langsung
terdengarlah musik yang mencengangkan: monster itu se­
dang mengerjakan Don Juan Triumphant rniliknya dan mem­
buka semua pintu di rumahnya. Aku tahu bahwa ini karya

terbesar dalam hidupnya. Aku memutuskan untuk tidak


mengganggunya dan dengan hati-hati rnenunggu di dekat
lubang gelap itu.
Tiba-tiba ia berhenti rnernainkan rnusik itu dan rnulai
berjalan mondar-rnandir seperti orang gila. Lalu ia berte­
riak sekeras-kerasnya, "Ini harus selesai dulu! Hampir
selesai!"
Kata-kata ini rnernbuatku tidak tenang, dan ketika rnusik
itu terdengar lagi, aku mengembalikan batu itu pelan-pe­
lan.
Pada hari Christine Daae diculik, aku tidak datang ke
teater hingga cukup larut, khawatir aku akan mendengar
kabar buruk. Itu hari yang buruk bagiku, sebab setelah
rnernbaca di koran pagi tentang pengurnurnan rencana
pernikahan antara Christine dan Vicomte de Chagny, aku
berpikir apa aku sebaiknya melaporkan monster itu. Tetapi
logika kernbali menguasai pikiranku dan aku rnerasa bah­
wa tindakan ini hanya akan rnenimbulkan malapetaka
lain.
Ketika keretaku menurunkanku di depan Opera, aku
hampir rnerasa takjub melihatnya tetap berdiri kokoh! Teta­
pi aku mernang penganut paharn fatalisrne, sebagaimana
orang dari Timur pada umurnnya, dan aku memasuki Ope­
ra dengan keadaan siap rnenghadapi apa pun.
Ketika penculikan Christine Daae terjadi pada Babak

301
Penjara, hal itu mengagetkan semua orang kecuali aku.
Aku cukup yakin bahwa ia telah dibawa lari oleh Erik, si
pangeran sulap. Dan aku benar-benar berpikir bahwa bisa
jadi ini adalah akhir hidup Christine dan mungkin juga
hidup semua orang. Begitu yakinnya aku sampai-sampai
aku berpikir untuk memberitahu semua orang yang masih
berada di teater saat itu untuk pergi dari sana. Tetapi aku
merasa mereka pasti menganggapku gila, maka kubatalkan
niatku.
Di lain pihak, aku bertekad untuk segera bertindak. Ke­
adaan sedang menguntungkan bagiku karena kemungkinan
pada saat itu Erik hanya memikirkan tentang tawanannya.
lnilah saat untuk memasuki rumahnya melalui ruang ba­
wah tanah tingkat ketiga, dan aku telah memutuskan un­
tuk membawa serta viscount muda yang malang itu, yang
langsung menerima ajakanku pada kesempatan pertama
dengan keyakinan teramat besar terhadapku hingga aku
terenyuh. Aku meminta pelayanku membawakan pistolku.
Kuberikan salah satu pistol itu kepada sang viscount dan
memberitahunya untuk bersiap menembak karena mungkin
saja Erik sudah menanti kami di balik dinding itu. Kami
akan melewati jalan Komunis itu dan melalui pintu je­
bak.
Ketika melihat kedua pistolku, viscount muda itu berta­
nya kepadaku apa kami akan berduel. Kukatakan, "Ya,
dan bukan duel biasa!"
Tetapi tentu saja aku tak punya waktu untuk menjelas­
kan apa pun kepadanya. Visount muda ini laki-laki yang
berani, tetapi ia nyaris tak tahu apa-apa tentang musuhnya,
dan jauh lebih baik begitu.Yang sangat kukhawatirkan ada-

302
Jah Erik sudah berada di dekat kami, siap dengan Jaso
Punjab itu. Tak ada yang Jebih rnahir darinya dalarn melon­
tarkan Jaso Punjab itu, sebab ia adalah raja pencekik seka­
ligus pangeran suJap. Setelah sultan kecil dibuat tertawa
olehnya, di "masa-masa menyenangkan di Mazandaran",
sultan kecil itu biasa meminta Erik untuk menghiburnya.
ItuJah saat ia memperkenalkan penggunaan Jaso Punjab.
Erik pemah tinggal di India dan mempelajari kemam­
puan menakjubkan dalarn seni mencekik. la akan membuat
mereka menguncinya di suatu lapangan dan memasukkan
seorang prajurit ke sana - biasanya prajurit yang dihukum
mati- dengan bersenjatakan tombak panjang dan pedang.
Erik hanya punya lasonya. Dan selalu, tepat di saat prajurit
itu berpikir untuk menjatuhkan Erik dengan hantarnan ke­
ras, kita akan mendengar bunyi Jaso itu memecah udara.
Dengan memutar pergelangan tangannya, Erik mengencang­
kan laso yang mengelilingi leher musuhnya lalu menyeret­
nya ke hadapan sultan kecil dan dayang-dayangnya yang
duduk menonton dan bersorak dari tepi jendela. Sultan
kecil itu sendiri belajar bagaimana membuat laso Punjab
dan membunuh beberapa dayangnya dan bahkan beberapa
teman yang datang berkunjung. Tetapi aku lebih memilih
untuk tak membicarakan saat-saat menyenangkan di
Mazandaran. Aku cuma menyebutkannya untuk menjelas­
kan kenapa aku harus melindungi temanku, Vicomte de
Chagny, dari ancaman mati dicekik setibanya kami di
ruang bawah tanah Opera. Pistol-pistolku bisa saja tak ber­
guna, sebab Erik mungkin tidak akan menampakkan diri­
nya, tetapi Erik selalu bisa mencekik kami. Aku tak punya
waktu untuk menjelaskan semua itu kepada sang viscount.

303
Selain itu tak ada untungnya memperumit keadaan. Aku
hanya mengatakan kepada M. de Chagny untuk menem­
patkan tangannya setinggi matanya serta menekuk lengan­
nya seakan-akan menunggu perintah untuk menembak.
Dengan posisi tangan seperti itu, bahkan para pencekik
paling mahir pun akan kesusahan melemparkan lasonya
dengan tepat dan efisien. Laso itu akan melingkupi tidak
hanya lehermu, tetapi juga lengan atau tanganmu. Ini akan
membuatmu dengan mudah melonggarkan lasonya sehing­
ga tali itu tak lagi berbahaya.
Setelah menghindari si komisaris polisi, beberapa petu­
gas penutup pintu dan pemadam kebakaran, serta setelah
bertemu dengan si penangkap tikus dan melewati laki-laki
dengan topi flanel tanpa ketahuan, sang viscount dan aku
sampai ke tingkat ketiga ruang bawah tanah tanpa halang­
an, menuju celah di antara properti panggung dan gambar
latar dari Roi de Lahore. Aku membuat batunya membuka
dan kami melompat masuk ke dalam rumah yang diba­
ngun sendiri oleh Erik di lapisan ganda tembok-tembok
pondasi Opera. lni mudah sekali baginya, sebab Erik
adalah salah satu kontraktor kepala di bawah pengawasan
Phillippe Garnier, arsitek gedung Opera ini, dan ia melan­
jutkan pekerjaan itu seorang diri ketika pengerjaan ba­
ngunan itu secara resmi dihentikan selama perang dan
pendudukan Paris oleh kelompok Komunis.
Aku mengenal Erik-ku dengan sangat baik sehingga aku
tak bisa merasa tenang ketika melompat masuk ke dalam
rumahnya. Aku tahu apa yang dilakukannya terhadap se­
buah istana di Mazandaran. Dalam waktu singkat ia meng­
ubah bangunan yang biasa dan bersahaja itu menjadi ru-

304
mah iblis, di mana setiap patah kata yang kauucapkan
akan ditangkap atau diulang oleh gema. Dengan menggu­
nakan pintu-pintu jebaknya, monster itu bertanggung
jawab atas segala macam tragedi yang tak terhitung jumlah­
nya. Ia menciptakan penemuan-penemuan yang luar biasa.
Dari sekian banyak penemuan itu, yang paling ganjil,
mengerikan, dan berbahaya adalah sesuatu yang disebut
kamar penyiksaan. Kecuali untuk saat-saat khusus seperit
ketika sang sultan kecil berniat menghibur dirinya dengan
menyiksa beberapa rakyat tak bersalah, hanya para terhu­
kum mati yang dimasukkan ke dalam kamar itu. Dan
bahkan bila para terhukum mati itu "sudah merasa cu­
kup," mereka bebas mengakhiri hidup mereka dengan
simpul laso Punjab atau tali panah yang memang dise­
diakan di kaki pohon besi.
Karena itu aku begitu terkejut dan waspada saat aku
tahu bahwa ruangan yang M. le Vicomte de Chagny dan
aku masuki adalah replika dari kamar penyiksaan dari
masa-masa menyenangkan di Mazandaran. Di dekat kaki
kami, aku menemukan laso Punjab yang kutakuti
sepanjang malam itu. Aku yakin tali ini telah menunaikan
tugasnya atas Joseph Buquet yang, seperti diriku, pasilah
t
memergoki Erik mengutak-atik batu di ruang bawah tanah
tingkat ketiga pada suatu malam. Joseph mungkin
mencobanya sendiri, masuk ke kamar penyiksaan dan
meninggalkan tempat itu dalam kondisi mati tergantung.
Aku bisa membayangkan Erik menyeret mayatnya untuk
disingkirkan, menuju gambar latar dari Roi de Lahore, lalu
menggantungnya di sana sebagai peringatan atau untuk
memperkuat teror penuh takhayul yang membantunya

305
melindungi sarangnya dari kemungkinan didatangi orang!
Kemudian, setelah memikirkannya, Erik kembali untuk
mengambil laso Punjab itu, sebab laso itu dengan peliknya
dibuat dari usus hewan sehingga mungkin akan membuat
hakim penyidik terusik untuk mencari tahu. lni
menjelaskan hi-langnya tali yang melilit leher Joseph
Buquet.
Dan sekarang aku menemukan laso itu di kaki kami, di
dalam kamar penyiksaan! Aku bukan seorang pengecut,
tapi keringat dingin membasahi dahiku ketika aku meng­
gerakkan lensa kecil berwarna merah dari lenteraku ke
arah dinding-dinding itu.
M. de Chagny melihatnya dan bertanya, "Ada apa,
Tuan?"
Aku dengan tegas memberi tanda kepadanya untuk
diam.

306
Bab 22
Di Dalam Kamar Penyiksaan

Narasi si Orang Persia Berlanjut

KAMI berada di tengah-tengah ruangan segi enam yang

dinding-dindingnya ditutupi cermin dari ujung atas hingga


bawah. Di sudut-sudutnya kami bisa melihat "sambungan"
di cermin-cermin itu, bagian-bagian yang dibuat bisa ber­
putar pada geriginya. Ya, aku mengenali mereka dan aku
mengenali pohon besi di pojok sana, di dasar salah satu
bagian itu. . . pohon besi dengan cabang-cabang besinya,
tempat orang-orang gantung diri.
Aku meraih lengan temanku: Vicomte de Chagny geme­
tar dipenuhi keinginan untuk berteriak kepada tunangan­
nya bahwa ia akan datang menolong. Aku takut ia tak
dapat menguasai dirinya.
Tiba-tiba kami mendengar suara dari arah sebelah kiri
kami. Awalnya suara itu seperti bunyi pintu membuka dan
menutup di ruangan sebelah, kemudian terdengar erangan
pelan. Aku mencengkeram lengan M. de Chagny semakin
erat, lalu kami dengan jelas mendengar kata-kata ini, "Kau
harus memilih! Lagu perkawinan atau lagu kematian!"

307
Aku mengenali suara monster itu.
Terdengar erangan lagi, lalu kesunyian yang panjang.
Saat itu aku merasa agak yakin bahwa monster itu tidak
menyadari kehadiran karni di dalarn rumahnya, sebab ia
tak mungkin akan membiarkan karni mendengar suaranya.
Dan untuk melakukannya, ia hanya perlu menutup jendela
kecil tersembunyi tempat para penikmat siksaan melongok
ke dalarn karnar penyiksaan ini. Selain itu, aku yakin bah­
wa bila ia memang mengetahui keberadaan kami, siksaan
itu akan langsung dimulai.
Yang penting adalah tidak membiarkan ia tahu, dan tak
ada yang lebih kukhawatirkan daripada sifat impulsif
Vicomte de Chagny yang begitu ingin berlari menembus
dinding untuk mencapai Christine Daae yang telah bebe­
rapa kali kami dengar erangannya.
"Lagu kematian itu sama sekali tidak riang," lanjut suara
Erik, "sedangkan lagu perkawinannya -kau boleh percaya
padaku - sungguh memesona! Kau harus tegas dan tahu
apa yang kauinginkan! Aku tidak bisa terus hidup seperti
ini, layaknya tikus tanah di dalam liang! Don Juan
Triumphant sudah selesai, dan sekarang aku ingin hidup
seperti semua orang lainnya. Aku ingin punya istri seperti
orang-orang lain dan mengajaknya berjalan-jalan di hari
Minggu. Aku telah menciptakan topeng yang akan mem­
buatku terlihat seperti orang biasa. Orang-orang yang
berpapasan di jalan bahkan tak akan menoleh kepadaku.
Kau akan menjadi perempuan yang paling bahagia. Dan
kita akan bernyanyi, hanya kita berdua, hingga kita jatuh
pingsan karena gembira. Kau menangis! Kau takut kepada­
ku! Tetapi aku tidak benar-benar jahat. Cintailah aku dan

308
kau akan melihat buktinya! Yang kumau hanyalah dicintai
apa adanya. Kalau kau mencintaiku, aku akan menjadi
selembut domba, dan kau bisa melakukan apa pun yang
kau mau terhadapku."
Tak lama erangan yang mengiringi litani cinta itu terde­
ngar kian keras. Aku tak pemah mendengar sesuatu yang
lebih putus asa daripada ini, dan M. de Chagny maupun
aku tahu bahwa ratapan menyedihkan ini berasal dari Erik
sendiri. Christine sepertinya berdiri kelu penuh kengerian,
tak punya kekuatan untuk berteriak, sementara monster itu
berlutut di hadapannya.
Tiga kali Erik berteriak meratapi nasibnya, "Kau tak
mencintaiku! Kau tak mencintaiku! Kau tak mencintai-
ku.I"
Sunyi.
Setiap kesunyian memberi kami harapan baru. Kami ber­
kata dalam hati, "Mungkin ia telah pergi meninggalkan
Christine di balik dinding ini."
Dan kami hanya memikirkan kemungkinan memberitahu
Christine Daae tentang keberadaan kami tanpa sepengeta­
huan monster itu. Kami tidak bisa keluar dari kamar
penyiksaan ini kecuali Christine membukakan pintunya
bagi kami; dan hanya kondisi itulah yang membuat kami
berharap bisa menolongnya, sebab kami bahkan tidak tahu
di mana pintu itu.
Tiba-tiba kesunyian di ruangan sebelah terusik suara bel
listrik. Terdengar suara di sisi dinding sebelah sana dan
suara Erik pun menggelegar.
"Ada yang membunyikan bell Masuklah!"
Terdengar suara seseorang terkekeh jahat.

309
"Siapa yang datang dan mengganggu sekarang? Tunggu
aku di sini . .
. . Aku akan memberitahu si makhluk penjaga untuk
membuka pintunya."
Suara langkah menjauh dan pintu ditutup. Aku tak pu­
nya waktu untuk memikirkan kengerian baru yang akan
terjadi, aku lupa bahwa monster itu mungkin hanya akan
keluar untuk melakukan kejahatan baru. Aku hanya paham
satu hal: Christine sekarang sendirian di balik tembok ini!
Sang Vicomte de Chagny sudah memanggil-manggilnya,
"Christine! Christine!"
Seperti kami bisa mendengar apa yang dikatakan di
ruang sebelah, semestinya suara rekanku ini juga bisa dide­
ngar di sana. Meski begitu, sang viscount harus mengulang
teriakannya beberapa kali.
Akhirnya suara yang samar menyapa kami.
"Aku sedang bermimpi!" katanya.
"Christine, Chrisine,
t ini aku, Raoul!"
Sunyi.
"Jawab aku, Christine! Demi Tuhan, bila kau sendirian,
jawab aku!"
Lalu suara Christine membisikkan nama Raoul.
"Ya! Ya! lni aku! lni bukan mimpi! Christine, percayalah
padaku! Kami di sini untuk menyelamatkanmu. . . tetapi
hati-hatilah! Bila kau mendengar monster itu, peringatkan
kami!"
Lalu Christine menjadi panik karena takut. la gemetar
kalau-kalau Erik tahu tempat Raoul bersembunyi. Dengan
cepat ia menyampaikan kepada kami bahwa Erik dibuta­
kan oleh cinta dan telah memutuskan untuk membunuh se­
mua orang termasuk dirinya sendiri bila Christine tidak berse-

310
dia menjadi istrinya. Laki-laki itu memberinya waktu
hingga pukul sebelas besok malam untuk berpikir. ltu
kesempatan terakhir. Seperti yang dikatakannya, Christine
harus memilih antara lagu perkawinan dan kematian.
Lalu Erik mengucapkan sebaris kata-kata yang tak terla­
lu bisa dipaharni Christine, "Ya atau tidak! Kalau kau men­
jawab tidak, semua orang akan mati dan terkubur!"
Tetapi aku sepenuhnya memaharni kalimat itu, sebab hal
itu, secara mengerikan, sesuai dengan pikiran buruk yang
ada di benakku.
"Apa kau bisa memberitahu kami di mana Erik?" tanya­
ku.
Ia menjawab bahwa Erik pastilah sudah meninggalkan
rumah.
"Apa kau bisa memastikan?"
"Tidak. Aku diikat. Aku tak dapat bergerak sedikit
pun."
Mendengar ini, M. de Chagny dan aku berteriak marah.
Keselamatan kami beriga
t sepenuhnya bergantung pada
kebebasan bergerak gadis itu.
"Tapi di mana kau berada?" tanya Christine. "Hanya
ada dua pintu di ruanganku, ruangan Louis-Philippe yang
pernah kuceritakan kepadamu, Raoul. Pintu pertama ada­
lah yang sering dipakai Erik keluar-masuk, dan satu pintu
lagi yang tak pernah dibukanya di hadapanku dan ia mela­
rangku masuk ke sana, sebab katanya itu pintu yang pa­
ling berbahaya, pintu kamar penyiksaan!"
"Christine, di sanalah kami!"
"Kalian ada di dalam kamar penyiksaan?"
"Ya, tapi kami tak dapat melihat pintunya."

311
"Oh, andai saja aku bisa menyeret tubuhku ke sana!
Aku akan mengetuk pintunya sehingga kau tahu di mana
letaknya."
"Apakah itu pintu yang memiliki gembok?" tanyaku.
"Ya, digembok."
"Mademoiselle," kataku, "kau benar-benar harus mem­
buka pintu itu bagi kami!"
"Tetapi bagaimana?" tanya gadis malang itu dengan sua­
ra sedih nyaris menangis.
Kami mendengamya bergerak, berusaha membebaskan
diri dari tali yang mengikatnya.
"Aku tahu letak kuncinya," katanya dengan suara yang
terdengar begitu lelah karena telah berusaha keras. "Tapi
aku terikat sangat erat. . . . Oh, si jahat itu!"
Lalu ia terisak.
"Di mana kuncinya?" tanyaku sambil memberi tanda
kepada M. de Chagny untuk tidak berbicara dan menyerah­
kan urusannya kepadaku, sebab kami hanya punya sedikit
sekali waktu.
"Di ruang sebelah, di dekat organ, bersama dengan satu

anak kunci kuningan lainnya yang juga dilarangnya untuk


kusentuh. Kedua kunci itu ada di dalam satu tas kulit kecil
yang disebutnya tas penentu hidup dan mati. Raoul!
Raoul! Lari! Semuanya aneh dan mengerikan di sini, dan
Erik tak lama lagi akan benar-benar marah, dan kau ada
di dalam kamar penyiksaan! Kembalilah dengan cara yang
sama ketika kau datang tadi. Pasti ada alasan mengapa
kamar itu disebut demikian!"
"Christine," kata pemuda itu, "kita akan pergi dari sini
bersama-sama atau mati bersama-sama!"

312
"Kita harus tenang," bisikku. "Mengapa ia mengikatmu,
Mademoiselle? Kau tidak dapat kabur dari rumahnya dan
ia tahu itu!"
"Aku mencoba bunuh diri! Monster itu pergi keluar
semalam setelah membopongku yang pingsan dan separuh
tak sadar terkena kloroform. la pergi menemui bankirnya,
begitu katanya... Ketika a
i kembali, a
i menemukan wajahku
bersimbah darah.... Aku mencoba bunuh diri dengan mem­
benturkan dahiku ke dinding."
"Christine!" erang Raoul, lalu ia mulai terisak.
"Lalu ia mengikatku. . . . Aku tak diizinkan mati sampai
pukul sebelas malam besok."
"Mademoiselle," ujarku, "monster itu mengikatmu. . . dan
ia akan melepaskan ikatan itu. Kau hanya perlu memain­
kan peran yang dibutuhkan! Ingatlah bahwa ia men­
cintaimu!"
"Oh!" kami mendengarnya menjawab. "Bagaimana
mungkin aku melupakan itu!"
"Ingat itu dan tersenyumlah kepadanya . . . memohonlah
kepadanya. . . katakan bahwa ikatan itu menyakitimu."
Tetapi Christine berkata, "Hus... Aku mendengar sesuatu
di dinding arah danau... Ia datang... Pergilah kalian! Pergi!
Pergi!"
"Meskipun kami ingin, kami tidak dapat pergi dari
sini," kataku, sebisa mungkin terdengar meyakinkan.
"Kami tidak dapat meninggalkan tempat ini! Dan kami
berada di dalam kamar penyiksaan!"
"Hus!" bisik Christine lagi.
Langkah-langkah berat terdengar samar-samar di balik
dinding, lalu berhenti dan lantai berderit sekali lagi. Kemu-

313
dian terdengar hela napas keras yang diikuti teriakan ngeri
Christine, lalu kami rnendengar suara Erik, "Maafkan aku
rnernbuatrnu rnelihat wajah yang seperit ini! Betapa ka­
caunya keadaanku sekarang, bukan? Itu kesalahan si orang
lain itu! Mengapa ia rnernbunyikan bel? Apa aku rneminta
orang-orang yang lewat rnernberitahuku jam berapa seka­
rang? Ia tak akan pernah bertanya soal waktu lagi! Itu
kesalahan si rnakhluk penjaga."
Sekali lagi terdengar helaan napas, narnun kali ini lebih
dalarn dan benar-benar datang dari relung jiwa.
"Mengapa kau rnenjerit, Christine?"
"Karena aku kesakitan, Erik."
"Kusangka aku rnernbuatmu ketakutan."
"Erik, lepaskan ikatanku. . . . Bukankah tanpa diikat pun,
aku sudah rnenjadi tawananrnu?"
"Kau akan rnencoba bunuh diri lagi."
"Kau telah rnernberiku waktu sarnpai pukul sebelas be­
sok rnalarn, Erik."
Sekali lagi langkah-langkah kaki itu terdengar rnenjejak
lantai.
"Bagairnanapun juga kita akan rnati bersarna-sarna. . . dan
seperirnu,
t aku juga tak sabar lagi. . . ya, aku juga sudah
rnuak dengan hidup ini. Tunggu, jangan bergerak, aku
akan melepaskan ikatanmu . . . Kau hanya perlu mengucap­
kan satu kata: 'Tidak!' Maka segalanya akan usai bagi semua
orang! Kau benar, kau benar, mengapa rnenunggu sarnpai
pukul sebelas esok malam? Memang, pasti akan lebih me­
gah, lebih bagus.... Tapi itu ornong kosong kekanak-kanak­
an belaka. Kita seharusnya hanya memikirkan diri kita
sendiri dalam hidup ini, tentang kematian kita sendiri . . .

314
yang lain tidak penting. Kau memandangiku karena aku basah
kuyup? Oh, sayangku, di luar hujan teramat deras! Selain
itu, Christine, kurasa aku termakan halusinasi. Kau tahu,
orang yang baru saja membunyikan sirene si makhluk pen­
jaga itu - lihat saja apa ia masih mampu membunyikannya
di dasar danau-well, ia seperti. . . Sudah, berbaliklah. . .apa
kau lega? Kau bebas sekarang. . . . Oh Christine-ku yang
malang, lihatlah pergelangan tanganmu. Apa aku menya­
kiti tanganmu? Aku pantas mati karena melakukannya.
Bicara soal kematian, aku harus menyanyikan lagu kematian
untuknya!"
Aku mendapat firasat buruk setelah mendengar ucapan­
ucapan mengerikan ini. Aku juga pemah rnernbunyikan
bel pintu rurnah monster itu... dan tanpa kusadari, itu
pasti rnenyalakan sejenis tanda peringatan. Dan aku ter­
ingat dua lengan yang rnuncul dari dalarn air sepekat tinta.
Orang malang manakah yang berkeliaran hingga ke tepi
danau itu kali ini? Siapakah "orang lain" itu, yang lagu
kematiannya kini kita dengar?
Erik bemyanyi seperti dewa petir, menyanyikan Dies Irae
yang rnelingkupi karni laksana badai. Unsur-unsur badai
bagai rnengamuk di sekeliling karni. Tiba-iba
t musik dari
organ dan suara itu berhenti begitu rnendadak sehingga
M. de Chagny rnelompat mundur dengan terkejut di batik
dinding yang mernisahkan karni dengannya. Lalu suara itu
benar-benar berubah dan dengan tajarn rnenyuarakan kata­
kata dingin ini, "Apa yang telah kaulakukan terhadap tas-
ku.?"

315
Bab 23
Siksaan Dimulai

Narasi si Orang Persia Berlanjut

SuARA itu mengulang perkataannya dengan marah, "Apa


yang sudah kaulakukan terhadap tasku? Jadi kau memin­
taku melepaskanmu agar kau bisa mengambil tasku!"
Kami mendengar langkah-langkah tergesa dan Christine
berlari kembali memasuki ruangan Louis-Philippe seakan­
akan mencari perlindungan di batik dindingnya, di tempat
kami berada.
"Untuk apa kau lari?" tanya suara penuh amarah yang
mengikutinya. "Kembalikan tas itu kepadaku. Tidakkah
kau tahu bahwa itu tas penentu hidup dan mati?"
"Dengarkan aku, Erik," gadis itu menghela napas. "Kare­
na sudah diputuskan bahwa kita akan hidup bersama...
apa bedanya bagimu?"
"Kau tahu hanya ada dua kunci di dalam situ," kata si
monster. "Apa yang ingin kauperbuat?"
"Aku ingin melihat ruangan yang tak pemah kulihat ini,
ruangan yang selalu kausembunyikan dariku . . . . Ini keingin-

316
tahuan seorang perempuan!11 katanya dengan nada yang
coba dibuatnya terdengar main-main.
Tetapi trik itu terlalu kekanak-kanakan untuk memperda­
ya Erik.
11Aku tidak suka perempuan yang ingin tahu," balasnya,
"dan kau sebaiknya ingat cerita Blue-Beard serta berhati­
hati. Mari, kembalikan tasku... Kembalikan tas itu kepada­
ku! Jangan kauutak-atik kunci itu, gadis kecil yang ingin
tahu!11
Lalu ia terkekeh sementara Christine mengaduh kesakit­
an. Erik jelas-jelas berhasil merebut tas itu darinya.
Pada saat itu, sang viscount tidak dapat menahan diri
untuk tak menjerit marah penuh frustrasi.
11Apa itu?" kata si monster. "Apa kau dengar itu,
Christine?"
"Tidak, tidak," jawab gadis malang itu. "Aku tak mende­
ngar apa-apa."
11Kupikir aku mendengar teriakan.11
11Teriakan! Apa kau sudah gila, Erik? Siapa yang kaupi­
kir akan berteriak di rumah ini? Aku berteriak karena kau
menyakitiku! Aku tak mendengar apa-apa.11
11Aku tak suka caramu mengucapkan itu! Kau gemetar....
Kau gelisah.... Kau bohong! Tadi itu teriakan, ada teriakan!
Ada seseorang di dalam kamar penyiksaan... Ah, aku me­
ngerit sekarang!"
11Tidak ada siapa-siapa di sana, Erik!"
11Aku mengerti!"
11Tidak ada!"
11Mungkin laki-laki yang ingin kaunikahi!11
11Aku tak mau menikahi siapa pun, kau tahu itu."

317
Suara terkekeh mengerikan terdengar lagi.
"Well, tak butuh waktu lama untuk mencari tahu.
Christine, cintaku, kita tidak perlu membuka pintu itu un­
tuk melihat apa yang terjadi di dalam kamar penyiksaan.
Apa kau ingin melihat? Kau mau melihatnya? Lihat! Kalau
ada seseorang, kalau benar-benar ada seseorang di dalam
sana, kau akan melihat jendela tersembunyi di atas sana,
di dekat langit-langit, menyala. Kita hanya perlu menutup
tirai hitam itu dan mematikan lampu di ruangan ini. Cu­
kup begitu saja. . . . Mari kita padamkan lampu! Kau tidak
takut gelap ketika kau bersama suamimu!"
Lalu karni mendengar suara memelas Christine, "Tidak. ..
Aku takut! Kuberitahu ya, aku takut gelap... Aku tak pedu­
li soal kamar itu lagi sekarang... Kau selalu menakut­
nakutiku seperti anak kecil dengan kamar penyiksaanmu!
Karena itu aku jadi ingin tahu . . . . Tapi aku tak peduli lagi
sekarang. . . tak sedikit pun. . . sama sekali tidak!"
Dan sesuatu yang kutakutkan di atas segalanya dimulai
begitu saja. Tiba-tiba karni dibanjiri cahaya! Ya, di sisi
ruangan tempat kami berada, semuanya tampak bersinar.
Sang Vicomte de Chagny begitu terkejut sampai-sampai ia
terhuyung. Lalu suara penuh kemarahan itu membahana:
"Sudah kubilang ada orang di sana! Kaulihat jendela itu
sekarang? Jendela yang menyala, tepat di atas sana? Orang
di balik dinding ini tak dapat melihatnya! Tapi kau harus
menaiki tangga lipat itu, itu gunanya tangga itu di sana...
Kau sudah sering memintaku untuk memberitahumu un­
tuk apa tangga itu, sekarang kau tahu! la ada di situ supa­
ya kita bisa mengintip ke dalam kamar penyiksaan. . . dasar
kau gadis yang selalu ingin tahu!"

318
"Siksaan apa? Siapa yang disiksa? Erik, Erik, katakan
kau hanya rnencoba rnenakut-nakutiku... Katakan, Erik, bila
kau memang mencintaiku! Tidak ada siksaan, bukan?"
"Pergi dan lihatlah ke dalam jendela kecil itu, Sayang!"
Aku tak tahu apa sang viscount mendengar suara nyaris
pingsan gadis itu, sebab ia terlalu sibuk mengamati peman­
dangan menakjubkan yang kini terhampar di hadapannya.
Sementara aku sudah terlalu sering melihat pemandangan
itu lewat jendela kecil pada masa-masa menyenangkan di
Mazandaran. Aku hanya rnemedulikan apa yang dikatakan
di ruang sebelah, mencari tanda-tanda harus berbuat apa
dan membuat keputusan apa.
"Pergi dan mengintiplah rnelalui jendela kecil itu! Berita­
hu aku seperti apa tampangnya!"
Kami mendengar langkah-langkah diseret di dinding.
"Naiklah! Tidak! Tidak, aku sendiri yang akan naik, Sa­
yang!"
"Oh, baiklah, aku akan naik. Lepaskan aku!"
"Oh, sayangku, sayangku! Betapa manisnya dirimu...
Betapa baiknya kau mencegah orang seusiaku bersusah
payah! Beritahu aku seperti apa tarnpangnya!"
Saat itu kami dengan jelas mendengar kata-kata ini di
atas kepala kami, "Tidak ada orang di sana, Sayang!"
"Tak ada orang? Apa kau yakin tak ada siapa pun?"
"Tentu saja... tak seorang pun!"
"Baguslah kalau begitu... Ada apa, Christine? Kau tak
akan pingsan, bukan.. kan tidak ada seorang pun di sana?
.

Kemari. . . turunlah... ya! Tenangkan dirimu... sebab tak


ada siapa-siapa di sana... Tetapi apa kau menyukai peman­
dangannya?"

319
"Oh, suka sekali!"
"Nah, itu lebih baik. Kau sudah baikan sekarang, bukan?
Tidak apa-apa, kau sudah lebih baik! Tidak lagi merasa
gelisah! Dan ini rumah yang lucu, bukan, dengan peman­
dangan semacam itu di dalamnya?"
"Ya, ini seperti Musee Grevin. Tetapi, menurutku, Erik. . .
tidak ada siksaan di dalam sana... Kau telah membuatku
takut!"
"Mengapa. . . bukankah tidak ada seorang pun di dalam
sana?"
"Apa kau merancang ruangan itu sendiri? Sangat indah.
Kau seniman hebat, Erik."
"Ya, seniman hebat dengan caraku sendiri."
"Tapi katakan kepadaku, Erik, mengapa kau menyebut
ruangan itu kamar penyiksaan?"
"Oh, itu mudah saja. Pertama-tama, apa yang kaulihat
tadi?"
"Aku melihat hutan."
"Dan apa yang ada di dalam hutan?"
"Pepohonan."
"Dan apa yang ada di sebatang pohon?"
"Burung-burung."
"Apa kaulihat ada burung?"
"Tidak, aku tidak melihat satu pun."
"Kalau begitu apa yang kaulihat? Pikir! Kau melihat
dahan-dahan! Dan apakah dahan-dahan itu?" tanya suara
yang mengerikan itu. "Tiang gantungan! Itulah mengapa
aku menyebut hutanku kamar penyiksaan! Kaulihat kan,
semua ini lelucon Aku tidak mengekspresikan diriku layak­
nya orang-orang lain. Tapi aku sudah sangat lelah dengan

320
semua ini! Aku muak memiliki hutan dan kamar penyik­
saan di dalam rumahku serta hidup seperti penipu di sua­
tu rumah yang lantainya palsu... Aku sudah muak! Aku
ingin punya flat yang nyaman dan sepi dengan pintu-pintu
dan jendela-jendela normal serta seorang istri di dalamnya,
seperti yang dirniliki orang lain! Seorang istri yang dapat
kucintai dan kuajak berjalan-jalan di hari Minggu serta
kubahagiakan di hari-hari biasa. Sini, apa kau mau kutun­
jukkan beberapa trik kartu? Itu akan membantu kita meng­
habiskan beberapa menit sambil menanti jam sebelas esok
malam.... Christine kecilku tersayang... Apa kau mende­
ngarkanku? Katakan kau mencintaiku. Tidak, kau tak men­
cintaiku. . . tapi tak apa, nanti kau pasti mencintaiku! Kau
pernah tak mampu menatap topengku sebab kau tahu apa
yang ada di baliknya.... Dan sekarang kau tak keberatan
menatapnya dan kau lupa apa yang ada di baliknya! Sese­
orang bisa membiasakan diri terhadap segalanya. . . kalau
ia memang mau. Banyak anak muda yang tidak saling pe­
duli sebelum menikah berubah menjadi begitu memuja
satu sama lain setelahnya! Oh, aku tak tahu apa yang kuka­
takan ini! Tapi kau akan mengalami begitu banyak kegem­
biraan bersamaku. Misalnya, aku adalah ahli suara perut
terhebat yang pemah ada, bahkan akulah ahli suara perut
pertama di dunia! Kau tertawa.... Mungkin kau tak perca­
ya padaku? Dengarkan."
Si celaka yang memang adalah ahli suara perut pertama
di dunia itu hanya berusaha mengalihkan perhatian gadis
itu dari kamar penyiksaan, tetapi itu rencana konyol, sebab
Christine tak memikirkan apa-apa selain kami! Gadis itu
berulang kali memohon kepadanya dengan nada suara pa-

321
ling lembut yang bisa diucapkannya, "Matikan cahaya di
jendela kecil itu... Erik, tolong matikan cahaya di jendela
kecil itu!"
Sebab gadis itu melihat bahwa cahaya yang tiba-tiba
muncul dan dibicarakan oleh si monster dengan suara
yang begitu mengancam itu pastilah menandakan sesuatu
yang mengerikan. Ada yang membuatnya tenang sejenak,
dan itu adalah mengetahui dengan melihat sendiri bahwa
kami berdua masih hidup dan baik-baik saja di balik din­
ding ini, di tengah-tengah cahaya yang begitu terang. Tapi
ia pasti akan merasa jauh lebih baik kalau cahaya itu dipa­
damkan.
Sementara itu, yang satu lagi sudah mulai bermain seba­
gai si ahli suara perut. la berkata, "Lihat, aku mengangkat
topengku sedikit. . . . Oh, hanya sedikit kuangkat! Kaulihat
bibirku, sebentuk bibir yang kumiliki ini? Bibir ini tidak
bergerak! Mulutku terkatup-bentuk yang adalah mulutku
ini- tetapi kau mendengar suaraku. Di mana kau mau

mendengarnya? Di telinga kirimu? Telinga kananmu? Di


meja? Di kotak-kotak kayu hitam di atas perapian itu? De­
ngar, Sayang, suara itu muncul dari kotak kecil di sebelah
kanan perapian. Kaudengar apa katanya? 'Apa aku sebaiknya
memutar kalajengking itu?' Dan sekarang, nah! Apa yang
dikatakannya di kotak kecil di sebelah kiri? 'Apa aku sebaik­
nya memutar belalang itu?' Sekarang, nah! la ada di dalam
tas kulit kecil ini . . Apa katanya? 'Aku adalah tas kecil
. .

penentu hidup dan mati!' Sekarang ia ada di tenggorokan


Carlotta, tenggorokan emas Carlotta yang sebening kristal!
Apa katanya? Ia bilang, 'Ini aku, Mr. Kodok, dan aku ber­
nyanyi! Aku merasa aman - kro-ok - atas melodinya yang mem-

322
bungkusku kro-ok!'
- Dan sekarang, nah! Ia ada di kursi di
'Madame Carlotta
boks balkon milik si hantu dan ia berkata,
malam ini bernyanyi untuk menjatuhkan lampu gantung itu!'
Dan sekarang, nah! Aha! Di mana suara Erik sekarang?
Dengarkan, Christine sayang! Dengarkan! Ia ada di balik
pintu kamar penyiksaan! Dengar! Itu aku sendiri di dalam
kamar penyiksaan! Dan apa yang kukatakan? Aku berkata,
'Celakalah mereka yang memiliki hidung, hidung yang
asli, dan datang untuk melihat-lihat kamar penyiksaan!
Aha, aha, aha!"
Betapa mengerikan suara si ahli suara perut itu! Suara
itu ada di mana-mana, di segala penjuru! Suara itu menye­
linap melalui jendela kecil tersembunyi itu, menembus
dinding. Suara itu berlari mengelilingi kami, berada di
antara kami. Erik ada di sana, berbicara kepada kami!
Kami bergerak seakan-akan hendak menerkamnya. Tetapi,
dengan cepat dan lebih cekatan daripada gema, suara Erik
telah melompat kembali ke balik dinding!
Setelah itu kami tak mendengar apa pun juga, sebab
inilah yang tetjadi:
"Erik! Erik!" terdengar suara Christine. "Kau membuatku
lelah dengan suaramu. Berhenti, Erik! Tidakkah hawa di
sini sangat panas?"
"Oh, ya," jawab suara Erik, "panasnya tak tertahan­
kan!"
"Tapi apa artinya? Dinding ini benar-benar mulai terasa
panas ... Dinding ini terbakar!"
"Kuberitahu kau, Christine sayang. Ini karena hutan di
ruangan sebelah."
"Apa hubungannya dengan hutan itu?"

323
"Tidakkah kaulihat bahwa itu hutan Afrika?"
Lalu monster itu tertawa begitu keras dan mengerikan
sehingga kami tak dapat lagi mendengar teriakan per­
mohonan Christine! Vicomte de Chagny berteriak dan me­
mukul-mukul dinding layaknya orang gila. Aku tak dapat
menahannya untuk tak berbuat itu. Tapi kami tak bisa
mendengar apa-apa lagi selain tawa monster itu, dan mons­
ter itu sendiri tak mungkin bisa mendengar suara lain.
Lalu terdengar suara orang tetjatuh ke lantai dan diseret
pergi, kemudian suara pintu dibanting dan setelah itu
tidak ada suara. Tidak ada suara lain di sekitar kami selain
kesunyian yang membakar, di jantung suatu hutan
tropis!

324
Bab24
"Tong kayu! Tong kayu! Ada yang mau beli
tong kayu?"

Narasi si Orang Persia Berlanjut

SuoAH kusebutkan bahwa ruangan tempat M. le Vicomte


de Chagny dan aku dikurung adalah ruangan biasa berben­
tuk segi enam yang dinding-dindingnya sepenuhnya ditu­
tupi oleh cermin. Ruangan-ruangan semacam ini bisa dite­
mui setelahnya, biasanya pada pameran-pameran, dan
disebut "istana ilusi" atau semacam itu. Tetapi penemuan
itu sepenuhnya rnilik Erik yang membangun ruangan jenis
ini pertama kalinya di hadapanku pada masa-masa menye­
nangkan di Mazandaran. Suatu benda dekorasi, pilar misal­
nya, ditempatkan di salah satu sudutnya, maka langsung
terciptalah suatu ruangan besar dengan seribu pilar. Sebab
berkat cermin-cermin itu, ruangan yang sesungguhnya
digandakan enam kali menjadi enarn ruangan segi enam
yang masing-masingnya juga mengalami penggandaan se­
hingga pada akhimya jurnlah ruangan yang tercipta tidak
terbatas. Tetapi sultan kecil itu tak lama kemudian bosan
dengan ilusi kanak-kanak ini, dan karena itulah Erik meng-

325
ubah temuannya ini menjadi suatu "kamar penyiksaan."
Sebagai ganti benda arsitektural di salah satu sudutnya,
Erik menempatkan sebatang pohon besi. Pohon dengan
lukisan daun-daun yang menghiasinya ini persis seperti
pohon asli, dan benda ini dibuat dari besi supaya tahan
terhadap segala serangan yang dilancarkan oleh para "pa­
sien" yang dikunci di dalam kamar penyiksaan itu. Kita
akan melihat bagaimana pemandangan yang tercipta ini
seketika diubah menjadi dua pemandangan lain secara ber­
turut-turut dengan menggunakan rotasi otomatis dari
drum atau roda yang ada di sudut-sudut. Pemandangan
itu dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan sudut-sudut

dari cermin yang ada, dan masing-masing cermin itu me­


miliki peran dalam menghadirkan pemandangan yang ter­
cipta ketika roda-roda itu berputar pada porosnya.
Dinding-dinding ruangan ganjil ini tidak memiliki apa
pun untuk dijadikan senjata oleh pasien yang dimasukkan
ke sana, sebab selain benda dekoratif yang kokoh itu, din­
dingnya hanya berlapiskan cermin yang cukup tebal untuk
bertahan terhadap serangan apa pun dari si korban yang
dilemparkan ke dalam ruangan itu dengan tangan kosong
serta tak beralas kaki.
Tidak ada perabot. Langit-langitnya dapat dinyalakan.
Suatu sistem pemanasan elektrik yang cerdik, yang ditiru
orang di kemudian hari, memungkinkan suhu dinding ser­
ta ruangan itu dinaikkan sesuai keinginan.
Aku memberikan semua detail dari suatu temuan sem­
purna, yang dengan bantuan beberapa dahan yang sudah
dicat, menghasilkan ilusi gaib atas suatu hutan khatulistiwa
yang terpanggang di bawah matahari tropis, sehingga tak

326
seorang pun bisa meragukan keseimbangan pikiranku atau
merasa layak mengataiku gila, berdusta, atau membodohi­
nya.9
Sekarang aku akan kembali kepada kenyataan yang ter­
jadi saat itu. Ketika langit-langit menyala terang dan terli­
hatlah hutan itu di sekeliling kami, sang viscount merasa­
kan keterkejutan yang teramat sangat. Hutan yang tampak
begitu lebat tak berujung dengan pokok dan dahan yang
tak terhitung jurnlahnya membuat pemuda itu terdiam nge­
ri. Ia meletakkan tangannya di dahi, seakan berusaha meng­
enyahkan suatu mimpi, matanya berkedip-kedip, dan un­
tuk sesaat, ia lupa untuk terus memasang telinga.
Aku sudah mengatakan bahwa pemandangan hutan itu
sama sekali tidak mengagetkanku, dan karenanya aku men­
jadi pihak yang mendengarkan apa yang tetjadi di ruangan
sebelah. Akhirnya perhatianku secara khusus tertambat
bukan pada pemandangan yang terhampar, tetapi lebih
kepada cermin-cermin yang mewujudkannya. Cermin-cer­
min ini pecah di beberapa bagian. Ya, ada cacat dan gurat­
an di permukaan cermin, telah adanya "tanda" meskipun
cermin-cermin ini teramat kuat membuktikan kepadaku
bahwa kamar penyiksaan tempat kami berada sekarang ini
pernah digunakan sesuai Jungsinya.
Ya, sesosok makhluk malang, yang masih beralas kaki
dibandingkan para korban pada masa-masa menyenangkan
di Mazandaran, pastilah jatuh ke dalam "ilusi kematian"

9Sangat bisa dimaklumi bahwa ketil<a si orang Persia menuliskan ini, ia harus
betjaga-jaga terhadap segala macam keraguan yang datang dari sa i pa pun
yang mungkin membaca tulisannya. Di zaman sekarang ini, ketika kita semua
sudah pemah melihat ruangan semacam ini, tindakan orang Persia itu tampak
berlebihan.

327
ini dan karena begitu marah, ia menendangi cennin-cennin
yang terus membisu sambil memantulkan penderitaannya.
Dan dahan pohon yang digunakannya untuk mengakhiri
kesengsaraannya itu telah diatur sedemikian rupa sehingga
sebelum mati, sebagai hiburan terakhir baginya, ia melihat
seribu orang mengejang kesakitan bersamanya.
Ya, tak diragukan lagi Joseph Buquet mengalami semua
ini! Apakah kami akan mati seperti halnya dia? Kupikir
tidak, sebab aku tahu kami masih punya beberapa jam dan
aku bisa menggunakannya dengan lebih baik daripada
yang mampu dilakukan Joseph Buquet. Bagaimanapun
juga, aku sepenuhnya kenal dengan sebagian besar "trik"
milik Erik, dan sekaranglah saatnya untuk menggunakan
apa yang kuketahui.
Pertama-tama, aku mengenyahkan pikiran untuk kembali
ke jalan yang telah membawa kami ke kamar terkutuk itu.
Aku tidak ambil pusing soal kemungkinan membuka batu
di bagian dalam yang menutup jalan itu, sebab hal itu sen­
diri adalah sesuatu yang mustahil. Kami jatuh dari keting­
gian yang cukup ke dalam kamar penyiksaan ini, dan ti­
dak ada perabot apa-apa yang dapat membantu kami
mencapai lubang itu, termasuk dahan pohon besi itu mau­
pun bila salah satu dari kami memanjat bahu yang lain.
Hanya ada satu jalan keluar yang mungkin, yaitu pintu
menuju ruangan Louis-Philippe tempat Erik dan Christine
berada. Tetapi, meskipun jalan ini terlihat seperti pintu
biasa dari sisi Christine, ia sama sekali tak tampak oleh
kami. Karenanya kami harus berusaha membuka pintu itu
tanpa mengetahui di mana keberadaan pastinya.
Ketika aku merasa cukup yakin bahwa tak ada harapan

328
yang bisa datang dari Christine, pada saat aku mendengar
monster itu menyeret si gadis malang keluar dari ruangan
Louis-Philippe karena takut ia akan mencampuri proses penyik­
saan kami, aku memutuskan untuk bertindak saat itu
juga.
Namun pertama-tama aku harus menenangkan M. de
Chagny yang sudah mulai mondar-mandir seperti orang
gila seraya berteriak-teriak tak jelas. Potongan-potongan
percakapan yang didengamya antara Christine dan mons­
ter itu sudah cukup untuk membuatnya gila, ditambah
shock yang ditimbulkan hutan ajaib serta panas membakar
yang mulai membuat keringat turun dari dahinya, pasti
tidak susah bagi Anda untuk membayangkan kondisi pikir­
an pemuda itu. la meneriakkan nama Christine, meng­
acungkan pistolnya, membenturkan dahinya ke cermin
dalam usahanya menerjang roboh hutan ilusi itu. Singkat­
nya, siksaan itu mulai berefek pada pikiran yang tak siap
menghadapinya.
Aku berusaha sebaik mungkin menyadarkan viscount
malang itu dan membuatnya berpikir logis. Aku menyuruh­
nya menyentuh cerrnin-cerrnin itu dan pohon besi beserta
dahan-dahannya, Ialu menjelaskan kepadanya dengan
menggunakan hukum optik tentang segala pemandangan
terang yang mengelilingi karni, dan itulah mengapa karni
tidak boleh membiarkan diri karni menjadi korban layak­
nya orang-orang lain yang tak tahu apa-apa.
"Kita berada di suatu ruangan, satu ruangan kecil, dan
itu yang harus terus kaukatakan kepada dirimu. Dan kita
akan meninggalkan ruangan ini begitu kita menemukan
pintunya."

329
Dan aku betjanji kepadanya bahwa bila ia membiarkanku
berusaha tanpa diganggu oleh teriakan dan gerakan
mondar-mandirnya, aku akan berhasil menemukan trik
pintu itu dalam waktu kurang dari satu jam.
Kemudian, karena tak ada hal lebih baik yang dapat
dilakukannya, ia berbaring di lantai, seperti yang umum
dilakukan orang di hutan, dan menyatakan bahwa ia akan
menunggu sampai aku menemukan pintu hutan itu! la
juga menambahkan bahwa dari tempatnya berbaring itu,
"pemandangannya begitu menakjubkan!" Siksaan itu tetap
bekerja rupanya, terlepas dari segala hal yang telah kukata­
kan kepadanya.
Sementara, tanpa memedulikan hutan itu, aku mengham­
piri satu panel cermin dan mulai merabai permukaannya,
mencari titik lemah untuk ditekan guna memutar pintunya
sesuai dengan sistem pivot yang digunakan Erik. Titik le­
mah ini bisa saja berupa suatu noda yang tak lebih besar
dari sebutir kacang polong, dan di baliknya tersembunyi
suatu pegas. Aku terus mencari. Aku meraba cermin itu
setinggi tanganku mampu menjangkau. Erik kurang-lebih
setinggi aku, maka kupikir ia tidak akan menempatkan
pegas itu lebih tinggi dari perawakan tubuhnya.
Ketika meraba panel-panel cermin selanjutnya dengan
saksama, aku berusaha keras untuk bekerja secepat mung­
kin karena aku semakin merasa kepanasan dan kami
benar-benar dipanggang di hutan menyilaukan itu.
Aku sudah bekerja selama setengah jam dan telah meme­

riksa tiga panel cermin ketika seruan dari sang viscount


membuatku menoleh kepadanya.
"Aku mulai susah bemapas," katanya. "Semua cermin

330
ini menguarkan panas dari dalam! Apakah kau akan
segera menemukan pegas itu? Kalau masih lama, kita akan
terpanggang hidup-hidup!"
Aku paham mengapa ia berbicara seperti itu. Ia tak
mengatakan apa-apa sebelumnya tentang hutan ini dan
aku berharap akal sehat rekanku ini akan bertahan lebih
lama terhadap siksaan yang ada. Namun ia melanjutkan,
"Yang membuatku tenang adalah monster itu memberi
Christine waktu hingga pukul sebelas besok malam. Kalau
kita tidak bisa keluar dari sini dan menolongnya, paling
tidak kita akan mati lebih dulu daripada dia! Dengan begi­
tu lagu kematian Erik berlaku untuk kita semua!"
Lalu ia menghirup dalam-dalam udara panas yang nya­
ris membuatnya pingsan.
Karena aku tak seputus asa M. le Vicomte yang sudah
siap menyongsong kematian, aku kembali ke panel cermin­
ku setelah memberikan kata-kata penyemangat kepadanya.
Tetapi aku melakukan kesalahan. Aku melangkah maju
ketika berusaha menghibur pemuda itu, sehingga di tengah
kerumitan ilusi yang dimunculkan oleh hutan ini, aku tak
dapat menemukan panel cerminku yang tadi! Aku harus
mulai lagi dari awal, kembali lagi memilih satu panel cer­
min kemudian meraba-raba dan merasakan seluruh permu­

kaannya.
Sekarang kecemasan itu berganti melandaku. . . sebab
aku tidak dapat menemukan apa-apa, nol. Ruang sebelah
begitu sunyi. Kami cukup bingung di dalam hutan itu, tan­
pa jalan keluar, kompas, petunjuk, atau apa pun. Oh, aku
tahu apa yang akan menanti kami bila tak ada orang yang
datang menolong... atau kalau aku tak menemukan pegas

331
itu! Namun sekeras apa pun aku mencari, yang kudapati
hanyalah dahan-dahan, cabang-cabang pohon yang indah
yang berdiri tegak di hadapanku atau dengan anggun
memayungi kepalaku. Tetapi semua itu tak memberi tem­
pat teduh. Dan ini cukup wajar, sebab kami berada di hu­
tan tropis dengan matahari tepat di atas kepala. Hutan
Afrika.
M. de Chagny dan aku sudah berkali-kali melepaskan
dan mengenakan kembali mantel kami karena kami rnerasa
mantel itu rnembuat kami semakin gerah, tapi di lain pi­
hak ia juga melindungi kami dari panas ini. Mentalku ma­
sih rnenunjukkan perlawanan, tetapi bagiku tampaknya M.
de Chagny sudah cukup rnenyerah. Ia bersikap seolah-olah
telah berjalan selama tiga hari tiga malam di hutan itu
demi rnencari Christine Daae! Beberapa kali ia merasa rneli­
hat gadis itu di belakang pohon atau berayun di dahan­
dahan, dan ia memohon-mohon kepada gadis itu dengan
rnemilukan hingga terbit air mataku. Kemudian, akhimya
ia berkata, "Oh, aku amat haus!" serunya dengan nada
mengigau.
Aku juga haus. Tenggorokanku serasa terbakar. Namun
aku tetap berjongkok di lantai dan tak mau menyerah men­
cari pegas yang akan rnembuka pintu tersernbunyi itu . . .
karena bila malam sernakin mendekat, akan sernakin berba­
haya bagi kami berada di hutan itu. Bayang-bayang malam
sudah rnulai melingkupi kami. ltu terjadi begitu cepat, pe­
tang tiba dengan cepat di negara-negara tropis . . . begitu
tiba-tiba, nyaris tanpa senja.
Malam hari di hutan-hutan tropis selalu berbahaya, khu­
susnya bila seperti kami sekarang ini yang tak punya apa

332
pun untuk menyalakan api yang akan menjauhkan para
binatang buas. Aku sudah mencoba rnematahkan dahan­
dahan itu untuk kubakar dari api lentera redupku, tetapi
aku menabrak cermin-cermin itu dan tersadar bahwa yang
ada di hadapan kami hanyalah pantulan-pantulan dahan.
Panas udara yang ada tidak melenyap bersama cahaya
siang. Sebaliknya, udara kini terasa kian panas di bawah
sinar kebiruan bulan. Aku mendesak viscount itu untuk
memegang senjata-senjata karni dalam keadaan siaga tem­
bak dan tak meninggalkan tempat sementara aku terus
mencari pegasku itu.
Tiba-tiba kami mendengar auman singa dari beberapa
meter jauhnya.
"Oh," bisik viscount itu, "singa itu cukup dekat! Tidak­
kah kau melihatnya? Itu . . . di balik pohon-pohon. . . di
kerimbunan itu.... Kalau ia mengaum lagi, aku akan
menembak!"
Lalu auman itu terdengar lagi, lebih keras dari sebelum­
nya. Dan viscount itu menembak, tapi kurasa ia tak menge­
nai singa itu. la hanya memecahkan salah satu cermin
sebagaimana yang kudapati keesokan paginya. Kami pasti
telah berjalan cukup jauh malam itu, sebab karni tiba-tiba
berada di tepi gurun, di tepi hamparan luas pasir, batu,
dan karang. Sia-sia saja meninggalkan hutan itu hanya un­
tuk sampai di padang gurun ini. Kelelahan, aku mengem­
paskan diri di samping sang viscount, aku tidak kuat lagi
mencari pegas yang tak kunjung kutemukan.
Aku cukup heran - dan kukatakan ini kepada sang
viscount-bahwa kami tidak menjumpai binatang berbaha­
ya lainnya semalam. Biasanya, setelah singa itu muncullah

333
macan tutul dan terkadang dengungan lalat tsetse. Mudah
saja menghasilkan efek-efek suara itu, dan aku menjelaskan
kepada M. de Chagny bahwa Erik menirukan auman singa
dengan menggunakan drum atau tamborin panjang yang
bertutupkan kulit keledai di salah satu ujungnya. Pada ku­
lit ini ia mengikatkan senar dari isi perut binatang yang
diikatkan pada satu lagi senar serupa hingga sepanjang
drum itu. Erik hanya perlu menggosok senar itu dengan
sarung tangan berlumur getah dan, tergantung bagaimana
ia menggosoknya, ia bisa menirukan dengan sempuma
auman singa atau macan tutul, atau bahkan dengung lalat
tsetse.
Kemungkinan bahwa Erik ada di ruangan sebelah kami
dan melakukan triknya membuatku tiba-tiba memutuskan
untuk berunding dengannya, sebab kami sudah membuang
jauh pikiran untuk menyerangnya secara tiba-tiba. Dan
sekarang ia pastilah sudah menyadari siapa yang berada
di dalam kamar penyiksaannya. Aku memanggilnya, "Erik!
Erik!"
Aku berteriak sekuat tenaga mengatasi luas gurun ini,
tetapi tidak ada jawaban. Di sekeliling kami hanya ada ke­
senyapan dan kegersangan teramat luas dari gurun berba­
tu. Apa yang akan terjadi kepada kami di tengah-tengah
keterasingan yang mengerikan seperti itu?
Kami benar-benar mulai sekarat karena panas, lapar, dan
haus. . . terutama karena haus. Akhimya aku melihat M. de
Chagny bangkit bertumpu pada sikunya, lalu menunjuk
pada satu titik di cakrawala. la telah menemukan oase!
Ya, jauh di sana terlihat oase . . . oase berair jernih yang
memantulkan bayangan pohon-pohon besi! Percuma saja,

334
itu hanya fatamorgana. Aku langsung mengenalinya. . .
yang paling mengerikan dari ketiganya! Tak ada yang
mampu melawannya. . . tak seorang pun. . . . Aku telah ber­
juang sekuat tenaga untuk tetap waras dan tak mengharap­
kan air, sebab aku tahu bahwa bila seseorang mengharap­
kan adanya air, air yang memantulkan bayangan pohon
besi, dan bila setelah semua harapan itu temyata yang
didapatinya adalah cermin belaka, maka tinggal satu hal
yang akan dilakukannya: gantung diri di pohon besi itu!
Maka aku berseru kepada M. de Chagny, "Itu hanya
fatamorgana... Fatamorgana! Jangan percaya air itu! Itu
satu lagi tipu daya dari cermin-cerrnin ini!"
Tapi dengan ketus ia menyuruhku diam, tak mengoceh
lagi tentang tipu daya cermin, pegas, pintu putar dan
istana ilusiku! Dengan marah ia menyatakan bahwa aku
pastilah buta atau gila menyangka bahwa seluruh air yang
mengalir di sana di antara pepohonan menakjubkan yang
tak terhingga jumlahnya itu bukanlah air sungguhan.
Gurun itu nyata... Begitu juga hutan itu! Dan tidak ada
gunanya berusaha meyakinkan sang viscount... sebab ia
adalah pengelana yang sarat pengalaman. . . ia telah berke­
lana ke segala tempat!
Lalu ia merangkak sambil berkata, "Air! Air!"
Dan mulutnya terbuka, seakan-akan sedang rninum.
Dan mulutku juga terbuka, seakan-akan sedang rni-
num.
Sebab karni tidak hanya melihat air, kami mendengarnya!
Kami mendengarnya mengalir, karni mendengarnya beriak!
Apa kau mengerti kata "riak?" . . . !tu suara yang kaudengar
dengan lidahmu... Kau menjulurkan lidah.mu keluar dari

335
mulutmu supaya mampu mendengarkannya dengan lebih
baik!
Yang terakhir-dan ini adalah siksaan paling kejam di
antara semuanya -kami mendengar hujan namun tak ada
hujan yang turun! Ciptaan dari neraka... Oh, aku tahu per­
sis bagaimana Erik melakukannya! la mengisi suatu kotak
sempit yang sangat panjang dengan batu-batu kecil. Bagian
dalam kotak itu memiliki tonjolan-tonjolan dari besi dan
kayu. Maka, ketika jatuh, batu-batu itu menabrak tonjolan­
tonjolan itu dan memantul, menabrak satu sama lain,
sehingga hasilnya adalah serangkaian suara derai yang
begitu mirip dengan hujan badai.
Ah, kau harus melihat bagaimana kami menjulurkan li­
dah kami dan menyeret tubuh kami ke arah tepian sungai
yang mengalir dan beriak itu! Mata dan telinga karni dipe­
nuhi air, tetapi lidah kami kaku dan kering seperti tan­
duk!
Ketika kami mencapai cermin itu, M. de Chagny menji­
latnya... dan aku juga menjilat cermin itu.
Panasnya bukan main!
Lalu kami bergulingan di lantai, mengeluarkan teriakan
keras penuh keputusasaan. M. de Chagny menodongkan
satu-satunya pistol yang masih berpeluru ke kepalanya
sendiri, dan aku menatap laso Punjab di kaki pohon besi
itu. Aku tahu mengapa pohon besi itu ada lagi di pergan­
tian pemandangan ketiga ini... Pohon besi itu menantiku!
Tetapi, ketika aku memandangi laso Punjab itu, aku meli­
hat sesuatu yang membuatku berteriak begitu keras hingga
M. de Chagny menunda usaha bunuh dirinya. Aku meme­
gangi lengannya. Lalu aku menarik pistol itu menjauh . . .

336
kemudian dengan betjalan di atas lututku aku mengham­
piri benda yang kulihat tadi.
Telah kutemukan, di dekat laso Punjab itu, di tengah
guratan alur di lantai, aku melihat paku hitam yang aku
tahu betul fungsinya. Akhirnya aku menemukan pegas itu!
Aku meraba paku itu. Aku mendongak dengan wajah ber­
binar ke arah M. de Chagny. Paku hitam itu melesak ke-
tika kutekan... .
Setelah itu. . .
Setelah itu kami tidak menjumpai pintu yang membuka
di dinding, melainkan suatu tingkap yang terbuka di lan­
tai. Udara sejuk naik menuju kami dari dalam lubang hi­
tam itu. Kami berlutut di atas persegi gelap itu seperti se­
dang berlutut di pinggir sumur berair jernih. Dengan dagu
tenggelam di dalam bayangan sejuknya, kami menghirup­
nya.
Kemudian kami membungkuk semakin dan semakin da­
lam dari tepian lubang pintu jebak itu. Apakah yang mung­
kin ada di dalam ruang bawah tanah yang membuka di
hadapan kami itu? Air? Air yang bisa diminum?
Aku menjulurkan lenganku ke dalam kegelapan dan ta­
nganku menyentuh batu, lalu satu batu lagi. . . anak tang­
ga. . . tangga gelap yang menuju ruang bawah tanah. Sang
viscount ingin lari memasuki lubang itu, tetapi karena
khawatir adanya tipu muslihat lain dari si monster, aku
menghentikan pemuda itu, lalu menyalakan lenteraku dan
turun terlebih dahulu.
Tangga itu berkelok-kelok dan terus menuju kegelapan
pekat. Tetapi rasakan, betapa sejuknya kegelapan dan anak­
anak tangga itu, bukan? Danau itu pasti tak jauh dari sini.

337
Tak lama kami sampai di dasar tangga. Mata kami mu­
lai terbiasa dengan kegelapan yang ada, mulai bisa membe­
dakan bentuk-bentuk yang ada di sekeliling kami. . . sesua­
tu yang bundar. . . kusorotkan lenteraku ke sana.

Tong kayu!
Kami berada di ruang bawah tanah Erik: pasti di sinilah

tempat ia menyimpan anggurnya atau mungkin juga air


minumnya. Aku tahu Erik pencinta anggur bagus. Ah, ba­
nyak anggur yang bisa diminum di sini!
M. de Chagny menepuk benda-benda bundar itu dan
berulang-ulang berkata, "Tong kayu! Tong kayu... Begitu
banyak tong kayu!"
Memang, jumlah tong kayu yang ada cukup mence­
ngangkan dan tong-tong itu diatur dalam dua baris yang
sirnetris, masing-rnasing di kanan dan kiri karni. Tong-tong
kayu itu berukuran kecil dan kupikir Erik pastilah memilih
ukuran itu supaya mudah dibawa ke rumah di tepi danau
itu.
Kami memeriksa tong-tong itu satu per satu, mencari
tahu apa ada corong di salah satunya, tanda bahwa tong
itu telah diambil isinya entah kapan. Tapi semua tong ter­
tutup luar biasa rapat.
Lalu, setelah separuh mengangkat salah satunya untuk
memastikan isinya penuh, kami meletakkannya di lantai
dan berlutut. Dengan menggunakan bilah pisau kecil yang
kubawa, aku bersiap menusuk lubang isiannya.
Pada saat itu aku seakan-akan mendengar sernacam lagu
monoton datang dari jauh, lagu yang kukenal dengan baik,
yang sering kudengar diucapkan di jalan-jalan Paris, "Tong
kayu! Tong kayu! Ada yang mau beli tong kayu?"

338
"Oh, aku bersumpah," kata sang viscount, "nyanyian itu
tertelan tumpukan tong ini... "

Kami berdiri dan memeriksa di belakang tong itu.


"Di dalamnya," kata M. de Chagny, "ia ada di dalam!"
Tapi kami tak mendengar apa-apa di sana dan memutus-
kan pastilah ini gara-gara kondisi pancaindra kami yang
sedang payah. Lalu karni kembali ke lubang isian itu. M.
de Chagny menaruh kedua tangannya tepat di bawah lu­
bang itu dan dengan satu usaha terakhir aku menusuk lu­
bang itu hingga keluar isinya.
"Apa ini?" seru sang viscount. "Ini bukan air!"
Viscount itu mendekatkan kedua tangannya yang terisi
penuh ke arah lenteraku. Aku membungkuk untuk melihat­
nya . . . dan seketika kulemparkan lentera itu sekuat tenaga
hingga pecah dan padam, meninggalkan kami di dalam
kegelapan total.
Yang kulihat di tangan M. de Chagny . . . adalah bubuk
mesiu!

339
Bab 25
Kalajengking atau Belalang: Yang Mana?

Akhir Cerita si Orang Persia

TEMUAN itu membuat kami begitu tersentak hingga kami


lupa dengan segala penderitaan yang kami rasakan tadi
rnaupun sekarang. Kini kami rnengerti rnaksud si monster
ketika ia berkata kepada Christine Daae, "Ya atau tidak!
Kalau kau menjawab tidak, semua orang akan mati dan
terkubur!"
Ya, terkubur di bawah puing-puing Grand Opera Paris!
Monster itu rnemberinya waktu hingga pukul sebelas
rnalam. Ia mernilih waktunya dengan tepat. Pada jam itu
akan ada banyak orang, banyak "umat manusia," di atas
sana, di teater. Adakah rombongan yang lebih baik bagi
pemakamannya? Ia akan masuk ke liang kubur dengan
diantar oleh orang-orang paling terhormat di dunia, leng­
kap dengan perhiasan yang paling mahal.
Jam sebelas besok malam!
Kita semua akan diledakkan hingga hancur berkeping-

340
keping di tengah-tengah pementasan... kalau Christine
Daae berkata tidak!
Jam sebelas besok malam!
Tetapi jawaban apa lagi yang akan diberikan Christine
kecuali tidak? Tidakkah ia akan lebih memilih menikahi
kematian itu sendiri daripada mayat hidup itu? la tidak
tahu bahwa pada penerimaan atau penolakannya terletak
nasib begitu banyak orang!
Jam sebelas besok malam!
Lalu kami terhuyung-huyung menembus kegelapan, me­
raba-raba jalan menuju tangga batu itu, sebab cahaya dari
pintu jebak di langit-langit yang mengarah pada ruangan
penuh cermin itu kini telah padam. Dan kami berulang­
ulang berkata, "Jam sebelas besok malam!"
Akhirnya aku menemukan tangga itu. Tapi tiba-tiba aku
berdiri tegak di anak tangga pertamanya, sebab satu pikir­
an mengerikan terlintas di kepalaku, "Jam berapa seka­
rang?"
Ah, jam berapa? Bagaimanapun juga, jam sebelas besok
malam bisa saja sekarang ini, saat ini juga! Siapa yang bisa
memberitahu kami jam berapa sekarang? Kami serasa telah
ditawan dalam neraka itu selama berhari-hari... bertahun­
tahun. . . bahkan sejak awal mula dunia tercipta. Mungkin
kami akan hancur diledakkan saat ini juga, di sini! Ah, ada
suara! Ada letusan!
"Kaudengar itu? Di sana, di sudut. . . ya Tuhan! Seperti
bunyi mesin... Lagi! Oh, andai ada cahaya! Mungkin itu
mesin yang akan meledakkan semuanya! Kuberitahu ya,
itu bunyi letusan. Apa kau tuli?"
M. de Chagny dan aku mulai berteriak-teriak seperti

341
orang gila. Rasa takut memacu kami. Kami begitu terburu­
buru rnenaiki anak-anak tangga itu, tetjatuh beberapa kali,
tapi kami tak peduli. Apa pun asal bisa melarikan diri dari
kegelapan ini, untuk kembali ke cahaya rnenyiksa di ruang­
an penuh cermin itu!
Kami mendapati pintu jebak itu masih terbuka, tetapi
ruangan itu kini sama gelapnya dengan ruang bawah
tanah yang kami tinggalkan. Kami merangkak di lantai
kamar penyiksaan itu, lantai yang memisahkan kami dari
bubuk mesiu. Jam berapa ini? Kami berteriak dan memang­
gil-manggil. M. de Chagny menyerukan nama Christine,
sementara aku memanggil Erik. Aku mengingatkannya
bahwa aku pemah menyelamatkan nyawanya. Tapi tak
ada jawaban. Yang ada hanya rasa putus asa dan kegilaan
kami. Jam berapa? Kami berdebat dan berusaha menghi­
tung waktu yang telah kami habiskan di tempat ini, tapi
kami tak sedang dalarn keadaan mampu berpikir jernih.
Andai saja ada jam yang bisa kami lihat! Jarnku sudah
mati, tetapi jam M. de Chagny masih berputar.... la bilang
ia memutarnya sebelum bersiap-siap pergi ke Opera. Kami
tak punya korek api. . . . Tapi kami harus tahu jam berapa
sekarang. M. de Chagny memecahkan kaca jam rniliknya
dan meraba kedua jarumnya. la memeriksa posisi kedua
jarum itu dari lingkaran tengahnya. Berdasarkan jarak anta­
ra kedua jarum itu, menurutnya sekarang jam sebelas!
Tapi mungkin saja ini bukan jam sebelas yang kami ta­
kutkan. Mungkin kami masih punya dua belas jam ke de­
pan!
Tiba-tiba aku berseru, "Hus!"
Sepertinya aku mendengar langkah kaki di ruang sebe-

342
lah. Seseorang mengetuk dinding. Lalu suara Christine
Daae terdengar berkata, "Raoul! Raoul!"
Kami semua sekarang berbicara bersamaan di sisi din­
ding masing-masing. Christine terisak, ia tidak yakin akan
mendapati M. de Chagny masih hidup. Sepertinya monster
itu menyiksanya dengan tak melakukan apa pun selain
terus mengoceh, menunggu gadis itu menjawab "iya" -ja­
waban yang tak kunjung diberikannya. Tetapi Christine
menjanjikan jawaban "iya" itu kepadanya asalkan ia mau
membawa gadis itu ke dalam kamar penyiksaan. Erik de­
ngan keras kepala menolak dan mengeluarkan berbagai
ancaman mengerikan terhadap urnat manusia! Akhirnya,
setelah berjam-jam yang mirip neraka, monster itu pergi
meninggalkan Christine untuk berpikir terakhir kalinya.
"Berjam-jam? Jam berapa sekarang? Jam berapa ini,
Christine?"
"Jam sebelas! Lima menit sebelum jam sebelas!"
"Tapi jam sebelas yang mana?"

"Jam sebelas yang menentukan hidup atau mati! Ia


mengatakan itu kepadaku persis sebelurn pergi.... la benar­
benar mengerikan. la marah: ia merobek topengnya dan
mata kuningnya memercikkan api... Ia tak melakukan apa
pun selain tertawa. la berkata, 'Kuberi kau lima menit un­
tuk menyelamatkan hidupmu! lni,' katanya sambil menge­
luarkan anak kunci dari dalam tas kecil penentu hidup
dan mati, 'ini anak kunci untuk membuka dua kotak kayu
di atas perapian ruangan Louis-Philippe. . . . Di salah satu
kotak itu kau akan menemukan kalajengking, dan belalang
di yang satu lagi. Keduanya buatan Jepang, berbahan pe­
runggu dan begitu mirip dengan aslinya. Mereka yang

343
akan memberikan jawaban ya atau tidak milikmu itu. Jika
kau memutar kalajengkingnya, bila aku kembali nanti, aku
akan mengartikan kau menjawab ya. Sedangkan belalang
akan berarti tidak.' Lalu ia tertawa seperti iblis mabuk.
Aku terus memohon-mohon kepadanya untuk memberikan
kunci ke kamar penyiksaan, berjanji akan menjadi istrinya
bila ia mengabulkan permintaanku. . . . Tapi ia berkata bah­
wa kunci itu tidak akan ada gunanya lagi dan ia akan
membuangnya ke dasar danau! Dan ia sekali lagi tertawa
bagai iblis mabuk, lalu meninggalkanku. Oh, kata-kata ter­
akhirnya adalah, '"Belalang itu! Hati-hati dengan belalang
itu! Seekor belalang tidak hanya berputar: ia melompat! Ia
melompat! Dan ia melompat sungguh tinggi!'"
Lima menit itu hampir lewat dan kalajengking serta bela­

lang itu mengganggu pikiranku. Meski begitu aku masih


cukup mampu berpikir jernih untuk memahami bahwa jika
belalang itu diputar, ia akan melompat... dan membawa
serta begitu banyak orang! Tak diragukan lagi bahwa bela­
lang itu mengatur arus listrik yang dimaksudkan untuk
meledakkan bubuk mesiu tadi!
M. de Chagny, yang tampaknya telah benar-benar sadar
begitu mendengar suara Christine, dengan tergesa-gesa
menjelaskan kepada gadis itu situasi yang sedang kita se­
mua hadapi. Ia menyuruh Christine segera memutar kala­
jengkingnya.
Sunyi.
"Christine," teriakku, "kau ada di mana?"
"Di samping kalajengking ini."
"Jangan sentuh!"
Tiba-tiba terlintas dalam benakku -sebab aku mengenal

344
Erik-ku -bahwa monster itu mungkin saja mengelabui ga­
dis itu sekali lagi. Mungkin kalajengking itulah yang akan
meledakkan semuanya. Dan selain itu, mengapa Erik tidak
ada di sana? Lima menit telah lama berlalu. . . dan ia tidak
kembali. . . . Mungkin ia sudah berlindung entah di mana
dan menunggu ledakan itu terjadi! Mengapa ia belum kem­
bali? Ia tak mungkin benar-benar beranggapan Christine
akan dengan suka rela menyerahkan dirinya! Mengapa ia
belum kembali?
"Jangan sentuh kalajengking itu!" kataku.
"Ia datang!" seru Christine. "Aku mendengarnya! la da­
tang!"
Kami mendengar langkah kakinya mendekat ke ruangan
Louis-Philippe. la bergerak ke arah Christine, tapi tak ber­
kata apa-apa. Maka aku membuka suara, "Erik! lni aku!
Kau mengenaliku?"
Dengan ketenangan yang menakjubkan ia langsung men­
jawab, "Jadi kau belum mati di sana? Well, kalau begitu
diamlah."
Aku mencoba berbicara, tetapi dengan dingin ia menja­
wab, "Tidak satu kata pun, Daroga, atau aku akan mele­
dakkan semuanya." Lalu ia melanjutkan, "Mademoiselle
ini diserahi kehormatan untuk memilih. . . . Mademoiselle
belum menyentuh kalajengkingnya" -betapa entengnya ia
berbicara! - "Mademoiselle belum menyentuh belalang­
nya" -lagi-lagi dengan tenang! -"tapi sudah terlambat
untuk melakukan apa yang benar. Nah, telah kubuka ko­
tak itu tanpa kunci, sebab aku seorang pencinta pintu-jebak
dan aku membuka serta menutup apa pun yang aku mau,
sebagaimana yang aku mau. Aku membuka kotak-kotak

345
kayu hitam ini: Mademoiselle, lihatlah benda-benda mena­
rik di dalamnya. Benda-benda ini cantik, kan? Kalau kau
memutar belalangnya, Mademoiselle, kita semua akan mele­
dak. Ada bubuk mesiu dalam jumlah cukup banyak di
bawah kaki kita untuk meledakkan seperempat kota Paris.
Kalau kau memutar kalajengkingnya, Mademoiselle, semua
bubuk mesiu itu akan basah dan tenggelam dalam air.
Mademoiselle, untuk merayakan pernikahan kita, kau akan
memberikan hadiah paling indah kepada sekian ratus war­
ga Paris yang sekarang ini bertepuk tangan untuk karya
Meyerbeer yang buruk . . . kau akan memberi mereka ha­
diah berupa hidup mereka. . . . Sebab, dengan tangan cantik­
mu sendiri kau akan memutar kalajengking itu. . . . Dan kita
akan menikah dengan penuh kegembiraan!"
Diam, kemudian, "Jika, dalam dua menit, Mademoiselle,
kau belum memutar kalajengking itu, aku akan memutar
belalangnya. . . dan belalang itu, kuberitahu kau, melompat
sangat tinggi!"
Kesunyian yang mencekam kembali melanda. Menyadari
tak ada lagi yang dapat dilakukan selain berdoa, Vicomte
de Chagny berlutut dan berdoa. Sedangkan aku, jantungku
berdegup begitu kencang hingga aku harus meme-gangi
dadaku dengan kedua tangan, khawatir jantungku akan
meledak. Akhirnya kami mendengar suara Erik, "Dua me­
nit telah lewat. . . . Selamat tinggal, Mademoiselle. . . . Melom­
patlah, belalang!"
"Erik," seru Christine, "apa kau bersumpah kepadaku,
Monster, apa kau bersumpah kepadaku bahwa kalajeng­
king itulah yang harus kuputar?"
"Ya, untuk melompat di pernikahan kita."

346
"Ah, benar bukan! Kaubilang untuk melompat!"
"Di pernikahan kita, dasar gadis lugu! Kalajengking itu
akan membuka pesta kita. . . . Tapi sudah cukup! Kau tak
menginginkan kalajengking itu? Kalau begitu biar kuputar
belalangnya!"
"Erik!"
"Cukup!"
Aku berteriak bersama-sama dengan Christine. M. de
Chagny masih berlutut dan berdoa.
"Erik! Aku sudah memutar kalajengkingnya!"

Oh, satu detik penuh yang kami lewati!


Menunggu!
Menunggu mendapati diri karni tercerai-berai di antara
ledakan dan puing-puing!
Kami merasakan sesuatu meletus di bawah kaki kami,
mendengar bunyi mendesis teramat keras melalui pintu
jebak yang terbuka itu, bunyi desis seperit yang keluar
dari roket!
Suara itu mula-mula lembut, semakin keras, lalu teramat
keras. Tapi itu bukan suara desis api. Lebih seperti desis
air. Dan sekarang suara itu berubah menjadi suara gelegak:

"Glegak! Glegak!"
Kami bergegas mendekati pintu jebak itu. Rasa haus
kami yang tadi hilang ketika teror itu terjadi, kini kembali
bersama suara gemuruh air.
Air bertambah naik di ruang bawah tanah, menengge­
lamkan tong-tong kayu berisi bubuk mesiu itu-"Tong
kayu! Tong kayu! Ada yang mau bell tong kayu?" -dan

347
kami menyambutnya dengan kerongkongan kerontang. Air
itu nail< hingga ke dagu kami, ke mulut kami. Maka kami
meminumnya. Kami berdiri di lantai ruang bawah tanah
itu dan minum. Lalu kami kembali menaiki tangga itu di
dalam gelap, selangkah demi selangkah, naik bersama
air.
Air itu keluar dari dalam ruang bawah tanah bersama­
sama kami dan membanjiri lantai ruangan. Jika ini berlan­
jut, seluruh rumah di tepi danau ini akan tergenang. Lantai
kamar penyiksaan ini sendiri telah berubah menjadi danau
kecil yang menggenangi kaki kami. Airnya pasit sudah cu­
kup sekarang! Erik harus mematil<an kerannya!
"Erik! Erik! Airnya sudah cukup untuk semua bubuk
mesiu itu! Matikan kerannya! Putar kalajengkingnya!"
Tapi Erik tak menjawab. Kami tak mendengar apa pun
kecuali bunyi air yang semakin tinggi: sudah akan menca­
pai pinggang kami!
"Christine!" teriak M. de Chagny. "Christine! Aimya su­
dah setinggi lutut kami!"
Tapi Christine diam saja. . . . Kami hanya mendengar bu­
nyi air naik.
Tak ada orang, tak ada siapa pun di ruangan sebelah.
Tak ada yang memutar kerannya, tak seorang pun memu­
tar kalajengking itu!
Hanya ada kami berdua di dalam gelap bersama dengan
air berwarna gelap yang menyergap kami, mendekap dan
membekukan kami!
"Erik! Erik!"
"Christine! Christine!"
Pada saat ini, kami sudah kehilangan pijakan dan berpu-

348
tar-putar bersama air, terseret pusaran yang begitu kuat,
sebab air itu berputar bersama kami dan membenturkan
kami ke cermin gelap yang melemparkan kami kembali.
Dan dari kepala kami yang berada di atas permukaan air,
kami tak henti-hentinya berteriak dengan keras.
Apakah kami akan mati di sini, tenggelam di kamar pe­
nyiksaan? Aku tak pernah melihat hal seperti ini. Sewaktu
di masa-masa menyenangkan di Mazandaran, Erik tak per­
nah menunjukkan ini kepadaku melalui jendela kecil yang
tersembunyi itu.
"Erik! Erik!" teriakku. "Aku pernah menyelamatkan nya­
wamu! Ingatlah! Kau dihukum mati! Tanpa aku, kau sudah
mati sekarang! Erik!"
Kami terus berputar di air seperti barang rongsokan. Te­

tapi, tiba-tiba tanganku yang menggapai-gapai memegang


batang pohon besi itu! Aku memanggil M. de Chagny, dan
kami berdua berpegangan pada dahan pohon besi itu.
Dan air itu terus naik semakin tinggi.
"Oh! Oh! Apakah kau ingat? Berapa jauh jarak antara
cabang-cabang pohon ini dan langit-langit ruangan berben­
tuk kubah ini? Cobalah mengingat ... Pada akhimya air ini
akan berhenti, ia pasti mencapai batas ketinggiannya... Nah,
kurasa air rnulai berhenti! Tidak, tidak, oh, betapa mengeri­
kannya... Berenanglah! Berenanglah demi nyawamu!"
Lengan kami bertautan seiring usaha kami untuk bere­
nang. Kami tersedak. Kami berjuang di dalam air yang
gelap, dan kami mulai kesulitan bemapas dengan udara
yang tersisa, udara yang terdengar kabur dan menghilang
melalui lubang ventilasi atau semacamnya.
"Oh, biarlah kita berputar dan terus berputar sampai

349
kita menemukan lubang udara itu dan menempelkan mu­
lut kita ke sana!"
Tapi aku kehilangan tenagaku. Aku mencoba berpegang­
an pada dinding-dinding! Oh, betapa licinnya dinding-din­
ding cermin ini!... Kami terbawa berputar lagi... Kami mu­
lai tenggelam! Satu usaha terakhir... Teriakan terakhir,
"Erik! Christine!"
"Glegak, glegak, glegak!" terdengar di telinga kami.
"Glegak! Glegak!" Di dasar air yang gelap itu, telinga karni
mendengar, "Glegak! Glegak!"
Dan, sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, di anta­
ra bunyi gelegak yang satu dan yang lain aku seakan men­
dengar: "Tong kayu! Tong kayu! Ada yang mau beli tong
kayu?"

350
Bab26
Akhir Kisah Cinta Si Hantu

BAB sebelumnya adalah akhir dari narasi tertulis yang diwa­


riskan oleh si orang Persia.
Meskipun situasi saat itu begitu mencekam dan tampak
akan mengantar mereka berdua menemui ajal, M. de
Chagny beserta rekannya itu diselamatkan oleh kesetiaan
yang sungguh mulia dari Christine Daae. Dan cerita selan­
jutnya ini kudapatkan langsung dari mulut si daroga itu
sendiri.
Ketika aku datang menemuinya, a
i masih tinggal di flat­
nya yang kecil di Rue de Rivoli, di seberang Tuileries. Ia
sakit parah, dan dibutuhkan segenap semangatku sebagai
ahli sejarah yang bersumpah mengejar kebenaran untuk
membujuknya kembali mengenang tragedi luar biasa itu
demi kepentinganku. Pelayan setianya, Darius, mengantar­
ku masuk menemuinya. Daroga itu menerimaku di sebelah
jendela yang menghadap tarnan Tuileries. Tatapan rnatanya
masih cemerlang, tetapi wajahnya terlihat begitu tua. la
telah menggunduli kepalanya yang biasa bertutupkan topi

351
wol, mengenakan mantel panjang polos dan senang memu­
tar-mutar kedua ibu jarinya di dalam lengan mantel itu
tanpa sadar. Tetapi pikirannya masih cukup jernih, dan ia
menceritakan kepadaku kisah itu dengan sangat jelas.
Tampaknya, ketika siuman, si daroga ini mendapati diri­
nya terbaring di atas tempat tidur. M. de Chagny terbaring
di sofa, di samping lemari. Satu malaikat dan satu iblis
mengamati mereka.
Setelah segala tipuan dan ilusi di dalam kamar penyik­
saan, semua detail yang ada di ruangan kecil tak mewah
yang tenang ini seakan-akan sengaja diciptakan untuk
membuat bingung pikiran orang-orang yang dengan gega­
bah memasuki tempat kediaman monster mengerikan ini.
Ranjang dari kayu, kursi-kursi mahoni berpelitur, lemari
berlaci, benda-benda dari kuningan itu, kain-kain alas ber­
bentuk persegi yang dengan hati-hati ditempatkan di
sandaran kursi-kursi, jam di atas perapian dan dua kotak
kayu biasa saja yang masing-masing diletakkan di ujung­
nya, dan terakhir, lemari etalase kecil yang dipenuhi oleh
kulit kerang, bantalan jarum, miniatur kapal, serta satu te­
lur raksasa dari burung onta, kesemuanya itu samar-samar
diterangi oleh satu lampu meja bertudung yang ada di atas
satu meja bundar kecil. Koleksi perabot yang buruk namun
rnasuk akal dan umum di dasar ruang bawah tanah Opera ini
membingungkan imajinasi mereka lebih daripada segala
peristiwa fantastis yang terjadi sebelurnnya.
Dan sosok laki-laki bertopeng itu terlihat jauh lebih
berwibawa di ruangan kecil yang kuno dan rapi ini. la
membungkuk di atas si orang Persia dan berbisik di teli­
nganya, "Apa kau merasa lebih baik, Daroga? Kau meng-

352
amati perabotanku? Cuma ini yang kuwarisi dari ibuku
yang malang."
Christine Daae tidak mengucapkan satu kata pun. la ber­
gerak tanpa suara, seperti biarawati yang telah mengambil
kaul hening. Ia membawakan entah secangkir anggur atau
teh panas untuknya, si orang Persia itu tak bisa mengingat
dengan pasti. Laki-laki bertopeng itu mengambil cangkir
dari tangan gadis itu dan menyodorkannya kepada si
orang Persia. M. de Chagny masih tertidur.
Erik menuangkan setetes rum ke dalam cangkir si
daroga, lalu sambil menunjuk ke arah sang viscount ia ber­
kata, "Ia sudah siuman lama sebelum kami tahu bahwa
kau masih hidup, Daroga. Kondisinya cukup baik. Ia se­
dang idur.
t Jangan kita bangunkan dia."
Erik pergi dari ruangan itu sebentar, dan si orang Persia
mengangkat tubuhnya dengan berlandaskan sikunya, meli­
hat sekeliling dan mendapati Christine Daae duduk di
samping perapian. Ia mengatakan sesuatu pada gadis itu,
memanggilnya, tetapi ia masih sangat lemah sehingga ja­
tuh kembali ke atas bantalnya. Christine menghampirinya,
menempelkan tangannya di dahi laki-laki itu kemudian
menjauh Iagi. Dan si orang Persia ingat bahwa ketika
Christine pergi, tidak sekali pun ia menoleh ke M. de
Chagny yang memang sedang tertidur pulas saat itu. Lalu
gadis itu duduk lagi di kursinya di samping sudut per­
apian, sama sekali tak bersuara seperti biarawati yang te­
lah berkaul hening.
Erik kembali dengan beberapa botol kecil yang diletak­
kannya di atas perapian. Dan setelah duduk di samping si
orang Persia itu dan memeriksa denyut nadinya, ia sekali

353
lagi berbisik supaya tak membangunkan M. de Chagny,
"Sekarang kalian berdua sudah selamat. Dan aku akan se­
gera membawa kalian ke atas demi menyenangkan hati istri-
ku.II
Setelah itu ia bangkit, dan tanpa penjelasan apa-apa ia
pergi lagi.
Orang Persia itu kini mengamati sosok diam Christine
di bawah cahaya lampu. Gadis itu sedang membaca buku
kecil dengan pinggiran yang mengilap, seperit buku aga­
ma. Ada edisi The Imitation yang mirip seperti itu. Si orang
Persia masih bisa mendengar nada wajar yang dipakai so­
sok itu ketika berkata, "demi menyenangkan hati istriku.11
Dengan pelan orang Persia itu memanggil Christine lagi,
tetapi gadis itu begitu asyik dengan bukunya sehingga tak
mendengarnya.
Erik kembali, membuatkan minuman bagi si daroga dan
menyarankan kepadanya untuk tidak berbicara pada /1istri­
nya11 lagi atau siapa pun,sebab itu bisa jadi sangat berbahaya
bagi keselamatan semua orang.
Akhirnya orang Persia itu tertidur, seperti M. de
Chagny, dan tidak terbangun sampai ia telah berada di
kamarnya sendiri dan dirawat oleh Darius yang setia.
Darius memberitahunya bahwa kemarin malam ia ditemu­
kan bersandar pada pintu rumahnya, diantar oleh seorang
asing yang membunyikan bel rumahnya sebelum pergi.
Segera setelah si daroga pulih kekuatan dan pikirannya,
ia mencari tahu kabar sang viscount di kediaman Count
Philippe. Jawaban yang didapatnya adalah pemuda itu be­
lum terlihat dan Count Philippe temyata sudah meninggal.
Mayatnya ditemukan di tepi danau di Opera, di sisi Rue-

354
Scribe. Si orang Persia teringat lagu kematian yang dide­
ngarnya di balik dinding kamar penyiksaan, dan ia merasa
yakin tentang apa yang terjadi. Begitu baiknya ia mengenal
Erik, dengan mudah ia bisa merekonstruksikan tragedi itu.
Berpikir bahwa adiknya telah lari bersama dengan
Christine Daae, Philippe bergegas mengejar mereka di
sepanjang Brussels Road, jalan yang diketahuinya sebagai
tempat segala sesuatu yang berkaitan dengan kepergian
mereka dipersiapkan. Namun ketika tak menemukan sepa­
sang kekasih itu di sana, ia bergegas kembali ke Opera
karena teringat cerita Raoul atas saingan hebatnya. Kemu­
dian ia mengetahui bahwa si viscount telah berusaha mati­
matian untuk masuk ke ruang bawah tanah gedung teater
itu dan menghilang setelahnya, meninggalkan topinya di
ruang ganti sang primadona, di sebelah kotak pistol yang
kosong. Lalu sang bangsawan yang menjadi percaya de­
ngan segala kegilaan adiknya itu bergegas memasuki la­
birin bawah tanah celaka itu seorang diri. Bagi si orang
Persia, hal ini sudah cukup untuk menjelaskan ditemukan­
nya mayat sang Comte de Chagny di tepi danau tempat
sirene milik Erik.
Orang Persia itu tak lagi memiliki keraguan. Ia memutus­
kan untuk memberitahu pihak kepolisian. Kini kasusnya
ditangani oleh seorang hakim penyidik bernama Faure,
seseorang yang dangkal, biasa-biasa saja, meragukan, (aku
menuliskan apa yang kupikirkan saat ini), dengan pikiran
yang benar-benar tidak siap menerima rahasia sebesar ini.
M. Faure mengabaikan pernyataan si daroga dan mengang­
gapnya orang gila.
Putus asa menunggu panggilan untuk bersaksi di peng-

355
adilan, si orang Persia memutuskan untuk menuliskan se­
muanya. Bila pihak kepolisian tidak menginginkan bukti­
bukti yang dirnilikinya, mungkin pihak media akan senang
menerimanya. Dan ia baru saja menuliskan baris terakhir
dari kisah yang kukutip pada bab-bab sebelurnnya ketika
Darius memberitahunya tentang kedatangan seorang asing
yang menolak memberikan namanya rnaupun menunjukkan
wajahnya, yang hanya mengatakan bahwa ia tidak akan
meninggalkan tempat itu sampai ia berbicara dengan si
daroga.
Orang Persia itu langsung merasa tahu siapa yang da­
tang dan menyuruh pelayannya mempersilakan tamu itu
masuk. Si daroga benar. Tamu itu si hantu, Erik!
Erik terlihat sangat lemah dan bersandar di dinding se­
akan-akan takut jatuh. Ketika ia melepaskan topinya, terli­
hat dahi seputih lilin. Seluruh wajah yang mengerikan itu
terlindung di balik topeng.
Si orang Persia bangkit berdiri ketika Erik masuk.
"Pembunuh Count Philippe, apa yang telah kaulakukan
pada adiknya dan Christine Daae?"
Erik terhuyung mendapatkan serangan telak ini. Ia diam
sejenak, kemudian bersusah payah duduk di kursi dan
menghela napas dalam-dalam. Lalu dengan terbata-bata ia
mengucapkan rangkaian kata-kata pendek ini, "Daroga,
jangan berbicara padaku. . . tentang Count Philippe. . . . la
sudah mati. .. keika
t . . . aku meninggalkan rumahku . . . ia
sudah mati. . . waktu... sirene itu berbunyi. Itu kecelakaan. . .
yang menyedihkan. . .kecelakaan. . . yang teramat menyedih-
kan. Ia jatuh dengan cara yang aneh . . . tetapi terjadi de­
ngan begitu saja. . . ke dalam danau!"

356
"Kau bohong!" teriak si orang Persia.
Erik menundukkan kepalanya dan berkata, "Aku tidak
datang kemari . . . untuk membicarakan Count Philippe . . .
tetapi untuk memberitahumu . . . bahwa aku... akan
mati ...."
"Di mana Raoul de Chagny dan Christine Daae?"
"Aku akan mati. . . ."
"Raoul de Chagny dan Christine Daae?"
"Karena cinta . . . Daroga. . . aku sekarat. . . karena cinta.
Itulah yang terjadi. ... Aku sangat mencintainya! Dan aku
masih mencintainya. . . Daroga... dan aku sekarat karena
cintaku kepadanya, aku . . . kukatakan itu kepadamu! Andai
kau tahu seberapa cantik dia . . . ketika dia mengizinkanku
menciumnya. . . di saat hidup ... . Itu kali pertama. . . kali

pertama, Daroga, pertama. . . kali aku mencium seorang


perempuan. Ya, di saat hidup . . . . Aku menciumnya saat
hidup. . . dan ia terlihat sama cantiknya andaikan ia telah
mati!"
Orang Persia itu mencengkeram dan mengguncang le­
ngan Erik.
"Beritahu aku apakah dia masih hidup atau mati."
"Mengapa kau mengguncangku seperti itu?" tanya Erik,
berusaha berbicara dengan lebih lancar. "Aku memberitahu­

mu bahwa aku akan mati. . . . Ya, aku menciumnya di wak­


tu dia hidup . . . ."
"Dan sekarang dia sudah mati?"
"Kuberitahu kepadamu, aku menciumnya begitu saja di
keningnya. . . dan dia tidak menjauhkan keningnya dari bi­
birku! Oh, dia gadis yang baik! Tentang apakah dia sudah
mati, kukira tidak. Tapi itu tak ada hubungannya dengan-

357
ku. . . . Tidak, tidak, dia tidak mati! Dan tak ada seorang
pun yang boleh menyentuhnya, barang seujung rambut
pun! Dia gadis yang baik dan tulus, dan dia menyelamat­
kan nyawamu, Daroga, di saat-saat aku sama sekali tak
peduli apakah kau hidup atau mati. Malah, tak ada yang
peduli denganmu. Mengapa kau di sana bersama pemuda
itu? Kau dan dia bisa saja mati! Oh, betapa gadis itu me­
mohon-mohon kepadaku demi pemuda itu! Tapi kukatakan
kepadanya bahwa karena ia telah memutar kalajengking
itu, itu artinya ia secara sadar memutuskan untuk menjadi
tunanganku dan pada kenyataannya ia tak membutuhkan
lebih dari satu laki-laki untuk menjadi tunangannya.
"Sedangkan kau, kau tidak ada, kau sudah tak masuk
hitungan, dan kau akan mati bersama yang lainnya! Hanya
saja, dengarkan ini, Daroga, ketika kau berteriak kesetanan
karena air itu, Christine mendatangiku dengan mata biru­
nya yang menatapku penuh-penuh, dan bersumpah kepa­
daku bahwa ia bersedia menjadi istriku dalam hidup ini!
Sebelum saat itu, Daroga, aku selalu melihat sosok istri
yang terpaksa di dalam matanya. Itu pertama kalinya aku
melihat perempuan yang rela menjadi istriku di sana. Ia begi­
tu tulus dan percaya. Ia tidak akan membunuh dirinya.
Suatu kesepakatan tercapai . . . . Setengah menit kemudian,
semua air itu telah kembali ke danau, dan aku harus beker­
ja keras menyelamatkanmu, Daroga, sebab aku berani ber­
sumpah kukira kau sudah mati... Ternyata tidak! Kau ma­
sih di sana... Aku tahu aku harus membawa kalian berdua
ke atas. Ketika akhirnya aku selesai membereskan ruang
Louis-Philippe untukmu, aku kembali seorang diri."
"Apa yang telah kaulakukan terhadap Vicomte de

358
Chagny?" tanya si orang Persia, memotong cerita laki-laki
itu.
"Ah, begini, Daroga. Aku tidak dapat langsung memba­
wanya ke atas begitu saja. Dia adalah sandera. . . . Tapi aku
juga tak dapat menempatkannya di rumah danau itu juga
karena ada Christine di sana, maka aku mengurungnya.
Aku merantainya dengan nyaman-setelah menghirup cair­
an dari Mazandaran, ia menjadi lemah tak berdaya -di
penjara bawah tanah kelompok Komunis, tempat yang pa­
ling terpencil dan sepi dari Opera ini, di bawah ruang ba­
wah tanah tingkat kelima, tempat yang tak didatangi se­
orang pun dan karenanya tak akan ada seorang pun yang
mendengar suaramu. Lalu aku kembali ke Christine. Ia
sedang menantiku . . . ."
Pada bagian ini Erik berdiri dengan khidmat. Lalu ia
melanjutkan ceritanya. Tetapi, seiring ia berbicara, ia kem­
bali diliputi emosi yang sebelumnya tampak dan tubuhnya
mulai gemetar. "Ya, ia sedang menantiku. . . menantiku de­
ngan tegak berdiri dan hidup, sesosok pengantin sungguh­
an dan bernyawa. . . yang tulus dan percaya. Dan, ketika. . .
aku melangkah maju, lebih malu-malu dari. . . seorang anak
kecil, ia tidal< lari... tidak, tidal<. . . ia tetap di sana. . . ia me­
nantiku. Aku bahkan percaya. . . Daroga. . . bahwa a
i menyo-
dorkan dahinya . . . sedikit. . . oh, tidak banyak. . . sedikit
saja. . . seperti seorang pengantin.... Dan. . . dan ... aku . . .
menciumnya! Aku... Aku... Aku... Dan ia tidak mati! Oh,
betapa senang rasanya, Daroga, mencium seseorang di ke­
ningnya! Kau tak mungkin paham... Tapi aku! Aku! lbuku,
Daroga, ibuku yang malang dan sedih itu tak pemah. . .
membiarkanku menciurnnya. Ia biasanya lari menjauh. . .

359
dan melemparkan topengku kepadaku! Begitu juga perem­
puan lain... tidak pernah, tidak pernah! Ah, kau tentu pa­
ham, aku begitu bahagia sampai aku menangis. Dan aku
bersimpuh di kakinya, menangis. . . dan aku mencium kaki­
nya . . . kakinya yang mungil ... sambil menangis. Kau juga
menangis, Daroga. . . begitu juga dia. . . malaikat itu mena­
ngis!"
Erik terisak keras dan orang Persia itu pun tak mampu
menahan air matanya di hadapan laki-laki bertopeng yang
memegangi dadanya dan dengan bahu berguncang menge­
rang karena rasa sakit dan cinta.
"Ya, Daroga. . . aku merasakan air matanya mengalir di
dahiku . . . di dahiku, rnilikku! Titik-titik air mata itu lem­
but. . . manis! Air mata menetes dan mengalir ke balik to­
pengku . . . bergabung dengan air mata yang ada di mata­
ku... mengalir di antara bibirku. Dengarkan, Daroga,
dengarkan apa yang kulakukan. Aku merobek topengku
supaya aku tak kehilangan air matanya barang setetes
pun... dan gadis itu tidak lari dariku! Dan ia tidak mati!
la tetap hidup, menangis di atasku, menangis bersamaku.
Kami menangis bersama! Aku telah mencecap segala keba­
hagiaan yang dapat ditawarkan dunia ini!"
Lalu Erik terempas ke kursi, berusaha keras bemapas,
"Ah, aku belum akan mati . . . tak lama lagi . . . tapi biarkan
aku menangis! Dengar, Daroga. . . dengarkan ini.... Ketika
aku bersimpuh di kakinya. . . aku mendengarnya berkata,
'Erik yang malang dan masygul!' Lalu ia meraih tanganku!
Dan aku tak ubahnya seperti seekor anjing malang yang
siap mati baginya. Aku sungguh-sungguh, Daroga! Di da­
lam genggamanku terdapat cincin, cincin emas polos yang

360
pemah kuberikan kepadanya. . . yang dihilangkana
ny . . . dan
yang kutemukan kembali. . . cincin kawin, kau tahu kan....
Aku menyelipkannya ke dalam tangan mungilnya dan ber­
kata, 11Nah... Ambillah... Ambillah untukmu. . .dan dia. ltu
hadiah pernikahan dariku... hadiah dari Erik-mu yang ma­
lang dan sedih. Aku tahu kau mencintai pemuda itu. . . ja­
ngan menangis lagi!' Dengan suara teramat lembut ia
bertanya padaku apa maksudku.... Lalu aku menjelaskan
kepadanya bahwa baginya aku hanyalah seekor anjing ma­
lang yang rela mati demi dirinya. . . tapi ia dapat menikah
dengan pemuda itu kapan pun ia mau, sebab ia telah me­
nangis bersamaku dan menyatukan air matanya dengan air
mataku!11
Erik begitu emosional sampai-sampai ia harus merninta
orang Persia itu untuk tak memandang ke arahnya, sebab
ia tersengal-sengal dan harus melepas topengnya. Daroga
itu berjalan ke arah jendela dan membuka daun jendela
itu. Hatinya begitu iba, tapi ia memastikan pandangannya
tetap tertuju pada pepohonan di taman Tuileries, khawatir
ia akan tergerak untuk melihat wajah monster itu.
11Aku pergi dan membebaskan pemuda itu," lanjut Erik,
11dan memberitahunya untuk ikut bersamaku menemui
Christine .... Mereka berciuman di hadapanku di ruang
Louis-Philippe. Christine mengenakan cincinku .... Aku
merninta Christine berjanji untuk kembali, suatu malam
nanti ketika aku mati, menyeberangi danau dari arah Rue­
Scribe, dan menguburku dengan diam-diam bersama de­
ngan cincin emas itu, cincin yang akan terus dipakainya
hingga saat itu tiba. Aku memberitahukan tempat ia bisa
menemukan jasadku dan apa yang harus dilakukannya....

361
Lalu Christine menciurnku, untuk pertama kalinya, atas
keinginannya sendiri, di sini, di dahiku -jangan menoleh,
Daroga! -di sini, tepat di dahi . . . di dahiku, rnilikku -ja­
ngan menoleh, Daroga! - lalu mereka pergi bersama­
sama . . . . Christine telah berhenti menangis. Aku menangis
sendirian. . . . Daroga, Daroga, kalau Christine menepati janji­
nya, ia akan kembali tak lama lagi!"
Orang Persia itu tak bertanya apa-apa lagi. la cukup ya­
kin dengan nasib Raoul Chagny dan Christine Daae. Tak
seorang pun akan meragukan kata-kata Erik yang mena­
ngis tersedu malam itu.
Monster itu memasang kembali topengnya dan mengum­
pulkan kekuatannya untuk meninggalkan si daroga. Ia
berkata bahwa bila ia merasa ajalnya telah dekat, sebagai
balas budi atas kebaikan yang pemah diterimanya, ia akan
mengirimkan kepada kepala polisi itu benda-benda rnilik­
nya yang paling berharga: semua surat Christine Daae yang
ditulis untuk Raoul sebelum ia pergi dengan Erik dan be­
berapa barang rnilik gadis itu, seperti sepasang sarung ta­
ngan, gesper sepatu, dan dua saputangan saku. Sebagai
jawaban atas pertanyaan si orang Persia, Erik memberita­
hunya bahwa segera setelah sepasang anak muda itu bebas,
mereka bertekad untuk pergi mencari pendeta di daerah
terpencil tempat mereka bisa bersembunyi bersama keba­
hagiaan mereka dan karenanya mereka memulai perjalanan
itu dari "stasiun kereta di sebelah utara dunia ini." Terakhir,
Erik menyerahkan semuanya kepada si orang Persia untuk
memberitahu pasangan tersebut tentang kematiannya dan
memasang pemberitahuan di harian Epogue segera setelah
ia menerima semua surat dan benda yang dijanjikan.

362
Hanya itu. Si orang Persia mengantar Erik hingga ke
pintu flatnya dan Darius membantunya menuruni tangga
hingga ke jalan. Sebuah kereta kuda telah menunggunya.
Erik naik, lalu si orang Persia yang telah kembali berdiri
di samping jendela mendengarnya berkata kepada
pengemudi kereta, "Ke Opera."
Lalu kereta itu melaju menembus malam.
Itu kali terakhir si orang Persia bertemu dengan Erik
yang malang. Tiga minggu setelahnya, harian Epoque mema­
sang pemberitahuan ini: "Erik sudah mati."

363
Epilog

AKu telah menceritakan kisah yang aneh namun nyata ten­


tang si hantu Opera. Sebagaimana yang kunyatakan pada
lembar pertama karya ini, tidak mungkin ada yang bisa
menyangkal bahwa Erik benar-benar pernah ada. Ada begi­
tu banyak bukti atas keberadaannya yang bisa kita peroleh,
sehingga kita bisa merunut segala tindakan Erik secara lo­
gis di dalam keseluruhan tragedi keluarga Chagny ini.
Tak perlulah diulang di sini betapa kasus ini menggem­
parkan Paris. Penculikan sang bintang, kematian Comte de
Chagny yang tak wajar, menghilangnya adik sang Comte,
pembiusan terhadap petugas lampu Opera beserta kedua
asistennya: tragedi, kisah asmara, dan kejahatan seperti
apakah yang mengelilingi Raoul yang tenang dan Christine
yang manis serta menawan! Apa yang setelahnya tetjadi
pada penyanyi menakjubkan dan misterius yang tak per­
nah terdengar lagi kabamya itu? Ia ditampilkan sebagai
korban persaingan antara dua bersaudara itu, dan tak ada
seorang pun yang mampu mengira apa yang sebenamya

364
terjadi. Dan karena baik Raoul maupun Christine menghi­
lang, tak ada yang tahu bahwa mereka telah mengasingkan
diri dari dunia ini untuk menikmati kebahagiaan yang tak
ingin mereka bagi dengan siapa pun selepas kematian
Count Philippe yang sulit dijelaskan. . . . Pada hari itu me­
reka naik kereta api dari "stasiun kereta di sebelah utara
dunia ini."
Mungkin, suatu hari nanit aku juga akan naik kereta
dari stasiun itu dan mencari di sekitar danau-danaumu,
Norwegia dan Skandinavia, berharap menemukan jejak
Raoul dan Christine serta Mamma Valerius yang menghi­
lang pada waktu yang sama.... Mungkin, kelak aku akan
mendengar gema kesepian dari daerah Utara yang meng­
ulang nyanyian gadis yang pemah mengenal si Malaikat
Musik.
Lama setelah kasus itu dibekukan oleh M. le Juge
d'lnstruction Faure yang bodoh, surat-surat kabar secara
berkala mulai berusaha memahami misteri ini. Hanya ada
satu harian sore yang tahu semua gosip yang ada di teater­
teater ini yang menulis demikian: "Kami mengenali sen­
tuhan tangan si hantu Opera."
Bahkan itu pun ditulis secara ironis.
Hanya si orang Persia yang mengetahui seluruh kebenar­
annya dan menyimpan bukti-bukti utama yang diterimanya
bersama dengan benda-benda sakral yang dijanjikan oleh
si hantu. Semua barang itu diberikan kepadaku oleh si
daroga itu untuk melengkapi bukti-bukti yang ada. Setiap
hari aku memberitahukan perkembangan penyelidikanku
kepadanya, dan ia membantu mengarahkannya. Sudah ber­
tahun-tahun ia tidak pergi ke Opera, tetapi ia masih me-

365
nyimpan ingatan yang paling akurat atas bangunan terse­
but, dan tak ada pemandu lain yang lebih baik dalam
membantuku menemukan jalan-jalan paling tersembunyi
di sana selain laki-laki itu. Ia juga memberitahukan ke
mana aku harus pergi untuk mengumpulkan informasi
lebih lanjut, siapa yang harus kutanyai, dan a
i juga menyu­

ruhku menghubungi M. Poligny tepat sebelum laki-laki itu


mengembuskan napasnya yang terakhir. Aku tidak tahu
kalau ia sakit teramat parah, dan aku takkan bisa melupa­
kan efek yang ditimbulkan dari pertanyaanku mengenai si
hantu terhadapnya. la menatapku seolah-olah aku ini ibls
i

dan menjawabku hanya dengan kalimat terpatah-patah


yang tak keruan. Tetapi hal itu menunjukkan-dan ini
yang terpenting- betapa kuatnya kegelisahan yang dise­
babkan oleh si H.O. atas dirinya bahkan hingga ketika ia
hampir meninggal (M. Poligny dikenal sebagai orang yang
riang dan gemar bersenang-senang).
Sewaktu aku datang dan menceritakan kepada si orang
Persia tentang hasil yang tak terlalu menggembirakan dari
kunjunganku atas M. Poligny, daroga itu tersenyum tipis
dan berkata, "Poligny tidak pemah tahu seberapa jauh
seseorang bernama Erik telah dengan keji menipunya." -
Omong-omong, si orang Persia ini kadang-kadang mem­
bicarakan Erik seakan ia titisan dewa, tetapi kadang juga
seolah ia orang paling rendah di muka bumi ini- "Poligny
orang yang percaya takhayul dan Erik tahu itu. Erik tahu
sebagian besar hal-hal pribadi maupun umum yang ber­
kaitan dengan Opera. Ketika M. Poligny mendengar suara
misterius di Boks Balkon nomor Lima berkata kepadanya
tentang kebiasaannya berhura-hura dan menyalahgunakan

366
kepercayaan rekannya, ia langsung lari. Awalnya ia pikir
itu suara dari surga, jadi ia merasa berdosa. Lalu, waktu
suara itu mulai meminta uang kepadanya, a
i paham bahwa

ia sedang menjadi korban dari seorang pemeras licik yang


juga telah memperdaya Debienne. Karena keduanya telah
muak dengan urusan manajemen Opera dengan alasan
mereka masing-masing, maka keduanya pergi meninggal­
kan urusan ini begitu saja tanpa menyelidiki lebih lanjut
siapa si H.O. yang misterius itu, sosok yang memaksakan
buku perjanjian ganjil kepada mereka. Mereka menyerah­
kan seluruh misteri itu kepada para penggantinya dan
bernapas lega ketika berhasil menyingkirkan bisnis yang
benar-benar memusingkan mereka itu."
Lalu aku membahas tentang kedua penerus tersebut dan
menyatakan keherananku bahwa di dalam Memoar Seorang
Manajer miliknya, M. Moncharmin menjelaskan panjang­
lebar tentang perilaku si hantu Opera pada bagian pertama
buku itu, namun nyaris tidak pernah menyinggungnya di
bagian kedua. Si orang Persia, yang memahami Mernoar itu
seakan ia sendiri yang menulisnya, menjawabku dengan
mengatakan bahwa aku akan menemukan jawaban segala
urusan itu kalau saja aku mengingat kembali bebe-rapa
baris yang didedikasikan Moncharmin kepada hantu itu di
awal bagian kedua yang kusebutkan tadi. Aku mengutip
baris-baris itu, yang juga sangatlah menarik karena mereka
menjelaskan penyelesaian sangat sederhana dari insiden
dua puluh ribu franc itu:

"Mengenai si H.O., yang beberapa leluconnya telah kuse­

butkan di bagian pertama Memoar ini, aku hanya hendak berkata

367
bahwa ia rnenebus segala kekhawatiran yang ditimbulkannya

pada diri ternan sekaligus rekanku dan tentu saja, aku sendiri,

dengan satu tindakan baik yang spontan. Tak diragukan lagi, ia

pasti rnerasa suatu lelucon ada batasnya juga, terutama bila lelu­

con itu sangat rnahal dan rnelibatkan seorang kornisaris polisi.

Sebab, ketika karni telah rnernbuat janji dengan M Mifroid untuk

rnenceritakan sernuanya di kantor karni beberapa hari setelah

rnenghilangnya Christine Daat!, di atas rneja Richard karni temu­

kan satu arnplop besar bertuliskan, "Salam da.ri H.O.," dengan

inta
t rnerah. Isinya adalah sejurnlah besar uang yang berhasil

diambilnya hingga saat itu dari kas. Richard langsung berpen­

dapat bahwa karni harus puas dengan ini dan tidak rnemper­

panjang urusan ini Iagi. Aku setuju dengan Richard. Sernuanya


berakhir dengan baik. Bagairnana menurutmu, H.O.?"

Tentu saja, apalagi setelah uang itu dikembalikan,


Moncharmin tetap percaya bahwa selama beberapa waktu
dirinya telah menjadi korban selera humor Richard, semen­
tara Richard sendiri merasa yakin bahwa Moncharmin te­
lah bersenang-senang dengan menciptakan segala urusan
hantu Opera ini untuk membalas dendam atas beberapa
lelucon Richard sebelum ini.
Aku meminta si orang Persia memberitahuku trik yang
digunakan si hantu untuk mengambil dua puluh ribu franc
itu dari kantong Richard meskipun uang itu telah dipeniti
ke kain kantong. Ia berkata bahwa ia tidak mencari tahu
perkara kecil ini, tetapi seandainya aku mau melakukan
penyelidikan di tempat itu, aku pasti akan menemukan
jawaban teka-teki ini di kantor para manajer, sebab bukan
tanpa alasan Erik disebut si pencinta pintu jebak. Aku ber-

368
janji pada orang Persia itu untuk melakukannya begitu ada
waktu, dan sekalian saja di sini kusampaikan kepada para
pembaca bahwa penyelidikanku membuahkan hasil yang
sangat memuaskan. Dan aku hampir tak dapat percaya
banyaknya bukti tak terbantahkan yang dapat kutemukan
tentang perbuatan hantu itu.
Catatan si orang Persia, surat-surat Christine Daae,
pemyataan-pernyataan yang diberikan kepadaku oleh
orang-orang yang dulunya bekerja di bawah kepengurusan
Richard dan Moncharmin, pemyataan dari si mungil Meg
(dengan sedih kukatakan bahwa Madame Giry yang terhor­
mat sudah meninggal) dan dari Sorelli yang sekarang pen­
siun dan tinggal di Louveciennes: semua dokumen berkait­
an dengan keberadaan si hantu, yang kuusulkan untuk
disimpan di arsip Opera, telah dicek dan dikonfirmasi oleh
sejumlah penemuan penting yang membanggakanku. Aku
belum bisa menemukan rumah di tepi danau itu, sebab
Erik telah memblokir semua jalan masuk rahasianya. Tapi
di lain pihak, aku menemukan jalan rahasia yang diguna­
kan kelompok Komunis, lantai kayunya mulai hancur di
beberapa bagian, juga pintu jebak yang digunakan Raoul
serta si orang Persia untuk masuk ke ruang-ruang bawah
tanah gedung opera itu. Di penjara bawah tanah kelompok
Komunis kutemukan sejumlah inisial yang ditorehkan di
dinding oleh orang-orang malang yang dikurung di sana,

10
Meski begitu, aku yakin bahwa akan mudah mencapai rumah itu dengan
cara mengeringkan danaunya seperti yang telah berulang kali saya minta
kepada Departemen Kesenian untuk dilakukan. Aku mernbahas ha! ini dengan
M. Dujardin-Beaumetz, atase bidang kesenian, empat puluh delapan jam
sebelum buku ini diterbitkan. Siapa tahu partitur Dotr ]uatr Triumphant bisa
ditemukan di rumah tepi danau itu?

369
dan di antaranya ada satu "R" dan satu "C." R. C.: Raoul
de Chagny. Huruf-huruf itu masih ada hingga sekarang.
Kalau dari pernbaca ada yang rnengunjungi Opera suatu
pagi dan rninta izin untuk berkeliling sesukanya tanpa dite­
rnani oleh seorang pernandu bodoh, pergilah ke Boks Bal­

kon nornor Lima dan dengan kepalan tanganrnu atau


tongkat ketuklah pilar besar yang rnernisahkan boks balkon
itu dengan kotak listrik. Kau akan rnendapati pilar itu ter­
dengar kosong. Setelah itu jangan terkejut jika beranggapan
bahwa pilar kosong itu diternpati oleh suara si hantu: ada
ruang yang cukup untuk dua orang di dalarn pilar itu. Ka­
lau kau heran rnengapa tidak ada yang rnenoleh dan rneli­
hat ke arah pilar tersebut ketika kejadian-kejadian itu ber­
langsung, kau harus ingat bahwa pilar itu tampak seperti
rnarrner kokoh dan suara yang terdengar sepertinya datang
dari arah yang berlawanan, tidaklah rnengherankan karena
kita sudah tahu bahwa hantu itu adalah ahli suara perut.
Pilar itu dipenuhi ukiran dan hiasan yang begitu rurnit
dan aku yakin suatu hari nanti akan ditemukan bahwa
hiasan-hiasan itu dapat dinaikturunkan sesuai kebutuhan,
membuktikan korespondensi dan pemberian hadiah yang
dilakukan si hantu kepada Marne Giry.
Walau begitu, bagiku semua penemuan itu tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan apa yang kuternukan di
hadapan rnanajer akting, di kantor para rnanajer, beberapa
sentimeter dari kursi di balik rneja. Di sana ada satu pintu
jebak dengan lebar seukuran papan di lantai dan panjang­
nya persis seukuran lengan bawah seorang laki-laki. Pintu
jebak itu bisa menutup kembali seperti tutup boks, dan

370
melalui pintu itu dapat kubayangkan satu tangan muncul
lalu dengan cekatan merogoh kantong di ekor jas.
Begitulah caranya empat puluh ribu franc itu menghi­
lang! Dan entah dengan trik bagaimana, cara itu pula yang
digunakan untuk mengembalikan uang itu.
Ketika membahas ini dengan si orang Persia, aku ber­
kata, "Jadi bisakah kita simpulkan bahwa dengan dikem­
balikannya empat puluh ribu franc itu, Erik hanyalah ber­
main-main dengan buku perjanjian itu?"
"Jangan naif!" jawabnya. "Erik menginginkan uang. Kare­
na ia tak menerima belas kasihan dari manusia sesamanya,
Erik tak merniliki rasa segan dan ia menggunakan bakat
keji serta imajinasi yang dianugerahkan kepadanya sebagai
ganti keburukrupaannya itu untuk memperdaya manusia
lain. Alasan ia mengembalikan empat puluh ribu franc itu
atas kemauannya sendiri adalah karena ia tak lagi meng­
inginkannya. la telah melepaskan rnimpinya untuk meni­
kah dengan Christine Daae. Ia telah melepaskan segala

sesuatunya di muka burni ini."


Menurut keterangan orang Persia itu, Erik dilahirkan di
kota kecil tak jauh dari Rouen. la adalah anak seorang ahli
batu. Di usia yang masih muda ia melarikan diri dari ru­
mah, tempat keburukrupaannya selalu menjadi momok
bagi kedua orangtuanya. Sekian lama ia berpindah dari
satu pasar malam ke pasar malam yang lain, dipamerkan
sebagai "mayat hidup." Sepertinya ia telah berkelana ke
segala penjuru benua Eropa, berpindah-pindah pasar ma­
lam, dan menyelesaikan pendidikan ganjilnya sebagai
seniman dan tukang sulap di pusat segala seni dan sulap,
yaitu kaum Gipsi. Ada satu masa di kehidupan Erik yang

371
tetap tak diketahui dengan jelas. Ia pemah terlihat di pasar
malam Nijni-Novgorod, tempat ia menampilkan dirinya
lengkap dengan segala keberadaan dan kemampuannya.
Pada saat itu ia telah bemyanyi dengan suara yang tak ada
bandingannya di dunia ini, ia berlatih suara perut dan
menyuguhkan aksi sulap yang begitu mencengangkan hing­
ga para pengelana Asia menjadikannya bahan perbincangan
sepanjang perjalanan pulang mereka. Dengan cara itulah
reputasi Erik terdengar di istana Mazandaran, tempat sang
sultan kecil, yang adalah kesayangan Shah-in-Shah, sedang
merasa luar biasa bosan. Seorang pedagang kain dari kulit
binatang yang kembali ke Samarkand dari Nijni-Novgorod
menceritakan hal-hal menakjubkan yang dipertunjukkan di
tenda Erik. Pedagang itu lalu dipanggil ke istana dan
Daroga dari Mazandaran diperintahkan untuk menanyai­
nya. Kemudian daroga itu diperintahkan untuk pergi dan
mencari Erik. la membawa Erik ke Persia, tempat ke­
inginan Erik menjelma menjadi hukum yang harus dipa­
tuhi untuk beberapa bulan lamanya. Ia bersalah dalam
banyak hal mengerikan, sebab ia sepertinya tak dapat mem­
bedakan mana yang baik dan jahat. Dengan tenang ia terli­
bat dalam sejumlah pembunuhan bermotif politik, lalu ia
menggunakan kemampuan kejamnya dalam mencipta un­
tuk melawan Emir Afghanistan yang sedang berperang
dengan kekaisaran Persia. Sang Syah jadi menyukainya.
lnilah masa-masa menyenangkan di Mazandaran yang
sempat disinggung dalam cerita si daroga. Erik punya ide­
ide orisinal dalam bidang arsitektur dan ia merancang
istana seperti seorang pesulap membuat peti sulapnya.
Sang Syah memerintahkannya untuk mendirikan bangunan

372
semacam itu. Erik melakukannya, dan bangunan itu seper­
tinya memiliki begitu banyak tipu daya sehingga Yang
Mulia bisa berkeliaran di dalamnya tanpa terlihat dan
menghilang begitu saja tanpa ada yang tahu bagaimana
caranya. Ketika sang raja sudah memiliki istana hebat ini,
ia memerintahkan supaya rnata Erik yang berwarna kuning
dibutakan. Tetapi ia berpikir bahwa meskipun buta, Erik
masih akan bisa membangun istana yang menakjubkan
bagi raja lain. Selain itu, selama Erik masih hidup, akan
ada seseorang yang tahu rahasia istana hebatnya. Karena
itulah ia memutuskan untuk menghukum mati Erik bersa­
ma dengan semua pekerja yang mendirikan istana itu.
Pelaksanaan titah mengerikan ini jatuh ke tangan si daroga
Mazandaran. Erik pernah beberapa kali membantunya dan
sering membuatnya tertawa terbahak-bahak. Itulah yang
membuatnya menyelamatkan Erik dengan menyediakan
peralatan untuk dia melarikan diri, tetapi ia nyaris harus
membayar keterlibatannya itu dengan nyawanya sendiri.
Tetapi daroga itu beruntung. Sesosok mayat yang sete­
ngahnya telah dimakan burung bangkai ditemukan di pan­
tai Laut Kaspia dan dianggap sebagai mayat Erik, karena
teman-teman si daroga memakaikan pakaian Erik pada
mayat itu. Daroga itu dibebaskan namun fasilitas kekaisar­
an dicabut darinya, harta miliknya disita, dan ia diusir
untuk selamanya dari Mazandaran. Tetapi sebagai anggota
lstana Kerajaan ia tetap menerima uang pensiun bulanan
sebesar beberapa ratus franc dari bagian keuangan Persia,
dan uang itulah yang dipakainya untuk pindah dan tinggal
di Paris.
Sedangkan Erik sendiri pergi ke Asia Kecil dan lanjut ke

373
Konstantinopel, tempat ia mengabdi kepada sang sultan.
Untuk menjelaskan pekerjaan Erik di suatu kerajaan yang
terus-menerus dihantui teror ini, aku hanya bisa ber-kata
bahwa Erik-lah yang membuat semua pintu jebak yang
terkenal itu, kamar-kamar rahasia, serta brankas-brankas
rnisterius yang ditemukan di Yildiz-Kiosk selepas revolusi
terakhir Turki. la juga menciptakan robot-robot yang
didandani seperti sang sultan dan yang begitu rnirip de­
ngan sang sultan dalam segala hal,11 sehingga orang-orang
percaya bahwa sang jenderal tegak berdiri di suatu tempat
meskipun pada kenyataannya ia sedang tidur di tempat
lain.
Dapat ditebak, ia harus menghentikan pengabdiannya
kepada sang sultan dengan alasan yang sama yang mem­
buatnya kabur dari Persia: ia tahu terlalu banyak. Lalu,
merasa Ielah dengan kehidupannya yang penuh risiko, be­
rat, dan mengerikan, ia ingin menjadi seseorang yang "se­
perti orang-orang lainnya." Maka ia menjadi seorang kon­
traktor yang, seperti layaknya kontraktor biasa, membangun
rumah-rumah biasa dari bata-bata biasa. la mengajukan
tender pengerjaan pondasi Opera, dan penawarannya itu
diterima. Namun ketika ia berada di ruang-ruang bawah
tanah gedung pertunjukan yang sungguh besar itu, sifat
ilmuwannya yang artistik dan fantastik mengambil alih.
Lagi pula, bukankah ia begitu buruk rupa? la berangan­
angan menciptakan tempat tinggal untuk dirinya sendiri
yang tersembunyi dari semua orang sehingga ia bisa sela­
manya terlindung dari tatapan mereka.

11
Lihat wawancara jurnalis khusus dari Matin dengan Mohammed-Ali Bey
tentang hari setelah masuknya pasukan Salonika ke Konstantinopel.

374
Para pembaca sudah tahu dan bisa menebak kelanjutan
kisahnya. Semuanya sesuai dengan kisah yang menakjub­
kan namun nyata ini. Erik yang malang dan masygul! Apa
kita perlu mengasihaninya? Apa kita perlu mengutuknya?
Ia hanya ingin menjadi "seseorang," seperti semua orang
lainnya. Tetapi ia terlalu buruk rupa! Dan ia harus me­
nyembunyikan kejeniusannya atau menggunakannya untuk
tipu daya, sementara andaikan wajahnya biasa saja, ia akan
menjadi salah satu orang paling istimewa dan terhormat!
Ia rnemiliki hati yang bisa memimpin kekaisaran dunia ini,
namun pada akhirnya ia harus puas dengan suatu ruang
bawah tanah. Ah, ya, kita harus merasa kasihan pada han­
tu Opera ini.
Aku telah berdoa di makamnya supaya Tuhan mengam­
puninya dan tak mengindahkan segala kejahatannya. Ya,
aku cukup ya.kin waktu itu aku berdoa di samping tengko­
raknya ketika mereka mengeluarkannya dari tempat yang
akan mereka pakai untuk mengubur piringan-piringan hi­
tam. Itu tulang-belulangnya. Aku tidak mengenalinya dari
kejelekan kepalanya, sebab semua orang terlihat jelek sete­
lah mereka mati sebegitu lama, tetapi dari cincin emas
polos di jarinya yang pasti disematkan Christine Daae keti­
ka ia datang untuk mengubur Erik sesuai janjinya.
Tulang-belulang itu terbujur di dekat sumur kecil, tem­
pat pertama kalinya sang Malaikat Musik dengan lengan­
nya yang gemetar memeluk Christine Daae yang pingsan,
pada rnalam ketika i rnembawa gadis
a itu turun ke ruang­
ruang bawah tanah gedung opera.
Dan apa yang akan mereka lakukan terhadap tulang-be­
lulang itu sekarang? Jangan sampai mereka rnengubur-

375
kannya di pemakaman umum! Menurutku, tempat tulang­
belulang si hantu Opera itu adalah di ruang penyimpanan
National Academy of Music. Itu tulang-belulang istimewa.

376
..... .......
. ..
. . .......
. .....
.......
....... ...
... ......... ...
.. ...
... ...
. ... ...
...- ...
....
...
....
. .....
....
....
- -....
--. -
-
· -
---
---
----
-·- ·- ·- ·-·- ·- ·- ·- ·-·-·- ·- ·- · · ·- ·· ·· ·· ·- ·· ·- ·- ·-·- ·- ·- ·- ·-·- ·- ·- ·- ·- ·- ·- ·-·-·- ·- ·- ·-·-··

Anda mungkin juga menyukai