Anda di halaman 1dari 125

Sepotong Senja

untuk
Pacarku
Sepotong Senja
untuk
Pacarku

Seno Gumira Ajidarma


Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Sebuah Komposisi dengan 16 Variasi
Tentang Hak Cipta dalam Tiga Bagian

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan per­buatan


sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan
Teks di Atas Judul-Judul
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat oleh Eddy Suhardy
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar­ kan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pe­lang­garan hak
cipta atau hak terkait sebagai dimaksud dalam Ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Sepotong senja untuk pacarku
Seno Gumira Ajidarma

Senja Potongan Pizza


GM 615202014

Copyright ©2014 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Kompas Gramedia Building Blok I lt. 5
Jl. Palmerah Barat No. 29–37
Jakarta 10270

Diterbitkan pertama kali oleh Pembaca yang Budiman,


PT Gramedia Pustaka Utama Hampir seperempat abad telah berlalu semenjak saya
Anggota IKAPI, Jakarta 2014
menulis cerita “Sepotong Senja untuk Pacarku” pada 1991.
Penyelia naskah: Mirna Yulistianti
Desain sampul: Suprianto Ketika itu tentu saya tidak pernah menduga, bahwa banyak
Setter: Nur Wulan Dari anak muda akan mengganti nama Alina dengan nama kekasih
Gambar pada hlm. 33 diambil dari mereka masing-masing pada cerita itu, sebagai surat cinta yang
komik Dian dan Boma karya Hans Djaladara
yang dimuat di majalah Eres No. 9/1970, hlm. 35
sebenarnya dalam dunia nyata. Betapapun saya mendoakan
agar tujuan mereka semua berhasil dengan menyalin cerita
Cetakan pertama cover baru: Februari 2016
itu. Bahkan berkat usulan penerbit, surat cinta yang sama kini
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tersedia, dicetak khusus bagi yang bersemangat memanfaat-
tanpa izin tertulis dari Penerbit kannya, dengan ruang kosong yang bisa diisi nama siapapun
www.gramediapustakautama.com yang tercinta, lengkap dengan amplopnya.
Namun yang saya tulis adalah senja, yang dalam berbagai
ISBN 978-602-03-1903-2 pendekatan dan konteks tetap berusaha saya capai kesen-
jaannya, mulai dari gejala alam kasat mata, sampai segenap
konstruksi struktural dan tematik yang dimungkinkan oleh
subjek bernama senja. Dari saat ke saat, memburu senja secara
konkret maupun sebagai konsep yang abstrak, memberikan
kepada diri saya suatu ruang-waktu mewah, yang sungguh saya
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
syukuri dalam kehidupan nan singkat.
Isi di luar tanggung jawab Percetakan

v
Seperti terhayati pengalaman batin penyair Jawa Kuna abad sungguhnyalah akan menyusun dan membentuk komposisinya
ke-15 bernama Tanakung dalam kakawin Wrettasancaya: masing-masing.

Nimitangku yan layat aninggal i sang ahayu nguni ring tilam/ Pembaca yang Budiman,
ndatan lali si langening sayana/ Untuk Edisi Kedua ini saya tambahkan tiga cerpen yang
saka ring harepku lalita nggurit lango// berasal dari kumpulan Linguae (2007), yang sudah tidak perlu
dicetak ulang lagi, melengkapi potongan-potongan pizza itu
Sebabnya aku meninggalkan si juita dulu di peraduan/ menjadi 16. Tentu saya berterima kasih sekali kepada Eddy
bukan karena lupa merasakan keindahan peraduan/ Suhardy, yang masih bersedia menyumbangkan kepiawaiannya
namun karena hasrat yang tak tertahankan dalam permainan bahasa Melayu tempo doeloe. Saya membu-
untuk melukiskan keindahan alam// tuhkannya sebagai antidote bagi obsesi kecanggihan dalam
perburuan keindahan saya yang berlebihan.
(Agastia, 1987: 22) Sampai catatan ini ditulis, ternyata saya tidak pernah menu-
lis cerita tentang senja lagi. Kehidupan telah merenggut saya
Tanakung (tan akung = tanpa kasih) meninggalkan cinta, dari alam kalangon, alam keindahan yang membuai, mencem-
mengembara dalam perburuan keindahan, yang barangkali plungkan saya ke tengah hingar-bingar kehidupan sosial po-
memang lebih layak dicintai, karena tidak akan mengkhia- litik yang kadang tampak sangat memprihatinkan, untuk juga
nati. Dalam hal saya, perburuan itu adalah usaha menangkap memikirkan dan menuliskannya. Suatu keadaan yang sama
kesempurnaan senja, sebagai pemandangan maupun sebagai sekali tidak saya sesali.
makna, yang dari saat ke saat terungkap dari cerita ke cerita. Namun saya tahu, saya akan selalu terpesona melihat senja.
Dari alur cerita yang satu ke alur cerita yang lain, mungkin
terbentuk susunan tertentu, sehingga saya dapat menyebutnya Salam
sebuah komposisi. Ibarat pizza, setiap cerita adalah potongan
mandiri, tetapi yang dapat dihubungkan satu sama lain. Namun SGA
tentu saja saya tidak mengandaikan bahwa format komposisi Kampung Utan / Kemang, Rabu 8Juli 2015. 16:33.
itu utuh dan bulat seperti pizza, karena setiap pembaca se-

vi vii
Daftar Isi
Senja Potongan Pizza v
Prolog xi

Trilogi Alina
1. Sepotong Senja untuk Pacarku 3
2. Jawaban Alina 17
3. Tukang Pos dalam Amplop 29

Peselancar Agung
4. Jezebel 47
5. Ikan Paus Merah 57
6. Kunang-Kunang Mandarin 67
7. Rumah Panggung di Tepi Pantai 79
8. Peselancar Agung 91
9. Hujan, Senja, dan Cinta 101
10. Senja Hitam Putih 113
11. Mercusuar 129
12. Anak-Anak Senja 145
13. Senja yang Terakhir 161

ix
Atas Nama Senja
14. Senja di Pulau Tanpa Nama 177
15. Perahu Nelayan Melintas Cakrawala 187
16. Senja di Kaca Spion 195
Prolog
Epilog 203
Riwayat Publikasi 205

seiring bersama alunan bunyi


seruling di lembah sunyi
di sana kududuk seorang diri
menjelang malam hari
teringat ku akan seorang kasihku
yang telah pergi entah ke mana
oh angin sampaikanlah salamku
kunanti ia di lembah sunyi
seindah alunan seruling senja
begitu cintaku padanya
begitu cintaku padanya

(Seruling di Lembah Sunyi,


syair dan lagu karya Vivekananda Leimena, 1965)

xi
Trilogi Alina

1
Soenggoe poen boekan tjetjoengoek,
hamba wet mentjarinja lantaran satoe perkara.
Seroe, tegang, mendjengkelkan,
dari awal sampei achirnja.
Didjamin bikin moelas peroet.

Sepotong Senja
untuk Pacarku

1991

3
sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan ma-
nusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu
sia-sia. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di
dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah men-
dengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli
apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka
juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia

A lina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong sen-
ja—dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan
yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah
luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti arti-
nya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata
lengkap? Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga
cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan
burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan ba-
langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam
rangkali juga perahu lewat di kejauhan. Maaf, aku tidak sempat
keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat ma-
menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang
tahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap
pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku
Alina yang manis, Alina yang sendu,
mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan ber- Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan
samamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai senja itu untukmu. Sore itu aku duduk seorang diri di tepi
kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan. pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Meman-
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam am- dang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan
plop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin membe- alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta
rikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Sudah terlalu adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam
banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap
mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin

4 5
tetap saja lembab dan basah dan pasir tetap saja hangat ketika mandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya
kususupkan kakiku ke dalamnya. apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang
’’Barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupo- datang berbondong-bondong. Ternyata mereka menjadi gem-
tong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lan- par karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang
tas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu sebesar kartu pos.

bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.


Alina sayang,
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang.
Semua ini telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti
Aku tahu kamu akan menyukainya karena aku tahu itulah senja
itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu
yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu
kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh,
”Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil
dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di senja itu!”
sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari me- Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat ge-
lagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
’’Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan
panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan
hanya untukmu saja, Alina. Tak seorang pun boleh mengam-
bilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar
di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobil-
ku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar.
Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap
celah dalam mobilku, sehingga mobilku itu meluncur dengan
nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

6 7
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya duh telah membawa senja. Meskipun tak ada peraturan yang
senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mo- melarangnya, tapi berdasarkan...”
bil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. B­­­­­ aru Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kulibas
hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak dia sampai terpental keluar pagar di tepi jalan. Kutancap gas
bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu
mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-
memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual kejaran yang seru. Tapi aku lebih tahu seluk beluk kota, jalan-
di toko-toko, dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki an dengan cahaya yang bermain warna, gang-gang gelap yang
lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia
bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan. yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
’’Senja! Senja! Cuma seribu tiga!” Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain terse-
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota. Aku harus hati-hati sat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling
karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung menabrak truk dan meledak lantas terbakar.1 Masih ada dua
di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak
membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa
kentara. Lagipula di kota, tidak semua orang peduli apakah lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa
senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa wak- memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh.
tu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak meng-
penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk hempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan
turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya Alina.
demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi. Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras Di segenap sudut kota mereka telah siap siaga. Bahkan aku
suara polisi itu memberi peringatan. tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan
’’Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG
19658 A harap berhenti. Ini polisi. Anda ditahan karena ditu- Adegan yang selalu ada dalam film-film action Hollywood.
1

8 9
di langit tanpa senja helikopter mereka menyorotkan lampu rong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibakkan ke-
ke setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya lelawar-kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup
nyaris tertangkap, kalau saja tidak ada gorong-gorong yang itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk
terbuka. mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-
itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua, tiang serta te- duduk m­ aupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk
mali2. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagiaan.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan mencoba bertahan.
sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat
Betapa pun ini lebih baik daripada aku harus menyerahkan
yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
senja Alina.
’’Masuklah,” katanya tenang, ”di situ kamu aman.”
Di ujung gorong-gorong, di tempat cahaya putih itu, ada
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus
tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya sema-
keluar dari sana. Baunya bacin dan pesing. Kutengok ke ba-
kin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak
wah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu. Namun
percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu
deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu
menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku ke-
melenyapkan keraguanku. luar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat yang persis sama
’’Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.” dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab ja- Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin,
tuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera dan kepak burung—tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu
tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma
atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong- saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis
gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kuraba senja dalam sama, tapi pasti bukan tempat yang sama3. Tempatnya saja di
kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat dalam gorong-gorong.
aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam go-
3
Dalam cerpen Danarto, Paris Nostradamus (1988), ada kota yang persis
2
Chairil Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil (1946). Paris di bawah tanah kota Paris.

10 11
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat
alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasar laut- dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya,
an yang bening dengan lidah ombak yang mendesis-desis. Tak sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu
ada cottage, tak ada barbeque, tak ada marina—semua itu me- pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melang-
mang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir mem- kah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi
biaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali
sendiri melihat semua itu Alina, apakah semua itu mungkin menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih5.
diterjemahkan dalam bahasa? Sampai di atas, setelah melewati kelelawar bergelantung-
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir. Untuk apa- an, anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut,
kah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah kulihat polisi-polisi berhelikopter sudah pergi. Gelandangan
berjalan ke sana kemari aku tahu kalau dunia dalam gorong- yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil
gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik
tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang berkepak, tapi ia
di supermarket. Tampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil
sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang.
mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju ke pantai.
Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia ha-
Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan ma-
nya berkepak dan berkepak terus di sana. Aku tak habis pikir
tahari, laut, pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing,
Alina, alam seperti ini dibuat untuk apa? Untuk apa senja yang
mobilku bagai memancarkan cahaya Ilahi. Sepanjang jalan
bisa membuat seseorang kepingin jatuh cinta itu jika tak ada
layang, sepanjang jalan tol kutancap gas dengan kecepatan
seekor dinosaurus pun menikmatinya?4 Sementara di atas sana
penuh...
orang-orang ribut kehilangan senja...

5
Subagio Sastrowardojo, Manusia Pertama di Angkasa Luar (1961):....
4
’’Untuk siapakah bunga itu mekar di hutan ini kalau tak ada seorang Berilah aku satu kata puisi/daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji/yang
pun yang melihatnya?” Kalimat Sardono W. Kusumo di tengah hutan Apo menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi/yang kukasih. Angkasa ini bisu.
Kayan, Kalimantan Timur, 1981. Angkasa ini sepi/Tetapi aku telah sampai pada tepi/Darimana aku tak mungkin
lagi kembali.

12 13
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku, Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupa- cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang
sang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu paling sunyi di dunia.
pos itu, dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ”asli”
ini untukmu, lewat pos. Aku ingin kamu mendapatkan apa SGA
yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya —
bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu. Karangbolong-Jakarta, 1991
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina.
Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita
pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi ge-
lap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain
di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya
sendiri, namun semua itu tiada lagi karena seseorang telah
mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi.
Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja di atas
bumi yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang
kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis,


Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseo-
rang yang ingin membahagiakanmu. Awas, hati-hati dengan
lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar
langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan
bumi.

14 15
Djikalaoe bukan kerana tjinta jang moelia,
moesiba itoe trada datang.
Sajang orang prempoean itoe gegaba
tiada maoe robah dia poenja pendirian.

Jawaban Alina

2001

17
Rupa-rupanya dengan cara seperti itulah dunia ini mesti
berakhir. Senja yang engkau kirimkan telah menimbulkan ben-
cana tak terbayangkan. Apakah engkau tahu suratmu itu baru
sampai sepuluh tahun kemudian? Ah, engkau tidak akan tahu
Sukab, seperti juga engkau tidak akan pernah tahu apa yang
terjadi dengan senja yang kau kirimkan ini. Senja paling tidak
berharga dalam hidupku Sukab, senja sialan yang paling tidak

S ukab yang malang,


Senja yang kau kirimkan sudah kuterima, kukira sama
lengkap seperti ketika engkau memotongnya di langit yang ke-
mungkin diharapkan manusia.
Senja ini baru tiba setelah sepuluh tahun, karena tukang
pos yang jahil itu rupanya penasaran dengan cahaya merah
merah-merahan itu, lengkap dengan bau laut, desir angin dan keemas-emasan yang memancar dari amplop itu Sukab. Caha-
suara hempasan ombak yang memecah pantai. Ada juga kepak ya itu telah mengganggunya semenjak ia menggenjot sepeda
burung-burung, lambaian pohon-pohon nyiur dalam kekelam- dari kantor pos, berkilau-kilau dan memancar di tas surat yang
an, sementara di kejauhan perahu layar merayapi cakrawala tergantung di boncengan sepeda, begitu rupa sehingga cuaca
dan melintasi matahari yang sedang terbenam. Aku pun tahu siang hari menjadi kacau, angin menderu dan ombak terdengar
Sukab, senja yang paling keemas-emasan sekalipun hanya akan menghempas-hempas, meskipun ia bersepeda mendaki bukit
berakhir dalam keremangan menyedihkan, ketika segala makh- kapur. Demikianlah, maka ia suatu ketika berhenti. Dari dalam
luk dan benda menjadi siluet, lantas menyatu dalam kegelapan. tas itu terdengar suara-suara, ia buka tas itu, dan ia melihat
Kita sama-sama tahu, keindahan senja itu, kepastiannya untuk amplop Federal Express yang sudah tidak putih lagi melainkan
selesai dan menjadi malam dengan kejam. Manusia memburu merah keemas-emasan Sukab, seperti senja dengan matahari
senja ke mana-mana, tapi dunia ini fana Sukab, seperti senja. terbenam di balik cakrawala.
Kehidupan mungkin saja memancar gilang gemilang, tetapi Tukang pos itu mengambil amplop tersebut, menimang-
ia berubah dengan pasti. Waktu mengubah segalanya tanpa nimangnya, agak berat juga. Maklumlah bukankah amplop itu
sisa, menjadi kehitaman yang membentang sepanjang pantai. berisi senja Sukab? Senja dengan matahari merah membara
Hitam, sunyi, dan kelam. yang turun pelahan-lahan di balik cakrawala, seperti semua

18 19
senja yang ada di balik kartu pos, tapi yang kamu kirim itu man dan tenang. Siapa yang tidak suka merasa nyaman dan
bukan kartu pos Sukab, yang kau kirim itu senja di tepi pantai tenang di dunia ini Sukab, di sebuah dunia yang sudah miskin
dengan hempasan ombak, bau laut, dan angin yang asin. masih bersimbah darah pula?
Kamu pikir berapa ton beratnya pasir di sepanjang pantai Maka jangan salahkan tukang pos itu Sukab, jika ia kemudi-
itu Sukab? Kira-kira sedikit dong! Masih lumayan tukang pos an menjadi begitu penasaran dan memasuki senja yang terben-
itu kuat menggenjot sepedanya mendaki bukit kapur. Busyet. tang. Tidak ada yang tahu apa nasib waktu1. Ketika anak-anak
Kalau anak-anak kecil tahu ada matahari terbenam di dalam akhirnya berkerumun di sekitar sepeda yang tergeletak itu,
amplop itu lantas bagaimana? Kau tahulah Sukab, anak-anak mereka hanya melihat cahaya senja kemerah-merahan yang
di daerah bukit kapur begini tidak punya mainan yang aneh- semburat membakar langit. Amplop itu hanya bocor sedikit,
aneh seperti di kota. Mereka hanya tahu kambing dan kerbau, tapi akibatnya sudah begitu rupa. Ini semua gara-gara kamu
ikan dan belut, sungai dan jagung. Nasi saja jarang mereka Sukab.
sentuh. Anak-anak yang tidak pernah tahu mainan robot ber-
jalan dengan cahaya di dadanya yang berkedip-kedip pasti akan Sukab yang malang, bodoh, dan tidak pakai otak,
penasaran sekali dengan cahaya senja yang memancar berki- Sepuluh tahun lamanya tukang pos itu mengembara di da-
lauan, merah dan keemas-emasan itu Sukab. lam amplop, kita tidak pernah tahu apa yang dilakukannya di
Mereka memang tidak pernah melihatnya Sukab, karena sana. Apakah dia kawin, beranak pinak, dan berbahagia? Atau
tukang pos itulah yang telah mendahului mereka. Ia meni- selama itu dia hanya duduk-duduk saja memandang matahari
mang-nimang bungkusan berisi senja itu, mendengar-dengar- terbenam dengan perasaan kehilangan, sementara langit yang
kan, dan akhirnya mengintip. Tentu saja di dalam amplop itu tadinya merah keemas-emasan perlahan-lahan menggelap
dilihatnya senja Sukab. Senja terindah yang paling mungkin kebiru-biruan—aku juga tidak tahu bagaimana caranya menik-
berlangsung di muka bumi. Ia mengintip, dan terpesona. Ia mati senja di dalam amplop Sukab, sebuah ruang yang sung-
buka amplop itu. Sebetulnya menurut kode etik profesi itu guh-sungguh terdiri dari waktu. Apakah waktu bisa diulang
tidak boleh. Tapi manusia manapun bisa melakukan kesalahan atau bagaimana, aku belum pernah memasuki senja di dalam
bukan? Ia buka terus amplop itu, dan melihat senja dengan la-
ngit merah keemas-emasan di dalam sana, di mana mega-mega
berpencar seperti perahu di danau, memberikan perasaan nya- 1
Dari pembukaan sajak Chairil Anwar, Perjurit Jaga Malam (1948).

20 21
amplop. Atau, apakah di dunia ini sebetulnya seperti amplop Sukab yang malang, goblok, dan menyebalkan,
ya Sukab, di mana kita tidak tahu apa yang berada di luar diri Kamu tahu apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Tu-
kita, di mana kita merasa hidup penuh dengan makna padahal kang pos itu tiba di depan rumah kami. Ya, rumah kami. Se-
yang menonton kita tertawa-tawa sambil berkata, ”Ah, kasihan telah sepuluh tahun banyak yang terjadi dong Sukab, misalnya
betul manusia.” bahwa aku kemudian kawin, beranak pinak, dan berbahagia.
Apakah begitu Sukab, kamu yang suka berkhayal barangkali Jangan kaget. Dari dulu aku juga tidak mencintai kamu Sukab.
tahu. Tapi aku tidak mau khayalan, aku tidak mau kira-kira, Dasar bego. Dikasih isyarat tidak mau mengerti. Sekali lagi,
meskipun usaha kira-kira itu begitu canggihnya sehingga aku tidak mencintai kamu. Kalau aku toh kelihatan baik selama
disebut ilmiah, aku mau tahu yang sebenarnya. Apakah ada ini padamu, terus terang harus kukatakan sekarang, sebetulnya
yang menyaksikan kita sambil tertawa-tawa? Kalau iya, apalah aku cuma kasihan.
Terus terang aku kasihan sama kamu Sukab, mencintai
artinya hidup kita ini Sukab? Tidakkah nasib manusia memang
begitu rupa tapi tidak tahu yang kamu cintai sebetulnya tidak
seperti ikan, yang diternakkan hanya untuk mengisi akuarium
mencintai kamu. Makanya jangan terlalu banyak berkhayal Su-
di ruang tamu seseorang, yang barangkali juga tidak terlalu
kab, pakai otak dong sedikit, hanya dengan begitu kamu akan
peduli kepada makna kehidupan ikan-ikan itu?
selamat dari perasaan cintamu yang tolol itu. Tapi bukan cinta
Aku tidak pernah tahu, tidak ada seorang pun yang tahu
yang sebetulnya ingin kuceritakan padamu Sukab. Soal cinta
apa yang dialami tukang pos itu di dalam amplop, sampai ia
ini sama sekali tidak penting.
keluar sepuluh tahun kemudian dengan wajah bahagia. Ia su-
Kamu harus tahu apa akibat perbuatanmu ini Sukab, me-
dah sepuluh tahun menghilang di dalam amplop, tapi ia tidak
ngirim sepotong senja untuk orang yang sama sekali tidak
tampak bertambah tua. Apakah waktu di dalam amplop tidak mencintai kamu. Tahu apa akibatnya? Begitu tukang pos itu
bergerak? Tepatnya, apakah senja di dalam amplop itu tidak pulang, setelah menceritakan kenapa kiriman Federal Express
berhubungan dengan waktu? Apakah tidak ada waktu di dalam bisa terlambat sepuluh tahun, kubuka amplop berisi senja itu,
amplop Federal Express itu? Hmm. Apakah aku harus peduli dan terjadilah semua ini. Apa kamu tidak tahu Sukab, senja
dengan semua ini Sukab, apakah aku harus peduli? Kamu be- itu meski cuma sepotong, sebetulnya juga semesta yang utuh?
tul-betul merepotkan aku Sukab, dasar laki-laki tidak tahu diri. Kamu kira matahari terbenam itu besarnya seperti apa? Se-
perti apem? Kalau sepotong senja itu di dalam amplop terus

22 23
sih tidak apa-apa, tapi ini keluar dan lautnya membludag tak Air bah membanjiri bumi seperti zaman Nabi Nuh. Dunia
tertahankan lagi, bagaimana aku tahu amplop itu berisi senja menjadi gempar, tidak semua kapal dan perahu yang ada cukup
Sukab? Aku bukan pengkhayal seperti kamu. Hidupku penuh untuk seluruh umat manusia kan? Lagipula sampai kapan kapal
dengan perhitungan yang matang. Aku tahu betul untung rugi dan perahu itu bisa bertahan? Tiada satu kota pun yang sela-
setiap perbuatan, terutama apa untung ruginya untuk diriku mat, lautan dari senjamu yang membuat langit merah memba-
sendiri. Betapa pentingnya hidupku selamat, demi suamiku ra itu menghempas dan membanjiri bumi dengan cepat sekali.
dan anak-anakku. Pura-puranya aku ini juga perempuan yang Gedung-gedung pencakar langit di setiap kota besar di seluruh
setia. Itu pula sebabnya, sebelum maupun sesudah kawin aku dunia, gunung-gunung tertinggi di muka bumi, semuanya te-
tidak sudi berhubungan dengan kamu Sukab. Lagipula, aku ti- rendam air. Sukab, bumi ini sekarang sudah terendam air. Di
dak mencintai kamu. Mau apa? Tapi kamulah yang tidak tahu mana-mana air dan langit senja tak kunjung berubah menjadi
diri, mengirim senja tanpa kira-kira. Dunia ini jadi berantakan malam. Segalanya kacau Sukab, gara-gara cintamu yang tak
tahu? Berantakan dan hancur lebur tiada terkira. tahu diri.
Setelah amplop itu kubuka dan senja itu keluar, matahari
yang terbenam dari senja dalam amplop itu berbenturan de- Sukab yang malang, paling malang, dan akan selalu malang,
ngan matahari yang sudah ada2. Langit yang biru bercampur
Aku menulis surat ini dengan kertas dan pena terakhir di
aduk dengan langit kemerah-merahan yang terus menerus
dunia, di atas puncak Himalaya. Di depanku ada sebuah sam-
berkeredap menyilaukan karena cahaya keemas-emasan yang
pan kecil dengan sepasang dayung dan sebungkus supermi.
menjadi semburat tak beraturan. Senja yang seperti potongan
Itulah makanan terakhir di muka bumi. Sisa manusia yang
kue menggelegak, pantai terhampar seperti permadani di atas
menjadi pengembara lautan di atas kapal dan perahu telah
bukit kapur, lautnya terhempas langsung membanjiri bumi dan
mati semua, karena kehabisan bahan makanan maupun mayat
menghancurkan segala-galanya. Bisalah kau bayangkan Sukab,
teman-temannya sendiri. Manusia memang banyak akal, tapi
bagaimana orang tidak panik dengan gelombang raksasa yang
menghadapi senja dari dalam amplop itu tidak ada jalan keluar.
tidak datang dari pantai tapi dari atas bukit?
Banyak orang mempertanyakan diriku, kenapa aku membuat
dirimu begitu cinta menggebu-gebu, padahal cinta secuil pun
2
Pertanyaan terkenal Einstein yang dikutip Stephen Hawking adalah:
“Ketika Tuhan menciptakan semesta, apakah Ia mempunyai pilihan?”

24 25
juga tidak, sehingga kamu mengirimkan sepotong senja itu genap burung sudah punah karena kelelahan terbang tanpa
kepadaku, dan tumpah ruah membanjiri bumi. Tapi coba ka- henti. Tinggal ikan-ikan menjadi penguasa bumi. Di kejauhan,
takan, itu bukan salahku toh Sukab? Aku tidak mau disalahkan kulihat Ikan Paus Merah yang menjerit dengan sedih.
atas bencana yang menimpa umat manusia. Mengapa cinta
harus menjadi begitu penting sehingga kehidupan terganggu? Sukab,
Ini bukan salahku. Aku akan mengakhiri surat ini, akan kulipat menjadi pera-
Air laut kulihat makin dekat, setidaknya setengah jam lagi hu kertas, dan kulayarkan ke laut lepas. Bukan tidak mungkin
tempat aku menulis surat ini sudah akan terendam seluruhnya. surat ini akan terbaca juga, entah bagaimana caranya, namun
Aku akan naik perahu, mendayung sampai teler, makan supermi siapa pun yang menemukannya akan membaca kesaksianku.
mentah, lantas menanti maut. Akan kukirim ke mana surat ini? Jika tidak, aku pun tidak tahu apa nasib waktu3. Kupandang
Barangkali kamu pun sudah mati Sukab. Semua pengembara senja yang abadi sebelum melipat surat ini. Betapapun semua
di lautan sudah mati. Sedangkan di puncak tertinggi di dunia ini terjadi karena cinta, dan hanya karena cinta—betapa besar
ini tinggal aku sendiri, dari hari ke hari memandang senja yang bencana telah ditimbulkannya ketika kata-kata tak cukup me-
selesai, di mana matahari tidak pernah terbenam lebih dalam
lagi. Semesta dalam amplop itu telah menjadi pemenang dalam
benturan dua semesta, namun semesta dalam amplop itu cuma 3
Baris pertama dan terakhir dari sajak Perjurit Jaga Malam sama-sama ber-
sepotong senja, sehingga dunia memang tidak akan pernah bunyi: Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu. Baris tersebut adalah cara
penulisan yang diambil dari kumpulan sajak (bersama Asrul Sani dan Rivai
sama lagi. Kalau aku mati nanti, bumi ini akan tetap Apin) Tiga Menguak Takdir (1950). Chairil tampaknya mempunyai perha-
tinggal senja selama-lamanya, dengan matahari tian besar terhadap baris ini, karena dalam kumpulan Kerikil Tajam dan Yang
terbenam separuh yang tidak pernah turun T­erampas dan Yang Putus (1949), baris pertama dan baris terakhir itu dibeda-
kan: antara Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu? (baris pertama), dan
lagi. Langit merah selama-lamanya, Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu! (baris terakhir). Chairil Anwar
lautan jingga selama-lamanya, meninggal tahun 1949, oleh penulis cerita ini belum diselidiki, apakah peng-
hilangan tanda baca ? dan ! dalam buku yang terbit tahun 1950 itu berasal
tetapi tiada seorang manusia
dari penyairnya, disunting orang lain, atau merupakan kesalahan cetak. Buku
pun memandangnya. Se- kumpulan Chairil yang lain Aku Ini Binatang Jalang (1987, Pamusuk Eneste,
ed.), memuat kedua-duanya.

26 27
nampungnya. Kutatap senja itu, masih selalu begitu, seperti
menjanjikan suatu perpisahan yang sendu.
Selamat berpisah semuanya. Selamat tinggal.

Alina.

Pondok Aren,
Sabtu 10 Februari 2001, 20:45.

28
Dikeranakan koerang akal koerang siasat,
saorang tukang post djadi tersesat.
Tjilakanjah begitoe dia ada mendoesin
waktoe soeda lewat 10 taoen.

Tukang Pos
dalam Amplop

2001

29
ini, di mana angin panas dan kering bertiup membawa bubuk
gamping.
Aku mengayuh sepedaku dengan terengah-engah sambil
melihat ke belakang, melihat tas surat yang terletak di bon-
cengan. Sudah dari kemarin salah satu tas itu mengeluarkan
cahaya merah keemas-emasan, seperti senja sempurna yang

A ku mengayuh sepedaku dengan terengah-engah mendaki


bukit. Sudah berpuluh-puluh tahun aku menjadi tukang
pos, pengantar surat yang tidak pernah mendapat surat, namun
kejinggaan cahayanya membakar langit. Dalam perjalananku
yang panjang selama 40 hari 40 malam, aku memang nya-
ris tidak pernah berhenti, pada malam hari pun tidak tidur,
baru kali inilah aku harus mengantarkan surat ke suatu alamat mengayuh sepeda sepanjang malam di jalan tol tanpa ujung
yang begitu jauh, seolah-olah berada di ujung dunia. Sudah di bawah sinar rembulan yang kebiru-biruan, tetapi aku selalu
40 hari 40 malam aku mengayuh sepedaku nyaris tanpa henti, berhenti apabila senja menjadi sempurna.
sebelum akhirnya sampai ke bukit kapur ini. Aku mengayuh Berpuluh-puluh tahun dalam kehidupan manusia yang fana,
sepedaku siang dan malam, dan hanya berhenti makan, mi- sangatlah mungkin ada seseorang yang tidak pernah merasa
num, dan tidur sebentar di bawah pohon yang rindang sem- senja itu ada, namun aku bukan orang seperti itu. Memang
bari merasakan tiupan angin dan mendengarkan suara kericik senja seringkali juga begitu-begitu saja, tanpa cahaya merahnya
sungai yang mengalir, ketika tergolek-golek di atas rumput yang kejingga-jinggaan, dengan hamparan mega-mega yang
mengenangkan keluarga yang sudah lama ditinggalkan. terbentang dalam sepuhan keunguan, sehingga tampak bagai-
Untuk pertama kalinya dalam hidupku sebagai tukang pos, kan kapas yang dicelup warna ungu muda; tanpa lempengan
pengantar surat yang merana tanpa penyapa, aku harus mela- matahari raksasa yang tenggelam ke balik cakrawala dengan
kukan perjalanan begitu panjang, di bawah terik matahari dan geletar yang membuat udara bergelombang dan perasaan men-
sinar rembulan, mengantarkan surat dengan alamat begitu aja- jadi rawan.
ib, mengarungi lembah, hutan, dan padang rumput, sebelum Bagiku menghayati senja sama pentingnya dengan ber-
akhirnya menyusuri pantai selama berhari-hari sampai tiba doa di dalam kuil. Dalam perjalananku mengayuh sepeda 40
di kaki bukit. Heran. Ada orang mau tinggal di bukit kapur hari 40 malam, beberapa kali kujumpai kuil-kuil yang sudah

30 31
menjadi reruntuhan maupun masih digunakan, tapi aku tidak kan pengemis itu sendiri yang menyapaku di sebuah kedai arak
pernah berhenti di kuil yang manapun. Hanya apabila senja di tepi jurang.
menjadi sempurna dan cahayanya yang keemas-emasan mem- “Kau bawa surat untukku,” katanya mantap.
buat langit membara sebelum menjadi ungu, biru, dan kelam, Kuambil suratnya.
aku akan berhenti, menghayatinya bagaikan suatu upacara, “Anda Pengemis Termiskin di Dunia?”
sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Makanya aku sung- “Yeah. Itulah aku.”
guh mengenal cahaya senja keemasan-emasan dari tas surat di Kulihat Pengemis Termiskin di Dunia itu. Ia tidak punya
boncengan, aku hanya heran bagaimana mungkin ada cahaya tangan, tidak punya kaki, tidak punya hidung, dan tidak punya
senja yang merah kejingga-jinggaan bisa memancar dari dalam mata, tetapi ia ditandu empat perempuan pengemis yang jelita.
tas surat. “Letakkan di sini,” katanya sambil membuka mulutnya.
Di bukit ini, akhirnya aku berhenti. Penasaran juga rasanya Kuletakkan surat itu di mulut, yang lantas menggigitnya.
Kemudian aku juga membawa surat-surat untuk para pe-
melihat tas surat memancar-mancarkan cahaya seperti itu.
lacur dalam perahu. Aku menunggu perahu mereka lewat di
Apalagi, cahaya yang memancar-mancar itu seperti berbisik
kelokan sebuah sungai sampai tiga hari lamanya, sebelum bisa
dan memanggil-manggil. Semua surat sudah kuantar ke berba-
menyampaikan 17 surat mereka.
gai pelosok bumi. Aku telah mengantarkan surat kepada seo-
Kini tinggal surat terakhir, yang rasanya tiba-tiba menjadi
rang tukang pedati. Aku menyampaikan surat itu ketika pedati
berat sekali. Anak-anak desa yang sedang menggembala kam-
yang ditarik seekor kuda itu masih berjalan mengelilingi bumi.
bing, ikut berkerumun ketika aku mengambil surat dari dalam
Kata orang, pedati itu sudah berjalan selama seribu tahun dan
tas di boncengan.
tidak sampai-sampai juga. Pedati itu sudah mengelilingi bumi
sampai 40 kali sehingga setiap orang mengenalnya.
“Itu, baru saja lewat,” kata seseorang ketika kutanya.
Aku juga telah mengantarkan surat kepada seorang peng-
emis yang paling susah dicari, karena surat kepadanya sama
sekali tidak beralamat, tapi aku ditugaskan menyampaikannya
juga. Busyet. Aku tidak akan pernah menemukannya kalau bu-

32 33
“Cahaya! Cahaya!” teriak mereka. plop dan berenang seperti ikan. Ternyata amplop ini memang
Mereka berkumpul dan menatapku dengan mata berta- berisi senja, sepotong senja di mana terdapat matahari yang su-
nya-tanya. Kuambil amplop itu, berat juga untuk ukurannya, dah terbenam separuh di cakrawala. Tetapi di dalam amplop,
malah berat sekali. Heran aku bisa kuat membawanya selama semesta adalah dunia air dan aku menjadi ikan yang bisa berna-
ini. Rupa-rupanya ada celah yang terbuka. Petugas Federal pas dengan insang. Aku menjadi manusia ikan. Sekarang, aku
Express di kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu tahu bahasa ikan. Di dalam dunia air aku mendengar banyak
kurang teliti merekatkan penutup amplop. Payah. Itulah kalau sekali suara-suara, yang setelah kuperhatikan ternyata adalah
kerja sudah menjadi rutin, tidak terpikir bahwa surat bukanlah kata-kata. Ikan-ikan adalah para penyair. Mereka bertukar kata
sekadar surat. Sebuah surat adalah pesan, kandungan rohani dengan puisi yang tak terterjemahkan dalam bahasa manusia.
manusia yang mengembara sebelum sampai tujuannya. Sebu- Samudera menggenangi semesta. Matahari senja yang
terbenam separuh dan tidak turun-turun itu, karena perge-
ah surat adalah sebuah dunia, di mana manusia dan manusia
rakannya terhenti ketika senja ini terpotong, juga terbenam
bersua. Itulah sebabnya sebuah surat harus tertutup rapat,
dan cahaya senjanya yang kemerah-merahan membuat dasar
pribadi dan rahasia, dan tak seorang pun berhak membukanya.
lautan ini menjadi jingga. Aku berenang di dalam lautan jingga
Masalahnya, surat ini sekarang sudah terbuka, dan aku yang
dan melihat segala hal yang biasanya tampak di muka bumi
dengan tidak sengaja menengok ke dalamnya bagaikan lang-
terendam air. Gunung gemunung, gedung-gedung, dan jalan
sung tersihir.
raya tampak berkilat keemasan di dalam air yang jingga, mem-
“Awas Pak! Jangan masuk! Itu senja!” Anak-anak itu berte-
buat segalanya serba baru dan mengherankan. Aku jadi ngeri,
riak.
bagaimanakah surat ini nanti akan diterima?
Aku meluncur di dasar lautan seperti ikan menuju matahari
yang membuat segala-galanya menjadi jingga. Matahari itu
tampak begitu besar, begitu dekat, tetapi yang ternyata begitu
jauh. Apakah matahari di dalam lautan ini sama jauhnya seper-
ti yang terlihat di atas bumi? Kalau memang begitu pastilah
Aku tidak ingin masuk, tapi aku tersedot ke dalamnya. Seperti air lautan ini banyak sekali, memenuhi ruang angkasa sampai
mimpi saja rasanya, tiba-tiba aku sudah berada di dalam am- menenggelamkan matahari dan bintang-bintang dari segenap

34 35
galaksi. Busyet. Dunia telah dikuasai ikan, dan aku menjadi ta bersuara. Seperti doa, tapi entahlah itu doa atau mantra atau
manusia ikan di dasar lautan di dalam amplop. gumam ataukah sekadar suara-suara. Jadi inilah suara-suara
Lama sekali aku meluncur, sampai lupa makan dan lupa yang dibawa cahaya dan kudengar di atas sana. Hmm. Apa
minum, dan juga lupa waktu. Aku tak tahu berapa lama dan jadinya bila amplop ini dibuka? Kujelajahi sisa-sisa peradaban
berapa jauh aku sudah meluncur, aku hanya melihat matahari manusia di dasar laut, kuhapus lumut yang menutupi prasasti-
di dasar lautan yang masih juga terbenam separuh itu tidak prasasti terpendam, dan kubaca sejarah seperti yang pernah
pernah menjadi lebih dekat. Aku meluncur seperti ikan, ber- berlangsung di muka bumi, dan di dalam air itu aku menjadi
sama ikan maupun sendirian, mengarungi lautan. Kudengar sangat sedih.
percakapan ikan, kudengar nyanyian ikan, kudengar bisik-bisik Aku mungkin menangis, tapi aku tidak bisa mendengar su-
ikan, kudengar rintihan ikan, kudengar jeritan ikan, kudengar araku sendiri. Airmataku bercampur air laut sehingga airmata
derita ikan. Astaga. Apakah kita tidak bisa sekadar agak men- tidak mempunyai makna lagi. Aku berenang-renang di antara
jauh sedikit dari penderitaan? Nun di kejauhan, kulihat Ikan ikan, di dalam kota-kota cahaya di dasar laut yang masih utuh
Paus Merah yang bersimbah darah itu merintih, seperti sesua- seperti ketika belum terendam. Kutengok ke atas. Tidak ada
tu yang pernah kukenal. permukaan air. Semesta adalah dunia air. Kulihat tanganku
Aku berhenti, mencoba mendengar lebih jelas, dan kude- yang telah bersisik, jari-jariku yang dihubungkan selaput, dan
ngar semakin banyak suara yang seperti pernah kukenal. Aku dari sebuah cermin besar di bekas sebuah kafe kulihat beta-
menyelam lebih dalam, dasar lautan telah menjadi begitu te- pa punggungku ditumbuhi sirip. Apakah semua ikan ini juga
rang dan berkilat keemas-emasan karena matahari yang terbe- berasal dari manusia? Di bawah ketiakku pun tumbuh selaput
nam itu. Aku terus menyelam, semakin yang membuat aku bisa mengepak seperti ikan pari. Hmm.
dalam dan semakin dalam, sampai Kurasa aku betul-betul menjadi manusia ikan.
bisa kutemukan bahwa suara-sua-
ra itu ternyata berasal dari Candi
Borobudur. Aku berenang di antara
stupa-stupa berlumut, dan menyaksikan bah-
wa patung-patung batu yang bersamadi itu ternya-

36 37
Mungkin sudah lama sekali, tapi mungkin juga baru sebentar. Demikianlah di dasar laut yang selalu bercahaya keemas-
Entahlah apakah waktu masih penting sekarang ini, dan apakah emasan seperti senja ketika matahari terbenam terbangun se-
masih bisa dihitung, aku hanya tahu bahwa aku beranak pinak buah peradaban yang mencoba belajar dari kesalahan manusia.
dengan cepat sekali. Aku kawin dengan seekor ikan lumba-lum- Berjuta-juta spesies makhluk air baru berdasarkan berbagai
ba dan melahirkan spesies baru. Anak-anakku menjadi makh- persilangan membangun dunia beradab yang melanjutkan
luk air yang mempunyai kecerdasan, sehingga dimungkinkan tujuan-tujuan manusia. Aku suka menjelajah di kota-kota ber-
membangun kembali sebuah dunia yang beradab di dalam air. cahaya keemasan di dasar laut atau meluncurkan diri ke galaksi
Kota-kota cahaya yang dahulu dibangun manusia mulai dihuni dalam semesta yang hanya berisi air. Segala bintang terendam
oleh keturunan anak-anakku yang mengawini ikan-ikan lain. air, semesta adalah air, dunia adalah air yang bergelimang de-
Kami, bangsa baru di dalam air, berkembang biak dengan sa- ngan cahaya senja dari matahari yang terbenam separuh.
ngat cepat. Aku sudah menjadi ikan sepenuhnya, suatu jenis Pastilah perjalananku lama sekali. Kutahu di luar amplop
ikan yang belum pernah ada di dunia. Tubuhku bersisik, pung- ini ada seseorang menunggu surat. Tapi aku merasa sulit
gungku bersirip, tanganku seperti gabungan sayap kelelawar mengambil keputusan karena aku bukan hanya menemukan,
dan ikan pari, kakiku disatukan selaput, sementara kepalaku melainkan membangun kehidupan baru. Kalau aku keluar lagi
melonjong seperti ikan tapi tetap berunsur manusia. Mataku
dari amplop, aku hanya akan kembali menjadi tukang pos yang
syukurlah tetap mengenal cahaya senja.
harus mengantarkan surat ke sana kemari. Lagipula, aku tidak
Kepada keturunanku kuriwayatkan sejarah manusia di muka
tahu jalan kembali.
bumi, yang dengan segala kelebihannya dari segenap makhluk
Dari semesta air ini, aku tidak melihat sesuatu yang meru-
lain tak pernah mampu menahan dirinya sebagai penghancur.
pakan jalan keluar. Sembari berenang di antara bintang aku
Bangsa kami terheran-heran tak mengerti jika mendengar kisah
terkenang kehidupanku sebagai tukang pos, maupun keluarga-
manusia. Mereka tidak bisa membayangkan betapa mungkin
ku yang kutinggalkan. Apakah yang terjadi dengan duniaku se-
manusia menghancurkan hutan, mengotori laut, menyantap
lama aku menjadi manusia ikan? Airmataku titik, tetapi apalah
makhluk-makhluk lain, dan membantai sesamanya tanpa pe-
artinya airmata di sebuah dunia yang terdiri dari air.
rasaan; mereka tak mengerti betapa mungkin manusia menjadi
Dalam sebuah pertemuan, kusampaikan kepada mereka,
begitu jahat, dan dengan kecerdasannya hanya merusak semes-
bahwa dunia ini berada di dalam sebuah amplop. Mereka ter-
ta yang suci.

38 39
kejut, dan aku berusaha keras membuat mereka mengerti. Ke- Semenjak itu, hampir semua makhluk air yang memiliki
tika akhirnya mereka menjadi paham, mereka semua menjadi kecerdasan itu mencari-cari jalan untuk keluar dari amplop.
sangat sedih. Setiap gua dan terusan diselusuri, siapa tahu seperti sebuah
“Kami mengira semesta begitu luas, bahkan tak terbatas, jalan yang menghubungkannya dengan dunia di luar amplop.
karena sepanjang sejarah kehidupan kami selalu ada cakrawala Aku menjadi sangat takut dengan cita-cita kemajuan yang
di depan pencapaian-pencapaian kami. Ternyata dunia kami tidak kunjung padam. Aku pergi ke Candi Borobudur, dan
hanya sebesar amplop. Kalau begitu, apa yang kami mengerti melihat-lihat patung-patung batu di dalam stupa masih ber-
selama ini adalah semu, kami tidak suka hidup dalam dunia gumam seperti mendengungkan mantra-mantra. Suara-suara
yang semu, kami ingin hidup dalam dunia yang sebenarnya.” itu merayap bersama cahaya senja, larut dalam gelombang air,
“Tapi kalian tidak bisa hidup tanpa air.” berdenyar-denyar dalam kertap keemasan yang melintasi relief
“Kami tidak peduli, lebih baik kami mati dalam kenyataan, sepanjang dinding batu. Makhluk-makhluk air keturunanku
ketimbang hidup dalam sesuatu yang semu.”
suka berziarah ke Borobudur, candi itu dipenuhi ikan dan
“Kalau begitu kita semua akan mati.”
menjadi jauh lebih hidup daripada sebelumnya.
“Kenapa?”
Aku ingin menyampaikan berita ini kepada dunia, namun
“Karena yang tidak kita ketahui lebih banyak dari yang kita
bagaimana caranya? Aku ingin membuat catatan, tetapi di du-
ketahui, dan yang tidak ketahui itulah yang akan menjadi pe-
nia air ini kami tidak mengenal huruf dan cara kami berpikir
nyebab kematian kita semua.”
sama sekali lain. Percakapan kami berlangsung di dalam pikir-
“Kalau pun harus begitu, tidak apa-apa,” kata mereka.
an, karena mulut kami tidak berlidah, kami tidak bertelinga,
“Kalau begitu kalian tidak pernah belajar apa-apa, untuk
dan air tidak akan mampu menghubungkan suara-suara kami
apa semua ini dibangun kalau hanya ingin mengulangi bencana
sehingga terdengar seperti kami menyuarakannya.
yang sama.”
Aku masih melamun di Candi Borobudur, ketika senja
“Apakah kami harus menyerah dan hidup di dalam amplop?’
“Pengetahuan itu dibangun setapak demi setapak, kalian tiba-tiba beranjak. Matahari yang terbenam separuh selama
tidak bisa meloncat begitu saja keluar amplop tanpa tahu apa berabad-abad itu bergerak kembali. Senja akan segera berubah
yang akan kalian hadapi di luar amplop itu. Aku yang dari sana menjadi malam. Dunia akan menjadi gelap dan segalanya akan
saja tidak tahu bagaimana caranya kembali.” menjadi lain. Ikan-ikan berenang mundur. Makhluk-makhluk

40 41
air terkejut dan belingsatan. Cahaya senja yang merah kee- “Bapak masih seperti dulu ketika masuk ke dalam amplop
mas-emasan itu memudar dengan cepat, meninggalkan nuansa itu! Padahal sepuluh tahun lamanya Bapak berada di dalam
ungu yang kelam, dan dasar lautan yang tadinya selalu terang amplop! Bapak tidak bertambah tua!”
berubah menjadi gelap sama sekali. Anak-anak itu sudah menjadi remaja. Mereka belum me-
Aku terpaku di tempatku. Meraba-raba dinding candi. Di ninggalkan desa ini. Kulihat amplop itu, kupungut dan kure-
sekitarku hanya kegelapan dan aku tidak bisa melakukan apa- katkan kembali tutupnya yang terbuka, masih ada basah air di
apa. Inilah malam. Apakah esok matahari akan muncul lagi? bagian luarnya. Kumasukkan kembali amplop itu ke dalam tas
Aku memejamkan mata. Dunia dalam mataku yang terpejam surat. Lantas kuberdirikan sepedaku. Kuperhatikan sepeda itu
ternyata lebih terang daripada dunia dengan mata terbuka agak berubah.
yang kehitamannya jauh lebih hitam dari hitam yang paling “Maaf Pak! Selama Bapak ada di dalam amplop, sepeda itu
hitam. Dalam dunia dengan mata terpejam masih kulihat senja kami pinjam untuk main-main! Tidak apa-apa ya Pak? Habis
itu, senja dengan matahari yang separuh terbenam.
Bapak lama sekali di dalam! Sepeda itu sudah banyak sekali
Pada saat mataku terpejam itulah kudengar suara memang-
berjasa Pak! Ada perempuan hamil yang diantar pakai sepeda
gil-manggil.
itu ke dukun beranak di tepi danau! Terima kasih Pak, dan
sekali lagi maaf!”

“Pak! Sudah dibilang kan? Jangan masuk ke amplop itu! Di


dalamnya ada senja!”
Kulihat orang-orang mengerumuniku, seragam tukang pos
yang kukenakan basah kuyup. Aku tergeletak di dekat sepeda-
ku yang tergolek dengan roda berputar. Aku bangkit berdiri.
Kulihat orang-orang di sekitarku. Mereka menatapku dengan
mata berbinar-binar.

42 43
“Kami semua belajar naik sepeda memakai sepeda itu Pak!
Terima kasih! Harap maklum Pak, di desa ini kami hanya me-
ngenal kambing dan kerbau Pak! Jadi kami penasaran sekali
melihat sepeda Bapak! Tadinya kami mau menunggu Bapak
keluar dari amplop, tapi setelah beberapa hari kami tunggu,
kami pikir kami bisa memakainya saja Pak! Kami percaya Ba-
pak pun tidak akan marah!”
“Bapak lama sekali di dalam, Bapak tidak tahu jalan keluar
ya?”
Aku tertegun. Apa sebetulnya gampang keluar dari amplop
itu?
“Pasti Bapak tidak sempat memejamkan mata! Orangtua
kami sering keluar masuk senja, tinggal memejamkan mata
saja, itulah pintu masuknya! Tapi kami semua tidak tertarik,
karena sudah kenyang dengan cerita. Kami lebih tertarik main
sepeda! Apa Bapak banyak senang di sana?”
Aku naik sepeda dengan pakaian basah kuyup. Aku tidak
tahu apa yang harus kukatakan. Aku mengayuh sepedaku de-
ngan terengah-engah mendaki bukit kapur. Masih ada satu
surat yang harus kusampaikan ke tujuan seperti tertulis di
alamatnya:

Pondok Aren, Senin, 26 Februari 2001.


44
Peselancar Agung

45
Apa pasal Jezebel berada di antara majit-majit jang reba?
Di pantai itoe, soedahlah pasti Jezebel trada bermaksoed
plesiran, atawa maoe boeka kiosk.

Jezebel

1999

47
Angin bertiup sepanjang pantai
itu, asin dan basah, berbisik-bisik
di telinga Jezebel yang melangkah
di antara mayat-mayat yang telungkup
dan tengadah, bertumpuk-tumpuk dan ter-
pencar-pencar, bertebaran di siram ombak yang tiada

M ayat-mayat bergelimpangan di mana-mana sepanjang


pantai itu. Mayat-mayat terkapar di atas pasir, tergolek
di terumbu karang, tersandar di batang-batang pohon nyiur
hentinya mendesis dan mendesah.
“Jezebel, Jezebel...”
Barangkali angin yang berbisik itu, tapi barangkali juga
seolah-olah masih hidup dan duduk santai memandang ma- bukan. Barangkali hanya pesan dari seseorang yang dibawa
tahari senja yang merah membara membakar langit sehingga angin itu sehingga sampai ke telinga Jezebel. Sebuah bisikan
rambut Jezebel yang berhamburan ditiup angin itu berkilat betapa pun lemahnya tiada akan hilang bukan? Sekali bisik-
seperti benang-benang emas. Berpuluh-puluh mayat, beratus- an terlontar dan tertiup angin bisikan itu akan mengembara
ratus mayat, beribu-ribu mayat menghampar tak terbilang setiap saat sampai seseorang mendengarnya. Tapi siapakah ia
disiram ombak yang berdebur dan menghempas dengan ganas yang berbisik di seberang angin itu? Siapakah ia yang suatu
bagai membantingkan sebuah pesan yang paling kejam dan pa- ketika akan terpaksa berpesan dalam bisikan sehingga bisikan
ling tak mengenal belas. Di antara mayat-mayat itulah Jezebel itu melayang-layang di dalam angin mengembara sepanjang
melangkah sementara kaki dan ujung gaunnya yang putih dan ruang meniti waktu sampai didengar Jezebel?
tipis setiap kali basah tersiram buih-buih ombak yang perak “Jezebel...”
yang sebagian jingga dan sebentar kemudian keemas-emasan Betapa lemahnya sebuah bisikan di tengah angin yang
karena langit yang masih saja terbakar dengan mega-mega ke- menderu menghempas debu namun betapa nian abadi sebuah
unguan yang semburat dan bergetar dengan cemas. Pasir yang bisikan yang tetap saja bertahan tetap saja terdengar begitu pe-
basah jadi hamparan tepung intan yang berkilat-kilat seperti lan begitu pelahan begitu lemah dan tertahan-tahan sampai ke
bergerak membentuk ceruk-ceruk karena mayat-mayat bagai telinga seseorang yang barangkali saja akan meneriakkannya
mencengkeram pasir tak hendak diseret ombak ke lautan lepas. kembali dalam kelam senja di sebuah pantai yang begitu luas
tanpa batas.

48 49
“Jezebel! Jezebel! Jangan berjalan ke sana Jezebel! Jangan!” memamerkan dengan pongah betapa bisa indahnya sebuah
Tapi Jezebel terus saja berjalan, berjalan, dan berjalan. bencana kemanusiaan. Berapa juta mayat, berapa karung keluh
Tapak kakinya yang mungil dan mulus membentuk jejak di dan jeritan berdarah dibutuhkan untuk membangun sebuah
pantai basah. Angin terus menerus menjalin kata-kata di anta- dongeng besar tentang penderitaan?
ra rambutnya antara bisikan dan teriakan, antara anjuran dan Dari mayat-mayat masih mengalir darah dari luka. Darah
larangan, antara kecintaan dan kejahatan, jalin menjalin meng- mengalir menganak sungai di atas pasir yang dengan segera
hembus angin, berhamburan di belantara makna. Mayat-mayat menjadi basah membentuk warna aneh karena ombak yang
bagaikan gundukan serba kelabu, Jezebel berjalan di antara masih terus menghempas dan mendesah tak kenal lelah. Jeze-
mayat-mayat yang berkisah. bel terus menerus melangkah di pantai yang menjadi begitu
“Jezebel, lihatlah bagaimana aku ditombak, demi apa? amis karena mayat-mayat yang darahnya mengalir tak putus-
Apakah demi sebuah pemandangan untukmu agar engkau bisa putus itu bergeletakan saja di sana entah sejak pertempuran
berkata: lihatlah bumi yang penuh duka?” yang mana karena pertempuran memang selalu ada dari za-
Mayat-mayat bergelimpangan dalam sebuah komposisi. man ke zaman mengerahkan segenap akal dan pikiran demi
Seorang penata letak telah mengaturnya sedemikian rupa se- kemenangan dan menyisakan mayat-mayat yang bertebaran
hingga batang tombak yang menancap di perut itu menjulang sepanjang pantai dalam cahaya senja yang keemasan berki-
agak miring dengan selera seni yang canggih dalam siluet di lau-kilau sehingga tumpukan mayat-mayat itu sepintas lalu
tumpukan mayat itu. Cara bagaimana tiang bendera terpasang kadang-kadang terlihat seperti tumpukan kain sutra di gudang
dan kantong pengukur angin berkibar dan cara mayat-mayat permata khayalan. Angin menyapu wajah Jezebel yang sendu.
itu berserak atawa diserakkan telah menimbulkan kecurigaan Tiada lelah kakinya yang mungil dan mulus melangkah karena
bahwa tidak ada apa pun yang alami dalam pertumpahan da- terus menerus tiada bisa percaya betapa segenap pertumpahan
rah yang telah membuat pantai itu menjadi merah. Jezebel darah menjadi mungkin menjarah rayah membentuk pantai-
melangkah dengan mata yang telah merah dan sembab. Duka pantai berdarah.
nestapa yang nahas terus saja menghempas sepanjang pantai Pantai yang sepi, pantai yang sendu, selalu tetap seperti
yang telah diarunginya dari senja yang satu ke senja yang lain itu, sejak dulu. Senja membuat langit berwarna jingga yang
yang bagaikan tiada pernah akan tenggelam seperti sengaja rata dan laut tetap saja biru sementara garis cakrawala itu abu-

50 51
abu. Senja membuat pantai-pantai seperti kue lapis, sebelum berhenti gelombang udara menampungnya sampai angin ber-
akhirnya lenyap habis tanpa sisa ditelan malam. Namun senja tiup kembali dari pantai ke pantai dari senja ke senja meniup
tiada pernah berakhir bagi Jezebel yang masih terus mene- rambut Jezebel yang panjang dan berhamburan. Mayat-mayat
rus melangkah di antara mayat-mayat yang kulitnya menjadi tergolek dengan luka tusukan tombak, bacokan pedang, sabet­
tembaga, berkilat-kilat karena cahaya matahari yang sedang an clurit, dan berondongan tembakan. Mayat-mayat terkapar
bergetar-getar mendesak cakrawala. Hanya terdengar suara dan terlantar dengan setengah badan terendam air timbul dan
ombak dan angin. Ombak yang mendesah dan angin yang ber- tenggelam karena lidah ombak yang datang dan pergi mening-
bisik. Desah yang membawa keluh dari seberang bumi yang galkan buih memutih yang keperakan. Mayat-mayat berjajar
lain. Bisik yang terlalu pelan dan terlalu pelahan dalam angin seperti saling berpelukan di bukit-bukit pasir. Mayat-mayat
sehingga tiada pernah menjadi jelas siapa kiranya di sana telah terlihat mengambang di antara gelombang. Mayat-mayat yang
berbisik kepada angin menyampaikan pesan entah kepada sia- terseret gelombang sebagian ada yang dihempaskan ombak
pa entah di pantai mana entah pula kapan sampainya. Tetapi kembali ke pantai sebagian ada yang terseret ke lautan lepas.
pesan adalah pesan meski hanya dalam bisikan dalam angin Di lautan lepas mengambang mayat-mayat, sebagian kemudian
yang akan menerbangkannya mengembara ke segenap pelosok tenggelam, tapi sebagian tetap saja mengambang.
bumi sampai ada telinga yang menjaringnya. Tiada pernah Wanita itu melangkah di pantai tanpa menjinjing gaunnya
penting benar siapa yang mengirim pesan itu. Tiada pernah yang putih dan tipis sehingga bagian bawah gaunnya itu men-
penting benar siapa yang menerima pesan itu. Barangkali Je- jadi basah dan kotor karena pasir dan tumbuhan laut yang
zebel menerima pesan yang disampaikan angin oleh seseorang terseret selama ia terus saja melangkah dengan kakinya yang
yang membisikkannya seribu tahun yang lalu dengan bahasa mungil dan mulus meninggalkan jejak panjang di pantai, satu-
yang lain. satunya jejak di pantai, sepanjang pantai yang tiada pernah
Jezebel melangkah sepanjang pantai di antara mayat-mayat putus bahkan cakrawala pun tertembus. Mayat-mayat diam tak
berkaparan dan mendengar bisikan itu. Bisikan yang lemah bersuara. Hanya suara hempasan ombak dan angin. Apakah
seperti ratapan sendu, seperti tangisan, merintih seperti ter- mayat-mayat harus dimakamkan atau dibakar atau ditinggal-
luka, mengerang dalam penderitaan, menjerit-jerit tiada lagi kan di atas pohon atau ditenggelamkan? Namun siapakah yang
tertahan. Segalanya tersimpan dalam angin dan bila angin akan mengurusi semua itu jika di sepanjang pantai itu hanya

52 53
terlihat Jezebel yang melangkah perlahan-lahan? Mayat-mayat yat-mayat bergelimpangan tiada habisnya, terserak di sini dan
juga bergelimpangan di dermaga maupun di atas kapal-kapal di sana, berjalan dan terus berjalan dalam kelam senja ketika
yang tidak akan pernah lagi berlayar. Ombak membuat kapal- matahari menjadi bola raksasa yang membara di langit itu,
kapal itu bergoyang, burung-burung camar menjerit, Jezebel pelahan-lahan melesak ke balik cakrawala.
ingin diam sebentar dan mendengarkan apa saja yang masih “Jezebel...”
bisa didengar tapi ia terus saja melangkah perlahan-lahan. Apakah Jezebel masih akan mendengarnya? Tiada sesuatu
“Aku lelah,” katanya kepada angin, “siapa yang tidak lelah pun yang bergerak di pantai yang hanya dipenuhi mayat-mayat
berjalan tanpa henti sepanjang pantai menyaksikan mayat- bergelimpangan. Hanya suara hempasan ombak dan hembusan
mayat bergelimpangan? Tapi aku tidak bisa berhenti meskipun angin yang bertiup di muka bumi tanpa manusia.
aku sudah hampir tidak kuat lagi. Harus ada yang setidaknya “Jezebel! Jezebel!”
melihat mayat-mayat itu. Harus ada yang sekadar menghor- Hanya langit yang merah. Segalanya merah.
matinya. Kalau tidak, siapa yang akan melakukannya? Tiada
lagi manusia yang masih tersisa di muka bumi ini. Aku sen-
dirian tak mungkin mengubur mereka semua, bahkan untuk Karangbolong-Jakarta, Juni 1999
menengoknya pun barangkali seluruh waktu hidupku tidak
akan pernah cukup. Pantai ini tidak ada ujungnya dan mayat-
* Dikembangkan dari dua lagu berjudul Jezebel, masing-masing dinyanyikan Edith
mayat bertebaran sepanjang pantai tak terbilang. Harus ada
Piaf (W. Shanvelin/Charles Aznavour, 1951) dan Sade Adu (Stuart Matthewman/Sade
yang sekadar menengoknya meski tidak bisa berbuat apa-apa, Adu, 1985).

meskipun semuanya sudah punah. Tinggal aku sendiri di dunia


menjalani ziarah yang panjang ini, yang tak akan pernah cukup
untuk duka kehidupan di muka bumi.”
Angin membawa gumam itu, kali ini untuk tidak didengar
siapa pun.
Maka saksikanlah pemandangan itu. Seorang wanita yang
berjalan dalam cahaya senja di sepanjang pantai di mana ma-

54 55
Soeda ber-abad2, hikajat paoes merah tiada teroengkap.
Sekarang poen tida bole djadi terboeka resia. Tjeritera
ngiloe, kerna anak panah poenja lantaran.

Ikan Paus Merah

1996-1999

57
an purba dari perasaan yang terluka. Di tengah lautan yang
keemasan memantulkan langit senja yang gemerlapan, Ikan
Paus Merah itu akan mendadak muncul dari dalam laut, me-
loncat seperti terbang di kejauhan, dan menghilang setelah
menyemprotkan air dari lubang di punggungnya. Jeritan itu
masih terdengar ketika Ikan Paus Merah dengan darah yang

K utuliskan cerita ini di sebuah kota di tepi pantai di mana


pelangi tidak pernah memudar. Cerita sebenarnya tidak
ada yang pernah tahu. Seorang pemburu ikan paus dari masa
memancar di punggungnya itu menghilang. Para pelaut selalu
akan mendengar jeritan yang pilu, sebuah jeritan purba dari
perasaan yang terluka. Kata orang yang pernah melihatnya,
lalu telah berhasil memanah ikan paus itu tepat di punggung- darah itu masih selalu mengucur dari luka di punggungnya,
nya. Panah itu tidak pernah lepas lagi sampai sekarang. Luka dan membuat seluruh tubuhnya betul-betul menjadi merah.
itu mengeluarkan darah yang membuat seluruh tubuh ikan Kadang-kadang bahkan semprotan air yang muncrat dari lu-
paus itu menjadi merah. Maka para pelaut dari tujuh lautan bang di punggungnya itu juga berwarna merah karena tercam-
menyebutnya Ikan Paus Merah. pur darah.
Barangkali itu ikan paus biasa. Namun sampai hari ini tidak Setelah berabad-abad, masih selalu ada orang yang melihat
seorang sarjana pun bisa memastikan jenisnya. Ikan paus itu Ikan Paus Merah tersebut. Muncul mendadak di samping se-
tidak pernah berhasil dipotret atau direkam dengan kamera buah kapal, mengagetkan semua orang karena ukurannya yang
video. Ia selalu hanya muncul sekejap di tujuh lautan dan ha- besar, melompat begitu tinggi seperti terbang, hanya untuk
nya memperpanjang cerita tanpa data yang akurat. Radar yang menghilang lagi dalam cahaya senja yang gemilang. Darah
canggih memang berkedip-kedip menunjukkan ia datang, tapi masih selalu mengalir dari luka di punggungnya, dan jeritan
itu tidak berarti banyak. Ikan Paus Merah itu selalu meng- pilu yang begitu purba masih selalu terdengar dari mulutnya.
hilang secepat ia datang. Ia melintas seperti pikiran. Kapal
patroli maupun kapal selam selalu kehilangan jejaknya.
Demikianlah apabila Ikan Paus Merah itu muncul, kata
orang, terdengarlah semacam jeritan yang pilu. Sebuah jerit-

58 59
Aku mendengar cerita tentang Ikan Paus Merah itu untuk per- “Biarlah aku merasa sedih, aku ingin mendengarnya.”
tama kalinya pada suatu malam di sebuah pelabuhan di Afrika “Kata orang, Ikan Paus Merah itu hanya akan muncul keti-
Selatan. Kudengar para pelaut dari berbagai penjuru dunia ka senja menjadi keemas-emasan sehingga lautan bagaikan ge-
saling bercerita sambil minum di bar. nangan cahaya yang rata. Saat itulah Ikan Paus Merah itu akan
“Kamu melihatnya sendiri?” muncul membelah permukaan laut dengan dahsyat, melompat
“Ya, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ikan seperti terbang dengan jeritan purba dari perasaan yang terlu-
Paus Merah itu muncul ketika aku sedang memandang ma- ka. Darah masih mengucur dari luka di punggungnya sehingga
tahari terbenam. Langit semburat merah dan lautan bagaikan membuat seluruh tubuhnya menjadi merah.”
genangan cahaya keemasan. Saat itulah Ikan Paus Merah itu “Ikan Paus Merah, Ikan Paus Merah...”
muncul, tubuhnya begitu besar sehingga air laut yang tersibak “Kukatakan sekali lagi engkau akan merasa sedih men-
menjadi gelombang yang juga besar. Sebagian airnya malah dengar jeritannya, dan perasaan sedih itu tidak akan pernah
menciprat kepadaku. Panah itu masih menancap di pung- hilang lagi untuk selama-lamanya.”
gungnya dan dari punggung itu masih mengalir darah yang “Apakah kamu merasa begitu?”
membuat seluruh tubuhnya menjadi merah.” “Ya, semenjak itu aku selalu merasa sedih. Aku melihatnya
“Apakah kau dengar juga jeritannya yang pilu itu?” hanya sekali, aku mendengarnya hanya satu kali, tapi Ikan Paus
“Kudengar jeritannya yang pilu, jeritan purba Merah itu hidup terus dengan lukanya, mengembara sepanjang
dari perasaan yang terluka.” tujuh lautan dengan luka karena panah di punggungnya yang
“Bagaimana sebenarnya jeritan yang terus menerus mengeluarkan darah sampai seluruh tubuhnya
pilu itu?” menjadi merah. Ia terus menerus hidup dengan luka itu dan
“Aku tidak bisa menirukannya, tapi kalau terus menjerit karena perasaan yang terluka sejak zaman pur-
kau dengar sendiri jeritan purba dari perasaan bakala.”
yang terluka itu engkau akan merasa sangat
sedih.”
“Aku ingin mendengarnya.”
“Engkau akan merasa sedih.”

60 61
Cerita tentang siapa orang yang memanah Ikan Paus Merah lurus dengan langit3, seperti diceritakan pelaut-pelaut itu,
itu tidak pernah jelas. Hanya disebut-sebut tentunya ia seorang tentulah dilepaskan tepat dari atas punggung ikan paus terse-
pemburu ikan paus. Tetapi ini pun menimbulkan pertanyaan, but. Apakah hal ini mungkin? Kapal sebesar apa pun tak akan
karena pemburu ikan paus biasanya menggunakan tombak, pernah bisa membawa seorang pemanah berada pada posisi
atau tombak berkait, itu pun dilengkapi tali untuk menyeret- 90° di atas punggung seekor ikan paus. Apalagi jika ini cuma
nya1, bukan anak panah. Apakah seseorang kebetulan sedang sebuah perahu cadik dari masa yang telah lama silam. Apa-
membawa panah dan busur ke laut? Ini pun sulit diterima. kah ia berada pada tiang layar yang mendatar, yang sengaja
Namun setiap orang yang pernah melihat Ikan Paus Merah itu digerakkan mendekati ikan paus itu? Ini tentu terlalu kebe-
selalu mengatakannya panah dan bukan tombak. Panah yang tulan. Sehingga, apakah pemanah ikan paus itu berdiri di atas
masih menancap. Artinya mereka melihat bagian ekor panah punggung ikan paus tersebut, dan dari sana melepaskan anak
itu, dengan sirip yang dipasang supaya meluncur tepat ke arah panahnya? Kemungkinan lain hanyalah bahwa pemanah ikan
bidikan. Mata anak panah itu tentu tidak kelihatan, sehingga paus itu terbang di atas laut, dan ini tentu lebih mustahil lagi.
tidak pernah diketahui apakah hanya kayu yang ditajamkan Hanya satu hal pasti, panah itu masih menancap di punggung
ujungnya atau terbuat dari logam. Mata anak panah itu me- ikan paus itu sampai sekarang.
nancap ke dalam tubuh Ikan Paus Merah tersebut. Menancap Siapakah orang yang melepaskan panah itu dan kenapa ia
ke dalam dagingnya sejak dahulu kala dan sampai sekarang melakukannya? Tentu saja sekarang ia sudah mati. Manusia
masih terus menerus mengeluarkan darah, sehingga seluruh memang bisa hidup lebih dari seratus tahun, tapi tidak ada ma-
tubuhnya menjadi merah. nusia yang bisa hidup berabad-abad. Ia pasti sudah mati, dan
Panah itu sendiri memang sebesar tombak, seperti panah kemungkinan besar tidak tahu akibat yang telah disebabkan
Ramabargawa2. Menilik cara anak panah itu tertancap, tegak oleh panahnya tersebut. Dari abad ke abad masih selalu terde-
ngar cerita bagaimana seorang pelaut yang sedang memandang
1
Tali itu untuk menyeret ikan paus yang telah menjadi lemah, namun
matahari terbenam di tengah lautan lepas tiba-tiba dikagetkan
banyak juga kejadian, ikan paus itulah yang menyeret perahu para pemburu. oleh bunyi ombak karena permukaan laut yang tersibak dan
2
Ramabargawa atau Ramaparasu, tokoh wayang yang tinggi besar dan
hitam, karena terlalu sakti ia tidak bisa mati, maka dibunuhnya ksatria
sebanyak-banyaknya supaya ada yang bisa membunuh dirinya. Akhirnya ia 3
Dari judul cerpen Iwan Simatupang, Tegak Lurus dengan Langit (1962).
tewas di tangan Rama, yang memiliki panah Guawijaya.
62 63
melihat Ikan Paus Merah raksasa melompat seperti terbang Merah itu muncul dari dalam laut, melompat seperti terbang
dengan panah menancap di punggungnya sementara dari luka dengan panah masih menancap di punggungnya, yang telah
di punggungnya itu mengalir darah yang membuat seluruh tu- membuat darah mengalir dari lukanya sehingga membuat se-
buhnya menjadi merah. Setiap pelaut yang melihat Ikan Paus luruh tubuhnya menjadi merah. Di kapal mana pun aku selalu
Merah itu akan bercerita betapa suara jeritan pilu yang begitu menatap pemandangan senjakala setiap kali matahari terbenam
purba dari perasaan terluka itu akan membuat mereka bersedih di cakrawala. Aku berharap akan pernah melihat Ikan Paus
untuk selama-lamanya. Merah itu, dan mendengar jeritannya yang pilu, suara jeritan
purba dari perasaan yang terluka.
Aku tidak peduli jika kemudian aku akan bersedih untuk
selama-lamanya. Ikan Paus Merah itu sudah terlalu lama hi-
dup sendirian dengan perasaan yang terluka. Ia mengembara
sepanjang tujuh lautan sendirian dari abad ke abad dengan
Dalam perjalananku dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya
panah menancap di punggungnya. Ia menjerit sendirian saja di
aku sering mendengar cerita itu. Aku bukan seorang pela-
tengah lautan yang maha luas, sementara darah mengalir dari
ut, aku hanya seorang musafir yang menumpang dari kapal
luka di punggungnya sehingga seluruh tubuh-
ke kapal, karena aku tidak pernah punya tujuan. Pelabuhan
nya menjadi merah. Ia memperlihatkan diri
mana pun tidak pernah melabuhkan hatiku, maka setiap kali
sekali-sekali saja, apabila ada seorang
aku turun dari sebuah kapal, setelah makan di warung segera
pelaut melamun di kapal sendiri-
pula aku berangkat kembali. Aku seorang musafir yang sudah
an ketika senja tiba.
terbiasa menumpang dari kapal ke kapal, sehingga aku selalu
Kutuliskan cerita ini di
tahu caranya mendapatkan kapal. Kadang-kadang aku bekerja
sebuah kota di tepi pantai,
dahulu di pelabuhan sekadar supaya bisa mendapatkan uang,
di mana pelangi tidak
namun sering juga aku mendapatkan pekerjaan di atas kapal.
pernah memudar. Jika
Apabila senja telah tiba aku berdiri di haluan menatap pe-
engkau suatu kali meli-
mandangan, karena kupikir siapa tahu akan melihat Ikan Paus
hat Ikan Paus Merah itu

64 65
ceritakanlah pengalamanmu kepadaku. Kirimlah ceritamu ke
koran, siapa tahu aku bisa membacanya dalam perjalananku.

Simon's Town — Pelabuhan Ratu, 1996-1999.

66
Maoe irit listrik, atawa mengoendang sensatie?
Laloe dianja menernakin koenang?
Orang-orang poen berdatangan pengen liatin tjaranya.

Kunang-Kunang
Mandarin

2000

67
kuku itu ikut dikubur. Pada malam hari, potongan kuku itu
menjelma kunang-kunang, dan terbang melayang keluar,
membuat malam yang gelap gulita di kuburan orang-orang
Mandarin menjadi bercahaya. Kunang-kunang yang beter-
bangan di kuburan sungguh indah, sungguh manis, seperti hati
manusia yang baik menyinari kegelapan.

D i kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu, tiada


seorang pun berpikir seperti Sukab. Ia membuat peter-
nakan kunang-kunang. Dari atas bukit, peternakannya yang
Kunang-kunang, kelana di rimba lara*

terletak di tepi pantai itu terlihat mencorong ke langit seperti Begitulah Sukab biasa terdengar bersenandung sambil me-
lampu sorot. Sinarnya hijau kekuning-kuningan, kuning ke- metik gitar di depan peternakannya. Turis-turis yang lewat
hijau-hijauan, seperti fosfor. Turis-turis yang baru tiba dan selalu mampir karena terpesona oleh sinar hijau kekuning-
berjalan-jalan di tepi pantai pada malam hari biasanya terhe- kuningan atau kuning kehijau-hijauan yang mencorong ke
ran-heran melihat cahaya yang luar biasa itu. langit itu, betul-betul seperti tiang cahaya yang dipasang oleh
“Cahaya apakah itu?” malaikat. Kapal-kapal yang lewat di kejauhan juga menandai-
“Oh, itu cahaya dari peternakan kunang-kunang milik Su- nya, seperti sebuah mercusuar yang istimewa.
kab.” “Tuan-tuan dan Puan-puan yang terhormat, di sebelah
“Peternakan kunang-kunang?” utara terlihat tiang cahaya, itulah tandanya kita melewati kota
“Ya, peternakan kunang-kunang. Tiada seorang pun di kota di mana pelangi tidak pernah memudar. Sinar hijau keku­ning-
ini berpikir seperti Sukab.” kuningan atau kuning kehijau-hijauan yang mencorong ke
Kunang-kunang yang diternakkan Sukab, memang bukan langit itu berasal dari sebuah peternakan kunang-kunang. Asal
sembarang kunang-kunang, melainkan kunang-kunang yang tahu saja, kalau Tuan-tuan dan Puan-puan mencoba meniru-
berasal dari potongan kuku orang-orang Mandarin. Begitulah nya, dengan menernakkan kunang-kunang di negeri masing-
dikisahkan bahwa orang-orang Mandarin selalu menyimpan
potongan kuku mereka. Bila mereka meninggal, potongan
Dari lagu Kunang-Kunang gubahan Ismail Marzuki (1914-1958).
*

68 69
masing, maka Tuan-tuan dan Puan-puan harus tahu bahwa Malam itu juga ia pergi ke kuburan orang-orang Mandarin
kunang-kunang yang cahayanya begitu terang hanyalah jenis yang terletak di lereng bukit. Itu merupakan sebuah tempat
kunang-kunang yang berasal dari potongan kuku orang-orang pemakaman yang tua, dari masa yang sudah lama silam. Da-
Mandarin yang sudah mati dan ikut dikubur. Pada malam se- hulu kala, di kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu,
telah mereka dikuburkan, dari dalam tanah akan beterbangan orang-orang Mandarin diburu seolah-olah mereka makhluk
kunang-kunang yang berasal dari potongan kuku yang disim- yang harus dimusnahkan dan tidak boleh hidup di muka bumi.
pan selama mereka masih hidup, semenjak dari bayi sampai Orang-orang Mandarin dibantai seperti binatang sampai habis
mati. Tuan-tuan dan Puan-puan...” tanpa sisa, padahal merekalah yang memajukan perdagangan
kota itu. Konon, ketika pembantaian itu berlangsung, pelangi
yang tidak pernah memudar itu untuk pertama kalinya memu-
dar dan menghilang. Hanya setelah orang-orang di kota itu
tersadar, dan menyesali perbuatan mereka, lantas melakukan
Semuanya dimulai di masa krisis, di mana kehidupan begitu su- pertobatan massal, maka pelangi itu muncul kembali. Pelangi
lit, dan kebahagiaan menjadi barang langka. Orang-orang me- yang tidak pernah memudar itu juga merupakan daya tarik
rasa diri mereka menderita, karena kerja keras macam apa pun kota itu. Turis-turis datang untuk memegang pelangi, namun
tidak menghasilkan apa-apa. Sukab sedang memikirkan semua tentu saja tidak menyentuh apa-apa karena pelangi bukanlah
itu ketika seekor kunang-kunang lewat berkelap-kelip seperti tembok melainkan cahaya.
minta ditangkap. Maka Sukab menyambar kunang-kunang itu Cerita tentang orang-orang Mandarin yang dibantai itulah
dengan tangannya, memasukkannya ke dalam wadah plastik yang menarik Sukab untuk tinggal di kota yang terletak di tepi
bekas tempat obat yang biasa didapat dari apotik, menutupnya pantai itu. Ia suka menaiki bukit di mana orang-orang Manda-
dengan potongan kain kelambu, lantas diikat karet gelang. rin yang terbantai itu dikuburkan. Di sanalah ia melihat seribu
Sambil merenung sendirian ia memandang kunang-kunang kunang-kunang berkelap-kelip dalam kegelapan, beterbangan
itu, dan menyadari betapa kunang-kunang itu memberikan ca- ke sana-kemari bagaikan tarian di alam impian.
haya di tengah kegelapan. Ia menjadi lupa dengan kesia-siaan “Mungkin inilah kunang-kunang yang berasal dari potong-
hidupnya. an kuku orang-orang Mandarin yang dikuburkan,” pikirnya,

70 71
“terangnya bukan sembarang terang kunang-kunang, melain- kuku orang-orang Mandarin itu selalu habis terjual. Memang,
kan terang cahaya yang memberi pencerahan.” di kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu banyak
Mula-mula Sukab hanya meletakkan sebuah meja kecil di atraksi untuk turis yang lain, mulai dari berselancar sampai
luar pondoknya, dan meletakkan lima wadah bekas tempat gua-gua keramat, namun setelah krisis ekonomi mengakibat-
obat dari apotik di sana, masing-masing berisi seekor kunang- kan kerusuhan politik, dan darah tumpah di mana-mana, turis
kunang yang menjadi cahaya dalam kegelapan. menjadi sangat sedikit. Adalah peternakan kunang-kunang Su-
Di antara turis-turis yang lewat, ternyata ada yang tertarik. kab yang menjadi modal persaingan dengan kota-kota wisata
“Ini apa?” lain, dan nyatanya kota di tepi pantai di mana pelangi tidak
“Ini kunang-kunang.” pernah memudar itu bisa bernapas kembali.
“Apa itu kunang-kunang?”
“Kunang-kunang itu serangga kecil yang biasa terbang di
sawah.”
“Oh itu! Yang menyala seperti fosfor?”
“Ya ini! Inilah kunang-kunang.”
“Kenapa kunang-kunang ini dijual?” Pada suatu hari yang tidak diharapkan, seorang Mandarin
“Karena siapa tahu Tuan mau beli, di Skandinavia tidak datang sendirian ke kota itu. Ia seorang sarjana yang ingin
ada kunang-kunang bukan? Lagipula, ini bukan sembarang tahu banyak tentang riwayat bangsanya, dan karena itu ia ter-
kunang-kunang.” tarik dengan cerita tentang kunang-kunang yang berasal dari
Lantas Sukab bercerita tentang riwayat potongan kuku potongan kuku orang-orang Mandarin. Sukab menjamunya
orang-orang Mandarin. Rupa-rupanya cerita ini membuat dengan arak, tapi orang Mandarin itu tidak pernah mabuk.
kunang-kunang Sukab laris, dan Sukab bisa membangun pe- “Jadi, Tuan Sukab menangkap kunang-kunang yang beter-
ternakan kunang-kunang yang sorotnya menjadi tiang cahaya bangan di kuburan?”
penyangga langit. Kedatangan orang-orang asing yang terpu- “Ya, lantas saya menernakkannya.”
kau oleh cerita itu, akhirnya menyelamatkan penduduk kota “Tapi kunang-kunang Tuan Sukab berbeda sekali dengan
itu dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Segala macam kunang-kunang biasa. Kunang-kunang Tuan Sukab ini bukan
cendera mata yang memanfaatkan cerita tentang potongan kunang-kunang dalam ensiklopedia duniawi. Kunang-kunang

72 73
Tuan Sukab tidak ada terjemahannya dalam bahasa Latin. kunang-kunang itu tidak mungkin diternakkan, apakah yang
Semilyar kunang-kunang sawah tidak akan mampu mencipta- akan Tuan lakukan?”
kan tiang cahaya penyangga langit, dan kunang-kunang sawah Sukab menatap tamunya. Ia seorang Mandarin yang terpel-
hanya akan berkelap-kelip menunggu kematian esok harinya, ajar, dan kelihatan sekali tidak pernah bekerja kasar. Jari-jari
tidak seperti kunang-kunang Tuan Sukab yang mampu mem- tangannya halus dan bersih seperti jari perempuan. Kuku-
beri pencerahan kepada hati yang tenggelam dalam kegelapan.” kukunya agak panjang, tapi sangat bersih, nyaris bening seperti
“Ah, Tuan Udin Mandarin bisa saja, itu mah terlalu berle- air tenang sebuah kolam.
bihan.” “Tuan Udin Mandarin yang terhormat, bagaimanakah saya
“Saya kira Tuan Sukab mengerti, bahwa saya sama sekali akan menjawab pertanyaan Tuan, jika Tuan menanyakan sesu-
tidak berlebihan. Apakah mungkin kunang-kunang mistik yang atu yang tidak pernah saya lakukan?”
berasal dari potongan kuku orang-orang Mandarin itu diter-
nakkan? Kunang-kunang Tuan Sukab tidaklah merupakan se-
rangga biologis, kunang-kunang Tuan Sukab adalah serangga
mistik. Pertanyaan saya, bagaimana caranya Tuan Sukab mem-
perlakukannya sebagai ternak? Ini bukan jenis kunang-kunang Pada suatu malam, setelah mewawancarai banyak orang per-
yang bisa dibudidayakan. Ini kunang-kunang dari potongan kara kunang-kunang itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang
kuku, keluar dari kuburan pada malam hari menembus tanah. sama, orang Mandarin itu naik bukit di mana orang-orang
Apakah mungkin diternakkan?” Mandarin yang terbantai itu dikuburkan. Di lereng bukit ia
“Tuan Udin Mandarin, saya hanya orang bodoh, saya tidak melihat kuburan orang-orang Mandarin itu menghadap ke laut.
berpikir dengan kepala, hanya menuruti kata hati. Saya tidak Desau angin terdengar tajam, dan ia bisa mendengar dengan
mempunyai pertanyaan kepada diri saya sendiri seperti perta- jelas debur ombak yang berkejaran dan mengempas ke pantai.
nyaan Tuan. Saya bahkan tidak mengerti maksud pertanyaan Suara-suara yang seperti bercerita. Ia membayangkan di dalam
Tuan.” kuburan itu orang-orang Mandarin duduk santai menghadap
“Maksud saya begini Tuan Sukab, jika kunang-kunang yang ke laut, bercakap-cakap dengan angin yang membawa kabar ke
berasal dari potongan kuku itu sudah habis terjual, sementara seluruh penjuru bumi.

74 75
Ia telah mendengar bagaimana orang-orang Mandarin di- Suara angin mendesau dari laut, seperti nyanyian kematian.
buru, diperkosa, dan dibantai. Ia membayangkan bagaimana “Tuan Udin Mandarin,” sebuah suara memanggilnya.
potongan kuku orang-orang Mandarin yang ikut dikuburkan Di balik gerumbul alang-alang, dilihatnya sosok-sosok hi-
itu menjelma menjadi kunang-kunang, dan keluar dari dalam tam mengelilingi bukit, mengepungnya.
tanah, beterbangan berkelap-kelip menjadi cahaya dalam ke- Mereka semua membawa golok.
gelapan. Di pondoknya, Sukab bersenandung.
Tapi malam ini tidak ada kunang-kunang di tempat itu.
Dunia hanya gelap, bahkan di langit pun tidak ada bulan dan Kunang-kunang, kelana di rimba lara...
bintang-bintang.
“Dunia ini gelap,” pikir orang Mandarin itu. Hanya tiang Pangandaran-Yogyakarta,
cahaya penyangga langit itulah yang kelihatan dari tempat ini. Lebaran 2000.
Sinarnya hijau kekuning-kuningan, kuning kehijau-hijauan,
seperti fosfor. Ia sulit sekali memahami, bagaimana mungkin
potongan kuku orang-orang Mandarin bisa menjadi kunang-
kunang yang cahayanya merupakan keajaiban dunia.
“Apakah dunia ini tidak bisa hadir biasa-biasa saja, tanpa
cerita-cerita tak masuk akal yang sulit dipercaya?” pikirnya
lagi, “kalau pun bisa dipercaya, siapa yang sempat-sempatnya
memasukkan potongan kuku itu ke dalam kuburan? Bukankah
orang-orang Mandarin di kota ini sudah habis dibantai? Sia-
pakah yang mengurusnya? Apakah orang-orang Mandarin di
kota ini selalu membawa potongan-potongan kuku mereka ke
mana-mana?”
Sebagai orang Mandarin yang sudah biasa merantau keliling
dunia, ia sendiri tidak pernah menyimpan potongan kukunya.

76 77
Ada sangkaan kasehatan otak dan pikiran Sukab
kurang beres. Mingkin hari semingkin bertamba.
Wang-kah jang djadi sebab?

Rumah Panggung
di Tepi Pantai

2000

79
Malam itu, di kampung, orang-orang membicarakan Sukab.
“Sukab itu gila! Dari dulu dia memang sudah gila! Tidak
pernah ada rumah panggung menghadap ke pantai di kam-
pung ini. Tidak dulu, tidak sekarang, dan tidak harus ada pula
di masa yang akan datang. Semua orang terikat pada adat di
kampung ini. Lihat, semua rumah panggung di sini membe-

R umah panggung itu menghadap ke pantai. Letaknya


begitu serasi sehingga dipandang dari mana pun rumah
panggung itu bagaikan pusat dunia. Seolah-olah dari rumah
lakangi pantai, menghadap ke jalan raya. Mengapa tiba-tiba
harus ada satu rumah yang menghadap ke pantai?”
“Tidak semua orang itu sama Balu!”
itulah segala hal yang ada di alam semesta ini datang dan ke
“Tapi hanya satu orang di kampung ini membangun rumah
rumah itu pula segala yang pernah ada dalam kehidupan ini
panggung yang menghadap ke pantai, yang lainnya semua
akan berakhir, sehingga seolah-olah hanya dari rumah itulah
sama, rumah panggungnya membelakangi pantai.”
segala sesuatu bisa dipandang dalam keadaannya yang paling
“Apa salahnya satu orang berbeda dengan yang lain?”
sempurna. Rumah panggung itu terpancang kokoh di ujung se-
buah tanjung, letaknya terpencil dalam naungan pohon-pohon “Pasti ada alasannya kenapa nenek moyang kita selalu mem-
kelapa. Dipandang dari segala arah, seolah-olah kedudukan ru- bangun rumah panggung membelakangi pantai, aku sendiri
mah panggung itu tidak bisa lebih tepat lagi. Bila terang tanah tidak tahu kenapa, kita semua sudah mewarisinya. Sekarang
tiba rumah panggung itu bagaikan tumbuh pelahan-lahan dari tiba-tiba ada satu orang membangun rumah yang terpisah,
dalam bumi, sedangkan menjelang malam rumah panggung itu memencil di ujung tanjung, menghadap ke pantai pula. Bi-
meredup bersama kegelapan—rumah panggung itu berdenyut sakah dibayangkan jika setiap warga kita membangun rumah
bersama alam. sembarangan. Akan berbentuk seperti apa kampung kita?”
Orang-orang yang berkerumun di sana ikut berpikir. Ru-
mah-rumah di kampung itu semuanya membelakangi pantai.
Di sela-sela rumah itu terlihat kerangka kapal-kapal kayu. Ada
yang masih kerangka, ada pula yang hampir jadi. Kapal-kapal

80 81
kayu itu lebih besar dari rumah panggung, menjulang megah yang purnama membuat segalanya jadi keperakan. Dari rumah
menantang matahari. panggung di tepi pantai yang pintunya selalu terbuka itu Sukab
“Apa yang salah dari adat istiadat kita? Nenek moyang kita bersila menghadap ke laut. Segalanya begitu jelas dan begitu
mewariskan kemampuan membuat kapal. Tidak semua suku jernih. Ditatapnya setiap riak ombak, didengarnya setiap desah
bisa membuat kapal, dan sudah pasti tidak setiap kampung. buih. Cahaya rembulan seperti menjelaskan segala-galanya. Di
Kemampuan itu tidak bisa dilepaskan dari seluruh adat istiadat bawah rumah panggungnya lidah ombak berkecipak. Perahu-
kita, termasuk kenapa rumah panggung kita membelakangi nya bergoyang menyentuh tiang-tiang.
pantai. Termasuk kenapa kapal-kapal itu dibuat di antara ru- Rembulan purnama di atas permukaan laut, seolah-olah
mah-rumah panggung. Kehidupan kita semua terikat oleh ja- hadir hanya untuk ditatap Sukab, dari sebuah rumah di mana
ringan adat yang kokoh, yang telah menyelamatkan kehidupan seseorang bisa memandang segala-galanya dengan tepat.
suku kita. Coba sebutkan suku mana di antara suku-suku yang “Dasar orang gila! Apa artinya kehidupan Sukab itu? Men-
kita kenal mampu mengembara sepanjang lautan dari Mada- cari ikan sendiri, membuat perahu yang kecil itu sendiri, ber-
gaskar sampai ke Australia?” layar bertahun-tahun tak jelas ke mana! Memandang rembulan
“Jangan begitu Balu, kita tak bisa hidup sendiri tanpa suku- kau bilang? Memandang senja? Rumah kita membelakangi
suku lain, kita semua saling membutuhkan. Sudah berabad- pantai, barangkali nenek moyang kita tidak menganggap hal-
abad suku kita hidup bersama-sama suku-suku lain itu.” hal semacam itu penting. Kita semua pelaut di sini, kita telah
melayari tujuh lautan dengan peta perbintangan. Apakah yang
didapat Sukab dengan menatap seribu senja dan seribu rem-
bulan?”
“Sukab selalu berlayar sendirian.”
“Apakah yang bisa dibuktikan dengan berlayar sendirian?
Anjing-anjing melolong sepanjang pantai. Musim kawin telah Jangan-jangan ia cuma bersembunyi di Selayar.”
tiba. Kelak anjing-anjing yang melolong itu akan mengha- “Tapi di Jawa pun orang mengenal Sukab.”
ngatkan anak-anak anjing dalam pasir di bawah rumah-rumah “Lantas apakah yang sudah diberikannya kepada kita? Apa-
panggung. Orang-orang masih ngomong ketika rembulan kah dia pikir manusia itu bisa hidup sendirian saja?”

82 83
Di rumah panggung yang menghadap ke pantai di ujung langit yang ungu membiru dan semakin lama semakin sendu
tanjung itu, Sukab meniup seruling sendirian, sambil me- sehingga kubah langit itu menjadi jingga. Kubah langit yang
mandang cakrawala, yang garisnya berkilauan dalam cahaya jingga itu berkobar keemas-emasan. Cahaya keemasan me-
rembulan. mancar ke segala arah, sehingga buih ombak maupun tiang-
Suara seruling itu dibawa angin sampai ke kampung. tiang rumah panggung pun bagai disepuh emas.
Orang-orang terdiam. “Di situlah Sukab selalu memandang ke arah lautan lepas.”
Balu terkejut, seorang anak menaiki tangga.
“Paman siapa?” kata anak itu lagi.
“Aku Balu, kamu siapa?”
“Aku yang diserahi Sukab menjaga rumah ini. Namaku
Bolong.”
Beberapa tahun setelah Sukab menghilang, Balu menaiki ru-
Balu memperhatikan Bolong. Ia tahu anak itu, Sukab
mah panggung itu. Senja sedang turun. Di pantai yang landai,
menemukannya di sebuah pulau terpencil. Barangkali anak
langit senja membentang di atas pasir basah. Pasir begitu putih
haram yang dibuang. Tak jelas persisnya bagaimana, apakah
dan lembut seperti tepung, air laut yang mendesah pelahan
memantulkan segala-galanya yang ada di langit. Pantai bagai- Sukab menemukannya ketika masih bayi atau sudah agak be-
kan sebuah cermin di senja hari yang cemerlang keemasan. Di sar, karena Sukab sendiri tidak pernah bercerita. Tidak jelas
dalam rumah panggung itu Balu bagaikan terbang melayang. apakah ia menemukannya ketika masih bayi dan membawanya
“Kami tidak pernah melihat apa yang dilihat Sukab,” pikir- mengembara, sehingga menjadi agak besar ketika kembali ke
nya. kampung itu, ataukah memang ketika menemukannya sudah
Balu mencoba melihat dari sudut agak besar seperti itu. Tidak ada yang pernah jelas tentang
pandang Sukab. Ia duduk bersila me- Sukab. Ia selalu pergi dan selalu susah ditanyai. Anak itu juga
natap senja. Ia memperhatikan mega- tidak bisa menjelaskan apa-apa. Sama anehnya seperti Sukab.
mega kencana yang seperti mendadak Mereka mencari ikan di tempat yang lain, tak jelas di mana,
saja semburat keemasan dengan latar hanya untuk makan mereka sendiri saja. Sama-sama gila, kata
orang kampung.

84 85
“Kamu juga selalu memandang senja?” gitu penting bagi Sukab, sehingga menjadi satu-satunya orang
“Sukab memandang senja, memandang bulan purnama, yang membangun rumah panggungnya menghadap ke lautan
memandang lautan yang terbentang keperakan, mendengar lepas di mana ia bisa memandang matahari terbenam ke balik
angin, menyimak lolong anjing, dan meniup seruling. Sukab cakrawala sehingga langit semburat merah membara membuat
memperhatikan senja yang jingga, senja yang kelabu, maupun seluruh permukaan laut menjadi merah.
senja yang berhujan dengan mendung hitam bergumpal-gum- “Bolong!”
pal. Sukab memperhatikan pasang surut laut, jingking yang “Ya!”
berlarian, dan basah pantai yang memantulkan langit. Sukab “Kalau Sukab kembali, katakan kepadanya aku ingin berta-
menyimak saat sebelum gelap, ketika pantai begitu kelabu nya.”
menjelang malam, hanya menyisakan suara-suara ombak. Ti- “Baik! Tapi bukankah kata orang dia gila.”
dak semua ombak berdebur, sesekali ombak hanya berdesah, “Itu bukan urusanmu. Mereka mengatakan kamu juga gila.”
berbisik dan Sukab tidak bisa memberi nama suara air yang Bolong memperhatikan Balu, lantas ditatapnya sisa senja.
meresap ke pasir. Sukab mempelajari suara-suara angin, yang Ia ingin tahu apakah yang dilihat Balu dari tempat Sukab bi-
menghembus kencang atau pelahan, yang mengirimkan salam asa memandang senja. Apakah tempat memandang yang sama
dan membangkitkan kenangan. Sukab menceritakan kembali akan menghasilkan penglihatan yang sama?
riwayat yang dibawa ombak dan angin dari balik cakrawala.”
“Kalau kamu, apakah kamu juga selalu memandang senja?”
“Aku sering memandang senja dan memandang apa saja
dari tempat Sukab, tapi aku tidak tahu apakah aku melihat apa
yang dipandang Sukab.” Kapal-kapal masih terus dibuat dan diluncurkan di kampung
Balu memandang senja yang menggelap. Sepanjang hi- itu. Dunia begitu luas dan orang-orang dari kampung pembuat
dupnya senja hanya berarti akhir hari dan akan selalu tetap kapal itu telah melihat begitu banyak hal yang mencengang-
begitu. Sudah lama ia memikirkan Sukab dan ia tak kunjung kan, namun kampung itu sendiri tidak pernah berubah. Kapal-
mengerti kenapa senja dan apa saja di hadapannya menjadi be- kapal yang menjadi aus mereka perbaiki, dan kapal-kapal baru

86 87
mereka buat lagi. Dengan kapal-kapal kayu yang mereka buat terlihat juga buih ombak yang berdebur dalam kegelapan. Tia-
sendiri, orang-orang di kampung itu mengembara ke berbagai da bulan malam ini, seperti juga tiada matahari terbenam senja
pelosok dunia, dan menghasilkan uang sebagai pengangkut ba- tadi. Segalanya begitu muram belakangan ini. Namun hatinya
rang-barang, sebelum akhirnya kembali ke kampung mereka. panas bernyala-nyala.
Di sebuah pelabuhan bernama Sunda Kelapa, mereka men- “Aku akan mencapai cakrawala itu,” pikirnya, “aku akan ikut
dengar cerita tentang Sukab. perahu Sukab, berlayar ke balik cakrawala, dan melihat dunia.”
“Orang itu berlayar dengan sebuah perahu kecil,“ kata sese- Cakrawala tampak seperti garis putih yang tipis sekali.
orang, “ia tidak mencari ikan, ia tidak mengangkut barang, tapi
ia sungguh berani mati mengarungi lautan sendirian. Kami
pernah melihat ia sholat di tengah badai. Orang itu gila.”
“Cukup satu orang gila seperti itu. Manusia menjadi pelaut
bukan karena ingin bunuh diri. Kita membuat kapal dengan
Kini rumah panggung itu tidak ada lagi. Mula-mula ia menjadi
perhitungan yang matang, kita berlayar dengan membaca
miring, lantas lama-lama roboh, dan akhirnya sekeping demi
tanda-tanda di langit malam, kenekatan bagi kita bukanlah
sekeping diseret ombak ke tengah laut. Bahkan tiang-tiangnya
andalan, apalagi kegilaan.”
pun tidak bersisa lagi. Riwayat tentang rumah panggung di
tepi pantai itu sekarang sudah dilupakan orang, seperti semesta
yang menguap. Tiada lagi cerita tentang seseorang bernama
Sukab, yang dari senja ke senja duduk bersila di sebuah rumah
panggung, menatap lautan lepas.
Di rumah panggung itu, Bolong yang telah dewasa duduk ber-
sila menghadap ke laut. Masih terdengar suara ombak, masih
terdengar desahan angin, namun lautan sudah tidak kelihatan Tanjung Bira-Munduk-Tulikup,
lagi. Pada malam hari, ia keluar dari rumahnya di tepi pantai, Januari 2000
melangkah di pasir putih lembut yang basah—samar-samar

88 89
Dia penoeh actie. Dia di-nanti2.
Tjoema menampakkan wadjahnja, dianja tiada soedi.
Siapa dia? Dewa?
Atawa manoesia penoeh tipoe daja?

Peselancar Agung
2000

91
hilang lenyap dan tenggelam di balik kaki langit. Seringkali
senja hanya kelabu saja. Langit kelabu, bumi kelabu, kemudian
hujan pula. Kadangkala awan gemawan begitu banyaknya, ter-
apung di segala tempat seperti perahu kapas, menyembunyikan
cerita senja, sebuah peristiwa ketika matahari seperti bola yang
melesak ke balik cakrawala, yang selalu mengingatkan manusia

P eselancar Agung itu bermukim nun jauh di sana di balik


cakrawala. Ia tidak memerlukan ombak, ia tidak memerlu-
kan angin, ia tidak memerlukan gelombang lautan yang ting-
betapa keindahan yang sempurna hanyalah sesuatu yang semu
saja, seperti kebahagiaan, yang lewat melintas dalam kenangan
terbatas.
gi di mana para peselancar dari berbagai penjuru bumi biasa Tiada seorang pun di kota di mana pelangi tidak pernah
terbang di atas buih memutih bagaikan dewa-dewa laut yang memudar itu tahu kapan senja akan menjadi sempurna, saat
muncul tiba-tiba dari dasar samudera, karena selalu ada ombak di mana Peselancar Agung itu akan muncul dari balik cak-
yang bergulung hanya untuk Peselancar Agung itu saja, yang rawala sebagai bayangan hitam yang berselancar di atas ge-
tak akan pernah bisa digunakan peselancar mana pun betapa nangan lautan jingga. Ombak begitu tenang apabila Peselancar
pun terampilnya betapa pun jagonya karena ombak itu me- Agung itu muncul. Ombak begitu tenang dari pantai sampai ke
mang hanya ada demi Peselancar Agung itu, yang akan selalu cakrawala, seolah-olah lautan hanyalah sebuah kolam renang
datang dalam pesona kegemilangan yang menakjubkan. Pese- raksasa. Ombak begitu tenang seolah-olah bertujuan menjadi
lancar Agung akan tiba dengan sendirinya ketika senja menjadi sebuah pentas bagi Peselancar Agung yang akan tampak bagai-
sempurna. Itulah senja, yang seperti cinta, tiada pernah tetap kan bayangan hitam dalam latar belakang matahari tenggelam
tinggal abadi, selalu berubah sebelum punah, meninggalkan yang kali ini akan begitu besar separuh melingkar dari ujung
segalanya dalam kegelapan dunia yang merana. utara sampai ujung selatan menguasai seluruh garis cakrawala.
Senja yang sempurna tidak terjadi setiap hari. Di kota di Begitu dahsyatnya senja yang disebut sempurna itu sehing-
mana pelangi tidak pernah memudar itu tidak semua senja ga setiap orang yang duduk memandang senja di tepi pantai
hadir dengan langit yang semburat merah menyala-nyala ba- akan tenggelam dalam cahaya kejinggaan yang juga barangkali
gaikan sebuah jeritan ketika bola matahari yang membara itu nyaris sempurna. Langit akan menjadi keemas-emasan begitu

92 93
senja semacam itu tiba, kemudian menjadi jingga yang rata, Kadang-kadang ada orang yang sengaja menunggu kedatangan
begitu rata bagaikan langit-langit rumah dunia, lantas sembu- Peselancar Agung itu. Mereka menunggu senja yang disebut
rat merah setelah matahari tenggelam, begitu menyala begitu sebagai sempurna itu dari hari ke hari, dari minggu ke ming-
berkobar, sebelum akhirnya menjadi merah tua, dan mengge- gu, dari bulan ke bulan. Ada yang menunggu sampai setahun
lap tiba-tiba. lamanya, lantas pergi dengan putus asa. Mereka meninggalkan
Peselancar Agung itu akan muncul dalam suatu pementasan nomor telepon genggam, dan bukan alamat rumah atau nomor
langit yang luar biasa. Langit yang seolah menyala karena api faksimil, bahkan tidak juga alamat e-mail, karena senja yang
yang menjilat-jilat dunia. Peselancar Agung itu akan muncul sempurna cuma sekejap, hanya melintas sepintas seperti ke-
tepat dari tengah-tengah matahari yang sedang terbenam bahagiaan, sehingga mereka perlu datang langsung segera dan
itu, bagaikan muncul dari dalam sebuah kuil cahaya yang se- secepatnya, kalau bisa malah dengan seketika, jika kebetulan
dang tenggelam. Pada mulanya ia hanya sebuah titik hitam, sedang berada di dekat-dekat kota di mana pelangi tidak per-
yang lama-lama membesar, melaju di atas gelombang seperti nah memudar itu.
terbang. Apabila Peselancar Agung itu muncul, maka orang- Ada yang membayangkan bisa segera menukikkan pesawat
orang di tepi pantai merelakan dirinya untuk menjadi terpe- yang sedang dikemudikannya sendiri ketika Peselancar Agung
sona. Sudah terlalu lama orang-orang yang datang ke kota di itu muncul, menyusul terbang di atasnya, bukan untuk memu-
mana pelangi tidak pernah memudar itu merasa kehilangan askan rasa penasaran dengan memotretnya dan semacamnya,
rasa terpesona terhadap apa pun yang ada di dunia. Sudah melainkan supaya bisa menjadi bagian dari kebahagiaan dan
terlalu banyak hal mereka mengerti, sudah begitu banyak hal keagungan itu. Apabila dengan pesawat jet atau capung atau
mereka pahami, sehingga tiada apa pun yang tetap tinggal speed boat mereka bisa mengejar laju Peselancar Agung dan
sebagai rahasia. Maka mereka sungguh bahagia untuk men- meluncur berendeng di samping atau di belakangnya, niscaya
jadi terpesona, memandang Peselancar Agung yang terbang mereka menjadi bagian dari pesona itu. Syukur-syukur ikut
di atas papan luncur keemas-emasan itu, meluncur terbang di lenyap dalam misteri besar itu, lenyap dari dunia yang fana
atas lautan yang tergenang jingga di bawah langit yang merah dalam bahagia dan pesona maha dunia, sehingga mereka tidak
membara. usah menjadi bagian dari dunia yang menjadi gelap tiba-tiba
ketika kehilangan senja, hanya bertemankan lampu-lampu te-

94 95
maram kafe yang selalu bising, di mana orang bernyanyi dan Love in a Time of Crisis, Happiness Guaranteed,
berteriak keras-keras, sia-sia menolak derita dunia. Call: 001401190049
Senja yang sempurna memang tidak terjadi setiap hari di
kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu. Namun senja Love Without Condom, No AIDS
yang belum sempurna, cuma yang nyaris sempurna, masih juga Please Call: 001501190058
sebuah senja yang boleh dikatakan indah. Bagaimana mungkin
langit yang kemerah-merahan itu, yang telah menyepuh awan Di antara orang-orang yang datang dan pergi itu ada juga
gemawan menjadi kereta-kereta senja keemasan, tidak akan yang tetap menunggu sampai bertahun-tahun. Mereka beker-
pernah terasa indah? Matahari yang membara seperti besi tua ja atau menggelandang di kota itu, tidur di emper toko, di
di tungku pembakaran yang membenam ke dalam laut telah pantai, atau di bawah pohon beringin, sampai koran setempat
membuat laut menjadi jingga. Lautan adalah jingga yang rata menjulukinya Para Penunggu. Sudah bertahun-tahun mereka
dengan perahu layar melintas matahari di cakrawala. Senja se- menunggu sejak pertama kali datang ke kota di mana pelangi
macam inilah yang membuat setiap orang merasa harus jatuh tidak pernah memudar itu. Cerita tentang Peselancar Agung
cinta, yang membuat orang-orang memburu cinta, dan akhir- itu sudah lama mereka dengar dan mereka suka membayang-
nya membuat orang-orang menjajakan cinta di pantai di mana kan bagaimana Peselancar Agung itu akan datang. Matahari
segalanya telah menjadi keemas-emasan. senja akan begitu besarnya sehingga ketika separuh tengge-
Orang-orang laki maupun perempuan yang tubuhnya se- lam itulah Peselancar Agung akan muncul di balik cakrawala,
paruh telanjang dan berajah gambar hati ditusuk anak panah seolah-olah keluar dari tengah-tengah matahari itu. Ia akan
tanda cinta, menjajakan cinta di atas pasir dengan rambut di- muncul dari kegemilangan cahaya senja yang menawan di atas
kelabang. Papan-papan iklan bertebaran sepanjang jalan di tepi papan luncurnya tanpa terlihat repot menjaga keseimbangan.
pantai, di depan kafe-kafe yang lampunya temaram, Ia berdiri begitu saja mengangkat kedua tangannya dengan
kerlap-kerlip melawan kegelapan, di mana payudara terbuka antara sedang berdoa atau memberi berkat
bau ikan bakar berbaur anggur de- kepada dunia. Apabila ia muncul maka langit merah memba-
ngan warna merah senja ra itu bagaikan kain yang tersibak, bergetar-getar ibarat kain
yang menawan. tertiup angin. Apabila Peselancar Agung itu muncul, lautan

96 97
memang menjadi tenang, tetapi udara bergelombang, angin dunia. Di setiap kota itu orang-orang memandang matahari
menderu, dan ombak bergulung hanya demi papan luncurnya yang merah membara turun perlahan-lahan mengubah langit
yang keemas-emasan. Ia meniti buih yang bergulung mengha- yang semburat jingga menjadi semburat merah menyala-nyala
dirkan sebuah pemandangan agung. sebelum akhirnya menjadi tua dan mendadak gelap mening-
Para Penunggu menganggap bahwa kemunculan Peselancar galkan dunia yang merana.
Agung itu akan memberikan suatu pencerahan. Di balik cakrawala di mana seribu matahari itu turun, Pese-
lancar Agung berjalan di tepi pantainya sendiri, memilih salah
satu dari seribu papan luncurnya yang keemas-emasan. Ia ma-
sih mencari-cari alasan, kenapa kali ini ia harus menampakkan
diri ke kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu.
Di balik cakrawala, di sebuah pulau kecil, di dalam rumah “Mereka menyebutku Peselancar Agung,” pikirnya, “pada-
panggung, Peselancar Agung itu masih memakai sarung. Dari hal aku cuma Si Tukang Kibul.”
tempat di mana tiada siang dan tiada malam itulah ia bisa
menyaksikan seribu matahari turun di seribu kota di berba-
gai penjuru bumi menjadi seribu senja yang langitnya merah Kuta-Tulikup, Januari 2000
membara dan menyala-nyala. Pulau kecil itu dilingkari seribu
papan luncur yang selalu tampak keemas-emasan yang akan
digunakannya untuk berselancar menuju ke seribu pantai di
seribu kota di seribu penjuru dunia. Setiap saat ia harus me-
nentukan ke kota manakah ia akan datang di antara seribu kota
yang mengalami senja kemerah-merahan dengan langit yang
membara itu.
Senja menjelang datang. Peselancar Agung menghadapi
seribu matahari yang melingkari pulau kecil itu turun ber-
sama-sama ke seribu pantai di seribu kota di seribu penjuru

98 99
Barangsiapa membatja ini tjeritera,
tengtoe bakalan merasa chairan.
Seorang prempoean dibandjoer hoedjan teroes2-an,
tanpa sekali djoea sakit selesma.

Hujan, Senja, dan Cinta


2000

101
menuju kekasihnya di balik kabut. Kilat berkeredap dan gun-
tur menggelegar di atas gunung dalam pertemuan cinta yang
panas dan membara.
Hujan itu tidak pernah meninggalkan dia lagi. Hujan itu
selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Ke mana pun dia
datang, datang pula hujan ke tempat itu. Sambil menyetir,

K arena ia mencintai dia, dan dia menyukai hujan, maka ia


menciptakan hujan untuk dia.1 Begitulah hujan itu turun
dari langit bagaikan tirai kelabu yang lembut dengan suaranya
dari dalam mobil selalu diusapnya kaca jendela. Dingin hujan
itu dirasakannya sebagai dekapan hangat kekasihnya. Cinta
itu abstrak, pikirnya selalu, sepasang kekasih tidak usah se-
yang menyejukkan. Dia sudah tahu saja dari mana hujan itu
lalu bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk
datang. Duduk di depan jendela, diusapnya kaca jendela yang
mempersatukan diri mereka. Cinta membuat sepasang kekasih
berembun. Jari-jarinya yang mungil mengikuti aliran air yang
saling memikirkan dan saling merindukan, menciptakan getar-
menurun perlahan di kaca itu.
an cinta yang merayapi partikel udara, meluncur dan melaju
“Hujan, o hujan....” Dia berbisik.
ke tujuan yang sama dalam denyutan semesta. Dari Milan, dari
Dia begitu berbahagia menyadari cinta kekasihnya yang
Kyoto, dari Jakarta...
begitu besar, sehingga menjelma hujan yang selalu dirindu-
Terkadang dibukanya jendela mobil, ditadahinya air hujan
kannya. Dia tahu betapa ia selalu memberikan yang terbaik
dengan tangannya, lantas direguknya. Begitulah caranya cinta
untuk dirinya. Dia terharu dengan cinta yang membuat segala
meresap ke dalam tubuh, menjadi bagian dari alam. Meskipun
benda dan peristiwa menjadi bermakna. Dia memandang ke
bukan musim hujan, selalu ada hujan yang turun hanya untuk
luar jendela, menembus tirai kelabu, melewati desau pohon-
dirinya. Sepanjang jalan hujan itu mengikuti dirinya. Bila dia
pohon bambu yang basah dan berkilat dalam hujan dan angin,
ke luar rumah, lenyap pula hujan. Hujan itu mengikuti mobil-
mengirimkan getaran cinta yang melesat sepanjang langit
nya sepanjang jalan, sepanjang jalan yang dilaluinya menjadi
basah karena hujan, dan hanya jalan yang dilaluinya saja men-
jadi basah dan sejuk sebentar karena hujan yang turun ke bumi
1
Dalam cerita ini, ia adalah kata ganti orang ketiga lelaki, dan dia adalah
kata ganti orang ketiga perempuan. mengikuti dia atas nama cinta.

102 103
“Heran,” kata pembantu rumah tang- “Hujan, o hujan,” desahnya sembari memandang ke luar
ga di rumahnya, “setiap kali Ibu pergi, jendela setiap malam.
hujan berhenti, kalau Ibu datang, hujan
lagi.”
“Heran,” kata kawan-kawannya,
“belakangan ini, asal kamu datang pasti hujan, kamu pergi
hujan hilang. Padahal bukan musim hujan.” Kemudian tibalah saat ketika cinta di antara ia dan dia memu-
Suaminya, yang selalu peka terhadap suasana hati istrinya, dar. Seberapa lama sih umur cinta? Hujan yang semula me-
menadahi air hujan itu, dan membawanya ke laboratorium. wakili perasaan cinta yang dahsyat itu sekarang terasa sangat
“Ah, ini hujan karena cinta,” katanya kemudian, “siapa lagi mengganggu.
yang jatuh cinta kali ini?” “Cinta kita sudah berakhir, kenapa hujan itu masih saja
Dia terkesiap dalam hati. Tapi wajahnya dingin saja. mengikuti aku ke mana-mana? Lihat, semua orang jadi ter-
“Tidak ada apa-apa. Kenapa sih?” ganggu. Setiap kali ke luar mobil aku harus pakai payung.
“Kamu kira bisa menutupi perasaanmu yang berbunga- Jalan-jalan di halaman rumah sendiri harus pakai jas hujan.
bunga?” Gimana dong? Kasihan tamu-tamuku. Di mana-mana asal
Dia diam saja. Memang hatinya berbunga-bunga. orang berurusan denganku menjadi kehujanan dan basah. Bisa
Di luar, hujan masih saja menderas. Air hujan menganak nggak kamu tarik hujanmu ini?”
sungai di sela-sela rumput, dedaunan basah dan bergoyang- “Mana bisa? Hujan itu akan selalu ada selama aku masih
goyang. Tanpa diketahui suaminya dia mengusap seluruh mencintai kamu.”
embun di setiap kaca jendela rumah dengan kedua telapak “Kamu kira aku senang dicintai kamu? Nggak usah cinta-
tangannya, lantas membasuh wajahnya. Tubuhnya bergetar cintaan lagilah. Tarik hujanmu ini.”
dan jiwanya menangis karena terharu. Hujan yang sangat disu- “Sudah kubilang, selama aku mencintai kamu, tidak bisa.”
kainya tak pernah lenyap lagi dari hidupnya. Kekasihnya yang “Kalau begitu jangan mencintai aku. Bikin repot saja.”
tak terlihat telah mengirimkannya dari jauh atas nama cinta, “Bukan salahku. Siapa yang cintanya memudar? Dulu
hanya untuk dirinya saja. minta-minta dikasih hujan, sekarang omongannya begitu.”

104 105
“Bukan salahku aku tidak mencintai kamu lagi. Cewek se-
abreg begitu. Mana kutahu kamu tetap setia?”
“Aku tetap setia. Menyentuh pun aku tidak pernah.”
“Bukan itu ukuran kesetiaan.”
Sulit sekali bagi ia untuk tidak mencintai dia. Selama itu pula
“Apa dong?”
ia tidak mampu menarik kembali hujan cintanya yang mende-
“Sudah kubilang cinta itu abstrak.”
ras dari langit.
“Tidak.”
“Pikirkan saja istri kamu,” kata istrinya yang menangkap
“Menurut kamu?”
kegelisahan suaminya, “jangan istri orang lain jadi beban pi-
“Cinta itu konkret.”
kiran.”
“Buktinya?”
Ia tak pernah menjawab, karena tidak ada yang bisa dije-
“Hujan itu.”
laskan. Setiap kali ia melewati jalan layang terlihat di mana
Ia dan dia bertengkar sampai malam sambil minum bir
sepetak hujan itu berada, tapi ia sudah tidak menghendaki per-
plethok. Aneh sekali. Mereka bahagia dalam pertengkaran itu.
jumpaan macam apa pun. Hatinya hancur berantakan seperti
Barangkali karena mabuk.
keramik jatuh ke landasan dari pesawat kargo yang sedang take
“Setidaknya kita masih punya perasaan,” mereka merumus-
off. Dengan kesal dihapusnya nomor-nomor telepon dia dari
kan setengah mabuk.
hand-phone, namun ini hanya membuat ia semakin kesal karena
Namun hubungan mereka tidak tertolong. Semenjak per-
toh masih hapal juga. Terlalu banyak hal dari dia telah meresap
temuan terakhir itu, ia dan dia tidak pernah berjumpa lagi.
ke dalam dirinya dan tak mungkin dihapus untuk selama-lama-
Meskipun begitu, hujan itu tetap mengiringi dia. Perempuan
nya. Gambar-gambar, foto-foto, kata-kata. Waktu meninggal-
itu selalu bisa melihatnya dari balik jendela loteng, di mana dia
kan jejak, begitu pula saat-saat yang dilaluinya bersama dia.
mengalihkan cintanya melalui e-mail ke seluruh dunia.
Segenap makna perjumpaannya meresap ke dalam hatinya dan
“Masih cinta juga tuh si doi sama istri macam kamu?” Sua-
ia tidak bisa melupakan dia. Ia tak bisa lagi memandang segala
minya menyindir.
sesuatu di dunia ini seperti sebelum berjumpa dengan dia, ia
Dia tak pernah menjawab. Tapi dia tahu jika ia masih men-
tak bisa lagi berpikir di luar cara berpikir seperti dia. Mereka
cintainya.

106 107
telah berpisah, tapi tidak terpisahkan. Begitukah caranya cinta “Aku tidak pernah mengatakan apa-apa kepadamu.”
berada? pikirnya. Tapi setiap kali berpikir ia teringat dia. Maka “Tidak perlu. Senja itu sudah mengatakannya.”
ia berusaha berhenti berpikir. Ia marah sekali dengan cinta. Dia melihat langit senja yang menjadi abadi di kaca-kaca
“Taik kucing dengan cinta,” umpatnya dalam hati. gedung bertingkat itu. Dia tahu betapa sulitnya melihat ma-
Namun pada suatu senja yang gemilang, cinta jualah yang tahari tenggelam di Jakarta. Tapi kini ia telah mengabadikan
menyelamatkannya, ketika seorang dia yang lain muncul kem- senja ke kaca-kaca gedung bertingkat untuk dirinya saja. Dia
bali dari balik kenangan yang sudah terhapus. Dia tidak berka- bahagia sekali, namun tidak bisa berkata apa-apa. Terlalu
banyak pertanyaan yang tidak akan bisa dijawabnya. Jadi dia
ta apa-apa, seperti kutipan sebuah sajak : Tidak ada janji / pada
tidak berkata apa-apa. Ia pun tidak berkata apa-apa.
pantai.2 Ia pun tahu, tak ada janji, pada perjumpaan yang mana
Mereka berdua menatap langit, kubah senja yang merah
pun—tapi janji-janji memang tidak diperlukannya, karena janji
membara bagaikan sebuah impian yang menjanjikan bahwa
sebuah cinta yang paling membara sekali pun hanyalah janji
Negeri Senja memang betul-betul ada. Tetapi langit yang sem-
suatu senja yang terindah. Kecuali di Negeri Senja, adakah
burat kemerah-merahan itu hanyalah sebuah janji yang seba-
senja yang tidak berakhir?
liknya. Setiap detik terjadi perubahan warna, dari merah yang
“Kuberikan segalanya untukmu,” katanya kepada dia, “ku- membara sampai memancar keemas-emasan ketika matahari
berikan cintaku, jiwaku, hidupku, apa saja yang kau mau.” mestinya telah terbenam. Mereka tak bisa melihat matahari di
Dia hanya tersenyum, menghela napas, memandang senja balik gedung. Senja yang keemas-emasan itu kemudian dengan
yang dipantulkan kaca-kaca gedung bertingkat. pasti menggelap, semakin gelap, dan menjadi malam. Bagi me-
“Lihatlah senja di kaca gedung itu,” kata ia kepada dia. reka yang terbiasa mengamati senja, akan selalu tahu bahwa
“Kenapa?” senja belum betul-betul berakhir ketika matahari terbenam,
“Bila engkau melewati jalan ini, senja itu masih akan berada dan senja masih juga berbisik-bisik ketika langit jadi gelap dan
di sana, selama-lamanya.” permukaan air laut yang tadinya berwarna emas seolah-olah
“Bisa?” mendadak lenyap, tinggal kecipak suara lidah ombak. Pada saat
“Bisa sekali, selama engkau masih mencintaiku.” seperti itu, sebuah renungan telah mencapai kesimpulannya.
Namun mereka tidak berada di pantai. Mereka berada di
2
Dari sajak Goenawan Mohamad, Pada Sebuah Pantai: Interlude (1973).
tengah kemacetan Jakarta yang tidak memberi peluang untuk

108 109
kalimat yang — seperti kutipan sebuah sajak — bisa berlarat- Dengan setengah panik dia memencet-mencet hand-phone,
larat.3 tapi tiada jawaban. Dia kirimkan sebuah lagu kelompok Queen
“Mengapa kita tidak mencari bir plethok,” ujar perempuan melewati voice mail. Sebuah lagu yang menjerit : I still love
itu. youuu!5
Ia mengangguk. Ia berkesimpulan, banyak perempuan Ja- Tapi semuanya sudah terlambat. Pada senja hari itu juga
karta suka bir plethok.4 hujan yang selalu mengikuti ke mana pun dia pergi berubah
menjadi gerimis dan akhirnya berhenti sama sekali.
“Hujan, o hujan, ke mana kamu hujan,” desahnya.
Pada senja hari itu dia menatap ke luar dari jendela loteng-
nya, dilihatnya langit yang kemerah-merahan. Langit begitu
Dia memandang ke luar jendela lagi pagi itu. Sudah beberapa cerah. Hujan sudah berhenti. Dia tahu betapa ia menyukai
minggu ini diperhatikannya hujan itu berubah. Dulunya lu- langit senja yang kemerah-merahan seperti itu. Dia ingin me-
mayan deras, sekarang kederasannya mulai berkurang, meski ngirimkan senja itu kepadanya, sebagai tanda bahwa dia masih
belum jadi gerimis. mencintainya—mungkin cintanya memang masih ada sedikit,
“Apakah cintanya mulai berkurang?” pikirnya. mungkin agak banyak, mungkin pula hatinya tak pernah beru-
Kali ini dia sendiri yang menadahi air hujan itu dengan bah sebetulnya, tak jelaslah. Saat itu, detik itu, dia ingin sekali.
sebuah gelas, dan membawanya ke laboratorium. Dia menatap langit senja di kejauhan sana, dan tahu itu
Cinta mulai berkurang. Begitu tertulis dalam kertas laporan, bukan miliknya. Dia menghela napas dan berusaha mengatasi
dan dia merasa kecewa. Aneh, dia sendiri yang dahulu menolak perasaannya.
hujan itu, dan sekarang ketika hujan itu menunjukkan tanda- “Mungkin aku terlalu sentimentil,” pikirnya.6
tanda mereda, dia merasa penasaran.
“Kenapa cintanya bisa berkurang? Cinta itu mestinya abadi Pondok Aren, Minggu 30 Juli 2000.
dong!”

5
Dari lagu Love of My Life dalam album Live Killers (Juli 1979) vokal oleh
3
Ibidem. Freddie Mercury (1946-1991).
4
Cocktail dengan unsur bir dan tequila. 6
Sajak Pada Sebuah Pantai: Interlude (1973) dimulai dengan: Semua ini
hanya terjadi dalam sebuah sajak sentimentil.
110 111
Seorang prija, tiba-tiba mengalamin satoe peristiwa aneh.
Sangkaannja raboen sendja, akan tetapi dia djadi boeta
warna.

Senja Hitam Putih


2000

113
ini ibarat soal terang dan gelap, bukan warna-warna. Matahari
yang mungkin kelabu itu tampak begitu muram bagaikan akhir
segala keceriaan yang tidak bisa kembali. Kulihat sekeliling,
dunia menjadi asing. Tapi mengapa semua orang tenang-
tenang saja?
Heran. Semua orang tenang-tenang saja, seolah-olah tidak

S enja itu, dunia menjadi hitam putih. Suatu layar transparan


yang turun bergulung bagaikan layar penutupan sebuah
sandiwara, membuat segalanya hitam putih, mulai dari langit,
pernah terjadi apa-apa. Ataukah memang tidak terjadi apa-
apa? Matahari kelabu. Lautan kelabu. Langit kelabu. Kafe-kafe
sepanjang pantai dengan lampu-lampu kerlap-kerlip hanya
kaki langit, lautan, sampai ke pantai di mana aku duduk, dan
menjadi garis dan noktah-noktah putih di atas kanvas kelabu.
akhirnya menelan diriku dan segalanya di belakangku. Aku
Orang-orang berjalan di kakilima seperti tidak pernah terjadi
pun menjadi hitam putih. Dunia menjadi hitam putih.
sesuatu yang luar biasa. Apakah mereka lupa dunia ini pernah
Matahari senja yang kutunggu-tunggu telah berada di
berwarna? Kucoba mencari nama sebuah bar, Blue Moon, yang
garis cakrawala, tapi ia bukan lagi lempengan raksasa merah
terletak di dekat tempatku duduk. Dan aku terkesiap, tulisan-
membara yang semburat cahayanya membakar langit menjadi
nya sudah menjadi Black Moon. Astaga. Apakah aku bermimpi?
keemas-emasan. Dunia telah menjadi hitam putih. Tiada lagi
Aku memejamkan mataku. Siapa tahu mataku saja yang
apa pun yang berwarna di muka bumi. Tiada lagi sesuatu pun
yang bahkan hanya seperti berwarna di dalam maupun di luar tiba-tiba menjadi rusak. Atau pikiranku saja yang menjadi ber-
semesta. Busyet. Dunia betul-betul hitam putih. Segenap kata lebihan. Dunia ini berwarna, kiamat macam apakah yang harus
yang menjelaskan warna menguap dari dalam kamus, menjadi membuat dunia ini menjadi hitam putih? Aku memejamkan
asap yang membubung seperti kemenyan, hanya untuk segera mata lama sekali. Kudengar debur ombak, desah angin, hem-
musnah disambar cahaya matahari. pasan ombak dan lidah-lidah ombak yang berkejaran di atas
Kulihat matahari yang berada di atas cakrawala. Warna- pasir. Pasir yang basah selalu menjadi kuning keemasan bila
nya aneh, tepatnya tidak berwarna — mungkin kelabu, tapi senja begini. Lempengan raksasa bernama matahari senja yang
sebetulnya tidak bisa disebutkan. Hitam dan putih di dunia merah membara seperti besi terbakar itu akan menyemburatkan

114 115
langit menjadi sapuan api yang menyepuh mega-mega menjadi saat ke saat meleburkan diri seseorang ke dalam peredaran
kereta kencana keemasan yang berarak-arak, dan semua itu semesta. Aku memejamkan mata dan percaya semua hal yang
akan dipantulkan kembali oleh pasir basah yang menghampar kurasakan sahih adanya.
seperti cermin keemasan, kekuningan, kejinggaan, menjadikan Aku membuka mata. Dunia masih hitam putih. Apakah
dunia senja yang sempurna bagi siapa pun yang memburu sen- dunia selamanya akan tetap hitam putih? Aku memejamkan
ja di pantai seperti memburu cinta yang selalu berubah setiap mata lagi, dunia masih berwarna dalam kepalaku. Betapakah
saat itu, meraih pesan-pesan dari kesementaraan terindah di mungkin aku akan mengalami dunia yang berwarna dalam di-
seantero semesta... riku saja? Aku memang melihat dunia yang berwarna bila me-
Aku masih memejamkan mata. Kudengar angin yang mejamkan mata. Semuanya seperti teringat kembali. Lampu-
mengembara, basah, lengket, dan asin. Kudengar angin meng- lampu yang biru, padang rumput hijau, bukit-bukit berbunga
embara ke seberang selat, melenggang di antara celah gunung, kekuningan, dan lereng-lereng dengan tanah yang merah. Aku
lembah, dan jurang, mengibarkan bendera dan umbul-umbul teringat wajah-wajah santai yang duduk di pantai dan berja-
yang didirikan dengan darah, mengibarkan rambut dara-dara lan di kaki lima. Mungkinkah dunia yang berwarna itu tidak
yang jatuh cinta, dan menggoyangkan genta-genta di kuil yang pernah ada dan aku menjadi manusia yang keliru? Kubuka
kemudian mengirimkan bunyi-bunyi ting kepada angin yang
mataku. Dunia tetap hitam putih. Aku bangkit dari pasir yang
membawanya ke telinga para pendoa di seluruh penjuru dunia.
basah dan memantulkan langit senja hitam putih keabu-abuan.
Mengapakah senja tidak harus menjadi indah? Bila senja tiba,
Aku harus melakukan penyelidikan.
dunia menjadi jingga dengan langit yang kemerahan menyala-
Kumasuki kafe Black Moon, dan memesan red wine.
nyala, seperti jeritan sebelum kematian, menyisakan duka da-
“Anggur merah? Apa itu?” ujar pelayan berompi hitam.
lam kemerahan yang semakin padam, padam, dan padam sama
“Apalagi kalau bukan anggur merah? Kamu lulusan akade-
sekali ditelan malam. Senja adalah janji sebuah perpisahan
mi restoran mana?”
yang menyedihkan tapi layak dinanti karena pesona kesempur-
“Dari mana Tuan tahu anggur merah, di dunia ini hanya
naannya yang rapuh, seperti kehidupan yang selalu terancam
ada dua jenis minuman anggur, white wine dan black wine, Tuan
setiap saat untuk berakhir dengan patuh. Menatap senja adalah
mau yang mana?”
suatu cara berdoa yang langsung terjelma, perubahannya dari

116 117
Busyet. Kupesan anggur hitam. Kulihat minuman anggur “Hmm. Saya rasa Tuan agak mabuk, film Zhang Yimou itu
itu, kental seperti tinta hitam. Haruskah kuminum tinta hitam judulnya Raise The White Lantern, lagipula apa sih artinya red
ini? Kutenggak. Rasanya memang seperti anggur, tapi warna- itu?”
nya yang aneh membuat perasaanku agak kacau. Di kafe itu “Red itu merah, Din.”
segalanya hitam putih. Orang-orang mengobrol dan tertawa. “Merah itu apa, Tuan?”
Mereka itu hitam putih. Sekali lagi kulihat diriku melalui cer- Hmmm. Aku yang mabuk atau bagaimana?
min di dinding bar. Memang hitam putih. Aku merasa ingin Mabuk? Aku tidak akan mabuk karena segelas anggur
hitam. Kalau bir hitam, yang sejak dulu memang warnanya
ke toilet. Nah, apakah kencingku masih kuning? Eh, ternyata
begitu, masih mungkinlah. Begitu juga dengan bir plethok.
kencingku berwarna putih. Masih untung tidak hitam. Wah.
Tapi ini hanya segelas anggur. Meski sejujurnya aku merasa
Dunia yang berubah atau akukah yang telah menjadi gila?
sudah termabukkan semenjak dunia menjadi hitam putih tiba-
Aku keluar dan berjalan lagi. Matahari senja masih di atas
tiba, tapi yang bagi semua orang seolah-olah memang hitam
cakrawala. Barangkali dia menunggu sesuatu untuk menengge-
putih semenjak lahirnya ruang dan waktu. Namun aku masih
lamkan diri, menyemburatkan cahaya antara hitam dan antara
melakukan penyelidikan.
putih dan mungkin kelabu sepanjang langit, membuat peman-
“Baik, kalau begitu aku pinjam Blue Velvet?”
dangan menjadi mirip foto hitam putih yang dipuja-puja orang
“Blue Velvet?”
di dunia berwarna.
“Iya, masa’ kamu tidak tahu, sutradaranya David Lynch.”
“Beri aku kepastian,” kataku kepada diriku sendiri. “Oh, Black Velvet maksudnya Tuan?”
Maka kumasuki sebuah persewaan piringan laser. Di sana “Blue Velvet.”
kutanya Aladin, pemilik persewaan itu. “Apa sih blue?”
“Aladin, apakah dikau tahu judul film karya Zhang Yimou “Wah, guru SD-mu siapa? Blue ya biru dong!”
berjudul Raise The Red Lantern yang dibintangi Gong Li?” “Apa sih biru itu, Tuan?”
“Maksudnya Raise The White Lantern?” “Din, kamu mabuk?”
“Bukan, Raise The Red Lantern.” “Saya kira Tuan yang mabuk, dari dulu juga Tuan tahu
judul karya David Lynch itu Black Velvet.”

118 119
Rupanya benar juga. Seluruh kata yang menjelaskan warna kristal-kristal itu semakin berkeredap. Cahaya matahari yang
telah menguap dari dalam kamus, melayang seperti asap keme- putih berlenggang dan mengibas, angin sayu dan mendayu,
nyan, disambar cahaya matahari yang putih menyilaukan, lan- burung-burung hitam dan burung-burung putih menjerit-jerit
tas habis sama sekali diterbangkan angin. Dunia telah berubah memenuhi pantai. Angin masih asin, dan di cakrawala itu pe-
bagiku, tapi dunia tampaknya memang seperti ini semenjak rahu-perahu nelayan menjadi bayang-bayang hitam. Banyak
zaman dahulu kala. Siapakah yang benar? Siapakah yang sa- yang masih mirip dengan senja yang dahulu, tapi tentu juga
lah? Apakah aku begitu salahnya jika dalam kenanganku dunia banyak sekali yang berubah.
adalah berwarna, karena bagiku dunia ini memang pernah ber- Ketika Maneka tiba kulihat ia telah menjadi abu-abu. Ku-
warna? Tetapi bagaimana aku bisa benar jika tak seorang pun litnya yang sawo matang menjadi abu-abu. Sepatu karetnya
di dunia ini pernah mengenal warna-warna selain hitam putih yang biru muda menjadi abu-abu, baju rok katun terusannya
dalam kamus bahasanya? Nah, apakah aku sudah gila? juga jadi abu-abu, dan tato bunga mawar di bahu kirinya
Aku kembali ke pantai, matahari senja yang tidak bisa ku- yang terbuka itu, yang bidangnya merah dan garisnya hijau,
hanya menjadi abu-abu dan hitam. Bibirnya yang meski tak
sebutkan warnanya itu rupa-rupanya menunggu aku. Begitu
pernah berlipstik selalu merah, basah, dan setengah terbuka itu
aku tiba di pantai, ia mulai melesak ke balik cakrawala. Langit
menjadi bibir yang kehitam-hitaman.
semburat keputih-putihan seperti pancaran sinar petromaks.
Alisnya yang tebal masih kehitaman
Senja menjadi ajaib. Inilah senja hitam putih yang pertama
dan matanya masih cemerlang hitam,
dalam hidupku. Kulihat orang-orang berpasangan memandang
begitu pula rambutnya yang panjang
matahari senja yang tenggelam sambil berpeluk-pelukan seo-
bergelombang. Ia tidak pernah mem-
lah-olah inilah senja terindah di dunia yang tidak akan pernah
bawa tas dan tetek-bengek perempuan
terulang kembali. Apakah mereka belum pernah melihat senja
seperti saputangan dan semacamnya.
yang cahayanya merah membara membakar langit sehingga
Ia selalu begitu saja, tidak membawa
dunia menjadi keemas-emasan? Kulihat senja yang hitam putih
apa-apa, melenggang santai seperti
di pantai ini. Butir-butir pasir bagaikan tebaran kristal yang
semua wanita impian yang tidak usah
cemerlang, setiap kali ombak menyiram dan kembali ke laut bekerja. “Aku tidak pernah membawa

120 121
apa-apa, tapi selalu membawa cinta,” katanya selalu. Hmmm. Dunia tidak akan pernah sama lagi mulai sekarang. Apakah
Wanita impian. Perempuan impian. Adakah dia? Aku tertawa. dunia tidak akan pernah sama lagi mulai sekarang? Apakah
“Kenapa sih tertawa?” tidak mungkin pada suatu ketika pada suatu senja entah di tepi
Aku masih terus tertawa. pantai yang mana senja tiba-tiba berubah berwarna kembali?
“Kenapa sih? Ada yang aneh?” Apakah tidak mungkin dunia ini menjadi berwarna kembali
“Lihat, kamu jadi abu-abu.” seperti yang telah kualami selama ini dengan lampu-lampu
“Apa yang aneh dengan abu-abu? Dunia ini hitam putih, yang biru, matahari yang jingga, dan bulan merah semangka?
dan di antaranya hanya terdapat abu-abu. Dari dulu aku abu- Apakah aku sebaiknya berharap tanpa kepastian ataukah aku
abu, dan selamanya selalu abu-abu. Kenapa kamu tertawa?” sebaiknya menerima saja bahwa dunia ini memang hitam putih
Aku terdiam, dan menjadi sedih. Aku betul-betul sudah dan bahwa kemungkinan berwarna pun sebaiknya tidak usah
menjadi orang lain di dunia yang fana ini. Di dunia yang ber- dipikirkan lagi?
penduduk tiga milyar ini hanya aku yang mempunyai persoalan Maneka duduk di pasir dan bersenandung.
tentang dunia yang hitam putih. Tidak ada seorang pun di du-
nia ini yang merasa bahwa dunia yang hanya hitam dan putih the world is black
adalah mustahil. Bagi semua orang dunia ini adalah hitam dan the world is white*)
putih dan bahkan dalam pertanyaan pun kemungkinan sebu-
ah dunia berwarna tidak pernah mereka kenal. Aku menjadi Kulihat cahaya senja hitam putih yang menimpa bahunya.
manusia yang berbeda, dan perasaan berbeda itu begitu terasa Dunia hitam putih bukan dunia yang tidak menarik, tapi beta-
ketika orang yang terdekat pun tidak mengenali isi kepala kita. pa pun dunia hitam putih juga bukan dunia berwarna. Apakah
Matahari telah melesak separuh. Tiada lagi warna merah yang akan terjadi selanjutnya jika dunia terus hitam putih
membara seperti besi yang terbakar. Semua itu hanya ada di seperti ini? Dunia selalu hitam putih bagi semua orang dan
dalam kenanganku. Kenangan yang tidak mungkin kubagikan kehidupan berjalan terus. Apakah aku bisa hidup dalam dunia
karena tidak akan pernah dimengerti. Warna-warna dalam
duniaku tidak mempunyai kaitan apa pun dengan dunia hitam
Dari lagu Black and White (1972), dibawakan oleh kelompok Three
*

putih di luar diriku yang juga menjadi duniaku sekarang ini. Dogs Night.

122 123
seperti ini, seperti juga kehidupan orang-orang lain? Apakah hilang lenyap dan berakhir sama sekali. Hmmm. Tapi kini
aku bisa hidup seperti mereka sementara aku pernah meng- hanya senja hitam putih yang berada di depan mata, dan se-
alami dunia yang berwarna? “Dari dulu duniamu pun hitam gala-galanya jadi berbeda. Matahari itu bahkan menungguku
putih, sama dengan kami semua,” kata Maneka. Jadi siapakah sebelum melanjutkan perjalanannya.
aku yang mereka kenal sekarang ini? Aku ini aku yang merasa “Sebaiknya matahari sampai di situ,” kataku kepada Maneka
pernah mengenal dunia berwarna atau aku yang menurut me- ketika aku duduk di sebelahnya.
reka sejak dulu pun berada dalam dunia hitam putih? Matahari kelabu yang tinggal separuh itu pun berhenti di
Aku teringat tirai yang menurun itu. Tirai transparan cakrawala.
seperti filter yang mengubah segala yang berwarna menjadi “Hah?” kata Maneka, “kamu menghentikan matahari itu?”
hitam putih. Tirai yang turun seperti layar penutupan sebu- “Hmmm,” aku hanya bergumam. Sebetulnya aku pun tidak
ah sandiwara, turun mengubah langit sampai ke kaki langit tahu apa yang terjadi. Barangkali dunia ini memang sudah
sampai ke pantai dan menggulung diriku maupun segala hal jungkir balik.
“Kita bisa duduk selama-lamanya di pantai ini,” kata Ma-
di belakang diriku. Maka sejak itu pun dunia menjadi hitam
neka, “kita duduk saja sepanjang tahun memandang senja yang
putih bagiku. Sebetulnya belum lama peristiwa itu terjadi.
menjadi abadi, sehingga cinta kita pun abadi seperti mimpi.”
Bukankah matahari belum lenyap dan aku datang untuk meli-
Maneka, Maneka, wanita impian, perempuan khayalan, dara
hat senja yang membara yang cahayanya semburat membakar
yang diciptakan, berlari ke pantai dalam sebuah dunia hitam
langit sehingga seluruh dunia menjadi keemas-emasan, keku­
putih yang ternyata juga mempesona. Kalau kita bisa mencintai
ning-kuningan, kejingga-jinggaan, kemerah-merahan, sebelum
yang kita miliki saja, dan tidak selalu mengharapkan yang tidak
akhirnya padam sama sekali meninggalkan garis putih lidah-
ada, barangkali hidup juga akan menjadi lebih mudah. Kulihat
lidah ombak yang memecah di pantai. Senja bersama Maneka
Maneka berjalan di antara lidah-lidah ombak. Bahunya yang
adalah senja terindah yang paling mungkin diimpikan karena
terbuka dalam rok katun bertali itu masih sama indah seperti
Maneka memang seorang perempuan impian yang diciptakan
yang bisa kukenang dari dunia yang berwarna. Senja hitam
untuk mempersembahkan cinta yang seperti juga senja akan putih mempersembahkan dunia yang kelabu. Maneka menja-
selalu berubah dengan pasti dari saat ke saat sebelum akhirnya di siluet yang melangkah di antara keredap kristal sepanjang

124 125
pantai yang terhampar kekelabu-kelabuan, keputih-putihan, putih akan menjadi sama saja seperti semua senja yang lain di
kehitam-hitaman, berganti-ganti terserah yang menafsirkan- seribu tempat yang berbeda.
nya. Angin sepoi dan buih berbisik seperti sebuah cerita dari “Katakanlah kepadaku bahwa senja ini akan selalu abadi
balik mimpi dara-dara yang jatuh cinta. Kulihat langit yang untuk kita,” kata Maneka, seperti yang selalu diucapkannya
semburat kelabu. Namanya memang kelabu, namun kelabu setiap senja dalam kenanganku yang berwarna. Senja bergerak
ternyata bukan hanya kelabu. Kelabu yang terdiri dari susunan kembali. Kali ini aku tidak menjawab. Hanya memindahkan
bertrilyun-trilyun titik hitam itu ada yang keputih-putihan tubuhnya dan bangkit melihat cakrawala. Matahari kelabu itu
ada yang kehitam-hitaman ada yang hitam kekelabu-kelabu- sudah lenyap di balik cakrawala. Tinggal kegelapan yang sung-
an ada yang putih kekelabu-kelabuan ada yang kelabu-kelabu guh-sungguh hitam dalam senja hitam putih yang kini sudah
sekelabu-kelabunya kelabu. Ada berapa banyak arti kata dalam betul-betul berakhir.
susunan kalimat yang berbeda? Sebanyak itulah kelabu dalam Aku bangkit dan melangkah pergi. Aku mau pulang. Mane-
semburat langit yang menaungi bumi. Aku terkapar menatap ka pun bangkit, melangkah ke arah yang berlawanan, bernya-
langit yang kelabu. Aku tidak kekurangan apa-apa. Aku tidak nyi-nyanyi sendiri.
kehilangan apa-apa. the world is black
“Kalau matahari berhenti di sini, bagaimana dengan senja the world is white
di tempat-tempat lain?” Maneka bertanya. Ia tiba-tiba sudah
berdiri di atasku. Lantas rebah menindihku. Hmmm. Du- Aku menoleh. Maneka sudah hilang ditelan kelam. Seperti
akhir setiap perjumpaan kami, aku tak pernah pasti apakah
nia boleh berubah rupanya, tapi senja akan tetap seperti itu,
kami akan berjumpa lagi kelak suatu saat entah kapan entah
perubahan yang pasti dari saat ke saat tanpa pandang bulu.
di mana. Namun setidaknya kini aku mempunyai pilihan, me-
Kurelakan senja terindah ini berakhir. Kurelakan cinta yang
ngenangnya dalam senja yang berwarna atau yang hitam putih
tidak abadi seperti mimpi. Biarlah segalanya berlalu dan selalu
berlalu seperti peristiwa apa pun yang akan selalu berlalu. Aku
tahu senja akan mengitari seluruh permukaan bumi, mencip-
Sanur, 20 Oktober 2000.
takan langit kelabu yang pilu dan membisu. Senja yang hitam

126 127
Mertjoesuar angker mengoendang teka-teki.
Tempat itoe soeka ilang begitoe sahadja tiap ada
jang maoe deketin.
Awas, djangan batja dongeng ini sendirian!

Mercusuar
2000

129
mercusuar beberapa kali, lantas naik ke angkasa. Kulihat dia
akan menjadi bagian langit, kemudian menghilang.
Ke manakah dia? Apakah dia pergi ke balik kubah langit?
Ia tidak meluncur dengan cepat, hanya melayang saja, pelan-
pelan, tangannya yang tadi terangkat seperti memuja langit
bergerak gemulai, kadang melenggang dan kadang melenggok

B arangkali memang seperti sebuah dongeng, tapi mengapa


harus tidak seperti dongeng dan apa pula salahnya dengan
dongeng? Kehidupan manusia, kukira, tidak lebih dan tidak
seperti menari, tapi juga pelan, sampai lama-lama menghilang.
Sementara dia pergi, ketika senja tiba dan langit semburat
ungu, mercusuar itu akan menyala, lantas seperti biasa, lam-
kurang adalah sebuah dongeng. Begitu pula dengan manusia punya berputar dengan hitungan pasti. Aku selalu siap melihat
yang selalu kulihat berada di mercusuar itu, memandang ke cahaya menyorot ketika lampu itu mengarah ke jurusanku.
lautan lepas memperhatikan kapal yang melewati selat. Ka- Pemandangan mercusuar yang lampunya menyala dan berpu-
pal dengan lampu-lampunya yang menyala begitu senja tiba. tar-putar, mengandaikan kesunyian dan keterpencilan. Sunyi,
Lampu yang kebiru-biruan, dalam pantulan langit di laut, yang terpencil, tapi menemani kapal-kapal yang membutuhkan
keungu-unguan, seperti sebuah pesan bagi siapa pun yang me- mercusuar itu. Aku selalu berpikir tentang penjaga mercusuar
mandangnya. itu tanpa berniat menyelidikinya, karena aku tahu setiap pe-
Demikianlah apabila senja menjelang, ia tampak di teras nyelidikan adalah nisbi.
mercusuar, bagaikan berusaha menangkap bentangan menak- Ia seorang manusia yang sendirian saja di sana, menunggu
jubkan pada akhir hari yang gemilang. Berdiri di atas mercusu- dan memandang kapal yang sesekali lewat melintasi selat, de-
ar, seseorang seperti menjadi bagian dari langit. Apakah yang ngan lampu kebiru-biruan dalam senja mengelam yang bagai
dipikirkan seseorang ketika memandang langit? Suatu ketika, selalu menyampaikan, pesan. Segalanya tampak sempurna bila
senja tiba, bagai akhir dari sebuah masa penantian yang pan-
kusaksikan orang itu mengangkat tangannya, lantas melayang.
jang. Kapal yang dinanti tiba, meski hanya lewat saja, mengem-
Itulah sebabnya setiap kali datang ke pulau itu, aku selalu
balikan dirinya ke dalam kesunyian, namun yang disyukurinya
datang ke mercusuar menjelang senja tiba, karena aku selalu
begitu rupa sehingga ia bisa terbang melenggang melenggok
ingin melihat manusia itu melayang pelan-pelan, mengitari
dan melayang-layang. Orang-orang di kapal maupun di pu-

130 131
lau itu kadang-kadang melihatnya. Setelah enam ratus tahun,
langit dan kapal yang lampu-lampunya bagai mengirimkan
cerita tentang penjaga mercusuar yang melayang ke langit itu
pesan itu menghilang.
sampai pula ke telingaku dari seorang pelaut yang kapalnya
Apakah tanpa senja ia tidak akan terbang? Apakah tanpa
melewati selat dan kebetulan memandang ke arah mercusuar
senja dan kapal-kapal yang lewat ia akan tetap saja di teras
ketika senja tiba dan lampunya menyala berputar-putar.
mercusuar itu, menumpukan kedua tangannya ke pagar, me-
Aku selalu menunggu sampai hari menjelang gelap, di mana
nunggu senja yang tiada akan pernah datang? Tapi senja selalu
senja masih semburat menyapu langit, ketika manusia yang
datang dengan langitnya yang semburat merah dan di selat itu
melayang itu muncul kembali, turun pelahan dari angkasa
lewat kapal-kapal sejak ratusan tahun yang lalu. Tiada seorang
dengan anggun, seperti malaikat turun ke bumi. Ia akan men-
pun tahu kapan mercusuar itu berdiri. Mercusuar itu tidak
clok dengan kaki lebih dulu di teras mercusuar itu, menengok
terdaftar di Departemen Perhubungan. Ini sebuah mercusuar
sebentar ke selat yang gelap, lantas masuk dan menutup pintu.
yang sudah ada di sana entah sejak kapan, bahkan tidak ada
Dalam malam yang kelam menyelimuti bumi, mercusuar
tanda-tanda apapun di mercusuar itu. Mercusuar itu sudah
itu bagaikan suar bagi kehidupan yang fana.
ada di sana sebelum ada listrik, tetapi mercusuar itu sudah
Sorot lampunya berputar pelahan dan pasti,
berlampu semenjak disebut-sebut orang. Buku catatan para
memberikan gambaran sekilas atas percikan pelaut sudah menyebutkan adanya mercusuar itu sejak enam
buih-buih di permukaan laut. Aku masih ratus tahun yang lalu. Mungkin saja mercusuar itu sudah ada
akan menunggu beberapa saat lagi sebelum sebelumnya. Tujuh ratus tahun, delapan ratus tahun, sembi-
pergi, tetapi memang tidak pernah terjadi lan ratus tahun, sejuta tahun, apalah bedanya? Mercusuar itu
apa-apa lagi. Apabila rembulan penuh dan berada bersama waktu. Selalu ada di sana, selalu menyala be-
langit terang, malam juga tidak menjadi gitu senja tiba, dan penjaganya selalu terbang melenggang dan
lebih istimewa. Ia hanya akan terbang melenggok merayakan langit yang gemilang keemas-emasan.
melayang dari teras mercu- Ia terkadang melompat dari mercusuar itu ke permukaan
suar itu ketika cahaya senja laut lebih dulu. Main-main di atas ombak seperti peselancar,
yang kemerah-merahan tapi tentu saja peselancar yang bisa terbang, yang tidak me-
semburat bagai membakar merlukan papan selancar, sehingga bisa berlari, berjalan, dan
melompat di atas permukaan laut yang terlalu sering memang

132 133
menjadi begitu jingga, begitu kemerah-merahan, begitu ke­ sa itulah tampak siluet kehitaman yang terbang jungkir balik
emas-emasan ketika senja yang penuh pesona itu menyemarak- mengiringi tenggelamnya matahari ke balik cakrawala.
kan langit. Setelah menyentuh-nyentuh buih ombak dengan Dalam catatan seorang pengembara asing, pernah disebut-
telapak kakinya ia meluncur ke atas, menembus awan, menem- kan betapa tidak ada perlunya membuat penyelidikan tentang
bus kubah langit, dan menghilang. dunia mercusuar itu, karena mercusuar itu memang hanya ba-
Penduduk setempat mengatakan mercusuar itu hanyalah yangan. Mengacu kepada cerita penduduk setempat enam ratus
suatu bayangan. Tidak ada yang tahu asal-usulnya, siapa yang tahun lalu, catatan itu meriwayatkan bagaimana mercusuar itu
membangun, sejak kapan berdiri, dan semacamnya. Ketika selalu menghilang setiap kali didatangi. Dalam setiap zaman
mereka dilahirkan, mercusuar itu sudah berdiri, dengan lam- selalu ada orang-orang penasaran yang ingin membongkar
punya yang berputar-putar, dengan seorang penjaga yang rahasia mercusuar itu, tetapi mereka tidak menemukan apa-
hanya tampak seperti siluet, seperti melamun saja di situ, apa. Mercusuar itu selalu menghilang setiap kali didatangi
yang lantas melayang begitu senja menjadi sempurna. Ia akan dengan niat menyelidiki. Maka dikatakan oleh penduduk
mulai melayang tepat ketika matahari tenggelam separuh di kampung sekitar, mercusuar itu hanya bayangan. Sebetulnya
cakrawala seperti telur mata sapi mengambang, berputar-putar tidak ada. Terlihat tapi tidak ada. Kadang-kadang ada orang
mengitari mercusuar, atau mondar-mandir di atas permukaan sudah begitu dekat dengan mercusuar itu. Seolah-olah bisa
laut, lantas melejit ketika matahari tenggelam seluruhnya dan menjamah temboknya, dan pada saat itulah seluruh mercusuar
langit seperti tiba-tiba terbakar. itu menghilang. Seseorang akan terheran-heran menemukan
Kadang-kadang, demikian disebutkan dalam cerita lisan dirinya sendirian saja di tepi pantai. Bersama pasir, angin, dan
dari mulut ke mulut, ia meluncur langsung ke matahari yang hempasan ombak.
tenggelam separuh itu. Berdiri di garis cakrawala, melihat sen- “Nak, jika Anak ingin menyelidiki mercusuar itu, Anak ti-
diri matahari tenggelam seutuhnya, baru kemudian meluncur dak perlu mendekatinya, cukup melihatnya dari kejauhan saja,”
ke angkasa, menembus kubah langit, dan lenyap untuk semen- kata seorang tua yang membuka warung di tepi pantai, “kalau
tara. Matahari yang tenggelam itu begitu besarnya, sehingga didekati, mercusuar itu menghilang. Mercusuar itu hanya ba-
meskipun cuma separuh lingkaran, atapnya seperti menyentuh yangan.”
kubah langit. Dengan latar belakang lempengan jingga raksa- Hmm. Apa yang bisa kulakukan?

134 135
Mercusuar itu terlalu indah untuk menghilang. Dari puncak dang mercusuar itu. Mercusuar itu
bukit, dalam hembusan angin sepoi yang asin dari laut, kulihat tegak menjulang di tepi karang,
senjakala impian yang menjadi nyata. Langit yang kemerah- berhadapan dengan sebuah se-
merahan menyala keemasan, dan mercusuar itu menjadi siluet lat yang ombak dan anginnya
dengan lampu sorot yang berputar-putar di atasnya, sementara seperti selalu bersiul, berbisik,
di selat itu sebuah kapal lewat dengan lampu kebiru-biruan dan mendesah. Permukaan laut
dalam latar lautan gelap keungu-unguan, dan seseorang di tampak berkilau, mencerminkan la-
teras mercusuar itu memandangnya. Apakah yang dipikirkan ngit yang bergetar keemas-emasan. Kemudian sebuah kapal
orang yang memandang kapal lewat di selat itu? Apakah yang dengan lampu kebiru-biruan lewat, dengan orang-orang yang
dipikirkan orang-orang di kapal yang memandang manusia di bersandar di pagar, memandang matahari yang sudah sepa-
teras mercusuar itu? ruh terbenam. Untuk kesekian kalinya kulihat sosok manusia
Kapal-kapal dengan lampu kebiruannya seperti misteri. yang menumpukan kedua tangan di pagar teras mercusuar itu,
Terlalu sering kita hanya bisa menduga-duga saja, apa persis- mengangkat tangannya ketika langit semburat terbakar, dan
nya yang sedang dilakukan orang-orang di dalam kapal yang melayang pelahan ke atas, berputar-putar sekitar mercusuar,
menyeberangi selat dari pulau satu ke pulau lain. Pulau-pulau lantas meluncur ke angkasa. Caranya meluncur sungguh me-
juga selalu menyimpan rahasia. Mengapa orang tinggal di sana nakjubkan, seperti tarian. Seolah-olah ia terbang dengan tarik-
di antara nyiur-nyiur menghitam yang melambai dalam kelam? an napasnya. Dadanya membusung bila naik, dan bisa seperti
Mengapa orang pergi dari pulau itu ke pulau lain pada senja berpura-pura jatuh bila turun. Ia tampak sebagai sosok hitam
yang gemilang sebelum malam dan memandang seseorang yang menari, aku pernah mencoba memotretnya, tapi tidak
yang memandang mereka dari mercusuar itu dalam kesunyian mendapatkan gambar apa-apa. Mercusuar itu pun tidak. Benar
mereka di laut lepas? juga. Mercusuar itu hanya bayangan.
Aku memandang mercusuar yang lampunya menyala, Dalam Kitab Perjalanan Nusantara yang lembaran pertama
berputar-putar dalam pemandangan senja. Setiap kali tiba di dan terakhirnya sudah tidak ada ketika ditemukan pada tahun
pulau ini, aku selalu memilih tempat yang sama untuk meman- 1812, sehingga tidak ketahuan siapa penulisnya, terdapat gam-
bar mercusuar itu, yang hanya dilukis berdasarkan ingatan.

136 137
“Inilah satu-satunya cara untuk menggambarkan kembali mer- Demikianlah selama enam ratus tahun mercusuar itu di-
cusuar itu,” ujar penulis buku tua yang kubaca di Museum Na- gambarkan kembali, dituliskan dengan rinci, sehingga dengan
sional. Ia menggambar dengan tinta, dan gambarnya sungguh hanya mengikuti semua uraian itu saja mercusuar tersebut
mirip dengan apa yang bisa kuingat. “Saya selalu memandang seolah-olah bisa dibangun, daripada membicarakannya saja
mercusuar itu dari puncak bukit, dari mana terlihat selat yang tanpa ada kenyataan yang meyakinkan. Mercusuar itu hanya
dilalui kapal-kapal, ketika matahari terbenam separuh,” tulis- bayangan, tetapi diperbincangkan begitu rupa selama enam ra-
nya lagi. Hmm. Jadi aku duduk di tempat yang sama, karena tus tahun sehingga menjadi lebih nyata dari semua mercusuar
memang hanya ada satu bukit di sini. Barangkali mercusuar itu yang ada di muka bumi ini. Aku heran, bagaimana semua ini
pun menghilang ketika ia mencoba menggambarnya, sehingga mungkin? Apakah kita semua boleh percaya kepada sesuatu
ia hanya menggambarnya dari ingatan. Apabila kubuka lem- yang tidak ada? Yang timbul tenggelam seperti mimpi tapi
baran-lembaran Kitab Perjalanan Nusantara yang tertulis dalam yang bukan mimpi, sesuatu yang terlihat tapi tak terpegang,
huruf dan bahasa Mehong, akan kutemukan pula gambar-gam- terdengar tapi tak terekam, sesuatu yang tidak ada tetapi ter-
abadikan?
bar lain. Berdasarkan ingatannya, ia menggambar kapal-kapal
Matahari sudah tenggelam, sebentar lagi ia akan turun
yang menyeberangi selat, pohon-pohon nyiur di tepi pantai,
seperti malaikat dari langit, seperti bidadari meluncur ke ba-
dan manusia yang terbang itu. Bahkan gambar siluet manu-
wah, hinggap di teras mercusuar dengan empuk, lantas tanpa
sia yang terbang itu banyak sekali, mulai dari bagaimana ia
menoleh akan memasuki pintu dan tidak muncul-muncul lagi
berputar-putar, bagaimana ia melambung ke atas, menukik ke
sampai senja keesokan harinya. Aku pernah menunggu di pun-
permukaan laut, berjingkat-jingkat di atas gelombang, sampai
cak bukit ini, membawa tenda dan kompor gas untuk masak,
meluncur ke arah matahari terbenam di cakrawala. Meskipun
dan ternyata ia memang muncul lagi pada senja berikutnya,
dibuat dengan tinta hitam, gambar-gambar itu tepat seperti
memandang kapal-kapal yang melewati selat dengan lampunya
yang kubayangkan ketika mengingat-ingatnya. Senja ternya-
yang kebiru-biruan, memberikan perasaan kosong dan sendu
ta tidak usah selalu digambarkan kembali sebagai senja yang
bagi yang melihatnya. Kalau aku datang ke pulau ini, aku juga
kemerah-merahan sehingga membuat langit seperti terbakar. menyeberangi selat itu, melihat mercusuar dari kapal, dan apa-

138 139
bila aku melewatinya ketika senja, maka akan kulihat penjaga membara? Siapakah penjaga mercusuar itu? Sudah jelas dia
mercusuar itu berada di teras, memandang ke bawah dengan bukan pegawai Departemen Perhubungan yang bisa pulang ke
tatapan sendu. Dari kapal, seperti juga dari bukit ini, ia me- rumah setelah tugasnya selesai, atau membawa keluarga jika
mang tampak jauh, namun aku bisa merasakan kesenduannya. ia ditempatkan di pulau terpencil. Betapapun, pekerjaan seba-
Bukankah ia sendiri saja dari abad ke abad berada di mercusuar gai penjaga mercusuar adalah pekerjaan yang resmi. Bekerja
itu sejak ada waktu? Manusia yang hidup sendiri saja dari abad seorang diri pun mempunyai masa kerja yang jelas, namun
ke abad akan merasakan kesenduan ketika melihat kapal-kapal penjaga mercusuar di pulau ini tidak begitu. Ia selalu berada di
yang mendekat, melewati selat, tapi lantas meninggalkannya sana, di teras mercusuar seperti bagian dari langit, memandang
lagi. Tentu akan ada semacam perasaan ditinggalkan, perasaan kapal-kapal yang lewat dengan perasaan sendu. Kapal-kapal
kesendirian, dan perasaan-perasaan semacam itu tentu me- selalu lewat di selat itu, juga pada senja hari ketika langit ber-
nimbulkan semacam kesenduan, yang hanya bisa diatasi oleh ubah menjadi jingga, atau ungu, dan lautan yang kelam dalam
sebuah senja yang keemas-emasan yang akan membuatnya malam memberikan perasaan tak berteman dan sendiri bagi
penjaga mercusuar itu. Apakah yang dilakukannya di dalam
membentangkan kedua tangan seperti akan merengkuh langit,
biliknya yang selalu menyala itu? Apakah dia tidur, apakah
namun yang ternyata membuatnya melayang, berputar-putar
dia mendengarkan suara-suara ombak dan angin, ataukah ia
mengitari mercusuar, sebelum akhirnya turun meluncur di
memikirkan kehidupannya sebagai penjaga mercusuar yang
atas permukaan laut, bermain-main dengan ombak, menengok
hidup antara ada dan tiada? Bagaimanakah bisa dihayati pera-
matahari tenggelam di cakrawala dan mengangkasa.
saan seseorang yang setiap senja memandang kapal-kapal yang
Aku tahu bagaimana perasaan sendu itu, seperti aku bisa
lewat menyeberangi selat, meninggalkannya dalam kesendirian
merasakannya dari puncak bukit ini, memandang kapal-kapal
tak berkesudahan?
yang lewat menyeberangi selat, seperti dia juga memandang-
Aku menuruni bukit dan berjalan ke pantai. Aku mendekat,
nya dari mercusuar. Itulah perasaan sendu yang timbul ke-
tapi menjaga jarak, karena tahu mercusuar itu akan hilang jika
tika manusia mengalami sesuatu yang sulit diungkapkannya aku berusaha menyelidikinya. Aku berjalan di pantai, mendaki
kembali meski sangat dikenalnya. Apakah yang terjadi pada gundukan terumbu karang, dan melihat betapa mercusuar itu
diri manusia pertama ketika melihat matahari terbenam di memang tinggi menjulang. Kalaupun aku akan melihat ia tu-
laut sebagai suatu lempengan raksasa kemerah-merahan yang run dari langit, ia akan tetap terasa jauh. Sedangkan kalau aku

140 141
terlalu dekat, segalanya akan menghilang. Meskipun begitu, pantai, “karena Anak hanya akan menemui kesia-siaan. Mercu-
aku bisa cukup dekat juga ternyata, sehingga bisa mendengar suar ini toh hanya bayangan.”
melalui pintu yang terbuka, adanya suara-suara. Tentu aku Bayangan. Bayangan. Apakah hidup kita bukan suatu ba-
tidak bisa lebih dekat lagi, tetapi cukup untuk mendengarkan yangan yang tidak pernah benar-benar nyata?
suara-suara yang keluar dari dalam mercusuar itu. Astaga. Aku Sebegitu jauh, aku masih selalu datang ke tempat itu, sam-
mendengar ringkik kuda. pai aku menjadi tua sekali, yang untuk sampai ke puncak bukit
Ini membuat aku teringat Kitab Perjalanan Nusantara lagi. itu pun harus dipapah. Bersama orang-orang yang mengantar-
Dituliskan dalam buku tua itu, bahwa dalam jarak terdekat ku, kami memperbincangkan pemandangan itu. Betapa setiap
yang tidak membuat mercusuar itu raib, terdengar suara ring- senja ketika langit menjadi keemas-emasan dan kejingga-jing-
kik kuda. Tak pernah jelas benar, apakah di dalam mercusuar gaan dan kemerah-merahan penjaga mercusuar yang selalu
itu ada kuda atau tidak, tetapi jelas-jelas dituliskan secara rinci memandang kapal berlampu kebiru-biruan menyeberangi selat
tentang suara kuda itu. Apakah penjaga mercusuar itu tinggal itu akan mengangkasa, menjadi bagian dari langit, turun ber-
di dalam mercusuar bersama seekor kuda, dan apakah kuda main dengan ombak, meluncur ke cakrawala ketika matahari
itu juga hidup di dalam mercusuar selama lebih dari enam ra- terbenam, dan lenyap di balik kubah langit untuk kembali lagi.
tus tahun, bahkan seperti juga mercusuar itu, berada bersama Kami memperbincangkan semua kemungkinan tanpa pernah
waktu? Sekarang aku ingat lagi, bukan hanya Kitab Perjalanan mendapat jawaban. Kami tidak mengerti kenapa mercusuar
Nusantara, tetapi catatan orang-orang di kapal yang dimuat di yang hanya bayangan itu bisa menjadi begitu nyata.
majalah Intisari juga menyebut-nyebut tentang ringkik kuda Waktu itu aku belum tahu, bahwa setelah aku mati, seti-
itu. Di antara orang-orang di kapal yang menulis catatan, ada ap senja aku akan berada di teras mercusuar itu, memandang
yang menulis bahwa dari mercusuar itu terdengar ringkik kuda. kapal-kapal yang menyeberang selat. Ketika lampunya yang
Hmmm. Ringkik kuda. Ringkik kuda. Apa pula hubungannya? menyorot berputar-putar setelah hari gelap, aku akan terbang
Terlalu banyak hal yang tidak bisa dijawab, dan semua hal itu melayang mengitari mercusuar itu pelahan-lahan sebelum
tidak bisa diselidiki. menukik ke permukaan laut, bermain-main dengan ombak,
“Anak tidak perlu menyelidiki apapun tentang mercusuar mencelup-celupkan kakiku sambil melenting ke sana-kemari,
ini,” ujar tukang warung yang menjual jingking goreng di tepi menengok ke balik cakrawala tempat matahari terbenam, dan

142 143
membubung ke atas, melenyapkan diri ke balik kubah langit,
sebelum akhirnya turun kembali dengan anggun, dengan kaki
lebih dulu dan tanpa suara ke teras mercusuar itu, lantas masuk
dan menutup pintu tanpa menoleh-noleh lagi.
Waktu itu aku belum tahu.

Jakarta, 31 Desember 2000.

*Mengenang sebuah mercusuar di Bangkalan, Madura.

144
Kalaoe toean ada poenja anak misih ketjil2,
tengtoe ini tjeritera ada mendatangkan faedah.

Anak-Anak Senja

2001

145
senja yang terakhir itu, semenjak senja yang terakhir itu turun,
orang-orang membiasakan diri hidup tanpa senja dan berusaha
melupakannya, tetapi senja itu sendirilah yang ingin dikenang
sehingga melahirkan Anak-anak Senja pada debur ombak yang
terakhir ketika langit yang kemerah-merahan akhirnya meng-
gelap untuk selama-lamanya. Ketika Ratri dilahirkan, tiada lagi
senja di kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu. Di

R atri dan ibunya sedang makan malam ketika Anak-anak


Senja itu tampak lewat di gang dari jendela yang terbuka.
Mereka duduk berhadapan, meja makan itu tepat di muka jen-
sekolah Ratri mendapatkan pengetahuan tentang senja namun
itu tidak cukup untuk membayangkannya. Begitu sulit bagi

dela, sehingga Ratri bisa mencium bau laut yang dibawa angin Ratri untuk memahami betapa perasaan bisa menjadi rawan
meliuk-liuk gang, mendengar kepak camar yang lewat meren- ketika senja menghadirkan dirinya sebagai perpisahan terindah.
dah, tapi kali ini dilihatnya Anak-anak Senja dan ia terpesona. Sehabis makan, Ratri berlari sepanjang gang menuju pan-
Anak-anak Senja telanjang dan tak berkelamin, seluruh kulit tai. Ia sudah sering mendengar tentang Anak-anak Senja itu,
tubuh mereka merupakan tampak senja yang telah nyaris dilu- namun baru kali ini ia melihatnya dengan mata kepala sendiri.
pakan semenjak turun untuk terakhir kalinya di kota di mana “Ratri! Jangan lama-lama!”
pelangi tidak pernah memudar itu. Ketika senja yang terakhir Ratri terus berlari ke pantai. Di sana, orang-orang sudah
itu turun di kota di mana pelangi tidak pernah memudar, dari berkumpul untuk menyaksikan bagaimana Anak-anak Senja itu
balik gelombang yang berdebur di pantai muncullah anak-anak memancarkan cahaya senja dalam tahap yang paling sempurna,
kecil telanjang yang seluruh tubuhnya dibalut warna senja, se- ketika langit menjadi merah keemas-emasan, semburat menya-
olah-olah senja mengabadikan dirinya di kulit anak-anak itu. la dan berkobar-kobar, seolah-olah semesta telah menjadi ter-
Penduduk setempat menyebutnya Anak-anak Senja. bakar. Orang-orang akan mengagumi Anak-anak Senja yang
“Anak-anak Senja,” kata ibunya ketika melihat mereka lewat seperti setiap anak lain asyik bermain pasir, kejar mengejar di
berlari-lari. Mereka pasti akan menuju ke pantai yang selama antara ombak, dan bergulingan di pasir basah.
ini selalu gelap. Tiada seorang pun teringat seperti apakah “Anak-anak Senja! Anak-anak Senja!”

146 147
Ratri berteriak sambil me- semua itu sepanjang hidupnya. Tentang Anak-anak Senja, Rat-
lompat-lompat, tetapi suaranya ri hanya mendengar dalam cerita lisan dari mulut ke mulut,
hilang di antara kerumunan dan kini Ratri melihatnya sendiri.
beribu-ribu orang dewasa yang Dalam cerita lisan itu dikisahkan betapa ketika senja yang
selama ini telah membuka-buka terakhir telah berlalu, persis seperti perhitungan komputer,
buku primbon maupun jurnal-jurnal dari balik gelombang muncullah Anak-anak Senja. Senja ti-
ilmiah tentang hari-hari pemunculan Anak-anak Senja. De- dak akan kembali lagi untuk selamanya ke muka bumi, tetapi
ngan perhitungan yang rinci dan matang, berdasarkan peng- tampak senja yang sempurna terabadikan di tubuh Anak-anak
alaman berulang-ulang, kemunculan Anak-anak Senja itu bisa Senja itu. Mereka melangkah ke pantai dari lautan begitu saja
diperkirakan seperti meletusnya gunung maupun lewatnya seolah-olah pulang ke rumah setelah bermain-main entah di
meteor. Sehingga orang-orang sengaja berkumpul di pantai mana. Mereka berloncatan dengan ceria, dan berkilatan cahaya
itu, menanti kedatangan Anak-anak Senja. senja dari tubuhnya, cahaya yang hanya mungkin timbul kare-
Dari tubuh Anak-anak Senja yang bermain di tepi pantai na adanya peristiwa senja, langit merah keemas-emasan ketika
itu memancar cahaya senja keemas-emasan yang semburat me- matahari seperti lempengan besi membara tenggelam ke balik
nyepuh langit. Namun karena setiap anak itu berlari ke sana cakrawala. Anak-anak Senja itu berlari begitu saja dari pantai
kemari, pancaran cahaya itu berkelebat menyilaukan, sehing- ke dalam kota, ditelan labirin gang yang rumit, dan hanya
ga orang-orang terpaksa mengenakan kacamata hitam. Ratri sekali-sekali saja muncul menyemarakkan langit apabila mere-
mengernyitkan dahi, permainan cahaya dan perubahan warna ka muncul begitu mendadak begitu tiba-tiba entah dari gang
yang serba tiba-tiba belum pernah disaksikannya. Memang ada mana saja untuk berlari-lari di pantai yang menjadi berkilauan
pelangi yang tak pernah memudar di kota di mana pelangi keemas-emasan di mana segenap bentangan pasir yang basah
tidak pernah memudar itu, ada juga tiang-tiang cahaya dari mengertap dengan bisikan dan desah tertahan.
peternakan kunang-kunang Mandarin, dan ada juga Ikan Paus Ratri tercekat, kali ini ia melihat sendiri Anak-anak Senja
Merah yang setiap tahun melewati teluk memperdengarkan itu, mereka semua sebaya dengan dirinya. Meski cerita tentang
jeritannya yang menyayat bagaikan jiwa yang terluka di bagian Anak-anak Senja itu sudah begitu lama, sebelum dia lahir dan
yang paling menyakitkan, namun Ratri telah hidup bersama melihat dunia yang sudah tiada bersenja, ternyata Anak-anak

148 149
Senja itu tidak pernah bertambah tua. Konon, pada zaman tenggelam di cakrawala dan membuat lautan bagai genangan
dahulu kala sekali, ada juga Manusia Gundu, yang meski sudah cat air berwarna jingga hanya sampai kepadanya sebagai hu-
seratus tahun umurnya seperti tidak pernah bertambah tua, ruf-huruf dan kata-kata. Ia tidak pernah melihatnya sebagai
tetapi yang akhirnya lenyap dan lebur ketika menyerahkan di- senja seperti manusia semestinya melihatnya. Anak-anak Senja
rinya ke Lembah Silikon. Kali ini Ratri melihat sendiri, Anak- membuat ia mengerti kehidupan yang sebenarnya, kehidupan
anak Senja yang telanjang bulat tanpa kelamin, menembus yang menjanjikan kematian di ujungnya.
kegelapan dengan cahaya keemasan matahari terbenam, berlari “Dan apakah kematian itu Ibu?” Ratri bertanya suatu ketika.
dan berguling-guling di pantai dengan riang, menjanjikan ke- “Tempat di mana senja berada untuk selama-lamanya,” kata
bahagiaan yang sungguh-sungguh nyata. ibunya.
Demikianlah Ratri berlari mendekati mereka. “Jadi, kematian itu indah ya Ibu?”
“Ratri! Jangan!” Ibunya tersenyum, mengelus-elus rambutnya.
Ibunya yang menyusul ke pantai karena sudah terlalu ma- “Wah, Ibu sih belum pernah mati, Ratri.”
lam memanggilnya. Ratri sama sekali tidak ingin mati. Anak sekecil Ratri, segala
“Ratri! Jangan! Sekarang sudah malam!” hal tampak indah di matanya, apalagi Anak-anak Senja dengan
Namun Ratri tidak pernah tahu bedanya siang dan ma- cahaya senja yang memancar bersama kedatangannya. Anak-
lam kecuali dari jarum jam tua di rumahnya yang gemanya anak Senja berlari, dan Ratri mengikutinya.
menggaungkan kembali masa-masa yang telah lama silam. “Ratriiii!!! Tungguuuu!!!”
Selama hidupnya di dunia tanpa senja itu Ratri hanya melihat Ratri hanya melihat senja yang luar biasa memanggil-
kegelapan. Setelah senja yang terakhir itu berlalu, orang-orang manggilnya.
di kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu memang “Ratriiiii!!!!”
masih bisa melihat rembulan. Dunia pun seolah-olah terbalik,
dari pagi sampai malam gelap gulita, dari malam sampai pagi
terdapat cahaya rembulan yang keperak-perakan bila purnama
tiba. Bagi Ratri matahari hanyalah suatu dongeng, dan senja
adalah suatu impian. Matahari senja yang merah membara dan

150 151
Ibunya mengejar dengan bersimbah air mata. Orang-orang pernah dengar-dengar saja tentang semua peristiwa itu mengi-
hanya bisa memandang dengan sedih. Sudah tak terhitung kutinya untuk tidak pernah kembali.
berapa anak ikut hilang bersama Anak-anak Senja. Setiap Ibu Ratri mengejar dengan seluruh tenaganya. Ia merasa
kali Anak-anak Senja itu kembali, para orangtua berdatangan berlari di sebuah lorong cahaya yang panjang tiada habisnya.
karena ingin tahu apakah anaknya ikut kembali, namun hal “Ratriiiiii!!!!”
itu ternyata sulit dilakukan. Anak-anak Senja bukan hanya tak Ratri tertawa-tawa mengejar Anak-anak Senja. Ia merasa
berkelamin dan usianya sebaya, melainkan juga bahwa wajah seperti bermimpi. Betapa indahnya impian yang menjadi ke-
mereka semuanya sama. Anak-anak Senja bukanlah sejumlah nyataan dan Ratri tidak ingin kehilangan impian yang nyata
anak-anak, mereka adalah suatu kesatuan. Banyak atau sedikit, itu. Anak-anak Senja membentangkan tangannya. Semua
bertambah atau tidak bertambah jumlahnya, mereka adalah orang di pantai yang selalu berpesta di bawah cahaya rem-
sesuatu dengan pengertian yang tunggal. bulan semenjak tiada lagi matahari memandanginya. Semua
Ratri mengejar mereka. Ibunya mengejar Ratri. orang berusaha bersikap cuek terhadap Anak-anak Senja itu,
“Hati-hati menjaga Ratri,” ujar almarhum suaminya sebe- suatu keajaiban tak bisa dilawan yang bisa bikin putus asa, tapi
lum meninggal, “jangan sampai ia mengikuti Anak-anak Senja orang-orang tak sudi putus asa. Mereka berpesta. Semenjak
seperti yang lain-lain, nanti tidak bisa kembali.” anak-anak mereka menghilang, perasaan mereka menjadi tidak
Anak-anak Senja berlari sepanjang pantai yang memben- karu-karuan. Mereka selalu berpesta, namun gagal menjadi
tang di kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu. Suara bahagia. Dunia telah menjadi tempat yang membingungkan.
tawa mereka yang ceria tidak menjanjikan kengerian yang bia- Matahari tak muncul, penerangan hanya rembulan, pagi gelap
sa terjadi selanjutnya. Pernah suatu ketika anak-anak berbaris sampai malam, malam terang sampai pagi, semuanya sulit di-
mengikuti Anak-anak Senja itu, sampai berkilo-kilometer pan- mengerti.
jangnya dan semuanya hilang lenyap entah ke mana ditelan la- Di sekolah, para guru dengan sangat berhati-hati harus
birin gang, tak terlacak dan tak pernah tertemukan. Semenjak menjelaskan semesta di mana mereka hidup itu. Anak-anak
itu, setiap kali Anak-anak Senja muncul dan berlari-lari, para telah semakin bertambah pintar. Mereka telah mempelajari
orangtua memeluk anak-anak mereka erat-erat. Tetapi masih segala hal yang pernah diajarkan di muka bumi dengan sis-
selalu ada saja orangtua yang lengah dan anak-anak yang hanya tematis, sampai berhadapan dengan gejala-gejala ajaib dalam

152 153
tahun-tahun terakhir. Adakalanya murid-murid yang sudah Ratri masih terus berlari mengikuti Anak-anak Senja yang
menjadi begitu pintar harus memaklumi keterbatasan ilmu pe- tidak berkelamin itu tanpa sadar bahwa dunia menyaksikannya
ngetahuan yang dikuasai guru-gurunya dalam dunia tanpa sen- dengan rasa khawatir dan putus asa yang amat sangat betapa
ja yang menimbulkan perasaan tertekan. Kesenjangan antara seorang anak akan hilang lagi hari ini. Di tepi pantai itu tam-
keingintahuan dan terbatasnya pengetahuan yang tersedia ini pak gedung-gedung bertingkat yang telah hancur dan tidak di-
telah menyuburkan pemikiran mistik, takhayul-takhayul yang huni lagi. Gedung-gedung menjulang ke langit dalam keadaan
kosong namun mempunyai banyak penganut. Banyak orang hancur, disengaja tetap tinggal begitu sebagai monumen atas
telah datang ke Kuil Orang Mati untuk meminta penjelasan kebodohan manusia yang selalu mencari pembenaran untuk
tentang hilangnya anak-anak mereka. Seorang penjaga kuil berperang. Ketika Anak-anak Senja itu berlari sepanjang pan-
dari agama yang tak jelas selalu mengumpulkan iuran pera- tai cahaya senja yang keemas-emasan berkelebat pula menyapu
watan kuil, tetapi tidak satu jawaban pun yang bisa diberikan gedung-gedung bertingkat itu dan demikianlah seperti ditulis-
kepada orang-orang yang bertanya. kan dalam mehong dot com di jendela gedung-gedung berting-
Pernah suatu kali dalam kemarahan dan keputusasaan yang kat itu tampaklah arwah para korban peperangan. Arwah para
amat sangat, beribu-ribu orang berencana mengepung Anak- korban itu tidak bisa mencapai alam barzah, seperti bisa dibaca
pula dalam mehong dot com, karena rumusan kimia dalam rudal
anak Senja itu untuk mempertanyakan anak-anak mereka yang
yang menggasak mereka memang dirancang untuk menahan
berbaris mengikutinya sampai hilang dan tak pernah kembali.
arwah-arwah tetap tinggal tersiksa di bumi sebagai hukuman
Ketika akhirnya Anak-anak Senja itu muncul secara mendadak
terkejam. Seperti bisa dibaca dalam mehong dot com, wajah
dan tiba-tiba dari kegelapan berbagai gang di kota di mana
arwah-arwah yang terlihat sepintas ketika cahaya keemasan
pelangi tidak pernah memudar itu, tiada seorang pun ternyata
Anak-anak Senja itu melintasi mereka merupakan wajah-wajah
yang mampu bergerak bahkan sekadar untuk bisa bersuara.
muram dan sayu.
Anak-anak Senja ada hanya untuk disaksikan dan dinikmati
Arwah-arwah itu sering terlihat melesat di udara, seperti
dan apabila orangtua tidak waspada menjaga anak-anaknya
ingin mengikuti Anak-anak Senja ke suatu alam dalam di-
mereka akan mengikuti Anak-anak Senja itu bermain untuk
mensi lain yang barangkali saja bisa membebaskan mereka
akhirnya menghilang dalam labirin gang yang rumit.
tetapi terdapat suatu bayang-bayang panjang membayang

154 155
yang ujungnya tetap menempel di jendela besar yang tidak terjawab melahirkan nabi-nabi palsu yang
gedung-gedung bertingkat itu, sehing- berkhotbah di reruntuhan kuil berlumut yang penuh ular dan
ga arwah-arwah itu terlihat seperti kelabang. Orang-orang yang pasrah dalam ketidaktahuannya
karet yang molor begitu panjang dan berduyun-duyun menyusun kepercayaan baru berdasarkan
terpantul kembali, kembali ke dalam mimpi-mimpi tak jelas yang mereka alami dalam tidur mereka
kemuraman dan kesayuan yang berke- yang gelisah. Namun Anak-anak Senja tetap menjadi kenyata-
panjangan. Sementara Anak-anak Senja an yang membingungkan.
tetap berlari, melesat pergi dalam misteri, Kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu sekali lagi
dikejar-kejar Ratri, dan di belakang Ratri menjadi saksi atas berlangsungnya peristiwa-peristiwa yang ti-
tampaklah ibunya tergopoh-gopoh menyusulnya. dak bisa dimengerti. Anak-anak Senja berlari ke kota, di mana
“Ratriiiiii!” satu persatu hilang lenyap ditelan labirin gang yang rumit.
Ratri sendiri hanya merasa riang. Ia berlari secepat itu “Oh Tuhan, tolonglah Ratri!”
namun merasa badannya begitu ringan. Seperti meluncur di Ibunya berteriak antara marah dan putus asa.
atas jalanan cahaya di mana ia bisa meluncur dan melesat ha- “Kepada siapa lagi aku harus meminta, Tuhan, kepada sia-
nya menurut keinginannya. Sungguh panjang pantai itu, dan pa? Orang-orang ini hanya menonton!”
orang-orang hanya bisa menonton dengan persiapan yang Tiada lagi Anak-anak Senja. Tidak tampak pula Ratri. Ibu
matang untuk berduka. itu menahan kesedihannya dan menolak untuk pasrah. Ia pu-
Tentu saja menjadi pertanyaan besar mengapa senja harus lang kembali merayapi pantai. Bumi gelap kembali tanpa senja.
mengabadikan dirinya dalam diri Anak-anak Senja yang penuh Bulan sabit di langit menyisakan cahaya untuk melihat buih-
dengan pesona tapi sekaligus juga memberikan rasa putus asa. buih ombak yang berdebur ke pantai.
Anak-anak Senja yang telanjang tanpa kelamin dan memberi- Sampai di pantai di dekat rumahnya, orang-orang bertanya.
kan janji bahagia dengan cahaya keemasan mereka yang mem- “Bagaimana? Hilang juga?”
bakar langit mengingatkan saat-saat terindah dalam kehidupan Ia tidak menjawab. Di sepanjang gang dilihatnya dalam
manusia tapi sekaligus memisahkan orangtua dari anak-anak- rumah-rumah ada anak yang masih diikat di kursi supaya tidak
nya tanpa kejelasan yang bisa diterima. Pertanyaan-pertanyaan berlari memburu Anak-anak Senja.

156 157
Ia sudah begitu lemas ketika sampai di rumah, membuka Ibunya Ratri belum memasuki kamar Ratri, ketika ia me-
pintu dengan lemah. nyalakan komputer, membuka internet, dan menyambangi
Ia masih duduk termenung menatap ke luar jendela, ketika mehong dot com.
di kantor mehong dot com seorang petugas menulis laporan di Di sana ia membaca berita tentang peristiwa yang menimpa
depan komputer : Ratri dan dirinya.
Ia sudah sampai kalimat Ia masih duduk termenung me-
Ratri dan ibunya sedang makan malam ketika Anak- natap ke luar jendela, ketika didengarnya pintu kamar Ratri
anak Senja itu tampak lewat di gang dari jendela yang terbuka, dan Ratri muncul sambil mengucek-ucek mata dan
terbuka. Mereka duduk berhadapan, meja makan itu tepat bertanya.
di muka jendela, sehingga Ratri bisa mencium bau laut “Ibu dari mana saja? Ratri ingin mendengar lanjutan cerita
yang dibawa angin meliuk-liuk gang, mendengar kepak Anak-anak Senja.”
camar yang lewat merendah, tapi kali ini dilihatnya Anak-
anak Senja dan ia terpesona. Anak-anak Senja telanjang
dan tak berkelamin, seluruh kulit tubuh mereka merupa- Palmerah - Pondok Aren,
kan tampak senja yang telah nyaris dilupakan semenjak Sabtu 27 Januari 2001. 20:38.
turun untuk terakhir kalinya di kota di mana pelangi tidak
pernah memudar itu. Ketika senja yang terakhir itu turun
di kota di mana pelangi tidak pernah memudar, dari balik
gelombang yang berdebur di pantai muncullah anak-anak
kecil telanjang yang seluruh tubuhnya dibalut warna senja,
seolah-olah senja mengabadikan dirinya di kulit anak-anak
itu. Penduduk setempat menyebutnya Anak-anak Senja
“Anak-anak Senja,” kata ibunya ketika melihat mereka
lewat berlari-lari. Mereka...

158 159
Pada satoe masa orang boleh bereboet
dapet beli pemandangan sendja.
Memoedjikan dengan hormat,
satoe lakon njang toelen aseli.

Senja yang Terakhir

2001

161
Apabila Puan dan Tuan datang dari sebuah dunia di mana
terdapat matahari yang selalu timbul tenggelam seolah-olah
untuk selama-lamanya, Puan dan Tuan barangkali tidak akan
segera mengerti, apakah yang dimaksud dengan Senja yang
Terakhir itu. Puan dan Tuan barangkali akan mengiranya se-
bagai judul sebuah film atau sebuah novel atau entah apalah,

A pabila Puan dan Tuan suatu ketika melewati kota di mana


pelangi tidak pernah memudar, Puan dan Tuan akan me-
lihat tulisan di toko-toko kelontong yang terbaca seperti ini:
pokoknya yang dibuat sebanyak-banyaknya, dan dijual sebagai
sesuatu yang tampaknya memang sedang dicari-cari. Puan dan
Tuan harus tinggal beberapa saat lamanya di kota itu untuk
sampai kepada sebuah kenyataan tak terduga. Puan dan Tuan
tentu tiada akan pernah mengira meski hanya untuk sekilas
saja, betapa memang tidak ada lagi senja di kota di mana pela-
ngi tidak pernah memudar itu.
Apabila kemudian Puan dan Tuan sadar bahwa ternyata
memang tiada lagi senja di kota di mana pelangi tidak per-
nah memudar itu, Puan dan Tuan barangkali kemudian akan
mengerti bahwa Senja yang Terakhir memang sesuatu yang
masuk akal untuk dicari-cari dan karena itu maka masuk akal
pula jika ada yang menjualnya. Bisnis adalah bisnis. Ada atau
tidak ada senja, para pedagang selalu punya akal untuk membeli
dan menjual dan membeli dan menjual lagi, dan dari sanalah
keuntungannya datang. Jual beli adalah dunia para pedagang,
entahlah harus dibilang kasihan atau diberi penghargaan. Na-
mun di kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu, di
mana senja dengan langitnya yang merah keemas-emasan itu

162 163
sudah tidak ada lagi untuk selama-lamanya itu, para pedagang berjuang menembus penutupnya. Senja yang Terakhir itu, da-
mempunyai jasa yang jelas, mereka mampu menyediakan senja. lam bentuk foto-foto, rekaman video dalam pita kaset maupun
Mereka mampu menyediakan senja yang dari saat ke saat ber- kepingan laser, dibungkus baik-baik dengan gambar Senja yang
ubah dengan pasti, mengubah langit keemasan yang gemilang Terakhir. Dalam semua paket Senja yang Terakhir itu digam-
itu menjadi berkobar-kobar sebelum akhirnya menggelap de- barkanlah di bungkus luarnya bagaimana senja yang paripurna
ngan cepat, meninggalkan sisa cahaya di tembok-tembok kota. itu memancarkan cahaya keemasan yang gilang gemilang ber-
Apabila Puan dan Tuan akhirnya memasuki toko kelontong kilau-kilauan, seperti senja yang tahu bahwa inilah penampilan
yang menyediakan Senja yang Terakhir itu, maka akan nyata- terakhirnya dan betapa senja itu berharap akan dikenang untuk
lah kiranya kepada Puan dan Tuan betapa di dalam setiap toko selama-lamanya. Dalam bungkus foto-foto maupun pita video
kelontong memang dijual Senja yang Terakhir. Rupa-rupanya dan kepingan laser itu dituliskan keterangan seperti berikut:
memang pernah terjadi suatu peristiwa di kota di mana pelangi
tidak pernah memudar itu, di mana senja suatu hari berakhir, Senja yang terakhir telah berlalu. Kehidupan manusia untuk seterusnya
akan berlangsung tanpa senja. Namun para dokumentalis terbaik telah
dan penduduk ramai-ramai merekam Senja yang Terakhir itu
merekam senja yang terakhir itu dengan segala cara.
dengan segala cara, agar supaya mereka merasa masih memi- Sudahkah Anda memiliki Senja yang Terakhir?
liki semacam senja dengan matahari merah yang tenggelam Beli hari ini juga. Demi Kebahagiaan Anda.
di cakrawala dan siluet perahu layar lewat melintasinya dalam
semburat langit yang memancar jingga, tapi kemudian ramai- Izin Resmi
ramai menjualnya kepada para pedagang kelontong yang me- Departemen Kebahagiaan Manusia

mang sudi membayar mahal semacam senja yang kemudian No. 15 / DKM / KDPTPM / 5483008.2001.

dijual sebagai Senja yang Terakhir.


Apabila Puan dan Tuan menyelusuri rak-rak dan etalase Apabila Puan dan Tuan perhatikan baik-baik gambar di
yang menjual Senja yang Terakhir itu, Puan dan Tuan akan bungkus itu, Puan dan Tuan akan melihat Senja yang Terakhir
terpesona oleh deretan cahaya yang memancar-mancar seperti digambarkan sebagai matahari jingga yang terbenam separuh
di cakrawala, sementara terdapat empat orang bergandengan

164 165
tangan menyaksikannya, yang tampak dimaksudkan sebagai 1. Para pirsawan Senja yang Terakhir akan mengalami

Bapak, Ibu, Anak Laki-laki, Anak Perempuan, seakan-akan rasa kehilangan yang luar biasa.
2. Para pirsawan harus menjelaskan kepada anak-anak
mewakili umat manusia. Tidak seperti menyambut fajar yang
bahwa Senja yang Terakhir itu hanyalah sebuah re-
penuh harapan, yang biasanya digambarkan dengan garis-garis kaman.
lurus yang menggambarkan pancaran, maka matahari senja 3. Para pirsawan Senja yang Terakhir tidak boleh lupa
yang separuh terbenam ini dilingkungi oleh latar belakang mengembalikan Senja yang Terakhir ke dalam bung-
sapuan warna kemerah-merahan yang terasa menyedihkan. kusnya kembali, untuk menghindarkan penularan
antar dimensi. Seperti diketahui, penyakit-penyakit
Memang indah, tapi tetap menyedihkan. Puan dan Tuan
masa lalu, seperti nostalgia dan melankoli, tidak ada
barangkali akan heran, barang yang menyedihkan kok dijual
obatnya lagi di masa kini. Barang siapa menjadi sen-
sebagai sesuatu yang membahagiakan. Atau, barangkali me- timental setelah menyaksikan Senja yang Terakhir
mang keharuan akan hilangnya sesuatu adalah kebahagiaan? berarti telah terjangkit bibit penyakit tak terobati, dan
Menurut para leluhur, kebahagiaan memang tidak selalu di- kemungkinan besar meninggal dunia. Sedangkan jika
nyatakan dengan cara berjingkrak-jingkrak, seringkali orang tetap hidup, diandaikan tidak akan bisa berbahagia,
meskipun berlindung di balik kata pasrah.
bahkan menangis karena bahagia. Begitu? Entahlah. Tetapi
Puan dan Tuan mungkin akan merasakannya jika melihat Sen-
Apabila Puan dan Tuan sempat berpikir, barangkali akan
ja yang Terakhir itu sendiri.
bertanya mengapa Senja yang Terakhir bisa menjadi begitu
Apabila Puan dan Tuan toh akhirnya memutuskan untuk
istimewa dan apa sebenarnya bedanya dengan senja-senja lain
membeli sebuah atau dua buah Senja yang Terakhir sebagai
yang juga memancarkan cahaya yang membuat langit seolah-
tanda mata dari kota di mana pelangi tidak pernah memudar
olah terbakar. Hampir semua senja memperlihatkan pesona
itu, di dalam bungkusnya terdapat selembar catatan :
langit yang dahsyat, di mana mega-mega terurai dan semburat
dalam sapuan ungu, jingga, dan kemerah-merahan, menerbit-
kan perasaan kehilangan yang aneh, sehingga mungkin saja
untuk pertama kalinya seseorang akan merasa mempunyai
perasaan dalam hatinya. Namun Senja yang Terakhir ini me-

166 167
mang memberikan pesona yang berbeda, bukan sekadar karena di dalam akuarium di mana ikan berenang di antara cahaya
merupakan yang terakhir, melainkan karena yang terakhir ini matahari yang merah membara. Dengan begitu, selenyapnya
menjadi berganda dalam segalanya. Ajaib. Tiada lagi senja di senja dari kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu, la-
kota di mana pelangi tidak pernah memudar. Ini hanya berarti hir kembali seribu senja, sejuta senja, tak terbilang senja-senja
bahwa senja tergandakan begitu rupa dalam kemasan Senja yang berlangsung setiap saat, terserah kapan para pemilik itu
yang Terakhir yang dijual di mana-mana, sehingga dari jauh ingin menyaksikannya.
Puan dan Tuan akan melihat cahaya-cahaya senja yang me- Apabila Puan dan Tuan tinggal agak sedikit lebih lama di
nerbitkan perasaan rawan itu dan mengubah arah perjalanan. kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu, Puan dan
Apabila Puan dan Tuan menyadari masalah tersebut, Puan Tuan akan menemukan betapa ternyata ada orang yang begitu
dan Tuan akan mengerti, bukan saja mengapa setelah sen- bangun tidur ingin melihat senja, sehingga masih di tempat
ja yang terakhir berlalu, kota di mana pelangi tidak pernah tidur orang itu akan memencet remote control dan TV-nya pun
memudar itu tidak menjadi gelap gulita, melainkan bercahaya menyala dan memancarkan peristiwa senja yang memberi pera-
keemas-emasan selalu. Perbedaannya tentu, kini dunia senja saan rawan dan kehilangan dari sebuah pita video atau piring-
itu tidak dibentuk dari satu arah, yakni dari tempat di mana an laser. Pagi-pagi sudah ingin merasa rawan dan kehilangan!
matahari biasanya terbenam, tetapi dari segala arah. Cobalah Orang itu akan menyaksikan senja dari tempat tidurnya, dan
Puan dan Tuan bayangkan, tidakkah begitu cahaya senja itu akan menerobos keluar lewat jendela, juga
dahsyat jika matahari selalu terbenam kem- akan membakar langit seperti senja-senja yang biasa. Bisakah
bali bukan hanya di balik garis cakrawala dibayangkan akan bagaimana rupanya jika masih banyak lagi
dengan perahu layar sebagai senja-senja menerobos keluar jendela? Semenjak senja yang
siluet yang melintasinya, me- terakhir itu berlalu dan muncul Senja yang Terakhir di mana-
lainkan terbenam di jendela mana, kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu ber-
sebuah loteng, atau di dalam gelimang dengan senja yang melimpah-limpah. Setiap orang
lemari es, atau juga di dalam berusaha memiliki senja sendiri, membuka, memandang, dan
akuarium. Bayangkan, senja kalau perlu masuk ke dalamnya.

168 169
Apabila Puan dan Tuan sempat membeli Senja yang Tera- orang menghilang sampai bertahun-tahun karena memasuki
khir dan membukanya, Puan dan Tuan akan mengerti betapa dunia Senja yang Terakhir. Akibatnya Senja yang Terakhir
ajaib memang kemasan Senja yang Terakhir itu. Seperti dike- itu terus menerus memancar dengan cahayanya yang keemas-
tahui, terlalu banyak orang telah merekam Senja yang Tera- emasan yang seringkali masih tersisa di dedaunan yang ber-
khir itu, yang tentu saja tidak harus selalu berwujud terbenam- goyang-goyang. Banyak orang senang sekali pergi ke pantai
nya matahari merah membara ke balik cakrawala sementara di dalam Senja yang Terakhir itu, yang selalu berulang setiap
langit semburat keemas-emasan sebelum akhirnya menghilang kali tenggelam. Hal itu mudah sekali, karena tinggal menekan
dan menggelap. Ada juga yang merekamnya sebagai matahari tombol repeat sebelum memasuki Senja yang Terakhir. Mere-
tenggelam di balik gunung, atau matahari tenggelam di sebuah ka ini tidak pernah keluar lagi, karena di sebuah dunia yang
lorong antara dua gedung bertingkat, atau matahari tengge- waktunya bisa diulang, mereka tidak akan pernah mati dan
lam ke dalam tambak udang. Ibarat kata setiap orang memilih juga tidak akan pernah merasa bosan. Kecuali kalau ada yang
sendiri tempat di mana matahari akan tenggelam itu dan mere- tiba-tiba mematikan tombol. Ketika dibuka lagi, siapapun yang
kamnya menurut selera sendiri. Akan tetapi, meskipun banyak berada di dalam dunia Senja yang Terakhir itu akan lenyap
orang telah merekam Senja yang Terakhir, lebih banyak lagi entah ke mana. Itulah sebabnya mereka yang memasuki dunia
yang tidak merekamnya karena tidak semua orang bergaul Senja yang Terakhir biasa menuliskan catatan di sebuah kertas:
dengan alat-alat perekam itu. Inilah yang membuat Senja yang
Terakhir tergandakan begitu rupa, karena setiap orang ingin
memiliki Senja yang Terakhir. Bahkan kemudian Senja yang
Terakhir menjadi aset utama yang menunjang kehidupan kota
di mana pelangi tidak pernah memudar itu. Apabila Puan dan Tuan mendengarkan lebih lanjut cerita-
Apabila Puan dan Tuan memasuki Senja yang Terakhir itu cerita sekitar Senja yang Terakhir itu, akan Puan dan Tuan
maka Puan dan Tuan akan seperti memasuki dunia baru. Puan dengar pula betapa ada saja pembantu rumah tangga yang
dan Tuan bisa saja merasa betah dan tidak ingin keluar lagi sedang menyapu tidak ngeh dengan catatan seperti itu, malah
dari dunia Senja yang Terakhir itu, karena di sana memang membuangnya, dan mematikan tombol, sehingga lenyaplah
senja berlangsung untuk selama-lamanya. Banyak kejadian ada majikannya itu untuk selama-lamanya. Banyak kali juga terjadi

170 171
bahwa para pembantu rumah tangga itulah yang iseng-iseng “Brosur ini membingungkan,” ujar seorang suami kepada
menyetel Senja yang Terakhir, tanpa tahu apa-apa memasuki- istrinya, “bahasanya tidak efektif, penjelasannya bertele-tele.
nya, dan orang lain yang lewat mematikan player itu sehingga Seperti belum mengenal biro iklan.”
ia pun hilang lenyap untuk selama-lamanya. Tidak terlalu jelas Mereka berada di sebuah kafe yang terletak di persimpang-
bagaimana hilangnya pembokat itu menjadi urusan, tetapi je- an jalan di luar kota. Keduanya sedang berbulan madu. Sebagai
las bahwa banyak kejadian tidak terduga dan tidak terjelaskan pasangan muda mereka lebih suka bertualang tanpa rencana,
semenjak senja yang terakhir di kota di mana pelangi tidak daripada mengikuti rangkaian wisata yang terprogram dengan
pernah memudar itu. rapi.
Apabila Puan dan Tuan bertanya-tanya, mengapakah sen- Di depan kafe itu papan penunjuk arah bersilangan. Tapi
ja mesti berakhir, orang-orang di kota di mana pelangi tidak terdapat papan lain yang terpisah dan warnanya lain.
pernah memudar itu akan menjawab, “Apa salahnya?” Kepada
Puan dan Tuan mereka akan berkata bahwa jika matahari tim-
bul dan tenggelam dengan cara yang sama setiap hari maka KOTA DI MANA PELANGI TIDAK PERNAH MEMUDAR 100KM

itu tidak berarti bahwa matahari akan selalu timbul tenggelam


pada masa-masa yang akan datang, hal itu hanya bisa diper-
hitungkan tetapi tidak dipastikan. Bahkan perhitungan-perhi- Papan itulah yang membuat mereka mengambil brosur
tungan itu akhirnya menegaskan hilangnya senja suatu ketika yang disediakan di kafe itu.
suatu masa sehingga ketika saat itu tiba ternyata para warga Istrinya mengambil brosur itu, membacanya dengan cer-
kota telah siap menyaksikannya. Ternyata bahwa tenggelam- mat, dan melihat-lihat petanya.
nya matahari pada senja yang terakhir itu ... “Kelihatannya sih menarik,” katanya.
“Tapi membingungkan,” tukas suaminya lagi, “malah me-
ngerikan.”
“Aku suka senja. Kamu tahu kan, langitnya...”
“Aku tahu, tapi...”
“Aku pengin ke sana, tinggal seratus kilometer.”

172 173
“Hmm. Coba lihat, aku tadi belum selesai.”
“Nah, belum selesai jangan komentar dulu dong.”
Suaminya tampak mengerutkan kening, ia mengambil lagi
brosur itu. Membaca. Istrinya memandang dengan geli.
“Hihihi!”
Suaminya menoleh.
“Ada apa?”
“Nggak apa-apa.”
“Jangan gitu dong, aku sedang mencoba memahami.”
Istrinya menutupi mulut, menahan tawa.
“Iya, iya, teruskan.”
Suaminya membaca lagi.
“Apabila Puan dan Tuan... ”

Bulaksumur - Taman Manggu,


Februari 2001.

174
Atas Nama Senja

175
Gomplok mata majang dia poenja ramboet,
goemilang di baliknja sendja jang begitoe sunji
dan djempe. Kasemoeanja indah bagai mimpi
waktoe Toean taro tjinta. Dan Toean ingin teroes
tidoer zonder mendusin lagi.

Senja di Pulau
Tanpa Nama
2005

177
Tentunya ke sanalah aku dengan perahu motorku terbang di
atas ombak dalam keremangan senja yang menguji ketabahan.
Betapa tidak akan menguji ketabahan—jika sesuatu yang sudah
seolah-olah seperti cinta masih juga tidak memberi jaminan
kebahagiaan? Namun apakah masih boleh disebut semacam
cinta jika tidak terdapat kebahagiaan padanya meski setidak-

S eperti Kawabata, aku mencintai seorang perempuan yang


tidak pernah ada. Jika dia memang ada, tentunya ia sedang
berdiri di sana, di pulau tanpa nama itu, dalam remang senja
tidaknya sesuatu seperti kebahagiaan dalam penderitaan? Te-
tapi siapakah yang terlibat dalam kebahagiaan dan penderitaan
sebenarnya—perempuan itu tidak pernah ada meskipun aku
tanpa langit yang kemerah-merahan tanpa mega bersepuh sedang menuju ke arahnya, dan sesuatu yang tidak ada mesti-
cahaya keemasan-emasan tanpa segala sesuatu yang seperti bi- nya tidak perlu membawa kebahagiaan maupun penderitaan.
asanya membuat senja menjadi begitu sendu dan mengharukan Hanya ada senja dan seorang perempuan yang tidak ada tetapi
begitu indah dan menggetarkan—tanpa itu semua, tanpa sega- yang tetap menunggu dengan segala kemungkinannya dan
la pesona senja yang akan membuat kita terlalu mudah jatuh aku sedang menuju ke sana untuk menjemput kemungkinan-
cinta. Tanpa itu semua—tetapi hatiku sudah penuh dengan kemungkinan itu.
segala sesuatu yang seolah-olah seperti cinta. Lautan hanya remang, permukaan agar-agar yang mulus,
Senja tentunya telah turun di pulau tanpa nama itu menja- halus, dengan ombak berkecipak di tepi perahu motor yang
dikannya sebuah gundukan menghitam ketika permukaan laut meraung dalam keremangan. Tentunya juga akan kucari sisa-
seperti puisi seperti permukaan agar-agar berwarna kelam yang sisa senja yang mestinya menjadi bagian terindah dari senja.
terus menerus bergerak pelahan dengan lembut dan memberi Itulah saat ketika matahari tenggelam seutuhnya ke balik
perasaan rawan. Betapa tidak akan menjadi rawan ketika langit cakrawala dan langit hanya merah semerah-merahnya senja—
menjadi gelap, menghitam, dan muram? Hanya ada sedikit tetapi saat itu sudah lewat, aku terlambat. Aku tidak bisa tiba
mega di sana dengan sisa-sisa cahaya yang sudah sangat terlalu di tepi pantai di pulau tanpa nama itu ketika senja sedang
remang dan meski keremangan bukanlah kegelapan tetapi ke- kemerah-merahan ketika warna emas semburat di langit dan
remangan lebih memberi perasaan rawan daripada kegelapan. menyepuh kulitnya yang tembaga. Perempuan berkulit temba-

178 179
ga itu mengenakan kain sebatas dada dengan rambut tergerai terlalu silam bahkan berganti-ganti nama tetapi tiada seorang-
kecoklat-coklatan dan warna kulitnya yang tembaga menjadi pun mengetahuinya—mungkin saja, kenapa tidak, mungkin
keemasan-emasan dalam cahaya senja dan tentunya aku sedang saja. Namun aku sedang menuju ke sebuah pulau tanpa nama
menuju ke arahnya. yang memang tak bernama tak pernah punya nama tak per-
Namun senja sudah sampai kepada batasnya. Perahu motor- lu punya nama tak usah punya nama untuk apa jika pulau
ku melaju dalam keremangan menuju ke pulau tanpa nama. Ini itu memang tidak membutuhkan nama. Sebuah pulau tanpa
tidak seperti yang pernah kubayangkan sebelumnya. Semula nama dalam senja yang kuharapkan sejak semula akan tetap
aku mengira akan melihatnya berada di tepi pantai yang ber- saja merah begitu merah ketika matahari tenggelam ke balik
kilat karena pantulan cahaya. Dia akan tampak sebagai siluet cakrawala meninggalkan langit yang akan mendadak semburat
yang berjalan di atas pasir yang basah dan karena itu menjadi keemas-emasan. Haruskah ada yang lebih indah dari senja—
berkilat-kilat karena setiap butir pasir mengertap membias- meski tanpa kisah cinta di dalamnya?
kan cahaya di pantai yang landai, begitu landai sehingga jejak Tetapi tentunya aku akan terlambat. Senja yang keemas-
telapak kakinya yang mungil tampak memanjang lurus tak an sudah lewat. Barangkali aku tidak terlambat, hanya saja
berkelok tak berbelok dan hanya lurus karena rupa-rupanya ia dilahirkan beberapa saat lebih lambat. Kalau aku dilahirkan
berjalan dalam lamunan. Siapakah kiranya yang bisa menebak beberapa saat lebih cepat, aku akan tiba di tepi pantai di pulau
lamunan seorang perempuan yang sedang berjalan sendirian tanpa nama itu tepat ketika piringan matahari merah raksasa
di pantai dalam senja yang keemasan tetapi yang hanya tam- itu sedang terbenam saat perahu nelayan lewat di jauhan me-
pak sebagai siluet dalam senja yang memang semula keemas- lintas cakrawala. Senja yang keemasan dan seorang perempuan
emasan dengan bias menyilaukan pada pasir yang basah dalam dalam siluet berjalan pelahan meninggalkan jejak panjang de-
angin yang asin dan juga basah? ngan lamunan di kepalanya ketika buih ombak menghempas
Aku melaju di atas perahu motorku menuju ke pulau tan- ke pantai yang landai—apakah pemandangan itu memang ada
pa nama itu, yang masih saja ada sebagai pulau tanpa nama ketika aku melihatnya? Aku melaju ke pulau tanpa nama itu
yang memang tak pernah bernama sejak pertama kali manusia mengejar matahari yang terbenam seolah-olah begitu cepat ke
menemukannya. Mungkin saja pulau itu pernah punya nama balik cakrawala.
suatu ketika pada suatu masa entah kapan di masa yang sudah

180 181
Tentunya aku memang akan terlambat, senja telah lama sih tampak seperti agar-agar tentunya, agar-agar yang ungu
menghitam dan menggelap. Aku sedang menuju ke pulau itu, membiru dan akhirnya menggelap tapi masih saja tampak
yang tentunya telah menjadi gundukan nan hitam nan gelap menjelang gelap yang tentunya akan menjadi gelap segelap-
menantikan malam. Tentunya, tentu, dan aku memang be- gelapnya malam. Tentunya, karena ini masih senja, senja yang
lum melihatnya—tentunya aku melaju ke pulau tanpa nama nyaris gelap—nyaris, tapi belum menjadi benar-benar gelap,
itu, membayangkan perempuan berkulit tembaga itu lenyap dan apakah kiranya yang bisa kita saksikan dalam kegelapan
ditelan bayang-bayang menghitam. Senja meremang di atas yang pekat, begitu pekat, sehingga tiada lagi yang bisa dilihat
lautan, kalau aku tidak terlambat aku masih akan bisa meli- selain gelap? Juga tentunya, karena aku tidak yakin semua ini
hatnya. Perempuan itu mungkin masih setia dalam penantian akan menjadi nyata, meski seperti mengharapkannya.
di tengah keremangan. Tiada lagi senja kemerahan, tiada lagi Aku akan melaju bersama perahu motorku berlomba dengan
senja keemasan—tiada lagi pemandangan mengesankan karena kegelapan itu menjemput seorang perempuan yang menunggu.
memang tiada lagi siluet seorang perempuan berambut pan- “Ia akan berada di sana pada suatu senja,” kubayangkan se-
jang mengenakan kain sebatas dada yang berjalan di pantai seorang akan berkata, “jemputlah perempuan itu dan bawalah
dengan kaki telanjang membentuk jejak yang panjang di atas ia kemari dengan segera. Kami sudah berjanji. Dia sudah tahu
pasir basah yang mengertapkan cahaya keemas-emasan. Tiada akan dijemput pada suatu senja di pulau tanpa nama, tolong,
lagi, karena yang tersisa hanyalah keremangan, dengan sisa sekali lagi tolong, jemputlah dia. Bawalah dia kemari dengan
sedikit saja cahaya di balik mega. Sisa cahaya yang membuat segera. Aku sangat mencintainya. Dia sudah lama menung-
keremangan bertahan dalam kegelapan. gu dan aku sudah berjanji akan menjemputnya. Kami saling
Tiada lagi senja yang keemasan, tapi ini masih senja. Bukan mencintai, sangat saling mencintai, bahkan maut tak bisa me-
senja yang kemerah-merahan melainkan yang remang men- misahkan hati kami yang telah menyatu, erat merekat, lengket
jelang malam. Ini masih sebuah senja di sebuah pulau tanpa seperti ketan. Segeralah, pergilah, jemputlah dia segera. Jangan
nama yang menghitam dan perempuan itu masih mungkin sampai terlambat.”
berada di pantai menatap lidah-lidah ombak yang masih saja Mungkinkah aku membayangkan diriku sendiri untuk sebu-
berdebur dan menghempas meninggalkan busa yang mendesis ah adegan yang tidak akan pernah ada?
ketika diserap pasir basah dalam gelap. Permukaan laut ma-

182 183
Seandainya, ya seandainya ini memang nyata, tentu aku perasaan kehilangan. Tolonglah, jangan sampai dia tenggelam
tidak akan pernah tahu apakah perempuan itu memang me- dalam kegelapan jangan sampai dia disapu malam meskipun itu
nunggu, sebetulnya tidak menunggu, atau bahkan tidak ada malam yang paling berbintang. Tolonglah, jemputlah dia keti-
hubungannya sama sekali. Sudah terlalu sering aku melihat ka senja sedang kemerah-merahan ketika senja sedang keemas-
pemandangan semacam itu, seorang perempuan yang berja- emasan dan dia tampak sebagai siluet berjalan sepanjang pantai
lan di pantai seperti menunggu sesuatu, seorang perempuan meninggalkan jejak yang panjang di pasir basah. Tolonglah,
yang berjalan dalam siluet ketika angin yang asin berhembus jemput dia sebelum senja menjadi gelap.”
dan mengibarkan rambutnya dengan semacam lamunan dalam Tentunya hampir semua pulau di balik cakrawala itu tidak
kepalanya. Tentu aku tidak pernah tahu pasti apakah seorang bernama, atau pernah punya nama tetapi tiada seorangpun di
perempuan di pantai dengan kain sebatas dada yang melangkah antara para nelayan yang merasa ingat apakah ada satu saja
dengan kaki telanjang meninggalkan jejak-jejak memanjang di nama meski untuk salah satu saja dari begitu banyak pulau-
pasir basah yang mengertap keemasan sedang melamun atau pulau kecil di balik cakrawala itu. Aku tentunya melaju dengan
tidak melamun, tetapi mungkinkah, ya mungkinkah, ketika perahu motorku menuju sebuah pulau tanpa nama yang belum
berada di tepi pantai dalam senja dengan langit kemerah- pernah kuketahui keberadaannya tetapi yang tentunya menje-
merahan yang membuat permukaan laut menjadi semburat lang senja berakhir seperti ini telah menjadi gundukan meng-
jingga seseorang tidak akan melamun sama sekali, sama sekali, hitam agak seram tanpa harus bersetan untuk membuatnya
sangat-sangat-sangat tidak tersirat sesuatu sama sekali? tampak keramat seolah-olah menyimpan rahasia sejarah dan
Tetapi, begitulah, apa yang tidak mungkin di dunia ini? rahasia alam.
Seperti juga mungkin perempuan itu memang tidak pernah Kalau saja pulau itu ada apakah perempuan itu masih ada?
ada tetapi mungkin saja ternyata memang ada. Ia bisa ada, bisa Jika perempuan berkulit tembaga berkain sebatas dada dengan
tidak ada, aku tidak bisa memastikannya. rambut kecoklatan berkibaran itu hanya menantikan sebuah
“Tolonglah,” mungkin memang diriku sendiri yang akan perahu yang akan menjemputnya setiap senja ketika langit
berkata lagi, “tolonglah, jemput dia di sana sebelum senja masih kemerah-merahan setelah matahari terbenam ke balik
menjadi begitu gelap dan begitu muram. Senja memang indah, cakrawala apakah ia masih akan ada ketika senja ternyata se-
tetapi ketika berakhir ia menjadi begitu rawan dan memberi

184 185
makin lama semakin meremang, menggelap, dan merawankan
perasaan?
Aku tidak akan bisa menjawab pertanyaanku sendiri dan
tentunya tidak perlu.
Seperti Kawabata, aku mencintai seorang perempuan yang
tidak pernah ada. Tidak pernah ada seorang perempuan yang
berjalan dengan kaki telanjang yang tampak sebagai siluet di
pantai meninggalkan jejak yang panjang pada pasir basah yang
membiaskan langit senja yang keemas-emasan. Tidak ada pu-
lau dan tidak ada pantai. Tidak ada lautan dan tidak ada senja.
Tidak ada cinta dan tidak ada diriku.
Tiada cerita. Bila angkoe poenja maksoed beli satoe
fototoestel, pilih jang toelen. Djangan diboeat
chairan, sebab dari itoe toestel lens jang tjakep
kwaliteitnja boleh didapet roepa-roepa gambar
Makassar-M/Q 304-Jakarta, mentereng.
September 2004/April 2005.

Perahu Nelayan
Melintas Cakrawala
2006

186 187
“Ikan tidak berpikir,” jawabmu sendiri, “otaknya terlalu
kecil untuk berpikir.”
Jangan berpikir, kataku dulu, juga jangan berpikir tentang
pikiran ikan-ikan. Pikiran kita sendirilah yang menghancurkan
dunia nyata. Tatap saja cakrawala itu. Saksikan saja perahu ne-
layan melintas cakrawala di atas lautan yang berkilat keperak-

A pakah aku memandang sebuah kartu pos? Perahu nelayan


yang merupakan siluet hitam pada cakrawala itu bagaikan
tiada bergerak. Perahu nelayan dengan layar dan cadiknya
perakan sebelum senja tiba langit menghitam dan segalanya di-
telan malam. Saksikan saja perahu nelayan melintas cakrawala
dalam petikan kecapi dan dayuan orkes musik gesek dari balik
tampak begitu jelas, begitu pula sang nelayan pencari ikan de- mega. Begitu jelas sosok kehitaman perahu nelayan itu. Layar,
ngan capingnya yang sedang duduk di dalam perahu. cadik, dan manusia bercaping, dalam sisa hari dengan matahari
Bagaikan tiada bergerak. Apakah perahu itu berhenti? Pera- di balik mega, yang cahayanya merayap menyapu permukaan
hu nelayan tidak selalu bergerak, malah ia harus berhenti un- laut sehingga berkilat-kilat, berkeretap dan berkeredapan.
tuk menebar jala dan mengangkatnya kembali. Namun perahu Nelayan itu hanya sendirian saja di atas perahunya. Ba-
itu bergerak, perahu nelayan itu bergerak sangat amat pelahan gaikan sendirian di tengah dunia. Ini seperti gambar sebuah
melintas cakrawala. kartu pos, yang memberi perasaan terasing seorang musafir di
Laut dalam keluasannya yang tenang, berkeredap kepe- tengah perjalanannya. Dari gambar perahu nelayan melintas
rakan memperlihatkan perahu nelayan melintas cakrawala cakrawala pada sebuah kartu pos seperti itu, apakah yang akan
di batas langit. Mega-mega bisa menyembunyikan matahari ditulis seseorang di baliknya? Kartu pos bukanlah suatu lem-
tetapi bukan cahayanya yang menerangi dunia. Cahaya itu baran kertas yang luas. Apakah seseorang harus menulis puisi
menyapu permukaan laut yang tenang keperak-perakan dan pendek yang mampu menggambarkan kembali keseluruhan
sesekali memperlihatkan ikan bersayap melompat hanya untuk sebuah dunia? Namun tidak semua orang di dunia ini dilahir-
menghilang. kan sebagai penyair. Kebanyakan manusia bahkan terlahirkan
“Katakanlah kepadaku apa yang dipikirkan ikan,” katamu tanpa kejelasan apa-apa, hanya manusia, hanya spesies manu-
dulu, pada suatu masa yang telah menjadi biru.

188 189
sia, tanpa penanda apapun yang bisa membuatnya agak sedikit itu bergerak, seperti memang bergerak selambat-lambatnya
berbeda dari manusia lainnya. melintas sepanjang cakrawala. Lautan keperakan, permukaan-
Memang tidak semua orang bisa menjadi penyair, tetapi nya berkeredap dan buihnya mengertap memantulkan cahaya
setiap orang memiliki puisinya sendiri. dari balik mega. Senja telah menjadi di balik mega, merayapi
Perahu nelayan itu masih bergerak lambat melintas cakra- kubah langit dan membuatnya merah membara.
wala, sangat lambat, begitu lambat, sampai tampaknya sama Apakah yang sedang dipikirkan seseorang dalam perahu ne-
sekali tidak bergerak. layan yang bergerak sangat lambat melintas cakrawala dalam
sapuan langit yang kemerah-merahan?
“Ia berpikir tentang ikan,” katamu.
Begitukah? Namun aku sudah lupa wajahmu.
Tinggal perahu nelayan itu, dengan layar dan cadik, siluet
yang merayap dengan lambat menyusuri garis cakrawala ketika
Jika ini memang sebuah gambar pada kartu pos, kata-kata ma- langit membara kemerah-merahan—tinggal perahu nelayan.
cam apakah yang dapat tertuliskan di baliknya? “Tapi barangkali ia tidak berpikir tentang ikan-ikan ya sa-
Kurasakan angin yang kering, suara daun-daun berguguran, yang,” katamu lagi, “ia memang mencari ikan, tapi bisa saja ia
dan debur ombak yang mengempas diiringi desisan. Nelayan berpikir bukan tentang ikan-ikan.”
itu sendirian saja di atas perahu layarnya yang bercadik, nela- “Lho, jadi?”
yan bercaping yang berharap ikan-ikan di lautan terperangkap “Aku tidak tahu sayang, tebaklah…”
dalam jala—tetapi seberapa banyak pun ikan-ikan terangkat Apalah yang kita ketahui tentang dunia ini?
bersama jalanya, tiada akan pernah mengubah kehidupannya. Nelayan itu barangkali saja tidak ada. Hanya bayangan yang
Namun bahkan dalam pemandangan yang kusaksikan, ia melintas pintas membentuk cerita.
tidak pernah mengangkat jalanya. Sosok setengah badan ber- Laut memantulkan langit. Permukaan laut kini bersemu
caping itu tetap saja duduk dalam perahunya, yang bergerak jingga. Waktu bergerak lambat, tetapi perahu nelayan itu ba-
amat sangat lambat, selambat-lambatnya lambat, begitu lambat gaikan bergerak lebih lambat dari waktu, dengan layar dan
sehingga bagaikan tiada akan pernah bergerak—tetapi perahu cadiknya, tetap saja di sana bagaikan sama sekali tidak bergerak

190 191
meskipun bergerak begitu lambat, barangkali bahkan lebih Bagaimana rasanya hidup dalam kartu pos? Waktu membe-
lambat dari lambat, menyusuri cakrawala tak bertepi. ku dan di luarnya waktu tetap berjalan. Siapakah yang hidup di
Angin bertiup, lidah-lidah ombak terdengar mendesis keti- dalam kartu pos? Akukah, atau kamu? Siapakah dia yang me-
ka diserap pasir yang basah. ngabarkan dirinya, meskipun seandainya tidak menulis apapun
“Kamu kok tidak ngomong apa-apa, katakanlah sesuatu.” pada bidang kartu pos yang kosong? Hanya perahu nelayan,
“Kamu berharap aku mengatakan apa?” melintas cakrawala dengan layar dan cadiknya, tanpa pernah
“Aku berharap kamu mengatakan apapun yang kamu pikir- kita ketahui dengan pasti apakah isi pikiran dalam kepalanya
kan.” yang bercaping.
Namun aku tidak akan mengatakannya kepadamu sayang- Langit merah membenamkan dunia, sejak lama telah selalu
ku, tidak akan pernah mengatakannya kepadamu… kupandang cakrawala dengan semacam perasaan ketika melihat
seseorang yang pergi untuk tidak pernah kembali, berpisah
dan tahu pasti tidak akan pernah berjumpa lagi—seperti me-
nyaksikan seseorang yang berangkat dan akan mati.
Perjumpaan dan perpisahan. Upacara kehidupan. Apakah
aku masih akan berjumpa lagi denganmu, suatu ketika entah
Waktu membeku dalam kartu pos. Segalanya masih tetap kapan dan entah di mana?
seperti dulu. Perahu nelayan yang melintas cakrawala di ke- “Aku ingin berada di dalam perahu nelayan itu, pergi jauh
jauhan, begitu jauh, sangat jauh, terlalu jauh, sejauh-jauhnya darimu, jauh, jauh, menghilang di balik cakrawala, mencari du-
jauh, meskipun aku masih bisa melihatnya, masih menegaskan niaku,” katamu, pada suatu waktu yang tidak membeku. Lantas
gambaran tentang sebuah perahu nelayan dengan layar dan tidak pernah lagi kujumpai kamu.
cadiknya, yang membawa seorang nelayan bercaping di atas- Aku tidak pernah mencarimu, kamu tidak pernah menca-
nya. Bahkan sejauh ini bisa kutegaskan betapa ia tidak berbaju, riku. Di manakah duniamu? Apakah aku harus mencarimu,
tampak setengah badan karena duduk dalam perahu, dan meski seperti katamu, jika aku memang mencintaimu?
tak bisa kulihat sendiri pastilah kulitnya kehitaman karena se- Hmm.
lalu terpanggang matahari.

192 193
Apakah yang harus kutuliskan di balik kartu pos bergambar
perahu nelayan melintas cakrawala ini? Matahari telah tengge-
lam di sana, langit menjadi sangat amat jingga, seperti api yang
berkobar-kobar keemasan menyalakan dunia. Perahu nelayan
itu masih melintas dengan layar dan cadiknya, permukaan laut
berkeredap berkilauan dan hanya kudengar sejumlah kata tak-
jelas dalam bisikan lidah ombak yang masih saja terus menerus
mengempas di pantai tanpa kesudahan.
Kartu pos tidak akan pernah berangkat dan sampai di suatu
tempat jika tiada suatu nama dan alamat di baliknya. Masihkah
kau ingat padaku ketika takpernah bisa kuingat lagi namamu?
Aku sendirian saja di pantai ini, terbekukan menjadi gam-
bar. Pada kartu pos, perahu nelayan itu masih saja melintas Pisah langit jang soerem dari jang poenja kleur.
cakrawala, dengan senja yang terus merambat dan bersama Taro langit jang elok dalam flesch. Djikalaoe ada
dirimu akan menjadi malam … kawan kasoesahan ati, boleh lekas kirim dan kasih
oendjoek itoe langit. Nistjaja dia boleh dapetin
faedah perasaan merdoe gembira.

Paris-Milan,
27.10-1.11.2006.
Senja di Kaca Spion

2007

194 195
berubah menjadi malam yang kelam tampak bertahan tampak
berkutat meraih keabadian dalam kefanaan. Di dalam satu
dunia yang sama, mengapa suatu hal bisa begitu berbeda? Di
belakangku senja terindah yang akan segera menghilang, di
depanku hanya awan hitam bergulung mengerikan bagai jan-
ji sepenuhnya betapa dunia memang berpeluang mengalami

S enja semburat dengan dahsyat di kaca spion. Sangat me-


nyedihkan betapa di jalan tol aku harus melaju secepat
kilat ke arah yang berlawanan. Di kaca spion, tengah, kanan,
bencana takmengampunkan.
Di jalan tol, aku takbisa berbalik bahkan takjuga bisa me-
noleh ke belakang. Aku hanya bisa melaju terus menerus me-
maupun kiri, tiga senja dengan seketika memberikan peman- laju dan memang hanya melaju selajulajunya kelajuan dalam
dangan langit yang semburat jingga, tentu jingga yang keme- kecepatan yang terlaju ketika di hadapanku awan hitam yang
rah-merahan seperti api berkobar yang berkehendak membakar bergulung-gulung itu bagaikan merendah dan bersiap mener-
meski apalah yang mau dibakar selain menyepuh mega-mega kam meski dalam kenyataannya memang hanya di sana saja
menjadikannya bersemu jingga bagaikan kapas semarak yang awan hitam itu bergulung-gulung dan terus bergulung-gulung
menawan dan menyandera perasaan. Senja yang rawan, senja sungguh begitu matang untuk setiap saat menggulung.
yang sendu, ketika tampak dari kaca spion ketika melaju di Itulah yang membuat aku meluncur dengan perasaan ra-
jalan tol hanya berarti harus kutinggalkan secepat kilat, suka wan. Aku melaju di jalan tol dengan kecepatan tinggi bagaikan
taksuka, seperti kenangan yang berkelebat tanpa kesempatan menuju ke sebuah dunia yang dengan pasti merupakan kege-
untuk kembali menjadi impian. lapan sementara di kaca spion kusaksikan tiga senja dengan
Aku dalam mobilku melaju ke depan dengan kecepatan tiga matahari terbenam di ujung jalan tol di balik pegunungan
tinggi, sangat tinggi, terlalu tinggi, sehingga awan hitam yang menyemburatkan cahaya keemasan ke seantero langit
yang bergulung-gulung di hadapanku tampak menyergap dan seantero bumi memantik kesenduan memantik keharuan yang
menelanku dengan begitu cepat, begitu beda dengan awan menenggelamkan perasaan dalam kedukaan yang mau takmau
gemawan senja di kaca spion yang semarak keemas-emasan, harus ditahan.
gemilang tiada tertahankan, yang meski dengan pasti akan

196 197
Belum tentu sekali lagi dalam seumur hidupku aku akan Pada tiga kaca spion tiga matahari terbenam perlahan di balik
mendapatkan tiga senja sekaligus melalui kaca spion di tengah, pegunungan. Pada punggung pegunungan itu orang-orang
kiri, dan kanan dalam mobilku yang meluncur dan melaju berjalan sebagai sosok-sosok kehitaman dengan kepala me-
meninggalkannya dengan tiga matahari yang bagaikan lem- nunduk melangkah perlahan-lahan. Sepuluh orang, duapuluh
pengan besi merah membara membenam perlahan-lahan tapi orang, mungkin limapuluh orang, berjalan menuruti langkah
pasti meski tetap perlahan tapi meski tetap sepasti sepelan kaki dengan kepala tertunduk mengikuti jalan setapak dalam
perputaran bumi. Tiga senja dengan tiga matahari membenam perjalanan panjang entah dari mana menuju entah ke mana
menyemburatkan langit di tiga kaca spion, hanya dari kaca dalam kekelaman senja di atas pegunungan. Apabila mereka
spion mobilku dan hanya dengan meninggalkannya ke depan, kemudian berjalan beriringan di punggung pegunungan naik
terus menerus melaju ke depan, maka aku akan bisa melihat turun dataran dengan latar belakang lempengan matahari
ketiga senja dengan ketiga matahari itu. merah membara maka tampaklah sosok-sosok yang berjalan
Meluncur di jalan tol tanpa ujung, aku bahkan tidak me- dengan kepala tertunduk itu melintas dalam perjalanannya ba-
miliki kemungkinan untuk kembali, sepanjang hari sepanjang gai melintasi dunia. Pada kaca spion aku tak akan pernah tahu
zaman aku menembus ruang dalam waktu yang berkelebatan. sosok-sosok hitam yang melangkah perlahan dengan kepala itu
Di manakah ujung jalan tol ini? Aku taktahu menahu dan datang dari mana dan menuju entah ke mana. Siapalah yang
sungguh tiada tahu menahu hanya bisa meluncur dan menuju akan tahu?
untuk terus menerus menuju dan melaju ke depan tanpa ha- Segalanya terlihat di kaca spion, tetapi hidup tidak bisa
langan. Dari manakah aku datang dan akan menuju ke mana? dibalik—sosok-sosok melangkah, aku meluncur, matahari
Aku taktahu dan tak akan pernah tahu karena aku hanya bisa terbenam, cahayanya yang keemasan semburat membakar la-
meluncur di jalan tol yang panjang tanpa ujung tanpa pernah ngit, menyala berkobar-kobar dengan lidah api yang menjilati
tahu akan berakhir entah kapan dan di mana. angkasa. Segalanya memesona di kaca spion dan segalanya
tergandakan di kaca spion, tetapi aku sedang meninggalkannya
dengan kecepatan yang tidak tertampung oleh speedometer. Du-
nia serasa begitu tenang dalam kecepatan terbangnya malaikat

198 199
yang hening. Aku meluncur ke depan, tetapi mataku menyak- telah memberikan keheningan yang begitu heningnya sampai
sikan senja pada tiga kaca spion… terdengar berdenting.
Aku masih meluncur awan masih bergulung tetapi langit Namun dengan menatap ke depan, kedua mataku masih
telah semakin gelap ketika tiga senja di tiga kaca spion itu mampu meliputi ketiga kaca spion sekaligus, tempat aku telah
tampak semakin kemerah-merahan. Aku masih menyaksikan melihat ketiga matahari senja sedang turun perlahan-lahan.
ketiganya sekaligus ketika tiga matahari merah membara masih Tiga matahari senja bagaikan tiga lempengan raksasa yang
terbenam perlahan-lahan, ketika kuperhatikan ternyata pada merah membara turun perlahan-lahan ke balik pegunungan
spion sebelah kanan orang-orang yang berjalan tertunduk se- yang punggungnya tampak naik turun panjang pendek curam
bagai sosok-sosok hitam itu telah menghilang… landai dalam latar langit yang kemerah-merahan.
Pergi ke manakah mereka? Ternyata bahwa matahari pada kaca spion yang kanan telah
Ternyata beberapa orang yang berjalan paling belakang lebih dulu tenggelam, meninggalkan cahaya keemas-emasan
masih tampak berjalan dengan kepala tertunduk pada peman- di langit, cahaya yang akan disebut-sebut penyair gaya lama
dangan senja di kaca spion yang tengah, yang ketika menghi- sebagai cahaya kencana.
lang kemudian tampak pada kaca spion yang kiri! Pada kaca spion yang tengah matahari masih terbenam
Pada kaca spion yang kiri kemudian kusaksikan rombongan separuh. Lempengan raksasa itu bergeletar mendesak bumi
sosok-sosok hitam yang berjalan dengan kepala tertunduk di yang bagaikan menolaknya. Langit di atasnya merah memba-
atas pegunungan yang juga menghitam dalam latar belakang ra penuh dengan pesona. Juga penyair gaya lama tidak akan
lempengan matahari raksasa yang merah membara dan sedang mempunyai pilihan lain selain menyebutnya sebagai cahaya
turun perlahan-lahan. Mereka berjalan dengan pelan, tetapi kencana.
pasti, dan satu persatu menghilang keluar dari kaca spion. Sementara itu, pada kaca spion sebelah kiri, mataharinya
Apakah mereka sebenarnya masih di sana? Sayangnya aku tenggelam lebih cepat, karena sudah tinggal sepertiganya saja
tidak bisa menoleh ke belakang. Aku meluncur dengan kece- dan seperti kusaksikan memang kemudian hilang terbenam
patan yang takterukur lagi—sebaiknya tentu aku tidak menoleh meninggalkan cahaya keemas-emasan yang juga akan disebut
sama sekali ke belakang, meski kecepatan yang takterukur itu penyair gaya lama sebagai cahaya kencana.
Tapi aku suka gaya lama. Apa salahnya?

200 201
Aku masih meluncur di jalan tol tanpa ujung dengan ke-
cepatan takterukur. Pada kaca spion di dalam mobil, kusak-
sikan senja, dengan matahari merah membara yang sedang
terbenam perlahan-lahan, yang cahayanya semburat menyapu Epilog
langit menjadi keemas-emasan—memang tiada pilihan lain
bagi seorang penyair gaya lama, selain menyebut cahaya yang
semburat di langit itu sebagai cahaya kencana…

sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur


Pondok Aren, Kamis 8 Maret 2007. 18:25.
laut pergi ke laut membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina

(Dari sajak Perjalanan Kubur,


Sutardji Calzoum Bachri, 1977).

202 203
Riwayat Publikasi

1. ’’Sepotong Senja untuk Pacarku”, harian Kompas, Ming-


gu, 9 Februari 1991. Dimuat kembali dalam Pelajaran
Mengarang (Cerpen Pilihan Kompas 1993); Harris Effendi
Thahar, Kiat Menulis Cerita Pendek (Bandung: Angkasa,
1999); dan Korrie Layun Rampan, Angkatan 2000 dalam
Sastra Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2000). Diterjemahkan
ke Bahasa Inggris oleh Michael H. Bodden sebagai ’’A
­Slice of Sunset for My Sweetheart’’ untuk pembacaan pada
Fiction Reading, Department of Writing, University of
Victoria, Victoria B.C. 10 Oktober 2001; dimuat kembali
dalam Seno Gumira Ajidarma, Jakarta at a Certain Point
in Time (Victoria B.C. : Centre for Asia-Pacific Initiatives,
2002); dimuat kembali dalam Senja dan Cinta yang Berda-
rah (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014).
2. ’’Tukang Pos dalam Amplop”, dimuat pertama kali sebagai
"The Postman in the Envelope" dalam Ajidarma (2002).
Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael Bodden.

205
3. ’’Jawaban Alina”, dipublikasikan pertama kali sebagai 12. ’’Anak-Anak Senja”, mingguan Kawanku, No.36/XXX, 26
’’Alina's Reply’’, terjemahan Michael H. Bodden; dalam Februari-4 Maret 2001.
pembacaan berbahasa Inggris untuk publik pada Fiction 13. ’’Senja yang Terakhir”, belum pernah dipublikasikan.
Reading, Department of Writing, University of Victoria, 14. “Senja di Pulau Tanpa Nama”, Koran Tempo, Minggu, 7
10 Oktober 2001; dimuat kembali dalam Ajidarma (2002). Maret 2005; dimuat kembali dalam Seno Gumira ­Ajidarma,
4. ’’Jezebel”, harian Media Indonesia, 10 Oktober 1999. Linguae (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
5. ’’Ikan Paus Merah”, harian Kompas, Minggu, 28 November 2007).
1999; dimuat kembali dalam Ajidarma (2014). 15. “Perahu Nelayan Melintas Cakrawala”, dipublikasikan
6. ’’Kunang-Kunang Mandarin”, harian Republika, 27 Fe­ b­ pertama kali dalam Ajidarma (2007).
ruari 2000; diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Wawan 16. “Senja di Kaca Spion”, harian Suara Pembaruan, Maret
Eko Yulianto sebagai “The Mandarin Fireflies”, dimuat 2007; dimuat kembali dalam Ajidarma (2007).
dalam Lanette Cadle dan Marcus Cafagna (peny.), Moon
City Review: an Annual of Poetry, Story, Art, & Criticism
(2010).
7. ’’Rumah Panggung di Tepi Pantai”, harian Suara Pemba-
ruan, 12 Maret 2000.
8. ’’Peselancar Agung”, harian Republika, 12 Mei 2000.
9. ’’Hujan, Senja, dan Cinta”, harian Kompas, Minggu, 13
Agustus 2001; dimuat kembali dalam Ajidarma (2014).
10. ’’Senja Hitam Putih”, pertama kali terbit dalam Bahasa
Inggris dengan judul Twilight in Black and White dalam
majalah Latitudes (Denpasar) Maret 2001, terjemahan John
MacDougall.
11. ’’Mercusuar”, belum pernah dipublikasikan.

206 207

Anda mungkin juga menyukai