Anda di halaman 1dari 2

PENULIS YANG HEBAT? OMONG KOSONG!

Ketika saya meng-upload tulisan saya di grup WhatsApp, saya diberi pujian. Katanya
tulisan saya keren, padahal bagi saya itu biasa-biasa saja bahkan bisa dikatakan
buruk/jelek. Saya menulis untuk melatih penggunaan otak saya; bagaimana otak
memilih kata-kata yang cocok/sesuai dengan tema (gagasan) yang sudah
direncanakan sebelumnya, mencari dan meneliti kata-kata asing atau tidak ada di
dalam ‘perpustakaan otak’, dan sejauh mana saya bisa merangkai kata serta
menciptakan gaya penulisan sendiri. Selain itu, menulis merupakan sarana
berkomunikasi yang utama bagi saya yang cenderung Introvert1 yang terkesan
‘pemalu’ atau ‘pendiam’. Maka jangan heran, tulisan saya seolah-olah meyakinkan
banyak orang walau sedikit atau ‘berbicara’ secara verbal dengan sendirinya.

Saya tidak ingat kapan saya mulai menulis, sebab semua orang pasti diajari menulis
sejak kecil. Mungkin saat saya (pada waktu lalu) mengunduh e-book bergenre self-
improvement berjudul “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” karya Mark Manson.
Saya sangat menyukai buku itu karena telah mengubah pandangan saya terhadap
kehidupan secara logis. Kemudian, saya mencatat poin-poin penting di dalamnya
secara berurutan dengan angka (daftar angka). Nah, dari situlah saya bisa menulis
ratusan kata (bahkan pernah ribuan) seperti sekarang. Kesimpulannya, saya menulis
bukan tekad saya menjadi (seorang) penulis, justru karena saya isêng membaca
e-book dan menulis catatan amburadul. Seperti kata Yuval Noah Harari2,

“Burung terbang bukan karena mereka berhak untuk terbang, melainkan


mereka punya sayap.”

— Yuval Noah Harari

Saya yakin bahwa orang tua saya ‘tidak’ mendukung saya sebagai penulis. Mengapa?
Ada dua faktor yang saya ketahui (dari) alasan mereka:

Pertama, pemikiran atau mindset-nya. Orang tua saya memiliki ijazah dengan nilai
yang lebih buruk ketimbang anak bodoh zaman sekarang. Ada yang 60, 50, 40, 30,
bahkan 20. Semenjak mereka bersekolah, pikiran mereka mengatakan kalau menulis
identik dengan urusan akademik, seperti mengerjakan tugas. Sehingga timbul
keyakinan bahwa orang rajin menulis = pintar secara akademis. “Iz, nggarap tugas,
to?” kata ibu saya. Jengkel sekali.
Kedua, lingkungan sosial. Di Jepang, ada kebudayaan yang membuat saya iri
dengan mereka. Membaca. Rata-rata, orang Jepang selalu membawa buku ke
manapun mereka pergi; entah di kereta, di halte, di gedung, di toilet. Mereka memang
seorang kutu buku yang ‘gila’ sebab dari kecil mereka sudah dilatih untuk
menanamkan minat literasi. Berbeda dengan di Indonesia, anak SD dan SMP malah
dipaksa mengikuti minat literasi. Bukannya diberikan cinta lewat literasi, ujung-
ujungnya mereka mencetak (generasi) penerus bangsa yang berpikiran tertutup
meskipun kemudahan literasi bisa didapat lewat gawai pintar. Selain itu, akses buku
asli di Indonesia masih terhambat. Buku-buku sekolah yang ada cuma gitu-gitu saja,
tidak ada topik (yang) sesuai dengan bakat dan minat. Saya jarang melihat orang yang
rajin membaca buku di tempat tinggal saya di desa. Yang ada orang bermain TikTok
dan bermain game dari Shubuh hingga Maghrib (bisa sampai Shubuh lagi). Lainnya
bekerja di rumah atau di sawah, menganggur, ngarit dan ngramban, dan merantau ke
luar negeri.

Kalo saya? Mungkin sekolah, makan, tidur, melamun, (bermain HP,) menganggur,
dan menulis (kadang menggambar). Monoton sekali, bukan?❖

1. Salah satu jenis kepribadian yang mendapatkan energi ketika menyendiri.



2. Penulis buku best-seller berjudul “Sapiens”.

Anda mungkin juga menyukai