Anda di halaman 1dari 39

Hana Fauziah

SELASA, 29 OKTOBER 2013

Kumpulan artikel artikel

Problematika Pengajaran Sastra di Sekolah

Oleh: Rifan setiawan

Di tengah ramainya tuntutan para guru untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak bagi mereka,
sudahkah para guru itu berkontemplasi. Maksudnya adalah merenungi atas hal-hal yang telah
mereka perbuat dalam dunia pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sastra
merupakan bagian intergral dalam dunia pendidikan tersebut yang diajarkan di setiap jenjang
pendidikan di Indonesia, termasuk juga di Kalimantan Selatan. Pengajaran sastra mencakup ketiga
genre sastra, yakni prosa fiksi, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya
disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif para siswa.
Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis para siswa yang merupakan aktivitas
produktif mereka. Hal ini berlangsung hingga pada tahap evaluasi.

Dalam pengajaran sastra ini, terdapat beberapa problematika yang harus segera diatasi oleh para
guru bahasa dan sastra di sekolah. Hal ini kita pandang perlu karena problematika pengajaran
sastra menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah. Akhirnya, para siswa pun
kurang cerdas dalam hal bersastra. Kita tidak hanya mengharapkan output dalam pembelajaan
sastra. Lebih daripada itu, kita mengingkan outcome yang bagus. Contoh, proses belajar-mengajar
terjadi dan akhirnya siswa memiliki pengetahuan tentang sastra. Banyak orang beranggapan
bahwa contoh itu telah selesai. Padahal, dalam contoh itu hanya sampai pada output. Kita
menginginkan para siswa di lapangan dapat mengapresiasi, menganalisis, dan juga dapat
memproduksi karya sastra sebagaioutcome dalam pengajaran sastra di sekolah.

Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit
dinding-dinging kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi mereka kurang berkembang secara
optimal. Misalnya, ketika para siswa mendapatkan tugas membuat puisi berkenaan dengan alam.
Namun, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam terbuka. Padahal di ruang
tertutup dinding-dinging kelas kurang mendukung dalam menumbuhkembangkan daya imajinasi
dan kreasi mereka dalam proses penciptaan puisi. Ini merupakan salah satu problematika dalam
pengajaran sastra di sekolah. Seharusnya para siswa perlu diajak oleh para guru keluar ke alam
terbuka yang membantu mereka dalam proses penciptaan karya sastra.

Problematika yang lain, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga kurang
menumbuhkembangkan minat dan kemampuan para siswa dalam hal sastra. Sebenarnya para guru
bahasa dan sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam
bentuk buku sastra, dan juga dalam media elektronik, yakni internet dan radio. Hal terakhir ini
sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada pada diri para siswa. Mereka
akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan karya-karya sastra mereka secara luas dan
secara kontinyu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra
tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di
media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.

Selain itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan
sastrawan-sastrawan Kalimantan Selatan kepada para siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian
besar siswa tidak mengenal para sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya-karya
sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki oleh para siswa
di setiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, para guru bahasa dan sastra jangan hanya
memperkenalkan para sastrawan dari pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada para
siswa. Perlu kita ketahui bahwa sebagian sastrawan Kalimantan Selatan juga sudah menjadi
sastrawan nasional di Indonesia. Sebut saja dua contohnya, Jamal T. Suryanata dan Arsyad
Indradi. Karya-karya sastrawan Kalimantan Selatan pun layak menjadi bahan pelajaran sastra di
setiap jenjang pendidikan di provinsi ini. Dengan demikian, para sisiwa juga dapat membuat karya
sastra berbahasa Banjar karena sastrawan Kalel juga ada yang menggunakan bahasa Banjar dalam
berkarya sastra. Bahasa Banjar pun akhirnya bertambah lestari. Problematika yang ketiga ini juga
harus segera diatasi agar pengajaran sastra di sekolah dapat berlangsung secara baik dan benar.

Hal yang tidak kalah memprihatinkannya dalam pengajaran sastra di provinsi ini adalah berkenaan
dengan sastra daerah Kalimantan Selatan. Banyak guru bahasa dan sastra yang kurang
menyinggung apalagi membelajarkan sastra daerah Kalimantan Selatan, seperti mamanda, lamut,
dan madihin kepada para siswa. Padahal sastra daerah Kalimantan Selatan perlu sekali di ajarkan
dengan porsi yang memadai. di sekolah-sekolah. Hal ini sangat bagus dalam rangka melestarikan
khazanah kekayaan sastra dan bahasa Banjar di provinsi ini. Problematika keempat ini merupakan
fenomena yang sangat memprihatinkan. Sastra daerah Kalimantan Selatan seharusnya diajarkan
para guru bahasa dan sastra kepada para siswa.

Menutup tulisan ini, sudah saatnya para guru bahasa dan sastra di sekolah mengatasi

problematika pengajaran sastra seperti paparan di atas. Hal ini guna kemajuan di provinsi
kita. Bagaimana menurut Anda?

Budaya Antikritik: Memadamkan Cahaya Pengetahuan

(Tanggapan terhadap Tulisan Orang-Orang yang Berbudaya Antikritik)

oleh: Rifan setiawan

”salam kenal
saya selalu membaca tulisan-tulusan Anda saya salut dengan tulisan Anda, tetapi akhir-akhir ini
saya kecewa dengan tulisan Anda yang seakan-akan selalu memojokkan pusat bahasa,dan balai
bahasa,apalagi pada tulisan Anda pada hari minggu tanggal 8 Febuari seakan Anda sok pintar dan
sok mengurui. Padahal sepengetahuan Saya Anda dulu pada tulisan-tulisan Anda selalu mengaku
sebagai peneliti pusat bahasa, tetapi kenapa akhir-akhir ini Anda selalu memojokan pusat bahasa,
Apakah Anda orang yang frustasi atau tidak punya kerjaan, sehingga kerjaanya hanya
menjelekkan orang saja dan sok pintar. Cepatlah bercermin siapa diri Anda.”

Tulisan di atas adalah isi dari salah satu pos-el yang ditujukan kepada saya pada tanggal 11
Februari 2009. Ya, tanggal sebelas. Tanggal yang mengingatkan saya dengan runtuhnya gedung
kembar di Amerika Serikat. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud berkeluh kesah karena tulisan
di atas. Akan tetapi, tulisan tersebut membuktikan kepada kita semua bahwa di alam Kalimantan
Selatan masih kental dengan budaya antikritik. Budaya yang membelenggu akal manusia dalam
berpikir. Budaya itu pulalah yang saya bahas dalam tulisan ini. Sebelumnya, seorang sastrawan
muda Kalimantan Selatan—Harie Insani Putra— terkebelakangnya orang-orang ini dalam
memandang sebuah kritik yang membangun. Padahal, selama sesuatu itu dibuat oleh manusia
seperti buku Ensiklopedia Sastra Kalsel dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tentulah
masih perlu direvisi. Sebenarnya kritik terhadap karya Pusat Bahasa bukan saya saja yang
melakukannya. Salah satu contoh, bacalah buku besrjudul Bahasa Menunjukkan Bangsa karangan
Alif Danya Munsyi yang isinya mengkritik hasil karya Pusat Bahasa, salah satunya KBBI.
Ingatlah bahwa Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin bukanlah Tuhan yang selalu benar.
Kita sama, memiliki kelemahan dan harus saling meluruskan. Jadi, tepatlah penyataan, ”Tak ada
gading yang tak retak” Saya berkata yang sebenarnya dan bukan kata-kata bohong atau mengada-
ada.

Untuk kepentingan tersebut di atas, mau tidak mau, kritik sangat diperlukan. Kritik tidak lain
adalah tindakan meluruskan sesuatu yang salah. Lebih ringannya, kritik diartikan ’mengingatkan’
agar selamat. Jika kesalahan dibiarkan terus menerus tanpa kritik, dunia akan menjadi kacau balau
dan binasa. Jadi, katamemojokkan yang dielu-elukan oleh pengirim pesan tersebut sangat tidak
tepat. Bahkan, sebenarnya orang-orang yang menuliskan pesan-pesan tak bertanggung jawab ini
telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan orang lain, yakni saya dan Harie I.P. Mereka juga
telah melakukan kejahatan elektronik di internet yang seharusnya kita hindari sejauh-jauhnya.

Penulis pesan itu mengaku bernama Nur Janah Janah (nama yang tak lazim) dengan alamat pos-el
di janahnurjanah39@yahoo.co.id. Entahlah, apakah itu nama aslinya atau bukan? Namun yang
jelas, ia adalah orang yang fanatik kepada instansi yang dibelanya. Ia juga tidak berani
mengirimkan tulisan itu di laman saya karena takut saya ketahui alamat IP Address-nya.
Kemungkinan ia memanfaatkan IP Address kantor. Ternyata ia tidak tahu jika dari pos-el pun
dapat diketahui IP Address yang digunakan seseorang (baca: pengirim). Setelah dicari
kebenarannya, IP Adress yang digunakannya adalah 118.98.219.109. IP Addresstersebut adalah IP
Address Balai Bahasa Banjarmasin. Masya Allah! Inikah wajah Balai Bahasa Banjarmasin yang
sesungguhnya? Lalu, Siapakah dia?
Siapa dia, tidak penting bagi kita. Hal yang menurut saya penting adalah sikapnya menanggapi
kritikan. Yakni sikap yang menginginkan kritik ditiadakan. Ah, sangat lucu. Kritik sebenarnya
merupakan sebuah pemikiran yang lahir dari akal yang sehat. Isi kritik tidak lain adalah sebuah
pengetahuan yang lebih rasional dan cerdas. Jika kritik ditiadakan, itu artinya memadamkan
cahaya pengetahuan yang lebih rasional dan cerdas dengan budaya antikritik. Dengan kata lain,
Nur Janah Janah menginginkan kesalahan terus-menerus ada di masyarakat. Jika demikian halnya,
kesalahan akan merajalela di Kalimantan Selatan. Wahai saudariku, sadarlah dan segerlah insyaf
sebelum pintu tobat ditutup-Nya.

Jujur, dulu saya memang kerap menulis di media massa dengan mencantumkan embel-embel,
yakni Peneliti pada Pusat Bahasa di bawah nama saya. Hal itu wajar karena pekerjaan saya adalah
meneliti bahasa di bawah Pusat Bahasa. Isi tulisan saya dulu juga seputar bahasa dan sastra,
seperti tulisan saya akhir-akhir ini yang dimuat di Radar Banjarmasin. Lalu apa yang berubah
dengan isinya? Jawabnnya tidak ada. Mengapa demikian? Karena, dari dulu hingga sekarang, saya
masih ikut berusaha memajukan bahasa dan sastra di Kalimantan Selatan lewat media massa. Jika
menurut Nur Janah Janah tulisan saya tentang ”Honorarium Sastrawan”, ”Ensiklopedia Sastra
Kalsel”, ”Gerakan Cinta Bahasa Indonesia”, dan juga tentang ”makna lema sastrawan
dalam KBBI” merupakan tindakan memojokkan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin, itu
salah besar. Mengapa? Karena dalam kritikan saya tersebut, saya berusaha untuk meluruskan
kesalahan yang ada, misalnya saja kesalahan penggunaan bahasa Indonesia dalam
buku Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan. Ngomong-ngomong, bagaimana ya kabarya
buku Ensiklopedia Sastra Kalsel itu saat ini? Apakah sudah diobati, atau entahlah? Saran saya,
segeralah diobati sebelum bukunya wafat. Sebenarnya, juga tidak perlu adanya ESKS tandingan
yang pernah diusulkan Tajuddin Noor Ganie dalam kotak pesan di laman Sandi Firli. Cukuplah
satu, tapi benar. Bukankah yang berlebih-lebihan itu tidak baik? Setuju?

juga pernah menerima tulisan semacam itu di lamannya. Sastrawan muda itu menerimanya setelah
ia menulis sebuah kritik membangun dalam lamannya berjudul Ensiklopedia Sastra Kalsel Versi
Balai Bahasa Banjarmasin.

Mengenai makna-makna lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan hal-hal yang dihasilkan
oleh siapa pun, kita sebaiknya tidak mengikuti begitu saja. Hal ini karena kita memiliki potensi
untuk menyeleksi mana yang benar dan mana yang salah. Sebagai ilustrasi, seseorang membeli
kue dan memakannya tanpa memperhatikan baik buruknya kue tersebut. Akhirnya, orang tersebut
meninggal dunia karena kue tersebut (ini kisah nyata). Begitu pula dengan produk bahasa dan
sastra. Jika kita langsung mengikuti pengetahuan bahasa dan sastra tanpa memperhatikan benar
dan salahnya, kita juga harus siap-siap menelan kesalahan berbahasa

Problematika Pengajaran Sastra di Sekolah

Oleh: Rifan setiawan

Di tengah ramainya tuntutan para guru untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak bagi mereka,
sudahkah para guru itu berkontemplasi. Maksudnya adalah merenungi atas hal-hal yang telah
mereka perbuat dalam dunia pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sastra
merupakan bagian intergral dalam dunia pendidikan tersebut yang diajarkan di setiap jenjang
pendidikan di Indonesia, termasuk juga di Kalimantan Selatan. Pengajaran sastra mencakup ketiga
genre sastra, yakni prosa fiksi, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya
disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif para siswa.
Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis para siswa yang merupakan aktivitas
produktif mereka. Hal ini berlangsung hingga pada tahap evaluasi.

Dalam pengajaran sastra ini, terdapat beberapa problematika yang harus segera diatasi oleh para
guru bahasa dan sastra di sekolah. Hal ini kita pandang perlu karena problematika pengajaran
sastra menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah. Akhirnya, para siswa pun
kurang cerdas dalam hal bersastra. Kita tidak hanya mengharapkan output dalam pembelajaan
sastra. Lebih daripada itu, kita mengingkan outcome yang bagus. Contoh, proses belajar-mengajar
terjadi dan akhirnya siswa memiliki pengetahuan tentang sastra. Banyak orang beranggapan
bahwa contoh itu telah selesai. Padahal, dalam contoh itu hanya sampai pada output. Kita
menginginkan para siswa di lapangan dapat mengapresiasi, menganalisis, dan juga dapat
memproduksi karya sastra sebagaioutcome dalam pengajaran sastra di sekolah.

Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit
dinding-dinging kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi mereka kurang berkembang secara
optimal. Misalnya, ketika para siswa mendapatkan tugas membuat puisi berkenaan dengan alam.
Namun, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam terbuka. Padahal di ruang
tertutup dinding-dinging kelas kurang mendukung dalam menumbuhkembangkan daya imajinasi
dan kreasi mereka dalam proses penciptaan puisi. Ini merupakan salah satu problematika dalam
pengajaran sastra di sekolah. Seharusnya para siswa perlu diajak oleh para guru keluar ke alam
terbuka yang membantu mereka dalam proses penciptaan karya sastra.

Problematika yang lain, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga kurang
menumbuhkembangkan minat dan kemampuan para siswa dalam hal sastra. Sebenarnya para guru
bahasa dan sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam
bentuk buku sastra, dan juga dalam media elektronik, yakni internet dan radio. Hal terakhir ini
sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada pada diri para siswa. Mereka
akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan karya-karya sastra mereka secara luas dan
secara kontinyu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra
tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di
media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.

Selain itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan
sastrawan-sastrawan Kalimantan Selatan kepada para siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian
besar siswa tidak mengenal para sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya-karya
sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki oleh para siswa
di setiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, para guru bahasa dan sastra jangan hanya
memperkenalkan para sastrawan dari pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada para
siswa. Perlu kita ketahui bahwa sebagian sastrawan Kalimantan Selatan juga sudah menjadi
sastrawan nasional di Indonesia. Sebut saja dua contohnya, Jamal T. Suryanata dan Arsyad
Indradi. Karya-karya sastrawan Kalimantan Selatan pun layak menjadi bahan pelajaran sastra di
setiap jenjang pendidikan di provinsi ini. Dengan demikian, para sisiwa juga dapat membuat karya
sastra berbahasa Banjar karena sastrawan Kalel juga ada yang menggunakan bahasa Banjar dalam
berkarya sastra. Bahasa Banjar pun akhirnya bertambah lestari. Problematika yang ketiga ini juga
harus segera diatasi agar pengajaran sastra di sekolah dapat berlangsung secara baik dan benar.

Hal yang tidak kalah memprihatinkannya dalam pengajaran sastra di provinsi ini adalah berkenaan
dengan sastra daerah Kalimantan Selatan. Banyak guru bahasa dan sastra yang kurang
menyinggung apalagi membelajarkan sastra daerah Kalimantan Selatan, seperti mamanda, lamut,
dan madihin kepada para siswa. Padahal sastra daerah Kalimantan Selatan perlu sekali di ajarkan
dengan porsi yang memadai. di sekolah-sekolah. Hal ini sangat bagus dalam rangka melestarikan
khazanah kekayaan sastra dan bahasa Banjar di provinsi ini. Problematika keempat ini merupakan
fenomena yang sangat memprihatinkan. Sastra daerah Kalimantan Selatan seharusnya diajarkan
para guru bahasa dan sastra kepada para siswa.

Menutup tulisan ini, sudah saatnya para guru bahasa dan sastra di sekolah mengatasi problematika
pengajaran sastra seperti paparan di atas. Hal ini guna kemajuan di provinsi kita.

Opera Batak

Oleh : Andika Wiranata

Indonesia adalah negeri dengan segudang seni dan kebudayaan yang khas dan menarik. Seni dan
kebudayaannya sangat beragam, dan unik mulai dari tarian, lagu-lagu daerah, adat istiadat, teater-
teater atau drama-drama tradisional, dsb. Salah satu kesenian yang ada di Indonesia adalah
pertunjukan drama tradisional semacam opera. Seperti kita kenal di daerah jawa, ada ludruk,
ketoprak, pementasan wayang orang, lenong betawi, dsb. Namun, tidak hanya di daerah jawa, di
sumatra pun ada pertunjukan semacam itu, tepatnya di Sumatra Utara, orang di daerah sana
mengenal dengan sebutan “Opera Batak”.

Opera batak mungkin agak sedikit asing apabila di telinga orang awam. Iya, ini adalah sebuah
genre teater Batak populer, yang dikembangkan dari sekitar 1925 dan seterusnya, yang terinspirasi
oleh kelompok-kelompok teater Melayu dan dipopulerkan berkeliling di daerah Sumatera. Opera
batak seperti jenis-jenis pementasan drama tradisional lainnya, banyak sekali diselingi oleh
humor-humor segar yang menggelitik.

Jenis kesenian teater rakyat ini ternyata sempat merajai dunia hiburan di Sumatera Utara. Hingga
dekade 1980-an, opera batak merupakan tontonan menarik meski diadakan di lapangan terbuka.
Musik pengiringnya uning-uningan atau seperangkat alat musik tradisional batak yang terdiri dari
serunai, kecapi, seruling, garantung, odap dan hesek. Panggungnya sederhana namun cukup unik.
Bentuknya menyerupai rumah adat Batak dan diberi hiasan gorga (ukiran khas batak) serta nama
operanya.

Opera batak ini di Pulau Jawa mirip ludruk atau wayang wong (wayang orang), opera Batak
biasanya berkeliling dari desa ke desa. Sasarannya tentu desa yang baru selesai panen dengan
tujuan agar peluang menyedot penonton lebih terbuka. Mengingat dunia hiburan jaman dulu
terbilang langka tidak heran bila kehadiran opera selalu ditunggu-tunggu masyarakat.

Namun, di tahun 1988 beberapa kelompok opera batak sedikit demi sedikit menghilang dari
peredaran. Ada semacam peralihan dunia hiburan semenjak televisi sudah mulai masuk ke
pelosok-pelosok daerah. Lalu masyarakat kurang lagi tertarik oleh pementasan-pementasan
semacam ini dan mulai meninggalkannya.

Melihat kondisi ini, Mauly Purba terpanggil untuk membangkitkan kembali Opera Batak dengan
berupaya melakukan revitalisasi. Berbagai upaya dia lakukan untuk menghidupkan kembali
pertunjukan asal Desa Situmeang, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) itu. Hingga kemudian dia
didaulat mendapatkan gelar Ompu Pande Panggual Tuan Naboro Namangunghal Opera Batak.

Ketika itu dia bersama maestro sekaligus pemain opera batak, Marsius Sitohang dan Thompson
HS berupaya mewujudkan program revitalisasi opera batak dengan mendirikan pusat latihan, di
Tarutung, Taput. Beruntung, pendirian pusat latihan ini didukung oleh Bupati Taput RE
Nainggolan.
Dari hasil pusat latihan itu berdiri sebuah grup percontohan opera batak bernama Grup Opera
Silindung (GOS). Grup ini pernah pentas keliling di Sumut dan Jakarta bahkan, sampai ke
Melbourne,

SASTRA BANDINGAN: PINTU MASUK KAJIAN BUDAYA


STUDI KASUS ROMEO DAN JULIA, SONEZAKI SHINJU, UDA DAN DARA
Maman S. Mahayana

Ada dua hal yang sangat mungkin menjadi problem dalam sastra bandingan (comparative
literature) sebagai sebuah disiplin ilmu. Pertama, persoalan yang menyangkut konsep sastra
bandingan. Dalam banyak rumusan atau definisi sastra bandingan pada umumnya, penekanan
perbandingan pada dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda menjadi pusat
perhatian yang utama. Jadi, sebuah perbandingan dua karya atau lebih yang berasal dari dua
negara, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan. Jika kita membandingkan dua karya yang
berasal dari dua kultur etnik yang berbeda –Sunda dan Jawa, misalnya—, padahal kedua karya itu
berada dalam wilayah negara yang sama, apakah termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan.
Pertanyaan yang sama dapat diajukan ketika kita membandingkan sastra Singapura dengan sastra
Taiwan yang keduanya memakai bahasa Mandarin atau sastra Brunei Darussalam dengan sastra
Malaysia yang keduanya memakai bahasa Melayu. Pertanyaan yang sama tentu saja dapat kita
kemukakan lebih panjang lagi. Jadi, jika kita mengamati karya-karya dari berbagai negara yang
menggunakan bahasa yang sama atau sastra dari berbagai daerah dalam satu negara, maka ternyata
bahwa rumusan sastra bandingan yang menekankan pada perbedaan negara, justru akan
mengundang masalah konseptual. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan
kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada.

Masalah kedua menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah
praktik sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu
dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan
kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya menyangkut dua atau lebih
teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan
persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan reputasi dan
penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap
berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra bandingan hanya sampai pada
pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih. Oleh karena itu, patutlah
dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada perbandingan dua teks
sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba
menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang
dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Sebelum memasuki pada pembicaraan beberapa karya sastra yang hendak dijadikan contoh
kasus studi sastra bandingan, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah rumusan
mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan beberapa kasus
terjadinya problem konseptual, boleh jadi pula kita akan memperoleh rumusan yang lebih pas;
atau paling sedikit, kita dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra bandingan masih dapat
dipertahankan dan alternatif apa yang perlu dikedepankan.

HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA JAWABAN ATAS TANTANGAN MASA KINI

Hendarto Budiyono, SMI, MM

Kepala Balai Hiperkes dan KK Propinsi D.I Yogyakarta

I. Pendahuluan

Hiperkes dan Keselamatan Kerja keberadaannya dapat diterima oleh berbagai pihak antara lain
kalangan dunia industri, kalangan perguruan tinggi maupun kalangan profesi yang terkait dengan
pengembangan sumber daya manusia diperusahaan, perbaikan kondisi lingkungan kerja,
penanganan peralatan dan mesin produksi dan upaya peningkatan produktivitas , Hiperkes dan
Keselamatan Kerja merupakan perpaduan antara ilmu medis, teknik dan ilmu-ilmu yang lainnya,
Hiperkes dan Keselamatan Kerja pada awalnya merupakan singkatan dari Higiene Perusahaan,
Kesehatan dan Keselamatan Kerja, namun seiring dengan perjalanan waktu maka Hiperkes dan
Keselamatan Kerja merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan di dunia
internasional bernama “ Occupational Health and Safety (OHS) “, sehingga tenaga kerja yang
bekerja ditempat kerja tersebut terbebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Hiperkes daan Keselamaatan Kerja perkembangannya di Indonesia dimulai sejak tahun 1957
dengan didirikannya Lembaga Kesehatan Buruh pada Dinas Perburuhan, sejak saat itu
perkembangan Hiperkes daan Keselamatan Kerja tumbuh dan berkembang seiring dengan
kemajuan dunia industri dan sampai saat ini sudah banyak Perguruan Tinggi Negeri & Swasta
yang membuka program D3, S1, S2 dan S3 dalam bidang Hiperkes dan Keselamatan Kerja.

Hiperkes daan Keselamatan Kerja merupakan kebutuhan dari dunia industri, karena faktor
penyebab kecelakaan dan penyakit akibat kerja pada dasarnya dapat dikendalikan dan dihilangkan
asalkan kita mampu untuk menerapkannya, dampak dari kecelakan antara lain : penderitaan bagi
yang terkena musibah dan kerusakan harta benda bagi pemilik perusahaan dan lain sebagainya.

Penerapan di tempat kerja memerlukan komitment dari pimpinan perusahaan, dikarenakan pihak
perusahaan harus menyediakan dana untuk melaksanakan program, menyediakan personil yang
memenuhi syarat dan menginvestasikan peralatan dan sarana dalam rangka
pencegahannya.disamping itu pemerintah sudah banyak mengeluarkan aturan yang dapat dipakai
untuk memacu pelaksanaan program Hiperkes daan Keselamatan Kerja di tempat kerja.

PERUBAHAN DUNIA KERJA

Seiring dengan kemajuan dunia industri maka terjadi perubahan kondisi lingkungan kerja yang
ada di masyarakat aantara lain ditandai dengan perubahan lingkungan kerja pada sektor pertanian
yaitu dengan dipergunakannya bahan-bahan pembasmi serangga dan gulma baik pestisida maupun
herbisida dan pengunaan mekanisasi pertanian akan mendorong kondisi lingkungan kerja dan
masyarakat petani akan mengalami keracunan dan terpapar faaktor fisik antara lain kebisingan
getaran dll. Hal yang demikian akan terjadi peningkatan penyakit akibat kerja dan kecelakaan
kerja pada sektor industri manufactur dan jasa antara lain disebabkan penggunaan bahan kimia
yang bermacam macam baik jenis maupun jumlahnya disamping itu juga dipengaruhi penggunaan
peralaatan dan mesin yang selalu meningkat tingkat resikonya, apabila tidak ditangani dengan
benar

Kesempatan kerja kedepan juga dipersyaratkan adanya kopetensi pada masing masing pencari
kerja, hal ini saangat penting dikarenakan keahlian yang dimiliki oleh individu harus dapat
dipertanggung jawabkan dan harus menguasai bidang yang ditekuninya, disamping itu menuntut
adanya multi skilling, seseorang harus mempunyai keahlian ganda sehingga bagi perusahaan hal
ini sangat menguntungkan karena cukup merekrut satu orang saja tapi yang bersangkutan
mempunyai beberapa keahlian.Orang-orang profesional akan dinamis dalam meningkatkan
pengembangan dirinya karena tidak ada satupun aturaan yang menghambat seseorang untuk dapat
kerkarier, disamping itu menuntut seseoraang harus selalu dalam kondisi prima dan masih dapat
dikembangkan untuk menghadapi tantangan kedepan.
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

STKIP ISLAM BUMIAYU

TAHUN 2012/2013

Unsur-Unsur Pembangunan Karya Sastra

A. Pengantar

Materi unsur-unsur pembangunan karya sastra merupakan salah satu materi yang sangat berguna
bagi kita karena di dalamnya membicarakan tentang struktur karya sastra sebagai sebuah karya
fisik yang tentu saja terdiri atas beberapa hal yang harus saling berkaitan. Struktur pembangunan
karya fisik tersebut terdiri atas (1) struktur luar atau yang dikenal dengan ekstrinsik, dan (2)
struktur dalam atau yang lebihh populer disebut sebagai struktur instrinsik.

Struktur luar adalah segala macam unsure yang berada di luar karya sastra, tetapi kehadirannya
sangat mempengaruhi cerita yang disajikan, misalnya faktor sosial politik, ekonomi dan
kepengarangan, serta tata nilai yang dianut suatu masyarakat. Sementara itu, yang dimaksud
dengan struktur dalam adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra itu sendiri, baik pada
prosa, puisi, maupun drama.

Kedua struktur tersebut, baik struktur luar maupun struktur dalam, seperti penulis sebutkan tadi,
merupakan unsur atau bagian yang secara fungsional saling berkaitan. Artinya, tidak ada satu
unsur yang lebih penting kehadirannya dibandingkan dengan unsur lain atau tidak ada unsur yang
kehadirannya hanya sebagai pelengkap saja. Satu hal yang mesti kita pahami adalah bahwa
struktur yang ada dalam karya sastra haruslah dipandang dari satu sudut pandang tertentu. Struktur
ekstrinsik , misalnya dianggap sebagai bagian dari struktur yang membangun sebuah karya fiksi
bila struktur tersebut kita anggap mampu memberikan pengaruh terhadap keseluruhan struktur
fiksi tersebut, terutama jika sebuah karya sastra yang sedang kita bahas dianggap sebagai mimesis
atau cermin kehidupan. Dengan kata lain, struktur ekstrinsik dapat dibicarakan ketika memang
sedang dikaitkan dengan karya sastra tertentu. Cerita pendek (cerpen) Robohnya Suami Kami,
misalnya memiliki peran moral yang tinggi yang dilatarbelakangi falsafah hidup pengarangnya,
yakni A.A Navis yang memang sangat religious. Selain itu, cerpen tersebut juga sangat kental
dengan sosiokulutural Minangkabau yang menjadi latar belakang ceritanya.

Struktur ekstrinsik ini pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap segi-segi yang menyangkut
segala aspek kehidupan yang ditampilkan dalam karya sastra, pembahsannya pun akan terbatas
pada struktur karya sastra secara umum. Hal ini berbeda dengan unsur instrinsik yang karena
sifatnya berada dalam suatu karya sastra, pembahsannya dapat dilakukan secara lebih khusus.
Untuk lebih jelasnya, pembahasan berikut ini akan menyajikan unsure-unsur pembangunan karya
sastra yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri.

B. Unsur Intrinsik Prosa

Sebuah karya sastra berbentuk prosa dapat berupa novel, roman, novelet, cerpen dan beberapa
istilah lain, yang pasti berisi sebuah cerita tentang kehidupan, khusus untuk anak-anak biasa
dikelompokkan ke dalam cerita anak-anak. Sebuah karya prosa dibangun oleh unsure-unsur yang
saling mendukung, yaitu tokoh, tema, alur, latar, gaya, dan pusat pengisahan. Secara garis besar,
berikut ini adalah uraian tentang unsur-unsur karya prosa.

1. Tokoh

Tokoh penokohan dan perwatakan merupakan salah satu hal yang kehadirannya amat penting.
Bahkan, sangat menentukan. Bukankah tidak mungkin sebuah karya fiksi hadir tanpa adanya
tokoh cerita atau tanpa adanya tokoh yang bergerak dari awal hingga akhir cerita. Selain itu,
keduanya juga merupakan satu struktur yang padu. Gambaran tentang seorang tokoh dengan
segenap perilakunya tentu saja sekaligus menguraikan tentang gambaran perwatakannya. Novel
Salah Asuhan karya Abdul Muis, misalnya tidak ada berarti apa-apa kalau di dalamnya tidak ada
Corie, seorang gadis indo dan Hanafi, laki-laki pribumi yang terlalu kebarat-baratan.

Cara menghadirkan perwatakan dan penokohan ini dapat dilakukan pengarang dengan dua cara,
yakni penggambaran secara analitik dan dramatic. Maksud dari penggambaran secara analitik
adalah penggambaran langsung yang dilakukan seorang pengarang tentang watak atau karakter
tokoh. Pengarang dapat menyebut bahwa tokoh tersebut, seperti keras kepala, setia, penyabar,
emosional, religius atau lainnya. Sementara itu, yang dimaksud dengan penggambaran secara
dramatik adalah penggambaran perwatakan yang tidak dilakukan secara langsung oleh pengarang,
misalnya melalui pilihan nama atau tokoh, penggambaran fisik atau postur tubuh, dan melalui
dialog. Untuk lebih jelasnya, perhatikan dua kutipan berikut ini

a. Lasi tetap tertunduk. Ingatannya melayang pada suatu malam ketika ia di dalam kamar
bersama Handarbeni. Malam yang menjengkelkan. Handarbeni benar-benar kehilangan
kelelakiannya meski obat-obatan telah diminumnya. Untuk menutupi kekecewaan Lasi, akibat
kegagalan semacam biasanya Handarbeni mengobral janji ini itu dan keesokan harinya semuanya
akan beres. Tetapi malam itu Handarbeni tak memberi janji apa pun kecuali tawaran yang
membuat Lasi merasa terpojok, bahkan terhina[1].

b. “ Ya, Las. Kamu memang diperlukan Pak Ha terutama untuk pajangan dan gengsi, “kata Bu
Lanting suatu kali ketika Lasi berkunjung ke rumahnya di Cikini. “Atau barangkali untuk menjaga
citra kejantanannya di depan para sahabat dan relasi. Ya, bagaimanapun juga suamimu itu seorang
direktur perusahaan besar. Lalu apakah kau tidak bisa menerimanya?” [2]
Kedua kutipan tersebut sama-sama menceritakan karakter Handarbeni yang memperistrikan Lasi
hanya sebagai gengsi. Ia adalah lelaki impoten yang mengambil Lasi sebagai istrinya semata-mata
hanya ingin menjaga citra kejantanan di hadapan koleganya saja. Nah, kita tentu dapat menebak
kutipat manakah yang termasuk dalam penggambaran secara analiti, bukan? Atau sebaliknya,
kutipan manakah yang digambarkan oleh Tohari sebagai pengarang Bekisar Merah sebagai
penggambaran secara dramatik. Ya kutipan (1) merupakan contoh penggambaran secara analtik
karena dengan sarana Lasi, Tohari langsung menyebut kelemahan Handarbeni, sedangkan kutipan
(2) merupakan contoh penggambaran secara dramatic karena kelemahan Handarbeni dapat
diperoleh melalui percakapan antara Bu Lanting dengan Lasi.

Dapatlah dijelaskan bahwa seorang tokoh cerita biasanya mengembang suatu perwatakan tertentu
yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang, seperti juga halnya dengan tokoh Handarbeni.
Perwatakan dapat diperoleh dengan membari gambaran mengenai tindak tanduk, ucapan atau
sejalan tidaknya antara pikiran dan perbuatan yang dilakukan si tokoh. Suatu karakter harus
ditampilkan dalam satu pertalian yang kuat sehingga dapat membentuk kesatuan kesan dan
pengertian tentang personalitas individualnya. Dalam konteks tokoh Handarbeni, pengarang
sengaja menampilkannya dengan konteks yang saling melengkapi. Handarbeni memiliki kelebihan
material yang sangat baik sehingga mampu menempatkan Lasi sebagai pajangan hidup karena
sebenarnya ia telah kehilangan kelakiannya.

Saatnya Pelesir ke Pesisir Tanah Pramuka

Oleh : Andika Wiranata

Bicara mengenai destinasi wisata di Jakarta, sederet nama paling banyak diperbincangkan adalah
Taman Impian Jaya Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, Kebun Binatang Ragunan, Kota Tua,
Monas dan museum-museum lainnya. Selain tempat-tempat wisata tersebut, masih banyak obyek
wisata menarik lainnya yang bisa ditemui di ibukota negara Indonesia ini, seperti wisata ke pulau-
pulau di Kepulauan Seribu. Pulau Pramuka, salah satu pulau yang terdapat di gugusan Kepulauan
Seribu, sekaligus merupakan pusat pemerintahan kabupaten administrasi Kepulauan Seribu.

Pulau Pramuka dapat menjadi alternatif dan mencoba suatu pengalaman baru berwisata, selain
berwisata ke daerah pegunungan atau puncak. Pulau Pramuka yang dulunya bernama Pulau Elang
dapat ditempuh menggunakan kapal transportasi dari Pelabuhan Muara Angke selama 2,5 jam dan
kita akan diantar ke dermaga Pulau Pramuka. Kapal Transportasi ini memulai jadwal
pemberangkatan pukul 07:00 WIB baik dari Muara Angke atau Pulau Pramuka.

Popularitas Pulau Pramuka mulai menanjak belakangan ini. Pulau Pramuka sendiri merupakan
pulau berpenduduk yang mulai berkembang menjadi daerah pariwisata beberapa tahun ini.
Kecantikan alam menjadi salah satu daya tarik pulau yang penduduknya terkenal sangat ramah ini.

Wisatawan akan terperangah melihat jernihnya air laut yang biru, terumbu-terumbu karang yang
indah dan pulau dengan pasir putih yang menawan, wisatawan juga dapat menikmati tebitnya
matahari dan sunset atau tenggelamnya matahari yang indah di pinggir pantai, semua ini yang
akan membuat setiap orang yang pernah pergi ke pulau ini ingin kembali lagi ke Pulau Pramuka.
Tidak heran jika kecantikan laut dan pantai di Pulau Pramuka sering kali menghiasi foto-foto
perjalanan para wisatawan.

Sebagai pusat pemerintahan Kepulauan Seribu, Pulau Pramuka memiliki fasilitas-fasilitas yang
diperlukan warga atau wisatawan mulai dari tempat penginapan atau homestay, rumah makan,
rumah sakit, masjid, kantor polisi, dan lain-lain. Kepedulian masyarakat Pulau Pramuka masih
sangat tinggi sehingga fasilitas yang ada terawat dengan baik dan membuat wisatawan yang
berkunjung ke pulau ini dapat menikmati kenyamanan.

Selain pemandangan indah yang disajikan di Pulau Pramuka, di pulau ini terdapat sebuah
penangkaran Penyu Sisik. Penyu-penyu ini dikembangbiakan dan dirawat dalam suatu area
khusus. Para wisatawan dapat menyentuh langsung penyu-penyu ini untuk mendapatkan wawasan
mengenai penyu. Apabila penyu-penyu ini sudah cukup umurnya, maka mereka akan dilepaskan
di tepi pantai Pulau Pramuka.

Selain penangkaran penyu, di Pulau Pramuka juga terdapat penangkaran kupu-kupu. Berbagai
jenis kupu-kupu dikembangbiakan di suatu tempat penangkaran yang dikelilingi jaring-jaring
halus. Di Pulau Pramuka juga terdapat budi daya rumput laut dan tanaman mangrove. Rumput laut
mereka budi daya untuk mereka jual dan menambah penghasilan penduduk setempat. Mangrove-
mangrove ini juga dibudidayakan setelah itu akan ditanam di sekitar Pulau Pramuka untuk
mencegah erosi.

Era Tawuran

Oleh : Andika Wiranata

Kata “tawuran” sangat identik sekali dengan masyarakat kita. Bukan hanya tawuran antar pelajar,
tapi antar remaja, antar TNI vs Polri, pedagang kaki lima dengan Satpol PP. Apakah bangsa kita,
bangsa yang menanamkan kekerasan dalam kehidupannya? Mengapa sekarang semua orang
seakan membenarkan penyelesaian masalah harus dengan kekerasan? Sungguh ini suatau ironi,
yang harus kita hadapi sebagai bangsa yang bermartabat. Mereka semakin anarki, dengan embel-
embel nama geng mereka. Lalu semakin bangga, apabila orang-orang takut dengan geng mereka,
tanpa mereka sadar perbuatan itu mengganggu ketenangan masyarakat dan sungguh perilaku
moral seorang manusia yang primitif. Inilah, Indonesia kini memasuki era “tawuran”.

Sebelum lebih jauh, kita harus mengetahui pengertian dari tawuran. Menurut KBBI edisi keempat,
tawuran, dari kata tawur didefinisikan sebagai perkelahian beramai-ramai, perkelahian
massal. Tawuran merupakan salah satu dari kenakalan remaja, kenakalan remaja sendiri
menurut Kartono, seorang ilmuwan sosiologi, “Kenakalan Remaja atau dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk
perilaku yang menyimpang”. Lalu menurut Santrock, “Kenakalan remaja merupakan kumpulan
dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan
kriminal”. Penulis berkesimpulan tentang definisi dari tawuran, tawuran adalah istilah masyarakat
Indonesia, untuk kenakalan remaja yang pelakunya melakukan tindak kekerasan dengan berkelahi
beramai-ramai atau massal dan biasanya memiliki satu tujuan kelompok dengan menyerang
kelompok atau rumpun lain.

Penyebab tawuran beragam, mulai dari hal sepele sampai hal-hal serius yang menjurus pada
tindakan kekerasan dan bentrokan. Tawuran akhir-akhir ini melekat sekali dengan citra seorang
pelajar, yang seharusnya tidak melakukan hal yang tercela ini. Biasanya permusuhan antar sekolah
dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat emosinya justru
menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya dendam kesumat lalu dengan rasa
kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut ingin membalas perlakuan yang disebabkan oleh
siswa dari sekolah lain yang dianggap tidak menyenangkan salah satu pihak seperti, pemalakan,
salah paham atau perang mulut yang awalnya hanya sebuah candaan atau hanya saling pandang,
lalu terjadi salah paham yang menjadi awal perkelahian antar pelajar atau tawuran.

Bila dilihat secara mendalam penyebab tawuran adalah tingkat stres siswa yang cukup tinggi
karena materi pendidikan di Indonesia cukup berat. Lalu ditinjau dari aspek psikologis, tawuran
antar pelajar ini dapat terjadi karena ada situasi yang mengharuskan mereka menyelesaikan suatu
permasalahan dengan cepat yang memaksa mereka harus berkelahi, lalu juga situasi dalam
kelompok atau geng mereka, yang terdapat norma, kebisaan, atau aturan yang mengharuskan
mereka berkelahi, dan menimbulkan suatu kebanggaan apabila mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh kelompoknya. Stigma bahwa tawuran itu lelaki juga mencengkram kuat dalam
pemikiran para pelajar. Juga banyaknya waktu luang atau libur yang dimiliki siswa diduga juga
menjadikan tawuran sebagai suatu kegiatan “sampingan” mereka. Terlebih ketika Ujian Nasional
selesai, banyak siswa yang melakukan tawuran dan menyebutnya sebagai “tawuran terakhir”.

“Drupadi”, Cerita Tentang Perempuan

Oleh: Nursyahbani Katjasungkana

Begitu besarkan perbedaan mata perempuan dan mata lelaki ketika menonton Drupadi?

Bagi saya, Drupadi, sebagaimana yang tergambar dalam pembuka film, menunjukan siluet tari
perempuan yang muncul dari api, yang menunjukan kelembutan dan sekaligus kekuatan
perempuan, tenaga yang terbungkus dalam keindahan. Tetapi, tidak di mata laki-laki. Drupadi
dianggap sebagai perempuan yang kehilangan keanggunan karena banyak omong. Ia juga
perempuan yang layak dihinakan karena menolak seorang anak sais ikut sayembara
memperebutkan dirinya. Cerita kehancuran pandawa dan keangkaramurkaan Kurawa ini bahkan
dilihat sebagai tragedy Drupadi.
Sejak awal, Leila S Chudori, penulis sekenario film ini, telah menasbihkan Drupadi sebagai
subyek (agent) bagi dirinya sendiri. seorang perempuan yang tahu apa yang dikehendakinya dan
tahu pula bagaimana mencapainya.

Pesan moral yang ingin disampaikan film ini bahwa kebebasan dan otonomi perempuan sangat
penting untuk mengatasi kesulitan apa pun sangat jelas dan dikemukakan dengan megah: Drupadi,
perempuan cantik dan cerdas serta lahir dari rahim Dewi Agni itu, di tengah sayembara yang
diikuti para lelaki yang ingin menjadi suaminya, ternyata memilih Arjuna tambatan hatinya, meski
kemudian harus menikah pula dengan empat sodara Arjuna yang lain.

Tidak hanya itu, dengan kelembutan dan kecerdasannya, Drupadi mampu memberi perlawan
ketika mengalami kekerasan dan penghinaan Kurawa, meski hanya dengan kata-kata, doa, dan
kutukan. Pada akhirnya seluruh cerita dalam film itu adalah cerita tentang kemenangan Drupadi
melawan keangkaramurkaan.

Dalam cerita aslinya—yang ditafsirkan dengan bahasa Inggris modern oleh penulis seperti RK
Narayan dan Ramesh Menon—Drupada, tetap pada keputusannya mengawinkan Drupadi dengan
Arjuna. Namun, karena ucapan tak sengaja Kunti, ibunda Pandawa, yang mengatakan agar
membagi apa yang didapatnya dengan empat saudaranya yang lain, tanpa menyadari yang dibawa
Arjuna adalah Drupadi, calon istrinya.

Menggugat patriarki

Tentu saja perkawinan Drupadi dengan lima Pandawa bukan sekadar karena ucapan Dewi
Kunti yang tak bisa ditarik kembali. Resi Viyasa berkisah bahwa Drupadi harus menjalani hidup
dengan lima lelaki, karena sebuah kisah pada masa lalu. Perkawinan ini memang unik, bahkan di
dalam dunia Mahabarata.

Bagaimana Drupadi mengatur hidup perkawinannya itu, barangkali perkara paling menarik
dalam film ini. Alih-alih kerepotan, Drupadi menjalani hidup perkawinannya sebagaimana sudah
diatur: setiap tahun, Drupadi menjadi istri salah satu Pandawa. Ia mengendalikan hidup
perkawinannya dengan damai.

Meski demikian, di dalam film pendek ini (40 menit), kita dapat merasakan seluruh
perasaan Drupadi yang tertuang pada kalimat: Mungkin penderitaan adalah sebuah jalan sunyi
menuju keindahan yang lebih abadi.

Sesungguhnya film ini merupakan gugatan terhadap asumsi-asumsi patriarkis tentang


kedudukan perempuan yang dianggap obyek dan sifat-sifat diam, tunduk, dan submisif sebagai
kodrat atau takdir keperempuanannya.

Bangunan nilai yang justru diagungkan masyarakat sebagaimana tercermin dalam tulisan
Dahono Fitrianto (Kompas, 14 Desember 2008): “Drupadi di tangan Dian Sastro terkesan menjadi
terlalu ekspresif dan banyak omong. Dian menjadi terkesan sedang membawakan karakter
Srikandi.”

Saya khawatir Dahono malah belum membaca cerita pewayangan dengan betul, yang jelas
memperlihatkan Drupadi selalu melakukan perlawanan dengan kata-kata. Tak pernah sekalipun
Drupadi digambarkan sebagai tokoh yang pendiam. Sementara Srikandi adalah tokoh gagah
perkasa yang maju ke medan perang, sebagai titisan dari Dewi Amba dan satu-satunya tokoh yang
bisa merobohkan Bhisma.

Menjadi pertanyaan pula sikap normatif yang dipegang dan dipedomani: apakah karena
Drupadi tak seberingas Bhima dan atau tak mengeraskan suaranya atau menggunakan kata-kata
kasar dengan berkacak pinggang sehingga Drupadi dianggap hanya marah ketika kekerasan
berimplikasi kepada dirinya sendiri.

Tentang Drupadi yang bersuamikan lima Pandawa bersaudara itu, Dahono menulis: “Terus
terang, sebagai orang yang sudah biasa menikmati kisah wayang versi Jawa (apalagi bentuk film,
yang shooting-nya dilakukan di Yogyakarta dan sekitarnya, ini mengambil bentuk Jawa juga),
saya agak kagok dengan kisah poliandri ini. Apakah kekagokan Dahono karena terbiasa
menyaksikan laki-laki yang berpoligini dan karenanya tak pernah tergambar dalam imajinasinya
ada juga perempuan yang pernah bersuamikan lima lelaki?

Sementara itu, peresensi lain, Eric Sasono, dalam Ada Apa dengan
Drupadi (RumahFilm.org, 20 Desember 2008) menganggap Drupadi telah dijadikan obyek
sayembara atau komoditas pertaruhan oleh ayahnya sendiri. secara mengejutkan pula, perspektif
ini dijadikan dasar untuk menggugat kemarahan Drupadu ketika ia dipertaruhkan di meja
permainan dadu oleh Yudhistira karena toh Drupadi pernah dijadikan obyek pertaruhan oleh
ayahnya “maka menjadi proyek pertaruhan bukan hal istimewa bagi perempuan Drupadi ini”.

Menurut hemat saya, justru para lelaki peserta sayembara itulah yang dijadikan Drupadi
(dan Drupada) sebenar-benarnya obyek permainan. Bukankah para lelaki itu yang menginginkan
Drupadi sebagai istrinya dan oleh karena itu antre mengadu keterampilannya dengan banyak lelaki
lain? Drupadilah yang memilih Arjuna, bukan sebaliknya.

Maka sungguh keliru ketika Eric Sasono mengatakan kemarahan Drupadi lebih pada
kekerasan yang dia alami dan bukan karena ia “menjadi komoditas” karena ayahnya sendiri
pernah pula menempatkannya sebagai obyek sayembara. Bukankah ia telah mengungkapkan
keberatannya kepada Yudhistira dan Arjuna atas keputusan keduanya untuk memenuhi undangan
Kurawa bermain dadu? Bukankah ia juga menyatakan protesnya karena Yudhistira, yang
sebebarnya tak berhak mempertaruhkannya, apalagi ia tak lagi memiliki dirinya?

Namun, Yudhistira titisan Brahma itu tak peduli, nuraninya tumpul karena angkara. Maka
di sinilah sebetulnya tragedi itu bermula: Pandawa kehilangan segala-galanya.
Dari cerita ini jelas moralkisah ini adalah tragedy Pandawa, bukan tragedy Drupadi
sebagaimana dikemukakan Irfan, peresensi film Drupadi lainnya (Irfan Irfansyah Ismail,
RumahFilm.org, 20 Desember 2008).

Menjadi perempuan yang bebas dan mandiri, cerdas dalam mengemukakan pendapat,
tetapi tetaplebut dalam melakukan perlawanan, apalagi perempuan itu menjalani hidup
perkawinan dengan lima suami, ternyata masih jauh dari jangkauan imajinasi masyarakat kita,
khususnya para laki-laki.

Setidaknya dari peresensi film Drupadi, dapat dikatakan tampaknya masih sukar bagi para
lelaki untuk keluar dari bias-bias patriarki dan pandangan normatifnya tentang perempuan.
Bahkan melawan kekejaman dengan kata-kata, mantra, dan kutukan pun dianggap sebagai
ketidakwajaran dan menjadikan perempuan “hilang keagungannya”.

Meski demikian, setidaknya Drupadi telah menjadikan soal poliandri sebagai wacana
publik, seraya merenungkan bagaimana seharusnya kekuasaan dijalankan agar tak berubah
menjadi traged.

Nursyahban Katjasungkana: Anggota DPR dan Aktivis perempuan

Sumber: Kompas, 11 Januari 2009

Anak Indonesia Sudah Tidak Mengenal Dongeng

Sumber : Jawa Pos, 2 Februari 2000

Dongeng merupakan sebuah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan kita. Pasalnya sejak kecil
kita sudah diperkenalkan orang tua kita akan berbagai cerita rakyat yang ada di Nusantara ini.
Bahkan seringkali dongeng tersebut menjadi isnpisari bagi seorang anak dalam bertingkah laku
dan bercita-cita. Dongeng merupakan jenis tradisi lisan yang memiliki peran penting dalam masa
pertumbuhan ahlak anak-anak. Sebab dalam dongeng terdapat unsur hiburan disamping
pendidikan. Pesan-pesan mulia tersebut diharapkan mampu membawa anak-anak pada alam
kehidupan sehari-hari yang lebih baik.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dr Ayu Sutarto MA pada acara Seminar Nasional Dengeng yang
diadakan oleh YIM (Yayasan Indonesia Membaca) bekerja sama dengan Perpustakaan Daerah
Jember. Acara tersebut berlangsung kemarin dan bertempat di aula Universitas Muhamadiyah.

Selain Dr Ayu Sutarto MA tampil pula sebagai pembicara Drs Sulistiyono, Dra Ria Angin MS, dan
Tengsoe Tjahjono. Mereka memaparkan berbagai hal berkaitan dengan perkembangan dongeng.
Terutama jika dikaitkan dengan perkembangannya saat ini disaat anak-anak Indonesia mulai
melupakan dongeng tradisional.

''Keberadaan alat-alat hiburan seperti TV, VCD, dan Playsation menyebabkan peran pendongeng
menjadi lumpuh,''kata Ayu Sutarto. Ia menyebutkan kemajuan teknologi tersebut ternyata
membentuk mental ekstasi dalam diri anak-anak. ''Mental ekstasi tersebut rupanya membentuk
kepribadian terbalik pada diri anak-anak,''ujar dosen Fakultas Sastra Unej ini.

Maksudnya adalah saat ini anak-anak seolah bangga jika melakukan perbuatan keliru. ''Mereka
seolah tidak merasa berdosa jika melakukan kesalahan,''tambahnya. Hal ini menurutnya
disebabkan adanya berbagai tokoh dalam cerita-cerita luar negeri yang menampilkan sosok
penjahat yang memiliki kekusaan. Sehingga dimungkinkan dalam cerita tersebut tokoh jahat justru
mengalahkan tokoh yang membela kebenaran.

''Dalam cerita tradisional Nusantara tokoh jahat selalu kalah oleh kebenaran,''ujarnya. Sehingga
anak-anak terobsesi untuk berbuat kebaikan pula seperti yang dicontohkan tokoh-tokoh idolanya.
Inilah yang membuat mental anak-anak menjadi terarah kepada kebaikan,''tambahnya.

Sementara itu Drs Sulistiyono mengatakan dalam dongeng terdapat pesan-pesan moral yang
sangat penting bagi perkembangan pola pikir anak-anak. Selain itu dengan mempelajari dongeng
seorang anak bisa dipupuk rasa percaya dirinya. Hal itu menurutnya tergantung pada pemilihan
tema dan cerita yang terkandung dalam dongeng itu sendiri. ''Tema cerita akan memberikan kesan
mendalam pada perkembangan anak selanjutnya,''ujarnya.

Dosen Universitas Muhamadiyah Jember ini menjelaskan melalui konflik-konflik yang dibangun
dan tokoh-tokoh yang ditampilkan, seorang anak mampu secara imajinatif berpartisipasi dalam
cerita tersebut. ''Itu bisa terwakilkan dalam karakter tokoh-tokoh yang ada dalam cerita
tersebut,''tambahnya.

Melalui simulasi konflik-konflik kongkrit dalam cerita, pertimbangan moral anak bisa
dimantapkan. Selanjutnya pada tahapan yang lebih tinggi hal itu bisa ditingkatkan dan dirangsang
secara efektif.

Sementara itu Tengsoe Tjahjono mengatakan salah satu penyebab hilangnya cerita tradisional dari
hati anak-anak adalah kurangnya orang tua mendongeng kepada anak-anaknya. Padahal dahulu
saat perkembangan teknologi belum semaju sekarang, mendongeng seolah menjadi budaya
dikalangan orang tua. Sudah menjadi kebiasaam bagi orang tua untuk membacakan cerita Si
Kancil, atau Timun Mas sebelum anaknya tidur.

Walaupun cerita dalam dongeng tersebut fiktif, namun kesan yang ditimbulkannya bisa
menciptakan daya fantasi anak. ''Akibatnya anak menjadi sangat menyukai dongeng dan cerita
fantasi tersebut,''ujarnya.

Selain itu dongeng juga berfungsi sebagai sarana 'pengembaraan' anak. Sebab dengan mendengar
dongeng, fantasi dan daya cipta anak akan mengembara sesuai alur cerita dalam dongeng. Saat
itulah biasanya unsur pendidikan dan pembinaan moral dapat 'disusupkan' dalam benak anak-
anak.

Beberapa sifat yang selalu dimiliki tokoh-tokoh pembela kebenaran dalam dongeng adalah jujur,
cinta kasih, adil, dan bersahabat. Sifat-sifat tersebut jarang terdapat dalam cerita modern yang
umumnya berasal dari luar negeri. Sebab seringkali unsur tersebut dikalahkan oleh fabtasi
kekuatan dan kesaktian yang justru membuat anak menjadi lupa pada perbuatan saling
menyayangi dan menghormati orang lain. (yus)

“Ayang-ayang Gung”: Sebuah Catatan Budaya

oleh: Soni Farid Maulana

Nano S seniman karawitan kontemporer, yang satu kakinya terbenam di musik tradisional Sunda
dan satu kakinya lagi terbenam di musik industry, yang dibilang orang musik pop itu, beberapa
waktu lalau dalam sebuah tayangan di Stasion TVRI Jabar-Banten melaukan tafsir atas teks
lagu Ayang-ayang Gung yang berbunyi, Ayang-ayang gung – gung/Gung goongna rame/Menak Ki
Mas tanu/Nu jadi wadana/Naha maneh kitu/Tukang olo-olo/Loba anu giruk/Ruket jeung
kumpeni/Niat jadi pangkat/Katon kagorengan/Ngantos Kanjeng Dalem/Lempa lempi
lempong/jalan ka Batawi ngemplong/Ngadu pipi jeung nu ompong.

Siapakah penulis teks atau lebih tepatnya lirik lagu tersebut, yang ditafsir oleh Nano
Sdalam bentuk lirik pula, yang bunyinya seperti ini, Boa-boa numbuk di enya/ayang-ayang gung
nu baheula/ayang-ayang gung di ayeuna/nyaritakeun menak/nyaritakeun pangkat/nyaritakeun
Dalem/lamun ka Batawi ngemplong/Goongna rame/paharus-harus sora jeung jangji/saha anu jadi
wadalna/rakyat deui rakyat deui/demi anu disebut kumpeni/moal kitu jadi kumpenipu?//

Dua teks tersebut, baik yang ditulis secara anonym, yang sering dinyanyikan oleh anak-
anak itu, khususnya di kampong-kampung, seperti yang saya alami ketika masih kecil, maupun
yang ditulis oleh Nano S atas tafsirnya itu; keduanya setidaknya tengah berbicara soal realitas
sosial-politik saat ini, soal rakyat yang kecewa pada sejumlah oknum wakil rakyat yang
dipilihnya, yang ternyata tidak amanah.

Disamping itu, kecewa pula pada oknum pemimpin yang dipercaya untuk mengelola
Negara, yang diyakininya bisa memberantas berbagai tindak korupsi, eh malah melakukan tindak
korupsi, lebih mementingkan golongannya sendiri, membiarkan rakyat kecil tersaruk-saruk dihajar
naiknya harga-harga, penggusuran, meletusnya berbagai kerusuhan yang seakan-akan tidak pernah
bica diatasi—seperti yang terjadi di Ambon sekarang ini, atau di Aceh sana--. Yang jadi
tumbaldari berbagai kasus semacam itu, siapa lagi kalau bukan rakyat?

Untuk itu tak aneh bila dewasa ini begitu banyak orang ingin menjadi wakil rakyat, meski
tingkah-tingkahnya yang busuk itu akhirnya terbongkar lewat ijazah palsu. Apa yang bisa diharap
dari orang yang menipu dirinya sendiri semacam itu, bila mereka kelak jadi wakil rakyat? Lewat
tafsirnya itu, lebih lanjut Nano S berkata, Horeng aya nu nyumput dina kekecapan lagu/ngelingan
lajuning laku/udaganana geus kateguh ku hate/hayang uncang-uncang angge/dina korsi goyang di
bale Gede!//. Mengapa demikian? Karena, uncang-uncang angge—mulung untung di
Jakarte/meunang proyek anu gede—proyek gede ti panggede/proyek leutik di Mang Lintrik/ari
gog gog cungunggung//

***

Dalam sebuah eseinya, penyair Rendra mengatakan, daya kreatif adalah kemampuan untuk
bereaksi dan beraksi secara unik, penuh dengan kepribadian, tidak sekadar berdasarkan kebiasaan
yang umum. Oleh karena itu, daya kreatif selalu mengesankan kesegaran obat yang diperlukan
untuk melawan kejenuhan dan kemacetan.

Daya kreatif dengan demikian memang unik adanya. Petikan lagu di atas yang diberi
judul Ayang-ayang Gung Ayang-ayangan, yang ditulis dengan kalimat-kalimat sederhana itu,
memang lahir diinspirasi oleh karya sebelumnya, yang anonym itu.

Teks yang ditafsir Nano S itu memang lahir bukan dari kebiasaan umum. Karena itu bila
kita mendengarnya tidak menjenuhkan, malah menyegarkan. Unik, karena ia tidak umum, meski
telinga kita, mungkin sebagian dari kita, merasa tersengat. Tapi bila dipikir lebih jauh,
sesungguhnya apa yang dibicarakan oleh Nano S itu lebih bertitik-tekan kepada kritik yang
dimuarakan untuk dirinya sendiri, yang bila jadi wakil rakyat, atau bila diberi kepercayaan untuk
memimpin bangsa dan negara ini, adakah ia bisa amanah?. Pertanyaannya semacam ini penting
diajukan, agar kita tidak merasa benar sendiri.

Setidaknya hal itu diisyaratkan oleh Nano S sendiri, seperti dalam dua baris akhir teks
lagunya yang berbunyi, takokak-takokak sambel goang lada/urang brukbrak urang brukbrak urang
sing waspada//. Ini artinya Nano mengharap pula bahwa situasi yang demokratis, terbuka, dan
hormat pada hukum itu, bisa benar-benar dilaksanakan oleh segenap bangsa dan negara Indonesia,
agar apa yang kita harapkan selama ini bisa berjalan sebagaimana mestinya, yakni negara tanpa
anyir darah, tanpa tindak kekerasan, namum tegas dalam menjalankan segala perundang-undangan
yang berlaku,yang tentunya bukan untuk dilanggar, setidaknya demikian tafsir ini hidup dalam
tulisan ini; atas teks yang ditafsir Nano dari teks yang anonym itu.

Sumber: Pikiran Rakyat, 2 Mei 2004

Deddy Mizwar Bicara Soal Kritik Film


Oleh: Ekky Imanjaya

Pada awalnya adalah undangan untuk pemberitaan soal film. Lantas muncul resensi, dan ada yang
kritis soal film. Pada awalnya, semua orang diundang untuk menulis sebuah film. Sekarang pun
masih ada yang dikasih ongkos, baru menulis film yang dimaksud. Kalau di luar negeri, sudah
tidak ada lagi undangan-undangan semacam itu.

Kritikus film harus punya daya kritis. Tugasnya menjembatani sang pembuat film dengan
penonton yang awam sekali pun. Kalau bisa, jadi sebuah apresiator, bukan hanya bagi penggemar
film, tapi juga bagi awam. Tujuannya agar apresiasi soal film di masyarakat meningkat.

Ini tugas yang sulit. Karena banyak kritikus film yang terjebak pada masalah teknis yang awam
tidak mengerti. Ini kelemahan kritikus, menulis dengan bahasa njelimet.

Selanjutnya, selain melihat film, kritikus harus mengetahui tentang cara berpikir si pembuat.
Sehingga apa yang dia tulis lebih obyektif. Ada sisi pandangan yang lain. Karena, mungkin saja
kita salah menangkap artikulasi bahasa gambar film. Tidak harus kenal pembuat filmnya, tapi
minimal, tahu impian, pandangan, dan obsesinya.

Kenal sang pembuatnya boleh, tapi harus tetap tajam menulis. Dekat tapi kritik jalan terus. Kenal
para sineas untuk tahu cara berpikir si pembuat. Untuk mengetahui, misalnya, pola ungkap apa
yang belum dikuasai, penguasaan wawasan sosiologisnya, atau cara berpikirnya yang salah.

Terkadang kita melihat kritikus film jauh lebih pandai dari pembuat film itu sendiri. Kenapa?
Karena lebih banbyak film yang ditonton dari pembuat film, jadi referensinya lebih tinggi. Jadi,
pembuat film selalu tertinggal. Dan memang harus demikian. Kritikus film harus selangkah lebih
maju wawasannya dari pembuat film. Seharusnya kritikus harus lebih pintar, dia tentu saja tidak
harus bisa tidak bikin film, tapi harus selangkah di depan sang pembuat film. Karena pembuat film
dan kritikus film adalah dua profesi yang jauh berbeda. Keduanya mempunyai fungsi dan tujuan
masing-masing. Kritikus film memang harus tahu tentang wawasan teknis pembuatan film, tapi
tak harus bisa ketrampilan teknisnya.

Kalau pembuat film tahu fungsi kritik film, no problem, menjadi tempat belajar. Kalau tidak sadar,
ia akan marah dan mutung.

Yang penting adalah fungsinya sebagai jembatan apresiasi. Ini fungsi yang urgen saat ini, di saat
industri film sudah tumbuh lagi di era ini.

Jaman dulu, bukan kritik yang terjadi, tapi pembantaian. Karena yang tidak perlu ditulis, ditulis
juga. Akibatnya, penonton menganggap semua film Indonesia jelek, bahkan yang bagus pun
dibilang jelek. Jadi, tidak ada yang menonton. Memang, ada yang jelek, tapi tidak semuanya jelek.

Semestinya pembuat film berterima kasih pada kritikus film yang (seharusnya) pengetahuannya
tentang film lebih tinggi daripada dia. Bukan soal teknis tentu, tapi wawasannya. Dan kritikus film
mendorong industri film secara kualitatif, sekaligus menjembatani, mentransformasi film kepada
orang awam. Sehingga muncul apresiasi yang semakin meningkat di masyarakat. Maka dari itu,
dibutuhkan banyak kritikus film.
Kritikus film adalah bagian dari industri film itu sendiri. Bukan kelompok yang ekskusif. Kalau
eksklusif, maka jadi musuh pembuat film.

Kalau kita mengkritik, dan pembuat film marah, tidak perlu khawatir, tidak ada masalah.
Masalahnya, kalau filmmaker memusuhi kritikus film, dan kritik film tidak tumbuh, maka industri
perfilman akan hancur. Karena orang awam akan berpikir bahwa orang film Cuma bisa berantem,
bukan mengkaji kualitas.

Kritikus film punya banyak tempat berlatih. Tidak tergantung pada film di negerinya, dia bisa
belajar dari film manca negera. Industri bisa dinamis tumbuhnya, karena banyaknya kritikus yang
lahir. Dan kritikus film tidak bisa dihambat, karena film masuk dari mana dan apa saja.

Kritikus bisa membunuh industri film jika:

Gaya komunikasi kritikus film. Karena tulisannya dimuat di media masaa. Dia akan membunuh
dunia film, kalau tidak mengenal komunikannya. Karena kritikus menulis tidak untuk orang film
saja, tapi untuk orang awam.

Sikap orang film itu sendiri. Para pembuat film bisa bunuh diri jika tidak menanggapi kritikus
dengan kritis. Karena kritikus adalah tangga untuk pencapaian yang lebih baik untuk masa akan
datang. Bukan siapa sang kritikusnya, tapi apa isi tulisannya. Walau pun harus diakui, tidak semua
kritikus baik wawasannya.

Wawasan kritikusnya harus selangkah lebih depan dari pembuat film. Setiap orang bisa
mengkritik, tanpa wawasan. Siapa pun punya hak untuk mengkritisi. Tapi tidak semua bisa
menulis kritik film. Kualitas kritikusnya juga menentukan bisa membunuh atau tidak. Kritikus
harus punya imajinasi tinggi dalam mengapresiasi film. Misalnya, ada pemikiran: “seandainya
dibeginikan…”, atau “kenapa terjebak hal ini, padahal kalau itu jauh lebih menarik”.

Kritikus film bisa berlatih kapan dan dimana saja. Kritikus bisa tumbuh subur karena fenomena
open sky, di mailing list dan blog pun jadi.

Kalau betul, kritikus punya komitmen sebagai kritikus yang baik, dia bisa menjadi bagian positif
dari industri film. Komitmen itu adalah kesadaran. Kesadaran kritikus yang benar, adalah
kesadaran untuk tidak menghancurkan, atau semangat mencela. Tapi semangat mengkritisi.

Jadi, fungsi kritikus sangat penting dalam pertumbuhan industri film, selama memiliki kesadaran
mengkritisi, bukan mencela.

Kritikus film akan dalam saat melihat sebuah film. Intinya adalah menangkap sebuah gagasan.
Bukan bagaimana jalan cerita. Tapi substansi apa yang ingin disampaikan oleh pembuat film.
Tidak harus wawancara sang pembuat film, tapi mampu menangkap apa yang dia lihat.
Karena dalam mengapresiasi, akan ada tiga kemungkinan:

Kritikus menangkap pesan dengan benar dan baik

Kritikus kurang wawasan, dan untuk maju selangkah ,mesti banyak film yg harus dilihat, dan
wawasan yang harus didalami.

Sutradara kurang bisa mengungkapkan apa yg dipikirkan.

Kritikus harus punya sikap. Kalau ada yg berharga untuk ditulis, ya ditulis. Kalau tidak perlu
ditulis, untuk apa? Kalau filmnya jelek, tidak perlu ditulis. Ngapain ditulis? Karena yang dikritisi
adalah sesuatu yang baik. Sesuatu yang kau tulis harus sesuatu yang tberharga. Kalau filmnya
tidak ditulis, otomatif filmnya jelek.

Mengenai buku ini, yang terpenting bahasanya tidak njelimet. Itu penting. Karena fungsi
“jembatan apresiasi” tadi, tentu dengan gaya kritis. Buku ini tidak saja mendorong orang
menonton film, tapi juga mendorong para pembuat film memahami komunikannya. Karena Ekky
adalah wakil dari komunikannya.

Apalagi di Indonesia, karena berapa banyak orang yang secara sosio-ekonomi--dalam pengertian
pendidikan, bukan dari financial--yang mau menonton film Indonesia? Dengan tulisan-tulisan
Ekky, kita harapkan mereka mau menoleh film Indonesia dan menjadi bagian dari dialog antara
film dengan diri mereka sendiri.

Semakin produktif kritikus film menulis, makin banyak kritikus, makin banyak apresiasi di
kalangan awam, terutama di kalangan sosio-ekonomi dan pendidikan yang baik, untuk melihat
film Indonesia.

Yang terpenting adalah: bagaimana caranya agar orang film tahu kelemahannya tapi tidak marah.
Dan masyarakat mengerti oleh tulisanmu dan membuat apresiasinya lebih baik. Maka, kalau sudah
demikian, hidupmu akan berarti, karena kau sudah menjadi sebaik-baiknya manusia, karena
bermanfaat bagi sesama.

Yang Ekky ini lakukan penting. dan dibukukannya tulisan-tulisan ini malah lebih bagus. Semoga
bisa meningkatkan apresiasi, apalagi bagi orang awam. (eimanjaya@yahoo.com)

Hasil wawancara yang menjadi kata pengantar untuk buku A to Z about Indonesian Film karya
Ekky Imanjaya yang diterbitkan Dar!Mizan pada 30 Maret mendatang.

Link: http://layarperak.com/

Gunung Api dan Budaya Sunda


Oleh: Adjat Sudradjat

Telah banyak contoh bahwa letusan gunung api sangat memengaruhi kehidupan manusia.
Setidaknya ada lima letusan gunung api besar di dunia yang telah memberikan dampak luar biasa
terhadap kebudayaan manusia, tiga di antaranya ada di Indonesia. Pertama, letusan Toba yang
terjadi pada lebih kurang 74.000 tahun lalu yang telah memusnahkan kebudayaan neolitikum
Tampan di Semenajung Malaya. Kedua, letusan Gunung Tambora pada 1815 yang menyebabkan
musim dingin berkepanjangan, baik di Eropa maupun di Amerika sehingga menyebabkan
kegagalan panen. Ketiga, letusan Krakatau pada 1883 yang juga menyebabkan musim dingin
berkepanjangan.

Dua letusan gunung api lainnya adalah Gunung Thera di Yunani pada 1630 SM dan
Gunung Vesuvius di Italia pada 79 M. Letusan hebat Gunung Thera menyebabkan punahnya
kebudayaan Minoan sedangkan letusan Gunung Vesuvius mengubur kota Pompeii dan
Herculaneum yang berperadaban Romawi Kuno. Letusan Gunung Thera memberikan banyak
inspirasi sehingga dalam budaya Yunani Kuno dikenal banyak sekali legenda. Berdasarkan dari
legenda itu, Plato lebih kurang 2.000 tahun lalu mengajarkan tentang etika kekuasaan yang
menyatakan bahwa bila kekuasaan disalah gunakan akan memperoleh hukuman dan
ditenggelamkan ke dasar lautan. Pelajaran Plato tersebut dikenal sebagai legenda “the Lost
Atlantis” atau benua yang hilang yang sampai sekarang menjadi teka-teki: betulkah benua yang
hilang itu ada? Berdasarkan berbagai bukti, seorang peniliti dari Brasil menyimpulkan bahwa
Paparan Sunda di bagian barat Indonesia merupakan benua yang hilang sebagaimana yang
diceritakan dalam pelajaran Plato tersebut. Hasil penelitian ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Merapi dan Kelud

Di Indonesia, Kerajaan Hindu Mataram menempatkan Merapi sebagai pusat kehidupan


dan sumber serta symbol kekuasaan. Lebih dari 282 candi besar maupun kecil mengelilingi
merapi. Tatanan kehidupan pun sangat terikat kepada Gunung Merapi sebagai sentral. Letusan
habat Merapi pada abad ke-10 yang mencapai puncaknya pada 1006, dianggap sebagai isyarat
untuk memindahkan kerajaan. Letusan itu menghancurkan ibu kota Kerajaan Hindu Mataram dan
menewaskan raja serta seluruh anggota keluarga keluarganya. Seorang keponakan raja yang
kemudian bergelar Airlangga yang artinya ‘selamat dari air bah’ (langga=selamat) memindahkan
kerajaan ke Jawa Timur. Dalam buku Pararathon, tahun 1006 M disebut sebagai tahun perlaya.

Gunung Kelud dipilih sebagai tempat baru yang dapat bertindak sebagai sumber dan
simbol kekuasaan. Malahan dipercayai bahwa letusan Gunung Kelud memberikan isyarat akan
peristiwa penting yang menyangkut kekuasaan, seperti pergantian takhta, lahirnya putra mahkota,
atau mangkatnya raja.

Setelah megalami transformasi melalui Kerajaan Singosari, Kerajaan Mahapahit, dan


Demak, akhirnya Kerajaan Mataram Islam berdiri kembali di kaki Gunung Merapi yang ratusan
tahun sebelumnya ditinggalkan Kerajaan Mataram Hindu. Gunung Merapi kembali berperan
sebagai pusat orientasi kehidupan dan simbol kekuasaan.

Gunung Sunda

Keterikatan gunung api dan perikehidupan seperti yang dialami di sekitar Gunung Merapi
dan Kelud, tampaknya berbeda di latar Sunda. Ibukota Tarumanegara, Sundapura berada di
wilayah pesisir yang jauh dari kegiatan gunung api. Pakuan, ibu kota Kerajaan Pajajaran di Bogor,
berada di kaki gunung yang tidak aktif. Ibu kota Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis, berada di kaki
gunung api purba yang sudah mati.

Gunung api yang secara nyata berpengaruh terhadap kebudayaan Sunda adalah Gunung
Sunda. Gunung ini sekarang sudah tidak ada, karena meledak dengan hebat lebih kurang 50.000
tahun yang lalu. Begitu habatnya letusan gunung tersebut, sehingga hampir seluruh tubuh Gunung
Sunda terlemparkan mengakibatkan terbentuknya lubang menganga dengan garis tengah lebih dari
5 kilometer. Batu-batuan yang terlemparkan diduga membendung Sungai Citarum dan membentuk
Danau Bandung. Lubang besar yang ditinggalkan letusan itu oleh para peneliti zaman sekarang
diberi nama Kaldera Sunda. Dalam Kaldera Sunda itu terbentuk gunung baru yang dinamakan
Gunung Tangkubanparahu. Sekarang kaldera itu sudah hampir seluruhnya ditutupi oleh tubuh
Gunung Tangkubanparahu. Gunung ini merupakan anak Gunung Sunda, sama halnya seperti
Gunung Anak Krakatau yang lahir pada 1927. Bedanya, Gunung Tangkubanparahu lahir 50.000
tahun lalu.

Berdasarkan rekonstuksi, Gunung Sunda diperkirakan mempunai tinggi 4.000 meter atau
lebih tinggi daripada Gunung Kerinci di Sumatra yang merupakan gunung api tertinggi di
Indonesia. Bila mana Gunung Sunda masih ada, pastilah gunung ini yang menjadi gunung api
tertingi di Indonesia.

Penamaan Gunung Sunda sendiri diperkirakan sangat erat kaitannya dengan letusan
gunung tersebut yang selalu meniupkan abu putih yang menyelimuti badannya sendiri dan wilayah
sekitarnya. Kata Sunda diperkirakan berasal dari kata Sanskrit cuddha yang berarti putih, suci,
atau bersih. Sejak ribuan tahun lalau, Gunung Sunda dan tatar Sunda sering terlihat memutih
karena ditutupi abu yang ditebar Gunung Sunda. Secara tertulis, kata Sunda untuk pertama kalinya
dikenal pada Prasasti Tugu, sebagai nama ibu kota Kerajaan Tarumanegara yaitu Sundaputra, yang
didirikan oleh Raja Purnawarman pada 397 M. kata Sunda terdapat pula pada inskripsi batu di
Sanghyang Tapak yang bertanggalkan 1030 Masehi yaitu pada zaman pemerintahan Prabu Detya
Maharaja, raja ke-20 sesudah Raja Tarusbawa, pendiri kerajaan Tarumanegara.

Gunung api di tatar Sunda

Legenda Sangkuriang terinspirasi oleh bentuk Gunung Tangkubanparahu yang menyerupai


perahu menelungkup. Karena adanya perahu, sudah pasti alam pikiran orang akan mengembara
kepada danau besar tempat perahu itu berlayar. Dataran Bandung yang berbentuk cawan raksasa
menyuguhkan kemungkinan akan adanya danau pada zaman purba. Maka tidaklah mengherankan
kalau di kalangan penduduk tatar Sunda hidup cerita lisan tentang perahu dan telaga yang
dirangkai dalam suatu kisah cinta yang indah dan sarat dengan falsafah. Malahan falsafah itu
menukik sampai ke alam pikiran Yunani Kuno yang pernah hidup ribuan tahun yang lalu tentang
Minotaur dan Oedipus.

Pada awal abad ke-16, cerita lisan Sangkuriang diangkat menjadi cerita tulisan di atas daun
lontar oleh Bujangga Manik, seorang pangeran yang juga Pendeta Hindu, sepulang dari perjalanan
spiritual menziarahi tampat-tampat suci di Jawa dan Bali. Pada 1671, daun lontar yang berisi
cerita Sangkuriang tersebut dibawa orang Inggris ke negaranya dan sampai sekarang tersimpan di
perpustakaan Bodlein di Oxpord, Inggris.

Penemuan artefak atau bekas alat-alat yang terbuat dari batu di bukit sebelah utara Kota
Bandung memperkuat adanya Danau Bandung. Demikian juga endapan danau berupa batuan,
fosil, dan tulang belulang ikan. Danau Bandung diduga masih ada pada lebih kurang 3.000 tahun
yang lalu. Danau mulai mengering karena jebolnya batuan kapur yang menjadi pamatang Danau
Bandung di daerah Padalarang.

Berbeda dengan yang terjadi di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Kelud, gunung api di
tatar Sunda tampaknya berperan sebagai tempat untuk berlindung atau rumah untuk hidup dan
untuk kembali (ngahyang) seperti yang dilakukan Dayang Sumbi ketika dikejar Sangkuriang.
Dayang Sumbi ngahyang menjadi kembang jaksi. Ketika Kerajaan Pajajaran terdesak oleh
Kesultanan Banten dan Cirebon, tempat terakhir untuk bertahan adalah pegunungan seperti
Pegunungan Halimun yang terletak di bagian barat tatar Sunda (Banten). Dugaan ini diperkuat
pula dengan kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan yang berada di pegunungan, seperti Sumedang
Larang, Cianjur, Limbangan, dll., mampu bertahan selama beberapa puluh tahun sesudah Kerajaan
Pajajaran runtuh. Selain itu, gunung api telah ikut membentuk budaya Sunda di antaranya berupa
Sasakala Sangkuriang yang sarat dengan falsafah hidup.

Adjat Sudradjat: Guru Besar Fakultas Teknik geologi, UNPAD

Sumber: Pikiran rakyat, 15 November 2008

Jafar Panahi Bicara Film Iran, Hollywood, dan Indonesia


Oleh: Ekky Imanjaya

Pada Jiffest 2002, penulis berhasil mewawancarai Jafar Panahi, sutradara film asal Iran. Dari
pertemuan sekitar 30 menit itu, banyak yang dibincangkan, tapi saat itu tidak semuanya diracik
menjadi tulisan.

Berikut hasil perbincangan yang belum pernah dipublikasikan, antara penulis dengan pembuat
White Balloon (1995, meraih Camera d'Or, Cannes Film Festival 1996), The Mirror (1997, meraih
Golden Leopard Award di Locarno Film Festival dan Golden Tulip di Istanbul Film Festival), dan
The Circle (2000, menang Golden lion award, Venice Film Festival), Crimson Gold (2003,
mendapat Gold Hugo, Chicago Film Festival), dan yang terakhir Offside (2006, juara Silver Berlin
Bear, Berlin Film Festival) itu.

Bedanya film Iran dengan film komersil seperti Hollywood adalah, film Hollywood menyajikan
segalanya dari satu perspektif. Sehingga penonton pulang dengan perspektif yang sama.
Sedangkan film Iran membiarkan para penonton awam dengan penonton lain yang lebih mengerti
tentang film yang lebih akan kan berbeda penafsirannya.

Dalam The Circle, film saya, misalnya. Penonton tidak diberi kesempatan untuk diberitahu
mengapa wanita-wanita ini dipenjara. Semua tergantung penafsiran.Misal lainnya. Tokoh pertama
lebih dieksplorasi dan lebih panjang durasi ceritanya. Durasi ini akan menurun tokoh demi tokoh.
Tokoh terakhir adalah yang paling sedikit durasinya. Bagi saya, ini menandakan bahwa yang
pertama adalah wanita yang paling idealis, sedangkan yang terakhir adalah yang paling tidak
idealis. Film semacam ini adalah alternatif dari menu yang biasa mendominasi bioskop dunia.

Iran dan Indonesia banyak persamaan. Keduanya Negara berkembang dan mayoritas muslim.
Tetapi, mengapa film Iran lebih maju daripada Indonesia? Negeri Iran mempunya sejarah film
yang lebih lama dari Indonesia. 108 tahun yang lalu kita sudah mulai perfilman. Kita mempunyai
beberapa lembaga pendidikan perfilman. Dan setiap tahunnya ada setiap 60 film diproduksi.
Fasilitas perfilman juga tersedia, misalnya labolatoriom film.

Indonesia harus berusaha mengambangkan sendiri perfilmannya. Di antaranya harus


memperbanyak lembaga pendidikan perfilman. Negara Indonesia mestinya harus mendukung
perkembangan filmnya sendiri. Supaya generasi muda Indonesia mempunyai antusias yang tinggi
dalam melihat film dari negerinya sendiri. Mereka harus mendukung film Indonesia daripada film
luar seperti Hollywood.(eimanjaya@yahoo.com)

Link: http://layarperak.com/

Sastra dan Gaya Hidup Remaja Perkotaan

Sastra bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para

sastrawan dari generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanti sekalipun. Sastra bagi

remaja perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra seperti Horison, maupun

jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat cerpen, puisi, dan esai-esai serius. Sastra
remaja perkotaan adalah sastra pergaulan yang terekspresikan dalam medium-medium

baru yang melekat pada gaya hidup mereka. Sastra remaja perkotaan saat ini adalah

sesuatu yang sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah sastra sebelumnya. Sejarah

sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi versi para kritikus, teoritisi,

akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah sastra resmi ini sama halnya dengan

sejarah pada umumnya yang berpihak pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan

muatan subjektivitas yang juga kental di dalam historiografi-nya. Dalam konteks

remaja perkotaan secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu

bahkan tidak eksis. Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan riil remaja

perkotaan sekarang.

Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan

sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi

sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan tehnologi. Pretensi

menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar,

ide-ide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia.

Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal

keseharian yang remeh-temeh atau mengirim sms romantis pada pacarnya atau

menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah medium-medium

ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain para penulis generasi “tua”

tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk

melahirkan sebuah “magnum opus” dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa

sadar, gap yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik
berpuluh tahun silam tentang “ivory tower”-nya para sastrawan dan seniman secara

keseluruhan.

Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teoriteori”

tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah

persoalan lama yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah

sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi

Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah

relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang kebebasan yang luas untuk

menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak, masih banyak

sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang entah apa atau

entah yang mana untuk mengkategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”.

Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi

sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak

pernah ada nama Agni Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun

80-an yang kerap mengisi lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula

menjadi pemenang lomba cerpen Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada

nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang

penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia. Dan di

buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai,

dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan

puluhan bukunya telah diterbitkan.

Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa
tidak ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan

kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma yang tidak pernah

diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan

sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau mencairkan

stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama” dan yang

dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini kurang

membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal

sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya. Padahal

yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan

menumbuhkan iklim atau atmosphir yang subur bagi lahirnya generasi penulis sastra

yang baru, segar, dan sama sekali berbeda.

Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musik lah yang paling

popular sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti

dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit

spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional

terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil

menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film

dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan

kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan

melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik

adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular

dalam album mereka yang dirilis beberapa tahun lalu. Kesadaran Santana sebagai
grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan zaman, sungguh

sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita.

Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena

sastra seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan seharihari

dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan,

dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap

kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah orang berhak

menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap

seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti inilah yang akan

mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja perkotaan. (frg)

Bahasa Indonesia, Pentingkah?

Posted by Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti on September 28, 2011 in Artikel Bahasa, Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti · 0 Comments

Saat ini, kalau kita perhatikan pemimpin-pemimpin di Malaysia berpidato, sebagian besar gaya
bahasa mereka sudah hampir serupa dengan gaya bicara pemimpin-pemimpin di Indonesia.
Apalagi kalau kita ambil contoh tokoh Anwar Ibrahim. Gaya pidatonya sudah hampir tidak dapat
dibedakan dengan gaya orang Indonesia. Malah kalau saya perhatikan gaya pidato orang
Indonesia justru semakin buruk. Dalam pidato resmi banyak sekali diselipkan kosakata bahasa
Inggris atau istilah yang keinggris-inggrisan.

Fenomena lain yang juga menarik diamati adalah bahwa semakin ke timur maka bahasa Indonesia
penduduk di wilayah Indonesia timur seperti Maluku, Papua justru lebih baik dibandingkan
dengan penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah barat. Bahasa Indonesia mereka secara murni
diperoleh dari buku teks dan merupakan bahasa formal yang digunakan sehari hari.

Rakyat kita di daerah umumnya tidak mengerti pidato-pidato yang disampaikan oleh orang-orang
Jakarta. Misalnya saja untuk mengatakan bahwa argumen yang disampaikan oleh pak menteri
tidak mengandung nuansa yang aspiratif dan tidak solutif. Itu maksudnya apa? Belum tentu rakyat
kita mengerti. Namun itulah yang terjadi di Indonesia bagian barat terutama yang dekat dengan
Jakarta.
Apakah ini gejala ketidak perdulian bangsa kita pada bahasa Indonesia? Sebenarnya tidak juga.
Seperti halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahasa Indonesia juga sangat gencar didesak
oleh bahasa Inggris. Saya banyak belajar bahwa ketika di antara kita sendiri masih diliputi banyak
persoalan, tiba-tiba kita terjebak dengan keharusan menggunakan bahasa Indonesia dimana
banyak sekali istilah yang belum disamakan atau dipadankan. Generasi muda kita tumbuh di
bawah pengaruh bahasa Inggris yang kuat. Akibatnya, dalam dunia komunikasi yang serba cepat
ini, ketika mereka diharuskan berkomunikasi dalam konteks bahasa Indonesia, mereka sering
tidak ada waktu untuk berpikir karena tidak memiliki perbendaharaan bahasa Indonesia yang
cukup. Akhirnya keluarlah bahasa yang campur aduk. Contoh yang paling mudah adalah, banyak
sekali di antara kita yang tidak bisa membedakan antara isu dan problem. Padahal something that
is problematic doesn’t mean an issue.

Sebaiknya para generasi muda menyadari pentingnya menguasai bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Apalagi kalau mereka menjadi tokoh-tokoh politik, maka ketidak mampuan mereka
berbahasa Indonesia akan menimbulkan kesenjangan mental dan jarak dengan rakyat
Indonesia. Buat rakyat ini orang ngomong apa – di daerah mereka itu disebutnya bahasa orang
jakarta – karena mereka tidak mengerti. Sebabnya berhati-hatilah.

Sebagai pimpinan BTPN (Bank Tabungan Pensiunan Nasional) saya sering turun ke daerah-daerah
di Indonesia. Sering saya harus bicara dengan penduduk lokal yang nilai pinjamannya hanya 5 juta
rupiah dengan bahasa Indonesia tidak hanya yang baik dan benar tapi juga harus lebih pelan agar
mereka mengerti. Tidak mungkin saya menggunakan istilah collateral atau credit
worthiness dengan mereka.

Saya kaget sekali ketika saya membantu gubernur Aceh, di Aceh Utara ternyata bahasa Indonesia
saya tidak dimengerti oleh rakyat di sana. Saya harus membawa putera-putera Aceh untuk
membantu saya menterjemahkan apa yang saya ingin sampaikan. Bahasa Indonesia yg kita bawa
dari Jakarta ternyata sudah melangkah terlalu jauh. Jadi kalo mereka-mereka yang hidup di kota
tidak menyadari adanya kesenjangan ini, maka mereka akan mengalami kesulitan berkomunikasi
dengan rakyat di daerah.

Sebagai ekonom saya menjadi obyek pengamatan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Mereka heran, mengapa Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dibawa-bawa ke konvensi melayu di Kuala
Lumpur , atau bicara soal peradaban melayu di Riau. Akhirnya mereka menyadari karena saya
mengajar mata kuliah perdagangam ekonomi, saya sangat memahami peranan bahasa indonesia
sebagai lingua franca. Bahasa itu tidak statis, terus berubah saat dunia berubah. Saya kewalahan
ketika saya harus masuk ke pembahasan tingkat falsafah ekonomi di S3, yaitu Landasan Filsafat
Pemikiran Ekomomi, apalagi Metode Ekonometri, karena faktor matematika yang lebih abstrak,
juga Faktor Analysis.

Contohnya, bagaimana kita menterjemahkan ”A correlation does not necessarily to causation“?


Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia, atau Bahasa Inggris

Posted by Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti on September 26, 2011 in Artikel Bahasa, Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti · 0 Comments

Ketika saya masih menjadi mahasiswa di University of California, Berkeley, di Amerika Serikat,
saya oleh seorang antropolog saya diminta untuk bercerita tentang jenis permainan anak-anak di
Banten, tempat kelahiran saya. Ketika saya menyanyikan lagu daerah yang digunakan dalam
permainan tersebut, ada bagian yang kemudian mampu membuat kita trans atau kesurupan.
Permainan tersebut bercerita tentang kamanting, seekor lebah kecil yg berpura pura mengejar
teman teman lebah lainnya. Agar kita betul betul mampu berperan seperti lebah itu, maka kita
dibuat trans atau kesurupan. Ketika antropolog tersebut meminta saya menterjemahkan arti lagu
itu, saya sampaikan pada beliau bahwa jangankan ibu saya, nenek saya pun belum tentu tahu,
apalagi saya. Sampai sekarang lagu itu masih ada, tapi tidak ada yang tahu apa artinya dan kenapa
mampu menimbulkan trans. Punahnya bahasa daerah Banten membawa serta kepunahan budaya
yang khas daerah tersebut.

Demikian juga Ninik Towok di Jawa atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang dipakai untuk
upacara adat, belum tentu generasi sekarang mengerti maknanya.

Di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa dimana tiap kelompok etnik
memiliki beberapa bahasa daerah. Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa komunikasi antar suku, termasuk bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak
bangsa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia juga
bahasa yang resmi digunakan oleh pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang
sampai Merauke seluruh rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang
mempersatukan Indonesia.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran bahasa Indonesia ikut mendesak punahnya bahasa
daerah. Di Indonesia ada 746 bahasa ibu, tapi dari tahun ke tahun jumlahnya berkurang. Di Papua,
dulu ada 273 bahasa daerah. Kini menjadi 271 bahasa. Di Sumatra, jumlah bahasa daerah
berkurang, dari 52 bahasa menjadi 49 bahasa. Sementara di Sulawesi, bahasa daerah berkurang
dari 116 bahasa menjadi 114 bahasa. Menurut hasil penelitian UNESCO, ke punahan bahasa ibu
terbanyak terjadi di Indonesia. Punahnya bahasa ibu bisa menyebabkan punahnya budaya karena
setiap bahasa memiliki istilah yang erat dengan tradisi dan budaya lokal.

Banyak istilah daerah ini sangat unik yang belum tentu dapat diterjemahkan begitu saja ke bahasa
daerah lain atau ke bahasa Indonesia apalagi ke bahasa Inggris. Pengetahuan lokal tentang flora,
fauna, alam sekitar, tradisi, seni dan budaya setempat banyak terekam dalam istilah atau bahasa
daerah. Jika bahasa daerah punah maka kita akan kehilangan local wisdom dan sumber informasi
lokal yang sangat penting.

Ketika saya mengamati peta mulai dari Hawaii, New Zealand hingga Indonesia Timur, saya
berpikir, sebetulnya apakah yang menyatukan ras melayu polynesia di seluruh pacific. Ternyata
kata ‘wa’. Di wilayah pacific ini banyak sekali tempat yang memiliki nama dengan awalan wa.
Contohnya, Waingapu, Wakatobi, Wamena, Wanaka, Vanuatu, Wanganui, Waikiki, Wainaku dan
lain=lain. Kata ‘wa’ ini pasti ada artinya yang berkaitan dengan wilayah polynesia.

Jadi keberadaan bahasa daerah selayaknya disejajarkan kepentingannya dengan bahasa Indonesia.
Artinya seorang putera daerah Papua tidak hanya harus menguasai bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi dengan suku bangsa lain tapi juga bahasa daerahnya. Karena kelangsungan bahasa
daerah ada di tangan putera-putera daerah. Dan yang terakhir adalah juga menguasai bahasa
Inggris agar mampu melakukan diplomasi internasional.

Cara Berpikir Masyarakat Mempengaruhi Perluasan Kosakata Bahasa Indonesia

Posted by Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti on September 26, 2011 in Artikel Bahasa, Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti · 0 Comments

Dalam upaya memperluas kosakata bahasa Indonesia, kita juga harus meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk terus mengembangkan cara berpikir. Karena setiap kali kita masuk ke dalam
cara berpikir yang terlalu falsafah kita mendapatkan kesulitan yang luar biasa dalam
pengungkapan.

Saya merasakan kesulitan tersebut di program S3. Bahasa Indonesia belum mampu menjabarkan
soal-soal yang sangat rumit pada tingkat calon doktor yang memerlukan pendekatan falsafah.
Faktor ini merupakan salah satu penyebab yang mengakibatkan resiko ketinggalan dari segala
perdebatan yang terjadi di dunia. Kita semua tahu bahwa di abad 21 ini yang paling banyak
digunakan adalah bahasa Inggris. Ini sebetulnya merupakan ‘battle of ideas‘ karena yang diuji di
dunia saat ini bukan hanya pengetahuan tapi juga kreatifitas. Bukan hanya kompetensi tapi juga
reputasi.

Kemiskinan kosakata ini juga cukup merepotkan ketika saya harus membicarakan reformasi PBB.
Untuk meliput masalah diplomasi internasional banyak istilah atau ungkapan yang belum ada
dalam bahasa Indonesia. Jadi tidak bisa disalahkan juga kalau kita terpaksa menggunakan istilah
bahasa Inggris. Bahasa-bahasa diplomasi kita tidak cukup untuk menerangkan apa yang kita
maksud.
Jaman pak Harto pernah didirikan sebuah lembaga kerja sama untuk menyamakan peristilahan di
berbagai bidang ilmu, yang tujuannya untuk memungkinkan pencetakan buku di kawasan negara
berbahasa Melayu bisa dilakukan dalam jumlah besar. Hal itu hanya mungkin jika peristilahan di
negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan Indonesia bisa
disamakan.

Contoh yang paling mudah adalah istilah bisnis depreciation. Di Indonesia istilah tersebut
diterajang saja dengan istilah depresiasi. Teman saya dari Malaysia tertawa ketika mengetahui
bahwa depreciation juga diterjemahkan sebagai penyusutan. Mereka bilang yang menyusut itu es.
Kalau mesin itu tidak menyusut, karena yang menyusut adalah nilainya. Jadi menurut rekan saya
itu terjemahan dari depreciation harusnya susut nilai. Jadi kalau accelerated depreciation dengan
sendirinya berarti susut nilai dipercepat.

Contoh yang cukup sulit adalah pemahaman marginal. Di Malaysia diterjemahkan sut. Argumen
saya konsep marginal itu secara matematis merupakan sesuatu yang sangat maju di luar ilmu
berhitung biasa. Istilah itu saya ragukan, dan karena saya tidak yakin makan dalam bahasa
Indonesia saya menggunakan istilah marjinal bukan sut. Hal-hal seperti inilah yang perlu kita
benahi.

Ketidak sepahaman ini tidak hanya terjadi antar negara bahkan di antara kita sendiri, antar suku.
Contohnya istilah saling bantah. Dalam bahasa Bugis itu disebut baku bantah, dimana penggunaan
kata baku juga dipakai untuk baku hantam, baku pukul, baku bicara. Sementara sebagian dari kita
menggunakan istilah berbalas.

Selayaknya Dewan Bahasa tiap negara berbahasa melayu menciptakan konsensus dalam hal
penyamaan istilah di berbagai disiplin ilmu yang kemudian diundangkan agar menjadi istilah
resmi yang digunakan oleh negara-negara yang berkepentingan.

Bahasa Indonesia Bisa Menjadi Bahasa Internasional

Posted by Melody Violine on July 29, 2009 in Artikel Bahasa · 0 Comments

Bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu yang mempunyai sejarah panjang sebagai lingua
franca atau bahasa penghubung. Lingua franca digunakan ketika dua orang atau lebih yang
berbahasa ibu berbeda berusaha berkomunikasi. Mereka menggunakan satu bahasa yang bagi
mereka semua merupakan bahasa asing. Pada masa lalu, hal ini sering terjadi ketika manusia
merantau ke negeri asing untuk berdagang, termasuk di perairan nusantara. Pada masa kini, bahasa
Indonesia juga biasa menjadi lingua franca, misalnya ketika seseorang dari Sabang berkomunikasi
dengan seseorang dari Merauke. Mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai jalan tengah.

Bahasa Inggris telah diakui oleh dunia sebagai bahasa internasional. Siapa pun yang ingin hidup
global harus menguasai bahasa Inggris. Selain bahasa Inggris, PBB memang mengakui beberapa
bahasa lain sebagai bahasa pengantar, yaitu bahasa Prancis, Rusia, China (Mandarin). Mereka
dipilih karena digunakan oleh banyak manusia dan negaranya duduk di dewan keamanan.

Dari segi jumlah penutur, bahasa Indonesia juga unggul. Memang sulit untuk menandingi jumlah
penutur bahasa Mandarin, tapi jumlah penutur bahasa Indonesia tidak kalah dari Rusia dan
Prancis. Masalahnya, bahasa Rusia dan Prancis yang digunakan di negara lain menggunakan
dialek yang berbeda. Tidak jarang bahkan bahasa Prancis harus bersandingan dengan bahasa lain
sebagai bahasa nasional di negara tersebut, misalnya Kanada (bahasa Inggris dan Prancis) dan
Belgia (bahasa Jerman dan Prancis).

Bahasa Indonesia menguasai dan dikuasai oleh lebih dari 200 juta penutur yang dipayungi negara
yang sama. Televisi menggugah para penutur untuk menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta
(bukan Betawi). Jadi, pengaruh bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia semakin kecil. Bahasa
Indonesia juga dapat digunakan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura,
dan Brunei Darussalam. Apabila seorang turis sudah menguasai bahasa Indonesia, dia tidak perlu
repot-repot belajar bahasa Malaysia lagi.
Faktor lainnya adalah tingkat kesulitan pemerolehan bahasa. Ketiga bahasa tersebut lebih sulit
dipelajari daripada bahasa Inggris. Bahasa Prancis dan Rusia tidak hanya menggunakan kala
(tenses) seperti bahasa Inggris, tetapi juga konjugasi (perubahan kata kerja berdasarkan kala) dan
membedakan jenis kelamin kata benda (ini juga mempengaruhi kata sifat). Bahasa Mandarin
bahkan mengenal lima nada suara yang membedakan arti dan tidak menggunakan huruf Latin.

Di sisi lain, bahasa Indonesia sangat mudah dikuasai, terutama tingkat dasar. Turis asing yang
berwisata di Indonesia dapat berkomunikasi dengan kalimat-kalimat sederhana seperti “Saya
lapar” atau “Di mana saya bisa beli ini?” dalam tiga hari. Kemampuan yang sama dalam bahasa
China butuh waktu satu bulan atau lebih.

Bahasa Indonesia tidak mengenal kala, konjugasi, maupun jenis kelamin kata benda. Lafal bahasa
Indonesia juga tidak sulit karena lebih tipis atau ringan. Hanya ada sedikit bunyi yang sulit,
misalnya [ny] dan [ng]. Kalaupun orang asing bermasalah ketika mengucapkannya, orang
Indonesia masih memahami maksudnya.
Bagaimana dengan bahasa-bahasa lainnya? Bahasa Korea dan Jepang mempunyai berbagai
macam akhiran yang melekat pada kata kerja, tergantung situasi percakapan dan lawan bicaranya.
Bahasa Arab mempunyai 10 tingkat intensitas kata kerja. Semua ini tidak ada di dalam bahasa
Indonesia.
Bahasa Indonesia tingkat menengah dan lanjut memang lebih susah. Penggunaan imbuhan di
dalam bahasa Indonesia bukanlah sesuatu yang sederhana. Namun, kehadiran seorang guru yang
ahli dan sistematis dapat menanggulangi masalah ini. Kecenderungan bahasa Indonesia menyerap
kosakata bahasa Inggris juga memudahkan orang asing untuk menambah kosakatanya.
Kecenderungan seperti ini bukanlah sesuatu yang perlu dianggap sebagai kelemahan bahasa
Indonesia karena bahasa Inggris pun banyak menyerap kosakata bahasa Latin dan Yunani.

Berdasarkan argumen-argumen di atas, saya rasa bahasa Indonesia pantas menjadi bahasa
internasional, terutama di PBB. Tentu saja upaya yang harus dilakukan tidak hanya dari segi sosial
dan budaya, tetapi juga ekonomi dan politik. Apabila posisi Indonesia semakin kuat di mata dunia,
semakin banyak orang yang merasa perlu menguasai bahasa Indonesia. Dengan demikian,
terwujudnya bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional bukan mimpi belaka.

Memasyarakatkan Bahasa Indonesia melalui LSM

. Posted by Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti on September 26, 2011 in Artikel Bahasa, Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti · 0 Comments

Dunia abad 21 ini sebetulnya hanya menggunakan tiga landasan dalam berkomunikasi:

1. Bahasa Inggris

2. Komunikasi digital: internet, multi media atau ICT (Information Communication


Technology)

3. Hampir semua bidang atau disiplin ilmu menuntut metode analisa yang rasional. Bukan
berarti harus secara matematis saja tapi juga harus runtut dan sistematis.

Tiga landasan komunikasi di ataslah yang menyebabkan orang India memiliki bahasa Inggris versi
India, Malaysia dengan bahasa Inggris versi Malaysia demikian juga Singapura termasuk
Perancis. Di Perancis bahkan kini ada satu sikap yang menolak keras the Americanization of
Marian. Marian, adalah seorang perempuan muda yang mengibarkan bendera pada saat revolusi
Perancis. Nama Marian kini menjadi lambang nasionalisme Perancis. Perancis berjuang mati-
matian agar kosakata bahasa Inggris tidak menyerbu masuk ke dalam bahasa Perancis.
ICT (Information Communication Technology) tidak bisa dipungkiri didominasi oleh apa yang
terjadi di negara-negara barat terutama di Silicon Valley di Amerika Serikat yang nota bene
berbahasa Inggris. Mulai dari perangkat keras, perangkat lunak, aplikasi hingga ke sistem. Cara
berpikir analitis juga ikut terpengaruh dimana pengaruh ICT (Information Communication
Technology) memaksa kita untuk berpikir lebih cepat.

Tuntutan berpikir cepat ini bertentangan dengan budaya Indonesia dimana seringkali kita diam
atau tersenyum sebagai pernyataan sikap kita. Sikap diam dan senyum ini jelas tidak tertangkap
oleh ICT (Information Communication Technology) yang semuanya harus serba eksplisit. Hal-hal
semacam inilah yang membuat Dewan Bahasa di setiap negara kewalahan.

Untuk meminimalkan tiga gelombang pasang ini terhadap bahasa Indonesia maka harus ada
kegiatan yang secara terus menerus dilakukan melalui kelompok-kelompok besar seperti birokrasi,
militer, partai politik dan dunia akademik. Namun kelompok yang lebih besar lagi yang menurut
saya paling efektif dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia adalah ribuan LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) yang tersebar di Indonesia. Ribuan LSM inilah yang sekarang merasuki
berbagai jenis permasalahan di sekitar kita yang tidak sempat ditangani pemerintah. Mulai dari
yang perduli soal lingkungan hingga hanya satu spesies hewan. Kalau kita lihat dari rentangan
LSM di dunia, maka jelas sekali keperluan bahasa itu bukan main. LSM ini jelas harus
diikutsertakan dalam pengembangan dan pemasyarakatan bahasa. Inilah yang belum dilakukan
oleh Dewan Bahasa.

ICT (Information Communication Technology) bisa dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi
antar LSM. Misalnya pada saat bicara masalah global warming. Apa betul
terjemahannya pemanasan bumi? Istilah lain misalnya globalization. Apa tepat menerjemahkannya
menjadi globalisasi? Karena rakyat kita belum tentu mengerti istilah globalisasi. Secara gramatika
global itu dari globe dan -sasi itu dari -zation. Mengapa bukan penduniaan?

Yang kini ada di garis depan pembangunan bangsa adalah generasi muda yang terlibat dalam
ribuan LSM karena di masa depan tidak mungkin pemerintah mampu menampung generasi muda.
Jadi, jika Anda ingin menyelamatkan khasanah nasional atau national heritage seperti candi-candi,
maka Anda akan dihadapi pada kenyataan dimana banyak sekali istilah-istilah arkeologi yang
belum memiliki padanan dalam bahasa Indonesia sehingga masih menggunakan istilah-istilah
asing hingga sekarang. Ditambah lagi dengan Google yang menguasai pemetaan dunia, dimana
jika seseorang ingin mencari lokasi Borobudur maka setiap peristilahan yang muncul di peta
Google semuanya dalam bahasa Inggris. Tentunya pertanyaan berikutnya adalah apakah semuanya
harus diIndonesiakan? Kita jelas menghadapi dilema yang tidak bisa dihindari.
Di bidang ilmu kedokteran kini ada istilah rekayasa DNA atau GMO (genetically modified
organism) yang dikritik habis oleh LSM karena menyebabkan timbulnya makanan baru yang
disebut Frankefood yaitu makanan yang serupa Frankenstein karena mencampur DNA tumbuhan
hewan dan manusia. Bagaimana menterjemahkan persoalan di atas ke dalam bahasa Indonesia
yang mampu dimengerti oleh rakyat?

Jadi dalam pembentukan istilah atau mencari padanan kata istilah asing di dalam bahasa
Indonesia, anggota Dewan Bahasa sebaiknya tidak hanya terdiri dari ahli bahasa (linguist) tapi
juga para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang mampu bekerja sama dengan Pusat Bahasa.
Misalnya orang yang tahu betul masalah teaterlah yang bisa bicara mengenai peristilahan di dalam
dunia teater.

Ketika saya ditahan bersama almarhum WS Rendra, saya pernah ditantang untuk menterjemahkan
puisi-puisinya ke dalam bahasa Inggris. Sebuah tantangan yang menarik karena menerjemahkan
puisi tidak bisa menerjemahkannya begitu saja tanpa memahami arti dari puisi itu sendiri

Hana Fauziah di 03.42

Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beranda

Lihat versi web

MENGENAI SAYA

Hana FauziahSMA 1 PandeglangLihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai