Selama ini, entah karena dinafikan atau justru karena menafikan fungsinya sendiri,
kaum pesantren seolah tersisih dari pergulatan sastra yang penuh gerak, dinamika,
juga anomali. Bahkan, di tengah-tengah gelanggang sastra lahir mereka yang
menganggap bahwa kaum santrilah yang mematikan sastra dari budaya bangsa. Di
setiap pesantren, kedangkalan pandangan membuat mereka menarik kesimpulan
picik
tradisibahwa
hafalansantri
yang itu hanya percaya
sebenarnyalah pada dogma
merupakan tradisidan
Arabjumud. Mereka melihat
yang disinkretisasikan
sebagai bagian dari budaya belajarnya, telah membuat kaum bersarung ini
kehilangan daya khayal dari dalam dirinya. Dengan kapasitasnya sebagai sosok
yang paling berpengaruh bagi transfusi budaya bangsa ini, dengan seenaknya
ditarik hipotesis bahwa pesantrenlah musuh pembudayaan sastra yang sebenarnya.
Kaum bersarung adalah kaum intelektualis yang memarjinalkan sisi imaji dari
alam pikirnya sendiri. Pesantren adalah tempat yang pas buat mematikan khayal.
Pesantren adalah institut tempat para kiai dengan dibantu para ustadnya menempa
kepala para santri dengan palu godam paksa.
b. Contoh esai
Perda Kesenian dan Rumah Hantu
misalnya, soal siapa yang paling berhak mengusulkan dan kemudian memasukkan
pasal-pasal ke dalam
dalam rancangan Perda
Perda itu. Sejauhm
Sejauhmana
ana keterlibatan
seniman di dalam proses pembuatan Perda itu, dan seterusnya. Itu hanya salah satu
contoh persoalan yang potensial muncul pada proses pembuatan Perda itu, belum
sampai pada tataran pelaksanaannya. Hal ini bukannya menganggap bahwa adanya
peraturan itu tidak baik, terutama menyangkut Perda Kesenian di Surabaya.
Menyangkut sarana dan prasarana, misalnya, bolehlah dianggap tidak ada
persoalan yang signifikan di Surabaya. Akan tetapi, bagaimana halnya jika
menyangkut mental dan visi para seniman dan birokrat kesenian sendiri?
Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan. Sayangnya,
untuk kita, bangsa Indonesia, sastra dan kesenian nyatanya kian
terpinggirkan dari kehidupan berbangsa. Padahal, kita adalah bangsa yang
berbudaya.
berbudaya.
Namun, entah karena apa, peristiwa ini tidak diekspos oleh media massa,
koran lokal sekalipun. Padahal, dalam tawuran itu dua orang siswa harus
dirawat intensif di RSUD Pamekasan. Tentu saja, terjadinya tawuran
tersebut, kesalahan tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada siswa.
Sekolah pun mestinya memiliki tanggung jawab penuh untuk merefleksi diri
mengapa tawuran antarpelajar sering terjadi akhir-akhir ini. Sebab, ada
kemungkinan kesalahan dalam mendidik dan memberikan metode
pendidikan. Dan salah satunya jelas karena kurangnya pengayaan terhadap
sastra.
sastra.
Sastra adalah vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap
hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan, akan mampu
Tentu akan lain ceritanya jika sekolah lebih mengembangkan sastra kepada
siswasiswinya. Ambil contoh kecil, misalnya pengembangan berpuisi.
Jiwa kemanusiaan semakin tebal, maka jiwa-jiwa kekerasan yang ada dalam
diri manusia akan tenggelam dengan sendirinya. Sebab, jarang sekali puisi
dan kekerasan tampil dalam tubuh kalimat
yang sama.
sama.
Maka, tidak bisa lagi kita mengelak dengan mengatakan bahwa sastra
hanyalah permainan kata-kata. Kata-kata yang dibolak-balik, diakrobatkan,
diliuk-liukan di udara imajinasi agar terkesan wah, indah, dan bersahaja
imajinasinya sebagai
sebagai
penunjang pengetahuan yang lainnya, diharapkan juga nantinya mampu
melahirkan para budayawan dan sastrawan terkenal sebagai pengganti
”pendekar” sastra pilih tanding yang tidak produktif lagi karena usia dan
”pendekar”
satu per satu telah meninggalkan kita.
Sebut saja Hamid Jabbar, Mochtar Lubis, dan Pramudya Ananta Toer.
Caranya adalah sekolah harus membuka lowongan pekerjaan untuk
seniman-seniman profesional yang cenderung urakan di mata masyarakat
untuk menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengganti dari
guru bahasa Indonesia lulusan universitas yang selalu terikat dengan
kurikulum sehingga kebanyakan dari mereka tidak mampu mengembangkan
minat sastra pada siswa-siswinya.
Bisa juga dengan memberikan waktu khusus untuk para seniman, sastrawan
muda berbakat untuk memberikan pelajaran sastra.
sastra.
Nah, kalau tidak segera digagas mulai sekarang, kapan lagi kita akan
mampu melestarikan kesastraan kita yang besar dan unik itu, serta siapa
yang akan menggantikan generasi tua?
tua?
Diterbitkannya kumpulan cerpen Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana
Rosa (1997) menandai kebangkitan kembali fiksi Islam Indonesia, setelah
beberapa dekade terakhir meredup. Sejarah mencatat fiksi Islam Indonesia
telah berkembang sejak abad ke-18, antara lain, dengan munculnya
Tajussalatin karya Hamzah Fansuri dan Bustanussalatin karya Nuruddin ar-
Raniri.
Raniri.
Sejak tahun 1997 karya fiksi Islam kembali membumi. Sederetan penulis dan
karyanya berhasil mendulang prestasi besar. Di antara penulis tersebut
adalah Fahri Asiza, Gola Gong, Jazimah al Muhyi, dan Asma Nadia. Salah
satu karya Asma Nadia, penulis
p enulis fiksi Islam yang pernah mer
meraih
aih penghargaan
Banyak pesan moral dan nilai religius yang diangkat dalam kumpulan
cerpen ini. Termasuk dalam Cerita Tiga Hari yang mengisahkan
kebahagiaan satu keluarga. Cerita yang dikisahkan hanya tiga hari. Hari
pertama, menceritakan saat suami berangkat kerja.
kerja.
Kepergiannya diiringi tatap istri dan kedua anaknya penuh bahagia. Hari
kedua, menceritakan saat suami pulang kerja sampai makan malam. Hal
Terlepas dari misi agung yang diemban pengarang, apabila kita membaca
dengan memposisikan diri sebagai pembaca perempuan (reading as a
women), sebagaimana yang dinyatakan Jonathan Culler, yaitu adanya
kesadaran bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang banyak berpengaruh
terhadap kehidupan, budaya, termasuk sastra, kita akan menemukan adanya
gender inekualities atau ketidakadilan gender dalam cerpen ini. ini.
Istri dan dua anaknya mengantar sampai ke pintu. Wajah-wajah cerah itu
yang setiap hari melepasnya pergi.... Istrinya menyuguhkan segelas teh
manis hangat. Itulah petikan yang menunjukkan adanya peran domestik
tokoh istri. Ia beraktivitas hanya dalam lingkungan rumah tangga,
menangani masalah dapur, merawat dan membesarkan anak, dan mengurus
rumah. Berbeda dengan tokoh suami, ia beraktivitas di wilayah publik,
bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Perhatikan kutipan
berikut.
berikut.
Udara Jakarta yang panas, seharian bekerja mengitari ibu kota berhadapan
dengan rupa-rupa manusia. Kehadiran tokoh istri tidak lebih hanya menjadi
pelayan dan pelengkap kehidupan tokoh suami.
Selain peran domestik tersebut, perempuan dalam cerpen ini hanya dijadikan
sebagai objek dalam percintaan. Lelaki yang dipanggil sayang itu tersenyum.
Mengecup kening, dan dua pipi istrinya .... Lalu sun sayang di kening, dan
pelukan istri yang menyambutnya.
Jakarta panas, tapi pikiran tentang istri dan kedua anaknya yang menanti
penuh cinta, menyejukkan perasaan. Kutipan tersebut menunjukkan adanya
pencitraan tokoh perempuan dengan stereotipe lembut, sopan,
menyenangkan, penuh kasih sayang, dan taat pada suami.
suami.
Tokoh perempuan juga dicitrakan sebagai makhluk yang lemah, perasa, dan
patut untuk dikasihi. Citra tersebut melekat pada tokoh perempuan cantik
yang menumpang mobil tokoh suami: Wajahnya yang basah dengan air
mata, suara isak tertahan di balik sapu tangan yang menutupi sebagian
rupanya. Betul-betul pemandangan yang mengibakan.
mengibakan.
Selain lemah dan patut dikasihani, ia pun dicitrakan dengan karakter jalang,
penggoda, dan amoral. Terlihat jelas kketika
etika ia merayu tokoh suami: Tunggu
dulu. Kenapa buru-buru. Mas gak suka dengan saya? Adanya bias gender
dalam penokohan dapat dilihat dengan terang.
Manusia yang paling baik adalah yang paling besar ketaatannya kepada-
Nya. Bahkan, kalau kita memutar jarum seja
sejarah
rah sampai kehidupan abad ke-
7, justru emansipasi perempuan dalam Islam sudah terjadi pada masa itu.
Ideologi Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah mampu
mendewakan laki-laki.
laki-laki.
Menurut saya, paling tidak ada dua hal yang menyebabkan terjadinya gender
bias dalam cerpen Cerita Tiga Hari itu. Pertama, karena Nadia terlalu
terpaku pada pesan moral dan nilai-nilai religius yang akan disampaikan,
sehingga karyanya terkesan kaku. Hal senada diungkapkan Rahmadianti
Menurutnya, karya fiksi Islam yang sekarang sedang membumi terlalu
mengedepankan misi dakwah, sehingga aspek estetikanya kurang tergarap
dengan maksimal. Kedua, adanya miss-interpretasi terhadap sumber-sumber
ajaran Islam, yaitu Alquran dan Hadis, yang dijadikan sebagai landasan
moral dan etis dalam menulis sebuah karya.
Kalau kita tidak memahami konteks sosial politik ketika kedua sumber hukum
tersebut diturunkan, maka kita tidak akan mampu menemukan interpretasi
yang tepat terhadap ayat dan hadis tersebut. Ketika penafsiran
pen afsiran kurang tepat,
maka dalam realisasinya pun akan terjadi penyimpangan.
penyimpangan.
cerpen Cerita Tiga Hari, sebuah karya fiksi Islam tidak cukup hanya memuat
pesan moral yang baik dan nilai-nilai religius yang agung saja. Karena,
ternyata kehadirannya kian mengukuhkan bangunan ideologi patriarki yang
selama ini menindas kaum perempuan.
perempuan.