Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN TERHADAP PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN

SASTRA INDONESIA PADA PENDIDIKAN FORMAL

Oleh:
Mirnawati
SMA Yapis Manokwari Papua Barat

Abstrak
Pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat
dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pembelajaran sastra memang
pembelajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, siswa,
dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti
kongkret adanya sesuatu yang tidak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga
pendidikan formal. Permasalahan itu muncul disebabkan beberapa faktor,
rendahnya mutu atau kualitas pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah
selama ini disebabkan oleh banyak hal, mulai dari kurikulum, guru, siswa, sarana
prasarana, rendahnya pemahaman konsep tentang sastra. Berbagai solusi yang
dapat ditempuh untuk mengatasi hal tersebut di antaranya jadikan sekolah sebagai
lahan sastra, pembelajaran yang Inovatif, membelajarkan sastra dengan
pendekatan pragmatik sastra, bergerak dari praktik bersastra ke teori bersastra,
peran lembaga penyedia guru dan pemberdayaan berkelanjutan, sistem evalauasi
khusus sastra, penerapan dalam konteks di sekolah.

Kata kunci: pembelajaran, sastra, problematika, solusi

PENDAHULUAN
Sastra pada hakikatnya merupakan “prasasti” kehidupan; tempat
proyeksikannya berbagai fenomena hidup dan kehidupan hingga ke ceruk-ceruk
batin manusia. Sastra bisa menjadi bukti sejarah yang otentik tentang peradaban
manusia dari zaman ke zaman. Hal ini bisa terjadi lantaran sastra tak pernah
dikemas dalam situasi yang kosong. Artinya, teks sastra tak pernah terlepas dari
konteks sosial-budaya masyarakatnya. Dengan kata lain, teks sastra akan
mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai
sebuah produk budaya, dengan sendirinya teks sastra tak hanya merekam
kejadian-kejadian faktual pada kurun waktu tertentu, tetapi juga menafsirkan dan
mengolahnya hingga menjadi adonan teks yang indah, subtil, dan eksotis.
Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses
kesejagatan, sastra menjadi makin penting dan urgen untuk disosialisasikan dan
“dibumikan” melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang
cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Hal ini
dijelaskan pula oleh Semi dalam Taufik Ampera (2010:10) bahwa sastra lahir
oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia,

52
53

kemanusiaan dan semesta. Sastra merupakan karya kreatif yang mengungkapkan


masalah hidup.
Menurut Taufik Ampera (2010:61) karya sastra menawarkan “sesuatu”
yang dapat memperkaya wawasan dan memperhalus perasaan. Dengan kata lain ,
karya sastra bermanfaat untuk kehidupan. Lain halnya menurut Horace dalam Esti
Ismawati (2013: 3) sastra itu dulce et utile indah dan bermakna. Sastra sebagai
sesuatu yang dipelajari atau sebagai pengalaman kemanusiaan dapat berfungsi
sebagai bahan renungan dan refleksi kehidupan karena bersifat koekstensi dalam
kehidupan. Namun sangat disayangkan harapan yang dapat diperoleh dari sastra
tidaklah sesuai yang diimpikan, terutama dalam pendidikan formal.
Pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal pengajaran sastra
hingga saat ini dianggap masih belum menyentuh substansi serta mampu
mengusung misi utamanya, yakni memberikan pengalaman bersastra (apresiasi
dan ekspresi) kepada para peserta didik.
Menurut Rudy dalam Aminudin (1990:30) sastra telah diperlakukan secara
“kurang adil” di seluruh jenjang pendidikan. Kenyataan ini terjadi karena
munculnya asumsi bahwa sastra hanya merupakan pelajaran untuk kesenangan ,
bahwa sastra tidak berpotensi mengembangkan kemampuan berbahasa siswa.
Sikap yang kurang apresiatif muncul dari siswa dan guru, sehingga pengajaran
sastra terabaikan. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran
sastra hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan
cenderung kurang mendapat tempat dihati siswa. Pengajaran sastra diberbagai
jenjang pendidikan selama ini dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh
para guru, apalagi para guru yang pengetahuan dan apresiasi (dan budayanya)
rendah.
Berbagai keluhan yang dikemukakan di atas, tampaknya ada beberapa hal
yang tampaknya perlu dicermati ulang dalam pembelajaran sastra di sekolah
dengan menggunakan acuan kurikulum yang diberlakukan saat ini.
Dalam pembahasan makalah ini akan mendeskripsikan problematika
pembelajaran sastra pada pendidikan formal dan mendeskripsikan solusi yang
dapat dilakukan untuk mengatasi problem pembelajaran sastra pada pendidikan
formal.

URAIAN DAN PEMBAHASAN


Problematika Pembelajaran Sastra Indonesia pada Pendidikan Formal
Problematika yang terjadi dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah,
antara lain:
(1) Pengajaran sastra di sekolah tidak berdiri sendiri (otonom) melainkan
hanya menjadi bagian dari mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Kurikulum 1984 pernah mencantumkan unsur apresiasi sastra Indonesia
sebagai salah satu pokok bahasan di samping pokok lainnya dalam mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Selanjutnya kurikulum 1994, unsur
54

(apresiasi) sastra dipadukan ke dalam pokok bahasan lainnya sehingga teks


sastra tidak hanya dipakai untuk pembelajaran tata bahasa, pemekaran
kosa kata, atau kegiatan berbahasa yang lain.
(2) Proses pembelajaran sastra di sekolah dinilai belum optimal; berlangsung
seadanya, kaku, dan membosankan, sehingga tidak mampu
membangkitkan minat dan gairah siswa untuk belajar sastra secara total
dan intens. Akibatnya, apresiasi sastra siswa tidak bisa tumbuh dan
berkembang secara maksimal.
(3) Buku-buku sastra yang disiapkan di perpustakaan sekolah dibiarkan tidak
tersentuh. Kurang membaca buku sastra akan berdampak pada kepekaan
moral dan nurani yang rendah menipis. Tidaklah berlebihan kalau Danarto
pernah berkomentar bahwa salah satu penyebab maraknya tawuran
antarpelajar ialah karena siswa tidak pernah diajari bersastra dengan baik
dan mengakrabi pelbagai buku sastra.
(4) Kondisi siswa dan buku-buku sastra juga dibicarakan dalam kaitannya
dengan masalah pengajaran sastra. Berbagai survei melaporkan tentang
rendahnya minat baca termasuk membaca karya sastra pada siswa dengan
berbagai alasan. Minimnya jumlah buku sastra di banyak sekolah turut
menciptakan kondisi yang kurang menguntungkan. Selain itu, kini
bermunculan buku-buku “pegangan sastra” yang lebih menyesatkan
daripada menumbuhkan apresiasi sastra siswa.
(5) Guru sastra sering dituding sebagai penyebab hampanya atmosfir
pengajaran sastra. Tidak dapat diingkari, ada guru yang tidak berpotensi
(tidak berminat pada sastra). Mereka mengajarkan sastra sekadar
memenuhi tuntutan kurikulum terpaksa “kawin paksa” dengan sastra, atau
guru sastra yang hanya mengajarkan “takhayul sastra”. Buruknya mutu
pembelajaran apresiasi sastra di sekolah juga tak lepas dari minimnya guru
sastra yang memiliki “talenta” dan minat serius terhadap sastra. Apalagi,
sastra hanya merupakan mata pelajaran yang digabungkan pada pelajaran
bahasa lantaran statusnya yang hanya sekedar gabungan tidak
mengherankan jika apresiasi sastra hanya disajikan sambil lalu. Meskipun
sastra erat kaitannya dengan bahasa, tetapi proses penyajiannya perlu
kreativitas dan model penyajian tersendiri. Menyajikan puisi, misalnya,
selain digabungkan menguasai materi ajar guru juga harus mampu
memberi contoh yang memikat dan sugestif saat membaca puisi. Hal ini
sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan
talenta yang cukup mengenai sastra yang dianggap sulit lebih nyaman
untuk tidak disajikan alias dihindari.
(6) Penyempitan makna pembelajaran sastra. Masalah-masalah sekitar
pembelajaran sastra berawal dari kekurangpahaman bahkan
ketidakpahaman akan makna penting mengajarkan sastra sehingga lahirlah
sikap meremehkan dan mengabaikan pentingnya pengajaran sastra.
55

Pemahaman keliru tentang sastra dan sikap tidak bersahabat terhadap


sastra melahirkan pandangan yang melecehkan sastra. Akibatnya,
pengajaran sastra dianggap tidak penting.
(7) Gagasan butir 7 sampai 9 ini diambil dari pengamatan Kaswanti (1991).
Pengajaran apresiasi sastra merupakan bagian dari pengajaran bahasa
Indonesia. Selain itu, materi pengajaran lebih menekankan hafalan istilah
dan pengertian sastra serta pengenalan sejarah sastra dalam jalur kronologi
semata dari pada mengakrabkan diri dengan karya sastra itu sendiri
sembari mendalami makna sejarah bagi perkembangan sastra.
(8) Bahan pengajaran seorang guru bahasa Indonesia menjadi semakin
membentuk ingkaran setan karena tuntutan pengajaran sastra. Jika yang
pertama lebih mengarah kepada keterampilan, maka yang kedua
mensyaratkan keakraban yang berlapang dada dalam rengkuhan
pengetahuan yang melampaui batas-batas kebahasaan.
(9) Pilihan materi pengajaran dihadapkan pada kenyataan yang menantang
kebijakan pendidikan yang telah digariskan. Artinya penambahan ragam
sastra yang terjadi dalam masyarakat berkecepatan jauh lebih tinggi
daripada kemampuan penyesuaian kurikulum pendidikan yang sudah sarat
dengan berbagai hambatan.
(10) Sistem kurikum yang tidak berpihak pada pembelajaran sastra;
ketersediaan buku teks sastra yang terbatas; sistem evaluasi tidak
mengakrabkan siswa pada karya sastra tetapi beralih kepada lembaga
bimbingan tes; pendekatan, strategi, dan metode yang digunakan guru
dalam pembelajaran sastra yang hanya mengarahkan siswa pada dimensi
pengetahuan (hafalan) tentang sastra dan bukannya pengalaman mereka
bersastra.

Alternatif Solusi terhadap Problematika Pembelajaran Sastra Indonesia


pada Pendidikan Formal

Jadikan Sekolah sebagai Lahan Sastra


Langkah pertama yang paling baik dan terarah untuk
menumbuhkembangkan minat sastra adalah sekolah. Melalui pengajaran sastra
yang bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai
akali, nilai afektif, nilai sosial, atau pun gabungan keseluruhan nilai-nilai itu,
maka guru yang akrab dengan sastra dapat menumbuhkembangkan minat sastra
pada siswa. Dalam perkembangan selanjutnya, siswa yang telah berminat pada
sastra niscaya akan terus mengembangkan minat sastranya secara mandiri.
Langkah kedua adalah “membaca, mempelajari, dan mendalami sastra”.
Pada tingkat ini, pembaca mulai menghargai sastra, dan mengagumi sesuatu yang
tidak terkatakan di balik relung-relung kehidupan yang tersirat dalam karya sastra
yang dibaca. Dan ini akan menuntunnya kepada langkah ketiga, yaitu
56

“keterlibatan jiwa”, antara pembaca dan sastrawan, atau antara pembaca dengan
tokoh tertentu maupun peristiwa tertentu yang dikisahkan dalam karya sastra yang
dibaca.
Langkah-langkah ke arah mengakrabi sastra sebagaimana dijelaskan di
atas ini merupakan suatu proses yang saling berhubungan secara aktif dan
dinamis. Semakin tinggi minat sastra seseorang, semakin tekun pula orang itu
membaca karya-karya sastra yang diminatinya. Dan bersamaan dengan itu, proses
perkembangan segenap daya-daya roh atau aspek-aspek spiritual orang itu
semakin baik dari waktu ke waktu.
Langkah keempat adalah “mengungkapkan penghayatan dan pengalaman
sastra” yang diperoleh dari ketekunan mengakrabi sastra. Langkah ini dapat
dilakukan melalui forum pembacaan karya sastra (cerpen, novel, puisi), dialog dan
diskusi dan seminar sastra. Forum-forum ini merupakan kegiatan yang positif
dalam menumbuhkembangkan minat sastra ke arah semakin mengakrabi sastra.

Dibutuhkan Pembelajaran yang Inovatif


Upaya untuk meningkatan kualitas pengajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia dapat dilakukan dengan melaksanakan inovasi pembelajaran termasuk
dalam memanfaatkan alat-alat teknologi atau information communication
technology (ICT) School Models.
a. Inovasi Kurikulum
Inovasi yang dapat dilakukan terutama pihak yang berkepentingan
sebaiknya:
- Hilangkan substansi pelajaran yang berulang-ulang;
- Hilangkan pokok bahasan yang tidak esensial yaitu pokok bahasan yang
sekadar "kosmetik";
- Tawarkan ketuntasan belajar;
- Sediakan materi terapan yang dapat digunakan s iswa untuk meningkatkan
mutu kehidupannya
- Biasakan pola berbudi pekerti, disiplin, tertib, menerapkan hak asas i
manus ia, kewajiban serta kepedulian sos ial;
- Sajikan kurikulum pilihan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya
daerah.
b. Inovasi Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran supaya menarik perhatian siswa dapat juga
dilakukan dengan membawa siswa pada suasana belajar di luar kelas atau di
alam terbuka dengan mengambil objek alam (laut, pantai, sungai, gunung,
perkebunan, pesawahan, dan pedesaan), lingkungan di sekitar sekolah,
budaya (peninggalan sejarah, museum, kesenian, kerajinan), industri,
teknologi, dan sebagainya. SAA, DAN BO. 1 MEI 20
c. Inovasi Manajemen Kelas
57

Dalam menciptakan suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan


guru dapat memanfaatkan berbagai media misalnya Tape Recorder, OHP,
LCD, maupun VCD, yang memutar pembacaan puis i, cerpen, pergelaran
drama, atau film yang kental unsur sastranya. Sekali-kali guru juga dapat
mencoba menghadirkan sastrawan lokal atau nasional di bkelas untuk
langsung berdiskus i dengan para s iswa. Jika ada masalahb berkaitan dengan
dana (pengadaan media atau mengundang satrawan) pihak pengelola sekolah
harus membantunya. Pengelolaan kelas dalam proses belajar mengajar harus
berorientasi pada kebutuhan siswa dan sesuai dengan perkembangan kejiwaan
siswa, sehingga siswa dapat menggunakan bahasa Indones ia sebagai sarana
berkomunikasi yang akan memperkaya wawasan berpikir dan berekspresi.
Sebaiknya guru diberi kebebasan berkreasi mengembangkan bahan ajar yang
inovatif, menarik, menyenangkan, mengasikkan, mencerdaskan, dan
membangkitkan kreativitas siswa.

Membelajarkan Sastra dengan Pendekatan Pragmatik Sastra


Kurikulum pembelajaran sastra bukan sekadar formalitas dan menekankan
hafalan saja tetapi diharapkan sastra memiliki peranan bagi kehidupan peserta
didik. Ketika belajar sastra, peserta didik melibatkan totalitas kejiwaan dan
memiliki target tertentu yang ditentukan sendiri oleh peserta didik. Untuk itu
dibutuhkan kejelian guru dalam memilih tema karya sastra yang sesuai dengan
kemampuan siswa pada tahapan tertentu. “Pelaksanaan pembelajaran sastra
sebelumnya gagal karena tidak menyentuh esensi apresiasi sastra. Peserta didik
dan diajak menggauli langsung karya sastra, mengoptimalkan pengalaman hidup,
mendayagunakan sumber-sumber belajar dari lingkungan peserta didik dan
sebagainya.” (Endraswara,2008:191)
Pemilihan tema pembelajaran sastra bersumber dari lingkungan dan
kebutuhan peserta didik akan memudahkan peserta didik dalam mengapresiasi
karya sastra secara optimal berdasarkan pengalaman hidupnya. “Arah
pembelajaran sastra tidak hanya sebagai teori sastra, melainkan pembelajaran
mengarah pada aspek pragmatik atau aspek kegunaan (Endraswara, 2008:192).
Peserta didik akan termotivasi mempelajari karya sastra karena peserta didik
merasa membutuhkan. Dengan demikian peserta didik akan belajar sastra lebih
humanis dan menyenangkan dalam rangka mencapai kompetensi dasar.
“Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tujuan pengajaran sastra tidak lain
adalah memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman sastra,
sehingga sasaran akhirnya dalam wujud pembinaan apresiasinya dapat tercapai”.
“Belajar sastra harus memiliki kriteria yang jelas ke arah pragmatik dan
mendukung masa depan peserta didik. Pemilihan bahan ajar sangat penting dan
harus sesuai dengan dunia kerja atau masa depan peserta didik agar pendidikan
tidak sia-sia” (Gani,1988:49).
58

Bergerak dari Praktik Bersastra ke Teori Bersastra


Langkah pertama, berusaha menghadirkan sastra yang menarik minat
peserta didik dalam mengapresiasi karya sastra. Fakta membuktikan bahwa
banyak siswa yang kurang berminat pada karya sastra, karena cara guru mengajar
yang kurang menarik. Diperlukan angkah-langkah berikut untuk sampai pada
sikap mencintai dan mengapresiasi sastra. Langkah pertama adalah menumbuhkan
minta. Cara yang ditempuh misalnya membaca karya sastra (cerpen, puisi, teks
drama) karya peserta didik, dari majalah atau koran. Hal ini dilakukan agar karya
sastra sungguh-sungguh bersentuhan dan berkaitan dengan dunia peserta didik,
segingga mereka mudah berinteraksi atau berpartisipasi. Cara lain misalnya
menghadirkan sinetron, film, atau lagu yang sering mereka saksikan atau
nyanyikan. Dengan demikian mereka berpeluang untuk berbicara sebagai wujud
apresiasi mereka.
Langkah kedua, setelah minat tumbuh barulah menanamkan konsep teori
melalui kegiatan bersastra. Cara ini ditempuh agar peserta didik tidak merasakan
belajar secara teoretis sebagaimana yang telah dilakukan banyak guru selama ini.
Ketika peserta didik dihadapkan pada salah satu cerpen misalnya Robohnya Surau
Kami (A.A.Navis) atau Pelajaran Mengarang (Seno Gumira Adjidarma) maka
peserta didik akan secara langsung dan interaktif mengapresiasi cerpen tersebut.
Di situlah guru bertanya jawab sekaligus menanamkan konsep teori. Pelaku
dikaitkan dengan tokoh, jalan cerita dikaitkan dengan alur, dst.
Jika langkah ini berjalan dengan menyenangkan, maka langkah ketiga,
guru membawa peserta didik pada karya sastra yang ringan, diambil dari karya
peserta didik sendiri. Bisa yang dimuat di majalah dinding atau tugas yang
diberikan guru, sastra koran atau majalah. Hal ini dilakukan agar perubahan
suasana yang peserta didik telah tertarik tadi setahap dibawa pada suasana karya
yang sesungguhnya, namun karya ringan yang mudah diapresiasi peserta didik.
Langkah keempat mengaitkan nilai karya sastra dengan kehidupan. Agar
kebermaknaan karya sastra diperoleh maka nilai-nilai yang dapat ditemukan
dalam proses mengapresiasi karya itu dikaitkan dengan dengan kehidupan sehari-
hari peserta didik. Dalam langkah ini diharapkan peserta didik merasakan adanya
sesuatu yang berguna untuk kehidupannya sebagai bekal berupa kehalusan budi,
moral, berkepribadian, dst. Hal ini dilakukan dalam rangka membekali peserta
didik dengan life skill (kecakapan hidup).
Langkah kelima, memvariasikan strategi pembelajaran yang dengan
strategi itu peserta didik interaktif dalam pembelajaran. Dengan strategi
kooperatif, jigsaw, misalnya, siswa berkesempatan dapat bekerja sama dalam
kelompk. Setiap kelompok diberi satu karya sastra dengan tugas menganalisis
salah satu unsur intrinsik karya sastra tersebut.
Langkah keenam, memvariasikan strategi pembelajaran yang dengan
strategi itu peserta didik interaktif dalam pembelajaran. Selanjutnya individu tadi
kembali ke kelompoknya semula dan merangkum hasil diskusi, maka setiap
59

kelompok sudah mendapatkan hasil analisis seluruh unsur intrinsik dengan cara
bekerja sama dengan kelompok lain. Kegiatan akhir sebagai langkah ketujuh
adalah mempresentasikan hasil diskusi, kelompok lain hanya menanggapi karena
pada prinsipnya hasil seluruh kelompok sudah terangkum pada satu kelompok.
Kegiatan ini akan memupuk kerja sama, saling menghormati, kreatif berpikir,
berperan serta aktif.

Tradisi Rekreasional Menggantikan Tradisi Pedantis


Dalam pembelajaran sastra umumnya dikenal dua tradisi yang berbeda
yaitu tradisi tradisi pedantis dan rekreasional. Kedua tradisi tersebut merupakan
pendekatan yang berbeda dan sangat berpengaruh dalam pengajaran sastra
(Silviani & Tri Lestyowati, 1990:126-127). Dua tradisi ini menghasilkan dua
model dan gaya pembelajaran sastra. Tradisi pedantis menempatkan karya sastra
sebagai objek yang dapat diamati berdasarkan kerangka teoretis dan metode yang
telah dirumuskan sebagai sebuah kaidah standar. Pembelajaran sastra oleh
sebagian guru sastra cenderung menitikberatkan pada tradisi pedantis
(menonjolkan bidang keilmuan) dengan menekankan pada metode pembedahan
yang menghasilkan pengetahuan tentang struktur dan teknik. Karya sastra
dijadikan ibarat seekor ayam di tangan peneliti bidang biologi yang membedahnya
lalu menghasilkan rumusan tentang bagian-bagian tubuh ayam dan bagaimana
hubungan antarbagian tubuh ayam itu. Tradisi pedantis inilah yang mendominasi
pembelajaran sastra yang dipenuhi teori tentang sastra yang umumnya merujuk
pada unsur intrinsik karya sastra.
Tradisi pedantis ini menyumbang kegagalan cukup besar dalam perkara
rendahnya kemampuan apresiasi terhadap karya sastra. Tak heran kalau timbul
keluhan bahwa pengajaran sastra hanya membebani siswa dengan menghapal
judul-judul buku, nama-nama pengarang, dan gramatika sastra lainnya, agar bisa
menjawab pertanyaan dalam ujian dengan mengabaikan kesempatan bagi siswa
untuk menikmati kesusastraan itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya tradisi
Rekreasional yang menekankan pada upaya “menikmati” dan “menyelami” lautan
kesusastraan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bagi penganut tradisi
rekreasional ini melihat sastra tidak hanya sebatas ayam yang dijadikan objek
tetapi bagaimana menjadikan dan mengolah bagian-bagian ayam itu menjadi
menu santapan yang pantas dan patut dinikmati.
Untuk dapat menerapkan dan terutama menghidupkan tradisi rekresional,
guru sastra harus bisa bersastra. Tidak usah dan tidak berarti guru sastra harus
menjadi sastrawan. Namun, sebagai model pengajaran sastra pun sudah cukup.
Artinya, guru sastra menjadi teladan bagi siswa dalam hal bersastra. Sebagai
contoh kecil; guru sastra tidak hanya “pandai” menyuruh siswa membaca puisi
tetapi ia sendiri pandai membaca puisi dengan baik di depan murid-muridnya.
Tradisi pedantis terbukti mengerdilkan minat apresiasi sastra sehingga perlu
dikembangkan tradisi rekreasional yang intinya menyenangkan untuk dinikmati.
60

Otonomi Sekolah sebagai Peluang


Konsep otonomi sekolah hendaknya dimaknai sebagai peluang bagi setiap
sekolah untuk menerapkan kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan siswa
di sekolah. Dalam kaitannya dengan masalah sastra sebagai unsur tempelan pada
materi pelajaran bahasa Indonesia sekolah dapat membalikkannya menjadikan
sastra sebagai spirit, jiwa dari pembelajaran keterampilan berbahasa lainnya. Perlu
pergeseran posisi dari materi sastra yang sebelum ditempelkan pada bahasa
menjadikan sastra sebagai unsur ditempeli materi bahasa. Pembelajarannya bukan
lagi berpusat pada bahasa tetapi berpusat pada sastra.

Tugas Guru dan Sekolah


Guru harus disadarkan atau lebih tepat “dipaksakan” untuk memahami
sastra sebagai sesuatu yang penting dalam pembentukan karakter karena itu guru
harus mampu menjadikan sastra sebagai instrumen pemanuisaan manusia. Guru
harus sampai pada kesadaran bahwa dengan bersastra ia mendidik siswa.
Konsekuensinya, guru harus mampu menemukan metode, strategi dan pendekatan
yang efektif dan relevan.
Guru dalam koordinasi dengan kepala sekolah hendaknya
menyelenggarakan kegiatan cerdas cermat secara rutin dan terprogram. Materi
yang dilombakan berkaitan dengan karya sastra yang disipkan di sekolah.
Kegiatan ini, tentu akan lebih bermakna jika guru mata pelajaran mewajibkan
semua siswa untuk membaca dan meringkas sejumlah buku dan diperhitungkan
sebagai bagian penilaian belajar. Lomba dan cerdas cermat sastra harus menjadi
budaya sekolah. Untuk mengatasi kekurangan jumlah buku sekolah dapat bekerja
sama dengan penerbit dan lembaga donor lainnya.

Peran Lembaga Penyedia Guru dan Pemberdayaan Berkelanjutan


Untuk menghindari kesan “kawin paksa” pada pembelajaran sastra karena
guru kurang berminat pada sastra maka lembaga penyedia tenaga guru dalam hal
ini perguruan tinggi hendaknya lebih selektif dalam merekomendasikan seseorang
untuk menjadi guru. Akta mengajar untuk guru bahasa Indonesia hendaknya
ditambah dengan akta atau sertifikat yang berkaitan dengan komptensi bidang
sastra. Akta sastra ini diperoleh dalam pendidikan formal maupun oleh lembaga
yang dapat dipercaya.
Wawasan guru berkaitan dengan sastra harus selalu disegarkan baik
melalui pendidikan dan latihan (diklat) pertemuan dalam forum MGMP,
menghadirkan para pakar pembelajaran sastra, para praktisi dunia sastra, para
pekerja pada sanggar-sanggar sastra. Juga secara periodik komptensi sastra guru
dievaluasi. Kini sudah saatnya dipikirkan pemberdayaan guru bahasa dalam
pengertian yang sesungguhnya. Format pemberdayaan guru semacam seminar,
lokakarya, penataran, atau diklat yang cenderung formal dan kaku, tampaknya
sudah tidak efektif. Forum non-formal semacam bengkel sastra barangkali justru
61

akan lebih efektif. Mereka bisa saling berbagi pengalaman dan berdiskusi.
Simulasi pengajaran sastra yang ideal bisa dipraktikkan bersama-sama, sehingga
guru bahasa memperoleh gambaran konkret tentang cara menyajikan apresiasi
sastra yang sebenarnya kepada siswa. Dalam situasi demikian, guru bahasa
menjadi figur sentral dalam menaburkan benih dan menyuburkan apresiasi sastra
di kalangan peserta didik. Kalau pengajaran sastra diampu oleh guru yang tepat,
imajinasi siswa akan terbawa ke dalam suasana pembelajaran yang dinamis,
inspiratif, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika pengajaran sastra
disajikan oleh guru yang salah, bukan mustahil situasi pembelajaran akan terjebak
dalam atmosfer yang kaku, monoton, dan membosankan. Imbasnya, gema
apresiasi sastra siswa tidak akan pemah bergeser dari “lagu lama”, terpuruk dan
tersaruk-saruk.

Sistem Evaluasi Khusus Sastra


Untuk mendorong semangat apresiasi siswa terhadap karya sastra maka
sistem evaluasi Sastra harus menggunakan bentuk atau pola yang lain
menghindari kebiasaan sastra diuji dalam bentuk tees pilihan ganda yang sifatnya
hafalan. Sistem evaluasi sastra harus menggunakan kriteria produk dan unjuk
kerja. Apresiasi sastra harus dapat diukur dengan kriteria seberapa banyak siswa
dalam waktu tertentu (semester) membaca dan membuat ringkasan, menyusun
resensi, mengomentari karaya sastra, menulis sastra (cerpen, puisi). Produk dalam
bentuk portofolio harus dijadikan pilihan dalam sistem evaluasi.

Penerapan dalam Konteks di Sekolah


Tujuan pengajaran sastra sebenarnya memiliki dua sasaran, yaitu agar
siswa memperoleh pengetahuan dan pengalaman sastra. Pertama, pengetahuan
sastra diperoleh dengan membaca teori, sejarah, dan kritik sastra. Kedua,
pengalaman sastra dengan cara membaca, melihat pertunjukan karya sastra, dan
menulis karya sastra.

KESIMPULAN
Rendahnya mutu atau kualitas pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di
sekolah selama ini disebabkan oleh banyak hal, mulai dari kurikulum, guru, siswa,
sarana prasarana, rendahnya pemahaman konsep tentang sastra. Untuk mengatasi
hal tersebut diperlukan suatu solusi yaitu jadikan sekolah sebagai lahan sastra,
pembelajaran yang Inovatif, menggunakan pendekatan pragmatik sastra,
pembelajaran praktik bersastra ke teori bersastra, dibutuhkan peran lembaga
penyedia guru, sistem evalauasi khusus sastra, dan penerapan dalam konteks di
sekolah.
Pengajaran sastra di sekolah direalisasikan secara tepat sehingga dapat
memberikan manfaat yang besar kepada siswa, terutama dalam menambah
pengetahuan, pengalaman, dan wawasan tentang hidup dan kehidupan.
62

DAFTAR PUSTAKA
Ampera, Taufik. 2010. Pengajaran Sastra. Widya Padjadjaran. Bandung.
Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra,Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis
Aktifitas . Ombak: Yogyakarta.
http://pancalongka.blogspot.com/2012/11/problematika-pengajaran-sastra
di.htmlProblematika Pengajaran Sastra di Sekolah, diakses 20 Desember
2013
http://gemasastrin.wordpress.com/2007/05/01/mencari-solusi-pengajaran-sastra-
indonesia/ diakses 22 Desember 2013
http://jelajahduniabahasa.wordpress.com/2012/10/11/problematika-pengajaran-
sastra-di-lembaga-pendidikan-formal/ diakses 25 Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai