Anda di halaman 1dari 27

JAKARTA, IndonesiaKantor Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

mencatat 90 persen penduduk usia di atas 10 tahun gemar menonton televisi,


tetapi tidak suka membaca buku.
Dibandingkan dengan negara maju, minat membaca penduduk Indonesia
rendah. Di negara maju setiap penduduknya membaca 20 hingga 30 judul buku
setiap tahun. Sebaliknya di Indonesia, penduduk hanya membaca paling banyak
tiga judul buku dan itu pun masyarakat usia 0-10 tahun.
Padahal kata Kepala Kantor Perpustakaan Nasional RI Sri Sularsih dalam acara
Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca di Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta, untuk menjadi negara yang maju, kunci utamanya adalah kualitas
sumber daya manusia yang gemar membaca.
Redaksi kami terkejut dengan temuan ini. Sebab kami sebelumnya saling
bertanya buku apa yang terakhir kami baca. Reporter Sakinah Ummu
Haniy terakhir membaca buku Critical Eleven oleh Ika Natasha, Social Media
Producer Famega Syafira Putri terakhir membaca buku Istanbul oleh Orhan
Pamuk, dan redaktur Qowi Bastian membaca Cantik Itu Luka karya Eka
Kurniawan. Penulis sendiri terakhir membaca Colorless Tsukuru oleh Haruki
Murakami dan Novel David Nicholls berjudul One Day.
Lalu apa penyebab rendahnya minat baca di Indonesia? Penulis, dosen, dan
aktivis bicara soal alasan-alasan yang membuat pembaca di Indonesia tak
menikmati buku.

Okky Madasari, penulis

OKKY MADASARI. Okky Madasari adalah penulis novel Entrok, 86, Maryam, hingga Pasung Jiwa.
Foto oleh Facebook.

Saya rasa ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Membaca buku belum menjadi
bagian dari gaya hidup sebagian besar orang Indonesia. Tapi saya rasa
penyebabnya bukan sekadar karena orang Indonesia tak suka baca buku,
katanya pada Rappler.

Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak biasa membaca buku karena tidak
memiliki akses mudah untuk mendapat buku. Perpustakaan umum jarang berdiri
di berbagai daerah. Bahkan perpustakaan hanya berupa gedungnya saja,
katanya.
Belum lagi, isinya sangat tidak layak. Begitu juga perpustakaan sekolah.
Sebagai orang yang lahir dan besar di Magetan, kota kecil di Jawa Timur, Okky
tahu betul kondisi ini.
Hingga sekarang pun kondisinya masih sama. Apalagi kalau saya pergi ke
daerah di luar Jawa. Toko buku juga hanya ada di kota besar. Dan bicara toko
buku tentu sangat terkait dengan kemampuan untuk membeli, kata penulis
buku Entrok dan Pasung Jiwa.
Faktor lainnya, kata Okky, masyarakat tidak dididik untuk gemar membaca.
Sistem pendidikan kita tidak membentuk orang untuk suka membaca buku,
terutama bacaan seperti sastra. Kita hanya dibiasakan untuk menghafal dan
mengikuti apa yang dikatakan guru, katanya.
Pada saat yang bersamaan, televisi masuk ke setiap rumah, merebut perhatian
setiap orang, tanpa kontrol dan filter. Buku pun semakin tidak menarik dan
kewalahan untuk berebut perhatian dengan gemilaunya hiburan layar kaca.

Sarasdewi, dosen

SARASDEWI. Sarasdewi adalah dosen Filsafat di Universitas Indonesia.

Menurut Dosen Filsafat Universitas Indonesia Saraswati Putri alias Sarasdewi,


rendahnya minat membaca di Indonesia karena beberapa hal.
Budaya baca itu menyangkut banyak hal, dari kurikulum, kualitas buku bacaan,
berarti juga menyentuh banyaknya penulis juga kualitas karyanya, sampai ke
soal-soal kesulitan akses buku dan pendidikan, mana masih banyak yang buta
aksara di berbagai daerah, katanya.
Masalah rendahnya budaya baca di Indonesia saling bertaut satu dengan yang
lainnya. Tapi jika diradikalisir, saya melihat sekolah sebagai institusi paling besar
berperan dalam merangsang atau bahkan mematikan minat baca, katanya.
Sekolah seharusnya tempat untuk menanamkan minat baca, di luar keluarga.
Sistem pendidikan nasional semestinya membudayakan pelajarnya berlamalama di perpustakaan. Jadi, basis pengetahuannya dari kekayaan wawasan dan
argumentasi tidak sekadar menghafal saja, katanya.
Dari sisi keluarga, kebudayaan membaca dimulai sejak dini, diperkenalkan
melalui kisah-kisah sastra anak, ataupun dongeng-dongeng hingga ke buku-buku
mutakhir.
Tapi pergi ke perpustakaan, melakukan riset ataupun membaca buku, kegiatankegiatan ini membutuhkan waktu. Jadi meski, angka Ujian Nasional siswa dari
suatu daerah tinggi, belum tentu berbanding lurus dengan budaya membaca.
Karena ujian bersifat sangat mekanis dan membuat seolah-olah pelajar itu
seperti produk yang harus cepat jadi. Sementara membaca itu hanya bisa
ditumbuhkan jika ada kecintaan untuk membaca.
Seseorang perlu tahu betapa penting dan menyenangkan membaca itu, tidak
membaca untuk menghafal yang kemudian lupa, katanya.

Aquino Hayunta, aktivis

AQUINO HAYUNTA. Public Engagement at Indonesian Art Coalition Aquino Hayunta.

Public Engagement at Indonesian Art Coalition Aquino Hayunta mengatakan


alasan utamanya adalah kurikulum yang lebih mengutamakan hafalan, bukan

bacaan. Apalagi bacaan yang menarik. Lalu murid malah diminta untuk
menceritakan ulang apa yang ia baca.
Alasan berikutnya, kata Aquino adalah harga buku yang mahal. Zaman kolonial
dulu banyak yang suka baca Kho Pin Ho, banyak penyewaan buku, tapi tingkat
buta huruf masih tinggi. Zaman sekarang, tingkat buta huruf membaik tapi harga
dan akses ke buku yang susah, katanya.
Bahkan kebanyakan dari kita baru dipaksa membaca itu ketika pasca sarjana,
katanya.
Aquino mengatakan kini anak-anak lebih mengenal gadget sebelum buku. Nah
usia-usia segitu mulai tuh kehilangan minat baca, katanya. Rappler.com
Mengapa Anak Malas?: Beberapa Penyebab dan Solusi yang Kerap Tak Terpikir oleh
Orang Tua
Akhir2 ini frekwensi saya mendengar keluhan,Kok anak saya malas??!!, mengalami
peningkatan. Sebagai guru dan ibu, saya sangat prihatin. Berikut adalah pembahasan,
yang jauh dari komprehensif tapi mudah-mudahan tetap ada gunanya,mengenai
kemalasan anak. Tulisan hanya mengacu pada pengalaman pribadi dan orang lain jadi
untuk pembahasan yang menyangkut acuan akademis, hasil riset, pendapat pakar, dll
Cari sendiri,ya;-)
Tulisan akan saya tag ke siapa aja yang melintas di otak saya. Jadi utk mereka yang
sensitif, tolong jangan tersinggung. Bapak/Ibu saya tag bukan karena saya yakin anak
Bapak/Ibu malas tapi semata2 karena muka Bapak/Ibu pas nyelonong ke otak saya saat
waktu nge-tag tibaJ
Pertama-tama, mari kita bahas apa yang dimaksud malas pada tulisan ini. Ada
berbagai bentuk kemalasan. Malas bantuin si mbak beresin mainan (kayak anak
saya),malas makan, malas bantuin ortu kalo diminta, malas belajar (tipe ini adalah
kembar siam dari malas baca),dll. Saya hanya akan membahas tentang malas tipe
terakhir yaitu malas belajar.
Beberapa masalah yang membuat anak malas belajar:
1.Beban sekolah yang terlalu banyak.
Dalam sehari, anak dicekoki 6-7 pelajaran berbeda yang rata2 diuji secara sangat
superfisial: Menghafal kata demi kata. Ini sangat melelahkan.

2. Sistem mengajar yang tidak menarik atau tidak suka pada pelajaran / guru
Coba diperhatikan, siapa tahu anak malas hanya pada pelajaran tertentu. Jika ya, maka
ini mungkin berhubungan dengan metode mengajar guru yang buruk, anak tak suka
pada pelajaran tersebut atau rasa tak suka pada guru.
3.Anak tersebut bukan anak yang berorientasi akademis.
Tidak semua anak memiliki kemampuan akademis yang tinggi. Yang saya maksud
akademis di sini adalah pelajaran serius yang mendominasi kurikulum seperti Bahasa
Inggris, Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, PPKn,dll. Ada anak yang kelak akan
menghabiskan hidup sebagai foto model, pelukis, koreografer, pemain
bola,fotografer,dll. Anak-anak model begini sangat mungkin malas menghabiskan
waktu dengan tekun untuk capek-capek menghafal untuk ulangan, misalnya.
4.Gangguan fisik.
Mungkin ada gangguan pendengaran atau penglihatan. Tentu saja harus dilakukan
observasi dan bahkan pengecekan medis.
5.Masalah keluarga atau problem emosional
Misal, orang tua orang tua hendak bercerai, merasakan bersaing dengan saudara
kandung secara akdamis dan terus-menerus kalah, teman terdekatnya baru pindah ke
sekolah lain,dll.
6.Tak ada panutan
Anak tak punya contoh tentang apa yang dimaksud dengan rajin. Anak kecil belum
mampu berpikir konkret, mereka butuh contoh nyata untuk hampir semua hal yang
harus mereka lakukan.
7.Orang tua salah bicara saat menasehati anak.
Coba diingat-ingat, pernah ngga bicara,Papa Mama tuh kerja biar kamu bisa sekolah.
Jangan kayak Papa dulu, dulu tukang bolosSuka dipanggil guru. Saat bicara,
Bapak/Ibu sudah dalam keadaan punya rumah, mampu berlibur ke Bali, punya mobil 23, misalnya???? Secara sadar atau tidak sadar, mereka akan berpikir,Ohhh.Bokap
Nyokap gue dulu bandel, malas, sekarang ternyata sukses tuhYa udah. Ga papa dong
sekarang gue malas, nanti gue juga berhasil. Berhati-hatilah saat bicara.
8.Fasilitas berlebih.
Anak diberi beberapa gadget (HP,IPod,PS,dll) / mainan canggih.
9.Anak tak cocok dengan sekolahnya

Anak pindah ke sekolah baru yang sistem pendidikannya beda padahal dia sudah betah
dengan sistem sebelumnya, misal:Dari sekolah nasional pindah ke sekolah internasional
dan sebaliknya. Hal lain: Apakah dia mengalami bullying ? Bullying, atau olok-olok
baik secara fisik ataupun psikologis, berpotensi bukan hanya menghancurkan area
akademis si anak tapi juga merusak dia secara mental/kejiwaan.
10.Belum tahu cara belajar yang cocok, strategi belajar yang tepat atau lingkungan khas
yang bisa memacu semangat belajarnya
Tipe anak belajar bermacam-macam. Ada anak yang mudah paham jika dia
mendengarkan (audio learner) , ada yang lebih mudah ngerti kalo dikasih lihat gambar
(visual learner),dll. Kemalasan belajar bisa jadi muncul karena anak belajar hanya
dengan cara yang ternyata bukan metode yang cocok dengannya. Ada juga anak yang
baru bisa belajar jika belajar sambil mendengarkan musik atau susah belajar jika ada
orang ngobrol, dll.
11.Lingkungan rumah yang tidak kondusif
Coba dilihat, di mana Bapak/Ibu tinggal? Di perkampungan padat yang berisik padahal
si anak sudah 6 tahun tinggal di perumahan yang tenang sebelumnya sehingga ia biasa
belajar di tempat yang sepi ? Atau pas di sebelah rumah ada warnet ?Atau rumah teman
ngobrolnya hanya berjarak 50 meter dari tempat Bapak/Ibu tinggal dan mereka berdua
tak dibatasi jam bertemunya oleh orang tua sehingga sampai rumah sudah capek? Satusatunya cara mengatasi penyebab macam ini adalah mendisiplinkan anak untuk bisa
mengatasi hambatan atau godaan.
12.Terlalu capek
Mis:Jam main terlalu panjang atau terlalu banyak ikut kursus.
13.Kemiskinan
Kemiskinan menyebabkan mereka tak bisa tinggal di rumah yang nyaman. Kemiskinan
mungkin memaksa mereka untuk cari nafkah sepulang sekolah, membuat mereka
minder karena uang sekolah terus ditagih guru di depan kelas atau membuat mereka
tak bisa membeli buku teks (banyak sekolah yang tidak menggunakan buku tulis. Ada
banyak sekali anak yang mampu menerabas keterbatasan ini, dalam arti mereka tetap
bisa rajin kendati situasi amat terbatas, namun harus diakui bahwa keterbatasan ini
bagi banyak anak lainnya sangat mungkin menjadi penyebab mengapa mereka malas
belajar.
Tips atau cara praktis untuk mengatasi anak malas belajar dengan mudah bisa didapat
di buku-buku atau internet. Bagaimanapun, saya yakin bahwa tips tersebut akan sulit
dilakukan secara konsisten jika kita tidak membereskan hal yang sifatnya
fundamental:Kelancaran berkomunikasi yang membuat kita tahu apa keinginan dan
kebutuhan anak, cara berkomunikasi yang membuat anak merasa nyaman dengan
dirinya sendirinya,dengan orang tuanya serta dengan hidupnya secara keseluruhan.

Berikut ini saya akan fokuskan pembahasan hanya pada faktor-faktor mendasar yang
bisa membuat orang tua kesulitan memecahkan masalah-masalah di atas.
a. Tidak biasa berkomunikasi dengan anak
Komunikasi yang baik adalah percakapan yang melibatkan dua orang:Keduanya bisa
bicara, saling melemparkan pendapat dan saling mendengarkan. Komunikasi juga
berarti Si A (pembicara) menyampaikan sebuah pesan kepada si B (si pendengar) dan
pesan itu diterima dengan baik. Orang tua sering bicara ke anak namun jarang
membangun komunikasi sama sekali. Jika Bapak/Ibu hanya biasa bicara sepihak, anak
hanya boleh mendengarkan, tentu saja proses investigasi akan gagal.
Film Indonesia pertama (mudah-mudahan bukan satu-satunya) yang menggambarkan
adanya komunikasi/dialog cerdas antara orang tua dengan anak adalah Petualangan
Sherina yang dibuat oleh Mira Lesmana. Ketika itu Ibu Sherina memberitahu Sherina
tentang rencana kepindahan mereka dari Jakarta ke Bandung, Sherina mengeluh lalu
mengajukan pertanyaan yang dijawab dengan sabar dan matang oleh si ibu. Struktur
senioritas dalam masyarakat dan keluarga di kultur timur membuat dialog dan debat
dengan orang yang lebih tua, apalagi dengan orang tua sendiri, adalah hal tabu. Berapa
banyak sih orang tua yang duduk dengan anak, diskusi tentang rencana liburan-mau
naik apa, nginap di mana, dll-dan menanyakan perasaan serta pendapat anak tentang
liburan yang baru dialami?
b.Tak ada kerja sama dengan pihak sekolah
Pendidikan adalah bangunan bersisi tiga, idealnya harus ada kerja sama murid-orang
tua dan pihak sekolah (dalam hal ini guru). Cobalah buat janji dengan guru, minta
ketemu dan tanyakan hal-hal yang Bapak/Ibu pandang perlu. Kalo Bapak/Ibu benarbenar ngga tahu mau tanya apa, tetap saja ketemu lalu tanya,Saya ingin anak saya
berhasil di sekolah, apa saja yang harus saya lakukan ya? Kalo gurunya malas jawab,
berarti sekolah anak Bapak/Ibu adalah sekolah jelek,percayalah.
c. Kesalahan dalam memaknai kesuksesan dan ketidaktahuan akan jenis-jenis
kecerdasan.
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa kalo anak masuk Harvard atau ITB, anak
tersebut suksesKalo anak masuk akademi perawat, jadi ibu asrama, jadi ibu rumah
tangga, dancers, pelukis atau pemahat berarti kurang sukses. Kalo anak hafal tabel
perkalian berarti orang itu sukses tapi kalo ia hafal nama semua tetangga, rajin
menegur sapa dan menolong mereka, berarti ngga sukses. Kekacauan macam ini
membuat orang tua menuntut anak untuk rajin belajar walau anaknya, katakanlah,
otaknya tidak di area akademik. Saya pernah punya murid yang dianggap bodoh tapi
berkepribadian supel dan akhirnya pindah ke sekolah pariwisata lalu sukses di situ.
Apakah ia bodoh? Kecerdasan interpersonalnya sangat tinggi,kok, bagaimana mungkin
ia dikatakan bodoh? Ada juga anak yang pernah ngga naik kelas tapi pintar ngarang
lagu. Apakah ia bodoh ? Jangan pernah lupa, kecerdasan ada banyak jenis dan

kecerdasan musikal adalah salah satunya.


d.Gaya hidup atau kebiasaan sehari-hari yang tidak nyambung dengan tuntutan
terhadap anak untuk rajin belajar
Ada yang terus menerus membawa anaknya ke konter baju dan sepatu tapi di rumah
ngoceh tentang pentingnya membacaAda orang tua yang rela mengeluarkan 300 ribu
untuk beli sepatu dan saat anaknya menunjukkan buku cerita seharga 50 ribu, orang
tua langsung teriak, Mahal amattt! tapi di rumah ngomel kenapa anaknya malas baca.
Kalo saya jadi anaknya, langsung deh saya nyahut,Tapi saya rajin pake
sepatu,kannnKan sepatu lebih penting daripada buku??? Anak-anak tak akan
pernah rajin membaca jika orang tua menunjukkan bahwa buku adalah benda yang tak
pantas untuk dihargai.
Saat anak saya berusia 3 tahun, saya pernah ngajak dia beli sepatu karena sepatunya
rusak. Dia trus menerus memilih sandal. Balik dari mal, saya baru sadar bahwa saya
ngga punya sepatu (Saya punya sepatu sandal dan sandal. Sepatu tertutup saya taruh di
sekolah, hanya dipake saat ngajar). Bagaimana mungkin dia milih sepatu, lha wong dia
nyaris ga pernah liat ibunya pake sepatu??Coba perhatikan, anak-anak yang malas baca
hampir semua tak terbiasa melihat orang tuanya baca, bagaimana lantas mereka bisa
rajin membaca/belajar ?
e. Anak introvert atau pendiam
Sulit untuk tahu penyebab malas belajar jika anak introvert atau pendiam. Galilah info
dari guru dan teman-teman dekat. Jika ia punya Facebook, masuklah ke FaceBooknya.
Jika ia tidak mau meng-confirm friend request Bapak/Ibu, berarti ia tidak merasa
nyaman dengan kehadiran orang tuanya.Mengancam ia untuk men-confirm friend
request Bapk/Ibu hanya akan memperburuk suasana.
f. Orang tua temperamental atau tidak ramah
Sudah jelas, anak malas berkomunikasi dengan orang tua macam ini.
g. Orang tua pemalas.
Orang tua malas cari tahu mengapa anaknya malas, menganggap bahwa tips mengatasi
kemalasan anak yang baru saja dibaca di buku cara mengasuh anak terlalu mengadaada (walau tahu bahwa itu ditulis oleh psikolog anak senior, misalnya),dll. Orang tuanya
kerjanya cuma shopping, baca tabloid, ngga pernah baca buku parenting, ngga pernah
diskusi dengan orang tua lain yang sudah berpengalaman. Jangan berharap buah
semangka berbuah jagung. Kalo ortunya malas ya anaknya malas jugalah.
h. Kurang mengeksplisitkan kenyataan, tidak ada dialog yang berisi dengan anak.
Ada orang tua yang mengurus bisnis online dari rumah atau berprofesi sebagai ibu

rumah tangga. Kedua profesi ini (dan beberapa profesi lainnya seperti penulis,
konselor, illustrator,dll) bisa dijalani dengan gaya yang (seolah-olah, sepertinya) santai.
Penting bagi orang tua untuk bicara dengan anak bahwa hidup mereka sesungguhnya
tidaklah santai. Ibu rumah tangga setelah capek membereskan rumah dan mengurus
anak serta suami, sangat mungkin akan nonton infotainment atau ke rumah tetangga
lalu ngegossip. Jika anak dianggap sudah mengerti, jelaskan bahwa nonton TV dan ke
rumah tetangga adalah hiburan karena anda sudah capek. Jangan biarkan anak anda
berpikir,Wah, enak aja Nyokap gue, cuma bisa merintah gue rajin belajar. Dia sendiri
kerjanya cuma nyuci, nonton TV,masak..
Jelaskan bahwa anda sedang kerja. Saat sedang mengetik, katakan,Ini Papa/Mama lagi
kerja loh,lagi buat surat ke bos. Saat sedang browsing gambar di internet,katakan,Ini
Papa/Mama lagi cari contoh barang nih untuk dikirim ke orang yang mau beli barang.
Layar yang penuh warna sangat mungkin membuat anak berpikir bahwa hidup anda
mudah dan santai.Saat sedang masukkan baju ke lemari katakan,Kalo tugasmu belajar
tugas Mama beresin baju, nyetrika, rapikan lemari... Jangan berasumsi bahwa anak
akan mengerti dengan sendirinya bahwa anda sedang mengerjakan tugas.
Pengalaman Pribadi
Saya adalah orang tua yunior,belum sampai 7 tahun jadi ibu. Anak saya perempuan,
lahir tahun 2004 dan sekarang 1 SD. Menurut guru-gurunya, ia (sangat) pintar.
Izinkan saya untuk lancangberbagi pengalaman di tengah-tengah teramat minimnya
pengalaman saya sebagai orang tua.

1. Saya rajin bercerita dan bertanya ke Merryll.


Merryll tahu siapa nama teman-teman dekat saya saat kuliah, buku apa yang saya
sedang tulis, nama murid-murid saya,kebaikan yang dilakukan orang kepada saya,
orang yang saya idolakan, asal-usul nama lengkap dirinya, buku apa yang sedang saya
tulis, dll. Kami juga punya buku harian yang kami isi berdua (Cuma lupa naruhhh, udah
lama ngga diisi). Saya menyampaikan apa yang terjadi di dunia saya dalam bahasa yang
sangat sederhana, kalo ga bisa diserhanakan ya saya ngga sampaikan. Atau, saya coba
sampaikan tapi dengan istilah yang yang belum dia pahami sehingga dia berkesempatan
mempelajari sesuatu yang baru. Kalo dia tetap ngga ngerti, ya saya brenti, ga coba lagi
karena itu berarti jangkauan nalarnya memang belum nyampe. Intinya, saya berusaha
membuat ia merasa nyaman untuk bercerita dengan saya karena yakin sekali bahwa
semua masalah,termasuk malas belajar jika suatu saat ia berubah menjadi anak
malas,bisa diatasi jika kami punya pola komunikasi yang baik.Saya juga sangat rajin
bertanya tentang apa yang baru saja ia alami, mainan apa yang ia mainkan bersama
teman di sekolah, siapa teman yang ia suka atau ia tidak suka, siapa guru
favoritnya.Hal-hal kecil tapi sangat menolong saya untuk tahu kondisinya.
2.Saya rajin berdiskusi

Saya berusaha untuk menghindari kata,Pokoknya. Jika sesuatu masih bisa


dijelaskan, ya saya jelaskan. Hal lain adalah saya coba membiasakan dia untuk
berdiskusi, yaitu ngobrol dan nanya-nanya. Saat Merryll berusia 4 tahun, mbaknya
tiba-tiba pulang. Ngga ada yang jaga dia di rumah sesudah dia pulang sekolah.
Beberapa kawan menawarkan bantuan. Saya tanyakan kepada Merryll bahwa Tante A,B
dan C ngga keberatan dia pulang ke rumahnya, dia mau pilih siapa dan alasannya apa?
Jangan salah kira, dia ngga ngatur saya. Saya bertanya dengan tujuan untuk tahu apa
perasaannya terhadap tiap pilihan yang ada dan untuk menunjukkan kepadanya bahwa
saya menghargai pendapat dan pilihannya. Tentu saja pada akhirnya saya yang
menjatuhkan pilihan.
3.Saya hampir tidak naik kelas 2 kali dan sering bolos saat kuliah.
Saat SMP saya benci sekolah karena pelajarannya terlalu banyak. Pernah hampir jd
urutan paling rendah waktu kelas 1 atau 2 SMP.Saat SMA saya absen 2-3 bulan
berturut-turut karena stres (masalah keluarga) dan nyaris ga naik. Saat kuliah saya
rajin bolos karena aktif ikut kegiatan non-akademis. Bagaimanapun, saat ambil S2 di
bidang pendidikan, saya rajin banget saat semester 1-5 karena semuanya tentang
pendidikan. Di semester ke-6 saya mendapat mata kuliah manajemen. Saya ngga
tertarik manajemen jadi sering bolos, saat jam kuliah saya pergi ke perpustakaan
Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara atau ke Universitas Atma Jaya (ada IKIPnya) dan
belajar sendiri. Orang jauh lebih mudah rajin jika ia menjalani sesuatu yang memang ia
sukai. Sampai ke titik tertentu, sebenarnya normal kalo anak malas belajar (sal jangan
keseringan malasnya). Isi kurikulum sepertinya memang dirancang agar anak gagal di
sekolah sehingga mereka lantas cari guru privat, beli buku soal latihan sebanyakbanyaknya, atau ambil bimbel. Pada akhirnya, harus diakui, pendidikan adalah barang
dagangan.
4.Saya (dan Babenya juga) rajin bercanda dengan Merryll.
Penting sekali bagi ortu untuk bercanda dengan anak, ini hal yang akan membuat dia
jadi sangat nyaman berada dengan ortunya dan pada akhirnya jadi terbuka.
5.Saya minta maaf.
Saya tiap malam, sebelum tidur, minta maaf atas kesalahan yang saya buat hari itu ke
Merryll (dia juga lakukan hal yang sama). Tadi malam saya mengambil Silver Queennya
tanpa izin dan dia marah. Tadi pagi, saya minta maaf karena memang jelas banget
sepupunya bilang,Ini buat Merryll saat coklat itu diletakkan di meja. Kenapa minta
maafnya bukan tadi malam?Karena tadi malam saya pikir,Halahh,.Cuma coklat
doang, serius amat sih pake acara bilang sori segala macam. Pagi ini saya bangun
dengan ingatan bahwa benda sekecil apapun, kalo diambil tanpa bilang, lha ya tetap aja
namanya nyolong. Jadi saya putuskan utk bilang sori. Membiarkan anak tahu bahwa
kita sadar akan kesalahan kita dan tak segan minta maaf (dan juga tak segan
memaafkan dia) membuat dia merasa sangat nyaman untuk bergaul dengan orang
tuanya.

http://www.gurudanpenulis.com/
Mengapa Orang Indonesia Malas Membaca? 09 Mei 2015 20:15:06 Diperbarui: 17 Juni 2015 07:12:56 Dibaca : 494
Komentar : 4 Nilai : 3 Sudah jamak kita melihat hampir di seluruh sudut kota orang Indonesia merokok dengan
nikmatnya. Namun jarang kita melihat orang Indonesia yang asyik tepekur membaca buku di depan umum. Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang sangat malas membaca buku atau media cetak lainnya. Berdasarkan penelitian
UNESCO, hanya 1 orang dari 1.000 orang Indonesia yang punya minat baca serius. Penyair garda depan Indonesia,
Taufiq Ismail dalam salah-satu tulisannya mengatakan orang Indonesia luar biasa sedikit membaca buku. Tak
heran, industri rokok berhasil mengalahkan industri buku dengan telak karena orang Indonesia lebih suka membeli
rokok daripada buku. Menurut hemat saya, ada beberapa penyebab mengapa orang Indonesia malas membaca
buku. Pertama, membaca buku bukan sebuah kegiatan yang instan yang hasilnya langsung dapat dinikmati.
Membaca tidak sama dengan makan hidangan cepat saji atau minum Coca Cola. Membaca adalah sebuah proses
yang harus dinikmati. Perlu kesabaran dalam membaca. Kadang hasil bacaan kita terhadap sebuah buku akan kita
rasakan bertahun-tahun sesudahnya. Sedangkan orang Indonesia lebih suka sesuatu yang menghasilkan entah itu
uang atau apapun dengan cepat. Dalam sebuah bukunya berjudul Mentaliteit, Kebudayaan, Pembangunan yang
sudah menjadi buku klasik bagi mahasiswa dan ilmuwan sosial di Indonesia, Koentjaraningrat, pakar antropologi
Indonesia, menulis bahwa orang Indonesia suka mencari jalan pintas atau menerabas. Kedua, orang Indonesia
punya jiwa sosial yang tinggi. Manusia Indonesia adalah makhluk sosial yang sangat bergantung kepada
lingkungannya. Orang Indonesia suka berkumpul dan mengobrol di warung kopi atau rumah makan. Sedangkan
membaca buku menyebabkan individualisme. Ketika kita membaca buku, kita dalam keadaan sendirian dengan teks
di depan mata kita. Kita berinteraksi dengan teks padahal teks adalah benda mati setidaknya sekilas pandangan
mata. Ini berbeda dengan mentalitas orang Indonesia yang suka berteman. Ingat tagline sebuah iklan rokok,
Asyiknya rame-rame. Membaca buku menyebabkan seseorang menjadi individualistis. Di Barat, sejak kecil seorang
anak Barat telah dibiasakan berpikir mandiri, menyatakan pendapatnya sendiri, dan menjadi dirinya sendiri.
Sedangkan di Indonesia, seorang terikat pada lingkungan sosialnya. Membaca buku pada hakikatnya menjadi
individu baru karena interaksi kita dengan teks. Teks-teks itu memperkaya pemahaman kita dan kemudian
terintegrasi di dalam psike seorang individu. Ketiga, sistem pendidikan Indonesia tidak mewajibkan siswa-siswi untuk
membaca buku. Kondisi ini sudah disinyalir penyair Taufiq Ismail dengan Generasi Nol Buku, generasi yang rabun
membaca dan pincang mengarang. Menurut Taufiq, generasi nol buku sudah berlangsung dari era 50-an saat
bangsa Indonesia mulai lepas dari penjajahan. Budaya buku dipotong habis karena dianggap tidak efektif. Ilmu-ilmu
eksakta dijunjung, sedangkan ilmu sosial dan humaniora dianaktirikan. Keempat, orang Indonesia lebih suka
berbudaya lisan. Bicara lebih praktis, lebih cepat, dan lebih mengena ketimbang membaca atau menulis. Kadang
untuk bicara tidak harus berpikir. Acara-acara talkshow, diskusi, debat, bertebaran di stasiun-stasiun televisi
Indonesia membuktikan bahwa sebagian besar orang Indonesia masih berbudaya oral. Kelimat, membaca adalah
pekerjaan elit. Pandangan ini agaknya tertanam dalam alam bawah sadar orang Indonesia. Selama beberapa abad
masyarakat Indonesia hidup dalam penjajahan. Sebagian besar menjadi rakyat jelata. Maka tak heran, kalau
membaca dikaitkan dengan kebiasaan bangsa kulit putih atau kelompok sosial tertentu. Dari kelima faktor di atas,
ada hal yang harus kita lakukan agar pola pikir bangsa Indonesia terhadap budaya membaca berubah. Kita harus
merevolusi mental kita meminjam istilah Presiden Jokowi. Cara berpikir sebagai bangsa jajahan harus dirombak
total. Bangsa Indonesia harus diajak berpikir kritis dan terbuka. Globalisasi pada titik tertentu mempunyai manfaat
bagi bangsa Indonesia karena di satu sisi ia membuka pikiran bangsa Indonesia terhadap bangsa-bangsa lain.
Globalisasi dapat berarti ancaman bagi bangsa Indonesia karena bisa jadi bangsa-bangsa tersebut lebih unggul.
Globalisasi melatih bangsa Indonesia untuk berkompetisi sekaligus bekerja sama. Bangsa Indonesia harus belajar
kepada bangsa-bangsa lain. Dengan demikian sedikit demi sedikit dapat mengikis mental kolonial yang diwariskan
para penjajah. Insya Allah. Depok, 1 Mei 2015
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hanvitra/mengapa-orang-indonesia-malasmembaca_55530be3b67e61340b130973

Minat Membaca
Jumat, 27 Februari 2015, 15:00 WIB

Hasil penelitian Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2013
menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat kedua paling inovatif dalam bidang
pendidikan di dunia. Dalam hal inovasi pendidikan, Indonesia di belakang Denmark yang
berada di peringkat pertama, tapi mengalahkan negara maju, seperti Korea Selatan,
Singapura, Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.
Inovasi pendidikan ini meliputi kemampuan penggunaan buku teks dan penerapan sistem
pembelajaran yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Namun, peringkat OECD ini
kontras dengan hasil penelitian yang dilakukan Programme for International Student
Assesment (PISA) setahun sebelumya yang menempatkan Indonesia di peringkat kedua
terbawah dalam hal kemampuan matematika dan ilmu sains.
Indonesia berada di urutan 64 dari 65 negara yang disurvei. Di level ASEAN, Indonesia kalah
jauh dari Vietnam yang menempati urutan ke-20. PISA juga menempatkan Indonesia di
nomor 57 dari 65 negara yang diteliti dalam hal kemampuan membaca siswa.
Data statistik UNESCO pada 2012 juga menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru
mencapai 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu warga yang tertarik untuk
membaca. Menurut indeks pembangunan pendidikan UNESCO ini, Indonesia berada di
nomor 69 dari 127 negara. Angka ini tentu sangat menyedihkan.
Keprihatinan kita makin bertambah jika melihat data UNDP yang menyebutkan angka melek
huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sebagai pembanding, di Malaysia
angka melek hurufnya 86,4 persen.
Mengacu pada angka-angka ini, tentu saja prestasi membanggakan menurut survei OECD
bahwa Indonesia menempati peringkat kedua paling inovatif dalam bidang pendidikan
menjadi tak bermakna. Meski ada makna di balik angka-angka itu bahwa warga Indonesia
berprestasi secara pendidikan, yang kurang hanyalah minat membaca buku.
Mengupas penyebab kurangnya minat baca warga Indonesia, banyak faktor yang
melandasinya. Namun, yang paling mendasar adalah tidak adanya kebiasaan membaca
yang ditanamkan sejak usia dini. Seperti halnya pola seseorang mengonsumsi makanan, jika
tidak dibiasakan makanan yang mengandung cabai, saat dewasa tidak akan mau melahap
makanan pedas. Ini hanyalah faktor pembiasaan yang kemudian diikuti dengan adaptasi
oleh organ-organ tubuh.
Seseorang yang terbiasa makan pedas, perutnya tidak akan sakit sebagaimana mereka
yang tidak dibiasakan sejak kecil. Begitu pula dengan kebiasaan membaca. Para orang tua

tidak menanamkan kebiasaan membaca pada anak-anaknya sedari kecil. Yang terjadi hingga
beranjak dewasa pun tidak ada minat untuk membaca.
Lingkungan keluarga juga sangat memengaruhi minat baca seseorang. Di keluarga
Indonesia, budaya menonton lebih menonjol daripada membaca. Kondisi ini melemahkan
semangat anak-anak untuk membaca. Mereka lebih suka menonton acara televisi bersama
anggota keluarganya dibandingkan melakukan aktivitas membaca secara bersama-sama.
Lihat saja data Badan Pusat Statistik. Jumlah waktu anak Indonesia menonton televisi
mencapai 300 menit per hari. Bandingkan dengan anak-anak Australia yang hanya 150
menit per hari, di Amerika Serikat yang 100 menit per hari, atau di Kanada 60 menit per
hari.
Namun, kondisi keluarga saja tidak bisa disalahkan. Permasalahan ini berkelindan juga
dengan ketersediaan buku bacaan yang murah dan terjangkau. Dalam hal ini, subsidi dari
pemerintah agar buku dijual dengan harga yang terjangkau masyarakat kelas menengah ke
bawah, bisa membuat tingkat minat membaca anak-anak ditanamkan sejak dini karena
buku bisa mereka beli.
Atau bisa juga dengan membangun sebanyak-banyaknya perpustakaan umum, bahkan
kalau perlu hingga ke tingkat RT. Masyarakat bisa membangun komunitas membaca di
kampung-kampung atau perdesaan. Jika itu terealisasi, bukan tidak mungkin tingkat minat
membaca rakyat Indonesia pada lima tahun ke depan melonjak tajam.
Perhelatan Islamic Book Fair (IBF) yang pada 2015 memasuki tahun ke-14 ini bisa menjadi
salah satu cara meningkatkan minat membaca warga. Gelaran IBF ini juga diharapkan bisa
mempermudah akses membaca buku-buku berkualitas yang akan merevolusi mental kita
menjadi negara dan bangsa yang maju secara fisik maupun spiritual. n

www.republika.co.id.

Jurnal Ilmiah
Sabtu, 28 Desember 2013

Minat Baca Penentu Kualitas Bangsa


Oleh Dwi Puji Astuti

Kurikulum dan Teknologi Pendidikan


Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
wi2x.pashter@gmail.com

Abstrak
Masyarakat Indonesia saat ini memprihatinkan, terbukti dengan fakta-fakta
penelitian yang menyebutkan rendahnya minat baca warga Indonesia. Sebuah
survei yang menyatakan masyarakat Indonesia lebih banyak menonton televisi,
mendengarkan radio, bermain game daripada membaca buku dan menjadi
peringkat124 dari 187 negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Maka dari itu dengan adanya karya ilmiah dapat memberikan solusi
pemecahannya. Dari mengetahui faktor penyebab rendahnya minat baca, upaya
peningkatannya, kurikulum sekolah dan keunggulan membaca serta dengan
mengatur pola dan strategi dalam pembelajaran maupun tatanan budaya membaca
dapat membantu untuk meningkatkan minat baca sekaligus membantu
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Kata Kunci : minat baca, budaya, kurikulum, intelektual.

Pendahuluan
Membaca adalah salah satu ketrampilan yang paling penting pada manusia yaitu
ketrampilan dalam berbahasa. Dengan berbahasa manusia dapat berkomunikasi
dengan sesamanya. Terlebih lagi jika manusia senang membaca, maka kemampuan
dalam berbahasanya akan baik. Jika berkomunikasi menggunakan perasaan yang
jernih maka akan tercipta komunikasi yang jelas dan baik. Burns, dkk. (dalam
Suwaryono,1989) mengemukakan bahwa kemampuan membaca merupakan
sesuatu yang yang vital dalam masyarakat terpelajar. Namun bagi anak-anak yang
tidak memahami pentingnya membaca tidak akan mempunyai motivasi untuk
belajar. Sedangkan anak-anak yang melihat tingginya nilai membaca dalam
kesehariannya akan lebih giat belajar. Itulah pendapat seorang pakar yang secara
tidak langsung menyatakan bahwa anak yang tidak memahami pentingnya
membaca berarti anak tersebut tidak mempunyai minat untuk membaca.
Minat baca warga negara Indonesia sangat rendah dan memprihatinkan.
Hal ini dibuktikan dengan hasil indeks nasional yang menyebutkan bahwa indeks
baca di Indonesia hanya 0,01. Sedangkan rata-rata indeks baca negara maju
berkisar antara 0,45 sampai dengan 0,62. Hasil tersebut membuktikan bahwa

Indonesia menjadi peringkat ketiga dari bawah untuk minat baca (lihat
sindonews.com, 19/09/13). Masalah ini yang menjadi titik fokus karya ilmiah saya
dan harus saya carikan solusi. Rendahnya minat baca di Indonesia menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan warga Indonesia lebih
suka menonton tv, mendengarkan radio, berkecimpung di dunia internet daripada
membaca buku. Inilah yang membuktikan bahwa kualitas sumber daya manusia di
Indonesia semakin tahun semakin menurun dan tidak memahami keunggulankeunggulan membaca. Tingkat minat baca warga mempengaruhi kemajuan
pendidikan di Indonesia dan akan mempengaruhi kemajuan pembangunan bangsa.
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan
keunggulan membaca buku daripada yang lain dan memberikan upaya-upaya
peningkatan minat baca di Indonesia. Dengan adanya penulisan ini diharapakan
pembaca dapat ikut serta dalam upaya peningkatan minat baca di Indonesia, agar
mutu pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.

Acuan Teori
Pertama, teori yang digunakan adalah teori kurikulum. Teori ini memberikan
gambaran bagaimana kurikulum yang diterapkan di Indonesia saat ini. Apakah
kurikulum itu menekankan anak untuk pasif atau aktif? Apakah kurikulum
pendidikan di Indonesia lebih menekankan anak untuk membaca buku
ataubrowsing internet? Kurikulum pendidikan mempunyai peran penting dalam
mengembangkan minat membaca anak. Dan kurikulum harus membuat anak
gemar membaca. Bagaimana isi kurikulum saat ini dan kompetensinya seperti apa?
Itulah yang menentukan minat baca anak dari sekarang dan ke depannya.
Kedua, teori kebudayaan teori kebudayaan dapat memberikan gambaran
sejak kapan dan apa yang menjadi penyebab rendahnya minat baca? Salah satu
faktanya adalah dongeng sebelum tidur. Kita tidak dapat memungkiri bahwa sejak
kecil, sejak belum mengetahui angka dan huruf kita selalu mendengarkan dongeng
dari orang tua sebelum tidur. Bahkan sampai kita SD pun masih didongengi
orangtua. Hal seperti itu sudah membudaya sejak dahulu hingga saat ini. Budaya
seperti itu yang membuat anak malas dan kurang berminat untuk membaca. Dari
kecil hingga dewasa mereka akan lebih senang mendengarkan karena budaya
mendengarkan dongeng dari kecil.
Ketiga, teori reproduksi sosial yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu
seorang sosiolog Perancis yaitu teori dimana satu generasi dari suatu kelas sosial
yang memastikan bahwa seseorang mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak
istimewanya kepada generasi berikutnya. Bordieu mengkombinasikan teori dan
fakta-fakta yang bisa diverifikasi, dalam upaya untuk mendamaikan kesulitankesulitan, bagaimana memahami subyek di dalam struktur obyektif. Dalam proses

itu, ia mencoba mendamaikan pengaruh dari dua hal yaitu latar belakang sosial dan
pilihan bebas terhadap individu.
Keempat, teori evaluasi dapat mengetahui seberapa jauh perkembangan
minat baca warga Indonesia terutama anak-anak usia sekolah. Evaluasi adalah
proses penilaian terhadap suatu kegiatan pendidikan. Dengan teori evaluasi suatu
kegiatan untuk meningkatkan minat baca dapat dikendalikan dan dapat diketahui
mutu dan hasilnya. Evaluasi dapat mempermudah kita dalam menentukan tujuan
peningkatan minat baca dan umpan balik yang dapat kita terima untuk
penyempurnaan mutu pendidikan di Indonesia.

Data Fakta Rendahnya Minat Baca


Data-data yang dapat menunjang penulisan ini adalah data fakta sejumlah institusi
atau badan-badan penelitian yang telah melakukan survei mengenai tinggi
rendahnya minat baca warga Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia Nomor
16369-IND dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education
Achicievement), untuk kawasan Asia Timur, Indonesia memegang posisi terendah
dengan skor 51,7, dibawah Filipina dengan skor 52,6. Data lainnya dari UNDP, angka
melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen (lihat kompasianan.com,
5/04/13).
Pada tahun 2002, Penelitian Human Development Index (HDI) yang dirilis
UNDP menyebutkan, melek huruf Indonesia berada di posisi 110 dari 173 negara.
Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009. Pada tahun 2006
berdasarkan studi lima tahunan bertajuk Progress in International Reading Literacy
Study (PIRLS) yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), Indonesia menempati
posisi 36 dari 40 negara (lihat kompasianan.com, 5/04/13).
Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukan,
masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama
mendapatkan
informasi.
Masyarakat lebih
memilih
menonton
televisi
(85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%). Pada
tahun 2009 berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama
Ekonomi (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah
dari 52 negara di kawasan Asia Timur (lihat kompasianan.com, 5/04/13).
Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca ini, dibuktikan dengan
indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 (dari seribu penduduk, hanya
ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi). Pada tahun 2012 Indonesia
nangkring di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk,
termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan melek huruf. Indonesia sebagai

Negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku
sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh
lima orang(lihat kompasianan.com, 5/04/13).

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Minat Baca


Sampai saat ini minat baca warga Indonesia masih terbilang sangat rendah. Terbukti
dari beberapa data yang telah disebutkan di atas. Tak ada api jika tak ada asap.
Takkan rendah minat baca warga Indonesia jika tak ada faktor-faktor yang menjadi
penyebab rendahnya minat membaca. Banyak faktor yang mempengaruhi
rendahnya minat baca. Tidak hanya faktor dari dalam diri (internal), akan tetapi
juga faktor dari luar (eksternal).
Pertama, warisan budaya dari orang tua atau determinisme genetic. Budaya baca belum
pernah diwariskan nenek moyang. Dari sejak kecil kita hanya terbiasa mendengar berbagai dongeng,
kisah, adat-istiadat yang diceritakan oleh orang tua, nenek, dan tokoh masyarakat hanya secara lisan
atau verbal saja. Terlalu sering kita mendengarkan, sampai-sampai tidak ada pembelajaran secara
tertulis yang dapat menimbulkan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca sangat dipengaruhi oleh
faktor determinisme genetic tersebut. Seseorang yang dibesarkan oleh orangtua yang cinta membaca
akan mempunyai kegemaran membaca. Sebaliknya, jika seseorang dibesarkan dari orangtua yang tidak
cinta membaca maka orang tersebut tidak akan mempunyai kegemaran membaca. Lingkungan terdekat
adalah orang tua. Hal inilah yang akan mempengaruhi seseorang untuk mendekatkan diri pada bacaan .

Di negara maju, seperti Jepang, budaya membaca adalah suatu kebiasaan


yang telah menjadi kebutuhan bagi masyarakatnya. Membaca mereka ibaratkan
sandang, pangan dan papan, membaca adalah bagian dari kehidupan mereka tiap
harinya. Sajidiman Surjohadiprojo, ketika menjabat sebagai duta besar Jepang
mengatakan bahwa yang paling membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa
Jepang adalah kemampuan adaptifnya, termasuk kemampuan membaca dan
mempelajari budaya bangsa lain. Tidak akan dijumpai orang Jepang melamun dan
mengobrol di kereta api bawah tanah, kegiatan mereka kalau tidak tidur tentu
membaca (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Kedua, determinisme lingkungan. Lingkungan yang dimaksud disini adalah
teman bermain, masyarakat sekitar, rekan kerja, dan guru. Orang tidak senang
membaca juga disebabkan karena lingkungan yang tidak gemar membaca,
lingkungan dimana dia bersosialisasi setiap harinya. Di samping itu juga di
masyarakat, di kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan dan tidak ada
peraturan
perusahaan/instansi
yang
mengharuskan
seseorang
untuk
membaca (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13)..
Ketiga, sistem pembelajaran dan kurikulum di Indonesia telah membuat
siswa cenderung pasif dan hanya mendengarkan guru mengajar di kelas daripada
mencari informasi atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan di sekolah.
Jarang sekali guru yang memberi tugas untuk membaca buku sebanyak-banyaknya.

Misalnya saja PR yang diberikan oleh guru, kebanyakan PR tersebut berbentuk


mengerjakan soal-soal di buku paket atau LKS. Dan jawabannya pun sudah pasti
berada dalam LKS atau buku paket. Sebaiknya PR yang diberikan lebih berbentuk
sebuah proyek yang menyenangkan, dimana anak dituntut untuk banyak membaca
dari berbagai literatur. Dengan begitu wawasan mereka akan berkembang dan akan
menciptakan iklim membaca. Membaca bukan dianggap sebagai hal yang
membosankan dan tidak menarik, melainkan sebagai hal menyenangkan.
Di negara maju, siswa SMA berkewajiban menamatkan buku bacaan dengan jumlah tertentu
sebelum mereka lulus sekolah. Seperti data yang terdapat di salah satu banner di rumah puisi milik
sastrawan nasional, Taufik Ismail, bahwa di Jerman, Perancis dan Belanda mewajibkan siswanya harus
menamatkan hingga 22-32 judul buku (1966-1975), sedangkan di Indonesia sejak tahun 1950-1997 nol
buku atau tidak ada kewajiban untuk menamatkan satu judul buku pun. Kepedulian pemerintah dalam
sistem pendidikan sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa. Yang dilakukan Jepang pertama kali
untuk dengan mengumpulkan para guru. Karena Jepang yakin, bahwa mereka akan dapat bangkit dan
menjadi salah satu negara terkemuka di dunia adalah dengan kepeduliannya terhadap pendidikan (lihat
bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Keempat, banyak muncul berbagai teknologi dan tempat-tempat hiburan. Permainan (game)
yang makin canggih dan variatif serta tayangan televisi yang semakin menarik, telah mengalihkan
perhatian anak dari buku. Semakin banyaknya mall, tempat karaoke, dan taman rekreasi. Tempat
hiburan yang didirikan membuat anak-anak lebih banyak meluangkan waktu ke tempat hiburan
daripada membaca buku di perpustakaan maupun taman baca (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Kelima, minimnya sarana untuk memperoleh bacaan. Andai kita harus membeli buku bacaan,
harga buku yang ada di pasaran relatif mahal. Hal ini menyebabkan orang tua tidak membelikan buku
bacaan tambahan selain mengutamakan buku-buku yang diwajibkan oleh sekolah. Terlebih lagi kondisi
ekonomi masyarakat yang kurang mampu, jangankan terpikir untuk membeli buku bacaan, untuk makan
sehari-hari terkadang menjadi hambatan bagi mereka. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang
mengatur hal ini terutama pihak yang terkait seperti Departemen Pendidikan, belum memiliki
kebijakan yang mampu membuat bangsa ini merasa perlu membaca (lihat bimba-aiueo.com,
01/05/13).
Keenam, kemalasan yang merajalela. Sekarang adalah jaman modern, dengan lingkungan
yang modern pula. Namun tidak dengan sendirinya kita sebagai manusia dapat dikatakan menjadi
modern. Kita dapat dikatakan modern kalo dapat mengubah pola pikir dan perilaku kita. Ciri-ciri
manusia modern adalah jika ia mau membuka diri terhadap pengalaman baru, dan inovasi. Bukan hanya
sekedar malas-malasan.
Menurut Suherman, M.Psi, dalam bukunya Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat
Membaca Para Mahaguru Peradaban bahwa di negara maju, misalnya Amerika Serikat dan Jepang,
setiap individu memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan mereka menghabiskan
waktu untuk membaca mencapai delapan jam sehari.
Sementara itu, di negara berkembang
(Indonesia) hanya dua jam setiap hari. Mereka cenderung memilih untuk bersantai main game,
bermalas-malasan, menonton televisi atau jalan-jalan ke mall dan ke tempat hiburan lainnya.

Kurikulum Sekolah

Mulyasa (2003) mengatakan bahwa Sistem Pendidikan Nasional yang diatur dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diharapkan dapat memberikan arah tujuan
pendidikan di tanah air semakin jelas dalam mengembangkan kemampuan potensi
anak bangsa agar terwujudnya SDM yang kompetitif di era globalisasi, sehingga
bangsa Indonesia tidak selalu ketinggalan dalam kecerdasan intelektual. Oleh sebab
itu penyelenggaraan pendidikan harus memenuhi prinsip sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat
dan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung.
Kedua prinsip di atas harus saling berkesinambungan. Artinya dalam proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat, harus diisi
dengan kegiatan pengembangan budaya membaca, menulis dan berhitung.
Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi khususnya dalam Bahan Kajian
Bahasa Indonesia harus memuat kegiatan pengembangan budaya membaca dan
menulis dengan alokasi waktu yang cukup memberi kesempatan banyak untuk
membaca. Demikian pula dalam bahan kajian seni dan budaya, cakupan kegiatan
menulis harus jelas dan berimbang dengan kegiatan menggambar/melukis,
menyanyi dan menari. Kegiatan membaca dan menulis tidak saja menjadi prioritas
dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia dan Bahan Kajian Seni dan Budaya, tetapi
hendaknya juga secara implisit harus tercantum dalam bahan-bahan kajian lainnya.
Kurikulum Indonesia yang banyak menekankan anak atau siswa lebih
bersifat pasif. Siswa lebih banyak dituntut untuk mendengarkan gurunya mengajar
dibanding membaca buku sebanyak-banyaknya. Guru pun lebih suka memberi
tugas latihan apa yang dipelajarkan di sekolah hari itu dibandingkan memberi tugas
yang mengharuskan membaca buku sebanyak-banyaknya. Sebaiknya kurikulum
yang diterapkan di Indonesia adalah kurikulum yang menekankan anak untuk aktif
dan banyak mencari pengetahuan dengan membaca buku sebanyak-banyaknya.
Hal ini diperlukan kerja sama antara guru yang profesional dan berkualitas dalam
rangka meningkatkan minat baca untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Keunggulan Membaca
Membaca mempunyai banyak keunggulan daripada surfing internet, menonton
televisi, dan mendengarkan radio. Keunggulan-keunggulan membaca diantaranya :
(1) meningkatkan pengembangan diri, (2) dapat memenuhi tuntutan intelekual, (3)
meningkatkan minatnya terhadap suatu bidang, (4) dapat menyaksikan dunia lain
yaitu dunia pikiran dan dunia renungan, dan (5) menjadikan pembaca mempunyai
tutur kata yang halus.
Pertama, menurut Farida Rahim (2005), dengan membaca seseorang dapat
meningkatkan ilmu pengetahuan. Daya nalarnya pun semakin berkembang dan
berpandangan luas. Orang yang gemar membaca lebih pintar dalam memilahmilah. Hal mana yang lebih bermanfaat bagi masyarakat daripada kelompok atau

dirinya sendiri. Dan mereka akan lebih mementingkan apa yang bermanfaat bagi
orang banyak daripada diri sendiri.
Kedua, menurut Gray dan Rogers (dalam Supriyono, 1998) dengan
membaca buku, pengetahuan bertambah dan perbendaharaan kata-kata
meningkat. Semakin banyaknya pendaharaan kata yang kita ketahui, daya ingat
dan daya intelektual kita akan lebih bagus didandingkan dengan menonton tv atau
mendengarkan internet.
Ketiga, menurut Gray dan Rogers (dalam Supriyono, 1998) ketika seseorang
menyukai suatu hal, dengan banyak membaca buku tentang apa yang dia senangi
maka akan menimbulkan motivasi untuk meningkatkan bakatnya. Bakat yang dia
senangi yang akan menghasilkan suatu prestasi dengan memperbanyak membaca
buku.
Keempat, ketika seseorang membaca suatu buku, dia akan ikut merasakan
apa yang terjadi di buku tersebut. Tidak hanya itu saja, setiap kata yang terdapat
pada buku tersebut akan membuat si pembaca ikut merenungkan dan berfikir jauh
apa makna dan apa ang harus dilakukan selanjutnya.
Kelima, kata setiap kata dalam buku ditulis dengan sedemikian indah.
Dengan kita banyak membaca buku, berarti kita juga mempelajari kata setiap
kata.Menurut Widyamartaya (1992: 140-141), semakin banyak kita membaca buku
kita akan ikut berperilaku dan bertutur kata yang indah seperti dalam buku.
Berbeda halnya dengan internet yang kata setiap katanya tidak ada peninjauan
ulang.
Membaca tidak hanya berdampak pada bidang intelektual saja, akan tetapi
membaca juga dapat berdampak pada kesehatan. Beberapa keunggulan membaca
dalam bidang kesehatan yaitu : (1) melatih otak, (2) meringankan stres, (3)
menjauhkan resiko penyakit alzheimer, (4) mengembangkan pola tidur yang sehat,
dan (5) meningkatkan konsentrasi (lihat healt.detik.com, 12/03/2011).
Pertama, melatih otak adalah salah satu keunggulan dalam bidang
kesehatan. Membaca secara rutin akan membuat otak menjalankan fungsinya
secara sempurna. saat kita membaca berarti kita dituntut untuk berfikir lebih
sehingga akan membuat lebih cerdas. Tetapi, hal tersebut tidak dapat dilakukan
sekali atau beberapa kali saja, akan tetapi harus dilakukan terus-menerus.
Kedua, meringankan stres. Keindahan bahasa dalam tulisan memiliki
kemampuan untuk menenangkan dan mengurangi stres. Terlebih lagi jika kita
membaca cerita fiksi seperti novel, cerpen, atau komik sebelum tidur, karena
bahasa dalam cerita fiksi biasanya menarik dan indah. Hal tersebut dianggap dapat
mengatasi stres.

Ketiga, orang yang suka membaca akan memiliki konsentrasi yang tinggi
dan fokus. Semakin sering seseorang membaca, maka konsentrasinya akan
semakin meningkat. Hal ini akan membuat otak menjadi fokus dan memiliki
kemampuan untuk perhatian dan praktis dalam kehidupan.
Keempat, kebiasaan membaca buku sebelum tidur akan membuat kita
terbiasa tidur pada waktunya. Pola membaca sebelum tidur dapat bertindak
sebagai alarm bagi tubuh dan mengirimkan sinyal bahwa sudah waktunya tidur.
Rutinitas seperti ini akan membantu kita dalam mengatur pola tidur yang sehat.
Kelima, menjauhkan
risiko
penyakit
alzheimer.
Membaca
dapat
meningkatkan daya ingat otak. Ketika membaca otak dirangsang secara teratur
dapat mencegah gangguan pada otak seperti alzheimer. Penelitian telah
menunjukkan bahwa latihan otak seperti membaca buku atau majalah dapat
menunda atau mencegah kehilangan memori. Menurut para peneliti, kegiatan
membaca
dapat
merangsang sel-sel
otak.

Upaya Peningkatan Minat Baca


Masyarakat Indonesia saat ini kurang berminat membaca. Padahal jika dicermati
penerbitan buku, majalah, koran, tabloid sangat meningkat. Tetapi minat membaca
hanya terbatas pada koran, majalah dan tabloid saja. Sedangkan minat baca pada
buku-buku yang memuat pengetahuan sangat rendah. Maka dari itu diperlukan
upaya-upaya untuk meningkatkan minat baca warga Indonesia terutama anak-anak.
Upaya yang dapat kita lakukan adalah upaya internal maupun upaya eksternal.
Pertama, motivasi keluarga dan guru. Pada dasarnya, keluarga adalah
sumber upaya utama. Keluarga harus mendukung, terutama dari orang tua harus
mencontohkan kegemaran membaca kepada anak-anak mereka. Selain itu, orang
tua juga harus memperhatikan dan mengawasi kegiatan anak-anaknya. Sementara
terkait dengan fasilitas, ketersediaan bahan bacaan di rumah juga dipenuhi agar
membuat anak berminat pada kegiatan membaca. Karena awal dari gemar
membaca adalah rasa ingin tahu terhadap buku bacaan yang ada di rumah. Selain
itu, pihak sekolah / guru bertanggungjawab ikut menumbuhkan minat baca siswa,
karena sumber kreatifitas siswa akan muncul. Sekolah harus mengajar anak-anak
berpikir melalui budaya belajar yang menekankan pada memahami materi dan
membaca buku (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Kedua, tersedianya perpustakaan yang dikelola dengan baik. Terkait dengan
budaya membaca, tidak lepas dengan adanya peran penting sebuah perpustakaan
terlebih di lingkungan sekolah. Sebuah perpustakaan harus memberikan pelayanan
dan manajemen yang baik dalam memberikan kebutuhan referensi siswa di
sekolah. Jika perpustakaan adalah sebuah produk maka ia harus menjamin
kualitasnya dengan baik. Pustakawan juga harus cerdas dalam menganalisa koleksi

buku apa yang di inginkan dan disuka oleh pelajar maupun pihak umum. Jika perlu
dilakukan penelitian atau request perpustakaan merupakan salah satu sumber
belajar yang sangat penting untuk menunjang minat baca. Melalui penyediaan
perpustakaan, siswa dapat berinteraksi dan terlibat langsung baik secara fisik
maupun mental dalam proses belajar. Penyediaan buku-buku yang menarik juga
dapat menjadi penunjang minat baca. Tidak hanya buku pelajaran, buku sejarah
atau buku ilmiah saja yang ada di perpustakaan, akan tetapi buku-buku cara
berternak yang baik, bertanam yang baik dan buku-buku yang menarik lainnya
yang tidak hanya tersedia untuk anak-anak, akan tetapi bisa untuk orang dewasa
juga.
Dan
buku
tersebut
mengandung
informasi
yang
diinginkan
pembaca (Darmono, 2007).
Ketiga, promosi gerakan gemar membaca di lingkungan sekolah. Cara untuk
melakukan promosi ini bisa bekerjasama dengan pihak kepala sekolah bersama
jajarannya. Akan lebih baik lagi jika kepala sekolah, guru, dan staff sekolah menjadi
orang pertama yang mengawali gerakan gemar membaca di sekolahnya. Bisa juga
membuat baliho atau spanduk di sekitar sekolah yang berisi seruan rajin membaca
misalnya, Ingin jadi Juara dan Berprestasi ? Rajinlah Membaca atau yang
sejenisnya. Cara lain bisa juga dengan cara kebijakan sekolah yang mewajibkan
semua siswa pada seminggu sekali atau dua kali diwajibkan untuk membaca
sebuah buku di perpustakaan yang kemudian memerintahkan mereka untuk
merangkum buku yang dipinjam serta menjelaskan poin-poin penting dari buku
yang sudah dibaca (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Keempat, memberikan penghargaan untuk orang yang gemar membaca. Caranya
bisa dilakukan dengan kerjasama antara pihak perpustakaan dan kepala sekolah
maupun perpustakaan dengan pemerintah setempat melalui kebijakan. Hadiah
tersebut bisa diberikan kepada orang yang paling sering meminjam buku di
perpustakaan dan mampu menjelaskan apa yang telah mereka baca. Dan jika siswa
atau pelajar ada semacam ketentuan berlaku disini bahwa yang mendapatkan
hadiah adalah mereka yang rajin meminjam buku dan kemudian diikuti dengan
peningkatan prestasi setelah rajin membaca (lihat cicendekia.wordpress.com,
03/04/13).
Kelima, menyediakan buku murah. Atau dengan menyelenggarakan
pameran buku. Seperti yang ada di Cairo beberapa bulan lalu. Selain menyediakan
buku-buku baru, juga menyediakan buku-buku bekas yang berharga murah namun
masih dalam kondisi yang bagus dan layak baca. Sehingga pengunjung terutama
pelajar, punya keinginan untuk membeli buku yang murah dan membacanya (lihat
cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Keenam, pengemasan buku yang menarik. Tidak hanya kemasan dari luar
saja, kemasan dalam segi isi buku juga diperlukan. Kebanyakan para pelajar suka
membaca buku fiksi seperti komik dan novel. Mereka tidak suka membaca buku
ilmiah karena dianggap membosankan. Mereka menganggap buku sejarah itu
menyebalkan dan memusingkan, walaupun sebenarnya buku sejarah itu berisi
tentang cerita dan kejadian-kejadian penting di masa lalu. Hal itu terjadi karena

bahasa yang ada di dalam buku sejarah sulit dimengerti oleh siswa, selain itu namanama dan tanggal-tanggal yang ada di dalamnya juga membuat mereka jenuh.
Lalu, bagimana jika sejarah itu dikemas dalam bentuk yang menarik dan berbeda.
Seperti dijadikan suatu komik yang disertai dengan ilustrasi gambar. Atau dikemas
dalam bentuk novel, yang hanya fokus terhadap jalan cerita dan tidak banyak
mencantumkan tanggal-tanggalnya (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).

Kesimpulan
Minat baca warga negara Indonesia terutama anak-anak sangat rendah karena
mereka lebih menyenangi menonton tv, main game pada komputer, ipad, gadget
dibanding membaca. Meskipun hanya membaca buku cerita, mereka lebih
menyukai hal-hal tersebut. Untuk itu kita harus segera mengubah pola, strategi dan
kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia agar minat baca warga Indonesia
meningkat. Dengan upaya meningkatkan minat baca, berarti kita juga
meningkatkan mutu pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Semakin kecil indeks
minat baca berarti semakin rendah pula mutu pendidikan di Indonesia. Sebaliknya
jika semakin tinggi indeks minat baca berarti semakin tinggi pula mutu pendidikan
di Indonesia
Apabila dirunut minat baca sangat berkait dengan kualitas suatu bangsa.
Rendahnya kebiasaan dan kemampuan membaca masyarakat kita disebabkan
rendahnya minat baca, dan tidak mengondisikan kedalaman pengetahuan dan
keluasan wawasan. Di samping itu, rendahnya kebiasaan dan kemampuan
membaca berpotensi menurunkan angka melek huruf yang secara langsung
menentukan mutu pendidikan dan kualitas bangsa. Kurangnya minat baca telah
tertutupi oleh gaya hidup pelajar yang hedon. Kehidupan hedon yang dimaksudkan
adalah suka jalan-jalan ke mall, bermain-main ke tempat hiburan, pergaulan sudah
mengarah pada pergaulan bebas. Kondisi seperti ini membuat keingintahuan pelajar
tidak ada. Ada sifat dalam diri pelajar yang sangat buruk. Yakni, masa bodoh atau
tidak ingin tahu.

Daftar Pustaka
Suherman. 2010. Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru
Peradaban. Bandung : MQS Publishing
Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : Rosda
Rahim, Farida. 2005. Pengajaran Membaca Di Sekolah Dasar. Jakarta : Bumi Aksara

Wiryodijoyo, Suwaryono. 1989. Membaca : Srategi, Pengantar dan Tekniknya.Jakarta :


P2LPTK
Darmono. 2007. Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Grasindo
Widyamartaya, A. 1992. Seni Membaca untuk Studi. Yogyakarta: Kanisius
Supriyono. 1998. Kontribusi Pustakawan Dalam Meningkatkan Minat Baca.Media
Pustakawan Vol. V, No. 3

http://jurnalilmiahtp2013.blogspot.co.id/

Anda mungkin juga menyukai