Anda di halaman 1dari 68

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No.

1 Maret 2009

JURNAL PENDIDIKAN Maret 2010, Volume 1 Nomor 1


Perbandingan Metode Cooperatif Learning Tipe Jigsaw Dengan Tipe
Stad Terhadap Prestasi Belajar Biologi Kelas Viii
Mtsn Kembangsawit (Hal. 3)
Nur Citra Utomo,Cicilia Novi Primiani
Penerapan Pendekatan Kontekstual Dengan Pemodelan Untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa Kelas VIII Smpn
I Jiwan Kabupaten Madiun (Hal. 12)
Lailatul Khasanah, Darmadi
Implementasi Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan
Kemampuan Sintesis (Synthesis) Pada Mata Pelajaran Biologi
Ery Tri Wulandari, Marheny Lukitasari (Hal. 20)
Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tps Dan Nht Terhadap
Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Aspek Self Concept (Hal. 31)
Agus Darmawan, Sanusi
Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk Mempercepat
Penyelesaian Soal-Soal Matematis Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi
Belajar Fisika (HaL. 44)
Anggun Windha Ningrum, Erawan Kurniadi
Efektivitas Model Pembelajaran Explicit Instruction Dan Stad Terhadap
Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Belajar Siswa
(Hal. 52)
Toyyib Syaichoni, Sardulo Gembong
Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk Mempercepat
Penyelesaian Soal-Soal Matematis Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi
Belajar Fisika (Hal. 61)
Heri Pratiwi, Purwandari

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmad dan
karunia-Nya Jurnal Pendidikan MIPA IKIP PGRI Madiun telah terbit
untuk edisi yang pertama. Berbagai penelitian yang mengkaji secara
mendalam tentang pembelajaran MIPA telah banyak di kaji oleh
berbagai peneliti pendidikan. Namun, implementasinya masih terasa
belum sampai pada praktisi pendidikan. Untuk menyebarluaskan
hasil-hasil penelitian agar dapat digunakan sebagai bahan acuan
pembelajaran terutama bagi dunia pendidikan, Jurnal Pendidikan
MIPA pada edisi yang pertama ini memuat hasil-hasil penelitian
tentang : Perbandingan Metode Kooperatif Learning Tipe Jigsaw
Dengan Tipe STAD Terhadap Prestasi Belajar Biologi Kelas VIII
MTsN Kembang Sawit, Penerapan Pendekatan Kontekstual Dengan
Pemodelan Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada
Siswa Kelas VII SMP I Jiwan Kabupaten Madiun, Implementasi
Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Kemampuan
Sintesis Pada Mata Pelajaran Biologi, Efektivitas Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe TPS dan NHT Terhadap Prestasi Belajar Matematika
Ditinjau Dari Aspek Self Concept, Penerapan Model Pembelajaran
Picture and Picture Untuk Mempercepat Penyelesaian Soal-Soal
Matematis Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika,
Efektivitas Model Pembelajaran Explicit Instruction dan STAD
Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Belajar
Siswa, Penerapan Pendekatan Konstruktivsme Melalui Pendekatan
Problem Base Instruction Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Pada Materi Pembiasan Cahaya
Sumbang saran berbagai pihak sangat diharapkan dalam upaya
meningkatkan kualitas Jurnal Pendidikan MIPA IKIP PGRI Madiun,
dan akhirnya redaksi berharap semoga tulisan dalam edisi ini dapat
bermanfaat bagi seluruh pembaca sehingga mampu menmbah
wawasan di bidang pendidikan

Redaksi

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

PERBANDINGAN METODE COOPERATIF LEARNING TIPE


JIGSAW DENGAN TIPE STAD TERHADAP PRESTASI
BELAJAR BIOLOGI KELAS VIII
MTsN KEMBANGSAWIT
Nur Citra Utomo
Cicilia Novi Primiani
Pendidikan Biologi FP MIPA IKIP PGRI Madiun

ABSTRAK
Tujuaan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan penggunaan metode cooperatif learning tipe jigsaw dan metode
cooperatif learning tipe STAD. Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen, dengan populasi adalah siswa kelas VIII MTsN Kembangsawit
dengan jumlah 180 siswa. Sampel penelitian ini adalah kelas VIII A
berjumlah 36 siswa yang belajar menggunakan metode cooperatif learning
tipe jigsaw dan kelas VIII C berjumlah 36 siswa yang belajar menggunakan
metode cooperatif learning tipe STAD. Pemilihan sample dengan teknik
cluster random sampling.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan tes yang diberikan
pada akhir KBM. Pengujian hipotesis menggunakan uji t. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa t hitung 4,83 dan t tabel 1,67, dengan taraf signifikasi
5% derajat kebebasan 70. Hal ini bererti ada perbedaan penggunaan metode
cooperatif learning tipe jigsaw dengan metode cooperatif learning tipe
STAD
Kata Kunci : Cooperatif Learning Tipe Jigsaw, Cooperatif Learning Tipe
STAD, Prestasi Belajar

PENDAHULUAN
Mata pelajaran biologi merupakan sarana berfikir ilmiah
yang diperlukan untuk mengembangkan cara berfikir siswa, sehingga
guru harus mengembangkan pembelajaran yang menyenangkan bagi

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

siswa. Ketidaksenangan terhadap pelajaran biologi mengakibatkan


prestasi belajar biologi kurang memuaskan. Oleh karena itu, untuk
mengubah cara berfikir siswa yang sulit memahami biologi perlu
diadakan berbagai upaya untuk mengubah proses pembelajaran yang
selama ini berpusat pada guru kearah keaktifan siswa sehingga minat
siswa terhadap biologi meningkat.
Kenyataan di sekolah, meskipun berbagai upaya untuk
meningkatkan kualitas siswa ternyata hasil belajar di sekolah belum
optimal. Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan di MTsN
Kembangsawit Kebonsari Madiun nilai raport biologi siswa yang
tuntas belajar > 65, sedangkan yang tidak tuntas < 65. Salah satu
penyebabnya adalah masih kurangnya kemampuan guru dalam
memilih metode dan menggunakan metode, sehingga minat siswa
terhadap biologi kurang. Penggunaan metode mengajar hendaknya
seorang guru mampu menyesuaikan materi pelajaran dengan metode
yang digunakan, sehingga dapat melibatkan siswa aktif. Siswa diberi
kebebasan

untuk

menyelesaikan

soal-soal

sesuai

dengan

pengalamannya, tanpa aturan yang diharapkan dan mengikat, siswa


bebas menggunakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal
sehingga dapat menemukan lebih dari satu macam cara menjawab
soal.
Metode mengajar yang melibatkan keaktifan siswa
diharapkan

dapat

meningkatkan

keberhasilan

dalam

prestasi

belajarnya dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan pengajaran

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

dengan mendengarkan belajar akan lebih efektif bila siswa diberi


kesempatan berpartisipasi dan dirangsang untuk menyelesaikan
masalah.
Bentuk metode mengajar yang menekankan keaktifan
siswa antara lain adalah metode cooperatif learning tipe jigsaw dan
metode cooperatif learning tipe STAD. Pembelajaran kooperatif
menunjukkan bahwa sasaran pembelajaran sangat penting, tugas
belajar bersifat rumit dan konseptual, pemecahan masalah diperlukan,
berfikir divergen atau kreatif diperlukan, kualitas kinerja sangat
diharapkan. Strategi berfikir sangat tinggi dan berfikir kritis sangat
dibutuhkan, pengembangan sosial dari siswa adalah suatu sasaran
utama pembelajaran.
Menurut (Yusuf, 2005) metode jigsaw didesain untuk
meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pembelajarannya
sendiri. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi
mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut
pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian siswa saling
bergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara
kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Sedangkan
metode STAD merupakan salah satu pilihan yang tepat pada strategi
belajar mengajar. Tidak hanya mengajar pada tujuan pemahaman
konsep, tetapi ada tujuan tertentu kepada siswa. Tujuan iringan itu
misalnya belajar menghargai pendapat orang lain, bersikap terbuka,
mengaktualisasikan diri, percaya diri dan sebagainya. Apabila kita

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

memperhatikan bahwa manusia adalah makhluk sosial, maka


keberadaannya hanya dapat dikembangkan dalam kebersamaan dan
sesama siswa dalam satu kelompok akan menciptakan realitas sosial
(Nurhadi, 2004)

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di MTsN Kembangsawit
Kebonsari Madiun Penelitian ini berupa penelitian eksperimen,
Variabel bebas adalah model pembelajaran Jigsaw dan model
pembelajaran STAD. Sedangkan variabel terikat adalah prestasi
belajar. Populasinya adalah seluruh siswa kelas VIII sebanyak 180
siswa. Sampel penelitian ini adalah kelas VIII A berjumlah 36 siswa
yang belajar menggunakan metode cooperatif learning tipe jigsaw dan
kelas VIII C berjumlah 36 siswa yang belajar menggunakan metode
cooperatif learning tipe STAD. Pemilihan sample dengan teknik
cluster random sampling.
Teknik pengambilan data menggunakan tes yang diberikan
pada akhir KBM. Teknik analisis data secara kuantitatif dengan
menggunakan analisis statistik parametrik uji t.

Untuk keperluan

analisis tersebut, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu


uji normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors dan uji homogenitas
dengan menggunakan uji Bartlett.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

HASIL DAN PEMBAHASAN


Setelah uji prasyarat analisis dipenuhi dilakukan uji
analisis t tes. Adapun hasilnya adalah seperti pada tabel 1
Tabel 1. Uji Analisis menggunakan Uji t
Deskripsi

Metode Jigsaw

Metode STAD

N (jumlah siswa)

36

36

Skor Maks

90

85

Skor Min

67

62

X (Mean)

77,94

71,16

S (simpangan baku)

6,13

6,07

Berdasarkan data hasil tes yang dianalisa dengan uji t, perhitungan


diperoleh t hitung adalah 4,83, sedangkan t table sebesar 1,67, untuk
dk 70 dengan taraf signifikan 5%. Karena t hitung > t tabel maka ada
perbedaan antara prestasi belajar siswa yang menggunakan metode
cooperatif learning tipe jigsaw dan yang menggunakan metode
cooperatif learning tipe STAD.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh, maka terdapat
perbedaan prestasi belajar yang menggunakan metode cooperatif
learning tipe jigsaw dengan yang menggunakan metode cooperatif
learning tipe STAD. Siswa yang menggunakan metode cooperatif
learning tipe jigsaw rata-rata prestasi belajar adalah 77,94 dengan
nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 67. Sedangkan siswa yang
menggunakan metode cooperatif learning tipe STAD rata-rata prestasi

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

belajar adalah 71,16 dengan nilai tertinggi 85 dan nilai terendah 62.
Hal tersebut sesuai dengan hasil perhitungan uji t, dengan t hitung
sebesar 4,83 dan t tabel sebesar 1,67. Karena t hitung > t tabel, artinya
prestasi belajar yang diajar menggunakan metode cooperatif learning
tipe jigsaw berbeda dengan prestasi belajar siswa yang diajar
menggunakan metode cooperatif learning tipe STAD. Hal ini terjadi
karena adanya perbedaan dalam keterlibatan siswa dalam kegiatan
belajar mengajar, sehingga pemahaman konsep pun berbeda. Dalam
penelitian ini, pembelajaran dengan metode jigsaw memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan metode STAD. Hal ini terjadi
karena metode jigsaw lebih melibatkan siswa dalam proses
pembelajaran. Dalam arti siswa lebih aktif. Dalam metode jigsaw,
siswa mempelajari materi yang telah diberikan sesuai kelompok ahli,
kemudian hasil belajar disampaikan kepada teman yang lain. Dalam
hal ini siswa telah belajar beebrapa kali, sehingga secara tidak
langsung siswa lebih memahami materi. Sedangkan metode STAD
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan mengembangkan sifat
tolong menolong. Dalam metode STAD, siswa mampu menjelaskan
konsep dengan menggunakan bahasa sendiri. Akan tetapi kemampuan
tiap siswa berbeda (heterogen) maka siswa yang aktif saja yang
mampu

mengembangkan

kemampuannya.

Selain

itu

proses

pembelajaran hanya terjadi satu kali saja, sehingga pemahaman


konsep dirasakan masih kurang.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Metode jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran yang terdiri


dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab
atas penguasaan bagian materi dan mampu mengajarkan bagian
tersebut kepada anggota yang lain dalam kelompoknya. (Yusuf,
2005:36). Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggungjawab
siswa terhadap pembelajarannya sendiri. Siswa hanya mempelajari
materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan
mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompok yang lain.
Dengan demikian siswa saling bergantungan dengan yang lain dan
harus bekerjasama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang
diberikan.
Metode STAD adalah suatu tipe pembelajaran yang dapat
memahami konsep-konsep yang sulit, menumbuhkan kemampuan
kerjasama, kreatif, berfikir kritis serta adanya kemampuan membantu
teman. Dalam pembelajaran tipe STAD ini, guru mengacu pada belajar
kelompok siswa menggunakan informasi verbal atau tes. Siswa dalam
suatu kelas dipecah menjadi beberapa kelompok yang bersifat
heterogen. (Nurhadi, 2005:116) STAD didesain untuk memotivasi
siswa-siswa supaya kembali semangat dan saling menolong untuk
mengembangkan keterampilan yang diajarkan oleh guru. Siswa harus
dapat menyemangati anggota timnya untuk mengajarkan yang terbaik.
Penggunakan metode cooperatif learning tipe jigsaw dan
tipe STAD yang menekankan keaktifan siswa, maka siswa dapat
terlibat aktif berpartisipasi dalam proses belajar mengajar. Secara

10

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

intelektual dan emosional, sehingga prestasi belajar akan lebih efektif


dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah, mengemukakan
pendapat dan mendiskusikan dengan anggota kelompok. Dengan
suasana belajar kelompok yang menyenangkan dan efektif hal tersebut
dapat menumbuhkan sikap kreatif, kritis, terhadap suatu masalah dan
tanggungjawab siswa terhadap materi pelajaran, sehingga diharapkan
prestasi belajar biologi yang dicapai siswa dapat maksimal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ada perbedaan penggunaan metode cooperatif learning tipe jigsaw
dengan metode cooperatif learning tipe STAD terhadap prestasi
belajar biologi di MTsN Kembangsawit Tahun Pelajaran 2008/2009.
Saran
1. Sekolah, diharapkan fasilitas belajar mengajar lebih ditingkatkan
untuk meningkatkan mutu pendidikan.
2. Guru, diharapkan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar
dapat lebih mengembangkan metode pembelajaran jigsaw dan
metode pembelajaran STAD.
3. Siswa, diharapkan para siswa meningkatkan motivasi belajar dalam
mempelajaran bidang studi agar mendapatkan hasil prestasi yang
memuaskan

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

11

DAFTAR RUJUKAN
Anita Lie. 2004. Cooperatif Learning Mempraktikkan Cooperatif
Learning Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia.
Baharudin dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan
Pembelajaran. Bandung: Arr-Ruzz-Media.
Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan Jawaban). Jakarta:
Gramedia Widia sarana Indonesia.
Oemar Hamalik. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi
Aksara.
Syaiful Djamarah. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Wina Sanjaya. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi KBK.
Jakarta: Kencana Prenoda Media Group.

12

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN


PEMODELAN UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS VIII SMPN I
JIWAN KABUPATEN MADIUN
Lailatul Khasanah
Darmadi
Pendidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah penerapan
pendekatan kontekstual dengan pemodelan dapat meningkatkan prestasi
belajar matematika pada siswa kelas VIII SMPN 1 Jiwan Kabupaten
Madiun. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas
(PTK). Subyek penelitian adalah siswa kelas VIIIC SMPN 1 Jiwan
Kabupaten Madiun dengan jumlah 41 siswa. Pengumpulan data berupa data
prestasi belajar yang diambil dengan teknik tes dan data minat belajar yang
diambil dengan angket. Hasil penelitian ketuntasan prestasi belajar
menunjukkan terjadi peningkatan dari siklus I sebesar 60,98%, siklus II
sebesar 65,85% dan siklus III sebesar 80,49%.
Kata Kunci

: prestasi belajar, pendekatan kontekstual, pemodelan

PENDAHULUAN
Salah satu mata pelajaran yang penting dan selalu
dibutuhkan dalam berbagai segi kehidupan adalah matematika. Materi
yang terkandung dalam matematika sangat berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari, oleh karena itu matematika sudah diajarkan
sejak anak duduk di bangku sekolah dasar bahkan sudah
diperkenalkan sejak anak duduk di bangku taman kanak-kanak.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

13

Namun pada kenyataannya banyak anak merasa kesulitan belajar


matematika. Selama ini kebanyakan guru mengajarkan matematika
dengan ceramah, menulis di papan tulis dan menggambar. Selain itu
guru cenderung mendominasi kelas sehingga tidak ada kesempatan
siswa untuk mengungkapkan pendapatnya. Saat pembelajaran, banyak
siswa yang kurang aktif dan kurang memperhatikan penjelasan guru.
Kebanyakan siswa tidak tertarik dengan apa yang disampaikan guru.
Setiap kali ulangan baik ulangan harian maupun ulangan semester
banyak siswa yang nilainya di bawah kriteria ketuntasan minimal
sehingga mereka harus mengikuti ulangan perbaikan atau remidi.
Pembelajaran seperti ini tentu sangat tidak mendukung pembelajaran
matematika karena pada dasarnya penelaahan matematika tidaklah
konkret, tetapi abstrak (Herman Hudojo, 1990:2).
Menurut Wina Sanjaya (2006:109), contextual teaching
and learning (CTL) atau pembelajaran kontekstual adalah suatu
pendekatan

pembelajaran

yang

menekankan

kepada

proses

keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang


dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi dunia nyata
sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka.

Siswa dituntut penuh untuk terlibat dalam

pembelajaran dan menemukan sendiri materi yang ia pelajari. Setelah


materi ditemukan, siswa didorong untuk menemukan hubungan materi
yang

diperoleh dengan kehidupannya. Pembelajaran kontekstual

sebagai suatu pendekatan pembelajaran mempunyai tujuh komponen.

14

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Ketujuh komponen tersebut menurut Nurhadi, dkk (2004), yaitu:


konstruktivisme,

(constructivism),

inkuiri

(inquiry),

bertanya

(questioning), pemodelan (modeling), masyarakat belajar (learning


community), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic
assessment). Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang
dipikirkan,

mendemonstrasikan

bagaimana

guru

menginginkan

siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang dinginkan guru.


Pembelajaran kontekstual dengan pemodelan, penjelasan
materi disertai dengan contoh-contoh soal dan penyelesaiannya,
pemberian contoh apa yang harus dikerjakan siswa, penggunaan alat
peraga dan lain-lain (Erman Suherman, 2009).Siswa mendapatkan
gambaran konkret tentang konsep yang sedang diajarkan, dengan
demikian siswa tidak kesulitan memahaminya. Alat peraga yang
digunakan dalam pembelajaran kontekstual bermacam-macam sesuai
dengan materi. Pemodelan sangat tepat jika digunakan untuk
mengajarkan matematika terutama pada pokok bahasan kubus dan
balok. Dengan pemodelan siswa ditunjukkan contoh-contoh bangun
ruang secara konkret sehingga konsep mengenai bangun ruang
tersebut lebih cepat diterima dan dipahami oleh siswa, sehingga
pembelajaran menjadi lebih menarik. Tujuan penelitian adalah untuk
meningkatkan prestasi belajar matematika melalui pendekatan
kotekastuan dengan pemodelan.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

15

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 1 Jiwan Kabupaten
Madiun Tahun Pelajaran 2008/2009. Subyek penelitian adalah siswa
kelas VII C dengan jumlah 41 siswa. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan tiga siklus,
tiap siklus terdiri dilakukan dengan tiga kali pertemuan. Masingmasing siklus terdiri dari perencanaan (planning), tindakan (acting),
observasi (observing) dan refleksi (reflecting).
Teknik pengambilan data dengan menggunakan tes.
Instrumen yang digunakan adalah soal tes yang digunakan untuk
mengetahui prestasi belajar.

Analisis data yang digunakan adalah

kualitatif dengan model analisis

interaktif.

Guru melakukan

pembelajaran pendekatan kontekstual dengan pemodelan. Indikator


keberhasilan dalam penelitian ini adalah ketuntasan individu
ditetapkan dengan kriteria apabila peserta didik telah menguasai 65%
dari jumlah soal yang diberikan atau dengan nilai 6,5. Ketuntasan
klasikal tercapai apabila 85% dari jumlah peserta didik telah tuntas
atau dengan nilai 85.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil tes prestasi belajar seperti ditunjukkan pada tabel 1,
siklus I nilai rata-rata siswa yaitu 65. Adapun jumlah siswa yang
tuntas pada siklus I sebanyak 25 siswa dan yang tidak tuntas sebanyak
19 siswa. Prosentase ketuntasan belajar siswa adalah 60,98%. Siklus

16

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

II tes prestasi belajar menunjukkan nilai rata-rata siswa yaitu 69,02.


Jumlah siswa yang tuntas sebanyak 27 siswa dan yang tidak tuntas
sebanyak 14 siswa. Prosentase ketuntasan belajar adalah 65,85%.
Hasil tes prestasi beajar siklus III nilai rata-ratanya 77,80. Jumlah
siswa yang tuntas pada siklus I sebanyak 33 siswa dan yang tidak
tuntas sebanyak 8 siswa. Prosentase ketuntasan belajar siswa adalah
80,49%.
Tabel 1. Rerata prestasi dan persentase ketuntasan belajar Matetatika
siswa kelas VIII SMPN I Jiwan Kab. Madiun melalui
pendekatan kontekstual dengan pemodelan

Siklus I

Nilai
Ratarata
65

Jumlah
siswa
tuntas
25

Jumlah
siswa tidak
tuntas
19

Siklus II
Siklus III

69,02
77,8

27
33

14
8

Keterangan

Prosentase
Ketuntasan
60,98%
65,85%
80,49%

Seperti tabel 1 nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar


mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena guru selalu
melibatkan siswa dalam diskusi, memotivasi siswa untuk bertanya
serta lebih banyak mengajak komunikasi siswa. Pembelajaran
kontekstual siswa dituntut penuh untuk terlibat dalam pembelajaran
dan menemukan sendiri materi yang ia pelajari. Setelah materi mereka
temukan, siswa didorong untuk menemukan hubungan materi yang ia
peroleh dengan kehidupan mereka. Selain itu, dalam pembelajaran

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

17

kontekstual siswa juga didorong untuk dapat menerapkan materi yang


mereka peroleh dengan kehidupan mereka.
Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam
pembelajaran kontekstual. Menurut Wina Sanjaya (2006) melalui
modeling atau pemodelan siswa dapat terhindar dari pembelajaran
yang teoritis abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.
Hal ini mempunyai pengertian bahwa dengan modeling siswa akan
mendapatkan gambaran yang konkret tentang apa yang sedang ia
pelajari sehingga pengetahuan yang ia peroleh bukan sekedar teori
tapi benar-benar ia pahami baik secara konsep maupun prakteknya.
Sesuai dengan materi yang diajarkan tentang kubus dan balok, maka
guru membawa contoh-contoh bentuk kubus dan balok, sehingga
siswa dapat menggambarkan secara nyata. Melalui alat peraga siswa
akan mendapatkan gambaran yang konkret mengenai materi yang
mereka pelajari. Misalnya dalam mempelajari luas permukaan bangun
kubus dan balok, mungkin beberapa siswa hafal dengan rumus
tersebut, akan tetapi mereka tidak mengerti bagaimana rumus tersebut
diperoleh bahkan seiring waktu berjalan mereka akan lupa dengan
rumus tersebut. Melalui pendekatan kontekstual dengan pemodelan
siswa akan ditunjukkan secara konkrit bangun kubus dan balok, dan
bersama-sama mereka diajak mencari rumus luasnya sehingga rumus
yang mereka peroleh dapat lebih melekat dalam ingatan mereka.

18

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

KESIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan pemodelan pada
pokok bahasan kubus dan balok dapat meningkatkan prestasi belajar
matematika
Saran
Guru diharapkan dapat menerapkan pembelajaran menggunakan
pendekatan kontekstual dengan pemodelan dalam pembelajaran
matematika, sehingga dalam penjelasan materi dapat dihindari
pemahaman yang abstrak. Tersedianya alat peraga dan media yang
memadai juga sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas
pembelajaran.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

19

DAFTAR RUJUKAN
Aulia Arie Fridayanti. 2008. Upaya Meningkatkan prestasi Belajar
siswa pada pokok bahasan geometri dengan menggunakan
alat peraga melalui pendekatan kooperatif di kelas VIII SMP
Negeri Jiwan Tahun Ajaran 2008/2009. Skripsi tidak
diterbitkan. Madiun: Fakultas MIPA IKIP PGRI Madiun
Erman Suherman. 2009. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran
Matematika, (Online),http://educare.e-fkipunla.com Diakses 4
Maret 2009
Herawati Susilo, dkk. 2008. Penelitian Tindakan Kelas sebagai sarana
pengembangan keprofesionalan
Guru dan Calon Guru.
Malang: Bayumedia Publishing
Herman Hudojo. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang:
IKIP Malang
Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching
and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang:
UM Press
Retno Wulandari. 2008. Upaya Menciptakan Suasana Belajar
Matematika yang Menyenangkan dengan Media Karikatur
pada Sub Pokok Bahasan Geometri Siswa Kelas V MI
Islamiyah 02 Madiun Tahun Ajaran 2007/2008. Skripsi tidak
diterbitkan. Madiun: Fakultas MIPA IKIP PGRI Madiun
Sudaryani. 2008. Penerapan pembelajaran kontekstual untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran
matematika di kelas VIII E SMP Negeri 10 Madiun Tahun
Pelajaran 2008/2009. Skripsi tidak diterbitkan. Madiun:
Fakultas MIPA IKIP PGRI Madiun
Wina Sanjaya. 2006. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana

20

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN SCRAMBLE


UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SINTESIS
(SYNTHESIS) PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI

Ery Tri Wulandari


Marheny Lukitasari
Pendidikan Biologi FP MIPA IKIP PGRI Madiun

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari
dua siklus melalui tahap perencanaan, tindakan, observasi, refleksi. Subyek
penelitian ini adalah siswa kelas VIII-D SMP N 10 Madiun, sejumlah 42
siswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama penerapan model pembelajaran
scramble kemampuan kognitif siswa pada tingkat sintesis meliputi aspek
menyusun, merumuskan dan menghubungkan suatu masalah, meningkat dari
siklus I sebesar 64% dan siklus II sebesar 81%. Aktivitas siswa pada siklus I
sebesar 68% meningkat pada siklus II menjadi 87,5%.
Kata kunci : model scramble, kemampuan sintesis.

PENDAHULUAN
Proses pembelajaran merupakan kegiatan integral antara
pelajar dan guru sebagai pengajar, yang dalam kegiatan ini
berlangsung interaksi reciprocal yaitu hubungan antara guru dengan
peserta didik dalam situasi dalam pembelajaran. Keberhasilan
kegiatan pembelajaran ditentukan oleh kerja sama antara guru dan
peserta didik tersebut. Proses pembelajaran di SMP Negeri 10

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

21

Madiun, belum dapat mengaktifkan peserta didiknya sebagai subyek


secara maksimal. Berdasarkan observasi yang sudah dilakukan, di
SMP Negeri 10 Madiun hasil belajar yang dicapai menunjukkan
bahwa siswa sudah cukup menguasai kemampuan kognitif pada aspek
pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis. Namun ketika siswa
diberi tes tulis berupa soal aspek sintesis, siswa merasa kesulitan
sehingga nilai yang diperoleh menjadi rendah.
Kemampuan

sintesis

merupakan

kemampuan

untuk

mengumpulkan dan mengorganisasikan semua unsur atau bagian,


sehingga

membentuk

satu

keseluruhan

secara

utuh.

Untuk

menampilkan pikiran secara orisinal dan inovatif secara intelektual


dengan

mengkombinasikan semua unsur

yang relevan guna

membentuk suatu pola atau struktur yang sama. Aspek sintesis dalam
pembelajaran ditunjukkan dalam suatu proses yang memadukan
bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga membentuk
menjadi struktur yang baru.

Menurut

Nasution, (2005: 35)

kemampuan sintesis yang dikemukakan pada hasil belajar pada aspek


sintesis merupakan suatu proses yang didasarkan untuk menjadikan
orang lebih kreatif, yang mana berpikir kreatif merupakan salah satu
hasil yang hendak dicapai dalam pendidikan.
Sehubungan dengan kemampuan sintesis hasil belajar pada
aspek sintesis merupakan salah satu terminal untuk menjadikan siswa
lebih kreatif. Seseorang yang kreatif sering menemukan atau
menciptakan sesuatu, dengan kemampuan sintesis orang mungkin

22

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

dapat menemukan hubungan kausal atau urutan tertentu, atau


menemukan abstraksinya atau operasionalnya (Nana Sudjana, 2002)
Menurut Martinis (2007) Model pembelajaran scramble
merupakan

model

pembelajaran

yang

menyerupai

permainan

scramble menyusun kembali susunan huruf-huruf yang memang telah


dikacau balaukan terlebih dahulu menjadi kata seperti semula. Dalam
pembelajaran scramble ini keaktifan dan kreatifitas siswa menjadi hal
yang penting karena tanpa hal tersebut siswa menjadi tidak
berkembang.
Model pembelajaran scramble mampu mengoptimalkan siswa
untuk berpikir lebih kreatif dalam menemukan dan menyusun suatu
pola atau

struktur yang baru yang ternyata dapat meningkatkan

kemampuan sintesis peserta didik. Berdasarkan observasi yang sudah


dilakukan, di SMP Negeri 10 Madiun hasil belajar yang dicapai
menunjukkan bahwa siswa sudah cukup menguasai kemampuan
kognitif pada aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis.
Namun ketika siswa diberi tes tulis berupa soal aspek sintesis, siswa
merasa kesulitan sehingga nilai yang diperoleh menjadi rendah. Untuk
mengoptimalkan hasil belajar siswa, terutama menyeimbangkan
kemampuan kognitifnya maka model pembelajaran yang akan
diterapkan adalah model pembelajaran scramble.
Kemampuan

sintesis

merupakan

kemampuan

untuk

mengumpulkan dan mengorganisasikan semua unsur atau bagian,


sehingga

membentuk

satu

keseluruhan

secara

utuh.

Untuk

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

23

menampilkan pikiran secara orisinal dan inovatif secara intelektual


dengan

mengkombinasikan semua unsur

yang relevan guna

membentuk suatu pola atau struktur yang sama.


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi
model pembelajaran scramble untuk meningkatkan kemampuan
sintesis pada mata pelajaran Biologi siswa Kelas VIII-D SMP Negeri
10 Madiun.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 10 Madiun Tahun
Pelajaran 2008/2009. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII D
dengan jumlah 42 siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian tindakan kelas (PTK) dengan tiga siklus, tiap siklus terdiri
dilakukan dengan tiga kali pertemuan. Masing-masing siklus terdiri
dari perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi (observing)
dan refleksi (reflecting). Sumber data dalam penelitian ini adalah
siswa selama proses KBM dengan menerapkan model pembelajaran
scramble yang meliputi data prestasi belajar siswa terutama dari aspek
sintesis siswa, data aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran.
Teknik pengumpulan data menggunakan tes prestasi
belajar dan observasi. Tes prestasi belajar aspek sintesis diberikan
pada akhir kegiaan pembelajaran. Indikator keberhasilan dalam
penelitian ini adalah ketuntasan individu ditetapkan dengan kriteria
apabila peserta didik telah menguasai 65% dari jumlah soal yang

24

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

diberikan atau dengan nilai 6,5. Indikator ketercapaian dalam


penelitian ini adalah 80%.
Teknik analisis

data menggunakan analisis kualitatif

interaktif. Dalam analisis yang harus dilaksanakan adalah

reduksi

data, yang merupakan komponen pertama dalam analisis berupa


proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi dari jenis
yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan (fieldnote).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil tes prestasi belajar seperti ditunjukkan pada tabel 1
yang menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa masih kurang dari
indikator yang ditetapkan, karena rata-rata hanya 64,28% siswa yang
mencapai ketuntasan belajarnya. Prosentase ketidak tuntasan belajar
siswa adalah 35,72%.

Tabel 2. Frekuensi Relatif Prestasi Belajar Siswa Siklus I


SKBM

Siklus I

Rata-rata

Keterangan

Tatap

Tatap Muka

Muka I

II

65

59,52

69,04

64,28

Tuntas

< 65

40,48

30,95

35,72

Tidak tuntas

Indikator ketercapaian 80 %

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

25

Sedangkan hasil prestasi belajar siswa siklus II seperti pada


tabel 2 yang menunjukkan prestasi belajar siswa telah mencapai
ketuntasan dengan prosentase sebesar 80,95%, sehingga sudah
mencapai indikator yang ditetapkan yaitu 80 % siswa mendapat nilai
65. Sedangkan 11,91% siswa lainnya belum tuntas.
Tabel 2. Frekuensi Relatif Prestasi Belajar Siswa Siklus II
SKBM

Siklus I

Rata-rata

Keterangan

TM I

TM II

65

69,05

92,85

80,95

Tuntas

< 65

16,67

7,14

11,91

Tidak tuntas

Indikator ketercapaian 80 %

Siklus I siswa yang belum tuntas sebanyak 15 siswa,


dengan prosentase 36%. Masih banyak siswa yang belum mencapai
ketuntasan disebabkan karena kurang aktifnya siswa dalam kegiatan
pembelajaran, sehingga aktifitas-aktifitas siswa yang sebenarnya
merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran
kurang termotivasi dengan baik. Pola pikir siswa kurang terbentuk
kearah pemikiran yang mengacu pada aspek sintesis. Aktifitas siswa
pada siklus I mayoritas siswa belum mampu mengerjakan soal sintesis
sehingga masih banyak jawaban salah. Sulitnya materi pelajaran serta
masih belum terbiasa menggunakan model pembelajaran scramble
menjadikan siswa mengalami kebingungan saat KBM berlangsung.
Siklus II yang belum mencapai ketuntasan sebanyak 5
siswa dengan prosentase 12% dari jumlah seluruh siswa. Aktivitas

26

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

intelektual siswa pada aspek sintesis mengalami peningkatan dan


kemampuan dalam pola pikir siswa sudah terbentuk ketingkat
pemikiran aspek sintesis, siswa sudah mulai berpikir aktif dan kreatif
dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai pendapat (Anas Sudjiono,
2006: 51) menyatakan bahwa kemampuan aspek sintesis merupakan
suatu proses yang didasarkan untuk berpikir menjadikan orang lebih
kreatif, berpikir kreatif salah satu yang hendak dicapai dalam
pendidikan. Bukti yang lain banyak siswa yang antusias dan aktif
bertanya pada materi yang belum dipahami. Siswa sudah mampu
dalam menguasai materi, karena guru dalam penyampaian materi
pelajaran dilaksanakan dengan tepat dan jelas. Memotivasi siswa
dengan melontarkan pertanyaan yang cukup merangsang siswa untuk
berpikir serta memberi kesempatan pada siswa. Setelah penerapan
model pembelajaran scramble prestasi belajar siswa mengalami
peningkatan dari 64% pada siklus I 64% menjadi 81% pada siklus II,
hal ini menunjukkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran
scramble berhasil mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa dalam kegiatan
pembelajaran siklus I seperti pada tabel 3 menunjukkan bahwa nilai
aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran pada siklus I adalah
68,75%, termasuk kedalam kategori aktif tetapi belum mencapai
indikator ketercapaian yaitu 81.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

27

Tabel 3. Data Hasil Aktivitas Siswa


Kegiatan
Aktivitas
Siswa

Aspek yang diamati


a.

Mendengarkan atau memperhatikan


penjelasan dari guru
b. Aktif dalam kegiatan pembelajaran
c. Keaktifan siswa dalam mengerjakan LKS
sesuai model scramble
d. Mengerjakan soal tes diakhir PBM
Jumlah
Persentase rata-rata
Rata-rata
Jumlah aktivitas siswa

Skor
TM I
TM
II
2
2
2
4

4
4

2
2
10
12
62,5
75
68,75
22

Indikator ketercapaian 81 kategori aktif

Hasil refleksi menunjukkan bahwa masih banyak siswa


yang kurang antusias saat guru melontarkan pertanyaan-pertanyaan
pada saat kegiatan

belajar berlangsung, kurang mampunya siswa

dalam menguasai materi, kemampuan siswa masih kurang dan belum


menunjukkan adanya kreatifitas pada saat mengerjakan LKS model
scramble, masih kurangnya antusias pada saat mengerjakan soal tes
diakhir KBM, terlihat guru masih dominan pada dalam menerapkan
model scramble. Sedangkan hasil observasi aktivitas siswa dalam
kegiatan pembelajaran siklus I seperti pada tabel 4 menunjukkan
bahwa skor yang diperoleh mencapai 14, menunjukkan aktivitas siswa
sebesar 87,5 % dengan kategori sangat aktif.

28

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Tabel 4. Hasil Aktivitas Siswa Pada Siklus II


Kegiatan

Aspek yang dinilai


a. Mendengarkan dan memperhatikan guru
b. Aktif dalam kegiatan pembelajaran
c. Keaktifan siswa dalam mengerjakan
LKS
d. Mengerjakan soal tes diakhir PBM

Aktivitas
siswa

Skor
TM I
TM II
3
4
3
4
4
4
2
4

Jumlah
12
16
Prosentase nilai rata-rata
75
100
Rata-rata
87,5
Jumlah skor maksimal
16
Indikator ketercapaian 81 kategori sangat baik

Aktivitas siswa pada siklus I masih banyak siswa yang


tidak memperhatikan penjelasan dari guru, sehingga kurang lebih dari
50% siswa memperhatikan penjelasan dari guru. Saat guru
memberikan tugas berupa LKS model scramble masih banyak siswa
yang bingung, ramai sendiri. Siklus II saat guru menjelaskan materi,
semua siswa antusias memperhatikan penjelasan dari guru sehingga
siswa menunjukkan keaktifan dalam kegiatan pembelajaran misalnya:
siswa menanyakan pada guru materi yang belum ia pahami, terbukti
sudah mengalami peningkatan dari yang 1 atau 2 siswa yang bertanya
menjadi 3 atau 5 siswa. Saat mengerjakan LKS siswa banyak yang
kreatif sehingga sudah mampu untuk menyusun, menggabungkan dan
menjawab dengan benar. Sesekali guru memberi saran untuk diskusi
dengan teman sebangku. Sesuai pendapat (George Boeree, 2008: 74)
yang menyatakan bahwa kebaikan metode diskusi antara lain
menyadarkan

peserta

didik

bahwa

dengan

diskusi

mereka

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

29

mengungkapkan pendapat secara kontruktif atau dapat diperoleh suatu


keputusan yang lebih baik.

KESIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa penerapan model pembelajaran scramble dapat meningkatkan
hasil prestasi belajar khususnya pada aspek sintesis siswa serta
meningkatkan aktivitas siswa dan aktivitas guru dalam proses
pembelajaran.
Saran
Guru diharapkan dapat menerapkan pembelajaran menggunakan
metode pembelajaran yang sesuai untuk dapat melatih konsep berpikir
sintesis, sehingga proses berpikir analitis dapat dibangun oleh siswa.
DAFTAR RUJUKAN
M. Sardiman . 2003. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar.
Jakarta: PT Raja Grasindo Persada
Asep Herry Hermawan. 2008. Pemgembangan Kurikulum Dan
Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
E. Mulyasa . 2005. Imp lementasi Kurikulum 2004 Tingkat Satuan
Pendidikan. PT Bumi Aksara.
Hadiyanto, M.Ed. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen
Pendidikan Di Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta.

30

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Martinis Yahmin. 2007. Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat


Satuan Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press Nana
Sudjana. 2002. Pembinaan Dan Pengembangan Kurikulum
Di Sekolah. Bandung: PT Sinar Baru Algasindo.
Nana Sudjana. 2002. Pembinaan Dan Pengembangan Kurikulum Di
Sekolah. Bandung: PT Sinar Baru Algasindo.
Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

31

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN


KOOPERATIF TIPE TPS DAN NHT TERHADAP
PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU
DARI ASPEK SELF CONCEPT
Agus Darmawan
Sanusi
Pendidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran
kooperatif tipe TPS dan NHT terhadap prestasi belajar matematika ditinjau
dari aspek self concept. Populasi yang diambil pada penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas VII SMPN 1 Ngariboyo yang berjumlah 5 kelas atau 186
siswa. Sampel yang diambil menggunakan teknik cluster random sampling
yaitu kelas VII A dan VII E atau berjumlah 76 siswa. Metode pengumpulan
data menggunakan tes untuk memperoleh data prestasi belajar matematika
dan angket untuk memperoleh data self concept siswa. Analisis data yang
digunakan adalah anava dua jalan dengan sel tak sama. Hasil uji hipotesis
dengan uji anava ( = 0,05) menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan efek
antar baris terhadap variabel terikat (Fobs = 8,1990 dan F = 4,00), (2)
terdapat perbedaan efek antar kolom terhadap variabel terikat (Fobs =29,5828
dan F = 3,15), (3) tidak ada interaksi baris dan kolom terhadap variabel
terikat (Fobs = 0,1504 dan F = 3,15). Kesimpulan dari hasil penelitian adalah
prestasi belajar matematika siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe
TPS lebih baik dari pada siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe
NHT. Siswa yang mempunyai self concept tinggi lebih baik dari pada siswa
yang memiliki self concept sedang maupun rendah, tetapi bagi siswa yang
mempunyai self concept sedang dan rendah tidak mempunyai perbedaan
prestasi belajar yang berarti.
Kata Kunci: TPS, NHT, self concept, prestasi belajar

32

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa tidaklah sedikit dari siswa
yang menganggap bahwa matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang sulit. Pandangan ini tentunya akan sangat berpengaruh
terhadap siswa untuk dapat menerima pelajaran yang disampaikan
guru.

Dengan adanya

pandangan tersebut,

tidak

seharusnya

matematika diberikan secara langsung oleh guru sedangkan siswa


hanya sebagai pendengar. Siswa harus lebih memiliki kesadaran untuk
mempelajari dan mempunyai kemampuan cara mempelajari.Untuk
itulah belajar matematika tidak hanya berorientasi pada materi dan
latihan soal untuk mengejar hasil belajar siswa, tetapi juga harus
berorientasi

kepada

proses

belajar

agar

siswa

mendapatkan

pengalaman belajar yang mengesankan.


Model pembelajaran kooperatif lebih menekankan pada
aktivitas siswa untuk mengembangkan sendiri pengetahuan yang ada
pada

dirinya

serta

menentukan

lingkungan

belajar

yang

mendukungnya. Siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan


siswa lain dalam tugas-tugas terstruktur. Sedangkan guru berfungsi
sebagai fasilitator dalam membantu siswa untuk mengkonstruksikan
pengetahuannya tersebut sehingga dapat menggali setiap kompetensi
yang dimiliki siswa. Guru sebagai salah satu komponen yang
memegang peran penting dalam keberhasilan kegiatan belajar
mengajar di dalam kelas. Guru harus mampu mengelola kelas secara
baik dan benar, mulai dari pemilihan metode pembelajaran, persiapan
rencana pembelajaran dan penerapannya di dalam kelas. Melalui

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

33

metode pembelajaran yang dipakai guru, diharapkan mampu


menciptakan suasana kelas yang siswanya aktif dan merasa senang
dalam kegiatan belajarnya. Selain itu model pembelajaran yang
diterapkan oleh guru haruslah mampu meningkatkan kemampuan
intelektual siswa serta membantu perkembangan keterampilan kognitif
yang

memungkinkan

siswa

untuk

belajar

sehingga

mampu

memecahkan permasalahan.
Selain faktor guru, keberhasilan proses belajar mengajar
juga dipengaruhi oleh faktor kepribadian siswa. Faktor kepribadian ini
merupakan bagian dari psikologi siswa. Tingkat perkembangan
kepribadian siswa sebagai dampak dari proses belajar mengajar sangat
bervariasi antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Menurut
Yusuf dan Nurihsan (2007), salah satu aspek dari kepribadian anak
tersebut adalah konsep diri (self concept) siswa. Aspek ini kurang
mendapat perhatian dari

guru selama proses belajar mengajar

berlangsung. Konsep diri siswa dapat tumbuh dan berkembang akibat


dari interaksi anak dengan lingkungan serta orang-orang yang
berpengaruh

dalam

kehidupannya.

Bagi

siswa-siswa

Sekolah

Menengah Pertama (SMP) orang-orang tersebut adalah orang tua,


guru serta teman-temannya. Jika seorang guru dapat menerapkan
sebuah metode pembelajaran yang menunjang interaksi antara guru
dengan siswa dan siswa dengan siswa maka kemungkinan hal ini akan
membantu perkembangan konsep diri siswa. Hal ini perlu disadari
oleh guru supaya siswa mempunyai konsep diri yang positif sehingga

34

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

menumbuhkan rasa kepercayaan diri yang kuat. Kepercayaan diri


inilah siswa akan termotivasi untuk meningkatkan prestasi belajarnya
secara maksimal (Hawadi, 2004). Self concept merupakan bagian dari
kepribadian seseorang, oleh karena itu self concept dapat mengalami
perkembangan baik itu perkembangan ke arah positif dan ke arah
negatif. Orang yang memiliki self concept positif ataupun negatif
memiliki karakteristik yang berbeda. Meskipun demikian, belum tentu
anak yang pada dasarnya diperlakukan dan dididik dalam lingkungan
yang sama akan memiliki tingkah laku dan perkembangan self concept
yang sama pula. Menurut Syamsu Yusuf (2007), hal ini dikarenakan
dalam proses perkembangan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu kondisi fisik, kematangan biologis, dampak media masa,
tuntutan sekolah, pengalaman ajaran agama, masalah ekonomi
keluarga, hubungan dalam keluarga dan harapan orang tua.
Metode TPS dan NHT merupakan salah satu pembelajaran
kooperatif yang dapat mengembangkan pola pikir dan psikologis
anak. Metode Think Pair Share (TPS) berkembang dari penelitian
belajar

kooperatif.

Teknik

belajar

mengajar

TPS

(berpikir

berpasanganberbagi/Think Pair Share) dikembangkan oleh Frank


Lyman dan koleganya di Universitas Maryland pada tahun 1985.
Teknik ini memberikan lebih banyak kesempatan kepada siswa untuk
dapat berpikir dan merespon serta saling berinteraksi satu sama lainya.
Metode Numbered Head Together (NHT) adalah suatu pendekatan
yang dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993) untuk melibatkan

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

35

lebih banyak siswa dalam menelaah pemahaman mereka terhadap isi


pelajaran tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan NHT terhadap prestasi
belajar matematika ditinjau dari aspek self concept.

METODE PENELITIAN
Penelitian

ini

berupa

penelitian

eksperimen

yang

dilaksanakan di SMP Negeri 1 Ngariboyo, Kecamatan Ngariboyo.


Populasi penelitian ini adalah siswa Kelas VII di SMP N 1 Ngariboyo
Tahun Ajaran 2008/2009, yang terdiri dari 5 kelas yaitu kelas VII A
sampai dengan VII E sebanyak 186 siswa. Sampel yang diambil
adalah sebesar 2 kelas atau 76 siswa, dengan menggunakan teknik
cluster random sampling.
Teknik

pengumpulan

data

yang

digunakan

dalam

penelitian ini adalah metode tes dan angket. Metode tes digunakan
untuk mengambil data prestasi

belajar siswa, sedangkan dengan

metode angket digunakan untuk mengambil data konsep diri (self


concept) siswa. Data yang diperoleh adalah data kuantitatif yaitu datadata yang dapat dihitung atau diukur.
Teknik

analisis

data

secara

kuantitatif

dengan

menggunakan analisis statistik analisis varian dua jalan dengan


frekuensi sel tak sama. Untuk keperluan analisis tersebut, terlebih
dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu: Uji Normalitas dengan

36

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

menggunakan

uji

Lilliefors

dan

Uji

Homogenitas

dengan

menggunakan uji Bartlett. Selanjutnya skema penelitian adalah seperti


pada gambar 1
Desain penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Kelompok
eksperimen

Tingkat Self concept


tinggi, sedang dan rendah

Sampel
Kelompok
kontrol

Metode
TPS
PRESTASI

Tingkat Self concept


tinggi, sedang dan rendah

Metode
NHT

Gambar 1. Skema Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Setelah dilakukan pembelajaran dan siswa diberikan
angket self concept serta tes prestasi belajar matematika, diperoleh
rata-rata untuk kelas eksperimen sebesar 10, 4474 dan kelas kontrol
sebesar 9,5790. Data nilai rata-rata prestasi belajar siswa dan self
concept terdapat pada tabel 1.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

37

Tabel 1. Nilai rata-rata prestasi belajar siswa dan self concept


Self Concept

Rata-rata prestasi

Rata-rata prestasi belajar

belajar

Eksperimen

Kontrol

Tinggi

11,8

12,5

11,1539

Sedang

9,5455

10

9,1667

Rendah

8,3889

8,8182

7,7143

Berdasarkan data induk penelitian diperoleh rata-rata


prestasi belajar matematika siswa yang diberikan pembelajaran
kooperatif tipe TPS pada pokok bahasan garis dan sudut adalah
10,4474. Ini berarti siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe
TPS mampu menyelesaikan soal dengan benar 65,53%. Siswa yang
diberikan pembelajaran kooperatif tipe NHT diperoleh rata-rata tes
prestasinya adalah 9,5790. Ini berarti siswa yang diberikan
pembelajaran kooperatif tipe NHT mampu menyelesaikan soal dengan
benar 59,87%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata prestasi
belajar siswa yang memiliki self concept tinggi adalah 11,8 atau
73,75%, siswa yang memiliki self concept sedang adalah 9,5455 atau
59,66% dan siswa yang memiliki self concept rendah adalah 9,3889
atau 58,68%. Ini berarti bahwa siswa yang memiliki self concept
tinggi mampu menyelesaikan soal dengan benar 73,75%, self concept
sedang mampu menyelesaikan soal dengan benar 59,66%, self concept
rendah

mampu

menyelesaikan

soal

dengan

benar

58,68%.

38

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

menunjukkan bahwa peluang siswa yang memiliki self concept tinggi


untuk menyelesaikan soal dengan benar lebih baik dari pada siswa
yang memiliki self concept sedang maupun rendah dan peluang siswa
yang memiliki self concept sedang untuk menyelesaikan soal dengan
benar lebih baik dari pada siswa yang memiliki self concept rendah.
melihat rata-rata prestasi belajar matematika pada siswa yang
memiliki self concept tinggi lebih baik dibandingkan siswa yang
memiliki self concept sedang maupun rendah. Begitu juga dengan
siswa yang self conceptnya sedang memiliki rata-rata prestasi belajar
yang lebih baik dari pada siswa yang memiliki self concept rendah
meskipun perbedaannya tidak begitu signifikan. Ini berarti, prestasi
belajar matematika antara siswa yang mempunyai self concept tinggi
lebih baik dari pada siswa yang mempunyai self concept sedang
maupun rendah, tetapi bagi mereka yang memiliki self concept sedang
dan rendah tidak mempunyai perbedaan yang berarti.
Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa peluang
siswa untuk menyelesaikan soal dengan benar pada kelas yang
diberikan pembelajaran TPS lebih baik jika dibandingkan dengan
kelas yang diberikan pembelajaran NHT. Teknik belajar mengajar
TPS memberikan lebih banyak kesempatan kepada siswa untuk dapat
berpikir dan merespon serta saling berinteraksi satu sama lainya.
Sehingga siswa mampu berpikir kritis dan analitis. Kerja sama dengan
sesama teman dapat memberikan motivasi belajar, sehingga siswa
menjadi lebih aktif. Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

39

telah dipenuhi kemudian dilakukan uji anava. Hasil uji hipotesisis


seperti pada tabel 2
Tabel 2. Hasil uji anava
Sumber

JK

dk

Fobs

RK

Kesimpulan

H0
Metode (A)

20,8787

20,8787

8,1990

4,00

H0

Self Concept
(B)

Ditolak

150,6654

75,3327

29,5828

3,15

Ditolak

H0
Interaksi (AB)

0,7658

0,3829

0,1504

3,15

Diterima

Galat

178,2573

70

2,3768

Total

350,5672

75

Berdasrkan hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa Fobs =


8,1990 DK sehingga H 0 A ditolak. Ini berarti terdapat perbedaan
prestasi belajar matematika antara siswa yang diberikan pembelajaran
kooperatif tipe TPS dan NHT. Setelah dilakukan uji lanjut pasca
anava terlihat bahwa siswa yang diberikan pembelajaran kooperatif
tipe TPS dan NHT memiliki perbedaan rata-rata yang signifikan. Jika
dilihat dari rata-rata yang diperoleh pada masing-masing kelas, terlihat
bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diberikan pembelajaran
dengan metode kooperatif tipe TPS lebih baik dari pada siswa yang
diberi pembelajaran dengan metode kooperatif tipe NHT.

40

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Berdasarkan hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa H 0 A


ditolak, H 0 B ditolak dan H 0 AB diterima. Ini berarti untuk H 0 A dan
H 0 B perlu dilakukan uji lanjut pasca anava untuk melihat perbedaan
yang terjadi untuk setiap kategori faktor A dan B. Akan tetapi H 0 AB
diterima sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut pasca anava. Untuk
melihat perbedaan yang terjadi untuk setiap kategori cukup dengan
melihat rataan marginal pada setiap sel. Uji lanjut yang digunakan
adalah uji Shceffe dengan tingkat signifikans 0,05. Hasil yang
diperoleh dari uji lanjut pada H 0 A adalah Fobs = 5,6318 dengan daerah
kritik F > 4,00. Ini berarti bahwa Fobs DK , sehingga H 0 ditolak.
Sedangkan rangkuman hasil uji lanjut pada H 0 B yang diperoleh
adalah sebagai berikut seperti pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji lanjut


Faktor
Komparasi

Self Concept
(B)

H0

Fobs

DK

Kesimpulan

1 2

28,3955

6,3

H 0 Ditolak

1 3

47,8044

6,3

H 0 Ditolak

2 3

6,1166

6,3

H 0 Diterima

Berdasarkan hasil uji shceffe tersebut menunjukkan bahwa


faktor a1 memiliki perbedaan rataan secara signifikan dengan faktor

a 2 , faktor b1 memiliki perbedaan rataan secara signifikan dengan

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

41

faktor b2 dan b3 . Sedangkan faktor b2 tidak memiliki perbedaan


rataan secara signifikan dengan faktor b3 .

42

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

KESIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Prestasi belajar matematika siswa yang diberi pembelajaran kooperatif
tipe TPS lebih baik dari pada siswa yang diberi pembelajaran
kooperatif tipe NHT. Apabila ditinjau dari masing-masing kategori
self concept siswa; prestasi belajar siswa yang mempunyai self
concept tinggi lebih baik dari pada siswa yang memiliki self concept
sedang maupun rendah, tetapi bagi siswa yang mempunyai self
concept sedang dan rendah tidak mempunyai perbedaan prestasi
belajar yang berarti.
Saran
Guru diharapkan dapat menerapkan pembelajaran menggunakan
pendekatan yang sesuai dengan karakteristik siswa, serta perlunya
memberikan motivasi belajar, sehingga siswa mampu membangun
kepercayaan dirinya. Semuanya itu diharapkan dapat meningkatkan
prestasi belajarnya.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

43

DAFTAR RUJUKAN
Reni Akbar Hawadi (Eds.). 2004. Akselerasi: A-Z Informasi Program
Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual. Jakarta:
Grasindo.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.
Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, Robert E. 2009. Cooperative Learning: Teori, Riset dan
Praktik. Bandung: Nusa Media.
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan. 2007. Teori Kepribadian.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
T. Safaria. 2004. Tes Kepribadian untuk Seleksi Pekerjaan.
Yogyakarta: Amara Books.
Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
_______, 2008. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

44

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND


PICTURE UNTUK MEMPERCEPAT PENYELESAIAN SOALSOAL MATEMATIS DALAM UPAYA MENINGKATKAN
PRESTASI BELAJAR FISIKA

Anggun Windha Ningrum


Erawan Kurniadi

Pendidikan Fisika FP MIPA IKIP PGRI Madiun


ABSTRAK
Penelitian Tindakan Kelas ini bertujuan untuk menerapkan model
pembelajaran Picture and Picture dalam memudahkan siswa menyelesaikan
soal matematis, meningkatkan ketepatan siswa dalam mengerjakan soal
matematis sebagai upaya dalam meningkatkan prestasi belajar fisika. Subyek
dalam penelitian ini adalah siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Barat Magetan
sebanyak 39 siswa. Pengumpulan data menggunakan tes prestasi belajar dan
pengamatan aktivitas pebelajaran. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
penerapan model pembelajaran Picture and Picture pada dapat mambantu
siswa untuk lebih cepat dalam menyelesaikan soal matematis.
Kata kunci: picture and picture,
menyelesaikan soal, prestasi belajar

ketepatan

jawaban,

kecepatan

PENDAHULUAN
Berdasarkan

hasil

pengamatan

terbatas

yang

telah

dilakukan, dalam proses belajar mengajar fisika di SMA secara


umum, guru fisika masih terbiasa dengan pengajaran klasikal dengan
pendekatan ekspositori dan jarang memberikan kesempatan terjadinya
interaksi dan kerja sama antar siswa. Siswa kurang maksimal dalam
menyerap konsep yang dijelaskan oleh guru, mereka cenderung pasif
dan tidak termotivasi untuk memperhatikan materi yang disampaikan.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

45

Akibatnya konsep yang dijelaskan tidak dapat dipahami atau bahkan


siswa tidak mampu menyelesaikan soal-soal deskripsi maupun soalsoal matematis. Nilai rata-rata ulangan yang diperoleh siswa dibawah
SKM yaitu 58,46 dengan keterangan 11 siswa yang mendapat nilai
diatas SKM, nilai terendah 35 dan nilai tertinggi 75.
Pembelajaran fisika merupakan pembelajaran sains yang
menitikberatkan pada proses, dan merupakan langkah-langkah yang
ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka
mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut
adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang
eksperimen,

mengumpulkan

data,

menganalisis

dan

akhimya

menyimpulkan (Agus S, 2003).


Terkait tentang pembelajaran, maka yang menjadi pusat
perhatian adalah komponen-komponen dalam sistem pembelajaran.
Komponen ini terutama apabila dikaitkan dengan kegiatan dalam
pengebangan teori-teori pembelajaran. Salah satu komponen tersebu
adalah metode pembelajaran, yang merupakan suatu cara yang
berbeda untuk mencapai hasil pmbelajaran di bawah kondisi
pembelaaran yang berbeda. Hasil pembelajaran mencakup semua efek
yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan
metode pembelajaran di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda.
Evaluasi yang dilakukan tidak terbatas pada evaluasi hasil (ulangan
harian, kuis, tugas kelompok, tugas individu dan ulangan akhir
semester), tetapi dapat juga dilakukan evaluasi proses.

46

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Untuk meningkatkan mutu pembelajaran fisika diperlukan


perubahan pola pikir yang digunakan sebagailandasan pembelajaran.
Pembaharuan harus dimuali dari bagaimana siswa belajar dan
bagaimana guru mengajar. Penyelesaian soal adalah bagian yang amat
penting, bahkan paling penting dalam pembelajaran eksakta, mampu
menyelesaikan soal merupakan tujuan utama belajar matematika dan
fisika. Banyak ahli berpendapat bahwa pembelajaran yang berorientasi
atau memfokuskan pada penyelesaian soal akan memberi hasil yang
bagus dan mampu mengatasi kelemahan pembelajaran ekskata
(Aunmansda.2004).
Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang
digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun
dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Apabila antara metode, strategi, teknik dan taktik
pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka
terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Model
pembelajaran Picture and Picture menggunakan media gambar
sebagai pengantar untuk mengetahui apakah media tersebut mampu
meningkatkan kemampuan kognitif siswa khususnya membantu siswa
ketika mereka menyelesaikan soal-soal khususnya soal matematis.
Model pembelajaran Picture and Picture merupakan
model pembelajaran yang mementingkan permainan dengan gambar
tentang pelajaran yang bersangkutan. Pada metode ini siswa
diharapkan

bisa

belajar

dengan

rasa

senang.

Metode

ini

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

47

mementingkan sesuatu yang nyata terhadap apa yang akan dipelajari


siswa. Model pembelajaran Picture and Picture mempunyai kelebihan
yaitu guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing dari peserta
didiknya, melatih berfikir secara logis dan sistematis. Sedangkan
kekurangannya adalah memerlukan banyak waktu, banyak siswa yang
pasif. Namun demikian model pembelajaran ini merupakan salah satu
cara dalam meningkatkan siswa dalam berpikir logis dan sistematis,
sehingga diharapkan siswa mampu menyelesaikan soal-soal matematis
pada mata pelajaran fisika.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Barat Kabupaten
Magetan. Subyek penelitian adalah siswa kelas X 2 dengan jumlah 31
siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan
kelas (PTK) dengan dua siklus, tiap siklus terdiri dilakukan dengan
tiga kali pertemuan. Masing-masing siklus terdiri dari perencanaan
(planning), tindakan (acting), observasi (observing) dan refleksi
(reflecting).
Teknik pengambilan data dengan menggunakan tes prestasi
belajar dan observasi aktivitas belajar siswa.

Instrumen yang

digunakan adalah soal tes yang digunakan untuk mengetahui prestasi


belajar serta lembar observasi aktivitas belajar siswa. Analisis data
yang digunakan adalah kualitatif dengan model analisis interaktif.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

48

Indikator

keberhasilan dalam penelitian

ini

adalah

ketuntasan individu ditetapkan dengan kriteria apabila peserta didik


telah menguasai 65% dari jumlah soal yang diberikan atau dengan
nilai 6,5. Ketuntasan klasikal tercapai apabila 85% dari jumlah peserta
didik telah tuntas atau dengan nilai 85.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil tes prestasi belajar dan ketepatan menyelesaikan soal
matematis pada pokok bahasan energi dan daya listrik seperti
ditunjukkan pada tabel 1, adapun nilai rata-rata prestasi belajar siswa
pada siklus I adalah 62,76 sedangkan nilai rata-rata prestasi belajar
siswa pada siklus II adalah 84,19.
Ketepatan dan kecepatan dalam menjawab soal matematis
pada siklus I adalah 36,2% dengan waktu 18,4 menit tiap soal,
sedangkan pada siklus II adalah 65% dengan waktu 9,9 menit tiap
soal.
Tabel 1. Hasil tes prestasi belajar, ketepatan dan kecepatan
menyelesaikan soal matematis kelas X 2 SMAN 1 Barat
Kabupaten Magetan.
No

Keterangan

Siklus I

Siklus II

1.

Nilai rata-rata prestasi belajar

62,76

84,19

2.

Persentase Ketepatan jawaban

36,2 %

65%

3.

Kecepatan menyelesaikan soal

18,04 menit/soal

9.9
menit/soal

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

49

Seperti tabel 1 nilai rata-rata prestasi belajar dan ketepatan


serta kecepatan

dalam menyelesaikan soal matematis mengalami

peningkatan, hal ini disebabkan karena guru memberikan kesempatan


kepada siswa untuk bertanya dan berpendapat sebanyak 3 kali.
Kesempatan tersebut telah membuat siswa merasa puas dalam
bertanya dan berpendapat. Media pembelajaran berupa gambar materi
listrik dinamis sudah disediakan di depan kelas. Dalam siklus II siswa
mulai aktif bertanya dan memahami untuk mencocokan gambar soal
dengan hasilnya. Keaktifan siswa juga mulai berubah, ditunjukkan
dengan pergiliran siswa berani untuk menjawab pertanyaan guru.
Pengarahan guru juga diberikan agar interaksi dapat saling
berlangsung dua arah.

Siswa mampu menghargai pendapat siswa

yang lain. Pembagian waktu dan pemberian kesempatan berpendapat


yang diberikan pada siswa membuat siswa lebih banyak untuk
mengeluarkan pendapatnya. Siswa juga mampu mengerjakan dan
menjawab pertanyaan dari soal-soal bergambar. Model pembelajaran
Picture and Picture dilaksanakan berbantuan media gambar sebagai
alat

pengantar

pembelajaran dan penerapannya dengan cara

memberikan soal bergambar. Soal bergambar diberikan beserta urutan


jawabannya maka siswa hanya dituntut untuk mencari proses
perhitungan soal tersebut. Penerapan model pembelajaran Picture and
Picture sangat membantu siswa dalam meyelesaikan soal matematis
dengan cepat.

50

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sutikno (2007)


menytakan

bahwa

siswa

telah

memahami

tata

cara

model

pembelajaran picture and picture dan mampu berperan aktif dalam


proses pembelajaran, karena model pembelajaran ini mampu melatih
siswa untuk berpikir logis dan sistematis dengan melihat gambar yang
diberikan oleh guru. Sehingga siswa akan menjadi lebih cepat dan
tepat dalam menyelesaikan soal matematis pada konsep listrik
dinamis.

KESIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa penerapan model pembelajaran picture and picture sangat
membantu siswa dalam meyelesaikan soal matematis dengan tepat dan
cepat.

Saran
Guru diharapkan dapat menerapkan pembelajaran menggunakan
model picture and picture sehingga siswa dapat lebih cepat dan tepat
dalam menelesaikan soal matematis pada mata pelajaran fisika.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

51

DAFTAR RUJUKAN
Slameto. 2003, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.
Jakarta: Bina Aksara
Sudjana Nana.2004. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sutikno. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditama
Aunmansda.2004:Penyelesaian
soal.http://journal.www.mediapembelajaran.go.id. Diakses
3 Februari 2009.
Arikunto suharsimi. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:
PT Bumi Aksara
Sudrajat. 2008. Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik,
Taktik, dan Model Pembelajaran. Jurnal Ilmu Pendidikan
(Online), (http://smacepiring.wordpress.com, diakses 11
April 2009
Sutopo. 2006. Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.

52

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN EXPLICIT


INSTRUCTION DAN STAD TERHADAP PRESTASI BELAJAR
MATEMATIKA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR
SISWA
Toyyib Syaichoni
Sardulo Gembong
Pndidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelaaran
explicit instruction dan STAD terhadap prestasi belajar matematika
ditinjau dari motivasi belajar. Metode penelitian menggunakan metode
eksperimen. Populasi yang digunakan adalah seluruh siswa kelas VII SMP
Negeri 3 Kawedanan berjumlah 175 siswa. Sampel sejumlah 35 siswa
kelas VII A sebagai kelas eksperimen dan 36 siswa VIIB sebagai kelas
kontrol. Teknik pengambilan sampel dengan teknik cluster random
sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan menggunakan tes untuk
meliht data prestasi belajar dan angket untuk melihat data motivasi belajar.
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik analisis variansi dua
jalan frekuensi sel tak sama dan dilanjutkan dengan uji lanjut komparasi
metode Scheffe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi belajar
matematika yang dilakukan dengan pembelajaran model STAD lebih baik
dari pada yang dilakukan dengan pembelajaran model Explicit Instruction.
Jika ditinjau dari kategori motivasi belajar, prestasi belajar matematika
tidak memberikan perbedaan yang berarti, baik pada model pembelajaran
STAD maupun model pembelajaran explicit instruction.
kata kunci: model pembelajaran explicit instruction, STAD,
motivasi belajar, prestasi belajar

PENDAHULUAN
Mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran
yang selama ini banyak ditakuti dan dianggap sulit oleh siswa.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

53

Kurang tepatnya guru dalam memilih model pembelajaran yang


sesuai. Selama ini model pembelajaran yang banyak digunakan guru
adalah pengajaran konvensional yaitu cara mengajar yang banyak
menggunakan metode ceramah, pada pembelajaran ini siswa lebih
banyak menjadi objek dari pada subjek. Pembelajaran ini akan
mengakibatkan kurangnya keaktifan dan kreativitas siswa dalam
kegiatan pembelajaran karena siswa hanya duduk, diam, dengar, catat
dan hafalkan materi yang disampaikan guru. Siswa juga akan bersifat
individualis karena kurang dilatih dan diajarkan keterampilan sosial
yang bermanfaat untuk menjalin hubungan interpersonal antar sesama
teman (seperti bekerja sama, sikap toleransi, menghargai pendapat
orang lain dll)
Model pembelajaran STAD (Student TeamsAchievement
Divisions) merupakan salah satu dari beberapa model pembelajaran
kooperatif. Model ini merupakan suatu cara yang efektif untuk
melaksanakan pembelajaran sebagai pengganti diskusi kelas, dalam
model pembelajaran ini akan ada kerja sama dalam kelompok dan rasa
tanggung jawab yang besar setiap angotanya. Sehingga setiap anggota
kelompok tidak bisa menggantungkan pada anggota yang lain. Setiap
siswa mendapat kesempatan sama untuk menunjang timnya mendapat
nilai maksimum sehingga termotivasi untuk belajar.
Model pembelajaran Explicit Insruction bukan jenis model
pembelajaran kooperatif, Menurut Muhammad Nur (dalam Adi
bandono, 2003) model ini adalah suatu pendekatan mengajar yang

54

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

dapat membantu siswa di dalam mempelajari dan menguasai


keterampilan dasar serta memperoleh informasi selangkah demi
selangkah. Dalam pembelajaran langsung dibutuhkan keaktifan,
kelihaian, keterampilan dan kreatifitas guru tanpa menghilangkan
peran siswa sebagai subyek pembelajaran, pembelajaran ini peran
guru lebih menonjol dari pada peran siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
model pembelaaran explicit instruction dan STAD terhadap prestasi
belajar matematika ditinjau dari motivasi belajar.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berupa penelitian eksperimen, Variabel
bebas adalah motivasi, model pembelajaran Explicit Instruction dan
model pembelajaran STAD. Sedangkan variabel terikat adalah prestasi
belajar. Populasinya adalah seluruh siswa kelas VII sebanyak 175
siswa SMP N 3 Kawedanan Kab. Magetan.

Sedangkan sampel

sebanyak 71 siswa yang terdiri darai kelas VIIA dan VII B yang
ditentukan secara cluster random sampling. Teknik pengambilan data
menggunakan tes dan angket. Teknik analisis data secara kuantitatif
dengan menggunakan analisis statistik analisis varian dua jalan
dengan frekuensi sel tak sama. Untuk keperluan analisis tersebut,
terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu: Uji Normalitas
dengan menggunakan uji Lilliefors dan Uji Homogenitas dengan

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

55

menggunakan uji Bartlett. Selanjutnya skema penelitian adalah seperti


pada gambar 1
Kelas
Eksperimen
(motivasi tinggi,

STAD

Prestasi

Sampel
Kelas Kontrol
(motivasi tinggi,
rendah)

Explicit Instruction

Gambar 1. Skema Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil uji validitas tes prestasi belajar
terhadap 33 siswa menunjukkan bahwa dari 30 butir soal diujikan,
yang memenuhi kriteria adalah 22 butir soal. Dalam penelitian ini
kriteria soal yang digunakan jika nilai r xy > 0,3. Sedangkan uji
reliabilitas digunakan rumus Flanagan, instrumen dikatakan
reliabel jika r11 > 0,3. Hasil uji coba instrumen terhadap 33 siswa
diperoleh harga r11 = 0,731. Ini berarti instrumen tes matematika
reliabel dan dapat digunakan untuk mengambil data prestasi belajar
siswa.
Tingkat kesukaran (P) terletak antara 0,30 P 0,70.
Suatu soal dikatakan baik apabila soal tersebut tidak terlalu mudah
dan tidak terlalu sulit. Hasil uji coba instrumen tes matematika
bahwa soal nomor 4, 16, 24, 25, 26, 29, tingkat kesukarannya

56

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

kurang dari 0,30. Ini berarti soal tersebut terlalu sulit. Soal nomor
20, 30, tingkat kesukarannya lebih besar dari 0,70. Ini berarti soal
tersebut terlalu mudah. Oleh karena itu soal-soal tersebut tidak
digunakan untuk mengambil data prestasi belajar matematika
siswa. Nilai rata-rata prestasi belajar seperti terdapat pada tabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata prestasi belajar siswa kelas kontrol dan kelas
eksperimen
Kelas

Jumlah
siswa

Jumlah soal

Rata-rata
prestasi belajar

VII A

35

20

70,00

VII B

36

20

59,17

Sedangkan motivasi belajar matematika siswa kelas VII A dan VII


B seperti pada tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kelas VII
A (kelas eksperimen) mempunyai prestasi lebih baik dari pada
siswa kelas VII B (kelas kontrol) untuk setiap kategori motivasi
belajar tinggi maupun rendah
Tabel 2. Rata-rata prestasi dan motivasi belajar kelas kontrol dan kelas
eksperimen
Motivasi

Kelas
VIIA
(eksperime
n)

Kelas VIIB
(kontrol)

Tinggi

17

Rendah

18

Rata-rata prestasi belajar


Kelas VII
A

Kelas VII
B

21

75

58,3333

15

65,2778

60,3333

Selain melihat rata-rata nilai belajar dalam setiap


kategori motivasi belajar dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

57

normalitas dan homogenitas. Setelah uji prasyarat analisis dipenuhi


dilakukan uji analisis varian dengan uji anava dua jalur sel tak sama.
Adapun hasilnya adalah sebagai berikut seperti pada tabel 3.
Tabel 3. Uji Analisis Varian dengan Uji Anava Dua Jalur Sel Tak
Sama.
Sumber

JK

dk

RK

Fobs

(A)

260,381

260,381

0,947

4,00

>
0,05

Kolom ( B )

2041,683

2041,683

7,429

4,00

<
0,05

Interaksi (
AB)

598,734

598734

2,179

4,00

>
0,05

Galat

18413,6107

67

274,830

Total

21314,409

70

Baris

Setelah diadakan perhitungan dengan uji anava dua jalan


sel tak sama, didapatkan nilai Fobs = 0,947. Sedangkan Ftabel pada taraf
signifikansi 5% dengan dk = 1 adalah 4,00. ternyata F obs lebih kecil
dari pada Ftabel (0,947 < 4,00). Dengan demikian H0 yang menyatakan
tidak ada perbedaan pengaruh antara siswa yang motivasinya tinggi
dan siswa yang motivasinya rendah terhadap prestasi belajar
matematika siswa, diterima. Ini menunjukkan bahwa motivasi belajar
tinggi maupun rendah memberikan masukan yang sama terhadap
prestasi belajar matematika siswa.

58

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Perhitungan dengan uji anava dua jalan sel tak sama,


didapatkan nilai Fobs = 7,429 sedangkan Ftabel pada taraf signifikansi
5% dengan dk = 1 adalah 4,00 ternyata Fobs lebih besar daripada Ftabel
(7,429 > 4,00). Dengan demikian H o yang menyatakan tidak ada
perbedaan pengaruh antara pengajaran dengan model STAD dan
pengajaran dengan model explicit instruction terhadap prestasi belajar
matematika, ditolak. Dari deskripsi data nilai rata-rata prestasi belajar
pada pembelajaran model STAD (kelas VIIA) adalah 70,00 dan nilai
rata-rata pada pembelajaran model explicit instruction (kelas VIIB)
adalah 59,17. Data tersebut menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa
dengan pembelajaran STAD lebih tinggi dari pada nilai rata-rata siswa
dengan pembelajaran explicit instruction. Jadi dapat disimpulkan
bahwa prestasi belajar matematika dengan pembelajaran model STAD
lebih baik dari pada dengan pembelajaran model explicit instruction.
Berdasarkan uji anava dua jalan sel tak sama, didapatkan
nilai Fobs = 2,179 sedangkan Ftabel pada taraf signifikansi 5% dengan
dk = 1 adalah 4,00. ternyata Fobs lebih kecil dari pada Ftabel (2,179 <
4,00). Dengan demikian Ho yang menyatakan tidak ada interaksi
antara pengajaran dengan model STAD dan pengajaran dengan model
explicit instruction dengan motivasi belajar siswa tinggi maupun
rendah terhadap prestasi belajar matematika, diterima. Hal ini
disebabkan karena antara penggunaan model pembelajaran dan
motivasi belajar siswa mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
prestasi belajar matematika.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

59

KESIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Prestasi belajar matematika yang dilakukan dengan
pembelajaran model STAD lebih baik dari pada yang dilakukan
dengan pembelajaran model explicit instruction. Tetapi, jika ditinjau
dari kategori motivasi belajar, prestasi belajar matematika tidak
memberikan perbedaan yang berarti, baik pada model pembelajaran
STAD maupun model pembelajaran explicit instruction.
Saran
Untuk penelitian lanjutan, perlu dianalisis apakah motivasi belajar
dapat meningkatkan prestasi belajar matematika.
Penelitian ini perlu diujicobakan lagi pada siswa SD, SMP atau SMA
yang lain dengan populasi yang lebih besar, apakah dapat
menghasilkan kesimpulan yang sama atau tidak.
DAFTAR RUJUKAN

Anita Lie. 2004. Cooperative Learning: Mempraktikan Cooperative


Learning DiruangRuang Kelas. Jakarta: Grasindo
Adi Bandono. 2003. Model Pembelajaran Langsung. (Online),
(http://beta.tnial.mil.id/cakrat-cetak.php?id=150. Diakses 16
februari 2009)
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

60

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Suyanto. 2008. Kelulusan UN SMP Naik Tipis. (Online),


(http://beritauangmu.
blogspot.com/2008/06/kelulusan-unsmp-naik-tipis.Html, Diakses 16 februari 2009)
Wina Sanjaya. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Jakarta: Kencana Predana Media Group.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

61

PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME


MELALUI METODE PROBLEM-BASED INSTRUCTION
UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA
MATERI PEMBIASAN CAHAYA

Heri Pratiwi
Purwandari

Pndidikan Fisika FP MIPA IKIP PGRI Madiun

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik siswa pada materi pembiasan cahaya. Pengumpulan
data menggunakan metode observasi dan tes. Metode observasi digunakan
untuk mengumpulkan data pelaksanaan pembelajaran, data kemampuan
afektif dan psikomotorik siswa. Metode tes digunakan untuk mengumpulkan
data kemampuan kognitif siswa.
Kualitas pelaksanaan pembelajaran pada siklus I sebesar 72,5%, prosentase
kualitas pelaksanaan pembelajaran meningkat pada siklus II menjadi 85%.
Kemampuan kognitif siswa pada siklus I sebesar 64, nilai rata-rata
meningkat pada siklus II menjadi 66,75. Kemampuan afektif siswa pada
siklus I sebesar 70,8, nilai rata-rata meningkat pada siklus II menjadi 75.
Kemampuan psikomotorik siswa pada siklus I sebesar 68,75, nilai rata-rata
meningkat pada siklus II menjadi 73.
Kata kunci: konstruktivisme, problem-based instruction, kognitf, afektif,
psikomotor

PENDAHULUAN
Mata pelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran
yang cukup sulit bagi siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan

62

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

salah seorang pengajar fisika, guru dalam melakukan kegiatan


pembelajaran menggunakan model pembelajaran langsung melalui
metode demonstrasi. Model pembelajaran langsung ini masih berpusat
pada guru. Selain itu, 25 dari 40 siswa tidak memiliki buku pelajaran
atau sumber belajar yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Hal ini
berdampak pada nilai siswa rendah, karena siswa kesulitan untuk
memahami konsep yang diberikan oleh guru. Berdasar hasil observasi
pendahuluan didapatkan siswa pada semester genap memiliki nilai
hasil belajar ranah kognitif (nilai ulangan harian) rata-rata 62 dan nilai
kemampuan afektif, serta nilai kemampuan psikomotorik yang
mendapatkan nilai C, 20 siswa dan lainnya B.
Melihat keadaan tersebut, maka pada pembelajaran fisika
perlu adanya perubahan dari pembelajaran yang berpusat pada guru
(teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student centered). Kondisi seperti ini memposisikan guru sebagai
fasilitator dalam pembelajaran, sehingga semua siswa diajak aktif
dalam pembelajaran. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah
pembelajaran dengan pendekatan kontruktivisme melalui metode
Problem-Based Instruction (PBI).
Metode PBI merupakan suatu metode pembelajaran yang
didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan
penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan
penyelesaian nyata. Misalnya suatu fenomena alam, mengapa tongkat
seolah-olah kelihatan patah saat dimasukkan dalam air? Dari contoh

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

63

permasalahan nyata jika diselesaikan secara nyata, memungkinkan


siswa memahami konsep dan bukan sekedar menghafal konsep
(Trianto, 2007:67).
Problem

Base

Instruction

(PBI)

digunakan

untuk

merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah,


termasuk di dalamnya belajar. Model ini menekankan peran guru
sebagai penyaji masalah mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi
penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi adalah bahwa guru
melakukan scafolding. Suatu kerangka dukungan yang memperkaya
inkuiri dan pertumbuahn intelektual. Scafolding merupakan proses
seseorang yang lebih banyak pengetahuannya (guru) membantu
seseorang

yang

lebih

sedikit

pengetahuannya

(siswa)

untuk

menuntaskan suatu masalah.


Model

pembelajaran

langsung

adalah

salah

satu

pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses


belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan
pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat
diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi
selangkah (Arends dalam Trianto, 2007:29). Pengetahuan deklaratif
(dapat diungkapkan dengan kata-kata) adalah pengetahuan tentang
sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan
tentang bagaimana melakukan sesuatu (Kardi dan Nur dalam Trianto,
2007:30).

64

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Penggunakan berbagai metode belajar yang melatih


keterampilan kognitif dan membiasakan penyelesian masalah PBI
yang menekankan keaktifan siswa, maka siswa dapat terlibat aktif
berpartisipasi dalam proses belajar mengajar secara intelektual dan
emosional, sehingga prestasi belajar akan lebih efektif dalam
kelompok untuk menyelesaikan masalah, mengemukakan pendapat
dan mendiskusikan dengan anggota kelompok. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik siswa pada materi pembiasan cahaya.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 11 Madiun. Subyek
penelitian adalah siswa kelas VII A dengan jumlah 40 siswa. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK)
dengan dua siklus, tiap siklus terdiri dilakukan dengan tiga kali
pertemuan. Masing-masing siklus terdiri dari perencanaan (planning),
tindakan (acting), observasi (observing) dan refleksi (reflecting).
Teknik pengambilan data dengan menggunakan tes dan
observasi. Instrumen yang digunakan adalah soal tes digunakan untuk
mengetahui prestasi belajar, lembar observasi untuk mengetahui ranah
afektif dan psikomotorik siswa. Analisis data yang digunakan adalah
kualitatif dengan model analisis interaktif.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

65

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil tes prestasi belajar, kemampuan ranah afektif dan
psikomotorik siswa

pada materi pembiasan cahaya seperti

ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil tes prestasi belajar kemampuan ranah afektif dan


psikomotorik siswa kelas VII A SMPN 11 Madiun
No

Keterangan

Siklus I

Siklus II

64

66,75

1.

Nilai rata-rata prestasi belajar

2.

Kemampuan ranah afektif

70,8

75

3.

Kemampuan ranah psikomotorik

68,7

73

Seperti tabel 1 nilai rata-rata prestasi belajar siswa pada silkus I adalah
64 sedangkan pada siklus II adalah 66,75. Hal ini disebabkan model
pembelajaran PBI yang digunakan oleh guru mampu melatih
keterampilan kognitif dan membiasakan penyelesian masalah. Hal ini
sesuai yang dikatakan Arends dalam Trianto, 2007 bahwa model
pembelajaran PBI (langsung) adalah salah satu pendekatan mengajar
yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang
berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural.
Kemampuan afektif siswa pada siklus I sebesar 70,8
sedangkan pada siklus II menjadi 75. Hal ini disebabkan keterampilan
guru mengorganisasi siswa dalam belajar yaitu dengan membagi
kelompok secara heterogen dan memberi kesempatan kepada seluruh
siswa untuk berpendapat. Penggunaan berbagai metode belajar yang

66

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

melatih keterampilan kognitif dan membiasakan penyelesian masalah


PBI

yang menekankan keaktifan siswa, maka siswa dapat terlibat

aktif berpartisipasi dalam proses belajar mengajar secara intelektual


dan emosional, sehingga prestasi belajar akan lebih efektif dalam
kelompok untuk menyelesaikan masalah, mengemukakan pendapat
dan mendiskusikan dengan anggota kelompok.
Data kemampuan psikomotorik siswa pada siklus I sebesar
68,7 sedangkan pada siklus II 73. Hal ini disebabkan guru konsisten
dalam membimbing penyelidikan individual maupun kelompok dan
memberi penghargaan kepada kelompok yang melakukan kegiatan
praktikum

sesuai

prosedur.

Guru

mendorong

siswa

untuk

mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen,


untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Suasana
belajar kelompok menjadi lebih menyenangkan dan efektif,

hal

tersebut dapat menumbuhkan sikap kreatif, kritis, terhadap suatu


masalah.

KESIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa penerapan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme
melalui metode Problem-Based Instruction pada materi pembiasan
cahaya berpusat pada siswa dan memposisikan guru sebagai fasilitator
sehingga siswa dapat menemukan ide-ide mereka sendiri.

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

67

Saran
Guru diharapkan dapat menerapkan pendekatan konstruktivisme
melalui

metode

Problem-Based

Instruction

danlebih

sering

memberikan bimbingan penyelidikan individual maupun kelompok


serta lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan ide-ide mereka sendiri dalam proses pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni. 2003. Teori Belajar dan
Pembelajaran.
Bandung : AR-Ruz Media.
Djiwandono.W, Sri Esti. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta :
Grasindo
Herawati Susilo, dkk. 2008. Penelitian Tindakan Kelas sebagai
sarana pengembangan keprofesionalan Guru dan Calon
Guru. Malang: Bayumedia Publishing
Holubed, E.2001. Cooperation Learning A Web-Based System for The
Professional Development of Teachers in Contextual Teaching
and Learning Project. USA: Bowling Green State University.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif berorientasi
Konstruktivistik. Surabaya : Prestasi Pustaka Publiser.
Tuu, Tulus. 2004. Peran Disiplin Pada Perilaku dan Prestasi Siswa.
Jakarta: Grasindo.

68

JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009

Anda mungkin juga menyukai