Anda di halaman 1dari 5

Pentingnya Peran Orang Tua dalam Mewujudkan Budaya Literasi

Dewasa ini, kata literasi sudah tidak asing terdengar di kehidupan sehari-hari.
Literasi dalam artian umum merupakan kegiatan baca tulis, namun dalam beberapa waktu
belakangan Pemerintah menambahkan aktivitas literasi berupa baca-tulis-hitung, literasi
sains, literasi teknologi dan informasi, literasi keuangan, literasi budaya, dan literasi
kewarganegaraan. Saya memilih literasi dalam artian umum (baca-tulis ) untuk saya bahas
di tulisan ini. Indonesia adalah negara dengan sistem pemerintahan yang demokrasi dan
seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara dengan peringkat minat
membaca di urutan terendah. Pentingnya negara demokrasi untuk memiliki budaya baca
dapat dikutip dari Daod Joesoef (2004) bahwa demokrasi hanya akan berkembang, apalagi
survive, di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu
yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.

Sadar akan pentingnya literasi tersebut tidak akan berdampak apa-apa jika tidak ada
tindakan nyata untuk mewujudkan budaya literasi yang baik. Menggerakkan perubahan pada
budaya literasi dapat dimulai dari ruang lingkup terdekat, yaitu keluarga. Orang tua dapat
menjadi salah satu faktor penentu agar anak gemar terhadap kegiatan membaca dan menulis,
peran serta orang tua yang turut menemani dan mengawasi perkembangan anak, dan juga
menyediakan sarana dan prasarana agar tersedianya bahan bacaan dan alat untuk menulis
juga perlu dipertimbangkan. Anak yang sedang berada dalam masa golden age (0-5 tahun)
sudah bisa diperkenalkan terhadap budaya literasi dengan cara orang tua membiasakan
rutinitas membaca buku cerita sebelum tidur, memberikan buku bacaan dengan warna dan
gambar yang menarik perhatian anak, dan memperkenalkan abjad sesuai kreatifitas orang
tua, entah dalam bentuk nyanyian atau gambar. Selain mengajarkan literasi kepada anak,
orang tua juga dapat menjadi figur untuk mencontohkan budaya literasi tersebut seperti ikut
menyertakan anak ketika orang tua sedang membaca atau mengajak anak membaca bersama,
anak yang melihat kebiasaan orang tua untuk membaca dapat meniru atau mencontoh
kebiasaan tersebut. Peran orang tua yang mengajarkan dan menjadi figur tersebut merupakan
upaya menanamkan budaya literasi dalam keluarga sejak usia dini.
Cara yang digunakan untuk membiasakan budaya literasi terhadap anak usia dini
tentu berbeda dengan anak yang telah berusia sekolah dasar dan menengah. Anak yang telah
memasuki usia sekolah akan membutuhkan kegiatan literasi untuk menunjang aktivitasnya
dalam belajar dan menjadi langkah awal anak untuk meraih prestasi di sekolah. Pentingnya
literasi untuk anak usia sekolah tidak hanya didukung oleh pihak orang tua, melainkan juga
pihak sekolah. Pihak sekolah dapat memberikan layanan perpustakaan, menyediakan buku
bacaan yang bermutu, dan mengagendakan kegiatan wajib yang berfokus untuk
meningkatkan aktivitas literasi anak. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI merilis
buku Indeks Aktivitas Literasi 34 Provinsi (2019) menjelaskan bahwa aktivitas literasi siswa
dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu : dimensi kecakapan, dimensi akses, dimensi alternatif, dan
dimensi budaya. Di antara ke empat dimensi tersebut, dimensi akses memiliki hasil yang
paling rendah (23,09%). Hasil tersebut dapat merepresentasikan keadaan siswa sekolah yang
kesulitan dalam mengakses bahan bacaan, penyebabnya bisa berasal dari siswa dan juga
pihak sekolah.

Siswa yang memiliki minat dan kesadaran yang rendah tentang pentingnya literasi
memiliki kecenderungan untuk tidak mendekati sumber-sumber yang menyediakan bahan
bacaan, sedangkan kesulitan mengakses yang disebabkan oleh pihak sekolah dapat berupa
tidak tersedianya perpustakaan di sekolah, ataupun perpustakaan yang tersedia tidak dikelola
oleh pustakawan dan tidak memiliki stok bahan bacaan yang terus diperbarui. Bahan bacaan
yang hanya itu-itu saja dapat menyebabkan siswa bosan dan menjadi jarang untuk berkunjung
ke perpustakaan. Para guru dapat menyiasati hal tersebut dengan menugaskan siswa untuk
membawa buku milik mereka sendiri ke sekolah dan membaca bersama sebelum kelas
dimulai, atau pada pelajaran tertentu siswa diminta membaca buku pelajaran dan guru
memberikan soal yang bersifat interaktif sehingga siswa dapat membaca sekaligus
memahami apa yang dibaca.

Kendala yang dihadapi anak untuk meningkatkan kemampuan literasinya di sekolah


dapat dibantu dengan peran kedua orang tua di rumah, yaitu dengan menyediakan bahan
bacaan dalam bentuk cetak atau kemudahan mengakses internet untuk bahan bacaan yang
bersifat elektronik, orang tua juga harus bersedia mengalokasikan waktu untuk menemani dan
mengawasi anak, membaca bersama bahkan bisa mendiskusikan hasil bacaan tersebut untuk
mengevaluasi kemampuan literasi dan pemahaman sang anak. Kendala lain yang dihadapi
orang tua untuk meningkatkan budaya literasi dalam lingkup keluarga tidak hanya
menyediakan bahan bacaan dan turut serta untuk membaca bersama, melainkan kemampuan
finansial orang tua untuk memastikan bahan bacaan anak bisa terus diperbarui atau
ditingkatkan. Kendala dalam hal finansial tersebut masih bisa diupayakan dengan
memanfaatkan keberadaan perpustakaan yang tersedia di daerah tersebut, entah perpustakaan
komunitas ataupun perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah.

Upaya untuk meningkatkan budaya literasi di lingkup keluarga tidak hanya ditujukan
untuk anak di tingkat sekolah, tapi juga untuk orang tua yang menjadi sekolah pertama untuk
anak-anaknya. Peran orang tua seperti yang sudah disebutkan, tidak hanya menyediakan
bahan bacaan tapi juga menjadi figur yang kebiasaannya ditiru oleh anak. Orang tua yang
menginginkan anak untuk memiliki kebiasaan membaca juga harus memiliki kebiasaan
membaca. Kesadaran orang tua tentang pentingnya membaca dapat diimplementasikan di
rumah bersama anggota keluarga lainnya, selain orang tua bisa mengagendakan waktu rutin
untuk membaca bersama anak kemudian melakukan diskusi ringan, pergi ke toko buku,
taman baca, dan perpustakaan bersama-sama juga dapat membangkitkan semangat membaca
antar anggota keluarga.

Pengalaman pribadi saya mengenai budaya membaca yang ditanamkan sejak dini oleh
orang tua saya pada saat itu saya anggap berhasil dan memiliki jangka panjang hingga saat
ini, melalui peran kedua orang tua saya yang telah memperkenalkan buku bacaan dan rutin
menemani juga mengajar saya sejak usia 3 tahun akhirnya saya sudah bisa membaca pada
usia 4 tahun dan bisa masuk jenjang sekolah dasar di usia 5 tahun karena tes masuk sekolah
dasar pada saat itu mengandalkan kemampuan membaca dan menulis. Cara yang dilakukan
oleh orang tua saya adalah membeli buku cerita yang berisikan gambar-gambar dan warna
yang menarik sehingga memancing perhatian saya kepada buku cerita, mama saya berperan
untuk menceritakan buku bacaan tersebut, sedangkan bapak saya berperan untuk memastikan
buku cerita selalu tersedia dan juga rutin diganti agar saya tidak cepat bosan ketika melihat
buku. Cara lain yang juga dilakukan oleh orang tua saya adalah menempel poster abjad yang
menarik di dinding samping ranjang saya, kemudian rutinitas yang dilakukan oleh mama saya
sebelum kami tidur dan baru bangun tidur adalah mengajak saya untuk menghafal abjad-
abjad di poster sambil bernyanyi. Cara-cara tersebut rutin dan berulang kali dilakukan oleh
orang tua saya sehingga saya menjadi gemar terhadap membaca dan menjadikan buku bacaan
sebagai teman bermain.
Seiring bertambahnya usia saya, peran orang tua saya masih sama yaitu berusaha
menanamkan budaya membaca dengan cara yang berbeda. Mama saya tidak lagi
membacakan buku cerita, melainkan membiarkan saya membaca buku cerita sendiri lalu
menanyakan isi cerita dan juga tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita tersebut sehingga
setelah membaca akan ada sesi diskusi ringan antara saya dan mama, sedangkan bapak saya
selain memastikan bahan bacaan saya tetap ada, beliau juga menyisihkan waktu rutin untuk
mengajak saya ke toko buku dan membiarkan saya memilih buku bacaan yang saya suka.
Sedikit lagi usia saya akan mencapai 22 tahun dan sampai saat ini masih terkenang jelas
perasaan bahagia saya ketika bapak pulang kerja dan membelikan saya buku bacaan atau
majalah anak, dan juga bepergian ke toko buku bersama bapak adalah kegiatan yang selalu
saya agendakan jika bersama bapak, entah saat saya pulang ke rumah atau bapak yang
mengunjungi saya di tempat rantau.

Saya payah dalam pelajaran berhitung, tapi kemampuan literasi saya mampu
menunjang prestasi saya dari usia tingkat sekolah dasar hinga menengah atas, sampai saat ini
mengantarkan saya duduk di kampus perguruan tinggi negeri. Saya mengakui bahwa peran
orang tua sangat berdampak dalam mewujudkan budaya literasi yang lebih baik. Kegemaran
saya terhadap membaca dan menulis sampai saat ini tidak terlepas dari peran kedua orang tua
saya, bahkan sampai saat ini orang tua saya yang dulunya memberikan bahan bacaan
terkadang meminta rekomendasi buku bacaan kepada saya karena semakin bertambahnya
usia saya semakin menambah genre bacaan, yang dulunya hanya gemar buku bacaan yang
fiksi sekarang tertarik pada sejarah, politik, hukum, religi, dan sains. Perwujudan dari budaya
literasi tidak hanya menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai kewajiban,
melainkan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Daftar Pustaka :

Joesoef D. 2004. Bukuku Kakiku. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Di dalam : Solihin
L, Utama B, Pratiwi I, Novirina. 2019. Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi.
Jakarta (ID) : Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan
Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud

Solihin L, Utama B, Pratiwi I, Novirina. 2019. Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34


Provinsi. Jakarta (ID) : Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan
Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud

Anda mungkin juga menyukai