Anda di halaman 1dari 40

NEGARA ISLAM

DI SUMATRA
840 – 1903 M
K. SUBROTO
Edisi 16 / Nopember 2017
SYAMINA

Negara Islam di Sumatra

840 – 1903 M

K. Subroto

Laporan
Edisi 16 / Nopember 2017

ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,


kirimkan e-mail ke:
lk.syamina@gmail.com
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
Keterangan gambar: Kota Banda Atjeh zaman dulu, http://www.antiquemaps-fair.com
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Negara Islam di Sumatra 840 - 1903 M— 7
Islamisasi Sumatra, Awal Islamisasi Nusantara —8
Perlak, Negara Islam pertama di Sumatra (840 – 1292 M) — 13
Negara Islam Kesultanan Samudera Pasai (1267–1521) — 15
Kemakmuran Samudera Pasai — 16
Hukum Islam dan Lembaga Peradilan di Samudera Pasai — 17
Wilayah dan Politik Luar Negeri — 18
Negara Islam Kesultanan Malaka (1405–1511) — 19
Hukum Islam di Malaka — 22
Kesultanan Aceh Darussalam (1514 – 1903) — 24
Sekilas sejarah kesultanan Aceh — 24
Wilayah dan Ekonomi Aceh — 25
Hukum Islam di Aceh— 27
Negara Islam Kesultanan Palembang Darussalam (1454 – 1825) — 29
Wilayah dan Letak Geografis — 30
Ekonomi dan Perdagangan — 32
Islam Menjadi Asas Negara dan Masyarakat — 32
Hukum Islam di Negara Islam Palembang — 33
Penutup — 35
Daftar Pustaka — 37

3
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

EXECUTIVE SUMMARY

M
asuknya agama Islam di kepulauan Nusantara dimulai dengan masuknya
agama Islam di pulau Sumatra. Setelah mengenal islam lebih dalam,
mayoritas masyarakat di Nusantara berbondong-bongdong menyambut
dengan antusias seruan untuk memeluk agama Islam. Islam masuk melalui Sumatra
dan seiring berjalannya waktu terus menjalar ke arah Barat kepulauan di kawasan
Asia tenggara ini. Islam telah mulai masuk pada abad ke-7 atau 8 M walaupun belum
banyak pemeluknya.
Mudahnya Islam berkembang di kawasan ini tidak terlepas dari kondisi
global saat itu yang sangat menguntungkan penyebaran agama tersebut. Islam
menjadi entitas yang cukup kuat dan sangat diperhitungkan di tataran global saat
itu. Pengaruh peradaban Islam terus merambat menjalar dan meluas ke berbagai
kawasan termasuk kepualauan di Asia Tenggara.
Sebaliknya kekuatan Eropa (Barat) belum dikenal di kawasan tersebut. Hal
demikian diakui oleh seorang sejarahwan, Ricklefs yang menyatakan bahwa, pada
Abad XV, Eropa (Barat) bukanlah kawasan yang yang paling maju dan juga bukan
kawasan yang paling dinamis di seluruh dunia. Akan tetapi kekuatan besar yang
sedang berkembang di dunia saat itu adalah kekuatan Islam. kekuatan islam berhasil
merebut Konstantinopel dan Islam juga menyebar dengan masif di kawasan Asia
Tenggara.
Sumatra adalah pulau terbesar keenam di dunia yang terletak di Indonesia,
dengan luas 473.481 km². Penduduk pulau ini sekitar 52.210.926 (sensus 2010). Pulau
4 ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

(bahasa Sanskerta, berarti "pulau emas"), swarnnabhūmi (bahasa Sanskerta, berarti


"tanah emas") dan bhūmi mālayu ("Tanah Melayu").
Penulisan sejarah Indonesia berusaha mengecilkan peran Islam dan politik Islam
dengan berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik
pra Islam. hal demikian wajar karena selama ini hampir di semua daerah, penjajah
Belanda selalu berhadapan dengan ulama dan pemimpin Islam ketika berusaha
menacapkan kepentingan kolonialisme (penjajahan). Para ulama dan pemimpin
Islam selalu mengumandangkan seruan jihad untuk mempertahankan wilayah dan
hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh orang para penjajah kafir Eropa.
Dengan kenyataan itu para orientalis Belanda memandang Islam sebagai
ancaman terhadap keberlangsungan misi penjajahan. Sebagaimana pandangan
seorang ahli strategi belanda, Cristian Snouck Hurgronje yang memandang islam
sebagai faktor penghalang misi penjajahan terutama yang disebutnya sebagai islam
politik. Oleh karena itu Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan
politik islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian
dan penulisan sejarah kegemilangan peradaban pra islam. Eksistensi negara islam
berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut
di era kemerdekaan. Bahkan ada yang menyebut eksistensi negara Islam sebagai
”ilusi”, sesuatu yang tidak pernah ada.
Tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era pra Islam.
Bahkan De Graaf menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah di abad 20
yang meneliti dan mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang
datang dari India tersebut. Dalam Pandangan sejarah ala Barat lebih menonjolkan
uraian-uraian ilmiah tentang masa Hindu.
Jadi upaya deislamisasi atau nativisasi sejarah Islam memang disengaja oleh
penjajah Belanda sebagai pionir penulis sejarah Nusantara. Hal ini dimaksudkan
sebagai salah satu upaya untuk mencegah kebangkitan kembali institusi politik yang
berdasarkan islam yang merepotkan bahkan mengancam kepentingan kolonialisme
(penjajahan). Dampaknya para peneliti sejarah saat ini kesulitan mencari sumber
referensi tulisan sejarah Indonesia kecuali dari tulisan-tulisan sejarawan Belanda.
Maka kita dapati bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah sejak masa kolonial
Belanda sampai saat ini selalu menonjolkan kegemilangan peradaban syiwa-budha
dan mengecilkan peran era Islam dalam membangun dan memajukan masyarakat.
Kenyataannya kejayaan politik dan peradaban Islam tidak kalah dengan kejayaan
era Syiwa-Budha sriwijaya-Majapahit. Eksistensi negara yang berdasarkan islam
bukan sebuah ilusi tapi sebuah fakta sejarah yang berusaha ditutup-tutupi.
Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 December 1933 mengenai hak dan
kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai
subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk
yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk
berhubungan dengan Negara lain.
Dalam konteks Islam, berkaitan dengan syarat sebuah negara dikatakan sebagai 5
sebuah negara Islam (Daarul Islam) atau negara kafir (Daarul Kufri), Ibnu Qayyim
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

berkata, “Jumhur ulama menjelaskan bahwa Daarul Islam adalah negeri yang
dikuasai kaum muslimin dan ditegakan hukum-hukum Islam. Sedangkan negeri
yang tidak berlaku padanya hukum-hukum Islam, maka ia bukan termasuk Daarul
Islam meskipun ia berbatasan langsung (dengan Daarul Islam).”
Negara-negara atau kesultanan Islam yang banyak terdapat di pulau Sumatra
seperti, Kesultanan Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang serta negara-
negara lainnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara dan negara Islam.
Kesultanan Malaka pusat pemerintahannya tidak di pulau Sumatra namun daerah
kekuasaannya saat itu juga meliputi sebagian pulau Sumatra. Bahkan salinan
Kanun (Undang-undang) malaka ditemukan di beberapa kesultanan Islam di
Sumatra, Patani dan Johor. Beberapa Kesultanan Islam di Jawa, meneurut beberapa
sejarahwan, kitab undang-undangnya juga dipengaruhi oleh Kanun Malaka.
Para sultan atau raja di negara-negara Islam di Sumatra semuanya muslim dan
berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam serta berusaha menerapkan aturan
hukum Islam dalam Kitab Undang-undang yang berlaku di negera-negara Islam di
Sumatra yang bersumber dari hukum Islam. adapun mengenai adanya unsur adat
dalam kitab hukum tersebut, karena memang hukum islam bisa menerima dan
mentolerir adat selama adat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

6
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Negara Islam di Sumatra


840 – 1903 M

P
ada Abad XV, Eropa (Barat) bukanlah kawasan yang yang paling maju dan
juga bukan kawasan yang paling dinamis di seluruh dunia. Akan tetapi
kekuatan besar yang sedang berkembang di dunia saat itu adalah kekuatan
Islam. Pada tahun 1453 Turki Utsmani berhasil menaklukkan Konstantinopel dan di
ujung Timur, Islam berkembang di kepulauan Indonesia dan Filipina.1
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari seri sebelumnya (edisi 4, Maret 2017),
yang membahas tema seputar negara Islam di Jawa pada tahun 1500-1700 M.2 pada
tulisan ini akan fokus pada negara-negara Islam di Sumatra. Berdasarkan waktu
eksistensinya, negara Islam di Sumatra lebih lama daripada negara Islam di Jawa.
Sumatra adalah pulau terbesar keenam di dunia yang terletak di Indonesia,
dengan luas 473.481 km². Penduduk pulau ini sekitar 52.210.926 (sensus 2010). Pulau
ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa
(bahasa Sanskerta, berarti “pulau emas”), swarnnabhūmi (bahasa Sanskerta, berarti
“tanah emas”) dan bhūmi mālayu (“Tanah Melayu”).
Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak dan
kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai
subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk
yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk
berhubungan dengan Negara lain.3 Maka dalam tulisan ini akan dibahas apakah
kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu (tahun 1000 – 1900) memenuhi syarat untuk
disebut sebagai sebuah negara atau negara Islam.
Dalam kajian ilmu Tata Negara kontemporer, juga dikenal 2 bentuk negara
atau pemerintahan yaitu; monarchie (kerajaan) dan republik. Duguit membedakan
antara republik dan monarchie berdasarkan bagaimana kepala negara diangkat. Jika
seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk
pemerintahan disebut monarchie, pelaksana kekuasaan negara disebut raja. Jika
1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011. h.31
2 Lihat: K. Subroto, Negara Islam di Jawa 1500-1700, Syamina, Edisi 4, Maret 2017, http://syamina.org/uploads/
Lapsus_Edisi_4_Maret_2017.pdf 7
3 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit : RajaGrafido, 2003), hal. 3
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

kepala negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu
maka negaranya disebut republik, pelaksana kekuasaan negara disebut Presiden.4
Dalam ajaran Islam, berkaitan dengan syarat sebuah negara dikatakan sebagai
sebuah negara Islam (Daarul Islam) atau negara kafir (Daarul Kufri), Ibnu Qayyim
berkata:

“Jumhur ulama menjelaskan bahwa Daarul Islam adalah negeri yang dikuasai
kaum muslimin dan ditegakan hukum-hukum Islam. Sedangkan negeri yang
tidak berlaku padanya hukum-hukum Islam, maka ia bukan termasuk Daarul
Islam meskipun ia berbatasan langsung (dengan Daarul Islam).”5

Jadi dari pernyataan tersebut di atas diketahui bahwa sebuah negara dikatakan
sebagai sebuah negara Islam bila pemimpinnya adalah seorang muslim dan hukum
yang diberlakukan untuk mengatur kehidupan rakyatnya adalah hukum Islam pula.
Maka tulisan ini sebisa mungkin akan menyorot dua hal di atas (pemimpin dan
hukum) untuk memperkuat analisa bahwa negera-negara yang di bahas dalam tulisan
ini layak dan memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara Islam. Di samping juga
memperhatikan syarat sebuah negara menurut para akademisi kontemporer yang
menambahkan syarat wilayah, eksistensi penduduk dan kedaulatan yang menjadi
syarat dan unsur sebuah negara.

Islamisasi Sumatra, Awal Islamisasi Nusantara


Islam masuk ke Nusantara dimulai dari Sumatra pada abad ke-7. Saat itu sudah
ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang
menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah
di Asia Barat sejak abad ke-7.6
Asal nama Sumatra berawal dari keberadaaan Kerajaan Samudera (Samudera
Pasai). Diawali dengan kunjungan Ibnu Batuthah, petualang asal Maroko ke negeri
tersebut pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudera menjadi Samatrah, dan
kemudian menjadi Sumatra, selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad
ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau ini, sehingga kemudian dikenal
meluas sampai sekarang.7
Kesultanan Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ilal-Masyriq
(Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir
Maroko yang singgah di Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah bercerita bahwa
Sultan Malik az-Zahir di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh keramahan.
Menurut Ibn Batuthah, penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi`i.8
Informasi mengenai mazhab Syafi`i ini sangat penting, sebab membuktikan bahwa

4 Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi
HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 167 lihat juga; Hans Kelsen, General Theory of Law and State , (New York:
Russell & Russell, 1961), hlm. 283
5 Ibnu Qayyim, Ahkaamu Ahlidz-Dzimmah, jilid 2, cet. Daarul ‘Ilmi Lil Malayin 1983. h.728,
6 Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita, dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan
Penyebaran Islam, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm. 9-27
8 7 Nicholaas Johannes Krom, De Naam Sumatra, BKI, 100, 1941.
8 Gabriel Ferrand, Relation de Voyages ..., II, 1914, hh. 440-450.
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Islam di Indonesia berasal langsung dari Arab, bukan dari Gujarat atau daerah India
lainnya yang bermazhab Hanafi. Perlu juga dicatat bahwa nama Samatrah dalam
kitab Rihlah karya Ibn Batuthah ini kemudian disalin oleh Niccolo da Ponti dari Italia
serta Antonio Pigafetta dari Portugis menjadi Sumatra, dan lama-kelamaan orang-
orang Eropa menggunakan nama Sumatra untuk menyebutkan seluruh pulau.9
Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatra (nama pulau) menarik
untuk ditelusuri. Odorico da Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318
menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari,
lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila
l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan
Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih
oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia
dan di sana tertulis pulau “Samatrah”. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun
1498 dan muncullah nama “Camatarra”. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501
mencantumkan nama “Samatara”, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan
nama “Samatra”. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu “Camatra”, dan Alfonso
Albuquerque tahun 1512 menuliskannya “Camatora”. Antonio Pigafetta tahun 1521
memakai nama yang agak ‘benar’: “Somatra”. Tetapi sangat banyak catatan musafir
lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: “Samoterra”, “Samotra”, “Sumotra”, bahkan
“Zamatra” dan “Zamatora”.
Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten
dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk
inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia:
Sumatra.

Hubungan dengan Timur Tengah


Hubungan Nusantara, terutama Sumatra dan Jawa, dengan Timur Tengah
telah berlangsung sejak zaman sebelum Islam. Sebuah naskah Yunani, Periplous
tes Erythras Thalasses, yang ditulis tahun 70 M, sudah menyebutkan Sumatra
dengan nama Chrysenesos (Pulau Emas).10 Sejak zaman purba para pedagang dari
kawasan Mediterrania sudah mendatangi Nusantara. Di samping mencari emas,
mereka mencari tumbuh-tumbuhan yang saat itu hanya dijumpai di Sumatra, yaitu
kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica).11
Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas
mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi,
sebagaimana hasil penelitian Dr. J. Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis
karya Plinius di abad pertama Masehi.12

9 Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, BKI, 100, 1941.


10 A. Christie, “An Obscure Passage from the Periplus”, BSOAS, 19, 1957, h. 345
11 Gerald Randall Tibbetts, “Pre-Islamic Arabia and South-East Asia”, JMBRAS, 29, 1956, hh. 182-208.
12 J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab 9
“The Cinnamon Route”.
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari bahasa Arab, luban jawi,
yang artinya “kemenyan Jawa”. Nama Latin untuk kapur barus, caphurae, berasal
dari nama Arab, kafur, yang diambil dari kata Melayu, kapur. Seorang penyair Arab
sebelum Islam, Amru al-Qais (wafat 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur
dalam syair-syairnya.13 Semua ini membuktikan bahwa barang-barang dari Sumatra
sudah dikenal oleh bangsa-bangsa di sekitar Laut Tengah, termasuk bangsa Arab,
sejak zaman purba.
Kontak paling awal antara penguasa di kepulauan Hindia dengan kekhilafahan
Islam di Timur Tengah bermula sejak masa Khilafah Bani Umayah yang kala itu
dipimpin oleh Khalifah Mu’awiyah. Kehadiran Muslim Timur Tengah ke Kepulauan
Hindia pada masa-masa awal pertama kali disebutkan oleh pengembara terkenal
Cina, I-Tsing yang pada 51 H/617 M, singgah di Palembang yang saat itu
merupakan ibu kota kerajaan Buddha Sriwijaya. Mereka yang berada di Kepulauan
Hindia merupakan para pedagang yang kaya dan memiliki kekuatan ekonomi.
Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah
di Kepulauan Hindia masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha.
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Kepulauan Hindia yang tercatat
memberikan pengakuan terhadap kebesaran Khalifah. Pengakuan ini dibuktikan
dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh raja Sriwijaya kepada Khalifah di
zaman Bani Umayyah. pertama dikirim kepada khalifah Mu’awiyah, dan surat kedua
dikirim kepada khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz. Dalam surat tersebut Raja meminta
pada Khalifah agar dikirim seorang utusan untuk mengajarkan Islam pada raja di
negeri Sriwijaya. 14
Dua buah sumber sejarah berupa berita-berita Cina yang menyinggung masalah
kedatangan Islam ke Nusantara adalah Hsin-Tang-shu (Catatan Dinasti Tang, 618–
907) serta Chu-fan-chi (Catatan Negeri-Negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua tahun
1225.15 Dua kronik Cina di atas banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk
menyebut Arab.16 Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-
mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina.17 Boleh dipastikan bahwa nama ini
adalah ucapan Cina untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan
“raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang
memerintah dari tahun 644 sampai 656 M.

13 Oliver William Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967,
terutama Bab 8
14 yumardi Azra, Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII. Edisi Revisi
(Jakarta: Prenada Media, 2004)
15 Hsin-Tang-shu diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”,
BEFEO, 4, 1904, hh. 132-413. Chu-fan-chi diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan William Woodville Rockhill,
Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-
FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911.
16 Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-
ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan
penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan
(Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-
10 lo-pa (Abul-Abbas). Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124.
17 Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang


Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatra.18 Sebagian besar ahli sejarah
berpendapat bahwa daerah yang dimaksudkan adalah Barus, penghasil kapur barus
yang termasyhur itu.19 Hsin-Tang-shu juga memberitakan bahwa pada tahun 674-
675 raja Ta-shi mengirimkan utusan ke negeri Ho-ling yang terletak di pulau She-po.20
Telah disepakati oleh para ahli sejarah bahwa “She-po” adalah transliterasi Cina dari
nama Jawa.21
Lokasi negeri Ho-ling serta nama asli negeri itu sampai kini masih diperdebatkan
oleh para ahli sejarah. Yang jelas, negeri itu pasti terletak di Jawa.22 Prof. Dr. Gabriel
Ferrand berpendapat bahwa raja Ta-shi itu mungkin Mu`awiyah ibn Abi Sufyan,
khalifah Bani Umayyah di Damaskus, sebab tahun pengiriman utusan ke Jawa itu
bertepatan dengan masa pemerintahan Mu`awiyah (661–680).23 Prof. Dr. Hamka
juga berpendapat serupa, dengan alasan bahwa Mu`awiyah merupakan khalifah
yang mula-mula mendirikan armada laut dan memiliki kegemaran mengirimkan
penyelidik ke negeri-negeri lain.24
Meskipun kedatangan utusan Mu`awiyah ke Jawa itu belum dapat kita jadikan
titik-tolak masuknya Islam ke Indonesia, tidaklah dapat disangkal bahwa pada
abad pertama Hijriyah negeri-negeri di Asia Tenggara telah ramai dikunjungi
para pedagang dan musafir dari Timur Tengah, bahkan di setiap pelabuhan ada
pemukiman para pedagang Muslim.25 Ibnu Faqih yang mengunjungi Sriwijaya tahun
902 (290 H) menulis dalam Kitab al-Buldan: “Di Sriwijaya kita dapat mendengar
bahasa Arab, Persia, Cina, India, dan Yunani, di samping bahasa pribuminya sendiri,
Melayu”.26
Para pedagang dan musafir Islam itu mungkin sempat mendakwahkan Islam
kepada penduduk setempat, sebab setiap Muslim mempunyai kewajiban berdakwah
menurut kemampuan masing-masing. Barangkali sejak abad ketujuh atau kedelapan,
agama Islam telah dipeluk oleh sebagian kecil penduduk Nusantara, terutama di
daerah pesisir yang berada pada jalur lalu lintas perdagangan. Prof.Dr.Thomas
Walker Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, mengatakan:
“It is impossible to fix the precise date of the Islam into the Malay Archipelago. It
may have been carried by Arab traders in the early centuries of the Hijrah, long before

18 Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled
from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.
19 Satyawati Suleiman, Concise Ancient History of Indonesia, The Archaelogical Foundation, Jakarta, 1974, h.
16. Begitu populernya daerah Barus di zaman purba, sehingga negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas)
tercatat dalam naskah Geographike Hyphegesis yang ditulis oleh ahli geografi Yunani abad kedua, Klaudios
Ptolemaios (87–168). Lihat: W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18,
October 1974, h. 1.
20 Paul Pelliot, h. 297.
21 Mengenai peralihan bunyi Jawa menjadi She-po, lihat Paul Pelliot, hh. 279-295, serta F. Hirth dan W.W.Rockhill,
hh. 78-79.
22 Louis-Charles Damais berpendapat bahwa Ho-ling transliterasi dari Walaing, sedangkan W. J. van der Meulen
menyarankan nama itu transliterasi dari Paryang (Dieng). Oliver W.Wolters menduga letak Ho-ling di Jawa
Barat, dan Slametmulyana mencari lokasi Ho-ling di daerah Keling, lembah Kali Brantas. Tetapi semuanya
sepakat bahwa Ho-ling harus dicari di Pulau Jawa.
23 Gabriel Ferrand, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, 1922, h. 37.
24 Hamka, Sedjarah Umat Islam, IV, Nusantara, Djakarta, 1961, h. 18
25 Gabriel Ferrand, Relation de Voyages et Textes Geographique Arabes, Persans et Turks Relatifs a l’Extreme-
Orient, dua jilid, Ernest Leroux, Paris, 1913-1914 11
26 Gabriel Ferrand, Relation de Voyages ..., I, 1913, hh. 56-57
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

we have any historical notices of such influences being at work. This supposition is
rendered the more probable by the knowledge we have of the extencive commerce with
the East carried on by the Arab from very early time.” 27
Tidak mungkin untuk mengetahui tanggal yang tepat masuknya agama Islam ke
kepulauan Melayu. Islam mungkin telah dibawa oleh pedagang Arab pada abad-abad
awal Hijrah, jauh sebelum kita memiliki catatan historis tentang hal itu. Anggapan ini
lebih masuk akal karena sebagaimana kita ketahui bahwa orang-orang Arab sejak
awal sudah melakukan perdagangan ke kawasan Timur.
Kedatangan Islam di kawasan Melayu-Nusantara merupakan yang
paling awal jika dibandingkan dengan kawasan lainnya seperti Jawa dan
Makassar. Para sejarawan mencatat bahwa interaksi masyarakat Nusantara
dengan Islam sudah terjadi sejak abad pertama Hijiyah atau abad VII M
dan VIII M. Sumber-sumber yang berasal dari Cina menyebutkan bahwa
pada sekitar akhir perempatan ketiga abad VII M terdapat seorang pedagang Arab
yang memimpin pemukiman komunitas Arab muslim di pesisir pantai Sumatra.
Bahkan, dikatakan bahwa mereka telah melakukan perkawinan dengan wanita lokal
dan membentuk komunitas muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang
dan penduduk lokal.28 Oleh sebab itu, hampir dapat dipastikan bahwa interaksi
tersebut memungkinkan terjadinya perpindahan agama penduduk Nusantara dari
kepercayaan sebelumnya ke agama Islam.
Dari abad VIII M sampai dengan abad XI M, setelah dunia Islam menguasai
wilayah Bizantium dan Sasania, banyak pelaut Arab dan Persia yang berlayar dari
Teluk Persia dan Laut Merah menuju Lautan Hindia. Mereka membuka ruang
ekonomi baru dengan mencari rempah-rempah di kawasan ini. Di antara tempat
yang menjadi tujuan mereka adalah Fansur (Barus) dan Lamiri. Berdasarkan catatan
Ibn Fakih dari Hamadan (902 M) dan al-Mas’udi (955 M) dijelaskan bahwa Kota
Fansur menisbatkan namanya untuk kamper (kapur Barus) yang disebut Fansuri.
Marco Polo dalam kunjungannya ke Fansur juga menyebutkan bahwa Fansur
adalah tempat diproduksinya kamper terbaik di dunia.29 Petunjuk lain mengenai
kehadiran komunitas muslim di Fansur adalah ditemukannya inkripsi berupa cap
jimat di situs Lobu Tua yang diperkirakan berasal dari periode pertengahan abad IX
M sampai akhir abad XI M.30 Pada masa itu Fansur merupakan bandar yang menjadi
tempat para pedagang dari India Selatan, Timur Tengah, dan Jawa yang datang ke
daerah tersebut untuk mencari kamper.31 Dengan demikian, Fansur merupakan
tempat bertemunya berbagai budaya dan agama, termasuk Islam, pada masa lalu.31
Adapun Lamiri, berdasarkan catatan Ibn Khordadzbeh (w 885 M), dikenal sebagai
tempat penghasil kemenyan dan terdapat juga terdapat habitat badak di dalamnya.32

27 Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam, Luzac, London, 1935, h. 363
28 Azra, Jaringan Ulama, hlm. 26-27
29 Marie France Dupoizat, “Keramik Cina dari Barus dan Timur Dekat: Persamaan, Perbedaan, dan Kesimpulan
Awal” dalam Claude Guillot (ed.), Lobu Tua Sejarah Awal Barus (Jakarta: Obor, 2002), hlm. 139.
30 Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia terj. Laddy Lesmana dkk. (Jakarta: KPG,
2011), hlm. 33-34.
31 Ibid., hlm. 89-90
12 32 Djoko Surjo, dkk, Agama dan Perubahan Sosial: Studi Tentang Hubungan Antara Islam, Masyarakat, dan
Struktur Sosial-Politik Indonesia (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm. 41
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Menurut Sejarah Melayu, Fansur dan Lamiri33 merupakan masyarakat di


Nusantara yang paling awal masuk Islam. Setelah Fansur dan Lamiri, islamisasi
berikutnya terjadi pada masyarakat Haru dan Perlak.
Di antara empat nama tempat yang telah disebutkan, yakni Fansur, Lamiri, Haru,
dan Perlak, hanya nama Perlak yang sampai saat ini diyakini oleh para sejarawan
sebagai kerajaan/negara Islam di Nusantara. Kerajaan Perlak berdiri pada tahun 225
H/840 M dengan rajanya yang bernama Syed Maulana Abdul Azis Syah yang bergelar
Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah.34
Pada abad XIII M, berita-berita mengenai kedatangan Islam di Nusantara
semakin kuat. Data awal yang tersedia adalah yang disajikan oleh Morco Polo dan
Ibnu Batuthah. Marco Polo, pelancong yang berhenti di Perlak pada 1292 M, ketika
perjalanan pulang menuju Venesia, menggambarkan penduduk setempat sebagai
“pada umumnya adalah penyembah berhala”, tetapi banyak dari mereka yang
mendiami wilayah pelabuhan telah berpindah kepada agama Muhammad (Islam)
oleh para saudagarsaudagar Arab yang seringkali mengunjungi rumah mereka.
Desa-desa dalam catatannya, yang oleh Marco Polo disebut sebagai Samara dan
Basman telah diidentifiasi sebagai Samudera dan Pasai, dua wilayah yang terpisah
oleh Sungai Pasai.
Lima dekade kemudian, Ibn Batuthah mengunjungi Samudera di mana dia
menemukan bahwa Islam telah berkembang sekitar satu abad. Penguasanya, Sultan
Malik al-Dzahir, adalah seorang muslim yang taat. Catatan Ibn Batuthah juga
memuat deskripsi upacara-upacara kerajaan yang dia saksikan. Dengan adanya dua
buah catatan ini, Hoesein Jayadiningrat menyimpulkan bahwa “apabila identifiasi
tentang Samara adalah Samudera itu benar, maka ini pasti menjadi kerajaan Islam
pertama di Indonesia saat Marco Polo berkunjung di akhir abad XIII M”.35

Perlak, Negara Islam pertama di Sumatra (840 – 1292 M)


Pada abad I Hijriah, Islam sudah masuk ke Aceh dan kerajaan Islam yang pertama
adalah Peureulak (Perlak), dan munculah kerajaan lain yaitu Lamuri dan Samudera
Pasai.36 Kerajaan Perlak berdiri pada tahun 225 H/840 M dengan rajanya yang
bernama Syed Maulana Abdul Azis Syah yang bergelar Sultan Alaidin Syed Maulana
Abdul Aziz Syah.37
Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara
Sumatra dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada
tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya
yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M.
33 Fansur dan Lamiri merupakan dua daerah pesisir di Sumatra Utara. Fansur atau Fansuri saat ini dikenal
dengan nama Barus.
34 Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI” dalam A. Hasymy, Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Tt: Al-Ma’arif, 1993), hlm. 195.
35 Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh (Leiden: Koninklijke Brill NV,
2004), hlm. 323
36 Said, Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, 1961, h.56
37 Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI” dalam A. Hasymy, Sejarah 13
Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Tt: Al-Ma’arif, 1993), hlm. 195.
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat
tahun 608 H atau 1211 M.38
Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang
ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya
hanya lima hari pelayaran dari Jawa.39 Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah
Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan
waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang
termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina
melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama
Islam.40 Menurut Marcopolo orang perlak masuk islam karena sering dikunjungi para
pedagang muslim.

Letak Geografis Negara Islam Kesultanan Perlak 41


“Kami ceritakan pertama-tama mengenai Kerajaan perlak…. Ketahuilah bahwa
dahulu kala orang-orang ini meyembah berhala, namun karena para pedagang
Muslim sering mengunjungi mereka dengan perahu, semua orang-orang itu
berpindah agama yang mengerikan: agama Muhammad.”42
Pada akhir abad ke-13 kedaulatan Peureulak berakhir, digantikan oleh kesultanan
Samudera-Pasai. Mengenai Samudera-Pasai para ahli sejarah tidak banyak berdebat.
Di daerah Pasai terdapat makam sultan-sultannya yang dilengkapi batu nisan
bertuliskan nama-nama sultan serta tahun wafat masing-masing. Sultan yang
pertama adalah Malik as-Saleh yang wafat tahun 696 H (1297 M).43

38 Teuku Iskandar, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958. Suwedi Montana, “Nouvelles donees
sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997, hh. 85-95
39 F. Hirth dan W. W. Rockhill, h. 76.
40 Sir Henry Yule, The Book of Marco Polo, II, London, 1903, h. 284.
41 Sumber: http://www.historiartikel.com/2017/02/kerajan-perlak-sebagai-kerajaan-islam.html
42 Marcopolo, Le Devisement Du Monde, 413. Lihat juga ; Marcopolo, Le Livre de Marcopolo, disunting oleh
M.G. Pauthier, Firmin Didot freres, Paris 1865, h.568-569, dalam; Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam
Nusantara abad XIV-XIX M, Penerbit Kencana Jakarta 2016, h. 6-7
14 43 Jean Pierre Moquette, “De Oudste Vorsten van Samudera-Pase”, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst,
Batavia, 1913, hh. 1-12
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Kerajaan Perlak berdasarkan Sejarah Melayu berakhir ketika Malik al Manshur


dan Malik al-Dzahir beranjak dewasa. Kerajaan ini dikalahkan oleh musuh dari
negeri seberang yang mengakibatkan rakyat Perlak berpindah ke Kerajaan Samudera
untuk mendapatkan perlindungan.44

Negara Islam Kesultanan Samudera Pasai (1267–1521)


Sekilas keislaman Samudera pasaiKesultanan Pasai, juga dikenal dengan
Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di
pesisir pantai utara Sumatra, kurang lebih di sekitar 15 Km dari Kota Lhoukseumawe
yang diapit oleh sungai besar yaitu sungai Jambo Aye dan Sungai Peusungan Aceh
Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat
digunakan sebagai bahan kajian sejarah.45 Namun beberapa sejarahwan memulai
menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai,46
dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas
dan perak dengan tertera nama rajanya.47
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang kemudian setelah masuk Islam
bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga
tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu
Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada
tahun 1345.
Samudera Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi geografis, dan sosial ekonomi,
memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-
pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina dan Arab. Ia
merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang itu (dirham)
membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.48
Ibnu Batuthah, seorang pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya,
dalam catatannya mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345 M.
Ibnu Batuthah, yang singgah di Pasai selama 15 hari, menggambarkan Kesultanan
Samudera Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang
besar dan indah.‘‘ Ibnu Batuthah menceritakan, ketika sampai di negeri Cina, ia
melihat kapal Sultan Pasai di negeri itu. Memang, sumber-sumber Cina ada yang
menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan
upeti.

44 A. Teeuw, Sedjarah Melaju, hlm. 63


45 Ricklefs, M.C., (1991), A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition, Stanford University Press, h.15
46 Hill, A. H., (1960), Hikayat Raja-raja Pasai, Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, London. Library,
MBRAS.
47 Wicks, R. S., (1992), Money, markets, and trade in early Southeast Asia: the development of indigenous
monetary systems to AD 1400, SEAP Publications 15
48 Badri Yatim, Op.cit., hlm. 207
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

Letak Geografis Samudera Pasai


Catatan pada Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra,
termasuk Kerajaan Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan
Mongol yang berada di bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan Samudera/Pasai
mulai mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada 1282.
Kerajaan Samudera/Pasai menjalin hubungan dengan imperium besar di Asia
itu melalui perutusan Cina yang kembali dari India Selatan dan singgah di Samudera
Pasai. Peristiwa ini dianggap sebagai permulaan kontak antara Samudera Pasai
dengan Cina/Mongol.49

Kemakmuran Samudera Pasai


Seorang juru tulis Cheng Ho, Ma Huan yang tiga kali mengunjungi Samudera
Pasai dalam misi Pelayarannya mengungkapkan kemakmuran negeri samudera
Pasai. Ma Huan menulis bahwa di negeri itu banyak terdapat bermacam-macam
buah-buahan seperti, pisang, tebu, manggis, nangka, durian, jeruk, mangga, dan
semangka. Disamping itu juga terdapat banyak sayuran, bawang putih, bawang
merah, jahe, labu dan lainnya. Di bidang peternakan, penduduk Pasai memelihara
sapi perah yang menghasilkan keju. Ada pula kambing hitam, ayam jantan, bebek dan
ulat sutra. Bukit-bukit menghasilkan banyak belerang di gua-guanya. Penduduknya
menanam padi yang bisa panen dua kali setahun. Lada hitam ditanam oleh petani di
dekat bukit.
Kerajaan ini banyak disinggahi kapal-kapal Melayu antar pulau, dan perdagangan
antar sesama mereka sangat ramai. Penduduk samudera Pasai memakai uang emas

16 49 Muhammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah : Abad Ke-13 Sampai Awal Abad Ke-16, Depdikbud
Jakarta 1997. h.23
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

dan perak sebagai alat tukar. Uang emas diberi nama dinar dan dibuat dari 70 %
emas tulen. Di pasar umumnya dipakai uang timah.50

Hukum Islam dan Lembaga Peradilan di Samudera Pasai


Pada akhir abad ke-13 Samudera pasai berubah menjadi sebuah kesultanan
Islam. Bentuk kekuasaan politik ini mengubah secara mendalam sistem politik yang
telah dikenal hingga saat itu di kepulauan Nusantara. Setelah raja masuk Islam dan
diikuti oleh rakyatnya, Islam memainkan peranan yang sangat penting. Samudera
Pasai secara perlahan menjadi pusat keislaman yang sangat dinamis. Bahkan telah
menjadi pusat penyebaran Islam ke wilayah sekitarnya. Dan sejak saat itu Islam
menyebar dengan cepat ke seluruh Sumatra, semenanjung Melayu, Jawa, Maluku,
dan daerah lainnya di pelosok kepulauan Nusantara. Perubahan sistem politik
Samudera Pasai mendorong juga pergantian sistem hukum.
Penerapan hukum Islam di Samudera Pasai dicatat oleh musafir asal Maroko
abad ke-14, Ibnu Batuthah dalam buku yang terkenal dengan judul; Al Rihlah. Ia
melihat dan mencatat banyak hal mengenai praktik pengamalan Islam di Samudera
Pasai. Berdasarkan catatannya, Sultan Samudera Pasai adalah seorang muslim
yang baik yang menerapkan hukum Islam dengan madzhab syafi’i. Oleh karena itu,
rakyatnya juga menjalankan aturan-aturan (syariat) Islam. Samudera Pasai juga
memeiliki lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penegakan hukum dan aturan
Islam, seperti Qadi dan Mufti.
Ibnu Batuthah berkunjung ke Samudera Pasai pada tahun 1345/46. Ia tinggal
selama 15 hari sebelum melanjutkan perjalanan ke negeri Cina. Sebelum singgah
di Samudera pasai ibnu batuthah sudah singgah di India. Ia mengisahkan bahwa
pelayaran dari India ke Samudera Pasai membutuhkan waktu selama 15 hari.51
Ibnu Batuthah menulis bahwa ketika sampai di samudera pasai ia dijemput
dan disambut oleh para pejabat Kesultanan Samudera Pasai atas perintah Sultan.
Diantara yang menyambutnya adalah seorang Qadi yang bernama Amir Sayyid Al-
Syirazi. Secara rinci ia juga menggambarkan Samudera Pasai dan pengamalan Islam
nya;
“Ini perihal Sultan Malik az Zahir, salah satu raja yang paling terkenal dan paling
dermawan. Ia menganut madzab syafi’i. Ia mencintai para fukhaha yang datang ke
pertemuan-pertemuannya untuk membaca Al Qur’an dan mengadakan pengajian.
Ia selalu berperang, berjihad melawan para kafir. Ia sangat sederhana dan datang
berjalan kaki untuk shalat jumat. Rakyatnya juga mengikuti madzhab syafi’i. Mereka
suka berjihad melawan orang-orang musyrik dan berperang dengan semangat
bersama raja mereka. Mereka meraih kemenangan terhadap orang-orang kafir yang
menjadi tetangga kerajaan mereka. Orang-orang kafir itu membayar jizyah untuk
mendapatkan perdamaian.52

50 Kong Yuanzhi, Cheng Ho Muslim Tionghoa, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia Jakarta 2015. h.112-113
51 Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX, Penerbit Kencana Jakarta 2016, h.15-16 17
52 Batuthah, ar rihlah, h.230 dalam : Utriza, op.cit. h.15-16
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

Petikan teks di atas menjadi dasar tentang hukum Islam dan penerapannya
di Samudera Pasai: tentang mazhab fiqih, qadi (hakim dalam hukum Islam), para
ulama atau ahli fikih (fuqaha’), jihad dan jizyah. Hal ini juga menunjukkan bahwa
pada abad ke-14, umat Islam di Samudera Pasai telah mengikuti mazhab syafi’i.
Mazhab syafii masuk ke Nusantara bersama dengan kedatangan Islam. Kepulauan
Nusantara adalah jalur perdagangan internasional dari barat ke timur. Pusat-pusat
perdagangan di timur tengah seperti Kairo, Jeddah, dan Aden di Yaman mayoritas
penganut mazhab syafii karena mazhab fiqih tersebut berasal dari Kairo, dimana
imam syafii menghabiskan tahun-tahun akhir kehidupannya.
Dari Kairo mazhab syafii menyebar kemana-mana. Mazhab ini diuntungkan
dengan kemenangan Dinasti Saljuk atas Dinasti Fatimiyah pada abad ke-9 sampai
13 di Kairo. Mazhab Syafii menjadi mazhab resmi negara sepanjang masa Ayyubiyah
dan Mamluk.53

Wilayah dan Politik Luar Negeri


Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut
turut pada tahun 1405, 1408 dan 1412 M. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho
yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis
Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi
disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan
Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua
kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan
kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari
Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar
Cina, Lonceng Cakra Donya. 54
Ibnu Batuthah menekankan bahwa sultan dan rakyatnya melaksanakan jihad
melawan orang kafir. Jihad adalah perang bersenjata di jalan Allah (fi sabilillah)
melawan orang yang tidak beriman yang menghalangi tersebarnya dakwah Islam
ke masyarakat. Menurut imam Syafii, jihad merupakan kewajiban yang baik dan
suci. Menurut para ahli fiqih bahwa tujuan jihad adalah menaklukkan dunia,
mengislamkan penduduknya dan menjalankan hukum Islam. Jihad adalah strategi
untuk perluasan politik, sosial dan keagamaan.
Pelaksanaan jihad dan Jizyah serta pemisahan antara wilayah Islam dan bukan
Islam di kesultanan Samudera Pasai berkaitan dengan aturan dalam hukum Islam.
Odorigo de Pordenone, seorang pendeta Fransiskan, sebelum kedatangan Ibnu
Batuthah telah mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1323 M. Ia mengisahkan
bahwa, Kerajaan (Pasai) selalu berperang dengan kerajaan tetangganya, Lamuri
yang saat itu belum Islam.55 Raja saat itu Muhammad Malik Az Zahir (1297-1326),

53 Basha, Al Madhahib Al-Fiqhiyah, h.70-80, dalam; Utriza, op.cit. h.18


54 Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor
Indonesia. h.112
55 Bressan, Odoric of Pordenone, 18. Kern, The Propagation of Islam, 34 dan 89-90. Negeri-negeri tetangga
Samudera Pasai adalah Lambri (Lamuri), Dragoian, dan Fansur. Mereka adalah para penyembah berhala
18 sebagaimana yang dikatakan oleh Marcopolo, Lihat: Polo, Le Devisement Du Monde, 412, dalam; Utriza,
op.cit. h.27
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

kakaek Sultan Abdul Malik Az Zahir (1346-1383). Ia melakukan perang suci melawan
orang-orang bukan Islam agar mereka tunduk pada penguasa Muslim. Jihad tersebut
berlanjut sampai saat kunjungan ibnu Batuthah. Dikatakan dalam catatan ibnu
Batuthah bahwa sultan Ahmad adalah seorang yang shalih dan berjihad bersama
dengan rakyatnya melawan orang-orang bukan Islam.
Penerapan Hukum Islam terus berlaku hingga sultan terakhir Samudera Pasai.
Sebuah Sumber Portugal mencatat bahwa, Raja Samudera Pasai, Jeinal, yaitu Zainal
Abidin, telah meminta Jizyah pada kaum minoritas.56 Diperkirakan mereka adalah
orang-orang buka islam yang tinggal di dalam wilayah Islam yang harus membayar
Jizyah agar mereka mendapat hak hidup dan perlindungan sebagai warga negara
Islam. Dengan jihad, Kesultanan Samudera Pasai menjadi besar.57

Negara Islam Kesultanan Malaka (1405–1511)


Pada perempatan terakhir abad ke-15, setelah menguasai Mesir, armada
komersial Turki dan pedagang-pedagang Muslim Arab serta Gujarat bersama para
pedagang Melayu, Cina dan Nusantara mulai melayari kepulauan rempah-rempah,
secara bersama-sama berhasil mengembangkan Pelabuhan Malaka menjadi menjadi
bandar transit bagi perdagangan rempah-rempah Asia Tenggara. Pala dan fili dari
Banda, cengkeh dan kayu manis dari Maluku, lada dari Banten dan Sumatra, serta
rempah-rempah lain dari Kalimantan dan beras dari Jawa, sutera dan porselen dari
Cina, hasilhasil tekstil dari India, Jepang, serta lainnya, cukup tersedia di Bandar
Malaka.58
Menurut Reid, keberhasilan utama Islam di Negeri Bawah Angin59 terjadi sekitar
tahun 1400 M sampai 1650 M. Pada abad XV M, Malaka menjadi kerajaan Islam dan
sekaligus kota pelabuhan terbesar di wilayah kepulauan Nusantara, serta mendorong
penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah pesisir semenanjung Malaya dan
Sumatra Timur. Kota-kota pelabuhan Islam kemudian menyusul sepanjang jalur
perdagangan rempah-rempah ke pantai utara Pulau Jawa dan Maluku, juga jalur
perdagangan lainnya seperti ke Brunei dan Manila.60
Periode islamisasi yang paling kuat, menurut Reid, terjadi bertepatan dengan
kejayaan perdagangan di Nusantara, yaitu membanjirnya perak sekitar tahun 1570-
1630 M. Periode ini adalah masa hubungan langsung secara ekonomi, agama, dan
militer dengan Mekkah dan Turki Utsmani. Pada saat yang sama, kehadiran agama
Kristen yang dibawa oleh orang-orang Eropa juga meningkatkan motivasi kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara untuk mengislamkan penduduk di pedalaman.61
56 Marsden, The History of Sumatera, h.408
57 Bousquet, Introduction a L’Etude, h.160.
58 M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku. Komunitas Bambu, Jakarta 2009, hlm. 246
59 Negeri Bawah Angin (The Land Below The Wind) merupakan nama lain untuk kawasan Asia Tenggara. Di dalam
Sejarah Melayu disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah banyak pedagang dari
Negeri Atas Angin berdatangan ke Malaka. Malaka terkenal sebagai kota dagang baik dari Negeri Bawah angin
maupun Negeri Atas Angin. Lihat A. Teeuw. Sedjarah Melaju, hlm. 90. Lihat juga Michael Francis Laffn. Islamic
Nationhood and Colonial Indonesia: Th Umma Below Th Wind (New York: Routledge, 2003), hlm. 11
60 Anthony Reid, Southeast Asia in Th Age of Commerce 1450-1680 terj. R.Z. Leirissa (Jakarta: Obor, 1998),
h.176. 19
61 Ibid., hlm. 177
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

Berdasarkan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan


Melayu di Singapura, kemudian serangan Jawa dan Siam menyebabkan pusat
pemerintahan berpindah ke Malaka. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara
sebagai pendiri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405
dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya.62 Sebagai balasan upeti yang
diberikan, Kaisar Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Malaka,
kemudian tercatat ada sampai 29 kali utusan Malaka mengunjungi Kaisar Cina.63
Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok memberi manfaat akan
kestabilan pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi
pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan armada
Ming.64
Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409, mengambarkan Islam
telah mulai dianut oleh masyarakat Malaka,65 sementara berdasarkan catatan Ming,
penguasa Malaka mulai mengunakan gelar sultan pada tahun 1455. Sedangkan dalam
Sulalatus Salatin gelar sultan sudah mulai diperkenalkan oleh penganti berikutnya
Raja Iskandar Syah, tokoh yang dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa
sejarahwan.66
Sampai tahun 1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan Dinasti
Ming, armada Ming berperan mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka yang
sebelumnya sering diganggu oleh adanya kawanan perompak dan bajak laut. Di
bawah perlindungan Ming, Malaka berkembang menjadi pelabuhan penting di
pesisir barat Semenanjung Malaya yang tidak dapat disentuh oleh Majapahit dan
Ayutthaya. Namun seiring berubahnya kebijakan luar negeri Dinasti Ming, Kawasan
ujung tanah ini terus diklaim oleh Siam sebagai bagian dari kedaulatannya sampai
Malaka jatuh ke tangan Portugal, dan setelah takluknya Malaka, kawasan Perlis,
Kelantan, Terengganu dan Kedah kemudian berada dalam kekuasaan Siam.67
Sulalatus Salatin juga mengambarkan kedekatan hubungan Malaka dengan
Pasai, hubungan kekerabatan ini dipererat dengan adanya pernikahan putri Sultan
Pasai dengan Raja Malaka dan kemudian Sultan Malaka pada masa berikutnya juga
turut memadamkan pemberontakan yang terjadi di Pasai. Ma Huan juru tulis Cheng
Ho menyebutkan adanya kemiripan adat istiadat Malaka dengan Pasai serta ke dua
kawasan tersebut telah menjadi tempat permukiman komunitas muslim di Selat
Malaka.68
Sementara kemungkinan ada ancaman dari Jawa dapat dihindari, terutama
setelah Sultan Mansur Syah membina hubungan diplomatik dengan Majapahit yang

62 Gungwu, Wang (2003). Only connect!: Sino-Malay encounters. Eastern Universities Press.
63 Hooker, Virginia M. (2003). A Short History of Malaysia: linking east and west. Allen & Unwin, Cleary, Mark;
Kim Chuan Goh (2000). Environment and development in the Straits of Malacca. Routledge.
64 Institute of Southeast Asian Studies, (2005), Admiral Zheng He & Southeast Asia, Wink, André (2004). Indo-
Islamic society, 14th-15th centuries. BRILL
65 Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor
Indonesia,
66 Institute of Southeast Asian Studies, (2005), Admiral Zheng He & Southeast Asia,
67 Wink, André (2004). Indo-Islamic society, 14th-15th centuries. BRILL., Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa
Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor Indonesia,
20 68 Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor
Indonesia,
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

kemudian meminang dan menikahi putri Raja Jawa tersebut. Selain itu sekitar tahun
1475 di Jawa juga muncul kekuatan muslim di Demak yang nanti turut melemahkan
hegemoni Majapahit atas kawasan yang mereka klaim sebelumnya sebagai daerah
bawahan. Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak terlihat setelah jatuhnya
Malaka kepada Portugal, tercatat beberapa kali pasukan Demak mencoba merebut
kembali Malaka dari tangan Portugal. 69
Negara Islam Kesultanan Melaka berjaya selama 150 tahun mendominasi sektor
ekonomi, politik, budaya di sekitar kawasan Selat Melaka. Selat Malaka adalah salah
satu selat internasional terpenting di dunia, selain itu, selat ini juga merupakan selat
tersibuk kedua di dunia setelah Selat Hormuz, kenyataan ini tak lepas dari letaknya
yang strategis dan sejarah penggunaan selat yang sangat panjang. Panjang Selat
Malaka sekitar 805 km atau 500 mil dengan lebar 65 km atau 40 mil di sisi selatan dan
semakin ke utara semakin melebar sekitar 250 km atau 155 mil.
Sejarah mencatat bahawa Selat Malaka telah menjadi jalur lintas yang penting
sejak zaman dahulu. Selama ratusan tahun sebelum masa kolonialisem Barat,
bangsa India, China, dan Arab telah menggunakan selat ini untuk jalur lalu lintas
perdagangan dan menyebarkan agama sehingga memberikan bentuk budaya yang
teralkulturasi terhadap identitas masyarakat di sekitar Selat Malaka.
Interaksi yang kuat dalam bidang politik, ekonomi, budaya maupun agama
terjalin antara pengguna jalur Selat Malaka dengan penduduk yang berada di wilayah-
wilayah sekitar Selat Malaka. Dibukanya Terusan Suez tahun 1869 dan kebangkitan
Singapura tahun 1930an yang menjadikannya salah satu pelabuhan tersibuk di dunia
semakin memperkuat nilai strategis Selat Malaka.70
Selat malaka juga berperan sebagai tempat transit dan menambah bekal
makanan segar untuk para pedagang setelah berlayar jauh. Selain itu juga menjadi
tempat pengumpulan barang-barang dagangan dari berbagai kepulauan di
sekitarnya untuk didistribusikan oleh para pedagang dari Cina, India dan Arab dan
peran sebaliknya mendistribusikan barang-barang dari wilayah eropa dan Asia ke
kepulauan Nusantara.71

69 Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols, Ricklefs, Merle
C. (2001). A history of modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press
70 M. Saeri, Karakteristik dan Permasalahan Selat Malaka, Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 2, Februari 2013. h
810
71 Nodin Hussin, geograf dan Perdagangan: Kepentingan Selat Melaka kepada Perdagangan Dunia, Asia dan
Dunia Melayu 1700-1800, Jurnal Akademika Pusat pengajian Sejarah Politik dan strategi Fakulti Sosial dan 21
Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia. Mei 2008. h 5
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

Wilayah Kekuasaan Kesultanan Malaka pada abad ke-15 72

Penulis Portugis, Tome Pires menggambarkan ramainya pelabuhan di selat


Malaka dalam karyanya, Suma Oriental; “di Malaka kita dapat menemukan 84
bahasa. Setiap bahasa memiliki ciri khasnya.”73 Penulis portugis lainnya, Duarte
Barbosa juga menggambarkan ramainya pelabuhan atau bandar di Malaka; “…
bandar di Malaka ini adalah pelabuhan yang terkaya, dengan jumlah perdagangan
terbesar dan perkapalan dan perdagangan yang sungguh banyak yang berasal dari
seluruh dunia”. 74

Hukum Islam di Malaka


Kesultanan Malaka sangat kuat dipengaruhi oleh agama Islam dalam
menjalankan pemerintahan. Undang-undang yang berlaku di Malaka seperti
Hukum Kanun Malaka 40,9% berasal dari aturan Islam.75 Kesultanan Malaka dalam
urusan kenegaraan telah memiliki susunan tata pemerintahan yang rapi. Sultan
Malaka memiliki kekuasaan yang absolut, seluruh peraturan dan undang-undang
merujuk kepada Raja Malaka. Sementara dalam administrasi pemerintahan Sultan

72 berdasarkan keterangan "Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia", PT Pembina Peraga Jakarta 1996, https://
id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Malacca_Sultanate_id.svg
73 Tome Pires, Suma Oriental, Penerbit Ombak Yogyakarta, cet ke-3 2016, h.344
22 74 The Book Of Duerte Barbosa, Vol. II, Hakluyt Soceity London, 1944. h.269
75 Halimi, A.J., (2008), Sejarah dan tamadun bangsa Melayu, Utusan Publications
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Malaka dibantu oleh beberapa pembesar, diantaranya Bendahara, Tumenggung,


Penghulu Bendahari dan Syahbandar. Kemudian terdapat lagi beberapa menteri
yang bertanggungjawab atas beberapa urusan negara.76
Undang-undang Islam dalam beberapa Pasal hukum Malaka terlihat jelas,
terutama yang berhubungan dengan masalah ”jinayah” (pidana), umpamanya
hukum yang diberikan karena membunuh orang berbunyi : ”Pasal yang ke-5
menyatakan seseorang membunuh tanpa setahu raja-raja atau orang-orang besar.
Jika membunuh orang tanpa dosa maka ia dibunuh juga pada hokum Allah, maka
adil namanya”.77
Pada pasal-pasal yang lain undang-undang jual beli juga dibentuk berdasarkan
undang-undang Islam. Pasal 30 hukum Kanun Malaka juga menentukan barang-
barang yang boleh diperdagangkan serta yang tidak boleh menurut undang-undang
Islam seperti arak, babi, anjing dan tuak. Untuk yang berdasarkan Hukum-hukum
dan Keluarga Islam jelas terdapat dalam pasal 25 hingga pasal 30 yang berkaitan
dengan masalah ijab dan kobul dalam acara nikah, saksi-saksi dalam acara nikah,
hukum iddah dalam perceraian, juga pada pasal 34 tentang hukum amanah.
Perkara yang paling menarik ialah sruktur dan sebagian dari kandungan hukum
Kanun malaka itu sendiri. Ada hukum dan undang-undang fikih Islam yang diserap
dan digunakan dalam undang-undang, seolah-olah teks tersebut menjadi sumber
rujukan, hukum-hukum Islam pula. Umpamanya tentang hukum ibadah shalat
dituliskan pada pasal 36 ayat 2.
Begitu dalamnya pengaruh hukum Islam terhadap hukum Kanun Malaka
sehingga sering dipetik ayat-ayat al-qur’an, contohnya pada pasal 43 ayat 2 yang
berbunyi : ”Bismi’l lahi al-rahman al-Rahim. Qala’lilahu ta’ala : ati’u Allah wa ati’u
ur-rasul wa uli’l amri minkum”.78
Menurut Jamil Mukmin,79 Undang-undang Malaka telah mempengaruhi
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara abad ke-16, 17, dan 18. Undang-undang ini
tersebar luas ke daerah taklukan Malaka di wilayah Indonesia sekarang. Undang-
undang Simbur Cahaya pada masa Ratu Simehun (1639-1650M) di Kesultanan
Palembang, Undang-undang Riau pada masa Sultan Sulaiman (1722-1730), Papakem
Cirebon (Pedoman Cirebon) dan Surya Alam yang berasal dari Kesultanan Demak
abad ke-16 diyakini dipengaruhi oleh Undang-undang Malaka. Demikian juga Riau
dan Patani (Thailand Selatan). Pada masa Kesultanan Aceh, Adat Aceh, Adat Mahkota
Alam, Kanun Mahkota Alam ataupun Kanun al-Asyi yang disusun pada masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) banyak dipengaruhi oleh Undang-undang Malaka.
Hal tersebut wajar karena pada masa kejayaannya Malaka menjadi pusat
perdagangan di Asia dan Asia Tenggara. Bahkan menurut Ricklefs,80 pada masa itu,
sebelum kedatangan penjajah Portugis, sistem perdagangan di Malaka merupakan
sistem perdagangan terbesar di dunia. Tetapi setelah direbut oleh Portugis Malaka
76 Nijhoff, M., (1976), Undang-undang Melaka.
77 Muhammad Yusoff Hashim Ph.D, Kesultanan Melayu Malaka, Kuala Lumpur 1990, hal. 223.
78 Muhammad Yusoff Hashim Ph.D, Kesultanan Melayu Malaka, Kuala Lumpur 1990, h. 230
79 Mohd. Jamil Mukmin, Melaka Pusat Penyebaran Islam di Nusantara (Kuala Lumpur: Murni Interprise,
1994), hlm. 25 23
80 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011. h.30
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

menjadi hancur dan perdagangan menjadi sepi. Praktek monopoli yang mereka
terapkan tidak disukai oleh para pedagang di Malaka yang datang dari hampir
seluruh dunia.

Kesultanan Aceh Darussalam (1514 – 1903)

Sekilas sejarah kesultanan Aceh


Kesultanan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughāyat Shāh pada
tahun 1514 M. Ali Mughāyat Shāh mendirikan kerajaan Aceh yang merdeka, yaitu
Kesultanan Aceh Darussalam setelah berhasil melepaskan Aceh dari Pedir dan
kemudian menggalang kekuatan dengan menaklukkan dan menyatukan daerah-
daerah disekitarnya ke dalam kekuasaannya.81

Bendera Aceh Darussalam82


Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughāyat Shāh, Aceh mulai melebarkan
kekuasaannya ke daerah-daerah sekitarnya. Pada tahun 1520 dia berhasil merebut
Daya yang terletak di pantai barat Sumatra bagian utara, yang menurut Tome Pires
belum menganut agama Islam. Sesudah itu, Ali Mughāyat Shāh memulai penaklukan-
penaklukan ke pantai timur, merebut kekuasaan atas daerah-daerah penghasil lada
dan emas.83
Sekitar tahun 1511 M, Kesultanan-Kesultanan kecil yang terdapat di Aceh dan
pesisir timur Sumatra seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh
Barat Daya) dan Aru (di Sumatra Utara) sudah berada di bawah pengaruh penjajah
Portugis. Mughāyat Shāh dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk

81 Djoko Surjo dkk. Agama dan Perubahan Sosial (Yogyakarta : LKPSM, 2001), 51.
24 82 Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Aceh_Sultanate#/media/File:Flag_of_the_Aceh_Sultanate.png
83 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), 61.
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia Menut Djamhari,


taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah Kesultanannya.84
masyarakat Jawa
Pada bulan Mei 1521, armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brito
saat itu dibebani
menyerang Aceh. Dalam pertempuran itu, Portugis mengalami kekalahan dan de
Brito sendiri tewas. Sultan Ali Mughāyat Shāh terus melakukan pengejaran terhadap dengan berbagai
Portugis sampai ke Pedir dan pasukan Sultan Ali Mughāyat Shāh mengalami macam pajak atau
kemenangan hingga Portugis dan raja Pedir, Sultan Ahmad mundur ke Pasai. Sultan
pungutan (wajib)
Ali Mughāyat Shāh segera mengejarnya dan berhasil merebut senjata mereka berupa
sejumlah besar alat-alat perang meriam dan sebagainya.85 Sultan Ali Mughāyat Shāh oleh para pengua-
berhasil merebut Pasai dari tangan Portugis dan meletakkan fondasi bagi kebangkitan sanya. Ini dibukti-
politik Aceh pada tahun 1524.86 kan dengan pene-
litian pada pasca
Wilayah dan Ekonomi Aceh
perang. Pada masa
Aceh yang terletak di ujung pulau Sumatra, pada abad ke-16 dan ke-17
pedalamannya ditutupi oleh hutan dan pegunugan. Daerah Aceh sangat subur pasca perang masih
untuk pertanian dan perkebunan dan pengairannya cukup karena banyak sungai terdapat 34 jenis
yang mengalir. Suangai-sungai inilah yang menghubungkan daerah-daerah di Aceh
pajak yang dipung-
ke laut lepas di mana mereka memanfaatkannya untuk perdagangan. Sungai-sungai
ini hanya digunakan untuk kapal-kapal kecil untuk mengangkut hasil pertanian ke ut dari rakyat yang
kota-kota pelabuhan yang ramai. rata-rata miskin.
Aceh menjadi negara kerajaan terbesar di Sumatra sepanjang abad ke-16 Beberapa pungutan
dan ke-17. Kesultanan Aceh mengontrol hampir sebagian besar pantai di seluruh
pajak terlihat aneh
pulau Sumatra. Bagian timur Kesultanan mencapai Deli. Sementara bagian barat
membentang sampai Daya dan Padang bahkan Indrapura. Pusat kesultanan meliputi dan tidak masuk
3 kota penting , yaitu; Pedir, Pasai, dan Samarlangga hingga meluas ke daerah Jambi. akal antara lain pa-
Kesultanan ini juga menguasai sebagian besar semenanjung Melayu yang terletak
gendel, pajak untuk
di seberang lautan berhadapan dengan pulau Sumatra, yaitu: Kedah, Perak, hingga
Johor dan Pahang. penggunaan gubuk

Dalam bidang ekonomi pelabuhan Aceh menarik banyak pedagang yang di sawah, paniti,
berdatangan dari berbagai wilayah dan negara antara lain; Perancis, Inggris, Belanda, pajak untuk sawah,
Cina, Burma, Thailand, Taiwan, Persia, Turki dan India untuk berdagang.87
paletre, pajak ke-
Kemajuan Aceh pada saat itu sangat dipengaruhi oleh kemunduran Kesultanan
pada bupati, pajak
Malaka yang diserang dan dijajah orang-orang Portugis. Pada tahun 1511 M,
Malaka jatuh ke tangan Portugis, maka daerah-daerah pengaruhnya di Sumatra make-up ronggeng,
mulai melepaskan diri dari Malaka.88 Keadaan Malaka yang mulai mundur itu telah pakeplop, pajak un-
memberi kesempatan pada Aceh untuk berkembang. Para pedagang Muslim yang
tuk pertunjukan tari
sebelumnya banyak berlabuh dan berdagang di Malaka memilih pelabuhan Muslim
lain, maka Aceh menjadi ramai.89 dan sebagainya

84 Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, 16-17


85 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1 (Medan: Waspada, 1981), 146
86 Seyyed Hossein Nasr, Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), 164.
87 Utriza, op.cit. h.45-46
88 Said, Aceh Sepanjang Abad, 145 25
89 Taufiq Abdullah (ed.), Sejarah Sosial Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), 57.
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

Peta Aceh pada abad ke-1790

Puncak kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam berlangsung pada masa


pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M), yang berhasil menguasai
sepanjang pantai Sumatra dan mengatur perdagangan lada. Masanya pula sekitar
Gayo dan Minangkabau diislamkan.91 Dengan tentaranya yang kuat dan armadanya
yang besar Sultan ini berkuasa sampai daerah Bengkulu di pantai barat dan daerah
Kampar di pantai Timur.92 Sultan Iskandar Muda yang memerintah hampir 30 tahun
lamanya, di samping telah berhasil menekan arus perdagangan yang dijalankan oleh
orang-orang Eropa juga telah mampu membenahi dan mengadakan konsolidasi di
berbagai sektor; baik ekonomi, politik, sosial, budaya, dan kehidupan beragama.93
Hukum Islam pun secara otomatis berlaku dalam kerajaan tersebut.
Tokoh-tokoh Islam yang sangat berpengaruh pada masa ini adalah Hamzah
Fansurī� dan Shamsuddī�n Sumartanī�. Mereka adalah tokoh tasawuf wihdatul wujūd
yang berpengaruh pada perkembangan ajaran Panteisme94 di kawasan Aceh. Selain
dua orang ulama dari aliran mistik tersebut, terdapat pula tokoh agama yang
menentang ajaran tasawuf wihdatul wujūd kedua ulama tersebut, yaitu Nuruddin al-
Rānī�rī� dan Abdurrauf al-Singkilī�.
90 Achem, from 'Livro do Estado da India Oriental', an account of Portuguese settlements in the East
Indies, by Pedro Barreto de Resende, 1646. British Library, Sloane MS 197, ff. 391v-392r, http://
blogs.bl.uk/asian-and-african/2017/11/adat-aceh-royal-malay-statecraft-in-the-17th-century.html?_
ga=2.75261394.1524336445.1510576259-768445457.1421359745
91 Dudung Abdurrahman dkk. Sejarah Peradaban Islam: Dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2002),
326
92 R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (Yogyakarta: Kanisius, 1973), 63
93 Akhwan Mukarrom, Kerajaan-Kerajaan Islam Indonesia (Surabaya : Jauhar, 2010), 20
94 Panteisme adalah (Yunani: πάν ( ‘pan’ ) = semua dan θεός ( ‘theos’ ) = Tuhan) secara harfiah artinya adalah
26 “Tuhan adalah Semuanya” dan “Semua adalah Tuhan”. Ini merupakan sebuah pendapat bahwa segala barang
merupakan Tuhan abstrak imanen yang mencakup semuanya atau bahwa atau alam dan Tuhan adalah sama.
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Gambar Wilayah kekuasaan Aceh Pada masa Kekuasaan Sultan Iskandar Muda95
Untuk kepentingan pelaksanaan hukum Islam, al-Raniri menulis kitab al-Shirâth
al-Mustaqîm, yang menerangkan tentang berbagai praktik hukum Islam. Buku ini
menjadi rujukan bagi pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan tersebut.96 Selain itu,
al-Raniri juga menulis kitab Bustân al-Salâthîn sebagai nasihat bagi Sultan dalam
melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.97 Sebanyak kurang lebih tiga puluh karyanya,
kebanyakan membahas masalah tasawuf dan aqidah, terutama menyangkut
polemiknya dengan paham wihdat al-wujūd yang dipelopari oleh Fansuri dan al-
Sumatrani.98

Hukum Islam di Aceh


Semenjak periode Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1507-1874), dan demikian
juga periode kesultanan di bawah penetrasi Hindia Belanda (1874-1942) hingga masa
kemerdekaan, syariat Islam di Aceh selalu menjadi acuan masyarakat dalam menata

95 https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/fa/Aceh_Sultanate_id.svg/2000px-Aceh_
Sultanate_id.svg.png
96 Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia (lAIN Press, Medan, 2000), h. 69.
97 Azra menduga bahwa berkat nasihat al-Raniri dalam buku ini, Sultan Iskandar Tsani menghapuskan hukuman
yang tidak Islami terhadap pelaku tindak pidana, seperti “mencelup minyak” dan “menjilat besi.” Azra,
Jaringan Ulama, h. 186
98 Daftar tiga puluh buku yang berhasil ditemukan sebagai karya ar-Raniri, lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik, 53-
54; Ahmad Daudy, Syekh Nuruddin ar-Raniri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 9; Muhammad Saghir Abdullah,
Perkembangan Ilmu Fiqih dan Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara -1, ( Solo: Ramadhani, 1985), 26-28. Mengenai
polemik antara ar-Raniri dengan Fansuri dan al-Sumatrani, lihat Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam 27
Konsep Nuruddin ar-Raniri, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), 200-238; Alwi Shihab, Islam Sufistik, 48-69.
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

kehidupannya baik secara individu, keluarga dan bermasyarakat. Menurut catatan


yang ada pada kesultanan Aceh terutama Iskandar Muda syariat Islam benar-benar
ditegakkan.99
Menurut Bustān al-Salātīn100 Iskandar Muda digambarkan sebagai seorang yang
berusaha menegakkan kehidupan beragama, memberantas minum (minuman
keras) dan judi, menjalankan peraturan (hukum) agama, bersama-sama rakyak
shalat jum’at di masjid, dan memberi sedekah kepada fakir miskin.101
Sultan Iskandar Muda pernah menerapkan hukum rajam terhadap putranya
sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira.
Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Mahkota
Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban
shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman
dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan.102
Dalam bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan
pengharaman riba. Menurut Alfian, deureuham adalah mata uang Aceh pertama.
Istilah deureuham dari bahasa Arab dirham. Selain itu Kesultanan Samudera Pasai
pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah
mengeluarkan mata uang emas.103
Ulama telah melakukan implementasi syariat Islam melalui sistem ketatanegaraan
di Aceh. Hal itu diterapkan dalam masa kerajaan-kerajaan Islam di Aceh baik kerajaan
Islam Peureulak, kerajaan Islam Samudera Pasai sampai kerajaan Islam Aceh
Darussalam. Sistem ini dianggap sangat tepat dan kuat dalam mengimplementasikan
dengan memanfaatkan sistem ketatanegaraan dan kekuasaan.
Ulama saat itu dikenal ulet dan piawai serta menguasai ilmu siyasah yang
memadai, maka dengan mudah dapat mempengaruhi sistem ketatanegaraan di
masa tersebut. Sehingga syariat Islam berada dibawah payung hukum yang kuat
yang disebut dengan Qanun Meukuta Alam. Dan saat itu tidak terjadi pemisahan
antara hukum syariat dan hukum negara serta hukum adat. Dari itu dapat dipahami
bahwa syariat Islam tidak terpisah berdiri sendiri tetapi menyatu dalam satu payung
hukum yaitu Qanun Meukuta Alam. Qanun Meukuta Alam merupakan Undang-
Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam.
Qanun Meukuta Alam ini yang berisi tentang undang-undang dan peraturan
kerajaan Aceh, khusus yang berkenaan dengan hukum Islam qanun al-Asyi ini

99 Nurrohman, dkk, Politik Formalisasi Syariat Islam dan Fundamentalisme: Kasus Naggroe Aceh Darussalam,
dalam Istiqra’, (Jakarta: Direktorat Peguruan Tinggi Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Departemen
Agama Republik Indonesia, 2002), h. 52
100 Bustān al-Salātīn adalah Sebuah naskah karangan Nuruddīn al-Rānīrī. Naskah ditulis atas permintaan Sultan
Iskandar Tḥānī (1636-1641 M). Penulisannya di mulai pada tanggal 4 Maret 1638 dengan nama lengkap
Bustan al-Salatin fi Zikr al-Awwalin Wal al-Akhirin. Naskah ini terdiri dari 7 bab dan 40 pasal. Naskah ini
bersifat keagamaan dan sejarah. Berdasarkan rekaman sejarah, kitab Bustān al-Salāṭīn menjadi perintis yang
mengupas tentang historikal Kesultanan Aceh yang bersifat teologis sekaligus historis. Salah satu bab dari
Bustān al-Salāṭīn mengisahkan sejarah Aceh secara detail.
101 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emperium Sampai Imperium (Jakarta
: PT Gramedika Pustaka Utama, 1993), h.81
102 Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
28 103 Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian “Dunia Islam Bagian
Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

mengakomodir empat mazhab. Dalam Tulisan Jabbar Sabil, menuliskan salah satu
bab qanun Meukuta Alam syarahan Teungku di Meulek, digariskan:
Maka peganglah dengan sungguh-sungguh hati qanun Meukuta Alam al-Asyi,
dari karena mengikut Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali.
Dan empat mazhab itu semua tunduk kepada syariat Rasululllah saw, diyakini
berhimpun iman, Islam, Tauhid dan ma’rifat, maka barulah bernama agama. 104
Qanun al-Asyi ini dibuat atas persetujuan ulama bahkan ulama turut terlibat
dalam penyususunan qanun tersebut. Isi qanun tersebut dengn jelas menggambarkan
adanya pengaruh ulama. Karena kedudukan ulama yang sangat strategis itulah
sehingga dapat dimanfaatkan pengaruhnya untuk membumikan syariat Islam di Aceh
dengan memasukkan syariat Islam dalam tata hukum kerajaan Aceh Darussalam.
Negara Islam Kesultanan Aceh Darussalam berakhir dengan menyerahnya sultan
terakhir pada Belanda pada tahun 1903. Meskipun Sultan Aceh menyerah pada 1903,
ulama Tgk. Cot Plieng terus menyerukan agar orang-orang Aceh tetap gigih berjihad
melawan kafir. Para ulama yang terkemuka yang masih meneruskan perjuangan
antara lain, adalah Tgk. di Lam Cut, Di Tanoh Mirah, Habib Teupin Wan, ketiganya
berasal dari Mukim XXVI, Aceh Besar, Tgk Lam U dari Mukim XXII, Aceh Besar, Tgk.
di Barat, dan Tgk. di Mata le, di Aceh Utara. Di samping itu putra Tgk. Chik di Tiro
Muhammad Saman masih terus mengibarkan panji-panji perjuangan bersenjata.105
Pada tahun 1942 Aceh adalah satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang
pada bulan-bulan sebelum Jepang mendarat masih melakukan perlawanan secara
teratur terhadap kekuasaan Belanda.106

Negara Islam Kesultanan Palembang Darussalam (1454 – 1825)


Dua abad lamanya daerah yang dulu merupakan wilayah dari kerajaan Sriwijaya
menjadi mangsa dari keterlantaran yang disengaja dan bersifat anarkhi, sehingga
untuk berapa lama dikuasai oleh perompak-perompak Cina.107 Setelah itu daerah
ini berada di bawah kerajaan Melayu. Setelah Majapahit menggantikan kedudukan
Sriwijaya oleh Brawijaya V ditugaskan putranya Ario Damar (kemudian berganti nama
Aria Dillah) sebagai Adipati Majapahit disana.108 Setelah Majapahit lemah digantikan
Demak di bawah pimpinan Raden Fattah. Ketika di Kerajaan Demak terjadi revolusi
Keraton, maka waktu itulah tiba di Palembang serombongan priyai-priyai keturunan
Trenggono dipimpin oleh Ki Gede Sedo Ing Lautan yang menurunkan Raja-raja
Palembang.
Dari catatan sejarah yang ditulis dengan tulisan tangan berhuruf Arab oleh
seorang priyayi di Palembang dapat dibaca sebagai berikut : “Telah diriwayatkan
bahwa telah berpindah beberapa anak raja-raja dari tanah Jawa ke negeri Palembang

104 Jabbar Sabil, Nakhoda Safinat al-Hukkam, dalam Opini Serambi Indonesia, tgl 4 Februari 2011, h. 2
105 Ibrahim Alfin, Op.Cit. h 206
106 Paul van T Veer. Perang Aceh Kisah kegagalan Snouck Hourgronje, terjemahan buku berhasa Belanda De
Atjeh-Oorlog, Grafiipers Jakarta 1985. H.246
107 N.J. Krom, Sumateraanse Periode, (Leiden: Chiedenis, 1919), hlm. 22 29
108 ANRI, Arsip Palembang no. 72.9, opcit., hlm. 335, Hamka, op.cit., hlm. 90
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

di karenakan Sultan Pajang menyerang Demak dan adalah yang bermula menjadi
raja di Palembang ialah Kiyai Geding. Kiyai Geding Suro wafat kemudian digantikan
oleh Kiyai Geding Suro Mudo anak Kiyai Geding Ilir dan ketika itu, anak-anak raja
yang berpindah dari tanah Jawa ke negeri Palembang yaitu 24 orang. Beberapa orang
keturunan Pangeran Trenggono yang hijrah ke Palembang di bawah pimpinan Kiyai
Geding Suro Tuo yang menetap di perkampungan Kuto Gawang di daerah di sekitar
kampung Palembang Lamo.109
Sebagaimana diketahui, Pangeran Trenggono adalah putra Raden Fattah, bin
Prabu Kertabumi Brawijaya V dari Majapahit dengan istrinya seorang putri dari Cina,
lahir dan dibesarkan di Palembang di istana saudaranya lain ibu yaitu Ario Dillah.110

Wilayah dan Letak Geografis


Secara geografi wilayah Kesultanan Palembang meliputi daerah Batanghari
Sembilan ditambah dengan daerah yang disebut Negeri Luar. Daerah Batanghari
Sembilan meliputi daerah sembilan sungai utama di kawasan ini yang bermuara di
Sungai Musi. Kesembilan sungai utama yang dimaksud adalah Sungai Banyuasin,
Kikim, Kelingi, Lakitan, Lintang, Rawas, Lematang, Ogan dan Komering. Sementara
itu, daerah Negeri Luar secara khusus merujuk pada Pulau Bangka dan Belitung.111
Kesultanan Palembang terletak di tepi sungai Musi. Ibukota Kesultanan adalah
Kota Palembang yang terletak di kaki bukit Siguntang. Sungai Musi membelah
kota Palembang menjadi dua bagian yaitu bagian Ilir dan bagian Ulu. Sungai Musi
bermuara di Sunsang. Sunsang juga merupakan muara dari anak sungai Musi yang
berjumlah 9 buah. Kesultanan Palembang sebelah utara berbatasan dengan Jambi.
Sebelah barat dengan Bengkulu, sebelah selatan dengan Lampung dan sebelah
Timur dengan Laut Jawa. Sepanjang pantai Timur daerah ini terdiri dari rawa dan
hutan lebat. Bagian barat terdiri dari bukit barisan yang membujur di Pulau Sumatra.
Daerah kesultanan Palembang umumnya beriklim tropis. 112
Berkenaan dengan arti dari lambang Kesultanan Palembang Darussalam
dijelaskan sebagai berikut; Bahan dari lambang kesultanan aslinya emas; Sinar
Matahari berarti lambang kehidupan; Timbangan di atas Al Qur’an berarti dasar
hukum dengan fondasi Al-quran, Terompet berarti walaupun dalam keadaan
perang maupun damai akan dibunyikan sebagai tanda tetap semangat; Keris berarti
senjata untuk bela diri yang harus dimiliki oleh semua orang; Bola dunia berbentuk
kipas berarti bersikap baik kepada semua umat karena semua berasal dari ciptaan
Tuhan; Huruf Arab pada lambang Kesultanan Palembang yang artinya wahai umat
berbuatlah kebaikan; Bulan sabit berarti Mekah dan Madinah.113
Ki Mas Hindi adalah penguasa Palembang yang pertama kali menggunakan
gelar sultan pada tahun 1675, sebagai langkah untuk mempertegas kesetaraan posisi

109 R.H.M Akib, Sejarah Palembang, (Palembang: Pidato Dies. APDN, 1969), hlm. 11
110 Hamka, Sejarah Ummat Islam, IV, (Jakarta: Nv. Nusantara-Bukittinggi, 1961), hlm. 99 lihat juga: ANRI, Arsip
Palembang no. 72.9 Bijdrage de History van Palembang, hlm. 334, lihat pada lampiran 2.
111 Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, op.cit. h.49
112 Mardanas Safwan, op.cit., hlm. 30
30 113 Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, op.cit. h.62 berdasarkan keterangan dari Abu Sofyan
(Pegawai Museum Sultan Mahmud Badarrudin II Palembang), Palembang, 19 Januari 2016.
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Kesultanan Palembang dengan Kerajaan Mataram. Sultan Agung dari Kerajaan


Mataram telah terlebih dahulu menggunakan gelar sultan pada tahun 1641. Hal
ini berarti Palembang bermaksud melepaskan diri dari bayang-bayang supremasi
kekuasaan Mataram dan membangun sebuah tradisi baru. Pada masa sebelumnya
raja-raja Palembang hanya menggunakan gelar yang mengesankan posisi lebih
rendah seperti Ki Gede, Tumenggung, Pangeran, dan Pangeran Tumenggung.114

Lambang Kesultanan Palembang Darussalam115

Pemerintahan Kesultanan diatur rapi, begitu juga aparatur keamanannya.


Diadakanlah peraturan-peraturan bagi para pedagang dan penduduk datangan
(penduduk tumpang).116 Pemegang kekuasaan tertinggi adalah Sultan. Dalam
menentukan keputusan-keputusan selalu didasarkan atas Al Qur’an, Undang-
undang dan Piagam-piagam.117 Di Palembang berlaku hukum-hukum Islam, yang
terkodifikasi pada Kitab Undang-undang “Simbur Cahaya”. Kemudian ditambah lagi
dengan Undang-undang wilayah, yaitu “Sindang Mardike”.118
Di bidang peradilan dikenal dua macam pengadilan, pertama yang mengadili
dalam perkara-perkara keagamaan dipimpin oleh Pangeran Penghulu Nato Agamo,
yang membawahi Pangeran-pangeran Penghulu. Kedua yang mengadili dalam
perkara-perkara yang diancam hukuman badan Pimpinan Temenggung Karto
Negaro. Di bidang pelabuhan yang berkuasa adalah Syahbandar. Setiap kapal yang

114 Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, Sejarah Dan Warisan Budayanya, Jember University Press,
Jember 2016 h.55
115 koleksi Museum Sultan mahmud Badaruddin II, diambil dari buku; Nawiyanto, Kesultanan Palembang
Darussalam, Sejarah Dan Warisan Budayanya, Jember University Press, Jember 2016, h.62
116 J.W Van Royen, op.cit., hlm. 41.
117 J.L Van Sevenhoven, op.cit., hlm. 25. 31
118 Boedani Djavid, Tambo Kerajaan Sriwidjaja, (Bandung: Terate, 1961), hlm. 26.
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

masuk dikenakan bea pelabuhan, yang besarnya menurut banyaknya anak buah
kapal.119

Ekonomi dan Perdagangan


Hubungan dengan luar negeri sejak dahulu kala adalah semata-mata hubungan
dagang, berdasarkan perjanjian dagang (kontrak dagang) dengan atau tidak dengan
hak monopoli, seperti kontrak dagang dengan VOC sudah ada sejak pertengahan
abad ke 17 sampai dengan awal abad ke 19. Perdagangan diadakan dengan Pulau
Jawa, Bangka, Negeri Cina, Riau, Singapura, Pulau Penang, Malaka, Lingga dan
Negeri Siam, di samping itu dari pulau-pulau lainnya dating juga perahu-perahu
membawa dan mengambil barang-barang dagangan. Barang-barang dagangan itu
adalah berupa macam-macam kain linen, kain cita Eropa, dari yang kasar sampai
yang halus. Terdapat juga barang-barang dari Cina seperti sutera, benang emas,
panci-panci besi, pecah belah, obat-obatan, teh, manisan dan barang-barang lain.120
Barang-barang dagangan yang penting lainnya adalah minyak kelapa dan
minyak kacang (dari Jawa dan Siam), gula jawa, bawang, asam, beras, gula pasir,
tembaga, besi, baja, barang-barang kelontongan dan sebagainya dan juga beberapa
barang dari Eropa. Pedagang kain linen terbesar adalah orang-orang Arab, ada yang
mempunyai kapal dan perahu sendiri, namun kebanyakan mereka adalah mengurus
barang dagangan orang lain dari luar Palembang. Sesudah orang Arab menyusul
orang Cina yang membeli barang-barang dari perahu. Orang Palembang membeli
dari orang-orang Arab dan Cina dan membawanya kepedalaman untuk dijual disana.
Orang-orang Palembang biasa membeli barang dengan membayar dengan barang-
barang pula (barter). 121

Islam Menjadi Asas Negara dan Masyarakat


Masyarakat Palembang identik dengan Islam. Dengan kata lain, bukanlah
orang Palembang kalau tidak memeluk Islam. Tingkah laku masyarakat kesultanan
dikonstruksi berdasarkan ajaran dan norma-norma Islam sebagai fondasinya. Dengan
keteguhan untuk menjalankan syariat, kehendak dan semangat anti kafir begitu kuat
menjiwai penguasa dan masyarakat Palembang. Mereka yang digolongkan sebagai
kafir pada masa kesultanan Palembang secara gamblang tergambar dalam Syair
Perang Menteng, yang diyakini sebagai gubahan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Dalam syair ini, sebutan kafir secara eksplisit diberikan kepada Kompeni/Belanda.
Seperti tertuang dalam Bait 33 Syair Perang Menteng:
“Masuk Kompeni kafi Harabi/Anggur dimakannya dengan surabi/
patutlah rupanya bagai labi-labi/Hampirlah akan memakan babi”.
Dalam bagian lain dari syair yang sama (Bait 237), sebutan kafi (kafir) diarahkan
pada orang Belanda. Seperti tampak dalam teks:
“Benteng Pangeran Dipati Muda/dekat benteng paduka kakanda/

119 Ibid, hlm. 45.


32 120 Mardanas Safwan, op.cit., hlm. 33
121 Ibid, h.32
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

lengkap sekalian alat ada/akan menahan kafi holanda


Kekafiran orang Belanda/Kompeni dalam Syair Perang Menteng lebih detil lagi
diilustrasikan dengan berbagai praktek perilaku seperti: kebiasaan minum anggur,
makan babi (Bait 33), minum arak dengan babi (Bait 74), menampilkan dusta (Bait
210), meninggalkan perintah syariat (Bait 214), tidak tahu dosa dan pahala (Bait
248). Ketidaksukaan terhadap orang-orang kafir di tengah masyarakat Palembang
terungkap pula melalui cerita atau gambaran negatif orang kafir bagai setan dan
iblis: “Menteng itu seperti syaitan” (Bait 215). Ketidaksukaan terhadap kekafiran juga
terasa dalam pilihan kata-kata yang dipakai di belakang kata kafir yang kuat nuansa
negatifnya, seperti celaka, laknat, dan kelam.
Demikian pula, orang-orang pribumi yang mendukung Belanda dalam
memerangi dan menaklukan Kesultanan Palembang digambarkan dengan penilaian
yang begitu buruk. Dalam Bait 196, misalnya, diungkapkan dengan jelas:
“Yang Turut Holanda kenalah gusar/dosanya itu terlalu besar/
disalam syariat Sayyid al-basyar/patut dipancung ditengah pasar” 122

Stempel kesultanan Palembang Darussalam123

Hukum Islam di Negara Islam Palembang


Salah satu unsur ajaran Islam yang mendapat perhatian kesultanan Palembang
ialah ajaran-ajaran dalam bidang hukum. Menurut Amin, yang mengutip van
Royen, bahwa pengaruh hukum Islam di sini cukup kuat, terutama dalam bidang
hukum keluarga, seperti perkawinan dan kewarisan. Kondisi ini pula secara perlahan
kemudian telah ikut memperlemah kedudukan hukum adat.124 Lukito menyebutnya
122 Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, op.cit. h.63-64
123 Sumber: Dokumen YKPD, 2016, dalam : Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, op.cit. h.37
124 Amin, M. Ali. 1986. "Sejarah Kesultanan Palembang Darsussalam dan Beberapa Aspek Hukumnya”, dalam
Gajahnata dan Sri Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan (ed), Jakarta: UI 33
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

sebagai yang paling menonjol terjadi saling akomodasi antara hukum Islam dan adat
adalah di bidang hukum keluarga. 125
Kesultanan Palembang telah melakukan berbagai upaya untuk mengadaptasikan
ajaran Islam —hukum Islam— ke dalam struktur politik dan ideologi kekuasaannya.
Bukti penting yang dapat dilihat adalah, pertama, pembentukan birokrasi agama, baik
di tingkat pusat (kesultanan) maupun di tingkat marga dan dusun. Di tingkat pusat,
birokrasi agama diwakili oleh pangeran natagama yang mempunyai kedudukan
penting sebagai mancanegara kedua.126
Tentang Undang-Undang Simbur Cahaya sendiri, Van Den Berg, ahli hukum
Belanda dalam studinya menyimpulkan bahwa melalui Undang-Undang Simbur
Cahaya, sedikit atau banyak, dapat dipahami sebagai corak hukum Islam yang
pernah hidup dan berfungsi dalam masyarakat kesultanan ini, sebab di dalamnya
terlihat bahwa berbagai unsur ajaran hukum Islam telah diusahakan diadaptasi.127
Sewaktu Sultan Badaruddin II dibuang ke Ternate tahun 1882 maka oleh van
Sevenhoven, buku-buku yang ada di istananya dipindahkan ke Batavia dan didapati
seluruhnya berjumlah sekitar 1000 hasil karya. Dari 1000 judul karya ini, 43 mengenai
agama Islam, dan 3 tentang pembahasan fiqh, 7 tentang tafsir dan 13 tentang wayang.
Sisanya adalah tulisan-tulisan sastra melayu berupa sya’ir, hikayat, puisi-puisi dan
sebagainya, sebagiannya tentu berkenaan dengan keislaman.128
Beberapa ulama besar bereputasi internasional muncul dari Palembang, di
antaranya yang paling menonjol adalah Syeikh Abdussomad al-Palimbani, seorang
ulama keturunan Arab dengan pengaruh besar di Keraton Palembang dan Dunia
Melayu. Syeikh Abdussomad al-Palimbani aktif mengembangkan agama Islam pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Dia menerjemahkan
karyanya yang berjudul Syair al-Salikin dan Hidayat al-Salikin. Karya-karyanya ini
masih banyak mendapat apresiasi dan dibaca hingga dewasa ini di negara-negara
Asia Tenggara terutama di Filipina Selatan, Thiland Selatan, Brunai, Malaysia,
Singapura dan Indonesia.
Selain itu, Al-Palimbani juga dipandang berjasa dalam menginspirasi semangat
patriotisme dan perlawanan melawan penjajah lewat korespondensi yang dijalinnya
dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta dan Pangeran Mangkunegara di
Surakarta. Tokoh-tokoh ulama besar Palembang lainnya yang berperan penting
sebagai penasehat sultan, misalnya Kyai Haji Kiagus Khotib Komad pada masa Sultan
Abdurrahman dan Tuan Fakih Jamaluddin pada masa Sultan Muhammad Mansyur.
Kiagus Khotib Komad adalah seorang ahli tafsir Alquran dan Fikih, sedangkan Tuan
Fakih Jalaludin mengajar ilmu Alquran dan ilmu Ushuluddin. Ulama ini memainkan
peran penting dalam kegiatan dakwah hingga masa pemerintahan Sultan Mahmud
Jayo Wikramo.

Press.h. 115—116
125 Lukito Ratno 1998 Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, h. 77
126 Kartodirdjo, Sartono, Sejarah nasional Indonesia II, Depatemen Pendidikan dan Kebudayan, Jakarta 1975, h.2
127 Amin, M. Ali. 1986. "Sejarah Kesultanan Palembang Darsussalam dan Beberapa Aspek Hukumnya”, h.64
34 128 Nurasiah, Pelaksanaan dan Pengamalan Hukum Keluarga Islam dalam Undang-Undang Simboer Tjahaya,
Jurnal Penelitian: Medan Agama, Edisi 17, Desember 2016, h.529
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Kaum ulama memang mempunyai kedudukan istimewa dalam Kesultanan


Palembang Darussalam. Tempat pemakaman para ulama yang berdekatan dengan
makam sultan memberikan bukti tentang kedudukan istimewa kaum ulama dalam
di Keraton Palembang.129

Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesultanan-kesultanan di Sumatra
yang terbentang dari tahun 840 sampai tahun 1903 telah eksis dalam sejarah
kehidupan di Kepulauan Sumatra dan Indonesia umumnya. Negara-negara yang
berbentuk kerajaan atau kesultanan tersebut layak dan memenuhi syarat disebut
sebagai negara islam, baik sesuai syarat syar’i yaitu adanya pemimpin muslim
dan hukum islam yang diberlakukan ataupun syarat ilmiah yang diakui dunia
international kontemporer dengan adanya penduduk, wilayah, kedaulatan dan
kapasitas atau kemampuan berhubungan dengan negara lain.
Selain negara-negara yang telah di bahas dalam tulisan ini, masih ada beberapa
negara atau kerajaan yang eksistensinya diakui oleh para ahli sejarah, diantaranya;
(1) Kerajaan Deli yang berada di bagian timur pulau Sumatra (didirikan tahun 1630
M) dan berubah menjadi Kesultanan Islam tahun 1814 M, (2) Kesultanan Jambi
(1690-1901 M.), (3) Kesultanan Lingga-Riau (didirikan tahun 1824 M), (4) Kesultanan
Minangkabau (abad ke-13 s.d. 17 M), Kesultanan Barus (abad ke-6) dan lain-lain.
Hampir dapat dipastikan bahwa semua kepala negara atau raja pada negara-
negara tersebut di atas adalah seorang muslim. Adapun berlakukannya hukum
Islam pada negara-negara tersebut berbeda-beda pada setiap negara, hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Agama Islam dijadikan agama negara sejak rajanya masuk Islam maupun
didirikannya kerajaan tersebut bersendikan Islam (seperti Samudera Pasai).
2. Hukum Islam diberlakukan secara positif sebagai hukum negara, sekalipun
pada beberapa negara atau Kesultanan ada yang melaksanakan dengan tidak ketat.
A.C. Milner mengatakan bahwa diantara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara,
Kerajaan Aceh di Sumatra dan Kesultanan Banten di Jawa yang melaksanakannya
secara ketat, baik dalam masalah perdata dan pidana.130 Namun dalam masalah
hukum keluarga, seperti nikah, talak, dan rujuk dilaksanakan secara merata di seluruh
negara/kesultanan Islam di Sumatra. Perbedaan pelaksanaan hukum Islam pada
kerajaan dan kesultanan Islam hanya terlihat dalam konteks pelaksanaan hukum
pidana. Pada kerajaan atau kesultanan tertentu, hukum-hukum pidana ada yang
masih mengikuti hukum adat atau hukum adat dipadukan dengan hukum Islam,
terutama kasus-kasus yang tidak secara jelas diatur oleh hukum Islam.131

129 Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, op.cit. h.37-38


130 A.C. Milner, “Islam dan Negara Muslim,” dalam Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam Asia Tenggara (Cet. I;
Jakarta: Yayasan Obor, 1989), h. 149.
131 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Ed. I; Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 35
135-136.
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

3. Telah dibentuk lembaga peradilan Islam yang menjalankan hukum Islam,


baik perdata maupun pidana, misalnya, Wazirr Al-hukkām yang dipimpin oleh Wazir
al-Hukkām di Kerajaan Perlak,132 Mahkamah Agama yang dipimpin oleh Qadi di
Kerajaan Samudera Pasai,133 Balai Majlis Mahkamah yang dipimpin oleh Sri Panglima
Wazir Mizan serta Balai Kadhi Malikul Adil pada Kesultanan Aceh Darussalam,134 dan
sebagainya.
4. Telah dilakukan kodifikasi hukum Islam yang diundang-undangkan oleh
negara. Kesultanan Malaka memiliki kodifikasi hukum Risalah Hukum Kanun
(qonun) yang disusun pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1446-
1456) yang memuat tentang banyak hal untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Risalah Hukum Kanun dari Kesultanan Malaka ini secara luas diduga diterapkan
oleh berbagai kerajaan dan kesultanan Islam Melayu karena beberapa salinannya
ditemukan di Riau, Pahang, Pontianak, dan Brunai; Kesultanan Aceh Darussalam
memiliki kodifikasi hukum Islam yang dinamakan Kitab Mahkota Alam yang disusun
pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636).135

Di samping itu, di satu negara pun pemberlakuan hukum Islam mengalami


pasang surut sesuai dengan kebijakan dan keislaman raja yang saat itu berkuasa. Ada
kalanya begitu disiplin dengan hukum Islam dan ada kalanya lebih longgar. Namun
hukum Islam diterapkan di setiap negara Islam tersebut walaupun dengan kualitas
dan kuantitas yang berbeda-beda.

132 Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh,”
dalam A. Hasymy (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan Prasaran pada
Seminar di Aceh) (Cet. III; Bandung: Al-Ma’arif, 1993) , h. 414.
133 Ibid., h. 428.
134 A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi dan Konflik (Ed. I; Cet. I;
36 Jakarta: Yayasan Obor, 2003), h. 58.
135 Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 137 dan 166-167
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

DAFTAR PUSTAKA

A. Christie, “An Obscure Passage from the Periplus”, BSOAS, 19, 1957
A. Hasymy (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan
Prasaran pada Seminar di Aceh) (Cet. III; Bandung: Al-Ma’arif, 1993)
A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi dan
Konflik (Ed. I; Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor, 2003),
Akhwan Mukarrom, Kerajaan-Kerajaan Islam Indonesia (Surabaya : Jauhar, 2010),
Allen & Unwin, Cleary, Mark; Kim Chuan Goh (2000). Environment and development
in the Straits of Malacca. Routledge.
Amin, M. Ali. 1986. “Sejarah Kesultanan Palembang Darsussalam dan Beberapa
Aspek Hukumnya”,
Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh (Leiden:
Koninklijke Brill NV, 2004)
Anthony Reid, Southeast Asia in Th Age of Commerce 1450-1680 terj. R.Z. Leirissa
(Jakarta: Obor, 1998),
Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam Nusantara abad XIV-XIX M, Penerbit
Kencana Jakarta 2016,
Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor,
1989),
Azyumardi Azra, Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII
dan XVIII. Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Boedani Djavid, Tambo Kerajaan Sriwidjaja, (Bandung: Terate, 1961),
Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia terj. Laddy
Lesmana dkk. (Jakarta: KPG, 2011),
Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt
Society, 2 vols,
Djoko Surjo, dkk, Agama dan Perubahan Sosial: Studi Tentang Hubungan Antara
Islam, Masyarakat, dan Struktur Sosial-Politik Indonesia (Yogyakarta: LKPSM,
2001),
Dudung Abdurrahman dkk. Sejarah Peradaban Islam: Dari Klasik Hingga Modern
(Yogyakarta: LESFI, 2002),
Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam
bagian “Dunia Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002
37
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

Gabriel Ferrand, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris,


1922
Gabriel Ferrand, Relation de Voyages et Textes Geographique Arabes, Persans et Turks
Relatifs a l’Extreme-Orient, dua jilid, Ernest Leroux, Paris, 1913-1914
Gajahnata dan Sri Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera
Selatan (ed), Jakarta: UI Press
Gerald Randall Tibbetts, “Pre-Islamic Arabia and South-East Asia”, JMBRAS, 29, 1956
Gungwu, Wang (2003). Only connect!: Sino-Malay encounters. Eastern Universities
Press
Halimi, A.J., (2008), Sejarah dan tamadun bangsa Melayu, Utusan Publications
Hamka, Sejarah Ummat Islam, IV, (Jakarta: Nv. Nusantara-Bukittinggi, 1961),
Hans Kelsen, General Theory of Law and State , (New York: Russell & Russell, 1961)
Hill, A. H., (1960), Hikayat Raja-raja Pasai, Royal Asiatic Society of Great Britain and
Ireland, London. Library, MBRAS.
Hooker, Virginia M. (2003). A Short History of Malaysia: linking east and west.
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit :
RajaGrafido, 2003),
Ibnu Qayyim, Ahkaamu Ahlidz-Dzimmah, jilid 2, cet. Daarul ‘Ilmi Lil Malayin 1983
J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London,
1969
Jabbar Sabil, Nakhoda Safinat al-Hukkam, dalam Opini Serambi Indonesia, tgl 4
Februari 2011
K. Subroto, Negara Islam di Jawa 1500-1700, Syamina, Edisi 4, Maret 2017
Kartodirdjo, Sartono, Sejarah nasional Indonesia II, Depatemen Pendidikan dan
Kebudayan, Jakarta 1975
Kong Yuanzhi, Cheng Ho Muslim Tionghoa, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia Jakarta 2015
Lukito Ratno 1998 Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta:
INIS
M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku. Komunitas Bambu, Jakarta 2009
M. Saeri, Karakteristik dan Permasalahan Selat Malaka, Jurnal Transnasional, Vol. 4,
No. 2, Februari 2013
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2008),
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
2011
38
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017

Marie France Dupoizat, “Keramik Cina dari Barus dan Timur Dekat: Persamaan,
Perbedaan, dan Kesimpulan Awal” dalam Claude Guillot (ed.), Lobu Tua
Sejarah Awal Barus (Jakarta: Obor, 2002)
Michael Francis Laffn. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: Th Umma Below
Th Wind (New York: Routledge, 2003),
Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983)
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1 (Medan: Waspada, 1981)
Mohd. Jamil Mukmin, Melaka Pusat Penyebaran Islam di Nusantara (Kuala
Lumpur: Murni Interprise, 1994)
Muhammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah : Abad Ke-13 Sampai Awal
Abad Ke-16, Depdikbud Jakarta 1997
Muhammad Yusoff Hashim Ph.D, Kesultanan Melayu Malaka, Kuala Lumpur 1990
Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Ed. I; Cet. I; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005),
N.J. Krom, Sumateraanse Periode, (Leiden: Chiedenis, 1919),
Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, Sejarah Dan Warisan Budayanya,
Jember University Press, Jember 2016
Nodin Hussin, geograf dan Perdagangan: Kepentingan Selat Melaka kepada
Perdagangan Dunia, Asia dan Dunia Melayu 1700-1800, Jurnal Akademika
Pusat pengajian Sejarah Politik dan strategi Fakulti Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia. Mei 2008
Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia (lAIN Press, Medan,
2000)
Nurasiah, Pelaksanaan dan Pengamalan Hukum Keluarga Islam dalam Undang-
Undang Simboer Tjahaya, Jurnal Penelitian: Medan Agama, Edisi 17, Desember
2016,
Nurrohman, dkk, Politik Formalisasi Syariat Islam dan Fundamentalisme: Kasus
Naggroe Aceh Darussalam, dalam Istiqra’, (Jakarta: Direktorat Peguruan
Tinggi Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama Republik
Indonesia, 2002),
Oliver William Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca,
New York, 1967
Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia
and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960
39
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA

Paul van T Veer. Perang Aceh Kisah kegagalan Snouck Hourgronje, terjemahan buku
berhasa Belanda De Atjeh-Oorlog, Grafiipers Jakarta 1985
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (Yogyakarta: Kanisius,
1973),
R.H.M Akib, Sejarah Palembang, (Palembang: Pidato Dies. APDN, 1969),
Ricklefs, M.C., (1991), A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition,
Stanford University Press,
Ricklefs, Merle C. (2001). A history of modern Indonesia since c. 1200. Stanford
University Press
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011
Said, Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, 1961
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emperium
Sampai Imperium (Jakarta : PT Gramedika Pustaka Utama, 1993),
Satyawati Suleiman, Concise Ancient History of Indonesia, The Archaelogical
Foundation, Jakarta, 1974
Seyyed Hossein Nasr, Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban (Surabaya: Risalah
Gusti, 2003),
Taufiq Abdullah (ed.), Sejarah Sosial Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 1991),
Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam, Luzac, London, 1935
Tome Pires, Suma Oriental, Penerbit Ombak Yogyakarta, cet ke-3 2016
Uka Tjandrasasmita, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan
dan Penyebaran Islam, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
Wicks, R. S., (1992), Money, markets, and trade in early Southeast Asia: the development
of indigenous monetary systems to AD 1400, SEAP Publications
Wink, André (2004). Indo-Islamic society, 14th-15th centuries. BRILL

Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di
Nusantara, Yayasan Obor Indonesia

40

Anda mungkin juga menyukai