DI SUMATRA
840 – 1903 M
K. SUBROTO
Edisi 16 / Nopember 2017
SYAMINA
840 – 1903 M
K. Subroto
Laporan
Edisi 16 / Nopember 2017
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Negara Islam di Sumatra 840 - 1903 M— 7
Islamisasi Sumatra, Awal Islamisasi Nusantara —8
Perlak, Negara Islam pertama di Sumatra (840 – 1292 M) — 13
Negara Islam Kesultanan Samudera Pasai (1267–1521) — 15
Kemakmuran Samudera Pasai — 16
Hukum Islam dan Lembaga Peradilan di Samudera Pasai — 17
Wilayah dan Politik Luar Negeri — 18
Negara Islam Kesultanan Malaka (1405–1511) — 19
Hukum Islam di Malaka — 22
Kesultanan Aceh Darussalam (1514 – 1903) — 24
Sekilas sejarah kesultanan Aceh — 24
Wilayah dan Ekonomi Aceh — 25
Hukum Islam di Aceh— 27
Negara Islam Kesultanan Palembang Darussalam (1454 – 1825) — 29
Wilayah dan Letak Geografis — 30
Ekonomi dan Perdagangan — 32
Islam Menjadi Asas Negara dan Masyarakat — 32
Hukum Islam di Negara Islam Palembang — 33
Penutup — 35
Daftar Pustaka — 37
3
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
EXECUTIVE SUMMARY
M
asuknya agama Islam di kepulauan Nusantara dimulai dengan masuknya
agama Islam di pulau Sumatra. Setelah mengenal islam lebih dalam,
mayoritas masyarakat di Nusantara berbondong-bongdong menyambut
dengan antusias seruan untuk memeluk agama Islam. Islam masuk melalui Sumatra
dan seiring berjalannya waktu terus menjalar ke arah Barat kepulauan di kawasan
Asia tenggara ini. Islam telah mulai masuk pada abad ke-7 atau 8 M walaupun belum
banyak pemeluknya.
Mudahnya Islam berkembang di kawasan ini tidak terlepas dari kondisi
global saat itu yang sangat menguntungkan penyebaran agama tersebut. Islam
menjadi entitas yang cukup kuat dan sangat diperhitungkan di tataran global saat
itu. Pengaruh peradaban Islam terus merambat menjalar dan meluas ke berbagai
kawasan termasuk kepualauan di Asia Tenggara.
Sebaliknya kekuatan Eropa (Barat) belum dikenal di kawasan tersebut. Hal
demikian diakui oleh seorang sejarahwan, Ricklefs yang menyatakan bahwa, pada
Abad XV, Eropa (Barat) bukanlah kawasan yang yang paling maju dan juga bukan
kawasan yang paling dinamis di seluruh dunia. Akan tetapi kekuatan besar yang
sedang berkembang di dunia saat itu adalah kekuatan Islam. kekuatan islam berhasil
merebut Konstantinopel dan Islam juga menyebar dengan masif di kawasan Asia
Tenggara.
Sumatra adalah pulau terbesar keenam di dunia yang terletak di Indonesia,
dengan luas 473.481 km². Penduduk pulau ini sekitar 52.210.926 (sensus 2010). Pulau
4 ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
berkata, “Jumhur ulama menjelaskan bahwa Daarul Islam adalah negeri yang
dikuasai kaum muslimin dan ditegakan hukum-hukum Islam. Sedangkan negeri
yang tidak berlaku padanya hukum-hukum Islam, maka ia bukan termasuk Daarul
Islam meskipun ia berbatasan langsung (dengan Daarul Islam).”
Negara-negara atau kesultanan Islam yang banyak terdapat di pulau Sumatra
seperti, Kesultanan Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang serta negara-
negara lainnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara dan negara Islam.
Kesultanan Malaka pusat pemerintahannya tidak di pulau Sumatra namun daerah
kekuasaannya saat itu juga meliputi sebagian pulau Sumatra. Bahkan salinan
Kanun (Undang-undang) malaka ditemukan di beberapa kesultanan Islam di
Sumatra, Patani dan Johor. Beberapa Kesultanan Islam di Jawa, meneurut beberapa
sejarahwan, kitab undang-undangnya juga dipengaruhi oleh Kanun Malaka.
Para sultan atau raja di negara-negara Islam di Sumatra semuanya muslim dan
berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam serta berusaha menerapkan aturan
hukum Islam dalam Kitab Undang-undang yang berlaku di negera-negara Islam di
Sumatra yang bersumber dari hukum Islam. adapun mengenai adanya unsur adat
dalam kitab hukum tersebut, karena memang hukum islam bisa menerima dan
mentolerir adat selama adat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
6
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
P
ada Abad XV, Eropa (Barat) bukanlah kawasan yang yang paling maju dan
juga bukan kawasan yang paling dinamis di seluruh dunia. Akan tetapi
kekuatan besar yang sedang berkembang di dunia saat itu adalah kekuatan
Islam. Pada tahun 1453 Turki Utsmani berhasil menaklukkan Konstantinopel dan di
ujung Timur, Islam berkembang di kepulauan Indonesia dan Filipina.1
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari seri sebelumnya (edisi 4, Maret 2017),
yang membahas tema seputar negara Islam di Jawa pada tahun 1500-1700 M.2 pada
tulisan ini akan fokus pada negara-negara Islam di Sumatra. Berdasarkan waktu
eksistensinya, negara Islam di Sumatra lebih lama daripada negara Islam di Jawa.
Sumatra adalah pulau terbesar keenam di dunia yang terletak di Indonesia,
dengan luas 473.481 km². Penduduk pulau ini sekitar 52.210.926 (sensus 2010). Pulau
ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa
(bahasa Sanskerta, berarti “pulau emas”), swarnnabhūmi (bahasa Sanskerta, berarti
“tanah emas”) dan bhūmi mālayu (“Tanah Melayu”).
Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak dan
kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai
subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk
yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk
berhubungan dengan Negara lain.3 Maka dalam tulisan ini akan dibahas apakah
kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu (tahun 1000 – 1900) memenuhi syarat untuk
disebut sebagai sebuah negara atau negara Islam.
Dalam kajian ilmu Tata Negara kontemporer, juga dikenal 2 bentuk negara
atau pemerintahan yaitu; monarchie (kerajaan) dan republik. Duguit membedakan
antara republik dan monarchie berdasarkan bagaimana kepala negara diangkat. Jika
seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk
pemerintahan disebut monarchie, pelaksana kekuasaan negara disebut raja. Jika
1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011. h.31
2 Lihat: K. Subroto, Negara Islam di Jawa 1500-1700, Syamina, Edisi 4, Maret 2017, http://syamina.org/uploads/
Lapsus_Edisi_4_Maret_2017.pdf 7
3 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit : RajaGrafido, 2003), hal. 3
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
kepala negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu
maka negaranya disebut republik, pelaksana kekuasaan negara disebut Presiden.4
Dalam ajaran Islam, berkaitan dengan syarat sebuah negara dikatakan sebagai
sebuah negara Islam (Daarul Islam) atau negara kafir (Daarul Kufri), Ibnu Qayyim
berkata:
“Jumhur ulama menjelaskan bahwa Daarul Islam adalah negeri yang dikuasai
kaum muslimin dan ditegakan hukum-hukum Islam. Sedangkan negeri yang
tidak berlaku padanya hukum-hukum Islam, maka ia bukan termasuk Daarul
Islam meskipun ia berbatasan langsung (dengan Daarul Islam).”5
Jadi dari pernyataan tersebut di atas diketahui bahwa sebuah negara dikatakan
sebagai sebuah negara Islam bila pemimpinnya adalah seorang muslim dan hukum
yang diberlakukan untuk mengatur kehidupan rakyatnya adalah hukum Islam pula.
Maka tulisan ini sebisa mungkin akan menyorot dua hal di atas (pemimpin dan
hukum) untuk memperkuat analisa bahwa negera-negara yang di bahas dalam tulisan
ini layak dan memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara Islam. Di samping juga
memperhatikan syarat sebuah negara menurut para akademisi kontemporer yang
menambahkan syarat wilayah, eksistensi penduduk dan kedaulatan yang menjadi
syarat dan unsur sebuah negara.
4 Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi
HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 167 lihat juga; Hans Kelsen, General Theory of Law and State , (New York:
Russell & Russell, 1961), hlm. 283
5 Ibnu Qayyim, Ahkaamu Ahlidz-Dzimmah, jilid 2, cet. Daarul ‘Ilmi Lil Malayin 1983. h.728,
6 Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita, dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan
Penyebaran Islam, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm. 9-27
8 7 Nicholaas Johannes Krom, De Naam Sumatra, BKI, 100, 1941.
8 Gabriel Ferrand, Relation de Voyages ..., II, 1914, hh. 440-450.
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
Islam di Indonesia berasal langsung dari Arab, bukan dari Gujarat atau daerah India
lainnya yang bermazhab Hanafi. Perlu juga dicatat bahwa nama Samatrah dalam
kitab Rihlah karya Ibn Batuthah ini kemudian disalin oleh Niccolo da Ponti dari Italia
serta Antonio Pigafetta dari Portugis menjadi Sumatra, dan lama-kelamaan orang-
orang Eropa menggunakan nama Sumatra untuk menyebutkan seluruh pulau.9
Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatra (nama pulau) menarik
untuk ditelusuri. Odorico da Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318
menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari,
lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila
l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan
Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih
oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia
dan di sana tertulis pulau “Samatrah”. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun
1498 dan muncullah nama “Camatarra”. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501
mencantumkan nama “Samatara”, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan
nama “Samatra”. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu “Camatra”, dan Alfonso
Albuquerque tahun 1512 menuliskannya “Camatora”. Antonio Pigafetta tahun 1521
memakai nama yang agak ‘benar’: “Somatra”. Tetapi sangat banyak catatan musafir
lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: “Samoterra”, “Samotra”, “Sumotra”, bahkan
“Zamatra” dan “Zamatora”.
Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten
dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk
inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia:
Sumatra.
Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari bahasa Arab, luban jawi,
yang artinya “kemenyan Jawa”. Nama Latin untuk kapur barus, caphurae, berasal
dari nama Arab, kafur, yang diambil dari kata Melayu, kapur. Seorang penyair Arab
sebelum Islam, Amru al-Qais (wafat 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur
dalam syair-syairnya.13 Semua ini membuktikan bahwa barang-barang dari Sumatra
sudah dikenal oleh bangsa-bangsa di sekitar Laut Tengah, termasuk bangsa Arab,
sejak zaman purba.
Kontak paling awal antara penguasa di kepulauan Hindia dengan kekhilafahan
Islam di Timur Tengah bermula sejak masa Khilafah Bani Umayah yang kala itu
dipimpin oleh Khalifah Mu’awiyah. Kehadiran Muslim Timur Tengah ke Kepulauan
Hindia pada masa-masa awal pertama kali disebutkan oleh pengembara terkenal
Cina, I-Tsing yang pada 51 H/617 M, singgah di Palembang yang saat itu
merupakan ibu kota kerajaan Buddha Sriwijaya. Mereka yang berada di Kepulauan
Hindia merupakan para pedagang yang kaya dan memiliki kekuatan ekonomi.
Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah
di Kepulauan Hindia masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha.
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Kepulauan Hindia yang tercatat
memberikan pengakuan terhadap kebesaran Khalifah. Pengakuan ini dibuktikan
dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh raja Sriwijaya kepada Khalifah di
zaman Bani Umayyah. pertama dikirim kepada khalifah Mu’awiyah, dan surat kedua
dikirim kepada khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz. Dalam surat tersebut Raja meminta
pada Khalifah agar dikirim seorang utusan untuk mengajarkan Islam pada raja di
negeri Sriwijaya. 14
Dua buah sumber sejarah berupa berita-berita Cina yang menyinggung masalah
kedatangan Islam ke Nusantara adalah Hsin-Tang-shu (Catatan Dinasti Tang, 618–
907) serta Chu-fan-chi (Catatan Negeri-Negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua tahun
1225.15 Dua kronik Cina di atas banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk
menyebut Arab.16 Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-
mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina.17 Boleh dipastikan bahwa nama ini
adalah ucapan Cina untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan
“raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang
memerintah dari tahun 644 sampai 656 M.
13 Oliver William Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967,
terutama Bab 8
14 yumardi Azra, Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII. Edisi Revisi
(Jakarta: Prenada Media, 2004)
15 Hsin-Tang-shu diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”,
BEFEO, 4, 1904, hh. 132-413. Chu-fan-chi diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan William Woodville Rockhill,
Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-
FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911.
16 Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-
ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan
penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan
(Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-
10 lo-pa (Abul-Abbas). Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124.
17 Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
18 Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled
from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.
19 Satyawati Suleiman, Concise Ancient History of Indonesia, The Archaelogical Foundation, Jakarta, 1974, h.
16. Begitu populernya daerah Barus di zaman purba, sehingga negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas)
tercatat dalam naskah Geographike Hyphegesis yang ditulis oleh ahli geografi Yunani abad kedua, Klaudios
Ptolemaios (87–168). Lihat: W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18,
October 1974, h. 1.
20 Paul Pelliot, h. 297.
21 Mengenai peralihan bunyi Jawa menjadi She-po, lihat Paul Pelliot, hh. 279-295, serta F. Hirth dan W.W.Rockhill,
hh. 78-79.
22 Louis-Charles Damais berpendapat bahwa Ho-ling transliterasi dari Walaing, sedangkan W. J. van der Meulen
menyarankan nama itu transliterasi dari Paryang (Dieng). Oliver W.Wolters menduga letak Ho-ling di Jawa
Barat, dan Slametmulyana mencari lokasi Ho-ling di daerah Keling, lembah Kali Brantas. Tetapi semuanya
sepakat bahwa Ho-ling harus dicari di Pulau Jawa.
23 Gabriel Ferrand, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, 1922, h. 37.
24 Hamka, Sedjarah Umat Islam, IV, Nusantara, Djakarta, 1961, h. 18
25 Gabriel Ferrand, Relation de Voyages et Textes Geographique Arabes, Persans et Turks Relatifs a l’Extreme-
Orient, dua jilid, Ernest Leroux, Paris, 1913-1914 11
26 Gabriel Ferrand, Relation de Voyages ..., I, 1913, hh. 56-57
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
we have any historical notices of such influences being at work. This supposition is
rendered the more probable by the knowledge we have of the extencive commerce with
the East carried on by the Arab from very early time.” 27
Tidak mungkin untuk mengetahui tanggal yang tepat masuknya agama Islam ke
kepulauan Melayu. Islam mungkin telah dibawa oleh pedagang Arab pada abad-abad
awal Hijrah, jauh sebelum kita memiliki catatan historis tentang hal itu. Anggapan ini
lebih masuk akal karena sebagaimana kita ketahui bahwa orang-orang Arab sejak
awal sudah melakukan perdagangan ke kawasan Timur.
Kedatangan Islam di kawasan Melayu-Nusantara merupakan yang
paling awal jika dibandingkan dengan kawasan lainnya seperti Jawa dan
Makassar. Para sejarawan mencatat bahwa interaksi masyarakat Nusantara
dengan Islam sudah terjadi sejak abad pertama Hijiyah atau abad VII M
dan VIII M. Sumber-sumber yang berasal dari Cina menyebutkan bahwa
pada sekitar akhir perempatan ketiga abad VII M terdapat seorang pedagang Arab
yang memimpin pemukiman komunitas Arab muslim di pesisir pantai Sumatra.
Bahkan, dikatakan bahwa mereka telah melakukan perkawinan dengan wanita lokal
dan membentuk komunitas muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang
dan penduduk lokal.28 Oleh sebab itu, hampir dapat dipastikan bahwa interaksi
tersebut memungkinkan terjadinya perpindahan agama penduduk Nusantara dari
kepercayaan sebelumnya ke agama Islam.
Dari abad VIII M sampai dengan abad XI M, setelah dunia Islam menguasai
wilayah Bizantium dan Sasania, banyak pelaut Arab dan Persia yang berlayar dari
Teluk Persia dan Laut Merah menuju Lautan Hindia. Mereka membuka ruang
ekonomi baru dengan mencari rempah-rempah di kawasan ini. Di antara tempat
yang menjadi tujuan mereka adalah Fansur (Barus) dan Lamiri. Berdasarkan catatan
Ibn Fakih dari Hamadan (902 M) dan al-Mas’udi (955 M) dijelaskan bahwa Kota
Fansur menisbatkan namanya untuk kamper (kapur Barus) yang disebut Fansuri.
Marco Polo dalam kunjungannya ke Fansur juga menyebutkan bahwa Fansur
adalah tempat diproduksinya kamper terbaik di dunia.29 Petunjuk lain mengenai
kehadiran komunitas muslim di Fansur adalah ditemukannya inkripsi berupa cap
jimat di situs Lobu Tua yang diperkirakan berasal dari periode pertengahan abad IX
M sampai akhir abad XI M.30 Pada masa itu Fansur merupakan bandar yang menjadi
tempat para pedagang dari India Selatan, Timur Tengah, dan Jawa yang datang ke
daerah tersebut untuk mencari kamper.31 Dengan demikian, Fansur merupakan
tempat bertemunya berbagai budaya dan agama, termasuk Islam, pada masa lalu.31
Adapun Lamiri, berdasarkan catatan Ibn Khordadzbeh (w 885 M), dikenal sebagai
tempat penghasil kemenyan dan terdapat juga terdapat habitat badak di dalamnya.32
27 Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam, Luzac, London, 1935, h. 363
28 Azra, Jaringan Ulama, hlm. 26-27
29 Marie France Dupoizat, “Keramik Cina dari Barus dan Timur Dekat: Persamaan, Perbedaan, dan Kesimpulan
Awal” dalam Claude Guillot (ed.), Lobu Tua Sejarah Awal Barus (Jakarta: Obor, 2002), hlm. 139.
30 Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia terj. Laddy Lesmana dkk. (Jakarta: KPG,
2011), hlm. 33-34.
31 Ibid., hlm. 89-90
12 32 Djoko Surjo, dkk, Agama dan Perubahan Sosial: Studi Tentang Hubungan Antara Islam, Masyarakat, dan
Struktur Sosial-Politik Indonesia (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm. 41
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat
tahun 608 H atau 1211 M.38
Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang
ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya
hanya lima hari pelayaran dari Jawa.39 Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah
Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan
waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang
termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina
melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama
Islam.40 Menurut Marcopolo orang perlak masuk islam karena sering dikunjungi para
pedagang muslim.
38 Teuku Iskandar, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958. Suwedi Montana, “Nouvelles donees
sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997, hh. 85-95
39 F. Hirth dan W. W. Rockhill, h. 76.
40 Sir Henry Yule, The Book of Marco Polo, II, London, 1903, h. 284.
41 Sumber: http://www.historiartikel.com/2017/02/kerajan-perlak-sebagai-kerajaan-islam.html
42 Marcopolo, Le Devisement Du Monde, 413. Lihat juga ; Marcopolo, Le Livre de Marcopolo, disunting oleh
M.G. Pauthier, Firmin Didot freres, Paris 1865, h.568-569, dalam; Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam
Nusantara abad XIV-XIX M, Penerbit Kencana Jakarta 2016, h. 6-7
14 43 Jean Pierre Moquette, “De Oudste Vorsten van Samudera-Pase”, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst,
Batavia, 1913, hh. 1-12
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
16 49 Muhammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah : Abad Ke-13 Sampai Awal Abad Ke-16, Depdikbud
Jakarta 1997. h.23
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
dan perak sebagai alat tukar. Uang emas diberi nama dinar dan dibuat dari 70 %
emas tulen. Di pasar umumnya dipakai uang timah.50
50 Kong Yuanzhi, Cheng Ho Muslim Tionghoa, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia Jakarta 2015. h.112-113
51 Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX, Penerbit Kencana Jakarta 2016, h.15-16 17
52 Batuthah, ar rihlah, h.230 dalam : Utriza, op.cit. h.15-16
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
Petikan teks di atas menjadi dasar tentang hukum Islam dan penerapannya
di Samudera Pasai: tentang mazhab fiqih, qadi (hakim dalam hukum Islam), para
ulama atau ahli fikih (fuqaha’), jihad dan jizyah. Hal ini juga menunjukkan bahwa
pada abad ke-14, umat Islam di Samudera Pasai telah mengikuti mazhab syafi’i.
Mazhab syafii masuk ke Nusantara bersama dengan kedatangan Islam. Kepulauan
Nusantara adalah jalur perdagangan internasional dari barat ke timur. Pusat-pusat
perdagangan di timur tengah seperti Kairo, Jeddah, dan Aden di Yaman mayoritas
penganut mazhab syafii karena mazhab fiqih tersebut berasal dari Kairo, dimana
imam syafii menghabiskan tahun-tahun akhir kehidupannya.
Dari Kairo mazhab syafii menyebar kemana-mana. Mazhab ini diuntungkan
dengan kemenangan Dinasti Saljuk atas Dinasti Fatimiyah pada abad ke-9 sampai
13 di Kairo. Mazhab Syafii menjadi mazhab resmi negara sepanjang masa Ayyubiyah
dan Mamluk.53
kakaek Sultan Abdul Malik Az Zahir (1346-1383). Ia melakukan perang suci melawan
orang-orang bukan Islam agar mereka tunduk pada penguasa Muslim. Jihad tersebut
berlanjut sampai saat kunjungan ibnu Batuthah. Dikatakan dalam catatan ibnu
Batuthah bahwa sultan Ahmad adalah seorang yang shalih dan berjihad bersama
dengan rakyatnya melawan orang-orang bukan Islam.
Penerapan Hukum Islam terus berlaku hingga sultan terakhir Samudera Pasai.
Sebuah Sumber Portugal mencatat bahwa, Raja Samudera Pasai, Jeinal, yaitu Zainal
Abidin, telah meminta Jizyah pada kaum minoritas.56 Diperkirakan mereka adalah
orang-orang buka islam yang tinggal di dalam wilayah Islam yang harus membayar
Jizyah agar mereka mendapat hak hidup dan perlindungan sebagai warga negara
Islam. Dengan jihad, Kesultanan Samudera Pasai menjadi besar.57
62 Gungwu, Wang (2003). Only connect!: Sino-Malay encounters. Eastern Universities Press.
63 Hooker, Virginia M. (2003). A Short History of Malaysia: linking east and west. Allen & Unwin, Cleary, Mark;
Kim Chuan Goh (2000). Environment and development in the Straits of Malacca. Routledge.
64 Institute of Southeast Asian Studies, (2005), Admiral Zheng He & Southeast Asia, Wink, André (2004). Indo-
Islamic society, 14th-15th centuries. BRILL
65 Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor
Indonesia,
66 Institute of Southeast Asian Studies, (2005), Admiral Zheng He & Southeast Asia,
67 Wink, André (2004). Indo-Islamic society, 14th-15th centuries. BRILL., Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa
Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor Indonesia,
20 68 Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor
Indonesia,
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
kemudian meminang dan menikahi putri Raja Jawa tersebut. Selain itu sekitar tahun
1475 di Jawa juga muncul kekuatan muslim di Demak yang nanti turut melemahkan
hegemoni Majapahit atas kawasan yang mereka klaim sebelumnya sebagai daerah
bawahan. Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak terlihat setelah jatuhnya
Malaka kepada Portugal, tercatat beberapa kali pasukan Demak mencoba merebut
kembali Malaka dari tangan Portugal. 69
Negara Islam Kesultanan Melaka berjaya selama 150 tahun mendominasi sektor
ekonomi, politik, budaya di sekitar kawasan Selat Melaka. Selat Malaka adalah salah
satu selat internasional terpenting di dunia, selain itu, selat ini juga merupakan selat
tersibuk kedua di dunia setelah Selat Hormuz, kenyataan ini tak lepas dari letaknya
yang strategis dan sejarah penggunaan selat yang sangat panjang. Panjang Selat
Malaka sekitar 805 km atau 500 mil dengan lebar 65 km atau 40 mil di sisi selatan dan
semakin ke utara semakin melebar sekitar 250 km atau 155 mil.
Sejarah mencatat bahawa Selat Malaka telah menjadi jalur lintas yang penting
sejak zaman dahulu. Selama ratusan tahun sebelum masa kolonialisem Barat,
bangsa India, China, dan Arab telah menggunakan selat ini untuk jalur lalu lintas
perdagangan dan menyebarkan agama sehingga memberikan bentuk budaya yang
teralkulturasi terhadap identitas masyarakat di sekitar Selat Malaka.
Interaksi yang kuat dalam bidang politik, ekonomi, budaya maupun agama
terjalin antara pengguna jalur Selat Malaka dengan penduduk yang berada di wilayah-
wilayah sekitar Selat Malaka. Dibukanya Terusan Suez tahun 1869 dan kebangkitan
Singapura tahun 1930an yang menjadikannya salah satu pelabuhan tersibuk di dunia
semakin memperkuat nilai strategis Selat Malaka.70
Selat malaka juga berperan sebagai tempat transit dan menambah bekal
makanan segar untuk para pedagang setelah berlayar jauh. Selain itu juga menjadi
tempat pengumpulan barang-barang dagangan dari berbagai kepulauan di
sekitarnya untuk didistribusikan oleh para pedagang dari Cina, India dan Arab dan
peran sebaliknya mendistribusikan barang-barang dari wilayah eropa dan Asia ke
kepulauan Nusantara.71
69 Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols, Ricklefs, Merle
C. (2001). A history of modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press
70 M. Saeri, Karakteristik dan Permasalahan Selat Malaka, Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 2, Februari 2013. h
810
71 Nodin Hussin, geograf dan Perdagangan: Kepentingan Selat Melaka kepada Perdagangan Dunia, Asia dan
Dunia Melayu 1700-1800, Jurnal Akademika Pusat pengajian Sejarah Politik dan strategi Fakulti Sosial dan 21
Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia. Mei 2008. h 5
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
72 berdasarkan keterangan "Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia", PT Pembina Peraga Jakarta 1996, https://
id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Malacca_Sultanate_id.svg
73 Tome Pires, Suma Oriental, Penerbit Ombak Yogyakarta, cet ke-3 2016, h.344
22 74 The Book Of Duerte Barbosa, Vol. II, Hakluyt Soceity London, 1944. h.269
75 Halimi, A.J., (2008), Sejarah dan tamadun bangsa Melayu, Utusan Publications
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
menjadi hancur dan perdagangan menjadi sepi. Praktek monopoli yang mereka
terapkan tidak disukai oleh para pedagang di Malaka yang datang dari hampir
seluruh dunia.
81 Djoko Surjo dkk. Agama dan Perubahan Sosial (Yogyakarta : LKPSM, 2001), 51.
24 82 Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Aceh_Sultanate#/media/File:Flag_of_the_Aceh_Sultanate.png
83 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), 61.
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
Dalam bidang ekonomi pelabuhan Aceh menarik banyak pedagang yang di sawah, paniti,
berdatangan dari berbagai wilayah dan negara antara lain; Perancis, Inggris, Belanda, pajak untuk sawah,
Cina, Burma, Thailand, Taiwan, Persia, Turki dan India untuk berdagang.87
paletre, pajak ke-
Kemajuan Aceh pada saat itu sangat dipengaruhi oleh kemunduran Kesultanan
pada bupati, pajak
Malaka yang diserang dan dijajah orang-orang Portugis. Pada tahun 1511 M,
Malaka jatuh ke tangan Portugis, maka daerah-daerah pengaruhnya di Sumatra make-up ronggeng,
mulai melepaskan diri dari Malaka.88 Keadaan Malaka yang mulai mundur itu telah pakeplop, pajak un-
memberi kesempatan pada Aceh untuk berkembang. Para pedagang Muslim yang
tuk pertunjukan tari
sebelumnya banyak berlabuh dan berdagang di Malaka memilih pelabuhan Muslim
lain, maka Aceh menjadi ramai.89 dan sebagainya
Gambar Wilayah kekuasaan Aceh Pada masa Kekuasaan Sultan Iskandar Muda95
Untuk kepentingan pelaksanaan hukum Islam, al-Raniri menulis kitab al-Shirâth
al-Mustaqîm, yang menerangkan tentang berbagai praktik hukum Islam. Buku ini
menjadi rujukan bagi pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan tersebut.96 Selain itu,
al-Raniri juga menulis kitab Bustân al-Salâthîn sebagai nasihat bagi Sultan dalam
melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.97 Sebanyak kurang lebih tiga puluh karyanya,
kebanyakan membahas masalah tasawuf dan aqidah, terutama menyangkut
polemiknya dengan paham wihdat al-wujūd yang dipelopari oleh Fansuri dan al-
Sumatrani.98
95 https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/fa/Aceh_Sultanate_id.svg/2000px-Aceh_
Sultanate_id.svg.png
96 Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia (lAIN Press, Medan, 2000), h. 69.
97 Azra menduga bahwa berkat nasihat al-Raniri dalam buku ini, Sultan Iskandar Tsani menghapuskan hukuman
yang tidak Islami terhadap pelaku tindak pidana, seperti “mencelup minyak” dan “menjilat besi.” Azra,
Jaringan Ulama, h. 186
98 Daftar tiga puluh buku yang berhasil ditemukan sebagai karya ar-Raniri, lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik, 53-
54; Ahmad Daudy, Syekh Nuruddin ar-Raniri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 9; Muhammad Saghir Abdullah,
Perkembangan Ilmu Fiqih dan Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara -1, ( Solo: Ramadhani, 1985), 26-28. Mengenai
polemik antara ar-Raniri dengan Fansuri dan al-Sumatrani, lihat Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam 27
Konsep Nuruddin ar-Raniri, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), 200-238; Alwi Shihab, Islam Sufistik, 48-69.
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
99 Nurrohman, dkk, Politik Formalisasi Syariat Islam dan Fundamentalisme: Kasus Naggroe Aceh Darussalam,
dalam Istiqra’, (Jakarta: Direktorat Peguruan Tinggi Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Departemen
Agama Republik Indonesia, 2002), h. 52
100 Bustān al-Salātīn adalah Sebuah naskah karangan Nuruddīn al-Rānīrī. Naskah ditulis atas permintaan Sultan
Iskandar Tḥānī (1636-1641 M). Penulisannya di mulai pada tanggal 4 Maret 1638 dengan nama lengkap
Bustan al-Salatin fi Zikr al-Awwalin Wal al-Akhirin. Naskah ini terdiri dari 7 bab dan 40 pasal. Naskah ini
bersifat keagamaan dan sejarah. Berdasarkan rekaman sejarah, kitab Bustān al-Salāṭīn menjadi perintis yang
mengupas tentang historikal Kesultanan Aceh yang bersifat teologis sekaligus historis. Salah satu bab dari
Bustān al-Salāṭīn mengisahkan sejarah Aceh secara detail.
101 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emperium Sampai Imperium (Jakarta
: PT Gramedika Pustaka Utama, 1993), h.81
102 Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
28 103 Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian “Dunia Islam Bagian
Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
mengakomodir empat mazhab. Dalam Tulisan Jabbar Sabil, menuliskan salah satu
bab qanun Meukuta Alam syarahan Teungku di Meulek, digariskan:
Maka peganglah dengan sungguh-sungguh hati qanun Meukuta Alam al-Asyi,
dari karena mengikut Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali.
Dan empat mazhab itu semua tunduk kepada syariat Rasululllah saw, diyakini
berhimpun iman, Islam, Tauhid dan ma’rifat, maka barulah bernama agama. 104
Qanun al-Asyi ini dibuat atas persetujuan ulama bahkan ulama turut terlibat
dalam penyususunan qanun tersebut. Isi qanun tersebut dengn jelas menggambarkan
adanya pengaruh ulama. Karena kedudukan ulama yang sangat strategis itulah
sehingga dapat dimanfaatkan pengaruhnya untuk membumikan syariat Islam di Aceh
dengan memasukkan syariat Islam dalam tata hukum kerajaan Aceh Darussalam.
Negara Islam Kesultanan Aceh Darussalam berakhir dengan menyerahnya sultan
terakhir pada Belanda pada tahun 1903. Meskipun Sultan Aceh menyerah pada 1903,
ulama Tgk. Cot Plieng terus menyerukan agar orang-orang Aceh tetap gigih berjihad
melawan kafir. Para ulama yang terkemuka yang masih meneruskan perjuangan
antara lain, adalah Tgk. di Lam Cut, Di Tanoh Mirah, Habib Teupin Wan, ketiganya
berasal dari Mukim XXVI, Aceh Besar, Tgk Lam U dari Mukim XXII, Aceh Besar, Tgk.
di Barat, dan Tgk. di Mata le, di Aceh Utara. Di samping itu putra Tgk. Chik di Tiro
Muhammad Saman masih terus mengibarkan panji-panji perjuangan bersenjata.105
Pada tahun 1942 Aceh adalah satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang
pada bulan-bulan sebelum Jepang mendarat masih melakukan perlawanan secara
teratur terhadap kekuasaan Belanda.106
104 Jabbar Sabil, Nakhoda Safinat al-Hukkam, dalam Opini Serambi Indonesia, tgl 4 Februari 2011, h. 2
105 Ibrahim Alfin, Op.Cit. h 206
106 Paul van T Veer. Perang Aceh Kisah kegagalan Snouck Hourgronje, terjemahan buku berhasa Belanda De
Atjeh-Oorlog, Grafiipers Jakarta 1985. H.246
107 N.J. Krom, Sumateraanse Periode, (Leiden: Chiedenis, 1919), hlm. 22 29
108 ANRI, Arsip Palembang no. 72.9, opcit., hlm. 335, Hamka, op.cit., hlm. 90
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
di karenakan Sultan Pajang menyerang Demak dan adalah yang bermula menjadi
raja di Palembang ialah Kiyai Geding. Kiyai Geding Suro wafat kemudian digantikan
oleh Kiyai Geding Suro Mudo anak Kiyai Geding Ilir dan ketika itu, anak-anak raja
yang berpindah dari tanah Jawa ke negeri Palembang yaitu 24 orang. Beberapa orang
keturunan Pangeran Trenggono yang hijrah ke Palembang di bawah pimpinan Kiyai
Geding Suro Tuo yang menetap di perkampungan Kuto Gawang di daerah di sekitar
kampung Palembang Lamo.109
Sebagaimana diketahui, Pangeran Trenggono adalah putra Raden Fattah, bin
Prabu Kertabumi Brawijaya V dari Majapahit dengan istrinya seorang putri dari Cina,
lahir dan dibesarkan di Palembang di istana saudaranya lain ibu yaitu Ario Dillah.110
109 R.H.M Akib, Sejarah Palembang, (Palembang: Pidato Dies. APDN, 1969), hlm. 11
110 Hamka, Sejarah Ummat Islam, IV, (Jakarta: Nv. Nusantara-Bukittinggi, 1961), hlm. 99 lihat juga: ANRI, Arsip
Palembang no. 72.9 Bijdrage de History van Palembang, hlm. 334, lihat pada lampiran 2.
111 Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, op.cit. h.49
112 Mardanas Safwan, op.cit., hlm. 30
30 113 Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, op.cit. h.62 berdasarkan keterangan dari Abu Sofyan
(Pegawai Museum Sultan Mahmud Badarrudin II Palembang), Palembang, 19 Januari 2016.
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
114 Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, Sejarah Dan Warisan Budayanya, Jember University Press,
Jember 2016 h.55
115 koleksi Museum Sultan mahmud Badaruddin II, diambil dari buku; Nawiyanto, Kesultanan Palembang
Darussalam, Sejarah Dan Warisan Budayanya, Jember University Press, Jember 2016, h.62
116 J.W Van Royen, op.cit., hlm. 41.
117 J.L Van Sevenhoven, op.cit., hlm. 25. 31
118 Boedani Djavid, Tambo Kerajaan Sriwidjaja, (Bandung: Terate, 1961), hlm. 26.
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
masuk dikenakan bea pelabuhan, yang besarnya menurut banyaknya anak buah
kapal.119
sebagai yang paling menonjol terjadi saling akomodasi antara hukum Islam dan adat
adalah di bidang hukum keluarga. 125
Kesultanan Palembang telah melakukan berbagai upaya untuk mengadaptasikan
ajaran Islam —hukum Islam— ke dalam struktur politik dan ideologi kekuasaannya.
Bukti penting yang dapat dilihat adalah, pertama, pembentukan birokrasi agama, baik
di tingkat pusat (kesultanan) maupun di tingkat marga dan dusun. Di tingkat pusat,
birokrasi agama diwakili oleh pangeran natagama yang mempunyai kedudukan
penting sebagai mancanegara kedua.126
Tentang Undang-Undang Simbur Cahaya sendiri, Van Den Berg, ahli hukum
Belanda dalam studinya menyimpulkan bahwa melalui Undang-Undang Simbur
Cahaya, sedikit atau banyak, dapat dipahami sebagai corak hukum Islam yang
pernah hidup dan berfungsi dalam masyarakat kesultanan ini, sebab di dalamnya
terlihat bahwa berbagai unsur ajaran hukum Islam telah diusahakan diadaptasi.127
Sewaktu Sultan Badaruddin II dibuang ke Ternate tahun 1882 maka oleh van
Sevenhoven, buku-buku yang ada di istananya dipindahkan ke Batavia dan didapati
seluruhnya berjumlah sekitar 1000 hasil karya. Dari 1000 judul karya ini, 43 mengenai
agama Islam, dan 3 tentang pembahasan fiqh, 7 tentang tafsir dan 13 tentang wayang.
Sisanya adalah tulisan-tulisan sastra melayu berupa sya’ir, hikayat, puisi-puisi dan
sebagainya, sebagiannya tentu berkenaan dengan keislaman.128
Beberapa ulama besar bereputasi internasional muncul dari Palembang, di
antaranya yang paling menonjol adalah Syeikh Abdussomad al-Palimbani, seorang
ulama keturunan Arab dengan pengaruh besar di Keraton Palembang dan Dunia
Melayu. Syeikh Abdussomad al-Palimbani aktif mengembangkan agama Islam pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Dia menerjemahkan
karyanya yang berjudul Syair al-Salikin dan Hidayat al-Salikin. Karya-karyanya ini
masih banyak mendapat apresiasi dan dibaca hingga dewasa ini di negara-negara
Asia Tenggara terutama di Filipina Selatan, Thiland Selatan, Brunai, Malaysia,
Singapura dan Indonesia.
Selain itu, Al-Palimbani juga dipandang berjasa dalam menginspirasi semangat
patriotisme dan perlawanan melawan penjajah lewat korespondensi yang dijalinnya
dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta dan Pangeran Mangkunegara di
Surakarta. Tokoh-tokoh ulama besar Palembang lainnya yang berperan penting
sebagai penasehat sultan, misalnya Kyai Haji Kiagus Khotib Komad pada masa Sultan
Abdurrahman dan Tuan Fakih Jamaluddin pada masa Sultan Muhammad Mansyur.
Kiagus Khotib Komad adalah seorang ahli tafsir Alquran dan Fikih, sedangkan Tuan
Fakih Jalaludin mengajar ilmu Alquran dan ilmu Ushuluddin. Ulama ini memainkan
peran penting dalam kegiatan dakwah hingga masa pemerintahan Sultan Mahmud
Jayo Wikramo.
Press.h. 115—116
125 Lukito Ratno 1998 Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, h. 77
126 Kartodirdjo, Sartono, Sejarah nasional Indonesia II, Depatemen Pendidikan dan Kebudayan, Jakarta 1975, h.2
127 Amin, M. Ali. 1986. "Sejarah Kesultanan Palembang Darsussalam dan Beberapa Aspek Hukumnya”, h.64
34 128 Nurasiah, Pelaksanaan dan Pengamalan Hukum Keluarga Islam dalam Undang-Undang Simboer Tjahaya,
Jurnal Penelitian: Medan Agama, Edisi 17, Desember 2016, h.529
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesultanan-kesultanan di Sumatra
yang terbentang dari tahun 840 sampai tahun 1903 telah eksis dalam sejarah
kehidupan di Kepulauan Sumatra dan Indonesia umumnya. Negara-negara yang
berbentuk kerajaan atau kesultanan tersebut layak dan memenuhi syarat disebut
sebagai negara islam, baik sesuai syarat syar’i yaitu adanya pemimpin muslim
dan hukum islam yang diberlakukan ataupun syarat ilmiah yang diakui dunia
international kontemporer dengan adanya penduduk, wilayah, kedaulatan dan
kapasitas atau kemampuan berhubungan dengan negara lain.
Selain negara-negara yang telah di bahas dalam tulisan ini, masih ada beberapa
negara atau kerajaan yang eksistensinya diakui oleh para ahli sejarah, diantaranya;
(1) Kerajaan Deli yang berada di bagian timur pulau Sumatra (didirikan tahun 1630
M) dan berubah menjadi Kesultanan Islam tahun 1814 M, (2) Kesultanan Jambi
(1690-1901 M.), (3) Kesultanan Lingga-Riau (didirikan tahun 1824 M), (4) Kesultanan
Minangkabau (abad ke-13 s.d. 17 M), Kesultanan Barus (abad ke-6) dan lain-lain.
Hampir dapat dipastikan bahwa semua kepala negara atau raja pada negara-
negara tersebut di atas adalah seorang muslim. Adapun berlakukannya hukum
Islam pada negara-negara tersebut berbeda-beda pada setiap negara, hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Agama Islam dijadikan agama negara sejak rajanya masuk Islam maupun
didirikannya kerajaan tersebut bersendikan Islam (seperti Samudera Pasai).
2. Hukum Islam diberlakukan secara positif sebagai hukum negara, sekalipun
pada beberapa negara atau Kesultanan ada yang melaksanakan dengan tidak ketat.
A.C. Milner mengatakan bahwa diantara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara,
Kerajaan Aceh di Sumatra dan Kesultanan Banten di Jawa yang melaksanakannya
secara ketat, baik dalam masalah perdata dan pidana.130 Namun dalam masalah
hukum keluarga, seperti nikah, talak, dan rujuk dilaksanakan secara merata di seluruh
negara/kesultanan Islam di Sumatra. Perbedaan pelaksanaan hukum Islam pada
kerajaan dan kesultanan Islam hanya terlihat dalam konteks pelaksanaan hukum
pidana. Pada kerajaan atau kesultanan tertentu, hukum-hukum pidana ada yang
masih mengikuti hukum adat atau hukum adat dipadukan dengan hukum Islam,
terutama kasus-kasus yang tidak secara jelas diatur oleh hukum Islam.131
132 Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh,”
dalam A. Hasymy (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan Prasaran pada
Seminar di Aceh) (Cet. III; Bandung: Al-Ma’arif, 1993) , h. 414.
133 Ibid., h. 428.
134 A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi dan Konflik (Ed. I; Cet. I;
36 Jakarta: Yayasan Obor, 2003), h. 58.
135 Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 137 dan 166-167
SYAMINA Edisi 16 / Nopember 2017
DAFTAR PUSTAKA
A. Christie, “An Obscure Passage from the Periplus”, BSOAS, 19, 1957
A. Hasymy (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan
Prasaran pada Seminar di Aceh) (Cet. III; Bandung: Al-Ma’arif, 1993)
A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi dan
Konflik (Ed. I; Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor, 2003),
Akhwan Mukarrom, Kerajaan-Kerajaan Islam Indonesia (Surabaya : Jauhar, 2010),
Allen & Unwin, Cleary, Mark; Kim Chuan Goh (2000). Environment and development
in the Straits of Malacca. Routledge.
Amin, M. Ali. 1986. “Sejarah Kesultanan Palembang Darsussalam dan Beberapa
Aspek Hukumnya”,
Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh (Leiden:
Koninklijke Brill NV, 2004)
Anthony Reid, Southeast Asia in Th Age of Commerce 1450-1680 terj. R.Z. Leirissa
(Jakarta: Obor, 1998),
Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam Nusantara abad XIV-XIX M, Penerbit
Kencana Jakarta 2016,
Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor,
1989),
Azyumardi Azra, Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII
dan XVIII. Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Boedani Djavid, Tambo Kerajaan Sriwidjaja, (Bandung: Terate, 1961),
Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia terj. Laddy
Lesmana dkk. (Jakarta: KPG, 2011),
Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt
Society, 2 vols,
Djoko Surjo, dkk, Agama dan Perubahan Sosial: Studi Tentang Hubungan Antara
Islam, Masyarakat, dan Struktur Sosial-Politik Indonesia (Yogyakarta: LKPSM,
2001),
Dudung Abdurrahman dkk. Sejarah Peradaban Islam: Dari Klasik Hingga Modern
(Yogyakarta: LESFI, 2002),
Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam
bagian “Dunia Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002
37
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
Marie France Dupoizat, “Keramik Cina dari Barus dan Timur Dekat: Persamaan,
Perbedaan, dan Kesimpulan Awal” dalam Claude Guillot (ed.), Lobu Tua
Sejarah Awal Barus (Jakarta: Obor, 2002)
Michael Francis Laffn. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: Th Umma Below
Th Wind (New York: Routledge, 2003),
Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cet.5, (Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983)
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1 (Medan: Waspada, 1981)
Mohd. Jamil Mukmin, Melaka Pusat Penyebaran Islam di Nusantara (Kuala
Lumpur: Murni Interprise, 1994)
Muhammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah : Abad Ke-13 Sampai Awal
Abad Ke-16, Depdikbud Jakarta 1997
Muhammad Yusoff Hashim Ph.D, Kesultanan Melayu Malaka, Kuala Lumpur 1990
Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Ed. I; Cet. I; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005),
N.J. Krom, Sumateraanse Periode, (Leiden: Chiedenis, 1919),
Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam, Sejarah Dan Warisan Budayanya,
Jember University Press, Jember 2016
Nodin Hussin, geograf dan Perdagangan: Kepentingan Selat Melaka kepada
Perdagangan Dunia, Asia dan Dunia Melayu 1700-1800, Jurnal Akademika
Pusat pengajian Sejarah Politik dan strategi Fakulti Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia. Mei 2008
Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia (lAIN Press, Medan,
2000)
Nurasiah, Pelaksanaan dan Pengamalan Hukum Keluarga Islam dalam Undang-
Undang Simboer Tjahaya, Jurnal Penelitian: Medan Agama, Edisi 17, Desember
2016,
Nurrohman, dkk, Politik Formalisasi Syariat Islam dan Fundamentalisme: Kasus
Naggroe Aceh Darussalam, dalam Istiqra’, (Jakarta: Direktorat Peguruan
Tinggi Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama Republik
Indonesia, 2002),
Oliver William Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca,
New York, 1967
Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia
and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960
39
Edisi 16 / Nopember 2017 SYAMINA
Paul van T Veer. Perang Aceh Kisah kegagalan Snouck Hourgronje, terjemahan buku
berhasa Belanda De Atjeh-Oorlog, Grafiipers Jakarta 1985
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (Yogyakarta: Kanisius,
1973),
R.H.M Akib, Sejarah Palembang, (Palembang: Pidato Dies. APDN, 1969),
Ricklefs, M.C., (1991), A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition,
Stanford University Press,
Ricklefs, Merle C. (2001). A history of modern Indonesia since c. 1200. Stanford
University Press
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011
Said, Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, 1961
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emperium
Sampai Imperium (Jakarta : PT Gramedika Pustaka Utama, 1993),
Satyawati Suleiman, Concise Ancient History of Indonesia, The Archaelogical
Foundation, Jakarta, 1974
Seyyed Hossein Nasr, Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban (Surabaya: Risalah
Gusti, 2003),
Taufiq Abdullah (ed.), Sejarah Sosial Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 1991),
Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam, Luzac, London, 1935
Tome Pires, Suma Oriental, Penerbit Ombak Yogyakarta, cet ke-3 2016
Uka Tjandrasasmita, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan
dan Penyebaran Islam, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
Wicks, R. S., (1992), Money, markets, and trade in early Southeast Asia: the development
of indigenous monetary systems to AD 1400, SEAP Publications
Wink, André (2004). Indo-Islamic society, 14th-15th centuries. BRILL
Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di
Nusantara, Yayasan Obor Indonesia
40