Anda di halaman 1dari 22

PEMERINTAHAN

ISLAM
DAN NEGARA
MODERN
K.MUSTAROM
SYAMINA

PEMERINTAHAN ISLAM DAN


NEGARA MODERN
K. Mustarom

Laporan
Edisi 8 / Juni 2018

ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,


kirimkan e-mail ke:
lk.syamina@gmail.com
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Pemerintahan Islam dan Negara Modern — 7
Modernitas Sebagai Pengalaman Unik Barat — 9
Syariat, Sistem yang Telah Dirusak — 11
Berpikir Di luar Kotak "Negara Islam Modern" — 13
Pentingnya Keanekaragaman Fikih — 16
Sifat Otoritas Siyasah — 18
Kesimpulan — 22
DAFTAR PUSTAKA — 22

3
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

EXECUTIVE SUMMARY

M
asa pasca kolonialisme telah melahirkan tradisi dan perkembangan
hukum yang baru di negara-negara atau masyarakat Islam. Yang terjadi
adalah negara-negara tersebut mengadopsi sistem hukum Barat dan
menggeser dominasi syariat yang sebelumnya kuat.
Modernitas yang ditandai dengan lahirnya konsep negara-bangsa dalam konteks
negara-negara Muslim pasca-kolonialisme telah merenggut naturalitas syariat
sebagai entitas hukum agama yang dibangun atas landasan berfikir otonom dari
kalangan ahli hukum agama. Modernitas negara-bangsa, menurut Wael Hallaq, telah
merampas dan memangkas dinamika syariat sebagaimana yang tampak pada masa
sebelum negara-negara Islam jatuh dalam kontrol dan dominasi Barat pada abad 18
hingga paruh pertama abad 20.

Hingga awal abad ke-19 dan selama 12 abad sebelum itu, ajaran hukum dalam
Islam, Syariat, telah berhasil dengan baik dalam berinteraksi dengan hukum adat

4
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

dan juga praktek-praktek adat lokal, dan sekaligus muncul sebagai kekuatan moral
dan hukum yang mengatur masyarakat dan pemerintahan dalam Islam. “Hukum”
ini telah menjadi paradigma, diterima sebagai satu sistem yang amat dijunjung dan
juga sebagai norma bagi kehidupan masyarakat sekaligus sebagai kekuatan yang
dinamis yang mengatur kehidupan mereka. Hukum itulah yang melahirkan sekaligus
memelihara “masyarakat Islam yang baik dan teratur.”

Namun demikian, sejak awal abad ke-19, dan di tangan para penjajah Eropa,
sosial-ekonomi dan sistem politik yang sebelumya diatur berdasarkan Syariat secara
struktur mulai hancur berantakan, yang berarti bahwa Syariat telah tercerabut dan
juga dibatasi hingga tidak lebih hanya sekedar menyediakan bahan-bahan mentah
dalam pengaturan status keluarga yang telah mulai diatur  berdasarkan hukum
negara-modern.
Secara historis, pasukan Eropa membongkar sistem hukum dan politik yang
sudah ada di wilayah mayoritas Muslim, dan menggantikannya dengan kode hukum
dan sistem peradilan ala negara-bangsa Eropa.
Saat ini, negara-negara mayoritas Muslim di seluruh dunia memiliki sistem
hukum (dan banyak hukum substantif) yang jika ditelusuri dibentuk selama era
kolonial.
Kolonialisme Eropa tidak akan sepenuhnya mampu menguasai wilayah Islam
selama abad ke-19 tanpa dimulai dengan menghancurkan struktur ekonomi, dan
struktur-struktur ini hingga batas-batas yang cukup dalam didasarkan pada aturan-
aturan, hukum, dan nilai-nilai Syar’i.
Ini merupakan satu alasan penting mengapa proyek kolonialisme menekankan
pentingnya pengeluaran Syariat, sebab Syariat telah dipandang menjadi satu
penghalang serius dalam ekspansi politik Eropa dan, lebih penting dari semuanya,
dominasi ekonomi.
Penghalang nyata yang dipahami ini menyimpulkan realita yang ada, sebab hal
itu menjelaskan tidak sejalannya Syariat, sebagai satu sistem moral, dengan cara-
cara dan nilai-nilai kapitalisme modern.
Negara dan dunia yang melahirkan negara itu menurunkan status moral
menjadi sekedar persoalan sampingan. Dalam ungkapan sederhana, domain sentral
kolonialisme adalah ekonomi dan politik, bukan moral. Dan karenanya ekonomi
dan politik tetap menjadi domain sentral modernitas dan juga globalisasinya yang
terus berkembang.

Penempatan nilai-nilai moral pada posisi yang rendah dan sekaligus


pemisahannya dari sains, ekonomi, hukum, dan juga lainnya telah menjadi inti
dan esensi proyek modern, yang kemudian membuat kita melalaikan kemiskinan,

5
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

disintegrasi sosial, dan juga hancur binasanya bumi, dalam arti ekploitasi materi dan
juga nilai-nilai mulia.

Kesulitan besar bagi umat Islam saat ini dalam bidang politik, hukum, dan
budaya berasal dari kontradiksi antara aspirasi moral dan budaya mereka, di satu
sisi, dan realitas moral dunia modern di sisi lain.

Orang-orang Muslim saat ini mendapati diri mereka terjebak di tengah konflik
besar antara apa yang dikatakan agama mereka kepada mereka untuk berjuang
secara moral, dan apa yang diminta negara secara politis.

Dalam negara modern, negara ‘adalah agen tertinggi’ yang memiliki kedaulatan
tertinggi dan ucapan akhir. Ini bertolakbelakang dengan tata pemerintahan Islam
yang ‘tidak mengizinkan kedaulatan lain selain kedaulatan Tuhan’. Negaralah yang
meratifikasi kehendak ilahi, bukan sebaliknya’. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa
‘negara berdiri sebagai tuhan-nya tuhan’ atau mengambil langkah lebih jauh, ‘tidak
ada tuhan selain negara’.
Bagi sebagian besar umat Islam saat ini, Syariat tetap menjadi sumber ajaran
agama sekaligus sumber kekuatan moral. Namun, umat Islam masa modern
dihadapkan pada tantangan untuk mampu merekonsiliasi dua kenyataan:

Pertama, kenyataan ontologis negara-modern dan juga kehadirannya yang


seolah-olah tidak dapat ditolak;

Kedua, kenyataan deontologi tentang keharusan untuk menghadirkan suatu


bentuk pemerintahan Syariat.
Namun, dalam upaya untuk mengislamisasi negaranya, gerakan politik Islam
tidak pernah menentang ide warisan kolonial Eropa dalam bentuk negara bangsa,
melainkan hanya mencoba membuat negara bangsa menjadi “Islami”. Bukannya
mencoba mencari alternatif model konstitusi, mereka justru menguatkan monisme
hukum, bahwa kekuasaan membuat penguasa memiliki otoritas untuk membuat
hukum tunggal.

6
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

PEMERINTAHAN ISLAM DAN


NEGARA MODERN

M
asa pasca kolonialisme telah melahirkan tradisi dan perkembangan
hukum yang baru di negara-negara atau masyarakat Islam. Yang terjadi
adalah negara-negara tersebut mengadopsi sistem hukum Barat dan
menggeser dominasi syariat yang sebelumnya kuat.
Modernitas yang ditandai dengan lahirnya konsep negara-bangsa dalam konteks
negara-negara Muslim pasca-kolonialisme telah merenggut naturalitas syariat
sebagai entitas hukum agama yang dibangun atas landasan berfikir otonom dari
kalangan ahli hukum agama. Modernitas negara-bangsa, menurut Wael Hallaq, telah
merampas dan memangkas dinamika syariat sebagaimana yang tampak pada masa
sebelum negara-negara Islam jatuh dalam kontrol dan dominasi Barat pada abad 18
hingga paruh pertama abad 20.
Hingga awal abad ke-19 dan selama 12 abad sebelum itu, ajaran hukum dalam
Islam, Syariat, telah berhasil dengan baik dalam berinteraksi dengan hukum adat
dan juga praktek-praktek adat lokal, dan sekaligus muncul sebagai kekuatan moral
dan hukum yang mengatur masyarakat dan pemerintahan dalam Islam. “Hukum”
ini telah menjadi paradigma, diterima sebagai satu sistem yang amat dijunjung dan
juga sebagai norma bagi kehidupan masyarakat sekaligus sebagai kekuatan yang
dinamis yang mengatur kehidupan mereka. Hukum itulah yang melahirkan sekaligus
memelihara “masyarakat Islam yang baik dan teratur.”
Namun demikian, sejak awal abad ke-19, dan di tangan para penjajah Eropa,
sosial-ekonomi dan sistem politik yang sebelumya diatur berdasarkan Syariat secara
struktur mulai hancur berantakan, yang berarti bahwa Syariat telah tercerabut dan
juga dibatasi hingga tidak lebih hanya sekedar menyediakan bahan-bahan mentah 7
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

dalam pengaturan status keluarga yang telah mulai diatur  berdasarkan hukum
negara-modern.
Bahkan dalam wilayah yang amat terbatas itupun, Syariat telah hilang otonomi
dan peran sosialnya diganti dengan hukum negara-modern; karena itu, Syariat
dibutuhkan hanya dalam wilayah yang amat terbatas, yakni aturan-aturan yang
dipandang terkait dengan aturan-aturan hukum menurut negara-modern—
meligitimasi aturan-aturan legislatif negara-modern.
Dimulai dengan Pakistan pada tahun 1947, beberapa negara di dunia modern
telah mengidentifikasi diri mereka sebagai "negara Islam". Klaim yang sama juga
dilakukan Islamic State (IS), yang menegaskan diri sebagai negara Islam.
Secara historis, pasukan Eropa membongkar sistem hukum dan politik yang
sudah ada di wilayah mayoritas Muslim, dan menggantikannya dengan kode hukum
dan sistem peradilan ala negara-bangsa Eropa.
Saat ini, negara-negara mayoritas Muslim di seluruh dunia memiliki sistem
hukum (dan banyak hukum substantif) yang jika ditelusuri dibentuk selama era
kolonial. Mesir, Iran, Pakistan, Nigeria, dan Malaysia adalah contohnya.
Transformasi ini telah menciptakan masalah mendasar bagi siapa pun yang
tertarik dalam memahami pemerintahan Islam.
Bagi sebagian besar umat Islam saat ini, Syariat tetap menjadi sumber ajaran
agama sekaligus sumber kekuatan moral. Sementara itu, sebagian “penguasa
Muslim” telah mengadopsi satu kebijakan yang justru keluar dari Syariat dan
secara terbuka mereka mengabaikan hukum-hukum prosedur dan hukum-hukum
komunal—seperti hukum potong tangan dan hukum rajam, padahal individu Muslim
terus menjadikan Syariat sebagai sumber spiritual, hubungan dengan Tuhan, dan
sekaligus sebagai sarana mendidik diri.
Umat Islam saat ini, termasuk para intelektualnya, telah mengadopsi begitu saja
konsep negara modern (taken for granted), dan menerima serta memandangnya
sebagai realitas yang alami. Mereka seringkali meyakini bahwa negara-modern itu
telah berjalan lama sepanjang sejarah umat Islam, bahkan mereka juga meyakini
bahwa hal tersebut didukung oleh ajaran suci al-Qur’an.
Mereka juga berargumen bahwa paham nasionalisme, yang sebenarnya tidak
dikenal dalam Islam bahkan jelas-jelas merupakan bagian penting dari konsep
negara-modern, dikatakan justru diperkenalkan oleh Konstitusi Suci Islam dan juga
sudah mulai dikonsep sejak lahirnya Konstitusi Madinah 14 abad yang lalu.
Mereka (umat Islam masa kini) juga memandang bahwa umat Islam masa awal
juga telah mengembangkan konsep-konsep seperti kewarganegaraan, demokrasi,
dan juga hak memilih dan dipilih.
Berbeda dengan para ahli teori globalisasi dan juga para ilmuwan tentang negara-
modern, yang mempersoalkan keberlanjutan konsep negara modern tersebut, para
pemikir Islam dan juga para sarjananya justru menerima begitu saja konsep negara-
modern (taken for granted) dan, konsekuensinya, memandang negara-modern
8
sebagai fenomena yang akan terus berlangsung (timeless).
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

Modernitas Sebagai Pengalaman Unik Barat


“Modern” digunakan merujuk pada modernitas, sebuah pengalaman khas
Eropa. Modern bukan berarti “kontemporer”. Negara modern merupakan puncak
dari pengalaman budaya dan sejarah yang unik milik Eropa.
Negara modern Eropa ini kemudian dipaksakan ke negara lain melalui dominasi
kolonialisme yang kejam. Koloni-koloni ini tidak memiliki konteks historis yang
membuka jalan bagi keberhasilan negara modern di Eropa. Akibatnya, saat ini kita
mendapati negara-negara ini sebagai negara “lemah”, “terbelakang”.
Para kaum elite nasionalis pos-kolonial mempertahankan struktur-struktur
kekuasaan yang mereka warisi dari pengalaman kolonial dan, sesuai dengan
kelaziman dan setelah menikmati apa yang disebut dengan kemerdekaan bagi
negeri-negeri Muslim, mereka melanjutkan secara agresif kebijakan-kebijakan
kolonial yang sebenarnya mereka lawan selama periode kolonial. Mereka mewarisi
dari Eropa konsep negara-bangsa (nation-state) yang telah siap diimplementasikan
(ready made), termasuk struktur-struktur kekuasaan yang telah ada, tanpa penyiapan
secara baik formasi-formasi sosial sesuai tuntutan yang ada.

Yang tersisa pasca kolonialisme adalah bentuk pemerintahan sintetis, yang


asing bagi masyarakat Muslim pribumi, yang secara brutal dipertahankan oleh elit
nasionalis didikan Barat.

Sekularisme dihadirkan sebagai capaian kunci dari pembentukan budaya Barat.


Klaim manfaatnya dibagi menjadi tiga:

1. Tanpa sekulerisme tak ada kemajuan ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya
akan membawa pada kemajuan teknologi. Sekulerisme mendelegitimasi
klaim otoritas agama untuk mengendalikan produksi ilmu pengetahuan,
menolak klaim yang ditemukan dalam narasi suci dengan lebih
mengedepankan sains.
2. Sekulerisme diklaim sebagai sistem yang dibutuhkan untuk memastikan
terciptanya keharmonisan di masyarakat, mencegah terjadinya konflik
agama. Dengan membatasi agama hanya pada ranah pribadi, sekulerisme
mencegah perbedaan pandangan agama sebagai sumber konflik yang akan
melanda masyarakat.
Sekulerisme memberikan prakondisi yang dibutuhkan bagi penerapan
demokrasi. Ia menolak kehadiran Tuhan dalam kekuasaan, atau kehadiran mereka
yang merepresentasikan diri membawa misi Tuhan. Dengan demikian, sekulerisme
membantu tetap menjaga ruang kekuasaan kosong dari Tuhan. Penyingkiran Tuhan
membuat ruang kekuasaan bisa dikosongkan. Mereka mengklaim bahwa demokrasi
adalah pemerintahan yang pada dasarnya berdasarkan ide tentang “kedaulatan
rakyat”, tak peduli bagaimana ide ini diekspresikan dalam realita. Contoh, di Inggris
parlemenlah yang berdaulat, bukan rakyat, meski kekuasaan parlemen didapat dari
rakyat). Kedaulatan rakyat menyingkirkan ide tentang adanya kedaulatan Tuhan.
9
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

Klaim manfaat tersebut pada akhirnya membantu mendefinisikan modernitas


itu sendiri. Jika kita bicara modernitas, tentu saja, kita akan mendapati tentang narasi
eksepsionalitas Barat. Karenanya, sekulerisme menjadi penanda dari identitas Barat.
Islam, sebagai agama yang tidak hanya mengatur persoalan pribadi namun juga
sosial, pada akhirnya menjadi hambatan terbesar bagi sekulerisme dan modernitas
itu sendiri. Pergeseran dari Barat menuju Islam pun akan meruntuhkan klaim
universalitas sekulerisme. Sejarah Barat dan Islam punya pendapat yang berbeda
tentang kebutuhan akan sekulerisme. Ketiga manfaat di atas dan relevansinya
bagi umat Islam pun bisa ditantang dengan berfokus pada pengalaman otonom
pembentukan budaya Islam, yang dibentuk sebelum kolonialisme melingkupi planet
ini.
Masalah klaim sekulerisme adalah seringkali ia dilakukan melalui wacana Barat,
dan seolah sejarah perkembangan Barat dianggap memiliki relevansi universal.
Sekulerisme di Barat tidak dilihat sebagai perkembangan yang muncul dari sejarah
spesifik Barat, tapi justru dianggap sebagai kondisi yang diperlukan yang muncul
dari lembaran sejarah itu sendiri. Sekulerisme pun dianggap sebagai tahap penting
yang harus dicapai oleh semua budaya jika mereka ingin maju menuju modernitas.
Kasus Galileo Galilei menjadi contoh konflik antara sains dan gereja. Tidak ada
masalah serupa dalam sejarah Islam.
Dalam kasus bahwa sekulerisme diperlukan demi hadirnya perdamaian di
masyarakat banyak didasarkan pada narasi yang muncul dari pengalaman Eropa
saat perang Reformasi dan Kontrareformasi, yang berujung pada hubungan antara
perdamaian sipil dengan depolitisasi agama. Padahal, tidak ada analogi langsung
perang sektarian dengan intensitas dan skala semacam itu dalam sejarah Islam.
Karenanya, ide bahwa perdamaian akan tercapai jika agama hanya dimasukkan
dalam ranah privat tidak bisa dibaca dalam sejarah Islam.
Trauma Barat atas sejarah mereka sendiri diproyeksikan terhadap Islam. Padahal
Islam tidak memiliki masalah serupa. Bahkan dalam sejarah pemerintahan Islam,
banyak sekali kasus yang menunjukkan perlindungan yang diberikan kepada umat
non-Islam, dari Nasrani hingga Yahudi.
Kasus ancaman kelompok Kristen dan Hindu untuk memisahkan diri dari
Indonesia jika Islam berkuasa menunjukkan hal tersebut. Ketakutan terhadap siksaan
yang mereka dapatkan dalam konflik “internal” agama mereka dicitrakan terhadap
Islam.
Sebaliknya, sejarah menunjukkan yang berbeda. Mundurnya agama dari ranah
publik dalam sejarah Islam seringkali justru berhubungan dengan runtuhnya
perdamaian di masyarakat. Tatanan sekuler yang di Turki yang banyak dipuji,
contohnya, dipaksakan dari atas ke bawah, terhadap masyarakat yang sudah letih
dengan perang. Sekularisme Turki bukanlah atas kehendak rakyat Turki, tapi
merupakan proyek Westernisasi yang otoriter yang dilakukan oleh kaum Kemalis.
Sekularisme dalam konteks masyarakat Islam seringkali bermakna deislamisasi,
dan dalam kebanyakan kasus justru dipaksakan oleh para kolonial, rezim komunis
10
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

atau Kemalis. Proyek tersebut pun bukannya mengurangi tapi justru meningkatkan
konflik sosial.
Secara empirik, skala dan intensitas kekerasan di negara Muslim yang dikuasai
oleh rezim sekuler justru menunjukkan bahwa sekulerisme tidak otomatis
berhubungan dengan terciptanya perdamaian masyarakat.
Coloniality jangan hanya dipahami sebagai kolonialisme, tapi justru sebagai
logika mentalitas pemerintahan yang menyokong bentuk spesifik dari kolonialisme
sejarah dan terus membentuk hirarki yang membedakan antara Barat dan non-Barat.
Menjadi manusia diartikan menjadi Barat, dan karenanya kondisi tidak menjadi
Barat dianggap perlu diubah. Sekularisme disebarkan oleh AS dan plutokrasi Barat
lainnya dengan pandangan keutamaan Barat dibanding non-Barat. Keutamaan
tersebut diartikulasikan secara filosofi maupun geopolitik, serta dibela secara
ekonomi, budaya, dan tentu saja militer.

Syariat, Sistem yang Telah Dirusak


Kolonialisme Eropa tidak akan sepenuhnya mampu menguasai wilayah Islam
selama abad ke-19 tanpa dimulai dengan menghancurkan struktur ekonomi, dan
struktur-struktur ini hingga batas-batas yang cukup dalam didasarkan pada aturan-
aturan, hukum, dan nilai-nilai Syar’i.
Ini merupakan satu alasan penting mengapa proyek kolonialisme menekankan
pentingnya pengeluaran Syariat, sebab Syariat telah dipandang menjadi satu
penghalang serius dalam ekspansi politik Eropa dan, lebih penting dari semuanya,
dominasi ekonomi.
Penghalang nyata yang dipahami ini menyimpulkan realita yang ada, sebab hal
itu menjelaskan tidak sejalannya Syariat, sebagai satu sistem moral, dengan cara-
cara dan nilai-nilai kapitalisme modern.
Modernitas dan konsep negaranya tidak mungkin dan tidak dapat menerima
Syariat berdasarkan istilah dan maknanya sendiri, sebab istilah-istilah ini merupakan
sangat bersifat moral dan egaliter, sementara negara dan dunia yang melahirkan
negara itu menurunkan status moral menjadi sekedar persoalan sampingan.
Dalam ungkapan sederhana, domain sentral kolonialisme adalah ekonomi dan
politik, bukan moral.
Dan karenanya  ekonomi dan politik tetap menjadi domain sentral modernitas  dan
juga globalisasinya yang terus berkembang.
Penempatan nilai-nilai moral pada posisi yang rendah dan sekaligus
pemisahannya dari sains, ekonomi, hukum, dan juga lainnya telah menjadi inti
dan esensi proyek modern, yang kemudian membuat kita melalaikan kemiskinan,
disintegrasi sosial, dan juga hancur binasanya bumi, dalam arti ekploitasi materi dan
juga nilai-nilai mulia.

11
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

Kesulitan besar bagi umat Islam saat ini dalam bidang politik, hukum, dan
budaya berasal dari kontradiksi antara aspirasi moral dan budaya mereka, di satu
sisi, dan realitas moral dunia modern di sisi lain.
Orang-orang Muslim saat ini mendapati diri mereka terjebak di tengah konflik
besar antara apa yang dikatakan agama mereka kepada mereka untuk berjuang
secara moral, dan apa yang diminta negara secara politis.
Misal, istilah “miskin” dalam al-Qur’an dan dalam kehidupan sosial dan ekonomi
umat Islam bukan merupakan sekadar data statistik dan data ilmiah semata. Dalam
makna hakiki dari istilah “miskin” dan “kemiskinan,” nilai-nilai yang bersifat inheren
menyangkut hak untuk membantu, mendukung, dan memberi kemurahan, ketiganya
saling terikat secara berkelindan dan menyatu secara erat kedalam kenyataan berupa
kemiskinan.
Dalam kosa-kata dan kategori konseptual pemerintahan Islam, tidak dikenal
istilah “miskin” yang dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral, bukan hanya
menyangkut hak orang miskin untuk dibantu, tetapi juga kewajiban yang sama yang
dbebankan kepada mereka yang bisa melakukan hal itu.
Negara modern tidak peduli dengan bagaimana seharusnya akhlak rakyatnya.
Negara modern hanya peduli pada bagaimana mereka harus bersikap sebagai warga
negara yang efisien untuk melayani kepentingan ekonomi dan keamanan negara.
Bukan tugas negara untuk membuat kita menjadi baik. Tugas negara sudah
terpenuhi secara maksimal melalui pendidikan nasionalisme, untuk menciptakan
warga negara yang efisien dan produktif, subjek “hukum dan aturan” yang siap
mati untuk negaranya. Obyek negara modern diproduksi oleh negara dan didorong
kedalam kompetisi ekonomi dan keuntungan.
Dalam Islam, Muslim juga mencari kekayaan, namun mereka masih berkomitmen
pada tanggungjawab sosial. Bagi seorang Muslim, ada yang lebih penting dari sekadar
keuntungan material, yaitu kehormatan dan kedekatan dengan Tuhan.
Dalam pemerintahan Islam, tidak boleh ada kebebasan yang memperbolehkan
kompromi dengan aturan-aturan yang ditentukan otonomi moral. Jika moralitas
yang bersifat transenden mengatur agar kita memberi perhatian terhadap kaum
papa dan kaum lemah, juga mengatur tentang hak-hak alami bagi keduanya dalam
harta si kaya, maka tidak boleh ada kegiatan ekonomi atau prinsip kapitalis yang
membolehkan untuk melanggar ketentuan yang dimaksud.
Jika moralitas menentukan pentingnya perbuatan baik seseorang pada orang
lain, maka tidak boleh ada kalkulasi politik atau keilmuan apapun yang membolehkan
pengurangan akan kepentingan orang lain dengan pertimbangan apapun, sehingga
membuat mereka kelaparan atau menempatkannya di tempat yang membahayakan
dirinya, semata-mata atas nama ilmu dan rasionalitas.
Dalam negara modern, negara ‘adalah agen tertinggi’ yang memiliki kedaulatan
tertinggi dan ucapan akhir. Ini bertolakbelakang dengan tata pemerintahan Islam
yang ‘tidak mengizinkan kedaulatan lain selain kedaulatan Tuhan’. Negara-negara
12 di Timur Tengah yang mengklaim diperintah oleh Syariah, justru telah menipu
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

diri mereka sendiri dan rakyatnya. Karena, jika Tuhan merupakan satu-satunya
penguasa—yakni, jika Tuhan menjadi sumber utama otoritas moral, maka sistem
apapun yang mengatur perilaku manusia harus mengatur norma-norma umum dan
aturan-aturan serta regulasi-regulasi teknis yang berasal dari prinsip-prinsip moral
yang lebih tinggi.
Bahkan, kalaupun kita berasumsi bahwa apa yang disebut “negara-negara Islam”
ini menerapkan Syariat, mereka hanya melakukan ‘pilihan negara’ dan ‘sebagai
ekspresi kehendaknya’. Dengan kata lain, ‘negaralah yang meratifikasi kehendak
ilahi, bukan sebaliknya’. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa ‘negara berdiri sebagai
tuhan-nya tuhan’ atau mengambil langkah lebih jauh, ‘tidak ada tuhan selain negara’.
Bagi para Muslim hari ini, mengadopsi sistem negara-modern tentang pemisahan
kekuasaan berarti menukar sesuatu yang telah menyelamatkan mereka selama
berabad-abad untuk sesuatu yang sebenarnya lebih bersifat inferior.
Konsep modern merepresentasikan kekuasaan dan kebebasan negara, dan akan
terus bekerja untuk keberadaan dan kepentingan dirinya. Secara kontras, Syariat
tidak melayani penguasa atau bentuk apapun dari kekuasaan politik, sebab syariat
memang tidak dimaksudkan untuk itu.
Syariat melayani rakyat, masyarakat luas, orang miskin, mereka yang
diperlakukan tidak adil, para pejalan kaki dengan tanpa mengurangi manfaat yang
harus diperoleh para pedagang dan lainnya. Dalam keadaan demikian, hal tersebut
bukan hanya secara mendalam bersifat demokratis tetapi juga manusiawi yang tidak
dikenal dalam negara-modern dan hukumnya.

Berpikir di Luar Kotak "Negara Islam Modern"


"Negara Islam", dalam benak aktivis Islam politik, dimulai dengan pemerintah
pusat sebagai lokasi semua otoritas hukum dan penjaga ortodoksi masyarakat.
Advokasi politik Islam biasanya berfokus pada cara-cara untuk membawa syariah
ke dalam hukum negara modern, biasanya melalui perundang-undangan dan
amandemen konstitusional. Hal ini membawanya ke dalam pertempuran sengit
dengan kekuatan sekuler yang ingin mengendalikan ruang politik yang sama. Islamis
dan sekularis keduanya berjalan dengan praduga monisme hukum, ketika semua
hukum dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Gerakan Islam politik (juga disebut "Islamisme") bekerja untuk "Islamisasi"
negara mereka. Mereka sering mendukung "undang-undang syariah" dan ketentuan-
ketentuan konstitusional yang memerlukan syariah untuk menjadi sumber hukum
dan pemeriksaan terhadap tindakan negara. Mereka menginginkan, sebagaimana
tercermin dalam jajak pendapat,1 diterapkannya syariah sebagai "hukum negeri" di
negara-negara mayoritas Muslim di seluruh dunia. Sebagai tanggapan, kelompok
sekuler menentang legislasi syariah, dengan alasan bahwa Islamisasi mengancam
hak- hak individu. Dengan demikian tidak mengherankan bahwa ketegangan yang
kuat antara kekuatan kaum sekuler dan Islam meliputi kehidupan sosial dan politik di

1 Lihat, misalnya Pew Forum tentang Religion and Public Life, The World’s Muslims: Religion, Politics and Society 13
(2013), tersedia di www.pewforum.org/the-worlds-muslims-2013.
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

banyak negara mayoritas Muslim, terutama pada isu-isu yang sangat dipublikasikan
seperti hak-hak perempuan dan kebebasan berekspresi dan beragama.
Sejauh ini, pendekatan yang paling populer untuk menyelesaikan ketegangan ini
adalah dari kalangan Islam "liberal". Para pelaku sosial dan politik yang mengikuti
pendekatan ini mendesak pemerintah Muslim untuk mengadopsi interpretasi syariah
yang liberal dan modern, bukan yang tradisional dan konservatif yang bertentangan
dengan norma-norma global, sebagai cara untuk menjembatani antara keinginan
Muslim untuk bersyariah dengan keprihatinan sekuler akan hak-hak individu.2
Strategi ini sangat populer karena menawarkan argumen “Islami“ untuk
kesetaraan gender, kebebasan berekspresi, dan norma-norma global lainnya dari
hak-hak sipil. Namun resolusi syariah liberal dari pertentangan antara kaum Islam
versus sekularisme dapat berumur pendek. Tidak peduli seberapa persuasif argumen
dibuat oleh negara untuk mengadopsi interpretasi syariah liberal yang meneguhkan
hak asasi manusia, tidak ada alasan yang meyakinkan untuk memaksa orang lain
agar setuju.
Pendukung Islam liberal di negara tertentu mungkin berpikir bahwa mereka telah
memberlakukan secara kokoh, misalnya, interpretasi syariah dari hukum keluarga
yang memberdayakan wanita, namun mereka mungkin akan mendapati bahwa
pemilu akan menghasilkan mayoritas politik baru yang meloloskan undang- undang
baru berdasarkan interpretasi syariah yang lebih ketat tentang hak-hak perempuan.
Singkatnya, solusi politik berdasarkan Islam liberal pada akhirnya tidak memuaskan
bahkan untuk Muslim liberal sendiri karena membiarkan perlindungan hak rentan
terhadap pergeseran mayoritas politik.
Selain itu, konsekuensi sosial dan politik dari fenomena ini dapat menghancurkan
bagi semua orang. Hal ini dapat mengubah badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di
negara-negara Muslim menjadi ajang peperangan interpretasi syariah antara liberal
dan konservatif (dan segala sesuatu di antaranya). Masing-masing pihak berharap
pandangan pilihan mereka diterapkan untuk semua orang melalui kekuasaan
negara. Akibatnya, banyak negara mayoritas Muslim saat ini tampak ditakdirkan
mengulangi siklus tak berujung dari politik yang dimotivasi oleh agama. Dalam
menghadapi semua ini, kalangan sekuler ekstrem sepertinya terposisikan dengan
baik untuk berargumen bahwa satu-satunya jalan keluar adalah pemisahan lengkap
dan sepenuhnya agama dari negara.3
Namun bagaimana jika agama bukanlah masalahnya? Bagaimana jika siklus
politik agama ini disebabkan bukan oleh asosiasi Islam dengan negara, melainkan
oleh sifat dari negara itu sendiri? Untuk memahami intinya, kita harus melangkah
mundur sedikit untuk lebih memahami negara-bangsa yang menjadi sumber
pengambilan gambar politik ini. Negara-bangsa di seluruh dunia saat ini adalah
produk dari sejarah Eropa. Hal ini berpusat pada gagasan bahwa orang dengan

2 Ringkasan lengkap tentang advokasi Islam liberal jauh di luar cakupan makalah ini, tetapi pengenalan berguna
ke berbagai pemikiran Islam liberal dapat ditemukan dalam Liberal Islam: A Source Book (Charles Kurzman,
editor) (Oxford University Press, 1998).
14 3 Salah satu contoh di antaranya adalah Abdullahi Ahmed An-Na'im, Islam and the Secular State: Negotiating
the Future of Shari’a, Oxford University Press 2008
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

budaya dan etnis yang berbeda ("bangsa") membentuk kedaulatan teritorial terikat
yang memberikan legitimasi kepada kekuatan politik yang mengaturnya. Kekuasaan
politik ini ditandai dengan monisme hukum dan sentralisme hukum, yaitu gagasan
bahwa semua hukum berasal dari pemerintah pusat.
Model pemerintahan negara-bangsa Eropa diimpor ke dunia Muslim melalui
kolonialisme. Di negara-negara yang dijajah oleh kekuatan Eropa, sistem hukum
dan politik Islam sudah dirombak dan digantikan dengan aturan hukum dan sistem
peradilan nasional. Dengan kemerdekaan pada pertengahan abad kedua puluh,
negara-negara mayoritas Muslim baru di Saudi, Afrika, Asia, dan Eropa Timur
mempertahankan sebagian dari hukum dan sistem legal yang didirikan oleh mantan
penguasa Eropa mereka, yang kini terjalin menjadi infrastruktur sosial ekonomi
negara-negara tersebut.4 Di hampir setiap negara mayoritas Muslim, baik yang
benar-benar dijajah oleh kekuatan Eropa maupun tidak, sentralisme hukum negara-
bangsa Eropa menjadi norma.
Beberapa Muslim di negara-negara yang baru merdeka ini berusaha untuk
memperbaiki luka kolonialisme ini dengan mengorganisasi diri menjadi gerakan
sosial dan politik Islam. Namun, pekerjaan gerakan-gerakan Islam, dari perspektif
teori konstitusional Islam, lebih kepada "mengislamkan" pemerintah, bukannya
mempertanyakan rumus negara-bangsa Eropa. Mereka memusatkan upaya mereka
untuk membuat pemerintahan pusat "Islam." Seperti yang dikatakan Sherman
Jackson, "liberal atau tidak, pro atau anti-demokrasi, struktur dasar dari negara-
bangsa telah muncul sebagai standar sesungguhnya dari politik Islam modern.
Pertanyaan dasarnya sekarang bagi para pemikir politik dan aktivis Muslim bukanlah
tentang kelayakan negara-bangsa sebagai sebuah institusi, tetapi lebih kepada
apakah dan bagaimana negara-bangsa dapat atau harus diIslamisasi."5 Bahkan
mereka yang menyerukan untuk "negara Islam" tidak mengubah anggapan negara-
bangsa tentang monisme hukum. Berdasarkan perkataan Jackson, "negara Islam
adalah negara bangsa yang diatur oleh hukum Islam."6
Menurut Quraishi, cara pandang ini bisa berbahaya. Positivisme hukum monolitik
telah menyusutkan cakrawala konstitusional Muslim ke ranah sempit hukum negara,
yang berkontribusi pada monopoli kekuasaan yang berbahaya di pemerintahan
Muslim modern. Semua hukum di negara-negara tersebut kini didefinisikan oleh
negara, dan setiap hukum yang tidak dibuat atau disetujui oleh negara tidak memiliki
status hukum yang dapat diberlakukan bagi rakyat.7 Semakin dipaksakan bahwa
semua hukum berasal dari negara, semakin banyak orang dipaksa masuk ke arena

4 Lihat Wael Hallaq, An Introduction to Islamic Law (Cambridge University Press, 2009), 85-124 (Chapter 7,
“Colonizing the Muslim World and its Shari’a”).
5 Sherman Jackson, Islamic Reform Between Islamic Law and the Nation-State, dalam The Oxford Handbook of
Islam and Politics 42 (John L. Esposito & Emad El-Din Shahin, editors.) (Oxford University Press 2013).
6 Sherman Jackson, Islamic Law and the State: The Constitutional Jurisprudence of Shihab al-Din al-
Qarafi XIV (E.J. Brill 1996).
7 Untuk komentar tentang fenomena ini dalam diskusi pluralisme hukum, lihat Sherman Jackson, “Legal
Pluralism Between Islam and the Nation-State: Romantic Medievalism or Pragmatic Modernity?” 30 Fordham 15
International Law Journal 158 (2006-2007).
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

itu untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan undang-undang yang penting


bagi mereka—termasuk hukum agama.8
Ini adalah alasan yang melatarbelakangi pembuatan "undang-undang syariah."
Mengikuti anggapan bahwa pemerintah pusat mengendalikan semua hukum,
gerakan Islam secara konsisten meminta kepada badan pembuatan hukum negara
untuk secara resmi mengakui syariah—biasanya dalam bentuk melegalisasikannya.
Kaum Islam modern, kata Quraishi, mempertegas konsep negara-bangsa Eropa
yang menyatakan bahwa kekuasaan adalah yang memberi kewenangan hukum, dan
bahwa negara bertanggung jawab untuk menentukan konten substantif syariah di
negara-negara tersebut. Apa yang gagal dikenali oleh gerakan-gerakan ini adalah
bahwa, bukannya merestorasi syariah di tempat-tempat yang sudah menghapusnya,
proyek-proyek pembuatan hukum syariah ini telah secara fundamental mengubah
sifat keterlibatan syariah dengan masyarakat ini. Untuk memahami ini, kita perlu
meninjau beberapa teori hukum dasar dan sejarah Islam.
Monisme hukum merupakan atribut dari negara-bangsa Eropa, dibawa ke
sebagian besar negeri yang mayoritas Muslim melalui kolonialisme. Namun demikian,
gerakan negara Islam tampaknya senang berupaya untuk memengaruhi kekuasaan
negara daripada mencari cara untuk mendiversifikasi kekuasaan itu sendiri.

Pentingnya Keanekaragaman Fikih


Prinsip inti hukum Islam adalah bahwa syariah, Hukum Allah, tidak dapat
diketahui dengan pasti. Secara harfiah, Syariah berarti "jalan" atau "cara". Syariah
dalam Quran menunjukkan Jalan Allah yang sempurna—cara Allah menyarankan
manusia untuk hidup saleh. Jalan Allah ini dijelaskan dalam Al-Quran dan sunnah
Nabi Muhammad (SAW). Tapi tentu saja tidak semuanya jelas dijawab dalam kedua
sumber itu, jadi para ulama melakukan ijtihad (penalaran hukum yang setepat-
tepatnya) untuk memperhitungkan dari sumber-sumber panduan hidup yang lebih
rinci menurut syariah. Panduan ini datang dalam bentuk aturan-aturan hukum
terperinci yang disebut fikih (arti harfiahnya "pemahaman").
Teori pengetahuan (epistemologi) fikih itu penting. Pembuatan hukum fikih
terjadi dengan kesadaran akan falibilitasnya (kemungkinan bisa salah) sendiri.
Para ahli ulama fikih (fuqaha) mengakui bahwa pekerjaan ijtihad mereka adalah
usaha mendasar manusia yang selalu membawa kemungkinan adanya kesalahan.9
Penggunaan istilah "fikih"—secara harfiah berarti "pemahaman"—adalah

8 Asifa Quraishi-Landes, "Islamic Constitutionalism: Not Secular, Not Theocratic, Not Impossible," 16 Rutgers
Journal of Law and Religion 553, 2015.
9 Lihat Bernard Weiss, “Interpretation in Islamic Law: The Theory of Ijtihad,” 26 American Journal of
Comparative Law 199 (1978). Fuqaha dengan sangat serius mengambil hadits terkenal dari Nabi (SAW) bahwa
mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) dan tiba di jawaban yang benar akan menerima dua pahala dari
Allah, sedangkan mujtahid yang tiba di jawaban yang salah akan mendapatkan satu pahala dari Allah. Lihat
Sahih Bukhari 6919; Sahih Muslim 1716. Antara lain, makna hadits itu adalah bahwa, di sini dalam kehidupan
ini, setiap ahli ulama harus menghormati kesimpulan fikih dari ulama lainnya sebagai artikulasi syariah yang
16 berpotensi benar.
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

memberitahu. Secara linguistik ini menandakan bahwa setiap aturan aturan fikih
hanyalah pemahaman seorang ahli ulama terbaik dari Hukum Allah, tidak lebih.
Singkatnya, meskipun tugas mereka adalah untuk mengartikulasikan Hukum Allah,
fuqaha berhati-hati untuk tidak berbicara mewakili Allah.
Pembuatan hukum fikih didasarkan pada penerimaan dari ketidakmungkinan
mengetahui Hukum Allah dengan pasti, tapi bukanlah kesia-siaan untuk
mencobanya.10 Sikap yang secara bersamaan melemahkan dan menguatkan ini di
antara fuqaha mengakibatkan keragaman yang alami dan tidak dapat dihindari dari
ajaran fikih. Karena tidak ada cara untuk mengetahui dengan pasti kesimpulan fikih
mana yang benar (dan tidak ada "masjid" pemegang otoritas Islam yang menentukan
pilihan paling benar), semua aturan fikih dianggap sebagai pemahaman syariah yang
berlaku sama, meskipun sering bertentangan satu sama lain. Karena semakin banyak
ulama fikih menuliskan lebih banyak lagi peraturan fikih, muncul beberapa mazhab
yang dapat diidentifikasikan, masing-masingnya dengan metodologi yang berbeda
penafsiran (pernah berjumlah ratusan, masih ada sekitar lima yang dominan di dunia
saat ini).11 Singkatnya, bagi seorang Muslim, ada satu Hukum Allah, tetapi ada banyak
versi fikih dalam mengartikulasikan Hukum itu di bumi. Dengan demikian, realitas
nyata syariah di dunia bukanlah satu kode hukum monolitik, melainkan ajaran yang
berbeda dari banyak mazhab fikih, yang sama-sama merupakan perwakilan yang sah
dari Hukum Allah.
Dalam sistem Muslim pra-modern, penerapan fikih ditengahi melalui
keberagaman ini. Hukum fikih diakses oleh masyarakat dengan cara memberi
pilihan bagi setiap umat Muslim atas mazhab fikih mana yang akan mereka ikuti.
Setiap umat Islam biasanya diidentifikasikan dengan satu mazhab fikih dan mencari
fuqaha dari mazhab tersebut untuk menjadi panduan ketika butuh jawaban hukum
tertentu, seperti apakah sebuah kontrak berlaku atau tidak, atau bagaimana cara
mendistribusikan warisan. Jawaban fuqaha terhadap pertanyaan-pertanyaan
individu ini datang dalam bentuk respons hukum (fatwa) yang secara sukarela
dijalankan oleh sang penanya sendiri. Ketika perselisihan berbasis fikih muncul di
antara dua orang Muslim atau lebih (misalnya, sengketa properti antara tetangga
yang berdekatan), mereka biasanya akan mencari seorang penguasa yang ditunjuk
qadi (hakim) dari sekolah fikih mereka untuk menyelesaikan sengketa, dan putusan
qadi akan diberlakukan oleh kekuasaan eksekutif dari penguasa Muslim.
Hal ini dimungkinkan karena para penguasa muslim pada umumnya
mengakomodasi keragaman fikih dari penduduk mereka dengan menunjuk berbagai
hakim dari mazhab fikih yang berbeda, sesuai dengan demografi masing-masing

10 Lihat Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (Oneworld Publications
2001) pada halaman 39 (“Metodologi hukum Islam jarang berbicara dalam hal kepastian hukum (yaqin dan
qat'). Praktik bahasa dalam budaya hukum berbicara dalam hal probabilitas atau dominan bukti. Para ahli
hukum Islam menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki pengetahuan sempurna—pengetahuan manusia
bersifat tentatif. ").
11 Dari tahun ratusan mazhab fikih awal, lima di antaranya tetap terkenal sekarang: Maliki, Hanafi, Syafi'i,
Hanbali, dan Ja'fari (Syiah). Perbedaan terkait ajaran fikih sering jatuh di sepanjang jalur mazhab, meskipun
selalu ada pandangan minoritas di dalam masing-masing mazhab. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang
perbedaan sekolah fikih ini dan metodologi masing-masingnya dibandingkan dengan metodologi penafsiran
konstitusi Amerika, lihat Asifa Quraishi, Interpreting the Qur’an and the Constitution: Similarities in the Use of 17
Text, Tradition and Reason in Islamic and American Jurisprudence, 28 Cardozo Law Review 67 (2006).
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

wilayah geografis.12 Yang penting, para penguasa tidak mengubah isi dari fikih yang
diterapkan di ruang sidang ini, mereka juga tidak mengonsolidasikan aturan mazhab
fikih yang berbeda untuk membuat satu undang-undang fikih yang diterapkan oleh
semua qadi di negeri itu.
Para penguasa Muslim memahami bahwa, meskipun mereka menegakkan
aturan fikih melalui kekuasaan eksekutif mereka, kekuatan mereka tidak meluas.
Pengendalian substantif atas isi hukum fikih selalu tetap pada fuqaha, di luar otoritas
penguasa. Sistem ini menciptakan sebuah kualitas hukum agama "untuk masing-
masing kalangan" dalam masyarakat, yang tidak hanya mencakup mazhab hukum
fikih Islam, tetapi juga hukum agama Kristen, Yahudi, dan lain-lain. Dengan cara
ini, individu dalam sistem Islam pra-modern bisa menerima pengakuan resmi dari
hukum agama yang mereka sukai tanpa harus memaksakannya kepada orang lain.13
Fikih yang diterapkan dalam pengadilan qadi dibuat oleh ulama, tidak ditulis
oleh penguasa. Para penguasa jarang sekali yang berusaha mengkonsolidasikan
berbagai aturan fikih dalam satu kode fikih yang diterapkan pada semua qadi. Hal
ini merefleksikan apresiasi dasar dari penguasa Muslim bahwa, meskipun mereka
bertanggungjawab untuk memaksakan satu aturan fikih jika diperlukan, kekuasaan
eksekutif mereka tidak meliputi kekuasaan untuk mengartikulasikan hukum Allah.
Hal ini dikarenakan pada masa awal sejarah Islam, kontrol substantive atas
makna kitab Suci secara eksklusif berada di tangan para ulama fikih, dan berada di
luar otoritas penguasa. Tapi, bukan berarti penguasa tidak membuat hukum sama
sekali. Mereka melakukannya, tapi hukum yang mereka buat adalah hukum yang
lain, yang berbeda dengan hukum fikih.

Sifat Otoritas Siyasah


Para penguasa Muslim menghormati otoritas fuqaha terhadap isi substantif fikih.
Dalam sistem hukum Islam pra-modern, ada dua jenis hukum: siyasah, diciptakan
oleh penguasa, dan fikih, yang diciptakan oleh fuqaha.14 Kedua jenis hukum ini
12 Secara signifikan, pemerintah Muslim tidak melihat keragaman fikih ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan
mereka. Lihat Jackson, catatan supra 10, di halaman 106 (2003-2004) ( "negara Muslim pra- modern...
tidak menyamakan integritas Negara dengan pelaksanaan monopoli mutlak atas pembuatan hukum atau
kemampuan untuk menerapkan kode perilaku yang seragam atas seluruh masyarakat."). Mazhab fikih yang
akan menyelesaikan konflik antara Muslim dari afiliasi fikih yang berbeda menurut rincian setiap waktu
dan tempat, topik yang terlalu besar untuk diringkas di sini, tapi, secara umum, resolusi ini mirip dengan
cara bahwa konflik peraturan hukum mengatur bagaimana sengketa antara warga negara atau negara yang
berbeda teratasi hari ini.
13 Bahkan, fuqaha pra-modern dengan tegas menolak upaya penguasa untuk menegakkan ajaran fikih
seragam pada penduduk Muslim. Misalnya, Khalifah Abbasiyah al-Mansur (753-775 SM/135-158
AH) mendekati Imam Malik ibn Anas untuk mengadopsi buku hukum Malik, "al-Muwatta,"sebagai
hukum resmi kekhilafahan, tapi ia menolak. Menurut salah satu laporan, Malik menegaskan bahwa
akan menjadi "terlalu parah untuk memaksa orang-orang dari berbagai daerah untuk melepaskan
praktik-praktik yang mereka percaya benar dan yang didukung oleh hadits dan pendapat hukum yang
telah mencapai mereka." Umar Faruq Abd-Allah, Malik's Concept of 'Amal in the Light of Maliki Legal Theory
(Ph.D., University of Chicago 1978) di halaman 100.
14 Lihat Asifa Quraishi, “The Separation of Powers in the Tradition of Muslim Governments,” in Constitutionalism
in Islamic Countries: Between Upheaval and Continuity (Tilmann Roder, Rainer Grote & Katrin Geenen, eds.,
18 Oxford University Press, 2011); Frank Vogel, catatan supra 9, di halaman 31 (menggambarkan siyasah dan
fiikih sebagai hukum "makrokosmos" dan "mikrokosmik").
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

bekerja dalam hubungan yang saling tergantung satu sama lain, tetapi hadir dari
sumber yang sangat berbeda dan berdiri atas dasar legitimasi yang sangat berbeda.
Para penguasa Muslim membuat siyasah sesuai dengan filosofi pemerintah mereka
sendiri dan ide-ide tentang cara terbaik untuk menjaga ketertiban umum. Hukum
siyasah biasanya hukum yang bersifat pragmatis, terkait pemerintahan, melingkupi
topik seperti pajak, keamanan, regulasi pasar, dan keamanan masyarakat—yaitu, hal
yang diperlukan untuk ketertiban umum.
Pembuatan hukum siyasah oleh pemegang kekuasaan dianggap sah secara
Islami karena konsensus yang menyebar dalam hukum Islam bahwa tujuan utama
syariah adalah untuk mempromosikan kemaslahatan rakyat (mashlahah).15 Karena
peraturan yang diperhitungkan dari kitab suci tidak dapat mencakup semua
kebutuhan masyarakat sipil hari ke hari, fuqaha mengakui bahwa diperlukan jenis
hukum selain fikih untuk dapat sepenuhnya melayani kepentingan masyarakat
(mashlahah 'amma).
Kajian kitab suci tidak dapat mengidentifikasikan, misalnya, batas kecepatan
yang aman atau peraturan yang menjamin keamanan pangan. Satu-satunya lembaga
yang mampu menciptakan dan menegakkan bermacam-macam peraturan ini adalah
kekuatan yang mengendalikan penggunaan kekuasaan—yaitu, kekusaan siyasah
yang dipegang oleh para penguasa. Dengan demikian, dalam literatur ilmu politik
Islam yang kemudian dikenal sebagai siyasah syar‘iyyah, ulama fikih bersepakat
bahwa dalam sistem berbasis syariah para penguasa menjalankan kekuasaan
pembuatan peraturan siyasah untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat
(mashlahah 'amma).
Meskipun ulama ahli siyasah syar‘iyyah berbeda secara luas dalam ide-ide mereka
tentang kekuasaan siyasah syar‘iyyah yang tepat, dampak praktis dari pengetahuan
siyasah syar‘iyyah secara keseluruhan adalah untuk memperluas konsep syariah
untuk menyertakan pertimbangan pragmatis pemerintahan yang baik. Genre
literatur hukum Islam memadatkan gagasan bahwa syariah sebagai "Hukum Allah"
dimaksudkan untuk mencakup lebih dari sekedar penjabaran fikih peraturan kitab
suci.
Kurangnya landasan langsung siyasah dalam teks-teks suci penting itu bagi
konstitusionalisme Islam karena hal tersebut menggambarkan bagaimana syariah
dapat bekerja sebagai sebuah aturan hukum Islam bukan sekadar kumpulan
peraturan (fikih). Meskipun hukum siyasah tidak berasal langsung dari kitab
suci, para umat Muslim pra- modern tidak menganggap siyasah sebagai "di luar"
syariah. Sebaliknya, mereka menganggap baik fikih maupun siyasah sebagai
komponen sistem aturan hukum mereka. Seperti dipahami dalam teori dan praktik
politik Muslim pra-modern, para penguasa dan ahli hukum agama bersama-sama
melayani syariah, melalui tugas mereka masing- masing. Mereka melakukan peran
yang berbeda berdasarkan berbagai sumber legitimasi. Secara khusus, tugas dari

15 Vogel, catatan supra 9, di halaman 529 ("Seluruh dasar dan landasan syariah adalah untuk melayani
kesejahteraan para hamba Allah di dunia ini dan di akhirat."). Untuk detail lebih lanjut tentang mashlahah,
lihat Felicitas Opwis, Maslaha and the Purpose of the Law: Islamic Discourse on Legal Change from the 4th/10th 19
to 8th/14th Century 1-8 (2010).
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

para penguasa adalah untuk membuat dan menegakkan hukum yang melayani
kepentingan masyarakat, dan tugas dari para ulama adalah menggunakan ijtihad
untuk memperhitungkan peraturan dari Al-Quran dan Sunnah.
Struktur pemerintahan Muslim pra modern adalah struktur pluralisme hukum—
bukan monisme hukum. Struktur ini diharuskan oleh epistemologi hukum Islam:
sistem hukum Islam harus mencari cara untuk mengakomodasi keragaman yang
tidak dapat dihindari dan fikih yang melekat.
Akhirnya, jika ajaran yang berbeda dari mazhab fikih yang berbeda semua sama-
sama valid, tidaklah mungkin untuk hanya menyatakannya sebagai satu-satunya
hukum negeri. Mereka yang mencoba melakukannya telah gagal. Jadi, tidak seperti
hukum di Eropa, sentralisme hukum itu bukanlah pilihan.
Muslim harus mencari cara lain untuk mengatur sistem hukum mereka, dan
solusi mereka adalah dua jenis hukum: siyasah (dibuat oleh para penguasa) dan fikih
(yang dibuat oleh para ulama). Keduanya memiliki wewenang atas masyarakat, tetapi
dalam cara yang sangat berbeda. Siyasah untuk melayani kebutuhan masyarakat
umum seperti keamanan dan keadilan dan ketertiban, sedangkan fikih adalah untuk
memberikan peraturan untuk membimbing umat Islam dalam menjalani kehidupan
yang sesuai dengan kehendak Allah.
Siyasah ditegakkan oleh negara melalui penggunaan kekuatan, sedangkan fikih
sebagian diberlakukan oleh negara dan sebagian ditegakkan diri sendiri, tergantung
dari sifat masalahnya.16 Singkatnya, aturan hukum di negeri-negeri Muslim pra-
modern bergantung pada keberadaan dan saling melengkapi dari kedua jenis hukum,
siyasah dan fikih.
Kini kita dapat melihat dengan lebih jelas mengapa negara-bangsa dapat
merupakan sumber dari siklus destruktif politik agama di negara-negara mayoritas
Muslim saat ini. Dominasi monisme hukum negara-bangsa dalam politik Muslim
telah mengaburkan apa yang bisa dibilang sebagai aspek paling relevan secara
konstitusional dari sejarah Islam: siyasah menghormati ranah yang terpisah dan
otonom dari hukum fikih. Hal ini memungkinkan sebuah pencabangan dari otoritas
hukum antara fikih dan hukum siyasah yang mengarahkan pemerintahan Islam pra-
modern menjauh dari kekuasaan teokratis.
Karena masing-masing fikih dan siyasah berperan terpisah dalam aturan sistem
hukum syariah, pemerintahan Muslim pra-modern bekerja dengan realitas ranah
hukum yang berbeda, daripada menggunakan kekuatan politik mereka untuk
menegakkan satu versi tunggal dari hukum agama kepada setiap orang.
Fenomena modern "undang-undang syariah" mengabaikan fitur mendasar dari
sistem hukum Islam yang sudah ada. Daripada memikirkan syariah sebagai aturan
sistem hukum yang terdiri dari baik ranah hukum fikih maupun siyasah, "Islamisasi"
pemerintah Muslim telah meruntuhkan syariah menjadi fikih saja, dan kemudian
mencari cara untuk untuk membawa fikih dalam ranah politik.

16 Diberlakukan sendiri ketika setiap muslim mencari fatwa untuk pertanyaan hukum pribadi mereka.
20 Diberlakukan oleh negara jika fikih sedang diterapkan melalui penghakiman seorang qadi.
SYAMINA Edisi 8 / Juni 2018

Dalam sistem Muslim pra-modern, mandat syariah kekuasaan siyasah sangat


berbeda: bukan untuk memberlakukan dan menerapkan ajaran fikih pada setiap
orang, melainkan, untuk menjaga ketertiban umum dan melayani kepentingan
masyarakat. Singkatnya, negara membuat undang-undang untuk kepentingan
masyarakat — bukan mengatur ajaran fikih. Dan ini merupakan kewajiban bagi
penguasa dalam aturan sistem hukum syariah.
Asifa Quraishi dalam makalahnya yang berjudul Islamic Governance: Not
Theocratic, Not Secular, Not Impossible mencoba menggambarkan seperti apa rupa
pemerintahan berbasis syariah, seandainya syariah dipahami sebagai aturan hukum
Islam (Islamic rule of Law) daripada kumpulan aturan (collection of rule).17
Ia menyajikan struktur konstitusionalisme Islam yang terinspirasi oleh hukum
Islam pra-modern dan sejarah Islam. Struktur ini secara konseptual berbeda dari
"negara Islam" yang biasa dibayangkan oleh gerakan politik Islam modern karena
dibangun di atas pluralisme hukum, bukan sentralisme hukum. Berbeda dengan
sistem negara-bangsa terpusat yang diwarisi oleh kebanyakan negara-negara
mayoritas Muslim, struktur konstitusional ini dibangun di atas pemisahan kekuasaan
legislatif yang sebelumnya menandai sistem hukum-politik Islam selama berabad-
abad: pemisahan antara (1) undang-undang siyasah yang dibuat oleh penguasa demi
kemaslahatan masyarakat (mashlahah) dan (2) hukum fikih yang dirumuskan oleh
beragam ahli hukum agama berdasarkan interpretasi mereka atas kitab suci.
Quraishi menyimpulkan bahwa pluralisme hukum yang diwakili oleh
pencabangan klasik hukum fikih dan siyasah seharusnya menjadi fitur penting
dari teori konstitusional Islam, dan sebagian besarnya hilang di dunia sekarang
ini. Kurangnya diferensiasi yang jelas antara siyasah dan fikih telah menyebabkan
banyak negara mayoritas Muslim membuat aturan mendekati-teokratis.
Quraishi menawarkan alternatif ide syariah sebagai aturan hukum Islam yang
meliputi baik fikih maupun siyasah, dan membangun kerangka kerja konstitusional
Islam berdasarkan pada pluralisme hukum, menerjemahkan, dan memperbarui
bidang fikih dan siyasah yang sesuai untuk realitas modern.
Ada tiga fitur penting dari struktur yang diusulkan: (1) tindakan politik pemerintah
harus didasarkan pada kemaslahatan masyarakat, (2) berbagai mazhab fikih (dan
hukum agama lainnya) harus ada dalam ranah hukum yang paralel, yang tersedia
karena tidak memilih hukum negara secara sukarela, dan (3) "pemeriksaan syariah"
(Sharia checking) yang meninjau kembali legitimasi Syar‘i dari sebuah tindakan
politik harus berdasarkan tujuan (maqasid) syariah. Bersama-sama, tiga pilar ini
membentuk struktur penting untuk sistem pemerintahan yang memungkinkan
umat Islam untuk memiliki syariah sebagai "hukum negeri." Alternatif ini, menurut
Quraishi, berusaha menunjukkan bahwa sebuah konstitusionalisme Islam yang tidak
sekuler dan tidak teokratis bukanlah hal yang tidak mungkin.

17 Asifa Quraishi-Landes, "Islamic Constitutionalism: Not Secular, Not Theocratic, Not Impossible," 16 Rutgers 21
Journal of Law and Religion 553, 2015.
Edisi 8 / Juni 2018 SYAMINA

Kesimpulan
Perubahan konteks sosial, dan pergeseran politik yang menyangkut hubungan
agama dan negara telah mengubah masa depan Syariat. Syariat merupakan entitias
unik yang dibangun oleh landasan epistimologis dan ontologis sumber Islam yang
sakral dan otentik. Para ulama-lah yang dianggap paling cocok untuk mengemban
misi yuridis ini. Namun era paska kolonial telah menempatkan negara di atas
segalanya, termasuk penentu efektivitas keberlakuan hukum agama. Hukum agama
bukan lagi menjadi domain ulama semata, akan tetapi jatuh dalam kuasa negara.
Bagi sebagian besar umat Islam saat ini, Syariat tetap menjadi sumber ajaran
agama sekaligus sumber kekuatan moral. Namun, umat Islam masa modern
dihadapkan pada tantangan untuk mampu merekonsiliasi dua kenyataan:
Pertama, kenyataan ontologis negara-modern dan juga kehadirannya yang
seolah-olah tidak dapat ditolak;
Kedua, kenyataan deontologi tentang keharusan untuk menghadirkan suatu
bentuk pemerintahan Syariat.
Mengutip pernyataan Wael Hallaq, “Menundukkan modernitas untuk
merestrukturisasi kritik moral adalah persyaratan paling penting tidak hanya untuk
bangkitnya pemerintahan Islam, tetapi juga untuk kelangsungan hidup material
dan spiritual kita.” Untuk itu, kata Hallaq, diperlukan imajinasi yang sangat kuat di
kalangan umat Islam dan sikap tidak kompromi.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of
Shari’a, London: Oxford University Press, 2008
Asifa Quraishi-Landes, Islamic Constitutionalism: Not Secular, Not Theocratic, Not
Impossible, 16 Rutgers Journal of Law and Religion 553, 2015.
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women,
London: Oneworld Publications 2001)
S. Sayyid, Recalling the Caliphate: Decolonization and World Order, London: C. Hurst
& Company, 2014.
Sherman Jackson, Islamic Reform Between Islamic Law and the Nation-State, dalam
The Oxford Handbook of Islam and Politics, 2013
Wael Hallaq, Impossible State: Islam, Politics, and Modernity's Moral Predicament,
New York: Columbia University Press, 2012

22

Anda mungkin juga menyukai