KEPRAJURITAN
ORANGJAWA
K.SUBROTO
SYAMINA
Melucuti Keprajuritan
Orang Jawa
K. Subroto
Laporan
Edisi 7 / Mei 2018
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
ORANG JAWA DI MASA LALU — 7
KEHEBATAN PRAJURIT JAWA MASA KESULTANAN DEMAK — 8
KEDIGDAYAAN MILITER JAWA MASA MATARAM — 8
PUDARNYA KHARISMA PRAJURIT JAWA KARENA CAMPUR TANGAN PENJAJAH — 13
SURAPATI BANGKIT — 14
PENURUNAN AKIBAT PERPECAHAN DI MATARAM — 15
PELEMAHAN OLEH PENJAJAH INGGRIS — 16
BANGKITNYA DIPONEGORO — 17
PELUCUTAN OLEH PENJAJAH BELANDA PASCA PERANG JAWA — 21
HILANGNYA KEPRAJURITAN DARI KONSEP KESATRIA JAWA — 23
DAFTAR PUSTAKA — 24
3
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA
EXECUTIVE SUMMARY
O
rang Jawa termasuk bangsa atau suku yang terkenal dalam keterampilan
perangnya di seluruh Nusantara sejak dahulu kala. Jawa yang terus bergolak
sejak abad ke 6 M dalam konflik politik, perang perluasan pengaruh, perang
pertahanan wilayah dan konfrontasi dengan Belanda, membuktikan kuatnya jiwa
keprajuritan (kemiliteran) orang-orang Jawa.
Prajurit Demak yang terdiri dari prajurit tetap dan prajurit sukarelawan (milisi
wajib militer) terkenal dengan keberaniannya dan keberhasilannya dalam berbagai
peperangan. Masa sebelumnya, masa Majapahit di masa puncak kejayaannya juga
dikenal memiliki militer yang kuat dan tangguh.
Prajurit Demak dan Majapahit berhasil menyatukan Jawa dengan tekanan militer
dan peperangan. Angkatan laut Demak dan Jepara juga sangat diperhitungkan di
kawasan ini saat itu, yang mana Demak dan Jepara beberapa kali mengerahkan
ribuan tentaranya dengan puluhan kapal untuk menghancurkan penjajah Portugis
yang menganeksasi kesultanan dan pelabuhan Islam Malaka. Menurut para ahli
4
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018
sejarah, Malaka saat itu menjadi pelabuhan dan pusat perdagangan rempah-rempah
terbesar di Asia Tenggara.
Orang Jawa juga membuktikan kedigdayaannya pada masa kejayaan Mataram
di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Sultan agung saat itu berhasil membentuk
kekuatan Militer terkuat dan terbesar di Jawa. Hampir seluruh jawa dapat
dikuasainya, bahkan sebagian Kalimantan dan Sumatera menjadi bagian dari wilayah
kekuasaannya. Menurut sumber Belanda, saat meninggal, jumlah tentara warisan
Sultan Agung begitu besar, yaitu hampir 900.000 termasuk 115.000 orang bersenjata
senapan, belum terhitung armada lautnya.
Sepeninggal Sultan Agung, kedigdayaan dan kewibawaan orang jawa khususnya
prajuritnya mulai merosot. Amangkurat I tidak mewarisi idiologi, keyakinan dan
jiwa kemiliteran ayahnya. Ia bahkan mulai bekerjasama dan minta bantuan pada
penjajah Belanda, musuh bebuyutan ayahnya. Kebijakan politiknya tersebut
memicu perpecahan dan pemberontakan yang semakin membuat Mataram lemah
dan terpuruk dalam jebakan penjajah Belanda.
Pada masa-masa berikutnya semakin dalam terperosok dalam kendali
Belanda, hal yang membuat banyak orang Jawa tidak suka dan menimbulkan
saling permusuhan diantara orang Jawa sendiri. Rakyat menanti-nanti munculnya
seorang kesatria yang bisa memimpin orang Jawa untuk bangkit dari keterpurukan.
Munculnya Surapati yang gagah berani melawan penjajah Belanda seakan menjadi
obat yang selama ini dinanti-nantikan.
Kemenangan Surapati atas Kompeni disambut hangat oleh rakyat Mataram dan
dianggap sebagai kemenangan tentara Jawa. Obsesi bangsa Jawa atas tentaranya
sedikit terobati dan kepercayaan diri mulai bangkit kembali.
Namun kebangkitan kepercayaan diri itu tidak berhasil mengembalikan
kewibawaan dan kharisma keprajuritan Jawa. Hal itu terjadi karena kekuatan jawa
kembali terpecah dengan konflik politik dan saling bunuh karena perang takhta.
Konflik tersebut secara tidak langsung kembali menguntungkan penjajah karena
dijadikan pintu masuk untuk terlibat dengan alasan membantu menyelesaikan
konflik.
Hasilnya Mataram pecah menjadi dua dan bertambah besarnya pengaruh
Kompeni atas kerajaan, yang berarti juga makin kuatnya cengkeraman penjajah
membuat kebencian terhadap kekuasaan asing makin meluas. Di saat-saat demikian,
maka obsesi terhadap ksatria Jawapun muncul kembali.
Harapan rakyat Jawa kali ini terpenuhi ketika Pangeran Mangkubumi dan Raden
Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengangkat senjata berontak melawan penjajah.
Secara politis, kemenangan Mangkubumi dan Raden Mas Said sangat merugikan
Mataram karena kerajaan terpecah menjadi tiga bagian akibat Perjanjian Giyanti
5
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA
(1755) dan Perjanjian Salatiga (1757). Namun dari segi militer kemenangan itu begitu
besar nilainya. Citra prajurit Jawa yang nyaris tenggelam dan kehilangan identitas,
bangkit kembali. Kepercayaan dan kebanggaan bangsa Jawa pada tentaranya pulih
kembali.
Masa-masa seusai peperangan Mangkubumi dan Sambernyawa (tahun 1755
dan 1757) hingga menjelang pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830), tanah Jawa
mengalami “masa damai yang panjang”. Situasi yang berlangsung hampir tiga
perempat abad ini membuat pandangan masyarakat terhadap masalah kemiliteran
berubah. Peran kaum militer menyurut dan masyarakat beralih ke ide dan sikap
hidup kepriyayian.
Setelah hampir tiga perempat abad dunia keprajuritan Jawa terlena, tiba-tiba
pada tahun 1825 tanah Jawa kembali diguncang peristiwa besar dengan pecahnya
Perang Diponegoro (1825-1830). Perang ini dapat dianggap sebagai fase terakhir
keterlibatan tentara Jawa dalam perang besar, walaupun sebenarnya hanya sedikit
tentara keraton yang terlibat di dalamnya.
Sebaliknya hampir semua elemen masyarakat Jawa terlibat dalam perang
tersebut secara langsung maupun tidak langsung. Maka perang Jawa sering disebut
sebagai perang antara Belanda melawan seluruh masyarakat Jawa. Belanda kalang
kabut dan kuwalahan menghadapi perlawanan ini selama 5 tahun dan hampir saja
meruntuhkan kekuasaan Belanda di Jawa walaupun akhirnya dengan tipu muslihat
perlawanan dapat di atasi oleh penjajah.
Seusai Perang Diponegoro, terjadilah perubahan besar dunia keprajuritan Jawa.
Ketakutan, kekuatiran dan fobia terhadap munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa
membuat pemerintah penjajah Hindia Belanda mengeluarkan strategi baru. Untuk
melemahkan kekuatan Jawa, selain diadakan Tanam Paksa, maka pasukan kraton
didemobilisasikan.
Bangsawan Kraton dipisahkan dari rakyat dengan cara menghapus tanah
lungguh bagi para bangsawan dan pejabat kraton, juga perampasan tanah-tanah
mancanegara. Dengan dihapusnya tanah lungguh, berarti para bangsawan tidak
lagi memiliki basis masa di pedesaan. Akibat lebih jauh tradisi dan potensi militer
kerajaan menjadi lumpuh. Semangat, kemampuan dan ketrampilan prajurit terus
merosot. Terlebih lagi dengan dihapusnya tradisi Watangan atau Seton (tradisi
latihan perang setiap hari Sabtu) pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830-
1858) di Surakarta.
6
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018
Melucuti Keprajuritan
Orang Jawa
kebencian, dan sangat gagah berani. Mereka memiliki senjata yang baik dan
bertempur tanpa takut.”2
berhasil diletakkan landasan yang kuat bagi pembentukan tentara. Berbagai naskah
Jawa, Senopati digambarkan sebagai seorang prajurit yang pilih tanding, sakti
mandraguna, pemberani dan bijaksana. la dianggap sebagi figur ksatria Jawa.6
Perhatiannya terhadap militer sangat besar, sehingga pengaruhnya dapat
meresap dan terkait erat dengan kebudayaan. Begitu besarnya perhatian raja ini,
sehingga dapat dikatakan sepanjang hayatnya tidak lepas dari dunia keprajuritan.
Sebagai gambaran kekuatan militer Mataram awal, pada saat berperang menghadapi
Pajang, Senopati dengan susah payah hanya dapat mengumpulkan 1.000 tentara.7
Waktu merebut Madiun pasukannya sudah berkembang menjadi 8.000 orang,
dan pada akhir abad 15 ketika menghadapi pasukan gabungan pesisiran dalam
pertempuran di Uter sudah menjadi 20.000 orang.
Pada masa putranya, yaitu Panembahan Seda ing Krapyak (1601-
1613) kekuatan Mataram terlihat dalam pertempuran di Tambak Uwos. Untuk
menumpas perlawanan kakaknya, yakni Pangeran Puger (Adipati Demak), waktu
itu raja mengerahkan sekitar 10.000 prajurit, sementara Adipati Demak hanya
menghadapinya dengan 5.000 orang.8
Semasa cucunya, yaitu Sultan Agung, pamor Mataram semakin cemerlang.
Kegagalan penyerangannya selama dua kali ke Batavia tidak mengurangi
kebanggaannya terhadap tentaranya. Sebab konsolidasi wilayah dan pembentukan
tentaranya mencapai puncaknya pada masa itu. Pasukan Mataram tidak hanya
bersifat reguler yang profesional dan elit. Namun ia dapat merekrut prajurit dari
kalangan petani untuk kepentingan milisi dan agresi. Dengan demikian, jumlah
tentara menjadi begitu besar. Begitu gong dipukul di semua sudut kota, dan
kemudian diteruskan secara berantai, maka hanya dalam waktu setengah hari di
ibukota Mataram telah terkumpul sebanyak 200.000 orang bersenjata lengkap.
Sultan Agung dan tentaranya berhasil membawa Mataram ke puncak
kejayaannya. Wilayahnya terbentang meliputi hampir seluruh Jawa, pengaruhnya
bahkan hingga di seberang lautan, seperti Sukadana (Kalimantan), Palembang,
Jambi dan Makasar. Latihan keprajuritan selalu diadakan setiap hari Sabtu atau
disebut tradisi seton (watangan) dengan iringan gamelan khusus hasil ciptaannya
sendiri seperti Monggang dan Kodhok Ngorek.9
Latihan Watangan atau Sodoran dilakukan di hari Sabtu (Jawa: Setu). Oleh
karena itu kemudian muncul istilah seton (setu + an). Dari istilah ini muncul pula
peribahasa “kaya belo melu seton” yang dalam bahasa Indonesia berarti “seperti
anak kuda ikut induknya. Pepatah ini menggambarkan orang yang tidak mengerti
apa-apa yang bisanya hanya mengikuti induk atau orangtuanya, alias tidak mandiri
dan serba ikut-ikutan.
Watangan dilakukan oleh dua orang yang saling berhadapan sambil membawa
sodor di atas punggung kuda pada jarak tertentu. Setelah aba-aba, keduanya melecut
6 Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan
Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997.
h.iv
7 Serat Kandha, 559-569; lihat, juga Crawfurd, History. IX,325-326 dalam Ksatria Jawa, h.1
8 Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.1 9
9 Ibid. h.2
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA
kudanya dan saling berhadapan untuk saling menjatuhkan lawan dari atas punggung
kudanya.
Lawan yang jatuh dari kuda oleh karena sodokan sodor dinyatakan sebagai
yang kalah dan orang yang berhasil menjatuhkan dinyatakan sebagai pemenang.
Untuk itulah kelihaian menunggang kuda dan bermain tongkat (sodor) yang
panjangnya kurang lebih 3-3,5 meter menjadi modal utama dalam permainan ini.
Sodoran berguna untuk melatih keterampilan, ketangkasan, keahlian
berperang tombak dan juga menjadi ajang yang cukup prestise untuk meningkatkan
status seseorang. Sebab sangat dimungkinkan orang yang ahli bermain Sodoran
kemudian diangkat menjadi prajurit atau punggawa keraton, yang kala itu menjadi
idaman hampir semua orang.10
Politik ekspansi Sultan Agung didukung oleh kekuatan tentaranya yang
terkenal perkasa dan sulit terkalahkan dalam peperangan. Dalam setiap misi sampai
penaklukan Surabaya kekuatan tentara Sultan Agung selalu berhasil gemilang
mengalahkan musuh-musuhnya. Pada tahun 1615 total kekuatan tentara Mataram
tidak kurang dari 300.000 pasukan.
Ada semacam wajib militer bagi rakyat Mataram saat itu. Di samping
pasukan pengawal di istana dan pasukan reguler, masih ada pasukan milisi yang
terdiri dari para penduduk desa yang dikerahkan atas perintah Raja. Para milisi ini
tidak dibayar oleh raja, tetapi sebagai tugas wajib untuk membela negara dengan
sukarela. Untuk memobilisasi milisi diperlukan beberapa tahapan. Untuk daerah di
sekitar keraton mobilisasi dilakukan dengan pukulan-pukulan gong di semua sudut
Karta diikuti desa-desa dan kota-kota di sekitarnya. Dalam setengah hari raja dapat
mengumpulkan 200.000 orang bersenjata. Dengan persenjataan yang sederhana dan
tanpa perbekalan. Kelebihan tentara Sultan Agung adalah kedisplinan dan semangat
tempur yang tinggi sehingga mampu melakukan tugas-tugas berat. Di seluruh
Nusantara mungkin sulit ditemukan kemampuan militer yang demikian.11
Beberapa misi Sultan Agung diantaranya yaitu mempersatukan seluruh Jawa
di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir kompeni (VOC) dari Batavia. Beberapa
wilayah telah ia taklukkan, Mataram melakukan beberapa penyerangan di sekitar
Jawa Timur. Pada tahun 1614 M Mataram menyerang Surabaya bagian selatan; Ujung
Timur Pulau Jawa, Malang, dan Pasuruan. Ia juga dapat menduduki Wirasaba pada
tahun 1615 M. Penaklukan Wirasaba ini dirasa sangat penting, hal itu dikarenakan
merupakan pintu masuk ke Surabaya.
Kemudian pada tahun 1616 M, pasukan dikirim melalui pantai Utara dan
dapat menaklukkan Lasem dan terus ke Timur sampai Pasuruan. Bahkan pada tahun
1620 M pasukan Mataram dengan melalui laut menyerang Surabaya dan setelah itu
Madura ditaklukkan dan disatukan dalam satu pemerintahan di bawah keturunan
kepangeranan Madura dengan ibukota Sampang.12 Surabaya, yang merupakan
10 Drs Sutjipto Wirjosuparto, Dari Lima Zaman Pendjadjahan Menudju Zaman Kemerdekaan, penerbit: Indira,
1958, http://arsip.tembi.net/yogyakarta-tempo-doeloe/permainan-sodoran-di-mataram-sekitar-abad-ke-17
11 De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti,
10 1990) h.128-130
12 H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram. h.137
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018
saingan berat Mataram, setelah diserbu beberapa kali akhirnya takluk (1625) berikut
Giri (1636) dan Blambangan di tahun 1639.13
Yang menarik, pada tahun 1625 Surabaya ditaklukkan bukan karena diserang
melainkan karena rakyatnya mati kelaparan akibat strategi blokade yang dilakukan
Mataram.14 Saat itu Sultan Agung adalah raja yang paling kuat di Nusantara dan
paling luas wilayah kekuasaannya. Di Jawa, hanya Banten dan Batavia yang tidak
berhasil ditaklukkannya. Sementara itu, sebagian wilayah di Sumatera, Kalimantan,
dan Bali menyatakan tunduk kepada Mataram.15 Bahkan menurut Meilink pengaruh
Jawa di Abad 15 sampai di kepulauan penghasil cengkeh di Ambon atau Maluku.16
Dengan jatuhnya Surabaya maka seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur
(kecuali Blambangan) bersatu di bawah naungan Mataram. Persatuan ini diperkuat
lagi oleh Sultan Agung dengan mengikat para adipatinya dengan tali perkawinan
dengan putri-putri Mataram. Ia sendiri menikah dengan putri Cirebon, sehingga
daerah ini juga mengakui kekuasaan Mataram.17
Usaha ekspansi ke wilayah Barat, Batavia (Jakarta - yang saat itu dikuasai VOC),
dilakukan Sultan Agung pada tahun 1628 dan 1629, akan tetapi gagal dan bahkan
banyak menelan korban di pihak Mataram. Hal ini disebabkan disamping sistem
persenjataan yang kalah canggih juga karena adanya seorang prajurit Mataram yang
membelot kepada Belanda serta menunjukkan gudang perbekalan Mataram yang
berada di Tegal. Akhirnya logistik itupun dibakar oleh Kompeni dan banyak prajurit
Mataram yang mati kelaparan. Disinyalir pula bahwa pada saat serangan itu terjadi
prajurit Mataram sedang dilanda wabah malaria.18 Serangan pertama mengerahkan
10.000 tentara, sedangkan serangan kedua dengan kekuatan lebih besar berjumlah
14.000 prajurit.
Pria Jawa Abad Ke-18 selalu membawa senjata (keris) dalam keseharian19
tertangkapnya Trunajaya tidak lagi sesuatu yang dibanggakan, dan tidak dianggap
sebagai kemenangan tentara Jawa. Sebaliknya bahkan dianggap menurunkan
martabat karena ada campur tangan Kompeni.
Sejak itu bangsa Jawa dilanda obsesi akan munculnya sosok prajurit atau ksatria
Jawa, yang dapat mengembalikan pamor prajurit Jawa. Di masa-masa berikutnya, di
saat kerajaan dilanda krisis poiitik, ekonomi dan moral, obsesi keprajuritan itupun
muncul ke permukaan.
Padahal kekuatan tentara Mataram saat itu masih cukup besar. Disebutkan
bahwa kraton Kartasura saat itu memiliki tidak kurang dari 40.000 prajurit.
Kelemahan raja dan kurangnya rasa percaya diri membuat kraton nampak lemah
dan banyak bersandar pada kekuatan Kompeni. Bahkan akhirnya Kompeni diberi
ijin mendirikan benteng di ibukota. Ini adalah kejadian pertama sepanjang sejarah
Mataram, yang tidak mungkin terjadi jika Sultan Agung masih hidup.23
Surapati Bangkit
Setelah menunggu selama hampir satu dekade, penantian rakyat Jawa akhirnya
terpenuhi dengan munculnya Surapati di tahun 1687. Kehadiran Surapati dan
pasukannya di Kartasura disambut raja Amangkurat II dan rakyat Mataram dengan
sukacita. Walaupun Surapati bukan orang Jawa, namun keberaniannya melawan
Kompeni dianggap mencerminkan sosok ksatria Jawa, sehingga rakyat menaruh
harapan besar terhadapnya.
Begitu besar harapan raja Mataram pada Surapati, sehingga secara diam-
diam dia memerintahkan Patih Nerangkusuma dan Pangeran Puger agar memberi
dukungan moral, senjata, perbekalan dan prajurit. Bahkan ketika akan berhadapan
dengan Kompeni, raja membekali Pangeran Puger dengan pusaka kerajaan berupa
tombak Kyahi Plered.
Begitu antusiasnya raja, sehingga dia ingin melihat dengan mata kepaia sendiri
pertarungan jago Mataram itu melawan Belanda. Serat Trunajaya mengisahkan
bagaimana para pembesar kerajaan mengatur skenario agar pertempuran antara
Surapati dan Kapten Tack bisa berlangsung di alun-alun, sehingga raja bisa
melihatnya langsung dari Sitinggil istana.
Selama pertempuran berlangsung raja dikawal oleh sekitar 21 pasukan
pengawal, seperti: Jagabaya, Nyangkraknyana, Mayungnyutra, Mijil, Nirbaya,
Patranala, Darpaita, Maundara, Wirabraja Yudanenggala, Wisapracandha dan lain-
lain.
Kemenangan Surapati atas Kompeni disambut hangat oleh rakyat Mataram
dan dianggap sebagai kemenangan tentara Jawa. Obsesi bangsa Jawa atas tentaranya
sedikit terobati dan kepercayaan diri mulai bangkit kembali. Nama Surapati begitu
harum dan banyak disanjung dalam berbagai naskah babad. Raja yang begitu bangga
atas kemenangan itu kemudian memberi kekuasaan pada Surapati untuk memerintah
14
23 Ibid h. 3-4
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018
daerah Pasuruhan dengan gelar Adipati Wiranegara. Patih Nerangkusumo yang telah
bekerjasama dengannya tetap mendampinginya sebagai patih di Pasuruhan.24
24 Serat Trunajaya Jilid IV, 1987:40 dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.13-15
25 Babad Panambangan, 1983:129-136, Moelyono, Geger Pacinan, 1981:10, dalam: Wahyudi dan Priyanto, 15
Ksatria Jawa, h.15-16
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA
26 Selo Soemarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, cetakan kedua diterbitkan oleh Komunitas Bambu Jakarta,
2009. h.12-13
27 Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 85-87
16 28 Ricklef, Jogyakarta Under Sultan Mangkuhumi 1749-1792, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.21
29 Britton, 1983:16-17, Soemarsaid Moertono, 1968:99, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.15-16
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018
Bangkitnya Diponegoro
Setelah hampir tiga perempat abad dunia keprajuritan Jawa terlena, tiba-tiba
pada tahun 1825 tanah Jawa kembali diguncang peristiwa besar dengan pecahnya
Perang Diponegoro (1825-1830). Perang ini dapat dianggap sebagai fase terakhir
keterlibatan tentara Jawa dalam perang besar, walaupun sebenarnya hanya sedikit
tentara keraton yang terlibat di dalamnya.32
Ada banyak faktor yang memicu perang Jawa. Sejak tahun 1800 dan sesudahnya
ada kekuatan penjajah yang berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Dimulai
dengan Daendels yang pada tahun 1808 memberlakukan peraturan mengenai tata
cara dan etiket perilaku yang menyatakan bahwa pada saat sedang berada di istana,
para residen Eropa tidak harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah dari para
penguasa (raja) Jawa, sesuatu yang sangat menghina bagi orang Jawa.
Tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah dianeksasi tidak
lagi diberlakukan. Setahun kemudian keraton Yogya dikepung, diserbu dan dijarah
atas perintah Raffles. Dengan perjanjian Kedu keraton menyerah dan diberlakukan
pajak terhadap pasar-pasar dan jalan raya. Tahun 1823 van der Capellen melarang
para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanahnya pada para pengusaha Eropa
yang menyebabkan kehancuran finansial mereka.
Pada tahun 1825 sebagian wilayah direbut lagi dari kedua kerajaan Jawa
(Yogyakarta dan Surakarta) dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong di
pesisir utara sebagai kompensasi biaya perang Jawa. Di tahun-tahun menjelang
perang Jawa, sikap para pejabat Belanda berperilaku arogan dan kurang ajar. Dengan
berbagai kebijakan di atas banyak bangsawan di kedua kerajaan tersinggung dengan
sikap agresif orang Eropa. Ada yang menampakkan dan ada yang tidak menampakkan
ketidak sukaannya tersebut. Namun pada umumnya reaksi-reaksi langsung terhadap
kesewenangan orang Eropa jarang terjadi. Namun diamnya orang Jawa tidak bisa
diartikan dengan persetujuannya. Orang-orang Jawa meragukan ketulusan dan
kejujuran orang Eropa. Hal ini tercermin dalam nasihat Paku Alam II (orang yang
dianggap sangat pro Belanda), pada putra-putranya sebelum meninggal:
30 Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa, Berkala Arkeologi
Tahun XXVII No. 2 / November 2007, h.44
31 Peter Carey, Inggris di Jawa 1811-1816, Penerbit Kompas, Jakarta 2017. h.51
32 Babad Diponegoro Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat VI, 1983: lihat juga Hageman, 1856, dalam; Wahyudi 17
dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.16
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA
33 Vincen Houben, Keraton Dan Kompeni, Surakarta Dan Yogyakarta 1830-1870, Penerbit Mata Bangsa
Yogyakarta 2002. h.17-19
34 Saleh Asad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830, Suatu Kajian Sejarah
Perang, Disertasi Bidang Ilmu Pengetabuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2002,
18 h.295
35 Djamhari, op.cit. h.25-27
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018
into bermutu sangat tinggi.36 Di Kulonprogo ada seorang ulama yang ahli dalam
pembuatan mesiu yaitu Haji Amattahir. Ia adalah salah seorang ulama kepercayaan
Sultan Hamengkubuwono II yang kemudian diangkat menjadi Demang Desa Samen
dan menjadi salah satu pendukung Diponegoro mengobarkan perang sabil.37
Seluruh Kesultanan Yogyakarta bergolak, Beberapa Bupati Monconegoro,
melakukan aksi perlawanan terhadap Belanda dan Kesultanan. Pada 17 Agustus
1825 di Kadipaten Serang, Pangeran Serang yang tergolong kelompok Kasepuhan,
menantu Pangeran Mangkudiningrat yang dibuang bersama Sultan Sepuh ke Ambon,
dan Pangeran Notoprojo alias Pangeran Papale dan Bupati Gagatan yang termasuk
wilayah Kesunanan Surakarta ikut memberontak.38
Kebijakan perpajakan yang semakin memberatkan, persewaan tanah dan
pengusiran rakyat dari desa-desa oleh para penyewa semakin menjauhkan
masyarakat dengan pemimpinnya, merupakan puncak kegelisahan masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat lapisan bawah Diponegoro adalah Ratu Adil yang
ditunggu kedatangannya. Rangkaian peristiwa dan cita-cita membentuk balad
Islam tersebut menjadi faktor pendukung mengapa perlawanan dengan cepat
meluas dan sulit dipadamkan dengan kekuatan militer.39
Sebagian besar rakyat Mataram dengan sukarela mendukung dan bergabung
dengan pasukan sabil Diponegoro. Diponegoro benar-benar telah berhasil
menyatukan seluruh komponen dan sumberdaya rakyat Jawa saat itu melawan
musuh bersama, kafir Belanda dan Cina yang telah menyengsarakan rakyat.
Seorang komandan pasukan gerak cepat Belanda di Bagelan Timur pada juli 1826
menceritakan:
Penduduk desa biasa di sini begitu menyatu dengan para pemberontak“
sehingga mereka langsung bergabung dengan musuh dan menyerang
orang-orang kita dengan tembakan ketapel yang menyebabkan beberapa
40
”.orang kita cedera
36 Ibid. h.716-717
37 Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830, Skripsi Program Studi
Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013. h.19
38 Djamhari, op.cit. h.92
39 Djamhari, op.cit. h.94
40 Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di Jawa, 1785-1855, Jilid 2, 19
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011, h.718-719
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA
49 Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa, Berkala Arkeologi
Tahun XXVII No. 2 / November 2007, h.45
50 RM. Sarwanta, 1978:5-6, Humas Kebudayaan Kraton Surakarta, 1990 :1-5, dalam: Wahyudi dan Priyanto,
Ksatria Jawa, h.17
22 51 Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa, Berkala Arkeologi
Tahun XXVII No. 2 / November 2007, h. 45-46
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018
dan lain-lain. Semangat dan jiwa keprajuritan bangsa Jawa baru muncul kembali
setelah Indonesia dibawah pendudukan Jepang.53 Saat itu banyak penduduk pribumi
direkrut oleh jepang untuk menghadapi kekuatan tentara sekutu pada perang dunia
kedua.
Dunia keprajuritan Jawa sejak era Demak hingga Mataram telah mengalami dua
proses perwujudan, yaitu: 1) berupa manifestasi dalam dunia prajuritan Jawa bersama
tradisi yang ada. Bentuk ini mengalami stagnasi akibat perubahan politik, ekonomi,
sosial dan kultrural di masa kolonial, sehingga tinggalah sisa-sisa kebesaran dari
kejayaan masa lampau. 2) Berkembangnya dunia ide (pemikiran) akibat aktualisasi
secara fisik mengalami jalan buntu. Namun ide tentang keprajuritan itu telah banyak
diadopsi untuk mengisi kejiwaan tentara modern Indonesia, seperti rumusan Sapta
Marga, Doktrin TNI yang banyak didominasi oleh konsep keprajuritan dalam budaya
Jawa.54
Daftar Pustaka:
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Pustaka al-Kautsar Jakarta, 2010
Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yayasan Untuk
Indonesia, Yogyakarta, 2000.
De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta:
Pustakan Utama Grafiti, 1990)
Drs Sutjipto Wirjosuparto, Dari Lima Zaman Pendjadjahan Menudju Zaman
Kemerdekaan, penerbit: Indira, 1958, http://arsip.tembi.net/yogyakarta-
tempo-doeloe/permainan-sodoran-di-mataram-sekitar-abad-ke-17
Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830,
Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2013.
Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas: model
pembangunan Indonesia Baru menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam
Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005),
Jono de Barros, Decada Primiera a Segunda terbit 1552, jilid III
Jurnal Maritim, Serangan Pati Unus di Selat Malaka, http://jurnalmaritim.
com/2015/01/belajar-dari-kegagalan-serangan-pati-unus-di-selat-malaka/
M, Khafid Kasri & Pujo Semedi. Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagah Wangi.
Diterbitkan kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak 2008.
Meilink, Persaingan Eropa & Asia di Nusantara, Sejarah Perniagaan 1500-1630,
Komunitas bambu Jakarta 2016.
53 Fachry Ali, 1986:172, R.M. Riya Jayadiningrat I, 1981:207-209, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa,
h.15-19
54 Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan
24 Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997.
h.iv-v
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018
25