Anda di halaman 1dari 25

MELUCUTI

KEPRAJURITAN
ORANGJAWA
K.SUBROTO
SYAMINA

Melucuti Keprajuritan
Orang Jawa

K. Subroto

Laporan
Edisi 7 / Mei 2018

ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,


kirimkan e-mail ke:
lk.syamina@gmail.com
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
ORANG JAWA DI MASA LALU — 7
KEHEBATAN PRAJURIT JAWA MASA KESULTANAN DEMAK — 8
KEDIGDAYAAN MILITER JAWA MASA MATARAM — 8
PUDARNYA KHARISMA PRAJURIT JAWA KARENA CAMPUR TANGAN PENJAJAH — 13
SURAPATI BANGKIT — 14
PENURUNAN AKIBAT PERPECAHAN DI MATARAM — 15
PELEMAHAN OLEH PENJAJAH INGGRIS — 16
BANGKITNYA DIPONEGORO — 17
PELUCUTAN OLEH PENJAJAH BELANDA PASCA PERANG JAWA — 21
HILANGNYA KEPRAJURITAN DARI KONSEP KESATRIA JAWA — 23
DAFTAR PUSTAKA — 24

3
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

EXECUTIVE SUMMARY

O
rang Jawa termasuk bangsa atau suku yang terkenal dalam keterampilan
perangnya di seluruh Nusantara sejak dahulu kala. Jawa yang terus bergolak
sejak abad ke 6 M dalam konflik politik, perang perluasan pengaruh, perang
pertahanan wilayah dan konfrontasi dengan Belanda, membuktikan kuatnya jiwa
keprajuritan (kemiliteran) orang-orang Jawa.
Prajurit Demak yang terdiri dari prajurit tetap dan prajurit sukarelawan (milisi
wajib militer) terkenal dengan keberaniannya dan keberhasilannya dalam berbagai
peperangan. Masa sebelumnya, masa Majapahit di masa puncak kejayaannya juga
dikenal memiliki militer yang kuat dan tangguh.
Prajurit Demak dan Majapahit berhasil menyatukan Jawa dengan tekanan militer
dan peperangan. Angkatan laut Demak dan Jepara juga sangat diperhitungkan di
kawasan ini saat itu, yang mana Demak dan Jepara beberapa kali mengerahkan
ribuan tentaranya dengan puluhan kapal untuk menghancurkan penjajah Portugis
yang menganeksasi kesultanan dan pelabuhan Islam Malaka. Menurut para ahli

4
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

sejarah, Malaka saat itu menjadi pelabuhan dan pusat perdagangan rempah-rempah
terbesar di Asia Tenggara.
Orang Jawa juga membuktikan kedigdayaannya pada masa kejayaan Mataram
di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Sultan agung saat itu berhasil membentuk
kekuatan Militer terkuat dan terbesar di Jawa. Hampir seluruh jawa dapat
dikuasainya, bahkan sebagian Kalimantan dan Sumatera menjadi bagian dari wilayah
kekuasaannya. Menurut sumber Belanda, saat meninggal, jumlah tentara warisan
Sultan Agung begitu besar, yaitu hampir 900.000 termasuk 115.000 orang bersenjata
senapan, belum terhitung armada lautnya.
Sepeninggal Sultan Agung, kedigdayaan dan kewibawaan orang jawa khususnya
prajuritnya mulai merosot. Amangkurat I tidak mewarisi idiologi, keyakinan dan
jiwa kemiliteran ayahnya. Ia bahkan mulai bekerjasama dan minta bantuan pada
penjajah Belanda, musuh bebuyutan ayahnya. Kebijakan politiknya tersebut
memicu perpecahan dan pemberontakan yang semakin membuat Mataram lemah
dan terpuruk dalam jebakan penjajah Belanda.
Pada masa-masa berikutnya semakin dalam terperosok dalam kendali
Belanda, hal yang membuat banyak orang Jawa tidak suka dan menimbulkan
saling permusuhan diantara orang Jawa sendiri. Rakyat menanti-nanti munculnya
seorang kesatria yang bisa memimpin orang Jawa untuk bangkit dari keterpurukan.
Munculnya Surapati yang gagah berani melawan penjajah Belanda seakan menjadi
obat yang selama ini dinanti-nantikan.
Kemenangan Surapati atas Kompeni disambut hangat oleh rakyat Mataram dan
dianggap sebagai kemenangan tentara Jawa. Obsesi bangsa Jawa atas tentaranya
sedikit terobati dan kepercayaan diri mulai bangkit kembali.
Namun kebangkitan kepercayaan diri itu tidak berhasil mengembalikan
kewibawaan dan kharisma keprajuritan Jawa. Hal itu terjadi karena kekuatan jawa
kembali terpecah dengan konflik politik dan saling bunuh karena perang takhta.
Konflik tersebut secara tidak langsung kembali menguntungkan penjajah karena
dijadikan pintu masuk untuk terlibat dengan alasan membantu menyelesaikan
konflik.
Hasilnya Mataram pecah menjadi dua dan bertambah besarnya pengaruh
Kompeni atas kerajaan, yang berarti juga makin kuatnya cengkeraman penjajah
membuat kebencian terhadap kekuasaan asing makin meluas. Di saat-saat demikian,
maka obsesi terhadap ksatria Jawapun muncul kembali.
Harapan rakyat Jawa kali ini terpenuhi ketika Pangeran Mangkubumi dan Raden
Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengangkat senjata berontak melawan penjajah.
Secara politis, kemenangan Mangkubumi dan Raden Mas Said sangat merugikan
Mataram karena kerajaan terpecah menjadi tiga bagian akibat Perjanjian Giyanti

5
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

(1755) dan Perjanjian Salatiga (1757). Namun dari segi militer kemenangan itu begitu
besar nilainya. Citra prajurit Jawa yang nyaris tenggelam dan kehilangan identitas,
bangkit kembali. Kepercayaan dan kebanggaan bangsa Jawa pada tentaranya pulih
kembali.
Masa-masa seusai peperangan Mangkubumi dan Sambernyawa (tahun 1755
dan 1757) hingga menjelang pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830), tanah Jawa
mengalami “masa damai yang panjang”. Situasi yang berlangsung hampir tiga
perempat abad ini membuat pandangan masyarakat terhadap masalah kemiliteran
berubah. Peran kaum militer menyurut dan masyarakat beralih ke ide dan sikap
hidup kepriyayian.
Setelah hampir tiga perempat abad dunia keprajuritan Jawa terlena, tiba-tiba
pada tahun 1825 tanah Jawa kembali diguncang peristiwa besar dengan pecahnya
Perang Diponegoro (1825-1830). Perang ini dapat dianggap sebagai fase terakhir
keterlibatan tentara Jawa dalam perang besar, walaupun sebenarnya hanya sedikit
tentara keraton yang terlibat di dalamnya.
Sebaliknya hampir semua elemen masyarakat Jawa terlibat dalam perang
tersebut secara langsung maupun tidak langsung. Maka perang Jawa sering disebut
sebagai perang antara Belanda melawan seluruh masyarakat Jawa. Belanda kalang
kabut dan kuwalahan menghadapi perlawanan ini selama 5 tahun dan hampir saja
meruntuhkan kekuasaan Belanda di Jawa walaupun akhirnya dengan tipu muslihat
perlawanan dapat di atasi oleh penjajah.
Seusai Perang Diponegoro, terjadilah perubahan besar dunia keprajuritan Jawa.
Ketakutan, kekuatiran dan fobia terhadap munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa
membuat pemerintah penjajah Hindia Belanda mengeluarkan strategi baru. Untuk
melemahkan kekuatan Jawa, selain diadakan Tanam Paksa, maka pasukan kraton
didemobilisasikan.
Bangsawan Kraton dipisahkan dari rakyat dengan cara menghapus tanah
lungguh bagi para bangsawan dan pejabat kraton, juga perampasan tanah-tanah
mancanegara. Dengan dihapusnya tanah lungguh, berarti para bangsawan tidak
lagi memiliki basis masa di pedesaan. Akibat lebih jauh tradisi dan potensi militer
kerajaan menjadi lumpuh. Semangat, kemampuan dan ketrampilan prajurit terus
merosot. Terlebih lagi dengan dihapusnya tradisi Watangan atau Seton (tradisi
latihan perang setiap hari Sabtu) pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830-
1858) di Surakarta.

6
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

Melucuti Keprajuritan
Orang Jawa

Orang Jawa di Masa lalu


Beberapa suku bangsa di Nusantara dikenal sebagai ahli-ahli perang di abad
pertengahan. Pertama Jawa yang terus bergolak sejak abad ke 6 M dalam perang
politik, perang perluasan pengaruh, perang pertahanan wilayah dan konfrontasi
dengan Belanda. Kedua Aceh yang adalah ahli perang di semenanjung malayu, juga
di pantai-pantai Sumatera melawan Belanda dan Portugis. Ketiga Bugis dengan
pelaut-pelaut menakutkan yang melayari lautan Nusantara. Keempat Ambon,
yang dikenal berperang dengan beringas. Kelima Madura dengan keahlian perang
istimewa yang membuat sebagian mereka dijadikan tentara bayaran Hindia Belanda.
Keenam Minangkabau yang sejak era Sriwijaya adalah petarung-petarung beladiri
yang dipakai oleh Sriwijaya dan Majapahit.
Dalam bukunya Decada Primiera a Segunda yang terbit 1552, Jono de Barros
menggambarkan orang Jawa sebagai berikut: Penduduk asli dipanggil Jaos (Jawa),
sangat sombong dan menganggap bangsa lain lebih inferior sehingga bila mereka
berjalan di satu tempat dan melihat orang asing berdiri di tempat yang lebih tinggi
dan tidak segera pindah tempat maka akan dibunuhnya karena tidak mengijinkan
siapapun berdiri lebih tinggi darinya. Mereka juga tidak mau membawa sesuatu
dengan kepala walau diancam bunuh… mereka pemberani dan akan melakukan
amok untuk membalas dendam. Walaupun berbagai halangan dihadapi mereka
akan terus berusaha mencapai keinginannya.1
Orang Jawa juga digambarkan penulis Portugis lain, Barbossa. Ia menyatakan;
“Mereka sangat terampil dalam segala jenis pekerjaan, terlatih dalam setiap kadar
7
1 Jono de Barros, Decada Primiera a Segunda terbit 1552, jilid III Bab 1
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

kebencian, dan sangat gagah berani. Mereka memiliki senjata yang baik dan
bertempur tanpa takut.”2

Kehebatan Prajurit Jawa Masa Kesultanan Demak


Menurut Tome Pires, penduduk Demak Bintoro waktu itu diperkirakan
berjumlah antara 8.000 sampai 10.000 keluarga, atau kira-kira 40.000 - 50.000 jiwa.
Kalau dihitung, jumlah sukarelawan perang dari rakyat berjumlah 8.000 lebih dan
jumlah penduduk Bintoro antara 8.000 - 10.000 keluarga. Kemungkinan besar setiap
keluarga dengan ikhlas mengirimkan seorang sukarelawan perang membantu
pasukan Demak Bintoro, untuk berjihad.3
Ekspedisi Pati Unus (Adipati Yunus) ke Malaka pada tahun 1512 memiliki
kekuatan 10.000 orang prajurit yang diangkut menggunakan 100 buah kapal
berukuran dua ratus ton. Kapal yang digunakan untuk mengangkut perlengkapan
dan prajurit terdiri dari beberapa jenis antara lain disebut jung, merupakan kapal
layar yang berukuran beberapa ratus ton. Penggeraknya adalah layar yang dipasang
pada tiga buah tiang, yang mempunyai bobot antara 400–800 ton. Jenis yang lain
adalah lancaran, merupakan kapal layar atau dayung hampir sama halnya dengan
jenis jung. Kemudian kapal Pangajava, merupakan kapal yang dibuat khusus untuk
perang dan dapat dipersenjatai dengan meriam, tenaga penggeraknya adalah layar
dan dayung.4
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menimbulkan perlawanan dari kerajaan-
kerajaan Nusantara, antara lain: Kampar, Pasai dan Demak. Penguasa kesultanan
Demak sempat dua kali mengirim ekspedisi untuk merebut kembali Malaka.
Ekspedisi pertama pada tahun 1511, dan ke dua tahun 1512, dengan mengerahkan
sebanyak 12.000 prajurit angkatan laut, dipimpin oleh oleh Pate Unus. Ekspedisi Pate
Unus ke Malaka tersebut merupakan satu bentuk dari Strategi Maritim “Proyeksi
Kekuatan Maritim“ atau “Maritime Power Projection“.
Sebuah laporan Portugis menyatakan, bahwa diantara raja-raja yang telah
masuk Islam, raja Kesultanan Demaklah yang paling gigih dan terus-menerus
memerangi orang Portugis, yang dipandang sebagai orang Kafir. Seperti ketika Malaka
jatuh ke tangan kekuasaan Portugis pada tahun 1511, Raden Fatah mengirimkan
putranya sendiri, Adipati Yunus untuk memimpin pasukan Islam dari Demak guna
menghancurkan Portugis di Malaka.5

Kedigdayaan Militer Jawa masa Mataram


Kerajaan Mataram berdiri akhir abad ke-16 yang didirikan oleh Sutowijoyo
yang bergelar Panembahan Senopati dengan menyatukan kembali bekas wilayah
Demak dan Pajang. Hanya dengan kekuatan pasukan yang handal, maka wilayah
yang semula tercerai-berai dapat disatukan kembali. Di bawah kekuasaan Mataram
2 The Book of Duerte Barbossa, h.176
3 M, Khafid Kasri & Pujo Semedi. Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagah Wangi. Diterbitkan kantor
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak 2008. h.60
4 Jurnal Maritim, Serangan Pati Unus di Selat Malaka, http://jurnalmaritim.com/2015/01/belajar-dari-
8 kegagalan-serangan-pati-unus-di-selat-malaka/
5 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010, hlm. 65.
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

berhasil diletakkan landasan yang kuat bagi pembentukan tentara. Berbagai naskah
Jawa, Senopati digambarkan sebagai seorang prajurit yang pilih tanding, sakti
mandraguna, pemberani dan bijaksana. la dianggap sebagi figur ksatria Jawa.6
Perhatiannya terhadap militer sangat besar, sehingga pengaruhnya dapat
meresap dan terkait erat dengan kebudayaan. Begitu besarnya perhatian raja ini,
sehingga dapat dikatakan sepanjang hayatnya tidak lepas dari dunia keprajuritan.
Sebagai gambaran kekuatan militer Mataram awal, pada saat berperang menghadapi
Pajang, Senopati dengan susah payah hanya dapat mengumpulkan 1.000 tentara.7
Waktu merebut Madiun pasukannya sudah berkembang menjadi 8.000 orang,
dan pada akhir abad 15 ketika menghadapi pasukan gabungan pesisiran dalam
pertempuran di Uter sudah menjadi 20.000 orang.
Pada masa putranya, yaitu Panembahan Seda ing Krapyak (1601-
1613) kekuatan Mataram terlihat dalam pertempuran di Tambak Uwos. Untuk
menumpas perlawanan kakaknya, yakni Pangeran Puger (Adipati Demak), waktu
itu raja mengerahkan sekitar 10.000 prajurit, sementara Adipati Demak hanya
menghadapinya dengan 5.000 orang.8
Semasa cucunya, yaitu Sultan Agung, pamor Mataram semakin cemerlang.
Kegagalan penyerangannya selama dua kali ke Batavia tidak mengurangi
kebanggaannya terhadap tentaranya. Sebab konsolidasi wilayah dan pembentukan
tentaranya mencapai puncaknya pada masa itu. Pasukan Mataram tidak hanya
bersifat reguler yang profesional dan elit. Namun ia dapat merekrut prajurit dari
kalangan petani untuk kepentingan milisi dan agresi. Dengan demikian, jumlah
tentara menjadi begitu besar. Begitu gong dipukul di semua sudut kota, dan
kemudian diteruskan secara berantai, maka hanya dalam waktu setengah hari di
ibukota Mataram telah terkumpul sebanyak 200.000 orang bersenjata lengkap.
Sultan Agung dan tentaranya berhasil membawa Mataram ke puncak
kejayaannya. Wilayahnya terbentang meliputi hampir seluruh Jawa, pengaruhnya
bahkan hingga di seberang lautan, seperti Sukadana (Kalimantan), Palembang,
Jambi dan Makasar. Latihan keprajuritan selalu diadakan setiap hari Sabtu atau
disebut tradisi seton (watangan) dengan iringan gamelan khusus hasil ciptaannya
sendiri seperti Monggang dan Kodhok Ngorek.9
Latihan Watangan atau Sodoran dilakukan di hari Sabtu (Jawa: Setu). Oleh
karena itu kemudian muncul istilah seton (setu + an). Dari istilah ini muncul pula
peribahasa “kaya belo melu seton” yang dalam bahasa Indonesia berarti “seperti
anak kuda ikut induknya. Pepatah ini menggambarkan orang yang tidak mengerti
apa-apa yang bisanya hanya mengikuti induk atau orangtuanya, alias tidak mandiri
dan serba ikut-ikutan.
Watangan dilakukan oleh dua orang yang saling berhadapan sambil membawa
sodor di atas punggung kuda pada jarak tertentu. Setelah aba-aba, keduanya melecut
6 Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan
Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997.
h.iv
7 Serat Kandha, 559-569; lihat, juga Crawfurd, History. IX,325-326 dalam Ksatria Jawa, h.1
8 Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.1 9
9 Ibid. h.2
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

kudanya dan saling berhadapan untuk saling menjatuhkan lawan dari atas punggung
kudanya.
Lawan yang jatuh dari kuda oleh karena sodokan sodor dinyatakan sebagai
yang kalah dan orang yang berhasil menjatuhkan dinyatakan sebagai pemenang.
Untuk itulah kelihaian menunggang kuda dan bermain tongkat (sodor) yang
panjangnya kurang lebih 3-3,5 meter menjadi modal utama dalam permainan ini.
Sodoran berguna untuk melatih keterampilan, ketangkasan, keahlian
berperang tombak dan juga menjadi ajang yang cukup prestise untuk meningkatkan
status seseorang. Sebab sangat dimungkinkan orang yang ahli bermain Sodoran
kemudian diangkat menjadi prajurit atau punggawa keraton, yang kala itu menjadi
idaman hampir semua orang.10
Politik ekspansi Sultan Agung didukung oleh kekuatan tentaranya yang
terkenal perkasa dan sulit terkalahkan dalam peperangan. Dalam setiap misi sampai
penaklukan Surabaya kekuatan tentara Sultan Agung selalu berhasil gemilang
mengalahkan musuh-musuhnya. Pada tahun 1615 total kekuatan tentara Mataram
tidak kurang dari 300.000 pasukan.
Ada semacam wajib militer bagi rakyat Mataram saat itu. Di samping
pasukan pengawal di istana dan pasukan reguler, masih ada pasukan milisi yang
terdiri dari para penduduk desa yang dikerahkan atas perintah Raja. Para milisi ini
tidak dibayar oleh raja, tetapi sebagai tugas wajib untuk membela negara dengan
sukarela. Untuk memobilisasi milisi diperlukan beberapa tahapan. Untuk daerah di
sekitar keraton mobilisasi dilakukan dengan pukulan-pukulan gong di semua sudut
Karta diikuti desa-desa dan kota-kota di sekitarnya. Dalam setengah hari raja dapat
mengumpulkan 200.000 orang bersenjata. Dengan persenjataan yang sederhana dan
tanpa perbekalan. Kelebihan tentara Sultan Agung adalah kedisplinan dan semangat
tempur yang tinggi sehingga mampu melakukan tugas-tugas berat. Di seluruh
Nusantara mungkin sulit ditemukan kemampuan militer yang demikian.11
Beberapa misi Sultan Agung diantaranya yaitu mempersatukan seluruh Jawa
di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir kompeni (VOC) dari Batavia. Beberapa
wilayah telah ia taklukkan, Mataram melakukan beberapa penyerangan di sekitar
Jawa Timur. Pada tahun 1614 M Mataram menyerang Surabaya bagian selatan; Ujung
Timur Pulau Jawa, Malang, dan Pasuruan. Ia juga dapat menduduki Wirasaba pada
tahun 1615 M. Penaklukan Wirasaba ini dirasa sangat penting, hal itu dikarenakan
merupakan pintu masuk ke Surabaya.
Kemudian pada tahun 1616 M, pasukan dikirim melalui pantai Utara dan
dapat menaklukkan Lasem dan terus ke Timur sampai Pasuruan. Bahkan pada tahun
1620 M pasukan Mataram dengan melalui laut menyerang Surabaya dan setelah itu
Madura ditaklukkan dan disatukan dalam satu pemerintahan di bawah keturunan
kepangeranan Madura dengan ibukota Sampang.12 Surabaya, yang merupakan

10 Drs Sutjipto Wirjosuparto, Dari Lima Zaman Pendjadjahan Menudju Zaman Kemerdekaan, penerbit: Indira,
1958, http://arsip.tembi.net/yogyakarta-tempo-doeloe/permainan-sodoran-di-mataram-sekitar-abad-ke-17
11 De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti,
10 1990) h.128-130
12 H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram. h.137
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

saingan berat Mataram, setelah diserbu beberapa kali akhirnya takluk (1625) berikut
Giri (1636) dan Blambangan di tahun 1639.13

Yang menarik, pada tahun 1625 Surabaya ditaklukkan bukan karena diserang
melainkan karena rakyatnya mati kelaparan akibat strategi blokade yang dilakukan
Mataram.14 Saat itu Sultan Agung adalah raja yang paling kuat di Nusantara dan
paling luas wilayah kekuasaannya. Di Jawa, hanya Banten dan Batavia yang tidak
berhasil ditaklukkannya. Sementara itu, sebagian wilayah di Sumatera, Kalimantan,
dan Bali menyatakan tunduk kepada Mataram.15 Bahkan menurut Meilink pengaruh
Jawa di Abad 15 sampai di kepulauan penghasil cengkeh di Ambon atau Maluku.16
Dengan jatuhnya Surabaya maka seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur
(kecuali Blambangan) bersatu di bawah naungan Mataram. Persatuan ini diperkuat
lagi oleh Sultan Agung dengan mengikat para adipatinya dengan tali perkawinan
dengan putri-putri Mataram. Ia sendiri menikah dengan putri Cirebon, sehingga
daerah ini juga mengakui kekuasaan Mataram.17
Usaha ekspansi ke wilayah Barat, Batavia (Jakarta - yang saat itu dikuasai VOC),
dilakukan Sultan Agung pada tahun 1628 dan 1629, akan tetapi gagal dan bahkan
banyak menelan korban di pihak Mataram. Hal ini disebabkan disamping sistem
persenjataan yang kalah canggih juga karena adanya seorang prajurit Mataram yang
membelot kepada Belanda serta menunjukkan gudang perbekalan Mataram yang
berada di Tegal. Akhirnya logistik itupun dibakar oleh Kompeni dan banyak prajurit
Mataram yang mati kelaparan. Disinyalir pula bahwa pada saat serangan itu terjadi
prajurit Mataram sedang dilanda wabah malaria.18 Serangan pertama mengerahkan
10.000 tentara, sedangkan serangan kedua dengan kekuatan lebih besar berjumlah
14.000 prajurit.

13 Kartodirdjo. Sejarah Nasional. III. h. 295.


14 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi, 2005, h.86
15 Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas: model pembangunan Indonesia
Baru menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2005), 32
16 Meilink, Persaingan Eropa & Asia di Nusantara, Sejarah Perniagaan 1500-1630, Komunitas bambu Jakarta
2016. h. 21
17 R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h.61 11
18 Kartodirdjo. Sejarah Nasional. III. hal. 296
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

Pria Jawa Abad Ke-18 selalu membawa senjata (keris) dalam keseharian19

Saat itu ekspedisi militer Mataram berikut kekuatan armadanya begitu


menggentarkan lawan. Misalnya dalam ekspedisi pertama ke Surabaya di bulan
Agustus 1620 Mataram mengerahkan sekitar 70.000 prajurit, kemudian ekspedisi
Surabaya ketiga melibatkan tidak kurang dari 80.000 prajurit, untuk menundukkan
Madura pada bulan Agustus 1624 Mataram mengirim sekitar 160.000 serdadu dalam
dua gelombang, menyusul perebutan atas Surabaya di bulan Oktober 1625 yang
melibatkan kira-kira 80.000 tentara belum lagi ekspedisi ke Pati atau ke Batavia yang
hingga dua kali. Melihat sukses- sukses besar sebelumnya, maka kegagalan serangan
Mataram ke Batavia tahun 1826 dan 1828 nampaknya tidak mengurangi kebanggaan
orang Jawa akan tentaranya.20
Walaupun mengalami kekalahan, pada serangan kedua, pasukan Sultan Agung
berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan
timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC, J.P.
Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Pada masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan
Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda.
Sedangkan Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar
Jawa yang juga tunduk di bawah Mataram adalah Palembang dan Jambi di Pulau
Sumatra serta Sukadana dan Martapura (Banjarmasin) di pulau Kalimantan. Sultan
Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di
Sulawesi saat itu.21

19 Sumber gambar: https://www.flickr.com/photos/125605764@N04/14630021990/lightbox/


12 20 Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.2
21 De Graf, Puncak Kekuasaan Mataram, Op.cit. h.286-288
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

Pudarnya Kharisma Prajurit Jawa karena Campur tangan Penjajah


Dunia keprajuritan Jawa nampaknya tidak selamanya cerah. Pengganti Sultan
Agung, yakni Amangkurat I ternyata tidak mewarisi bakat ayahnya. Menurut
sumber Belanda, jumlah tentara warisan Sultan Agung begitu besar, yaitu hampir
900.000 termasuk 115.000 orang bersenjata senapan, belum terhitung armada laut.
Nampaknya jumlah itu terlalu berlebihan. Mungkin yang dimaksud adalah, jika
seluruh milisi diikutsertakan.
Ironisnya, di bawah pemerintah Amangkurat I tidak tercatat adanya ekspedisi-
ekspedisi besar seperti di masa Sultan Agung. Yang ada justru kekonyolan yang
seharusnya tidak terjadi untuk negeri sebesar Mataram. Pada akhir pemerintahannya,
pasukan kebanggaan bangsa Jawa itu mendapat tamparan hebat dan dipermalukan
di kandang sendiri. Mereka dikalahkan oleh pasukan gabungan Madura dan
Makasar, dibawah pimpinan Trunajaya. Bahkan pada tanggal 28 Juni 1677, Plered,
ibukota Mataram jatuh ke tangan pasukan pemberontak. Kraton dibakar, harta
benda dirampas, banyak prajurit Jawa terbunuh dan orang-orang yang tertangkap
dijadikan budak. Raja Amangkurat yang lari mencari perlindungan pada Kompeni di
Batavia wafat di Tegalarum.22
Bagi bangsa Jawa kekalahan itu amatlah menyakitkan. Dalam pertempuran
di Jepara pada bulan Oktober 1676 sekitar 80.000 prajurit Mataram dapat dikalahkan
oleh hanya 1.500 tentara gabungan Madura dan Makasar. Naskah babad mengisahkan
tentang kekecewaan Pangeran Purbaya terhadap tentara Mataram saat itu, sehingga
keluar kutukannya: “.... kepada tiga orang raja turun-temurun aku telah berbakti
tetapi tidak pernah terjadi seperti sekarang ini, karena banyak yang tewas atau
terluka. Laki-laki menjadi penakut seperti wanita. Mataram ditakdirkan runtuh.
Aku tak sudi menyaksikan...” Senopati tua yang perkasa itu kemudian mengamuk
hingga tewas dikeroyok musuh.
Walaupun Trunajaya akhirnya dapat ditangkap kemudian dijatuhi hukuman
mati, namun pamor kesatria Jawa terlanjur jatuh. Citra prajurit Jawa yang pilih tanding
telah hancur dan kebanggaan bangsa Jawa pada tentaranya mulai pudar. Kisah
13
22 Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h. 2-3
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

tertangkapnya Trunajaya tidak lagi sesuatu yang dibanggakan, dan tidak dianggap
sebagai kemenangan tentara Jawa. Sebaliknya bahkan dianggap menurunkan
martabat karena ada campur tangan Kompeni.
Sejak itu bangsa Jawa dilanda obsesi akan munculnya sosok prajurit atau ksatria
Jawa, yang dapat mengembalikan pamor prajurit Jawa. Di masa-masa berikutnya, di
saat kerajaan dilanda krisis poiitik, ekonomi dan moral, obsesi keprajuritan itupun
muncul ke permukaan.
Padahal kekuatan tentara Mataram saat itu masih cukup besar. Disebutkan
bahwa kraton Kartasura saat itu memiliki tidak kurang dari 40.000 prajurit.
Kelemahan raja dan kurangnya rasa percaya diri membuat kraton nampak lemah
dan banyak bersandar pada kekuatan Kompeni. Bahkan akhirnya Kompeni diberi
ijin mendirikan benteng di ibukota. Ini adalah kejadian pertama sepanjang sejarah
Mataram, yang tidak mungkin terjadi jika Sultan Agung masih hidup.23

Surapati Bangkit
Setelah menunggu selama hampir satu dekade, penantian rakyat Jawa akhirnya
terpenuhi dengan munculnya Surapati di tahun 1687. Kehadiran Surapati dan
pasukannya di Kartasura disambut raja Amangkurat II dan rakyat Mataram dengan
sukacita. Walaupun Surapati bukan orang Jawa, namun keberaniannya melawan
Kompeni dianggap mencerminkan sosok ksatria Jawa, sehingga rakyat menaruh
harapan besar terhadapnya.
Begitu besar harapan raja Mataram pada Surapati, sehingga secara diam-
diam dia memerintahkan Patih Nerangkusuma dan Pangeran Puger agar memberi
dukungan moral, senjata, perbekalan dan prajurit. Bahkan ketika akan berhadapan
dengan Kompeni, raja membekali Pangeran Puger dengan pusaka kerajaan berupa
tombak Kyahi Plered.
Begitu antusiasnya raja, sehingga dia ingin melihat dengan mata kepaia sendiri
pertarungan jago Mataram itu melawan Belanda. Serat Trunajaya mengisahkan
bagaimana para pembesar kerajaan mengatur skenario agar pertempuran antara
Surapati dan Kapten Tack bisa berlangsung di alun-alun, sehingga raja bisa
melihatnya langsung dari Sitinggil istana.
Selama pertempuran berlangsung raja dikawal oleh sekitar 21 pasukan
pengawal, seperti: Jagabaya, Nyangkraknyana, Mayungnyutra, Mijil, Nirbaya,
Patranala, Darpaita, Maundara, Wirabraja Yudanenggala, Wisapracandha dan lain-
lain.
Kemenangan Surapati atas Kompeni disambut hangat oleh rakyat Mataram
dan dianggap sebagai kemenangan tentara Jawa. Obsesi bangsa Jawa atas tentaranya
sedikit terobati dan kepercayaan diri mulai bangkit kembali. Nama Surapati begitu
harum dan banyak disanjung dalam berbagai naskah babad. Raja yang begitu bangga
atas kemenangan itu kemudian memberi kekuasaan pada Surapati untuk memerintah

14
23 Ibid h. 3-4
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

daerah Pasuruhan dengan gelar Adipati Wiranegara. Patih Nerangkusumo yang telah
bekerjasama dengannya tetap mendampinginya sebagai patih di Pasuruhan.24

Penurunan akibat Perpecahan di Mataram


Memasuki abad 18 Mataram kembali digoncang kemelut akibat perebutan
mahkota yang berkepanjangan. Prajurit Jawapun terpecah belah dan saling
berbunuhan. Secara berturut-turut pertikaian terjadi antara Amangkurat III dengan
Pangeran Puger (Pakubuwono I), disusul antara Pakubuwono II dengan Sunan Mas
(Mas Garendi) yang didukung oleh pemberontak Cina, yang kemudian lebih dikenal
sebagai Geger Pacinan tahun 1741. Dalam kejadian ini Pakubuwono II tersingkir dan
intrik istana makin meluas.
Pakubuwana II berhasil naik takhta kembali berkat campur tangan Kompeni.
Berhubung kraton rusak parah, maka pada tahun 1747 ibukota kerajaan dipindahkan
ke desa Solo dan dimuiailah era kerajaan Mataram Surakarta Hadiningrat.
Permasalahan tidak terhenti sampai disitu. Bertambah besarnya pengaruh Kompeni
atas kerajaan, yang berarti juga makin kuatnya cengkeraman penjajah membuat
kebencian terhadap kekuasaan asing makin meluas. Di saat-saat demikian, maka
obsesi terhadap ksatria Jawapun muncul kembali.
Harapan rakyat Jawa kali ini terpenuhi ketika Pangeran Mangkubumi dan
Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengangkat senjata berontak melawan
Kompeni. Uniknya, walaupun Pakubuwono III sadar bahwa perlawanan mereka
berarti juga berontak melawan kekuasaannya, namun secara diam-diam dia
memberi dukungan moral. Sikap mendua raja itu terbukti dengan diberikannya
tombak pusaka Kyahi Piered, kepada Mangkubumi pada saat dia akan mengawali
peperangan.
Secara politis, kemenangan Mangkubumi dan Raden Mas Said sangat
merugikan Mataram karena kerajaan terpecah menjadi tiga bagian akibat Perjanjian
Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757). Namun dari segi militer kemenangan
itu begitu besar nilainya. Citra prajurit Jawa yang nyaris tenggelam dan kehilangan
identitas, bangkit kembali. Kepercayaan dan kebanggaan bangsa Jawa pada
tentaranya pulih kembali. Kisah perjuangan dan kepahlawanan mereka menjadi
legenda, dikisahkan sebagai cerita tutur dari generasi yang satu ke generasi berikutnya
dan banyak menghiasi sejumlah naskah babad.25
Saat Mataram dan VOC kuwalahan menghadapi perlawanan Mangkubumi
dan RM. Said, Sunan Paku Buwono II yang dalam keadaan sakit keras di Surakarta
terbujuk oleh penjajah untuk menyerakan kedaulatan Mataram pada penjajah
yang diwakili Hohendorf. Sunan menandatangani perjanjian dengan VOC sebelum
meninggal di pembaringannya pada tanggal 11 Desember 1749. Isi perjanjian
tersebut ialah agar Sunan menyerahkan negara Mataram pada VOC dengan syarat
hanya keturunannya yang berhak menduduki tahta.

24 Serat Trunajaya Jilid IV, 1987:40 dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.13-15
25 Babad Panambangan, 1983:129-136, Moelyono, Geger Pacinan, 1981:10, dalam: Wahyudi dan Priyanto, 15
Ksatria Jawa, h.15-16
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

Dengan dokumen perjanjian tersebut, VOC merasa sebagai penguasa sah


Mataram. Maka siapapun yang menjadi raja di kemuadian hari hanyalah berfungsi
sebagai vasal atas kemurahan hati VOC. Inilah status Pakubuwono III yang dinobatkan
oleh VOC sebagai pengganti ayahnya.26
Sejak 1743 Mataram hanya memiliki wilayah-wilayah Begelen, Kedu,
Yogjakarta, dan Surakarta. Tragisnya, Mataram harus terpecah menjadi dua oleh
perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta
dengan rajanya Susuhan (Pakubuwono) dan Kesultanan Yogyakarta dengan rajanya
Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I).
Pada tahun 1757, Surakarta pecah lagi menjadi wilayah yang dikuasai
Pakubuwono dan wilayah yang dikuasai Mangkunegara I. Hal ini juga terjadi di
Yogyakarta yang terpecah menjadi 2 yaitu wilayah Kesultanan yang dikuasia Sultan
Hamengku Buwono III dan Kadipaten Pakualaman yang dipimpin Bendara Pangeran
Natakusuma atau lebih dikenal dengan Pakualam I.27
Ricklef berpendapat, munculnya kebangkitan dalam budaya dan sosial
masyarakat Jawa sebagai salah satu faktor mundurnya tradisi militer di Jawa.
Dikatakannya, bahwa masa-masa seusai peperangan Mangkubumi dan Sambernyawa
(tahun 1755 dan 1757) hingga menjelang pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830),
tanah Jawa mengalami "masa damai yang panjang”. Situasi yang berlangsung
hampir tiga perempat abad ini membuat pandangan masyarakat terhadap masalah
kemiliteran berubah. Peran kaum militer menyurut dan masyarakat beralih ke ide
dan sikap hidup kepriyayian.28
Menurut Ricklef, setelah itu tanah Jawa mengalami masa-masa damai yang
panjang. Walaupun selama periode itu ada beberapa kejadian penting seperti,
Perang Sepoy, yang memecah Jogyakarta dengan munculnya Pakualaman dan lain-
lain, namun secara umum Jawa dapat dikatakan relatif aman.
Pada masa ini pula terjadi perubahan atas negara, budaya dan masyarakat
Jawa. Ketrampilan militer nampaknya tidak lagi menjadi hal pokok dan sebagai
gantinya muncul ide dan sikap kepriyayian atau tradisi penghalusan.29

Pelemahan Oleh Penjajah Inggris


Organisasi militer di Kraton Yogyakarta yang dibentuk pada masa pemerintahan
Sultan Hamengku Buwana I sekitar tahun 1755, terdiri atas pasukan-pasukan infantri
dan kavaleri yang sudah menggunakan senjata api berupa bedil dan meriam. Pasukan
Yogyakarta terkenal cukup kuat, yang terbukti ketika Sultan Hamengku Buwana II
mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan pasukan Inggris yang
dipimpin oleh Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812.

26 Selo Soemarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, cetakan kedua diterbitkan oleh Komunitas Bambu Jakarta,
2009. h.12-13
27 Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 85-87
16 28 Ricklef, Jogyakarta Under Sultan Mangkuhumi 1749-1792, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.21
29 Britton, 1983:16-17, Soemarsaid Moertono, 1968:99, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.15-16
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

Akibat perlawanan tersebut, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana


III Inggris membubarkan angkatan perang Kesultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian
2 Oktober 1813 yang ditandatangani Sultan Hamengku Buwana III dan Raffles,
tertulis bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak boleh memiliki angkatan bersenjata yang
kuat. Di bawah pengawasan Inggris, kraton hanya boleh memiliki kesatuan-kesatuan
bersenjata dengan jumlah personil yang dibatasi. Sejak itu fungsi kesatuan-kesatuan
bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan penjaga kraton.30 Menurut Peter
Carey pengesahan perjanjian antara Sultan Hamengku Buwana III dan pemerintah
penjajah Inggris yang salah satunya berisi larangan bagi Sultan untuk memelihara
pasukan pertahanan, terjadi pada tanggal 11 Agustus 1812.31

Bangkitnya Diponegoro
Setelah hampir tiga perempat abad dunia keprajuritan Jawa terlena, tiba-tiba
pada tahun 1825 tanah Jawa kembali diguncang peristiwa besar dengan pecahnya
Perang Diponegoro (1825-1830). Perang ini dapat dianggap sebagai fase terakhir
keterlibatan tentara Jawa dalam perang besar, walaupun sebenarnya hanya sedikit
tentara keraton yang terlibat di dalamnya.32
Ada banyak faktor yang memicu perang Jawa. Sejak tahun 1800 dan sesudahnya
ada kekuatan penjajah yang berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Dimulai
dengan Daendels yang pada tahun 1808 memberlakukan peraturan mengenai tata
cara dan etiket perilaku yang menyatakan bahwa pada saat sedang berada di istana,
para residen Eropa tidak harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah dari para
penguasa (raja) Jawa, sesuatu yang sangat menghina bagi orang Jawa.
Tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah dianeksasi tidak
lagi diberlakukan. Setahun kemudian keraton Yogya dikepung, diserbu dan dijarah
atas perintah Raffles. Dengan perjanjian Kedu keraton menyerah dan diberlakukan
pajak terhadap pasar-pasar dan jalan raya. Tahun 1823 van der Capellen melarang
para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanahnya pada para pengusaha Eropa
yang menyebabkan kehancuran finansial mereka.
Pada tahun 1825 sebagian wilayah direbut lagi dari kedua kerajaan Jawa
(Yogyakarta dan Surakarta) dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong di
pesisir utara sebagai kompensasi biaya perang Jawa. Di tahun-tahun menjelang
perang Jawa, sikap para pejabat Belanda berperilaku arogan dan kurang ajar. Dengan
berbagai kebijakan di atas banyak bangsawan di kedua kerajaan tersinggung dengan
sikap agresif orang Eropa. Ada yang menampakkan dan ada yang tidak menampakkan
ketidak sukaannya tersebut. Namun pada umumnya reaksi-reaksi langsung terhadap
kesewenangan orang Eropa jarang terjadi. Namun diamnya orang Jawa tidak bisa
diartikan dengan persetujuannya. Orang-orang Jawa meragukan ketulusan dan
kejujuran orang Eropa. Hal ini tercermin dalam nasihat Paku Alam II (orang yang
dianggap sangat pro Belanda), pada putra-putranya sebelum meninggal:
30 Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa, Berkala Arkeologi
Tahun XXVII No. 2 / November 2007, h.44
31 Peter Carey, Inggris di Jawa 1811-1816, Penerbit Kompas, Jakarta 2017. h.51
32 Babad Diponegoro Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat VI, 1983: lihat juga Hageman, 1856, dalam; Wahyudi 17
dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.16
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

“Putra-putraku, kalau kalian ingin membahas suatu masalah dengan orang-


orang Eropa, kalian tidak boleh takut ketika mereka menggebrak meja dan
membentakmu. Jangan terbujuk oleh kata-kata manis. Ingatlah selalu pelajaran
ini, yang diajarkan kepadaku oleh kakekmu, karena apa yang keluar dari bibir
orang-orang Eropa itu semanis madu, sedangkan hatinya menyerupai hati
anjing.”33
Perjuangan yang dilakukan Diponegoro adalah perjuangan untuk merebut
kekuasaan politik di Kesultanan Yogyakarta (yang saat itu berada dalam kontrol
penjajah Belanda) yang direncanakan secara cermat, rahasia, dan lama, dengan
tujuan membangun balad Islam yang berlandaskan Qur'an di tanah Jawa. Perlawanan
ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari konflik yang latent di antara bangsawan
Jawa, yang oleh John Keegan disebut sebagai permanent warfare yang beraspek
politik dan budaya.34
Diponegoro ingin menjadi Sultan yang terbebas dari ikatan masyarakat Jawa
yang jahiliyah, yang telah dipengaruhi oleh budaya kafir. Ia menanggalkan baju
Jawanya dan menggantikannya dengan jubah, pakaian Rasul. Susunan organisasi
pasukannya dan hirarki kepangkatannya meniru model Turki Usmani, bukan model
barat. Pangkat-pangkat seperti Alibasah, Basah, Dulah dan Seh tidak terdapat dalam
organisasi kemiliteran kraton Jawa. Garis komando antara Diponegoro dan para
pimpinan mandala perang sangat jelas.35
Senjata dan perlengkapan militer Diponegoro tidak kalah dengan musuhnya,
mereka menguasai semua jenis senjata yang digunakan musuhnya, sehingga ketika
berhasil merampas senjata dari musuh pasukan dapat menggunakannya dengan
baik. Tentara reguler Diponegoro memiliki senjata api dan meriam yang bagus.
Seorang komandan pasukan Belanda melaporkan tentang kubu pertahanan yang
berhasil direbut dari pasukan reguler Diponegoro:
“Belum pernah mereka menunjukkan perlawanan yang begitu
hebat. Senjata mereka semua baik dan terdiri dari model eropa yang
lazim. Meriam satu-satunya yang mereka tinggalkan di benteng mereka
merupakan meriam yang bagus berkaliber satu pon.”
Walaupun perlengkapan Belanda yang dirampas banyak dimanfaatkan,
Diponegoro juga mendapatkan mesiu dari produsen lokal yang telah dipersiapkan di
desa-desa di berbagai kabupaten bagian Selatan dan Barat Yogya. Desa-desa tersebut
antara lain desa Samen di kawedanan Pandak dekat Bantul, Into-into di kali Progo,
dan desa Geger (Samigaluh) serta Dekso di Kulonprogo.
Di kawasan Dekso juga memproduksi peluru meriam dari timah untuk pasukan
Diponegoro. Menurut sejarawan militer Belanda, P.M. Lagordt-Dillie, mesiu yang
dihasilkan sendiri oleh pasukan Diponegoro, khususnya yang dibuat di into-

33 Vincen Houben, Keraton Dan Kompeni, Surakarta Dan Yogyakarta 1830-1870, Penerbit Mata Bangsa
Yogyakarta 2002. h.17-19
34 Saleh Asad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830, Suatu Kajian Sejarah
Perang, Disertasi Bidang Ilmu Pengetabuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2002,
18 h.295
35 Djamhari, op.cit. h.25-27
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

into bermutu sangat tinggi.36 Di Kulonprogo ada seorang ulama yang ahli dalam
pembuatan mesiu yaitu Haji Amattahir. Ia adalah salah seorang ulama kepercayaan
Sultan Hamengkubuwono II yang kemudian diangkat menjadi Demang Desa Samen
dan menjadi salah satu pendukung Diponegoro mengobarkan perang sabil.37
Seluruh Kesultanan Yogyakarta bergolak, Beberapa Bupati Monconegoro,
melakukan aksi perlawanan terhadap Belanda dan Kesultanan. Pada 17 Agustus
1825 di Kadipaten Serang, Pangeran Serang yang tergolong kelompok Kasepuhan,
menantu Pangeran Mangkudiningrat yang dibuang bersama Sultan Sepuh ke Ambon,
dan Pangeran Notoprojo alias Pangeran Papale dan Bupati Gagatan yang termasuk
wilayah Kesunanan Surakarta ikut memberontak.38
Kebijakan perpajakan yang semakin memberatkan, persewaan tanah dan
pengusiran rakyat dari desa-desa oleh para penyewa semakin menjauhkan
masyarakat dengan pemimpinnya, merupakan puncak kegelisahan masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat lapisan bawah Diponegoro adalah Ratu Adil yang
ditunggu kedatangannya. Rangkaian peristiwa dan cita-cita membentuk balad
Islam tersebut menjadi faktor pendukung mengapa perlawanan dengan cepat
meluas dan sulit dipadamkan dengan kekuatan militer.39
Sebagian besar rakyat Mataram dengan sukarela mendukung dan bergabung
dengan pasukan sabil Diponegoro. Diponegoro benar-benar telah berhasil
menyatukan seluruh komponen dan sumberdaya rakyat Jawa saat itu melawan
musuh bersama, kafir Belanda dan Cina yang telah menyengsarakan rakyat.
Seorang komandan pasukan gerak cepat Belanda di Bagelan Timur pada juli 1826
menceritakan:
Penduduk desa biasa di sini begitu menyatu dengan para pemberontak“
sehingga mereka langsung bergabung dengan musuh dan menyerang
orang-orang kita dengan tembakan ketapel yang menyebabkan beberapa
40
”.orang kita cedera

De Stuers menggambarkan bagaimana petani-petani Jawa bisa den-


gan mudah beralih dari pekerjaan tani ke penyergapan pasukan Belanda dan
sekutunya. Mereka selalu menyisipkan sebuah keris di pinggang, biasanya
disembunyikan dilipatan celana pendek sementara mereka mengolah sawah.
Ketika terjadi perang mereka segera menjadi juru tombak dengan cara mengi-
katkan senjatanya di ujung sebuah bambu. Senjata semacam ini paling umum
digunakan karena keefektifannya. Keris yang dimodifikasi menjadi tombak
tersebut digunakan untuk menjatuhkan tentara Belanda dari kudanya saat
.mereka mengisi ulang bedilnya

36 Ibid. h.716-717
37 Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830, Skripsi Program Studi
Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013. h.19
38 Djamhari, op.cit. h.92
39 Djamhari, op.cit. h.94
40 Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di Jawa, 1785-1855, Jilid 2, 19
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011, h.718-719
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

Setelah penyergapan selesai, mereka mencopot kerisnya dan kembali ke


rumahnya meneruskan hidup sebagai petani yang damai. Karena itu perang sabil
Diponegoro ada yang menyebut sebagai bentuk pemberontakan agraris, semacam
perlawanan petani seperti yang terjadi di Vendee, Prancis Barat (1793-1795).41
Sebagian besar rakyat dan pejabat kesultanan serta para bupati mendukung
perjuangan Diponegoro. Kali ini Belanda bukan hanya menghadapi seorang
pemberontak namun menghadapi perlawanan hampir semua orang Jawa dan para
pemimpinnya. Bahkan para bandit dan orang-orang dari dunia hitam pun bersatu
padu mendukung perang sabil yang dilancarkan sang Sultan Ngabdulkamid. Perang
sabil telah benar-benar berkobar di tanah Jawa. Dengan segala kekuatan militer
dan pendanaan yang besar sekalipun Belanda kesulitan menghadapi perang yang
didukung hampir semua masyarakat Jawa.
"Perang Jawa" berawal 19 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830, telah menelan korban
yang amat besar, menimbulkan penderitaan, keletihan yang luar biasa bagi semua
pihak. Lebih kurang 12749 meninggal di rumah sakit di wilayah Daerah Militer
Besar II, (Jawa Tengah). Jumlah seluruh korban yang hilang dan mati dalam perang
sejumlah 15.000 orang, yang terdiri atas 8.000 orang dari Eropa. Expeditionnaire
Afdeeling (yang datang dari Nederland pada 1826) yang berkekuatan 3134 orang,
lebih dari dua pertiganya tewas. Sisanya kurang dari sepertiganya memilih tetap
berdinas sebagai NOIL.
Hanya seperenam dari mereka yang kembali ke Eropa. Untuk membiayai perang
yang lama dan melelahkan ini Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan biaya
f.5.000.000, setiap tahunnya. Seluruh biaya ditaksir sejumlah f.25. 000.000 (25 juta
gulden atau setara dengan 2,2 miliar dolar AS saat ini).42
Perang Jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah
Indonesia pada umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman modern. Itulah
masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial Eropa menghadapi
pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh
Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utara
Jawa terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari
seluruh penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh
lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai
200.000 orang.43
Perang ini merupakan fase terakhir keterlibatan tentara Jawa dalam
peperangan. Sebab setelah Perang Diponegoro, pemerintah kolonial menerapkan
strategi baru dengan mengurangi prajurit kraton dan pengiring para bupati.44

41 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.719


42 Djamhari, op.cit. h.20-21
43 Peter Carey, The Origin of Java War (1825-1830), English Historical Review, 1976, hal. 52
44 Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan
20 Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997.
h.iv
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

Pelucutan oleh penjajah Belanda Pasca Perang Jawa


Seusai Perang Diponegoro, terjadilah perubahan besar dunia keprajuritan Jawa.
Kekuatiran terhadap munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa membuat pemerintah
kolonial Hindia Belanda mengeluarkan strategi baru. Untuk melemahkan kekuatan
orang Jawa, selain diadakan Tanam Paksa, maka pasukan kraton didemobilisasikan.
Bangsawan Kraton dipisahkan dari rakyat dengan cara menghapus tanah lungguh
para bangsawan pejabat kraton dan, juga perampasan tanah-tanah mancanegara.
Dengan dihapusnya tanah lungguh, berarti para bangsawan tidak lagi memiliki basis
masa di pedesaan. Akibat lebih jauh tradisi dan potensi militer kerajaan menjadi
lumpuh. Semangat, kemampuan dan ketrampilan prajurit terus merosot. Terlebih
lagi dengan dihapusnya tradisi Watangan atau Seton (tradisi latihan perang setiap
hari Sabtu) pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830-1858) di Surakarta.
Tradisi ini dimulai pada masa Sultan Agung, yang berhasil membawa Mataram pada
puncak kejayaan. Dengan begitu prajurit Jawa benar-benar kehilangan arena berlatih
yang sekaligus juga ajang pencarian bakat militer.45
Pemberlakuan sistem Tanam Paksa semakin melemahkan orang Jawa secara
ekonomi, karena dalam praktiknya sistem sewa (pajak) tanah masih diberlakukan.
Dengan masih berlakunya sewa tanah petani semakin sengsara karena diperas
pemerintah kolonial Belanda. Kalau sebelum diberlakukan sistem tanam paksa,
petani hanya membayar sewa tanah saja tanpa harus menyerahkan hasil panennya
pada pemerintah. Sedangkan dalam sistem yang baru, petani harus membayar sewa
tanah yang digarapnnya dan hasil panennya harus diserahkan pada pemerintah
sesuai aturan sistem tanam paksa. Sistem ini sangat menguntungkan pemerintah
penjajah Belanda karena mendapat uang dan barang dari petani. Jenis komoditas
ditentukan dan dipaksa harus ditanam dan hasil panenya disetorkan pada pemerintah
merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan di pasar Eropa, sehingga penjajah
memdapatkan banyak dana segar dari penjualan tersebut.46
Kekalahan Diponegoro pada tahun 1830 membuka jalan bagi pengenalan
‘Cultivation System’ (Sistem Tanam Paksa) yang digulirkan oleh Johannes van den
Bosch (1830-1877), dimana produk Jawa dibeli oleh pemerintah penjajah Belanda
dengan harga tetap yang rendah dan kemudian dijual di pasar dunia sesuai dengan
harga internasional. Sebuah sistem yang memberikan penghasilan bersih kepada
Belanda sebesar 832.000.000 gulden (setara dengan USD 75 miliar hari ini).47
Perkembangan pasca Perang Jawa semakin membenarkan keprihatinan Diponegoro
atas ketidakadilan perdagangan antara orang Jawa dan penjajah Belanda.48 Perang
diponegoro menjadi perang perlawanan besar terakhir di Jawa sampai menjelang
era kemerdekaan Indonesia.
Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa penuh atas Jawa setelah perang
Jawa, pasukan-pasukan bersenjata Keraton yang sudah lemah tersebut makin
dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer. Menurut catatan, semasa

45 Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.17


46 Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Pustaka LP3ES, Indonesia, cetakan pertama juli 2003. h.15
47 Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1300, Basingtoke: Macmillan, 1993, hal. 123 21
48 Laporan Khusus Syamina Edisi XII/Juni 2014
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII - Hamengku Buwono VIII (1877-1939)


terdapat 13 kesatuan prajurit atau bergada, yaitu Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung,
Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero,
Langenastro, Surokarso, dan Bugis.49
Di masa berikutnya satu-satunya kerajaan yang diberi kesempatan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memelihara tentara yang agak lengkap
hanya Mangkunegaran, yang dinilai loyal dan tidak membahayakan. Jika pada
saat awal perjuangan Raden Mas Said hanya memiliki 10 korps prajurit termasuk
di dalamnya korps prajurit wanita. Setelah dinobatkan menjadi Mangkunegara I
pasukannya pernah berkembang menjadi 35 korps dengan kekuatan 2.120 infanteri
dan 484 kavaleri. Namun seusai Perang Diponegoro, kekuatan Legiun Mangkunegara
kembali susut hanya tinggal kira-kira 1.000 orang.
Surakarta, yang mewarisi Mataram semula hanya memiiiki 15 korps prajurit,
yaitu: Sarageni, Nirbaya, Brajanala, Wisamarta. Kanoman, Sangkraknyana,
Martalulut, Singanagara, Priyantaka, Sarareja, Panyutra, Mahudara, Mijipinilih,
Tanuastra dan Andrangbaya. Di masa berikutnya kemudian dikembangkan
dengan menambah kesatuan seperti: Tamtama. Carangan, Anirwesthi, Anirmala,
Anirwikara, Anirpringga, Anirbaya, Dorapati, Talangpati, Jayengastra, Udan-udanan,
Jagapraya, Prawireng, Balambangan, Tenisan, Rajegwesi, Macanan, Wanengan dan
Trunakembang.50
Di Kasunanan Surakarta kekuasaan Sunan di bidang politik mencakup pula
kemiliteran, dilimpahkan kepada patih, yang strukturnya disebut Reh Kepatihan
atau Reh Kepradatan. Patih dibantu oleh 8 Bupati Nayaka, yang terdiri dari 4 Bupati
Lebet dan 4 Bupati Jawi. Pengawas bidang keprajuritan dan pengatur perlengkapan
perang berada di bawah urusan 4 Bupati Lebet, yaitu yang disebut Keparak Kiwa,
Keparak Tengen, Gedong Kiwa, dan Gedong Tengen. Di Surakarta selain prajurit
reguler terdapat pula sekelompok abdi dalem yang tugas pokoknya adalah mengurus
segala keperluan ibadah dan upacara keagamaan tetapi juga bertugas sebagai
pengawal Sunan, yaitu abdi dalem Suranata.
Abdi dalem Suranata ini pembentukannya sudah ada sejak zaman Kerajaan
Demak, yaitu sebagai kelompok ulama bersenjata yang bertugas mengawal para
sultan Demak, sekaligus mengurus hal-hal yang bersifat keagamaan. Di Kasunanan
Surakarta abdi dalem Suranata merupakan kelompok pegawai kraton yang setengah
militer dan setengah religius yang merupakan bagian dari prajurit jero (prajurit
internal kraton). Meskipun setengah militer, namun di dalam struktur pemerintahan
kraton, abdi dalem Suranata bersama-sama dengan pengulu, khotib, ulama daerah,
naib, muazzin, dan merbot masuk di dalam Reh Kapangulon. Reh Kapangulon adalah
struktur yang menjalankan kekuasaan raja dalam bidang keagamaan.51

49 Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa, Berkala Arkeologi
Tahun XXVII No. 2 / November 2007, h.45
50 RM. Sarwanta, 1978:5-6, Humas Kebudayaan Kraton Surakarta, 1990 :1-5, dalam: Wahyudi dan Priyanto,
Ksatria Jawa, h.17
22 51 Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa, Berkala Arkeologi
Tahun XXVII No. 2 / November 2007, h. 45-46
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

Di Jogyakarta terlihat adanya 10 korps prajurit, yaitu: Wirabraja, Daeng,


Patangpuluh, Jagakarya, Prajurit wiratama, Nyutra, Retanggung, Mantrijero
(termasuk di dalamnya pasukan bertombak Langenastra), Bugis dan Surakarsan.
Sementara di Pakualaman hanya ada dua korps, yaitu Plangkir dam Lombok Abang.52

Hilangnya Keprajuritan dari Konsep Kesatria Jawa


Di tengah kebuntuan perkembangan militer secara fisik iniiah konsep tentang
ksatria Jawa mulai dikembangkan yang aktualisasinya tidak lagi berhubungan
dengan organisasi kemiliteran. Sejalan dengan kebudayaan (ide kepriyayian), maka
ide ksatria yang ditanamkan lewat wayang dan piwulang itu lebih ditekankan pada
segi moral dan etika. Masa pemerintahan Mangkunegara IV di Surakarta merupakan
masa puncak penyebaran ide ksatria. Hal ini ditandai dengan lahirnya naskah-naskah
tradisi (babad), penulisan kembali kitab-kitab sastra lama dan Iahirnya cerita-cerita
wayang dalam bentuk carangan.
Sejak itu dunia keprajuritan Jawa hidup dalam bayangan. Kebesaran, kemegahan,
keperkasaan prajurit dan ksatria Jawa hanya tinggal kenangan, yang tersimpan
dalam catatan sejarah, naskah babad, kronik atau cerita tutur, tempat bangsa Jawa
bernostalgia pada kebesaran masa iampau. Aliran darah prajurit dan tradisi ksatria
pada bangsa Jawa seolah-olah lenyap tinggal bekas-bekasnya.
Dalam masa-masa itu kebanggaan rakyat Jawa terhadap tentaranya hampir-
hampir lenyap. Kekecewaan mereka terungkap dalam beberapa naskah Jawa. Suluk
Maa Nganten dalam Socat Wulang dengan sinis membandingkan tentara Jawa dengan
pasukan bangsa lain. Pasukan Sepohi disebutnya sebagai orang-orang kepaung,
sukanya bikin onar, penipu dan sering mengambil barang tanpa membayar.
Prajurit Kompeni Belanda dikatakan walaupun pernberani, tetapi culas. Mereka
bersikap baik jika akan mendapat sesuatu. Sedangkan prajurit Prasman (Perancis),
dipuji karena pakaiannya yang bagus, tetapi disebutnya sebagai pesolek.
Bagaimana dengan prajurit Jawa? Dikatakannya bahwa prajurit Jawa senangnya
meniru. Jaman Belanda meniru Belanda, jaman Prasman meniru Prasman dan di
jaman inggris meniru Inggris. Seragamnya yang berkali-kali ganti hanya menambah
pengeluaran, karena kegagahannya sebagai prajurit tidak nampak. Mengapa? Karena
kekuatan mereka lemah. Kalau maju perang, mereka ibarat tanggul yang terbuat dari
merang (jerami), yang mudah larut diterjang banjir. Dengan sinis dikatakan pula
bahwa mereka itu bodohnya seperti kerbau. Tidak punya inisiatif dan tahunya hanya
kalau diperintah. Akan tetapi angkuhnya bukan main. Kalau berjalan berbondong-
bondong, melebar memenuhi jalan. Setiba di rumah kegagahannya hilang karena
ditagih hutang.
Selama masa pemerintah penjajah Hindia Belanda tampaknya mereka sengaja
menjauhkan orang Jawa dari hal-hal yang berbau keprajuritan. Kalaupun ada militer
di Jawa atau di Indonesia, tidak terlepas dari konteks militer kolonial. Selama itu
dunia keprajuritan jawa tidak lagi melahirkan sosok ksatria ataupun prajurit pilihan
seperti Senopati, Sultan Agung, Surapati, Mangkubumi, Sambernyawa, Diponegoro
23
52 Yudadiprodjo, 1990, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.17-18
Edisi 7 / Mei 2018 SYAMINA

dan lain-lain. Semangat dan jiwa keprajuritan bangsa Jawa baru muncul kembali
setelah Indonesia dibawah pendudukan Jepang.53 Saat itu banyak penduduk pribumi
direkrut oleh jepang untuk menghadapi kekuatan tentara sekutu pada perang dunia
kedua.
Dunia keprajuritan Jawa sejak era Demak hingga Mataram telah mengalami dua
proses perwujudan, yaitu: 1) berupa manifestasi dalam dunia prajuritan Jawa bersama
tradisi yang ada. Bentuk ini mengalami stagnasi akibat perubahan politik, ekonomi,
sosial dan kultrural di masa kolonial, sehingga tinggalah sisa-sisa kebesaran dari
kejayaan masa lampau. 2) Berkembangnya dunia ide (pemikiran) akibat aktualisasi
secara fisik mengalami jalan buntu. Namun ide tentang keprajuritan itu telah banyak
diadopsi untuk mengisi kejiwaan tentara modern Indonesia, seperti rumusan Sapta
Marga, Doktrin TNI yang banyak didominasi oleh konsep keprajuritan dalam budaya
Jawa.54

Daftar Pustaka:
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Pustaka al-Kautsar Jakarta, 2010
Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yayasan Untuk
Indonesia, Yogyakarta, 2000.
De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta:
Pustakan Utama Grafiti, 1990)
Drs Sutjipto Wirjosuparto, Dari Lima Zaman Pendjadjahan Menudju Zaman
Kemerdekaan, penerbit: Indira, 1958, http://arsip.tembi.net/yogyakarta-
tempo-doeloe/permainan-sodoran-di-mataram-sekitar-abad-ke-17
Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830,
Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2013.
Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas: model
pembangunan Indonesia Baru menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam
Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005),
Jono de Barros, Decada Primiera a Segunda terbit 1552, jilid III
Jurnal Maritim, Serangan Pati Unus di Selat Malaka, http://jurnalmaritim.
com/2015/01/belajar-dari-kegagalan-serangan-pati-unus-di-selat-malaka/
M, Khafid Kasri & Pujo Semedi. Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagah Wangi.
Diterbitkan kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak 2008.
Meilink, Persaingan Eropa & Asia di Nusantara, Sejarah Perniagaan 1500-1630,
Komunitas bambu Jakarta 2016.
53 Fachry Ali, 1986:172, R.M. Riya Jayadiningrat I, 1981:207-209, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa,
h.15-19
54 Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan
24 Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997.
h.iv-v
SYAMINA Edisi 7 / Mei 2018

Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Penerbit Pustaka


Yogyakarta, 2006
Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di
Jawa, Berkala Arkeologi Tahun XXVII No. 2 / November 2007
Peter Carey, Inggris di Jawa 1811-1816, Penerbit Kompas, Jakarta, 2017.
Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di
Jawa, 1785-1855, Jilid 2, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011,
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius,
1987),
Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1300, Basingtoke: Macmillan, 1993

Ricklefs, Jogyakarta Under Sultan Mangkuhumi 1749-1792, A History of the Division


of Java, University Microfilms, 1982
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi, 2005
Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Pustaka LP3ES, Indonesia, cetakan
pertama juli 2003.
Saleh Asad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830,
Suatu Kajian Sejarah Perang, Disertasi Bidang Ilmu Pengetabuan Budaya
Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2002
Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika,
Moral Dan Tradisi Keprajuritan Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan
Penelitian Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997
Sartono Kartodirdjo. Sejarah Nasional III. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta 1975
Selo Soemarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, cetakan kedua diterbitkan oleh
Komunitas Bambu Jakarta, 2009.
Vincen Houben, Keraton Dan Kompeni, Surakarta Dan Yogyakarta 1830-1870,
Penerbit Mata Bangsa Yogyakarta 2002

25

Anda mungkin juga menyukai