Anda di halaman 1dari 8

Search…

Search:

SOLUSI MASALAH AHMADIYAH

01 Minggu Agu 2010

Posted by fanya cinthya in Uncategorized

≈ 7 Komentar

SOLUSI MASALAH AHMADIYAH

Dr Syamsuddin Arif *
Mirza Ghulam Ahmad diantara para petinggi Pemerintah Kolonial Inggris

“Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula
bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu],” tulis Ir Sukarno dalam bukunya, Di Bawah
Bendera Revolusi, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung, Jakarta, 1963, halaman 345.

Mantan Presiden RI pertama itu tidak keliru dan bukan pula sendirian. Jauh sebelum itu,
tokoh pemikir masyhur Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, perdana
menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian
sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad
SAW adalah pengkhianat kepada Islam: “No revelation the denial of which entails heresy is
possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam” (Lihat:
Islam and Ahmadism, cetakan Islamabad: Da’wah Academy, 1990, halaman 8).

Iqbal menangkap banyak kemiripan antara gerakan Ahmadiyah di India dengan Babiyah di
Persia (Iran), yang pendirinya juga mengklaim dapat wahyu sebagai nabi. Menurut Iqbal,
tokoh-tokoh kedua aliran sesat ini merupakan alat politik ‘belah bambu’ kolonialis Inggris –
yang waktu itu masih bercokol di India– dan imperialis Rusia, yang sempat menjajah Asia
Tengah dan sebagian Persia. Akidah mereka adalah ‘kepasrahan pada penguasa’ (political
servility), jelas Iqbal (halaman 13).

Jika pemerintah Rusia mengizinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad,


Turkmenistan, maka pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat misi mereka
di Woking, wilayah tenggara England.

Bagi Iqbal, doktrin-doktrin Ahmadiyah hanya akan mengembalikan orang kepada


kebodohan. Inti dari Ahmadisme atau Qadianisme –demikian Iqbal lebih suka menyebutnya–
adalah rekayasa mencipta sebuah umat baru bagi nabi India (sebagai tandingan nabi Arabia):
“to carve out, from the Ummat of the Arabian Prophet, a new ummat for the Indian
prophet.” (halaman 2).

Seorang ulama India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi,
sesudah mempelajari secara intensif dan objektif perjalanan hidup dan ‘evolusi’ Mirza
Ghulam Ahmad dari seorang santri sederhana hingga menjadi pembela agama (1880) dan
mengaku imam mahdi alias masih maw’ud (1891) serta menganggap dirinya nabi (1910),
menyimpulkan bahwa gerakan Ahmadiyah ini hanya menambah beban pekerjaan rumah umat
Islam, memecah-belah mereka, dan membikin masalah umat kian rumit (Lihat: Qadianism: A
Critical Study, cetakan Lucknow 1980, halaman 155).

Bahwa esensi ajaran Ahmadiyah adalah klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad juga
disimpulkan oleh Yohanan Friedman, peneliti dari Hebrew University of Jerusalem, dalam
bukunya, Prophecy Continous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval
Background, Berkeley: University of California Press, 1989, halaman 119, 181 dan 191.

Ajaran sesat Ahmadiyah dibawa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925 oleh beberapa
pemuda asal Sumatra yang pernah dididik di Qadian, India, selama beberapa tahun. Demi
menyebarkan pahamnya, misionaris Ahmadiyah telah menerbitkan majalah Sinar Islam,
Studi Islam, dan Fathi Islam. Keresahan yang ditimbulkan oleh gerakan penyesatan umat ini
sempat menyeret mereka beberapa kali ke dalam debat terbuka pada 1933 di Bandung (Lihat:
Fawzy S. Thaha, Ahmadiyah dalam Persoalan, cetakan Singapura, 1982).

Meski telah dinyatakan sesat dan kafir (murtad) oleh tokoh-tokoh Islam pada Muktamar ke-5
Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1930 di Pekalongan dan musyawarah Ulama Sumatra Timur
tahun 1935, kasus Ahmadiyah kembali mencuat pada 1974 setelah parlemen Pakistan dengan
tegas menyatakan penganut Ahmadiyah bukan orang Islam (not Muslim) di mata hukum dan
undang-undang negara.

Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang waktu itu dipimpin Buya Hamka telah
pula menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat lagi menyesatkan, dan
orang yang menganutnya adalah murtad alias keluar dari Islam
(No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980).

Ketetapan tersebut ditegaskan kembali pada bulan Juli 2005 dalam fatwa resmi MUI yang
ditandatangani oleh Prof Dr Umar Shihab dan Prof Dr M Din Syamsuddin. Kemudian Dirjen
Bimas Islam Departemen Agama melalui surat edarannya tahun 1984 telah menyeru seluruh
umat Islam agar mewaspadai gerakan Ahmadiyah.

Terakhir, 16 April 2008 lalu Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat) menyatakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai kelompok sesat dan
oleh karenanya merekomendasikan perlunya diberi peringatan keras lewat suatu keputusan
bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (sesuai dengan UU No
1/PNPS/1965) agar Ahmadiyah menghentikan segala aktivitasnya.

Para penganut dan penyokong Ahmadiyah kerap berkelit dengan tiga dalih:

Pertama, kaum Ahmadi sama dengan kaum Muslimin karena syahadatnya sama. Padahal
orang Ahmadiyah itu berbeda dengan orang Islam bukan karena syahadat atau cara
ibadahnya, tetapi karena akidahnya yang mengimani kenabian Mirza Ghulam Ahmad.
Kedua, dalih bahwa sebagai warga negara penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya oleh
konstitusi. Melarang Ahmadiyah sama dengan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan
Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945. Di sini terselip kealpaan dan
ketidakmengertian. Alpa dan tidak paham bahwa dalam ‘menikmati’ kebebasannya setiap
orang wajib tunduk pada batasan undang-undang ditetapkan demi terjaminnya penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan keadilan sesuai
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. Artinya, penyalahgunaan kebebasan (<i>abuse of freedom</i>) ataupun tindakan
merusak tata susila, agama, dan lain sebagainya atas nama HAM sekalipun tak mungkin
dibenarkan. Apa yang diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru
di dalam rumah orang lain. Yang dipersoalkan bukan hak dan kebebasannya mendirikan
rumah, akan tetapi lokasi (di dalam rumah orang lain) dan konsekuensinya (merusak rumah
yang sedia ada).

Dengan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, warga Ahmadiyah telah melakukan
penodaan dan penghinaan terhadap agama Islam, di mana tidak ada nabi dan rasul lagi pasca
wafatnya Muhammad Rasulullah SAW.

Lebih dari itu, propaganda Ahmadiyah terbukti menimbulkan keresahan dan perpecahan
tidak hanya di dunia Islam, seperti temuan Dr Tony P Chi dalam disertasinya tentang misi
mereka di Amerika (1973), halaman 134-5: “Ahmadiyya preaching and propagation have
instigated unrest and dissension in the Muslim World.”

Oleh karena itu solusinya ialah melarang Ahmadiyah atau mengeluarkannya dari ‘rumah
Islam’. Hanya dengan jalan itu Ahmadisme dengan nabinya (MGA) bisa bebas dan menjadi
agama baru seperti halnya Mormonisme di Amerika.

Ketiga, dalih bahwa kaum Muslim harus mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan
dalam menyikapi Ahmadiyah. “Abu Bakr as-Shiddiq ra adalah orang yang paling penyayang
di kalangan umatku (arhamu ummati),” sabda Rasulullah SAW. Namun manakala muncul
sekelompok orang yang durhaka kepada Allah dan Rasulullah, beliau tidak segan-segan
mengambil tindakan tegas atas mereka.

Perkara Ahmadiyah bukan persoalan kebebasan beragama. Islam memberikan kebebasan


kepada siapa pun untuk memeluk — bukan merusak — agama apapun, sesuai dengan firman
Allah: “Tidak ada paksaan dalam urusan agama” (Al-Baqarah: 256) serta “Bagimu
agamamu dan bagiku agamaku” (Al-Kafirun: 6). Ayat-ayat ini ditujukan kepada agama lain
di luar Islam, bukan terhadap agama dalam agama. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sebagai
kepala negara bersikap tegas kepada para nabi palsu semacam Musaylamah dan Thulayhah:
bertobat atau diperangi (Lihat: Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 13:109).

Nah, Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya telah durhaka kepada Allah dan RasulNya. Jika
statusnya Muslim, maka sudah semestinya tunduk pada ketetapan hukum Islam yang berlaku.

Namun jika statusnya non-Muslim, maka terpulang kepada negara apakah akan mengakui
dan melindungi keberadaannya sebagai sebuah agama baru –selain Hindu, Buddha, Islam,
Katholik dan Protestan — atau sebaliknya.

* Staf Pengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia.


About these ads

Terkait

Inilah alasan knp umat muslim menentang Ahmadiyahdalam "Islam"

RENUNGANDengan 16 komentar

Heboh! Pendeta Kristen Gelar Kuis 'Trinitas Iblis' Berhadiah 1 Milliardalam "Islam"

About fanya cinthya


I'm just a person trapped inside a woman's body. Elayne Boosler
View all posts by fanya cinthya »

Navigasi pos
← Previous post Next post →

7 thoughts on “SOLUSI MASALAH AHMADIYAH”

1. Fanya said:

Agustus 1, 2010 pukul 6:33 pm

Sehubungan dengan ditetapkannya KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA,


JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 3 Tahun 2008; Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008 dan Nomor : 199 Tahun 2008
tentang TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT,
ANGGOTA, DAN/ATAU
ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN
WARGA MASYARAKAT, pemerintah seyogianya mengambil langkah-langkah
hukum kongkrit demi menjaga kewibawaan pemerintah terkait sanksi-sanksi
sebagaimana diatur dalam diktum 1 s/d 7 yg menjadi muatan pokok SKB tsb,
khususnya diktum keenam yg berbunyi : “Memerintahkan kepada aparat Pemerintah
dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka
pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.”

Manakala Pemerintah tidak konsisten bahkan seolah membiarkan para pendukung dan
penganut Ahmadiyah
secara leluasa menginjak-injak ketentuan dengan melanggar diktum ke-1 s/d 3 tanpa
sanksi apapun, masyarakat dengan mudah hilang kepercayaan thdp kesungguhan
pemerintah yg dapat memicu tindakan main hakim sendiri dan anarkisme yg berujung
dengan chaos.
Mudah-mudahan pemerintah cq. aparat terkait betul2 serius mewaspadai, menangani
dan menghindari kemungkinan terburuk yg dpt mengganggu stabilitas nasional dan
integritas bangsa ini.

Rate This

Balas

2. nuansa pena said:

Agustus 1, 2010 pukul 7:35 pm

Artikel yang menambah wawasan saya, trims!

Rate This

Balas

3. Bangauputih said:

Agustus 1, 2010 pukul 7:36 pm

ada banya masalah penting yang jadi fokus utama pemerintah untuk dislesaikan salah
satunya adalah soal ahmadiyah ini, bukannya sibuk mengurusi kasus pornografi yang
stag disitu-situ aja. :-)

 
0

Rate This

Balas

4. Ping-balik: Cara Berkenalan Blog Dengan Pingbacks Untuk Menambah Backlink |


Prasaja.com

5. dark said:

Agustus 2, 2010 pukul 12:18 am

perlu kerja keras buat semua itu bos, negara kita penuh keanekaragaman, so sulit buat
keluar dari masalah ini

nice post, salam kenal

Rate This

Balas

6. Dahrun Marada said:

Agustus 6, 2010 pukul 12:50 pm

Sepengetahuan saya Mirza Ghulah Ahmad adalah pioner yang di angkat oleh penjajah
Inggris dikala itu untuk menghancurkan Islam dari dalam. Karena pada masa India
dan Pakistan masih bersatu, penjajah Inggris waktu itu sulit menghadapi perjuangan
orang-orang Islam. Maka di carilah sosok yamg bisa mereka atur dan bina untuk
menghancurkan Islam.

 
1

Rate This

Balas

7. dildaar80 said:

Mei 24, 2011 pukul 7:02 pm

Solusi iatu apa sih? masalah selesai?

Masalah selesai soal akidah dan keyakinan itu hanya di akhirat karena Hakim yg
sebenarnya soal pikiran dan hati adalah Allah subhaanahu wa ta’aala

Anda mungkin juga menyukai