1. Pendahuluan
Pada tanggal 09 Juni 2008, Menteri Agama RI, Muhammad Mahtuh Basyuni, S.H.
mengumumkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung RI, dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 3 tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008 dan No.199 Tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang
Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau anggota-anggota pengurus Jamaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Ummat Islam ada yang bertanya : Apa itu Ahmadiyah dan mengapa.?. Sementara sebagian mereka
berkata Ahmadiyah punya nabi sendiri selain Nabi Muhammad saw. Sampai disitu mereka tahu.
Hal ini dapat dimaklumi karena da’wah Ahmadiyah kepada Ummat Islam senantiasa
memperkenalkan jemaatnya bahwa Ahmadiyah itu Islam. Satu-satunya yang membedakan kami dengan
Islam bukan Ahmadiyah ialah mengenai masalah kenabian. Rasulullah saw menubuatkan kedatangan
Nabi Isa, Imam Mahdi pada akhir zaman. Kami (Ahmadiyah) yakin bahwa Nabi Isa, Imam Mahdi
sudah datang itulah Mirza Gulam Ahmad , sementara Ummat Islam mengatakan “tidak”.
Kedatangan Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi, Isa Al-Masih dan sekaligus Imam Mahdi tidak
membawa syariat, tidak menambah atau mengurangi seujung rambutpun dari ajaran syariat yang dibawa
Nabi Muhammad saw. Demikian kata orang Ahmadiyah.
Ketiga masalah inilah yang dibawa dida’wakan kemana-mana ke tengah Kaum Muslimin untuk
didiskusikan, diperdebatkan yaitu :
- Masalah yang berhubungan dengan kenabian. Masih mungkinkah datang nabi sesudah Nabi
Muhammad. Pengertian Khataman Nabiyyin, Penutup nabi-nabi dan seterusnya,
- Masalah yang berhubungan dengan Nabi Isa. Masih hidupkah atau sudah mati ? . Kedatangan Nabi
Isa, apakah akan datang atau tidak, apakah sudah datang atau belum, kalau sudah datang siapa
orangnya dan seterusnya,
- Masalah yang berhubungan dengan Imam Mahdi dan seterusnya.
Masalah-masalah Islam yang sifatnya menyeluruh tidak dipahami karena kurang diperhatikan atau
dipelajari di dalam Ahmadiyah seperti masalah-masalah fiqih tidak diajarkan (Hr 32). Zakat diganti
dengan iuran 1/16. Demikian pula masalah haji ke Makkah al-Mukarramah tidak dianjurkan, sebaliknya
menggalakkan pengikutnya agar berusaha sekuat mungkin pergi ke Qadian dan Rabwah. (Hr 23)
Perbedaan Ahmadiyah dengan Ummat Islam tidaklah sekedar masalah kenabian Mirza Gulam
Ahmad saja, tetapi Ahmadiyah menyebarkan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-
pokok ajaran Agama Islam, baik yang menyangkut masalah aqidah maupun syari’at. Orang-orang
Ahmadiyah, dengan terang dan jelas mengasingkan diri mereka dari dunia Islam meskipun mereka
mengaku bahwa mereka bagian dari Ummat Islam itu dikarenakan mereka telah menjadikan Mirza
Gulam Ahmad sebagai nabi, Al-Masih, dan Al-Mahdi, dan mengadakan perkumpulan yang terpisah dari
perkumpulan Ummat Islam yang bernama “Ahmadiyah” sebagai “Islam yang benar". Mereka
mengajarkan jemaatnya bahwa :
- Orang Islam yang bukan Ahmadiyah adalah Kafir.
“Semua Ummat Islam yang belum masuk kedalam bai’at Al-Masih yang dijanjikan (Al-Qadiani),
baik mereka yang telah mendengar nama Ghulam Ahmad, maupun mereka yang belum
mendengarnya, seluruhnya orang kafir, keluar dari agama Islam”. (Ainah Shadaqat 35 oleh Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad) Ch 28
- Shalat dibelakang imam orang Islam (bukan Ahmadiyah) adalah haram mutlak.
“Sesungguhnya Allah memberi tahu padaku bahwa haram secara mutlak kamu shalat dibelakang
orang yang mendustaiku atau ragu untuk mentaatiku. Kamu wajib shalat dibelakang imam kamu
sendiri. Inilah yang diisyaratkan dalam hadits; Imam kamu dari golonganmu. Artinya, jika Al-Masih
telah turun, maka tinggalkanlah golongan-golongan yang mengaku Islam dan jadikanlah Imam kamu
dari golonganmu sendiri. Laksanakanlah apa yang diperintahkan. Apakah kamu ingin amal-
amalanmu runtuh sedangkan kamu tidak merasakan ?” (Footnote Arba’in 3/75. RK 17/417. Footnote
Kolrowaih 27). Ch 29
- Nikah kepada orang Islam (bukan Ahmadiyah) adalah kekafiran.
“Barang siapa yang menyerahkan puterinya kepada ummat Islam, diusir dari Jamaah dan dia telah
kafir”. (Koran Al-Fadhl 4 Mei 1922) Chinioti 29
“Boleh mengambil anak-anak wanita ummat Islam, Hindu, Sikh, dan tidak boleh kita berikan puteri-
puteri kita kepada mereka”. (Koran Al-Fadhl 18 Februari 1930). Chinioti 28
- Menshalati jenazah orang Islam adalah perbuatan mungkar; (audah 252)
“Apakah boleh shalat atas jenazah anak-anak muslim ?. Saya mengatakan : Tidak boleh,
sebagaimana tidak bolehnya shalat atas anak-anak Hindu, anak-anak Kristen, karena Madzhab anak
mengikuti madzhab kedua orang tuanya”. (Anwar Khilafat 93, Khalifah kedua) Chinioti 31
Hal-hal semacam ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab ajaran Ahmadiyah yang sangat meresahkan dan
kalau dida’wakan akan berakibat kemarahan Ummat Islam kepada Ahmadiyah.
2. Perjalanan Organisasi Ahmadiyah
Ahmadiyah didirikan pada tanggal 23 Maret 1889 di Qadian, sebuah desa kecil di daerah Punjab
India oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku menerima wahyu dari Allah dan mengumumkan bahwa
dirinya adalah Al-Masih Isa Putra Maryam. Dia memanggil teman-temannya antara lainnya Maulvi
Hakim Nuruddin (kelak jadi Khalifah I Ahmadiyah) dan mengabarkan kepada mereka bahwa Allah telah
memberi wahyu padanya untuk membai’at pada manusia. (Audah 11, 138)
Semua wahyu yang diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad disusun dalam sebuah kitab yang bernama
Tadzkirah yang merupakan Kitab Suci bagi Jemaat Ahmadiyah.
Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia pada tahun 1908, pergerakan Jemaat Ahmadiyah selanjutnya
dijalankan oleh sahabat, anak, kemudian cucu-cucunya yang disebut Khalifatul Masih.
Sampai saat ini sudah ada 5 orang Khalifah yaitu :
Maulvi Hakim Nuruddin (Haq 96) 1908 – 1914 (Sahabat Ghulam Ahmad)
Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad 1914 – 1965 (Putra Ghulam Ahmad)
Mirza Nasir Ahmad 1965 – 1982 (Putra Khalifah II)
Mirsa Tahir Ahmad (Audah 69) 1982 – 2003 (Sudara Khalifah III)
Mirza Masroor Ahmad 2003 – …
Khalifah-khalifah inilah yang dianggap oleh pengikut-pengikut Ahmadiyah sebagai wujud-wujud yang
suci sesudah Mirza Gulam Ahmad. Mereka anggap Khalifah-khalifah itu mendapat wahyu dari Allah
yang kedudukannya sejajar dengan Nabi-Nabi Bani Israil. (Hariadi 26, Haq 97, Audah 115, 117, 102)
Ketika Hakim Nuruddin, Khalifah I wafat tahun 1914, terjadi pertentangan didalam tubuh Ahmadiyah
berkaitan dengan pemilihan khalifah ke II. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad berhasil terpilih
mengalahkan Maulvi Muhammad Ali. Dengan kekalahan dalam pemilihan ini, Maulvi Muhammad Ali
beserta pendukungnya menarik diri dari Jemaat Ahmadiyah lalu mendirikan jemaat yang berpusat di
Lahore, (Haq 30) sejak itu Ahmadiyah terpecah yaitu :
- Ahmadiyah Qadian dibawah pimpinan Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad; yang mengakui Mirza
Gulam Ahmad sebagai Nabi.
- Ahmadiyah Lahore dibawah pimpinan Maulvi Muhammad Ali, yang tidak mengakui kenabian Mirza
Gulam Ahmad. Suatu keanehan karena masih mengakui sebagai pemimpin mereka padahal Mirza
Gulam Ahmad secara terang-terangan mengaku sebagai Nabi..
Pada thn 1947 Pusat Pergerakan Ahmadiyah pindah dari Qadian, India ke Rabwah, Pakistan (Amin 198)
Ketika Amandemen Konstitusi Pakistan menyatakan Orang-orang Ahmadiyah sebagai Non
Muslim. Kemudian keluar Peraturan Pemerintah Pakistan tahun 1984, disertai tekanan dan ancam
hukuman bagi orang-orang Ahmadiyah yang tidak menaati, memaksa Khalifah Ahmadiyah ke 4 Mirza
Tahir Ahmad melarikan diri, mengungsi ke London Inggris pada karena takut ditangkap dan dipenjarakan
oleh Pemerintah Pakistan (Hariyadi 164).
Ahmadiyah masuk di Indonesia diperkirakan pada tahun 1935 (Cpita Selekta 30). Mendaftarkan diri
sebagai Badan Hukum pada Dep Kehakiman tahun 1953 dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Ahmadiyah terdaftar sebagai organisasi berbadan hukum (rechtapersoon), bukan sebagai agama atau
aliran atau faham atau organisasi agama. (Haryadi 89 & Amin 89)
Kemudian Masuk di Makassar pada ahkir tahun 1960-an dibawa oleh missionary-nya Saleh A. Nahdi.
Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menda’wakan ajarannya menimbulkan keresahan dan protes
karena menodai Agama Islam. Aksi penolakan dan pelarangan Ahmadiyah muncul dimana-mana.
Demikian juga dari pemerintah; Pada masa pemerintahan Bung Karno dan pemerintahan Pak Harto,
Ahmadiyah dinyatakan sebagai aliran sesat, berada di luar Islam.
11. Mantan Muballigh Ahmadiyah yang bertaubat kembali ke Ajaran Islam yang Benar.
Ahmad Hariadi, lahir di Kediri, tanggal 2 Januari 1952, ayahnya seorang NU bernama Haji Mahfudz.
Bai’at masuk Jama’at Ahmadiyah Qadiani di Bandung pada bulan Desember 1973. Setelah masuk
Ahmadiyah, Dia tugaskan sebagai muballigh Ahmadiyah. Lebih dari 10 cabang pernah dia bertugas,
diantaranya Medan, Kebayoran Jakarta, Bali dan Lombok.
Pada tahun 1979 dia pergi ke Qadian melihat langsung keadaan pengikut-pengikutnya dan berjumpa
dengan para pemimpinnya termasuk orang yang mereka sebut Khalifatul Masih ke-3 Mirza Nasir
Ahmad di Rabwah. Ahmad Hariadi menerima Wasiyyat Certificate disebut Muushi, diakui oleh Pusat
di Rabwah sebagai seorang Ahmadiyah sejati yang dijamin masuk surga oleh Mirza Gulam Ahmad.
Setelah 10 tahun menjadi muballigh Ahmadiyah, mengetahui dan menyaksikan langsung para pemimpin
Qadiani melakukan penodaan agama Islam yang suci, merusak aqidah dan memecah belah ummat
makap pada tanggal 3 April 1986, Ahmad Hariadi mengumumkan secara resmi keluar dari Ahmadiyah.
Lalu menulis buku “Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiani” dan “Seruan untuk
Mencampakkan Diinunnas (Ahmadiyah)”
Hasan bin Mahmud Audah, lahir di Haifa (Israel), tanggal 25 Desember 1955, ayahnya bernama
Mahmud Audah, Ketua Jema’at Ahmadiyah di Haifa.
Pada tanggal 13 Agustus 1979 pergi ke Qadian, memperdalam ajaran Ahmadiyah di kota asalnya dan
melihat tempat-tempat yang disucikan disana. Pada tanggal 17 Nopember 1979, Hasan Audah
menggabung dengan golongan Muushi yaitu penerima Wasiyyat Certificate yang dijamin masuk surga.
Menikah dengan Mubarokah Toyyibah, putri Syudziri Said Ahmad, Pengurus Ahmadiyah di Qadiyan.
Pindah ke London pada tanggal 19 Okt 1985 sebagai Da’i Ahmadiyah di Britania. Hasan Audah
ditunjuk sebagai Direktur Umum Seksi Bahasa Arab dalam Jema’at Ahmadiyah, tugas ini
mendekatkannya dengan Khalifah Mirza Tahir Ahmad yang memuji dan menilai baik tugas, Dia
mendapat surat pengakuan Khalifah yang menganggapnya sebagai buah do’anya dan do’a Khalifah-
Khalifah sebelumnya. (audah 81&183)
Pada hari Senin 17 Juli 1989, Hasan Audah keluar dari Ahmadiyah, empat hari kemudian
mengumumkan sesudah khotbah Jumat di Masjid di kota Slaugh, Inggris. Jejak Hasan Audah diikuti
sudaranya Ahmad Audah, Ketua Jemaat Ahmadiyah di Swedia dan Shalih Audah, Guru Sekolah
Ahmadiyah di Haifa. (166,176), kemudian Thaha Razaq, Ketua Ahmadiyah di Yordania (182), Haji Abu
Bakar Said dan S.P Tayo dari Ghana (209) seterusnya beraratus-ratus orang meninggalkan Ahmadiyah
kembali kepada Islam (205)
Setelah keluar, Hasan Audah menerbitkan Surat Kabar “Attaqwa” terbitan perdana tanggal 17
Desember 1990 memuat seruan kepada orang-orang Ahmadiyah supaya sadar bahwa Mirza Gulam
Ahmad telah menipu dan menyesatkan, Mirsa bukan nabi. Mengajak keluarganya, dan kepada Khalifah
Tahir Ahmad beserta anggota Ahmadiyah lainnya supaya kembali kepada Islam.
Pada tahun 1998 Hasan Audah menerbitkan buku berjudul “Al-Ahmadiyyah, Aqa’id wa Ahdats”
terjemahan dengan judul “Ahmadiyah Kepercayaan-Kepercayaan dan Pengalaman-Pengalaman”
Buku yang ditulis oleh kedua mantan muballigh Ahmadiyah tersebut di atas sangat bagus dibaca bagi
mereka yang hendak mengetahui lebih banyak tentang “Apa itu Ahmadiyah?” karena ditulis berdasarkan
fakta yang dialami sendiri dan disaksikan langsung oleh penulisnya sehingga sangat wajar dipercaya.
Bukan “fitnah” sebagaimana yang sering dilontarkan oleh orang Ahmadiyah kepada orang Islam yang
menentang gerakan Ahmadiyah.
__________________________________________________________________
REFERENSI
1. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Terbitan Kompleck Percetakan Al-Qur’an
Kepunyaan Raja Fahd di Madinah Al-Munawwarah, Kerajaan Saudi Arabia, Tahun1419 H.
2. Terjemah Hadits Shahih Bukhari, H. Zainuddin Hamidy dkk, Penerbit Wijaya Jaklarta ,Cetakan
Keempat (Edisi Khusus) tahun 1996.
3. Terjemah Hadits Shahih Muslim, Ma’mur Daud, Penerbit Wijaya Jaklarta ,Cetakan Ketigabelas
(Edisi Khusus) tahun 1992.
4. Ahmad Hariadi, Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiani, Mubahalah (Perang Doa)
Melawan Khalifah Qadiani, Seruan untuk Mencampakkan Diinunnas (Ahmadiyah), Oleh-oleh Dari
Pusat Ahmadiyah di London. Terbitan Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin
5. Hasan bin Mahmud Audah, Ahmadiyah Kepercayaan-Kepercayaan dan Pengalaman-Pengalaman,
Terjemahan oleh Dede A. Nasrudin dan E. Muhaimin dari judul asli Al-Ahmadiyyah, Aqa’id Wa
Ahdats , Terbitan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta, Cetakan Pertama
tahun 2002.
6. M. A. Suryaman, Bukan Sekedar Hitam Putih, Penerbit Arista Brahmatyasa Bogor, Cetakan
Pertama tahun 2005.
7. Ahmadiyah & Pembajakan Al-Qur’an, M. Amin Djamaluddin, Terbitan Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta, Cetakan Ketiga tahun 2002.
8. M. Amin Djamaluddin, Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan di Indonesia. Terbitan Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta, Cetakan Pertama tahun 2002
9. Asy-Syaikh Manzhur Ahmad Chinioti Pakistani, Keyakinan Al-Qadiani Kumpulan Tulisan dan
Ucapan Al-Qadiani, Terjemahan Mudzakkir M. Arif, M.A. dari judul asli Al-Qadiani
Wamu’taqadatuhu, Terbitan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta, Cetakan
Pertama tahun 2002.
10. Hamka, Membahas Soal-Soal Islam, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, Cetakan IV 1985
11. H.M.Yoesoef Sou’yb, Syi’ah Studi Tentang Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokohnya, Terbitan PT. Al
Husna Zikra Jakarta, Cetakan 1 tahun 1997.
12. H.M.Yoesoef Sou’yb, Isa Al-Masih, masih Hidup ataukah sudah Mati, Terbitan Pustaka Alhusna
Jakarta, Cetakan Pertama tahun 1984.
13. Drs. Hamka Haq Al-Badry, Koreksi Total terhadap Ahmadiyah, terbitan Yayasan Nurul Islam
Jakarta, Cetakan Pertama Tahun 1981.
14. Ir. Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, Cetakan ketiga, Panitya Penerbit Dibawah
Bendera Revolusi 1964
15. M. Quraish Shihab, Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan, Cetakan IX 1997, Terbitan
Mizan Bandung
- Putera sulung Al-Masih yang dijanjikan (yang mengaku nabi) dari isteri pertamanya bernama Fadhl
Ahmad, ketika wafat, tidak dishalati oleh ayah kandungnya sendiri, karena ia tidak percaya pada
pengakuan ayahnya, meskipun ia taat kepadanya dalam urusan-urusan duniawi. (Anwar Khilafat 91.
Koran Al-Fadhl, 7 Juli 1943 ) Chinioti 31