Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

AHMADIYAH

Tugas ini disusun guna memenuhi tugas kelompok

mata kuliah Perbandingan Agama

Dosen penganmpu: M. Arifin, LC., M.S.I.

Oleh:

1. Trisna Widyawati (111-14-147)

2. Diana Lisfaindah (111-14-288)

3. Fajar Ali Shodiqin (111-14-340)

4. Muhammad Abdul Aziz (111-14-000)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)

SALATIGA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perpecahan di dalam tubuh umat Islam awal yang timbul akibat masalah
politik pada masa Khalifah ar-Rasyidah menyebabkan sebuah peristiwa yang
dikenal dalam sejarah Islam sebagai al-fitnah al-kubra (malapetaka besar) yang
berpuncak dengan kematian dua orang khalifah, yaitu Usman bin Affan (656 M/34 H)
dan Ali bin Abi Thalib (661 M/41 H) pada abad ke-7 M. Hal ini mendorong lahirnya
sekte-sekte di dalam Agama Islam dengan doktrin atau ajaran masing-masing yang
berbeda, seperti Khawarij, Syiah, Muktazillah, dan Asy-arriyah.
Proses penyebaran dan perkembangan Agama Islam ke berbagai wilayah di
luar jazirah Arab, menyebabkan timbulnya proses perpaduan antara budaya setempat
dengan budaya Islam. Proses perpaduan antar budaya ini pada akhirnya melahirkan
suatu bentuk ajaran Islam yang heterodoks yang berbeda dengan Islam jazirah Arab,
contohnya ialah aliran Bahaisme yang dipelopori oleh seorang ulama Persia, yaitu
Mirza Ali Muhammad Al-Syirazi dan Ahmadiyah di India oleh Mirza Ghulam
Ahmad, keduanya muncul pada abad ke-19. Makalah ini akan membahas tentang
gerakan Ahmadiyah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang dan pertumbuhan Ahmadiyah?
2. Bagaimana perpecahan Ahmadiyah?
3. Apa itu gerakan Ahmadiyah Qodiani dan Ahmadiyah Lahore?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Berdirinya Ahmadiyah dan Pertumbuhannya


Munculnya Ahmadiyah di India merupakan serentaten peristiwa sejarah dalam
Islam yang tidak terlepas dar situasi umas Islam pada saat itu. Sejak kekalahan Turki
Usmani dalam serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak barat muali bangkit
menyerang kerajaan tersebut, serangan itu lebih efektif lagi di abad ke-18.
Selanjutnya, pada abad berikutnya bangsa Eropa didorong oleh semangat revolusi
industri dan ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mereka mampu menciptakan
senjata-senjata modern. Secara agresif mereka dapat menjarah daerah-daerah di satu
pihak, sedang di pihak lain umat Islam sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan
sikap yang apatis dan fatalistis. Akhirnya Inggris dapat merampas India dan Mesir,
Perancis dapat menguasai Afrika Utara, dan bangsa Eropa yangb lain dapat menjarah
daerah Islam lainnya. Sesudah India menjadi koloni Inggris, umat Islam semakin
terolisasi dengan sikap-sikap lama yang dipelihara. Keadaan umat Islam di India ini
semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontaka Mutini tahun 1857 M.
Itulah latar belakang kelahiran Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan dalam Islam.1
Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di Qadian,
distrik Gusdapur, Punjab wilayah India, pada tanggal 13 Februari 1835 dan meninggal
pada 26 Mei 1908. Dia berasal dari hereditas bangsa Mongolia. Gerakan tersebut
yaitu gerakan mesianik yang paling aktif dan kontroversial sejak kelahirannya di
India-Inggris pada tahun 1889.
Dalam rangka merealisasikan ide pembaharuannya, pada bulan Desember 1888
Mirza Gulam Ahmad secar terang terangan menyatakan diri mendapat perintah Tuhan
melalui ilham Ilahi untuk menerima bai’at dari pengikutnya. Perintah Tuhan dalam
wahyu tersebut menuntut Mirza Ghulam ahmad untuk melakukan dua hal, pertama
untuk menerima bai’at dari pengikutnya, kedua membuat bahtera, yakni membuat
wadah untuk menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita
kemahdiannya guna menyerukan islam keseluruh penjuru dunia.
Untuk menyebarkan ide kemahdian Mirza Ghulam Ahmad dengan buku-buku
karangannya diperlukan dana. Untuk itu, Mirza Ghulam Ahmad menghimbau

Iskandar Zulkarnaian, Gerakan ahmadiyah di Indonesia, pengantar Azyumardi Azra, (Yogyakarta:


1

LkiS Yogyakarta, 2005), hlm. 57-58.


perlunya Chandah yaitu sumbangan yang diberikan oleh seorang ahmadi kepada
jemaat Ahmadiyah. Mirza Gulam Ahmad memberikan landasan bahwa dengan
memberikan chandah, iman akan bertambah kuat karena ini adalah urusan kecintaan
dan keikhlasan. Pada tanggal 20 Desember 1905 Mirza Gulam Ahmad mencanangkan
gerakan al-Washiyyat. Intinya, siapapun yang tergabung dalam anggota jema’at ini
wajib mewasiatkan 1/10 sampai 1/3 dari harta kekayaan dan pendapatan bulanannya,
disamping bertaqwa, meninggalkan hal-hal yang haram dan tidak berbuat syirik.
Mereka yang menjadi anggota gerakan ini kelak jika meninggal jenazahnya akan
dikuburkan di makam Bahesti Makbarah (taman surga) di Qadian.
Dalam perkembangannya, mengingat peserta gerakan Al-Washiyyat terbatas
karena persyaratan yang tinggi, maka pada masa khalifah II (Mirza Bashiruddin
Mahmud Ahmad) diterapkan chandah ‘am (umum). Chandah ‘am ini bersifat wajib.
Setiap warga jema’at mengeluarkan 1/16 dari pendapatan bulanan untuk kepentingan
jema’at. Ketentuan ini berlaku sampai sekarang termasuk di Indonesia.
Kemudian, pada tahun 1905 khalifah II mencanangkan sebuah gerakan yang
disebut Tahrij Jadid yang intinya:
a. Penyebaran Islam keseluruh dunia
b. Himbauan untuk mewakafkan diri sebagai muballigh
c. Himbauan kepada seluruh jema’at untuk hidup sederhana dan menyisihkan
penghasilannya seara sukarela untuk gerakan ini.2
B. Perpecahan Ahmadiyah
Ahmadiyah merupakan sebuah gerakan yaang didirikan oleh Mirza Gulam Ahmad
di India. Saat Mirza Gulam Ahmad masih hidup, keutuhan dan kesatuan pengikut
Ahmadiyah sangat di rasakan. Suasana seperti itu berjalan sampai masa menjelang
meninggalnya Khalifah I, Maulwi Nuruddin, pengganti Mirza Gulam Ahmad setelah
ia meninggal pada 30 Mei 1908. Pada masa Maulwi Nuruddin, Ahmadiyah sebagai
gerakan Mahdi telah mencapai kemajuan pesat dan mulai dikenal umat Islam secara
luas. Akan tetapi menjelang meninggalnya, bibit perpecahan dikalangannya sudah
mulai tampak. Menurut Mirza Bashir Ahmad, ada tiga persoalan yang menjadi ajang
perebedaan pendapat dikalangan Ahmadiyah yang menyebabkan perpecahan, yakni
masalah khalifah (pengganti pemimpin), iman kepada Mirza Gulam Ahmad, dan
kenabian.3
2
Ibid., hlm. 63-67.
3
Iskandar Zulkarnaian, Gerakan ahmadiyah di Indonesia, pengantar Azyumardi Azra, (Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta, 2005), hlm. 69.
1. Masalah Khalifah
Masalah khalifah sudah barang tentu sangat erat hubungannya dengan masalah
manajemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang memiliki
jangkauan luas, baik di kalangan muslim maupun non muslim. Ada dua mendapat
mengenai masalah ini. Pertama, mengakuai dan mendukung keberadaaan
organisasi khilafat dengan alasan untuk menuruti ajaran Islam dan wasiat Mirza
Gulam Ahmad, dalam jemaat harus ada khilafat sebagaimana khalifah pertama
ditaati oleh jemaat. Begitu pula khalifah yang akan datang harus ditaati. Pendapat
ini didukung oleh Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Nawab Muhammad Ali
Khan Sahib, Abdurrahman Madrasi, Mauvi Sher Ali Sahib, dan Mirza Bashir
Ahmad. Pendapat kedua, organisasi khilafat tidak perlu, cukup dengan organisasi
anjuman saja. Untuk menghormati wasiat Khalaifah I, bolehlah ditetapkan
seseorang sebagai Amir. Akan tetapi, Amir ini tidak wajib ditaati oleh jemaat.
Bahkan, jabatan Amir pun waktunya terbatas dan bersyarat. Dengan demikian,
mereka menyetujui suatu ajuran yang bersifat perkumpulan saja. Pendapat ini
didukung oleh Mauvi Muhammad Ali Sahib, Kwaja Kamaluddin Sahib, Mirza
Yaqub Beg Shahib, Sayyid Muhammad Husen Shah Sahib, Syaikh Ramatullah
Sahib, dan Mauvi Ghulam Hasan Shah Sahib.
2. Masalah iman
Iman kepada Mirza Gulam Ahmad juga ada dua pendapat. Pendapat pertama
mengatakan bahwa iman kepada Mirza Gulam Ahmad merupakan suatu
kewajiban, artinya orang yang tidak percaya kepada Mirza Gulam Ahmad
tergolong keluar dari Islam (kafir). Pendapat kedua memandang bahwa iman
kepada Mirza Gulam Ahmad memang merupakan suatu hal baik dan perlu untuk
kemajuan ruhan, namun bukan untuk kebebasan di akhirat nanti. Artinya orang
yang tidak beriman kepada Mirza Gulam Ahmad pun orang akan mendapatkan
kebebasan juga.
3. Masalah kenabian Mirza Gulam Ahmad
Mengenai kenabian Mirza Gulam Ahmad di kalangan Ahmadiyah juga ada
dua pendapat. Pendapat pertama berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka
sesudah Rasulullah SAW. sementara pendapat kedua berkeyakinan bahwa
sesudah Nabi Muhammad pintu kenabian sama sekali tertutup dan mengakui
Mirza Gulam Ahmad tidak mendakwahkan diri sebagai nabi.4
4
Ibid., hlm. 69-71.
Dari perbedaan pendapat mengenai hal-hal tersubut sehingga Ahmadiyah terpecah
menjadi dua golongan yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore.
C. Ahmadiyah Qodian
Golongan ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah
SAW. dan mereka juga berkeyakinan bahwa Mirza Gulam Ahmad tidak hanya
sebagai mujaddid, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang seluruh ajarannya harus
ditaati dan dipatuhi. Munculnya ahmadiyah Qadian, menurut Maulana
Muhammad Ali, karena yang terpilih sebagai sebagai khalifah II tahun 1914 dan
pengganti Maulvi Hakim Nuruddin adalah Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad. Ia
mengumumkan kepercayaan baru, yakni:
1. Pendiri gerakan Ahmadiyah adalah Nabi
2. Dialah Ahmad yang diramalkan dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaff ayat 6
3. Semua orang Islam yang tidak bai’at kepada Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad
adalah kafir dan berada diluar Islam.5
Dengan demikian, terpilihnya Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad sebagai
khalifah II tidaklah mendapat dukungan penuh dari seluruh pengikut Ahmadiyah.
Meski demikian, kedua golangan tersebut sangat aktif dan intensif dalam usaha
mewujudkan cita-cita kemahdian, terutama di kalangan masyarakat Kristen Barat.
Golongan Ahmadiyah Qadian menulis sebuah buku Ahmadiyah for The true Islam
(Ahmadiyah atau Islam yang sejati) pada tahun 1924. Kemudian judul buku terakhir
8500 precious Gems from World’s Best Literature (8500 Mutiara Berharga dari
Literatur Terbaik di Dunia) berisi catatan-catatan dari literatur lama dan modern, baik
dari Islam maupun non-Islam serta memuat masalah agama dan moral yang disusun
secara alfabetis.6 Kelompok Ahmadiyah Qadian mengadakan misi dakwah ke negara
lain, misalnya Inggris (mereka mendirikan masjid di London), Afrika bagian barat,
Eropa daratan, dan Amerika Serikat.7
Pada tahun 1947, Ahmadiyah Qadian mendapat kesulitan ketika ada penentuan
batas antara India dan Pakistan yang pada tahun itu sama-sama merdeka. Ahmadiyah
Qadian menjadi bagian dari India padahal mereka memilih Pakistan sebagai negara
mereka. Akhirnya mereka memindahkan pusat kegiatan ke Rabwah, Pakistan.
5
S. Ali Yasir, Pengantar Pembaharuan dalam Islam, (Yogyakarta: PP. Yayasan Perguruan Islam
Republik Indonesia (PIRI), 1981), hlm. 50.
6
Iskandar Zulkarnaian, Gerakan ahmadiyah di Indonesia, pengantar Azyumardi Azra, (Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta, 2005), hlm. 74.
7
Hafidz Dasuki, Ahmadiyah Ensiklopedi Dunia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Jilid I, 1993), hlm.
91.
Ahmadiyah Qadian masuk ke Indonesia pada tahun 1925, dibawa oleh Rahmad Ali,
ahli dakwah Ahmadiyah. Mula-mula tinggal di Tapaktuan (Aceh), kemudian di
Padang sampai tahun 1930, dan akhirnya di Jakarta. Ajarannya banyak mendapat
tantangan dari berbagai pihak. Serangan paling keras bagi Rahmat Ali datang dari
Ahmad Hassan, tokoh pembaharu Islam dari Bandung.8
Meskipun mendapat banyak tantangan, gerakan Ahmadiyah Qadian Terus
berkembang. Untuk menyebarkan ajarannya, mereka memiliki 6 mubaligh dari India
dan Pakistan serta 10 mubaligh Indonesia. Dakwahnya tersebar di Jawa, Sumatera,
dan Sulawesi (terutama Ujung Pandang dan Gorontalo). Ajaran-ajaran Ahmadiyah
Qadian juga disebarkan melalui penerbitan buku-buku berbahasa Indonesia, seperti
Nabi Isa dengan Salib (1938), Kebenaran Al-Masih Achir Zaman (1947), Koeboeran
Al-Masih Israili (1948), dan Mi’raj Nabi Muhammad dan Djihad dalam Islam
(1949).9 Pada tahun 1947 juga diterbitkan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa
Indonesia.
D. Ahmadiyah Lahore
Golongan ini dipimpin Maulana Muhammad Ali dan Kwaja Kamaludin yang
tidak menyetujui prinsip golongan Ahmadiyah Qodian. Golongan ini berkeyakinan
bahwa pintu kenabian setelah Nabi Muhammad SAW. telah tertutup. Dengan
demikian, Mirza Gulam Ahmadbukanlah seorang nabi, melainkan seorang mujaddid,
selain sebagai al-Masih dan al-Mahdi. Menurut Syafi’i R. Batuah, seorang pengikut
Ahmadiyah Qodian, munculnya golongan Ahmadiyah Lahore bermula dari kegagalan
Maulana Muhammad Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi Khalifa II. Oleh
karena itu, ia dan mengikutnya memisahkan diri dan membentuk golongan baru yang
berpusat di Lahore. Pengikut masing-masing golongan mendirikan masjid-masjid
sebagai pusat kegiatan dan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa asing. Selain
itu, mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan Ahmadiyah Lahore
di bawah pimpinan Maulana Muhammad Ali menerbitkan buku The Religion of
Islam. Di samping itu, gerakan Ahmadiyah juga aktif mendirikan berbagai lembaga
pendidikan dan pusat-pusat kesehatan di berbagai kawasan Afrika dan Asia, termasuk
Indonesia.10

8
Ibid., hlm. 91.
9
Ibid., hlm. 92.
10
Ibid., hlm. 91-92.
Ajaran Ahmadiyah Lahore dibawa ke Indonesia oleh Mirza Wali Ahmad Baig
dan Maulana Ahmad kemudian kembali ke Lahore, tetapi Mirza Wali Ahmad Baig
tetap tinggal di pulau Jawa sampai tahu 1936. Dialah yang dianggap berjasa
mengembangkan ajaran Ahmadiyah Lahore di Indonesia. Semula Mirza Wali dikenal
sebagai guru bahasa Arab yang memakai pengangan buku berbahasa Inggris.
Pengajarannya bertujuan untuk memahami Al-Qur’an. Teman akrabnya, Mas Ngabei
Joyosugito, guru di Purwokerto, mendirikan gerakan Ahmadiyah Indonesia. Pada
akhir 1930 jumlah anggotanya 170 orang dengan cabang-cabang di Purbolinggo,
Plikean, Surakarta, dan Yogyakarta. Dalam mengajar Mirza Ali berpegang pada
terjemahan berbahasa Belanda milik Soedewo yang terbit di Jakarta tahun tahun
1934.sumber terjemahannya berasal dari terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris
karya Maulwi Muhammad Ali. Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda ini
menarik perhatian banyak orang, karena mampu memenuhi kebutuhan untuk belajar
Al-Qur’an tanpa harus belajar bahasa Arab sebelumnya. Terjemahan ini mendapat
sorotan oleh kaum Islam ortodok, karena isinya dinilai banyak menyimpang.
Contohnya bahwa mikraj Nabi Muhammad dikatakan sebagai khayalan.11
Konggres Majelis Ulama Indonesia di Kediri pada tahun 1928 membicarakan
terjemahan ini karena guru-guru agama di Jawa yang ortodoks menilai isinya
memberikan tafisran baru. Pada tahun 1938, Ahmadiyah Lahore Indonesia
menerbitkan karya Maulwi Muhammad Ali yang lain yaitu De Religie van de Islam,
diterjemahkan oleh Soedewo. Buku ini bertujuan membela gerakan Ahmadiyah
dengan memberikan uraian mendalam tentang sumber, dasar, hukum, dan peraturan
agama Islam. Gerakan Ahmadiyah Lahore di Indonesia tidak memiliki pengikut
senamyak Ahmadiyah Qodian.; kegiatan Ahmadiyah di Indonesia diatur oleh
penggurus besarnya yang berkantor di Jl. Balikpapan, Jakarta, dan pada tahun 1990
pindah ke Parung (Bogor). Anggotanya terbesar terutama di Jawa dan memiliki
beberapa lembaga pendidikan serta keagamaan.12

BAB III

PENUTUP

11
Iskandar Zulkarnaian, Gerakan ahmadiyah di Indonesia, pengantar Azyumardi Azra, hlm. 75.
12
Hafidz Dasuki, Ahmadiyah Ensiklopedi Dunia, hlm. 92.

Anda mungkin juga menyukai