Dosen Pembimbing
Drs. H. M. Yamin Muhtar. M.Pd.I
Penyusun
Computer Science
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
Jl. RTA Milono KM 1, 5, Langkai, Kec. Pahandut, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah
ISLAM AHMADIYYAH di INDONESIA
KEHADIRAN AHMADIYYAH
Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tak terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera
Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti
dikutip dari laman resmi Ahmadiyah, www.alislam.org, ketiga pemuda itu adalah Abubakar
Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20
pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925
Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi
keagamaan di Padang pada 1926. Sejak saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan
pengaruhnya di Indonesia.
Acara debat itu dihadiri oleh Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub yang mewakili
Ahmadiyah berhadapan dengan Ahmad Hassan, pendiri Persis. Ahmad Sarido dari komite
Munazarah ditunjuk sebagai moderatornya. Sebelum debat dimulai moderator
mengumumkan peraturan kepada para penonton untuk tidak bersorak-sorai, menghujat,
meneriakkan kebencian dan menyindir para pembicara, khususnya dari perwakilan
Ahmadiyah.
Baik pada malam pertama dan kedua panelis mengajukan argumennya masing-
masing. Ahmad Hassan mempertanyakan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu
Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub pun mengajukan argumentasi untuk mendukung
pendiriannya di Ahmadiyah. Acara pada malam kedua dibanjiri sekitar 2000 orang penonton.
Karena sejak awal moderator telah mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan,
acara debat pun berakhir damai. Kendati para panelis berkeras pada pendiriannya, tak ada
yang saling memaksa untuk mengubah pendapatnya dan keyakinannya masing-masing.
Dalam artikelnya itu Sukarno menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaat Ahmadiyah.
“Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau
menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah pulau yang
jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh! Di Endeh memang saya lebih
memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di samping saya punja studi sociale
wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an
tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat
penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu.”
Sukarno menampik keras tuduhan itu. Dia lebih suka disebut sebagai penganut Islam
yang tak terikat dengan satu golongan apa pun. Kendati demikian Sukarno mengagumi
beberapa hal yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. “Mengenai Ahmadiah, walaupun
beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada
mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya
kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-
hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka
punya systematische aannemelijk maken van den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada
beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka
punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme
Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-
penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel,
modern, broadminded dan logis itu.”
Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah.
Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu
pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal
“pengeramatan” yang berlebihan pada sosok Mirza Gulam Ahmad. Relasi yang terbangun
antara Sukarno dengan Ahmadiyah bisa dilihat dari selembar foto di mana dia tampak
berbicara santai dengan dua tokoh Ahmadiyah, yakni Said Syah Muhammad dan Hafiz
Quadratullah pada resepsi perayaan kemerdekaan Indonesia ke-5 tahun 1950.
Ketetapan tersebut kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di
dalam Berita Negara No. 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara No. 65 tanggal 15
Agustus 1989. Pengakuan terhadap eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen
Agama RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di
Indonesia.
Jamaah Ahmadiyah sendiri terbagi dua aliran, Qadian dan Lahore. Banyak pendapat
yang mengatakan aliran Qadian menyimpang dari ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta sejak 26 Mei–1 Juni 1980
memfatwa bahwa jamaah Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Namun pada era Orde
Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar tindak kekerasan yang menyerang warga
Ahmadiyah.
Perselisihan penafsiran itu sempat berujung kepada tindak kekerasan semasa Orde
Lama. Pelaku kekerasannya tak lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melancarkan
pemberontakan di bawah SM Kartosuwirjo. Pada 1950-an, beberapa orang anggota
Ahmadiyah dibunuh. Pemberontakan baru dapat dipadamkan oleh pemerintah dengan
tertangkapnya SM Kartosuwirjo pada 14 Juni 1962. Selanjutnya pada masa Orde Lama
Ahmadiyah relatif bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang tanpa gangguan kekerasan.
Pada hari-hari terakhir ini Ahmadiyah mengalami teror kekerasan. Korban tewas
berjatuhan. Beberapa kelompok memaksakan kehendaknya agar Ahmadiyah dibubarkan. Ada
baiknya pemerintah sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu
di antara dua pilihan: membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan
ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat beragama
memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun mayoritas.
Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) adalah amal usaha GAI di bidang
pendidikan. Resmi menjadi sebuah Yayasan pada tahun 1959 dengan terbitnya AD/ART
dengan akte notaris No. 3 tanggal 03 Februari 1959.
Tahun 1947, Indonesia masih dalam suasana perang gerilya, baik perang dengan Tentara
Belanda, maupun dengan para pemberontak yang tidak setuju dengan Pancasila sebagai
Dasar Negara. Pada tahun ini, tepatnya Mei 1947, GAI mengadakan muktamar di
Purwokerto. Dalam Muktamar ini antara lain diputuskan dua hal penting: pertama, menerima
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia; kedua, menambah langkah dan tugas
GAI dalam menyiarkan dan mempertahankan Islam dengan jalan mendirikan sekolah-
sekolah.
Minhadjurrahman Djojoseogito, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Cabang
Yogyakarta, menyambut baik keputusan muktamar dengan segera membentuk panitia
persiapan pendirian sekolah di Yogyakarta. Keputusan ini diambil dengan alasan bahwa saat
itu Yogyakarta tengah menjadi Pusat Pemerintah RI, di samping banyak pengungsi yang
datang ke Yogyakarta dari berbagai daerah yang diduduki Tentara Agresi Belanda.