Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH KEMUHAMMADIYAHAN II

AHMADIYYAH DI INDONESIA DAN AMAL


USAHANYA

Dosen Pembimbing
Drs. H. M. Yamin Muhtar. M.Pd.I

Penyusun

ILMU KOMPUTER 2019 (D)

Adinda Rizky Amalia (19.53.021836)

Angela Nur Azizah (19.53.021814)

Derry Maulana (19.53.021815)

Eko Prasetyo (19.53.021812)

Ahmad Fendy M (19.53.021834)

Computer Science
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
 Jl. RTA Milono KM 1, 5, Langkai, Kec. Pahandut, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah
ISLAM AHMADIYYAH di INDONESIA

Ahmadiyyah (Urdu: ‫احمدیہ‬, Ahmadiyyah) atau sering pula ditulis Ahmadiyah, adalah


sebuah gerakan keagamaan Islam yang dibawah oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-
1908) bertujuan untuk membangkitkan umat Islam India yang berada pada penjajahan
Kolonial Inggris yang membawa pengaruh dalam penyebaran agama Kristen oleh para
misionaris, mengkanter gerakan modernisasi Sayyid Ahmad Khan dan kebangkitan
fundamentalisme Hindu Arya Samaj. Pada tahun 1889, di sebuah desa yang
bernama Qadian di negara bagian Punjab, India. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad mengaku
sebagai Mujaddid, al-Masih dan al-Mahdi.
Para pengikut Ahmadiyah, yang disebut sebagai Ahmadi atau Muslim Ahmadi, terbagi
menjadi dua Jema'at yakni Jema'at Ahmadiyah Qadian dan Jema'at Ahmadiyah Lahore.
Penyebab terpecahnya Jema'at Ahmadiyah disebabkan oleh faktor kepemimpinan, ada yang
menghendaki Hadhrat Mirza Ghulam Bashiruddin Mahmud Ahmad (Putra kedua Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad) dan ada yang menghendaki Muhammad Ali (tokoh senior
Ahmadiyah). Tetapi, mayoritas Jema'at Ahmadiyah memilih Hadhrat Mirza Ghulam
Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. "Jema'at Muslim Ahmadiyah" (atau Ahmadiyah Qadian)
dibawah Hadhrat Mirza Ghulam Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a sebagai Khalifatul al-
Masih al-Mau'ud II memindahkan pusat Ahmadiyah ke London. Pengikut jema'at ini di
Indonesia membentuk organisasi bernama Jema'at Ahmadiyah Indonesia, yang telah
berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).
"Ahmadiyya Anjuman Isha'at-e-Islam Lahore" (atau Ahmadiyah Lahore) dengan kepindahan
Muhammad Ali ke Pakistan untuk mengembangkan Ahmadiyah di Lahore. Di Indonesia,
pengikut jema'at ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang
mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930. Anggaran Dasar organisasi
diumumkan Berita Negara tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35.

KEHADIRAN AHMADIYYAH
Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tak terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera
Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti
dikutip dari laman resmi Ahmadiyah, www.alislam.org, ketiga pemuda itu adalah Abubakar
Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20
pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925
Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi
keagamaan di Padang pada 1926. Sejak saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan
pengaruhnya di Indonesia.

JEJAK TAFSIR KAUM AHMADIYYAH


Ahmadiyah berhasil meraih pengikut dari kalangan terdidik yang bisa dengan cepat
menerima ajarah Mirza Ghulam Ahmad. Namun demikian masuknya Ahmadiyah ke
Indonesia menuai respons dari beberapa kalangan. Perdebatan pun terjadi di mana-mana.
Sebagian kelompok muslim lain menganggap pengikut Ahmadiyah sesat karena mengakui
kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang sama artinya menafikan bahwa Muhammad SAW
sebagai nabi terakhir.
Kontroversi keberadaan Ahmadiyah tak serta-merta berakhir dengan kekerasan.
Perbedaan pendapat dan penafsiran itu malah dibawa ke meja dialog yang sangat intelek.
Pada 28-29 September 1933 beberapa organisasi Islam menyelenggarakan debat terbuka
untuk membahas Ahmadiyah. Ada sekira 10 organisasi yang hadir antara lain Persatuan
Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. Perdebatan itu menarik minat masyarakat
sehingga gedung pertemuan di Gang Kenari, Salemba itu disesaki oleh 1800 orang yang
antusias. Sejumlah suratkabar ternama seperti Sipatahunan, Sin
Po, Pemandangan dan Bintang Timur meliput jalannya perdebatan. Dr. Pijper, kelak menjadi
ahli Islam, datang sebagai wakil pemerintah Belanda untuk menyaksikan jalannya acara.

Acara debat itu dihadiri oleh Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub yang mewakili
Ahmadiyah berhadapan dengan Ahmad Hassan, pendiri Persis. Ahmad Sarido dari komite
Munazarah ditunjuk sebagai moderatornya. Sebelum debat dimulai moderator
mengumumkan peraturan kepada para penonton untuk tidak bersorak-sorai, menghujat,
meneriakkan kebencian dan menyindir para pembicara, khususnya dari perwakilan
Ahmadiyah.

Baik pada malam pertama dan kedua panelis mengajukan argumennya masing-
masing. Ahmad Hassan mempertanyakan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu
Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub pun mengajukan argumentasi untuk mendukung
pendiriannya di Ahmadiyah. Acara pada malam kedua dibanjiri sekitar 2000 orang penonton.
Karena sejak awal moderator telah mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan,
acara debat pun berakhir damai. Kendati para panelis berkeras pada pendiriannya, tak ada
yang saling memaksa untuk mengubah pendapatnya dan keyakinannya masing-masing.

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi perbicangan luas. Bahkan Sukarno pun


sempat digosipkan sebagai pengikut Ahmadiyah. Menurut pengakuannya, penyebar gosip
miring itu adalah dinas rahasia kolonial atau PID (Politieke Inlichtingen Dienst) yang
bertujuan mendiskreditkan Sukarno yang saat itu berada di pengasingannya di Ende. Untuk
menepis sassus itu, pada 25 November 1935 Sukarno menulis sebuah artikel berjudul “Tidak
Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi”.

Dalam artikelnya itu Sukarno menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaat Ahmadiyah.
“Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau
menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah pulau yang
jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh! Di Endeh memang saya lebih
memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di samping saya punja studi sociale
wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an
tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat
penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu.”

Sukarno menampik keras tuduhan itu. Dia lebih suka disebut sebagai penganut Islam
yang tak terikat dengan satu golongan apa pun. Kendati demikian Sukarno mengagumi
beberapa hal yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. “Mengenai Ahmadiah, walaupun
beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada
mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya
kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-
hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka
punya systematische aannemelijk maken van den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada
beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka
punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme
Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-
penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel,
modern, broadminded dan logis itu.”

Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah.
Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu
pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal
“pengeramatan” yang berlebihan pada sosok Mirza Gulam Ahmad. Relasi yang terbangun
antara Sukarno dengan Ahmadiyah bisa dilihat dari selembar foto di mana dia tampak
berbicara santai dengan dua tokoh Ahmadiyah, yakni Said Syah Muhammad dan Hafiz
Quadratullah pada resepsi perayaan kemerdekaan Indonesia ke-5 tahun 1950.

Menurut Iskandar Zulkarnain, penulis buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, tiga


tahun setelah pertemuan itu, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang
pengesahan jamaah Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang tercantum dalam
ketetapan menteri tanggal 13 Maret 1953 No. JA.5/23/13 dan dimuat dalam Berita Negara
Republik Indonesia No. 22, 31 Maret 1953.

Ketetapan tersebut kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di
dalam Berita Negara No. 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara No. 65 tanggal 15
Agustus 1989. Pengakuan terhadap eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen
Agama RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di
Indonesia.

Keputusan itu merupakan pengakuan pemerintah terhadap eksistensi warga


Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia. Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan
Ahmadiyah sebagai organisasi yang memilki hak dan kewajiban yang setara dengan
organisasi keagamaan lainnya. Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari
pemerintah sekaligus wajib menaati peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.

Jamaah Ahmadiyah sendiri terbagi dua aliran, Qadian dan Lahore. Banyak pendapat
yang mengatakan aliran Qadian menyimpang dari ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta sejak 26 Mei–1 Juni 1980
memfatwa bahwa jamaah Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Namun pada era Orde
Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar tindak kekerasan yang menyerang warga
Ahmadiyah.

Dari Ensiklopedi Islam yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah,


Jakarta yang diketuai Prof Dr Harun Nasution disebutkan bahwa kedua golongan Ahmadiyah
itu tetap percaya penuh pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mereka juga
disebutkan beriman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir
dan Takdir-Nya.

Masih dari Ensiklopedi Islam, sebagaimana dikutip dari buku Gerakan Ahmadiyah di


Indonesia, kedua golongan Ahmadiyah itu percaya bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah Khatamul Anbiya (nabi penutup). “Namun”, demikian Harun Nasution dan Tim
Penyusun, “Mereka (Qadian) mentakhsiskan atau menyempitkan artinya menjadi penutup
nabi-nabi yang membawa syari’at. Sementara itu nabi-nabi yang tidak membawa syari’at
masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad SAW. Rupanya
itulah pangkal perselisihan yang tak kunjung usai.

Perselisihan penafsiran itu sempat berujung kepada tindak kekerasan semasa Orde
Lama. Pelaku kekerasannya tak lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melancarkan
pemberontakan di bawah SM Kartosuwirjo. Pada 1950-an, beberapa orang anggota
Ahmadiyah dibunuh. Pemberontakan baru dapat dipadamkan oleh pemerintah dengan
tertangkapnya SM Kartosuwirjo pada 14 Juni 1962. Selanjutnya pada masa Orde Lama
Ahmadiyah relatif bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang tanpa gangguan kekerasan.

Di era pemerintah Gus Dur jamaah Ahmadiyah semakin menemukan momentum


kebebasannya. Presiden yang terkenal demokratis dan menjunjung keberagaman itu
membuka keran kebebasan berekspresi dan menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu merasa
takut mengalami kekerasan. Sejumlah kegiatan ilmiah yang membahas Ahmadiyah pun
diselenggarakan di kampus-kampus, seperti yang pernah diselenggarakan pada 24 Juli 2000
di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pada hari-hari terakhir ini Ahmadiyah mengalami teror kekerasan. Korban tewas
berjatuhan. Beberapa kelompok memaksakan kehendaknya agar Ahmadiyah dibubarkan. Ada
baiknya pemerintah sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu
di antara dua pilihan: membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan
ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat beragama
memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun mayoritas.

AMAL USAHA ISLAM AHMADIYYAH di INDONESIA


1. DARUL KUTUBIL ISLAMIYAH (DKI)

DARUL KUTUBIL ISLAMIYAH (DKI) adalah Amal Usaha Gerakan Ahmadiyah di bidang


penerbitan. Secara resmi Badan ini dibentuk pada tahun 1958, berdasarkan keputusan
Muktamar Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) tahun 1958 di Yogyakarta. Bapak H.M.
Bachrun ditunjuk sebagai pengasuhnya.

2. Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI)

Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) adalah amal usaha GAI di bidang
pendidikan. Resmi menjadi sebuah Yayasan pada tahun 1959 dengan terbitnya AD/ART
dengan akte notaris No. 3 tanggal 03 Februari 1959.

Tahun 1947, Indonesia masih dalam suasana perang gerilya, baik perang dengan Tentara
Belanda, maupun dengan para pemberontak yang tidak setuju dengan Pancasila sebagai
Dasar Negara. Pada tahun ini, tepatnya Mei 1947, GAI mengadakan muktamar di
Purwokerto. Dalam Muktamar ini antara lain diputuskan dua hal penting: pertama, menerima
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia; kedua, menambah langkah dan tugas
GAI dalam menyiarkan dan mempertahankan Islam dengan jalan mendirikan sekolah-
sekolah.
Minhadjurrahman Djojoseogito, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Cabang
Yogyakarta, menyambut baik keputusan muktamar dengan segera membentuk panitia
persiapan pendirian sekolah di Yogyakarta. Keputusan ini diambil dengan alasan bahwa saat
itu Yogyakarta tengah menjadi Pusat Pemerintah RI, di samping banyak pengungsi yang
datang ke Yogyakarta dari berbagai daerah yang diduduki Tentara Agresi Belanda.

Pada 1 September 1947, didirikanlah lembaga Perguruan Islam Republik Indonesia


(PIRI), yang diketuai oleh Alimurni Partokoesoemo, dan beranggotakan Supratolo, Surono
Citrosancoko, dan Ibu Kustirin Djojosoegito. Tanggal inilah yang di kemudian hari
diperingati sebagai Hari jadi PIRI.

Anda mungkin juga menyukai