Anda di halaman 1dari 5

Interpretasi Dakwah Jema’at Ahmadiyyah: Mirza Ghulam Ahmad

Oleh Hania Safitri

Jema’at Ahmadiyah merupakan organisasi Islam di India yang didirikan


pada peristiwa umat Islam India mengalami kemrosotan dalam bidang agama,
pilitik, sosial dan moral. Pada tahun 1857 mengalami pemberontakan Munty,
dimana Inggris menjadikan India sebagai salah satu koloninya di Asia.1 Pada saat
kondisi umat Islam tersebut, Ahmadiyah didirikan. Berdirinya organisasi
Ahmadiyah juga sebagai tinjauan dalam pembaharuan pemikiran.

Mirza Ghulam Ahamad menganggap dirinya diangkat Tuhan sebagai Al-


Mahdi dan Al-Masih memiliki tanggung jawab dalam memajukan Islam dengan
memberikan interprestasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai perkembangan
zaman serta ilham Tuhan kepadanya. Tujuan tersebut dilakukan karena gencarnya
serangan dari misionaris kristen serta propaganda Hindu pada umat Islam India.2
Dalam hal ini, Mirza Ghulam berperan penting untuk membela Islam melalui
dakwah dengan menggunakan tulisannya sebagai benteng kebenaran agama Islam
dari serangan kaum misionaris dan Hindu. Ahmadiyah memiliki kedudukan sebagai
gerakan pembaharuan yang liberal untuk menarik pandangan seseorang yang
kehilangan kepercayaan terhadap Islam pada pemahaman yang kuno.

Berbicara tentang Jema’at Ahmadiyah tidak terlepas dari diri Mirza Ghulam
Ahmad yang merupakan pendiri gerakan Ahmadiyah. Ia dilahirkan pada 13
Februari 1835 Qadian-Punjab India. Ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtada dan
ibunya bernama Ciragh Bibi. Mirza Ghulam merupakan keturunan bangsawan,
seorang tokoh terkenal di daerahnya.

Mirza Ghulam memiliki hobby menulis artikel dalam membela ajaran Islam
dari serangan-serangan orang Nasrani dan Arya Samaj. Pada 1880 M, ia
meluncurkan sebuah buku berjudul “Baharin Ahmadiyah” yang memfokuskan

1
Asep Burhanudin, Jihad Tanpa Kekerasan. Yogyakarta : PT LKiS Yogyakarta, 2005, hl. 29.
2
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta : LKiS Pelangi Aksara,
2005, hl. 58.
keunggulan ajaran Islm dan ketinggian Al-Qur’an.3 Buku tersebut melahirkan pro-
kontra di kalangan umat beragama India, kontranya adalah non muslim
menimbulkan adanya berdebatan yang dasyat antara Mirza Ghulam dengan para
tokoh agama, khususnya umat Hindu Brahma Samaj dan Nasrani.

Pada 1883, Mirza sangat tersorot dalam kalangan umat Islam, dimana umat
Islam yang berkeinginan di bai’at untuk menjadi muridnya. Mirza menolak hal
tersebut, karena ia merasa belum mendapatkan ilham dari Allah untuk menerima
bai’at. Selanjutnya, Mirza mendapatkan ilham dari Allah dan pada 23 Maret 1889,
40 orang di bai’at pertama dengan tangan Mirza disebuah rumah Ludiana-India.4
Pada waktu itulah Mirza disebut peletak dasar berdirinya organisasi Al-Jama’ah Al-
Ilamiyah Al-Ahmadiyah (Jama’ah Islam Ahmadiyah).

Selanjutnya, gerakan Ahmadiyah condong terhadap pendakwahan kenabian


Mirza Ghulam. Walaupun pada 1835-1880 M, awalnya Ghulam mengaku sebagai
Mulham/peneria ilham dan Muhaddas/seseorang yang dapat berbicara dengan
Tuhan. Selanjutnya, pada 1880-1891 M, ia mengaku sebagai Mujaddid dan sebagai
Al-Masih maupun Al-Madih.

Pada 1904, progres dakwahnya ia mengaku tidak hanya sebagai Al-Masih


dan Al-Mahdi. Ia juga mengaku sebagai krisna, dalam merintis progres yang
dibentuk ia berorientasi melalui majalah berbahasa Inggris. Seperti review of
religions from Qadiani, selanjutnya pada 1904 Mirza juga mempropaganda tugas
kemahdiannya pada kalangan Hindu. Ia bercakap bahwa ia diperintahkan Tuhan,
tidak hanya untuk kalangan Kristen maupun Islam. Namun juga kalangan Hindu,
dimana dalam Hindu ia mengaku sebagai Krisna.

Berbicara mengenai kegiatan dakwahnya, gerakan Ahmadiyah mendapat


sambutan hangat dari kalangan Kristen di Barat yang mengalami krisis spiritual
pada satu pihak. Pada pihak Barat mendapatkan kemajuan berfikir serta tidak loyal
tehadap gereja, dikarenakan adanya ajaran dogmatis yang tidak mudah ditafsirkan
tersebut.

3
Asep Burhanudin, Jihad Tanpa Kekerasan. Yogyakarta : PT LKiS Yogyakarta, 2005,hl. 35.
4
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana
Matahari Ramadhan 1894-1994. Parung : JAI, 1994, hl. 3.
Ajaran dalam Jema’at Ahmadiyah:

a. Kenabian, dalam ajaran Jema’at Ahmadiyah, Mirza Ghulam diakui sebagai


nabi oleh pengikutnya. Jem'at Ahmadiyah memiliki tiga kategori kenabian
yaitu Nabi Syahib Asy Syari'ah dan Mustaqil. Nabi Syahib Asy Syari'ah
merupakan nabi syari’at serta hukum undang-undang Allah. Nabi Mustaqil
merupakan nabi yang tidak mengikuti nabi sebelumnya, seperti nabi Musa
a.s. yang kedudukannya tidak mengikuti ajaran sebelumnya, namun
langsung menjadi nabi yang membawa syari’at Taurat.5 Serupa dengan nabi
Muhammad saw yang membawa syari’at Al-Qur’an.

b. Pewahyuan, jema’at Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam sebagai


Al-Mahdi yang tidak dapat dipisahkan denga Al-Mahdi karena keduanya
adalah satu yang kokoh dalam satu kepribadian. Al-Masih merupakan
seorang nabi yang diturunkan kembali ke bumi dan ia merupakan nabi yang
diperintahkan oleh Allah untuk membunuh Dajjal di akhir zaman.6 Hal ini
mahdi ahmadiyah tidak terpisahkan dengan masalah wahyu. Wahyu yang
disampaikan pada Al-Mahdi adalah untuk interpestasi Al-Qur’an sesuai
dengan pembaharuannya.

c. Khalafah, jema’at Ahmadiyah memahami konsep ini dengan menggunakan


dasar Al-Qur’an. Dalam Ahmadiya Qadian membahas tentang tidak semua
nabi maupun rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai pemimpin
rohani dan pemimpin pemerintahan. Seperti pra rasul dan nabi yang
dimaksudkan adalah nabi Yahya, Isa, Zakariya dan Harun. Kemudian nabi
Muhammad sebagai pemegang kepemimpinan pemerintahan. Para khalifah
yang menggantikan beliau, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib juga memimpin pemerintahan. Namun
sistem khalifah tesebut berakhir sejak masa Mu’awiyah berkuasa, karena
penguasa berikutnya hanya sesuai dengan keturunan atau pengangkatan diri

5
Sinar Islam, No. 4 Tahun VI, April 1956, hl. 13.
6
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta : LKiS Pelangi Aksara,
2005, hl. 113.
sendiri. Hal tersebut berbeda penafsiran, seperti yang disebutkan dalam Al-
Qur’an. Pada Q.S. Al-Baqarah: 31-32, Q.S. Shad: 27, Q.S. Al-A’raf: 70-
75, Q.S. Al-A’raf: 143.
Berbeda dengan Ahmadiyah Lahore, khalifah ada dua macam yaitu
khalifah yang sesuai dengan Al-Qur’an (Q.S. An-Nur: 55). Selanjutnya,
khalifah ditafsirkan sebagai, mujaddid serta para tokoh spiritual yang
mendirikan sebuah organisasi terkonsep sebagai penerus syari’at.7 Dalam
hadis mengatakan bahwa setiap satu abad sekli akan ada mujaddid yang
memperbaharui agamanya. Melihat pandangan dari kedua aliran
Ahmadiyah tersebut, Ahmadiyah Lahore menjadi pemicu perpecahan
Ahmadiyah sendiri.
Adapun perbedaan Ahmadiyah Qadian dan Lahore degan kalangan
muslim secara umum mengenai khalifah terletak dalam beberapa hal.
Menurut mayoritas kaum muslim suni, bahwa khalifah yang mengantikan
Rasulullah saw tidak berarti menganti pangkat dan kedudukannya sebagai
Nabi dan menerima wahyu, melainkan sebagai pijakan langsung dalam
dakwah Islam di dunia. Selanjutnya aliran Ahmadiyah Qadian mengatakan
bahwa khalifah pengganti kedudukan nabi sekaliguspenerima wahyu Allah.
Ahmadiya Lahore sendiri menganggap khalifah adalah mujaddid yang
dipilih oleh Tuhan melalui wahyu. Hal ini menurut sebagian besar umat
Islam adalah prinsip untuk membedakan antara mayoritas dengan aliran
Ahmadiyah.

d. Jihad, dalam hal ini Ahmadiyah menempatkan sebagai menyampaikan


segala kesanggupan tanpa menahan apapun untuk mencapai suatu tujuan.
Disebutkan dalam Al-Qur’an istilah jihad adalah qital. Ahmadiyah
membagi tiga kategori jihad: pertama, Jihad shagir (membela agama, nusa
dan bangsa dengan menggunakan senjata untuk musuh yang melakukan
kekerasan dan meggunakan senjata). Kedua, jihad kabir (menggunakan
dalil-dalil secara lisan maupun tulisan dalam menyebarkan Al-Qur’an

7
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta : LKiS Pelangi Aksara,
2005, hl. 120.
kepada kafir dn musyrik). Selamjutnya yang terakhir, jihad akbar
(menggunakan haw nafsu amarah diri sendiri, godaan setan).

Ahmadiyah melihat bahwa sebagian besar orang telah salahpaham


dalam memahami konsep jihad Ahmadiyah, artinya Ahmadiyah
mengingkari jihad. Sejatinya Ahmadiyah tidak seperti itu, hanya menentang
kesalahpahaman atas interpretasi makna jihad yang ditafsirkan dengan
mengangkat/menggunakan senjata.

Anda mungkin juga menyukai